YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: Referat vertigo

REFERAT

VERTIGO ASPEK RADIOLOGI

Oleh:

Sulchan Chris Wardana, S. Ked J500080029

Mios Agung Sukarno Putro, S.Ked J500080086

Pembimbing:

dr. Hardiyanto, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU RADIOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

8 JULI 2013 – 20 JULI 2013

1

Page 2: Referat vertigo

REFERAT

VERTIGO ASPEK RADIOLOGI

Oleh:

Sulchan Chris Wardana, S. Ked J500080029

Mios Agung Sukarno Putro, S.Ked J500080086

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas

Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Rabu, 16 Juli 2013

Pembimbing:

dr. Hardiyanto, Sp.Rad (.............................................)

Dipresentasikan dihadapan:

dr. Hardiyanto, Sp.Rad (.............................................)

Disahkan Ka. Program Pendidikan Profesi FK UMS:

dr. Dona Dewi Nirlawati (.............................................)

2

Page 3: Referat vertigo

DAFTAR ISI

Cover ......................................................................................................................... i

Halaman Pengesahan ................................................................................................ ii

Daftar Isi ................................................................................................................... iii

Daftar Gambar …………………………………………………………………….. iv

Daftar Tabel ……………………………………………………………………….. v

BAB I Pendahuluan ................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1

B. Batasan Masalah ………………………………………………………….... 2

C. Tujuan Penulisan ........................................................................................... 2

BAB II Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 3

A. Definisi .......................................................................................................... 3

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan .............................................. 4

C. Patofisiologi .................................................................................................. 11

D. Diagnosis ....................................................................................................... 15

E. Diagnosis Banding ........................................................................................ 26

F. Prognosis …………………………………………………………………... 27

G. Penatalaksanaan ............................................................................................ 33

BAB III Kesimpulan dan Saran ................................................................................ 36

Daftar Pustaka ........................................................................................................... 37

3

Page 4: Referat vertigo

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. : Masukan dan keluaran nucleus vestibularis

Gambar 2. : Sistem kompleks keseimbangan perifer dan sentral

Gambar 3. : Perpindahan otokonia dari utikulus ke bagian lain dari telinga

Gambar 4. : BPPV kanalis horizontal dengan nistagmus geotropik kiri

Gambar 5. : BPPV kanalis horizontal dengan nistagmus apogeotropik kiri

Gambar 6. : Membran labirin normal

Gambar 7. : Membran labirin pada penyakit Meniere

Gambar 8. : Fistula pada round window

Gambar 9. : The Epley Manuver

4

Page 5: Referat vertigo

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Obat-obatan yang digunakan pada terapi simtomatik vertigo

5

Page 6: Referat vertigo

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya

diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal

sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80%

dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera

kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).

Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15

sampai 44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari

insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya

disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Data

epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di

Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-

70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka

kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan

untuk CKR tidak ada yang meninggal.

Ada beberapa komplikasi setelah terjadinya cedera kepala salah

satunya adalah vertigo. Pasien cedera kepala yang mengalami vertigo pasca

trauma kepala sebesar 80% dan hal ini sangat mengganggu bagi aktivitasnya

(Lenaerts & Couch, 2004 :508). Vertigo digambarkan sebagai rasa berputar,

rasa oleng, tak stabil atau rasa pusing (dizziness); deskripsi keluhan tersebut

penting diketahui agar tidak dikacaukan dengan nyeri kepala atau sefalgi,

terutama karena di kalangan awam kedua istilah tersebut (pusing dan nyeri

kepala) sering digunakan secara bergantian. Vertigo pada pasien dengan

cedera kepala berdasarkan Headache Society Classification of Headache

Disorders (ICHD) diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu akut dan

6

Page 7: Referat vertigo

kronik, akut jika kurang dari 2 bulan dan kronik jika lebih dari 2 bulan.

Berdasarkan penelitian dari Spies et al (2008: 115) mengatakan gejala yang

tampak pada vertigo pasca trauma kepala adalah nyeri kepala berat 16%,

berdenyut 53%, muntah 11%, photophobia 44% dan phonophobia 55%.

B. BatasanMasalah

Referat ini membahas tentang definisi, anatomi dan fisiologi,

patofisiologi, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis

vertigo. 

C. TujuanPenulisan

1. Memahami definisi, anatomi dan fisiologi, patofisologi, manifestasi klinis,

diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis vertigo.

2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang

kedokteran.

3. Memenuhi salah satu persayaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik di

Bagian Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

7

Page 8: Referat vertigo

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Vertigo berasal dari kata latinvertere yang berarti memutar. Vertigo di

dalam kamus bahasa diterjemahkan sebagai pusing; yaitu dizziness dan

giddiness yang diterjemahkan sebagai ganar atau gayang. Ganar mencerminkan

keluhan rasa gerakan yang umum (tidak spesifik), rasa goyah (unstable,

unsteadiness), atau rasa disorientasi ruangan yang dapat dirasakan sebagai

putaran (turning) atau pusingan (whirling). Gayang (giddiness) dikatakan sama

dengan ganar atau merupakan suatu bentuk vertigo yang intensif atau vertigo

singkat. Menurut Gowers (1893), vertigo adalah setiap gerakan atau rasa

gerakan tubuh penderita atau obyek di sekitar penderita yang bersangkutan

dengan kelainan sistem keseimbangan (ekuilibrium) (Joesoef AA, 2007).

Vertigo merupakan perasaan halusinasi seolah-olah lingkungan atau diri sendiri

berputar, keadaan ini biasanya disebabkan oleh gangguan pada sistem

keseimbangan (Daroff RB, 1999).

Vertigo adalah keluhan yang sering dijumpai pada individu yang

memiliki riwayat trauma tumpul di kepala, leher dan perbatasan cranio-cervical.

