YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: Reff kegawatdaruratan paru

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Manusia memiliki 2 proses pernafasan dalam tubuh, yaitu

pernafasan luar (eksterna), suatu penyerapan oksigen dan

pengeluaran karbondioksida dari tubuh secara keseluruhan serta

pernafasan dalam (interna), penggunaan oksigen dan pembentukan

karbondioksida oleh sel-sel serta pertukaran gas antara sel-sel tubuh.

Secara garis besar terdapat empat tahapan proses pernapasan

diantaranya yaitu, 1) ventilasi paru, 2) difusi O2 dan CO2 melalui

membran respirasi, 3) transportasi O2 dan CO2 dari & kedalam sel, 4)

pengaturan ventilasi oleh saraf.(1)

Gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas dalam paru

terganggu, yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan suatu

keadaan yang disebut gagal nafas akut yang ditandai dengan

menurunnya kadar oksigen dalam arteri (hipoksemia) atau naiknya

kadar karbondioksida (hiperkarbia) atau kombinasi keduannya.

Kedaruratan paru atau pernafasan merupakan faktor yang

diperhitungkan dalam gawat darurat pasien, banyak kasus yang gagal

bukan akibat penyakit primernya, tetapi karena kegagalan fungsi

pernafasan baik karena gangguan sentral maupun akibat infeksi.

Berbagai keadaan dapat menimbulkan gangguan respirasi yang

serius dan membahayakan jiwa. Keadaan ini berkisar antara: 1)

Penyakit primer yang mengenai sistem bronkopulmoner seperti

hemoptisis masif, pneumotorak ventil, status asmatikus, Edema paru

dan pneumonia berat.(2) 2) Gangguan fungsi paru yang sekunder

terhadap gangguan organ lain seperti keracunan obat yang

menimbulkan depresi pusat pernafasan. Pada semua keadaan,

perhatian utama harus lebih ditujukan kepada tindakan penyelamatan

dari pada penyelidikan diagnostik. Bila tindakan penyelamatan telah

1

Page 2: Reff kegawatdaruratan paru

berjalan, selanjutnya dilaksanakan evaluasi dan pengelolaan penyakit

dasar pasien.

B. Tujuan

Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran secara

singkat mengenai kegawatdaruratan paru, agar dapat mendiagnosis

dan menangani kegawatdaruratan paru secara cepat dan tepat.

2

Page 3: Reff kegawatdaruratan paru

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kegawatdaruratan paru

Gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas dalam paru

terganggu, atau suatu kegagalan paru memperoleh O2 dari udara luar,

yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan suatu keadaan yang

disebut gagal nafas akut yang ditandai dengan menurunnya kadar oksigen

dalam arteri (hipoksemia) atau naiknya kadar karbondioksida (hiperkarbia)

atau kombinasi keduannya. Penyebab gawat paru diantaranya yaitu

hemoptisis masif, pneumotorak ventil, status asmatikus, edema paru dan

pneumonia berat.(2)

Pada pasien sakit berat perlu segera dilakukan koreksi gangguan

oksigenisasi, ventilasi dan keseimbangan asam basa.

1. Oksigenisasi

Segera berikan O2 pada pasien dengan tanda hipoksemi

(misalnya sianosis). Perlu diingat bahwa O2 tidak akan memperbaiki

hipoksi yang disebabkan oleh Cardiac output yang rendah, anemi

berat, right to left A-V shunt. Pada pasien penyakit paru obstruktif

kronik (PPOK) dan retensi CO2 pemberian O2 yang berlebihan

dapat menimbulkan gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q) lebih

lanjut atau menghilangkan rangsang pusat respirasi, meningkatkan

CO2 dan asidosis respirasi dan pemburukan ke-adaan pasien. Pada

pasien PPOK berikan O2 terbatas dengan Venturi mask (FIO2 24%–

28%).

2. Bantuan ventilator

Indikasi intubasi dan pemakaian alat bantu pernafasan yaitu bila :

Keadaan memburuk walaupun telah mendapatkan O2

secukupnya

Tidak mampu bernafas spontan

3

Page 4: Reff kegawatdaruratan paru

Pada penyakit paru akut hal ini ditandai oleh adanya: Gambaran

klinik adanya gangguan perfusi paru, kardiovaskuler dan

neurologis yang serius

Dikonfirmasi dengan hasil analisis gas darah berupa hipoksemi

berat (pO2 <55–60 mmHg), peningkatan CO2 akut dan pH yang

rendah.

