YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

S K R I N I N G P E N D E N G A R A N

P A D A B A Y I D A N A N A K

I. PENDAHULUAN

Perkembangan normal bicara dan komunikasi bahasa, hubungan

pribadi dan keluarga, serta pencapaian intelektual dan pendidikan sangat

bergantung pada pendengaran yang utuh. Dengan demikian sudah

menjadi kewajiban dokter untuk mengembangkan keahlian dalam menilai

pendengaran pasien cilik dan untuk mengenali sumber-sumber yang

tersedia untuk mencapai tujuan ini. Perkembangn auditorik pada manusia

sangat erat hubungannya dengan perkembangan otak. Neuron di bagian

korteks mengalami proses pematangan dalam waktu 3 tahun pertama

kehidupan, dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan

otak yang sangat cepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, upaya

untuk melakukan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sedini

mungkin agar habilitasi pendengaran sudah dapat dimulai pada saat

perkembangan otak masih berlangsung.(1,2)

1. Dalam beberapa tahun terakhir, kesehatan organisasi di seluruh

negeri, termasuk American Academy of Otolaryngology - Bedah

Kepala dan Leher, telah bekerja untuk menyoroti pentingnya skrining

semua bayi yang baru lahir untuk gangguan pendengaran. Pada

prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini

mungkin walaupun derajat ketulian yang dialami seorang bayi / anak

hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya akan

mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Dalam keadaan

normal seorang bayi telah memiliki kesiapan berkomunikasi yang

efektif pada usia 18 bulan, berarti saat tersebut merupakan priode kritis

untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Pendengaran

semua bayi dan anak dapat dievaluasi. Pengukuran pendengaran bayi

/ anak dapat dibedakan dalam 5 kategori yaitu : (1) Behavioral

1

Page 2: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

Observation Audiometry (BOA), (2) Timpanometri, (3) Audiometri

bermain (play audiometry), (4) Otoacoustic Emission (OAE), (5)

Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Bayi yang

mempunyai salah satu faktor risiko mempunyai kemungkinan

mengalami ketulian 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi

yang tidak memiliki faktor risiko. Namun indicator risiko gangguan

pendengaran tersebut hanya dapat mendeteksi sekitar 50% gangguan

pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami gangguan

pendengaran tanpa memiliki faktor risiko dimaksud. Berdasarkan

pertimbangan tersebut maka saat ini upaya melakukan deteksi dini

gangguan pendengaran pada bayi ditetapkan melalui program

Newborn Hearing Screening (NHS), yang dikenal 2 macam program

NHS, yaitu : (1) Universal Newborn Hearing Screening (UNHS), (2)

Targeted Newborn Hearing Screening.(1,2,3)

II. ANATOMI

Telinga adalah organ pendengaran. Telinga dipersarafi oleh saraf

cranial, yakni bagian koklea saraf vestibulokoklear, yang distimulasi oleh

getaran yang disebabkan gelombang suara. Kecuali daun telinga (aurikel),

struktur yang membentuk telinga terbungkus begian petrosa tulang

temporal. Telinga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu telinga luar, tengah

(rongga timpani), dan dalam.(4)

1. Telinga luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai

membrane timpani. Telinga luar atau pinna (aurikula = daun telinga)

merupakan gabungan dari rawan yang diliputi kulit. Liang telinga

berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian

luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang.

Panjangnya kira-kira 2,5 – 3 cm.(2)

Liang telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun

bertulang di sebelah medial. Seringkali ada penyempitan liang telinga

pada perbatasan tulang dan rawan ini. Sendi temporomandibularis dan

2

Page 3: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

kelenjar parotis terletak di depan terhadap liang telinga sementara

prosesus mastoideus terletak di belakangnya.(1)

2. Telinga tengah

Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar, membrane

timpani; batas depan, tuba eustachius; batas bawah, vena jugularis

(bulbus jugularis); batas belakang, aditus ad antrum, kanalis fasialis

pars vertikalis; batas atas, tegmen timpani (meningen/otak); dan batas

dalam, berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis

horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap

bundar (round window) dan promontorium.(1)

Di dalam telinga tengah juga terdapat tulang-tulang pendengaran

yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes.

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.