Trauma karena kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, serangan mendadak, dan

kecelakaan olahraga dapat menyebabkan vertigo (Benson BE, 2012). Pasien

bisa terkena defisit vestibuler sentral, perifer, atau kombinasi keduanya (Marzo

SJ etc, 2004). Kondisi patologi vestibuler yang sering terjadi berhubungan

dengan trauma kepala adalah Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

yang terjadi sekitar 28% pada individu dengan trauma kepala. Gangguan

vestibuler lain yang cukup sering disebabkan oleh trauma kepala termasuk

cedera batang otak atau perlukaan serius n. VIII, sindrom Meniere pasca trauma

8

Page 9: Referat vertigo

atau hidrops endolimfatik, ruptur membran timpani atau fistula perilimfatik,

dan trauma labirin (Benson BE, 2012).

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM KESEIMBANGAN

Keseimbangan postural (balance atau stability) didefinisikan sebagai

kemampuan tubuh untuk memelihara pusat dari massa tubuh dengan batasan

stabilitas yang ditentukan dengan dasar penyangga (Suhartono, 2005).

Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan di

sekitarnya tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin,

organ visual, dan propioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik

tersebut akan diolah di sistem saraf pusat (SSP), kemudian diteruskan ke

efektor (sistem muskuloskeletal) sehingga menggambarkan keadaan posisi

tubuh pada saat itu (Bashirudin J etc, 2010).

1. Sistem Sensoris Perifer

a. Sistem Visual

Reseptor ini memberikan informasi tentang orientasi mata dan

posisi tubuh (kepala) terhadap kondisi lingkungan sekitar. Sekitar 20%

serabut saraf mata berinteraksi dengan organ vestibuler. Otot-otot mata

akan berkontraksi untuk memelihara posisi bola mata dan otot-otot leher

berkontraksi dengan menegakkan kepala, sehingga akhirnya dapat dicapai

keseimbangan postural. Dalam keadaan normal, masukan visual mampu

mengkompensasi defisit dari input sensoris lain seperti susunan

propioseptif yang terganggu, misalnya karena berdiri di landasan yang

tidak stabil. Gangguan keseimbangan akan tampak lebih jelas lagi jika

impuls afferent untuk visual ditiadakan, misalnya saat mata tertutup, maka

akan terlihat ayunan (sway) tubuh menjadi berlebihan (Suhartono, 2005).

9

Page 10: Referat vertigo

b. Sistem Propioseptif

Susunan propioseptif memberikan informasi ke SSP tentang posisi

tubuh terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya (eksternal) dan posisi

antara segmen badan itu sendiri (internal) melalui reseptor pada sendi,

otot, tendon, ligamentum, dan kulit seluruh tubuh terutama yang ada pada

kolumna vertebralis dan tungkai. Informasi itu dapat berupa tekanan,

posisi sendi, tegangan, panjang, dan kontraksi otot (Suhartono, 2005).

c. Sistem Vestibuler

Organ vestibular memberikan informasi ke SSP tentang posisi dan

gerakan kepala serta pandangan mata melalui reseptor macula dan krista

ampularis yang terdapat di telinga dalam (Suhartono, 2005).

Selain perannya dalam pendengaran yang bergantung pada koklea,

telinga dalam memiliki komponen khusus lain, yakni apparatus

vestibularis, yang memberikan informasi penting untuk sensasi

keseimbangan dan koordinasi gerakan kepala dengan gerakan mata dan

postur tubuh. Apparatus vestibularis terdiri dari dua set struktur yang

terletak di dalam tulang temporalis di dekat koklea, yaitu kanalis

semisirkularis dan organ otolit (utrikulus dan sakulus) (Sherwood, 2001).

Apparatus vestibularis mendeteksi perubahan posisi dan gerakan

kepala. Seperti di koklea, semua komponen apparatus vestibularis

mengandung endolimfe dan dikelilingi oleh perilimfe. Komponen

vestibuler masing-masing mengandung sel-sel rambut yang yang berespon

terhadap perubahan bentuk mekanis yang dicetuskan oleh gerakan-

gerakan spesifik endolimfe. Reseptor vestibularis juga mengalami

depolarisasi atau hiperpolarisasi, bergantung pada arah gerakan cairan

(Sherwood, 2001).

Kanalis semisirkularis mendeteksi akselerasi atau deselerasi

anguler atau rotasional kepala, misalnya ketika memulai atau berhenti

10

Page 11: Referat vertigo

berputar, berjungkir balik, atau memutar kepala. Tiap-tiap telinga

memiliki tiga kanalis semisirkularis yang secara tiga dimensi tersusun

dalam bidang-bidang yang tegak lurus satu sama lain (Sherwood, 2001).

Bila kepala tunduk ± 30 ke depan, maka kanalis semisirkularis lateral

terletak kira-kira pada bidang horizontal sesuai dengan permukaan bumi.

Kemudian kanalis anterior akan terletak pada bidang vertikal yang arah

proyeksinya ke depan dan 45 ke luar. Kanalis posterior juga terletak pada

bidang vertikal, namun proyeksinya ke belakang dan 45 ke luar (Guyton,

1997). Sel-sel rambut reseptif di setiap kanalis semisirkularis terletak di

atas suatu bubungan (ridge) yang terletak di ampula (suatu pembesaran di

pangkal kanalis) (Sherwood, 2001). Kanalis tersebut diisi oleh cairan

kental yang disebut endolimfe. Pada setiap ampula ada small crest yang

disebut krista ampularis. Pada puncak krista ini terdapat suatu masa

gelatinosa yang disebut kupula. Bila kepala memutar ke suatu arah, inersia

(kelembaman) cairan di dalam satu atau lebih kanalis semisirkularis akan

mempertahankan cairan untuk tetap seimbang sementara kanalis

semisirkularis berputar searah dengan kepala (Guyton, 1997).

Sel rambut vestibularis terdiri dari 20 – 50 stereosilia, yaitu

mikrovilus yang diperkuat oleh aktin, dan satu silium besar (kinosilium)

(Sherwood, 2001). Di dalam kupula ada ratusan proyeksi silia dari sel-sel

rambut yang terletak di sepanjang krista ampularis. Kinosilia dari samua

sel-sel rambut ini diarahkan ke arah sisi yang sama dari kupula, dan

pembelokan kupula ke arah tersebut menyebabkan depolarisasi sel-sel

rambut, sedangkan pembelokan ke arah yang berlawanan akan

menyebabkan hiperpolarisasi sel rambut (Guyton, 1997).