3. Asidosis

Gangguan keseimbangan asam basa yang ringan sampai berat

umum terjadi pada gangguan fungsi respirasi yang akut. Kelainan

ini dikoreksi dengan mengingat pengaruh faktor metabolik, respirasi

dan penyakit dasar pasien.

4. Komplikasi akut

Komplikasi akut sering menyertai penyakit paru akut, diakibatkan

oleh gangguan oksigenasi atau asam basa, penyakit dasar pasien,

dan terapi yang tidak tepat dapat berupa gangguan respirasi:

bronkospasme, infeksi, aspirasi, obstruksi jalan nafas,

pneumotorak, tromboemboli, atau gangguan kardiovaskuler,

neurologik, dan metabolik.

KEDARURATAN MEDIK PARU PRIMER

A. Hemoptisis

Hemoptisis atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak

yang mengandung darah, akibat perdarahan dari saluran nafas

dibawah laring atau perdarahan yang keluar ke saluran nafas dibawah

laring.

Menurut Busroh (1978) yang disebut hemoptisis masif adalah :

1. batuk darah >600 cc / 24 jam dan perdarahan tidak berhenti

2. batuk darah <600 cc / 24 jam dan tetapi >250 cc / 24 jam jam dgn

kadar Hb <10 g%, batuk darah tetap berlangsung

4

Page 5: Reff kegawatdaruratan paru

3. batuk darah <600 cc / 24 jam dan tetapi >250 cc / 24 jam, Hb <10 g

%, 48 jam dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak

berhenti

Klasifikasi menurut Pusel (2,3,4) :

1) + : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-

garis dalam sputum

2) ++ : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml

3) +++ : batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml

4) ++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml

Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis

sedang, positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.

1. Etiologi Hemoptisis

Infeksi Tuberculosis, Keganasan/tumor paru, Bronkiektasis, Abses

paru, Pneumonia bakterial, Bronkitis kronik, Infeksi jamur, Trauma,

Kelainan vaskuler, Autoimun, Gangguan sistem pembekuan darah.(5)

2. Patofisiologi

a. Infeksi / radang pada jaringan parenkim atau pembuluh darah

sehingga menyebabkan mukosa jalan napas pecah.

Perdarahan pada penderita TB dapat terjadi karena robekan

pembuluh darah pada dinding kavitas (aneurisma rassmussen)

b. Kongesti aliran darah vena pulmonalis kapiler pecah

c. Kelainan auto imun alveolokapiler  membran basalis

terganggu sehingga mudah pecah (Good pastures syndrome)

d. Invasi tumor menyebabkan pembentukan jaringan dan

pembuluh darah baru yang bersifat rapuh, sehingga membrana

mukosa mudah terjadi pendarahan

e. Trauma pada thorax sehingga terjadi transudasi darah ke

dalam alveoli

3. Diagnostik

5

Page 6: Reff kegawatdaruratan paru

Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan urutan

pemeriksaan sebagai berikut :

1) Anamnesis teliti

Perlu dipastikan apakah penderita benar-benar

mengalami batuk darah bukan epitaksis atau muntah darah.

Muntah darah karena varises esofagus atau ulkus peptikum

dapat menyerupai batuk darah. Untuk membedakan antara

batuk darah dengan muntah darah dapat dipergunakan

petunjuk sebagai berikut :

Keadaan Hemoptisis Hematemesis

ProdromaRasa tidak enak ditenggorokan, ingin batuk

Mual, Stomach distress

OnsetDarah dibatukkan, dapat disertai dengan muntah

Darah dimuntahkan dapat disertai dengan batuk

Bentuk darah Berbuih Tidak Berbuih

Warna darah Merah segar Merah tua

Isi Leukosit, mikroorganisme, makrofag, hemosiderin

Sisa makanan

Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)

Riwayat penyakit dahulu

Menderita kelainan paruGangguan lambung, kelainan hepar

Anemi Kadang-kadang Selalu

Tinja Warna tinja normalWarna tinja bisa berwarna hitam

Hal-hal yang perlu ditanyakan:

a) Batuk dan ekspektorasi dahak bersifat mukopurulen atau

purulen.

