YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian Pascagerakan 30 September 1965

(Analisis Wacana Kritis Majalah Tempo edisi khusus Pengakuan Algojo 1965 1-7 Oktober 2012)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S. I. Kom.)

Daniel Luke

10120110136

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

KONSENTRASI MULTIMEDIA JOURNALISM

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

TANGERANG

2014

Page 2: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

ii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya ilmiah saya sendiri,

bukan plagiat dari karya ilmiah yang ditulis oleh orang lain atau lembaga lain, dan

semua karya ilmiah orang lain atau lembaga lain yang dirujuk dalam skripsi ini telah

disebutkan sumber kutipannya serta dicantumkan di Daftar Pustaka.

Jika di kemudian hari terbukti ditemukan kecurangan/ penyimpangan, baik

dalam pelaksanaan skripsi maupun dalam penulisan laporan skripsi, saya bersedia

menerima konsekuensi dinyatakan TIDAK LULUS untuk mata kuliah Skripsi yang

telah saya tempuh.

Tangerang, 14 Februari 2014

(Daniel Luke)

Page 3: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul

“Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian Pascagerakan 30 September 1965 (Analisis Wacana Kritis Majalah Tempo edisi khusus Pengakuan

Algojo 1965 1-7 Oktober 2012)”

oleh

Daniel Luke

telah diujikan pada hari Selasa, tanggal 4 Februari 2014, pukul 08.30 s.d. pukul 10.00 dan dinyatakan lulus dengan susunan penguji sebagai berikut.

Ketua Sidang

Rony Agustino Siahaan, M.Si

Penguji Ahli

Ignatius Haryanto, M.Hum

Dosen Pembimbing

F.X. Lilik Dwi Mardjianto, S.S., M.A.

Disahkan oleh

Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi - UMN

Dr. Bertha Sri Eko M., M.Si.

Page 4: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

iv

KATA PENGANTAR

Penulis menyadari bahwa tidak mungkin menyelesaikan skripsi ini seorang diri.

Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada

beberapa pihak yang telah memberi dukungan baik tenaga maupun moril kepada

penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan praktik kerja magang dan laporannya

dengan baik.

Terima kasih ingin penulis sampaikan kepada :

1. Mas Krisna, pencetus gagasan tentang tema skripsi ini.

2. Pak Lilik, selaku dosen pembimbing skripsi.

3. Randy Hernando dan Gloria Fransiska yang sudah mengizinkan penulis

menjadikan skripsi mereka menjadi rujukan dan acuan.

4. Bapak Seno Joko Suyono dan Bapak Kurniawan, serta Bapak Asvi Warman

Adam yang telah bersedia menjadi narasumber skripsi ini.

5. Monica Aprilda yang tak pernah putus memberi semangat dan dukungan.

6. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis juga ingin menyampaikan permohonan maaf kepada pembaca jika

skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis akan dengan senang hati

menerima segala kritik, saran, serta masukan yang bermanfaat baik bagi penulis sendiri

maupun bagi pembaca yang lain.

Tangerang, 14 Februari 2014

Daniel Luke

Page 5: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

v

Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian Pascagerakan 30 September 1965

(Analisis Wacana Kritis Majalah Tempo edisi khusus Pengakuan Algojo 1965 1-7 Oktober 2012)

ABSTRAK

Oleh: Daniel Luke

Tragedi pembantaian massal pascagerakan 30 September 1965 masih menyisakan luka bagi Bangsa Indonesia hinga saat ini. Kerugian yang diderita para korban, baik harta benda, trauma fisik maupun mental, hingga dicabutnya hak-hak mereka sebagai warga negara, masih belum dipulihkan seutuhnya oleh Negara.

Untuk menyelesaikan masalah ini hingga tuntas, diperlukan adanya rekonsiliasi antara korban dan pelaku dari peristiwa berdarah tersebut. Rekonsiliasi yang dimaksud tentu saja secara keseluruhan, baik di tingkat masyarakat kecil (mikro) hingga tingkat yang paling tinggi (makro) yaitu pemerintahan. Tanpa adanya rekonsiliasi di semua tingkat, masalah ini tidak akan selesai dengan tuntas.

Penelitian ini melakukan pendekatan secara kualitatif dengan paradigma kritis dan bersifat deskriptif. Data berupa empat artikel dalam Majalah Tempo Edisi Khusus 1-7 Oktober 2012, hasil wawancara dengan Seno Joko Suyono dan Kurniawan dari pihak Majalah Tempo, serta hasil wawancara dengan seorang Sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam, dianalisis menggunakan metode penelitian analisis wacana kritis milik Teun A. van Dijk.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Majalah Tempo memang mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khususnya ini. Bagi Majalah Tempo, rekonsiliasi adalah hal terpenting saat ini, karena dengan adanya rekonsiliasi, Bangsa Indonesia dapat menutup lubang-lubang sejarah yang selama ini ditutup-tutupi serta memulihkan para korban, keluarganya beserta generasi penerusnya dari kerugian yang sudah mereka derita selama ini.

Kata kunci: rekonsiliasi korban dan pelaku, PKI, pembantaian massal pascagerakan 30 September 1965, analisis wacana kritis, Teun A. Van Dijk.

Page 6: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

vi

Reconciliation Discourse Between Victims and Perpetrators of September 30th 1965 Post-Movement

Massacre

( Critical Discourse Analysis of Tempo magazine special edition Pengakuan Algojo 1965 1-7 October 2012)

ABSTRACT

By: Daniel Luke

The September 30th 1965 Post-Movement Massacre tragedy still leave a wound for the Indonesian until now. Losses suffered by victims, either of property, physical and mental trauma, and the revocation of their rights as citizens , still not fully recovered by the State.

To resolve this issue to its conclusion , it is necessary to reconciliation between victims and perpetrators of that bloody tragedy. A Whole reconciliation is needed indeed, from the smallest community level (micro) to the highest level (macro) that means the government. Without reconciliation at all levels , this problem will not be resolved completely.

This study is using qualitative approach with a critical paradigm and descriptive characteristic. Data in the form of four articles in Tempo Magazine Special Edition 1-7 October 2012, the results of interviews with Seno Joko Suyono and Kurniawan of the Tempo Magazine, as well as an interview with an Indonesian historian, Asvi Warman Adam, were analyzed by using Teun A. van Dijk's critical discourse analysis research methods.

The results of this study concluded that there is reconciliation discourse by Tempo Magazine in this edition. For Tempo Magazine, reconciliation is the most important thing at this time, due to the presence of reconciliation, Indonesian people can close the holes of history that had been covered up all this time. Furthermore for the victims, their families, and their future generations can recover from the losses that they have suffered over the years.

Keywords : reconciliation of victims and perpetrators, PKI, September 30th 1965 Post-Movement Massacre, critical discourse analysis, Teun A. Van Dijk.

Page 7: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i

HALAMAN PERNYATAAN…………………………..................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................................iii

KATA PENGANTAR.....................................................................................................iv

ABSTRAK........................................................................................................................v

ABSTRACT....................................................................................................................vi

DAFTAR ISI..................................................................................................................vii

DAFTAR TABEL............................................................................................................x

DAFTAR BAGAN..........................................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG....................................................................................1

1.2 PERUMUSAN MASALAH.........................................................................15

1.3 TUJUAN PENELITIAN...............................................................................15

1.4 KEGUNAAN PENELITIAN.......................................................................16

1.4.1 MANFAAT TEORITIS.................................................................16

1.4.2 MANFAAT PRAKTIS..................................................................16

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN..............................................................................17

2.1 PENELITIAN TERDAHULU......................................................................17

2.2 TEORI DAN KONSEP-KONSEP YANG DIGUNAKAN.........................19

2.2.1 WACANA.....................................................................................19

2.2.2 ANALISIS WACANA..................................................................20

2.2.3 ANALISIS WACANA KRITIS....................................................21

Page 8: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

viii

2.2.4 IDEOLOGI....................................................................................23

2.2.5 KOMUNISME...............................................................................24

2.2.6 REKONSILIASI............................................................................26

2.3 KERANGKA PEMIKIRAN.........................................................................29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN.......................................................................30

3.1 JENIS DAN SIFAT PENELITIAN..............................................................30

3.2 METODE PENELITIAN.............................................................................32

3.3 TEKNIK PENGUMPULAN DATA............................................................33

3.4 UNIT ANALISIS DATA.............................................................................36

3.5 TEKNIK ANALISIS DATA........................................................................38

3.5.1 ANALISIS TEKS..........................................................................38

3.5.2 KOGNISI SOSIAL........................................................................45

3.5.3 ANALISIS SOSIAL......................................................................46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................................48

4.1 GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN..........................................48

4.2 HASIL PENELITIAN..................................................................................50

4.2.1 ANALISIS TEKS ARTIKEL DARI PENGAKUAN ALGOJO 1965...............................................................................................50

4.2.2 ANALISIS TEKS ARTIKEL SEBUAH PENGAKUAN DARI KERUMUNAN POHON KAPUK..................................................56

4.2.3 ANALISIS TEKS ARTIKEL JOSHUA OPPENHEIMER: MEMBUNUH, BAGI ANWAR, ADALAH SEBUAH AKTING......62

4.2.4 ANALISIS TEKS ARTIKEL JALAN LAIN PENYELESAIAN TRAGEDI 1965..............................................................................73

Page 9: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

ix

4.3 PEMBAHASAN...........................................................................................89

4.3.1 REKONSILIASI MIKRO...........................................................100

4.3.2 REKONSILIASI MAKRO..........................................................103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................108

5.1 KESIMPULAN...........................................................................................108

5.2 SARAN.......................................................................................................112

5.2.1 SARAN AKADEMIS..................................................................112

5.2.2 SARAN PRAKTIS......................................................................112

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................113

LAMPIRAN.................................................................................................................119

ARTIKEL DARI PENGAKUAN ALGOJO 1965..........................................................120

ARTIKEL SEBUAH PENGAKUAN DARI KERUMUNAN POHON KAPUK............121

ARTIKEL JOSHUA OPPENHEIMER: MEMBUNUH, BAGI ANWAR,ADALAH SEBUAH AKTING............................................................................................123

ARTIKEL JALAN LAIN PENYELESAIAN TRAGEDI 1965........................................125

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN MAJALAH TEMPO...............................127

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN ASVI WARMAN ADAM.......................133

Page 10: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

x

DAFTAR TABEL

TABEL 3.1 PERBEDAAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF..............................30

TABEL 3.2 ELEMEN WACANA VAN DIJK..............................................................39

TABEL 4.1 ARTIKEL 1................................................................................................50

TABEL 4.2 ARTIKEL 2................................................................................................56

TABEL 4.3 ARTIKEL 3................................................................................................62

TABEL 4.4 ARTIKEL 4................................................................................................73

TABEL 4.5 KESIMPULAN.........................................................................................85

Page 11: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

xi

DAFTAR BAGAN

BAGAN 2.1 KERANGKA PEMIKIRAN.....................................................................29

Page 12: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu sejarah dari Bangsa Indonesia yang masih menyisakan luka yang

begitu mendalam adalah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di

mana terjadi penculikan 7 jenderal yaitu, Ahmad Yani, Donald Ifak Panjaitan, M.T.

Haryono, Piere Tendean (yang mengaku sebagai Abdul Haris Nasution), Siswondo

Parman, Suprapto, dan Sutoyo Siswomiharjo. Mereka dituduh sebagai "Dewan

Jenderal". Samsudin (2004: 224) menyebutkan bahwa dewan jenderal adalah jenderal-

jenderal yang memiliki pemikiran tidak sejalan dengan pemimpin (Soekarno), mereka

menganut paham anti komunis, sedangkan Soekarno mengizinkan berkembangnya

paham komunis.

Soekarno memang mengizinkan ideologi komunis berkembang dalam negara

Indonesia, seperti yang tertulis dalam Geerken (2011: 58), "untuk tiga ideologi yang

diizinkan di dalam negeri, yaitu partai nasional, partai berbasis agama, dan partai

komunis, Soekarno membuat istilah Nasakom." Nasakom adalah akronim dari

nasionalis, agama, dan komunis.

Para dewan jenderal ini dituduh berencana merebut kekuasaan Soekarno karena

mereka memiliki sikap anti komunis yang fanatik (Fic, 2005: 66). Namun, menurut

Luhulima (2006: 8), dewan jenderal ini adalah bagian dari skenario yang diciptakan

Soeharto untuk merebut kekuasaan Soekarno. Lebih lengkap, Luhulima memaparkan,

Page 13: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

2

"Panglima Kostrad Mayjen Soeharto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, secara perlahan-lahan menggeser Soekarno dari kedudukannya orang yang paling berkuasa di negeri ini. Langkah itu diawali dengan secara sepihak mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat, menyusul aksi penjemputan paksa para jenderal Angkatan Darat yang berakhir dengan kematian mereka."

Dalam buku Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G 30 S, Kolonel Abdul

Latief (2000) memaparkan kesaksiannya. Ia menyatakan bahwa sebenarnya Soeharto

pada saat itu sudah mengetahui akan terjadinya penjemputan paksa ketujuh jenderal

tersebut. Ketika itu Soeharto mengatakan bahwa ia akan segera mengambil tindakan

untuk menyelidi tentang kebenaran dari akan adanya pergerakan itu, namun ternyata

Soeharto tidak melakukan apa-apa, bahkan terkesan membiarkan agar pergerakan itu

terjadi.

Pembiaran tragedi itu terjadi sepertinya memang merupakan bagian dari

rencana Soeharto. Sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat

(PANGKOSTRAD), Mayor Jenderal (Mayjen) Seoharto memiliki posisi yang strategis

untuk menentukan siapa yang dituduh bertanggung jawab atas peristiwa G30S ini

(Luhulima, 2006: 106).

Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang dari peristiwa ini.

Namun Sersan Kepala (Serka) Bungkus dalam Lesmana (2005: 38) menegaskan, "PKI

hanya kambing hitam." Dalam penculikan tersebut, pasukan Pasopati dari Cakrabirawa

dibantu oleh pihak sipil seperti Pemuda Rakyat-yang pro terhadap komunis, untuk

menjaga daerah rumah sekitar penculikan. Sebelum penculikan, mereka di-briefing

oleh Letan Satu Dul Arif yang mengatakan bahwa jenderal-jenderal yang akan diculik

ini merupakan jenderal-jenderal yang ingin membahayakan Soekarno, oleh karena itu

mereka harus melakukan apapun, termasuk membunuh jenderal-jenderal tersebut, demi

Page 14: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

3

keselamatan Soekarno. Dengan berpaham melindungi Soekarno inilah, PKI membantu

aksi penculikan tersebut (Matanasi, 2011: 90-91).

Fakta itu diperkuat dengan pernyataan Asvi Warman Adam (2009: 183) yang

mengatakan bahwa Letjen Soeharto membubarkan PKI bukan karena PKI dalang

Gerakan 30 September 1965, tetapi karena ia ingin menghancurkan partai yang

merupakan saingan terberat dalam mencapai puncak kekuasaan.

Sampai sekarang, masih terdapat simpang-siur fakta di masyarakat tentang apa

yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Dari istilah yang digunakan saja sudah terdapat

perdebatan di dalamnya. Adam (2009) menyebutkan,

"Pertama, Gestok yang diucapkan dalam pidato-pidato Presiden Soekarno, singkatan dari Gerakan Satu Oktober. Alasannya, peristiwa itu terjadi dini hari tanggal 1 Oktober. Sebaliknya pers militer menyebutnya Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Istilah ini menyalahi kaidah Bahasa Indonesia, namun sengaja dipakai untuk mengasosiasikannya dengan Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam itu."

Versi yang paling umum yang diketahui masyarakat adalah Partai Komunis

Indonesia (PKI) lah yang mendalangi semua ini. Hal itu disebabkan karena selama 32

tahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana istilah

itu menuduh PKI sebagai dalang dari peristiwa berdarah itu. Soeharto melarang

terbitnya segala jenis versi/bentuk tulisan lain tentang PKI (Adam, 2009: 140). "Selama

orde baru hanya dikenal dan diperbolehkan satu versi: Partai Komunis Indonesia (PKI)

adalah dalang G30S" (Adam, 2009: 142).

Setelah Presiden Soeharto berhenti sebagai Presiden RI tahun 1998, banyak

buku-buku tentang peristiwa 30 September 1965 yang bermunculan, yang sebelumnya

dilarang terbit selama rezim orde baru. Kata PKI dihilangkan dari istilah G30S/PKI,

terutama dalam buku-buku pelajaran sekolah. Kurikulum yang baru itu disusun

Page 15: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

4

berdasarkan masukan dari para ahli (sejarawan, pakar psikologi dan pendidikan serta

kurikulum) dengan mempertimbangkan temuan-temuan baru dalam bidang sejarah,

berupa terbitnya banyak buku-buku tentang G30S yang dilarang terbit selama masa

pemerintahan orde baru (Adam, 2009: 141).

Versi lain tentang G30S disampaikan Anderson (2009) yang mengatakan bahwa

peristiwa 30 September 1965 itu berawal dari persoalan intern TNI Angkatan Darat

(AD). Ada beberapa perwira TNI AD dari Kodam IV/Diponegoro (Jawa Tengah) kesal

melihat para jenderal yang hidup berfoya-foya di Jakarta. Para perwira dari Jawa

Tengah itu kemudian mengajak Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan PKI

dalam menjalankan operasinya.

Versi itu tidak dibenarkan oleh Harold Crouch (dalam Roosa, 2008: 106), ia

mengatakan bahwa sebenarnya inisiatif awal gerakan ini muncul dari tubuh TNI-AD

sendiri, sedangkan PKI juga berperan dan bertindak sebagai "pemain kedua". Maksud

dari PKI sebagai pemain kedua adalah sebenarnya yang merencanakan dan

melaksanaan pergerakan penculikan ketujuh jenderal tersebut adalah Angkatan Darat,

namun orang-orang di Angkatan Darat tersebut merupakan orang-orang yang dekat

dengan PKI (Roosa, 2008: 107).

Versi lain yang juga beredar di masyarakat adalah campur tangan Amerika

melalui Central Intelligence Agency (CIA). Dalam artikel berjudul LIPI: CIA Diduga

Dalangi Tragedi PKI, Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam mengatakan, "banyak versi

mengenai terjadinya pemberontakan G30S/PKI, menurut pemerintah dalangnya adalah

PKI. Namun, versi lain mencuat CIA muncul di belakang peristiwa itu. Amerika ikut

berperan dalam kejadian tahun 65." Amerika dituduh ikut terlibat dalam tragedi

Page 16: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

5

tersebut karena Amerika ingin menjatuhkan Presiden Soekarno yang pro terhadap

komunis. Sophiaan (2008: 95) membenarkan versi tersebut,

"Ketidaksenangan Amerika terhadap Bung Karno dan Republik Indonesia yang dipimpunnya, sudah muncul ketika kunjungannya yang pertama ke Negara Uncle Sam pada bulan Mei 1956. Waktu itu Bung Karno menjelaskan kepada Menteri Luar Negeri AS, John Foster Dulles, dasar politik Indonesia. "Kami tidak mempunyai hasrat untuk meniru Uni Sovyet, juga tidak mau mengikuti dengan membabi buta jalan yang direntangkan oleh Amerika untuk kami. Kami tidak akan menjadi satelit dari salah satu blok," kata Bung Karno kepada Menlu Dulles."

Tragedi yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 - 1 Oktober 1965 itu tidak

selesai begitu saja. Penangkapan dan pembantaian orang-orang yang dituduh PKI

terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Jakarta, Kediri, Jombang, Lumajang,

Tuban, Tulungagung, Banyuwangi, Purwodadi, Bali, Maumere, Medan, Sulawesi, Palu,

dan lain-lain. Pembantaian dilakukan baik oleh angkatan bersenjata / militer, maupun

organisasi masa seperti Barisan Serba Guna (Banser) NU (Susanto, 2003:74).

Selain Banser, Pemuda Pancasila juga ikut serta dalam tragedi tersebut. Bresnan

(2005: 120) mengatakan,

"Military officials in Medan and Jakarta in 1965 organized hoodlums into what was to become one of Indonesia's most powerful paramilitaries, the Pancasila Youth (Pemuda Pancasila). In Medan and Jakarta during late 1965, the Pancasila Youth were mobilized to strike at the Communist Party."

"Para pejabat militer di Medan dan Jakarta pada 1965 mengumpulkan para preman dan memasukkannya ke dalam sebuah organisasi yang akan menjadi paramiliter terkuat di Indonesia, yaitu Pemuda Pancasila. Di Medan dan Jakarta selama akhir 1965, Pemuda Pancasila dikerahkan untuk menyerang Partai Komunis."

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa pada tahun 1965, badan militer yang

resmi di Medan dan Jakarta merekrut preman-preman untuk menjadi pasukan yang

kemudian dinamakan Pemuda Pancasila. Mereka ditugaskan untuk menyerang Partai

Komunis Indonesia.

Page 17: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

6

Pada tanggal 4 Oktober 1965, wakil ketua Nahdlatul Ulama (NU), Subchan ZE,

membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh (KAP-

Gestapu). Kesatuan Aksi tersebut mendapat banyak dukungan dari berbagai organisasi

pemuda dan mahasiswa, salah satunya adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia

(KAMI) yang berdiri tanggal 25 Oktober 1965. Tujuan dibentuknya kesatuan-kesatuan

aksi ini tidak lain tidak bukan adalah untuk memberantas orang-orang yang dituduh

PKI (Aritonang, 2004: 342).

Pada 10 Januari 1966, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), didukung

oleh organisasi kesatuan aksi lain seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI),

Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia

(KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia

(KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI) mengajukan tiga tuntutan rakyat

yang dikenal dengan sebutan Tritura. Isi ketiga tuntutan rakyat tersebut adalah

membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-

unsur PKI, dan menurunkan harga bahan pokok (Poesponegoro, 2008: 545).

Tritura tidak berjalan mulus. Masyarakat kecewa karena Soekarno justru

menyingkirkan tokoh-tokoh yang gigih menentang PKI, seperti A. H. Nasution,

Menteri Koordinator Hankam / Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Sebaliknya,

Soekarno justru mengangkat sejumlah orang yang diragukan iktikad baiknya, bahkan

orang-orang yang diindikasikan terlibat dalam G30S, seperti Ir. Surachman dan Oei

Tjoe Tat, S.H. (Poesponegoro, 2008: 545).

Di ibukota, rakyat yang tidak puas dengan hasil reshuffle kabinet baru itu pun

menggelar aksi demonstrasi. Tewasnya seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI),

Page 18: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

7

Arief Rachman hakim karena terkena peluru Resimen Cakrabirawa, membuat

demonstran semakin geram (Poesponegoro, 2008: 547).

Puncaknya, pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan

Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Meski inti dari isi surat tersebut sebenarnya

adalah Presiden Soekarno memberi perintah kepada Letjen Soeharto untuk

mengembalikan keamanan dan ketertiban Negara Indonesia, namun hingga saat ini,

belum ada kepastian dan kejelasan, apa isi surat perintah tersebut yang sebenarnya

(Wardaya, 2009: 120).

Berbekal surat perintah yang diberikan Soekarno, Soeharto melakukan beberapa

tindakan. Pertama, membubarkan PKI dan ormas-ormasnya pada tanggal 12 Maret

1966, sesuai dengan salah satu tunturan rakyat dalam tritura. Kedua, dikeluarkannya

Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri

yang dinilai terlibat di dalam pemberontakan G-30-S / PKI atau memperlihatkan

iktikad tidak baik dalam rangka penyelesaian masalah itu. Ketiga, mengangkat lima

Menteri Koordinator (Menko) ad interim (sementara) yang bersama-sama menjadi

Presidium Kabinet (Poesponegoro, 2008: 551).

Wardaya (2009: 121-122) mengemukakan,

"Tampak sekali bahwa Soeharto menggunakan Supersemar yang sebenarnya adalah perintah presiden (executive order) itu sebagai sebuah 'transfer of authority'. Seolah-olah Bung Karno menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada Soeharto sehingga Soeharto boleh melakukan apa saja untuk menangani masalah keamanan dan ketertiban seakan-akan negara sedang dalam keadaan perang."

Hal itu dibenarkan oleh Soebandrio (dalam Djarot, 2006a: 14-15), "Supersemar

itu bukan pelimpahan kekuasaan. Supersemar itu diserahkan ke Pak Harto. Kalo sudah

Page 19: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

8

aman, diserahkan kembali ke Bung Karno. Jadi, Supersemar itu bukan penyerahan

kekuasaan dari Bung Karno ke Pak Harto."

Menurut Subandrio (dalam Adam, 2010: 144), Penculikan dan pembunuhan

ketujuh jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari adalah tahap pertama dari empat

tahap kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto. Disebut kudeta merangkak

karena biasanya sebuah kudeta dilakukan dengan cepat dan tidak terduga, namun

berbeda dengan yang dilakukan Soeharto, ia melakukan kudeta dengan perlahan dan

penuh perencanaan yang matang. Pembunuhan ketujuh jenderal tersebut dilakukan

Soeharto dengan maksud untuk menghabisi pesaing-pesaingnya di Angkatan Darat.

Tahap kedua dari kudeta merangkak Soeharto adalah dengan mendapatkan

Supersemar dari Soekarno dan kemudian membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret

1966. Pembubaran PKI ini dimaksudkan Soeharto untuk melumpuhkan partai dengan

pendukung lebih dari tiga juta orang yang menjadi rival terberat tentara saat itu (Adam,

2010: 144).

Langkah ketiga dalam kudeta merangkak-nya, 18 Maret 1966 Soeharto

menangkap 15 menteri yang loyal kepada Soekarno. Dengan bermodalkan Supersemar,

Soeharto melakukan penangkapan ini tanpa sepengetahuan dan seizin Soekarno

(Pambudi, 2009: 57).

Terakhir, pada tanggal 7 Maret 1967, dengan ditetapkannya TAP MPRS

XXXIII/1967 yang memberhentikan Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden, dan

diangkatnya Soeharto menjadi pejabat presiden.

SI-MPRS kemudian tetap memutuskan antara lain TAP MPRS XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno (mulai berlaku surut sejak 20 Februari 1967) karena mulai tanggal tersebut Soekarno telah mengundurkan diri menghindari pemakzulan MPRS. Dengan TAP MPRS ini pula Jenderal Soeharto

Page 20: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

9

diangkat sebagai pejabat presiden. Ini setelah 17 tahun jabatan presiden hanya dipegang seseorang tanpa pemilihan, kecuali malahan diangkat sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS bentukannya. Demikian pula gelar Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dicabut oleh TAP MPRS NO. XXXV/MPRS/1967. Termasuk meluruskan pengertian mandataris yang banyak disalahgunakan presiden itu (Fatwa, 2009:220).

Setelah melalui empat tahap kudeta merangkak tersebut, pada Sidang Umum

MPRS ke-5 tahun 1968, Soeharto berhasil terpilih sebagai Presiden RI yang kedua.

Soeharto dilantik menjadi Presiden RI yang kedua pada tanggal 27 Maret 1968

(Pambudi, 2009: 168).

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa selama masa pemerintahan

Presiden Soeharto hanya diperbolehkan beredar satu versi cerita tentang PKI, yaitu PKI

sebagai dalang G30S. Hal serupa juga dipaparkan oleh Eros Djarot (2006b: 107) yang

mengatakan,

"Sepanjang pemerintahannya, Soeharto berusaha terus meneriakkan bahaya laten PKI. Orang menuntut soal tanah dituding PKI. Tengok saja ketika warga Kedung Ombo memprotes harga ganti rugi tanah, Soeharto langsung menanggapinya dengan mengatakan bahwa di antara mereka terdapat oknum-oknum PKI."

Lewat berbagai kuasa yang dimilikinya sebagai seorang Presiden, Soeharto

mendoktrin seluruh masyarakat Indonesia bahwa PKI itu kejam. Ditambah lagi,

masyarakat juga diancam dengan adanya dwifungsi ABRI yang diberi kuasa dan

wewenang untuk menumpas siapa saja yang dianggap PKI atau mengancam kedudukan

Soeharto sebagai Presiden. Tak heran jika selama rezim orde baru, kasus G30S yang

mengkambinghitamkan PKI ini tidak bisa terselesaikan (Djarot, 2006b: 107-108).

Setidaknya, ada dua istilah yang terkenal dan sangat ditakuti masyarakat saat

kepemimpinan Soeharto, yaitu petrus (penembak misterius) dan penghilangan paksa

(involuntary disappearance). Petrus ini terjadi sekitar tahun 1980-an, di mana orang-

Page 21: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

10

orang yang diindikasikan sebagai penjahat / kriminal (memiliki tato di badannya), akan

ditembak (entah dari mana tembakan itu, sehingga penembaknya tidak diketahui, atau

misterius) di tengah-tengah keramaian dan jasadnya dibiarkan begitu saja sehingga

dilihat oleh orang banyak. Soeharto menyebutnya sebagai shock therapy agar

masyarakat takut dan tidak berani berbuat macam-macam (Abdulgani-Knapp, 2007).

Sedangkan penghilangan paksa adalah menculik orang-orang yang dianggap

dapat menghalangi, menghambat, atau mengancam kekuasaan Soeharto. Kasus

penghilangan paksa ini dimulai dari kasus G30S 1965 sendiri, di mana menghilangkan

secara paksa tujuh jenderal yang dianggap saingan Soeharto di Angkatan Darat,

kemudian dilanjutkan dengan beberapa kasus seperti di Tanjung Priok (1984), di

Talangsari, Lampung (1989), dan penculikan aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997-

1998 (Hamid, 2007).

Dalam wawancara pada tanggal 19 Desember 2013, Asvi Warman Adam,

sejarawan Indonesia, menuturkan,

"Kekuasaan itu kan diberikan secara penuh kepada Soeharto kan tahun 68, tetapi stigma itu kan diawetkan. Saya menganggap PKI ini bukan hanya dianggap sebagai lawan atau musuh politik, tetapi juga untuk kepentingan lain, sebagai alat pemukul politik. Ini dipelihara sehingga orang yang bukan PKI, yang kritis terhadap pemerintah, itu nanti kan gampang, di cap PKI gitu. Yang kedua ini untuk keperluan praktis, untuk membeli tanah dengan harga murah, kalau mereka tidak mau, nanti di cap PKI gitu.

Jadi kan digunakan sepanjang kekuasaannya, bukan hanya tahun 65 saja, bahkan sampai tahun 98. Jadi untuk dua keperluan tadi, yaitu memukul lawan politik, dan keperluan praktis membeli tanah dengan murah.

