YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript

21

SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:Nama: Liem Pamela LukitoNIM: 13.70.0014Kelompok: E3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

Acara I

2015

materi metode

1.1. ALAT DAN BAHAN1.1.1. AlatAlat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, kain saring, penggiling daging, freezer, milimeter blok, timbangan analitik, plastik, dan texture analyzer.

1.1.2. BahanBahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan bawal, garam, gula pasir, polifosfat, es batu,.

1.2. METODE

Ikan bawal dicuci bersih dengan air mengalir

Daging ikan difilllet dengan cara dibuang bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulitnya.

Bagian daging putihnya diambil sebanyak 100 gram.

1

Daging ikan digiling hingga halus, selama penggilingan dapat ditambahkan es batu untuk menjaga suhu rendah.

Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring dengan menggunakan kain saring.

Daging ikan ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2, 3, 4, 5), dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3% (kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5).

Plastik diikat dan ditaruh di dalam loyang untuk kemudian dibekukan dalam freezer selama 1 malam.

Setelah dithawing, surimi diuji kualitas sensorisnya yang meliputi kekenyalan dan aroma.

Surimi diukur tingkat kekerasannya dengan menggunakan texture analyzer.

Surimi dipress dengan menggunakan presser.

Surimi diukur WHCnya dengan menggunakan milimeter blok untuk kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut:

4

Hasil pengamatanHasil pengamatan surimi berdasarkan uji hardness, WHC dan uji sensori dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengamatan SurimiKel.PerlakuanHardness (gf)WHC (mg H2O)Sensori

KekenyalanAroma

1Sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1%106,73268087,13+++ +

2Sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%110,22332457,81+++ + +

3Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%152,62290357,43++ + + +

4Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%91,879277594,52++ ++ +

5Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%123,41327271,52 + +++ +

Keterangan :Kekenyalan Aroma +: tidak kenyal +: tidak amis + +: kenyal + +: amis+ + +: sangat kenyal + + +: sangat amis

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa ada 2 macam perlakuan terkait konsentrasi sukrosa yaitu konsentrasi 2,5% dan 5% serta 3 macam perlakuan terkait konsentrasi polifosfat yaitu konsentrasi 0,1%; 0,3% dan 0,5%. Semakin tinggi konsentrasi sukrosa yang ditambahkan maka rata-rata nilai hardness menjadi semakin meningkat dan nilai WHC semakin menurun. Sedangkan penambahan polifosfat dengan konsentrasi 0,3% memiliki nilai rata-rata hardness dan WHC tertinggi daripada penambahan polifosfat dengan konsentrasi 0,1% maupun 0,5%. Selanjutnya ditinjau dari tingkat kekenyalan dan aromanya, surimi yang memiliki tekstur sangat kenyal adalah surimi dengan kandungan sukrosa 5%, polifosfat 0,5% dan garam 2,5% serta sukrosa 5%, polifosfat 0,3% dan garam 2,5%. Sedangkan aroma surimi yang sangat amis adalah surimi dengan penambahan sukrosa 2,5%, polifosfat 0,3% dan garam 2,5% serta sukrosa 5%, polifosfat 0,5% dan garam 2,5%.

6

Pembahasan

Praktikum yang dilakukan adalah proses pembuatan surimi sebagai salah satu pilihan produk antara dalam industri pengolahan ikan, di mana menurut Miyauchi (1970) surimi adalah produk protein ikan semi processed yang biasanya digunakan untuk bahan baku bahan pangan berbasis ikan seperti nugget, sosis, otak-otak dan bakso, serta Kamaboko di Jepang di mana dibutuhkan kelenturan (springiness). Menurut Okada (1992) surimi adalah produk antara yang melewati proses pencincangan daging ikan tanpa tulang, pencucian dengan air dingin dan mengalami kehilangan air sehingga dihasilkan konsentrat protein yang basah dengan kandungan protein miofibrilar yang tinggi. Tanaka (2001) menambahkan bahwa sifat surimi adalah memiliki tekstur kenyal dan elastis sebagai akibat dari adanya kandungan protein miofibril yang sangat tinggi. Benjakul et al. (2003) juga mengatakan bahwa surimi terbuat dari daging ikan yang dicacah dan dicuci. Surimi mengandung protein miofibril larut garam dan berperan dalam kemampuan membentuk gel secara unik pada proses pembuatan surimi, di mana kekuatannya dapat meningkat dengan pembentukkan sol di bawah suhu 40C sebelum dilakukan pemasakan. Peranginangin et al. (1999) dan Chaijan et al. (2004) menambahkan bahwa pencucian dan pembersihan ikan secara berulang-ulang dalam proses pembuatan surimi bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar komponen bau, pigmen, darah dan lemak ikan serta untuk memperbaiki warna dan meningkatkan kekuatan gel yang terbentuk. Surimi nantinya disimpan dalam keadaan beku (suhu rendah) dan telah ditambahkan bahan anti denaturasi protein (cryoprotectant).