Akselerasi (percepatan) atau deselerasi (perlambatan) selama rotasi

kepala ke segala arah menyebabkan pergerakan endolimfe, paling tidak di

salah satu kanalis semisirkularis karena susunan tiga dimensi kanalis

11

Page 12: Referat vertigo

tersebut. Ketika kepala mulai bergerak, sel rambut yang terbenam dalam

kupula bergerak mengikuti gerakan kepala. Namun, cairan di dalam

kanalis yang tidak melekat di tengkorak, mula-mula tidak ikut bergerak

sesuai arah rotasi, tetapi tertinggal di belakang karena adanya inersia

(kelembaman). Ketika endolimfe tertinggal saat kepala mulai berputar,

endolimfe yang terletak sebidang dengan gerakan kepala pada dasarnya

bergeser ke arah yang berlawan dengan arah gerakan kepala. Gerakan

cairan ini menyebabkan kupula condong ke arah yang berlawanan dengan

arah gerakan kepala, membengkokkan rambut-rambut sensorik yang

terbenam di dalamnya. Bila gerakan kepala berlanjut dalam arah dan

kecepatan yang sama, endolimfe akan menyusul dan bergerak bersama

dengan kepala, sehingga rambut-rambut kembali ke posisi tegak mereka.

Ketika kepala melambat dan berhenti, keadaan yang sebaliknya terjadi.

Akibatnya, kupula dan rambut-rambutnya sementara membengkok sesuai

dengan arah rotasi semula, yaitu berlawanan dengan arah mereka

membengkok ketika akselerasi. Saat endolimfe berhenti secara bertahap,

rambut-rambut kembali tegak. Dengan demikian kanalis semisirkularis

mendeteksi perubahan kecepatan gerakan rotasi kepala. Kanalis tidak

berespon jika kepala tidak bergerak atau bergerak secara sisrkuler dengan

kecepatan tetap (Sherwood, 2001).

Utrikulus dan sakulus adalah struktur seperti kantung yang terletak

di dalam rongga tulang yang terdapat di antara kanalis semisirkularis dan

kokhlea. Rambut-rambut pada sel-sel rambut reseptif di organ ini juga

menonjol ke dalam suatu lembar gelatinosa di atasnya, yang gerakannya

menyebabkan perubahan posisi rambut serta menimbulkan perubahan

potensial di sel rambut (Sherwood, 2001). Di bagian permukaan dalam

dari setiap utrikulus dan sakulus, ada daerah sensorik kecil berdiameter ±

2 mm yang disebut makula. Makula dari utrikulus terutama terletak pada

12

Page 13: Referat vertigo

bidang horizontal permukaan inferior utrikulus dan berperan penting

dalam menentukan orientasi kepala sesuai dengan arah gaya gravitasi

ketika seseorang berdiri tegak. Sebaliknya, makula dari sakulus terletak

pada bidang vertikal, karena itu sifatnya penting pada keseimbangan bila

seseorang berbaring (Guyton, 1997).

Setiap makula ditutupi oleh lapisan gelatinosa yang dilekati oleh

banyak kristal kalsium karbonat kecil-kecil yang disebut statokonia

(Guyton, 1997) sehingga lapisan tersebut lebih berat dan lebih lembam

dari pada cairan dan jaringan sekitar (Sherwood, 2001). Dalam makula

juga terdapat beribu-ribu sel rambut, sel ini akan menonjolkan silia ke

dalam lapisan gelatinosa tadi. Oleh karena itu, berat statokonia akan

mengikat silia ke dalam arah dorongan gravitasi (Guyton, 1997). Ketika

seseorang berada dalam posisi tegak, rambut-rambut di dalam utrikulus

berorientasi secara vertikal dan rambut-rambut dalam sakulus berjajar

secara horizontal (Sherwood, 2001).

Sel-sel rambut membentuk sinaps zat perantara kimiawi dengan

ujung-ujung terminal neuron aferen yang akson-aksonnya menyatu

dengan akson struktur vestibularis lain untuk membentuk saraf

vestibularis. Saraf ini bersatu dengan saraf auditorius dari kokhlea untuk

membentuk saraf vestibulekokhlearis (Sherwood, 2001). Dari sel-sel

rambut, sinyal yang sesuai akan dikirim melalui nervus vestibularis untuk

memberitahu sistem saraf pusat mengenai perubahan kecepatan dan arah

putaran kepala (Guyton, 1997).

2. Central Processing

Sistem ini untuk memelihara respon postural. SSP melalui jaras-

jarasnya menerima informasi sensoris perifer dari sistem visual, vestibuler,

dan propioseptif di gyrus post central lobus parietal kontralateral.

Selanjutnya informasi itu diproses dan diintegrasikan pada semua tingkat

13

Page 14: Referat vertigo

sistem saraf. Akhirnya dalam waktu ± 150 mdet, akan terbentuk suatu

respon postural yang benar secara otomatis dan diekspresikan secara

mekanis melalui efektor dalam suatu rangkaian pola gerakan tertentu. Tetapi

pada aktifitas dengan pola baru yang belum pernah disimpan di otak, maka

reaksi keseimbangan tubuh perlu dipelajari dan dilatih sampai reaksi tersebut

dapat dilakukan dengan tanpa perlu berpikir lagi (Suhartono, 2005).

3. Sistem Efektor

Sinyal-sinyal yang berasal dari berbagai komponen apparatus

vestibularis dibawa melalui saraf vestibulokokhlearis ke nukleus

vestibularis, suatu kelompok badan sel saraf di batang otak, lalu ke

serebellum. Di sini informasi vestibuler diintegrasikan dengan masukan dari

permukaan kulit, mata, sendi, dan otot untuk :

1) Mempertahankan keseimbangan dan postur yang diinginkan

2) Mengontrol otot mata eksternal, sehingga mata tetap terfiksasi ke titik

yang sama walaupun kepala bergerak

3) Mempersepsikan gerakan dan orientasi

Rencana gerakan di SSP dilakukan oleh suatu kelompok sendi dan

otot dari kedua sisi tubuh, maka harus ada komponen efektor yang normal,

sehingga tercipta keseimbangan postural yang normal (Suhartono, 2005).

