PENGARUH PEMANASAN GLOBAL TERHADAP LINGKUNGAN DAN UPAYA PENCEGAHANNYA
Diusulkan oleh :
UNIVERSITAS JAMBIJAMBI
2014
JoniStya Nur IstiqomahYudi AdityaZulpa Khairiah
D1A012075D1A012080D1A012083D1A012084
Dehan Rakka Gusthira D1A012043
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Lingkungan dan Upaya Pencegahannya”.
Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis haturkan rasa terimakasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah memberikan motivasi dan sumbangsih dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, kepada :
1. Rektor Universitas Jambi Bapak Prof. Dr. H. Aulia Tasman, SE. M.Sc
2. Dekan Fakultas Pertanian Bapak Dr. Ir. Saad Murdy, M.S.
3. Dosen Pembimbing Ibu Dr. Ir. Henny. H M.Si.
4. Orang tua beserta keluarga atas materi, dan do’a yang tulus
5. Serta teman-teman yang telah ikut mendukung secara moriil dan memberikan masukan ide-ide kreatif sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan.
Penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai landasan penulis dalam berkarya lebih baik lagi. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan dalam upaya pembangunan bangsa melalui pengoptimalan sumber daya yang tersedia.
Jambi, Juni 2014
Penulis
DAFTAR ISIKATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1. Latar Belakang............................................................................................1
a. Pengertian Pemanasan Global.................................................................1
b. Fenomena Pemanasan Global..................................................................4
c. Fenomena Perubahan Iklim.....................................................................7
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................10
1.3. Tujuan........................................................................................................10
BAB II.........................................................................................................................11
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................11
2.1. GAMBARAN UMUM DAMPAK PEMANASAN GLOBAL................11
BAB III.....................................................................................................................16
METODE PENULISAN.........................................................................................16
3.1. Teknik Studi Pustaka.................................................................................16
3.2. Metode Pengumpulan Data.......................................................................16
3.3. Metode Analisis Data................................................................................16
BAB IV........................................................................................................................18
PEMBAHASAN......................................................................................................18
4.1. ANALISA.................................................................................................18
Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut Dan Banjir Terhadap Kondisi Lingkungan Bio-Geofisik Dan Sosial-Ekonomi Masyarakat..........................21
4.2. SINTESIS..................................................................................................23
Upaya – Upaya Yang Dapat Mengembalikan (Normalisasi Fungsi Kawasan) Melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.............................................23
1. Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional..........................................................23
2. Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.....................................................................................................27
BAB IV........................................................................................................................30
PENUTUP...............................................................................................................30
5.1. Kesimpulan................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................31
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakanga. Pengertian Pemanasan Global
Pemanasan global (Global Warming) pada dasarnya merupakan
fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena
terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh
meningkatnya emisi gas - gas seperti karbondioksida (CO2), metana
(CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari
terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan
temperatur global termasuk Indonesia yang terjadi pada kisaran 1,5 – 40º C
pada akhir abad 21. Pemanasan global menimbulkan dampak yang luas
dan serius bagi lingkungan biogeofisik (seperti pelelehan es di kutub,
kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan
banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna
dan hama penyakit, dan sebagainya). Sedangkan dampak bagi aktivitas
social ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi
kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana
dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan
terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan
pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dan
sebagainya (Anonim, 2007 dalam Muhi, 2011). Pemanasan global (Global
Warming) adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut
dan daratan bumi. Temperatur rata - rata global pada permukaan bumi
telah meningkat 0.18 °C selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, “sebagian besar
peningkatan temperatur rata - rata global sejak pertengahan abad ke - 20
kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas
rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca.
Peningkatan temperatur global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-
perubahan yang lain seperti naiknya muka air laut, meningkatnya intensitas
kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi.
Akibat - akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil
pertanian, hilangnya gletser dan punahnya berbagai jenis hewan (Smart Click,
2011 dalam Muhi, 2011). Jadi, pemanasan global adalah merupakan
meningkatnya temperatur di planet bumi secara global, meliputi
peningkatan temperatur atmosfir, temperatur laut dan temperatur daratan
bumi yang menimbulkan dampak secara langsung maupun tidak langsung
terhadap masa depan bumi termasuk manusia dan makhluk hidup lain.
Dampak yang ditimbulkan cenderung mengancam eksistensi bumi, dan
kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Banyak orang
termasuk para ahli yang mensinyalir atau menuding bahwa penyebab
kenaikan temperatrur bumi adalah aktivitas - aktivitas manusia yang
memicu dan mendorong timbulnya gas efek rumah kaca. Berbagai
aktivitas manusia yang memicu peningkatan gas efek rumah kaca antara
lain kegiatan industri, pembabatan hutan secara terus - menerus,
kendaraan bermotor, kegiatan peternakan dan rumah tangga. Pemicu atau
penyumbang gas efek rumah tangga yang dominan adalah kegiatan
industri (dan pabrik - pabrik), kendaraan bermotor, dan perambahan hutan
yang berlangsung secara terus-menerus.
Kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya
bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan manusia. Namun, meningkatnya
populasi manusia secara tajam, menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik dari segi kuantitas maupun dari sisi
kualitas, sehingga faktor pertambahan penduduk ini mempengaruhi perubahan
yang besar dalam lingkungan hidup (Soemarwoto, 2001).
