YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript

REFERAT THTGANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING

DISUSUN OLEH :

RENNY DWI SANDHITIA SARI1102010235

PRESEPTOR dr. H. Gunawan Kurnaedi, Sp. THT-KLdr. Elananda, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSU Dr. SLAMET GARUT

PERIODE 6 APRIL 2015 8 MEI 2015

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji dan syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING yang disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kepaniteraan di bagian THT RSU dr. Slamet Garut.

Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:1. Dr. H. W. Gunawan Kurnaedi Sp.THT-KL selaku kepala SMF dan konsulen THT RSU dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada penyusun.1. Dr. Elananda Sp.THT-KL selaku Konsulen THT RSU dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada penyusun.1. Para perawat di poliklinik THT yang telah banyak membantu penyusun dalam kegiatan klinik sehari-hari.1. Orang tua dan keluarga yang tidak pernah berhenti memberi kasih sayang, mendoakan dan memberi dukungan kepada penyusun. 1. Teman-teman sejawat yang telah banyak memberikan inspirasi dan dukungannya.

Penyusun menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, untuk itu penyusun mengharapkan kritik serta saran. Semoga dengan adanya referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi semua pihak.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Garut, April 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR . 1DAFTAR ISI 2BAB I PENDAHULUAN 3BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA 42.1 Anatomi Telinga 42.2 Fisiologi Pendengaran7BAB III GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING 9 3.1 Definisi Gangguan Pendengaran Akibat Bising 93.2 Epidemiologi Gangguan Pendengaran Akibat Bising93.3 Etiologi Gangguan Pendengaran Akibat Bising93.4 Bunyi 10 3.4.1 Sifat Gelombang Suara 11 3.4.2 Intensitas Bunyi 11 3.4.3 Bising......12 3.5Klasifikasi Gangguan Pendengaran Akibat Bising............................... 133.6 Pengaruh Kebisingan Pada Pendengaran143.7 Patogenesis Gangguan Pendengaran Akibat Bising 153.8 Gambaran Klinis Gangguan Pendengaran Akibat Bising173.9 Diagnosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising183.10 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran Akibat Bising213.11 Prognosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising 213.12 Pencegahan Gangguan Pendengaran Akibat Bising 223.13 Program Konservasi Pendengaran 23BAB IV KESIMPULAN 25DAFTAR PUSTAKA 26

BAB IPENDAHULUAN

Bising industri sudah lama merupakan masalah yang sampai sekarang belum bisa ditanggulangi secara baik sehingga dapat menjadi ancaman serius bagi pendengaran para pekerja, karena dapat menyebabkan kehilangan pendengaran yang sifatnya permanen.Gangguan pendengaran akibat bising ( noise induced hearing loss / NIHL ) merupakan tuli akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Tuli akibat bising merupakan jenis ketulian sensorineural yang paling sering dijumpai setelah presbikusis. Sifat ketuliannya adalah tuli saraf koklea dan biasanya terjadi pada kedua telinga.

Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekwensi tinggi, lebih lama terpapar bising, kepekaan individu dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian.

Sound Hearing 2030 adalah program yang bertujuan menurunkan angka gangguan pendengaran sebesar 50% pada tahun 2015, dan 90% pada tahun 2030 melalui pengembangan sistem pemeliharaan kesehatan berkelanjutan.

Konservasi pendengaran adalah program yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan atau kehilangan pendengaran tenaga kerja akibat kebisingan di tempat kerja. Salah satu tujuan program konservasi pendengaran adalah mengetahui status kesehatan pendengaran tenaga kerja yang terpajan bising berdasarkan data.

BAB IIANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA

2.1 ANATOMI TELINGA Secara umum telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar sendiri terbagi atas daun telinga, liang telinga dan bagian lateral dari membran timpani.Daun telinga di bentuk oleh tulang rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit. Ke arah liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong menutupi hampir sepertiga lateral, dua pertiga lainnya liang telinga dibentuk oleh tulang yang ditutupi kulit yang melekat erat dan berhubungan dengan membran timpani. Bentuk daun telinga dengan berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus dengan panjang sekitar 2,5 cm, akan menyebabkan terjadinya resonansi bunyi sebesar 3500 Hz . Telinga tengah berbentuk seperti kubah dengan enam sisi. Telinga tengah terbagi atas tiga bagian dari atas ke bawah, yaitu epitimpanum terletak di atas dari batas atas membran timpani, mesotimpanum disebut juga kavum timpani terletak medial dari membran timpani dan hipotimpanum terletak kaudal dari membran timpani. Organ konduksi di dalam telinga tengah ialah membran timpani, rangkaian tulang pendengaran, ligamentum penunjang, tingkap lonjong dan tingkap. Kontraksi otot tensor timpani akan menarik manubrium maleus ke arah anteromedial, mengakibatkan membran timpani bergerak ke arah dalam, sehingga besarenergi suara yang masuk dibatasi. Fungsi dari telinga tengah akan meneruskan energi akustik yang berasal dari telinga luar kedalam koklea yang berisi cairan. Sebelum memasuki koklea bunyi akan diamplifikasi melalui perbedaan ukuran membran timpani dan tingkap lonjong, daya ungkit tulang pendengaran dan bentuk spesifik dari membran timpani. Meskipun bunyi yang diteruskan ke dalam koklea mengalami amplifikasi yang cukup besar, namun efisiensi energi dan kemurnian bunyi tidak mengalami distorsi walaupun intensitas bunyi yang diterima sampai 130 Db. Aktifitas dari otot stapedius disebut juga reflek stapedius pada manusia akan muncul pada intensitas bunyi diatas 80 Db (SPL) dalam bentuk reflek bilateral dengan sisi homolateral lebih kuat. Reflek otot ini berfungsi melindungi koklea, efektif pada frekuensi kurang dari 2 khz dengan masa latensi 10 mdet dengan daya redam 5-10 Db. Dengan demikian dapat dikatakan telinga mempunyai filter terhadap bunyi tertentu, baik terhadap intensitas maupun frekuensi. Anatomi Telinga (Dhingra PL., 2007) Telinga dalam terdiri dari organ kesimbangan dan organ pendengaran. Telinga dalam terletak di pars petrosus os temporalis dan disebut labirin karena bentuknya yang kompleks. Telinga dalam pada waktu lahir bentuknya sudah sempurna dan hanya mengalami pembesaran seiring dengan pertumbuhan tulang temporal. Telinga dalam terdiri dari dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin membranosa. Labirin tulang merupakan susunan ruangan yang terdapat dalam pars petrosa os temporalis ( ruang perilimfatik) dan merupakan salah satu tulang terkeras. Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan kohlea. Vestibulum merupakan bagian yang membesar dari labirin tulang dengan ukuran panjang 5 mm, tinggi 5 mm dan dalam 3 mm. Dinding medial menghadap ke meatus akustikus internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial terdapat dua cekungan yaitu spherical recess untuk sakulus dan eliptical recess untuk utrikulus. Di bawah eliptical recess terdapat lubang kecil akuaduktus vestibularis yang menyalurkan duktus endolimfatikus ke fossa kranii posterior diluar duramater. Di belakang spherical recess terdapat alur yang disebut vestibular crest. Pada ujung bawah alur ini terpisah untuk mencakup recessus kohlearis yang membawa serabut saraf kohlea kebasis kohlea. Serabut saraf untuk utrikulus, kanalis semisirkularis superior dan lateral menembus dinding tulang pada daerah yang berhubungan dengan N. Vestibularis pada fundus meatus akustikus internus. Di dinding posterior vestibulum mengandung 5lubang ke kanalis semisirkularis dan dinding anterior ada lubang berbentuk elips ke skala vestibuli kohlea .

