YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript

ABUSE OF POWER Penegak Hukum terhadap Kegiatan Penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) Tertentu(Otokritik atas penggunaan Ketentuan Pidana Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi untuk menjerat Pelaku Penyaluran Jenis BBM Tertentu di Provinsi Maluku Utara)Oleh: Edy Sameaputty, SH

I. Latar Belakang MasalahBahan Bakar Minyak adalah salah satu unsur vital yang diperlukan dalam pelayanan kebutuhan masyarakat umumnya baik di negara-negara miskin, negara-negara berkembang bahkan di negara-negara yang telah berstatus negara maju sekalipun. Pemanfaatan Bahan Bakar Minyak dewasa ini tidak saja berimplikasi pada kebijakan-kebijakan luar negeri suatu negara yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi negara itu sendiri namun juga berdampak secara global yang mengakibatkan penderitaan umat manusia, dalam hal ini kebijakan luar negeri suatu negara terkait pemanfaatan Bahan Bakar Minyak yang dimulai dengan upaya penguasaan terhadap sumber-sumber cadangan utama minyak bumi di beberapa tempat, padahal tempat-tempat dimaksud telah berstatus sebagai negara merdeka dengan kewajiban hukum yang berlaku di negaranya untuk mengurus pengolahan dan penguasaan cadangan minyak bumi di negara itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pecahnya perang teluk pada awal Tahun 1990-an adalah salah satu contoh di antara sekian banyak contoh kebijakan luar negeri dari negara-negara peserta perang pada saat itu yang berjuang mengatasnamakan kepentingan dan kedaulatan negara dengan tujuan untuk menguasai kepemilikan salah satu cadangan minyak bumi terbesar di dunia. Berdasarkan contoh kasus itulah maka diperlukan pengaturan terhadap kegiatan pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya alam tersebut bagi kepentingan masyarakat internasional, secara khusus bagi pemenuhan kehidupan masyarakat yang hidup dan bernaung di bawah suatu negara yang berdaulat;Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menempatkan pengelolaan Sumber Daya Alam pada ketentuan pasal 33, sehingga berdasarkan ketentuan itulah maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan usaha pertambangan minyak dan gas bumi saat itu. Pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 menjadi dasar perubahan signifikan dalam sistem pengaturan tentang hal-hal dengan pelaksanaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi, diantaranya pengelompokan Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi yang sebelumnya diklasifikasikan sebagai Usaha Pertambangan dalam ketentuan PERPU No. 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Pengelompokan Kegiatan Usaha Hulu dan Usaha Hilir diatur dan dijabarkan pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yakni:Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas:

1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup:

a. Eksplorasi;

b. Eksploitasi.

2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup:

a. Pengolahan;

b. Pengangkutan;

c. Penyimpanan;

d. Niaga.

Selain pengelompokan tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 juga memberikan terobosan baru terhadap pengawasan pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu maupun Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. PERPU No. 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, kegiatan usaha yang dikualifisir seluruhnya sebagai kegiatan pertambangan diawasi oleh Departemen yang berkepentingan dan memiliki kewenangan meliputi pertambangan minyak dan gas bumi, sementara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 mengatur pengawasan untuk masing-masing Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh Badan Pengawas dan Badan Pengatur, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, antara lain:(2) Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.

(3) Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hilir berdasarkan lzin Usaha dilaksanakan oleh Badan Pengatur.selanjutnya pada Bab IX pasal 44 sampai dengan pasal 49 diatur ketentuan-ketentuan menyangkut Badan Pelaksana dan Badan Pengatur tersebut.Selain ketentuan-ketentuan tentang klasifikasi Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi juga membatasi kewenangan Pertamina dan menempatkan Pertamina sejajar dengan Badan-badan Usaha yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi dapat diizinkan untuk melakukan Kegiatan Usaha Hulu maupun Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Pembatasan-pembatasan kewenangan Pertamina sebagaimana diatur dalam BAB XII Pasal 60 sampai dengan pasal 63 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 meliputi tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan pengusahaan kontraktor Eksplorasi dan Eksploitasi termasuk Kontraktor Kontrak Bagi Hasil serta hal-hal menyangkut dengan pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dialihkan menjadi kewenangan Badan Pelaksana Hulu. Sebagai catatan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Undang-Undang PERTAMINA menempatkan Pertamina sebagai Pemegang Kekuasaan Tunggal kegiatan-kegiatan usaha pertambangan minyak dan gas bumi yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan dan penjualan di wilayah Negara Republik Indonesia.Pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi juga didukung dengan semangat penegakan hukum yang diimplementasikan melalui Ketentuan-Ketentuan Pidana yang diatur dalam Bab XI pasal 51 sampai dengan pasal 58 Undang-Undang dimaksud. Ketentuan-ketentuan Pidana tersebut dibentuk oleh Pembuat Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi yang pada pokoknya untuk mengatur perbuatan-perbuatan terkait dengan Kegiatan Usaha Hulu maupun Kegiatan Usaha Hilir yang dapat dikualifisir sebagai perbuatan pidana dengan ancaman pidana jenis pidana kurungan, pidana penjara dan pidana denda. Terkait dengan ketentuan pidana dimaksud, Institusi penegak hukum khususnya dalam lingkungan Sistem Peradilan Pidana sering diperhadapkan dengan perkara-perkara yang disangka, didakwa serta diadili berdasarkan ketentuan Pidana yang diatur dalam pasal 53 dan pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 (ketentuan pasal 53 dan pasal 55 lebih khusus mengatur tentang perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan dalam hal pelaksanaan Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi). Namun yang menjadi masalah dalam penggunaan dan penerapan ketentuan pasal 53 dan pasal 55 tersebut ialah, ketentuan tersebut digunakan untuk menjerat para pelaku yang diduga melakukan tindak pidana berkaitan dengan usaha Hilir padahal yang bersangkutan melakukan Kegiatan Penyaluran yang tidak secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. II. Permasalahan

Menjadi pertanyaan untuk selanjutnya dibahas adalah apakah Ketentuan Pidana untuk Kegiatan Usaha Hilir yang diatur dalam pasal 53 dan pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dapat dikenakan dan diterapkan terhadap kegiatan penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu?III. Pembahasan

III. 1. Penjelasan Ketentuan Pidana Pasal 53 dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas BumiSebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi pada pokoknya mengatur tentang hal-hal menyangkut Kegiatan Usaha Hulu (meliputi Eksplorasi dan Eksploitasi) serta Kegiatan Usaha Hilir (meliputi Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan Niaga). Uraian definisi jenis-jenis kegiatan baik Hulu maupun Hilir telah dijabarkan pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, antara lain:

Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.

Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dan Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.

Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan.

Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari Wilayah Kerja atau dari tempat penampungan dan Pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui pipa transmisi dan distribusi. Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi.

Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa.Adapun ketentuan pidana pasal 53 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yakni Setiap orang yang melakukan:

a. Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa lzin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan denda paling tinggi Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);

b.Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) Tahun dan denda paling tinggi Rp. 40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah);

c. Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa lzin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun dan denda paling tinggi Rp. 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);

d. Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa lzin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun dan denda paling tinggi Rp. 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).