14

Page 15: Referat vertigo

Reseptor di kulit

Serebellum

Gambar 1. Masukan dan keluaran nukleus vestibularis(Diambil dari Sherwood, 2001)

Gambar 2. Sistem kompleks keseimbangan perifer dan sentral(Diambil dari Watson &Black : Vestibular Disorder Association, 2008).

15

Reseptor di mata

Reseptor di sendi& otot

Reseptor di kanalis semisirkularis & organ otolit

Masukan penglihatan

Masukankutaneus

Masukan propioseptif

Masukan vestibularis

Nukleus vestibularis(di batang otak)

Pengolahan terkoordinasi

Keluaran ke neuron motorik otot-otot ekstremitas & badan

Keluaran ke neuron motorik otot-otot mata eksternal

Keluaran ke SSP

Pemeliharaan keseimbangan & postur yang diinginkan

Persepsi gerakan & orientasiKontrol gerak mata

Page 16: Referat vertigo

C. PATOFISIOLOGI

Cedera kepaladialami oleh 5% dari populasi setiap tahunnya. Vertigo

pasca trauma mengacu pada pusing yang terjadi setelah cedera leher atau

kepala, sementara cedera pada bagian lain dari tubuh yang pada teori mungkin

dapat dikaitkan dengan pusing, dalam prakteknya hal ini hampir tidak pernah

terjadi. Ada banyak potensi penyebab vertigo pasca trauma:

1. Vertigo posisional, terutama Benign Paroxysmal Positional Vertigo atau BPPV,

adalah jenis yang paling umum dari pusing berat dan sering terjadi setelah

cedera kepala. Hal ini mudah dikenali oleh pola pusing yang terjadi hanya

ketika kepala ditempatkan pada posisi tertentu.

Gambar 3. Perpindahan otokonia dari utrikulus ke bagian lain dari telinga(Diambil dari Timoti C. Hein: Post Traumatic Vertigo, 2012)

BPPV kanalis horizontal adalah suatu bentuk varian dari BPPV yang

pertama kali diperkenalkan oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik

vertigo posisional yang diikuti nistagmus horizontal berubah arah. Arah

nistagmus horizontal yang terjadi dapat berupa geotropik (arah gerakan fase

cepat ke arah telinga di posisi bawah) atau apogeotropik (arah gerakan fase

cepat ke arah telinga di posisi atas) selama kepala dipalingkan ke salah satu sisi

dalam posisi telentang.

Nistagmus geotropik terjadi karena adanya otokonia yang terlepas dari

utrikulus dan masuk ke dalam lumen posterior kanalis horizontal

16

Page 17: Referat vertigo

(kanalolithiasis), sedangkan nistagmus apogeotropik terjadi karena otokonia

yang terlepas dari utrikulus menempel pada kupula kanalis horizontal

(kupulolithiasis) atau karena adanya fragmen otokonia di dalam lumen anterior

kanalis horizontal (kanalolithiasis apogeotropik).

Berdasarkan hukum Ewald kedua, stimulasi ampulopetal lebih kuat dari

pada stimulasi ampulofugal pada kanalis semisirkularis horizontal. Arah

putaran kepala yang mengakibatkan intensitas vertigo dan nistagmus yang kuat

akan menunjukkan letak telinga yang sakit pada nistagmus geotropik dan

telinga yang sehat pada nistagmus apogeotropik.

Gambar 4. BPPV kanalis horizontal dengan nistagmusgeotropik kiri.(Diambil dariYan Edward& Yelvita Roza: Diagnosis dan Penatalaksanaan Benign

Paroxysmal PositionalVertigo Kanalis Horizontal)

Gambar 5. BPPV kanalis horizontal dengan nistagmus apogeotropikkiri.(Diambil dari Yan Edward& Yelvita Roza: Diagnosis dan Penatalaksanaan Benign

Paroxysmal PositionalVertigo Kanalis Horizontal)

17

Page 18: Referat vertigo

Pasien dengan BPPV sering mengeluhkan rasa pusing berputar diikuti

oleh mual, muntah dan keringat dingin sewaktu merubah posisi kepala terhadap

gravitasi, dengan periode vertigo yang episodik dan berlangsung selama satu

menit atau kurang. Pasien akan memodifikasi atau membatasi gerakan untuk

menghindari episode vertigo (Bhattacharyya, 2008).

2. Sindrom Meniere pasca trauma

Kadang-kadang juga disebut "hidrops". Episode pusing disertai suara di telinga,

rasa penuh, atau perubahan pendengaran. Mekanisme terjadinya dianggap

adanya perdarahan ketelinga bagian dalam, diikuti oleh gangguan transportasi

cairan. Timbulnya gejala dapat bervariasi dari segera sampai satu tahun

kemudian (Berettini et al, 2000).

Gambar 6. Membran labirinnormal(Diambil dari Timoti C. Hein: Post Traumatic Vertigo, 2012)

Gambar 7. Membran labirinpada penyakitMeniere.(Diambil dari Timoti C. Hein: Post Traumatic Vertigo, 2012)

18

Page 19: Referat vertigo

3. Labyrinthin Concussion.

Didefinisikan sebagai gangguan pendengaran non-persistent atau labirin

disturban yang mengikuti cedera kepala, tidak disebabkan oleh mekanisme lain.

Gangguan pendengaran atau timbulnya nistagmus digunakan untuk

menegakkan diagnosis medis yang pasti. Meskipun didefinisikan suatu

gangguan telinga bagian dalam, kompleks gejala mungkin sulit untuk

dibedakan dari entitas lain.

4. Perilymph Fistula.

Ada dua foramen yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam.

Foramen ovale berfungsi memberikan jalan pada getaran suara. Anulus

foramen ovale maupun foramen rotundum mudah mengalami robekan. Bila ini

terjadi, cairan dari dalam dapat mengalami kebocoran ke telinga tengah kondisi

ini dinamakan fistula perilimfe.

