YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: WRAP UP PBL S3 MPT

Skenario

Rona Merah di Pipi

Seorang wanita, 25 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan demam yang

hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut

sariawan, nyeri pada persedian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar

matahari.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di

mulut. Pada wajah terlihat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan.

Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus.

Kemudian dokter menyarankan Pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan marker

autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan

dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam

menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.

1

Page 2: WRAP UP PBL S3 MPT

KATA SULIT:

1. Malar rash : Gejala dari SLE, terbentuk karena erupsi kulit pada

daerah hidung dan pipi

2. Suhu subfebris : Kenaikan suhu diatas normal tetapi tidak terlalu

tinggi (38° c¿

3. Konjungtiva : Membran mukosa transparan dan tipis

membungkus posterior kelopak mata

PERTANYAAN

1. Kenapa rambut rontok dan ruam timbul saat terkena sinar matahari?

2. Mengapa terjadi Malar rash?

3. Apa yang menyebabkan nyeri persendian pada pasien?

4. Mengapa pasien mengalami suhu subfebris?

5. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan urin?

6. Apa saja factor resiko dari SLE

7. Seperti apa ciri khas SLE?

8. Mengapa SLE perlu penanganan seumur hidup?

9. Bagaimana sikap pasien dalam menghadapi penyakitnya?

BRAINSTORMING

1. Karena fotosensitivitas (sensitive terhadap matahari). Pada SLE yang

bermasalah adalah ds-DNA. ds-DNA sensitive dengan sinar matahari

2. Karena daerah yang dapat terkena malar rash termasuk jaringan ikat longgar

3. Adanya endapan kompleks imun yang menghasilkan toxic dan merusak

jaringan sekitar, lalu dapat menimbulkan nyeri pada pasien

4. Respon imun berupa demam, tetapi bukan demam yang tinggi karena bukan

infeksi bakteri

5. Karena SLE merupakan penyakit sistemik. Terjadi kerusakan pada

glomerulus yang menyebabkan glomerulus nefritis. Sehingga absorpsi

terganggu dan menyebabkan proteinuria

6. Hormone, sinar UV, dan keturunan

7. Malar rash, Proteinuria, arthritis, Photosensitivitas, dan dapat ditunjang

pemeriksaan lab

2

Page 3: WRAP UP PBL S3 MPT

8. Karena hubungannya dengan DNA dan bisa diturunkan. Dan merupakan

penyakit multiple factor

9. Sabar, berusaha melawan penyakit. Karen setiap penyakit selalu ada obat.

3

Page 4: WRAP UP PBL S3 MPT

HIPOTESA

Penyakit SLE adalah penyakit autoimun yang disebabkan pleh multifactorial. SLE

melibatkan ginjal, kulit, jaringan membrane mukosa dan bersifat sistemik. Ciri

khas adalah malarash yang disebabkan oleh fotosensitivitas. Ciri khas lainnya

adalah nyeri sendi karena adanya kompleks imun yang mengendap di persendian.

Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan lab hematologi,

urin, marker autoimun. Pasien yang positif SLE harus bersabar, ikhlas, ridho,

berdoa dan berusaha. Karena setiap penyakit pasti ada obatnya.

LEARNING OBJECT

4

Page 5: WRAP UP PBL S3 MPT

1. Memahami dan Menjelaskan Tentang Penyakit Autoimun

1.1. Memahami dan Menjelaskan Tentang Definisi Penyakit Autoimun

1.2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Toleransi Imunitas

1.3. Memahami dan Menjelaskan Tentang Klasifikasi dan Contoh Penyakit

Autoimun

1.4. Memahami dan Menjelaskan Tentang Patofisiologi dan Etiologi dari

Penyakit Autoimun

2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Systemic Lupus Erythematosus

(SLE)

2.1. Memahami dan Menjelaskan Tentang Definisi SLE

2.2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Etiologi SLE

2.3. Memahami dan Menjelaskan Tentang Patogenesis SLE

2.4. Memahami dan Menjelaskan Tentang Patofisiologi SLE

2.5. Memahami dan Menjelaskan Tentang Manifestasi SLE

2.6. Memahami dan Menjelaskan Tentang Pemeriksaan SLE

2.7. Memahami dan Menjelaskan Tentang Diagnosis SLE

2.8. Memahami dan Menjelaskan Tentang Diagnosis Banding SLE

2.9. Memahami dan Menjelaskan Tentang PenatalaksanaanSLE

2.10. Memahami dan Menjelaskan Tentang Komplikasi SLE

2.11. Memahami dan Menjelaskan Prognosis Tentang Prognosis SLE

2.12. Memahami dan Menjelaskan Tentang Epidemiologi SLE

3. Memahami dan Menjelaskan tentang Sabar, Ikhlas dan Ridho dalam

Menghadapi musibah

5

Page 6: WRAP UP PBL S3 MPT

1. Memahami dan Menjelaskan Tentang Penyakit Autoimun

1.1. Memahami dan Menjelaskan Tentang Definisi Penyakit Autoimun

Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh

mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerence sel B, sel T

atau keduanya. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi

fisiologis yang ditimbulkan oleh respons autoimun. Perbedaan tersebut adalah penting,

oleh karena respons imun dapat terjadi tanpa disertai penyakit atau penyakit yang

ditimbulkan mekanisme lain (seperti infeksi).

Kriteria autoimun:

a. Autoantibodi atau sel T autoreaktif dengan spesifitas untuk organ yang

terkena ditemukan pada penyakit

b. Autoantibodi dan atau sel T ditemukan dijaringa dengan cedera

c. Ambang autoantibodi atau respon sel T menggambarkan aktifitas penyakit

d. Penurunan respons autoimun memberikan perbaikan penyakit

e. Transfer antibodi atau sel T ke pejamu sekunder menimbulkan penyakit

autoimun pada resipien

f. Imunisasi dengan autoantigen dan kemudian induksi respons autoimun

menimbulkan penyakit.

(Baratawidjaja,2012)

1.2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Toleransi Imunitas

Toleransi adalah mekanisme proteksi yang kuat di perlukan untuk mencegah terjadinya

penyakit autoimun, melindungi individu dari limfosit yang potensial self reaktif terhadap

antigen sel tubuh sendiri.