Pada praktikum kali ini digunakan ikan Bawal untuk pembuatan surimi jenis ka-en, di mana menurut Peranginangin et al. (1999) bahwa ikan yang digunakan dalam pembuatan surimi harus memiliki daging putih, tidak berbau lumpur dan tidak amis, mampu membentuk gel yang baik sehingga produk surimi yang dihasilkan juga akan optimal. Surimi yang dibuat dikatakan memiliki jenis ka-en karena adanya penambahan garam dalam proses pembuatan (Suzuki, 1981). Menurut Flick et al. (1990) daging ikan merah kurang sesuai dalam pembuatan surimi karena daging ikan merah nantinya dapat berubah menjadi lebih gelap selama penyimpanan dan cenderung lebih amis. Asam lemak bebas di dalam daging ikan merah juga cenderung lebih besar sehingga dapat memicu terjadinya oksidasi lemak saat pembuatan. Sehingga akan didapatkan kekuatan gel dari surimi berbasis daging ikan merah lebih rendah daripada daging ikan putih dan daging ikan laut. Supriatna (1998) menambahkan bahwa di dalam 100 gram ikan bawal terkandung komposisi 96 kkal energi, 0 gram karbohidrat, 19 gram protein, 1,7 gram lemak, dan sisanya adalah vitamin dan beberapa mineral. Berdasarkan teori di atas sudah tepat digunakan bahan ikan bawal dalam pembuatan surimi kali ini karena dagingnya berwarna putih dan berkadar lemak rendah. Selain itu menurut Koswara et al. (2001) surimi dipengaruhi oleh kualitas ikan yang digunakan, di mana ikan segar akan menghasilkan surimi dengan kelenturan (elastisitas) yang tinggi. Untuk menambah elastisitas surimi dapat dilakukan dengan ditambahkan bahan-bahan seperti gula, pati, atau protein nabati. Selain tingkat kesegaran, kandungan lemak yang rendah akan berpengaruh pada kemampuan gelatinasi, perubahan sifat fungsional dan ketengikan surimi (Ng & Huda, 2011). Tanaka (2001) menambahkan bahwa surimi yang baik memiliki karakteristik berwarna putih, aroma baik dan elastisitas tinggi. Roussel dan Cheftel (1988) juga menambahkan bahwa pH optimal ikan adalah 6,5 7,0 untuk dikatakan baik sebagai bahan dasar pembuatan surimi. Selain itu faktor seperti suhu rendah (supaya aktivitas mikroba dapat dihambat), reaksi enzimatis yang telah diinaktivasi dapat menentukan umur simpan dari surimi. Proses pembuatan surimi ini biasanya melibatkan bahan tambahan seperti sukrosa, garam serta polifosfat.