Dan itu diawetkan stigma itu dengan monumen-monumen yang dibangun selama orde baru. Monumen Pancasila Sakti itu dibangun pada awal, tapi kita tahu Museum Penghianatan PKI itu baru dibangun tahun 93 di Lubang Buaya juga. Di Gatot Soebroto ini dibangun museum Waspada Purwawisesa namanya, itu museum yang dibangun untuk mengingatkan tentang bahaya dari kelompok Islam radikal. Jadi sepanjang orde baru diciptakan terus itu monumen-monumen, jadi tidak berhenti tahun 66, tapi sepanjang itu ada saja monumen, buku yang dikeluarkan gitu, buku putih setneg (Sekretariat Negara) itu kan tidak dikeluarkan tahun 65-66, 90-an malah itu, jadi artinya sepanjang kekuasaannya selalu dilestarikan stigma itu."

Page 22: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

11

Meski Soeharto sudah turun dari jabatannya sebagai presiden sejak 21 Mei 1998

dan sudah banyak pula buku-buku dan tulisan-tulisan yang menceritakan versi lain dari

peristiwa G30S, kasus itu tidak selesai begitu saja. Masih banyak kelompok masyarakat

dan pemuka agama yang masih menganggap PKI berbahaya (Adam, 2009: 159).

Beberapa contoh dari buku dan tulisan yang menceritakan versi lain dari

peristiwa pembantaian massal pasca-G30S 1965 antara lain adalah Palu Arit di Ladang

Tebu tulisan Hermawan Sulistyo, Gangsters and Revolutionaries oleh Robert Cribb,

dan The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali buatan Geoffrey Robinson.

Pada tahun 2000, Majalah Tempo sendiri mengeluarkan artikel berjudul,

ISLAM, MAAF, DAN PKI, di situ tertulis, "MENGAPA kalangan Islam menolak usul

Gus Dur untuk mencabut Ketetapan MPRS XXV/66? Mengapa mereka menyesalkan

usulan Gus Dur untuk minta maaf kepada PKI?" TAP MPRS XXV/66 sendiri berisi

tentang pelarangan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya.

Dengan dicabutnya TAP MPRS XXV/66 ini, berarti PKI boleh berorganisasi lagi di

Indonesia. Artikel tersebut membuktikan bahwa upaya rekonsiliasi antara pihak korban

dan pelaku tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965 belum tercapai.

Upaya dari para aktivis pembela hak asasi manusia (HAM) di Indonesia untuk

mengungkap kebenaran masa lalu, termasuk kasus G30S ini sudah dimulai sejak tahun

1999. Mereka meminta pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

(KKR) beserta undang-undangnya. Namun gagasan mereka tidak berjalan mulus,

banyak pihak yang menolak gagasan tersebut dengan berbagai alasan, demi

kepentingannya masing-masing. Terutama fraksi TNI/Polri yang tidak ingin aib

perbuatan mereka di masa lampau terungkap. Akhirnya, pembentukan KKR baru dapat

Page 23: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

12

terwujud pada 7 September 2004, dengan disahkannya UU No.27 Tahun 2004 tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh DPR (Sumarwan, 2007: 215-218).

Dibentuknya Komisis Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia ini tidak

terlepas dari berhasilnya beberapa penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang ada

di luar negeri. Misalnya di Chile, dengan kasus hilangnya 600 orang pada masa

pemerintahan Jenderal Pinochet. Selain itu, ada pula penyelesaian kasus pelanggaran

berat hak asasis manusia di Argentina yang diselesaikan dengan membentuk Komisi

Nasional untuk Orang Hilang (Sujatmoko, 2005: 8).

Penyelesaian kasus pelanggaran berat hak asasi manusia lain yang dapat

dijadikan panutan adalah dibentuknya Pengadilan Pidana Internasional untuk

menyelesaikan kasus pembantaian dan penghilangan etnis muslim di Bosnia dan

tragedi Rwanda. Perangkat hukum acaranya menggunakan Statuta Roma. Statuta Roma

adalah adalah perjanjian yang ditetapkan oleh Pengadilan Kriminal Internasional

(International Criminal Court). Perjanjian ini diadopsi pada konferensi diplomatik di

Roma pada tanggal 17 Juli 1998 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002. Statuta

Roma dibuat untuk melakukan pengadilan bertaraf internasional yang bertujuan untuk

mengadili semua pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat dari negara mana saja

yang menandatangani atau meratifikasi Statuta Roma tersebut (Lubis, 2005: 3-4).

Kembali ke Indonesia, belum sempat menyelesaikan tugasnya, kewenangan

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK)

dengan Putusan MK No.006/PUU-IV/2006 yang mencabut UU No. 27 Tahun 2004

tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Gultom, 2010: 308). Ketua Mahkamah

Konstitusi saat itu, Jimly Asshiddiqie (dalam laman Tempo, 2006: Undang-Undang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dibatalkan) mengatakan, "Kewenangan Komisi

Page 24: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

13

Kebenaran dan Rekonsiliasi terkesan tidak pasti karena tidak memiliki daya ikat."

Dengan dibatalkannya UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi ini, Asmara Nababan (dalam laman Tempo, 2006: Undang-Undang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dibatalkan) berpendapat, "keputusan ini

mengembalikan posisi pengungkapan masalah HAM berat di masa lalu ke titik nol."

Oleh pihak yang berkuasa (dalam hal ini pemerintah) sengaja memberikan

diskriminasi berupa pemberian kode-kode khusus dalam kartu tanda penduduk (KTP)

seperti ET (eks-tapol) dan OT (organisasi terlarang) pada orang-orang yang terlibat

baik secara langsung maupun tidak langsung dengan PKI (Sumarwan, 2007: 100 dan

151). Diskriminasi tersebut akhirnya dihapuskan oleh Putusan MK,

"Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) mengabulkan permohonan pengujian UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945 yang oleh pemohon dianggap mengandung unsur diskriminasi. Dalam putusan yang dibacakan 24 Februari 2004, eks anggota PKI mendapatkan kembali hak politiknya sebagai warga negara untuk dipilih menjadi anggota legislatif. Oleh banyak kalangan putusan MK itu dipahami sebagai pemulihan hak-hak politik eks PKI yang selama rezim Orde Baru diperlakukan secara diskriminatif."

Dari artikel Penantian Panjang Korban Pelanggaran HAM yang tertulis dalam

situs resmi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), diakui bahwa

pemerintah dan DPR memang dirasa kurang serius dalam menyelesaikan kasus-kasus

pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus G30S 1965 silam. DPR

pun bahkan terkesan dijadikan benteng perlindungan bagi para pelanggar HAM masa

lalu. Ditambahkan, "Peran Komnas HAM pun kini semakin penting semenjak

dibatalkannya UU KKR oleh MK tersebut." Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat

disimpulkan bahwa orang-orang yang memiliki kuasa di negeri ini, justru memakai

kekuasaannya untuk melindungi diri mereka atau kelompoknya sendiri, bukan untuk

kepentingan rakyat.

Page 25: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

14

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafi'i Ma'arif (dalam

Kasemin, 2004: 114) membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan bahwa rekonsiliasi

sulit diwujudkan karena ada masalah intern elite, yaitu perbedaan kepentingan dari para

elite politik di Indonesia, yang membela kepentingannya masing-masing.

Untuk mengenang peristiwa G30S 1965, tahun 2012 lalu Majalah Tempo

mengeluarkan edisi khusus seputar G30S berjudul, Pengakuan Algojo 1965. Selain

menyajikan berbagai pengakuan dari para pembunuh orang-orang yang dituduh PKI,

edisi ini juga mengulas tentang film dokumenter buatan sutradara Joshua Oppenheimer

yang berjudul, Jagal, atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan judul, The Act of

Killing.

Pada tahun 2012 lalu pula, Majalah Tempo mendapatkan penghargaan Yap

Thiam Hien Award 2012. Yayasan Yap Thiam Hien sendiri dikenal sebagai yayasan

yang memang memfokuskan diri untuk menegakkan hak asasi manusia (HAM). Dari

situs resmi Yayasan Yap Thiam Hien, terdapat artikel berjudul, Majalah Tempo Raih

Yap Thiam Hien Award 2012 (http://tinyurl.com/m6b9bf2). Dari artikel tersebut, ketua

Yayasan Yap Thiam Hien, Todung Mulya Lubis menjelaskan, "karena Tempo tampil

sebagai majalah yang memiliki komitmen lebih dalam isu-isu penegakan keadilan dan

Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia."

Tempo juga sempat mengalami pembredelan oleh pemerintah sebanyak dua

kali, yaitu pada tahun 1982 dan tahun 1994. Alasan kedua pembredelan itu karena

Majalah Tempo dianggap terlalu tajam mengkritik pemerintahan Soeharto.

Penulis melihat, melalui edisi khusus ini, Majalah Tempo ingin menawarkan

rekonsiliasi antara pelaku dan korban dari tragedi G30S. Meski sudah terbit setahun

Page 26: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

15

lalu, penulis berpendapat bahwa topik ini masih layak diangkat karena hingga sekarang

belum ada pihak yang berhasil mewujudkan rekonsiliasi tersebut dan kasus

pembantaian massal pasca-G30S ini pun juga belum tuntas hingga saat ini.

1.2 Perumusan Masalah

Dengan mengacu pada latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya

adalah:

a. Bagaimana Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khususnya

kali ini?

b. Mengapa Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khususnya kali

ini?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, penelitian ini mempunyai

tujuan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam

edisi khususnya kali ini.

b. Untuk mengetahui mengapa Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam

edisi khususnya kali ini.

Page 27: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

16

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis:

Bagi penulis, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan, serta

lebih mengerti dan memahami teori-teori yang didapat selama proses

perkuliahan dimana berhubungan dengan komunikasi. Selain itu, diharapkan

penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan terhadap teori-teori yang

sudah ada, agar dapat beradaptasi dengan perubahan kondisi sosial masyarakat

yang terus berubah secara dinamis karena perkembangan teknologi komunikasi

yang sangat pesat saat ini.

1.4.2 Manfaat praktis:

Untuk para akademisi, terutama praktisi jurnalistik, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana cara mewacanakan

suatu hal dalam media massa. Untuk masyarakat, dengan adanya penelitian ini

diharapkan dapat melihat wacana apa yang dituliskan oleh media massa dalam

setiap pemberitaannya.

Page 28: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

17

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Penelitian Terdahulu

Sebuah penelitian yang baik akan merujuk pada hasil dari penelitian-penelitian

sebelumnya yang memiliki fokus penelitian yang sama. Maka dari itu, akan

dicantumkan beberapa tinjauan pustaka dari penelitian yang telah dilakukan oleh

peneliti-peneliti terdahulu.

Penelitian terdahulu pertama, penulis ambil dari skripsi yang dibuat oleh kakak

kelas penulis di Universitas Multimedia Nusantara, Randy Hernando, berjudul,

Konstruksi Realitas Peranan Tentara dalam Pembantaian Massal Pascagerakan 30

September 1965. Penulis mengambil skripsi tersebut sebagai rujukan penulis karena

sama-sama meneliti dari sumber yang sama, yaitu dari Majalah Tempo edisi khusus 1-7

Oktober 2012.

Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Randy dan penulis adalah,

Randy menggunakan metode framing, sedangkan penulis akan menggunakan metode

analisis wacana kritis. Penelitian yang dilakukan oleh Randy juga sangat detail dan

mendalam, ada 12 berita yang dijadikan unit analisisnya.

Dalam penelitiannya Randy menyimpulkan bahwa, Majalah Tempo

menggambarkan tentara sebagai representasi negara menjadi pihak yang memiliki

peranan besar dalam pembantaian massal pascagerakan G-30-S. Pihak tentara

Page 29: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

18

melakukan propaganda dan pemanfaatan isu agama serta ancaman terhadap negara

menjadi cara ampuh menggerakan massa untuk bersama menumpas PKI.

Penelitian lain yang penulis ambil adalah, Analisis Wacana Van Dijk Terhadap

Berita "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" di Majalah Pantau yang dibuat oleh Tia

Agnes Astuti dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Penulis mengambil

skripsi tersebut karena menggunakan metode yang sama dengan penulis, yaitu Analisis

Wacana Van Dijk. Penelitian tersebut memang bukan membahas tragedi G30S 1965,

namun membahas peristiwa yang serupa, yaitu tragedi yang terjadi di Simpang Kraft,

Aceh. Peristiwa tersebut juga merupakan tragedi berdarah di mana para tentara

menembaki rakyat sipil yang tidak bersalah. Pembahasan yang dilakukan oleh Tia juga

cukup mendalam dan memenuhi tiga tingkat analisis wacana kritis, sehingga penulis

berpendapat bahwa skripsi ini dapat penulis jadikan acuan bagi penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

Meski topiknya berbeda, penulis dapat menggunakan skripsi ini sebagai rujukan

dan bahan referensi, seperti apa menganalisis dengan metode analisis wacana kritis

milik Teun A. van Dijk ini. Dari penelitian ini, penulis dapat mengetahui lebih jelas

tentang bagaimana melihat atau mengetahui sebuah leksikon, metafora, dan lainnya,

unsur-unsur yang terdapat dalam analisis teks metode analisis wacana kritis van Dijk.

Dalam skripsi yang penulis buat ini, terdapat persamaan dan perbedaan dengan

penelitian terdahulu yang penulis rujuk di atas. Persamaan dengan penelitian Randy

Hernando adalah penulis dan Randy sama-sama meneliti isi dari Majalah Tempo Edisi

Khusus 1-7 Oktober 2012, sedangkan dengan Tia, penulis sama-sama menggunakan

metode analisis wacana Van Dijk.

Page 30: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

19

Namun tentunya juga terdapat perbedaan antara penelitian penulis dengan

penelitian mereka. Penulis meneliti unit analisis yang berbeda dengan Randy, meski

berasal dari majalah yang sama, dan penulis juga meneliti topik yang berbeda dengan

Tia, sekali pun metode yang digunakan sama.

Penelitian yang penulis kerjakan ini menyajikan hal yang berbeda dari kedua

penelitian terdahulu yang penulis paparkan di atas. Penulis menggunakan metode

analisis wacana Van Dijk yang digunakan oleh Tia, untuk menganalisis wacana yang

ada dalam Majalah Tempo Edisi Khusus 1-7 Oktober 2012 yang digunakan oleh

Randy.

2.2 Teori dan Konsep-Konsep yang Digunakan

2.2.1 Wacana

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia wacana berarti satuan bahasa

terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti

novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah.

Menurut Hasan Alwi (1993) wacana adalah rentetan kalimat yang

berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat

itu. Dari kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa wacana berarti

kumpulan atau kesatuan dari kalimat-kalimat yang membentuk atau memiliki

suatu makna atau arti tertentu.

Dalam buku The Archaeology of Knowledge (L'Archéologie du savoir)

Michel Foucault (2002) menyatakan bahwa,

Page 31: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

20

"discourse describes an entity of sequences, of signs, in that they are enouncements. An enouncement is not a unit of semiotic signs, but an abstract construct that allows the signs to assign and communicate specific, repeatable relations to, between, and among objects, subjects, and statements. Hence, a discourse is composed of semiotic sequences (relations among signs) between and among objects, subjects, and statements."

"wacana menggambarkan suatu entitas urutan, entitas tanda-tanda dalam sebuah pernyataan. Pernyataan yang dimaksud bukanlah unit tanda-tanda semiotik, tetapi sebuah konstruk abstrak yang memungkinkan tanda-tanda untuk menetapkan dan berkomunikasi secara spesifik, hubungan berulang untuk, antara, dan di tengah obyek, subyek, dan pernyataan. Oleh karena itu, wacana terdiri dari urutan semiotik (hubungan antara tanda-tanda) antara dan di tengah obyek, subyek, dan pernyataan."

Jadi, wacana adalah sebuah pernyataan baik berupa lisan maupun tulisan

yang terdiri dari tanda-tanda, simbol-simbol, serta makna-makna tertentu yang

dirangkai sedemikian rupa dan dibuat karena memiliki tujuan tertentu sesuai

dengan kehendak pembuatnya. Dan biasanya tujuannya tersebut cenderung

ke arah untuk memperoleh, mempertahankan atau menentang kekuasaan.

2.2.2 Analisis Wacana

Dikutip dari buku Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of

Natural Language karangan Michael Stubbs (1983:1),

"Roughly speaking, it (discourse analysis) refers to attempts to study the organization of language above the sentence or above the clause, and therefore to study larger linguistic units, such as conversational exchanges or written texts."

"Secara kasar, itu (analisis wacana) merujuk pada upaya untuk mempelajari organisasi dari bahasa di atas kalimat atau di atas klausa, dan karena itu untuk mempelajari unit linguistik yang lebih besar, seperti pertukaran percakapan atau teks tertulis."

Page 32: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

21

Dari kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis wacana

mengacu pada upaya untuk mempelajari organisasi bahasa di atas kalimat atau

di atas klausa, itu berguna untuk mempelajari unit linguistik yang lebih besar,

seperti pada percakapan langsung maupun teks tertulis.

Sedangkan menurut Sarwiji Suwandi (2008: 146) analisis wacana adalah

kajian tentang aneka fungsi bahasa atau penggunaan bahasa sebagai sarana

komunikasi. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambungan wacana. Dari

keduanya, dapat kita simpulkan bahwa analisis wacana berarti mempelajari

penggunaan bahasa dari unit yang terkecil (penggunaan kata, klausa, dan

seterusnya) untuk menemukan makna keseluruhannya (wacananya).

Jadi ringkasnya, analisis wacana memperhatikan pemakaian bahasa

dalam konteks sosial, terutama interaksi di antara para penutur (Stubbs dalam

Arifin, 2010: 106).

2.2.3 Analisis Wacana Kritis

"Instead of focusing on purely academic or theoretical problems, it

starts from prevailing social problems, and thereby chooses the prespective of

those who suffer most" (Van Dijk dalam Wodak, 2001). Terjemahan: daripada

berfokus pada akademik murni atau masalah teoritis, itu berawal dari

mengungkapkan masalah sosial, dan untuk itu memilih perspektif dari yang

paling menderita.

Dari kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa analisis wacana kritis tidak

berangkat dari teori akademis murni, melainkan dari masalah sosial yang

Page 33: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

22

terjadi di masyarakat, diawali dengan pihak yang paling menderita. Melihat

siapa yang sedang berkuasa, bagaimana ia menggunakan kekuasaannya, dan

siapa yang bertanggung jawab atau yang bisa mempunyai kemampuan untuk

menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada.

Dalam artikel berjudul AWK untuk Menemukan Ideologi yang

Tersembunyi yang terdapat di situs Universitas Sriwijaya, Prof. Dr. Mulyadi

Eko Purnomo, M.Pd. menyatakan pentingnya analisis wacana kritis (AWK)

untuk mengetahui ideologi suatu media, "Tujuan AWK adalah untuk

menemukan ideologi yang tersembunyi di balik suatu wacana, teks, atau

pemakaian bahasa secara publik."

Dalam penerapanya, kata Purnomo, AWK dapat diterapkan untuk

analisis wacana media massa, analisis wacana politik, dan analisis wacana

pembelajaran. Lebih lanjut Purnomo mengatakan, dalam media massa terdapat

ideologi tersembunyi dari pemilik media itu. Pemilik mengusai seluruh kegiatan

produksi, distribusi sampai konsumsi media. Media massa sebagai saluran

komunikasi politik dan sosial masyarakat menjadi produsen informasi politik

dan sosial yang harus setia kepada 'pemilik' informasi. Media massa tidak ada

yang benar-benar netral.

Purnomo menguraikan, bahwa media massa berada di bawah

kepemilikan perorangan atau organisasi, dikelola oleh sekelompok pengelola,

dan akhirnya dibaca oleh kelompok pembaca tertentu pula. Dalam setiap

kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi informasi, terdapat kepentingan

yang harus dipenuhi oleh media massa. Dalam rangka pemenuhan kepentingan

inilah yang membuat media massa menjadi tidak benar-benar netral, tetapi

Page 34: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

23

berpihak. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa isi media massa memang

tidaklah netral.

2.2.4 Ideologi

Ideologi adalah seperangkat gagasan yang merupakan tujuan, harapan,

dan tindakan seseorang atau kelompok. Ideologi adalah visi yang komprehensif,

cara melihat berbagai hal dalam kecenderungan filosofis, atau seperangkat ide-

ide yang diusulkan oleh kelas dominan masyarakat untuk semua anggota

masyarakatnya (Kennedy, 1979).

Salah seorang pengikut Marx, Louis Althusser (dalam Zizeg, 2012: 123)

mengungkapkan dua tesis mengenai ideologi. Pertama, “Ideology represents

the imaginary relationship of individuals to their real conditions of existence.”

Terjemahan dari tesis pertama ini adalah ideologi merepresentasikan relasi

imajiner seorang individu pada kondisi eksistensi riil mereka. Jadi, tesis ini

menawarkan anggapan familiar di kalangan pengikut Marxis bahwa ideologi

memiliki fungsi untuk menutupi susunan eksploitatif yang didasarkan pada

kelas sosial.

Tesis kedua, “Ideology has a material existence.” Terjemahannya adalah

ideologi memiliki eksistensi material. Tesis kedua ini memposisikan bahwa

ideologi tidak berada dalam bentuk ide atau representasi kesadaran dalam

”pikiran” seorang individu, melainkan nyata dalam perilaku.

Selain itu, Althusser juga mengakui peranan dari apa yang disebutnya

sebagai Repressive State Apparatus (Laughey, 2007: 60). Ketika individu dan

Page 35: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

24

kelompok menjadi ancaman bagi penguasa dominan, negara akan melibatkan

Repressive State Apparatus. Yang dimaksudkan Althusser dengan Repressive

State Apparatus adalah penguasa yang melibatkan aparat militer yang

melakukan tindakan tindakan represif untuk mengekalkan hegemoni kekuasaan.

Althusser berpendapat bahwa individu dalam masyarakat kapital

dikuasai oleh ideological state apparatuses (ISAs), termasuk sekolah, sistem

hukum, institusi agama, media komunikasi dan seterusnya. ISAs mendukung

ideologi lembaga politik yang kuat seperti pemerintah dan militer, baik dengan

cara implisit maupun eksplisit, dan terkadang tanpa diketahui. Dengan

demikian, individu menginternalisasi ideologi kekuasaan kapitalis, tidak

menyadari bahwa hidup mereka ditindas oleh lembaga yang melayani atau

mempekerjakan mereka.

Jadi intinya, dapat disimpulkan bahwa ideologi adalah nilai-nilai

mendasar yang dianut oleh seseorang atau pihak tertentu, yang akan menjadi

dasar atas segala pola pikir, perasaan dan tindakan yang akan dilakukannya.

2.2.5 Komunisme

Komunis adalah penghapusan segala kepemilikan pribadi. Bahkan,

dalam praktik selanjutnya, kepemilikan pribadi ini bukan hanya yang berupa

harta, melainkan juga berupa kebebasan (Zazuli, 2009)

Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, Miriam Budiardjo (2008: 139)

menceritakan bahwa munculnya paham komunisme ini adalah pada abad ke-19,

di mana kondisi sosial yang merugikan kaum buruh di Eropa Barat, seperti upah

Page 36: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

25

murah, jam kerja panjang, keselamatan dan kesehatan buruh tidak diperhatikan,

dan sebagainya.

Komunisme sebenarnya berbeda dengan Marxisme. Ajaran asli Karl

Marx yang dibakukan menjadi Marxisme, lebih menekankan kepada perbaikan

sistem sosial masyarakat, sedangkan komunisme lebih cenderung kepada

gerakan dan kekuatan partai-partai komunis dalam bidang politik (Suseno,

2005: 5).

Jadi, paham komunisme sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian

banyak paham yang ada, seperti liberalisme, demokratis, dan sebagainya.

Paham ini muncul karena untuk memberi rasa keadilan bagi kaum buruh di

Eropa Barat yang nasibnya tidak diperhatikan oleh kaum borjuis pada masanya.

Di Indonesia sendiri, paham komunisme sudah ada dan berkembang

sejak awal abad ke-20. Pada tahun 9 Mei 1914, Hendricus Josephus Franciscus

Marie Sneevliet atau Henk Sneevliet mendirikan Indische Sociaal

Democratische Vereniging (ISDV) atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia

Belanda. ISDV menjalin hubungan yang cukup erat dengan Serikat Islam (SI),

yang sama-sama bertujuan untuk membela rakyat kecil (McVey, 2006: 14-15).

Pada Oktober 1915, ISDV menerbitkan surat kabarnya, Het Vrije

Woord, yang berisikan tentang pandangan-pandangan ISDV. Bersama dengan

Sneevliet, Adolf Baars menjadi editor surat kabar tersebut. Untuk

memperbanyak pembacanya, pada tahun 1917 Baars membuat surat kabar

berbahasa Indonesia, Soeara Merdika (Suara Merdeka). Meski Soeara Merdika

Page 37: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

26

ditutup setahun setelah terbit, Baars tidak putus asa. Ia menerbitkan surat kabar

baru pada Maret 1918, Soeara Ra'jat (Suara Rakyat) (McVey, 2006: 17).

Seiring berjalannya waktu, terjadi ketidaksepahaman tentang antara

ISDV dan SI tentang apa itu sosialisme. Perpecahan itu membuat ISDV pada

tanggal 23 Mei 1920 mengganti namanya menjadi Partai Komunis Indonesia

(PKI), yang merupakan partai komunis pertama di Asia, di luar kendali

kerajaan Rusia. (McVey, 2006: 47)

2.2.6 Rekonsiliasi

Syamsul Hadi (2007: 37) mengatakan, "Rekonsiliasi perlu dilakukan

jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah

rapuhnya kohesi sosial karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam

dinamika sejarah komunitas tersebut." Salah satu cara untuk mewujudkan

tercapainya rekonsiliasi adalah dengan mencari kata sepakat tentang masa

depan kedua belah pihak yang bertikai tersebut.

Dalam makalah berjudul Hak Asasi Manusia dan Kehidupan Berbangsa

yang ditulis oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

(MPR RI), Sidarto Danusubroto di situs resmi ELSAM (Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat) (http://tinyurl.com/lof5xcv), disebutkan bahwa

rekonsiliasi dapat ditempuh melalui langkah-langkah seperti pengungkapan

kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan

hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk

Page 38: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

27

menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa

keadilan dalam masyarakat (Danusubroto, 2013: 3).

Dalam Makalahnya, Danusubroto juga mengatakan,

"Sesungguhnya bangsa yang besar dan bergerak maju adalah bangsa yang berdamai dengan masa lalu. Agar dapat berdamai dengan masa lalu, kita harus berjiwa besar untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada para korban HAM demi terwujudnya rekonsiliasi."

Ia menyimpulkan, bahwa rekonsiliasi penting diwujudkan guna

membawa Bangsa Indonesia menuju ke masa depan yang lebih baik dengan

meninggalkan dendam politik dan trauma masa lalu (Danusubroto, 2013: 4-6).

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafi'i Ma'arif

(dalam Kasemin, 2004: 114) menyimpulkan bahwa ada dua penyebab mengapa

rekonsiliasi sulit diwujudkan. Yang pertama adalah masalah elite politik yang

saling membela kepentingannya sendiri. Kedua, kualitas masyarakat yang masih

rendah atau menunjukkan sikap ketidakdewasaan, sehingga di antara

masyarakat sendiri tidak mau saling memaafkan dan mau saling menang

sendiri.

2.2.6.1 Rekonsiliasi Mikro

Rekonsiliasi mikro adalah rekonsiliasi antara sesama

masyarakat (secara horizontal). Sesama masyarakat di sini berarti antara

masyarakat yang andil sebagai pelaku pembantaian massal pasca-G30S

1965, dengan mereka yang menjadi korban (atau keluarga korban) dari

tragedi pembunuhan massal pasca-G30S 1965. Rekonsiliasi ini berguna

untuk memulihkan trauma psikologis dan mental korban.

Page 39: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

28

Rekonsiliasi mirko secara horizontal ini dapat terjadi jika para

pelaku mau mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada para

keluarga korban, lalu jika dibutuhkan, pelaku tersebut dapat

memberitahukan nasib terakhir anggota keluarga mereka yang menjadi

korban, seperti kapan dibunuh dan di mana jasadnya berada.

Diharapkan, dengan diketahuinya nasib anggota keluarga mereka

yang hilang, keluarga korban kini dapat ikhlas memaafkan para pelaku,

dan pulih dari trauma yang menghantui mereka selama ini.

2.2.6.2 Rekonsiliasi Makro

Rekonsiliasi makro adalah rekonsiliasi antara pemerintah dan

masyarakat (secara vertikal). Pemerintah yang dimaksud adalah semua

pihak yang terkait dalam kasus pembantaian massal pasca-G30S 1965

tersebut. Pihak-pihak tersebut antara lain Angkatan Darat yang terlibat

langsung sebagai pelaku pembantaian massal pasca-G30S 1965,

Presiden sebagai kepala negara yang seharusnya bisa menggunakan

kekuasaannya untuk menyelesaikan kasus ini, Mahkamah Konstitusi

yang telah membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta

Mahkamah Agung yang menelantarkan berkas hasil investigasi Tim

Pengkaji Pelanggaran HAM Berat Soeharto (sumber: wawancara dengan

Asvi Warman Adam).

Rekonsiliasi makro ini berguna untuk dan menutupi lubang-

lubang sejarah sekaligus meluruskan sejarah Bangsa Indonesia yang

Page 40: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

29

masih gelap dan belum terungkap kebenarannya sampai saat ini. Selain

itu, oleh negara pula, hak-hak para korban dan keluarganya sebagai

Warga Negara Indonesia dapat dipulihkan secara utuh, sehingga mereka

dapat merasakan kesempatan yang sama dalam bidang politik, ekonomi,

dan lainnya, tidak ada lagi diskriminasi atau perbedaan perlakuan.

2.3 Kerangka Pemikiran

Berikut kerangka pemikiran penulis menggunakan analisis wacana kritis Teun

A. van Dijk mengenai wacana rekonsiliasi dalam Majalah Tempo Edisi Khusus 1-7

Oktober 2012.

Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran

Tulisan-tulisan dalam Majalah Tempo Edisi Khusus

1-7 Oktober 2012 mewacanakan rekonsiliasi

Analisis Sosial Kognisi Sosial

Analisis Teks

Analisis Wacana Kritis Teun A. van Dijk

Analisis Wacana Kritis

Wacana sebagai relasi sosial, praktik sosial, dan produksi gagasan atau pandangan tertentu

Wacana rekonsiliasi disampaikan Majalah Tempo Edisi Khusus 1-7 Oktober 2012

Isu rekonsiliasi antara pelaku dan korban dalam tragedi pasca-G30S 1965

Page 41: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

30

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sifat Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan secara kualitatif

deskriptif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kualitatif berarti berdasarkan mutu

atau kualitas. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan

penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan

prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran) (Strauss,

1997).

