YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript

PETUNJUK PRAKTIKUM

PETUNJUK PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI

Direvisi oleh:

Tim Lab. Farmakologi USD

LABORATORIUM FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2014

TATA TERTIB

1. Setiap Kelompok dibagi menjadi 4 Subkelompok.

2. Sebelum percobaan:

a. memahami prosedur percobaan dan mekanisme kerja obat.

b. menyiapkan laporan sementara (perseorangan, singkat, dan jelas) yang berisi: tujuan, bagan kerja, blangko kolom data, dan tugas.c. membuat laporan (kelompok) yang berisi judul percobaan/penelitian, latar belakang, permasalahan, manfaat, tujuan, penelaahan pustaka, landasan teori & hipotesis atau keterangan empiris, metode penelitian, tata cara analisis hasil, daftar pustaka, dan tugas laporan akhir.

3. Sebelum pemberian obat, meminta paraf asisten volume pemberian.

4. Mengikuti diskusi sub-kelompok dan kelompok berupa presentasi hasil penelitian.5. Meminta pengesahan atas data percobaan (lampirkan pada laporan resmi).

6. Menyerahkan laporan resmi praktikum pada minggu berikutnya, dengan format: cover, laporan 2 c, hasil dan pembahasan, kesimpulan, serta pustaka.

7. Data kelompok hasil percobaan adalah partisipasi semua yang terlibat dalam ketepatan dalam penimbangan, konsentrasi obat, volume dan cara pemberian. Ketidakseriusan dalam bekerja akan mengurangi validitas hasil kerja.

8. Aturan laboratorium perihal kebersihan; tanggung jawab alat; kehadiran; tepat waktu; pindah kelompok; dan ketertiban di laboratorium sesuai aturan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

9. Bila tidak mengikuti 2 percobaan, mahasiswa tidak dapat mengikuti responsi.

PENILAIAN

Jenis PenilaianPersentase Range Nilai (Angka)Nilai Akhir

Pretest+

laporan sementara + aktivitas + diskusi20>75A

Laporan kelompok15>65-75B

Presentasi20>55-65C

Responsi lisan + praktek cara pemberian20>45-55D

Responsi tertulis25(45E

ACARA PRAKTIKUM

MingguMata AcaraMateri

IAsistensi1. Penjelasan tata tertib praktikum dan responsi

2. Pemilihan hewan uji

3. Protokol kerja laboratorium (e.g. handling hewan uji)

4. Latihan perhitungan dosis dan konversi dosis hewan-manusia.

IIPercobaan IPengaruh cara pemberian terhadap absorpsi obat

IIIPercobaan II Metabolisme obat

IVPercobaan IIIEfek Analgesik

VPercobaan IV Efek Antiinflamasi

VIPercobaan VUji toksisitas akut

VIIPercobaan VIUji Potensiasi

VIIIPercobaan VIITerapi antidotum

XDiskusiHasil praktikum mulai dari P1-P7

XIResponsiResponsi lisan dan praktek

Responsi tertulis mengikuti jadual ujian akhir semester

JADUAL PRAKTIKUM FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGIA1A2B1B2C1C2D1D2

Hari

WaktuJumat14.00-17.00Jumat11.00-14.00Kamis

14.00-17.00Kamis

11.00-14.00Senin

13.00-16.00Senin

10.00-13.00Rabu

14.00-17.00Rabu

11.00-14.00

Asistensi5/95/94/94/91/91/93/93/9

Perc. I12/912/911/911/98/98/910/910/9

Perc. II19/919/918/918/915/915/917/917/9

Perc. III26/926/925/925/922/922/924/924/9

Perc. IV3/103/102/102/1029/929/91/101/10

Perc. V 10/1010/109/109/106/106/108/108/10

Perc. VI31/1030/1030/1030/1027/1027/1029/1029/10

Perc. VII7/116/116/116/113/113/115/115/11

Diskusi14/1113/1113/1113/1110/1110/1112/1112/11

Responsi lisan dan praktek21/1120/1120/1120/1117/1117/1119/1119/11

Responsi 16/12/2014

PengampuHeru IpangIta

ItaDitaPhebe DitaHeru

PENDAHULUAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

I. CARA -CARA PEMBERIAN OBAT

Rute pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat obat (seperti kelarutan dalam air atau lipid, ionisasi, dsb-nya) dan oleh tujuan terapi (misalnya keinginan akan suatu awitan kerja obat yang cepat atau kebutuhan akan pemberian jangka panjang atau terbatas pada suatu tempat lokal). Terdapat dua rute pemberian obat yang utama, enteral dan parenteral (Mycek dkk., 2001).

A. ENTERAL

1. Oral

Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan, tetapi juga paling bervariasi dan memerlukan jalan yang paling rumit untuk mencapai jaringan. Dibandingkan dengan cara lainnya, cara oral dianggap paling alami oleh karena mudah, menyenangkan, aman dan murah. Kerugiannya adalah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran cerna dan perlu bekerja sama dengan penderita sehingga tidak bisa diberikan untuk penderita yang tidak sadar.

2. Sublingual

Pemberian obat dengan rute ini dilakukan dengan menempatkan obat di bawah lidah, sehingga memungkinkan obat tersebut berdifusi ke dalam anyaman kapiler dan karena itu secara langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Keuntungannya, obat melakukan bypass melewati usus dan hati dan tidak mengalami first pass effect.

3. Rektal

Lima puluh persen aliran darah dari bagian rektum memintas sirkulasi portal; jadi biotransformasi obat oleh hati dikurangi. Rute sublingual dan rektal mempunyai keuntungan tambahan, yaitu mencegah penghancuran obat oleh enzim usus atau pH rendah di dalam lambung. Pemberian dengan rute ini berguna jika obat menginduksi muntah ketika diberikan secara oral atau jika penderita sedang muntah-muntah.