Praktikum Surimi diawali dengan pencucian ikan dengan air mengalir. Selanjutnya ikan yang sudah dibersihkan dibuang bagian isi perut dan dipisahkan bagian kepala, sirip, ekor, sisik, dan kulitnya. Bagian daging putih kemudian diambil sebanyak 100 gram. Daging ikan dihaluskan dengan blender bisa ditambahkan es batu untuk menjaga suhu tetap rendah. Menurut Irianto (1990) pencucian daging ikan dilakukan untuk separasi darah, enzim, urea, protein larut air dan bahan organik, memperbaiki bau dan warna. Air yang digunakan pada proses pencucian ikan ini menjadi faktor penentu mutu ikan karena jika air mengandung kesadahan yang tinggi maka tekstur dari ikan akan rusak dan lemak ikan akan terdegradasi. Di sisi lain, jika digunakan air laut atau air yang mengandung garam maka akan terjadi proses kehilangan protein. Selain itu pencucian ikan ini sebaiknya dilakukan berulang-ulang dengan tujuan untuk lebih memurnikan protein miofibril dalam ikan, serta meningkatkan sifat hidrofilik ikan sehingga tekstur, bau dan warna dari ikan dapat dijaga. Piyadhammaviboon & Yongsawatdigul (2010) dalam Piotrowicz & Mellado (2015) dan Chaijan et al. (2004) menambahkan bahwa pencucian dan pembersihan ikan secara berulang-ulang dalam proses pembuatan surimi bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar komponen bau, pigmen, darah dan lemak ikan dan untuk meningkatkan kekuatan gel yang terbentuk. Schwarz & Lee (1988) juga menambahkan bahwa suhu air yang digunakan juga berpengaruh pada kekuatan gel yang terbentuk sebagai akibat adanya protein larut air yang hilang pada proses pencucian. Ketika suhu air pencucian lebih dari 15C, protein larut air akan semakin hilang bersama dengan pencucian. Sebaliknya jika air pencuci bersuhu 10-15C maka gel yang terbentuk akan optimal. Penggunaan air es atau es batu selama proses penggilingan dengan blender bertujuan untuk menjaga protein supaya tidak terdenaturasi (Irianto, 1990).

Kemudian daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali dengan cara meletakkan daging di kain saring dan dituang air es kemudian diperas. Menurut Reinheimer et al. (2010) pencucian ikan dengan menggunakan air es dianggap penting karena air es bisa mempertahankan suhu ikan sehingga meminimalisir kerusakan atau hilangnya protein larut air yang dapat terjadi pada ikan, dan untuk menghilangkan bau amis pada ikan. Menurut Winarno (1993) kain saring digunakan untuk menyaring atau memisahkan komponen padatan dari larutan atau zat cair sehingga ada bahan padat yang tertinggal di kain saring dan air akan mengalir melewati kain saring. Padatan yang dimaksud di sini adalah daging ikan halus di mana ketika tidak digunakan kain saring, ditakutkan bahwa akan banyak daging ikan yang terbuang karena sifatnya yang mudah hancur.

Selanjutnya sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok E1 dan E2), 5% (kelompok 3,4,5) ditambahkan. Garam sebanyak 2,5% juga ditambahkan (untuk semua kelompok) dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok E1); 0,3% (kelompok E2 dan E3); 0,5% (kelompok E4 dan E5). Penambahan zat aditif di atas menurut Miyauchi (1970) bertujuan untuk mempertahankan gel atau justru meningkatkan kekuatan gel yang terbentuk sehingga tidak rusak. Menurut Huda et al. (2011) krioprotektan yang paling umum digunakan untuk produk surimi adalah sukrosa 4% dan sorbitol 4%. Selain itu sukrosa juga berperan sebagai bahan krioprotektan di mana dia bekerja untuk mempertahankan struktur protein miofibril pada daging ikan supaya tidak mengalami degradasi atau denaturasi pada suhu beku (rendah). Namun ketika sukrosa ditambahkan dalam jumlah yang terlalu banyak maka surimi menjadi tidak disukai karena rasa manisnya yang tinggi serta berperan dalam reaksi Maillard yang dapat mengubah warna produk menjadi coklat selama pembekuan (Huda et al., 2011). Bahan krioprotektan ini ditambahkan untuk menjaga tekstur surimi supaya tidak terlalu keras, dapat menyerap air lebih banyak dan mengenyalkan surimi.