Newman (dalam Semiawan, 2010: 80) memaparkan perbedaan antara

perbedaan kuantitatif dan kualitatif sebagai berikut:

Kuantitatif Kualitatif

Mengukur fakta obyektif Mengkonstruksi realitas sosial

Fokus pada variabel Fokus pada proses interaktif

Kuncinya reliabilitas Kuncinya autentisitas

Bebas nilai Perkuat nilai

Bebas dari konteks Tergantung pada konteks

Banyak subyek dan kasus Sedikit subyek dan kasus

Analisis statistik Tematis

Peneliti agak terpisah Peneliti terlibat

Tabel 3.1 Perbedaan kuantitatif dan kualitatif

Page 42: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

31

Dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak melakukan manipulasi atau kontrol

terhadap variabel-variabel penelitian tertentu, tetapi mamperlakukan apa adanya dan

memandangnya sebagai satu kesatuan yang utuh (Pawito, 2007: 101).

Lebih lengkap, Pawoto (2007: 103) menjelaskan,

"di sini, peneliti menangkap gejala (mengumpulkan data), mengupayakan validitas dan reliabilitas, kemudian menganalisisnya dengan memilah-milah dan membuat kategori-kategori atau tema-tema tertentu, melakukan reduksi data, memberikan makna-makna atau mengemukakan interpretasi-interpretasi tertentu dengan mengacu pada pandangan-pandangan teoritik tertentu, dan baru kemudian peneliti menarik kesimpulan-kesimpulan. Dalam hal ini peneliti disarankan untuk membandingkan, menghubung-hubungkan, mempertentangkan, "kesan subyektif" yang diperoleh dari data yang dikumpulkan di satu pihak dengan temuan atau pandangan teoritik dari peneliti lain yang dimunculkan dalam telaah pustaka dengan tetap mempertimbangkan konteks (seting dan akar sejarah) dari temuan atau teori yang dirujuk."

Dapat disimpulkan, hasil penelitian kualitatif memang merupakan hasil

penilaian dari sang peneliti sendiri, namun hasil itu bukanlah hasil yang subyektif.

Hasil penelitian kualitatif diolah sedemikian rupa agar data tersebut valid dan dapat

dipercaya.

Kemudian, dari Kamus Besar Bahasa Indonesia pula, kata deskripsi sendiri

berarti pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci;

uraian. Dengan ditambah imbuhan -if, berarti menjadi kata sifat. Sedangkan kata

deskriptif itu adalah bersifat deskripsi; bersifat menggambarkan apa adanya.

Deskriptif berarti menggambarkan suatu hal / fenomena secara rinci dan detail,

berbeda dengan eksplanatif yang umumnya berusaha untuk menjelaskan bagaimana

dan mengapa suatu hal / fenomena tersebut terjadi (Bailey, 2008: 40). Selain itu,

Creswell (2007: 286) menyatakan bahwa deskriptif berarti mendeskripsikan fenomena

atau gejala yang diteliti apa adanya.

Page 43: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

32

Penelitian kualitatif deskriptif ini berfokus pada hubungan sosial, hubungan

timbal balik, fenomena sosial, dan hal-hal lain yang terkait dengan ilmu-ilmu sosial

(Parse, 2001: 58). Jadi, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif deskriptif ini

adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap dan apa

adanya, tentang pola dan tema dari suatu fenomena sosial yang terjadi (Parse, 2001:

57). Dalam penelitian ini berarti penulis akan menggambarkan secara mendalam hasil

analisis wacananya, baik dari tingkat analisis teks, kognisi sosial, dan analisis sosial.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis wacana kritis.Van

Dijk (1988: 24) menyatakan, analisis wacana merupakan proses analisis terhadap

bahasa dan penggunaan bahasa dengan tujuan memperoleh deskripsi yang lebik

eksplisit dan sistematis mengenai apa yang disampaikan.

Paradigma kritis berangkat dari cara melihat realitas dengan mengasumsikan

bahwa selalu saja ada struktur sosial yang tidak adil. Dengan begitu dari setiap fakta

dan data yang ditemukan, tidak akan dipercaya begitu saja namun akan diteliti dan

ditelusuri secara mendalam dari mana dan dari siapakah fakta dan data itu berasal dan

adakah bukti atau argumen yang cukup kuat untuk mempercayai informasi tersebut

(Fiske, 2010).

Dari bukunya Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language,

Norman Fairclough (1995) menyatakan bahwa, "Critical discourse analysis (CDA) is

an interdisciplinary approach to the study of discourse that views language as a form

Page 44: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

33

of social practice and focuses on the ways social and political domination are

reproduced in text and talk."

Terjemahan: analisis wacana kritis adalah pendekatan interdisipliner untuk

mempelajari wacana yang memandang bahasa sebagai bentuk praktek sosial dan

berfokus pada cara dominasi sosial dan politik yang direproduksi dalam teks dan

pembicaraan.

Deborah Schiffrin, dkk (2001) menyatakan bahwa fungsi utama dari analisis

wacana kritis sendiri adalah menguraikan relasi kuasa, dominasi, dan ketimpangan

yang diproduksi dalam wacana. Sejalan dengan itu, dalam buku berjudul Introduction

to Discourse Studies karangan Renkema (2004: 284), disebutkan bahwa wacana

merupakan refleksi relasi kuasa yang terdapat dalam masyarakat. Analisis wacana kritis

dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi masalah-masalah sosial, terutama masalah

diskriminasi. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting sebagai

perwujudan kuasa pihak tertentu. Suatu teks diproduksi dengan ideologi tertentu yang

ingin disampaikan kepada khalayak pembacanya.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Penulis akan menggunakan tiga teknik pengumpulan data dalam penelitian ini.

Pertama adalah teknik purposive sampling. Proses pengambilan sampel ini dilakukan

dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil, kemudian

sampel dipilih sesuai keinginan peneliti berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, asalkan

sampel tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang ditetapkan (Sugiyono, 2008: 85).

Page 45: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

34

Situasi, kondisi, dan berbagai faktor lain biasanya juga mempengaruhi hasil dari

suatu penelitian kualitatif, oleh karena itu peneliti harus menciptakan kondisi dan

situasi yang mendukung, agar data yang diperoleh dapat tepat dan akurat. Oleh karena

itu purposive sampling digunakan untuk memudahkan peneliti mendapatkan sampel

yang cocok dengan situasi dan kondisi yang diinginkan. Selain itu juga, peneliti

terkadang kesulitan mendapatkan data yang diperlukan jika menggunakan random

sampling atau pengambilan sampel secara acak (Babbie, 2008: 204-205).

Teknik pengumpulan data yang kedua adalah wawancara. Wawancara adalah

bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden. Komunikasi berlangsung

dalam bentuk tanya-jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik

responden merupakan pola media yang dilengkapi kata-kata secara verbal. Karena itu,

wawancara tidak hanya menangkap pemahaman atau ide, tetapi juga dapat menangkap

perasaan, pengalaman, emosi, motif, yang dimiliki oleh responden yang bersangkutan

(Gulo, 2000: 119).

Metode wawancara ini memiliki beberapa kekurangan dan keunggulan.

Kekurangannya adalah wawancara memerlukan kesediaan narasumber untuk

diwawancara, jika tidak bersedia, wawancara tidak dapat dilakukan. Selain itu, faktor

bahasa juga terkadang membuat salah pengertian atau pemahaman antara peneliti dan

narasumber. Dibalik kekurangannya, metode wawancara juga memiliki keunggulan

seperti, peneliti mendapatkan data dari narasumber yang diinginkan secara langsung,

tidak seperti angket atau kuisioner yang bisa saja diisi oleh orang lain. Selain itu,

peneliti juga bisa mendapatkan penjelasan yang mendalam dari narasumber tentang hal

yang ingin diketahuinya. Peneliti juga dapat menjalin relasi yang lebih dekat dengan

narasumber (Mohamad Ali dalam Gulo, 2000: 120).

Page 46: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

35

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis metode wawancara semi

terstruktur. Wawancara jenis ini merupakan gabungan / campuran antara wawancara

terstruktur dan tidak terstruktur. Jika wawancara terstruktur dilakukan dengan cara

mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan terlebih dahulu, dan

wawancara tidak terstruktur hanya mengandalkan intuisi spontan untuk bertanya,

wawancara semi terstruktur (semi-structured interview) ini membuat garis besar hal-hal

yang akan ditanyakan terlebih dahulu, lalu tidak menutup kemungkinan pertanyaan

akan ditambah, diubah, atau dikurangi, sesuai dengan jawaban narasumber pada saat

proses wawancara berlangsung (Wengraf, 2001: 5).

Terakhir, data-data untuk melengkapi penelitian ini penulis dapatkan dengan

metode dokumentasi. Kelebihan dari pengambilan data melalui dokumen adalah karena

dokumen terdiri dari kata-kata dan gambar yang telah direkam tanpa campur tangan

pihak peneliti. Dokumen juga mampu memberikan pemahaman historis yang dapat

bertahan sepanjang waktu. Dokumen tersedia dalam bentuk tulisan, catatan, suara,

gambar, dan digital (Daymon, 2008: 344).

Menurut Bungin (2013: 155), dokumen dibagi menjadi dua jenis, yaitu

dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen pribadi adalah catatan seseorang

secara tertulis tentang tindakan, pengalaman, dan kepercayaannya. Dokumen pribadi

dapat berupa buku harian, surat pribadi, dan otobiografi. Dokumen resmi terbagi lagi

menjadi dua. Pertama adalah dokumen resmi intern, yaitu memo, pengumuman,

instruksi, aturan lembaga untuk kalangan sendiri, laporan rapat, keputusan pimpinan,

dan konvensi. Yang kedua adalah dokumen resmi ekstern, yaitu majalah, buletin, berita

yang disiarkan ke media massa, dan pemberitahuan.

Page 47: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

36

3.4 Unit Analisis Data

Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan yakni analisis wacana kritis

Van Dijk, data yang dianalisis harus mencakup tiga tingkat, yaitu tingkat analisis teks,

tingkat kognisi sosial, dan analisis sosial.

Untuk tingkat analisis teks, penulis akan mengambil beberapa tulisan dengan

metode purposive sampling yang terdapat dalam majalah Tempo Edisi Khusus 1-7

Oktober 2012. Pertama adalah tulisan Dari Pengakuan Algojo 1965 pada halaman 29.

Tulisan ini penulis pilih karena tulisan ini merupakan opini dari redaksi Majalah Tempo

sendiri. Opini yang ditulis oleh redaksi Majalah Tempo ini penulis anggap dapat

mencerminkan bagaimana sikap Majalah Tempo sendiri dalam menyikapi masalah

kasus tragedi G30S dan komunisme.

Kedua, artikel Sebuah Pengakuan dari Kerumunan Pohon Kapuk pada halaman

106-107. Artikel ini merupakan salah satu laporan utama Majalah Tempo dalam edisi

ini, jadi artikel ini penulis pilih karena penulis ingin melihat bagaimana Majalah Tempo

mewacanakan rekonsiliasi dalam laporan utamanya.

Selanjutnya yang ketiga adalah artikel di halaman 122-123 berjudul, Joshua

Oppenheimer: Membunuh, Bagi Anwar, Adalah Sebuah Akting. Topik yang dibahas

dalam Majalah Tempo edisi khusus ini juga tidak terlepas dari film Act of Killing atau

Jagal yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer. Untuk itu penulis ingin mengetahui

bagaimana Tempo mengulas tentang Joshua Oppenheimer dan filmnya dalam tulisan

ini.

Terakhir, artikel yang penulis ambil ada di halaman 124-125, artikel tersebut

berjudul Jalan Lain Penyelesaian Tragedi 1965. Artikel ini merupakan tulisan

Page 48: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

37

pendapat dari seorang M. Imam Aziz, anggota Majelis Syarikat Indonesia, Yogyakarta.

Penulis ingin mengetahui lebih dalam mengapa salah satu tulisan yang dimuat dalam

Majalah Tempo edisi khusus ini adalah tulisan dari seorang M. Imam Aziz, yang

dituliskan oleh Majalah Tempo sebagai seorang yang aktif dalam upaya rekonsiliasi

tragedi politik 1965.

Keempat artikel ini penulis pilih karena penulis menanggap keempat artikel ini

cukup untuk mewakili empat sudut pandang yang berbeda. Artikel Dari Pengakuan

Algojo 1965 merupakan sudut pandang dari Majalah Tempo sendiri, artikel Sebuah

Pengakuan dari Kerumunan Pohon Kapuk mewakili sudut pandang dari pelaku yang

bersedia mengaku dan meninta maaf atas perbuatan jahatnya. Ketiga, artikel Joshua

Oppenheimer: Membunuh, Bagi Anwar, Adalah Sebuah Akting mewakili sudut

pandang dari pembuat film Jagal atau The Act of Killing yang merupakan gagasan awal

pembuatan edisi khusus ini, dan terakhir, artikel Jalan Lain Penyelesaian Tragedi 1965

merepresentasikan sudut pandang dari salah satu aktivis yang memperjuangkan

rekonsiliasi dari tragedi 1965 tersebut.

Selanjutnya, untuk menganalisis tingkat kognisi sosial, penulis akan melakukan

wawancara dengan Pihak Majalah Tempo, dan yang penulis wawancarai adalah

penanggung jawab dari tim laporan khusus 1965, Seno Joko Suyono dan Kurniawan

selaku Kepala Proyek dari tim laporan khusus 1965. Penulis melakukan wawancara

pada tanggal 20 Desember 2013 pukul 18.40 di Kantor Redaksi Majalah Tempo, Jl.

Kebayoran Baru, Mayestik, Jakarta 12240.

Untuk tingkat analisis sosial, ada dua sumber yang akan penulis gunakan.

Pertama dari studi literatur dan dokumen-dokumen yang sekiranya diperlukan untuk

mendukung penelitian yang penulis lakukan. Kedua, penulis akan melakukan

Page 49: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

38

wawancara dengan salah satu sejarawan Indonesia, yaitu Asvi Warman Adam, yang

cukup banyak menulis buku dan membahas tentang kasus tragedi G30S ini. Beliau

penulis pilih karena merupakan salah satu anggota tim Pengkaji Pelanggaran HAM

Berat Soeharto yang dibentuk Komnas HAM tahun 2003. Penulis melakukan

wawancara pada tanggal 19 Desember 2013 pukul 09.10 di Kantor Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gedung Sasana Widya Sarwono, Jl. Jend. Gatot Subroto

10, Jakarta 12710.

3.5 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data dari metode

analisis wacana kritis Van Dijk. Van Dijk mengklasifikasikan elemen wacana menjadi

3, yakni teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

3.5.1 Analisis Teks

Pada elemen teks, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu struktur makro,

superstruktur dan mikro. Tingkat makro merupakan makna global / umum dari

suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang

dikedepankan dalam suatu berita. Kemudian tingkat superstruktur yang

merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks,

bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga,

tingkat mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari

suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrasa, dan gambar

(Eriyanto, 2001: 226). Pada tingkat kognisi sosial dipelajari proses produksi

berita yang melibatkan kognisi individu penulis berita, sedangkan konteks sosial

Page 50: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

39

adalah mempelajari bangunan wacana yang berkembang di masyarakat

(Kuntoro, 2008: 46).

STRUKTUR

WACANA

HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro

Makna global dari suatu

teks yang dapat diamati dari

topik/tema yang diangkat

oleh suatu teks

Tematik

Tema/Topik yang

dikedepankan dalam suatu

berita

Topik

Superstruktur

Kerangka suatu teks,

seperti bagian pendahuluan,

isi, penutup, dan kesimpulan

Skematik

Bagaimana bagian dan urutan

berita diskemakan dalam teks

utuh

Skema

Struktur Mikro

Makna lokal dari suatu

teks yang dapat diamati dari

pilihan kata, kalimat, dan

gaya yang dipakai suatu teks

Semantik

Makna yang ingin ditekankan

dalam teks berita, missal

dengan memberi detail pada

satu sisi atau membuat

eksplisit satu sisi dan

mengurangi detail sisi lain.

Latar, detail,

maksud, pra-

anggapan,

nominalisasi

Page 51: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

40

Sintaksis

Bagaimana kalimat (bentuk,

susunan) yang dipilih.

Stilistik

Bagaimana pilihan kata yang

dipakai dalam teks berita.

Retoris

Bagaimana dan dengan cara

penekanan dilakukan.

Bentuk

kalimat,

Koherensi,

Kata ganti.

Leksikon

Grafis,

Metafora,

Ekspresi.

Tabel 3.2 Elemen Wacana Van Dijk

3.5.1.1 Tematik

Kata lain dari tema adalah topik, yaitu gambaran umum atau inti

dari suatu berita. Dari tema / topik ini juga dapat dilihat apa yang

sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis berita tersebut. Tema ini juga

mencerminkan pandangan umum yang koheren (koherensi global), yaitu

bagian-bagian teks dalam satu berita, yang jika dirunut akan saling

mendukung satu sama lain dan mencerminkan gambaran umum dari

berita tersebut (Sobur, 2009: 75).

Page 52: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

41

3.5.1.2 Skematik

Skema berarti alur atau urutan penyajian tulisan dalam suatu

berita. Ada bagian yang didahulukan, bagian yang mengikuti, dan

bagian yang dihilangkan atau disembunyikan. Secara umum, skema ini

dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah bagian summary (ringkasan),

yang terdiri dari judul dan lead (teras berita) atau paragraf pertama, dan

yang kedua adalah story (cerita), yaitu isi berita secara keseluruhan

(Kuntoro, 2008: 47).

3.5.1.3 Semantik

Dalam semantik ada latar, detail, maksud, praanggapan, dan

nominalisasi. Latar adalah bagian teks yang dapat mempengaruhi arti

dari berita tersebut. Latar yang dipilih dapat menentukan ke mana arah

pandangan khalayak akan dibawa. Biasanya, latar ditulis di awal,

sebelum pendapat penulis yang sebenarnya muncul dengan maksud

mempengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapat penulis sangat

beralasan (Eriyanto, 2001: 235-236).

Detail ialah informasi mengenai suatu hal dalam pemberitaan

tersebut. Jika hal tersebut dirasa penting atau memang adalah tujuan

penulis berita tersebut, maka informasi / detail tentang hal tersebut akan

disebutkan secara lengkap atau bahkan berlebihan, sebaliknya jika hal

tersebut dirasa tidak menguntungkan atau tidak penting bagi penulis,

Page 53: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

42

informasi / detail tentang hal tersebut akan dikurangi atau ditulis

seminimal mungkin (Kuntoro, 2008: 48).

Elemen maksud adalah melihat apakah informasi yang

disampaikan dalam suatu berita, disampaikan secara langsung atau tidak,

eksplisit atau implisit. Biasanya, informasi yang penting /

menguntungkan penulis akan disampaikan secara langsung, tegas, dan

eksplisit, sedangkan informasi yang tidak penting atau tidak

menguntungkan bagi penulis akan disampaikan dengan berbelit-belit,

tersamarkan, dan implisit. Tujuannya jelas agar pembaca terfokus pada

hal-hal yang diinginkan / menguntungkan bagi penulis berita tersebut

(Eriyanto, 2001: 240).

Praanggapan adalah pernyataan yang digunakan untuk

mendukung makna suatu teks dengan menggunakan premis yang

dipercaya atau tidak perlu diragukan kebenarannya. Pernyataan tersebut

dimaksudkan untuk mendukung penulis, agar pembaca semakin percaya

kepada apa yang dituliskan oleh penulis dalam berita tersebut (Eriyanto,

2001: 256).

Nominalisasi adalah perubahan dari kata kerja menjadi kata

benda, biasanya dengan menambahkan imbuhan "pe-an". Perubahan

kata itu dimaksudkan untuk merubah kalimat, dari kalimat yang

bermakna pekerjaan / tindakan, menjadi kalimat yang bermakna

peristiwa. Jika kalimat kerja / tindakan membutuhkan dua aktor, yaitu

siapa yang melakukan pekerjaan dan siapa yang terkena dampak dari

pekerjaan itu, kalimat benda tidak membutuhkan dua aktor tersebut,

Page 54: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

43

namun lebih menekankan kepada peristiwa yang dialami oleh aktor yang

terkena dampak dari peristiwa tersebut (Eriyanto, 2001: 155).

3.5.1.4 Sintaksis

Dalam sintaksis, yang diperhatikan adalah bentuk kalimat,

koherensi, dan kata ganti. Bentuk kalimat bisa berupa kalimat aktif-

pasif, maupun deduktif-induktif. Kedua bentuk kalimat ini sering

digunakan untuk menonjolkan objek (pelaku peristiwa atau kejadian).

Bentuk kalimat aktif dan pasif ini sering digunakan untuk menonjolkan

atau menyembunyikan pelaku peristiwa yang diberitakan (Kuntoro,

2008: 48).

Koherensi adalah hubungan antarkata, proposisi atau kalimat.

Koherensi digunakan untuk menghubungkan dua buah kalimat atau

paragraf sehingga keduanya saling berhubungan. Sekalipun yang

dihubungkan tersebut adalah dua kalimat yang berbeda gagasannya,

tetap dapat menjadi selaras dan mendukung gagasan utama yang

disampaikan, jika disambung dengan kata sambung yang tepat (Sobur,

2009: 81).

Selanjutnya adalah kata ganti, elemen ini digunakan penulis

untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam suatu teks. Kata

ganti dalam suatu berita digunakan untuk memanipulasi bahasa dan

menciptakan suatu komunitas imajinatif. Dengan menggunakan kata

ganti yang tepat, sulit dipisahkan antara penulis berita dengan khalayak,

Page 55: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

44

karena tanggapan yang disampaikan oleh penulis seakan juga menjadi

tanggapan khalayak (Eriyanto, 2001: 253-254).

3.5.1.5 Stilistik

Stilistik dapat diartikan juga sebagai diksi atau pemilihan kata.

Stilistik digunakan untuk menggambarkan citra makna tertentu pada

suatu hal. Stilistik berkaitan erat dengan penulis berita tersebut, karena

bagaimana ia bersikap dan berpihak pada suatu hal dapat dilihat dari

pemilihan kata yang ia lakukan (Kuntoro, 2008: 48).

3.5.1.6 Retoris

Grafis, metafora, dan ekspresi adalah hal yang harus diperhatikan

dalam retoris. Grafis dimaksudkan untuk melihat bagaimana penulis

menuliskan suatu hal dalam berita, tercakup di dalamnya penggunaan

huruf besar, kecil, miring, tebal, garis bawah, warna, serta bentuk

tulisan. Dari situ dapat dilihat mana bagian yang diutamakan /

ditonjolkan, dan mana bagian yang ingin dikesampingkan (Kuntoro,

2008: 49).

Metafora adalah "penyedap" dari pesan pokok yang ingin

disampaikan. Penulis bisa memperkuat pokok pesan yang ingin

disampaikan dengan mempertegas pesan tersebut menggunakan kiasan,

Page 56: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

45

peribahasa, pepatah, ungkapan, petuah, dan sebagainya yang sudah

dikenal atau familiar di kalangan khalayak (Eriyanto, 2001: 259).

Terakhir, ekspresi, adalah gaya penulisan yang menonjolkan atau

menghilangkan bagian tertentu dari teks yang disampaikan. Sobur

(2009: 84) menyatakan, "Elemen ini merupakan bagian untuk

memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan (yang berarti dianggap

penting) oleh seseorang yang dapat diamati dari teks."

3.5.2 Kognisi Sosial

Van Dijk (dalam Eriyanto, 2001: 221) mengatakan, "Penelitian atas

wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena

teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati." Dalam

tingkat ini, yang diteliti adalah siapa pembuat teks tersebut, dan hal apa saja

yang mempengaruhinya dalam membuat teks tersebut.

Untuk menjembatani antara analisis teks dan analisis sosial, Van Dijk

membuat dimensi kognisi sosial. Van Dijk membagi kognisi sosial ini menjadi

dua, pertama adalah bagaimana proses teks tersebut diproduksi oleh wartawan /

media, dan yang kedua adalah bagaimana nilai-nilai yang ada di masyarakat

menyebar dan diserap oleh kognisi wartawan dan akhirnya digunakan untuk

membuat teks berita tersebut (Eriyanto, 2001: 222).

Untuk melihat kognisi sosial ini, kita harus mengenali lebih dekat si

penulis berita itu, untuk mengetahui dari mana sumber-sumber yang digunakan

oleh penulis berita, latar belakang si penulis berita sendiri atau medianya, dan

Page 57: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

46

kepentingan-kepentingan lain yang ada dibalik penulis berita itu sendiri

(Eriyanto, 2001: 266).

3.5.3 Analisis Sosial

3.5.3.1 Kekuasaan (Power)

Van Dijk mendefinisikan kekuasaan tersebut sebagai

kepemilikan dari suatu kelompok untuk mengontrol kelompok lain.

Kekuasaan ini biasanya didasarkan pada kepemilikan atas barang atau

sumber daya yang bernilai, seperti uang, status, dan pengetahuan. Selain

kekuasaan berupa kontrol yang bersifat langsung, bentuk lain dari

kekuasaan itu juga dapat berupa persuasif, di mana tidakan seseorang

secara tidak langsung mengontrol dan dapat mempengaruhi jalan pikiran

atau kondisi mental seseorang, seperti kepercayaan, sikap, dan

pengetahuan. Kontrol secara tidak langsung tersebut nantinya dapat

berpengaruh pada pemahaman seseorang terhadap sebuah wacana

tertentu (Eriyanto, 2001: 272).

3.5.3.2 Akses (Access)

Akses ini menjadi salah satu perhatian besar bagi Van Dijk,

karena kelompok masyarakat elit mempunyai akses lebih besar

dibandingkan kelompok masyarakat yang tidak berkuasa. Oleh karena

itu, mereka yang lebih berkuasa memiliki kesempatan yang lebih besar

untuk mempunyai akses pada media, sehingga mereka punya

kesempatan yang lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak.

Page 58: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

47

Akses yang lebih besar tidak sekadar hanya memberi kesempatan

untuk mengkontrol kesadaran khalayak lebih besar, namun juga

membentuk topik dan isi wacana apa yang dapat disebarkan dan

didiskusikan pada khalayak. Kelompok masyarakat yang tidak memiliki

akses tidak hanya menjadi konsumen dari wacana yang telah ditentukan

oleh kelompok yang memiliki akses, namun kelompok yang tidak

memiliki akses tersebut juga berperan besar lewat reproduksi, karena

wacana yang mereka terima dari kelompok yang memiliki akses

tersebut, disebarkan lewat pembicaraan dengan keluarga, teman sebaya,

dan sebagainya. Lalu akhirnya merujuk pada sebuah manipulasi bahasa

untuk mendapat massa dan dukungan (Eriyanto, 2001: 274).

Page 59: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

48

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian

Majalah Tempo didirikan oleh Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Usamah, dan

Christianto Wibisono. Edisi perdana Majalah Tempo terbit pada tanggal 6 Maret 1971.

Pada sampul depan edisi perdana ini bertuliskan judul Tragedi Minarni dan Kongres

PBSI, dengan foto Minarni Soedaryanto, seorang pemain bulu tangkis Indonesia

sebagai gambarnya.

Goenawan Mohamad sebagai pemimpin redaksi Majalah Tempo saat itu,

memilih nama Tempo karena menurutnya karena kata ini mudah diucapkan, terutama

oleh para pengecer. Cocok pula dengan sifat sebuah media berkala yang jarak terbitnya

longgar, yakni mingguan. Mungkin juga karena dekat dengan nama majalah berita

terbitan Amerika Serikat, Time (http://korporat.tempo.co/tentang/sejarah).

Goenawan Mohamad (dalam Steele, 2005: 19) mengatakan bahwa tugas

seorang wartawan Tempo adalah mencari kebenaran, seorang wartawan Tempo harus

selalu skeptis. Dalam Majalah Tempo sendiri, ada dua hal yang sama sekali tidak boleh

dilanggar, yaitu menerima amplop (sogokan) dan berita bohong.

Karena keberanian dan ketajamannya dalam memberitakan serta mengkritik

pemerintah, Majalah Tempo sempat dua kali dibredel. Pertama pada tahun 1982, di

mana Majalah Tempo dicabut Surat Izin Terbit (SIT)-nya oleh Ali Moertopo, Menteri

Page 60: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

49

Penerangan saat itu, dengan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan

Republik Indonesia, no. 7.6/Kep/Men-pen/1982 tentang pembekuan untuk sementara

waktu Surat Izin Terbit Majalah Mingguan Berita Tempo (Steele, 2005: 106). Menurut

Ali Moertopo sebagai Menteri Penerangan saat itu, Tempo telah melanggar melanggar

kode etik pers "bebas dan bertanggung jawab". Namun sebagian besar masyarakat

yakin bahwa alasan dibredelnya Majalah Tempo saat itu adalah karena terlalu berani

dan tajam dalam memberitakan tentang konflik-konflik yang terjadi seputar pemilu

pada saat itu (Steele, 2005: 107).

Tanggal 11 Juni 1994, Majalah Tempo menerbitkan edisinya yang berjudul

Habibie dan Kapal Itu. Dalam edisi tersebut, Majalah Tempo menuliskan berita tentang

sengketa dalam pemerintahan atas kesepakatan untuk membeli 39 kapal perang bekas

dari Jerman timur. Pemberitaan Majalah Tempo berfokus pada masalah harga

pembelian, serta pada konflik antara Menteri Riset dan Teknologi, B.J. Habibie

teknologi dengan menteri Keuangan Ma'rie Muhammad. Beberapa hari setelah berita

itu beredar, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Tempo dicabut oleh

Menteri Penerangan saat itu, Harmoko (Steele, 2005: 234).

Setelah rezim orde baru runtuh, orang-orang yang dahulu bekerja di Majalah

Tempo, berkumpul dan berdiskusi kembali, apakah Majalah Tempo perlu terbit

kembali atau tidak. Alhasil, Majalah Tempo lahir kembali pada tanggal 12 Oktober

1998.

Majalah Tempo dikenal sebagai majalah yang peduli dengan kasus-kasus

pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Salah satu kepedulian Majalah Tempo

diwujudkan dalam pemberitaannya yang selalu memberitakan tentang kasus-kasus

pelanggaran HAM di Indonesia serta mewacanakan rekonsiliasi atau solusi-solusi lain

Page 61: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

50

yang mungkin dilakukan. Hal tersebut terbukti dengan diraihnya Yap Thiam Hien

Award 2012 oleh Majalah Tempo.