Disamping itu meningkatnya kegiatan perekonomian, dan pola
konsumsi manusia yang berlebihan terhadap penggunaan energi dan
peningkatan pembangunan lainnya, mengakibatkan penggunaan bahan bakar
fosil seperti, minyak, batubara, dan gas, sebagai sumber energi, meningkat
dengan tajam. Peningkatan penggunaan bahan bakar fosil ini mengakibatkan
meningkatnya gas buangan seperti CO2, CH4, H2S yang disebut gas-gas
rumah kaca (GRK). Keberadaan gas-gas tersebut telah mencapai kadar yang
berlebihan, sehingga menahan panas akibat radiasi balik dari bumi, yang
disebut efek rumah kaca (ERK). Meningkatnya ERK ini mengakibatkan
kenaikan dari suhu bumi.
Faktor lain yang menyebabkan kenaikan suhu bumi adalah akibat
menipisnya lapisan ozon di atmosfer terutama di wilayah kutub (Bratasida,
2002). Lapisan ozon berfungsi sebagai pelindung radiasi langsung dari sinar
matahari ke bumi sehingga kehidupan di bumi dapat berlangsung. Keberadaan
bahan-bahan kimia khususnya yang dibuat oleh manusia seperti Chloro Fluoro
Carbon (CFC), Halon, dll ternyata merupakan penyebab rusaknya lapisan
ozon di atmosfer. Dengan menipisnya lapisan ozon, maka radiasi gelombang
pendek matahari akan lolos ke lapisan atmosfir bumi, sehingga
mengakibatkan meningkatnya suhu bumi.
Gejala meningkatnya suhu bumi akibat peningkatan intensitas ERK
dan menipisnya lapisan ozon di atmosfer, disebut pemanasan global. Beberapa
pengamatan yang dilakukan di beberapa belahan dunia, menunjukkan bahwa
indikasi terjadinya pemanasan global sudah semakin signifikan, antara lain
dengan menipisnya ketebalan es di kutub utara dan selatan, naiknya
permukaan air laut, dan meningkatnya suhu di kota-kota besar.
Iklim merupakan salah satu dari komponen ekosistem, dengan
variabel suhu, angin, dan curah hujan. Perubahan iklim terjadi karena
terjadinya perubahan pada variabel dari iklim tersebut (Kwik Kian Gie, 2002).
Sehingga meningkatnya suhu bumi atau terjadinya pemanasan secara global
akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim secara global.
Perubahan iklim akibat pemanasan global ini menyebabkan terjadinya
perubahan curah hujan atau perubahan distribusi curah hujan. Sehingga
beberapa wilayah akan mengalami kekurangan curah hujan dan di wilayah
lain akan mengalami kelebihan curah hujan atau banjir. Disamping itu dengan
mencairnya es di kedua kutub dan pemuaian massa air laut, berakibat kepada
meningkatnya volume air laut. Kenaikan volume air laut ini menyebabkan
tergenangnya daerah pantai yang rendah dan akan meningkatkan laju erosi
pantai.
Perubahan iklim dan bencana alam sangat berkaitan. Pemanasan
global, yang diperkirakan akan menaikkan muka air laut setinggi 0.8 m abad
ini, sangat mengancam kota pesisir- dimana sebagian besar kota berukuran
mega di negara sedang berkembang terletak pada tahun 2025 (WB, 2003).
Kenaikan muka air laut dan perubahan iklim global yang disebabkan
oleh pemanasan global akan mempengaruhi kota-kota di kawasan pantai.
Dampak yang ditimbulkan secara umum pada permukiman secara nasional
serta kerugian yang terjadi dan daya adaptasi serta antisipasi yang perlu
dilakukan menjadi fokus bahasan dalam tulisan ini.
a. Fenomena Pemanasan GlobalSecara alamiah, salah satu fenomena yang dirasakan sebagian besar
umat manusia di seluruh dunia adalah perubahan temperatur yang cenderung
meningkat. Temperatur udara terasa lebih panas dari tahun - tahun
sebelumnya. Dimana - mana orang-orang membicarakan perubahan
temperatur di permukaan bumi yang cenderung meningkat, baik di
kalangan orang-orang terdidik maupun di kalangan orang awam.
Senyatanya mereka membicarakan apa yang mereka rasakan. Berdasarkan
kondisi yang dirasakan secara makro oleh masyarakat, para ahli-pun
tidak tinggal diam. Mereka selama beberapa dekade terakhir ini
melakukan penelitian secara ilmiah. Mereka memperoleh fakta bahwa
semakin meningkatnya temperatur di permukaan bumi ternyata berkaitan
dengan gas - gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia.
Beberapa jenis gas rumah kaca merupakan penyebab meningkatnya
temperatur di planet bumi yang berasal dari aktivitas manusia sendiri.
Artinya, aktivitas manusia merupakan kontributor terbesar bagi
terbentuknya gas – gas rumah kaca, seperti pembakaran pada kendaraan
bermotor/industri (pabrik - pabrik), dan pembangkit tenaga listrik yang
menggunakan bahan bakar fosil (bahan bakar minyak, batu bara dan
sebagainya). Berbagai fenomena yang muncul terkait dengan pemanasan
global antara lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Merry Magdalena
(2011) dalam Muhi (2011), sebagai berikut :
(1). Kebakaran hutan besar-besaran, bukan hanya di Indonesia, sejumlah
hutan di Amerika Serikat, Rusia, Australia dan sebagainya juga
mengalami kebakaran hebat. Ilmuwan mengaitkan kebakaran yang
merajalela ini dengan temperatur yang kian panas. Area hutan lebih kering
dari biasanya dan lebih mudah terbakar;
(2). Situs purbakala cepat rusak. Akibat alam yang tak bersahabat,
sejumlah kuil, situs bersejarah, candi dan artefak lain lebih cepat rusak
dibandingkan beberapa waktu silam, disebabkan banjir, suhu yang
ekstrim dan pasang laut. Situs bersejarah berusia 600 tahun di Thailand,
Sukhotai, mengalami kerusakan akibat banjir, besar;
(3). Satelit bergerak lebih cepat. Emisi karbon dioksida membuat planet
lebih cepat panas, bahkan berimbas ke ruang angkasa. Udara di bagian
terluar atmosfer sangat tipis, tapi dengan jumlah karbondioksida yang
bertambah, maka molekul di atmosfer bagian atas menyatu lebih lambat
dan cenderung memancarkan energi, dan mendinginkan udara sekitarnya.