Anatomi Telinga Dalam (Dhingra PL., 2007) Ada tiga buah semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis superior, posterior dan lateral yang terletak di atas dan di belakang vestibulum. Bentuknya seperti dua pertiga lingkaran dengan panjang yang tidak sama tetapi dengan diameter yang hampir sama sekitar 0,8 mm. Pada salah satu ujungnya masing-masing kanalis ini melebar disebut ampulla yang berisi epitel sensoris vestibular dan terbuka ke vestibulum. Ampulla kanalis superior dan lateral letaknya bersebelahan pada masing-masing ujung anterolateralnya, sedangkan ampulla kanalis posterior terletak dibawah dekat lantai vestibulum. Ujung kanalis superior dan inferior yang tidak mempunyai ampulla bertemu dan bersatu membentuk crus communis yang masuk vestibulum pada dinding posterior bagian tengah. Ujung kanalis lateralis yang tidak memiliki ampulla masuk vestibulum sedikit dibawah cruss communis .Kanalis lateralis kedua telinga terletak pada bidang yang hampir sama yaitu bidang miring ke bawah dan belakang dengan sudut 30 derajat terhadap bidang horizontal bilaorang berdiri. Kanalis lainnya letaknya tegak lurus terhadap kanal ini sehingga kanalis superior sisi telinga kiri letaknya hampir sejajar dengan posterior telinga kanan demikian pula dengan kanalis posterior telinga kiri sejajar dengan kanalis superior telinga kanan . Koklea membentuk tabung ulir yang dilindungi oleh tulang dengan panjang sekitar 35 mm dan terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala timpani dan skala vestibuli berisi cairan perilimfa dengan konsentrasi K+ 4 mEq/l dan Na+ 139 mEq/l. Skala media berada dibagian tengah, dibatasi oleh membran reissner, membran basilaris, lamina spiralis dan dinding lateral, berisi cairan endolimfa dengan konsentrasi K+ 144 mEq/l dan Na+ 13 mEq/l. Skala media mempunyai potensial positif (+ 80 mv) pada saat istirahat dan berkurang secara perlahan dari basal ke apeks .

Organ corti terletak di membran basilaris yang lebarnya 0.12 mm di bagian basal dan melebar sampai 0.5 mm di bagian apeks, berbentuk seperti spiral. Beberapa komponen penting pada organ corti adalah sel rambut dalam, sel rambut luar, sel penunjang Deiters, Hensens, Claudius, membran tektoria dan lamina retikularis .Sel-sel rambut tersusun dalam 4 baris, yang terdiri dari 3 baris sel rambut luar yang terletak lateral terhadap terowongan yang terbentuk oleh pilar-pilar Corti, dan sebaris sel rambut dalam yang terletak di medial terhadap terowongan. Sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3500 dan sel rambut luar dengan jumlah 12000 berperan dalam merubah hantaran bunyi dalam bentuk energi mekanik menjadi energi listrik .

Organ Corti (Dhingra PL., 2007) Vaskularisasi telinga dalam Vaskularisasi telinga dalam berasal dari A. Labirintin cabang A. Cerebelaris anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis. Arteri ini masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A. Vestibularis anterior dan A. Kohlearis communis yang bercabang pula menjadi A. Kohlearis dan A. Vestibulokohlearis. A. Vestibularis anterior memperdarahi N. Vestibularis, urtikulus dan sebagian duktus semisirkularis. A.Vestibulokohlearis sampai di mediolus daerah putaran basal kohlea terpisah menjadi cabang terminal vestibularis dan cabang kohlear. Cabang vestibularmemperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal kohlea. Cabang kohlear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen spiralis. A. Kohlearis berjalan mengitari N. Akustikus di kanalis akustikus internus dan didalam kohlea mengitari modiolus .Vena dialirkan ke V.Labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus petrosus superior dan inferior .

Persarafan telinga dalam N.Vestibulokohlearis (N.akustikus) yang dibentuk oleh bagian kohlear dan vestibular, didalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar N.Fasialis dan masuk batang otak antara pons dan medula. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh N.Kohlearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak didasar dari meatus akustikus internus. Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi N.Kohlearis dengan ganglion spiralis corti terletak di modiolus .

2.2 FISIOLOGI PENDENGARAN

Beberapa organ yang berperan penting dalam proses pendengaran adalah membran tektoria, sterosilia dan membran basilaris. Interaksi ketiga struktur penting tersebut sangat berperan dalam proses mendengar. Pada bagian apikal sel rambut sangat kaku dan terdapat penahan yang kuat antara satu bundel dengan bundel lainnya, sehingga bila mendapat stimulus akustik akan terjadi gerakan yang kaku bersamaan. Pada bagian puncak stereosillia terdapat rantai pengikat yang menghubungkan stereosilia yang tinggi dengan stereosilia yang lebih rendah, sehingga pada saat terjadi defleksi gabungan stereosilia akan mendorong gabungan-gabungan yang lain, sehingga akan menimbulkan regangan pada rantai yang menghubungkan stereosilia tersebut. Keadaan tersebut akan mengakibatkan terbukanya kanal ion pada membran sel, maka terjadilah depolarisasi. Gerakan yang berlawanan arah akan mengakibatkan regangan pada rantai tersebut berkurang dan kanal ion akan menutup. Terdapat perbedaan potensial antara intra sel, perilimfa dan endolimfa yang menunjang terjadinya proses tersebut. Potensial listrik koklea disebut koklea mikrofonik, berupa perubahan potensial listrik endolimfa yang berfungsi sebagai pembangkit pembesaran gelombang energi akustik dan sepenuhnya diproduksi oleh sel rambut luar .Pola pergeseran membran basilaris membentuk gelombang berjalan dengan amplitudo maksimum yang berbeda sesuai dengan besar frekuensi stimulus yang diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang timbul oleh bunyi berfrekuensi tinggi (10 kHz) mempunyai pergeseran maksimum pada bagian basal koklea, sedangkan stimulus berfrekuensi rendah (125 kHz) mempunyai pergeseran maksimum lebih kearah apeks. Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat mencapai bagian apeks, sedangkan bunyi berfrekuensi sangat rendah dapat melalui bagian basal maupun bagian apeks membran basilaris. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan gerakan membran basilaris pada frekuensi tertentu. Keadaan ini disebut sebagai cochlear amplifier.