Biasanya gejala ketidakseimbangan dan pusing diprovokasi oleh keadaan

tegang atau meniup hidung. Orang dengan fistula juga bisa terjadi pusing akibat

suara keras (disebut fenomena Tullioitu). Frekuensi yang terjadi sindrom ini

kontroversial, tetapi pendapat umum menyatakan sangat jarang.

Gambar 8. Fistula pada round window.

(Diambil dari Timoti C. Hein: Post Traumatic Vertigo, 2012)

19

Page 20: Referat vertigo

D. DIAGNOSIS

1. ANAMNESIS

a. Pertama-tama ditanyakan bentuk vertigonya: melayang, goyang,

berputar, tujuh keliling, rasa naik perahu dan sebagainya.

b. Perlu diketahui juga keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo:

perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan, ketegangan.

c. Profil waktu: apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang

timbul, paroksismal, kronik, progresif atau membaik. Beberapa

penyakit tertentu mempunyai profil waktu yang karakteristik.

d. Apakah juga ada gangguan pendengaran yang biasanya menyertai atau

ditemukan pada lesi alat vestibuler atau n. vestibularis.

e. Penggunaan obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin, salisilat,

antimalaria dan lain-lain yang diketahui ototoksik atau vestibulotoksik

dan adanya penyakit sistemik seperti anemi, penyakit jantung,

hipertensi, hipotensi, penyakit paru juga perlu ditanyakan. Juga

kemungkinan trauma akustik (Wreksoatmojo, 2004).

2. PEMERIKSAAN FISIK

Ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan

sistemik, otologik atau neurologik vestibuler atau serebeler; dapat berupa

pemeriksaan fungsi pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata atau

nistagmus dan fungsi serebelum.

Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk

menentukan penyebab; apakah akibat kelainan sentral yang berkaitan

dengan kelainan susunan saraf pusat korteks serebri, serebelum, batang

otak, atau berkaitan dengan sistim vestibuler atau otologik; selain itu harus

dipertimbangkan pula faktor psikologik atau psikiatrik yang dapat

mendasari keluhan vertigo tersebut.

20

Page 21: Referat vertigo

Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan atau dicari antara lain

aritmi jantung, hipertensi, hipotensi, gagal jantung kongestif, anemi,

hipoglikemi.

Dalam menghadapi kasus vertigo, pertama-tama harus ditentukan

bentuk vertigonya, lalu letak lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat

diberikan terapi kausal yang tepat dan terapi simtomatik yang sesuai

(Wreksoatmojo, 2004).

a. Pemeriksaan Fisik Umum

Pemeriksaan fisik diarahkan ke kemungkinan penyebab

sistemik; tekanan darah diukur dalam posisi berbaring, duduk dan

berdiri; bising karotis, irama (denyut jantung) dan pulsasi nadi perifer

juga perlu diperiksa.

b. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada:

1. Fungsi vestibuler atau serebeler

a. Uji Romberg

Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula

dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada

posisi demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa

penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan

bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan

vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan

bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada

mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada

kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada

mata terbuka maupun pada mata tertutup.

21

Page 22: Referat vertigo

b. Tandem Gait

Penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri atau kanan

diletakkan pada ujung jari kaki kanan atau kiri bergantian. Pada

kelainan vestibuler perjalanannya akan menyimpang, dan pada

kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh.

c. Uji Unterberger

Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan

di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama

satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan

menyimpang atau berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti

orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi,

kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi

turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus

dengan fase lambat ke arah lesi.

d. Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)

Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan,

penderita disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian

diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini

dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup.

Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan

penderita ke arah lesi.

e. Uji Babinsky-Weil

Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah

ke depan dan lima langkah ke belakang selama setengah menit;

jika ada gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan

dengan arah berbentuk bintang.

22

Page 23: Referat vertigo

f. Uji Dix Hallpike

Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke

belakang dengan cepat, sehingga kepalanya menggantung 45º di

bawah garis horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke

kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo

dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya

perifer atau sentral. Perifer (benign positional vertigo): vertigo

dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang

dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau

menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue).

Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo

berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap

seperti semula (non-fatigue).

g. Tes Kalori

Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30º, sehingga kanalis

semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga

diirigasi bergantian dengan air dingin (30ºC) dan air hangat

(44ºC) masing-masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5

menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak permulaan

irigasi sampai hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150

detik). Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau

directional preponderance ke kiri atau ke kanan. Canal paresis

ialah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik setelah

rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional

preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada arah

nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis

menunjukkan lesi perifer di labirin atau n. VIII, sedangkan

23

Page 24: Referat vertigo

directional preponderance menunjukkan lesi sentral

(Wreksoatmojo, 2004).

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Radiologi, foto tengkorak, foto vertebrae servikal, CT scan

kepala dan sinus tidak direkomendasikan secara rutin dalam evaluasi

vertigo.

a. Pemeriksaan laboratorium darah rutin dan urin, dan pemeriksaan lain

sesuai indikasi.

b. Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).

c. Neurofisiologi: Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG),

Brainstem Auditory Evoked Pontential (BAEP).

d. Pencitraan: CT Scan, Arteriografi. CT Scan tulang temporal

memberikan resolusi tinggi dari struktur telinga daripada MRI dan

juga lebih baik untuk evaluasi lesi yang melibatkan tulang. CT tulang

temporal mutlak dibutuhkan untuk diagnosis dehiscence canal

superior. Jenis koronal langsung resolusi tinggi adalah yang terbaik

untuk diagnosis ini. CT Scan tulang temporal banyak memancarkan

radiasi dan untuk alasan ini, tes VEMP direkomendasikan sebagai tes

awal untuk dehiscence canal superior

24

Page 25: Referat vertigo

25

Page 26: Referat vertigo

e. kesatuan struktural batang otak, serebelum, periventrikuler substansia

putih, dan kompleks nervus VIII. MRI tidak secara rutin dibutuhkan

untuk evaluasi vertigo tanpa penemuan neurologis yang lain

berkaitan.

(Wreksoatmojo, 2004)

E. DIAGNOSIS BANDING

1. Neuritis Vestibuler; Neuronitis vestibular ditandai oleh serangan vertigo

yang mendadak dan berat, sering disertai nausea, muntah dan rasa cemas.

