YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
  • 1

    (Koleksi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com)

  • 2

    Puisi cat air untuk Rizki Sapardi Djoko Damono Angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, aku rindu, aku ingin mempermainkanmu! kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, jangan berisik, mengganggu hujan! hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, lepaskan daun itu!

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 3

    Sonet 5 Sapardi Djoko Damono Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping ketika kau menuangkan air mendidih ke poci; ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini. Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan; kautahan getar tanganmu ketika menaruh tutup poci itu, dan luput; ada yang ingin kaukibaskan. Kenapa mesti kaukatakan aku tampak begitu gugup? Udara bergoyang, pelahan saja, mengurai malam yang melingkar, mengusir gerat-gerit dingin yang tak hendak beku, berloncatan di lekuk-lekuk angka jam. Malam tidak menegurku. Hanya bergeser. Sedikit angin. Ada yang diam-diam ingin kauusap dari lenganmu ketika terasa basah oleh tetes tik-tok itu.

  • 4

    Sonet 6 Sapardi Djoko Damono Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi mengkristal lalu berhamburan dari sebatang pohon ranggas. Sampai suara tak terdengar berdebum lagi? Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas memohon diselamatkan dari haru biru yang meragi dalam sumsummu; tak pantas lagi menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini. Sampai yang pernah bergerit di kasur tak lagi menempel di langit-langit kepalaku? Sampai kedua bola matamu kabur, sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu. Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.

  • 5

    Sonet 7 Sapardi Djoko Damono Ada jarak yang harus ditempuh sampai suasana siap menerima kita. Dan kita arif menerimanya, bukan? Ada yang harus tak habis-habisnya kita hela dan hembuskan sampai pisau yang terpejam di tangan membelah apel yang di atas meja. Seiris telentang, seiris tengkurap di sebelahnya? Begitu ramal seorang empu setelah menyelesaikan tugas menempa sebilah keris. Celoteh juru nujum yang di bukit nun di sana itu? Ada jarak yang harus diremas sampai kerut dalam pembuluh darah kita. Sampai yang biru kembali hijau berkat kuning itu, sampai segala terhalau: yang ini, yang itu, yang di sana, yang di situ, yang layang-layang, yang batu? Ada jarak yang harus ditebas kalau kita mau menerima pertemuan ini dengan ikhlas.

  • 6

    Sonet 8 Sapardi Djoko Damono Di sudut itu selalu ada yang seperti menunggu kita. Mengapa ada yang selalu terasa hadir di sana? Di situ konon kita dulu dilahirkan, kau tahu, agar bisa melihat betapa luas batas antara nyata dan maya. Dua dinding bertemu di sudut itu, seperti yang sudah dijanjikan sejak purba ketika sehabis peristiwa itu leluhur kita diburu-buru dan sesat di rumah ini. Kau masih juga percaya rupanya, tanpa menyiasati dinding-dinding itu? Rumah baru terasa rumah kalau ada penyekat antara sini dan Sana, membentuk sudut tempat kita bertemu dan memandang lepas ruang luas, tanpa akhirat. Mengapa terasa harus ada yang menunggu? Agar tak mungkin ada yang bisa membebaskanmu.

  • 7

    Sonet 9 Sapardi Djoko Damono Kaubalik-balik buku itu selembar demi selembar sore ini. Bukankah waktu itu masih pagi, ketika kau mencatatnya? Aku pungut buku yang kaulempar ke lantai, telungkup, tampak lusuh, sendiri. Kenapa mesti ada sore hari? Pejamkan mata, bayangkan beranda yang pernah membiarkan kita mengitari pekarangan yang begitu luas, yang kemudian ternyata bukan bagian dari tempat yang konon disediakan untuk kita tinggali. Matahari masih hangat ketika aku mencatatnya di buku yang sore ini telah menggodamu untuk mencari gambar sebuah taman yang memancarkan aroma secangkir teh hangat di pagi hari. Ya, bukankah masih pagi ketika kau menggambarnya? Ya, mungkin karena waktu itu masih pagi. Lekas, berikan buku itu kembali, padaku!