4.2 Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini mencakup tiga tingkat, yang pertama adalah tingkat analisis

teks yang dilakukan penulis terhadap empat artikel dalam Majalah Tempo Edisi Khusus

Pengakuan Algojo 1965, 1-7 Oktober 2012 dengan menggunakan model Teun A. van

Dijk. Kedua adalah hasil dari analisis kognisi sosial yang berupa hasil wawancara

dengan Majalah Tempo, dan yang ketiga adalah hasil analisis sosial berupa studi

literatur dan wawancara dengan sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam.

4.2.1 Analisis Teks Artikel Dari Pengakuan Algojo 1965

Tabel 4.1 Artikel 1

STRUKTUR WACANA

HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro

Tematik Judul: Dari Pengakuan

Algojo 1965

Topik Rekonsiliasi harus diawali dengan pengakuan dari para pelaku pembantaian massal 1965.

Superstruktur

Skematik

Dari Pengakuan Algojo 1965

Skema Ringkasan (summary)

Judul Judul tersebut

merupakan kesimpulan dari Artikel tersebut, di mana rekonsiliasi harus dimulai dari pengakuan para algojo (pelaku)

Page 62: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

51

REKONSILIASI tidak bisa dimulai dari ingkar; ia harus diawali oleh pengakuan. Itulah yang seharusnya dilakukan para pelaku pembunuhan massal 1965 dan mereka yang menyokong kejadian itu.

Dalam frasa truth and

reconciliation, ....

tragedi 1965. Teras berita (lead)

Artikel ini menggunakan piramida terbalik atau deduktif, di mana kesimpulan dari artikel tersebut berada di awal artikel.

Cerita (story)

Setelah teras berita atau lead, selebihnya adalah penjabaran isi berita secara keseluruhan.

Struktur Mikro

Semantik

Kini, 47 tahun berlalu sejak pembunuhan besar-besaran terhadap anggota Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengannya.

Para pelaku-juga organisasi serta aparatur negara yang menyokong aksi sadistis itu.

Komisi itu menyimpulkan 78

ribu orang terbunuh-angka yang dipercaya terlalu kecil.

Para pelaku-juga organisasi

serta aparatur negara yang menyokong aksi sadistis itu.

REKONSILIASI tidak bisa

Latar

Artikel ini mengambil latar waktu 47 tahun berlalu untuk mengesankan waktu yang begitu lama.

Detail Memberi penjelasan

lebih tentang siapa para pelaku itu

Memberi penyangkalan terhadap fakta yang diutarakan oleh Komisi Pencari Fakta.

Maksud

Memaparkan secara eksplisit siapa saja yang dimaksud dengan para pelaku itu. Pra-anggapan

Premis bahwa

Page 63: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

52

dimulai dari ingkar.

Yang abadi hingga kini: para pelaku-juga organisasi serta aparatur negara yang menyokong aksi sadistis itu- sibuk menyangkal atau membela diri seraya mengingatkan tentang "bahaya laten" komunisme.

Patut disayangkan, 13

tahun setelahnya segelintir ulama NU justru menolak meminta maaf kepada para korban dan meminta Presiden Yudhoyono mengikuti jejak mereka.

Dari Pengakuan Algojo

1965 Itulah yang seharusnya

dilakukan para pelaku pembunuhan massal 1965 dan mereka yang menyokong kejadian itu.

Kini, 47 tahun berlalu sejak

pembunuhan besar-besaran terhadap anggota Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengannya.

Betapapun penolakan tak

surut, langkah untuk

rekonsiliasi tidak bisa dimulai dari ingkar.

Premis bahwa para

pelaku yang menyangkal atau membela diri itu tidak bisa diubah (abadi).

Premis bahwa ada

kekecewaan terhadap apa yang dilakukan oleh segelintir ulama NU tersebut.

Nominalisasi Terdapat imbuhan "pe-

an" dalam kata "pengakuan" yang berarti adanya penekanan makna dalam kata itu, di mana pengakuan merupakan syarat utama rekonsiliasi.

Terdapat imbuhan "pe-

an" dalam kata "pembunuhan" yang berarti adanya penekanan makna dalam peristiwa pembunuhan itu.

Terdapat imbuhan "pe-

an" dalam kata "pembunuhan" yang berarti adanya penekanan makna dalam peristiwa pembunuhan itu.

Terdapat imbuhan "pe-

an" dalam kata "penolakan"

Page 64: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

53

menyembuhkan luka 1965 harus terus dilakukan.

Sintaksis

REKONSILIASI tidak bisa dimulai dari ingkar.

Itulah yang seharusnya

dilakukan para pelaku pembunuhan massal 1965 dan mereka yang menyokong kejadian itu.

Rekonsiliasi masih jauh dari

angan-angan. Permintaan maaf pemerintah

mungkin jadi solusi jangka pendek.

Sebagai kepala negara dan

kiai Nahdlatul Ulama, Gus Dur secara terbuka menyatakan penyesalan. Patut disayangkan, 13 tahun setelahnya segelintir ulama NU justru menolak meminta maaf kepada para korban dan meminta Presiden Yudhoyono mengikuti jejak mereka.

Betapapun penolakan tak

surut, langkah untuk

yang berarti adanya penekanan makna dalam peristiwa penolakan rekonsiliasi itu.

Bentuk kalimat

Kalimat deduktif pada awal artikel, menunjukkan hal utama yang ingin disampaikan dari artikel ini adalah rekonsiliasi.

Kalimat pasif, di mana

kata "itulah" merujuk pada rekonsiliasi yang merupakan inti dari artikel ini.

Kalimat deduktif, di

mana pada awal kalimat disebut kata rekonsiliasi yang merupakan inti dari artikel ini.

Kalimat deduktif,

menyampaikan solusi yang ditawarkan oleh artikel ini secara eksplisit.

Koherensi

Konjungsi "patut disayangkan" menghubung-kan antara reaksi yang timbul terhadap tindakan yang dilakukan oleh Gus Dur.

Konjungsi "betapapun"

menghubungkan antara reaksi

Page 65: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

54

menyembuhkan luka 1965 harus terus dilakukan.

Aksi pemerintah ini

diharapkan diduplikasi oleh masyarakat di level yang lebih mikro.

Ide masyarakat tanpa kelas

adalah utopia yang usang dan sia-sia.

Stilistik

Dibuat selama tujuh tahun,

film itu memuat kesaksian terbuka seorang bergajul yang pernah membunuh ratusan orang PKI di Medan.

Kini, 47 tahun berlalu sejak

pembunuhan besar-besaran terhadap anggota Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengannya.

Retoris Sejumlah algojo lain

menyampaikan apologia yang tak baru: mereka membunuh untuk menyelamatkan negara dari bahaya komunis.

penolakan yang dijabarkan pada paragraf sebelumnya dengan inti dari paragraf ini yang menyampaikan bahwa langkah untuk menyembuh-kan luka 1965 harus terus dilakukan.

Kata ganti

"Masyarakat di level yang lebih mikro" merujuk pada para pelaku pembantaian massal 1965.

"Ide masyarakat tanpa

kelas" menggantikan kata komunisme. Leksikon

Kata "bergajul" mengartikan orang yang buruk kelakuannya atau jahat, dalam hal ini merujuk pada Anwar Congo.

Kata "besar-besaran"

bertujuan untuk menekankan bahwa peristiwa pembunuhan 1965 itu sangat berdampak luas.

Grafis Tidak ada.

Metafora Kata "apologia" berarti

pengakuan kesalahan sekaligus pembelaan terhadap apa yang telah mereka lakukan.

Page 66: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

55

Dalam alam pikir Orde Baru yang belum sepenuhnya pupus di masyarakat, permohonan maaf yang diajukan Presiden Abdurrahman Wahid pada awal reformasi dulu layak diapresiasi.

Sebagai pegiat Majelis Syuro

Muslimin, ia mengaku organisasinya terlibat dalam aksi mengganyang PKI.

Ide masyarakat tanpa kelas

adalah utopia yang usang dan sia-sia.

Dalam semangat

mengungkap "truth" itulah film The Act of Killing karya sutradara Joshua Oppenheimer layak mendapat perhatian.

Diksi yang dipakai adalah kata "pupus" yang berarti hilang atau lenyap.

Kata "mengganyang"

dipakai untuk menggantikan kata menghabisi, memberan-tas, atau membunuh. Selain itu, kata ini juga dipakai karena kata "mengganyang" ini juga sedang populer saat itu, dipakai oleh Soekarno untuk mengobarkan semangat nasionalisme Bangsa Indonesia, dengan menyerukan, "Ganyang Malaysia."

"Utopia" berarti sistem

sosial politik yang sempurna yang hanya ada dalam bayangan atau khayalan.

Ekspresi

Menonjolkan ekspresi dengan kata "semangat", yang berarti bagian ini penting bagi penulisnya.

Dari analisis teks artikel Dari Pengakuan Algojo 1965, dapat disimpulkan

bahwa wacana rekonsiliasi memang diangkat oleh Majalah Tempo dalam artikel

tersebut. Wacana rekonsiliasi pada artikel tersebut tersaji dalam beberapa wujud

seperti, pra-anggapan bahwa rekonsiliasi tidak bisa dimulai dari ingkar, teras (lead)

Page 67: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

56

yang menuliskan kata "rekonsiliasi" pada kata pertamanya, dan bentuk kalimat deduktif

dan pasif yang merujuk pada rekonsiliasi.

Selain mengemas wacana rekonsiliasi, dalam artikel ini Majalah Tempo juga

mengesankan bahwa peristiwa G30S tersebut adalah tragedi yang begitu mengenaskan.

Hal tersebut terbukti dari beberapa penulisan, seperti leksikon "bergajul", metafora

"mengganyang", serta semantik (detail, maksud, nominalisasi, pra-anggapan) yang

menjabarkan sisi-sisi negatif dari peristiwa G30S tersebut.

Dalam bagian cerita (story) pada artikel ini, dipaparkan tentang pro dan kontra

terhadap proses rekonsiliasi antara pelaku dan korban dari peristiwa G30S ini. Hal

tersebut dapat terlihat dari pemaparan tentang tindakan Joshua Oppenheimer yang

membuat film The Act of Killing, Presiden Gus Dur yang meminta maaf kepada para

korban, para ulama NU yang meminta Presiden SBY menolak untuk meminta maaf

kepada para korban, dan Wali Kota Palu, Rusdi Mastura yang meminta maaf serta

menjanjikan kesehatan gratis dan beasiswa kepada para korban.

4.2.2 Analisis Teks Artikel Sebuah Pengakuan dari Kerumunan Pohon

Kapuk

Tabel 4.2 Artikel 2

STRUKTUR WACANA

HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro

Tematik Judul: Sebuah Pengakuan

dari Kerumunan Pohon Kapuk

Topik Memberi contoh seorang pelaku yang bersedia melakukan pengakuan.

Page 68: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

57

Superstruktur

Skematik Sebuah Pengakuan dari Kerumunan Pohon Kapuk

Beberapa pelaku pembunuhan anggota PKI di Palu mengaku dan meminta maaf kepada korban. Rekonsiliasi sedang dirajut di kota itu.

Tak ada penanda apa pun di

kerumunan pohon kapuk tak jauh dari jalan besar....

Skema Ringkasan (summary)

Judul Judul tersebut

merupakan kesimpulan dari Artikel tersebut, di mana rekonsiliasi harus dimulai dari pengakuan. Teras berita (lead)

Teras dari artikel ini memang bukan merupakan kesimpulan, namun merupakan peristiwa inti yang ingin disampaikan dalam artikel ini.

Cerita (story)

Setelah teras berita atau lead, selebihnya adalah penjabaran isi berita secara keseluruhan.

Struktur Mikro

Semantik

Tak ada penanda apa pun di kerumunan pohon kapuk tak jauh dari jalan besar yang menghubungkan dua kelurahan, Loli dan Watusampu, di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Mobil kemudian melaju cepat kembali ke Palu dan Ahmad melihat ada bekas darah segar menempel di sekop di mobil itu.

Tak ada yang tersisa dari

kejayaan suaminya sebagai tokoh partai, termasuk rumah

Latar

Artikel ini mengambil latar tempat di kerumunan pohon kapuk yang ada di Kota Palu, tempat dikuburkannya jasad korban pembunuhan.

Detail

Memberi penjelasan dan penekanan bahwa baru saja terjadi peristiwa pembunuhan dan penguburan jasad.

Memberi penjelasan mendalam tentang harta benda yang habis sehabis-

Page 69: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

58

besarnya di Jalan Jenderal Sudirman pun dilego orang.

Sebenarnya, pada 1977, saat

diperiksa Detasemen Polisi Militer Palu, ia sudah menuturkan dengan jelas soal laporan hilangnya petinggi PKI itu, tapi laporan tersebut hanya terkunci di arsip militer.

Pengakuan para pelaku itu

telah menyemai benih rekonsiliasi di Palu.

Pengakuan Ahmad ini

seperti pentil dilepas dari ban bagi keluarga korban.

Pelan-pelan rekonsiliasi mulai bergulir di kota itu. Setiap bulan, para korban dan pelaku bertemu.

Pengakuan Ahmad ini

seperti pentil dilepas dari ban bagi keluarga korban

Sintaksis

Beberapa pelaku pembunuhan anggota PKI di Palu mengaku dan meminta maaf kepada korban. Rekonsiliasi

habisnya.

Maksud Memaparkan secara

implisit bahwa ada indikasi penyembunyian fakta oleh pihak militer.

Memaparkan secara eksplisit bahwa rekonsiliasi sudah mulai terjadi di Palu. Pra-anggapan

Premis bahwa pengakuan sangat penting dan dibutuhkan agar terjadi rekonsiliasi.

Premis bahwa

rekonsiliasi sudah mulai terjadi, terbukti dengan bertemunya korban dan pelaku setiap bulan.

Nominalisasi

Terdapat imbuhan "pe-an" dalam kata "pengakuan" yang berarti adanya penekanan makna dalam kata itu, di mana pengakuan merupakan syarat utama rekonsiliasi.

Bentuk kalimat Kalimat induktif pada

teras (lead) artikel, menunjukkan hal utama yang ingin disampaikan dari artikel

Page 70: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

59

sedang dirajut di kota itu. Pengakuan para pelaku itu

telah menyemai benih rekonsiliasi di Palu.

Ahmad memegang erat-erat

rahasia itu selama puluhan tahun. Namun, makin tua usianya, beban itu makin menyesakkan dada. Apalagi dia dikambinghitamkan sebagai pembunuh para petinggi itu.

Pelan-pelan rekonsiliasi

mulai bergulir di kota itu.

Mobil kemudian melaju cepat kembali ke Palu dan Ahmad melihat ada bekas darah segar menempel di sekop di mobil itu.

Stilistik

Empat di antaranya belum

kembali, yakni tiga petinggi PKI yang dihabisi di Watusampu dan Zamrud, pemimpin PKI di Donggala.

Retoris

Ahmad Bantam: "SAYA

BERI TAHU BAHWA

ini adalah rekonsiliasi.

Artikel ini menggunakan penulisan piramida tegak (induktif), karena inti dari tulisan ini ada di akhir artikel.

Koherensi

Konjungsi "namun" dan "apalagi" menghubungkan pertentangan antara memegang erat rahasia tersebut dengan beban batin yang ditanggung.

Konjungsi "pelan-pelan"

menghubungkan antara apa saja yang sudah dipaparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya dengan proses reskonsiliasi yang sudah mulai muncul.

Kata ganti

"bekas darah segar" merujuk pada kejadian pembunuhan yang baru saja terjadi.

Leksikon

Kata "dihabisi" menggantikan kata dibunuh, dan sekaligus mengiaskan bahwa peristiwa itu begitu sadis.

Grafis Kutipan langsung dari

Ahmad Bantam yang

Page 71: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

60

KELUARGAMU BUKAN HILANG, TAPI SUDAH DITEMBAK MATI. SAYA YANG MENGGALI KUBURANNYA. SEBENTAR LAGI SAYA MENINGGAL. SAYA TIDAK MAU RAHASIA INI TIDAK DIBUKA. KASIHAN KELUARGA KORBAN."

Rekonsiliasi sedang dirajut

di kota itu. Pengakuan Ahmad ini

seperti pentil dilepas dari ban bagi keluarga korban.

Tak ada yang tersisa dari kejayaan suaminya sebagai tokoh partai, termasuk rumah besarnya di Jalan Jenderal Sudirman pun dilego orang.

Pengakuan para pelaku itu

telah menyemai benih rekonsiliasi di Palu.

"Lega, plong di hati ini.

Selama ini saya sudah ke mana-mana menanyakan keberadaan Bapak, ke Manado, Makassar, Jakarta, bahkan ke Cina dan Rusia,"

namanya diwarnai merah, dan ditulis dengan huruf kapital semua menandakan betapa pentingnya hal tersebut, yaitu pengakuan.

Metafora Kata "dirajut"

menunjukkan sebuah proses yang terlaksana dengan perlahan.

Pengandaian "seperti

pentil dilepas dari ban" ini mengunggapkan sebuah kepuasan karena sebuah fakta yang akhirnya terungkap.

Diksi yang dipakai

adalah kata "dilego" yang berarti dijual atau dipindahtangankan.

Diksi "menyemai benih"

mengiaskan proses rekonsiliasi yang sudah mulai timbul, walau baru kecil atau sedikit.

Ekspresi

Menonjolkan ekspresi dengan kata "lega" dan "plong", yang berarti secara implisit mengatakan bahwa dengan adanya pengakuan, para keluarga korban akan merasakan lega.

Page 72: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

61

Dari artikel Pengakuan dari Kerumunan Pohon Kapuk ini, terlihat Majalah

Tempo menjabarkan betapa pentingnya pengakuan dari para pelaku secara eksplisit.

Pengakuan tersebut selain untuk mengawali terjadinya rekonsiliasi, juga bertujuan

untuk melegakan para keluarga korban yang sampai sekarang masih belum tahu nasib

keluarganya yang hilang saat peristiwa G30S.

Terlihat dari judul artikel tersebut, di mana kata pertamanya adalah

"Pengakuan", yang menunjukkan betapa pentingnya sebuah pengakuan, diikuti dengan

teras (lead) yang menuliskan, "Beberapa pelaku pembunuhan anggota PKI di Palu

mengaku dan meminta maaf kepada korban. Rekonsiliasi sedang dirajut di kota itu,"

terdapat lagi kata "mengaku" yang sekali lagi menekankan pentingnya sebuah

pengakuan dalam upaya rekonsiliasi.

Pada artikel ini juga masih digambarkan tentang betapa kelamnya peristiwa

G30S tersebut dengan kata ganti "bekas darah segar", dan leksikon "dihabisi". Kedua

kata tersebut merujuk pada peristiwa pembunuhan yang sadis dan memilukan.

Selanjutnya, dalam story artikel ini juga dijabarkan secara eksplisit tentang

pengakuan yang dilakukan oleh Ahmad Bantam, sebagai salah satu orang yang

menggali kuburan bagi para korban yang dibunuh dalam peristiwa G30S tersebut.

Selain itu, dipaparkan juga pengakuan serta permintaan maaf Rusdi Mastura, Wali Kota

Palu, yang pernah ikut menangkap dan menjaga tempat-tempat tahanan juga

menyaksikan para korban-korban itu disiksa sebelum akhirnya dibunuh.

Page 73: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

62

Artikel ini menggunakan gaya paragraf induktif, di mana kesimpulan atau inti

dari artikel ini berada di akhir artikel. Pada akhir artikel tertulis kesimpulan,

"Pengakuan para pelaku itu telah menyemai benih rekonsiliasi di Palu." Kesimpulan itu

menegaskan bahwa Majalah Tempo memang mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi

khusus ini, dan cara untuk memulai rekonsiliasi adalah dengan adanya pengakuan dari

para pelaku.

4.2.3 Analisis Teks Artikel Joshua Oppenheimer: Membunuh, Bagi Anwar,

Adalah Sebuah Akting

Tabel 4.3 Artikel 3

STRUKTUR WACANA

HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro

Tematik Judul: Joshua Oppenheimer:

Membunuh, Bagi Anwar, Adalah Sebuah Akting

Topik Pendapat Joshua

Oppenheimer sebagai pembuat film Jagal atau The Act of Killing tentang rekonsiliasi.

Superstruktur

Skematik Joshua Oppenheimer: Membunuh, Bagi Anwar, Adalah Sebuah Akting

Bagi Joshua oppenheimer,

Anwar hanyalah simbol dari kekerasan yang terjadi di Indonesia pada 1965. Menurut

Skema Ringkasan (summary)

Judul Judul tersebut

merupakan kesimpulan dari pendapat Joshua Oppenheimer terhadap Anwar Congo, narasumber utamanya dalam film tersebut. Teras berita (lead)

Artikel ini menggunakan gaya piramida terbalik atau deduktif, di mana

Page 74: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

63

taksirannya, ada 10 ribu, bahkan mungkin 100 ribu, "Anwar" lain selama pembantaian pasca-1965 itu. Lelaki kelahiran Texas, Amerika Serikat, 1974, ini mengaku, selama pembuatan film, ia melakukan perjalanan yang amat sangat menyakitkan. Selama tujuh tahun ia bergaul dengan Anwar. Kepadanya, Anwar secara jujur dan berani bercerita mengenai pembunuhan yang dilakukannya. Anwar mungkin kecewa terhgadap hasil film yang dibuat Oppenheimer.

Joshua Oppenheimer belajar

film di Havard University dan meraih PhD di Central Saint Martins College of Art and Design, ....

Setelah melihat bagaimana bangganya para jagal atas tindakan mereka dulu itu, apakah ada kemungkinan rekonsiliasi antara pelaku dan korban?

Persoalan utama rekonsiliasi pada dasarnya bukan terletak pada sisi korban atau masalah prosedural, ....

kesimpulan berada pada awal artikel, yaitu menyimpulkan bahwa Anwar Congo hanyalah satu dari sekian banyak pelaku pembunuhan pasca-G30S 1965, dan proses pembuatan film itu begitu menyakitkan bagi semua pihak.

Cerita (story) Dalam artikel ini,

menjelaskan secara singkat biografi dari Joshua Oppenheimer, pembuat film Jagal atau The Act of Killing yang menjadi pemicu lahirnya edisi khusus ini.

Selanjutnya, dipaparkan hasil wawancara Tempo dengan Joshua mengenai proses pembuatan film tersebut.

Pertanyaan terakhir adalah Tempo menayakan pendapat Joshua tentang kemungkinan terjadinya rekonsiliasi, sesuai dengan tujuan utama dibuatnya edisi ini, mewacanakan rekonsiliasi.

Struktur Mikro

Semantik

Selama tujuh tahun ia bergaul dengan Anwar.

Latar

Latar yang diambil ialah latar waktu selama tujuh tahun proses pembuatan film

Page 75: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

64

Ketika dia berdansa cha-cha

di lantai atas bekas kantornya, hal itu kelihatannya menjadi simbol impunitas yang dinikmatinya. Dia menari di tempat ratusan orang yang dibunuhnya sendiri.

Awalnya, Anwar ingin

membuat film yang mengagungkan pembunuhan massal-sesuatu yang tak mungkin jadi tujuan saya.

Sering, dalam proses

pembuatan film, saya tidak bisa tidur. Kalaupun bisa, saya bermimpi buruk. Kru saya harus melakukan hal yang sama, dan pasti lebih berat, karena mereka orang Indonesia. Ini negeri mereka.

Persoalan rekonsiliasi ada

pada para pelaku yang tak mau mengakui kesalahan dan kejahatannya akibat upaya pembenaran yang sedemikian gencar, baik yang mereka tanamkan kepada diri sendiri maupun yang dicangkok dari propaganda rezim yang turut mereka bangun.

Killing is always an act. Bila

dimaknakan memang mengerikan. Peragaan itu bukan hanya

itu, menggambarkan sebuah proses yang panjang untuk pembuatan sebuah film.

Detail Memberi penjelasan dan

penekanan tentang tempat Anwar menari, di tempat ia pernah membunuh ratusan orang puluhan tahun yang lalu.

Memberi penjelasan

akan adanya pertentangan antara narasumber dan sutradara saat proses awal pembuatan film.

Reka ulang adegan

pembunuhan yang dilakukan Anwar selama proses pembuatan film begitu sadis, sehingga terbayangkan saat kejadian aslinya. Kesadisan itu membebani pikiran Joshua dan terlebih kru nya.

Menjelaskan bahwa

rekonsiliasi tidak mungkin terjadi bila para pelaku masih tidak mau mengakui kesalahannya dan berusaha untuk mencari pembenaran terhadap apa yang mereka lakukan.

Maksud Memaparkan secara

implisit bahwa peristiwa pembunuhan massal pasca-

Page 76: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

65

peragaan ulang, melainkan juga asli....

Betapapun demikian, sebuah

kesalahan besar jika Anwar kemudian dijadikan kambing hitam, sebagai maskot para pembunuh tahun 1965, karena perannya dalam film.

Sering, dalam proses

pembuatan film, saya tidak bisa tidur. Kalaupun bisa, saya bermimpi buruk. Kru saya harus melakukan hal yang sama, dan pasti lebih berat, karena mereka orang Indonesia. Ini negeri mereka.

Kebanggaan itu bercerita

tentang jiwa rapuh yang kerdil dan tak berani mengakui perbuatannya sebagai sesuatu yang salah dan jahat; dan karenanya diberi kedok narasi perjuangan heroik. Kebanggaan itu akan runtuh dengan sendirinya jika semua tiang penyangga dan fungsinya dirontokkan. Dari situlah terbuka sebuah kemungkinan rekonsiliasi yang sejati. Tidak ketika rezim para pembantai ini masih menjadi pemenang dan berkuasa.

Menurut taksirannya, ada 10

ribu, bahkan mungkin 100 ribu, "Anwar" lain selama pembantaian pasca-1965 itu.

G30S itu benar-benar sadis.

Pernyataan tersebut dimaksudkan bahwa Joshua sama sekali tidak menganggap Anwar sebagai tokoh utama atau orang yang paling bertanggung jawab atas tragedi pembunuhan massal pasca-G30S tersebut.

Memaparkan secara implisit bahwa peristiwa pembunuhan massal pasca-G30S itu benar-benar sadis.

Paragraf ini bermaksud untuk menjelaskan syarat terjadinya rekonsiliasi, yaitu pengakuan dari pelaku, terutama dari pihak yang berkuasa (pemerintah). Pra-anggapan

Mengiaskan bahwa ada begitu banyak pelaku pembunuhan pasca-G30S yang sama seperti Anwar.

Page 77: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

66

Dari awal saya meyakinkan diri saya bahwa semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, Hitler sekalipun, bukanlah seorang monster, melainkan mausia biasa yang sama seperti kita dan bisa mengambil keputusan yang salah.

Kebanggaan yang mereka

tunjukkan memiliki banyak lapisan makna.

Menurut taksirannya, ada 10

ribu, bahkan mungkin 100 ribu, "Anwar" lain selama pembantaian pasca-1965 itu.

Sering, dalam proses

pembuatan film, saya tidak bisa tidur.

Sintaksis

Bagi Joshua oppenheimer, Anwar hanyalah simbol dari kekerasan yang terjadi di Indonesia pada 1965. Menurut

Perkataan Joshua yang menyatakan bahwa dirinya tidak memandang sebelah mata para pelaku pembunuhan massal itu, mereka hanya orang biasa yang mengambil keputusan yang salah.

Anggapan bahwa para

pelaku itu sebenarnya tahu dan sadar bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang salah dan jahat, namun mereka tidak mau mengakuinya dan menutupinya dengan berbagai alasan.

Nominalisasi

Terdapat imbuhan "pe-an" dalam kata "pembantaian" yang berarti adanya penekanan makna pada banyaknya jumlah pelaku yang terlibat dalam peristiwa berdarah itu.

Penekanan pada

peristiwa saat dibuatnya film tersebut, di mana Joshua tidak bisa tidur karena terbayang-bayang oleh reka ulang adegan pembunuhan yang dilakukan oleh Anwar.

Bentuk kalimat Kalimat deduktif pada

teras (lead) artikel, menunjukkan ringkasan dari apa yang akan dijelaskan

Page 78: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

67

taksirannya, ada 10 ribu, bahkan mungkin 100 ribu, "Anwar" lain selama pembantaian pasca-1965 itu. Lelaki kelahiran Texas, Amerika Serikat, 1974, ini mengaku, selama pembuatan film, ia melakukan perjalanan yang amat sangat menyakitkan. Selama tujuh tahun ia bergaul dengan Anwar. Kepadanya, Anwar secara jujur dan berani bercerita mengenai pembunuhan yang dilakukannya. Anwar mungkin kecewa terhgadap hasil film yang dibuat Oppenheimer.

Mereka disanjung sebagai

pahlawan, jadi tokoh masyarakat dan panutan, serta ditakuti sekaligus dihormati sebagai pelindung bangsa dari sebuah teror berupa fantasi yang mereka ciptakan sendiri.

Ketika dia berdansa cha-cha di lantai atas bekas kantornya, hal itu kelihatannya menjadi simbol impunitas yang dinikmatinya. Dia menari di tempat ratusan orang yang dibunuhnya sendiri.

Killing is always an act. Bila

dimaknakan memang mengerikan. Peragaan itu bukan hanya peragaan ulang, melainkan juga asli....

Mereka tidak merasa ada

yang salah jika publik menilai

pada bagian isi (body) artikel pada paragraf-paragraf berikutnya.

Kalimat pasif ini menggunakan kata "mereka" yang merujuk pada para pelaku pembunuhan massal pasca-G30S yang justru mendapatkan berbagai keuntungan dari perbuatan jahat yang mereka lakukan.

Koherensi

Kata "dia" yang merujuk kepada Anwar, menjadi konjungsi kedua kalimat ini dengan memberi penjelasan tambahan tentang tempat di mana ia menari.

Konjungsi "bila" dan

"melainkan", memberi penekanan makna bahwa peristiwa pembunuhan itu begitu sadis.

Konjungsi "bukan

hanya" memberikan makna

Page 79: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

68

bahwa mereka lebih kejam daripada PKI. Bukan hanya merasa, mereka memang betul-betul berada di atas angin.

Ia memilih menunjukkan

kepada kami sebuah cara yang sangat otentik sekaligus sangat menyakitkan yang memaparkan betapa tindakan pembunuhan itu adalah sebagian dari jiwa dan kemanusiaannya. Menyelami relung-relung gelap itu bersama Anwar sungguh menyeramkan.