Berdasarkan ketentuan pidana tersebut di atas, khusus untuk pasal 53 huruf a, b, c dan d terdapat persamaan unsur yang digunakan oleh pembuat Undang-Undang untuk menunjuk pasal 23 Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi sebagai parameter pelengkap unsur dari ketentuan pidana pasal 53 tersebut. Sebagaimana diketahui, ketentuan pasal 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengatur hal-hal sebagai berikut:(1)Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapat Izin Usaha dari Pemerintah.(2) lzin Usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan kegiatan usaha Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas:

a. Izin Usaha Pengolahan;

b. Izin Usaha Pengangkutan;

c. Izin Usaha Penyimpanan;

d. lzin Usaha Niaga.

(3) Setiap Badan Usaha dapat diberi lebih dari 1 (satu) lzin Usaha sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.Terhadap pasal dimaksud, khususnya ayat (1) dan ayat (2) pembuat Undang-Undang menjelaskannya sebagai berikut:Ayat (1)

Izin Usaha merupakan izin yang diberikan kepada Badan Usaha oleh Pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing, untuk melaksanakan kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga, setelah memenuhi persyaratan yang diperlukan. Dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan daerah, Pemerintah mengeluarkan lzin Usaha, setelah Badan Usaha dimaksud mendapat rekomendasi dari Pemerintah Daerah.

Ayat (2)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan pengawasan dan pengendalian terhadap Badan Usaha yang berusaha di bidang Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga. Pemerintah wajib memberikan atau menolak permohonan lzin Usaha yang diajukan Badan Usaha dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Berdasarkan uraian tersebut, apabila ketentuan pasal 23 ini disimpulkan, dapat dinyatakan bahwa kegiatan usaha Hilir dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapat Izin Usaha untuk kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan atau usaha Niaga. Dan untuk Badan Usaha dapat diberikan lebih dari 1 (satu) Izin Usaha sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku;Berdasarkan data yang diperoleh dari laman Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas www.bphmigas.go.id Badan-badan Usaha yang terdaftar secara resmi dan memiliki izin usaha di bidang Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga antara lain dirincikan sebagai berikut:

REKAPITULASI BADAN USAHA PEMILIK IZIN USAHANo.Nama Badan UsahaJenis NRUAlamatNomor NRUTgl. NRU

1.PT. Petronas Niaga IndonesiaNiaga UmumKawasan Mega Kuningan Jakarta001/NU-BPH-IU/BPH Migas/200623 Pebruari 2006

2.PT. AKR Corporindo Tbk

Haryanto AdikoesoemoNiaga UmumKebon Jeruk, Jakarta002/NU-BPH-IU/BPH Migas/200617 April 2006

3.PT. Kopatria Dewata

Abdul Muis LatifNiaga TerbatasPerkantoran Pondok Gede Indah, Jakarta003/NT-BPH-IU/BPH Migas/200617 April 2006

4.PT. Redeco Petrolin Utama

Simon Harris ThanyPenyimpananKebon Sirih, Jakarta004/PN-BPH-IU/BPH Migas/200617 April 2006

5.PT. Tiara EnergyNiaga UmumWisma Pejaten, Jakarta Selatan005/NU-BPH-IU/BPH Migas/200618 Mei 2006

6.PT. Petro Andalan Nusantara

Daulay/RobbyNiaga TerbatasMedan Sumatera Utara006/NT-BPH-IU/BPH Migas/200616 Oktober 2006

7.PT Titan Multi DayaNiaga TerbatasJakarta Selatan007/NT-BPH-IU/BPH Migas/200616 Oktober 2006

8.PT. Tomindomas Bulk Tank

TerminalNiaga UmumJakarta008/NU-BPH-IU/BPH Migas/20064 Januari 2007

9.PT. Tomindomas Bulk Tank

TerminalPenyimpananJakarta009/PN-BPH-IU/BPH Migas/20064 Januari 2007

10.PT. Synergy Inti MitraNiaga TerbatasJakarta Selatan010/NT-BPH-IU/BPH Migas/20064 Januari 2007

11.PT. Toyota TsushoNiaga TerbatasJakarta011/NT-BPH-IU/BPH Migas/20064 Januari 2007

12.PT. Sigma Rancang Perdana

Nurhadi, M.ScNiaga UmumDuta Mas Fatmawati, Jakarta012/NU-BPH-IU/BPH Migas/20069 Pebruari 2007

13.PT. Elnusa Petrofin

Ratiyan AbdurahmanNiaga UmumGraha Elnusa Lt. 12013/NU-BPH-IU/BPH Migas/20069 Pebruari 2007

14.PT. Petro Andalan

Nusantara Niaga UmumMedan, Sumatera Utara014/NU-BPH-IU/BPH Migas/20069 Pebruari 2007

15.PT. Petro Andalan

Nusantara PenyimpananMedan, Sumatera Utara015/PN-BPH-IU/BPH Migas/20069 Pebruari 2007

16.PT. Mineral Nusa PersadaNiaga TerbatasDuren Sawit, Jakarta Timur016/NT-BPH-IU/BPH Migas/20069 Pebruari 2007

17.PT. Hutan Nilam PersadaNiaga UmumBandar Lampung, Lampung017/NU-BPH-IU/BPH Migas/20069 Pebruari 2007

18.PT. Cosmic IndonesiaNiaga UmumNagoya Lubuk Baja, Batam018/NU-BBM-IU/BPH

MIGAS/200720 April 2007

19.PT. Jaya Bersama Lestari KimiaPengangkutanJakarta019/PG-BBM-IUS/BPH

MIGAS/200720 April 2007

20.PT Sumatera Sarana Sekar SaktiPengangkutanMedan, Sumatera Utara023/PG-BBM-IU/BPH Migas/200729 Juni 2007

21.PT Taranaco UtamaNiaga TerbatasKebon Sirih, Jakarta024/NT-BBM-IU/BPH Migas/200729 Juni 2007

22.PT Muji Inti UtamaNiaga TerbatasJakarta Selatan025/NT-BBM-IU/BPH Migas/200729 Juni 2007

23.PT Adovelin RaharjaPengangkutanPalembang, Sumatera Selatan026/PG-BBM-IU/BPH Migas/200729 Juni 2007

24.PT Dover ChemicalPenyimpananJakarta027/PN-BBM-IU/BPH Migas/200729 Juni 2007

25.PT Pelayaran Nasional AeromicPengangkutanNagoya Lubuk Baja, Batam028/PG-BBM-IU/BPH Migas/200729 Juni 2007

26.PT Walinusa EnergiNiaga TerbatasJakarta020/NT-BBM-IU/BPH Migas/200729 Juni 2007

27.PT Elnusa PetropinPenyimpananJakarta022/PN-BBM-IUS/BPH

Migas/200729 Juni 2007

28.PT Cendrawasih Budi MuliaPengangkutanJakarta021/PG-BBM-IU/BPH Migas/200729 Juni 2007

29.PT Patra NiagaPenyimpananJakarta029/PN-BBM-IU/BPH Migas/200729 Juni 2007

30.PT Patra NiagaNiaga UmumJakarta030/NU-BBM-IU/BPH Migas/200721 Agustus 2007

31.PT Caraka Tirta PratamaPengangkutanJakarta Barat031/PG-BBM-IU/BPH Migas/200721 Agustus 2007

32.PT. Sentosa Permai PratamaNiaga TerbatasJakarta Selatan032/NT-BBM-IU/BPH Migas/200721 Agustus 2007