(Baratawidjaja,2012)

6

Page 7: WRAP UP PBL S3 MPT

1.3. Memahami dan Menjelaskan Tentang Klasifikasi dan Contoh Penyakit

Autoimun

Penyakit Organ Antibodi

terhadap

Tes diagnosis

Organ

spesifik

T. hashimoto tiroid tiroglobulin RIA

Grave D. Tiroid TSH recep Immunofluorescen

Pernisious

anemia

Del darah

merah

Intrinsik faktor Immunofluorescen

IDDM Pankreas Sel beta

Infertilitas laki sperma Sperma Aglutinasi

immunofluorescen

Non-organ

spesifik

Virtiligo Kulit

persendian

Melanosit Immunofluorescen

Rheumatoid

arthritis

Kulit

Ginjal

sendi

IgG IgG-latex

Aglutination

SLE Sendi

organ

DNA

RNA

nucleiprotein

DNA

RNA

latex Aglutination

Berdasarkan hubungan tipe hipersensitivitas

7

Page 8: WRAP UP PBL S3 MPT

(Baratawidjaja,2012)

1.4. Memahami dan Menjelaskan Tentang Patofisiologi dan Etiologi dari Penyakit

Autoimun

Faktor Penyebab Penyakit Autoimun

1. Genetik

Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan

gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major

Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2

dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih

besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain

menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen

HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan

penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk

autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan

8

Hipersensitivitas Penyakit

Tipe II A Trombositopenia idiopatik purpura

Anemia hemolitik autoimun

Miastenia gravis

Penyakit membrane basal glomerulus

Tipe II B Penyakit Grave

Sindrom antibody reseptor insulin

Miastenia gravis

Tipe III LES

Krioglobulinemia campuran

Beberapa bentuk vaskulitis (rheumatoid)

Tipe IV IDDM

Tiroiditis hashimoto

RA

Sklerosis multiple

Page 9: WRAP UP PBL S3 MPT

epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm

dan anti-RNP.

2. Defisiensi komplemen

Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan

atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal.

Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita

penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu

yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti

Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis

lupus.

Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi

meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit

kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi

C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang

terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel

imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem

pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan

eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan

diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat

pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen,

eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi

berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

3. Hormon

Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns

sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita

dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam

patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron

mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat

penyakit.

9

Page 10: WRAP UP PBL S3 MPT

4. Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa),

dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun.

Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan

meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.

Reaksi autoimun dapat disebabkan oleh beberapa hal,yakni:

1. Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (dan

demikian disembunyikan dari system kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam

aliran darah.Misalnya,pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata

dilepaskan ke dalam aliran darah.Cairan merangsang system kekebalan tubuh

untuk mengenali mata sebagai benda asing dan menyerangnya.

2. Senyawa normal ditubuh berubah,misalnya,oleh virus,obat,sinar matahari atau

radiasi.Bahan senyawa yang berubah mungkin kelihatannya asing bagi system

kekebalan tubuh.Misalnya,virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di

badan.Sel yang ditulari oleh virus merangsang system kekebalan tubuh untuk

menyerangnya.

3. Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki

badan system kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat menjadikan

senyawa badan mirip dengan seperti bahan asing sebagai

sasaran.Misalnya,bakteri penyebab sakit kerongkongan mempunyai beberapa

antigen yang mirip dengan sel jantung manusia.Jarang terjadi,system

kekebalan tubuh dapat menyerang jantung orang sesudah sakit kerongkongan

(reaksi ini bagian dari demam reumatik).

Sel yang mengontrol produksi antibody misalnya,limfosit B (salah satu sel

darah putih)mungkin rusak dan menghasikan antibody abnormal yang

menyerang beberapa sel badan.

Ada beberapa mekanisme mengenai induksi autoimunitas

a. Pelepasan antigen sekuester

b. Kemiripan molekular

c. Ekspresi MHC-II yang tidak sesuai

10

Page 11: WRAP UP PBL S3 MPT

1. Sequestered antigen

Adalah antigen sendiri yang kkarena letak anatominya tidak terpajan dengan sel b/

sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan

tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun.

Perubahan anatomi dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi,

kerusakan iskemia/ trauma) dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem

imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein lensa intraokular,

sperma, dan MBP.

2. Gangguan presentasi

Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan

respons

MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-B) dan gangguan respons

terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel

Ts/ Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts/ Tr, maka terjadi rengsangan ke sel Th yang

akhirnya menimbulkan autoimuntas

3. Ekspresi MHC-II yang tidak benar

Pada orang sehat, sel B mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak

mengekspresikan MHC-II sama sekali. Namun pada penderita dengan IDDM

ekspresi MHC-I dan MHC-II denga kadar tinggi. Contoh lain pada penderita

Grave yang mengekspresikan MHC-II pada membran.

Ekspresi MHC-II Yng tidak pada tempatnya itu yang biasanya diekspreskan pada

APC dapat mensensitasi sel Th terhadap peptida yang berasal dari sel B/ tiroid dan

mengaktifkan sel B /Tc/ Th1 terhadap self antigen.

Kerusakan pada penyakit autoimun terjadi melalui antibodi (tipe II dan III), tipe

IV yang mengaktifkan sel CD4+ /sel CD8+ kerusakan organ dapat juga terajdi

melalui autoantibodi yang mengikat tempat fungsional self antigen seperti reseptor

hormon, reseptor neurotransmitor, dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat

menyerupai /menghambat efek ligan endogen untuk self protein yang

menimbulkan gangguan fungsi tanpa terjadinya inflamasi/ kerusakan jaringan

11

Page 12: WRAP UP PBL S3 MPT

fenomena ini terlihat pada penyakit autoimunitas endokrin dengan autoantibodi

yang menyerupai/ menghambat efek hormon seperti TSH, yang menimbulkan

aktifitas berlebihan/ kurang dari tiroid.