Makin banyak karbondioksida di atas sana, maka atmosfer menciptakan
lebih banyak dorongan, dan satelit bergerak lebih cepat;
(4). Hanya yang terkuat yang akan bertahan. Akibat musim yang kian tak
menentu, maka hanya mahluk hidup yang kuatlah yang bisa bertahan hidup.
Misalnya, tanaman berbunga lebih cepat, maka migrasi sejumlah hewan akan
terjadi lebih cepat. Mereka yang bergerak lambat akan kehilangan
makanan, dan mereka yang lebih tangkas akan dapat bertahan hidup;
(5). Pelelehan besar-besaran. Temperatur planet yang memicu pelelehan
gunung es, dan semua lapisan tanah yang selama ini membeku. Imbas
dari ketidakstabilan ini pada dataran tinggi seperti pegunungan bahkan
bisa menyebabkan keruntuhan batuan;
(6). Mekarnya tumbuhan di Kutub Utara. Saat pelelehan Kutub Utara
memicu problem pada tanaman dan hewan di dataran yang lebih rendah,
tercipta pula situasi yang sama dengan saat matahari terbenam pada
biota Kutub Utara. Tanaman kutub yang dulu terperangkap dalam es kini
tidak lagi dan mulai tumbuh. Ilmuwan menemukan terjadinya
peningkatan pembentukan fotosintesis di sejumlah tanah sekitar dibanding
dengan tanah di era purba;
(7). Habitat makhluk hidup pindah ke dataran lebih tinggi. Ilmuwan
menemukan bahwa pemanasan global menyebabkan hewanhewan kutub
pindah ke dataran lebih tinggi. Hal ini mengancam habitat beruang kutub,
karena es tempat dimana mereka tinggal juga mencair, tentu akan melakukan
perpindahan habitat.IPCC melaporakn penelitiannya bahwa 0,15 - 0,3º C.
Jika peningkatan temperatur itu terus berlanjut, diperkirakan pada tahun 2040
lapisan es di kutub-kutub bumi akan habis meleleh, dan tahun 2050 akan
terjadi kekurangan air tawar. Udara akan sangat panas, jutaan orang
berebut air dan makanan. Hasil studi yang dilakukan ilmuwan di Pusat
Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung
(2007) ditemukan bahwa permukaan air laut Teluk Jakarta meningkat
setinggi 0,8 cm. Jika temperatur bumi terus meningkat, maka
diperkirakan, pada tahun 2050 daerahdaerah di Jakarta (seperti : Kosambi,
Penjaringan, dan Cilincing) dan Bekasi (seperti : Muaragembong, Babelan,
dan Tarumajaya) akan terendam semuanya (Anonim, 2007a dalam Muhi,
2011).
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan
dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas
banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c)
meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosialekonomi
masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau -
pulau kecil. Lebih lanjut Anonim (2007) mengemukakan :
i. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh
terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek
sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim).
Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari
wilayah pesisir ke darat.
ii. Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut
pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove.
Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari
5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan
menjadi 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-
1993) telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total
luasan semula. Jika keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan,
maka abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan
gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena
tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan
terancam dengan sendirinya.
iii. Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan
hilangnya pulau - pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000
hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi.
Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada
akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
b. Fenomena Perubahan IklimPara peneliti dari Potsdam Institute for Climate Impact Research
(Potsdam-Institut für Klimafolgenforschung/PIK) di Jerman menyatakan
bahwa musim dingin ekstrem yang terjadi berturutturut di benua Eropa
dalam 10 tahun belakangan ini adalah akibat mencairnya lapisan es di
kawasan Artik, dekat Kutub Utara sebagai akibat pemanasan global.
Hilangnya lapisan es membuat permukaan laut di Samudera Artik langsung
terkena sinar matahari. Energi panas matahari, yang biasanya dipantulkan
lagi ke luar angkasa oleh lapisan es berwarna putih, kini terserap oleh
permukaan laut, membuat laut di kawasan kutub memanas dan
mengubah pola aliran udara di atmosfer. Dalam model komputer, yang
dibuat PIK dan dimuat di Journal of Geophysical Research awal bulan
Desember 2010, memperlihatkan kenaikan temperature udara di lautan
Artik menimbulkan sistem tekanan tinggi. Sistem tekanan tinggi inilah
yang membawa udara dingin kutub ke daratan Eropa. Anomali iklim tersebut
mengakibatkan gangguan transportasi hingga Rabu (22/12/2010), pada
saat jutaan warga Eropa bersiap mudik untuk merayakan Natal di
kampung halaman. Vladimir Petoukhov menyatakan bahwa Anomali ini
bisa melipat tigakan probabilitas terjadinya musim dingin yang ekstrem di
Eropa dan Asia Utara. Efek aliran udara dingin dari kutub utara itu akan
makin parah saat terjadi gangguan pada arus udara panas yang melintasi
Samudra Atlantik dan perubahan aktivitas matahari. Para pakar cuaca
mengatakan, saat ini arus udara hangat dari pantai timur AS (Gulf
Stream) terhalang dan berbelok arah di tengah-tengah Atlantik. Hal ini
membuat aliran udara dingin dari Artik dan Eropa Timur tak terbendung
masuk ke Eropa Barat. Saat arus dingin ini melintasi Laut Utara dan
Laut Irlandia, uap air dari laut tersebut diubah menjadi salju dalam skala
sangat besar dan menyebabkan badai salju parah di negara-negara Eropa
Barat (Tri Wahono, 2010 dalam Muhi, 2011).