B. PARENTERAL

Pemberian parenteral digunakan untuk (1) obat yang absorpsinya buruk melalui saluran cerna, (2) pengobatan pasien yang tidak sadar dan dalam keadaan yang memerlukan awitan kerja yang cepat. Pemberian rute ini memberikan kontrol paling baik terhadap dosis obat yang sesungguhnya yang dimasukkan ke dalam tubuh (Mycek dkk., 2001). Hal yang merugikan rute ini adalah bahwa sekali obat sudah diberikan, tidak bisa ditarik lagi. Ini berarti, sekali zat berada dalam jaringan atau ditempatkan langsung ke dalam aliran darah, pemusnahan obat yang diperlukan karena efek yang tidak dikehendaki atau efek toksik adalah paling sukar. Tiga rute utama yaitu intravaskular (intravena dan intraarteri), intramuskular dan subkutan.

1. Intravaskular

Suntikan intravena (i.v.) adalah cara pemberian parenteral yang paling sering dilakukan. Dengan pemberian i.v., obat terhindar dari first pass effect. Rute ini memberikan suatu efek yang cepat dan kontrol yang baik sekali atas kadar obat dalam sirkulasi. Kelemahannya, obat yang disuntikkan tidak dapat diambil kembali seperti dengan emesis atau pengikatan dengan karbon aktif. Suntikan iv beberapa obat bisa memasukkan bakteri melalui kontaminasi, menyebabkan hemodialisis atau reaksi yang tak diinginkan lainnya karena pemberian terlalu cepatobat konsentrasi tinggi ke dalam plasma dan jaringan. Perhatian yang sama berlaku untuk obat yang diberikan secara intraarteri.

2. Intramuskular

Obat yang diberikan secara i.m., dapat berupa larutan dalam air atau suspensi (misalnya dalam etilen glikol). Absorpsi obat dalam bentuk larutan air berlangsung cepat, sdangkan yang dalam pelarut non-air berlangsung lambat. Apabila pelarut non-air bedifusi keluar dari otot, obat tersebut mengendap pada tempat suntikan, kemudian melarut perlahan-lahan memberikan suatu dosis sedikit demi sedikit untuk waktu yang lebih lama. Contoh adalah haloperidol dekanoat (sediaan lepas lambat), yang difusinya lambat dari otot sehingga menghasilkan suatu efek neuroleptik yang panjang (Mycek dkk., 2001). Suntikan i.m., diberikan jauh ke dalam otot rangka, umumnya otot pinggul atau pinggang. Tempat penyuntikan dipilih yang bahaya pengrusakan terhadap saraf atau pembuluh darahnya sangat kecil. Obat-obat yang memedihkan jaringan bawah kulit seringkali diberikan secara intramuskular. Juga volume obat yang diberikan bisa lebih besar yaitu 2 5 ml.

3. Sub Kutan

Rute pemberian ini memerlukan absorpsi dan agak lebih lambat dibandingkan dengan i.v., namun rute ini mengurangi resiko yang berhubungan dengan suntikan i.v. Contoh obat yang diberikan seperti levonorgestrel dan insulin. Pemberian subkutan (hipodermik) dari obat-obat adalah pemberian injeksi melalui lapisan kulit ke dalam jaringan longgar di bawah kulit.

C. LAIN-LAIN

1. Inhalasi

Inhalasi memberikan penghantaran obat yang cepat melewati permukaan luas dari saluran napas dan epitel paru-paru, yang menghasilkan efek hampir sama dengan pemberian secara i.v. Rute ini terutama efektif dan menyenangkan untuk penderita dengan keluhan-keluhan pernapasan (misalnya asma, penyakit paru obstruktif kronis) karena obat diberikan langsung ke tempat kerjanya dan efek samping sistemik minimal.

2. Intranasal

Desmopressin diberikan secara intranasal pada pengobatan diabetes insipidus; kalsitonin salmon, suatu hormon peptida yang digunakan dalam pengobatan osteoporesis.

3. Intratekal/Intraventrikular

Kadang-kadang perlu untuk memberikan obat-obat secara langsung ke dalam cairan serebrospinal, seperti metotreksat pada leukimia limfositik akut.

4. Topikal

Pemberian topikal digunakan apabila suatu efek lokal obat diinginkan untuk pengobatan. Contoh : mikonazol, klotrimazol yang diberikan dalam bentuk krim dalam pengobatan dermatofitosis.

5. Transdermal

Rute ini mencapai efek sistemik dengan pemakaian obat pada kulit, biasanya melalui suatu trandermal patch. Kecepatan absorpsi sangat bervariasi tergantung pada sifat-sifat fisik kulit pada tempat pemberian. Contoh: nitrogliserin

II. CARA BEKERJA DENGAN BINATANG PERCOBAAN

Setiap orang, baik praktikan maupun peneliti, yang bekerja di laboratorium yang menggunakan binatang percobaan sebaiknya membaca :

1. Petunjuk memelihara dan menggunakan binatang percobaan.

2. Dasar-dasar pemeliharaan binatang percobaan.

3. Perlakukan binatang percobaan dengan kasih sayang dan jangan sekali-kali disakiti.

A. Cara memperlakukan binatang :

1. Kelinci dan Marmot

Jangan sekali-kali memegang telinga kelinci, karena syaraf dan pembuluh darah dapat terganggu.

2. Tikus dan Mencit

Peganglah binatang-binatang ini pada ekornya, tetapi hati-hati jangan sampai binatang tersebut membalikkan tubuhnya dan menggigit anda. Karena itu selain ekornya, peganglah juga bagian leher belakang dekat kepala dengan ibu jari dan telunjuk.