Skema Fisiologi Pendengaran (Hall, J. 1998)

Skema proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga luar, lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke telinga dalam dan di proyeksikan pada membran basilaris, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran.

BAB III

GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING

3.1 DEFINISI

Noise induced hearing loss adalah hilangnya sebahagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat permanen, mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan tempat kerja. Dalam lingkungan industri, semakin tinggi intensitas kebisingan dan semakin lama waktu pemaparan kebisingan yang dialami oleh para pekerja, semakin berat gangguan pendengaran yang ditimbulkan pada para pekerja tersebut.

3.2 EPIDEMIOLOGITuli akibat bising merupakan tuli sensorineural yang paling sering dijumpai setelah presbikusis. Lebih dari 28 juta orang Amerika mengalami ketulian dengan berbagai macam derajat, dimana 10 juta orang diantaranya mengalami ketulian akibat terpapar bunyi yang keras pada tempat kerjanya. Sedangkan Sataloff dan Sataloff ( 1987 ) mendapati sebanyak 35 juta orang Amerika menderita ketulian dan 8 juta orang diantaranya merupakan tuli akibat kerja.Gangguan pendengaran akibat pajanan bising (NIHL) sering dijumpai pada pekerja industri di negara maju maupun negara berkembang, terutama negara industri yang belum menerapkan sistem perlindungan pendengaran dengan baik. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dalam upaya meningkatkan pembangunan banyak menggunakan peralatan industri yang dapat membantu dan mempermudah pekerjaan. Akibatnya, timbul bising lingkungan kerja yang dapat berdampak buruk terhadap para pekerja. Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA )batas aman pajanan bising bergantung pada lama pajanan, frekuensi dan intensitas bising serta kepekaan individu dan beberapa faktor lain. Di Indonesia khususnya dan negara lain umumnya, pajanan bising yang dianggap cukup aman adalah pajanan rata-rata sehari dengan intensitas bising tidak melebihi 85 Db selama 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.

3.3 ETIOLOGI

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan :1. Intensitas kebisingan2. Frekwensi kebisingan3. Lamanya waktu pemaparan bising4. Kerentanan individu5. Jenis kelamin6. Usia7. Kelainan di telinga tengah

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan penurunan ambang dengar akibat bising, yakni lama paparan bising, frekuensi paparan bising, tingkatan/besaran paparan, usia dan jenis kelamin dari penderita . bising maupun tingkatan/besar paparan bising. Semakin lama dan semakin tinggi tingkatan/besar paparan bising akan menimbulkan peningkatan NIPTS pada frekuensi percakapan . Derajat gangguan pendengaran berdasarkan International Standard Organization (ISO) adalah normal (0 25 dB), tuli ringan (26 40 dB), tuli sedang (41 60 dB), tuli berat (61 90 dB), dan tuli sangat berat (>90 dB) . Penelitian oleh Karl D. Kryter pada tahun 1965 menunjukkan bahwa perbedaan jenis bising yang diterima oleh pekerja juga mempengaruhi besarnya pergeseran ambang dengar. Penelitian Coles (1963), menyatakan bahwa tingkat tekanan suara dari senjata otomatis sebesar 174 dB. Glorig dan Wheeler (1955) menyatakan bahwa bising yang di timbulkan senjata genggam sebesar 180 dB. Yarington (1968) menemukan tekanan suara akibat ledakan meriam Howitzer 105 sebesar 190 dB dan anti tank sebesar 185,6 dB . Lama paparan bising lebih dari 10 tahun akan menyebabkan peningkatan NIPTS (Noise Induce Permanen Treshold Shift) terutama pada frekuensi 4 KHz. Tingkatan/besaran paparan bising diatas 85 dBA pada frekuensi tinggi lebih cepat menyebabkan gangguan dengar dibandingkan pada frekuensi rendah (Dobie RA, 1998). Gangguan dengar yang terjadi pada frekuensi percakapan 500, 1000, 2000, dan 3000 Hz (berdasarkan AMA hearing handicap scale) tergantung dari lama paparan.

3.4 Bunyi Bunyi adalah gelombang yang timbul dari getaran moleku-molekul benda yang saling beradu sama lain dan terkoordinasi. Gelombang tersebut akan meneruskan energi dan sebagian dipantulkan kembali. Dalam perambatannya bunyi memerlukan media. Media tempat gelombang bunyi merambat harus mempunyai massa dan elastisitas. Pada umumnya medianya adalah udara. Gelombang bunyi tidak di rambatkan di ruang hampa. Kecepatan rambatan bunyi melalui udara sebesar 340 meter/detik. Pada medium yang berbeda, kecepatan bunyi dapat meningkat. Melalui air kecepatan bunyi dapat meningkat 4 kali, dan melalui besi menjadi 14 kali lebih besar . Gelombang bunyi disebarkan ke berbagai arah di udara. Apabila suatu benda bergetar, maka getaran tersebut akan diteruskan ke lapisan udara disekitarnya dan selanjutnya dirambatkan terus ke lapisan udara yang lebih jauh, begitu seterusnya. Di udara, getaran melakukan pemampatan (compression) dan perenggangan (rarefaction) yang timbul bersamaan dengan getaran sumber bunyi. Di daerah pemampatan, tekanan udara lebih tinggi dari normal. Bila sumber bunyi berhenti bergetar, maka udara akan kembali ke keadaan awal (status istirahat) dan penyebaran tekanan yang cepat akan berhenti. Jenis getaran bunyi dapat di bedakan menjadi getaran selaras dan getaran tak selaras (Bashiruddin J, 2002). Getaran selaras adalah getaran harmonik sederhana atau di kenal juga dengan getaran sinusoidal. Contohnya adalah garpu tala yang bergetar. Sedangkan contoh getaran tidak selaras dikenal sebagai bunyi bising, desis, gemeretak, desir atau detakan. Bunyi yang dapat didengar memiliki periode 1/20 sampai 1/15.000 detik, tergantung dari frekuensi getarannya (Dobie R , 1998). Frekuensi adalah jumlah getaran per detik. Jika suatu periode berakhir selama 1/100 detik, maka berarti terdapat 100 getaran (cycle/siklus). Di Eropa, satuan ini di sebut Hertz dan di singkat Hz, untuk menghormati ahli fisika Jerman yang bernama Heinrich Hertz. Selanjutnya terminologi ini di berlakukan oleh Badan Standar Internasional (International Standard Association) untuk dibakukan. Frekuensi merupakan suatu besaran fisik yang dapat diukur dengan pasti (Ballenger, 1996). Bila dua garpu tala mempunyai frekuensi yang sama kita bunyikan dengan kekuatan yang berbeda, maka akan terdengar bahwa salah satu akan berbunyi lebih keras. Garpu tala yang dipukul lebih keras akan terjadi gerakan maksimum yang berkaitan dengan perubahan tekanan udara yang lebih tinggi. Secara sederhana keadaan ini disebut Amplitudo-nya lebih besar. Perbedaan tekanan udara inipun dapat diukur secara tepat karena juga merupakan besaran fisik. Satuan tekanan udara = 1 dyne/cm2 = mikrobar (Mills JH, 1998). Bunyi dapat dibedakan dalam 3 rentang frekuensi yaitu 0-20 Hz (infrasonik), 20-18.000 Hz (sonik), dan >18.000 Hz (ultrasonik). Infrasonik tidak dapat dideteksi oleh telinga manusia, biasanya ditimbulkan oleh getaran tanah, bangunan maupun truk dan kendaraan besar. Bila getaran dengan frekuensi infra mengenai tubuh akan menyebabkan resonansi dan akan terasa nyeri pada beberapa bagian tubuh. Frekuensi dari 20-18.000 Hz merupakan frekuensi yang dapat dideteksi telinga manusia. Frekuensi di atas 20.000 Hz, dalam bidang kedokteran digunakan dalam 3 hal yaitu pengobatan, penghancuran dan diagnosis (P.W.Alberti, 1997). Untuk membuat udara bergetar dibutuhkan energi. Energi sebanding dengan tekanan per satuan luas. Daya yang di butuhkan untuk menghasilkan bunyi yang mulai terdengar adalah 10-16 watt/cm2 (Wright A., 1997).