Dari situlah terbuka sebuah

kemungkinan rekonsiliasi yang sejati. Tidak ketika rezim para pembantai ini masih menjadi pemenang dan berkuasa.

Menurut taksirannya, ada 10

ribu, bahkan mungkin 100 ribu, "Anwar" lain selama pembantaian pasca-1965 itu.

Mereka disanjung sebagai

pahlawan, jadi tokoh masyarakat dan panutan, serta ditakuti sekaligus dihormati sebagai pelindung bangsa dari sebuah teror berupa fantasi yang mereka ciptakan sendiri.

Menyelami relung-relung

gelap itu bersama Anwar sungguh menyeramkan.

bahwa para pelaku pembunuhan itu sebenarnya sudah menyadari bahwa mereka lebih kejam daripada PKI.

"Menyelami" menjadi

kata penghubung kedua kalimat ini. Kata "menyelami" itu bermakna bahwa bagi Joshua, mengetahui perbuatan masa lalu Anwar secara detail sebagai tukang jagal adalah sesuatu yang menyeramkan.

Kata hubung "tidak" ini

menyampaikan bahwa rekonsiliasi tidak bisa terjadi jika para pelaku masih menjadi pemenang dan berkuasa.

Kata ganti

Kata "Anwar" menggantikan para pelaku pembunuhan dan pembantaian massal pasca-G30S di seluruh Indonesia.

Kata "mereka" juga

menggantikan para pelaku pembunuhan dan pembantaian massal pasca-G30S di seluruh Indonesia.

"Relung-relung gelap"

merujuk kepada reka ulang adegan pembunuhan yang dilakukan oleh Anwar.

Page 80: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

69

Para algojo itu juga menghadapi persoalan psikologis untuk mengatasi trauma yang mereka alami, mungkin tanpa disadari atau disadari tapi kemudian dengan sengaja disembunyikan.

Stilistik

Menurut taksirannya, ada 10

ribu, bahkan mungkin 100 ribu, "Anwar" lain selama pembantaian pasca-1965 itu.

Mereka disanjung sebagai

pahlawan, jadi tokoh masyarakat dan panutan, serta ditakuti sekaligus dihormati sebagai pelindung bangsa dari sebuah teror berupa fantasi yang mereka ciptakan sendiri.

Ketika dia berdansa cha-cha

di lantai atas bekas kantornya, hal itu kelihatannya menjadi simbol impunitas yang dinikmatinya

Menyelami relung-relung

gelap itu bersama Anwar sungguh menyeramkan.

Dari awal saya meyakinkan

diri saya bahwa semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, Hitler sekalipun, bukanlah seorang monster, melainkan mausia biasa

Kata "algojo" juga menggantikan para pelaku pembunuhan dan pembantaian massal pasca-G30S di seluruh Indonesia. Leksikon

Kata "Anwar" menggantikan para pelaku pembunuhan dan pembantaian massal pasca-G30S di seluruh Indonesia.

Kata "fantasi" dipakai

untuk menggambarkan bahwa hal tersebut tidak nyata, hanya berupa khayalan saja.

"Impunitas" berarti

kebal terhadap hukum, bebas dari hukuman yang seharusnya diterima karena sudah melakukan kesalahan atau kejahatan.

Dipilih kata "relung-

relung gelap" karena melihat reka ulang adegan pembunuhan yang dilakukan oleh Anwar itu sangatlah membebani pikiran.

Kata "monster"

menggambarkan sebuah makhluk yang sadis, brutal, dan tidak memiliki perasaan.

Page 81: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

70

yang sama seperti kita dan bisa mengambil keputusan yang salah.

Kebanggaan itu bercerita

tentang jiwa rapuh yang kerdil dan tak berani mengakui perbuatannya sebagai sesuatu yang salah dan jahat; dan karenanya diberi kedok narasi perjuangan heroik.

Retoris

Peragaan itu bukan hanya peragaan ulang, melainkan juga asli....

Killing is always an act. Menyelami relung-relung

gelap itu bersama Anwar sungguh menyeramkan.

Diksi "heroik" dipilih

untuk menyampaikan bahwa bagi para pelaku pembunuhan massal tersebut, mereka merasa seolah-olah tindakan yang mereka lakukan adalah tindakan kepahlawanan yang membela dan menyelamatkan orang banyak.

Grafis Tiga titik di akhir

kalimat tersebut mengisyaratkan pembaca untuk membayangkan sendiri, betapa sadis dan menyeramkannya peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Anwar dan para algojo lain saat itu.

Metafora Kutipan berbahasa

Inggris tersebut dapat diterjemahkan, "membunuh selalu merupakan sebuah tindakan." Kutipan tersebut disampaikan untuk menegaskan bahwa bagaimanapun juga, membunuh adalah tindakan yang salah.

"Relung-relung gelap"

mengiaskan suatu hal yang buruk dan kelam pada masa lalu, dalam hal ini merujuk pada pembunuhan yang

Page 82: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

71

Kebanggaan itu bercerita

tentang jiwa rapuh yang kerdil dan tak berani mengakui perbuatannya sebagai sesuatu yang salah dan jahat; dan karenanya diberi kedok narasi perjuangan heroik.

Lelaki kelahiran Texas,

Amerika Serikat, 1974, ini mengaku, selama pembuatan film, ia melakukan perjalanan yang amat sangat menyakitkan.

Sering, dalam proses

pembuatan film, saya tidak bisa tidur. Kalaupun bisa, saya bermimpi buruk.

dilakukan oleh Anwar. Diksi "jiwa rapuh yang

kerdil" merujuk kepada para pelaku pembunuhan dan pembantaian massal pasca-G30S yang tidak berani mengakui perbuatannya, bahkan mencari pembenaran atas kesalahannya.

Ekspresi

Premis "amat sangat menyakitkan" tersebut mengungkapkan betapa beratnya perjuangan Joshua selama pembuatan film tersebut. Perjuangan tersebut dapat diartikan sebagai beban mental, di mana melihat langsung reka ulang adegan pembunuhan yang dilakukan oleh Anwar.

"Bermimpi buruk"

sering diasosiasikan dengan peristiwa yang menjadi beban pikiran dan terus terbayang hingga akhirnya terbawa sampai mimpi. Dalam hal ini, yang menjadi beban pikiran Joshua dan para kru nya adalah reka adegan pembunuhan yang dilakukan oleh Anwar yang begitu sadis dan kejam.

Page 83: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

72

Berdasarkan hasil wawancara dengan Majalah Tempo, Penanggung jawab edisi

khusus ini, Seno Joko Suyono mengatakan,

"Ide itu pertama-tama datang secara tidak langsung, waktu itu Ariel Heryanto di Melbourne mengirim resensi film Act of Killing, dia selama ini telah banyak meneliti film-film Indonesia yang berkaitan dengan G30S dan PKI, menurut dia ini film yang paling kontroversial, karena bukan dari sisi korban tapi dari sisi pelaku. Setelah saya baca, loh ini menarik, kenapa tidak kita kembangkan menjadi edisi khusus, film ini hanya menjadi satu bagian tertentu, sementara kita mencari pelaku-pelaku dari daerah-daerah lain, itu ide awalnya dari resensi film Ariel yang kita kembangkan."

Sekilas tentang Ariel Heryanto, ia adalah Profesor dan Wakil Direktur

(Pendidikan), sekolah budaya, sejarah, dan bahasa Universitas Nasional Australia. Dia

bergabung dengan Australia's National University (ANU) pada tahun 2009 dan

memegang posisi sebagai Kepala bagian Asia Tenggara, Fakultas Studi Asia sebelum

berubah menjadi Sekolah Budaya, Sejarah dan Bahasa. Sebelumnya dia adalah wakil

pembicara Program Indonesia dari Asia Institute, The University of Melbourne. Dua

gelar pertamanya (Sarjana Muda dan doktorandus) adalah di bidang pendidikan dari

Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia. Ia memperoleh gelar MA dalam Studi

Asia dari University of Michigan (USA), dan gelar PhD di bidang antropologi budaya

dari Monash University. (https://researchers.anu.edu.au/researchers/heryanto-

a/#biography)

Artikel ini secara garis besar adalah hasil wawancara Majalah Tempo dengan

Joshua Oppenheimer, sutradara film Jagal atau The Act of Killing, film yang menjadi

inspirasi bagi Majalah Tempo untuk membuat edisi khusus ini.

Film Jagal atau The Act of Killing sendiri adalah film yang menampilkan

Anwar, seorang pelaku pembantaian pasca-G30S 1965. Film itu menunjukkan Anwar

yang memperagakan ulang cara-cara pembunuhan yang ia lakukan kepada para korban

pembantaian massal pasca-G30S. Film ini menjadi menarik karena para pelaku tersebut

Page 84: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

73

justru bangga untuk mengakui tindak pembunuhan sadis yang mereka lakukan dengan

dalih membela negara dari bahaya komunisme.

Pertanyaan yang diajukan oleh Majalah Tempo sebagian besar adalah seputar

proses pembuatan film itu sendiri dan tokoh utamanya, Anwar Congo. Namun

pertanyaan terakhir yang diajukan oleh Majalah Tempo adalah mengenai pendapat

Joshua tentang kemungkinan terjadinya rekonsiliasi, hal itu mengindikasikan bahwa

Majalah Tempo memang mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khusus ini.

Dalam artikel ini kental kesan bahwa peristiwa pembunuhan massal pasca-

G30S 1965 itu memang sangat sadis, kejam, dan menyeramkan. Hal tersebut terbukti

dengan berbagai hal, seperti dari penyertaan kutipan berbahasa Inggris, "Killing is

always an act", nominalisasi dalam kata "pembantaian", kata ganti "algojo", serta

metafora "relung-relung gelap" dan ekspresi "mimpi buruk".

Artikel ini juga mengajak para pembaca ikut menghayati dan membayangkan

betapa sadis dan kejamnya para pelaku pembunuhan massal pasca-G30S 1965 itu

dengan grafis tanda baca "titik" tiga (...) yang mengisyaratkan pembaca agar mereka

masing-masing menggunakan imajinasinya untuk "mengisi" kekosongan dari titik-titik

itu.

4.2.4 Analisis Teks Artikel Jalan Lain Penyelesaian Tragedi 1965

Tabel 4.4 Artikel 4

STRUKTUR WACANA

HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro

Tematik Judul: Jalan Lain

Penyelesaian Tragedi 1965

Topik Berbagai solusi untuk

menyelesaikan tragedi 1965.

Page 85: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

74

Superstruktur

Skematik Jalan Lain Penyelesaian Tragedi 1965

Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia menyimpulkan bahwa terdapat banyak bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia dalam peristiwa 1965.

Pembunuhan massal.

Peristiwa ini dirancang dan digerakkan dengan garis komando yang jelas, ... . ... Garis komandonya melalui semua kementerian, Kejaksaan Agung, tentara nasional, dan kepolisian.

Komini Nasional Hak Asasi

Manusia merekomendasikan agar

Skema Ringkasan (summary)

Judul Judul tersebut

merepresentasikan bahwa ada cara-cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan tragedi pembunuhan massal pasca-G30S 1965. Teras berita (lead)

Dalam teras artikel ini terdapat rangkuman dari pelanggaran HAM berat apa saja yang terjadi pada saat peristiwa pembantaian massal pasca-G30S 1965.

Cerita (story) Artikel ini

menggunakan gaya paragraf campuran deduktif-infuktif. Hal tersebut dapat dilihat dari Isi artikel ini yang setidaknya dapat dibagi menjadi dua bagian besar.

Inti dari bagian pertama

adalah menjabarkan tentang bagaimana pelanggaran HAM berat itu terjadi dan terus berlanjut dari tahun 1965 hingga kini.

Sedangkan inti dari

bagian kedua adalah tawaran

Page 86: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

75

Jaksa Agung dapat menindaklanjutinya temuan ini dengan penyidikan. ... . Tapi membiarkan masalah ini berlarut-larut akan membuatnya menjadi beban bangsa ini, dari generasi ke generasi.

dari solusi-solusi yang mungkin dilakukan untuk menyelesaikan kasus tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965 tersebut.

Struktur Mikro

Semantik

Data ini belum dihapus sampai sekarang, dan pergerakan orang-orang ini tetap terpantau, walaupun sudah berpindah domisili.

Kejahatan kemanusiaan itu

meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran secara paksa, perampasan kebebasan fisik, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.

Rantai komando sangat jelas,

yakni Kopkamtib sebagai wujud pelaksaan Surat Perintah 11 Maret.

Di sini terdapat perlakuan-

perlakuan dari aparat pelaksana yang di luar batas kemanusiaan. Penyiksaan, pemerkosaan, dan perendahan martabat manusia yang bentuknya bermacam-macam, sehingga para korban mengalami trauma psikologis dan

Latar

Latar yang diambil ialah latar waktu. Terbukti dengan premis "sampai sekarang" yang berarti ada hal yang belum terselesaikan dari dulu (sejak peristiwa G30S 1965) hingga sekarang.

Detail

Menjabarkan dengan detail kesembilan pelanggaran berat hak asasi manusia yang dimaksud.

Memberi penjelasan

secara implisit siapa orang yang bertanggung jawab atas peristiwa mengenaskan tersebut.

Menjelaskan lebih lanjut

bentuk-bentuk perlakuan dari aparat pelaksana yang di luar batas kemanusiaan.

Page 87: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

76

fisik yang luar biasa. Pembunuhan massal.

Peristiwa ini dirancang dan digerakkan dengan garis komando yang jelas, dan dilaksanakan dengan berbagai cara: pembunuhan dilakukan secara langsung oleh militer, atau dengan menggunakan tangan-tangan sipil yang terlatih sehingga terkesan terjadi konflik horizontal.

Garis komandonya juga dari

Kopkamtib. Kita harus menghormati

rekomendasi ini. Jumlah korbannya tentu

lebih banyak dari yang terbunuh ataupun yang ditangkap dan dipenjarakan.

Kita harus menghormati rekomendasi ini.

Maksud Menekankan bahwa

peristiwa pembunuhan massal ini bukan sebuah ketidaksengajaan, melainkan terencana dengan rapi dan dengan garis komando yang jelas.

Bermaksud untuk

menegaskan bahwa tragedi ini dilakukan secara sengaja dan terencana oleh pemegang kekuasaan waktu itu.

Penulis artikel ini, Imam

Aziz, mengajak pembacanya untuk mendukung Komnas HAM dalam upayanya menyelesaikan kasus tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965 ini. Pra-anggapan

Meyakinkan pembaca bahwa dampak dari tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965 ini sangat luas, lebih dari sekedar mati atau hilang.

Imam Aziz menganggap

bahwa semua pembaca setuju dan mendukung Komnas HAM dalam menyelesaikan kasus ini.

Page 88: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

77

Kejahatan kemanusiaan itu

meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran secara paksa, perampasan kebebasan fisik, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.

Pembunuhan massal. Karena itu, menurut saya,

perlu diusulkan kemungkinan penyelesaian nonyudisial, yakni penyelesaian secara politik dan kultural.

Sintaksis

Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia menyimpulkan bahwa terdapat banyak bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia dalam peristiwa 1965.

Peristiwa ini dirancang dan

digerakkan dengan garis komando yang jelas, dan dilaksanakan dengan berbagai cara: pembunuhan dilakukan secara langsung oleh militer, atau dengan menggunakan tangan-tangan sipil yang terlatih sehingga terkesan terjadi konflik horizontal.

Nominalisasi Terdapat imbuhan "pe-

an" dalam kesembilan kata yang merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia tersebut. Itu berarti adanya penekanan makna pada peristiwa-peristiwa mengenaskan yang terjadi saat itu.

Penekanan pada

peristiwa saat orang-orang yang dituduh sebagai PKI dibunuh secara besar-besaran pasca-G30S 1965.

Menekankan bahwa

kasus pembantaian massal pasca-G30S 1965 ini harus segera diselesaikan, dengan cara apapun.

Bentuk kalimat Kalimat aktif pada awal

teras artikel ini menunjukkan bahwa Komnas HAM berperan aktif dalam upaya menyelesaikan tragedi pembunuhan massal pasca-G30S 1965 ini.

Kalimat pasif yang

menekankan bahwa ada orang yang bertanggung jawab di balik peristiwa berdarah tersebut.

Page 89: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

78

Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia merekomendasikan agar Jaksa Agung dapat menindaklanjutinya temuan ini dengan penyidikan.

Penyelesaian atas tragedi di

1965 masih akan menimbulkan kotroversi, baik dari institusi negara, khususnya TNI, maupun kelompok masyarakat yang belum bersedia membicarakan perlunya penyelesaian masalah masa lalu. Tapi membiarkan masalah ini berlarut-larut akan membuatnya menjadi beban bangsa ini, dari generasi ke generasi.

Prioritas penyelesaian

nonyudisial tragedi 1965, menurut saya, adalah pemulihan korban.

Pada akhirnya mereka dipenjarakan di penjara-penjara di kota masing-masing, yang lamanya berkisar satu hingga tiga tahun. Ini pun tidak melalui pengadilan. Garis komandonya juga dari Kopkamtib.

Kalimat aktif ini

menunjukkan bahwa Komnas HAM berperan aktif dalam upaya menyelesaikan tragedi pembunuhan massal pasca-G30S 1965 ini dengan memberi rekomendasi kepada Jaksa Agung.

Kalimat deduktif pada

akhir artikel ini menunjukkan bahwa artikel ini bergaya campuran deduktif-induktif. Dalam paragraf ini disampaikan bahwa masalah ini harus secepatnya diselesaikan, meski akan menimbulkan kontroversi.

Salah satu inti artikel

yang terdapat di tengah-tengah artikel, menunjukkan artikel ini menggunakan gaya campuran deduktif-induktif. Pada kalimat ini disampaikan bahwa yang terpenting dalam penyelesaian kasus tragedi 1965 itu adalah pemulihan korban.

Koherensi

Konjungsi "ini pun" menegaskan bahwa pemenjaraan itu dilakukan seenaknya, tanpa melalui proses pengadilan. Sedangkan kata hubung "juga" menegaskan bahwa semua rangkaian peristiwa tersebut direncanakan oleh pihak-

Page 90: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

79

Ada pengawasan terus-

menerus, data pribadi serta keluarga mereka terdapat di semua kantor desa/kecamatan, dan terdapat kode-kode tertentu yang membedakan mereka dari warga biasa, yang tercantum dalam kartu tanda penduduk. Data ini belum dihapus sampai sekarang, dan pergerakan orang-orang ini tetap terpantau, walaupun sudah berpindah domisili.

Kedua, orang yang tidak

pernah mengalami pemenjaraan dan penyiksaan fisik tapi dikenai predikat "tidak bersih lingkungan", yang didefinisinya sangat longgar sehingga siapa saja yang diduga terkait secara darah, pertemanan, atasan-bawahan, dan sebagainya dengan orang-orang yang dikategorikan sebagai Golongan B dan C akan mendapat perlakuan khusus yang bisa menghilangkan hak-hak mereka, khususnya dalam jabatan pemerintahan, guru, karyawan di perusahaan milik negara, bahkan swasta. Akibatnya, banyak yang kehilangan jabatan dan pekerjaan atau kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, hak pilih, dan sebagainya. Jumlah korbannya tentu lebih banyak dari yang terbunuh ataupun yang ditangkap dan dipenjarakan.

Kita harus menghormati

pihak tertentu, dalam hal ini Kopkamtib yang memegang kekuasaan saat itu.

Frasa "data ini"

menghubungkan kalimat itu dengan kalimat sebelumnya, dengan memberi penjelasan yang lebih detail tentang hal tersebut.

Kata hubung

"akibatnya" menghubungkan sebab-akibat dari kalimat sebelumnya, di mana orang-orang yang tergolong "tidak bersih lingkungan" kehilangan hak-haknya sebagai warga negara karena mereka memiliki hubungan tidak langsung dengan orang-orang yang ditangkap dan dituduh PKI tersebut.

Kemudian kata "tentu" mengindikasikan bahwa dampak dari peristiwa tersebut begitu besar dan luas, jauh melebihi yang terbunuh ataupun yang ditangkap dan dipenjarakan.

Konjungsi "bagaimana-

Page 91: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

80

rekomendasi ini. Bagaimanapun, penyelesaian atas pelanggaran HAM dalam tragedi 1965 merupakan tanggung jawab negara. Seyogianya presiden sebagai kepala negara menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM tersebut.

Presiden dapat mewakili

"peran" itu dengan mengeluarkan pernyataan permintaan maaf dan mengakui terjadinya pelanggaran HAM. Dengan demikian, para korban akan kembali menjadi warga negara seutuhnya dan setara.

Penyelesaian atas tragedi di

1965 masih akan menimbulkan kotroversi, baik dari institusi negara, khususnya TNI, maupun kelompok masyarakat yang belum bersedia membicarakan perlunya penyelesaian masalah masa lalu. Tapi membiarkan masalah ini berlarut-larut akan membuatnya menjadi beban bangsa ini, dari generasi ke generasi.

Rantai komando sangat jelas,

yakni Kopkamtib sebagai wujud pelaksaan Surat Perintah 11 Maret.

Kita harus menghormati

pun" menguatkan pernyataan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus tragedi pembunuhan massal pasca-G30S 1965 ini. Kemudian kata "seyogianya" juga mendukung kalimat sebelumnya, di mana menyebutkan presiden sebagai wakil dari pemerintah untuk melaksanakan solusi-solusi yang sudah ditawarkan oleh Komnas HAM.

Frasa "dengan

demikian" mengantarkan kalimat sebelumnya kepada kesimpulan akan hasil yang akan diperoleh jika pemerintah melakukan apa yang direkomendasikan oleh Komnas HAM tersebut.

Konjungsi "tapi"

mempertentangkan antara resiko yang diambil jika menyelesaikan kasus tersebut dengan dampak negatif yang akan timbul jika kasus pembantaian massal pasca-G30S 1965 ini tidak diselesaikan.

Kata ganti Satu-satunya orang yang

menerima Surat Perintah 11 Maret (supersemar) adalah Soeharto.

Kata "kita" merujuk

Page 92: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

81

rekomendasi ini. Seyogianya presiden sebagai

kepala negara menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM tersebut.

Presiden dapat mewakili "peran" itu dengan mengeluarkan pernyataan permintaan maaf dan mengakui terjadinya pelanggaran HAM.

Penyelesaian atas tragedi di

1965 masih akan menimbulkan kotroversi, baik dari institusi negara, khususnya TNI, maupun kelompok masyarakat yang belum bersedia membicarakan perlunya penyelesaian masalah masa lalu.

Stilistik

Peristiwa ini dirancang dan digerakkan dengan garis komando yang jelas, dan dilaksanakan dengan berbagai cara: pembunuhan dilakukan secara langsung oleh militer, atau dengan menggunakan tangan-tangan sipil yang terlatih sehingga terkesan terjadi konflik horizontal.

Agar tragedi kemanusiaan itu

tidak terulang, pemerintah berkewajiban mengubah peraturan dan kebijakan yang selama ini menjadi alat legal untuk menyingkirkan warga yang berbeda pandangan politik.

pada ajakan Imam Aziz kepada para pembaca.

Saat artikel ini

dipublikasikan, yang menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia adalah Susilo Bambang Yudhoyono.

Kelompok masyarakat

yang dimaksud adalah mereka yang terlibat dalam pembantaian massal pasca-G30S 1965 dan tokoh masyarakat atau pemuka agama yang organisasinya dahulu ikut terlibat dalam peristiwa itu.

Leksikon

Frasa "garis komando" dipakai untuk menggambarkan bahwa peristiwa pembantaian massal pasca-G30S ini merupakan sebuah kesengajaan yang direncanakan dan diatur oleh orang yang memegang kekuasaan.

"Alat legal" merujuk

kepada undang-undang, peraturan, ketetapan, kebijakan, dan sebagainya, yang justru mendiskrimi-nasikan warga negara yang dahulu dilabeli sebagai golongan B, C, atau "tidak

Page 93: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

82

Retoris

Gambar kaki orang menginjak bayangan putih dengan latar belakang berwarna merah darah.

Pada sebelah kanan atas

dipaparkan biografi singkat penulis artikel tersebut:

M. IMAM AZIZ, ANGGOTA MAJELIS SYARIKAT INDONESIA, YOGYAKARTA, DAN AKTIF DALAM UPAYA REKONSILIASI TRAGEDI POLITIK 1965.

Seyogianya presiden sebagai

kepala negara menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM tersebut.

Permintaan maaf secara

resmi itu menjadi tonggak bagi rekonsiliasi nasional, mengajak semua pihak untuk menatap ke depan, dan memulai hidup baru

bersih lingkungan".

Grafis Gambar tersebut

mengiaskan tentang seseorang yang memiliki kuasa (kaki orang) di atas orang lain (bayangan), sehingga orang yang berkuasa tersebut dapat melakukan apa saja terhadap orang yang tidak memiliki kuasa, yang dalam hal ini adalah pembantaian massal pasca-G30S 1965 (latar belakang berwarna merah darah).

Pada biografi singkat

ini, ditulis secara gamblang bahwa M. Imam Aziz adalah seorang yang aktif dalam upaya rekonsiliasi tragedi politik 1965, sehingga wajar jika Majalah Tempo memasukkan tulisannya ke dalam edisi khusus ini, karena sesuai dengan apa yang ingin diwacanakan oleh Majalah Tempo, yakni rekonsiliasi.

Metafora

Kata "seyogianya" melambangkan sudah sepatutnya presiden memiliki kesadaran sendiri untuk melakukan hal tersebut.

"Tonggak" mengiaskan

suatu dasar, landasan, dan pondasi yang kokoh.

Page 94: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

83

saling berdampingan dengan hak dan kewajiban yang sama.

Permintaan maaf dibarengi

dengan rencana tindak lanjut untuk mengakhiri jurang pemisah antara masyarakat asli dan non-asli Australia dalam membangun harapan baru, pendidikan, dan kesempatan yang sama dalam ekonomi serta politik.

Di sini terdapat perlakuan-

perlakuan dari aparat pelaksana yang di luar batas kemanusiaan.

Kita harus menghormati

rekomendasi ini.

Frasa "jurang pemisah"

ingin mengutarakan sesuatu yang sangat jauh atau tidak mungkin disatukan. Dalam hal ini, Imam Aziz ingin mengatakan bahwa jika ada niat dan kemauan, hal yang tidak mungkin pun dapat menjadi mungkin (rekonsiliasi).

Ekspresi

Premis "di luar batas kemanusiaan" mengekspresikan betapa tidak manusiawinya perlakuan penyiksaan yang dilakukan para aparat kepada para tahanan atau korban.

"Harus menghormati"

memberi kesan bahwa rekomendasi itu adalah sesuatu yang sangat penting sehingga harus didukung dan dihormati.

Majalah Tempo tentu saja tidak sembarangan dalam memilih tulisan siapa yang

akan dimuat dalam edisi khusus ini. Seperti yang disampaikan oleh Seno, bahwa orang-

orang yang tulisannya dimuat dalam edisi ini adalah orang-orang yang benar-benar

paham dengan masalah ini, sudah melakukan penelitian, dan memiliki misi yang sama

dengan Majalah Tempo, yaitu rekonsiliasi.

Page 95: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

84

Dalam artikel bergaya campuran deduktif-induktif ini, terdapat dua pokok

bahasan, dari paragraf satu hingga enam membahas tentang kasus-kasus pelanggaran

HAM yang terjadi, kemudian mulai dari paragraf ketujuh hingga selesai membahas

tentang solusi-solusi yang ditawarkan atau direkomendasikan oleh Komnas HAM

kepada pemerintah untuk segera/secepatnya dilakukan.

Dari paragraf pertama hingga keenam, ditekankan kepada kejamnya pemerintah

dan pihak-pihak yang termasuk sebagai pelaku pada peristiwa pembantaian massal

pasca-G30S 1965. Hal tersebut dapat dilihat dari penjabaran secara detail kesembilan

pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi, leksikon "garis komando", serta

konjungsi atau hubungan antar kalimat yang menceritakan tentang penderitaan para

korban yang disebabkan oleh diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Sedangkan untuk pokok bahasan kedua, ditekankan pada pemerintah yang harus

meminta maaf secara resmi kepada masyarakat, terutama para korban, diikuti dengan

pengembalian hak-hak mereka sebagai warga negara secara utuh. Hal tersebut terbukti

dari kata "kita" yang merupakan ajakan Imam Aziz selaku penulis artikel tersebut

kepada para pembacanya untuk mendukung Komnas HAM dalam menuntaskan kasus

ini.

Selain itu, ada setidaknya empat kali repetisi kata "permintaan maaf" dalam

artikel tersebut, itu menandakan bahwa permintaan maaf itu sangat penting. Kemudian,

Imam Aziz juga mengutarakan pendapat pribadinya, di mana ia memprioritaskan

pemulihan para korban dalam penyelesaian kasus pembantaian massal pasca-G30S

1965 tersebut.

Page 96: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

85

Artikel bergaya campuran deduktif-induktif ini ditutup dengan sebuah

kesimpulan pertentangan, di mana rekonsiliasi atau penyelesaian kasus pembunuhan

massal pasca-G30S 1965 ini harus tetap dituntaskan, meskipun masih ada pihak yang

menentang atau tidak mau mendukung upaya penyelesaian masalah ini.

Dari keempat artikel yang dianalisis tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan

secara garis besar sebagai berikut:

Tabel 4.5 Kesimpulan

STRUKTUR WACANA

HAL YANG DIAMATI

ELEMEN TERDAPAT DALAM

ARTIKEL Struktur Makro

Tematik

Topik Rekonsiliasi dimulai dari

pengakuan.

1, 2, 4

Superstruktur

Skematik

Skema Ringkasan (summary)

Judul Terdapat kata

"pengakuan" pada judul. Teras berita (lead)

Pentingnya pengakuan dari pelaku.

Peristiwa pembantaian

massal pasca-G30S 1965 tidak bisa dilupakan begitu saja.

Cerita (story)

Pentingnya rekonsiliasi.

1, 2 1, 2 3,4 1, 2, 3, 4

Struktur Mikro

Semantik

Latar

Mengesankan waktu yang

1, 3, 4

Page 97: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

86

Sintaksis

cukup panjang dan lama.

Detail Tindak pelanggaran HAM

yang terjadi pada saat peristiwa pembantaian massal pasca-G30S 1965.

Siapa saja yang dapat

dimintai pertanggungjawaban atas tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965.