33.PT. WahanaPutra

MargaswadayaNiaga TerbatasJakarta Selatan033/NT-BBM-IU/BPH Migas/200708 Oktober 2007

34.PT. Handa TerminalPenyimpananMedan, Sumatera Utara034/PN-BBM-IU/BPH Migas/200708 Oktober 2007

35.PT. Premindo Mitra KencanaNiaga TerbatasJakarta035/NT-BBM-IU/BPH Migas/200808 Oktober 2007

36.PT. Surya Artha ChanyaPengangkutanJakarta Selatan036/PG-BBM-IU/BPH Migas/200708 Oktober 2007

37.PT. Emar Elang PerkasaNiaga TerbatasJakarta Selatan037/NT-BBM-IU/BPH Migas/200808 Oktober 2007

38.PT. Premindo MitraNiaga UmumJakarta038/NU-BBM-IU/BPH Migas/200708 Oktober 2007

39.PT. Mulya Adhi ParamitaNiaga UmumJakarta039/NU-BBM-IU/BPH Migas/200708 Oktober 2007

40.PT. Cipta Mulia SaranaNiaga TerbatasJakarta040/NT-BBM-IU/BPH Migas/20079 Januari 2008

41.PT. Dharma Karya PerdanaPenyimpananCilincing, Jakarta041/PN-BBM-IU/BPH Migas/20089 Januari 2008

42.PT Patra NiagaNiaga TerbatasJakarta042/NT-BBM-IU/BPH Migas/20089 Januari 2008

43.PT Samudra Etam EnergiPengangkutanKota Bontang, Kalimantan Timur043/PG-BBM-IU/BPH Migas/20089 Januari 2008

44.PT Dwikarya Niaga AgungNiaga UmumJakarta Barat044/NU-BBM-IU/BPH Migas/200828 Januari 2008

45.PT Jagad EnergyNiaga UmumBatam045/NU-BBM-IU/BPH Migas/200828 Januari 2008

46.PT Mahaputra Adi NusaNiaga UmumCilandak, Jakarta046/NU-BBM-IU/BPH Migas/200828 Januari 2008

47.PT. Medco Sarana KalibaruNiaga UmumCilincing, Jakarta047/NU-BBM-IU/BPH Migas/200828 Januari 2008

48.PT. Bumi Asri PrimaNiaga UmumJakarta049 /NU-BBM-IU/BPH Migas/200818 April 2008

49.PT. Suryamakmur AgungPengangkutanCilincing, Jakarta Utara051 /PG-BBM-IU/BPH Migas/200818 April 2008

50.PT. Kencana NiagaNiaga TerbatasJakarta Pusat048 /NT-BBM-IU/BPH Migas/200818 April 2008

51.PT. Usaha GemilangPengangkutanJakarta050 /PG-BBM-IU/BPH

Migas/200818 April 2008

52.PT. Shell IndonesiaNiaga UmumJakarta052 /NU-BBM-IU/BPH

Migas/200821 Juli 2008

53.PT. Humpuss TradingNiaga UmumJakarta053 /NU-BBM-IU/BPH

Migas/200821 Juli 2008

54.PT. Petrobas IndonesiaNiaga UmumJakarta054 /NU-BBM-IU/BPH

Migas/200821 Juli 2008

55.PT. Lingga PerdanaPengangkutanCilegon, Banten055 /PG-BBM-IU/BPH

Migas/200821 Juli 2008

56.PT. Suryamakmur Agung LestariPenyimpananCilincing, Jakarta Utara056 /PN-BBM-IU/BPH

Migas/200821 Juli 2008

57.PT. Pumas Petro LampungNiaga UmumJakarta057 /NU-BBM-IU/BPH

Migas/200822 September 2008

58.PT Samudra Etam EnergiNiaga TerbatasKota Bontang, Kalimantan Timur058/NT-BBM-IU/BPH Migas/200822 September 2008

59.PT. Nurindo TradeNiaga TerbatasJakarta059 /NT-BBM-IU/BPH Migas/200822 September 2008

60.PT. Delta Artha BahariPenyimpananSurabaya, Jawa Timur060 /PN-BBM-IU/BPH

Migas/200822 September 2008

61.PT. Rashwa Getra NirwanaNiaga TerbatasSurabaya, Jawa Timur061 /NT-BBM-IU/BPH Migas/200920 Januari 2009

62.PT. Total Oil IndonesiaNiaga UmumJakarta062 /NU-BBM-IU/BPH

Migas/200920 Januari 2009

63.PT. Pro EnergiNiaga TerbatasJakarta063 /NT-BBM-IU/BPH Migas/200920 Januari 2009

64.PT. Cipta Lentera AbadiPengangkutanJakarta064 /PG-BBM-IU/BPH

Migas/200920 April 2009

65.PT. Sumber Alam Utama

KalbarPenyimpananKab. Ketapang, Kalimantan Barat065 /PN-BBM-IU/BPH

Migas/200920 April 2009

66.PT. Solar Premium CentralNiaga UmumPluit, Jakarta066 /NU-BBM-IU/BPH

Migas/200929 Juni 2009

67.PT. Lingga PerdanaNiaga UmumKota Cilegon, Banten067/NU-BBM-IU/BPH

Migas/200929 Juni 2009

68.PT. Petrindo Nusa PersadaNiaga TerbatasTebet,

Jakarta Selatan068 /NT-BBM-IU/BPH Migas/200929 Juni 2009

69.PT. Pertamina (Persero)Niaga UmumJakarta069 /NU-BBM-IU/BPH

Migas/200929 Juni 2009

70.PT. Lumako Abadi SejahteraNiaga TerbatasMedan, Sumatera Utara070/NT-BBM-IU/BPH Migas/200929 Juni 2009

71.PT. Lumako Abadi SejahteraPengangkutanMedan, Sumatera Utara071/PG-BBM-IU/BPH Migas/200929 Juni 2009

72.PT. Segara Lanjutan DibyaPengangkutanTanjung Priok, Jakarta Utara072/PG-BBM-IU/BPH Migas/200929 Juni 2009

73.PT. Ocean Petro EnergyNiaga UmumBalikpapan, Kalimantan Timur073/NU-BBM-IU/BPH MIGAS/201012 Maret 2010

74.PT. Usaha Gemilang UtamaNiaga UmumJakarta074/NU-BBM-IU/BPH MIGAS/201012 Maret 2010

75.PT. Toyota Tsusho IndonesiaNiaga UmumJakarta Pusat075/NU-BBM-IU/BPH MIGAS/201012 Maret 2010

76.PT. Oil Tanking MerakPenyimpananJakarta Selatan076/PN-BBM-IU/BPH MIGAS/201012 Maret 2010

77.PT. Hokari Linex PratamaNiaga UmumCilegon, Banten077/NU-BBM-IU/BPH MIGAS/201012 Maret 2010

78.PT. Oil Tanking MerakNiaga UmumJakarta Selatan078/NU-BBM-IU/BPH MIGAS/201012 Maret 2010

79.PT. Trans-Pacific Petrochemical

IndotamaNiaga UmumJakarta 079/NU-BBM-IU/BPH

MIGAS/201004 Juni 2010

80.PT. Trans-Pacific Petrochemical

IndotamaPengolahanJakarta080/PL-BBM-IU/BPH MIGAS/201004 Juni 2010

81.PT. Lautan Luas TbkNiaga UmumJakarta081/NU-BBM-IU/BPH

MIGAS/201004 Juni 2010

82.PT. Usaha Catur MitraNiaga UmumJakarta082/NU-BBM-IU/BPH

MIGAS/201004 Juni 2010

83.PT. Samudra PratamaPengangkutanJakarta083/PG-BBM-IU/BPH Migas/200904 Juni 2010

