BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KLFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT
JUNI 2013
TES PENGHIDU
DISUSUN OLEH:
Sarnisyah Dwi Martiani C111 08 101
Farnisyah Febriani C111 08 102
PEMBIMBING :
dr. Dewi Sinta
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
1
TES PENGHIDU
A. Pendahuluan
Pada manusia fungsi penghidu memiliki peranan penting. Gangguan
penghidu dapat menyebabkan seseorang tidak dapat mendeteksi kebocoran gas,
tidak dapat membedakan makanan basi, mempengaruhi selera makan,
mempengaruhi psikis, dan kualitas hidup seseorang.1,2
Insiden gangguan penghidu di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 1,4% dari
penduduk. Di Austria, Switzerland, dan Jerman sekitar 80.000 penduduk pertahun
berobat ke bagian THT dengan keluhan gangguan penghidu. Penyebab tersering
gangguan penghidu adalah trauma kepala, penyakit sinonasal dan infeksi saluran
nafas atas.3,4
Ada beberapa modalitas pemeriksaan kemosensoris fungsi penghidu, tapi
jarang digunakan secara rutin di berbagai rumah sakit. Hal ini disebabkan
harganya cukup mahal dan odoran yang terdapat dalam pemeriksaan
kemosensoris penghidu ini tidak familiar antara suatu negara dengan negara lain.
Alat pemeriksaan kemosensoris fungsi penghidu yang berkembang dan banyak
dipakai di negara Eropa seperti Jerman, Austria dan Switzerland adalah tes
“Sniffin Sticks”. Tes ini dapat menilai ambang penghidu, diskriminasi penghidu
dan identifikasi penghidu . 2,5
B. Anatomi hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali
tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan
diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat
berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan.6
a) Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
2
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung
(hip),4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. 6
b) Anatomi hidung dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral
terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka
inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media
disebut meatus superior.7,8
Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam
(dikutip dari kepustakaan 9)
3
b.1 Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago
septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior
dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.7
b.2 Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal
os palatum.6,7,8
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-
filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius
berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka
superior.6,7,8
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian
dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial.6,7,8
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media
disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka
suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal
4
dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.6,7,8
b.3 Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus
sfenoid. 6,7,8
b.4 Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior
konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah
yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara
atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius
dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal,
antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum.
Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-
sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di
depan infundibulum. 6,7,8
b.5 Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril. 6,7,8
5
b.6 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan
bagian luar oleh lamina pterigoideus. 6,7,8
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah
apeks prosesus zygomatikus os maksilla. 6,7,8
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris
dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari
orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari
rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel
goblet 10
c). Vaskularisasi hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis. 6,7,8
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak. 6,7,8
6
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial. 6,7,8
d). Inervasi hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. 6,7,8
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.6,7,8
C. Fisiologi hidung
Bagian dari fungsi penghidu yang terlibat adalah neuroepitel olfaktorius,
bulbus olfaktorius dan korteks olfaktorius.11
A. Neuroepitel olfaktorius
Neuroepitel olfaktorius terdapat di atap rongga hidung, yaitu di konka
superior, septum bagian superior, konka media bagian superior atau di dasar
lempeng kribriformis. (Gambar 1). Luas area olfaktorius ini ± 5 cm2.
Neuroepitel olfaktorius merupakan epitel kolumnar berlapis semu yang
berwarna kecoklatan, warna ini disebabkan pigmen granul coklat pada sitoplasma
kompleks golgi.11
7
Gambar 2. Regio neuroepitel olfaktorius
(dikutip dari kepustakaan 11)
Sel di neuroepitel olfaktorius ini terdiri dari sel pendukung yang
merupakan reseptor olfaktorius. Terdapat 20-30 miliar sel reseptor. Pada ujung
dari masing-masing dendrit terdapat olfactory rod dan diujungnya terdapat silia.
Silia menonjol pada permukaan mukus. Pada neuroepitel ini terdapat sel
penunjang atau sel sustentakuler. sel ini berfungsi sebagai pembatas antara sel
reseptor, mengatur komposisi ion lokal mukus dan melindungi epitel olfaktorius
dari kerusakan akibat benda asing. Mukus dihasilkan oleh kelenjar Bowman’s
yang terdapat pada bagian basal sel (Gambar 3)11
Gambar 3. Membran mukus dari neuroepitel olfaktorius.
(dikutip dari kepustakaan 11)
8
Melalui proses inhalasi udara, odoran sampai di area olfaktorius, bersatu
dengan mukus yang terdapat di neuroepitel olfaktorius dan berikatan dengan
reseptor protein G yang terdapat pada silia. Ikatan protein G dengan reseptor
olfaktorius akan menyebabkan stimuli guanine nucleotide, yang akan
mengaktifkan enzim adenilat siklase untuk menghasilkan second messenger yaitu
adenosin monofosfat. Ini akan menyebabkan masuknya Na+ dan Ca2+ ke dalam
sel dan menghasilkan depolarisasi sel membran dan menghasilkan penjalaran
impuls ke bulbus olfaktorius (gambar 4).11
Gambar 4. Proses transduksi dari stimulus olfaktorius.