B. Menggunakan kembali binatang yang telah dipakai :

Untuk efisiensi suatu binatang percobaan dapat digunakan lebih dari satu kali. Namun harus dipastikan obat yang digunakan pada percobaan sebelumnya sudah dieliminasikan dari tubuh binatang, jika tidak kemungkinan hasil percobaan berikutnya datanya kurang benar. Hal ini terutama terdapat pada kasus pemberian barbiturat yang menyebabkan induksi enzim. Maka binatang baru boleh digunakan lagi untuk percobaan berikutnya setelah minimal 14 hari. Disamping itu, kelinci harus digunakan sebagai alternatif untuk cara pemberian internal maupun eksternal, meskipun percobaan menjadi tidak berurutan.

III. CARA MEMBERI KODE BINATANG PERCOBAAN

Seringkali diperlukan untuk mengidentifikasi binatang yang terdapat dalam suatu kelompok atau kandang. Sehingga binatang-binatang percobaan perlu sekali diberi kode. Gunakan larutan 10 % asam pikrat dalam air dan sebuah sikat atau kuas. Punggung binatang dibagi menjadi 3 bagian , yaitu:

1. Bagian kanan menunjukkan angka satuan

2. Bagian tengah menunjukkan angka puluhan

3. Bagian kiri menunjukkan angka ratusan

IV. CARA PEMBERIAN OBAT PADA BINATANG PERCOBAAN

1.Alat Suntik

Tabung dan jarum suntik harus steril jika akan digunakan pada kelinci, marmot, dan anjing. Tetapi tidak perlu steril melainkan sangat bersih untuk tikus dan mencit. Setelah penyuntikan, cuci tabung, dan jarum suntik tersebut, semprotkan cairan ke dalam gelas piala, dan jarum suntik di pegang erat-erat. Ulangi cara ini tiga kali.

2.Heparinisasi

Untuk heparinisasi (mencegah darah menggumpal) dipakai 10 unit heparin per 1 ml darah. Untuk mencegah penggumpalan darah, sebelum dipakai tabung dan jarum suntik dicuci dahulu dengan larutan jenuh natrium oksalat steril.

3. Cara pemberian pada binatang mencit

a. Oral: pemberian per oral dilakukan dengan alat injeksi yang dimodifikasi pada ujung jarumnya. Jarum ukuran 18 G yang runcing dipotong ujungnya dan diganti dengan bola logam halus yang berlobang. Cara yang lain adalah menggunakan pipa karet/plastik (kateter polietilen ukuran A2-3f.,g., dengan panjang antara 2-3 cm. Mencit harus dipegang pada bagian kulit tengkuk dan punggungnya. Kateter dimasukkan ke dalam mulut mencit dan ditekan masuk ke dalam esophagus, baru cairan obat diinjeksikan

b. Injeksi subkutan: mencit harus dipegang seperti pada pemberian oral. Injeksi subkutan dilakukan melalul kulit tengkuk. Cara lain untuk mengekang mencit bisa dilakukan dengan ibu jari dan telunjuk sementara mencit dibiarkan mencengkeram suatu permukaan yang kasar sehingga tertahan ditempat. Injeksi dilakukan pada bagian kulit punggung yang terangkat dengan arah paralel ke arah belakang.

c. Injeksi intramuskular: karena kecilnya masa otot pada mencit maka volume obat yang diinjeksikan relatif kecil. Otot paha bagian posterior dan anterior merupakan tempat yang paling sering dipakai untuk keperluan tersebut. Mencit dikekang dengan memegang kulit bagian tengkuk dan punggung dan diarahkan pada posisi telentang. Kemudian operator memegang salah satu kakinya. Injeksi dilakukan apabila otot paha bagian anterior dipegang dengan cara menjepitnya di antara ibu jari dan telunjuk.

d. Injeksi intraperitoneal: mencit dikekang dengan memegang kulit bagian tengkuk dan punggung dan diarahkan pada posisi telentang. Jarum diarahkan searah dengan salah satu kakinya. Jarum harus menembus dinding di tengah kuadran pasterior abdomen, guna menghindari kandung kencing dan hati.

Tabel P.1. Konversi perhitungan dosis antar jenis hewan (Laurence & Bacarach,1964)

Mencit 20gTikus 200gMarmot 400gKelinci 1,5kgKera

4kgAnjing

12kgManusia

70kg

Mencit 20g1,07,012,2527,864,1124,2387,9

Tikus 200g0,141,01,743,99,217,856,0

Marmot 400g0,080,571,02,255,210,231,5

Kelinci 1,5g0,040,250,441,02,44,514,2

Kera 4g0,0160,110,190,421,01,96,1

Anjing 12kg0,0080,060,100,220,521,03,1

Manusia70kg0,00260,0180,0310,070,160,321,0

Contoh perhitungan:

Dosis terapi harian parasetamol pasien 70kg = 2000mg. Berapa perkiraan dosis untuk tikus pada penelitian efek analgetika?

Jawab: konversi dosis manusia 70kg ke tikus 200g = 0,018 (lihat tabel).

Dosis untuk tikus 200g = 0,018X2000mg

= 36mg/ 200g BB

= 180mg/kgBB

Dosis pemberian tersebut diatur volumenya agar tidak melebihi volume maksimum!

Catatan: Untuk keperluan suatu penelitian, dosis pemberian pada hewan uji seharusnya dilakukan dengan orientasi dosis pemeberian. Sebagai langkah awal orientasi, hasil konversi dosis harian (bukan dosis terbagi) manusia ke hewan uji seperti contoh perhitungan di atas dapat dijadikan dasar perhitungan orientasi.

Tabel P.2. Volume Maksimum Larutan Obat yang Diberikan pada Binatang

Hewan UjiVolume Maksimum (ml) Berbagai Cara Pemberian

i.v.i.m.i.p.s.c.p.o.