84.PT. Khatulistiwa Raya EnergyNiaga UmumJakarta Utara084/NU-BBM-IU/BPH

MIGAS/201004 Juni 2010

85.PT. Prayasa Indomitra SaranaNiaga UmumBatu Ampar, Batam085/NU-BBM-IU/BPH

MIGAS/201024 Agustus 2010

86.PT. Radinka Aria InternationalNiaga TerbatasJakarta Pusat086/NT-BBM-IU/BPH MIGAS/201024 Agustus 2010

87.PT. PetroChina International

IndonesiaNiaga UmumJakarta Selatan087/NU-BBM-IU/BPH

MIGAS/201024 Agustus 2010

88.PT. Kuo OilNiaga UmumJakarta Selatan088/NU-BBM-IU/BPH

MIGAS/201024 Agustus 2010

89.PT. Kutilang Paksi MasNiaga UmumJakarta Selatan089/NU-BBM-IU/BPH

MIGAS/201024 Agustus 2010

90.Perusda Purin Lewo LembataPenyimpananNusa Tenggara Timur090/PN-BBM-IU/BPH

MIGAS/201024 Agustus 2010

91.PT. Humpuss Intermoda

Transportasi, TbkPengangkutanJakarta Timur091/PG-BBM-IU/BPH

MIGAS/201104 Februari 2011

92.PT. Gresik Distribution TerminalPenyimpananCilandak, Jakarta Selatan092/PN-BBM-IU/BPH

MIGAS/201104 Februari 2011

93.PT. Buma Niaga PerkasaNiaga UmumBalikpapan, Kalimantan Timur093/NU-BBM-IU/BPH

MIGAS/201104 Februari 2011

94.PT. Dovechem Maspion

TerminalPenyimpananGresik, Jawa Timur094/PN-BBM-IU/BPH

MIGAS/201104 Februari 2011

95.PT. Mandiri Berkah EnergyNiaga TerbatasJakarta Barat095/NT-BBM-IU/BPH MIGAS/201104 Februari 2011

96.PT. Odessey Shipping LinesPengangkutanJakarta Selatan096/PG-BBM-IU/BPH

MIGAS/201104 Februari 2011

97.PT. Patra Buana PutraNiaga TerbatasCimahi, Jawa Barat097/NT-BBM-IU/BPH MIGAS/201104 Februari 2011

98.PT. Permata Buana PutraPengangkutanCimahi, Jawa Barat098/PG-BBM-IU/BPH

MIGAS/201104 Februari 2011

99.PT. Anugrah Aldhi PersadaNiaga TerbatasJakarta Pusat99/NT-BBM-IU/BPH MIGAS/201120 Juli 2011

100.PT. Adhimix Precast IndonesiaNiaga TerbatasJakarta Selatan100/NT-BBM-IU/BPH MIGAS/201120 Juli 2011

101.PT. Surya Parna NiagaNiaga UmumJakarta Selatan101/NU-BBM-IU/BPH

MIGAS/201107 September 2011

102.PT. Cosmic PekanbaruNiaga UmumPekanbaru102/NU-BBM-IU/BPH

MIGAS/201107 September 2011

103.PT. Green Gold Alam IndonesiaNiaga TerbatasJakarta Barat103/NT-BBM-IU/BPH MIGAS/201107 September 2011

Berdasarkan data tersebut, tercatat sebanyak 103 (seratus tiga) Izin Usaha yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan untuk melaksanakan Kegiatan Hilir Migas dengan klasifikasi jumlah Izin Usaha masing-masing sebagai berikut:

1. Izin Usaha untuk kegiatan Pengolahan:1Perusahaan;2. Izin Usaha untuk kegiatan Pengangkutan:18Perusahaan;

3. Izin Usaha untuk kegiatan Penyimpanan:15Perusahaan;4. Izin Usaha untuk kegiatan Niaga Umum:41Perusahaan;5. Izin Usaha untuk kegiatan Niaga Terbatas:28Perusahaan.Sesuai data-data tersebut ditemukan pula perbedaan antara Kegiatan Niaga Umum dan Kegiatan Niaga Terbatas, yang didefinisikan berdasarkan Ketentuan Umum pasal 1 angka 16 dan angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagai berikut:

Kegiatan Usaha Niaga Umum (Wholesale) adalah kegiatan usaha penjualan, pembelian, ekspor dan impor Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan dalam skala besar yang menguasai atau mempunyai fasilitas dan sarana penyimpanan dan berhak menyalurkannya kepada semua pengguna akhir dengan menggunakan merek dagang tertentu.

Kegiatan Usaha Niaga Terbatas (Trading) adalah kegiatan usaha penjualan, pembelian, ekspor dan impor, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan dalam skala besar yang tidak menguasai atau mempunyai fasilitas dan sarana penyimpanan dan hanya dapat menyalurkannya kepada pengguna yang mempunyai/menguasai fasilitas dan sarana pelabuhan dan/atau terminal penerima (receiving terminal).Sementara itu ketentuan pidana pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yaitu Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Tahun dan denda paling tinggi Rp. 60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).Pasal 55 tersebut kemudian dijelaskan oleh pembuat Undang-Undang dalam penjelasan pasal antara lain Dalam ketentuan ini yang dimaksudkan dengan menyalahgunakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan perseorangan atau badan usaha dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan negara seperti antara lain kegiatan pengoplosan bahan bakar minyak, penyimpangan alokasi bahan bakar minyak, pengangkutan dan penjualan bahan bakar minyak ke Iuar negeri.Secara Khusus menyangkut ketentuan pasal 55, penulis berpendapat bahwa pada dasarnya pembentuk Undang-Undang telah memberikan batasan pengertian untuk frasa menyalahgunakan hanya sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan perseorangan atau badan usaha dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan Negara berdasarkan contoh-contoh kegiatan penyalahgunaan sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan tersebut.III. 2.Regulasi Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar MinyakPembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak serta merta mengatur dan menjabarkan secara rinci mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan pokok yang ditentukan dalam Undang-Undang dimaksud yakni tentang kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir migas. Terhadap kegiatan usaha hilir, pasal 30 Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi mengatur bahwa Ketentuan mengenai usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai perwujudan pelaksanaan amanat pasal 30 tersebut, Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Peraturan Pemerintah tersebut dibagi menjadi 19 (sembilan belas) Bab dan terdiri dari 100 pasal yang secara umum dijelaskan oleh Pembuat Peraturan Pemerintah, bahwa bertitik tolak dari landasan hukum dalam pengusahaan Kegiatan Usaha Hilir, maka diperlukan pengaturan dalam suatu Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan dampak yang dapat ditimbulkannya. Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, yang antara lain meliputi pengaturan mengenai pembinaan dan pengawasannya, mekanisme pemberian Izin Usaha, kegiatan Pengolahan, Pengangkutan termasuk Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa, Penyimpanan dan Niaga, Cadangan Strategis Minyak Bumi, Cadangan Bahan Bakar Nasional, Standar dan Mutu, ketersediaan dan pendistribusian jenis Bahan Bakar Minyak tertentu, Harga Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi, Penyaluran Bahan Bakar Minyak pada Daerah Terpencil, Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Pengembangan Masyarakat Setempat, Pemanfaatan Barang, Jasa, dan Kemampuan Rekayasa dan Rancang Bangun Dalam Negeri serta Penggunaan Tenaga Kerja dan Sanksi dalam Kegiatan Usaha Hilir.Khusus menyangkut kegiatan penyaluran Bahan Bakar Minyak, pasal 48 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah dimaksud, mengatur:

(1) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale) dalam menyalurkan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan LPG untuk pengguna skala kecil, pelanggan kecil, transportasi dan rumah tangga wajib menyalurkannya melalui penyalur yang ditunjuk Badan Usaha melalui seleksi.