Prosesus longus maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada

stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan

koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan

persendian.(1)

Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah

yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas

melampaui batas atas membrane timani, dan bahwa ada bagian yang

hipotimpanum yang meluas melampaui batas bawah membrane

timpani. Membrane timpani ini berbentuk bundar dan cekung bila dilihat

dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga.

Bagian atas disebut pars flaksida (membrane Shrapnell), sedangkan

bagian bawah pars tensa (membran propria).(1,2)

Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang

menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.(1)

3. Telinga dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua

setengah lingkaran dan vestibule yang terdiri dari 3 buah kanalis

semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema,

menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibule.(1)

3

Page 4: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-

setengah putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus,

berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf

kemudian berjalan menorobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis

oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ corti. Rongga cochlea

bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus cochlearis yang

panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Ion dan garam yang terdapat

di perilimfa berbeda dengan endolimfa, hal ini penting untuk

pendengaran. Bagian atas adalah skala vestibule, berisi perilimfe dan

dipisahkan dari duktus cochlearis oleh membrana Reissner yang tipis.

Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan

dipisahkan dari duktus cochlearis oleh lamina spiralis oseus dan

membrane basilaris. Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada

apeks cochlea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus cochlearis

melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema. Membrane

basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks

(nada rendah) dan tempat terletak organ corti.(1,2)

Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakkulus, utrikulus

dan kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung macula

yang diliputi oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah

suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini

terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan dengan berat jenis

yang lebih besar daripada endolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka

gaya dari otolit akan membengkokkan silia sel-sel rambut dan

menimbulkan rangsangan pada reseptor.(2)

Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit

yang juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Macula

utrikulus terletak pada bidang yang tegak lurus terhadap macula

sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-

masing kanalis mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk

ampula dan mengandung sel-sel rambut Krista. Sel-sel rambut

menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe adalah

4

Page 5: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya

akan membengkokkan silia sel-sel rambut Krista dan merangsang sel

reseptor.(2)

III. FISIOLOGI PENDENGARAN

Daun telinga, karena strukturnya, mengumpulkan gelombang dan

mengarahkannya ke sepanjang saluran telinga luar yang menyebabkan

membrane timpani bergetar. Getaran membrane timpani dihantarkan dan

diperkuat melalui telingah tengah oleh gerakan tulang pendengaran. Energi

getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang

menggerakkan tingkap lonjong, sehingga perilimfa pada skala vestibule

bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang

mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara

membrane basalis dan membrane tektoria. Proses ini merupakan rangsang

mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,

sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik

dari badan sel. Kemudian ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,

sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinaps yang akan

menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke

nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus

temporalis.(2,4)

Gelombang suara memiliki intensitas (volume dan nada tinggi). Tinggi

nada ditentukan oleh frekuensi gelombang suara dan diukur dalam Hertz

(Hz). Bunyi frekuensi yang berada menstimulasi membrane basilar pada

tempat yang berbeda sehingga memungkinkan perbedaan tinggi nada.

Volume bergantung pada besarnya gelombang suara dan diukur dalam

decibel (dB). Semakin tinggi amplitudo gelombang yang dihasilkan

endolimfe, semakin besar stimulasi reseptor pendengaran di sel rambut

organ corti, yang memngkinkan persepsi volume. Suara yang sangat keras

menyebabkan gangguan pendengaran, terutama jika terpapar lama,

karena suara yang keras merusak sel rambut organ corti yang sensitive.

Sampai tingat tertentu pinna adalah suatu “pengumpul” suara, sementara

5

Page 6: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

liang telinga karena bentuk dan dimensinya, dapat sangat memperbesar

suara dalam rentang 2 sampai 4 kHz; perbesaran pada frekuensi ini adalah

sampai 10 hingga 15 dB. Maka suara dalam rentang frekuensi ini adalah

yang paling berbahaya jika ditinjau dari trauma akustik. (1,4)

Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis

dan ventralis. Sebagian besar serabut dari inti melintas garis tengah dan

berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian

serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya terjadi pada inti

lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior, jaras

pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks

pendengaran pada lobus temporalis. Karena seringnya penyilangan

serabut-serabut saraf tersebut, maka lesi sentral jaras pendengaran hampir

tidak pernah menyebabkan ketulian unilateral.(1)

Serabut-serabut saraf vestibularis berjalan menuju salah satu dari

keempat inti vestibularis, dan dari sana disebarkan secara luas dengan

jaras-jaras menuju medulla spinalis, serebelum dan bagian-bagian susunan

saraf pusat lainnya.(1)

6

Page 7: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

IV. SKRINING PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK

Dibandingkan dengan orang dewasa, pemeriksaan pendengaran pada

bayi dan anak jauh lebih sulit dan memerlukan ketelitian dan kesabaran.