Polifosfat bukanlah krioprotektan. Lebih detailnya, polifosfat digunakan untuk produk segar dalam keadaan beku karena perannya yang dapat menekan drip loss, meningkatkan elastisitas surimi, memperbaiki daya ikat air, tekstur, warna dan cita rasa, serta menjaga kestabilan berat selama pengolahan dan memicu terbentuknya gel pada surimi yang dapat mengikat air sehingga tekstur kenyal dan lembut. Polifosfat yang digunakan juga bisa bermanfaat untuk membuat protein menghasilkan lapisan permukaan pada filet ikan sehingga cairan dalam ikan akan terjaga. Selain itu manfaat dari polifosfat sendiri adalah untuk menurunkan kekentalan dari pasta ikan sehingga mudah untuk dipotong dan berperan dalam peningkatan pH. pH yang meningkat akan berpengaruh pada kekuatan gel, pembentukan gel dan rigiditas tekstur sebagai akibat dari meningkatnya water holding capacity. Peranginangin et al. (1999) menambahkan bahwa polifosfat ditambahkan dalam bentuk garamnya, yaitu natrium tripolifosfat sebanyak 0,2-0,3%.

Peran lain sukrosa disamping sebagai bahan anti denaturasi protein, juga sebagai pembentuk struktur gel yang baik dan stabil (Nopianti et al., 2012). Sukrosa juga dapat memperkuat fungsi air sebagai pengikat, menghambat pertukaran molekul air dari protein dan membuat stabil protein ikan (Zhou et al., 2006). Huda et al. (2001) mengatakan bahwa denaturasi protein dicegah untuk mempertahankan sifat fungsional protein dalam produk, berupa kelarutan, kekuatan pembentukan gel, daya ikat air (water holding capacity), emulsi, pembentukan warna dan buih. Menurut Dey dan Dora (2010) dalam Parvathy dan Sajan (2011) mekanisme kerja bahan krioprotektan sebagai penstabil protein otot selama suhu beku adalah dengan mengadakan interaksi dan pengikatan dengan molekul protein melalui gugus fungsional pada permukaan. Selanjutnya masing-masing molekul protein akan terlindungi oleh molekul krioprotektan yang terhidrasi, sehingga hidrasi meningkat dan agregasi protein menurun.

Penambahan garam dalam pembuatan surimi jenis ka-en adalah untuk mendukung proses pembentukan gel supaya berjalan optimal sebagai akibat dari lepasnya miosin pada serat ikan sehingga gel yang terbentuk menjadi lebih kuat dan kontribusi terhadap rasa asin. Jika konsentrasi garam yang ditambahkan kurang dari 2% maka protein miofibril menjadi tidak larut, tetapi ketika konsentrasi garam lebih dari 12% maka protein miofibril akan terhidrasi sehingga terjadi salting out. Konsentrasi garam yang biasanya digunakan dalam pembuatan surimi berkisar antara 2-3%. Hal ini sesuai dengan praktikum yang dilakukan yaitu penambahan garam sebanyak 2,5%. (Tan et al., 1988 dan Shimizu & Toyohara, 1994). Phatcharat et al. (2006) menambahkan bahwa kualitas gel surimi dapat dioptimalkan dengan aplikasi penambahan bahan aditif protein dan pencucian berulang kali.

Selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah dan dibekukan dalam freezer selama 1 malam. Menurut Winarno (2004) dan Hui (2006) dalam Huda et al. (2011) surimi yang dibekukan dipengaruhi oleh suhu bekunya di mana ketika suhu yang digunakan kurang sesuai maka akan menimbulkan efek negatif seperti sel-sel pecah, cairan keluar dari sel, warna menjadi gelap, busuk dan lunak. Selain itu dimasukkannya surimi ke dalam wadah ditujukan supaya permukaannya tidak kering dan mengeras. Winarno (1993) menambahkan bahwa selama pembekuan, aktivitas mikroba dalam surimi terhambat dan terjadi inaktivasi enzim. Namun pembekuan dapat mengurangi daya ikat air surimi dan garam sehingga kekuatan gel akan menurun. Hal ini disebabkan karena denaturasi protein miofibril akibat suhu beku. Oleh karena itu pada praktikum ini ditambahkan bahan krioprotektan. Selanjutnya surimi beku di-thawing dan diukur hardness dengan menggunakan Texture Analyzer, WHC, dan kualitas sensori meliputi kekenyalan dan aroma. Menurut Bourne (2002) TA adalah alat yang digunakan untuk mengukur tekstur bahan pangan dengan kapasitas gaya 500 N dan kecepatan 1-1000 mm/menit. Menurut Soeparno (1994) water holding capacity merupakan kemampuan suatu bahan pangan untuk mengikat air dari lingkungan.