Perubahan iklim yang terjadi telah merubah pola musim panas menjadi
semakin panjang, semakin panas dan kering. Sejak tahun 2004 setidaknya
sudah 42 persen es di kutub utara semakin menipis dan mencair di setiap
musim panas. Hal ini dilaporkan beberapa ilmuwan di lembaga antariksa
AS, NASA. Mereka menggambarkan, secara keseluruhan es Laut Kutub
Utara menipis sebanyak 7 inci (17.78 centimeter) per tahun sejak tahun
2004, sebanyak 2,2 kaki (0,67meter) selama empat musim dingin. Es
Kutub Utara merupakan salah satu faktor yang menentukan pada pola cuaca
dan iklim global, karena perbedaan antara udara dingin di kedua kutub
bumi dan udara hangat di sekitar khatulistiwa menggerakkan arus udara
dan air, termasuk arus yang memancar. Beberapa ilmuwan Selandia Baru
memperingatkan bahwa Kutub Selatan mencair lebih cepat dari perkiraan.
Peter Barrett dari Antarctic Research Center, Victoria University
mengatakan, jumlah es yang hilang mencapai 75 persen sejak tahun
1996. Hilangnya es global dari Greenland, Antartika dan gletser lain
menunjukkan permukaan air laut akan naik antara 80 centimeter dan 2
meter sampai tahun 2100. Tahun 2008 Mark Lynas memprediksi kondisi
yang lebih ekstrim, jika kenaikan suhu bumi lebih dari 2,7º C pencairan es
akan menaikkan level air laut hingga 6 meter. Journal of Climate American
Meteorogical Society’s melaporkan bahwa “temperatur rata-rata
permukaan naik 9,3 derajat Fahrenheit atau 5,2º C sampai 2100, kata
beberapa ilmuwan di Massasuchusetts Institute of Technology (MIT),
dibandingkan studi tahun 2003 yang memperkirakan suhu permukaan rata-
rata 4,3º F atau 2,4º C (Cawi Setiawan, 2009 dalam Muhi, 2011).
Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau -
pulau besar dan kecil. Perubahan iklim ini akan berdampak terhadap
banyak pulau - pulau kecil yang sangat mungkin akan hilang dan
tenggelam. Indonesia juga akan kehilangan wilayah - wilayah pesisir dan
kota - kota yang berada di wilayah pesisir pada pulau-pulau besar. Secara
logis kondisi tersebut akan berdampak terhadap semakin mengecilnya
luas wilayah. Jika wailayah pesisir dan pulau-pulau kecil berpenghuni
menghilang, maka mau tidak mau penduduknya harus berpindah ke
lokasi yang lebih tinggi. Disinyalir pula akan semakin sering terjadi
kekeringan yang dapat mengakibatkan musibah gagal panen dan
kebakaran, curah hujan semakin ekstrim menyebabkan musibah banjir
dan longsor, petani/nelayan akan kehilangan mata pencaharian karena
perubahan iklim semakin sulit diprediksi. Perubahan Iklim semakin
kacau, hujan badai angin topan, kekeringan akan semakin sering terjadi,
banyak spesies flora dan fauna akan musnah, terutama akibat gagal
beradaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi.
1.2. Rumusan MasalahRumusan masalah yang akan diteliti adalah bagaimana pengaruh pemanasan
global terhadap kelestarian lingkungan hidup?
1.3. TujuanPenelitian yang dilakukan penulis ini memiliki tujuan untuk:
1. Mengetahui dampak pemanasan global.
2. Menggambarkan tingkat perkembangan pemanasan global terhadap
kelestarian lingkungan hidup.
3. Menganalisis pengaruh pemanasan global terhadap kelestarian lingkungan
hidup.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
1.4. GAMBARAN UMUM DAMPAK PEMANASAN GLOBAL a. Pengertian
Sebelum membahas lebih jauh tentang dampak pemanasan global pada
permukiman, disampaikan terlebih dahulu pengertian beberapa istilah yang
sering digunakan dalam tulisan ini, sebagai berikut:
Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga, sedangkan perumahan adalah
kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU No 4/1992
tentang Perumahan dan Permukiman). Dengan pengertian seperti ini, maka
dampak pemanasan global terhadap permukiman berarti pula dampak
terhadap kota dan desa secara umum termasuk lingkungan permukiman,
prasarana dan sarana permukiman, serta fasilitas umum yang melengkapinya.
Gas rumah kaca (GRK) adalah adalah gas-gas yang dapat meneruskan
radiasi gelombang pendek (ultraviolet) yang tidak bersifat panas, tetapi
menahan radiasi gelombang panjang (inframerah) yang bersifat panas
(Soedjito, 2002).
Lapisan ozon merupakan kumpulan molekul O3 yang bersifat sangat
labil karena bertangan ikatan bebas, yang terdapat di lapisan stratosfir.
Penipisan lapisan ozon terjadi karena molekul ozon bertemu dengan molekul
lain dari permukaan bumi seperti CO dan CFCs yang kemudian akan bereaksi
menghasilkan molekul yang stabil, seperti CO2. Karena stabil, molekul CO2
akan turun ke lapisan troposfir sehingga molekul ozon akan berkurang,
mengakibatkan menipisnya lapisan ozon (Mustain, 2002).