4. Aktivasi sel B poliklonal

Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV),

LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang

menimbulkan autoimunitas. Antibody yang dibentuk terdiri atas berbagai

autoantibody

5. Peran CD4 dan reseptor MHC

Gangguan yang mendasari penyakit autoimun sulit untuk diidentifikasi.penelitian

pada model hewan menunjukkan bahwa CD4 merupakan efektor utama pada

penyakit autoimun.

6. Keseimbangan Th1-Th2

Penyakit autoimun organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T CD4. Ternyata

keseimbangan Th1-Th2 dapat mempengaruhi terjadinya autoimunitas. Th1

menunjukkan peran pada autoimunitas, sedang pada beberapa penelitian Th2 tidak

hanya melindungi terhadap induksi penyakit, tetapi juga terhadap progress

penyakit.

7. Sitokin pada autoimunitas

Sitokin dapat menimbulkan translasi berbagai factor etiologis ke dalam kekuatan

patogenik dan mempertahankan inflamasi fase kronis serta destruksi jaringan. IL-1

dan TNF telah mendapat banyak perhatian sebagai sitokin yang menimbulkan

kerusakan. Kedua sitokin ini menginduksi ekspresi sejumlah protease dan dapat

mencegah pembentukan matriks ekstraseluler atau nerangsang penimbunan

matriks yang berlebihan.

8. Factor lingkungan yang berperan pada autoimunitas

Faktor-faktor lingkungan dapat memicu autoimunitas seperti mikroba, hormone,

radiasi UV, oksigen radikal bebas, obat dan agen bahan lain seperti logam.

12

Page 13: WRAP UP PBL S3 MPT

(Baratawidjaja,2012)

2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

2.1. Memahami dan Menjelaskan Tentang Definisi SLE

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) adalah penyakit

autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel tubuh sendiri,

mengakibatkan peradangan dan kerusakan jaringan. Lupus dapat mempengaruhi

setiap bagian tubuh, tetapi paling umum mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, jantung

dan pembuluh darah. Perjalanan penyakit ini tidak dapat diprediksi, dengan periode

suar (flare) dan remisi. Lupus dapat terjadi pada semua usia dan lebih umum pada

perempuan. Manifestasi kulit cukup bervariasi dan dapat hadir dengan lesi

terlokalisasi, rambut rontok menyebar dan kepekaan terhadap matahari. Nama

kondisi ini berasal dari fakta bahwa ruam fotosensitif yang terjadi pada wajah

menyerupai serigala.

(Kamus Kesehatan)

2.2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Etiologi SLE

Meskipun penyebab spesifik dari SLE tidak diketahui , beberapa kecenderungan

genetik dan interaksi gen-lingkungan telah diidentifikasi (lihat grafik pada gambar di

bawah ) . Situasi yang kompleks ini mungkin menjelaskan manifestasi klinis variabel

pada orang dengan SLE .

13

Page 14: WRAP UP PBL S3 MPT

Dalam systemic lupus erythematosus (SLE), banyak faktor genetik-kerentanan,

lingkungan pemicu, antigen-antibodi (Ab) tanggapan, B-sel dan T-sel interaksi, dan

proses pembersihan imun berinteraksi untuk menghasilkan dan mengabadikan

autoimunitas. HLA = antigen leukosit manusia; UV = sinar ultraviolet.

SLE memiliki tingkat kekambuhan sederhana dalam keluarga : 8 % dari pasien yang

terkena memiliki minimal satu tingkat pertama anggota keluarga ( orang tua, saudara ,

dan anak-anak ) dengan SLE ; ini berbeda dengan 0,08 % dari populasi umum . Selain

itu , SLE terjadi pada kedua anak kembar di 24 % dari kembar identik dan 2 % dari

kembar nonidentical , yang mungkin disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan

lingkungan .

Beberapa studi telah disintesis apa yang diketahui tentang mekanisme penyakit SLE

dan asosiasi genetik . [ 10 , 25 , 29 ] Setidaknya 35 gen yang diketahui meningkatkan

risiko SLE. [Sebuah kecenderungan genetik didukung oleh 40 % konkordansi di

kembar monozigot ; jika seorang ibu memiliki SLE , risiko putrinya terserang

penyakit itu telah diperkirakan 1:40, dan risiko anaknya , 1:250 .

Sebuah studi genome dalam populasi Eropa utara direplikasi asosiasi SLE dengan gen

kerentanan yang terkait dengan sel - B jalur reseptor sinyal , serta menegaskan

asosiasi SLE dengan gen pada interferon faktor regulasi 5 ( IRF5 ) - TNPO3 lokus.

Para peneliti juga menegaskan asosiasi lokus lain dengan SLE ( TNFAIP3 ,

14

Page 15: WRAP UP PBL S3 MPT

FAM167A - BLK , BANK1 dan KIAA1542 ) ; Namun , ditetapkan bahwa lokus ini

memiliki tingkat signifikansi yang lebih rendah dan memberikan kontribusi yang lebih

rendah untuk risiko individu untuk SLE.

Studi antigen leukosit manusia ( HLAs ) mengungkapkan bahwa HLA - A1 , HLA -

B8 , dan HLA - DR3 lebih sering terjadi pada orang dengan SLE dibandingkan

dengan populasi umum . Kehadiran alel pelengkap nol dan kekurangan bawaan

komplemen ( terutama C4 , C2 , dan komponen awal lainnya ) juga berhubungan

dengan peningkatan risiko SLE .

Sejumlah penelitian telah meneliti peran etiologi infeksi yang juga dapat

mengabadikan autoimunitas. Pasien dengan SLE memiliki titer tinggi antibodi

terhadap virus Epstein-Barr ( EBV ) , telah meningkat beredar viral load EBV , dan

membuat antibodi terhadap retrovirus , termasuk antibodi ke daerah protein homolog

dengan antigen nuklir . Pada pasien dengan SLE dan infeksi EBV , sel-sel B tidak

terutama cacat ; melainkan fenomena SLE / EBV adalah karena kelainan sel - T , yang

menyebabkan kegagalan dalam immunoregulation normal respon sel - B. Virus dapat

merangsang sel-sel spesifik dalam jaringan kekebalan tubuh . Infeksi kronis dapat

menyebabkan antibodi anti - DNA atau bahkan gejala lupuslike , dan flare lupus akut

sering mengikuti infeksi bakteri .