Batuk dengan dahak purulen atau mukopurulen

menunjukkan adanya infeksi seperti bronkitis, pneumoni

atau abses paru serta bronkiektasis, yang semuanya

dapat menyebabkan batuk darah.

b) Riwayat kelainan katup jantung 6

Page 7: Reff kegawatdaruratan paru

Adanya riwayat kelainan katup jantung, akan

mengarahkan kecurigaan terhadap kemungkinan adanya

stenosis katup mitral. Dalam keadaan demikian darah

yang dibatukkan berasal dari anastomosis vena

bronkopulmonal yang terdapat di dinding bronkus.

c) Batuk darah yang menyertai cedera dada atau trauma

thorax

Adanya cedera dada atau trauma akan menyebabkan

pecahnya pembuluh darah trakeobronkial atau pecahnya

kista paru, akan menimbulkan batuk darah.

d) Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah

Keadaan ini akan menunjukkan adanya diatesa

hemoragik (keadaaan kecenderungan terjadi perdarahan

spontan) atau diskrasia darah (hiperkoagulabilitas)

e) Perokok berat yang telah berlangsung lama

Adanya batuk darah pada penderita yang merokok dan

telah berlangsung lama serta berumur lebih dari 40

tahun, akan mengarahkan perhatian kita terhadap

proses keganasan di paru.

f) Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta

sakit dada

Adanya batuk darah disertai dengan keluhan sakit di

tungkai atau adanya edema akan mengarahkan

perhatian terhadap adanya infark paru; untuk keadaan

demikian, batuk darah merupakan petunjuk adanya

penyakit dengan risiko tinggi.

g) Hematuri yang disertai dengan batuk darah

Adanya batuk darah disertai hematuri akan menimbulkan

kecurigaan kita adanya kelainan yang disebabkan oleh

Wegener's granulomatosis, Goodpastures syndrome

atau Lupus erythematosus.

7

Page 8: Reff kegawatdaruratan paru

2) Pemeriksan Fisik

Pada pemeriksaan fisik hendaklah dicari gejala/tanda lain

diluar paru yang dapat mendasari terjadinya batuk darah,

antara lain :

a) Jari tabuh

Tanda ini menunjukkan adanya karsinoma paru,

bronkiekasis, abses paru yang bersifat kronis.

b) Bising sistolik dan opening snap

Tanda ini merupakan pertanda penyakit katup mitral.

c) Pembesaran kelenjar limfe

Pembesaran kelenjar servikal, skalenus dan

supraklavikula dapat terjadi akibat anal sebar karsinoma

bronkus.

d) Ulserasi septum nasalis

Kerusakan septum nasalis merupakan pertanda adanya

penyakit granulomatosis.

e) Teleangiektasi

Teleangiektasi di bibir dan mukosa merupakan pertanda

adanya penyakit Rendu-Osler-Weber.

3) Pemeriksaan Laboratorium

Pada keadaan darurat, pemeriksaan laboratorium dapat

dibatasi pada pemeriksaan Hb yang kemudian diikuti dengan

pemeriksaan darah rutin, urine dan tinja. Pemeriksaan

pembekuan darah meliputi protrombin dan partial

thromboplastine time dilakukan bila memang diperlukan.

Pemeriksaan sputum berupa pemeriksaan Gram, BTA, kultur

bakteri, jamur perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya

infeksi yang mendasari terjadinya batuk darah tersebut.

Pemeriksaan sitologi sputum dilakukanbila ada kecurigaan

terhadap keganasan. Pemeriksaan ini ditujukan terutama

pada penderita dengan risiko besar untuk mendapat

8

Page 9: Reff kegawatdaruratan paru

kanker paru, seperti pada laki-laki perokok berat usia di atas

40 tahun, meskipun foto toraks tampak normal.

4) Pemeriksaan Khusus

a. Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat

pada setiap penderita hemoptisis masif, ditambah

dengan dalam posisi lordotik dan oblik dengan tujuan

untuk mendapatkan diagnosis lebih khusus. Gambaran

opasitas dapat menunjukkan tempat dan kemungkinan

penyebab.

b. Batuk darah masif merupakan indikasi kuat untuk

pemeriksaan bronkoskopi. Bronkoskopi dilakukan untuk

mengevaluasi hemoptisis masif terutama pada orang tua

di mana foto toraks tidak memperlihatkan kelainan,

terlebih-lebih bila terdapat riwayat perokok berat. Hal ini

sangat penting, mengingat pada stadium dini,

kanker paru yang menyebabkan batuk darah masif dapat

disembuhkan dengan tindakan bedah saja. Pemeriksaan

bronkoskopi yang tidak memperlihatkan kelainan belum

dapat menyingkirkan kemungkinan adanya tumor ganas

paru.

c. Sputum, untuk pemeriksaan bakteriologik dan patologik.

d. Analisis gas darah, dapat membantu dalam hal

aneurisma AV.

e. Lain-lain - pemeriksaan urine, Hb, hematokrit, lekosit,

trombosit, pemeriksaan waktu perdarahan/pembekuan

atau lainnya

4. Penatalaksanaan

Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :

- Terapi konservatif

9

Page 10: Reff kegawatdaruratan paru

- Terapi definitif atau pembedahan

a) Terapi konservatif (6,7)

Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi

miring (lateral decubitus). (6) Kepala lebih rendah dan

miring ke sisi yang sakit untuk mencegah aspirasi darah

ke paru yang sehat atau posisi trendelenburg. (4)

Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi

perdarahan.

Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah

di dalam saluran saluran napas untuk mencegah bahaya

sufokasi (sumbatan jalan nafas).

Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya

menenangkan penderita.

Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat

hemostasis), misalnya vit. K, ion kalsium, trombin,

Carbazochrome Na sulfonate (Adona).

Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.

Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya

perdarahan yang terjadi.

Pemberian oksigen.

Tindakan selanjutnya bila mungkin (4) :

10

Page 11: Reff kegawatdaruratan paru

o Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi

o Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal

aspirasi darah dengan bronkoskopi dan pemberian

adrenalin pada sumber perdarahan.

b) Terapi pembedahan

Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan

pilihan. (8)

Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan (6) :

a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan

pasien.

b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa

angka kematian pada perdarahan yang masif menurun

dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi.

c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab

terjadinya hemoptisis yang berulang dapat dicegah.

Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan

sebagai berikut (6) :

1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24

jam dan dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.

2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc /

24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan

kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya

masih terus berlangsung.

3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc /

24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb

kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang

disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut

tidak berhenti.

Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin

diperiksa faal paru dan dipastikan asal perdarahannya,

sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi,

11

Page 12: Reff kegawatdaruratan paru

lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa

torakoplasti. (4)

Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk

menghentikan perdarahan. Metode yang mungkin digunakan

adalah (6) :

- Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan

dengan bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada lokasi

bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis

pada suhu 4°C sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60

detik. Cairan ini kemudian dihisap dengan suction.

- Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20

cm penampang 8,5 mm

5. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptisis,

yaitu ditentukan oleh tiga faktor (6) :

1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah

dalam saluran pernapasan.

2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis

dapat menimbulkan renjatan hipovolemik.

3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun

sisa makanan ke dalam jaringan paru yang sehat bersama

inspirasi.

6. Prognosis

Pada hemoptisis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila

penderita mengalami hemoptisis yang rekuren. Sedangkan

pada hemoptisis sekunder ada beberapa faktor yang

menentukan prognosis :

1. Tingkatan hemoptisis : hemoptisis yang terjadi pertama kali

mempunyai prognosis yang lebih baik.

2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.

12

Page 13: Reff kegawatdaruratan paru

3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera

dilakukan untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat

menyelamatkan penderita.(9)

B. Pneumotoraks

1. Definisi

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas

di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena.(11)

2. Klasifikasi

Klasifikasi menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu(11,12) :

a. Pneumotoraks spontan yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi

secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi

ke dalam dua jenis, yaitu :

1) Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang

terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.

2) Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang

terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah

dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru

obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan

infeksi paru.

b. Pneumotoraks traumatik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat

adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan,

yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.

Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam

dua jenis, yaitu :

1) Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks

yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada

dinding dada, barotrauma.

13

Page 14: Reff kegawatdaruratan paru

2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks

yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.

Pneumotoraks jenis ini pun masih dibedakan menjadi dua,

yaitu :

a) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental adalah

suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis

karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut,

misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.

b) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)

adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan

dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura.

Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan,

misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era

antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.

Berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat

diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (13) :

a. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax) Pada tipe ini,

pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada

dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.

Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun

lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh

jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum

mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,

meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada

waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga

pleura tetap negatif.

b. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax), Yaitu

pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura

dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar

(terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan

14

Page 15: Reff kegawatdaruratan paru

intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada

pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol.

Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang

disebabkan oleh gerakan pernapasan. Pada saat inspirasi

tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan

menjadi positif . Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum

dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum

bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound).(12)

c. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax) Adalah

pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan

makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura

viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk

melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya

terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi

udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar . Akibatnya

tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan

melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga

pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan

gagal napas. (12)

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka

pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (13) :

a. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan

pada sebagian kecil paru (< 50% volume paru).

b. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai

sebagian besar paru (> 50% volume paru).