Efek rumah kaca (ERK) adalah fenomena alam yang terjadi dengan
meningkatnya suhu bumi yang disebabkan oleh 2 hal (Bratasida, 2002), yaitu:
i) Meningkatnya gas buangan (GRK) di lapisan troposfir, sehingga radiasi
gelombang inframerah dari bumi tertahan di lapisan troposfir dan (ii)
Meningkatnya gas buangan di lapisan stratosfir yang mengakibatkan
menipisnya lapisan ozon, sehingga meningkatkan intensitas gelombang ultra-
violet (UV) ke bumi.
Pemanasan global pada hakekatnya adalah perubahan variabel iklim
global, khususnya suhu dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur
dalam jangka waktu antara 50-100 tahun (Soedjito, 2002).
b. Pro dan kontra Pemanasan Global
Dampak kenaikan permukaan air laut dan banjir sesungguhnya “masih
menjadi debat dalam dunia riset”, tiga skenario yang dikeluarkan oleh
Intergovernmental Panel on Climate change (IPCC) pada tahun 1990
digunakan sebagai pijakan beberapa studi yang dilakukan di Indonesia dengan
menggunakan skenario moderat IPCC Skenario A yakni kenaikan kira-kira
sebesar 60 cm hingga akhir abad 21(Direktur Jenderal Penataan Ruang,
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002).
Pemanasan global merupakan fenomena alam yang diakibatkan oleh
meningkatnya ERK, “masih merupakan perdebatan akhli-akhli”, menyatakan
bahwa penyebab pemanasan global tidak mudah untuk diketahui secara pasti,
karena selain pengaruh GRK di atmosfir juga dipengaruhi oleh faktor geologi
seperti meningkatnya intensitas radiasi, perubahan sumbu bumi dan
berkurangnya ketinggian daratan. Walaupun kaitan langsung antara ERK
dengan kenaikan muka air laut masih dalam perdebatan, tetapi pemanasan
global mempengaruhi kerusakan kawasan pantai telah menjadi isu dunia.
Sehingga perlu kerjasama seluruh dunia dengan peran yang seimbang supaya
di masa depan manusia dapat hidup dengan sehat dan aman. (Sampurno,
2001)
Selama 100 tahun terakhir telah diakui secara luas telah terjadi
kenaikan temperatur rata-rata global bumi pada 0,3-0,6 °C, juga adanya
tercatat pengurangan salju yang menutupi permukaan bumi, yang ditandai
dengan kenaikan tinggi permukaan air laut global sekitar 1-2mm pertahun.
Karena besarnya variasi perubahan temperatur yang pernah terjadi
sebelumnya (1550-1850) maka belum dapat diyakini apakah pemanasan
global "terjadi secara alamiah atau akibat ulah manusia" karena memang
sebelum revolusi Industri (1750) konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir
berada dalam keadaan relatif konstan dan setelah periode tersebut konsentrasi
gas CO2 bertambah hampir 26%, gas metana menjadi 2 kali dan konsentrasi
nitrogen (N2O) bertambah mendekati 8%. Perubahan konsentrasi tersebut
disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, minyak, dan
gas bumi; Penggundulan hutan yang mengubah daya pantul dan mengurangi
penyerapan; pengkonservasian CO2, penambahan hasil pertanian,
peningkatan peternakan, pembakaran biomasa, dan CFC (UNEP 1992)
Peningkatan CO2 di atmosfir disebabkan oleh anthropogenetic yaitu:
dari hasil pembakaran bahan bakar fosil yang memperlihatkan keadaan
komposisi kandungan karbon di atmosfir terdapat sedikit konsentrasi 14 C
dan banyaknya konsentrasi 13 C sesuai dengan karakteristik isotop C dari
hasil pembakaran bahan bakar fosil. Demikian pula, peningkatan CO2
dibelahan bumi sebelah utara lebih cepat karena pembakaran bahan bakar fosil
terjadi paling tinggi. (Materi kuliah Tania June, 2004)
Presiden Bush di AS memandang perubahan cuaca global akan
berlangsung tanpa dapat dielakkan dan mengedepankan strategi adaptasi
sebagai langkah utama guna menghadapinya. Dengan kata lain AS meragukan
bahwa ketentuan Kyoto Protokol yang jika diberlakukanpun hanya akan
menimbulkan pengaruh positif yang tidak cukup berarti terhadap efek
pemanasan global (Rangkuman jurnal science dan infolainnya SI-IPTEKnet
27/06/02).
Sikap dan pernyataan Presiden Bush di AS sangat tidak
menguntungkan bagi usaha mengurangi green houses gasses (gas rumah
kaca), secara ilmiah pernyataan tersebut berarti kurang respect terhadap hasil
dunia scientifik, yang jelas menyatakan dan membuktikan bahwa green house
gases menjadi penyebab utama pemanasan global, sikap seperti ini yang
berarti kurang profesional (Mahmud Mustain)
Apabila seluruh emisi CO2 akibat ulah manusia berhenti pada tahun
1990 maka setengah beban CO2 atmosfir yang dihasilkan oleh kegiatan
manusia akan tetap ada hingga tahun 2100.