(2) Penunujukan penyalur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengutamakan koperasi, usaha kecil dan/atau badan usaha swasta nasional yang terintegrasi dengan Badan Usaha berdasarkan perjanjian kerjasama. (3) Penyalur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat memasarkan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan LPG dengan merek dagangg yang digunakan atau dimiliki Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale).

(4) Penyalur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki perizinan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Selain ketentuan pasal 48 di atas, selanjutnya dalam Bab XI tentang Ketersediaan dan Distribusi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu, terdapat pula Peraturan kegiatan-kegiatan penyaluran Bahan Bakar Minyak jenis tertentu antara lain sebagai berikut:

1. Pasal 69 ayat (1) sampai dengan ayat (4) mengatur:(1) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale) yang melaksanakan kegiatan Niaga jenis Bahan Bakar Minyak tertentu kepada pengguna transportasi, wajib member kesempatan kepada penyalur yang ditunjuk Badan Usaha melalui seleksi.

(2) Penyalur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah koperasi, usaha kecil dan/atau badan usaha swasta nasional yang terintegrasi dengan Badan Usaha berdasarkan perjanjian kerjasama.

(3) Penyalur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat melaksanakan penyaluran jenis Bahan Bakar Minyak tertentu dengan merek dagang yang digunakan atau dimiliki Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale).(4) Penyalur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib memperoleh perizinan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.2. Pasal 70 ayat (1) sampai dengan ayat (5), mengatur sebagai berikut:(1) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale) yang melaksanakan kegiatan Niaga Bahan Bakar Minyak jenis minyak tanah untuk rumah tangga dan/atau usaha kecil wajib melakukannya melalui penyalur yang ditunjuk Badan Usaha melalui seleksi.

(2) Penyalur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah koperasi, usaha kecil dan/atau badan usaha swasta nasional yang terintegrasi dengan Badan Usaha berdasarkan perjanjian kerjasama.

(3) Penyalur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat melaksanakan penyaluran Bahan Bakar Minyak jenis minyak tanah dengan merek dagang yang digunakan atau dimiliki Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale).(4) Penyalur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib memperoleh perizinan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.(5) Penyalur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat melaksanakan penyaluran kepada pengguna rumah tangga dan/atau usaha kecil dan tidak dapat melaksanakan penyaluran kepada lingkup pengguna lain.Selanjutnya, untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut menyangkut penyediaan dan distribusi jenis Bahan Bakar Minyak tertentu, ditetapkanlah Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu

Berdasarkan ketentuan inilah, masyarakat kemudian mengenal adanya Bahan Bakar Minyak yang disubsidi pemerintah. Meskipun tidak dijelaskan secara eksplisit dalam ketentuan pasal-pasalnya namun subsidi jenis Bahan Bakar Minyak tertentu diartikan melalui ketentuan umum pasal 1 Peraturan Presiden dimaksud, yaitu Subsidi Jenis BBM Tertentu per liter adalah pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang antara harga jual eceran per liter Jenis BBM Tertentu setelah dikurangi pajak-pajak, dengan harga patokan per liter Jenis BBM Tertentu.Selain itu pada saat Peraturan Presiden Pertama kali ditetapkan pada Tahun 2005 PT. Pertamina (Persero) selaku Badan Usaha yang ditugaskan untuk melaksanakan penyediaan dan pendistribusian Jenis BBM Tertentu di seluruh wilayah Indonesia sebagaimana diatur dan ditentukan pada pasal 10 Peraturan Presiden tersebut, sebagai berikut:(1) Dalam hal Badan Usaha selain PT Pertamina (Persero) belum ada yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan penugasan penyediaan dan pendistribusian Jenis BBM Tertentu pada tanggal 23 November 2005, PT Pertamina (Persero) ditugaskan untuk melaksanakan penyediaan dan pendistribusian Jenis BBM Tertentu di seluruh wilayah Indonesia.

(2) Pelaksanaan dan jangka waktu penugasan PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri, setelah mendapat pertimbangan dari Badan Pengatur.

Selanjutnya dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa Bahan Bakar Minyak sebagai komoditas strategis dan vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sebagian besar merupakan Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu yang masih mendapatkan subsidi dari Pemerintah yang pendistribusiannya perlu dilaksanakan sebagaimana mestinya, tepat sasaran dan tidak disalahgunakan serta untuk memberikan kepastian hukum bagi kegiatan pendistribusian Bahan Bakar Minyak, maka ditetapkanlah Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak;Peraturan Menteri ESDM pada prinsipnya mengatur tentang hal-hal pokok tentang penyaluran Bahan Bakar Minyak sebagai penegasan terhadap kegiatan Penyaluran yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Kegiatan Usaha Hilir sesuai pembahasan sebelumnya. Hal-hal yang diatur antara lain tentang penyalur dan penyaluran jenis BBM tertentu yang masing-masing diatur dalam Bab II dan Bab III Peraturan Menteri ESDM. Aturan-aturan mana dapat dijabarkan berdasarkan ketentuan pasal-pasal sebagai berikut:Pasal 2

(1) BU-PIUNU dapat melakukan pendistribusian melalui Penyalur.

(2) BU-PIUNU dalam menyalurkan Bahan Bakar Minyak untuk pengguna skala kecil, pelanggan kecil, transportasi dan rumah tangga wajib menyalurkannya melalui Penyalur yang ditunjuk BU-PIUNU melalui seleksi.

(3) Pengguna skala kecil dan pelanggan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan konsumen yang menggunakan Bahan Bakar Minyak sebagai bahan bakar dan yang tidak menguasai atau mempunyai fasilitas dan sarana pelabuhan dan/atau tidak menguasai receiving terminal.

(4) Receiving terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan instalasi penerimaan yang terdiri dari tempat penyimpanan (storage), dermaga Uetty, beserta sarana lainnya yang paling sedikit meliputi peralatan bongkar muat dan pompa. (5) Pengguna Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan konsumen yang menggunakan Bahan Bakar Minyak sebagai bahan bakar untuk segala bentuk sarana transportasi.(6) Pengguna Rumah Tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan konsumen yang menggunakan Bahan Bakar Minyak sebagai bahan bakar untuk memasak dan penerangan dalam lingkup rumah tangga.

(7) Penunjukan Penyalur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilengkapi dengan surat rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dengan lokasi sarana dan fasilitas.

Pasal3

(1) Penyalur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat berbentuk Mobile Bunker Agent (MBA), Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), Premium Solar Package Dealer (PSPD), Agen Minyak Tanah (AMT) , Pool Konsumen atau bentuk penyalur lainnya.