3.4.1 Sifat gelombang suara

Bila gelombang suara membentur suatu rintangan atau dinding maka kemungkinan yang terjadi adalah gelombang tersebut dipantulkan, dilenturkan, dibiaskan, diabsorpsi atau diteruskan. Fenomena ini tergantung pada hubungan antara panjang gelombang suara, ukuran rintang beberapa jenis dinding dan sudut datang. Permukaan gelombang didefinisikan sebagai suatu prmukaan di mana seluruh partikelnya bergetar satu fase. Sebagai contoh, bila suatu titik sumber memancar, gelombang akan menyebar secara seragam ke segala arah dan permukaan gelombang berbentuk lengkung. Tetapi bila seseorang yang berada cukup jauh, maka permukaan gelombang yang ditangkapnya akan berbentuk relatif lebih datar. Apabila tidak terdapat permukaan yang memantul, maka gelombang akan merambat secara bebas. Apabila gelombang bunyi menabrak suatu dinding padat, sebagian dari energinya akan di pantulkan dan sebagian lagi akan dirambatkan serta sebagian lain akan diserap melalui massa dinding tersebut. Tetapi apabila dindingnya tipis, energi bunyinya akan dirambatkan. Oleh karena telinga kita memiliki respon yang kurang lebih logaritmis terhadap energi bunyi, maka bila menginginkan suatu sekat suara yang baik, penting sekali untuk menurunkan energi ke tingkat di bawah 1/1000 kali (Wright A., 1997).

3.4.2 Intensitas bunyi: Desibel (dB)

Cakupan tekanan suara yang dapat diterima oleh telinga normal sangat luas sehingga sulit untuk mengetahui angkanya. Dekat ambang dengar, bunyi mempunyai tekanan sebesar kira-kira 2/10.000 dyne/cm2. Tekanan ini harus dikalikan 10 juta kali untuk dapat menyebabkan rasa nyeri di telinga. Skala desibel (dB) dipakai agar angka-angka dalam cakupan frekuensi itu dapat diikuti. Hal ini dilakukan dengan memilih satu titik tertentu pada skala penekanan sebagai dasar, dan menyatakan titik-titik lain pada skala sebagai rasio dari dasar ini, mengambil angka logaritma dari rasio ini, kemudian angka logaritma tersebut dikalikan 20 (Bashiruddin, 2002). Tidak akan ada artinya membicarakan desibel bila titik awalnya tidak ditentukan. Suatu bunyi dengan tekanan tertentu dapat mempunyai beberapa nilai desibel, tergantung dari tekanan mana yang dipilih sebagai angka nol untuk titik awal pada skala. Pada prakteknya, ada 3 titik awal yang sering dipakai pada skala desibel. Pertama yakni 0.0002 dyne/cm2, yang dipilih karena dulu angka ini dianggap sebagai tekanan suara yang sesuai dengan pendengaran yang terbaik manusia. Titik awal lain adalah ambang rata-rata pendengaran normal. Yang terakhir, 1 dyne/cm2(1 mikrobar) sering dipakai sebagai tekanan pembanding, terutama untuk kalibrasi mikrofon. Skala dengan titik awal 0.0002 dyne/cm 2 disebut skala tingkat tekanan suara (Sound Pressure Level = SPL). Jadi 60 dB SPL berarti tekanan 60 dB diatas 0.0002 dyne/cm2. Skala berdasarkan ambang pendengaran rata-rata normal disebut skala tingkat ambang dengar (Hearing Treshold Level) atau skala ambang dengar (Hearing Level= HL). Jadi 60 dBHL berarti tekanan 60 desibel diatas ambang tekanan standar pembanding yang sesuai dengan pendengaran normal rata-rata frekuensi ini (Keith, 1989). Perbedaan penting antara kedua skala ini adalah skala SPL berdasarkan suatu titik awal fisika (0.0002 dyne/cm2), sedangkan skala HL berdasarkan titik awal ukuran psikologik atau perilaku, yakni pendengaran normal rata-rata. Tanda desibel pada angka gangguan pendengaran suatu audiometer mengikuti skala ambang dengar (HL). Titik nol pada angka gangguan frekuensi tertentu adalah sebenarnya, tingkat suara yang sesuai dengan rata-rata ambang dengar tersebut, seperti yang ditetapkan oleh American National Standard Institute (ANSI) (Dobie R. A., 2009)

3.4.3 Bising

Beberapa ahli mendefinisikan bising secara subyektif sebagai bunyi yang tidak diinginkan, tidak disukai, dan mengganggu. Secara obyektif bising terdiri atas getaran bunyi kompleks yang terdiri atas berbagai frekuensi dan amplitudo, baik yang getarannya bersifat periodik maupun nonperiodik.Bising mencakup efek fisiologik dan psikologik. Secara fisik bising merupakan gabungan berbagai macam bunyi dengan berbagai frekuensi yang sebagian besar hampir tidak mempunyai periodisitas. Meskipun demikian komponen bising dapat diukur serta dianalisis secara khusus. Secara fisiologik, akustik dan elektronik bising adalah sinyal yang kadang-kadang tidak mempunyai arti atau tidak berguna dengan intensitas yang berubah secara acak setiap saat. Bising mempunyai satuan frekuensi atau jumlah getar per detik yang dituliskan dalam Hertz, dan satuan intensitas yang dinyatakan dalam desibel (Db). Berkaitan dengan pengaruhnya terhadap manusia, bising mempunyai satuan waktu atau lama pajanan yang dinyatakan dalam jam perhari atau jam per minggu.