Pengetahuan tentang bagaimana daratan, lautan, dan atmosfir
berinteraksi merespon peningkatan konsentrasi gas rumah kaca tidaklah
lengkap, akan tetapi Model-model komputer dapat menstimulasikan hubungan
kompleks ini pada tahapan tertentu dan pengaruhnya terhadap iklim
Sekalipun penyebab pemanasan global belum diketahui dengan pasti
namun kecenderungan naiknya muka air laut telah terjadi di beberapa
kawasan pantai Indonesia. Hasil pengamatan beberapa peneliti pada tahun
1990 dan 1991 di beberapa wilayah menunjukkan adanya variasi kenaikan
muka air laut di Belawan setinggi 7,38 mm, Jakarta 4,38 mm, Semarang 9,27
mm, Surabaya 5,47 mm, di Panjang Lampung 4,15 mm (Siti Zubaidah Kurdi,
2002).
c. Dampak terhadap Wilayah/Kota Pantai
Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa pemanasan global
adalah fenomena alam yang terjadi akibat perubahan variabel iklim secara
global dan iklim mikro, terutama peningkatan suhu dan perubahan pola
distribusi hujan. Akibat dari perubahan iklim ini adalah:
(1) Mencairnya es di kutub utara dan selatan serta memuainya massa
air laut, yang mengakibatkan kenaikan muka air laut.
(2) Perubahan siklus dan besaran curah hujan di seluruh permukaan
bumi, sehingga mengakibatan terjadinya banjir dan kekeringan.
Skenario kenaikan muka air laut yang dikeluarkan oleh IPCC tahun
1990 yang menyebutkan adanya 3 skenario kenaikan muka air laut (sea level
rise). Adapun skenario tersebut selengkapnya pada tabel 1 berikut:
Tabel 1: Perkiraan Kenaikan Permukaan Air Laut (dalam cm)
Skenario
Kenaikan
Muka Air
Laut
1990 2030 2070 2100
Rendah (low) 0 8 21 31
Rata-Rata
(averange)0 18 44 66
Tinggi (high) 0 29 71 110
d. Dampak terhadap Permukiman
Hampir sebagian besar kota besar di Indonesia berada di wilayah
pesisir, yang berfungsi menjadi lokasi permukiman, perdagangan,
perhubungan, pengembangan industri dan berbagai sektor lainnya. Sehingga
terganggunya kota-kota pantai akan berdampak serius terhadap perekonomian
Indonesia, diluar dari kerugian sosial-ekonomi yang dihadapi oleh penduduk
kawasan tersebut.
BAB IIIMETODE PENULISAN
1.5. Teknik Studi PustakaPenulisan pada karya tulis ilmiah ini didasarkan pada analisis data dan
fakta yang penulis ambil dari beberapa sumber yang relevan terhadap pokok
pembahasan. Pada metode ini, penulis banyak membaca literatur-literatur yang
berhubungan dengan permasalahan pengaruh pemanasan global dan upaya
pencegahan dampak pemanasan global.
1.6. Metode Pengumpulan DataPenulis mulai melakukan pengenalan masalah sejak bulan Mei 2014.
Masalah yang muncul penulis angkat berdasarkan fakta dan realita di lapangan
serta pemberitaan di televisi dan media cetak. Pengumpulan data dilakukan
dengan beberapa cara:
Telaah Pustaka
Pada metode ini, penulis banyak membaca literatur-literatur yang berhubungan
dengan masalah yang penulis bahas sebagai referensi dan acuan yang dapat
penulis jadikan pedoman. Literatur tersebut diperoleh dari buku dan internet.
1.7. Metode Analisis Data Adapun metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini dengan
menggunakan metode analisis data kualitatif. Matthew dan Michael (1992:1)
menjelaskan bahwa data kualitatif merupakan sumber data deskripsi yang luas
dan berlandaskan kokoh, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang
terjadi dalam lingkup setempat.
Study kasus
Analisis
Penulisan
Karya Ilmia
h
Menemukan masalah
Pengumpulan Data
Dengan berpedoman pada metode ini, penulis mengumpulkan data-data
yang sesuai dengan tema penulis, selanjutnya penulis melakukan penganalisisan
data untuk mengadakan penilaian data terhadap derajat kebenaran data. Langkah
selanjutnya, penulis mengadakan penafsiran data, dengan menafsirkan apakah
data tersebut berkaitan dengan permasalahan atau tidak. Selanjutnya penulis
menarik kesimpulan dari penafsiran dan penganalisisan data yang ada.
bagan 1: tahapan penulisan karya ilmiah
BAB IVPEMBAHASAN
1.8. ANALISAPemanasan global mengakibatkan kenaikan tinggi muka air laut sebagai konsekuensi mencairnya es di kutub utara dan selatan serta pemuaian muka air laut. Beberapa studi yang telah dilakukan oleh IPCC (Internatinal Panel on Climate Change) memperlihatkan bahwa telah terjadi kenaikan muka air laut sebesar 1-2 meter dalam 100 tahun terakhir. Dengan asumsi bahwa manusia tetap melakukan aktivitas tanpa memikirkan daya dukung lingkungan, maka IPCC memperkirakan bahwa pada tahun 2030 permukaan air laut akan bertambah 8-29 cm dari permukaan air laut saat ini
Kenaikan muka air laut dan banjir mengakibatkan terjadinya genangan di kota-kota pantai. Hal ini dirasakan oleh penduduk yang bermukim di kawasan pantai Kecamatan Semarang Utara, yang dari tahun ke tahun tinggi genangan semakin bertambah, terjadinya genangan semakin sering, dan waktu genangan semakin lama (Suhaeni, 2002). Sarana sanitasi dan air bersih terganggu, sehingga kegiatan dalam rumah tangga terhenti dengan sendirinya.
Di Indonesia, Kenaikan muka air laut secara umum berdampak pada
(BKTRN, 2002):
(1) Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, yang disebabkan oleh
terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara
curah hujan sangat tinggi. Kemungkinan lain adalah terjadinya backwater
dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan
terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan
banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia)
dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan
volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila
kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan
terjadi pada kurun waktu yang bersamaan.