Mencit 20-30g0,50,051,00,5 1,0*1,0

Tikus 100g1,00,12 5,02 5,0*5,0

Hamster 50g-0,11 5,02,52,5

Marmot 250g-0,252 5,05,010,0

Merpati 300g2,00,52,02,010,0

Kelinci 2,5kg5 10,00,510 20,05 10,020,0

Kucing 3kg5 10,01,010 20,05 10,050,0

Anjing 5kg10 20,05,020 50,010,0100,0

* Distribusikan ke daerah yang lebih luas.

Rumus dosis/volume/konsentrasi obat pemberian pada hewan uji (satuan setara).

D X BB = C X V

Dimana: D = dosis(mg/g)

BB = berat badan (g)

C = kadar obat (mg/ml)

V = volume pemberian (ml)

Contoh soal: (coba dikerjakan saat akan praktikum I)

1. Bila suatu obat ABC p.o. hendak diberikan pada mencit 30g dengan dosis: 50mg/kgBB dan konsentrasi larutan 0,2%. Berapa volume obat yang diberikan?

2. Apakah konsentrasi sediaan no.1 dapat diberikan pada secara i.v.? Bila tidak berapa konsentrasi yang sebaiknya dibuat?

ASAS UMUM UJI TOKSIKOLOGI

I. TUJUAN

Mahasiswa mampu memahami jenis uji toksikologi dan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kesahihan (validitas) uji toksikologi.

II. PENDAHULUAN

Uji toksikologi adalah tatacara untuk mendeteksi dan mengevaluasi kondisi, mekanisme, wujud, dan sifat efek toksik zat kimia pada hewan uji tertentu untuk menentukan batas keamanannya. Untuk keperluan penapisan spektrum efek toksik sesuatu senyawa, diperlukan serangkaian uji toksikologi. Dan tentunya, agar kesahihan masing-masing jenis uji toksikologi yang dikerjakan dapat diandalkan, maka perlu dilakukan pengendalian terhadap aneka faktor yang dapat mempengaruhi kesahihan itu. Oleh karena itu, sebelum menjalankan praktek uji toksikologi, selayaknya para mahasiswa faham terlebih dahulu terhadap aneka jenis uji toksikologi dan berbagai faktor yang mungkin dapat mempengaruhi kesahihan hasil ujinya.

Pemahaman terhadap jenis uji toksikologi, berguna sekali untuk mendapatkan pengetahuan tentang sasaran dan luaran masing-masing jenis uji. Dan, pemahaman terhadap aneka ragam faktor yang mungkin mempengaruhi uji toksikologi, bermanfaat sekali sebagai sumber pengetahuan tentang berbagai ubahan yang perlu diperhatikan dalam merancang dan menjalankan suatu uji toksikologi, utamanya berkaitan dengan upaya mengecilkan berbagai kesalahan yang mungkin timbul atau membesarkan kesahihan hasil uji.

Uraian berikut akan memberikan gambaran kepada para mahaiswa tentang penggolongan uji toksikologi serta berbagai faktor yang perlu diperhatikan sebelum menjalankan uji toksikologi.

III. PENGGOLONGAN UJI TOKSIKOLOGI

Uji toksikologi dibagi menjadi dua golongan, yakni uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas :

ialah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik sesuatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Uji ketoksikan tak khas meliputi :

1. uji ketoksikan akut,2. uji ketoksikan subkronis, dan3. uji ketoksikan kronis.

Beda antara ketiga jenis uji tersebut terletak pada :

1. sifat dan lama pemberian atau pemejanan senyawa uji,

2. sasaran dan luaran ujinya.

1. Uji ketoksikan akutTujuan : untuk menentukan potensi ketoksikan akut (kisaran dosis letal atau toksik) sesuatu senyawa yang diberikan atau dipejankan kepada subyek uji dengan takaran atau dosis tunggal. Selain itu, uji ini juga digunakan untuk menentukan spektrum efek toksik senyawa atas beberapa fungsi vital tubuh, utamanya yang berkaitan dengan penyebab kematian seperti gerak, perilaku, dan pernafasan.

2. Uji ketoksikan subkronis dan kronisTujuan : untuk menentukan spektrum efek toksik senyawa atas semua organ dan kelenjar tubuh, setelah pemberian takaran atau dosis berulang sampai tiga bulan (subkronis), dan lebih dari tiga bulan atau pada dasarnya sepanjang umur subyek uji (kronis). Selain itu, kedua uji ini juga untuk menentukan apakah spektrum efek toksik yang timbul berkerabat dengan takaran atau dosis senyawa uji, dan sejauh mana ketimbalbalikan (reversibilitas) spektrum efek toksik tersebut.

Uji ketoksikan khas : ialah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek toksik yang khas sesuatu senyawa atas fungsi, organ atau kelenjar tertentu pada aneka ragam subyek atau hetan uji. Uji ketoksikan khas ini meliputi :

1. uji potensiasi,2. uji reproduksi,3. uji kemutagenikan, 4. uji kekarsinogenikan, 5. uji kulit dan mata, 6. uji perilaku.

1. Uji potensiasi dikerjakan untuk menentukan kemungkinan peningkatan efek toksik sesuatu senyawa dengan hadirnya senyawa lain. Misalnya untuk mengevaluasi ketoksikan sediaan obat kombinasi. 2. Uji reproduksi, dibagi lagi menjadi tiga segmen, yakni uji kesuburan (fertilitas), uji keteratogenikan, dan uji pranatal serta pascanatal. Pada dasarnya, uji reproduksi ini dikerjakan untuk menentukan apakah sesuatu senyawa dapat mempengaruhi kapasitas reproduksi subyek atau hewan uji tertentu, meliputi efek atua kesuburan, efek embriotoksik, dan efek teratogenik (cacat bawaan) sampai generasi ketiga subyek uji. 3. Uji kemutagenikan dikerjakan untuk menentukan pengaruh sesuatu senyawa atas sistem kode genetik. Dengan demikian, uji ini dapat digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan sesuatu senyawa menyebabkan perubahan, luka, atau cacat hayati yang sifatnya menurun.