3.1. Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan Polifosfat terhadap Nilai HardnessKonsentrasi sukrosa dan polifosfat yang berbeda dapat mempengaruhi nilai hardness dari surimi. Pada hasil pengamatan dapat dilihat bahwa konsentrasi sukrosa yang semakin tinggi menunjukkan nilai hardness yang cenderung lebih besar. Hal ini kurang sesuai dengan teori dari Santana et al. (2012) bahwa penambahan sukrosa dapat mencegah denaturasi protein di mana akan berkaitan dengan WHC dan hardness. Seharusnya ketika protein tidak terdenaturasi maka air di dalam surimi masih tertahan atau terikat sehingga tekstur menjadi kenyal dan nilai hardness menurun.

Selain itu dapat dilihat bahwa nilai hardness pada konsentrasi polifosfat 0,3% lebih tinggi daripada konsentrasi polifosfat 0,1%. Namun pada konsentrasi polifosfat 0,5% didapatkan nilai hardness yang lebih rendah daripada konsentrasi polifosfat 0,3% namun lebih tinggi daripada konsentrasi polifosfat 0,1%. Menurut Tan et al. (1988) polifosfat ditambahkan untuk meningkatkan elastisitas surimi dan membuat surimi menjadi lembut. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi polifosfat maka hardness semakin rendah sebagai akibat dari bertambah kenyalnya surimi sehingga WHC meningkat (Toyoda et al., 1992). Wibowo (2004) dan Chen (1995) menambahkan bahwa kadar polifosfat yang tinggi dapat mencegah denaturasi protein akibat pembekuan sehingga air dapat tertahan dengan baik dan tekstur menjadi lebih kenyal. Ketidaksesuaian yang terjadi bisa diakibatkan karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pembentukkan gel pada surimi seperti waktu dan suhu penyimpanan (Phatcharat et al.,2006). 3.2. Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan Polifosfat terhadap Nilai WHCKonsentrasi sukrosa dan polifosfat yang berbeda dapat mempengaruhi water holding capacity dari surimi. Pada hasil pengamatan dapat dilihat bahwa konsentrasi sukrosa yang semakin tingi menghasilkan surimi dengan WHC yang menurun. Hal ini belum sesuai dengan teori Fennema (1985) bahwa gula mengandung suatu gugus yang disebut polihidroksi di mana ikatan hidrogen di dalamnya mampu bereaksi dengan molekul air sehingga tegangan permukaan menjadi tinggi. Akibatnya, pengeluaran molekul air dari protein dapat dicegah dan protein tetap stabil sehingga struktur menjadi elastis. Berdasarkan teori tersebut dapat dikatakan bahwa gula mampu mengikat air, sehingga dengan adanya penambahan gula yang semakin banyak maka WHC akan semakin tinggi. Wibowo (2004) dan Chen (1995) menambahkan bahwa penambahan sukrosa bertujuan untuk meningkatkan nilai water holding capacity, akibatnya gel akan terbentuk dengan baik karena protein yang tidak terdenaturasi akan mengikat air dalam jumlah banyak melalui ikatan hidrogen dengan residu asam amino polar. Protein yang tidak terdenaturasi ini menurut Parvathy dan Sajan (2011) dikarenakan protein terlindungi oleh semakin tingginya konsentrasi sukrosa atau bahan krioprotektan yang ditambahkan.

Selain itu nilai WHC surimi dengan kandungan polifosfat 0,3% lebih tinggi daripada konsentrasi polifosfat 0,1%. Sedangkan nilai WHC surimi dengan konsentrasi polifosfat 0,5% lebih rendah daripada konsentrasi polifosfat 0,3% namun lebih tinggi daripada konsentrasi polifosfat 0,1%. Seharusnya menurut Miyauchi (1970) dan Nopianti et al. (2012) ditambahkannya polifosfat ke dalam surimi dapat meningkatkan WHC sehingga kekuatan gel, pembentukan gel dan kepadatan tekstur meningkat. Polifosfat menyebabkan tekstur dari surimi menjadi tidak keras dan lembut (Toyoda et al., 1992). Sehingga seharusnya semakin tinggi polifosfat maka WHC akan semakin tinggi dan mencegah kehilangan air saat proses pemasakan. Hal tersebut disebabkan karena komponen fosfat dalam polifosfat dapat membuka struktur protein dan meningkatkan pH di mana dapat membantu protein untuk lebih banyak menampung air lagi (Nopianti et al., 2012) dan Huda et al. (2011). Penelitian Huda et al. (2011) juga menunjukkan hasil yang sesuai dengan teori di atas di mana surimi tanpa penambahan krioprotektan akan memiliki nilai WHC yang lebih rendah daripada surimi dengan penambahan krioprotektan.

Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pembentukkan gel pada surimi, menurut Phatcharat et al. (2006) adalah waktu dan suhu penyimpanan. Semakin lama surimi disimpan maka kualitas gel akan semakin menurun sehingga WHC akan semakin menurun. Selain itu jumlah protein larut air yang hilang selama proses pencucian juga akan memepngaruhi kekuatan gel yang berpengaruh terhadap WHC.

3.3. Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan Polifosfat terhadap Nilai SensoriBerdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, rata-rata semakin tinggi polifosfat dan sukrosa yang ditambahkan maka tingkat kekenyalan semakin meningkat. Hal ini sudah sesuai dengan teori Wibowo (2004) bahwa semakin tinggi kadar polifosfat dan sukrosa yang ditambahkan ke dalam surimi maka proses denaturasi protein semakin dapat dicegah sehingga air akan tertahan di dalam surimi. Tertahannya air ini meningkatkan nilai WHC sehingga tekstur lebih kenyal. Tanaka (2001) menambahkan bahwa surimi memiliki karakteristik kenyal dan elastis sebagai akibat dari kandungan protein miofibril yang tinggi.

Sedangkan pada parameter sensori aroma surimi, penambahan sukrosa 2,5% dan polifosfat 0,3% serta penambahan sukrosa 5% dan polifosfat 0,5% menghasilkan aroma sangat amis. Menurut Irianto (1990) pencucian yang dilakukan dalam proses pembuatan surimi bertujuan untuk menghilangkan komponen bau amis, pengotor, darah dan memurnikan protein miofibril dari daging ikan. Adanya hasil pengamatan surimi beraroma sangat amis bisa diakibatkan dari pencucian yang kurang bersih sehingga pada saat pengolahan surimi masih ada sisa bau amis yang tertinggal. Peranginangin et al. (1999) menambahkan bahwa jika bahan baku pembuatan surimi sudah berbau amis maka surimi yang akan dihasilkan juga akan beraroma amis.

3.4. Faktor Penentu Kualitas SurimiMenurut Phatcharat et al. (2006) faktor yang menentukan kualitas surimi yang terbentuk adalah waktu dan suhu penyimpanan, kesegaran ikan dan suhu air pencuci serta suhu penggilingan daging ikan. Semakin lama surimi disimpan maka kekuatan gel dari surimi akan semakin menurun sehingga kemampuan mengikat air atau WHC akan semakin rendah. Suhu air pencuci menentukan jumlah protein larut air yang hilang selama pencucian dan kekuatan gel, di mana kekuatan gel terbaik diperoleh ketika daging ikan dicuci dengan air bersuhu 10-15C (Andini, 2006). Lan et al. (1995) dan Piotrowicz & Mellado (2015) juga menambahkan bahwa kekuatan ion, bahan baku, pH, suhu dan kecepatan pemanasan, serta jenis ikan yang digunakan mempengaruhi pembentukan gel surimi. Selain itu menurut Koswara et al. (2001) dan Benjakul et al. (2002) dalam Santana et al. (2012) surimi dipengaruhi oleh kualitas ikan yang digunakan, di mana ikan segar akan menghasilkan surimi dengan kelenturan (elastisitas) yang tinggi. Selain tingkat kesegaran, kandungan lemak yang rendah akan berpengaruh pada kemampuan gelatinasi, perubahan sifat fungsional dan ketengikan surimi (Ng & Huda, 2011).