Maksud

Kurangnya niat pemerintah dan aparat untuk menyelesaikan kasus ini.

Pra-anggapan

Rekonsiliasi sangat penting.

Nominalisasi

"Pengakuan" atau "Permintaan maaf"

"Pembantaian" atau

"pembunuhan"

Bentuk kalimat

Deduktif berintikan rekonsiliasi atau pengakuan dan permintaan maaf dari pelaku.

Aktif mendukung

rekonsiliasi.

Koherensi Menghubungkan

pertentangan antara penolakan terhadap rekonsiliasi dengan

2, 3, 4 1, 3, 4 2, 3, 4 1, 2, 4 1, 2, 4 1, 3, 4 1, 4 4 1, 2, 3, 4

Page 98: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

87

Stilistik

Retoris

akibat jika rekonsiliasi tidak diwujudkan.

Kata ganti

Merujuk kepada pihak-pihak yang seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban atas tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965. Leksikon

Mengiaskan peristiwa dan para pelaku pembantaian massal pasca-G30S 1965 yang begitu kejam dan sadis.

Grafis Pentingnya rekonsiliasi. Betapa kelamnya peristiwa

pembantaian massal pasca-G30S 1965.

Metafora

Mengiaskan tindakan sadis yang dilakukan para pelaku pembantaian massal pasca-G30S 1965.

Ekspresi

Mendukung rekonsiliasi. Menentang peristiwa

pembantaian massal pasca-G30S 1965.

3, 4 1, 2, 3, 4 2, 4 3, 4 1, 2, 3 1, 2, 4 3, 4

Dari tabel kesimpulan tersebut, dapat kita lihat bahwa Majalah Tempo ingin

menyampaikan bahwa kasus pembantaian massal pasca-G30S 1965 sudah sangat lama

Page 99: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

88

terlantar dan belum diselesaikan hingga sekarang. Hal tersebut terbukti dari latar waktu

yang diambil oleh Majalah Tempo, yang mengesankan waktu yang begitu lama /

panjang.

Kasus yang sudah terlantar begitu lama ini, bagi Majalah Tempo, tidak dapat

dilupakan atau diabaikan begitu saja karena tragedi pembantaian massal pasca-G30S

1965 ini merupakan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang begitu sadis dan

kejam. Hal tersebut terbukti dari, skema (teras), semantik (detail dan nominalisasi),

stilistik (leksikon), dan retoris (grafis, metafora, dan ekspresi) yang menggambarkan

betap kejam, sadis, dan tidak manusiawinya tindakan yang dilakukan oleh para pelaku

pembantaian massal pasca-G30S 1965 itu.

Para pelaku dan pihak-pihak yang seharusnya dapat dimintai

pertanggungjawaban pun sudah dipaparkan oleh Majalah Tempo dalam edisi ini.

Pemaparan tersebut dapat dilihat dari semantik (detail) dan sintaksis (kata ganti) yang

dengan cukup eksplisit menunjukkan pihak-pihak mana saja yang terlibat dan dapat

dimintai pertanggungjawabannya.

Majalah Tempo melihat bahwa pemerintah kurang serius dalam menyelesaikan

kasus ini. Hal tersebut disampaikan melalui semantik (maksud) dan sintaksis

(koherensi), yang memaparkan akibat-akibat yang akan muncul jika rekonsiliasi tidak

segera diwujudkan.

Rekonsiliasi sendiri, sebagai wacana utama dari edisi khusus Majalah Tempo

kali ini, disampaikan melalui hampir semua bagian, baik dari struktur makro,

superstruktur dan struktur mikro. Struktur makro berupa tematik, mengangkat topik

bahwa rekonsiliasi harus dimulai dari pengakuan para pelaku pembantaian massal

Page 100: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

89

pasca-G30S 1965. Kemudian di tingkat superstruktur, pada judul, teras, dan cerita,

mengedepankan pentingnya rekonsiliasi. Dan pada tingkat struktur mikro, pada unsur

semantik (pra-anggapan dan nominalisasi), sintaksis (bentuk kalimat), dan retoris

(grafis dan ekspresi), berulang kali disampaikan dukungan, manfaat, serta pentingnya

rekonsiliasi.

Jadi, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam edisi khusus ini, Majalah

Tempo menyampaikan pentingnya rekonsiliasi dari kasus pembantaian massal pasca-

G30S 1965 yang merupakan tragedi pelanggaran berat hak asasi manusia itu dari

struktur makro yaitu tematik dan superstruktur yaitu skema, pada bagian cerita (story).

4.3 Pembahasan

Dari hasil analisis teks di atas, penulis mendapatkan dua tema besar yang ingin

disampaikan oleh Majalah Tempo. Pertama adalah Majalah Tempo ingin mengesankan

bahwa harus ada pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa pembantaian massal

pasca-G30S 1965 itu, karena peristiwa itu adalah tragedi pelanggaran hak asasi

manusia yang luar biasa sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Kedua adalah

wacana rekonsiliasi yang ingin ditawarkan Majalah Tempo sebagai solusi dari

penyelesaian kasus ini.

Kesimpulan penulis bahwa Majalah Tempo mengesankan bahwa harus ada

pihak yang bertanggung jawab atas tragedi pembantaian pasca-G30S 1965 itu,

diperkuat oleh kesimpulan Randy Hernando (2013: 324) yang menyimpulkan,

"Dari penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa majalah Tempo menggambarkan tentara sebagai representasi negara menjadi pihak yang memiliki peranan besar dalam

Page 101: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

90

pembantaian massal pascagerakan G-30-S. Pihak tentara melakukan propaganda dan pemanfaatan isu agama serta ancaman terhadap negara menjadi cara ampuh menggerakan massa untuk bersama menumpas PKI."

Kesan yang disampaikan Majalah Tempo bahwa peristiwa pembantaian massal

pasca-G30S 1965 itu adalah tragedi pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa

sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja juga dapat kita lihat dari beberapa hasil

analisis, seperti beberapa nominalisasi dari kata "pembunuhan" dan "pembantaian",

leksikon "bergajul", "dihabisi", dan "garis komando", metafora "relung-relung gelap",

serta ekspresi "mimpi buruk" dan "amat sangat menyakitkan".

Dari kesimpulan tersebut, dapat dilihat bahwa dalam artikelnya, selain

mengesankan bahwa peristiwa pembantaian massal pasca-G30S 1965 itu adalah tragedi

pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa sehingga tidak dapat diabaikan begitu

saja, Majalah Tempo juga memaparkan bukti-bukti keterlibatan tentara dan pihak-pihak

lain yang terlibat, namun Majalah Tempo tidak mau menuduh atau memaksa pihak-

pihak tersebut untuk mengaku.

Selanjutnya adalah wacana rekonsiliasi yang ingin ditawarkan Majalah Tempo

sebagai solusi dari penyelesaian kasus ini. Wacana rekonsiliasi disampaikan oleh

Majalah Tempo dalam edisi ini dengan cukup terbuka / eksplisit. Dari hasil wawancara

penulis dengan Majalah Tempo, Seno Joko Suyono selaku penanggung jawab edisi

khusus tersebut mengatakan, "Dalam menerbitkan edisi itu memang terbayang

rekonsiliasi itu, menurut kami salah satu upaya rekonsiliasi diperlukan keterbukaan dari

kedua belah pihak." Berangkat dari pernyataan itu, dapat diketahui bahwa memang

Majalah Tempo mewacanakan Rekonsiliasi dalam edisi khusus 1-7 Oktober 2012

tersebut.

Page 102: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

91

Wacana rekonsiliasi itu sendiri Majalah Tempo sajikan hampir dalam setiap

unsurnya, mulai dari struktur makro (tematik) yang mengangkat tema bahwa

rekonsiliasi harus dimulai dari pengakuan, superstruktur (judul, teras, dan cerita) yang

mengedepankan pentingnya rekonsiliasi, hingga tingkat struktur mikro, pada unsur

semantik (pra-anggapan dan nominalisasi), sintaksis (bentuk kalimat), dan retoris

(grafis dan ekspresi) yang memberikan dukungan terhadap wacana rekonsiliasi

tersebut.

Jadi, untuk tingkat analisis teks, Majalah Tempo menjabarkan pelanggaran berat

hak asasi manusia yang terjadi pada kasus pembantaian massal pasca-G30S 1965 dan

mengedepankan unsur rekonsiliasinya melalui struktur makro (tematik) dan

superstruktur (cerita).

Dari segi kognisi sosial, Majalah Tempo mengaku kredibel dan tidak berpihak.

Majalah Tempo juga benar-benar menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Hal tersebut

diperkuat oleh Kurniawan, Kepala Proyek edisi khusus ini, yang menyatakan bahwa

Majalah Tempo menjunjung tinggi kebenaran secara jurnalistik. Lebih jauh Kurniawan

menjelaskan, semua artikel yang dipublikasikan sudah menjalani prosedur jurnalistik

yang benar, seperti memverifikasi kebenaran data, menghormati hak off the record

narasumber, dan lainnya. "Kebenaran secara jurnalistik ya. Kadang-kadang kita

dituntut juga untuk membuat sebuah kebenaran yang mutlak, saya kira bukan, jadi yang

bisa kita temukan ya sejauh yang bisa kita lakukan sebagai seorang jurnalis," tutur

Kurniawan.

Page 103: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

92

Tentang Majalah Tempo, Asvi Warman Adam berpendapat,

"Saya melihat Tempo sudah menjaga kredibilitasnya, buktinya ketika pemimpinnya Wahyu Muryadi ada nuansa politik di dalamnya dan ia terlibat, ia diganti, digeser kedudukannya, sekarang Arif Zulkifli. Tempo cukup kritis terhadap kalangan mereka sendiri kalau tidak kredibel. Saya juga justru menghargai Tempo yang sangat berani karena Tempo-lah yang mencoba menampilkan kekhasannya itu dengan liputan khusus."

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Seno,

"Kita adalah majalah yang jelas-jelas tidak bertolak dari ideologi mana pun, apakah itu kiri, apakah itu Islam, yang jelas kita bekerja sebagaimana sebuah majalah bekerja, yang berada di antara kedua belah pihak, cover both side, saya kira kerja wartawan investigasi atau majalah pada umumnya begitu."

Seno menambahkan bahwa tim yang bekerja dalam proses pembuatan edisi ini,

semuanya adalah anak muda, lahir antara tahun 1970 hingga 1980, sehingga tidak ada

dari mereka yang terlibat dalam peristiwa pembantaian massal pasca-G30S 1965 itu,

dan itu menjadi keuntungan bagi mereka karena dapat menjaga jarak dengan

narasumber, sehingga berita yang dihasilkan tetap netral. "Seluruh wartawan yang

bekerja di dalam edisi khusus itu lahir tahun 70-80an, jadi kami sama sekali tidak

pernah terlibat dalam hal-hal itu dan menurut kami justru itu kekuatannya ya, kami

mengambil jarak dari peristiwa itu," jelas Seno.

Diawali dengan ketertarikan redaksi Majalah Tempo dengan resensi film Jagal

atau The Act of Killing buatan sutradara Joshua Oppenheimer, yang ditulis oleh Ariel

Heryanto, Majalah Tempo mengembangkannya menjadi edisi khusus dan mencoba

sudut pandang yang baru, yaitu dari sisi pelaku, di mana mereka mencari orang-orang

seperti Anwar yang mau mengakui perbuatannya.

Page 104: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

93

Seno mengatakan, tim edisi khusus ini menemukan kejutan yang tidak mereka

duga. Dalam bayangan mereka, akan sangat sulit menemukan orang yang mau

mengakui perbuatannya, namun fakta di lapangan berkata lain.

"Kendalanya paling pembagian di lapangan, bahkan banyak menemukan surprise dengan menemukan betapa mudahnya orang mengaku. Justru dalam bayangan kami akan sulit sekali menemukan orang-orang yang mau mengaku, tapi ini malah ketemu, ngaku, dan dengan bangga bercerita mengalir, dan mau direkam, itu malah membuat kami surprise, dan menganggap perbuatan itu adalah suatu bentuk bela negara, mereka tetap tidak merasa bersalah, makanya dengan bangga mereka ceritakan, dan kita rekam mau, dan kita foto mau."

Selain wacana rekonsiliasi, Kurniawan mengatakan bahwa melalui edisi ini,

Majalah Tempo juga ingin mengungkapkan sejarah yang selama ini ditutup-tutupi.

Kendati demikian, rekonsiliasi tetaplah menjadi fokus utama mereka, karena menurut

Majalah Tempo, rekonsiliasi ini penting bagi Bangsa Indonesia, dari pelurusan sejarah,

pemulihan korban, serta nasib generasi penerusnya.

Meski mengaku netral dan tidak berpihak, penulis melihat Majalah Tempo tetap

memiliki kepentingan dan keberpihakan. Majalah Tempo memiliki kepentingan untuk

menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus

tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965 ini. Majalah Tempo juga berpihak

kepada para korban yang telah dilanggar hak asasinya sebagai manusia. Majalah

Tempo mewujudkan keberpihakannya ini melalui wacana rekonsiliasi tersebut.

Kesungguhan Majalah Tempo dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM di

Indonesia, serta kepedulian Majalah Tempo terhadap rekonsiliasi ini tidak hanya dapat

kita lihat dalam edisi khusus ini. Hal tersebut dapat kita lihat dengan diraihnya

penghargaan Yap Thiam Hien Award 2012 oleh Majalah Tempo. Ketua Yayasan Yap

Page 105: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

94

Thiam Hien, Todung Mulya Lubis (dalam situs http://tinyurl.com/mqynwhj)

mengatakan,

"Tempo telah berada di garis depan dalam pemberitaan hak asasi manusia sepanjang sejarah terbitnya Tempo yang juga pernah dibredel oleh rejim Orde Baru. Tak satu pun berita pelanggaran hak asasi manusia yang luput dari pemberitaan Tempo, sehingga membuat rakyat mengetahui bahwa pelanggaran hak asasi manusia ternyata tak pernah berhenti."

Untuk ke depannya, setelah edisi khusus ini, Majalah Tempo juga masih setia

dalam mewacanakan rekonsiliasi atau yang berkaitan dengan penegakan hak asasi

manusia, hal tersebut diungkapkan Kurniawan, "Sejauh ini kita masih memikirkan

terus, seperti yang barusan September (2013) lalu kita menerbitkan Lekra kan, itu

berkaitan juga dengan rangka rekonsiliasi."

Majalah Tempo menganggap rekonsiliasi penting untuk menyelesaikan kasus

pembantaian massal pasca-G30S 1965 ini sehingga mengangkatnya sebagai wacana.

Wacana rekonsiliasi ini Majalah Tempo angkat dengan tetap menjunjung tinggi kode

etik jurnalistik, terbukti dengan para wartawan yang menjaga jarak dengan narasumber

dan menghargai hak-hak off the record narasumber.

Keterbatasan space dan halaman, tentu membuat semua media cetak, termasuk

Majalah Tempo, untuk sangat selektif dalam menentukan isi media mereka. Tidak

mungkin semua tulisan dari sembarang orang mereka muat dalam media cetak mereka.

Oleh karena itu, hanya tulisan dari orang-orang tertentu yang mempunyai akses lah

yang dapat dimuat oleh sebuah media cetak, termasuk Majalah Tempo.

Akses itu Majalah Tempo berikan kepada orang-orang yang mendukung

kepentingan mereka. Salah satunya adalah akses yang diberikan kepada M. Imam Aziz,

seorang yang aktif dalam upaya rekonsiliasi tragedi politik 1965. Akses tersebut

Page 106: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

95

diwujudkan dengan dimuatnya buah pemikiran M. Imam Aziz berupa artikel Jalan

Lain Penyelesaian Tragedi 1965.

Jadi, untuk tingkat kognisi sosial, dapat disimpulkan bahwa meski Majalah

Tempo menyatakan mereka tidak memihak siapa pun, dalam praktiknya, Majalah

Tempo tetap berpihak dan memiliki kepentingan. Mereka berkepentingan untuk

menegakkan hak asasi manusia di Indonesia, dan berpihak pada para korban yang telah

dilanggar hak asasinya.

Dengan power yang dimiliki Majalah Tempo untuk menentukan sendiri isi dari

majalahnya, mereka mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khusus ini. Majalah Tempo

juga mencari dukungan dengan memberikan akses kepada orang-orang yang juga

memiliki kepentingan dan keberpihakan yang sama dengan Majalah Tempo, berupa

memuat tulisan-tulisan dari orang-orang tersebut dalam edisi khususnya kali ini.

Pada tingkat analisis sosial, harus dimulai dari sosio-kultural masyarakat

Indonesia pada saat itu. Berdasarkan hasil wawancara dengan Asvi Warman Adam,

seorang sejarawan Indonesia, diketahui bahwa pada saat itu awal permasalahannya

adalah masalah tanah. Partai Komunis Indonesia (PKI) mendukung pemerintah yang

mengeluarkan peraturan tentang batas kepemilikan tanah seseorang.

PKI melakukan "aksi sepihak", di mana mereka mengambil paksa tanah-tanah

milik orang-orang kaya yang melebihi batas yang sudah ditentukan. Namun pemilik

tanah pun tidak tinggal diam, mereka menyumbangkan tanah itu kepada pesantren,

Kiai, dan sebagainya, sehingga seakan-akan PKI merampas tanah tersebut dari Kiai

atau pesantren, sehingga PKI dicap negatif oleh masyarakat, terutama kaum Muslim

yang merupakan agama mayoritas di Indonesia.

Page 107: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

96

Sebenarnya, tidak ada hubungan antara komunisme dengan atheisme.

Komunisme sendiri hanyalah paham atau ideologi di mana menginginkan kondisi sosial

masyarakat yang setara atau tanpa kelas. Asvi mengatakan,

"Kalau kita bicara tentang ajaran apapun yang berkembang dari Eropa memang tidak dikaitkan dengan agama, apakah itu marxisme, liberalisme, tapi saya mengatakan bahwa tidak berarti mereka itu atheis, tidak berarti mereka tidak ber-Tuhan, atau anti Tuhan, mereka tidak mengaitkan ideologi itu dengan agama. Tetapi di sini ditafsirkan atau sengaja dibuat bahwa karena mereka tidak berkaitan dengan agama, mereka itu tidak beragama, mereka itu tidak ber-Tuhan, tidak mengakui Tuhan."

Menurut Asvi, secara kebetulan, mayoritas anggota PKI adalah kaum abangan

yang kurang taat beribadah, bukan kaum santri yang memang taat beribadah. Melihat

celah itu, menjelang pemilu tahun 1955, pada Bulan Desember 1954, Masyumi untuk

pertama kalinya mengeluarkan fatwah bahwa atheisme itu artinya orang yang tidak ber-

Tuhan, dan tidak ber-Tuhan itu sama dengan kafir, dan kafir itu orang yang boleh

diberangi. Dihembuskan pula bahwa orang-orang PKI yang tidak taat beragama itu

adalah atheis, tidak ber-Tuhan. Jadi, pemahaman masyarakat yang salah tentang PKI

dimulai dari sana.

Pemahaman yang salah itu terus berkembang di tengah masyarakat Indonesia

hingga meletusnya tragedi G30S 1965. Menurut Asvi, setidaknya ada tiga pihak yang

terlibat dalam peristiwa mengenaskan tersebut, yaitu PKI, faktor asing seperti CIA dan

dinas rahasia Inggris, serta Angkatan Darat. Posisi yang diuntungkan adalah Angkatan

Darat, di mana situasi dan kondisi masyarakat sedang kacau, Angkatan Darat lah yang

muncul sebagai pahlawan dengan berusaha mengamankan keadaan.

Soeharto melihat celah itu, Ia segera menjadikan PKI-saingan beratnya untuk

mendapatkan kekuasaan sebagai kambing hitam, dengan menuduh PKI lah yang

Page 108: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

97

melakukan aksi penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jenderal tersebut. Tuduhan

tersebut ia sampaikan kepada masyarakat melalui rekaman pidatonya di Radio

Republik Indonesia (RRI). Dengan tentara Angkatan Darat yang dimilikinya, Soeharto

mulai mengajak masyarakat untuk bergerak menumpas orang-orang yang terindikasi

sebagai PKI atau mempunyai hubungan dengan PKI (Lesmana, 2005: 8-10).

Penggunaan kekuatan Angkatan Darat ini, sebagai "alat" untuk menumpas

orang-orang yang terindikasi sebagai PKI atau mempunyai hubungan dengan PKI

tersebut, adalah suatu bentuk penggunaan Repressive State Apparatus oleh pemegang

kekuasaan (Soeharto).

Akumulasi dari kebencian soal masalah tanah yang dirampas oleh PKI,

pelarangan film-film barat oleh PKI yang membuat bioskop sepi sehingga

menghilangkan pencarian nafkah dari Anwar Congo dan teman-temannya, membuat

masyarakat membenci PKI, dan dengan didukung oleh fatwah Masyumi yang

menyatakan bahwa orang kafir itu orang yang boleh diberangi, masyarakat mulai turut

membantu Angkatan Darat membantai orang-orang yang dituduh PKI.

Tragedi berdarah pasca-G30S 1965 ini terus berlangsung hingga sekitar awal

tahun 1966, sampai Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret (supersemar) dari

Soekarno. Sehari setelah itu, pada tanggal 12 Maret 1966, Soeharto mengumumkan

pembubaran PKI serta ormas-ormasnya, disertai dengan unjuk kekuatan oleh Angkatan

Darat di Jakarta, sehingga masyarakat merasa aman dan mendukung Soeharto, hingga

akhirnya Soeharto berhasil naik ke puncak kekuasaan dengan menjadi Presiden

Republik Indonesia yang kedua.

Page 109: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

98

Pasca-G30S 1965, stigma bahwa PKI adalah atheis terus dipelihara oleh

Soeharto demi kepentingan politiknya. Asvi menambahkan,

"Saya menganggap PKI ini bukan hanya dianggap sebagai lawan atau musuh politik, tetapi juga untuk kepentingan lain, sebagai alat pemukul politik. Ini dipelihara sehingga orang yang bukan PKI, yang kritis terhadap pemerintah, itu nanti kan gampang, di cap PKI gitu. Yang kedua ini untuk keperluan praktis, untuk membeli tanah dengan harga murah, kalau mereka tidak mau, nanti di cap PKI gitu."

Label itu berhasil merasuk ke dalam benak masyarakat sehingga mereka

membenci PKI. Selama orde baru, Soeharto berhasil mempertahankan stigma tersebut

dengan hanya boleh mengizinkan satu versi tentang peristiwa pembantaian massal

pasca-G30S, sekaligus melarang versi lain untuk dipublikasikan dalam bentuk apa pun.

Akses masyarakat untuk mendapatkan informasi pun masih sangat terbatas, sehingga

mereka mau tidak mau harus percaya dengan satu-satunya sumber yang mereka

dapatkan, yaitu pemerintah.

Soeharto menggunakan ideological state apparatuses untuk mempertahankan

stigma buruk terhadap PKI tersebut. Ideological state apparatuses yang turut berperan

di dalamnya pada saat itu cukup banyak, terutama sekolah, departemen-departemen

pemerintahan, peraturan dan undang-undang, serta media massa.

Kekuasaan penuh terus berada di tangan Soeharto hingga akhirnya pada tahun

1998 generasi muda melakukan aksi reformasi dan meruntuhkan rezim orde baru.

Indonesia telah kembali kepada ideologi demokratisnya di mana kekuasaan tertinggi

ada di tangan rakyat.

Runtuhnya rezim orde baru tidak membuat kasus pembantaian massal pasca-

G30S selesai begitu saja. Stigma yang terpelihara selama lebih dari 30 tahun ini sulit

dihilangkan dari masyarakat. Saat ini, masyarakat setidaknya dapat dibagi menjadi dua

Page 110: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

99

kelompok, yaitu para pelaku atau orang-orang yang terlibat dalam peristiwa

pembantaian massal pasca-G30S 1965 dan generasi muda. Untuk orang-orang yang

terlibat dalam tragedi berdarah itu, Asvi Warman Adam menjelaskan,

"Mereka yang dahulu terlibat dalam peristiwa itu sebagai pelaku, mereka tentu tidak berubah pandangannya, soalnya kalo mereka merubah pandangannya mereka akan disalahkan, jadi mereka tidak akan merubah pandangan atau perspektifnya, versinya kan yang memberontak PKI, karena mereka pemberontak maka bisa diperlakukan apa saja. Jadi ini untuk memberikan legitimasi, justifikasi terhadap apa yang mereka lakukan, jadi orang-orang itu tidak berubah pandangannya sampai sekarang."

Berbeda dengan generasi muda, saat ini akses informasi sudah begitu luas, mudah, dan

tidak terbatas, sehingga para generasi muda sudah mulai lepas dari doktrin ideological

state apparatuses yang mengatakan bahwa PKI itu adalah dalang tragedi pasca-G30S

1965 itu.

Sekalipun saat ini kekuasaan (power) memang masih ada di tangan pemerintah,

namun dengan kemudahan akses yang ada saat ini, masyarakat dapat dengan mudah

mengawasi dan mengkritik pemerintah. Namun, meski masyarakat dapat mengawasi

serta mengkritik pemerintah, hal tersebut belum cukup untuk menyelesaikan masalah

tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965 secara tuntas.

Untuk menuntaskan masalah tersebut, harus diawali dari pengakuan. Selain

pengakuan dari para pelaku di tingkat mikro, pemerintah pada tingkat makro juga

seharusnya bisa memulainya dengan mengakui adanya pelanggaran HAM berat dalam

kasus pembunuhan massal pasca-G30S 1965 tersebut, dan menyampaikan permintaan

maaf secara terbuka kepada keluarga para korban.

Sayangnya menurut Asvi, tidak ada niatan dari pemerintah untuk menyelesaikan

masalah ini hingga tuntas. Masalah ini hanya akan selesai dengan tuntas apabila semua

Page 111: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

100

pihak yang terlibat mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada para korban,

terutama pemerintah.

Jadi, melihat pemerintah yang tak kunjung menyelesaikan kasus pembantaian

massal pasca-G30S 1965 ini, Majalah Tempo merasa perlu mewacanakan rekonsiliasi

dengan mengesankan bahwa tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965 itu

bukanlah sekadar kasus biasa yang bisa dilupakan begitu saja, serta memaparkan bukti-

bukti adanya pihak-pihak yang terlibat yang seharusnya dapat dimintai

pertanggungjawaban-tanpa memihak, menuduh, atau merugikan mereka. Majalah

Tempo menyampaikan kepada pembacanya bahwa rekonsiliasi itu sangat penting,

karena kasus pembantaian massal pasca-G30S 1965 ini tidak akan selesai dengan tuntas

hanya dengan tumbangnya rezim orde baru serta kemudahan akses dan keterbukaan

informasi yang dinikmati oleh masyarakat sekarang ini.

4.3.1 Rekonsiliasi Mikro

Runtuhnya rezim orde baru, membuat tragedi pembantaian massal

pasca-G30S 1965 terangkat kembali. Banyak orang-orang baik korban, pelaku,

maupun saksi dari peristiwa itu yang mulai berani berbicara memberikan

kesaksiannya. Hal itu terbukti dari banyaknya buku-buku yang terbit untuk

menceritakan peristiwa pembantaian massal tersebut dari berbagai perspektif

yang berbeda. Munculnya berbagai versi tentang peristiwa naas tersebut

membuat banyak misteri sejarah Bangsa Indonesia yang mulai terungkap.

Meski lubang sejarah sudah tertutup, kasus ini tidak lantas selesai begitu

saja. "Sebenarnya terkadang dalam diriku tumbuh juga perasaan sedih, pedih,

Page 112: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

101

perih, apalagi saat menghadiri acara ulang tahun teman. Aku merasa iri dan

sedih karena sejak kecil aku tidak merasakan akan betapa indahnya kasih

sayang bapak" (Proletariyati, 2002: 23). Ungkapan itu mewakili berjuta

kesedihan lain dari para keluarga korban tragedi pembantaian massal pasca-

G30S 1965.

Masih tersisanya begitu banyak luka bagi para korban, membuat kasus

pembantaian massal pasca-G30S 1965 ini tidak dapat dilupakan begitu saja.

Masalah ini harus diselesaikan hingga tuntas. Langkah pertama yang dapat

dilakukan adalah dengan diadakannya rekonsiliasi pada tingkat mikro atau

horizontal, yaitu rekonsiliasi antara individu pelaku dan korban dari kasus

pembantaian massal pasca-G30S 1965.

Rekonsiliasi pada tingkat ini sudah mulai berjalan di Indonesia.

Contohnya adalah dari artikel kedua yang penulis teliti, grafis berupa kutipan

yang menuliskan kalimat pengakuan dari seorang yang terlibat dalam

pembunuhan orang-orang PKI, Ahmad Bantam, yang sudah bersedia mengakui

kesalahan dan perbuatannya kepada keluarga korban. Hal tersebut secara

langsung memberikan dampak positif bagi korban, di mana keluarga korban

menyatakan kelegaannya karena fakta kebenaran telah terungkap.

Kalangan pemuda Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi yang dahulu juga

ikut andil dalam membantai orang-orang yang dituduh PKI, juga sudah memulai

langkah rekonsiliasi dengan para korban. Dalam wawancaran,Asvi menjelaskan

bahwa rekonsiliasi kalangan muda NU itu dimulai dari kota Yogyakarta,

Page 113: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

102

kemudian mereka melebarkannya ke Jawa Tengah, dan kemudian di seluruh

Pulau Jawa.

Langkah serius untuk mewujudkan rekonsiliasi di tingkat mikro ini, juga

ditunjukkan oleh anak-anak dari para tokoh yang terlibat dalam kasus

pembantaian massal pasca-G30S 1965, baik sebagai korban maupun pelaku.

Sejumlah nama, seperti Agus Widjojo, putra Mayjen Sutojo Siswomiharjo,

Amelia A. Yani, putri JenderaL TNI Ahmad Yani, Ilham Aidit, putra D. N.

Aidit, Salomo Pandjaitan, putra D.I. Pandjaitan, Jaya Senjaya, putra Senjaya,

Mantan Panglima DI/TII, Moh. Basyir, cucu H.O.S. Tjokroaminoto, dan

lainnya, sudah mulai menjalin silaturahmi dalam Forum Silaturahmi Anak

Bangsa (FSAB). (http://tinyurl.com/le3tfvr)

Forum Silaturahmi Anak Bangsa berdiri tanggal 25 Mei 2003, didirikan

dengan tujuan untuk mewujudkan rekonsiliasi di tingkat mikro antara korban

dan pelaku pembantaian massal pasca-G30S 1965. FSAB memiliki moto,

"berhenti mewariskan konflik, tidak membuat konflik baru!" Moto tersebut

merupakan keinginan mereka untuk menyudahi konflik yang terjadi pada para

generasi pendahulu mereka, serta semangat untuk memajukan Indonesia,

dengan tidak membuat konflik baru, atau dendam yang berkelanjutan.