  • 8

    Sonet 10 Sapardi Djoko Damono Ada selembar kertas yang belum bertulisan. Apakah kauharapkan aku ke mari seperti semula, belum penuh dengan coretan? Ada yang ingin menulis aksara demi aksara dan tahu tak akan mencapai kalimat meski ada tanda seru di ujungnya. Tidak semua memerlukan tulisan, (Apakah aku kaubayangkan selembar kertas itu?) meski sudah terlanjur tercatat sebelum sempat diucapkan. Air menyeret catatan berkelok-kelok di sepanjang sungai bila penghujan. Tetapi sama sekali tak terbaca bahkan ketika sudah begitu rekah-rekah perangai kemarau. Tinggal garis-garis yang carut-marut di dasarnya. Kau mengharapkanku kembali seperti itu? Risaukah kita ketika menyadari bahwa tulisan tak perlu, ternyata?

  • 9

    Sonet 11 Sapardi Djoko Damono Terima kasih, kartu pos bergambar yang kaukirim dari Yogya sudah sampai kemarin. Tapi aku tak pernah mengirim apa pun, kau tahu itu. Aku sedang kena macet, Jakarta seperti dulu juga ketika suatu sore buru-buru kau kuantar ke stasiun. Tapi aku tak sempat menulis apa pun akhir-akhir ini. Aku suka membayangkan kau kubonceng sepeda sepanjang Lempuyangan berhenti di warung bakso di seberang kampus yang sudah sepi. Kau masih seperti dulu rupanya, menyayangiku? Bayangkan kalau nanti kita ke sana lagi! Di kartu pos itu ada gambar jalan berkelok, bermuara di sebuah taman tua tempat kita suka nyasar melukiskan hutan, sawah, kebun buah, dan taman yang ingin kita lewati: gelas yang tak pernah penuh. Hahaha, dasar! Aku suka membayangkan kartu pos itu memuat gambarmu, residu dari berapa juta helaan dan hembusan napasku dulu.

  • 10

    Sonet 12 Sapardi Djoko Damono Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca, tak ada huruf kapital di awalnya. Yang tak kita ingat aksara apa. Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada; tanpa tanda petik, huruf demi huruf berderet rapat dan setiap kali terlepas, kita pun segera merasa gerah lagi dihimpitnya. Tanpa pernah bisa membaca ulang dengan cermat harus terus kita susun kalimat demi kalimat ini tanpa perlu merisaukan apakah semua nanti mampat pada sebuah tanda tanya. Tapi, bukankah kita sudah mencari jawaban, sudah tahu apa yang harus kita contreng jika tersedia pilihan? Dan kemudian memulai lagi merakit alinea demi alinea, menyusun sebuah dongeng? Tapi bukankah tak ada huruf kapital ketika kita bicara? Bukankah kisah cinta memang tak memerlukan tanda baca?

  • 11

    Sonet 13 Sapardi Djoko Damono Titik-titik hujan belum juga lepas dari tubir daun itu; ditunggunya kita lewat. Kupandang ke atas: sebutir jatuh di bulu matamu, yang lain meluncur di pelipismu. Pohon itu kembali menatapmu, hanya selintas. Diberkahinya tanganku yang ingin sekali mengusap basah yang mendingin di wajahmu. Kau seperti ingin melakukan sesuatu. Aku pun mendadak menghentikan langkah sejenak jangan tergesa, agar bisa kaubaca niat titik hujan. Butir-butir hujan menderas dari sudut-sudut daun itu tepat ketika kita lewat. Kupandang ke atas. Pohon itu tak lagi menatapmu. Ada yang membasahi kerudungmu, meluncur ke dua belah pundakmu. Dibiarkannya kita melintas. Kita pun bergegas agar segera sampai ke ujung jalan tanpa bicara. Tak lagi berniat menafsirkan titik hujan?

  • 12

    Aku Ingin Sapardi Djoko Damono Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

  • 13

    Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari Sapardi Djoko Damono waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan

  • 14

    Perahu Kertas Sapardi Djoko Damono Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan. "Ia akan singgah di bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu. Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya, "Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit." Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 15

    Kepompong Itu Sapardi Djoko Damono kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau menutup jendela waktu hari hujan kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga dan kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 16

    Kisah Sapardi Djoko Damono Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di plat alumunium itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi. Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi. Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring. Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 17

    Akulah Si Telaga Sapardi Djoko Damono berlayarlah di atasnya; berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma; berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya; sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja -- perahumu biar aku yang menjaganya Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 18

    Kukirimkan Kepadamu Sapardi Djoko Damono kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku, par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya. Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka. Namun ada. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 19

    Sajak Subuh Sapardi Djoko Damono Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, "Jangan bermimpi!" dan ia terkejut tak mengerti. Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya. "Jangan bermimpi!" gertak mereka. Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, "Jangan bermimpi! " Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan .....