Penyebab lingkungan dan paparan yang berhubungan dengan SLE kurang jelas .

Penyebabnya adalah sebagai berikut:

Debu silika dan merokok dapat meningkatkan risiko pengembangan SLE

Administrasi estrogen untuk wanita menopause tampaknya meningkatkan risiko

pengembangan SLE .

Menyusui dikaitkan dengan penurunan risiko mengembangkan SLE

Fotosensitifitas jelas merupakan endapan penyakit kulit

Sinar ultraviolet merangsang keratinosit , yang mengarah tidak hanya untuk

berlebih dari ribonucleoproteins nuklir ( snRNPs ) pada permukaan sel mereka

tetapi juga untuk sekresi sitokin yang mensimulasikan peningkatan produksi

autoantibodi.

15

Page 16: WRAP UP PBL S3 MPT

Hasil dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa kadar vitamin D rendah

meningkatkan produksi autoantibodi pada individu sehat ; Kekurangan vitamin D

juga dikaitkan dengan hiperaktivitas sel - B dan aktivitas interferon -alfa pada

pasien dengan SLE .

(Bartels M, 2014)

2.3. Memahami dan Menjelaskan Tentang Patogenesis SLE

Mekanisme patogenik dari SLE diilustrasikan pada gambar 1. Interaksi antara faktor

gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respons imun yang abnormal.

Respons ini termasuk (1) aktivasi dari imunitas innate (sel dendrit) oleh CpG DNA,

DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein selfantigen; (2) Ambang

aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigenspecific T dan Limfosit B);

(3) Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnya klirens sel

apoptotik dan kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein

pada Sm, Ro, dan La; fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung

permukaan sel apoptotik, sehingga antigen, autoantibodi, dan kompleks imun tersebut

dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi

dan penyakit berkembang secara lambat (Hahn et al,2005).

16

Page 17: WRAP UP PBL S3 MPT

Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan respons imun

abnormal yang menghasilkan autoantibodi patogen dan deposisi kompleks imun pada

jaringan, komplemen aktif, menyebabkan inflamasi dan lama kelamaan

mengakibatkan kerusakan organ irreversible. Keterangan: Ag, antigen; C1q,

complement system; C3, complement component; CNS, central nervous system; DC,

dendritic cell; EBV, Epstein-Barr virus; HLA, human leukocyte antigen; FcR,

immunoglobulin Fc-binding receptor; IL, interleukin; MBL, mannosebinding ligand;

MCP, monocyte chemotactic protein; PTPN, phosphotyrosine phosphatase; UV,

ultraviolet

Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan

peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe

1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta

Interleukin (IL)-10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan

suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal

menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu

CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibodi yang terus menerus

dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target,

disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang

berikatan dengan Imunoglobulin. Aktivasi dari komplemen dan sel imun

mengakibatkan pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida vasoaktif, dan enzim

perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan

memicu pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptide vasoaktif, dan enzim

perusak. Selain itu, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan

terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan

jaringan lainnya. (Hahn et al,2005)

Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia memang

memiliki respons antibodi yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita yang terpapar

17

Page 18: WRAP UP PBL S3 MPT

kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih hormone memiliki

peningkatan risiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor

pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel

ini, sehingga menunjang respons imun yang memanjang (Hahnet al,2005).

Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE (Gambar 1).

Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar

70% pasien, kemungkinan terjadi akibat peningkatan apoptosis pada sel kulit atau

adanya perubahan DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenik.

Sepertinya, beberapa infeksi memicu respons imun yang normal dan mengandung

beberapa sel T dan B yang mengenal self-antigen; pada SLE, selsel tersebut tidak

beregulasi dengan baik dan produksi autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien

SLE mempunyai autoantibodi hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama

penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk

beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibodi dan sel B dan T yang

patogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin

merupakan agen infeksi yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki

predisposisi genetik. Anak dan orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV

dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi

dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut dalam beberapa dekade; Ia

juga mengandung sekuens asam amino yang mirip dengan sekuens pada spilceosome

manusia (RNA/antigen protein yang dikenali oleh autoantibodi pada seseorang dengan

SLE). Sehingga, interaksi antara predisposisi genetik, lingkungan, jenis kelamin, dan

respons imun abnormal akan mengakibatkan autoimunitas

(Hahn et al,2005).

18

Page 19: WRAP UP PBL S3 MPT

2.4. Memahami dan Menjelaskan Tentang Patofisiologi SLE

Penderita SLE memproduksi autoantibodi yang targetnya meliputi banyak jaringan,

misalnya DNA, trombosit, leukosit, dan faktor pembekuan , interaksi antara auto-

antibodi dengan antigen-antigen tersebut menimbulkan gejala klinik yang berbeda.

Misalnya saja, autoantibodi yang spesifik dapat menimbulkan sel darah merah dan

trombosit, dapat menyebabkan lysis yang dimediasi oleh komplemen, sehingga

menyebabkan hemolytic anemia dan thrombocytopenia. Ketika terjadi komplek imun

anatara autoantibodi engan antigen nucleus yang ada di sepanjang dinding pembuluh

darah, maka akan terjadi hipersensitivitas tipe III. Kompleks tersebut dapat

mengaltifkan system komplemen, sehingga komplek imun dirusak dan menyebabkan

kerusakan dinding pembuluh darah. Hal inilah yang menyebabkan vasculitis dan

glomerunonephritis.

Aktifasi komplemen yang berlebihan pada penderita SLE berat menybabkan

peningkatan kadar produksi sampingan komplemen (C3a dan C5a) di dalam serum.

C5a dapat memicu peningkatan ekspresi komplemen reseptor tipe 3 (CR3) pada

netrofil , yang mampu memfasilitasi agregasi netrofil dan penempelan netrofil ke

dinding pembuluh darah. Ketika netrofil yang manempel ke pembuluh darah kecil,

jumlah netrofil yang bersirkulasi dapat berkurang, dan menyebabkan vasculitis.