Para anggota FSAB berpandangan bahwa mereka sebagai anak-anak

dari orang-orang yang berkonflik pada masa lalu, tidak harus mewarisi dendam

orangtua mereka. Selain itu, mereka sendiri pun juga tidak terlibat dalam

peristiwa berdarah itu, sehingga jika mereka tetap menyimpan dendam, mereka

pun mendendam kepada orang yang salah, yang sama sekali tidak terlibat dalam

Page 114: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

103

peristiwa itu. Oleh karena itu, dari pihak anak-anak para korban, mereka

berusaha untuk bersedia membukakan pintu maaf bagi para pelaku yang terlibat

dalam tragedi tersebut, sebaliknya dari pihak anak-anak para pelaku, mereka

dengan besar hati, atas nama orangtua mereka, mengakui kesalahan orangtua

mereka dan meminta maaf.

Dalam edisi khusus ini, Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi

tingkat mikro dengan memaparkan sejumlah contoh para pelaku dari berbagai

daerah yang bersedia untuk mengakui dan meminta maaf kepada para keluarga

korban yang dahulu mereka bunuh. Contoh tersebut dapat menjadi panutan bagi

para pelaku lain agar menyadari perbuatan sadis dan kejam yang telah mereka

lakukan, dan mau mengakui dan meminta maaf kepada para korban.

Rekonsiliasi yang sudah dan masih berjalan di masyarakat tingkat mikro

secara horizontal ini sudah cukup baik. Masyarakat secara perlahan sudah mulai

mau menerima kembali orang-orang yang dahulu pernah dituduh sebagai PKI

atau memiliki hubungan dengan PKI dalam masyarakat. Berangsur-angsur,

sinisme masyarakat terhadap orang-orang itu sudah tidak terasa lagi. Orang-

orang yang pernah menjadi korban dari tragedi pembantaian massal pasca-G30S

1965 itu sudah mulai dapat menjalani hidup normal dalam masyarakat, tanpa

perlu takut atau merasa dikucilkan.

4.3.2 Rekonsiliasi Makro

Selama rezim orde baru, stigma bahwa PKI itu adalah dalang dari G30S

1965 terus dipelihara oleh Soeharto dengan ideological state apparatuses

Page 115: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

104

berupa sekolah, departemen-departemen pemerintahan, peraturan dan undang-

undang, serta media massa. Stigma tersebut digunakan untuk memukul

lawan politiknya dan untuk menekan masyarakat. Orang-orang yang menentang

atau mengkritik Soeharto akan dituduh PKI dan orang-orang yang tidak mau

menyerahkan tanahnya (atau harta lainnya) kepada negara, juga dituduh PKI.

Oleh sebab itu, rekonsiliasi adalah hal yang mustahil pada saat itu.

Stigma negatif yang melekat pada PKI selama itu, tentu tidak mudah

hilang dari masyarakat begitu saja, sehingga, meski rezim orde baru akhirnya

telah runtuh, pandangan masyarakat terhadap PKI masih sama, hingga akhirnya

banyak orang-orang baik dari pelaku, korban, maupun saksi dari peristiwa

pembantaian massal pasca-G30S 1965 itu yang mau bersuara dan mengutarakan

kesaksiannya, terutama melalui buku.

Banyaknya fakta-fakta baru tentang kasus pembantaian massal pasca-

G30S 1965 tersebut menguatkan bukti bahwa PKI hanyalah kambing hitam,

sedangkan yang seharusnya bertanggung jawab ialah Soeharto dan Angkatan

Daratnya (Repressive State Apparatus) saat itu. Oleh sebab itu, meski pemegang

kekuasaan telah berganti, pemerintah tetap memikul tanggung jawab penuh

untuk menyelesaikan kasus ini hingga tuntas.

Rekonsiliasi secara vertikal di tingkat makro ini berguna untuk

mengembalikan hak-hak para keluarga korban dari tragedi pembantaian massal

pasca-G30S 1965 ini sebagai warga Negara Indonesia yang seutuhnya. Hak-hak

tersebut antara lain, penghapusan tanda-tanda atau kode-kode khusus di Kartu

Tanda Penduduk (KTP) mereka (sudah dilakukan oleh MK pada tahun 2004),

Page 116: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

105

memberikan mereka hak pilih dalam pemilu, memberi mereka kesempatan yang

sama dalam berkarya dalam bidang apapun (ekonomi, politik, dll),

mengembalikan hak pensiun mereka, serta mengembalikan nama baik mereka

dan keluarganya.

Ada dua usaha rekonsiliasi pada tingkat makro yang pernah diupayakan

oleh pemerintah, meski belum berhasil. Usaha pertama adalah Presiden

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang meminta maaf kepada para korban atas

pembunuhan yang pernah dilakukan oleh Banser NU pasca-G30S 1965, namun

ditentang oleh sejumlah pihak. Salah satu pihak yang menentang adalah

Pramoedya Ananta Toer. Dalam wawancara, Asvi bercerita, "Pram mengatakan

bahwa Gus Dur tidak merasakan sakitnya sebagai korban." Sejumlah ulama NU

pun bahkan menyesalkan tindakan Gus Dur yang meminta maaf kepada para

korban tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965.

Usaha kedua adalah diusulkannya pembentukan Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi (KKR) pada tahun 2004. Memang KKR bukan hanya dikhususkan

untuk menyelesaikan kasus pembantaian massal pasca-G30S 1965 saja, tetapi

kasus tersebut merupakan salah satu perhatian utama komisi itu. Namun sayang,

komisi itu sudah dibubarkan kembali oleh MK pada tahun 2006 dengan alasan

tidak ada rekonsiliasi antara pelaku dan korban.

Orde baru sudah berakhir 16 tahun yang lalu, namun rekonsiliasi secara

vertikal di tingkat makro, belum juga terwujud. Tidak ada niat dari pemerintah

untuk menuntaskan kasus pembantaian massal pasca-G30S 1965 ini. Asvi

mengungkapkan,

Page 117: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

106

"bukan kurang serius, tidak mau! Artinya, karena sudah berapa kali sudah disampaikan berkasnya yang 65 itu, demikian juga dengan Mahkamah Agung, keputusannya sudah ada, kenapa tidak di sahkan gitu. Mungkin mereka harus didemo dulu baru bisa."

Majalah Tempo juga mewacanakan rekonsiliasi di tingkat makro dengan

memaparkan berbagai cara yang dapat pemerintah lakukan untuk mewujudkan

rekonsiliasi dalam edisi khusus ini. Cara-cara yang dapat ditempuh antara lain,

pemerintah secara resmi meminta maaf dan mengakui terjadinya pelanggaran

berat hak asasi manusia, meratifikasi Statuta Roma, atau setidaknya, secara

formalitas melakukan pengadilan terhadap para pelaku namun memberi amnesti

kepada mereka.

Hal itu dibenarkan oleh Kepala Proyek Liputan Khusus edisi 1-7

Oktober 2012 ini, Kurniawan, yang menyampaikan,

"Dalam edisi ini kita sudah menyampaikan solusi-solusi yang mungkin dilakukan oleh pemerintah, tinggal kita lihat apakah pemerintah mau melakukannya atau tidak. Yang jelas rekonsiliasi ini penting bagi korban dan pelaku yang masih hidup, dan kita juga gak tau kan bagaimana nasib anak-anak mereka."

Berbeda dengan Majalah Tempo, Asvi Warman Adam lebih

menekankan pada pengadilan kepada para pelaku. Ia menegaskan, "Ini kan

kebijakan Negara, kebijakan pemerintah, jadi tidak ada rekonsiliasi menurut

saya, antara pelaku yang sifatnya vertikal. Menurut saya hanya memberikan

ganti rugi itu kan tidak menyelesaikan persoalan, hukum itu harus ditegakkan."

Asvi berpendapat bahwa rekonsiliasi pada tingkat mikro, secara horizontal,

sudah berjalan dengan cukup baik, namun untuk tingkat makro, secara vertikal,

ia lebih memprioritaskan jalur hukum atau pengadilan. Asvi mengakui, bahwa

sebenarnya pengadilan pun sudah tidak ada gunanya, para pelaku yang sudah

Page 118: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

107

uzur pun akan meninggal sebelum waktu penahanannya habis, namun yang ia

utamakan adalah rasa keadilan bagi para korban.

Jadi, dalam edisi khusus 1-7 Oktober 2012 ini, Majalah Tempo mewacanakan

rekonsiliasi pada dua tingkat sekaligus, yaitu tingkat mikro dan makro. Pada tingkat

mikro (horizontal, sesama masyarakat), diperlukan agar tidak ada lagi konflik-konflik

dalam masyarakat, tidak ada lagi dendam, dan kejelasan bagi para keluarga korban

tentang kapan dan di mana keluarga mereka menginggal dan siapa yang membunuhnya.

Sedangkan untuk tingkat makro (vertikal, antara pemerintah dengan masyarakat),

diperlukan untuk mengembalikan hak-hak para korban sebagai warga Negara Indonesia

secara utuh, hak untuk berkarya dalam segala bidang, hak dalam pemilu, pemulihan

nama baik, hingga ganti rugi secara materi jika diperlukan.

Page 119: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

108

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Meski sudah 48 tahun berlalu, tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965

masih menyisakan luka bagi Bangsa Indonesia hingga sekarang. Para korban dari

peristiwa naas itu masih belum dipulihkan haknya sebagai warga Negara Indonesia

secara utuh. Trauma masih menghantui pikiran dan perasaan mereka. Masih banyak

pula lubang-lubang sejarah yang masih gelap karena tidak adanya pengakuan dari para

pelaku, atau sudah tidak mungkin terungkap karena sudah tidak ada saksi yang masih

hidup.

Berbagai upaya penyelesaian kasus ini sudah dicoba untuk dilakukan, terutama

pada tingkat masyarakat kecil (mikro), namun hal itu tentu saja belum cukup, karena

harus disertai juga dengan adanya penyelesaian secara keseluruhan pada tingkat yang

lebih tinggi (makro) yaitu pemerintah. Penyelesaian pada tingkat mikro hanya

menyelesaikan masalah personal antara pelaku dan keluarga korban, tidak bisa

menyelesaikan masalah kerugian para keluarga korban yang telah kehilangan harta

benda, nama baik, dan haknya sebagai warga negara, untuk itu diperlukan penyelesaian

masalah secara utuh dari tingkat yang makro.

Penyelesaian masalah dari tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965 ini

adalah dengan cara rekonsiliasi, yaitu pengakuan serta permintaan maaf dari para

Page 120: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

109

pelaku. Beberapa upaya yang pernah dilakukan untuk mencapai rekonsiliasi itu adalah

membentuk Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran (KKR) dan Presiden Gus Dur yang

meminta maaf kepada para korban. Namun kedua upaya itu belum berhasil karena

KKR dibatalkan dan permintaan maaf Gus Dur tersebut mendapat banyak pertentangan.

Dalam penelitian ini, penulis ingin melihat bagaimana dan mengapa Majalah

Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khusus 1-7 Oktober 2012 berjudul

PENGAKUAN ALGOJO 1965 dengan menggunakan metode analisis wacana kritis

Teun A. van Dijk. Penelitian ini penulis batasi dengan meneliti empat artikel dalam

majalah tersebut yang mewakili empat sudut pandang berbeda, yaitu dari pihak Majalah

Tempo sendiri, pelaku yang mau mengaku dan minta maaf, Joshua Oppenheimer

sutradara film Jagal atau The Act of Killing, dan aktivis.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa Majalah Tempo

mengemas wacana rekonsiliasi dalam edisi khususnya ini dengan mengedepankan hal-

hal yang berhubungan dengan rekonsiliasi, seperti kata "pengakuan", "permintaan

maaf", "penyelesaian masalah", dan kata "rekonsiliasi" sendiri dalam kolom Opini-nya

berjudul Dari Pengakuan Algojo 1965.

Majalah Tempo juga menyajikan wacana rekonsiliasinya dalam laporan

utamanya dengan menampilkan para pelaku yang mau mengakui perbuatan dan

kesalahan mereka. Seperti dari artikel Sebuah Pengakuan dari Kerumunan Pohon

Kapuk, kata "pengakuan", "mengaku", "minta maaf", dan "rekonsiliasi" dituliskan

dalam artikel tersebut. Kalimat pengakuan Ahmad Bantam, "Saya beri tahu bahwa

keluargamu bukan hilang, tapi sudah ditembak mati. Saya yang menggali kuburannya.

Sebentar lagi saya meninggal. Saya tidak mau rahasia ini tidak dibuka. Kasihan

keluarga korban" pun ditulis dengan huruf kapital semua dan dicetak besar di tengah-

Page 121: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

110

tengah halaman, menunjukkan bahwa Majalah Tempo ingin menekankan pada

pentingnya pengakuan dari para pelaku.

Dari artikelnya yang merupakan hasil wawancara dengan Joshua Oppenheimer,

selain bertanya seputar film yang menjadi pemicu Majalah Tempo dalam membuat

edisi khusus ini, Majalah Tempo menyisipkan satu pertanyaan tentang rekonsiliasi,

yaitu pertanyaan, "setelah melihat bagaimana bangganya para jagal atas tindakan

mereka dulu itu, apakah ada kemungkinan rekonsiliasi antara pelaku dan korban?" Dari

pertanyaan itu penulis menyimpulkan bahwa Majalah Tempo benar-benar

mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khusus ini, dengan meminta pendapat Joshua

Oppenheimer mengenai rekonsiliasi itu.

Majalah Tempo juga mencari dukungan atas wacana rekonsiliasi yang mereka

munculkan di dalam edisi khusus ini dengan memberikan akses kepada para aktivis

yang juga memiliki kepentingan dan keberpihakan yang sama dengan Majalah Tempo,

yaitu mendukung atau mengupayakan terjadinya rekonsiliasi itu. Seperti biografi

singkat M. Imam Aziz yang dituliskan pada bagian kanan atas halaman sebagai orang

yang aktif dalam upaya rekonsiliasi tragedi politik 1965.

Majalah Tempo menganggap bahwa kasus pembantaian massal pasca-G30S 1965

ini merupakan kasus yang begitu sadis dan tragis sehingga tidak bisa diabaikan atau

dilupakan begitu saja. Terbukti, dalam artikel-artikel yang penulis teliti, ditemukan

sejumlah penekanan terhadap betapa mengerikannya peristiwa pembantaian massal

tersebut.

Selain itu, dalam artikel-artikel yang penulis teliti, dipaparkan pula oleh Majalah

Tempo bukti-bukti atau pernyataan-pernyataan tentang siapa yang terlibat atau

seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya tragedi pembantaian massal pasca-G30S

Page 122: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

111

1965 itu. Hal tersebut bertujuan untuk menguatkan bahwa rekonsiliasi hanya bisa

dilakukan jika pihak-pihak yang terlibat atau seharusnya bertanggung jawab mau

mengakui perbuatan dan kejahatan yang telah mereka lakukan.

Jadi, Majalah Tempo menonjolkan wacana rekonsiliasi dalam edisi khusus 1-7

Oktober 2012 ini dalam struktur makro (tematik) dan superstruktur (cerita). Meski

Majalah Tempo mengaku tidak berpihak kepada siapa pun, Majalah Tempo tetap

memiliki kepentingan dan keberpihakan, yaitu kepentingan untuk menuntaskan kasus

pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dan berpihak kepada para korban yang

telah dilanggar hak asasinya. Rekonsiliasi di tingkat mikro berguna bagi para korban

agar dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada keluarganya, sedangkan

rekonsiliasi di tingkat makro penting untuk mengembalikan hak-hak para korban

sebagai warga negara secara utuh serta meluruskan sejarah Bangsa Indonesia yang

masih gelap dan banyak ditutup-tutupi.

Page 123: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

112

5.2 Saran

5.2.1 Saran Akademis

Melalui hasil penelitian ini, saran yang dapat penulis berikan adalah

penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya yang ingin

menganalisis topik atau wacana lain dengan metode yang sama.

5.2.2 Saran Praktis

Berdasarkan hasil penelitian ini, kita dapat melihat bagaimana suatu

media mewacakan suatu hal dalam tulisan-tulisannya. Dengan melihat hasil

penelitian ini, diharapkan dapat mempertajam kepekaan dan kekritisan kita

terhadap wacana-wacana yang dimasukkan suatu media di dalam tulisannya.

Page 124: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

113

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani-Knapp, Retnowati. 2007. Soeharto: The Life and Legacy Of Indonesia's

Second President : An Authorised Biography. Singapore: Marshall Cavendish.

Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan

Peristiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

_______. 2010. Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? Tragedi Bapak Bangsa Tragedi

Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Alwi, Hasan. 1993. Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Anderson, Benedict dan Ruth T. McVey. 2009. A Preliminary Analysis of the October

1, 1965: Coup in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing.

Arifin, E. Zaenal dan Junaiyah H.M. 2010. Keutuhan Wacana. Jakarta: Grasindo.

Aritonang, Jan S. 2004. Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta:

BPK Gunung Mulia.

Astuti, Tia Agnes.2011. Analisis Wacana Van Dijk Terhadap Berita "Sebuah Kegilaan

di Simpang Kraft". Jakarta: UIN.

Babbie, Earl R. 2008. The Basic Of Social Research, 4th Edition. California: Thomson

Wadsworth.

Bailey, Kenneth D. 2008. Methods of Social Research, 4th Edition. New York: Simon

and Schuster.

Bresnan, John. 2005. Indonesia: The Great Transition. Lanham: Rowman & Littlefield.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Page 125: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

114

Bungin, Burhan. 2013. Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi. Jakarta: Kencana.

Creswell, J. W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five

Traditions (2nd Ed). Thousand Oaks: Sage.

Danusubroto, Sidarto. 2013. Hak Asasi Manusia dan Kehidupan Berbangsa. Jakarta:

ELSAM.

Daymon, Christine dan Immy Holloway. 2008. Metode Riset Kualitatif. Yogyakarta:

Bentang.

Dijk, Teun A. van. 1988. News as Discourse. New Jersey: Lawrence Erlbaum

Associates Publisher.

Djarot, Eros. 2006. Misteri Supersemar. Jakarta: Mediakita.

_______, dkk. 2006. Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku

Sejarah G-30-S/PKI. Jakarta: Mediakita.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT

LKiS Pelangi Aksara.

Fairclough, Norman dan Clive Holes. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical

Study of Language. London: Longman.

Fatwa, Andi Mappetahang. 2009. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Foucault, Michael. 2002. Archaeology of Knowledge. London: Routledge.

Fic, Victor M. 2005. Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Fiske, John. 2010. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling

Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Page 126: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

115

Geerken, Horst Henry. 2011. A Magic Gecko: Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Gulo, W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.

Gultom, Binsar. 2010. Pelanggaran HAM dalam Hukum Keadaan Darurat di

Indonesia: Mengapa Pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia Kurang Efektif?.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hadi, Syamsul. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan

Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hamid, Usman dan Sri Suparyati. 2007. " Penghilangan Orang Secara Paksa". Dalam

http://kontras.org/index.php?hal=opini&id=27.

Hernando, Randy. 2013. Konstruksi Realitas Peranan Tentara dalam Pembantaian

Massal Pascagerakan 30 Semptember 1965 . Tangerang: UMN.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. 2013. Dalam http://kbbi.web.id.

Kasemin, Kasiyanto. 2004. Mendamaikan Sejarah: Analisis Wacana Pencabutan TAP

MPRS/XXV/1966. Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara.

Kennedy, Emmet. 1979. "Ideology" from Destutt De Tracy to Marx. Dalam Journal of

the History of Ideas. Vol. 40, No. 3. Pennsylvania.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2013. "Penantian Panjang Korban Pelanggaran

HAM". Dalam http://tinyurl.com/lcqcaq9.

Kuntoro. 2008. "Analisis Wacana Kritis (Teori Van Dijk Dalam Kajian Teks Media

Massa)". Dalam Leksika. Vol.2 No.2 –Agustus 2008. Purwokerto.

Latief, Abdul. 2000. Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S. Jakarta: Institut

Studi Arus Informasi.

Laughey, Dan. 2007. Key Themes in Media Theory. New York: McGraw-Hill.

Page 127: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

116

Lesmana, Surya. 2005. Saksi dan Pelaku Gestapu: Pengakuan Para Saksi dan Pelaku

Sejarah Gerakan 30 September 1965. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Linawati, Mevi. 2009. "LIPI: CIA Diduga Dalangi Tragedi PKI". Dalam

http://nasional.inilah.com/read/detail/162856.

Lubis, T. Mulya. 2005. Jalan Panjang Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Luhulima, James. 2006. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965: Melihat

Peristiwa G30S Dari Perspektif Lain. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2004. Pulihnya Hak Politik Eks PKI.

Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Matanasi, Petrik. 2011. Untung, Cakrabirawa, dan G30S. Yogyakarta: Trompet.

McVey, Ruth T. 2006. The Rise of Indonesian Communism. Jakarta: Equinox

Publishing.

Pambudi, A. 2009. Supersemar Palsu. Yogyakarta: Media Pressindo.

Parse, Rosemarie Rizzo. 2001. Qualitative Inquiry: The Path of Sciencing.

Massachusetts: Jones & Bartlett Publishers.

Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT Lkis Pelangi

Aksara.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional

Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Pratama, Sandy Indra. 2006. "Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Dibatalkan". Dalam http://tinyurl.com/ks8wfhs.

Page 128: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

117

Proletariyati, Ribka Tjiptaning. 2002. Aku Bangga Jadi Anak PKI. Jakarta: Cipta

Lestari.

Purnomo, Mulyadi Eko. 2011. "AWK Untuk Menemukan Ideologi yang Tersembunyi".

Dalam http://www.unsri.ac.id/?act=info_detil&id=263.

Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins

Publishing Company.

Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta

Suharto. Jakarta: Hasta Mitra.

Sahal, Akhmad. 2000. "Islam, Maaf, dan PKI". Dalam Tempo. 9 April. Jakarta.

Samsudin. 2004. Mengapa G30S/PKI Gagal?: Suatu Analisis. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Schiffrin, Deborah, D. Tannen, dan H. Hamilton. 2001. Handbook of Discourse

Analysis. Oxford: Blackwell.

Semiawan, Conny R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grasindo.

Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sophiaan, Manai. 2008. Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat

G30S/PKI. Jakarta: Visi Media.

Steele, Janet E. 2005. Wars Within: The Story Of Tempo, An Independent Magazine In

Soeharto's Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing.

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 1997. Grounded Theory in Practice. London: Sage

Publications.

Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural

Language. Chicago: The University of Chicago Press.

Page 129: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

118

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D. Bandung:

Alfabeta.

Sujatmoko, Adrey. 2005. Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM.

Jakarta: Grasindo

Sumarwan, Antonius. 2007. Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol '65

dan Upaya Rekonsiliasi. Yogyakarta: Kanisius.

Susanto, A. Budi. 2003. Politik dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta:

Kanisius.

Suseno, Frans Magnis. 2005. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke

Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suwandi, Sarwiji. 2008. Serbalinguistik: Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa. Solo:

Universitas Sebelas Maret.

Tempo. 2013. "Sejarah Tempo 1971-2013". Dalam

http://korporat.tempo.co/tentang/sejarah.

Wardaya, F. X. Baskara Tulus. 2009. Membongkar Supersemar! Dari CIA Hingga

Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galangpress.

Wengraf, Tom. 2001. Qualitative Research Interviewing. London: Sage Publications.

Wodak, Ruth dan Michael Meyer. 2001. Methods of Critical Discourse Analysis.

London: Sage Publications.

Yayasan Yap Thiam Hien. 2012. Majalah Tempo Raih Yap Thiam Hien Award 2012.

Dalam http://www.yapthiamhien.org/index.php?find=news_detail&id=2.

Zazuli, Mohammad. 2009. 60 Tokoh Dunia Sepanjang Masa. Yogyakarta: Narasi.

Zizeg, Slavoj. 2012. Mapping Ideology. London: Verso.

Page 130: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

119

LAMPIRAN

1. ARTIKEL DARI PENGAKUAN ALGOJO 1965

2. ARTIKEL SEBUAH PENGAKUAN DARI KERUMUNAN

POHON KAPUK

3. ARTIKEL JOSHUA OPPENHEIMER: MEMBUNUH, BAGI

ANWAR, ADALAH SEBUAH AKTING

4. ARTIKEL JALAN LAIN PENYELESAIAN TRAGEDI 1965

5. TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN MAJALAH TEMPO

6. TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN ASVI WARMAN

ADAM

Page 131: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

127

TRANSKRIP WAWANCARA PENULIS DENGAN SENO

JOKO SUYONO DAN KURNIAWAN (REDAKSI

MAJALAH TEMPO)

Penulis (D) : Apakah Tempo memang mewacanakan rekonsiliasi

dalam edisi itu?

Seno (S) : Dalam menerbitkan edisi itu memang terbayang

rekonsiliasi itu, menurut kami salah satu upaya rekonsiliasi

diperlukan keterbukaan dari kedua belah pihak. Jika kita lihat

contoh di Jerman, Afrika, apartheid gitu kan, ada keterbukaan

dari kedua belah pihak. Dengan angle itu kita ingin memasuki

bukan dari sudut korban bagaimana biasa diberitakan, tapi kita

mencoba sedikit angle lain, tapi itu semua demi maksud baik lah,

kita sama-sama terbuka, bukan dengan kemudian ingin

menyudutkan orang, kaum tertentu, saya kira enggak, tapi

dengan niat baik bahwa rekonsiliasi itu diperlukan dan dasarnya

adalah keterbukaan kedua belah pihak.

D : Apa ideologi yang dianut oleh Tempo, atau Tempo

memihak siapa?

S : Kita tidak memihak mana-mana.

Kurniawan (K): Kita tidak punya ideologi deh.

S : Kita adalah majalah yang jelas-jelas tidak bertolak dari

ideologi mana pun, apakah itu kiri, apakah itu Islam, yang jelas

kita bekerja sebagaimana sebuah majalah bekerja, yang berada di

antara kedua belah pihak, cover both side, saya kira kerja

wartawan investigasi atau majalah pada umumnya begitu.

Berbeda kalau sebuah majalah atau media berpihak itu namanya

Page 132: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

128

udah partisan, dan itu majalah-majalah atau koran-koran pada

tahun 50-60-an itu banyak yang media partisan, kita sama sekali

tidak. Coba kalau anda lihat laporan-laporan utama Tempo yang

menyikap korupsi itu, hampir semua partai diinvestigasi Tempo,

tidak pernah ada partai yang dilindungi, itu salah satu bukti

bahwa kita netral, kita tidak partisan, tidak mendukung satu

partai pun, bahkan orang dekat pun kalau menurut kami ada

keganjilan juga kami sikat, misalnya Dahlan Iskan, Dahlan Iskan

mantan wartawan Tempo juga, orang jadi cover.

D : Jadi Tempo berpihak pada kebenaran?

K : Kebenaran secara jurnalistik ya. Kadang-kadang kita

dituntut juga untuk membuat sebuah kebenaran yang mutlak,

saya kira bukan, jadi yang bisa kita temukan ya sejauh yang bisa

kita lakukan sebagai seorang jurnalis.

D : Tempo terbit pada tahun 71, sedangkan G30S terjadi

pada tahun 65, adakah hubungan "personal" antara Tempo

dengan peristiwa G30S ini?

S : Seluruh wartawan yang bekerja di dalam edisi khusus itu

lahir tahun 70-80an, jadi kami sama sekali tidak pernah terlibat

dalam hal-hal itu dan menurut kami justru itu kekuatannya ya,

kami mengambil jarak dari peristiwa itu. Jadi yang mengerjakan

edisi khusus itu anak-anak muda semua, yang paling tua

mungkin saya lahir tahun 70, yang lainnya angkatan dari tahun

80an.

D : Saat rapat redaksi, adakah pertentangan diantara internal

Tempo sendiri?

Page 133: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

129

S : Kalau pertentangan sih enggak. Kami sudah terbiasa

membuat edisi khusus, rata-rata edisi khusus itu mengupas

sejarah Indonesia, atau tokoh-tokoh Indonesia yang

kontroversial, kami berusaha mencari sisi-sisi yang belum pernah

diungkap oleh media lain, seperti bukunya Aidit dan sebagainya,

itu sudah kami kerjakan selama lima tahun belakangan, dan kami

sudah terbiasa, jadi debat itu adalah bagian dari pencarian angle.

D : Mengapa dalam edisi ini, pendapat dari Adi Prasetyo dan

Imam Aziz yang dimuat?

S : Karena mereka telah melakukan penelitian. Adi Presetyo

dari HAM juga telah melakukan pendataan, misalnya kita dapat

informasi tentang yang di Sumatra, dia telah melakukan

pendataan itu. Sama halnya dia melakukan pendataan tentang

korban-korban petrus, penembakan misterius tahun 70-an, dia

sampai ke korban-korbannya, mewawancarai satu persatu korban

yang masih hidup, yang lolos dari petrus, diwawancarai satu-

persatu.

Jadi yang kami pilih untuk mengisi kolom adalah orang-

orang yang telah bekerja dengan data-data di lapangan. Imam

Aziz juga begitu, dia memiliki LSM NU yang memang misinya

adalah rekonsiliasi itu. Jadi kami dalam memilih penulis kolom

pun juga berusaha memilih orang yang tepat, yang menurut kami

telah melakukan penelitian terhadap tema yang kami angkat.

D : Adakah wacana lain selain rekonsiliasi dalam edisi itu?

K : Mungkin ada, misi pengungkapan sejarah yang selama ini

banyak ditutup-tutupi.

Page 134: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

130

D : Selama setahun majalah ini terbit, apa saja dari

masyarakat atau oknum tertentu?

S : Sebenarnya banyak sekali, ada yang pro, ada yang kontra,

sebenarnya bukan hanya pada edisi ini, tapi setiap edisi juga

pasti begitu. Rata-rata komentar yang masuk, kami masukkan

sebagai surat pembaca, walaupun kami edit karena keterbatasan

halaman.

D : Adakah liputan yang sudah dibuat namun tidak

dimasukkan ke dalam edisi khusus ini?

S : Tidak ada, kita bekerja dengan perkiraan halaman, tidak

bekerja ngawur, kita punya outline, jadi sudah sejak awal kita

sudah ditetapkan akan terbit berapa halaman, kita sudah tahu

seperti apa, berapa jatah kita menulis itu sudah tahu.