  • 20

    Bunga, 1 Sapardi Djoko Damono (i) Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit; siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu; malam hari ia mendengar seru serigala. Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!" (ii) Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api .... Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"

  • 21

    Atas Kemerdekaan Sapardi Djoko Damono kita berkata : jadilah dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut di atasnya : langit dan badai tak henti-henti di tepinya cakrawala terjerat juga akhirnya kita, kemudian adalah sibuk mengusut rahasia angka-angka sebelum Hari yang ketujuh tiba sebelum kita ciptakan pula Firdaus dari segenap mimpi kita sementara seekor ular melilit pohon itu : inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah Horison

  • 22

    Cermin, 1 Sapardi Djoko Damono cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak, meski apa pun jadi terbalik di dalamnya; barangkali ia hanya bisa bertanya: mengapa kau seperti kehabisan suara? Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 23

    Sajak Nopember Sapardi Djoko Damono Siapa yang akan berbicara untuk kami siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur yang berjejal bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan siapa yang akan berbicara atas nama kami yang berjejal dalam kubur bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami siapa yang bisa paham makna kehendak kami kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus tanpa dicatat namanya kepada Ibu yang lebih besar dan agung : ialah Tanah Air kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus untuk pergi lebih dahulu apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik tanpa mengeluh serta putus asa di Solo dua orang dalam satu kuburan di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik tapi katakanlah kepada anak cucu kami; di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu bertimbun dalam satu lobang dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu tambur yang paling besar telah ditabuh dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami terompet yang paling lantang ditiup dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu kami pun bangkit dari kubur memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya

  • 24

    kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka dan hari depan, sudah itu : mati orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu tanpa tahu siapa kami ini tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah dan sudah itu : mati siapa berkata bahwa kami telah musnah siapa berkata kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah di ladang dan di laut, meskipun kalian tiada menyadari kehadiran kami siapa berkata bahwa kami telah musnah siapa berkata tanah air adalah sebuah landasan dan kami tak lain baja yang membara hancur oleh pukulan ialah kemerdekaan kemarin giliran kami tapi besok mesti tiba giliranmu kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak hidup dan mengerti makna kemerdekaan dan kami adalah baja yang membara di atas landasan dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan (mungkin besok tiba giliranmu) siapa yang tahu cinta saudara, paman dan bapa siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak ingat untuk apa kamu pergi siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia ingat kenapa kami tak kembali begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan apa saja untuknya jawablah : ya begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa jawab lagi : ya

  • 25

    sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari datang untuk memberkati anak-anak yang tidur sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan bahasa dan kehendak kami sudah kau dengarkah suara napas kami menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur sebab kami selalu dan selalu lahir kembali selalu dan selalu berkelahi lagi mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak tapi toh tak ada bedanya: kami telah memulainya dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya dan memang tak ada bedanya : kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan bagimu adalah awal pertaruhan awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi meski kami pernah kau kenal atau tidak meski kami pernah kau jumpa atau tidak kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung lantaran satu harapan yang pasti walau tak pernah kembali kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan mengeluarkan ampun kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini agar tak lagi mengembara arwah kami kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati kami telah mati lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami kami telah berkelahi; dan mati tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami dan mengatakannya kepada siapa pun tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami yang telah mati pagi sekali dan berjalan tanpa nama dan tanda dalam satu lobang kubur kami telah lahir dan selalu lahir selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah

  • 26

    selalu dan selalu berkelahi di mana dan kapan saja biarkan kami bicara lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja hari ini biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar atas rasa bangga kami yang sederhana biarkanlah kami bicara hari ini lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta Gelora Th III, No 19 ( Nopember 1962)

  • 27

    01 Sonet: Entah Sejak Kapan Sapardi Djoko Damono Entah sejak kapan kita suka gugup Di antara frasa-frasa pongah Di kain rentang yang berlubang-lubang Sepanjang jalan raya itu; kita berhimpitan Di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak Di kain rentang yang ditiup angin, Yang diikat di antara batang pohon Dan tiang listrik itu; kita tergencet di sela-sela Huruf-huruf kaku yang tindih-menindih Di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan Yang tanpa lampu lalu-lintas itu. Telah sejak lama Rupanya kita suka membayangkan diri kita Menjelma kain rentang koyak-moyak itu, sebisanya Bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin

  • 28

    02 Sonet: Kau Bertanya Apa Sapardi Djoko Damono Kau bertanya apa masih ada harapan. Mungkin masih, Di luar kata. Di dalam kata terdengar tak putus-putusnya Suara orang berkhotbah, berceramah, dan berselisih. Sementara kita mengemis, mencuri, berebut jatah Menjarah, atau menjadi gila; sementara kita menyaksikan Rumah-rumah terbakar, jaringan telepon putus, Pohon-pohon tumbang - di dalam kata masih saja Setiap aksara dipertanyakan asal-usulnya, setiap desis Diusut keterlibatan maknanya. Konon, dulu, Di dalam kata pernah terdengar desau gerimis kecil, Cericit anak-anak burung, suit daun jatuh, Dan langkah kabut pagi. Konon, dulu, pernah terdengar kita Saling berbisik. Kau bertanya apa masih ada harapan. Untuk Wing Kardjo Ada yang menunggu kita di luar kata, mudah-mudahan.

  • 29

    03 Sonet: Aku Tengah Menantimu Sapardi Djoko Damono Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas Di pucuk kemarau yang mulai gundul itu Berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu Yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas Awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu Musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku Kudengar berulang suara gelombang udara memecah Nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah Telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak Sepi Di tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun Menanti Barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana Dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama

  • 30

    04 Sonet: Hei! Jangan Kau Patahkan Sapardi Djoko Damono Hei! Jangan kau patahkan kuntum bunga itu Ia sedang mengembang; bergoyang dahan-dahannya yang tua Yang telah mengenal baik, kau tahu, Segala perubahan cuaca. Bayangkan: Akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar Hujanpun turun setiap bumi hampir hangus terbakar Dan mekarlah bunga itu pelahan-lahan Dengan gaib, dari rahim Alam. Jangan; saksikan saja dengan teliti Bagaimana Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam Membunuhnya dengan hati-hati sekali Dalam Kasih sayang, dalam rindu dendam Alam; Lihat: Iapun terkulai pelahan-lahan Dengan indah sekali, tanpa satu keluhan

  • 31

    05 Sonnet: X Sapardi Djoko Damono Siapa menggores di langit biru Siapa meretas di awan lalu Siapa mengkristal di kabut biru Siapa mengertap di bunga layu Siapa cerna di warna ungu Siapa bernafas di detak waktu Siapa berkelebat setiap kubuka pintu Siapa mencair di bawah pandangku Siapa terucap di celah kata-kataku Siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku Siapa tiba menjemput berburu Siapa tiba-tiba menyibak cadarku Siapa meledak dalam diriku : Siapa aku

  • 32

    06 Sonet: Y Sapardi Djoko Damono Walau kita sering bertemu Di antara orang-orang melawat ke kubur itu Di sela-sela suara biru Bencah-bencah kelabu dan ungu Walau kau sering kukenang Di antara kata-kata yang lama tlah hilang Terkunci dalam bayang-bayang Dendam remang Walau aku sering kau sapa Di setiap simpang cuaca Hijau menjelma merah cuaca Di pusing jantra Ku tak tahu kenapa merindu Tergagap gugup di ruang tunggu

  • 33

    Cara Membunuh Burung Sapardi Djoko Damono bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum dilahirkan itu? soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!) soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian soalnya ia baka

  • 34

    Di Sebuah Halte Bis Sapardi Djoko Damono Hujan tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana. Kau memang tak pernah berumah, dan hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk dan tampak putih. Pagi harinya anak-anak sekolah yang menunggu di halte bis itu melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk. Bis tak kunjung datang. Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu. Mereka menjadi kesal dan, bagai para pemabok, berjalan sempoyongan sambil melempar-lemparkan buku dan menjerit-jerit menyebut-nyebut namamu. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 35

    Sajak Telur Sapardi Djoko Damono dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai merindukan telur Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 36

    Selamat Pagi Indonesia Sapardi Djoko Damono selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk dan menyanyi kecil buatmu. aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu, dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam kerja yang sederhana; bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal. selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah, di mata para perempuan yang sabar, di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan; kami telah bersahabat dengan kenyataan untuk diam-diam mencintaimu. pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu agar tak sia-sia kau melahirkanku. seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya. aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan, merubuhkan kesangsian, dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman yang megah, biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat, para perepuan menyalakan api, dan di telapak tangan para lelaki yang tabah telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura. Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil memberi salam kepada si anak kecil; terasa benar : aku tak lain milikmu Basis Thn. XV - 4 Januari 1965

  • 37

    Dalam Diriku Sapardi Djoko Damono Because the sky is blue It makes me cry (The Beatles) dalam diriku mengalir sungai panjang, darah namanya; dalam diriku menggenang telaga darah, sukma namanya; dalam diriku meriak gelombang sukma, hidup namanya! dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya

  • 38

    Peristiwa Tadi Pagi -Sapardi Djoko Damono kepada GM

    Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang.

    Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.

    Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.

    Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 39

    Gadis Kecil Sapardi Djoko Damono ada gadis kecil diseberangkan gerimis di tangan kanannya bergoyang payung tangan kirinya mengibaskan tangis- di pinggir padang ada pohon dan seekor burung

  • 40

    Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

  • 41

    Pohon Belimbing Sapardi Djoko Damono Sore itu kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya. Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik., juga karena konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem? Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa Belimbing wuluh; Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon belimbing wuluh ity berjalan dalam tidur? Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi Tua juga akhirnya?

  • 42

    Seperti Kabut Sapardi Djoko Damono aku akan menyayangimu seperti kabut yang raib di cahaya matahari : aku akan menjelma awan hati-hati mendaki bukit agar bisa menghujanimu : pada suatu hari baik nanti.

  • 43

    Yang Fana Adalah Waktu Sapardi Djoko Damono

    Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

    sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.

    "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"

    tanyamu. Kita abadi.

  • 44

    Air Selokan Sapardi Djoko Damono Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit, katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung .ia hampir muntah karena bau sengit itu.

    Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.

    Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu alangkah indahnya! Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 45

    Angin 1 -Sapardi Djoko Damono Angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari sudut ke sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar suara nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, hei siapa ini yang mendadak di depanku?

    angin itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi sampai pagi tadi: ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang diri di tengah bising-bising ini tanpa Hawa

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 46

    Angin 2 -Sapardi Djoko Damono Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalaman. Seekor ular lewat, menghindar. Lelaki itu masih tidur. Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 47

    Sihir Hujan -Sapardi Djoko Damono Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan .swaranya bisa dibeda-bedakan; kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu.

    Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan . menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 48

    Tuan -Sapardi Djoko Damono

    Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang ke luar..

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 49

    Tentang Matahari -Sapardi Djoko Damono Matahari yang di atas kepalamu itu adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu

    waktu kau kecil, adalah bola lampu yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,

    adalah jam weker yang berdering sedang kau bersetubuh,

    adalah gambar bulan yang dituding anak kecil itu sambil berkata : Ini matahari! Ini matahari!

    Matahari itu? Ia memang di atas sana supaya selamanya kau menghela bayang-bayanganmu itu.

    Pengirim Nanang Suryadi Mailing List MSI Date: Sun, 28 Nov 1999 10:45:40 -0800

  • 50

    Ketika Menunggu Bis Kota, Malam-Malam -Sapardi Djoko Damono

    Hus, itu bukan anjing; itu capung! katanya. Tapi capung tak pernah terbang malam, bukan? Capung tak suka ke tempat sampah biasanya ia hinggap di ujung daun rumput waktu pagi hari, dan kalau ada gadis kecil akan menangkapnya ia pun terbang ke balik pagar sambil mendengarkan suara aahh! Tubuhnya mungil, bukan? Sedangkan yang kulihat tadi jelas anjing kampung yang ekornya buntung, menjilat-jilat tempat sampah yang di seberang halte itu, mengelilinginya, lalu kencing di sudutnya. Hanya saja, aku memang tak melihat ke mana gaibnya. Itu capung! katanya. Sayang sekali bahwa kau merasa tak melihat apa pun di seberang sana tadi.

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 51

    Di Atas Batu -Sapardi Djoko Damono Ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari ia pandang sekeliling : matahari yang hilang - timbul di sela goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor capung ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982

    .

  • 52

    Hatiku Selembar Daun -Sapardi Djoko Damono Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput; nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini; ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput; sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 53

    Tekukur -Sapardi Djoko Damono Kautembak tekukur itu. Ia tak sempat terkejut, beberapa lembar bulunya lepas; mula-mula terpencar di sela-sela jari angin, satu-dua lembar sambar-menyambar sebentar, lalu bersandar pada daun-daun rumput. Kena! serumu.

    Selembar bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar bisa terbawa sampai jauh ke hilir, namun angin hanya meletakkannya di tebing sungai. Tapi ke mana terbang burung luka itu? gerutumu.