Gejala memburuk bila kepala bergerak atau posisi berubah. Terdapat

nistagmus spontan, dengan fase lambat ke arah telinga yang abnormal.

Pada tes kalori didapatkan penurunan eksaitibilitas pada telinga yang sakit.

Pada penyakit ini didapatkan paresis bejana semisirkular horisontal satu

sisi. Pada tes kalori ditemukan respons yang menurun atau negatif pada

satu sisi. Hal ini merupakan gejala yang khas pada kelainan ini. Nistagmus

yang timbul pada pemeriksaan ENG ialah bersifat paretik, yaitu nistagmus

spontans terarah ke arah kontralateral dari sisi lesi. Respons pada tes kalori

secara gradual pulih menjadi normal. Penyakit ini lebih banyak dijumpai

pada kelompok usia 30-40 tahun. Penyebab neuronitis vestibular belum

diketahui, mungkin oleh virus. Data mengenai penyakit ini masih kurang.

Ada yang memilih nama neuropati vestibular bagi kelainan ini. Pada

sebagian terbesar kasus, penyakit ini adalah benigna, dan sembuh sendiri.

2. Vertigo Epilepsi; Vertigo akibat cedera otak, biasanya bagian dari lobus

temporal yang memproses sinyal vestibular. Hilangnya kesadaran biasanya

terjadi pada saat cedera dan vertigo umumnya disertai dengan penurunan

kesadaran.

3. Psikogenik vertigo; Ada banyak kemungkinan. Vertigo psikogenik adalah

keluhan vertigo yang berhubungan dengan penyebab psikologis seperti

26

Page 27: Referat vertigo

depresi, kecemasan, atau upaya untuk mendapatkan kompensasi (juga

dikenal sebagai "malingering"). Kecemasandan depresi mungkin akibat

daricedera otak traumatis yang menciptakan reaksi psikologis self-

perpetuating (Alexander, 1998). Gangguan stres pasca trauma (PTSD)

dapat terjadi lagi dengan gejala hyperarousal (Kingetal, 1998; Stein, 2002).

4. Tumor neuroma akustik merupakan tumor yang paling sering

menyebabkan vertigo. Pada penderita neuroma akustik, sekitar 20% dari

penderitanya pernah mengeluhkan vertigo pada suatu waktu dari perjalanan

penyakitnya. Tumor yang berada di sudut serebelo-pontin ialah neuroma

akustik, meningioma, tumor epidermoid serta neoplasma lainnya. Gejala

yang ditimbulkan dapat berupa: ketajaman pendengaran berkurang (tuli),

tinnitus, nyeri kepala, rasa tidak seimbang (disekuilibrium), gangguan

koordinasi, melibatkan saraf otak yang berbatasan (misalnya otot wajah

menjadi lemah), gejala meningkatnya tekanan intrakranial.

(Sidharta Priguna, 2009)

F. PROGNOSIS

Prognosis vertigo pasca trauma umumnya baik. Sebagian terbesar

penderitanya akan mengalami penyembuhan spontan dalam waktu 2 bulan

dan hampir semua penderita telah sembuh selama kurun waktu 2 tahun setelah

jejas.

G. TATALAKSANA

Pengobatan untuk diagnosis vertigo pasca trauma, sebagai berikut:

Brainstem concussion dengan rehabilitasi vestibular.

Labyrinthine concussion dengan supresan vestibular dan rehabilitasi

vestibular.

27

Page 28: Referat vertigo

Benign Paroxysmal Positional Vertigo dengan The Epley maneuver dan

rehabilitasi vestibular (Lihat gambar di bawah).

Gambar 9. The Epley Manuver

(Diambil dari Benson: Post Traumatic Vertigo, 2012)

a) Penyakit pasca trauma Ménière, Terapi sama seperti jenis penyakit

idiopatik ini digunakan untuk jangka waktu 3 bulan, sebagai berikut:

pembatasan garam

diuretik

Niasin

Perangkat Meniere yang diciptakan oleh Xomed, adalah perangkat kelas

II yang disetujui oleh FDA untuk digunakan dalam pengobatan vertigo.

Bersifat portable dan berintensitas rendah. Perangkat ini mentransmisikan

tekanan ke foramen ovale melalui tabung tympanostomy.

Meta-analisis oleh Chia dkk (2004) melakukan modalitas yang berbeda

dari pengiriman untuk gentamisin suntikan transtympanic pada tahun

2004. Mereka menemukan bahwa terapi dosis rendah gentamisin

28

Page 29: Referat vertigo

transtympanic atau intratympanic dengan metode titrasi adalah yang

paling efektif dalam mengendalikan gejala vertigo.

b) Perilymphatic Fistula dengan istirahat di tempat tidur selama setidaknya 5

hari dan menghindari manuver Valsava.

c) Serviks vertigo dengan rehabilitasi vestibular dan obat anti-inflamasi.

(Benson, 2012)

1. Medikamentosa

Gejala vestibular akut yang disebabkan oleh gangguan perifer diterapi dengan

antiemetik dan obat penekan vestibular (Benson, 2012).

a. Antihistamin; Sifat anti-vertigo pada obat antihistamin (seperti obat

dimenhidrinat, difenhidramin, meklisin, siklisin) tidak berkaitan dengan

potensinya sebagai antagonis histamine, tetapi bersifat khas dan bukan

hanya merupakan kemampuan menekan pusat muntah di batang otak.

Betahistin; Senyawa betahistin (suatu analog histamin) dapat

meningkatkan sirkulasi di telinga dalam sehingga dapat diberikan

untuk mengatasi gejala vertigo. Betahistine mesylate (Merislon) dapat

diberi dengan dosis 6 mg sampai 12 mg, 3 kali sehari per oral.

Betahistine HCL (Betaserc) dapat diberikan dengan dosis 8 mg 3 x

sehari.

Dimenhydrinate (Dramamine); Lama kerja obat ini ialah 4 - 6 jam.

Dapat diberi per oral atau parenteral (suntikan intramuskular dan

intravena) dengan dosis 25 mg – 50 mg, 4 x sehari.