Selain itu pemeriksa harus memiliki pengetahuan tentang hubungan antara

usia bayi/anak dengan taraf perkembangan motorik dan auditorik.

Berdasarkan pertimbangan tersebut adakalanya perlu dilakukan

pemeriksaan ulangan atau pemeriksaan tambahan untuk melakukan

konfirmasi hasil pemeriksaan sebelumnya.(2)

Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan

anak: (2)

1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)

2. Timpanometri

3. Audiometri bermain (play audiometry)

4. Otoacoustic Emission (OAE)

5. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)

7

Page 8: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)

Tes ini berdasarkan respon aktif pasien terhadap stimulus bunyi

dan merupakan respon yang disadari (voluntary response). Behavioral

audiometry penting untuk mengetahui respon subyektif sistim auditorik

pada bayi dan anak, dan juga bermanfaat untuk penilaian rehabilitasi

pendengaran yaitu pada pengukuran alat bantu dengar (hearing add

fitting). Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap tahap usia

perkembangan bayi, namun pilihan jenis tes harus disesuaikan dengan

usia bayi.(2)

Pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang cukup tenang (bising

lingkungan tidak lebih dari 60dB), idelanya pada ruang kedap suara

(sound proof room). Sebagai sumber bunyi sederhana dapat

digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastik berisi pasir, remasan

kertas minyak, bel, terompet karet, mainan yang mempunyai bunyi

frekuensi tinggi (squaker key) dll.(2)

Dinilai kemampuan anak dalam memberikan respon terhadap

sumber bunyi tersebut. Pemeriksaan Behavioral Observation

Audiometry dibedakan menjadi: (2)

a. Behavioral Reflex Audiometry

Dilakukan pengamatan respons behavioral yang bersifat reflex

sebagai reaksi terhadap stimulus bunyi. Respon behavioral yang

dapat diamati antara lain: mengejapkan mata (auropalpebral reflex),

melebarkan mata (eye widening), mengerutkan wajah (grimacing),

berhenti menyusu (cessation reflex), denyut jantung meningkat,

reflex moro (paling konsisten). Refleks auropalpebral dan moro

rentan terhadap efek habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan

berulang-ulang bayi menjadi bosan sehingga tidak memberi respon

walaupun dapat mendengar. Bila kita mengharapkan terjadinya

Refleks Moro dengan stimulus bunyi keras sebaiknya dilakukan

pada akhir prosedur karena bayi akan terkejut, takut dan menangis,

sehingga menyulitkan observasi selanjutnya.

8

Page 9: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

b. Behavioral Response Audiometry

Pada bayi normal sekitar usia 5- 6 bulan, stimulus akustik akan

menghasilkan pola respon khas berupa menoleh atau

menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi diluar lapangan

pandang. Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horizontal,

dan dengan bertambahnya usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi

dari arah bawah. Selanjutnya bayi mampu mencari sumber bunyi

dari bagian atas. Pada bayi normal kemampuan melokalisir sumber

bunyi dari segala arah akan tercapai pada usia 13 – 16 bulan.

Teknik yang sering dipakai ada dua macam, yakni Tes Distraksi dan

Visual Reinforcement Audiometry (VRA).

Pada tes distraksi, pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap

suara, menggunakan stimulus nada murni. Bayi dipangku oleh ibu

atau pengasuh. Diperlukan 2 orang pemeriksa, pemeriksa pertama

bertugas untuk menjaga konsentrasi bayi, misalnya dengan

memperlihatkan mainan yang tidak terlalu menarik perhatian, selain

memperhatikan respon bayi. Pemeriksa kedua berperan

memberikan stimulus bayi, misalnya dengan audiometer yang

terhubung dengan pengeras suara. Respon terhadap bunyi adalah

menggerakkan bola mata atau menoleh kearah sumber bunyi. Bila

tidak ada respon terhadap stimulasi bunyi, pemeriksaan diulangi

sekali lagi. Kalau tetap tidak berhasil, pemeriksaan ketiga dilakukan

lagi 1 minggu kemudian. Seandainya tetap tidak ada respon, harus

dilakukan pemeriksaan audiologik lanjutan yang lebih lengkap.