    Tetes-tetes darahnya melayang : ada yang sempat melewati berkas- berkas sinar matahari, membiaskan wama merah cemerlang, lalu jatuh di kuntum-kuntum bunga rumput.

    Merdu benar suara tekukur itu, kata seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di sana; ia merasa tiba-tiba berada dalam sebuah taman bunga.

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 54

    Seruling -Sapardi Djoko Damono Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdunya . Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga.

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 55

    Bunga 1-Sapardi Djoko Damono (i) Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit; siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu; malam hari ia mendengar seru serigala. Tapi katanya, Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!

    (ii) Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api . Teriaknya, Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 56

    Pertapa -Sapardi Djoko Damono Jangan mengganggu: aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata ah, apa ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna masih beranikah kau menyapaku, Saudara?

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 57

    Di Tangan Anak-Anak -Sapardi Djoko Damono Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung . yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci. Tuan, jangan kauganggu permainanku ini.

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 58

    Telinga -Sapardi Djoko Damono Masuklah ke telingaku, bujuknya. ..Gila ia digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apa pun secara terperinci setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis yang menciptakan suara. Masuklah, bujuknya. Gila ! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 59

    Kukirimkan Padamu -Sapardi Djoko Damono Kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku, par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.

    Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka. Namun ada.

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 60

    Pesan -Sapardi Djoko Damono Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya. Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya. Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan ..

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 61

    Bunga 2 -Sapardi Djoko Damono Mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya tak ada alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma pendar-pendar di permukaan kolam

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 62

    Cermin 2 -Sapardi Djoko Damono Mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin; tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana; dan cermin menangkapmu sia-sia

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 63

    Lirik Untuk Lagu Pop -Sapardi Djoko Damono Jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis . pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!) aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut .nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!) aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek ketika hutan mendadak gaib jangan pejamkan matamu..

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 64

    Tajam Hujanmu -Sapardi Djoko Damono Tajam hujanmu ini sudah terlanjur mencintaimu: payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku, air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu, aspal yang gemeletuk di bawah sepatu, arloji yang buram berair kacanya, dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan deras dinginmu sembilu hujanmu

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 65

    Setangan Kenangan -Sapardi Djoko Damono Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di lorong yang berlumpur itu. Soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar- gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana .

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 66

    Gonggong Anjing -Sapardi Djoko Damono Untuk Rizki..

    Gonggong anjing itu mula-mula lengket di lumpur lalu merayapi pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah menyusup lewat celah-celah genting bergema dalam kamar demi kamar tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari? tanya sunyi..

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 67

    Dua Peristiwa Dalam Satu Bagian -Sapardi Djoko Damono 1 sehabis langkah-langkah kaki: hening siapa? barangkali si pesuruh yang tersesat dan gagal menemukan tempat- tinggalmu padahal sejak semula sudah diikutinya jejakmu padahal harus lekas-lekas disampaikannya pesan itu padamu

    2 seolah-olah kau harus segera mengucapkan sederet kata yang pernah kaukenal artinya, yang membuatmu terkenang akan batang randu alas tua yang suka menjeritjerit kalau sarat berbunga

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 68

    Kuterka Gerimis -Sapardi Djoko Damono Kuterka gerimis mulai gugur Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu

    Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu..

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 69

    Bunga 3 -Sapardi Djoko Damono Seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu tak ada sahutan seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu lalu terdengar seperti gema hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi jasadku?..

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 70

    Sudah Kutebak -Sapardi Djoko Damono Sudah kutebak kedatanganmu. Seperti biasanya, kau berkias tentang sepasang ikan yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi sedikit, menggosok-gosokkan tubuh di karang-karang, menyambar, berputar-putar membuat lingkaran, menyambar, mabok membentur batu-batuan. Kutebak si pengail masih terkantuk-kantukdi tepi sungai itu. Sendirian.

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 71

    Pesta -Sapardi Djoko Damono Pesta berlangsung sederhana. Sedikit tangis, basa-basi itu; tinggal bau bunga gemetar pada tik-tok jam, ingin mengantarmu sampai ke tanah-tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpi-mimpinya . . . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya..

    Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

  • 72

    Kami Bertiga -Sapardi Djoko Damono Dalam kamar ini kami bertiga : aku, pisau dan kata kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya tak peduli darahku atau darah kata ..

  • 73

    Mata Pisau -Sapardi Djoko Damono Mata pisau itu tak berkejap menatapmu kau yang baru saja mengasahnya berfikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam; ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu..