3. Gejala klinis yang muncul berdasarkan anamnesis. (12,13,14)

a. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien.

Seringkali sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin

15

Page 16: Reff kegawatdaruratan paru

berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan

mulut terbuka.

b. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri

dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan

terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.

c. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.

d. Denyut jantung meningkat.

e. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang

kurang.

f. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10%

pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

4. Diagnosis

a. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (11,13):

1) Inspeksi :

a) Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper

ekspansi dinding dada)

b) Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya

tertinggal

c) Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat

2) Palpasi :

a) Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau

melebar

b) Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat

c) Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang

sakit

3) Perkusi :

a) Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan

tidak menggetar

16

Page 17: Reff kegawatdaruratan paru

b) Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila

tekanan intrapleura tinggi

4) Auskultasi :

a) Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai

menghilang

b) Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni

negatif

b. Pemeriksaan Penunjang

1) Foto Rontgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto

rontgen kasus pneumotoraks antara lain (15):

a) Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru

yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru.

Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis,

akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.

b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa

radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini

menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps

paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak

napas yang dikeluhkan.

c) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat,

spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan

tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau

trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah

terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura

yang tinggi.

Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi

keadaan sebagai berikut (11):

a) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada

tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi

17

Page 18: Reff kegawatdaruratan paru

apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga

udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.

b) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam

dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari

pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di

mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang

lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat

banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara,

sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka

dapat mendesak jaringan ikat tersebut,

c) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan

tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas

diafragma Foto Rontgen pneumotoraks (PA), bagian yang

ditunjukkan dengan anak panah merupakan bagian paru yang

kolaps

2) Analisa Gas Darah

Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran

hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak

diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat

secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

3) CT-scan thorax

CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara

emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara

dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk

membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan

sekunder.

5. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk

mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan

18

Page 19: Reff kegawatdaruratan paru

kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya,

penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :

a. Observasi dan Pemberian O2

Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga

pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga

pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan

meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan

dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam

pertama selama 2 hari. Tindakan ini terutama ditujukan untuk

pneumotoraks tertutup dan terbuka.(13)

b. Tindakan dekompresi

Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus

pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini

bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan

membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar

dengan cara (12):

1) Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga

pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga

pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar

melalui jarum tersebut.(12,13)

2) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :

a) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada

sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang

telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan

ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka,

akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus

set yang berada di dalam botol. (13)

b) Jarum abbocath

Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan

jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi

yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga

19

Page 20: Reff kegawatdaruratan paru

pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini

kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa

infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air.

Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung

udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di

dalam botol. (13)

c) Pipa water sealed drainase (WSD)

Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga

pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan

klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui

celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela

iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris

posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis

mid klavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks kateter

segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar

dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih

tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks

yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui

pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di

botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air

supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar

melalui perbedaan tekanan tersebut. (11,13)

Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan

intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan

memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cmH2O, dengan

tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah

mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah

negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji

coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk

selama 24 jam. Apabila tekanan dalam ronggapleura

kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut.

20

Page 21: Reff kegawatdaruratan paru

Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam

keadaan ekspirasi maksimal. (12)

d) Torakoskopi

Suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga

toraks dengan alat bantu torakoskop.

e) Torakotomi

f) Tindakan bedah

Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi,

kemudian dicari lubang yang menyebabkan

pneumotoraks kemudian dijahit.

Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura

yang menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka

dapat dilakukan dekortikasi.

Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang

mengalami robekan atau terdapat fistel dari paru yang

rusak

Pleurodesis

Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,

kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di

tempat fistel.

6. Pengobatan Tambahan

a. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan

tambahan ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap

proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi

saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator .(13)

b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.

c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah

dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi,

seperti emfisema. (11)

21

Page 22: Reff kegawatdaruratan paru

7. Rehabilitasi

a. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan

pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.

b. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk

atau bersin terlalu keras.

c. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,

berilah laksan ringan.

d. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada

keluhan batuk, sesak napas.

C. Status asmatikus

1. Definisi

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik jalan napas yang

disebabkan oleh berbagai jenis sel radang termasuk sel mast dan

eosinofil. Menurut Varney (2003) Asma adalah radang kronis pada

jalan nafas yang berkaitan dengan obstruksi reversible dari

spasme, edema, dan produksi mucus dan respon yang berlebihan

terhadap stimuli.