4. Uji kekarsinogenikan dikerjakan untuk menentukan kemampuan sesuatu senyawa dalam menimbulkan tumor atau kanker pada aneka ragam jenis hewan uji, baik jangka pendek atau jangka panjang.

5. Uji kulit dan mata, pada dasarnya dikerjakan untuk menentukan pengaruh setempat sesuatu senyawa bila bersentuhan langsung dengan kulit atau mata. Efek toksik setempat tersebut, dapat berupa iritasi primer, korosi, sensitisasi kutan, fototoksik, dan fotoalergi. Karena itu, termasuk uji kulit dan mata meiliputi uji iritasi primer kulit, uji sensitisasi kutan, dan uji fotoksik serta uji fotoalergi.

6. Uji perilaku, dikerjakan untuk menentukan pengaruh sesuatu senyawa atas keaktifan lokomotor subyek atau hewan uji tertentu. Untuk itu, terdapat beberapa jenis uji, yakni uji roda berputar, uji lapangan terbuka, uji sangkar hewan piaraan, uji sangkar rumit, dan uji khas. Pada dasarnya, semua jenis uji perilaku ini, bermanfaat guna mengetahui pengaruh atau efek toksik sesuatu senyawa atas sistem saraf pusat atau otak.

Hasil yang diperoleh dari serangkaian uji toksikologi, baik tak khas maupun khas, selanjutnya secara keseluruhan bermanfaat sebagai dasar evaluasi keamanan praklinik, dan lebih jauh untuk memperkirakan risiko penggunaan sesuatu senyawa oleh atau pemejanannya pada diri manusia. Karena itu, hasil uji toksikologi harus memiliki kesahihan yang tinggi. Upaya ke arah itu dapat dicapai, utamanya bila para mahasiswa mammpu memahami aneka ragam faktor atau ubahan yang dapat mempengaruhi kesahihan uji toksikologi.

IV. ANEKA RAGAM FAKTOR PENENTU KESAHIHAN UJI TOKSIKOLOGI

Dalam menjalankan uji toksikologi apa pun, terlibat beberapa kegiatan utama, yakni: (a) memberikan atau memejankan sediaan bahan/senyawa uji pada beberapa kelompok subyek uji tertentu melalui jalur pemberian tertentu; (b) mengamati langsung perubahan patologis dan atau mengambil cuplikan hayati guna mendapatkan data tolok ukur kualitatif dan kuantitatif; (c) menganalisis atau mengolah kedua jenis data tersebut guna memperoleh hasil uji yang berupa informasi tentang ketoksikan sediaan uji; (d) mengevaluasi hasil uji guna memperoleh kesimpulan yang berupa perkiraan batas aman dan risiko penggunaan atau pemejanannya pada manusia.

Bila disimak daur atau sistem uji toksikologi di atas, terlihat ada beberapa komponen sistem yang saling terkait dalam mendukung keberhasilan uji toksikologi. Dengan perkataan lain, keabsahan hasil uji toksikologi, ditentukan oleh kecermatan dalam mempersiapkan dan menerapkan masing-masing komponen itu. Bila demikian, dapat dinyatakan bahwa kesahihan uji toksikologi ditentukan oleh aneka komponen dalam sistem uji toksikologi, di antaranya yang terpenting adalah: (1) penyiapan dan penerapan rancangan uji; (2) sediaan uji; (3) subyek uji; (4) teknik/tatacara yang terlibat dalam proses uji maupun analisa dan evaluasi hasil.

1. Rancangan uji

Secara keseluruhan, rancangan uji merupakan faktor yang menentukan sekali kesahihan uji toksikologi. Karena keberhasilan uji toksikologi, tak akan lepas dari ketepatan pemilihan dan penerapan metodologi, sesuai dengan tujuan masing-masing jenis uji toksikologi yang telah ditetapkan. Dan dalam memilih metodologi, seharusnya telah dipertimbangkan berbagai segi yang berkaitan dengan pengelompokkan subyek uji, pemilihan subyek dan penentuan jumlahnya, keterubahan (variabilitas) antarsubyek, keterubahan dalam subyek, keterubahan waktu, dan keterubahan karena perlakuan. Selain itu, pilihan metode analisis statistik yang akan diterapkan pun, sebenarnya telah melekat pada rancangan uji yang digunakan. Dengan demikian, kekeliruan dalam memilih dan menerapkan suatu rancangan uji, jelas besar sekali pengaruhnya terhadap kesahihan uji toksikologi yang dikerjakan.

2. Faktor sediaan uji

Hal yang perlu dipertimbangkan dengan seksama dalam kaitannya dengan sediaan uji adalah spesifikasi sifat fisika.

3. Faktor subyek uji

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dengan seksama dalam kaitannya dengan subyek uji meliputi pemilihan, kondisi, jumlah, dan keterbatasan ukuran hewan uji yang akan digunakan.

Pemilihan hewan uji, idealnya harus dipilih yang semirip mungkin dengan manusia, utamanya dalam hal sistem absorpsi, distribusi, metabolisme, perubahan respons antar jenis dan dalam satu jenis hewan uji terhadap efek senyawa uji. Suatu hal yang sulit dikerjakan, apalagi bila bahan ujinya berupa obat tradisional yang mengandung aneka ragam zat aktif. Karena itu, pada umumnya hewan uji yang digunakan sebagai subyek uji toksikologi, lebih dari dua jenis hewan. Hal ini disarankan dengan asumsi bahwa bila wujud efek toksik sesuatu senyawa diperlihatkan pada beberapa jenis hewan uji, kemungkinan besar juga akan terwujud pada diri manusia. Kondisi hewan uji yang akan digunakan, benar-benar harus berada dalam keadaan sehat. Bila tidak, niscaya perkembangan patologis yang terjadi selama uji toksikologi berlangsung, sulit dievaluasi sumber penyebabnya, berasal dari senyawa uji atau kondisi bawaan hewan ujinya. Karena itu, pemeliharaan dan penanganan hewan uji sebelum dan selama masa uji berlangsung, harus benar-benar diperhatikan, sebagaimana telah diuraikan pada bab II.