(2) Penyalur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapatkan jasa penyaluran (margin fee) yang ditetapkan oleh BU-PIUNU.(3) Penyalur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat menyalurkan Bahan Bakar Minyak yang berasal dari 1 (satu) BU-PIUNU yang menunjuknya.

Pasal 4

(1) Penyalur wajib memiliki sarana dan fasilitas.

(2) Dalam hal Penyalur melakukan kegiatan penyaluran untuk transportasi laut, Penyalur dapat menguasai sarana dan fasilitas.

BAB III

PENYALURAN JENIS BBM TERTENTU

Pasal 12

BU-PIUNU yang mendapatkan penugasan dari Badan Pengatur dan Penyalurnya wajib menyalurkan Jenis BBM Tertentu kepada konsumen tertentu secara tepat sasaran dan tepat volume, dengan harga sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Pasal 13

(1) BU-PIUNU yang ditetapkan oleh Badan Pengatur untuk melaksanakan .penugasan wajib menunjuk Penyalur yang menyediakan sarana dan fasilitas di wilayah penugasan.

(2) Dalam rangka penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha wajib mengutamakan penggunaan sarana dan fasilitas Penyalur yang tersedia di wilayah penugasan secara kelaziman bisnis dan terpenuhinya syarat-syarat penugasan.

(3) Penggunaan sarana dan fasilitas Penyalur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dalam rangka menjamin penyediaan dan pendistribusian Jenis BBM Tertentu di wilayah penugasan dan dalam rangka subsidi yang tepat volume dan tepat sasaran.

(4) Penyalur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib melakukan penyaluran kepada konsumen pengguna Jenis BBM Tertentu, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