(Kind.et.al.,2007)

19

Page 20: WRAP UP PBL S3 MPT

2.5. Memahami dan Menjelaskan Tentang Manifestasi SLE

Manifestasi kutaneus:

Fotosensitivitas (sun sensitivity): 2/3 pasien SLE mengeluhkan sensitif terhadap sinar

ultraviolet (UV). Reaksinya dapat berupa ruam ringan, demam, arthritis, kelelahan

sampai ke ruam yang berat.

Ruam malar (ruam kupu-kupu): makulo papular hiperemi di daerah malar.

Ulkus oral: 20% pasien SLE mengalami ulkus oral yang biasanya mengenai mukosa

bukal dan langit-langit keras, tetapi kadang-kadang juga di lidah dan langit-langit

lunak. Lesinya berbatas tegas, tepi berwarna keputihan, dan biasanya tidak nyeri.

Alopecia (rambut rontok)

Discoid Lupus

Manifestasi kutaneovaskular:

Vaskulitis kutaneus: radang pembuluh darah kecil yang terlihat di kulit pada bagian

tubuh tertentu (biasanya di tangan dan kaki). Terlihat sebagai ptekie atau purpura

yang dapat diraba, dan sangat jarang terjadi nekrosis, ulserasi, gangrene.

Fenomena raynaud: terjadi karena hiperplasia tunika intima dari arteriol jari-jari

disertai instabilitas vasomotor yang diperantarai syaraf autonom. Hal ini akan

menyebabkan timbulnya vasodilatasi pada keadaan hangat, dan vasokonstriksi pada

keadaan dingin, sehingga akan menimbulkan perubahan warna pada jari, dari merah,

pucat sampai kebiruan. Jika berat dapat menimbulkan ulkus atau gangren pada ujung

jari (fingertip).

Manifestasi muskuloskeletal:

Arthralgia dan arthritis: Arthralgia terjadi pada 80% – 90% SLE. Disini tidak terdapat

tanda-tanda inflamasi obyektif yang dapat ditemukan, pasien hanya mengeluh nyeri

saat diam maupun digerakkan. Pada arthritis mengenai 50% pasien SLE), terdapat

tanda lain selain nyeri yaitu bengkak sendi, kemerahan, sendi teraba hangat,

kekakuan pagi hari setelah bangun tidur).

Myalgia dan myositis: Mayalgia terjadi pada 70% pasien, sedangkan myositis pada 5-

10% pasien. Pada myositis terjadi peningkatan enzim CPK.

Osteopenia dan osteooporosis: Inflamasi kronik karena SLE serta obat-obatan

misalnya kortikosteroid dan methotrexate, dapat menyebabkan osteopenia dan

20

Page 21: WRAP UP PBL S3 MPT

osteoporosis pada pasien SLE. Hal ini ditambah dengan kekurangan vitamin D karena

pasien SLE harus menghindari paparan sinar ultraviolet.

Manifestasi Paru dan Pleura:

Pleurisi: 60% SLE pernah mengalami gejala pleuritis yaitu nyeri saat inspirasi, dan

sekitar 25% pernah mengalami efusi pleura yang bermakna. Pleuritis dan efusi pleura

tidak termasuk organ threatening disease karena parenkim paru tidak terkena.

Lupus pneumonitis akut, Interstitial lung disease ( bersifat kronik, gejala biasanya

sesak), pulmonary hemorrhage, pulmonary emboli, pulmonary hypertension,

shrinking lung syndrom.

Manifestasi Kardiovaskular

Perikarditis: pasien mengeluh dadanya seperti ditekan, dan membaik jika dia agak

membungkuk ke depan. Sekitar 25% diantaranya, terdapat efusi perikardial

Myokarditis, endocarditis (Libman-Sacks endocarditis)

Hipertensi: terutama terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal, juga yang dengan

terapi  kortikosteroid.

Accelerated atherosclerosis.

Manifestasi Renal:

Lupus nephritis terjadi karena penumpukan kompleks imun di ginjal. Pemeriksaan

urinalisa menunjukkan adanya proteinuria, hematuria mikros, adanya silinder. Para

ahli sangat menyarankan untuk dilakukan biopsi ginjal untuk diagnosis standar Lupus

nephritis, sehingga terapi lebih terarah.

Manifestasi Hematologi:

Anemia karena penyakit kronik, autoimmune haemolytic anemia (AIHA).

Leukopenia ( < 4000/mm3), limfopenia ( < 1500/mm3), trombositopenia

Trombosis (APS), splenomegali, limfadenopati

Manifestasi Neuropsikiatrik:

Susunan saraf pusat: Psikosis, kejang, aseptik meningitis, stroke, demyelinating

disorder, myelopati, anxiety disorder, mood disorder, cognitive dysfunction, sakit

kepala.

Susunan saraf tepi: polineuropathy, Guillain Barre’ syndrome, mononeuropathy,

cranial neuropathy, myastenia gravis.

21

Page 22: WRAP UP PBL S3 MPT

Manifestasi gastrointestinal:

Ascites, peningkatan enzim hepar, vaskulitis arteri di abdomen, pankreatitis.

(Mckinnon, 2007)

2.6. Memahami dan Menjelaskan Tentang Pemeriksaan SLE

Pemeriksaan fisik dengan criteria American College of Rheumatology (ACR) dan

pemeriksaan laboratorium berupa :

Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik

( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah

pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia,

limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate(ESR) meningkat selama

penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-

globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin

pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan

kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.

Pemeriksaan Autoantibodi

Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai

proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya

terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya LES,

Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi termasuk

autoantibody sering

dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi

perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan

Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian

yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula

halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan

terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T- helper

dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen kemiripan

atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide

terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan

sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan mekanisme

22

Page 23: WRAP UP PBL S3 MPT

regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan ini semakin

besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya usia seseorang.

Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit. karenanya,

lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses patologik

daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun dapat

berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasilntervensi terapi. Kompleks

autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian penyakit autotoimun.

Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah

Autoantodi baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit

reumatik autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.

Antibodi Antinuklear.

Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi

yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada

connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue

Disease (MCTD) ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang

penderita

LES. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan

spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP) Ro/SS-A

dan La/SS-B

ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA

digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease. Dengan

pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan pemeriksaan yang

positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita

skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun.

Antibodi terhadap DNA

Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif

terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan kadar

yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostik.

Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan pada sindrom Sjogrens, arthritis

reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA menunjukkan peningkatan aktifitas

penyakit. Pada LES,anti ds-DNA

mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit SLE.

Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode radioimmunoassay ELISA dan

C.luciliae immunofluoresens.

23

Page 24: WRAP UP PBL S3 MPT

Pemeriksaan Komplemen

Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik

Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi

aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan

berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen

merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan bekerja

secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah dan

fibrinolisis.

Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus

normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE

terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada penderita dengan

eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding gejala

klinis.

(Utomo, 2012)

24

Page 25: WRAP UP PBL S3 MPT

2.7. Memahami dan Menjelaskan Tentang Diagnosis SLE

Pemeriksaan dengan kriteria ACR

Kriteria Batasan

Ruam Malar Eritema menetap, datar atau menonjol

Ruam diskoid Patch eritematosa yang timbul dengan

bagian kasar keratotik dan sumbatan

folikular, jaringan parut atrofi mungkin

terjadi pada lesi yang sudah lebih lama

Fotosensitifitas Ruam kulit akibat pajanan dengan sinar

matahari

Tukak oral atau nasofaringeal Biasanya tidak disertai nyeri

Artritis Tidak erosive, terjadi pada 2 atau lebih

sendi perifer, ditandai dengan nyeri,

bengkak dan efusi (pada 90% penderita)

Serositis Pleuritis dan perikarditis

Ginjal Proteinuria persisten (>0.5g/dl) atau

ditemukannya sedimen seluler

Saraf Kejang atau psikosis (bukan akibat obat

atau metabolic)

Hematologi Anemia hemolitik atau

leukopeni(<4000/ml) pada saat yang

berbeda, atau limfopenia (<1500/ml)

25

Page 26: WRAP UP PBL S3 MPT

pada 2 saat yang berbeda atau

tromboitopenia (<100.000/ml) (bukan

akibat obat)

Imunologis Ditemukan anti dsDNA ayau

Antibodi anti Sm atau

Antibodi antifosfolipid berdasarkan :

Kadar serum IgG atau IgM ACA yang

abnormal

Tes positif untuk lupus antikoagulan

dengan cara standar

ATAU

Tes serologis sifilis positif semu

sedikitnya 6 bulan dan dipastikan

dengan imobilisasi Tr. Palidum atau IFT

ANA Titer abnormal (tanpa ada obat yang

menginduksi LES)

(Baratawidjaja, 2014)

Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai dua atau lebih keterlibatan organ

sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :

Jender wanita pada usia produksi

Gejala konstitusional

Muskuloskeletal : arthritis, artralgia, miositis

Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rush) fotosensitivitasm

fenomena raynaud, puprpura, urtikaria, vaskulitis

Ginjal : hematuria, proteinuria,

Paru-paru : hipertensi pulmonal

Jantung : perikarditis, endokarditis, miokarditis

Retikulo-endotel : limfadenopati, splenomegali, hepatomegali

Hematologi : anemia, leucopenia dan trombositopenia

Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindroma otak organic, mielitis

transversa, neuropati cranial, dan perifer

(Sudoyo, Aru W. et.al; 2009)

26

Page 27: WRAP UP PBL S3 MPT

2.8. Memahami dan Menjelaskan Tentang Diagnosis Banding SLE

Beberapa penyakit atau kondisi dibawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat

gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu :

A. Undifferentiated connective tissue disease

B. Sindroma sjogren

C. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)

D. Fibromialgia (ANA positif)

E. Purpura trombositopenik idiopatik

F. Lupus imbas obat

G. Artritis reumatoid dini

H. Vaskulitis

(Kasjmir, 2014)

2.9. Memahami dan Menjelaskan Tentang Penatalaksanaan SLE

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit otoimun  sistemik yang

sangat komplek. Manifestasi klinik SLE sangat luas, melibatkan banyak organ

sehingga memberikan gambaran klinik yang sangat bervariasi. Manifestasi kliniknya

mulai ringan sampai mengancam jiwa. SLE adalah penyakit radang atau inflamasi

multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun. SLE

termasuk penyakit soft connective tissue diseases yaitu suatu kelompok penyakit yang

melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai

banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.

SLE masih merupakan problem yang sangat besar, karena mayoritas populasi belum

27

Page 28: WRAP UP PBL S3 MPT

menyadari bahaya penyakit ini. Mengingat penyakit ini merupakan penyakit otoimun

yang sangat fatal dan banyak menyerang wanita usia muda. Mortalitas SLE 5 kali

lebih tinggi dibanding populasi normal. Kematian SLE dibagi menjadi 2 fase yaitu:

pada fase awal dan fase lanjut yang dikenal dengan bimodal pattern pada tahun awal

terjadi karena aktivitas penyakit dan infeksi sedangkan pada stadium lanjut

disebabkan oleh kardiovaskuler.

Menurut Urowitz (2000) mortalitas lupus pada dekade 5 tahun terakhir menunjukkan

perbaikan. Untuk  5 year  survival rate nya saat ini hampir 90%, sedangkan 15 year

survival rate nya berkisar 63-79%. Kemajuan ini disebabkan pendekatan terapi lebih

agresif dan majunya penggunaan imunosupresan untuk menekan aktivitas penyakit.

Menurut berbagai laporan bahwa target organ paru, ginjal dan sistem syaraf pusat

merupakan prediktor mortalitas sedangkan  etnis  sebagai prediktor survival. Etnis

Asian mempunyai prognosis yang lebih buruk dibanding kulit putih. Jenis kelamin

umur dan tingkat ekonomi dilaporkan juga sebagai prediktor mortalitas, umur yang

makin tua mortalitasnya makin tinggi. Seperti yang dilaporkan bahwa penyebab

kematian pada periode awal yang terbanyak yaitu disebabkan SLE yang aktif, lupus

nephritis, sistemik vaskulitis, CNS lupus infeksi dan trombosis.