Jumlah hewan uji yang akan digunakan, juga harus dipertimbangkan. Hal ini berkaitan dengan kebermaknaan statistik sebagai salah satu landasan penarikan kesimpulan hasil uji dan prinsip ekstrapolasi kejadiannya pada diri manusia. Karena itu, jumlah hewan uji yang digunakan, harus disesuaikan dengan metode statistika yang akan diterapkan untuk masing-masing jenis uji toksikologi.

Keterbatasan ukuran hewan uji, berkaitan dengan keragaman berat, luas permukaan badan, kapasitas organ, dan volume cairan badan antarjenis hewan uji. Keberagaman tersebut, tentunya berpengaruh terhadap daya terima maupun kerentanan hewan uji terhadap masukan dan ketoksikan senyawa uji. Karena itu, volume pemberian dosis pada hewan uji, harus disesuaikan dengan batas volume maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji tertentu, sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya. Bila tidak, interpretasi dan evaluasi terhadap perkembangan patologis yang terjadi selama masa uji, sulit ditegaskan penyebabnya.

4. Faktor teknik/tatacara

Teknik atau tatacara yang terlibat dalam proses uji maupun analisis dan evaluasi hasil meliputi penyiapan sediaan, penentuan dosis, jalur pemejanan, volume pemejana, frekuensi pemenjanan, stok sediaan, pengambilan cuplikan, pengamatan, analisis dan evaluasi hasil. Untuk keperluan uji toksikologi, bentuk sediaan uji sedapat mungkin diusahakan dalam bentuk larutan, agar dapat diberikan atau dipejankan melalui semua jenis jalur pemberian. Penggunaan suspensi atau emulsi, sebaiknya dihindari, kecuali bila pemberiannya melalui oral. Untuk keperluan tersebut di atas, informasi tentang keterlarutan bahan uji, akan membantu sekali dalam proses menyiapkan sediaan uji. Bila bahan uji larut dalam air, buat sediaan larutan dalam air atau garam fisiologis. Bila keterlarutan bahan uji dalam air terbatas, buat sediaan larutan dalam minyak nabati (misal minyak jagung) atau dalam pelarut organik (misal propilenglikol 40-50% dalam air atau garam fisiologis). Dan, bila bahan uji tidak larut dalam air, buat sediaan suspensi dalam tragakan, CMC, atau tilosa 0,1-1% (untuk pemberian oral). Cara lain yang dapat disarankan, tingkatkan keterlarutan bahan uji dengan suatu polimer, biasanya polivinilpirolidon (PVP) BM 10.000-30.000. Keterlarutan bahan uji berupa zat kimia murni dalam air dapat ditingkatkan dengan melarutkannya dalam larutan PVP-30.000 5-10%.

Bahan uji yang berupa obat tradisional dapat ditingkatkan keterlarutannya dengan cara berikut (Chung dkk, 1985):

a. Ekstrak tak larut dalam air, larutkan dalam metanol, etanol, atau aseton (misal 10 mg ekstrak dalam 1000 ml pelarut).

b. Larutkan PVP lebih kurang 4-5 kali berat ekstrak dalam pelarut yang digunakan pada butir a sesedikit mungkin.

c. Campur hasil pada butir a dan butir b di atas.

d. Ambil perlarutnya dengan cara evaporasi dengan alat evaporator. Pertama kali dengan kecepatan putaran yang lambat, berkutnya dengan kecepatan penuh. Hasil akhir butir d ini, merupakan produk yang larut dalam air.

Penyiapan bentuk sediaan bahan uji seoptimal mungkin, utamanya bermanfaat dalam upaya memelihara kehomogenan sediaan uji, sehingga besar masukan bahan uji pada subyek uji, dapat selalu dipertahankan keajegannya.

Pada umumnya, besar takaran atau dosis yang diberikan pada subyek atau hewan uji dalam uji toksikologi, melibatkan tiga peringkat dosis atau lebih, yang berkisar dari dosis terendah yang sama sekali tidak menimbulkan efek toksis yang berarti, sampai dengan dosis tertinggi yang sama sekali menimbulkan efek toksik yang berarti pada sekelompok hewan uji. Khusus untuk obat, dosis terendah yang diberikan, sebaiknya meliputi dosis terapi-manusia. Hal ini dapat diperhitungkan dengan beberapa cara: (1) berdasarkan harga ED50 senyawa uji dari hasil uji farmokologi dengan hewan uji dan jalur pemberian yang sama; (2) berdasarkan harga LD50 senyawa uji pada hewan uji yang sama (5-10% LD50 intravena); (3) berdasarkan kelipatan dosis yang disarankan untuk digunakan pada manusia (biasanya 2-10 kali dosis manusia); (4) mengikuti tabel konversi perhitungan dosis antar jenis hewan, berdasarkan nisbah (ratio) luas permukaan badan mereka, seperti terlihat pada tabel I.Perlu dicatat, besar takaran dosis yang diberikan, hendaknya selalu dikaitkan dengan batas volume maksimum yang dapat diterima oleh subyek atau hewan uji (tabel II).Pilihan jalur pemberian, juga perlu diperhatikan. Dalam hal ini, yang perlu diingat ialah bahwa hasil uji toksikologi akan dimanfaatkan untuk memperkirakan keamanan dan risiko penggunaan bahan uji pada diri manusia. Karena itu jalur pemberian terpilih, harus melibatkan jalur pemberian sediaan uji yang disarankan untuk manusia. Selain itu, yang lebih penting, teknik pemberiannya jangan sampai keliru. Perubahan patologis atau kematian hewan uji, dapat terjadi karena teknik pemberian yang keliru, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan dalam menginterpretasi dan mengevaluasi hasil uji.Pada dasarnya, volume pemberian disarankan tidak melebihi setengah kali volume maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji, utamanya untuk pemberian berulang dalam jangka panjang seperti pada uji ketoksikan subkronis, kronis, dan kekarsinogenikan. Bahkan untuk mencit dan tikus, volume pemberian disarankan tidak melebihi 0,005 ml/g BB. Hal ini didasarkan pada perkiraan bahwa harga LD50 air dan garam fisiologis, lebih kurang berturut-turut, 0,04 ml/g dan 0,068 ml/g BB. Dan yang lebih penting, bila pemberian sediaan uji melalui jalur oral, volume yang diberikan pada sekelompok hewan uji sama besarnya. Dalam hal ini, agar dosis yang diberikan besarnya sama, buatlah variasi kadar sediaan uji (keseragaman dosis disesuaikan dengan variasi kadar sediaan uji). Bila pemberian sediaan uji melalui jalur parenteral, volume yang diberikan pada sekelompok hewan uji, dapat bervariasi sesuai dengan berat badan masing-masing. Dalam hal ini, kadar sediaan uji dibuat sama (keseragaman dosis disesuaikan dengan variasi volume pemberian).