Berdasarkan sifatnya bising dapat dibedakan menjadi:81. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luasBising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam batas amplitudo kurang lebih 5dB untuk periode 0.5 detik berturut-turut. Contoh: dalam kokpit pesawat helikopter, gergaji sirkuler, suara katup mesin gas, kipas angin, suara dapur pijar, dsb.2. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempitBising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja (misal 5000, 1000 atau 4000 Hz), misalnya suara gergaji sirkuler, suara katup gas.3. Bising terputus-putusBising jenis ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu kebisingan tidak berlangsung terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Contoh kebisingan ini adalah suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang dll4. Bising impulsifBising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya me-ngejutkan pendengarnya. Contoh bising impulsif misalnya suara ledakan mercon, tembakan, meriam dll.5. Bising impulsif berulang-ulangSama seperti bising impulsif, tetapi terjadi berulang-ulang misalnya pada mesin tempa. Bising yang dianggap lebih sering merusak pendengaran adalah bising yang bersifat kontinu, terutama yang memilikis pektrum frekuensi lebar dan intensitas yang tinggi.

Di Indonesia, intensitas bising di tempat kerja yang diperkenankan adalah 85 dB untuk waktu kerja 8 jam perhari, seperti yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja no SE.01/Men/1978 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) untuk kebisingan di tempat kerja.

3.5 KLASIFIKASI

Ketulian akibat pengaruh bising ini dikelompokkan sbb:a. Temporary Threshold Shift = Noise-induced Temporary Threshold Shift = auditoryfatigue = TTSo non-patologiso bersifat sementarao waktu pemulihan bervariasio reversible/bisa kembali normal

Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi pada frekwensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai notch yang curam pada frekwensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch.Pada tingkat awal terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat sementara, yang disebut juga NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising biasanya pendengaran dapat kembali normal.

Penderita TTS ini bila diberi cukup istirahat, daya dengarnya akan pulih sempurna. Untuk suara yang lebih besar dari 85 dB dibutuhkan waktu bebas paparan atau istirahat 3-7 hari. Bila waktu istirahat tidak cukup dan tenaga kerja kembali terpapar bising semula, dan keadaan ini berlangsung terus menerus maka ketulian sementara akan bertambah setiap hari-kemudian menjadi ketulian menetap. Untuk mendiagnosis TTS perlu dilakukan dua kali audiometri yaitu sebelum dan sesudah tenaga kerja terpapar bising. Sebelumnya tenaga kerja dijauhkan dari tempat bising sekurangnya 14 jam.

b. Permanent Threshold Shift (PTS) = Tuli menetapo patologiso menetap

PTS terjadi karena paparan yang lama dan terus menerus. Ketulian ini disebut tuli perseptif atau tuli sensorineural. Penurunan daya dengar terjadi perlahan dan bertahap sebagai berikut : Tahap 1 : timbul setelah 10-20 hari terpapar bising, tenaga kerja mengeluh telinganya berbunyi pada setiap akhir waktu kerja. Tahap 2 : keluhan telinga berbunyi secara intermiten, sedangkan keluhan subjektif lainnya menghilang. Tahap ini berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Tahap 3 : tenaga kerja sudah mulai merasa terjadi gangguan pendengaran seperti tidak mendengar detak jam, tidak mendengar percakapan terutama bila ada suara lain. Tahap 4 : gangguan pendengaran bertambah jelas dan mulai sulit berkomunikasi. Pada tahap ini nilai ambang pendengaran menurun dan tidak akan kembali ke nilai ambang semula meskipun diberi istirahat yang cukup.c. Tuli karena Trauma akustikPerubahan pendengaran terjadi secara tiba-tiba, karena suara impulsif dengan intensitas tinggi, seperti letusan, ledakan da lainnya. Diagnosis mudah dibuat karena penderita dapat mengatakan dengan tepat terjadinya ketulian. Tuli ini biasanya bersifat akut, tinitus, cepat sembuh secara parsial atau komplit.

Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan occupational hearing loss atau kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau nama lainnya ketulian akibat bising industri.Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu bekerja dilingkungan bising selama 10 15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada :1. tingkat suara bising2. kepekaan seseorang terhadap suara bisingNIPTS biasanya terjadi disekitar frekwensi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat dan menyebar ke frekwensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan, tetapi apabila sudah menyebar sampai ke frekwensi yang lebih rendah ( 2000 dan 3000 Hz ) keluhan akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke frekwensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah. Notch bermula pada frekwensi 3000 6000 Hz, dan setelah beberapa waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekwensi yang lebih tinggi. Kehilangan pendengaran pada frekwensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat.

3.6 Pengaruh Kebisingan Pada Pendengaran

Perubahan ambang dengar akibat paparan bising tergantung pada frekwensi bunyi, intensitas dan lama waktu paparan, dapat berupa :1.AdaptasiBila telinga terpapar oleh kebisingan mula-mula telinga akan merasa terganggu oleh kebisingan tersebut, tetapi lama-kelamaan telinga tidak merasa terganggu lagi karena suara terasa tidak begitu keras seperti pada awal pemaparan.

2. Peningkatan ambang dengar sementaraTerjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahanlahan akan kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam bahkan sampai beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran sementara ini mula-mula terjadi pada frekwensi 4000 Hz, tetapi bila pemeparan berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan menyebar pada frekwensi sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan lama waktu pemaparan makin besar perubahan nilai ambang pendengarannya.Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung dari sensitivitas masing-masing individu.

3. Peningkatan ambang dengar menetapKenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama terjadi pada frekwensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen, tidak dapat disembuhkan . Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15 tahun setelah terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa pendengarannya telah berkurang dan baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan audiogram.Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh setelah istirahat beberapa jam ( 1 2 jam ). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama ( 10 15 tahun ) akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti sampai terjadi destruksi total organ Corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan degeneratif pada struktur sel-sel rambut organ Corti. Akibatnya terjadi kehilangan pendengaran yang permanen. Umumnya frekwensi pendengaran yang mengalami penurunan intensitas adalah antara 3000 6000 Hz dan kerusakan alatCorti untuk reseptor bunyi yang terberat terjadi pada frekwensi 4000 Hz (4 K notch).1,3,4,6 Ini merupakan proses yang lambat dan tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat dibuktikan dengan pemeriksaan audiometri. Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut terus berlangsung dalam waktu yang cukup lama, akhirnya pengaruh penurunan pendengaran akan menyebar ke frekwensi percakapan ( 500 2000 Hz ). Pada saat itu pekerja mulai merasakan ketulian karena tidak dapat mendengar pembicaraan sekitarnya.

3.7 PATOGENESIS

Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-selrambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran pada batang otak.