Diphenhydramine HCL (Benadryl); Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6

jam, diberikan dengan dosis 25 mg - 50 mg, 4x sehari per oral.

b. Antagonis Kalsium; Obat antagonis kalsium cinnarizine (Stugerone) dan

flunarizine (Sibelium) sering digunakan dalam pengobatan vertigo.

Antagonis kalsium merupakan obat supresan vestibular, karena sel –

rambut vestibular mengandung banyak kanal kalsium.

29

Page 30: Referat vertigo

c. Fenotiazine;

Kelompok obat ini banyak yang mempunyai sifat anti emetik (anti

muntah). Namun, tidak semua obat anti emetik mempunyai sifat

antivertigo.

Promethazine (Phenergan) merupakan obat dari golongan fenotiazine

yang paling efektif mengobati vertigo, sama sifatnya dengan obat anti

histamin yang telah diperbincangkan terdahulu. Lama aktivitas obat ini

ialah 4 - 6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5 mg – 25 mg (suntikan

intramuskular atau intravena). Efek samping yang sering dijumpai ialah

mengantuk (sedasi). Promethazine lebih sedikit kemungkinannya

menyebabkan efek samping ekstrapiramidal dibanding obat fenotiazine

lainnya.

Khlorpromazine (Largactil) dapat diberikan pada penderita dengan

serangan vertigo yang berat dan akut. Obat ini dapat diberikan per oral,

intramuskular atau intravena. Dosis yang lazim ialah 25 mg – 50 mg dan

dapat diulang 3 – 4 x sehari. Efek samping yang sering dijumpai ialah

mengantuk (sedasi).

d. Simpatomemetik

Efedrin merupakan salah satu obat simpatomimetik yang dapat digunakan

untuk menekan vertigo. Lama aktivitasnya ialah 4 - 6 jam dan dosis yang

diberikan dapat 10 – 25 mg, 4x sehari. Sifat obat ini dapat sinergistik bila

dikombinasikan dengan obat anti vertigo lainnya. Sifat stimulasi efedrin

dapat mengurangi efek sedatif obat anti vertigo lainnya. Efek samping

yang sering dijumpai ialah insomnia, palpitasi dan gelisah.

e. Anti Kolinergik

Obat anti-kholinergik seperti skopolamin yang bekerja di sentral, dapat

menekan aktivitas sistem vestibular dan mengurangi gejala vertigo.

30

Page 31: Referat vertigo

Skopolamin dapat dikombinasikan dengan fenotiazine atau efedrin. Dosis

skopolamin ialah 0,3 mg – 0,6 mg, yang diberikan 3 – 4 x sehari.

(Wreksoatmojo, 2004)

2. Bedah

a) BPPV: Operasi bukan terapi lini pertama karena dapat kemungkinan

risiko seperti kehilangan pendengaran dan kerusakan saraf wajah. Terapi

bedah pada BPPV meliputi labyrinthectomy, oklusikanal posterior,

neurectomy tunggal.

b) Labyrinthine concussion: Labyrinthectomy atau pemotongan saraf

vestibular.

c) Penyakit Ménière: endolymphaticshunt (tingkat keberhasilan antara75-

80%) dan labyrinthectomy (tingkat keberhasilan antara75-80%).

31

Page 32: Referat vertigo

d) Perilymphaticfistula: eksplorasi telinga tengah dan tympanotomy dan

penempatan graft jaringan lunak diatas fistula.

(Benson, 2012)

3. Fisik

Susunan saraf pusat mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi

gangguan keseimbangan. Ia mampu menyesuaikan sinyal-sinyal vestibular,

visual dan proprioseptif. Itulah sebabnya, vertigo akan berkurang atau mereda,

apapun penyebabnya, dalam kurun waktu beberapa hari. Hal ini disebabkan

oleh kemampuan adaptasi susunan saraf pusat. Namun, kadang-kadang

dijumpai beberapa penderita yang kemampuan adaptasinya kurang atau tidak

baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya gangguan lain di susunan saraf

pusat atau didapatkan defisit di sistem visual atau proprioseptifnya.

Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mengatasi gangguan

vestibular, membiasakan atau mengadaptasi diri terhadap gangguan

keseimbangan. Tujuan latihan ialah:

1. Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau disekuilibrium

untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya secara lambut laun.

2. Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata.

3. Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan. (Wreksoatmojo, 2004)

32

Page 33: Referat vertigo

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Vertigo berasal dari kata latin vertere yang berarti memutar. vertigo adalah

setiap gerakan atau rasa gerakan tubuh penderita atau obyek di sekitas penderita

yang bersangkutan dengan kelainan system keseimbangan (ekuilibrium). Vertigo

merupakan keluhan yang sering dijumpai pada individu yang memiliki riwayat

trauma tumpul di kepala, leher dan perbatasan cranio-cervical. Keseimbangan dan

orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya tergantung pada

input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ visual, dan propioseptif.

Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di sistem saraf

pusat (SSP), kemudian di teruskan ke efektor (sistem muskuloskeletal) sehingga

menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu.

Macam-macam vertigo terdiri dari Vertigo posisional, terutama Benign

Paroxysmal Positional Vertigo atau BPPV yang merupakan jenis yang paling

umum sering terjadi setelah cedera kepala, sindrom Meniere pasca trauma,

Labyrinthin Concussion dan Perilymph Fistula.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan vertigo

post trauma kepala adalah pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah

rutin dan urin, foto rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).

Pemeriksaan Neurofisiologi dengan Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi

(EMG), Brainstem Auditory Evoked Pontential (BAEP) dan juga pemeriksaan

dengan pencitraan yaitu CT Scan, Arteriografi, Magnetic Resonance Imaging

(MRI).

Diagnosis banding dari vertigo post trauma kepala adalah Neuritis

Vestibuler, Vertigo Epilepsi, Psikogenik vertigo, dan Tumor neuroma akustik.

33

Page 34: Referat vertigo

Prognosis vertigo pasca trauma umumnya baik. Sebagian besar penderitanya

akan mengalami penyembuhan spontan dalam waktu 2 bulan dan hampir semua

penderita telah sembuh selama kurun waktu 2 tahun setelah jejas.