Berdasarkan Luo et al. (2004) dalam Piotrowicz dan Mellado (2015) konsentrasi protein sangat menentukan sifat dari gel yang terbentuk pada surimi. Selain itu jenis air yang digunakan untuk mencuci ikan dalam pembuatan surimi ternyata juga dapat mempengaruhi hasil akhirnya, seperti pernyataan Hultin & Kelleher (2000) dalam Piotrowicz & Mellado (2015) bahwa pencucian dengan larutan alkali dapat meningkatkan kualitas atau mutu dari surimi dibandingkan ketika dilakukan pencucian dengan air.

14

Kesimpulan

Surimi merupakan produk daging ikan giling yang telah ditambahkan bahan krioprotektan untuk mencegah denaturasi protein selama proses pembekuan. Jenis surimi yang diproduksi pada praktikum kali ini adalah ka-en surimi dengan penambahan garam sebanyak 2,5%. Surimi diproduksi melalui 4 tahapan yaitu pencucian dengan air dingin, penggilingan dengan sistem yang dingin, pengemasan dan pembekuan. Pencucian dengan air dingin secara berulang-ulang bertujuan untuk menjaga protein larut air supaya tidak terlalu banyak yang hilang. Sukrosa berperan sebagai bahan krioprotektan. Semakin tinggi konsentrasi sukrosa yang digunakan maka daya ikat air atau WHC (water holding capacity) semakin meningkat sehingga tekstur menjadi semakin lembut dan kenyal. Polifosfat ditambahkan untuk tujuan meningkatkan elastisitas dan melembutkan surimi. Semakin tinggi konsentrasi polifosfat maka elastisitas surimi semakin meningkat sehingga nilai hardness akan rendah. Tekstur gel surimi menjadi semakin baik ketika WHC semakin baik. Timbulnya bau sangat amis pada surimi yang diproduksi adalah sebagai akibat dari pencucian yang kurang baik dan ikan yang digunakan sudah berbau amis. Kualitas surimi ditentukan oleh kualitas ikan yang digunakan, larutan pencuci, waktu dan suhu penyimpanan, dan suhu air yang digunakan.

Semarang, 28 Oktober 2015 Liem, Pamela Lukito13.70.0014Asisten Dosen:Yusdhika Bayu S.

15

Daftar Pustaka

Andini YS. (2006). Karakteristik surimi hasil ozonisasi daging merah ikan tongkol (Euthynnus sp.) [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Benjakul, Soottawat., Chakkawat Chantarasuwan and Wonnop Visessanguan. (2003). Effect of Medium Temperature Setting on Gelling Characteristics of Surimi from Some Tropical Fish. Food Chemistry 82 (2003) 567-574. Doi: 10.1016/S0308-8146(03)00012-8.

Bourne, M. C. (2002). Food Texture and Viscosity Concept and Measurement Second Edition. Academic Press. London.

Chaijan M, Benjakul S, Visseanguan W, Faustman C. (2004). Characteristic and gel properties of muscles from sardine (Sardinella gibbosa) and mackerel (Rastrelliger kanagurta) caught in Thailand. Food Research International 37:1021-1030.

Chen NH. (1995). Thermal stability and gel-forming ability af shark muscle as related to ionic strength. Journal Food Science 60(6): 1237-1240

Fennema, O.R. (1985).Food Chemistry-Second Edition, Revised and Expanded.New York: Marcel Dekker, Inc.

Flick GJ, Barna MA, Enriquez LG. (1990). Processing finfish. The Seafood Industry. New York: Van Nostrand Reinhold.

Huda, Nurul, Aminah Abdullah dan Abdul Salam Babji. (2001). Functional properties of surimi powder from three Malaysian marine Fish. International Journal of Food Science and Technology 2001, 36, 401406.

Huda N., Leng O.H., Nopianti R. (2011). Cryoprotective Effects of Different Levels of Polydextrose in Threadfin Bream Surimi During Frozen Storage. Journal of Fisheris and Aquatic Science 6 (4): 404-416.

Irianto B. (1990). Teknologi surimi salah satu cara mempelajari nilai tambah ikan ikan yang kurang dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9 (2): 35 39.

Koswara S, Hariyadi P, dan Purnomo EH. (2001). Tekno Pangan dan Agroindustri. Jakarta: UI Press.

Lan, H. Y.,MuW.,Nikolic-PatersonD.J.,and AtkinsR.C.(1995).A Novel, Simple, Reliable, and Sensitive Method for Multiple Immunoenzyme Staining: Use of Microwave Oven Heating to Block Antibody Cross-Reactivity and Retrieve Antigens.J Histochem Cytochem43:9710.