Perubahan anatomi yang berhubungan dengan paparan bisingDari sudut makromekanikal ketika gelombang suara lewat, membrana basilaris meregang sepanjang sisi ligamentum spiralis, dimana bagian tengahnya tidak disokong. Pada daerah ini terjadi penyimpangan yang maksimal. Sel-sel penunjang disekitar sel rambut dalam juga sering mengalami kerusakan akibat paparan bising yang sangat kuat dan hal ini kemungkinan merupakan penyebab mengapa baris pertama sel rambut luar yang bagian atasnya bersinggungan dengan phalangeal process dari sel pilar luar dan dalam merupakan daerah yang paling sering rusak.Bagaimana energi mekanis ditransduksikan kedalam peristiwa intraseluler yang memacu pelepasan neurotransmitter ? Saluran transduksi berada pada membran plasma pada masing-masing silia, baik didaerah tip atau sepanjang tangkai ( shaft ), yang dikontrol oleh tip links, yaitu jembatan kecil diantara silia bagian atas yang berhubungan satu sama lain. Gerakan mekanis pada barisan yang paling atas membuka ke saluran menyebabkan influks K+ dan Ca++ dan menghasilkan depolarisasi membran plasma. Pergerakan daerah yang berlawanan akan menutup saluran serta menurunkan jumlah depolarisasi membran. Apabila depolarisasi mencapai titik kritis dapat memacu peristiwa intraseluler. Telah diketahui bahwa sel rambut luar memiliki sedikit afferen dan banyak efferen. Gerakan mekanis membrana basilaris merangsang sel rambut luar berkontraksi sehingga meningkatkan gerakan pada daerah stimulasi dan meningkatkan gerakan mekanis yang akan diteruskan ke sel rambut dalam dimana neurotransmisi terjadi. Kerusakan sel rambut luar mengurangi sensitifitas dari bagian koklea yang rusak. Kekakuan silia berhubungan dengan tip links yang dapat meluas ke daerah basal melalui lapisan kutikuler sel rambut. Liberman dan Dodds (1987) memperlihatkan keadaan akut dan kronis pada awal kejadian dan kemudian pada stimulasi yang lebih tinggi, fraktur daerah basal dan hubungan dengan hilangnya sensitifitas saraf akibat bising. Fraktur daerah basal menyebabkan kematian sel.Paparan bising dengan intensitas rendah menyebabkan kerusakan minimal silia, tanpa fraktur daerah basal atau kerusakan tip links yang luas. Tetapi suara dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan kerusakan tip links sehingga menyebabkan kerusakan yang berat, fraktur daerah basal dan perubahan-perubahan sel yang irreversibel.

Perubahan histopatologi telinga akibat kebisingan.Lokasi dan perubahan histopatologi yang terjadi pada telinga akibatkebisingan adalah sebagai berikut :1. Kerusakan pada sel sensorisa. degenerasi pada daerah basal dari duktus koklearisb. pembengkakan dan robekan dari sel-sel sensorisc. anoksia

2. Kerusakan pada stria vaskularisSuara dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan kerusakan stria vaskularis oleh karena penurunan bahkan penghentian aliran darah pada stria vaskularis dan ligamen spiralis sesudah terjadi rangsangan suara dengan intensitas tinggi.

3. Kerusakan pada serabut saraf dan nerve ending Keadaan ini masih banyak dipertentangkan, tetapi pada umumnya kerusakan ini merupakan akibat sekunder dari kerusakan-kerusakan sel-sel sensoris.

4. Hidrops endolimfTerjadi peningkatan volume endolimfe yang berhubungan dengan distensi seluruh sistem endolimfatik.

3.8 GAMBARAN KLINISTuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara ( speech discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral. Selain itu tinnitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi.

Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced hearing loss ) adalah : 1. Bersifat sensorineural2. Hampir selalu bilateral3. Jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat ( profound hearing loss ) Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 Db.4. Apabila paparan bising dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan.5.Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekwensi 4000 Hz.6.Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 15 tahun.

Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.

Bising menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja, seperti gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian.1. Gangguan fisiologisPada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah ( 10 mmHg), peningkatan nadi, konstriksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.2. Gangguan psikologisGangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, stres, kelelahan, dan lain-lain.3. Gangguan komunikasiGangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan ter-ganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya; gangguan komunikasi ini secara tidak langsung membahayakan keselamatan tenaga kerja.4. Gangguan keseimbanganBising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa atau melayang, yang dapat me-nimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual.

5. Efek pada pendengaranEfek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena dapat menyebabkan ketulian. Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara dan akan segera pulih kembali bila menghindar dari sumber bising; namun bila terus menerus bekerja di tempat bising, daya dengar akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih kembali.

3.8 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, yaitu umur pekerja, riwayat gangguan pendengaran sebelumnya, gangguan pendengaran terjadi secara perlahan atau tibatiba, riwayat gangguan pendengaran pada keluarga, riwayat infeksi telinga dan gangguan lain, riwayat cedera kepala atau telinga, riwayat penggunaan obat-obat ototoksik, atau riwayat terpajan zat-zat toksik seperti toluen, benzen dan silen. Juga ditanyakan kegiatan yang bukan di tempat kerja misalnya hobi yang berhubungan dengan kebisingan yaitu,menembak, musik keras dan lain-lain.Didalam menegakkan diagnosis NIHL, ahli THT harus melakukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan audiologik. Dari anamnesis didapati riwayat penah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya lebih dari 5 tahun. Sedangkan pada pemeriksaan otoskopik tidak ditemukan kelainan.Pada pemeriksaan tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek. Kesan jenis ketuliannya adalah tuli sensorineural yang biasanya mengenai kedua telinga.Ketulian timbul secara bertahap dalam jangka waktu bertahun-tahun, yang biasanya terjadi dalam 8 10 tahun pertama paparan.Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekwensi tinggi ( umumnya 3000 6000 Hz ) dan pada frekwensi 4000 Hz sering terdapat takik ( notch ) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini. Sedangkan pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI ( Short Increment Sensitivity Index ), ABLB ( Alternate Binaural Loudness Balance ) dan Speech Audiometry menunjukkan adanya fenomena rekrutmen ( recruitment ) yang khas untuk tuli saraf koklea.Untuk menegakkan diagnosis klinik dari ketulian yang disebabkan oleh bising dan hubungannya dengan pekerja, maka seorang dokter harus mempertimbangkan faktor-faktor berikut : 1. Riwayat timbulnya ketulian dan progresifitasnya.2. Riwayat pekerjaan, jenis pekerjaan dan lamanya bekerja.3. Riwayat penggunaan proteksi pendengaran.4. Meneliti bising di tempat kerja, untuk menentukan intensitas dan durasi bising yang menyebabkan ketulian.5.Hasil pemeriksaan audiometri sebelum kerja dan berkala selama kerja. Pentingnya mengetahui tingkat pendengaran awal para pekerja dengan melakukan pemeriksaan audiometri sebelum bekerja adalah bila audiogram menunjukkan ketulian, maka dapat diperkirakan berkurangnya pendengaran tersebut akibat kebisingan di tempat kerja.6.Identifikasi penyebab untuk menyingkirkan penyebab ketulian non industrial seperti riwayat penggunaan obat-obat ototoksik atau riwayat penyakit sebelumnya.