Dalam melaksanakan perawatan penderita SLE diperlukan pendekatan yang

konprenhensif. Menentukan aktivitas penyakit sangatlah penting karena untuk

menentukan dosis obat atau jenis obat yang akan diberikan. Selama perawatan klinisi

harus dapat menetapkan kondisi pasien apakah membaik, menetap atau  memburuk,

bila kondisi menetap atau memburuk,  harus secepatnya mengambil sikap.  Bila

keputusan klinis  terlambat maka terjadi kerusakan organ yang lebih luas atau

permanent dan mungkin dapat  menimbulkan kematian, untuk itu perlu tata laksana

yang tepat dan benar.

Dasar untuk dapat melakukan tata laksana yang baik dan benar diperlukan

pemahaman tentang perjalanan penyakit/patogenesis serta pemilihan obat. Dalam hal

ini adalah upaya untuk menurunkan mortalitas penyakit SLE.

(Yuliasih, 2011)

28

Page 29: WRAP UP PBL S3 MPT

2.10. Memahami dan Menjelaskan Tentang Komplikasi SLE

1. Serangan pada Ginjal

Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)

Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)

Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin)

2. Serangan pada Jantung dan Paru

Pleuritis

Pericarditis

Efusi pleura

Efusi pericard

Radang otot jantung atau Miocarditis

Gagal jantung

Perdarahan paru (batuk darah)

3. Serangan Sistem Saraf

Sistem saraf pusat

Cognitive dysfunction

Sakit kepala pada lupus

Sindrom anti-phospholipid

Sindrom otak

29

Page 30: WRAP UP PBL S3 MPT

Fibromyalgia (7).

b. Sistem saraf tepi

Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki

c. Sistem saraf otonom

Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat

menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen

(stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom

4. Serangan pada Kulit

Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut

lesi diskoid

Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :

Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif

terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus

subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk

koin.

Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang

luas di bagian tubuh

Lesi non spesifik

Rambut rontok (alopecia)

Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung

jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok (7).

Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di

sertai pusing.

5. Serangan pada Sendi dan Otot

30

Page 31: WRAP UP PBL S3 MPT

Radang sendi pada lupus

Radang otot pada lupus

6. Serangan pada Mata

7. Serangan pada Darah

Anemia

Trombositopenia

Gangguan pembekuan

Limfositopenia

9. Serangan pada Hati

2.11. Memahami dan Menjelaskan Prognosis Tentang Prognosis SLE

Systemic lupus erythematosus ( SLE ) membawa prognosis sangat bervariasi untuk

setiap pasien . Sejarah alami dari SLE berkisar dari penyakit yang relatif jinak dengan

cepat progresif dan bahkan penyakit fatal. SLE sering bertambah dan berkurang pada

individu yang terkena sepanjang hidup , dan fitur penyakit sangat bervariasi antara

individu .

31

Page 32: WRAP UP PBL S3 MPT

Perjalanan penyakit ringan dan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi pada orang

dengan kulit yang terisolasi dan keterlibatan muskuloskeletal dibandingkan pada

mereka dengan penyakit ginjal dan penyakit CNS. Sebuah laporan konsorsium dari

298 pasien SLE diikuti selama 5,5 tahun mencatat penurunan di SLE Aktivitas

Penyakit . 2000 Index ( SLEDAI - 2K ) skor setelah tahun pertama klinis tindak

lanjut dan peningkatan bertahap dalam kumulatif rata-rata Systemic Lupus

International Kolaborasi klinik ( SLICC ) skor indeks kerusakan.

Hal ini penting untuk membedakan antara aktivitas penyakit dan indeks kerusakan

( disfungsi organ ireversibel ) . Meskipun instrumen yang paling efektif untuk

mengukur aktivitas penyakit SLE masih terbuka untuk diperdebatkan , ada beberapa

langkah divalidasi , termasuk Systemic Lupus Activity Measure (SLAM), SLEDAI,

Lupus Activity Index (LAI), European Consensus Lupus Activity Measurement

(ECLAM), and British Isles Lupus Activity Group (BILAG).

Faktor prognosis dari 2.007 European League Against Rheumatism ( EULAR )

rekomendasi termasuk berikut:

Temuan klinis : Lesi kulit , arthritis , serositis , manifestasi neurologis seperti

kejang dan psikosis , dan keterlibatan ginjal

Hasil studi diagnostik : Anemia , trombositopenia , leukopenia , peningkatan kadar

serum kreatinin

Hasil tes imunologi : Serum C3 dan C4 konsentrasi (yang mungkin rendah ) , serta

kehadiran anti - double stranded DNA ( anti - dsDNA ) , anti - Ro / Sjögren syndrome

A ( SSA ) , anti-La/Sjögren sindrom B ( SSB ) , dan antifosfolipid ( aPL ) , dan anti -

ribonucleoprotein ( anti - RNP ).

(Bartels M, 2014)

2.12. Memahami dan Menjelaskan Tentang Epidemiologi SLE

Di seluruh dunia, prevalensi SLE tampaknya bervariasi oleh ras. Namun, ada tingkat

prevalensi yang berbeda bagi orang-orang dari ras yang sama di berbagai wilayah

dunia. Kontras antara tingkat dilaporkan rendah dari SLE pada wanita kulit hitam di

Afrika dan tingkat tinggi pada perempuan kulit hitam di Inggris menunjukkan bahwa

ada pengaruh lingkungan. Secara umum, perempuan kulit hitam memiliki tingkat

lebih tinggi dari SLE dibandingkan wanita dari ras lain, diikuti oleh perempuan Asia

dan kemudian wanita kulit putih.

32

Page 33: WRAP UP PBL S3 MPT

Di Amerika Serikat, perempuan kulit hitam 4 kali lebih mungkin untuk memiliki SLE

dibandingkan wanita kulit putih. Sebuah tinjauan SLE di berbagai negara Asia-

Pasifik mengungkapkan variasi dalam tingkat prevalensi dan kelangsungan hidup.