Kekerapan, lama, dan saat pemberian sediaan uji, juga perlu dipertimbangkan masak-masak. Untuk keperluan uji toksikologi, pada umumnya sediaan uji diberikan dengan kekerapan sekali sehari, kecuali untuk kasus-kasus tertentu dapat diberikan lebih dari sekali sehari. Lama pemberian sediaan uji disesuaikan dengan masing-masing jenis uji toksikologi. Namun, perlu diperhatikan bahwa lama pemberian sediaan uji pada hewan uji, ada kaitannya dengan lama perkiraan penggunaannya pada manusia. Tabel III. memuat kekerabatan antara lama pemberian, masa hidup hewan, dan kesetaraannya dengan manusia. Selain itu, perbedan kekerapan dan lama pemberian, dapat mengakibatkan perbedaan wujud efek toksik yang ditimbulkan. Demikian pula halnya dengan saat pemberian, juga berpengaruh terhadap wujud efek toksik yang ditimbulkan oleh sediaan uji. Hal ini utamanya berkaitan dengan irama diurnal, irama sirkardian, dan kerentaan sesuatu organ terhadap ketoksikan senjawa uji. Karena itu, pemberian sediaan uji seharusnya dilakukan pada waktu yang sama (berkaitan dengan jam biologis, pagi, siang, sore, malam) atau tepat pada masa kritis perkembangan organ (misal stadium organogenesis masa bunting, dalam uji keteratogenikan).

Tabel III. Kekerabatan waktu antara pemberian/pemejanan senyawa pada hewan uji, masa hidup hewan uji, dan kesetaraan waktu dengan manusia (Benitz, 1970)Lama uji (bulan)TikusKelincianjingkera

Masa hidup (%)Setara manusia (bulan)Masa hidup

(%)Setara manusia (bulan)Masa hidup

(%)Setara manusia (bulan)Masa hidup

(%)Setara manusia (bulan)

14,1341,5120,826,50,554,5

28,2673,0241,6141,19

3121014,5362,5201,613

6252029,0724,9403,327

1249404181459,8816,653

2499808362892016213107

Penyiapan stock sediaan uji, juga perlu dipertimbangkan masak-masak, utamanya untuk keperluan uji toksikologi yang berjangka panjang. Idealnya, stok sediaan uji dibuat sekaligus, secukupnya untuk perlakuan selama masa penelitian berlangsung, agar keseragaman besar dosis yang diberikan pada subyek uji, dapat selalu dipertahankan. Untuk itu, setelah digunakan, stok sediaan perlu disimpan dalam almari pendingin -20(C. Namun perlu dicatat, pendinginan hanya mencegah pembusukan dan timbulnya jamur, tetapi tidak dapat menjamin tercegahnya peruraian zat aktif yang terkandung di dalam sediaan. Karena itu, kecuali kemantaban (stabilitas) zat aktif dalam sediaan uji terkait untuk masa penelitian tertentu telah ditegaskan, stok sediaan uji lebih baik selalu dibuat baru.

Dalam uji toksikologi, upaya mendapatkan data tolok ukur kualitatif maupun kuantitatif, memerlukan aneka ragam pengamatan langsung terhadap aneka perubahan yang terjadi pada diri hewan uji (misal gejala klinis) maupun pengambilan aneka ragam cuplikan hayati (misal darah, urin, organ). Kondisi patologis yang disimpulkan, mungkin tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, karena tidak diikutinya tata cara baku pengamatan dan pengambilan cuplikan hayati. Karena itu, ketaatan terhadap tata cara baku pengamatan maupun pengambilan cuplikan untuk masing-masing jenis uji toksikologi, merupakan suatu keharusan.

Bagaimanapun cermatnya kita mengendalikan berbagai faktor yang terkait dengan rancangan uji, sediaan uji, subyek uji, serta pengamatan dan pengambilan cuplikan hayati, tetapi bila tata cara analisis hasil, evaluasi hasil, dan penarikan kesimpulan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, tidak dikerjakan dengan saksama sesuai dengan kriteria baku dan tujuan masing-masing jenis uji toksikologi, kesahihan hasil ujinya menjadi kurang andal. Suatu hal yang perlu dicermati oleh para mahasiswa.

Telah dipaparkan aneka ragam faktor yang dapat mempengaruhi kesahihan uji toksikologi. Karena itu, sebelum para mahasiswa memulai praktikum, sebaiknya mau mempelajari aneka ragam faktor tersebut, dan mampu menerapkannya dalam praktek sesungguhnya.