Audiometri Nada Murni Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur sensivitas pendengaran dengan alat audiometer yang menggunakan nada murni (pure tone). Ambang nada murni diukur dengan intensitas minimum yang dapat didengar selama satu atau dua detik melalui antaran udara ataupun hantaran tulang. Frekwensi yang dipakai berkisar antara 125 8000 Hz dan diberikan secara bertingkat (Feldman dan Grimes, 1997). Audiometri harus memenuhi 3 persyaratan untuk mendapatkan keabsahan pemeriksaan yaitu (1) audiometri yang telah dikalibrasi, (2) suasana/ruangan sekitar pemeriksa harus tenang, dan (3) pemeriksa yang terlatih. Komponen yang ada pada audiometri yaitu: 1. Oscilator: untuk menghasilkan bermacam nada murni 2. Amplifier: alat untuk menambah intensitas nada 3. Interuptor/pemutus : alat pemutus nada 4. Atteneurator: alat mengukurintensitas suara 5. Earphone: alat merubah sinyal listrik yang ditimbulkan audiometer menjadi sinyal suara yang dapat didengar 6. Masking noise generator: untuk penulian telinga yang tidak diperiksa Cara pemeriksaan audiometri adalah headphone dipasang pada telinga untuk mengukur ambang nada melalui konduksi udara. Tempat pemeriksaan harus kedap udara. Pasien diberitahu supaya menekan tombol bila mendengar suara walaupun kecil. Suara diberi interval 2 detik, biasanya dimulai dengan frekwensi 1000 Hz sampai suara tidak terdengar. Kemudian dinaikkan 5 dB sampai suara terdengar. Ini dicatat sebagai audiometri nada murni (pure tone audiometry) . Biasanya yang diperiksa terlebih dahulu adalah telinga yang dianggap normal (tidak sakit) pendengarannya melalui hantaran udara, kemudian diperiksa melalui hantara tulang. Kalau perbedaan kekurangan pendengaran yang diperiksa 50 dB atau lebih dari telinga lainnya, maka telinga yang tidak diperiksa harus ditulikan (masking). Ketika memeriksa satu telinga pada intensitas tertentu, suara akan terdengar pada telinga yang satu lagi. Hal ini disebut cross over yang dapat membuat salah interpretasi pada pemeriksaan audiometer. Ada beberapa ketentuan yang praktis bila masking diperlukan yakni: 1. Masking untuk hantaran udara (AC) diperlukan bila terdapat perbedaan kehilangan pendengaran sebesar 45 dB atau lebih pada waktu percobaan. 2. Masking untuk hantaran tulang (BC) diperlukan bila :

a. Apabila treshold hantaran tulang (BC) pada telinga yang dites lebih sensitif dari treshold hantaran tulang yang tidak diperiksa. b. Apabila tidak ada respon pada hantaran tulang setelah mempengaruhi maksimum output dari audiometer . Gambaran audiometri normal

Gambaran audiometri tuli sensorineural

Gambaran audiometri tuli konduktif

Gambaran audiometri tuli campuran

Gambaran audiometri tuli akibat bising

3.10 PENATALAKSANAANSesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga yaitu berupa sumbat telinga ( ear plugs ), tutup telinga ( ear muffs ) dan pelindung kepala ( helmet ). Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea yang bersifat menetap ( irreversible ), bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar ( ABD ). Apabila pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat, perlu dilakukan psikoterapi supaya pasien dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran ( auditory training ) juga dapat dilakukan agar pasien dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu denganmembaca ucapan bibir ( lip reading ), mimik dan gerakan anggota badan serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi.

3.11 PROGNOSISOleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian.

3.12 PENCEGAHANTujuan utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah terjadinya NIHL yang disebabkan oleh kebisingan di lingkungan kerja. Program ini terdiri dari 3 bagian yaitu : 1. Pengukuran pendengaranTest pendengaran yang harus dilakukan ada 2 macam, yaitu :a. Pengukuran pendengaran sebelum diterima bekerja.b. Pengukuran pendengaran secara periodik.

2. Pengendalian suara bisingDapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :a. Melindungi telinga para pekerja secara langsung dengan memakai ear muff ( tutup telinga), ear plugs ( sumbat telinga ) dan helmet (pelindung kepala ).b. Mengendalikan suara bising dari sumbernya, dapat dilakukandengan cara :- memasang peredam suara- menempatkan suara bising ( mesin ) didalam suatu ruangan yang terpisah dari pekerja

3. Analisa bisingAnalisa bising ini dikerjakan dengan jalan menilai intensitas bising, frekwensi bising, lama dan distribusi pemaparan serta waktu total pemaparan bising. Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah sound level meter .SLM adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan, yang terdiri dari mikrofon, amplifier, sirkuit attenuator dan beberapa alat lainnya. Alat ini mengukur kebisingan antara 30 130 Db dan dari frekwensi 20 20.000 Hz. SLM dibuat berdasarkan standar ANSI ( American National Standard Institute ) tahun 1977 dan dilengkapi dengan alat pengukur 3 macam frekwensi yaitu A, B dan C yang menentukan secara kasar frekwensi bising tersebut.Jaringan frekwensi A mendekati frekwensi karakteristik respon telinga untuk suara rendah yang kira-kira dibawah 55 Db . Jaringan frekwensi B dimaksudkan mendekati reaksi telinga untuk batas antara 55 85 Db. Sedangkan jaringan frekwensi C berhubungan dengan reaksi telinga untuk batas diatas 85 Db.

Perlindungan Fungsi Pendengaran Perlindungan fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan rekayasa lingkungan (enviromental engineering) dan proteksi perorangan pada individu-individu yang terpapar trauma akustik. Tujuan program konservasi pendengaran yang ideal adalah mengurangi efek paparan trauma akustik. Terdapat 2 macam pelindung telinga, yakni: 1. Bentuk sumbat (plug), yang dimasukkan ke dalam liang telinga secara tepat sesuai ukuran masing-masing. 2. Bentuk bantalan (muff), yang dipegang dengan tali kepala dan melingkari telinga, dimana berguna menutupi telinga luar.

Brenda L (1993) pada penelitiannya mendapati bahwa ear plug dapat menurunkan efek bising di telinga tengah sebesar 15 sampai 30 dB. Sedangkan ear muff merupakan protektif yang lebih baik, khususnya pada frekuensi 500 Hz dan 1 KHz. Pada tingkat kebisingan yang tinggi pengguanaan ear plug saja tidak begitu baik dan disarankan menggunakan kombinasi ear plug dan ear muff . Penting juga diketahui bahwa tekanan suara (sound energy) berhubungan dengan tingkatan bising yang tinggi (high noise level) yang dapat mencapai telinga dalam melalui pergetaran tulang serta struktur-struktur disekitarnya. Sehingga konduksi melalui tulang dan jaringan disekitarnya dapat dibatasi dengan pemakaian alat pelindung pendengaran. Suatu pelindung pendengaran yang ideal (infinite protector) seharusnya dapat menurunkan efek bising sebesar 20 -30 dB (Bashiruddin J, 2002).