(dikutip dari kepustakaan 11)
B. Bulbus olfaktorius
Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus frontal. Bundel
akson saraf penghidu (fila) berjalan dari rongga hidung dari lempeng kribriformis
diteruskan ke bulbus olfaktorius. Dalam masing-masing fila terdapat 50 sampai
200 akson reseptor penghidu pada usia muda, dan jumlah akan berkurang dengan
bertambahnya usia. Akson dari sel reseptor yang masuk akan bersinap dengan
9
dendrit dari neuron kedua dalam gromerulus. Perjalanan impuls di bulbus
olfaktorius (Gambar 5).11
Gambar 5. Proyeksi skematik neuroreseptor olfaktorius ke bulbus olfaktorius.
(dikutip dari kepustakaan 11)
C. Korteks olfaktorius
Terdapat 3 komponen korteks olfaktorius, yaitu pada korteks frontal
merupakan pusat persepsi terhadap penghidu. Pada area hipotalamus dan
amygdala merupakan pusat emosional terhadap odoran, dan area enthorinal
merupakan pusat memori dari odoran (gambar 6).
Gambar 6. Korteks olfaktorius.
(dikutip dari kepustakaan 11)
10
Saraf yang berperan dalam sistem penghidu adalah nervus olfaktorius (N
I). Filamen saraf mengandung jutaan akson dari jutaan sel-sel reseptor. Satu jenis
odoran mempunyai satu reseptor tertentu, dengan adanya nervus olfaktorius kita
bisa mencium bau seperti bau strawberi, apel, dan lain-lain.6,7,8,11
Saraf lain yang terdapat dihidung adalah saraf somatosensori trigeminus
(N V). Letak saraf ini tersebar diseluruh mukosa hidung dan kerjanya dipengaruhi
rangsangan kimia maupun nonkimia. Kerja saraf trigeminus tidak sebagai indera
penghidu tapi menyebabkan seseorang dapat merasakan stimuli iritasi, rasa
terbakar, rasa dingin, rasa geli dan dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak
atau beberapa jenis asam. Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan nervus
trigeminus berinteraksi secara fisiologis.7,8,11
Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal (N O) dan
organ vomeronasal (VMO). Sistem saraf terminal merupakan pleksus saraf
ganglion yang banyak terdapat di mukosa sebelum melintas ke lempeng
kribriformis. Fungsi saraf terminal pada manusia belum diketahui pasti. Organ
rudimeter vomeronasal disebut juga organ Jacobson’s. Pada manusia saraf ini
tidak berfungsi dan tidak ada hubungan antara organ ini dengan otak. Pada
pengujian elektrofisiologik, tidak ditemukan adanya gelombang pada organ ini.11
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Einbenstein A, Fiorini AB, Lena C, Rosati N, Oktaviano I, Fuseti M.
olfactoryscreening test: exerience in 102 Italian subjects. Acta
Otorhinolaringol 2005; 25: 18-22
2. Doty RL, Bromley SM, Panganiban WD. Olfactory function and disfunction.
In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head and Neck Surgery
Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2006. p.
290-305.
3. Hummel T, Lotsch J. Prognostic factor of olfactory dysfunction. Arch
Otolaryngol Head neck surg 2010; 134(4): 347-51
4. Hummel T, Nordin S. Smell loss, sosi white paper: Quality of live in
olfactory disfunction. Available from http: //www. senseofsmell. org/ smell-
loss- whitepaper-full. Php#olfactoryfunction
5. Mueller CA, Grasinger E, Naka A, Temmel AFP, Hummel T, Kobal G. A
self administered odor identification test procedure using the "sniffin sticks”.
Chem Senses 2006; 31: 595-98
6. Soetjipto D., Wardani RS.2007. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK
UI, hal : 118-122.
7. Dhingra PL. Disease of Ear Nose and Throat. 4thEd.New Delhi, India :
Elsevier. 2007. pp : 129-135; 145-148.
8. Heilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi TerapanDalam : Boies Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,
1997. hal : 173-189.
9. Seidel,et.al. The Nasal Cavity. Available at
http://www.answers.com/topic/nasal-cavity accessed at June 2013
10. Sobol SE. 2007. Sinusitis Acute Medical Treatment available in :
http://www.emedicine.com/ent/topic337.htm
11. Effy huriyati, Bestari Jaka Budiman, Tuti nelvia. Gangguan fungsi penghidu
dan pemeriksaannya. Fakultas kedokteran Universitas Andalas; Padang.
12