Sebagai contoh, tingkat prevalensi keseluruhan berkisar 4,3-45,3 per 100.000, dan

kejadian secara keseluruhan berkisar 0,9-3,1 per 100.000 per tahun. Selain itu, orang-

orang Asia dengan SLE memiliki tingkat lebih tinggi dari keterlibatan ginjal

dibandingkan kulit putih lakukan, dan keterlibatan jantung adalah penyebab utama

kematian di Asia.

(Bartels M, 2014)

3. Memahami dan Menjelaskan tentang Sabar, Ikhlas dan Ridho dalam

Menghadapi musibah

1. SABAR

Definisi sabar Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff

(menahan), Allah berfirman: والعشي بالغداة ربهم يدعىن الذين مع نفسك واصبز

33

Page 34: WRAP UP PBL S3 MPT

“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di

pagi dan senja hari.” (Al-Kahfi: 28) Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.

Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu atau

meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah berfirman:

ربهم وجه ابتغاء صبزوا والذين

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-Ra’d: 22).

Macam – macam sabar Sabar terdiri dari 3 macam, yaitu: 1. sabar dalam

melaksanakan ketaatan kepada Allah 2. sabar dalam meninggalkan perbuatan

maksiat terhadap Allah 3. sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.

Surga Allah Untuk orang yang Sabar

Dan dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka dengan surga

dan pakaian sutra (QS Al-Insan : 12)

Sabar menghadapi penyakit serta keutamaannya.

Tidak ada orang yang ingin ditimpa penyakit. Meskipun demikian ternyata ada

maksud tertentu dari Allah atas penyakit yang diderita hamba-Nya.

“Tidaklah seorang muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkara lain kecuali

Allah hapuskan dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-

dosanya) sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.” (Imam Muslim)

Ayat-Ayat Al-Quran

Al-Baqarah 152-156

152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu,

dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai

penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

154. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan

Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi

kamu tidak menyadarinya.

155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit

ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah

berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:

"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".

34

Page 35: WRAP UP PBL S3 MPT

Mengenai sabar, Allah SWT berfirman, “wahai sekalian orang-orang yang

beriman, bersabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah kesabaranmu itu dan tetaplah

bersiap siaga” (QS.Ali imran : 200) Ayat ini memerintahkan untuk bersabar dalam

menjalani ketaatan ketika mengalami musibah, menahan diri dari maksiat dengan

jalan beribadah dan berjuang melawan kekufuran, serta bersiap siaga penuh untuk

berjihad di jalan Allah SWT. Tentang ayat ini, Sahl bin Sa’ad meriwayatkan

sebuah hadis dari Rasulullah SAW bahwa, “Satu hari berjihad di jalan Allah itu

lebih baik ketimbang dunia dengan segala isinya” (HR. Al-Bukhari dan At-

Tirmidzi).

2. IKHLAS

Definisi ikhlas Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak

tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Definisi ikhlas menurut

istilah syar’i (secara terminologi) Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama

bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi

mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas

adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika

engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada

Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah

“membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang

melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari

memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka

tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan

kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan

inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak

menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya

tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan

perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan

Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).

Ayat – ayat Al-Quran tentang ikhlas:

"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa)

kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az-

Zumar: 2-3). "Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah

35

Page 36: WRAP UP PBL S3 MPT

Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama."

(QS. Az- Zumar: 2-3).

3. RIDHO

Definisi ridho Ridho ( ) berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan

takdir (qodha dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-

sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah

terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya

pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya.

Macam – macam ridho

Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah

terbagi menjadi tiga macam:

1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam

dan segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah

mutlak dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada

perasaan bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk

kepentingan kita sebagai umat-Nya.

2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama

mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan

namun jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang

hamba. Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa

saja tidak rela terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar

agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang

Maha Pencipta adalah hal-hal yang sangat diharamkan oleh syariat.

3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas

qodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk

dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan

kemaksiatan dan kemungkaran di muka bumi.

Ayat al-quran tentang ridho

“Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah

hanyalah Islam.” (QS Ali Imran ayat 19)

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam itu

suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah

36

Page 37: WRAP UP PBL S3 MPT

dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab

ayat 21)

Daftar Pustaka

Al-Quran Tafsir Per Kata, Tajwid Kode Angka, Alhidayah. Karim.

Baratawidjaja KG, Rengganis I.(2012). Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Bartels M, Christie.(2014). Systemic Lupus Erythematosus. Website:

http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview#a0156. diakses: 21 May 2014.

37

Page 38: WRAP UP PBL S3 MPT

Editor : Prof. DR. Adhi Juanda. Anggota Editor : dr. Mochtar hamzah, DR. Siti Aisah.

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ketiga. Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin

FKUI. Jakarta, 1999

Hahn,Bevra et al.(2005). “Dubois Dubois' lupus erythematosus”. Philadelphia:Lippincott

Williams & Wilkin

Kasjmir, Yoga et al.(2014). “Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik”.

Website: http://reumatologi.or.id/var/rekomendasi/Rekomendasi_Lupus.pdf. diakses: 21

May 2014.

Kindt, T.J., Goldsby, R.A. Osborne, B.A., & Kuby, J.(2007). Kuby Immunology (6 th ed).

New York: McGraw-Hill Medical

Mckinnon M K, Manzi S.(2007) . Cardiovascular Manifestations of Lupus. Dubois’

Lupus Erythematosus, 7th ed. Vol 1. Lipincot Williams & Wilkins, Philadelphia. 2007;

663-676

Sudoyo, Aru W. et.al.(2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi V. Jakarta :

Interna Publishing

Utomo, Wicaksono N.(2012). Hubungan Antara Aktivitas Penyakit dengan Status

Kesehatan Pasien LES (Lupus Eritematosus Sistemik) di RSUP dr. Kariadi, Semarang.

Yuliasih.(2011). “Penatalaksanaan Systema Lupus Erythematosus”. Website:

http://penelitian.unair.ac.id/artikel_dosen_Penatalaksanaan%20Systemic%20Lupus

%20Erythematosus_4151_1989. diakses: 21 May 2014.

38