3.13 PROGRAM KONSERVASI PENDENGARANProgram Konservasi Pendengaran (PKP) merupakan program yang diterapkan di lingkungan tempat kerja untuk mencegah gangguan pendengaran akibat terpajan kebisinganpada pekerja .Program tersebut terdiri atas 7 komponen yaitu:1. Identifikasi dan analisis sumber bising2. Kontrol kebisingan dan kontrol administrasi3. Tes audiometri berkala4. Alat pelindung diri5. Motivasi dan edukasi pekerja6. Pencatatan dan pelaporan data7. Evaluasi program

Identifikasi dan analisis sumber bising biasanya dilakukan dengan alat sound level meter (SLM) yang dapat mengukur kebisingan secara sederhana. Octave band analyzer mengukur kebisingan secara lebih rinci pada tiap frekuensi, sehingga dapat dibuat peta kebisingan di setiap tempat kerja yang dicurigai terpajan bising. Tujuan survey kebisingan adalah untuk mengetahui adanya sumber bising yang melebihi nilai ambang batas (NAB) yang diperkenankan dan mengetahui apakah bising mengganggu komunikasi pekerja, atau perlu mengikuti PKP. Selain hal tersebut juga untuk menentukan apakah daerah tersebut memerlukan alat perlindungan pendengaran ,menilai kualitas bising untuk pengendalian serta menilai apakah program pengendalian bising telah berjalan baik. Survei kebisingan meliputi survei area dan survei dosis pajanan harian dan enginering survey. Survey area yang dilakukan adalah melakukan pemantauan kebisingan lingkungan kerja, mengidentifikasi sumber bising di lingkungan kerja, sumber bising yang melebihi nilai ambang batas, menentukan perlunya pengukuran lebih lanjut (analisis frekuensi), serta membuat peta kebisingan (noise mapping).Survey dosis pajanan harian antara lain mengidentifikasi kelompok kerja yang memerlukan pemantauan dosis pajanan harian, menentukan pekerja yang perlu dipantau secara individual, menganalisis dosis pajanan harian dan menentukan pekerja yang memerlukan penilaian dengan Audiometri. Enginering Survey yaitu melakukan analisis frekuensi untuk pengendalian, mengetahui pola kebisingan untuk pemeliharaan, modifikasi, rencana pembelian peralatan mesin berikutnya, menentukan area yang perlu alat pelindung pendengaran dan mengusulkan pengendalian yang diperlukan.Peralatan survey kebisingan adalah sound level meter, octave band analyzer, noise dosimeter, dan audiometer. Peralatan tersebut sebaiknya mudah dioperasikan, murah dan terjangkau serta mudah pemeliharaannya. SLM untuk mengukur besarnya tekanan bunyi atau intensitas bunyi, dilengkapi dengan mikrofon, amplifier, kalibrator. Octave band analizer adalah SLM dilengkapi alat yang dapat merinci frekuensi bunyi yang berbeda. Noise dosimeter adalah alat yang dapat mengukur intensitas bunyi yang diterima pekerja selama masa kerjanya yang berpindah-pindah, dapat dibuat cetakannya untuk mengetahui tingkat intensitas bising yang diterima pekerja tesebut. Data tersebut sangat berguna untuk upaya pengendalian selanjutnya. Pengukuran dosis pajanan harian adalah pencatatan terhadap kegiatan setiap pekerja yaitu besarnya intensitas yang diterima dan lamanya terpajan untuk mengetahui nilai ambang batas.Membuat peta kebisingan adalah dengan memberi warna di daerah yang digambar sesuai dengan intensitas kebisingannya yaitu: hijau 94 Dba. Pada program pencegahan gangguan pendengaran tersebut terdapat tiga hal yang dapat mengontrol gangguan pendengaran yaitu:1. Kontrol kebisingan yang meliputi penggantian mesin yang tingkat bisingnya tinggi, melakukan isolasi sumber bising dengan menggunakan sound box, sound enclosure, pembatasan transmisi sumber bising (sound barrier: sound proof materials), atau disain akustik diperbaiki dengan penggunaan sound absorbent materials.2. Kontrol administrasi dengan merotasi tempat kerja, pengaturan produksi dengan cara menghindari bising yang konstan, menggunakan kontrol dan monitor kebisingan, melaksanakan pelatihan dan sosialisasi PKP untuk menjelaskan fungsi pendengaran dan perlindungannya.3. Penggunaan alat pelindung pendengaran yang dapat mengurangi jumlah energi akustik pada mekanisme pendengaran. Terdapat tiga jenis alat pelindung pendengaran yaitu earplugs, earmuffs dan helmet.

BAB IV KESIMPULAN

Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss / NIHL) adalah tuli akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Tuli akibat bising merupakan jenis ketulian sensorineural yang paling sering dijumpai setelah presbikusis. Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan reseptor pendengaran Corti pada telinga dalam. Sifat ketuliannya adalah tuli saraf koklea dan biasanya terjadi pada kedua telinga. Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekwensi tinggi, lebih lama terpapar bising, kepekaan individu dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian.

Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi

Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian

DAFTAR PUSTAKA

1. Bashiruddin J. Age, duration of work,noise and vibration in inducing hearing and balance impairments. Med J of Indones,2005;14:101-6.

2. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. MKKI. 2003;1:224-9.

3. Brookhouser PE, Worthington DW, Kelly WJ. Noise-induced hearing loss. http://www.uchsc.edu/sm/pmb/envh/noise.htm

4. Dobie RA. Noise induced hearing loss. Dalam : Bailey BJ, Ed. Head and neck surgery-otolaryngology. Vol.2. Philadelphia : JB Lippincott Company, 1993.h.1782-91.

5. Heggins II ,J. The effects of industrial noise on hearing. http://hubel. sfasu.edu/courseinfo/SL98/hearing.html

6. Liston SL, Duvall AJ. Embriologi, anatomi dan fisiologi telinga. Dalam : Adams GL, Boies LR, Higler PH, Ed. Buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.h.27-38.

7. Moore GF, Ogren FP, Yonkers AJ. Anatomy and embryology of the ear. Dalam : Lee KJ, Ed. Textbook of otolaryngology and head and neck surgery. New York : Elsevier Science Publishing,1989.h.10-20.

8. Niland J,Zenz C. Occupational hearing loss. Noise and Hearing Conservation. In Occupational Medicine 3 rd; ed. St Louis Mosby.1994:258-96.

9. Program Konservasi Pendengaran. Petunjuk Praktis. Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2004.

10. Sutirto I, Bashiruddin J. Tuli akibat bising dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok . Edisi ke 5. Jakarta Balai Penerbit FKUI 2001:3739.1