Teknik Visual Reinforcement Audiometry mulai dapat dilakukan

pada bayi usia 4-7 bulan dimana kontrol neuromotor berupa

kemampuan mencari sumber bunyi sudah berkembang. Pada masa

ini, respon unconditioned beralih menjadi respon conditioned.

Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan stimulus visual, bayi

akan memberi respon orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara

menoleh kearah sumber bunyi.

9

Page 10: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

2. TIMPANOMETRI

Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah.

Gambaran timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan

negative di telinga tengah) merupakan pentunjuk adanya gangguan

pendengaran konduktif.(2)

Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada

liang telinga dapat diketahui besarnya tekanan di liang telinga

berdasarkan energi suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh

gendang telinga. Pada orang dewasa atau bayi berusia diatas 7 bulan

digunakan probe tone frekuensi 226 Hz. Khusus untuk bayi dibawah

usia 6 bulan tidak digunakan probe tone 226 Hz karena akan terjadi

resonansi pada liang telinga sehingga harus digunakan probe tone

frekuensi tinggi (668, 678, atau 1000 Hz).(2)

Terdapat 4 jenis timpanogram, yaitu:(2,5)

1. Tipe A (normal)

2. Tipe AD (diskontinuitas tulang-tulang pendengaran)

3. Tipe AS (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)

4. Tipe B (cairan di dalam telinga tengah)

5. Tipe C (gangguan fungsi tuba eustachius)

Pada bayi kurang dari bulan ketentuan jenis timpanogram tidak

mengikuti ketentuan diatas. Timpanometri merupakan pemeriksaan

pendahuluan sebelum tes OAE, dan bila terdapat gangguan pada

telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga

tengah normal.(2)

3. AUDIOMETRI BERMAIN (PLAY AUDIOMETRY)

Pemeriksaan play audiometry (conditioned play audiometry)

meliputi teknik melatih anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai

pengamatan respon motorik spesifik dalam suatu aktivitas permainan.

Misalnya sebelum pemeriksaan anak dilatih (conditioned) untuk

memasukkan benda tertentu ke dalam kotak segera setelah

mendengar bunyi. Diperlukan 2 orang pemeriksa, yang pertama

10

Page 11: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

bertugas memberikan stimulus melalui audiometer sedangkan

pemeriksa kedua melatih anak dan mengamati respon. Stimulus

biasanya diberikan melalui headphone. Dengan mengatur frekuensi

dan menentukan intensitas stimulus bunyi terkecil yang dapat

menimbulkan respon dapat ditentukan ambang pendengaran pada

frekuensi tertentu (spesifik).(2)

4. OTOACOUSTIC EMISSION (OAE)

Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi

stimulus listrik, selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf

pendengaran. Sebagian bunyi tidak dikirim ke saraf pendengaran

melainkan kembali menuju ke liang telinga. Produk sampingan koklea

ini selanjutnya disebut sebagai emisi otoakustik (Otoacoustic

Emission). Emisi otoakustik juga digunakan sebagai skrining dan tes

pendengaran yang dimana anak tidak kooperatif atau mentalnya

terganggu akibat penggunaan obat yang berefek sedasi.(2,5)

Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik

untuk menilai fungsi koklea yang obyektif, otomatis (menggunakan

kriteria pass/lulus dan refer/tidak lulus), tidak invasif, mudah, tidak

membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga sangat efisien untuk

program skrining pendengaran bayi baru lahir (Universal newborn

Hearing Screening).(2)

Pemeriksaan tidak harus diruang kedap suara, cukup di

ruangan yang tenang. Pada mesin OAE generasi terakhir nilai OAE

secara otomatis akan dikoreksi dengan noise yang terjadi selama

pemeriksaan. Artefak yang terjadi akan diseleksi saat itu juga (real

time). Hal tersebut menyebabkan nilai sensitifitas dan spesifitas OAE

yang tinggi. Untuk memperoleh hasil yang optimal diperlukan pemilihan

probe (sumbat liang telinga) sesuai ukuran liang telinga. Sedatif tidak

diperlukan bila bayi dan anak koperatif.(2)

Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek

negatif dari obat ototoksik, diagnosis neuropati audiotorik, membantu

11

Page 12: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

proses pemilihan alat bantu dengar, skrining pemaparan bising (noise

induced hearing loss) dan sebagai pemeriksaan penunjang pada

kasus-kasus yang berkaitan dengan gangguan koklea, seperti

neuropati auditori.(2,5)

5. BRAINSTEM EVOKED RESPONSE AUDIOMETRY (BERA)

BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai

integritas sistem auditorik, bersifat obyektif, tidak invasif. Dapat

memeriksa bayi, anak, dewasa, penderita koma. BERA merupakan

cara pengukuran evoked potential (aktivitas listrik yang dihasilkan

n.VIII, pusat-pusat neural dan traktus didalam batang otak) sebagai

respon terhadap stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang digunakan

berupa bunyi click atau toneburst yang diberikan melalui headphone,

insert probe, bone vibrator. Respon terhadap stimulus auditorik berupa

evoked potential yang sinkron, direkam melalui elektroda permukaan

(surface electrode) yang ditempelkan pada kulit kepala (dahi dan

prosesus mastoideus), kemudian diproses melalui program komputer

dan ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi positif (gelombang I

sampai V) yang terjadi sekitar 2 – 12 ms setelah stimulus diberikan.

Analisis gelombang BERA berdasarkan morfologi gelombang, masa

laten, dan amplitude gelombang.(2)

Secara klinis BERA berguna pada beberapa kondisi. Pertama

uji ini sangat membantu dalam diagnosis tumor sudut serebelopontin.

Kedua, dapat pula membantu pada penyakit meniere atau pusing non-

meniere lainnya. Ketiga, BERA berguna dalam menetapkan ambang

pendengaran pada bayi dan pasien-pasien yang sukar diperiksa.

Akhirnya, uji ini mungkin bernilai dalam evaluasi gangguan proses

pendengaran. Pada anak yang “lebih tua” mungkin diperlukan sedasi

dengan kloral hidrat untuk membatasi aktivitasnya. Tindakan ini tidak

mempengaruhi hasil pengujian. Adakalanya diperlukan anastesia

umum untuk menenangkan anak yang hiperaktif. Walaupun hal ini

tidak diinginkan namun dapat berhasil baik.(6)

12

Page 13: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

VII. PROGRAM SKRINING GANGGUAN PENDENGARAN

Untuk dapat melakukan deteksi dini pada seluruh bayi dan anak

relatif sulit, karena akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya besar.

Progam skrining sebaiknya diprioritaskan pada bayi dan anak yang

mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan pendengaran. Untuk maksud

tersebut Joint Committee on Infant Hearing (2000) menetapkan pedoman

registrasi risiko tinggi terhadap ketulian sebagai berikut: (2)

Untuk bayi 0-28 hari:

1. Kondisi atau penyakit yang memerlukan perawatan NICU (neonatal

ICU) selama 48 jam atau lebih

2. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu

yang diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural atau

konduktif

3. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang

menetap sejak masa anak-anak

4. Anomali kraniofasial termasuk kelainan morfologi pinna atau liang

telinga

5. Infeksi intrauterine seperti toxoplasma, rubella, virus sitomegalo,

herpes, sifilis.

Untuk bayi 29 hari – 2 tahun:

1. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran,

keterlambatan bicara, berbahasa dan atau keterlambatan

perkembangan

2. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap sejak

masa anak-anak

3. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu

yang diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural,

konduktif atau gangguan fungsi tuba eustachius

4. Infeksi post natal yang menyebabkan gangguan pendengaran

sensorineural termasuk meningitis bakterialis

13

Page 14: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

5. Infeksi intrauterine seperti toxoplasma, rubella, virus sitomegalo,

herpes, sifilis

6. Adanya faktor resiko tertentu pada masa neonatus, terutama

hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi

pulmonal yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang

memerlukan extra-corporeal membrane oxygenation (ECMO)

7. Sindrom tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran

yang progresif seperti Usher syndrome, neurofibromatosis,

osteopetrosis

8. Adanya kelainan neurodegeneratif seperti hunter syndrome, dan

kelainan neuropati sensomotorik misalnya Friederich’s ataxia, Charrot-

Marie Tooth Syndrome

9. Trauma kapitis

10.Otitis media yang berulang atau menetap disertai efusi telinga tengah

minimal 3 bulan.