  • 74

    Kolam di Pekarangan -Sapardi Djoko Damono

    /1/ Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. la ingin sekali bisa merindukannya. Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang. la tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya. Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa. Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun. * la ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu. * Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup.

    /2/ Ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam, dunianya itu. Ia merasa bahagia ada sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam itu yang rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerah karena melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak. Ia senang bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil sesekali menyambar lumut yang terjurai kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa menebarkan makanan. Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya melawan arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang dikaitkan di ujung panting. Ia tahu ada daun jatuh, ia tahu daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia yang membebaskannya bergerak ke sana ke mari, ia tahu bahwa daun itu tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air digoyang-goyangnya. Tidak pernah dikatakannya Jangan ikut bergerak tinggal saja dipojok kolam itu sampai zat entah apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa kolam itu dibuat khusus untuk dirinya oleh sebab itu apa pun bisa saja berada di situ dan bergoyang-goyang seirama dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah peduli ia meluncur ke mana pun. Air tidak punya pintu.

  • 75

    * Kadangkala ia merasa telah melewati pintu demi pintu. * Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ.

    /3/ Air kolam adalah jendela yang suka menengadah menunggu kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela rimbunan dan dengan cerdik menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air, matahari, lumut. Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan daun dari menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari berputar itu berada jauh di luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun, ikan, dan lumut yang pernah berziarah ke jauh sana itu tak lain siratan dari rasa gamang dan kawatir akan kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya. Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang terhalang rimbunan pohon jeruk di pinggirnya yang semakin rapat daunnya karena matahari dan hujan tak putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat daun yang karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu sebelum subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-benar busuk, terurai, dan tak bisa lagi dikenali terpisah darinya. Ia pun harus habis-habisan menyayangi ikan itu agar bisa terus-menerus meluncur dan menggoyangnya. Air baru sebenar-benar air kalau ada yang terasa meluncur, kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang berterima kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka bertanya siapa gerangan yang telah mempertemukan kalian di sini. Ia tak peduli lagi apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai burung kadang bagai gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak peduli lagi apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah yang dulu pernah dibayangkannya kadang bagai silangan garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan, kadang bagai labirin. * Ia kini dunia. * Tanpa ibarat.

  • 76

    Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul Berkeliling di Kompleks, yang Selalu Berjalan Menunduk dan Hanya Sesekali Menawarkan Dagangannya dengan Suara yang Kadang Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya Berapa Harganya Pasti Dikatakannya, Terserah Situ Saja -Sapardi Djoko Damono /1/ takdir pun dimulai di pintu pagar sehabis kaubayar kita perlu sebilah pengganti si patah kau telah memilih pisau berasal dari rantau matanya yang redup tiba-tiba hidup

    /2/ bahasanya tak kaukenal tentu saja tapi dengan cermat dipelajarinya bahasamu yang berurusan dengan mengiris dan menyayat yang tak lepas dari tata cara meletakkan sayur berjajar di talenan untuk dirajang sebelum dimasukkan ke panci yang mendidih airnya dan dengan cepat dikuasainya bahasamu yang memiliki kosa kata lengkap untuk mengurus bangkai ayam membersihkan usus memotong-motongnya dan merajang hatinya

    /3/ ia tulus dan ikhlas belajar menerima kehadirannya di antara barang-barang yang telungkup yang telentang yang bergelantungan

  • 77

    yang kotor yang retak yang bau sabun yang berminyak di seantero dapur

    /4/ segumpal daging merah sedikit darah di meja dapur di sebelah cabe berhimpit dengan bawang yang menyebabkan matanya berlinang teringat akan mangga yang tempo hari dikupasnya teringat akan apel yang kemarin dibelahnya di meja makan

    /5/ kau sangat hati-hati memperlakukannya waswas akan tatapannya sangat sopan menghadapinya meski kau yakin seyakin-yakinnya ia bukan keris pusaka kau sangat hati-hati setiap kali menaruhnya di pinggir tempat cuci piring takut melukai matanya

    /6/ kau merasa punya tugas untuk teratur mengasahnya dinantinya saat-saat yang selalu menimbulkan rasa bahagia itu inderanya jadi lebih jernih jadi lebih awas jadi lebih tegas memilah yang manis dari yang pedas meraba yang lunak di antara yang keras

    /7/ apa gerangan yang dibisikkannya kepada batu pengasah itu

  • 78

    /8/ ia suka berkejap-kejap padaku, kata cucumu kau buru-buru menyeretnya menjauh dari dapur yang tiba-tiba terasa gerah