Eksaserbasi asma (serangan asma) adalah episode progresif

peningkatan gejala pendek napas, batuk, mengi, sesak dada atau

kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Hal ini adalah pertanda

kegagalan pengelolaan asma jangka panjang atau adanya

pencetus. Tingkat serangan asma berkisar antara ringan sampai

berat, yang berkembang dalam beberapa hari atau jam namun

kadang-kadang bisa dalam beberapa menit. Mortalitas paling sering

berhubungan dengan salah menilai beratnya serangan, kurang

cukupnya tindakan pada saat awal serangan dan kurangnya terapi

yang diberikan. Asma akut yang berat/status asmatikus merupakan

tingkat penyakit yang berat yang memerlukan penanganan segera.(16)

22

Page 23: Reff kegawatdaruratan paru

Kriteria Berat Gawat

Sesak napas saat istirahat

membungkuk

kedepan

-

-

Kemampuan

berbicara

Sepatah kata

Kesadaran Agitasi Mengantuk/bingung

Respirasi > 30/menit -

Otot respirasi

tambahan

Retraksi M.inter costalis Gerakan

torakoabdominal

paradoksal

Mengi Keras Tidak ada

Nadi/menit > 120 Bradikardi

Pulsus

paradoksus

(+), > 25 mmHg (-), kelelahan otot

PaO2 < 60 mmHg -

PaCO2 > 45 mmHg -

Sat. O2 (Udara) < 90% -

2. Etiologi

a. Mekanisme pemacu serangan akut terjadi dari beberapa hal,

yaitu : alergen, kerja fisik, insfeksi virus pada jalan nafas,

ketegangan emosional, perubahan iklim dan beberapa janis

obat.

b. Ketidak seimbangan modulasi adenergic dan kolinergic dari

broncus.

c. Sering terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, anak laki-laki

sering terkena dari pada anak perempuan.

d. Biasanya mempunyai alergi dengan kadar IgE meninggi (asma

atopic/aksentrik berkaitan dengan keadaan alergi lain sperti

eksema fifer).

23

Page 24: Reff kegawatdaruratan paru

e. Asma instrinsik terjadi pada penderita non atopic yang berusia

lanjut.

3. Patofisiologi

4. Tanda dan Gejala

a. Objektif

1) Sesak napas yang berat dengan ekspirasi disertai wheezing

2) Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sukar dikeluarkan

3) Bernapas dengan menggunakan otot - otot tambahan

4) Sianosis, takikardi, gelisah, pulsus paradoksus

5) Fase ekspirium memanjang disertai wheesing (di apeks dan

hilus)

b. Subyektif :

1) Klien merasa sukar bernapas, sesak, dan anoreksia

c.  Psikososial :

1) Klien cemas, takut, dan mudah tersinggung

2) Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnya

5. Penatalaksanaan

Tujuan terapi

a. menghilangkan obstruksi secepat mungkin

b. menghilangkan hipoksia

c. mengembalikan fungsi paru normal secepatnya

24

Page 25: Reff kegawatdaruratan paru

d. merencanakan usaha penghindaran relaps di masa depan

Terapi awal :

a. O2 4-6 L/menit

b. Inhalasi/nebuliser B2 agonist tiap jam

c. Dexamethason 3x2 amp.iv

d. Aminofihin bolus/infus

e. B2 agonis SC/IMIIV kalau perlu

Terapi lain:

a. Antibiotika dan rehidrasi bila diperlukan

b. Catatan : hindari inhalasi mukolitik, sedativa dilarang, dan

antihistamin tidak bermanfaat bermanfaat

c. Bila hasil evaluasi setelah 1 jam tak terlihat perbaikan:

Fisik: gejala berat, mengantuk, bingung

Arus Puncak Ekspirasi (APE) < 30%

PCO2 >45 mmHg

PO2 < 60 mmHg

Segera masukkan ke ICU untuk perawatan intensif dan

kemungkin intubasi serta ventilasi mekanik.

25

Page 26: Reff kegawatdaruratan paru

26

Page 27: Reff kegawatdaruratan paru

D. Edema Paru

1. Definisi

Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke

ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi

aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema

paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan Non

Kardiogenik.(17)

27

Page 28: Reff kegawatdaruratan paru

2. Etiologi

a. Ketidak-seimbangan Starling Forces

1) Peningkatan tekanan kapiler paru :

Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan

fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).

Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena

gangguan fungsi ventrikel kiri.

Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena

peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion

pulmonary edema).

2) Penurunan tekanan onkotik plasma.

Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal,

hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi

atau penyakit nutrisi.

3) Peningkatan tekanan negatif intersisial :

28

Page 29: Reff kegawatdaruratan paru

Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura

(unilateral).

Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena

obstruksi  saluran napas akut bersamaan dengan

peningkatan end-expiratory volume (asma).

4) Peningkatan tekanan onkotik intersisial.

Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan

maupun klinik.

b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult

Respiratory Distress Syndrome)

1) Pneumonia (bakteri, virus, parasit).

2) Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap

Teflon®, NO2, dsb).

3) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri,

alloxan, alpha-naphthyl thiourea).

4) Aspirasi asam lambung.

5) Pneumonitis radiasi akut.

6) Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).

7) Disseminated Intravascular Coagulation.

8) Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin,

leukoagglutinin.

9) Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.

10) Pankreatitis Perdarahan Akut.

c. Insufisiensi Limfatik :

1) Post Lung Transplant.

2) Lymphangitic Carcinomatosis.

3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis).

d. Tak diketahui/tak jelas (Idiopatik)

1) High Altitude Pulmonary Edema.

2) Neurogenic Pulmonary Edema.

29

Page 30: Reff kegawatdaruratan paru

3) Narcotic overdose.

4) Pulmonary embolism.

5) Eclampsia

6) Post Cardioversion.

7) Post Anesthesia.

8) Post Cardiopulmonary Bypass.

3. Manifestasi Klinik

Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak

napas. Ini mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika

prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai

penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut.

Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih

cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan

aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat

(tachypnea), kepeningan, atau kelemahan. Tingkat oksigen darah

yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien

dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru

dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru

yang abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih

pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan

cairan dalam alveoli selama bernapas).

4. Diagnosis

Untuk mengidentifikasi penyebab dari pulmonary edema, penilaian

keseluruhan dari gambar klinis pasien adalah penting. Sejarah

medis dan pemeriksaan fisik yang saksama seringkali menyediakan

informasi yang tidak ternilai mengenai penyebab.

a. Pemeriksaan Fisik

30

Page 31: Reff kegawatdaruratan paru

1) Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti

mukus berbuih.

2) Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi

hampir seluruh lapangan paru, kadang disertai ronchi kering

dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme

sehingga disebut sebagai asma kardiale. Takikardia dengan

S3 gallop. Murmur bila ada kelainan katup.

b. Elektrokardiografi

Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi

atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark,

hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan.

c. Laboratorium

1) Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan

kemudian hiperkapnia.

2) Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark

miokard.

3) Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto

thoraks, EKG, enzim jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi

koroner.

d. Foto thoraks

Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.

Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih

terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh

darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan

bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang

yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-

struktur tulang dari dinding dada. X-ray dada yang khas dengan

pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan

putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-

kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat

menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-

31

Page 32: Reff kegawatdaruratan paru

paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru

yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli

sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin

memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang

mungkin mendasarinya.

Gambaran Radiologi yang ditemukan :

1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)

2. Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)

3. Kranialisasi vaskuler

4. Hilus suram (batas tidak jelas)

5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma

kecil atau nodul milier)

e. Ekokardiografi

Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi

ventrikel (hipertensi), Segmental wall motion abnormally

(Penyakit Jantung Koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi

ventrikel kiri dan atrium kiri.

5. Diagnosis Banding

Emboli paru, asma bronkiale

6. Penatalaksanaan

a. Posisi ½ duduk.

b. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan

masker. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi

bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan

O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau

tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka

dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.

32

Page 33: Reff kegawatdaruratan paru

c. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri

bila ada.

d. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 –

0,6 mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg

bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.

Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan

Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak

memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai

didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik

85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan

darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang

adekuat ke organ-organ vital.

e. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis

ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai

dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.

f. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2

– 5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk

menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai

respon klinis atau keduanya.