Bayi yang mempunyai salah satu faktor risiko tersebut

mempunyai kemungkinan mengalami ketulian 10,2 kali lebih besar

dibandingkan dengan bayi yang tidak memiliki faktor risiko. Bila

terdapat 3 buah faktor risiko kecenderungan menderita ketulian

diperkirakan 63 kali lebih besar dibanding bayi yang tidak mempunyai

faktro risiko tersebut. Pada bayi baru lahir yang dirawat di ruangan

intensif (ICU) risiko untuk mengalami ketulian 10 kali lipat dibandingkan

dengan bayi normal.(2)

Namun indikator risiko gangguan pendengaran tersebut hanya

dapat mendeteksi sekitar 50% gangguan pendengaran karena

banyaknya bayi yang mengalami gangguan pendengaran tanpa

memiliki faktro risiko dimaksud. Berdasarkan pertimbangan tersebut

maka saat ini upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran

pada bayi ditetapkan melalui program Newborn Hearing Screening

(NHS).

14

Page 15: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

Saat ini baku emas pemeriksaan skrining pendengaran pada bayi

adalah pemeriksa Otoacoustic Emission (OAE) dan Automated ABR

(AABR).(2)

Dikenal dua macam program NHS, yaitu: (2,7)

1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)

UNHS bertujuan melakukan deteksi dini gangguan pendengaran

pada semua bayi baru lahir. Upaya skrining pendengaran ini sudah

dimulai pada saat usia dua hari atau sebelum meninggalkan rumah

sakit. Untuk bayi yang lahir pada fasilitas kesehatan yang tidak

memiliki program UNHS paling lambat pada usia satu bulan sudah

melakukan skrining pendengaran.

Di negara maju dilakukan Newborn Hearing Screening (NHS) yang

dilakukan pada semua bayi sebelum bayi keluar dari rumah sakit,

kemudian diulangi pemeriksaan saat bayi usia 3 bulan untuk

memastikan adanya ketulian. Selanjutnya sejak umur 6 bulan sudah

mulai ada habilitasi (penanganan).

2. Targeted Newborn Hearing Screening

Di Negara berkembang program UNHS masih sulit untuk

dilakukan karena memerlukan biaya dan SDM yang cukup besar

dan harus didukung oleh suatu peraturan dari pemerintah setempat.

Atas pertimbangan tersebut kita dapat melakukan program skirining

pendengaran yang lebih selektif, dan terbatas pada bayi yang

memiliki faktor risiko terhadap gangguan pendengaran. Program ini

dikenal sebagai Targeted Newborn Hearing Screening.

15

Page 16: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

FAKTOR RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK

Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan

berdasarkan saat terjadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa

pranatal, perinatal dan postnatal.

1. Masa Prenatal

1.1 Genetik Herediter

1.2 Non genetik seperti gangguan / kelainan pada masa kehamilan,

kelainan struktur anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya

defisiensi jodium)

Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trisemester

pertama sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada

masa tersebut dapat menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri

maupun virus pada ibu hamil seperti Cytomegalovirus, Herpes dan

Sifilis (TORCHS) dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang

akan dilahirkan.

Beberapa jenis obat sitotoksik dan teratogenik berpotensi menganggu

proses organogenesis dan merusak sel – sel rambut koklea seperti

salisilat, kina, Neomisin, dihidro streptomisin, gentamisin, barbiturat,

thalimode.

Selain itu malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia, liang

telinga dan aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian.

2. Masa Perinatal

Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan

faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran / ketulian seperti

prematur, berat badan lahir rendah (< 2500 gram), hiperbilirubinemia,

asfiksia (lahir tidak menangis).

16

Page 17: s k r i n i n g p e n d e n g a r a n

Umumnya ketulian yang terjadi akibat faktor prenatal dan perinatal

adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat atau

sangat berat.

3. Masa Postnatal

Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis,

infeksi otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah,

trauma temporal juga dapat menyebabkan tuli saraf atau tuli konduktif.

17


Related Documents