    /9/ ia kenal hanya selarik doa yang selalu kauucapkan sebelum memotong ikan yang masih berkelejotan kalau tanganmu gemetar memegang tangkainya ia pejamkan mata mengucapkan doa

    /10/ kenangannya pada api yang dulu melahirkannya menyusut ketika tatapannya semakin tajam oleh batu asah kenangannya pada landasan dan palu yang dulu menempanya kenangannya pada jari-jari kasar yang pertama kali mengelusnya kenangannya pada kata pertama si pandai besi ketika lelaki itu melemparkannya ke air yang mengeluarkan suara aneh begitu tubuhnya yang masih membara tenggelam dan mendingin kenangannya pada benda-benda yang telah melahirkannya semakin redup ketika saat ini ia merasa sepenuhnya tajam seutuhnya hidup

    /11/ dua sisi matanya tak pernah terpejam sebelah menatapmu sebelah berkedip padaku jangan pernah tanyakan makna tatapan

  • 79

    yang melepaskan isyarat seperti bintik-bintik cahaya yang timbul-tenggelam di sela-sela gema di sela-sela larik-larik Kitab yang menjanjikan sorga bagi kita

    /12/ ujungnya menunjuk ke Sana? diam-diam terucap pertanyaanmu itu menjelang subuh : matanya tampak berlinang dari sudut-sudutnya muncul gelembung-gelembung darah satu demi satu pecah : satu demi satu pecah : satu demi satu pecah : lantunan azan

  • 80

    Pada Suatu Pagi Hari -Sapardi Djoko Damono Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

    Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

    1973

  • 81

    Dalam Doaku -Sapardi Djoko Damono Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara

    Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana

    Dalam doaku sore ini, kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

    Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi dan bulu-bulu mataku

    Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku

    Aku mencintaimu, Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu

  • 82

    Pada Suatu Hari Nanti -Sapardi Djoko Damono pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau tak akan kurelakan sendiri pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau tak akan letih-letihnya kucari

  • 83

    Dongeng Marsinah -Sapardi Djoko Damono Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi: merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi, ia sangat cermat dan pasti. Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi: kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi. /2/ Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih, lalu meluap ke mana-mana. Ia suka berpikir, kata Siapa, itu sangat berbahaya. Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari. Ia tahu hakikat waktu, kata Siapa, dan harus dikembalikan ke asalnya, debu. /3/ Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan. Ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat ke kursi; mereka kira waktu bisa disumpal agar lenkingan detiknya tidak kedengaran lagi. Ia tidak diberi air, ia tidak diberi nasi; detik pun gerah berloncatan ke sana ke mari. Dalam perhelatan itu, kepalanya ditetak, selangkangnya diacak-acak, dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan. Detik pun tergeletak Marsinah pun abadi.

  • 84

    /4/ Di hari baik bulan baik, tangis tak pantas. Angin dan debu jalan, klakson dan asap knalpot, mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk. Semak-semak yang tak terurus dan tak pernah ambil peduli, meregang waktu bersaksi: Marsinah diseret dan dicampakkan sempurna, sendiri. Pangeran, apakah sebenarnya inti kekejaman? Apakah sebenarnya sumber keserakahan? Apakah sebenarnya azas kekuasaan? Dan apakah ebenarnya hakikat kemanusiaan, Pangeran? Apakah ini? Apakah itu? Duh Gusti, apakah pula makna pertanyaan? /5/ Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji. Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir ke dunia lagi; jangan saya dikirim ke neraka itu lagi. (Malaikat tak suka banyak berkata, ia sudah paham maksudnya.) apa sebaiknya menggelinding saja bagai bola sodok, bagai roda pedati? (Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.) Saya ini Marsinah, saya tak mengenal wanita berotot, yang mengepalkan tangan, yang tampangnya garang di poster-poster itu; saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana. (Malaikat tak suka banyak berkata, tapi lihat, ia seperti terluka.) /6/ Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini; dirabanya denyut nadi kita,

  • 85

    dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi. Kita tatap wajahnya setiap hari pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata. Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini. (1993-1996)

  • 86

    ANGIN, 3 Sapardi Djoko Damono Seandainya aku bukan Tapi kau angin! Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar, menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.

    Seandainya aku . . . ., . Tapi kau angin! Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara

    cahaya matahari dan warna-warna bunga.

    Seandainya Tapi kau angin! Jangan menjerit: semerbakmu memekakkanku.


Related Documents