(5) Dalam menyalurkan Jenis BBM Tertentu kepada konsumen pengguna, Penyalur wajib memberikan faktur atau bukti transaksi lainnya yang mencantumkan antara lain nilai subsidi yang diterima konsumen pengguna.III. 3.Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak serta Permasalahan yang dihadapiSecara geografis, Provinsi Maluku Utara adalah provinsi kepulauan yang terdiri atas 2 (dua) Kota dan 8 (delapan) Kabupaten yang tersebar dari Pulau Morotai di sebelah Utara hingga Pulau Taliabu di sebelah Barat Daya yang baru saja dimekarkan sebagai Daerah Otonom Baru. Berdasarkan data yang diperoleh dari laman resmi Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas www.bphmigas.go.id, PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Umum yang ditugaskan untuk melaksanakan penyediaan dan pendistribusian jenis Bahan Bakar Minyak tertentu di wilayah Maluku Utara, hanya memiliki 4 (empat) Depot yang masing-masing berkedudukan di Tobelo, Ternate, Labuha dan Sanana. Adapun wilayah pembagian tugas penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dari depot-depot tersebut antara lain:1. Depot Tobelo, yang melaksanakan kebutuhan penyediaan Bahan Bakar Minyak untuk wilayah Pulau Morotai dan Pulau Halmahera;2. Depot Ternate, yang melaksanakan kebutuhan penyediaan Bahan Bakar Minyak untuk wilayah Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan;3. Depot Labuha, yang melaksanakan kebutuhan penyediaan Bahan Bakar Minyak untuk wilayah Kabupaten Halmahera Selatan yang tersebar dari Kepulauan Makian dan Kayoa hingga ke wilayah paling Selatan di Pulau Obi dan sekitarnya; serta4. Depot Sanana, yang untuk melaksanakan kebutuhan penyediaan Bahan Bakar Minyak untuk wilayah Kabupaten Kepulauan Sula dan Taliabu.Penyebaran Depot milik PT. Pertamina (Persero) yang secara geografis berada di 4 (empat) lokasi tersebut mengakibatkan penyalur Bahan Bakar Minyak antara lain seperti Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), Agen Minyak Tanah (AMT) dan jenis penyalur lainnya sangat berperan penting untuk menyalurkan Bahan Bakar Minyak (khususnya Bahan Bakar Minyak bersubsidi) kepada para konsumen yang terletak di daerah-daerah yang tersebar di pulau-pulau yang berada di wilayah Provinsi Maluku Utara. Berdasarkan keadaan tersebut itulah, maka satu-satunya alat transportasi yang dapat digunakan dalam hal penyaluran Bahan Bakar Minyak oleh penyalur setelah Bahan Bakar Minyak tersebut diperoleh dari Depot Pertamina adalah melalui Kapal Laut. Sehubungan dengan sarana angkutan khusus untuk kegiatan penyaluran jenis Bahan Bakar Minyak tertentu (BBM bersubsidi), PT. Pertamina (Persero) wajib mengutamakan penggunaan usaha pengangkutan milik koperasi, usaha kecil dan/atau badan usaha swasta nasional melalui seleksi. Selain itu usaha pengangkutan dimaksud wajib dilakukan secara terintergrasi dengan Badan Usaha melalui perjanjian kerjasama, serta usaha pengangkutan tersebut wajib memperoleh perizinan sesuai dengan ketentuan Peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku. Hal mana ditegaskan dalam pasal 71 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Izin yang dimaksud menurut ketentuan pasal 71 Peraturan Pemerintah tersebut dikenal sebagai izin transportir, dan penggunaan alat transportasi yang memiliki izin transportir hanya dikhususkan untuk pengangkutan Bahan Bakar Minyak. Berdasarkan data yang diperoleh penulis, penyedia jasa angkutan Bahan Bakar Minyak yang telah dilengkapi dengan izin transporter pada umumnya adalah alat transportasi darat yang terdiri atas mobil-mobil tanki dengan kapasitas tertentu yang secara khusus diperuntukan untuk mengangkut Bahan Bakar Minyak. Sementara itu terhadap penyedia jasa angkutan laut yang sangat dibutuhkan dalam rangka penyaluran Bahan Bakar Minyak di wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku Utara, pada umumnya tidak memiliki izin transportir. Alasan tidak dimilikinya izin transportir oleh para penyedia jasa alat transportasi laut tersebut antara lain karena Perizinan yang diperlukan untuk alat transportasi dalam hal kegiatan penyaluran melalui jalur laut tidak tersosialisasi dengan baik oleh para pemangku kepentingan/stakeholders usaha Bahan Bakar Minyak kepada penyedia jasa transportasi, mengakibatkan sebagian besar penyedia jasa angkutan laut hanya mengandalkan perjanjian kerjasama dengan pihak penyalur untuk melakukan pengangkutan melalui wilayah laut, dan pada umumnya kerjasama dimaksud telah dilakukan selama bertahun-tahun.Alasan-alasan tentang ketidaktahuan mengenai perizinan usaha pengangkutan serta sulitnya pengurusan izin pengangkutan yang harus dihadapi oleh para pengusaha penyedia jasa angkutan laut dalam rangka penyaluran Bahan Bakar Minyak lalu digunakan oleh oknum-oknum aparat penegak hukum yang tidak bertanggung jawab untuk memberlakukan pungutan liar jatah preman (japre) kepada penyedia jasa angkutan laut dengan ketentuan-ketentuan apabila japre dimaksud tidak dibayarkan atau tidak dipenuhi sesuai dengan permintaan atau yang ditentukan maka pemilik kapal pengangkut Bahan Bakar Minyak ditangkap dan kemudian akan diproses dengan menggunakan ketentuan pidana dalam Undang-Undang nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi khususnya ketentuan pasal 53 dan pasal 55. Selain itu, minimnya pengawasan dari Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah maupun pengawasan pihak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setempat dalam hal kegiatan penyaluran Bahan Bakar Minyak khususnya terhadap penggunaan jasa angkutan laut, serta tidak tersedianya organisasi sebagai wadah berhimpun para pelaku usaha angkutan minyak di tingkat lokal/daerah mengakibatkan persaingan-persaingan usaha yang dilakukan oleh para penyedia jasa cenderung mengarah pada persaingan usaha yang tidak sehat menggunakan cara-cara tidak bertanggungjawab dan tidak terpuji untuk menyingkirkan pesaing-pesaing bisnis yang memiliki prospek usaha lebih baik antara lain dengan menggunakan jasa oknum aparat penegak hukum untuk melakukan proses hukum terhadap pesaing bisnisnya dengan alasan ketiadaan izin transportir yang dimiliki, sehingga usaha pengangkutan pesaingnya menjadi terhenti akibat proses hukum yang dihadapi. Proses mana secara psikologi akan menimbulkan rasa takut kepada pengusaha tersebut untuk memulai kembali usaha pengangkutan demi pelaksanaan kegiatan penyaluran Bahan Bakar Minyak dimaksud.Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum sebagaimana uraian di atas dapat dikualifisir sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan atau penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan tidak berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Apabila ditinjau dari aspek Hukumnya, izin transportir yang wajib dimiliki oleh penyedia jasa angkutan untuk kegiatan penyaluran Bahan Bakar Minyak adalah izin yang berbeda dengan Izin Usaha Pengangkutan yang dimaksud oleh pasal 23 Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dapat penulis uraikan sebagai berikut:1. Izin Kegiatan Usaha Hilir dan Izin Transportir diatur berdasarkan 2 peraturan berbeda yang tidak setingkat berdasarkan hierarkinya. Izin Kegiatan Usaha Hilir diatur berdasarkan ketentuan Undang-Undang, sedangkan Izin Transportir diatur berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah.2. Berdasarkan ketentuan pasal 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Izin Usaha yang diperlukan untuk Kegiatan Usaha Hilir masing-masing adalah Izin Usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan Izin Usaha Niaga (Niaga Umum dan Niaga Terbatas). Sementara itu berdasarkan ketentuan pasal 71 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Izin Transportir adalah kewajiban penyedia jasa angkutan dan digunakan untuk kegiatan penyaluran Bahan Bakar Minyak. Dan penyaluran BBM merupakan bagian dari kegiatan Usaha Niaga Umum yang dilakukan oleh penyalur yang ditunjuk oleh Badan Usaha Pemilik Izin Usaha Niaga Umum.3. Izin Usaha yang diatur dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi dikeluarkan oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (lihat Pasal 23 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi juncto Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi). Sedangkan Izin Transportir yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi dikeluarkan oleh Badan Usaha Pemilik Izin Usaha Niaga Umum setelah melakukan perjanjian kerjasama dengan Badan Usaha tersebut untuk pengusahaan angkutan yang terintegrasi.4. Ketentuan pidana terhadap pelanggaran pasal 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diatur dalam ketentuaan pasal 53 Undang-Undang yang sama. Sementara untuk pelanggaran terhadap pasal 71 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi kepemilikan izin transportir tidak ditentukan ketentuan pidana maupun sanksi pada pasal-pasal selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah tersebut.Selain uraian perbedaan-perbedaan yang dipaparkan penulis tersebut, pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi mengatur bahwa dalam hal Badan Usaha melakukan kegiatan Usaha Niaga dengan kegiatan penyimpanan, dan/atau pengangkutan sebagai penunjang kegiatan usaha Niaganya, maka kepada Badan Usaha diberikan Izin Usaha Niaga dan tidak diperlukan Izin Usaha Penyimpanan dan/atau Izin Usaha Pengangkutan. Apabila dihubungkan antara ketentuan-ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika satu kegiatan usaha yang termasuk dalam Kegiatan Usaha Hilir menjadi penunjang bagi kegiatan usaha yang lain dalam Kegiatan Usaha Hilir, maka tidak diperlukan lagi izin setingkat menteri sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah dimaksud. Secara khusus untuk usaha pengangkutan yang diperlukan dalam rangka pendistribusian atau penyaluran Bahan Bakar Minyak maka izin transportir yang dimaksud cukup dikeluarkan oleh Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga berdasarkan kerjasama yang terintegrasi antara Badan Usaha dan pemilik alat angkutan, dengan ketentuan bahwa alat angkut pemegang izin transportir hanya dapat melakukan pengangkutan terhadap Bahan Bakar Minyak yang menggunakan merek dagang Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga dimaksud. Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata Izin Transportir yang dimiliki oleh para pengusaha angkutan Bahan Bakar Minyak di Provinsi Maluku Utara masih terbatas pada pemilik mobil-mobil tanki, sedangkan sebagian besar kapal-kapal yang digunakan oleh para penyalur seperti APMS dan AMT selama ini tidak dilengkapi dengan Izin Transportir dari PT. Pertamina (Persero) sebagai pemegang Izin Usaha Niaga Umum. Padahal sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, kondisi geografis Provinsi Maluku Utara dengan wilayah kepulauan yang terdiri dari 2 (dua) Kota dan 8 (delapan) Kabupaten dan dilayani oleh hanya 4 (empat) depot milik PT. Pertamina (Persero), sangat membutuhkan sarana transportasi laut yang cukup untuk mendistribusikan Bahan Bakar Minyak khususnya jenis BBM tertentu/bersubsidi ke wilayah-wilayah kepulauannya.Alasan terbatasnya alat transportasi dalam rangka penyaluran Bahan Bakar Minyak kepada para pengguna/konsumen, dihubungkan dengan Ketentuan Umum Pasal 1 butir 19 (Sembilan belas) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi penulis menilai bahwa beberapa wilayah di Provinsi Maluku Utara dapat dikategorikan sebagai Daerah Terpencil yang sedapat mungkin harus diperhatikan dan diawasi oleh Institusi terkait untuk mencegah terjadinya kelangkaan Bahan Bakar Minyak seperti ketentuan yang secara eksplisit diatur dalam Peraturan Pemerintah dimaksud. Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat terhadap pelanggaran tentang kepemilikan Izin Transportir tidak dapat diterapkan ketentuan pasal 53 dan pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sehingga penerapan pasal-pasal tersebut untuk menjerat para pelaku penyalur Bahan Bakar Minyak khususnya jenis BBM tertentu/yang disubsidi adalah kekeliruan hukum yang digunakan sebagai alat untuk menyalahgunakan jabatan dan kewenangan oknum aparat penegak hukum. Namun berdasarkan pendapat tersebut tidak serta merta pelanggaran terhadap kegiatan penyaluran jenis Bahan Bakar Minyak tertentu/BBM bersubsidi tidak dapat dipidana, karena pasal yang dianggap dapat diterapkan secara khusus dalam rangka menjerat para pelaku penyaluran jenis Bahan Bakar Minyak tertentu/BBM bersubsidi adalah pasal 55 UU a quo dengan tentunya memperhatikan sifat materil dari perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindakan menyalahgunakan kegiatan pengangkutan dan/atau Niaga BBM yang disubsidi oleh Pemerintah sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pembahasan sebelumnya.IV. PENUTUP