Miyauchi, David, George Kudo and Max Patashnik. (1970). Surimi-A Semi-Processed Wet Fish Protein. Pacific Fishery Products Technology Center.

Ng, X. Y. and Huda, N. (2011). Thermal gelation properties and quality characteristics of duck surimi-like material (duckrimi) as affected by the selected washing processes. International Food Research Journal 18: 731-740.

Nopianti, R; Huda N; Fazilah A.; Ismail N. And Easa A.M. (2012). Effect of different types of low sweetness sugar on physicochemical properties of threadfin bream surimi (Nemipterus spp.) during frozen storage. International Food Research Journal 19 Vol 3. 1011-1021.

Okada, M. (1992). History of Surimi Technology in Japan. In: Lanier TC, Lee CM, Editor. Surimi Technology. Marcel Dekker Inc. New York

Parvathy U, Sajan George. (2014). Influence of cryoprotectant levels on storage stability of Surimi from Nemipterus japonicas and quality of surimi-based products. Journal of Food Science Technology 51(5).: 982-987.

Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, dan Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta.

Phatcharat, S; Benjakul, S; Visessanguan, W. (2006). Effect of Washing with Oxidising Agents on The Gel-Forming Ability and Physicochemical Properties of Surimi Produced From Bigeye Snapper (Priacanthus tayenus). Department of Food Technology Prince of Songkla University Thailand.Piotrowicz I.B.B. dan Mellado M.M.S. (2015) Chemical, Technological and Nutritional Quality of Sausage Processed with Surimi. International Food Research Journal 25(2): 2103-2110 (2015).

Reinheimer, Maria A., Jose R. Medina, Marcelino R. Freyre and Gustavo A. Perez. (2010). Quality Characteristics of Surimi Made from Sabalo (Prochilodus Platensis) as Affected by Water Washing Composition. Chapter: IPPIA. World Congress & Exhibition Engineering Argentina.

Roussel H, Cheftel JC. (1988). Characteristics of surmi and kamaboko from sardines. International Journal of Food Science and Technology 23:607-623.

Santana., Huda. N., & Yang T.A. (2012). Technology for Production of Surimi Powder and Potential of Applications. International Food Research Journal 19(4): 1313-1323 (2012)

Schwarz MD, Lee CM. (1988). Comparison of the thermostability of red hake and alaska pollack surimi during processing. Journal of Food Science. Vol. 53 (5): 1347 1351.

Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. (1994). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel dekker. Page.425-442.

Soeparno. (1994). Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press. Yogyakarta.

Supriatna. (1998). Pengaruh Kadar Asam Lemak Omega 3 yang Berbeda pada Kadar Asam Lemak Omega 6 Tetap dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Ikan Bawal Air Tawar Colossoma macropomum Cuvier. Program Paska Sarjana IPB. Bogor.

Suzuki T. (1981). Fish and Krill Protein Processing Technology. London : Applied Science Publisher, Ltd.

Tan SM, Ng MC, Fujiwara T, Kok KH, Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.

Tanaka, M. (2001).Surimi and Surimi Products.Department of Food Science and Technology. Jepang.

Toyoda, K., Shiraishi, T., Yoshioka, H., Yamada, T., Ichinose, Y. and Oku, H. (1992) Regulation of Polyphosphoinositide Metabolism in Peaplasma Membrane by Elicitor and Suppressor from a Pea Pathogen, Mycosphaerellapinodes. Plant Cell Physiol. 33: 445-452.

Wibowo, Singgih., (2004). Pembuatan Bakso Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.

Winarno, F.G., (2004). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarno FG. (1993). Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. (2006). Cryoprotective Effect of Trehalose and Sodium Lactate on Tilapia (Sarotherodon nilotica) Surimi Durimg Frozen Storage. Journal of Food Chemistry 96(2):96-103.

19

Lampiran

6.1. Perhitungan

Kelompok E1

Kelompok E2

Kelompok E3

20

Kelompok E4

Kelompok E5

6.2. Laporan Sementara6.3. Diagram Alir6.4. Abstrak Jurnal


Related Documents