(2) Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove. Rusaknya
ekosistem mangrove, luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami
penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987)
dan menurun hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun
(1982-1993) telah terjadi penurunan hutan mangrove tidak dapat
dipertahankan lagi maka : abrasi pantai akan kerap terjadi tidak adanya
penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat
karena tidak adanya filter polutan dan zona budidaya aquaculture akan
terancam dengan sendirinya.
(3) Meluasnya intrusi air laut, oleh diakibatkan terjadinya kenaikan muka air
laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air
tanah secara berlebihan. Contoh : diperkirakan pada periode antar 2050
hingga 2070, intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta
Utara.
(4) Gangguan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, diantaranya adalah:
(a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa
dan Timur-Selatan Sumatera; (b) genangan terhadap permukiman
penduduk pada kota-kota pesisir yang berada di wilayah Pantura Jawa,
Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat
Daya, dan beberapa kawasan pesisir di Papua; (c) hilangnya lahan-lahan
budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove; (d) penurunan
produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti DAS Citarum,
Brantas, dan Saddang.
(5) Berkurangnya luas daratan dan hilangnya pulau-pulau kecil, tergantung
dari tingginya kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi
kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 21 lahan pesisir
yang hilang akan mencapai 202.500 ha (Diposaptono, S. 2002)
Sebagian besar kota-kota penting Indonesia terletak di kawasan pantai,
dengan karakteristik laju pertumbuhan yang tinggi. Pertumbuhan kota-kota
pantai di akhir abad 20 yang cenderung mengabaikan daya dukung lingkungan
di sekelilingnya serta ancaman bencana yang berpotensi merusak.
Meningkatnya jumlah penduduk dan keterbatasan ruang yang layak
dikembangkan menyebabkan perluasan merambah lingkungan yang seharusnya
dipertahankan sebagai penyangga, antara lain yang berada di hulu, hilir, pantai
dan perairan dengan pulau-pulau didepannya (Hantoro, 2002).
Kemampuan lingkungan kota pantai dalam mendukung kehidupan
penduduknya akan terpengaruh apabila sebagian wilayahnya tergenang. Hal
tersebut dikarenakan perumahan dan prasarana dan sarana fasilitas
perekonomian kota lainnya tidak dapat berfungsi sebagaimana yang
direncanakan (Pamekas, 2002).
Secara umum beberapa kerugian kawasan pantai akibat kenaikan muka air laut
telah diidentifikasi di bagian sebelumnya. Di sini akan ditambahkan kerugian
bangunan rumah di pantai akibat kenaikan muka air laut (Wuryani, 2002).
Kerugian bangunan rumah akibat kenaikan muka air laut dapat ditinjau
berdasarkan fungsi fisik bangunan rumah dan kerugian akibat hilangnya biaya
investasi rumah, kedua jenis kerugian ini selanjutnya dapat diakumulasikan
terhadap kerugian total yang terjadi pada suatu kawasan tertentu. Dalam
perhitungan kerugian akibat kenaikan muka air laut, walaupun fenomenanya
tidak sama seperti kerugian yang diakibatkan oleh banjir, tetapi jenis-jenis
kerusakan maupun kerugian yang ditimbulkannya adalah sama.
Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut Dan Banjir Terhadap Kondisi Lingkungan Bio-Geofisik Dan Sosial-Ekonomi Masyarakat
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak
sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan
arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d)
ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e)
berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya
pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan
sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya
efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir
diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80%
peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk
Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan
volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila
kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi
dalam kurun waktu yang bersamaan.
Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada
wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang
pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan
mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982)
menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185
ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi
penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila
keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai
akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari
sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona
budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka
air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air
tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara
2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas
wilayah Jakarta Utara.
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi
diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta
api di Pantura Jawa dan Timur - Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap
permukiman penduduk pada kota - kota pesisir yang berada pada wilayah
Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi
bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-
lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4
juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan
menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra
produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah
nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan,
seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi
kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di
Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut
diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-
pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung
dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis
pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang
mencapai 202.500 ha.
Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah
dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat
kebakaran maupun akibat penggundulan.
Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law
Review (1999) dalam Muhi (2011(menunjukkan bahwa pada kurun waktu
1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra
dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) dalam Muhi
(2011) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta
hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang
tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan
menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko
pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air
bersih pada jangka panjang.
1.9. SINTESISBerdasarkan analisa di atas, maka saat ini dibutuhkan solusi dan strategi yang
menjadi preventif dalam mengurangi kenaikan intensitas air di permukaan laut,
terutama sungai yang berada di pemukiman Masyarakat. Maka dalam karya tulis
ilmiah ini penulis memberikan solusi strategi komprehensif baik melalui rencana
tata ruang wilayah nasional dari keputusan perundang-undangan sampai pada
lapangan yaitu masyarakat yang hidup di hulu dan di hilir.
Upaya – Upaya Yang Dapat Mengembalikan (Normalisasi Fungsi Kawasan)
Melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
1. Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki
skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan
RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah
ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran
pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan
kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola
dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.
Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan
kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana
seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan
kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi,
pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur
pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan
sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana
wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air,
dan air baku.
Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang
terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang
(review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat
merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan.
Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN
yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis
ataupun paradigma baru sebagai berikut :
globalisasi ekonomi dan implikasinya,
otonomi daerah dan implikasinya,
penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan
krisis ekonomi,
daur ulang hidrologi,
penanganan land subsidence,
pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
pemanasan global dan berbagai dampaknya.
Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir
seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan
dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN
khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya
konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-
kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c)
pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi
antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik
pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya
keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung
merugikan kawasan pesisir.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994) dalam Muhi
(2011), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan
memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura
Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian
Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua. Untuk kawasan
budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota
pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat
pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan
pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan
mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah
Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal,
Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai.
Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian
terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan,
11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. Perhatian khusus perlu
diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan
prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian
nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air
laut dan banjir, seperti :
Sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe
hingga Bandar Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas
Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta
sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga
Bulukumba sepanjang ± 250 km).
beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung
Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak
(Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa,
Sumatera bagian Timur dan Sulawesi bagian Selatan.
Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar,
Makassar, dan Semarang.
Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria
pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa,
pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan
sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan
lingkungan yang mungkin terjadi.
Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula
antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-
operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada
kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa
alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) dalam Muhi (2011)
sebagai berikut :
Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan
lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar
sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis
pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk
menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan
sangat tinggi.
Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam
atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian
bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau
(aquaculture) ; area - area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun
diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan
jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat
hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater)
atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti
revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment).
Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini
perlu dilakukan secara hati - hati dengan tetap mempertimbangkan proses
alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with nature”.
Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan
untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka
alam margasatwa/cagar alam/habitat flora - fauna, dan kawasan - kawasan
yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap
perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau - pulau kecil
maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau - pulau yang memiliki fungsi
khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi,
kepentingan hankam, dan sebagainya.
Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir
benar - benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada
bagian hulu – khususnya hutan tropis – perlu pula mendapatkan perhatian. Hal
ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi
peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.
2. Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka
Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil.
Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan
salah satu instrumen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak
pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau - pulau kecil. Namun
demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk
revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau
- pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci. Intervensi kebijakan
penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan -
tujuan berikut :
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk
kota - kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya
(prasarana dan sarana) sehingga fungsi - fungsi kawasan dan kota sebagai
sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para
pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir,
abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem
pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir
agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber
daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone
management).
Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi
rencana tata ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a)
penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM)
untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah –
khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan
pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan
ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat
melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem
informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau - pulau
kecil yang memadai, serta (e) penyiapan peta-peta yang dapat digunakan
sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan
pulau kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara
efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang
yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan
memperhatikan factor - faktor berikut :
Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam
konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi
pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata
ruang kawasan pesisir.
Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat
(participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan
kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif
terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam
pelaksanaan pembangunan.
Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota
pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan
hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir
dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus
reduksi potensi konflik lintas wilayah
Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres,
maupun Perda – untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk
terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur
stakeholders.
BAB IVPENUTUP
1.10. KesimpulanPemanasan global menimbulkan dampak yang luas dan serius bagi
lingkungan biogeofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut,
perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya
flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dan sebagainya).
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut :
(a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan
meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap
kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau
hilangnya pulau-pulau kecil. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan
oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah
hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya
efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Beberapa langkah atau upaya yang
dapat dilakukan untuk mengembalikan fungsi kawasan antara lain, Relokasi,
Akomodasi, dan Proteksi. Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan
perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang,
suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora - fauna, dan kawasan - kawasan yang
sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam
atau kawasan yang bermasalah.
DAFTAR PUSTAKA
Akil, S, Antisipasi Dampak Pemanasan Global dari Aspek Teknis Penataan Ruang,
12-13 Maret 2002, Bandung.
Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), Pengaruh Global Warming
Terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau kecil: Ditinjau Dari Kenaikan Permukaan Air
laut dan Banjir, Proceeding Seminar Nasional, Jakarta, 30-31 oktober 2002
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Rencana Induk Penanganan
Masalah Banjir DKI Jakarta dan Sekitarnya, Ringkasan, Juli 2002
Hantoro, W.S., Pengaruh Karakteristik Laut dan Pantai terhadap Perkembangan
Kawasan Kota Pantai, 12-13 Maret 2002, Bandung.
Kurdi, S.T, Dampak Kenaikan Muka Air Laut Terhadap Kawasan Permukiman,
Seminar Nasional Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir dan Pulau-
Pulau kecil ditinjau dari kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir, 30-31
Oktober 2002, Jakarta.
________, Identifikasi Kerugian Kawasan Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut,
12-13 Maret 2002, Bandung.
Kwik Kian Gie, Pengaruh Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, Seminar Nasional Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir dan
Pulau-Pulau kecil ditinjau dari kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir, 30-
31 Oktober 2002, Jakarta.
Muhi. Hanapiah, A. (2011) Praktek Lingkungan Hidup. Jawa Barat: Institut
Pemerintahan dalam Negeri (IPDN)
Pamekas, R, Dampak Perubahan Fisik Kawasan Terhadap Daya Dukung
Lingkungan Permukiman Kota Pantai, 12-13 Maret 2002, Bandung.
Soemarwoto, O, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, 2001,
Jakarta.
Wuryani, W., Identifikasi Kerugian Bangunan Rumah di Pantai Akibat Kenaikan
Muka Air Laut, 12-13 Maret 2002, Bandung.
World Bank. World Development Report: Sustainable Development in a Dynamic
World: Transforming Institution, Growth, and Quality of Life. Washington,
D.C: Oxford Univesity Press, 2003
https://www.google.com/url?q=http://sirmanggisak.blogspot.com/2013/07/dampak-
pemanasan-global-bagi-kehidupan.html
https://m.facebook.com/notes/debit-ridhawati/global-warming-pengertian-penyebab-efek-cara-mengatasi-/10150531758072256