D : Setelah edisi ini, sudahkah ada rencana untuk

menerbitkan edisi lain yang berkaitan dengan rekonsiliasi G30S

ini?

S : Sejauh ini kita masih memikirkan terus, seperti yang

barusan September lalu kita menerbitkan Lekra kan, itu

berkaitan juga dengan rangka rekonsiliasi. Untuk ke depannya

kita belum memikirkan, perencanaannya mungkin enam bulan

sebelum terbit.

Ide itu pertama-tama datang secara tidak langsung, waktu

itu Ariel Heryanto di Melbourne mengirim resensi film Act of

Killing, dia selama ini telah banyak meneliti film-film Indonesia

yang berkaitan dengan G30S dan PKI, menurut dia ini film yang

paling kontroversial, karena bukan dari sisi korban tapi dari sisi

pelaku. Setelah saya baca, loh ini menarik, kenapa tidak kita

kembangkan menjadi edisi khusus, film ini hanya menjadi satu

Page 135: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

131

bagian tertentu, sementara kita mencari pelaku-pelaku dari

daerah-daerah lain, itu ide awalnya dari resensi film Ariel yang

kita kembangkan.

K : Sebelum memulai liputan, kita nonton dulu filmnya, kita

nonton yang versi director's cut, yang versi panjangnya.

D : Selama proses peliputan ini, ada kendala apa saja yang

ada dalam redaksi Tempo sendiri?

S : Kendalanya paling pembagian di lapangan, bahkan kami

banyak menemukan surprise dengan menemukan betapa

mudahnya orang mengaku. Justru dalam bayangan kami akan

sulit sekali menemukan orang-orang yang mau mengaku, tapi ini

malah ketemu, ngaku, dan dengan bangga bercerita mengalir,

dan mau direkam, itu malah membuat kami surprise, dan

menganggap perbuatan itu adalah suatu bentuk bela negara,

mereka tetap tidak merasa bersalah, makanya dengan bangga

mereka ceritakan, dan kita rekam mau, dan kita foto mau. Itu

malah surprise, padahal waktu kita rapat itu kita agak sangsi

apakah kita bisa mendapatkan orang seperti itu, orang yang mau

mengaku membunuh itu, ternyata semua orang yang kita temui

sama dengan yang ada di film itu, senang mengaku, bahkan

secara psikologis kita anak-anak muda yang berjarak dengan

peristiwa itu yang tidak terlibat langsung menjadi kaget. Rata-

rata tidak perlu membujuk susah payah.

K : Itu nama mereka cantumkan utuh-utuh juga gak apa-apa,

tempat tinggal di mana, ga masalah.

S : Kita sudah bekerja dengan prosedur jurnalistik, mana

yang on the record, mana yang off the record, rata-rata on the

record semua. Mereka kami munculkan fotonya, kami

munculkan namanya, kami munculkan lokasi rumahnya, dengan

persetujuan mereka.

Page 136: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

132

D : Bagaimana harapan Tempo bagi pembacanya setelah

membaca edisi ini?

S : Kami mengandaikan pembaca Tempo adalah pembaca

yang kritis, pembaca yang mau menerima sejarah yang terbuka,

bukan pembaca yang konservatif, karena kami terbiasa setiap

edisi itu menyajikan hal-hal yang mengungkap sesuatu. Kami

percaya bahwa kelas menengah Indonesia mampu menerima hal-

hal yang dulunya disembunyikan dalam sejarah. Kami melihat

tipe-tipe pembaca Tempo seperti itu, sehingga kami berani

menerbitkan edisi seperti ini. Kami mengandaikan pembaca kami

adalah pembaca yang kritis, yang malah mencari-cari hal-hal

yang selama ini perlu diungkap, mungkin apakah itu korupsi atau

apa pun itu.

D : Menurut Tempo, apakah pemerintah sudah cukup serius

dalam menyelesaikan kasus ini?

K : Dalam edisi ini kita sudah menyampaikan solusi-solusi

yang mungkin dilakukan oleh pemerintah, tinggal kita lihat

apakah pemerintah mau melakukannya atau tidak. Yang jelas

rekonsiliasi ini penting bagi korban dan pelaku yang masih

hidup, dan kita juga gak tau kan bagaimana nasib anak-anak

mereka.

Page 137: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

133

TRANSKRIP WAWANCARA PENULIS DENGAN ASVI

WARMAN ADAM

Penulis (D): Apa sebenarnya yang terjadi pada saat itu, hingga terjadi peristiwa G30S?

Asvi (A): Saat itu kekuasaan terpusat atas tiga kubu, Soekarno, Angkatan Darat,

dan PKI. Nah, Soekarno berusaha menjaga keseimbangan antara Angkatan

Darat dan PKI, sampai meletusnya gerakan 30 September yang menyebabkan

keseimbangan itu menjadi terganggu bahkan berantakan.

Di sisi lain, PKI sedang berada di atas angin, mereka sedang

melakukan upaya-upaya yang disebut aksi sepihak. Aksi sepihak itu di mana

waktu itu pemerintah sedang memberlakukan peraturan di mana ada ketentuan

batas kepemilikan luas tanah yang dimiliki oleh seseorang, jika melebihi,

tanah itu akan disita oleh Negara untuk dibagikan selanjutnya.

PKI bersemangat sekali di dalam merealisasikan undang-undang itu,

mereka melakukan apa yang disebut aksi sepihak itu. Mereka mengambil

tanah yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah yang memiliki tanah-tanah yang luas

itu. Nah, tuan-tuan tanah ini kan cerdik juga, ketika ada undang-undang ini

diberlakukan, mereka menghibahkan tanahnya kepada Kiai, kepada pesantren

gitu. Nah, di situ baru muncul konflik ketika di satu sisi PKI dengan ormasnya

mencoba mengambil tanah itu, padahal tanah itu sudah diberikan kepada Kiai

ato pesantren itu. Jadi konflik antara PKI dan NU mulanya di situ, pada

dasarnya di situ, jadi bukan persoalan keyakinan, itu kan yang ditampilkan

kemudian, jadi pada intinya itu kan persoalan tanah, dan persoalan tanah ini

sangat sangat krusial, persoalan yang sangat menentukan hidup mati

seseorang, di desa. Jadi konflik horizontal antara orang-orang PKI dan NU itu

karena masalah tanah.

Nah, ketika meletus gerakan 30 September, keseimbangan berubah,

mereka yang dulu disakiti karena persoalan tanah ini membalas, sehingga

terjadi pembunuhan dan lain-lain. Dengan catatan juga bahwa pembunuhan itu

dimulai baru ketika tentara datang ke daerah itu, Jawa Tengah dan Jawa

Page 138: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

134

Timur, sebelumnya kan belum ada pembunuhan. Jadi ketika tentara datang,

mereka juga melatih pemuda, kemudian melakukan penumpasan, dan di sisi

yang lain mereka yang sebelumnya sudah terlibat konflik itu juga ingin

membalas dendam gitu, sehingga terjadi pembunuhan yang sangat besar.

Nah, jadi di dalam hal ini saya mengatakan bahwa kelompok NU

menjadi pelaku di tahun 65, tapi mereka juga menjadi korban tentara pada

tahun 71, ketika akan ada pemilihan umum, barisan NU ini juga diserang oleh

tentara, mereka di lemahkan dalam rangka pemenangan pemilu oleh

pemerintah.

Nah, itu yang terjadi pada tahun 65. Kemudian kita tahu bahwa

sepanjang orde baru kita tahu bahwa sejarah itu kan direkayasa. Jadi yang

diajarkan itu kan juga sejarah versi tentara, versi pemerintah yang boleh satu

versi saja, jadi masalah rekonsiliasi itu sesuatu yang tidak pernah disuarakan,

bahwa selalu dipelihara stigma terhadap orang-orang kiri itu. Rekonsiliasi itu

baru dimulai setelah reformasi, kalangan muda NU juga mulai rekonsiliasi

kepada orang-orang eks-PKI, itu di Yogyakarta, kemudian mereka melebarkan

ke Jawa Tengah, dan di seluruh Pulau Jawa, rekonsiliasi dengan anak-anak

PKI.

Gus Dur juga adalah tokoh yang sangat peduli terhadap rekonsiliasi

kemajemukan itu, dan dia pernah mengatakan minta maaf atas apa yang

dilakukan oleh banser NU itu. Yang jadi persoalan adalah orang selalu marah

ketika upaya Gus Dur itu tidak diterima oleh Pramoedya Ananta Toer.

Sebetulnya pendapat Pram itu adalah pendapat pribadi, bukan pendapat

korban yang lain. Pram mengatakan bahwa Gus Dur tidak merasakan sakitnya

sebagai korban. Justru pandangan atau pendapat Pram itu diserang oleh korban

65 yang lain, Pram disalahkan mengapa mengeluarkan suara seperti itu,

harusnya kan diterima dengan baik. Nah, di sisi yang lain dari kalangan NU

menganggap, loh, orang sudah minta maaf kok tidak diterima, gitu. Jadi sudah

mulai ada proses ketidaksenangan dalam proses rekonsiliasi.

Masalahnya kemudian menjadi berbeda ketika NU itu mulai dipimpin

oleh wakil ketua umumnya itu orang yang berasal dari BIN (Badan Intelijen

Page 139: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

135

Negara), Pak As’ad, warna NU itu mulai berubah, walaupun saya tahu bahwa

anak-anak muda NU itu sebagian besar masih pengikut Gus Dur. Tapi di sisi

lain, ada faktor Pak As’ad ini, gitu.

Ketika muncul laporan Tempo ini kan sebetulnya dibuat untuk

membahas film itu, tapi tidak cukup hanya dengan membahas film itu saja

dalam laporan khusus ini. Nah, mereka juga melakukan wawancara dengan

pelaku itu, sayangnya yang bisa atau berhasil diwawancarai oleh Tempo

adalah pelaku dari kalangan NU, seharusnya menurut saya harus lebih banyak

dari tentara, tapi mereka tidak berhasil mendapatkan itu. Jadi terkesan

pelakunya hanya NU, jadi ini yang menimbulkan kegusaran di kalangan NU,

jadi mereka mengeluarkan buku putih ini. Mereka sudah panggil pemimpin

redaksi Tempo ke NU, tapi mungkin solusinya adalah mereka terbitkan sendiri

buku putih ini (Benturan NU-PKI 1948-1965) untuk menjelaskan bagaimana

peristiwa 65 itu dari kacamata NU. Tapi buku putihnya sendiri menurut saya

mempunyai kelemahan yang mencolok, yaitu menimbulkan pertanyaan NU

dan TNI seolah-olah bersatu, jadi ini buku putih NU atau TNI, walaupun bisa

dimaklumi karena adanya Pak As’ad di sana.

D: Jika pada saat itu tidak ada kasus tanah, paham masyarakat terhadap

PKI atau komunisme bagaimana?

A: Saya melihat bahwa pertama, faktor agama itu dijadikan label selalu

untuk yang di luar itu. Pertama NU sendiri ketika pertama dulu bergabung

dalam Masyumi, namun kemudian pecah pada tahun 52 karena persoalan

mereka di dalam partai mendapat kedudukan yang tidak strategis, hanya

sebagai dewan Syuro atau semacam penasihat, sedangkan kedudukan

eskekutif tidak NU, sehingga mereka keluar.

Selama ini NU selalu menjadi Menteri Agama atau bekerja di dalam

Kementerian Agama sebagai pejabat di situ, selalu menjadi persoalan ketika

ada rivalitas antara NU dan bukan NU dalam hal birokrasi. Di sisi lain pada

tingkat masyarakat, itu kan persoalan tanah itu yang menjadi sangat krusial.

Page 140: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

136

Saya ingin mengatakan bahwa fatwah mengenai atheisme ini pertama

kali dikeluarkan oleh Masyumi pada Bulan Desember tahun 54, jadi Masyumi

itu mengeluarkan fatwah bahwa atheisme itu artinya orang yang tidak ber-

Tuhan, dan tidak ber-Tuhan itu sama dengan kafir, nah kafir itu orang yang

boleh diberangi. Fatwah itu disampaikan Bulan Desember tahun 54, beberapa

bulan sebelum pemilu tahun 55. Jadi saya melihat ini kan kepentingannya

adalah kepentingan politik, jadi dalam rangka pemilu itu untuk menghalangi

orang untuk memilih PKI, apalagi PKI membuat slogan partai orang komunis

dan orang tidak berpartai gitu, jadi orang protes orang tidak berpartai

masuknya ke PKI. Jadi itu yang selalu digunakan, label agama itu, padahal

menurut hemat saya masalah pokoknya adalah yang menyangkut hajat apakah

itu tanah, kursi, jadi persoalannya itu politik atau pertanahan.

Dalam buku ini juga persoalan tanah ini sedikit disinggung, padahal itu

yang sangat penting. Tapi persoalan ada Masjid dibakar, tapi itu saya

pertanyakan, betul dibakar gak? Atau bagaimana prosesnya sampai

terbakarnya Masjid itu, kan gitu? Seakan-akan kan ya memang dikesankan

seperti itu, masyarakat kan sangat sensitif soal itu, bahwa ada Al-Quran

diinjak, Kitab Suci diinjak, atau pun Masjid dibakar, ketimbang kalau

dikatakan ini soal tanah, kalau soal tanah mereka menganggap itu sesuatu

yang biasa orang yang berkonflik soal tanah, tapi kan memang itu masalahnya

sebetulnya, tapi diberi label agama.

D: Jadi sebenarnya komunisme sama sekali tidak ada hubungannya dengan

agama?

A: Ya, itu yang sebenarnya seperti itu, jadi di kalangan PKI sendiri kan

ada juga Haji, mereka Haji, tokoh Islam, tapi juga komunis. Bahwa seperti

yang saya katakan tadi, bahwa untuk kepentingan politik, fatwah itu bahwa

komunisme sama dengan tidak beragama, tidak ber-Tuhan dan kafir, itu kan

karena menghadapi pemilu itu disampaikan.

Memang sebagian besar orang PKI itu adalah orang abangan, bukan

santri yang melakukan ibadah teratur, misalnya sembahyang lima kali sehari.

Page 141: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

137

Tapi kalau abangan, mereka mengaku beragama tapi tidak melakukan ibadah.

Tapi kan tidak berarti pula mereka tidak percaya kepada Tuhan dan

sebagainya, mereka hanya tidak melakukan ibadah.

D: Jadi, melihat celah itu di mana orang-orang PKI tidak taat beribadah,

maka dibilang anggota PKI itu tidak beragama?

A: Ya. Kalau kita bicara tentang ajaran apapun yang berkembang dari

Eropa memang tidak dikaitkan dengan agama, apakah itu marxisme,

liberalisme, tapi saya mengatakan bahwa tidak berarti mereka itu atheis, tidak

berarti mereka tidak ber-Tuhan, atau anti Tuhan, mereka tidak mengaitkan

ideologi itu dengan agama. Tetapi di sini ditafsirkan atau sengaja dibuat

bahwa karena mereka tidak berkaitan dengan agama, mereka itu tidak

beragama, mereka itu tidak ber-Tuhan, tidak mengakui Tuhan.

D: Setelah Soeharto turun, ada banyak versi cerita tentang G30S, menurut

bapak versi mana yang besar, dan di bagian mana masing-masing pihak

terlibat?

A: Saya menganggap, versi yang relatif lengkap adalah versi yang

disampaikan oleh Soekarno, yang berada di pusat kekuasaan. Dia di dalam

pidato Nawaksara itu mengatakan bahwa G30S itu adalah pertemuan dari tiga

sebab, ada pimpinan PKI yang keblinger (kebablasan) terlibat disitu,

kemudian yang kedua adanya subversi nekolim, ada faktor asing, CIA, dinas

rahasia Inggris dan lain-lain, dan ketiga adanya oknum yang tidak

bertanggung jawab, oknum itu bisa para jenderal seperti Soeharto, dan lain-

lain, jadi ketiganya itu bertemu sehingga terjadilah G30S.

D: berarti benar G30S ini adalah tahap pertama dari kudeta merangkak

yang dilakukan oleh Soeharto?

Page 142: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

138

A: Kudeta merangkak ini jelas analisis post-factum, artinya analisis

setelah peristiwa itu terjadi. Saya kira tidak ada orang yang percaya jika

Soeharto merencanakan semuanya dari awal, dia mengikuti saja dari awal dan

memanfaatkan celah-celahnya. Jadi kalau kita lihat setelah peristiwa itu

terjadi, pertama pada tanggal 1 Oktober itu jenderal-jenderal yang lebih senior

dari Soeharto sudah tersingkir, jadi tahap pertama itu tersinggirnya jenderal-

jenderal yang lebih senior dari dia kecuali Nasution, tetapi Nasution kan juga

tidak punya pasukan, artinya di atas kertas dia paling berpeluang menjadi

orang nomor satu di tentara.

Lalu yang berikutnya dia mencoba mengurangi kekuasaan dari

Soekarno dengan keluarnya Supersemar, membubarkan PKI, menangkap 15

orang menteri, dan kemudian mengontrol pers, dan membubarkan

Cakrabirawa yang mengawal Bung Karno, nah ini semua kan yang kemudian

kita sebut sebagai kudeta merangkak sehingga kekuasaan diserahkan kepada

Soeharto.

D: Apakah petrus dan penghilangan paksa juga masih berhubungan

dengan PKI?

A: Oh tidak. Petrus itu kan muncul karena pada tahun 80-an muncul

keresahan, banyak preman dan lain-lain, nah shock therapy-nya Soeharto itu

kan penjahat itu ditembak, atau orang-orang yang pakai tato itu ditembak,

ditaruh di tengah pasar, dan kejadian ini dilakukan ratusan kali sehingga

orang-orang menjadi takut untuk melakukan kriminalitas, tapi itu kan jelas

pembunuhan.

D: Jadi apakah urusan Soeharto dengan PKI itu hanya pada tahun 65-

66?

A: Oh enggak. Kekuasaan itu kan diberikan secara penuh kepada

Soeharto kan tahun 68, tetapi stigma itu kan diawetkan. Saya menganggap

PKI ini bukan hanya dianggap sebagai lawan atau musuh politik, tetapi juga

Page 143: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

139

untuk kepentingan lain, sebagai alat pemukul politik. Ini dipelihara sehingga

orang yang bukan PKI, yang kritis terhadap pemerintah, itu nanti kan

gampang, di cap PKI gitu. Yang kedua ini untuk keperluan praktis, untuk

membeli tanah dengan harga murah, kalau mereka tidak mau, nanti di cap PKI

gitu.

Jadi kan digunakan sepanjang kekuasaannya, bukan hanya tahun

65 saja, bahkan sampai tahun 98. Jadi untuk dua keperluan tadi, yaitu

memukul lawan politik, dan keperluan praktis membeli tanah dengan murah.

Dan itu diawetkan stigma itu dengan monumen-monumen yang dibangun

selama orde baru. Monumen Pancasila Sakti itu dibangun pada awal, tapi kita

tahu Museum Penghianatan PKI itu baru dibangun tahun 93 di Lubang Buaya

juga. Di Gatot Soebroto ini dibangun museum Waspada Purwawisesa

namanya, itu museum yang dibangun untuk mengingatkan tentang bahaya dari

kelompok Islam radikal. Jadi sepanjang orde baru diciptakan terus itu

monumen-monumen, jadi tidak berhenti tahun 66, tapi sepanjang itu ada saja

monumen, buku yang dikeluarkan gitu, buku putih setneg itu kan tidak

dikeluarkan tahun 65-66, 90-an malah itu, jadi artinya sepanjang

kekuasaannya selalu dilestarikan stigma itu.

D: Menurut Bapak, bagaimana pandangan masyarakat tentang PKI

dan komunisme saat ini, masih sama atau sudah mulai berubah?

A: Mereka yang dahulu terlibat dalam peristiwa itu sebagai pelaku,

mereka tentu tidak berubah pandangannya, soalnya kalo mereka merubah

pandangannya mereka akan disalahkan, jadi mereka tidak akan merubah

pandangan atau perspektifnya, versinya kan yang memberontak PKI, karena

mereka pemberontak maka bisa diperlakukan apa saja. Jadi ini untuk

memberikan legitimasi, justifikasi terhadap apa yang mereka lakukan, jadi

orang-orang itu tidak berubah pandangannya sampai sekarang.

Nah, untuk generasi muda itu ada dua hal, pertama kan mereka

melihat sekarang kebebasan pers di media, di tv, di internet, sudah banyak

informasi tentang G30S, tapi di sisi yang lain, di tingkat sekolah mereka

Page 144: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

140

diajarkan hal yang sangat terbatas sekali dan hanya satu versi. Jadi ada dua hal

itu, di satu sisi mereka mengetahui cukup banyak, tapi untuk di sekolah

mereka hanya diajarkan aspek yang sangat terbatas. Tapi saya melihat bahwa

generasi muda lebih banyak pengetahuannya dari pada orang-orang yang

belajar pada masa orde baru.

Seiring dengan peralihan generasi, itu kan berubah, ambil saja

contoh mengenai versi-versi G30S, orang yang menulis dalangnya itu PKI

tidak bertambah, orangnya itu-itu juga dari dulu, tapi orang yang menulis ini

ada CIA, atau Soeharto itu banyak anak-anak muda yang menulisnya,

sedangkan versi PKI itu tidak bertambah, sudah tidak menarik lagi, atau orang

sudah tidak percaya, itu versi sudah kuno dan tidak ada yang memperkaya.

Sedangkan ada yang mempersoalkan keterlibatan Soeharto, itu cukup banyak

skripsi yang baru.

D: Untuk paham komunisme sendiri, bagaimana pandangan

masyarakat sekarang ini?

A: Jadi di sini ada kepentingan dari berbagai partai untuk status quo

gitu. Di dunia tidak ada yang 100% menganut paham komunisme, RRC sekali

pun mereka sekarang ekonominya kapitalis, walaupun di sana masih ada partai

komunis. Jadi saya melihat ini sengaja dipertahankan untuk kepentingan

partai-partai, untuk menjaga konstituen-nya, karena PKI ini sudah diidentikkan

dengan anti agama, mereka muncul sebagai pembela agama, pembela

pancasila, ke-Tuhan-an yang Maha Esa gitu.

Sentimen masyarakat terhadap PKI dan komunisme akan

berkurang-berkurang terus, karena yang memelihara sentimen itu kan cuma

masih itu-itu juga orangnya, dan makin lama makin berkurang, mati atau apa,

jadi orang yang memelihara sentimen itu akan menyusut jumlahnya.

D: Menurut Bapak tentang majalah Tempo?

Page 145: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

141

A: Saya melihat Tempo sudah menjaga kredibilitasnya, buktinya

ketika pemimpinnya Wahyu Muryadi ada nuansa politik di dalamnya dan ia

terlibat, ia diganti, digeser kedudukannya, sekarang Arif Zulkifli. Tempo

cukup kritis terhadap kalangan mereka sendiri kalau tidak kredibel. Saya juga

justru menghargai Tempo yang sangat berani karena Tempo-lah yang

mencoba menampilkan kekhasannya itu dengan liputan khusus. Yang menarik

itu kan tentang tokoh-tokoh, bukan hanya tokoh Islam, tetapi juga tokoh kiri.

Tempo-lah yang berani menerbitkan buku tentang empat orang tokoh kiri,

Aidit, Musso, Sjam, dan Njoto. Nah, majalah lain kan tidak ada.

Selama ini saya melihat pemberitaan mereka cukup obyektif,

berimbang, dan menggali berbagai informasi. Saya juga dilibatkan dalam

beberapa nomor di Tempo, juga menulis beberapa kolom, saya melihat itu

dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan hanya Tempo yang berani seperti itu,

bahkan khusus untuk edisi ini, menurut saya ini merupakan suatu keberanian

yang luar biasa. Bahkan pemimpin Tempo sempat dipanggil ke PBNU,

mereka datang dan “diinterogasi” kenapa, tapi mereka bisa menjelaskan

bahwa bukan tujuannya untuk mendiskreditkan NU, tapi untuk menguak

kebenaran sejarah, selama ini kan yang kita wawancarai adalah korban, tidak

ada pelaku, justru yang sangat penting itu kan pelaku. Itu terbukti dengan film

Oppenheimer ketika ada pelaku yang berbicara. Tempo dalam hal ini mencoba

melakukan hal yang sama, tapi nampaknya mereka kurang berhasil

mewawancarai pihak tentara, jadi kesannya seperti NU saja yang menjadi

pelaku. Padahal NU kan konflik horizontal, sedangkan tentara vertikal, berupa

penugasan, berhubungan dengan penguasa.

D: Setelah setahun terbit, apa tanggapan masyarakat yang bapak lihat?

A: Kita tahu bahwa Tempo untuk kelas menengah, bukan kelas

bawah. Kelas menengah kan bisa melihat dengan lebih komperhensif, lebih

jelas. Yang menarik adalah tanggapan, seperti munculnya buku putih NU ini,

padahal orang-orang tidak pernah menyalahkan NU, ini kan cuma pengakuan

pribadi-pribadi yang mengakui melakukan pembunuhan dan lain-lain, tapi

Page 146: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

142

tidak menyalahkan organisasinya. Yang disalahkan kan tentara yang

melakukan operasi militer dan kemudian terjadi pembunuhan massal itu.

D: Selain Soeharto, adakah orang lain yang mengomandoi operasi militer itu?

A: Komando jelas dari Soeharto, tapi pidato tentang itu bukan hanya

dari Soeharto, tapi juga dari Nasution. Nasution berpidato ketika pemakaman

anaknya, yaitu akan menumpas PKI sampai ke akar-akarnya. Menumpas

sampai ke akar-akarnya itu ya berarti menghilangkan orang-orangnya juga.

D: Apakah dalam Majalah Tempo edisi ini Bapak juga melihat

adanya wacana rekonsiliasi?

A: Majalah ini sebenarnya terbit untuk merespon film Oppenheimer

itu, saya tidak melihat yang ditonjolkan itu rekonsiliasi, tidak seperti itu, tapi

saya melihat ini sesuatu yang baru, pelaku yang bersaksi, yang mengaku, saya

kira ini yang dilakukan oleh Tempo, mengejar pelaku.

D: Sudah sampai mana tahap rekonsiliasi dalam kasus ini di Indonesia?

A: Rekonsiliasi itu menurut saya antar masyarakat horizontal, jadi

antara orang-orang NU dan masyarakat bisa dilakukan rekonsiliasi, tapi yang

sifatnya vertikal seperti antara tentara dan masyarakat tidak perlu dilakukan

rekonsiliasi, mereka harus diadili. Ini kan kebijakan Negara, kebijakan

pemerintah, jadi tidak ada rekonsiliasi menurut saya, antara pelaku yang

sifatnya vertikal. Menurut saya hanya memberikan ganti rugi itu kan tidak

menyelesaikan persoalan, hukum itu harus ditegakkan.

D: Bapak setuju atau tidak dengan adanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi?

A: Saya setuju ada. Saya melihat di sini Mahkamah Konstitusi

menelikung (jika dalam sepakbola, ketika wasit tidak melihat, kaki lawan

Page 147: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

143

disamber hingga jatuh gitu). Kelompok Islam yang garis keras juga menuntut

UU KKR ini dibatalkan, tuntutan mereka tidak disetujui oleh MK, tapi pada

hakikatnya keputusan MK itu menyetujui pendapat mereka, yang dikabulkan

adalah tuntutan LSM, tapi dengan cara seperti itu, karena dikabulkan,

dianggap tidak ada rekonsiliasi antara pelaku dan korban, sehingga UU itu

batal, jadi MK memutuskan lebih dari apa yang diminta.

D: Untuk rekonsiliasi di masyarakat secara horizontal apakah sudah cukup?

A: Sudah cukup, itu sudah berjalan, jadi artinya rekonsiliasi antara

orang-orang NU dengan orang-orang eks-PKI sudah berjalan di masyarakat,

bahkan ada Forum Silaturahmi Anak Bangsa, di situ ada anak dari ketua PKI,

anak dari DI/TII, anak dari pahlawan revolusi, mereka sudah berkumpul dan

membuat organisasi. Jadi rekonsiliasi itu sudah terjadi, nah sekarang

persoalannya bagaimana menyelesaikan masalah ini supaya tuntas, apakah

dibentuk lagi KKR, atau presiden memberikan amnesti secara umum kepada

korban orde baru.

D: Bagaimana agar masalah G30S secara vertikal ini bisa tuntas?

A: Supaya tuntas itu jika presiden memberikan rehabilitasi kepada

korban tidak hanya korban 65 saja, tapi korban selama orde baru paling tidak,

supaya mereka dipulihkan nama baiknya, itu yang utama menurut saya, soal

ganti rugi uang itu persoalan belakangan.

Kemudian ada juga keputusan-keputusan pengadilan yang harus

dijalankan, misalnya Mahkamah Agung yang sudah memeriksa judicial

review, yang terkait kepada mereka yang tapol golongan C, yang pegawai

negeri dan ABRI, mereka kan dicabut hak pensiunnya. Nah Mahkamah Agung

sudah melakuan judicial review dan dalam website nya mereka menyatakan

putus dan Kabul. Putus itu artinya perkara itu sudah diputuskan oleh

Page 148: Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel Luke.pdftahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana

144

Mahkamah Agung, dan sudah dikabulkan, tapi sudah setahun, mereka belum

menerima salinannya.

D: Bagaimana penyelesaian untuk pelaku?

A: Dari pelaku sendiri, pemerintah supaya menuntaskan kasus ini,

seperti pelanggaran HAM berat tahun 65, itu kan sudah dikaji dan diselidiki

oleh Komnas HAM, jika diperiksa oleh Kejaksaan Agung dan bisa dilakukan

pengadilan HAM berat, kan bisa, Soeharto jelas sudah meninggal, tapi kan ada

di bawah-bawahnya yang masih hidup, jadi pengadilan itu harus dilakukan

walaupun yang bisa diadili cuma segelintir orang, tidak masalah menurut

hemat saya, selama keputusannya nanti menghukum mereka yang terlibat. Itu

sangat penting untuk sejarah, bahwa mereka dinyatakan bersalah, walaupun

satu-dua tahun lagi mereka juga akan meninggal.

D: Menurut Bapak apakah pemerintah kurang serius dalam menangani kasus ini?

A: Bukan kurang serius, tidak mau! Artinya, karena sudah berapa kali sudah

disampaikan berkasnya yang 65 itu, demikian juga dengan Mahkamah Agung,

keputusannya sudah ada, kenapa tidak di sahkan gitu. Mungkin mereka harus

didemo dulu baru bisa.


Related Documents