IV. 1.Kesimpulan

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dan dibahas di atas, dapat penulis simpulkan hal-hal sebagai berikut:1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah Peraturan Pokok yang mengatur tentang hal-hal pokok menyangkut Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Dan sebagai Peraturan Pelaksana (khusus untuk kegiatan usaha hilir), telah dibentuk dan diatur Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Selain itu, sebagai petunjuk pelaksanaan kegiatan penyaluran Bahan Bakar Minyak yang merupakan bagian dari Kegiatan Usaha Niaga yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Umum, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak.2. Aparatur Penegak Hukum sebagai pelaksana ketentuan Undang-Undang dalam menjerat dan menerapkan ketentuan-ketentuan pidana terhadap perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum yang disangka melakukan tindak pidana dalam Usaha Minyak dan Gas Bumi harus lebih teliti dan membaca pula Peraturan-Peraturan Pelaksana Undang-Undang secara hierarkis, sehingga tidak terjebak dalam terminologi ketentuan-ketentuan pidana yang bersifat pokok dalam Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi.3. Terjadi kekosongan hukum terkait dengan sanksi secara administratif maupun ketiadaan ketentuan pidana yang dapat dikenakan dan diterapkan bagi subjek hukum pemilik alat angkutan yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyaluran Bahan Bakar Minyak dengan tanpa dilengkapi oleh Izin Transportir sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.4. Kekosongan Hukum yang ditimbulkan sesuai kesimpulan butir ke-3 kemudian digunakan oleh oknum Aparat Penegak Hukum sebagai alasan untuk menerapkan ketentuan pidana pasal 53 dan pasal 55 Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi secara melawan hukum terhadap para pemilik alat angkut yang dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of Power). IV. 2.SaranBerdasarkan kesimpulan dari penulisan ini, maka penulis hanya dapat memberikan beberapa saran yang diharapkan menjadi solusi bagi persoalan yang dihadapi oleh segenap stakeholder yang berkepentingan dalam usaha penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu di Provinsi Maluku Utara, antara lain: 1. Mengefektifkan pelaksanaan seminar, workshop atau pelatihan terpadu aparatur Penegak Hukum yang diselenggarakan untuk meningkatkan pengetahuan terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang Minyak dan Gas Bumi termasuk ketentuan-ketentuan teknis yang menyangkut Minyak dan Gas Bumi dalam rangka mendapatkan persamaan persepsi antara para penegak hukum demi kepentingan penegakan hukum yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya. 2. Pengawasan terhadap penyaluran Bahan Bakar Minyak sebaiknya dilakukan pula oleh Pemerintah Daerah setempat yang mengetahui kondisi riil kebutuhan pemenuhan Bahan Bakar Minyak masyarakat dengan tentunya melibatkan para pemangku kepentingan di daerah tersebut.3. Diperlukan pembentukan Peraturan Daerah untuk masing-masing daerah Kabupaten Kota di Maluku Utara untuk mengatur lebih khusus menyangkut teknis dan mekanisme penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu di daerah setempat, serta mengatur juga Ketentuan Pidana terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam hal penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dalam Peraturan Daerah nantinya, untuk mengisi kekosongan hukum terhadap sanksi dan ketentuan pidana yang tidak diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Diharapkan Peraturan Daerah akan menjadi salah satu instrumen hukum sebagai acuan aparatur penegak hukum untuk menindak para pelaku penyaluran BBM bersubsidi yang menyimpang dari Peraturan Perundang-Undangan.SUMBER BACAANUndang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan.Peraturan Pemerintah Nomor Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas BumiPeraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 27 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar MinyakLaman Resmi Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas www.bphmigas.go.id

Penulis adalah Hakim Pengadilan Negeri Labuha

Berdasarkan ketentuan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 36/PUU-X/2012 tertanggal 13 November 2012, MK memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BPMIGAS dalam UU nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yaitu Frasa "dengan Badan Pelaksana" dalam Pasal 11 ayat (1), frasa "melalui Badan Pelaksana" dalam Pasal 20 ayat (3), frasa "berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 21 ayat (1), frasa "Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 49 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat. MK juga menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Pemerintah memutuskan mengeluarkan HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_Presiden" \o "Peraturan Presiden"Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas) yang kemudian diubah menjadi HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Satuan_Kerja_Khusus_Pelaksana_Kegiatan_Usaha_Hulu_Minyak_dan_Gas_Bumi" \o "Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi"Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melalui HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_Presiden" \o "Peraturan Presiden"Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013.

Sebagai catatan terhadap pelaksanaannya pada tanggal 24 Maret 2009 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Perubahan mana didasarkan atas pertimbangan bahwa ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 002/PUU-1/2003 tentang Permohonan Uji Formil dan Materiil terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga perlu mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Perubahan tersebut dilakukan hanya terhadap ketentuan pasal 72 Peraturan Pemerintah, yang pada awalnya menentukan:

Pasal 72

Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, kecuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan.

Harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dan ditetapkan oleh Badan Pengatur dengan mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis atas penyediaan Gas Bumi serta sesuai dengan kebijakan harga yang ditetapkan Pemerintah.

Badan Pengatur melaksanakan pengawasan atas harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).

diubah menjadi:

Pasal 72

Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah

Perubahan mana dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain a). Dalam rangka pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain dalam penyediaan dan pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu, perlu pengaturan kebijakan pencampuran Bahan Bakar Nabati (Biofuel) dalam Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu; serta b). Dalam rangka terciptanya pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dalam negeri yang tepat sasaran, perlu dilakukan pengaturan kebijakan penyediaan dan pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu melalui penerapan sistem pendistribusian tertutup Jenis Bahan Bakar Minyak tertentu.

Perubahan-perubahan tersebut antara lain dilakukan terhadap ketentuan pasal 1, ketentuan pasal 2, penambahan pasal yang disisipkan antara pasal 7 dan pasal 8 yakni masing-masing pasal 7A, pasal 7B dan pasal 7C, penambahan pasal yang disisipkan antara pasal 10 dan pasal 11 yakni pasal 10A.

Perubahan Peraturan Menteri dilakukan dengan pertimbangan bahwa ketentuan mengenai jangka waktu penyesuaian penentuan pilihan Badan Usaha sebagai Pemegang Izin Usaha Penyimpanan, Niaga atau sebagai Penyalur dan kewajiban Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga untuk melaporkan penunjukan Penyalurnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 26 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak belum cukup memberikan waktu bagi Badan Usaha untuk melakukan penyesuaian tersebut, sehingga jangka waktunya perlu diperpanjang;

Ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah dimaksud: Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh Badan Usaha yang telah memiliki Izin Usaha yang dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan

Sebagai catatan, pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan mengatur bahwa

Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:

Undang-Undang;

Peraturan Daerah Provinsi; atau

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 1 Butir 19 PP No. 36/2004 mendefinisikan Daerah Terpencil sebagai suatu wilayah yang sulit dijangkau, dan sarana /infrastruktur transportasi terbatas serta wilayah yang ekonomi masyarakatnya belum berkembang sehingga diperlukan biaya yang tinggi dalam penyaluran bahan bakar minyak

Halaman 1 dari 9 halaman


Related Documents