g. Aminophylline :Berguna apabila edema paru disertai

bronkhokonstriksi atau pada penderita yang belum jelas edema

paru oleh karena Asma Bronkhiale atau Asma Kardiale, karena

selain bersifat bronkhodilator juga mempunyai efek inotropik

positif, venodi-latasi ringan dan diuretik ringan. Dosis biasanya 5

mg/kg BB intravena dalam 10 menit, dilanjutkan drip intravena

0,5 mg/kg BB/jam. Dosis dikurangi pada orang tua, penyakit hati

dan gangguan fungsi ginjal. Setelah 12 jam dosis dikurangi

menjadi 0,1 mg/kg BB/jam. Kadar dalam darah yang optimal

ialah 10-20 mg/liter. Efek samping yang dapat terjadi sakit

kepala, muka merah, palpitasi nyeri dada, hipotensi dan sangat

jarang kejang-kejang. Efek samping yang paling berbahaya ialah

33

Page 34: Reff kegawatdaruratan paru

kematian mendadak oleh karena aritmia ventrikel dan hipotensi.(17)

h. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.

i. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat,

asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.

j. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.

k. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi,

VSD dan ruptur dinding ventrikel / corda tendinae.

7. Komplikasi

Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin

timbul dari komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan

penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema

dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan

secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia)

dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang

berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak.

34

Page 35: Reff kegawatdaruratan paru

BAB III

KESIMPULAN

Tujuan semua tindakan untuk mengatasi penyakit gawat paru adalah

mencegah agar penderita tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk

berupa gagal nafas akut dan multipleorgan failure. Gagal nafas akut dapat

terjadi oleh karena gangguan nafas diotak, gangguan neuromuskuler dan

medulla spinalis, obstruksijalan nafas, gangguan ventilasi, perfusi dan

karena kerusakan organ-organ lain seperti infark miokard, iskemi usus

atau luka bakar yang luas.

Diagnosis pasti didapatkan dari pemeriksaan analisis gas darah.

Tetapi seringkali pemeriksaan klinis sangat membantu menentukan

tindakan pertama yang harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Kadang-

kadang tindakan pertama harus dilakukan secepatnya di tempat kejadian

atau di unit gawat darurat tergantung etiologinya yang dikenal sebagai

penatalaksanaan spesifik. Penatalaksanaan non spesifik meliputi upaya

perbaikan oksigenisasi, ventilasi dan sirkulasi. Upaya-upaya ini kadang-

kadang memerlukan alat-alat yang lebih kompleks dan memerlukan

Monitoring dan perawatan khusus. Hal lain yang juga penting adalah

evaluasi terhadap keberhasilan terapi dilakukan dari saat ke saat

sehingga terapi dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan.

35

Page 36: Reff kegawatdaruratan paru

Daftar Pustaka

1. Sherwood Lauralee. 2001. HUMAN PHYSIOLOGY : FROM CELL

TO SYSTEM, E/2. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC.

2. Djojodibroto Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory medicine).

Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC.

3. Abal AT, Nair PC & Cherian J. 2001. Haemoptysis: aetiology,

evaluation and outcome--a prospective study in a third-world

country. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11453310/

4. Purwandianto A. Sampurna B. Kedaruratan Medik. ed. 3. Bina Rupa

Aksara. Jakarta. p.19 – 20

5. Reechaipichitkul W , Latong S. 2005. Etiology and treatment

outcomes of massive hemoptysis.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15916059

6. Rab T. Prinsip Gawat Paru. ed.2. EGC. Jakarta. 1996. p. 185 – 201

7. Yusuf I. Manifestasi Klinis Penyakit Paru. dalam Ilmu Penyakit

Dalam. Soeparman. Waspadji, editor. BP-FKUI Jakarta. 1987.

p. 688

8. Woodley M. Whelan A. Pedoman Pengobatan. (Manual of Medical

Therapeutics). Andi offset. Yogyakarta. 1995. p. 326 – 327

9. American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A

Statement by the committee on Therapy, Am rev Respir Dis.

1996. (93) : 471 – 474

10. David R. Sopko and Tony P. Smith. 2011. Bronchial Artery

Embolization for Hemoptysis.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3140255/?

tool=pmcentrez

11. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic.

Updated: 2010 May 27; cited 2011 January 10. Available from

http://emedicine.medscape.com/article/827551

12. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,

Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.

36

Page 37: Reff kegawatdaruratan paru

Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.

1063.

13. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.

Surabaya : Airlangga University Press; 2009. p. 162-179

14. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax

(Collapsed Lung). Cited : 2011 January 10. Available from :

http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm

15. Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta :

Pustaka Cendekia Press; 2007. p. 56

16. Dahlan Jul. 1997. Pengelolaan pasien dengan kedaruratan paru.

Cermin Dunia Kedokteran.

17. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and

non-cardiogenic. In: Han Disease. Textbook pf Cardiovascular

Medicine. Braunwald E. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB

Saunders Co. 1988, pp. 544-60.

37