Tatalaksana pada pasien dengan vertigo pasca trauma kepala dibagi menjadi

pengobatan medikamentosa dan non medikamentosa. Pada pengobatan

medikamentosa dapat diberikan antihistamin, antagonis kalsium yang merupakan

obat supresan vestibular, fenotiazine, simpatomemetik, dan anti kolinergik yang

aktif di sentral. Sedangkan non medikamentosa dengan banyak melakukan latihan

untuk meningkatkan kemampuan mengatasi gangguan vestibular, membiasakan

atau mengadaptasi diri terhadap gangguan keseimbangan.

B. SARAN

Dengan pembuatan referat ini diharapkan dapat memberikan wawasan pada

mahasiswa kedokteran tentang vertigo pasca trauma kepala tetapi karena

keterbatasan referensi dan pengetahuan penulis menyarankan kedepannya dalam

pembuatan referat dengan tema ini untuk menambahkan kepustakaan dan lebih

memperdalam tentang vertigo pasca trauma kepala terutama pada

penatalaksanaan vertigo pasca trauma kepala agar dapat memahami dan

mengaplikasikan penatalaksanaan non medikamentosa dan medikamentosa

dengan baik.

34

Page 35: Referat vertigo

DAFTAR PUSTAKA

Alexander MP. 1998. In the pursuit of proof of brain damage after whiplash injury.

Neurology: 51:336-340

Bashirudin J., Hadjar E., Widayat A. 2010. Gangguan Keseimbangan : in Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 6th ed. Editor by

Soepardi EA. etc.Jakarta : Balai Penerbit FKUI, pp 94 – 113.

Benson, B E, 2012. Post Traumatic Vertigo. Diakses melalui

emedicine.medscape.com/article/884361-overview (24 Februari 2013).

Benson, B. E. 2012. Post Traumatic Vertigo. Diakses memalui

emedicine.medscape.com/article/884361-medication. (10 April 2013).

Benson, B. E. 2012. Post Traumatic Vertigo. Diakses memalui

emedicine.medscape.com/article/884361-treatment. (10 April 2013).

Benson, B. E. 2012. Post Traumatic Vertigo. Diakses memalui

emedicine.medscape.com/article/884361-treatment#a1128. (10 April 2013).

Berrettini, S., E. Neri, et al. 2001. Large Vestibular Aqueduct In Distal Renal Tubular

Acidosis High- resolution MR in three cases. Acta Radiol 42(3): 320-322.

Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. http://www.biausa.org

[diakses 20 february 2013]

Brandt. 1996. Cervical Vertigo -- Reality or fiction? Audiol Neurootol:1:187-196

Darrof BJ, 1999. Dizziness dan Vertigo: in Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit

Dalam Volume 1. Editor by Asdie AH.Jakarta : EGC, pp 115 – 8.

Feneley, M. R. and P. Murthy. 1994. Acute bilateral vestibulo-cochlear dysfunction

following occipital fracture. J Laryngol Otol 108(1): 54-6.

Genarelli and others. 1982. Diffuse axonal injury and traumatic coma in the primate.

Ann Neurol:12:564-574.

Guyton, AC, 1997. Sensasi Vestibuler dan Pemeliharaan Keseimbangan : in Buku

Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta : EGC, pp 879 – 86.

35

Page 36: Referat vertigo

Joesoef A A, 2007. Vertigo: in Kapita Selekta Neurologi. 2nd ed. Ed. by Harsono.

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, pp 341 – 57.

King and others. 1998. Confirmatory factor analysis of the clinician-administered

PTSD scale. Psychol Asses:10:90-96

Lenaerts and Couch. 2004. Post traumatic headache, Current Treatment Options in

Neurology, 6:507–517

Marzo S J, Leonetti J P, Raffin M J, Letarte P, 2004. Diagnosis and Management of

Post Traumatic Vertigo. Diakses melalui ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15454760

(24 Februari 2013).

Pulec JL, DeGuine C. 2001. Hemotympanum from trauma. ENT journal, Vol80, 486

Radanov BP, Surzenegger M, Schnidrig A. 1994. Relation between ... Br. J. Rheum:

33:442-448

Rubin AM. 1997. Dizziness associated with head-and-neck trauma. AudioDigest Vol

30, #22.

Sherwood L., 2001. Sistem Saraf Perifer; Difisi Aferen; Indera: in Fisiologi Manusia

dari Sistem ke Sel. 2nd ed. Jakarta – EGC, pp 186 – 9.

Sidharta Priguna. 2009. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian

Rakyat.

Spies et al. 2008. Pocket Guide Pain Management. Verlag Berlin Heidel berg;

Springer.

Stein MB. 2002. A 46 year-old man with anxiety and nightmares after a motor

vehicle collision. JAMA 288:12:1513-1522.

Suhartono, 2005. Pengaruh Kelelahan Otot Anggota Gerak Bawah Terhadap

Keseimbangan Postural Pada Subyek Sehat (Tesis). Semarang: Program Studi

Rehabilitasi Medik Universitas Diponegoro. Diakses melalui

eprints.undip.ac.id/12496/1/2005FK4839.pdf (24 Februari 2013).

Tusa RJ, Kaplan PW, Hain TC, Naidu S. 1990. Ipsiversive eye deviation and epileptic

nystagmus. Neurology.

36

Page 37: Referat vertigo

Walker. 2007. Cluster Headache and Head Trauma: Is There an Association?.

Current Pain and Headache Reports , 11:137–140

Watson M A & Owen Black. 2008. The Human Balance System. Portland: Vestibular

Disorders Association. Diakses melalui

vestibular.org/sites/default/files/page_files/Human%20Balance

%20System_0.pdf (24 Februari 2013).

Wreksoatmojo, Budi Rianto. 2004. Vertigo: Aspek Neurologi dalam Cermin Dunia

Kedokteran No. 144.

Yaremchuck K, Dobie RA. 2001. Otologic injuries from airbag deployment.

Otolaryngol Head Neck Surg; 125: 130-4.

37


Related Documents