V. PUSTAKA ACUAN

Benitz, K.F. 1970, Measurement of Chronic Toxicity. In. paget, G.E. (Ed.). Methods in Toxicology. Blackwell Scientific Publications : Oxfortd.

Chuang, K.S., Lee, E.B. & Waller, D.P. 1985. Laboratory Manual. Regional Workshop on the Female antiverility evaluation of natural products. Natural Products Research Institute-Seoul National University: Seoul.

Donatus, I.A. 1990. Toksikologi Pangan. Edisi I. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Donatus, I.A. 2005. Toksikologi Dasar. Edisi II. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.Laurence, D.R. & Bacharach, A.L. 1964. Evaluation of Drug Activities. Pharmacometrics.

Loomis, T.A. 1978. Essential of Toxicology. 3rd ed. Lea & Febiger: Philadelphia. Atau Edisi Terjemahan (Imono Argo Donatus, alih bahasa). Toksikologi Dasar. Edisi III. IKIP Press : Semarang.

Ritschell, W.A. 1974. Laboratory Manual of Biopharmaceutics. Drug Intelligence Publications : Hamilton.

World Health Organization. 1966. Principles for Pre-clinical Testing of Drug Safety. WHO Technical Report Series, 341 : 3-22.

World Health Organzation. 1978. Environtmental Health Criteria 6: Principles and Methods for Evaluating the Toxicity of Chemicals. Part I. WHO : Geneva. Chemicals.PERCOBAAN 1

PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT

Tujuan:

1. Memahami dan melaksanakan cara pemberian obat secara per oral (p.o.), intraperitonial (i.p.), dan sub cutan (s.c.) pada hewan uji mencit. Pemberian intramuskular (i.m.) dan intravena (i.v.) dilakukan demo.

2. Memahami hubungan pengaruh cara pemberian dengan kecepatan absorpsi obat.

3. Melaksanakan pengolahan data dan perhitungan onset dan durasi obat.

4. Memahami keuntungan dan kerugian berbagai cara pemberian obat.

5. Memahami cara pengolahan data dengan statistik SPSS (bila dimungkinkan).

Dasar Teori:

Untuk mencapai efek farmakologis seperti yang diinginkan, obat dapat diberikan dengan berbagai cara, antara lain melalui oral, subkutan, intra-muskular, intra-peritoneal, rektal dan intravena. Masing-masing cara pemberian ini memiliki keuntungan dan manfaat tertentu. Suatu senyawa atau obat mungkin efektif jika diberikan melalui salah satu cara pemberian, tetapi tidak atau kurang efektif jika diberikan melalui cara lain. Perbedaan ini salah satunya dapat disebabkan oleh adanya perbedaan dalam hal kecepatan absorpsi di antara berbagai cara pemberian tersebut, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap efek atau aktivitas farmakologisnya.

Bahan:

1. Pentobarbital 0,5% (sesuai kebutuhan)

2. Alkohol

Alat:

1. Spuit injeksi.

2. Spuit injeksi oral.

3. Stopwatch

Hewan uji: mencit.

Dosis pemberian: 60 mg/kgBB.

Cara kerja:

1. Masing-masing subkelompok praktikum mendapat 3 ekor mencit.

2. Timbang mencit dan hitunglah volume pemberian obat.

3. Lakukan cara pemberian i.p., s.c., dan p.o pada mencit.

4. Catat waktu mencit pertama kali kehilangan refleks balik badan* (righting reflex) dan waktu kembalinya refleks tersebut.

5. Kumpulkan data seperti tabel di bawah ini. Hitung onset dan durasi pentobarbital berdasarkan data refleks balik badan.

6. Uji statistik dengan Anova dengan program SPSS (bila dimungkinkan).

Tabel 1.1. Hasil Percobaan Pengaruh Cara Pemberian terhadap Onset Durasi Obat

Cara pemberianNoVolume PemberianRefleks balik badanOnset

(menit)Durasi

(menit)

HilangKembali

p.o.

i.p.

s.c.

*Refleks balik badan adalah hilangnya kemampuan hewan uji untuk membalikkan badan dari keadaan terlentang (30 detik). Kembalinya refleks balik badan adalah kembalinya kemampuan membalikkan badan badan dari keadaan terlentang.

Tugas laporan sementara:

1. Apakah faktor-faktor yang mempengarahui absorpsi obat dari saluran cerna?

2. Jelaskan mengapa cara pemberian mempengaruhi onset dan durasi obat?

3. Jelaskan keuntungan dan kerugian masing-masing cara pemberian obat!

Tugas laporan akhir:

Urutkan cara pemberian yang berdasarkan kecepatan onsetnya dan lama durasinya dari hasil percobaan, bandingkan dengan teori (termasuk pemberian i.m. dan i.v.), dan buat pembahasan.

Kepustakaan

1.Holck, H.G.O., 1959, Laboratory Guide in Pharmacology, Burgess Publishing Company: Minnesota, 1-3.

PERCOBAAN 2

METABOLISME OBAT

Tujuan:

Memahami mekanisme metabolisme obat dan pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzim pemetabolisme obat dengan mengukur efek farmakologinya.

Dasar Teori:

Metabolisme obat sering disebut biotransformasi. Perbedaannya: istilah metabolisme hanya untuk perubahan biokimiawi/ kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa endogen dan biotransformasi peristiwa yang sama bagi senyawa eksogen (xenobiotika).

Reaksi metabolisme dibagi menjadi 2 yakni: reaksi fase I meliputi reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis; dan fase II atau reaksi konjugasi (Tabel 2.1). Reaksi fase I berfungsi untuk mengubah molekul lipofilik menjadi molekul yang lebih polar, dengan cara menambahkan suatu gugus OH atau NH2. Hasil metabolisme fase I bisa berupa peningkatan maupun penurunan aktivitas farmakologis suatu obat. Reaksi fase II terdiri dari reaksi konjugasi. Apabila metabolit hasil reaksi fase I sudah cukup polar, maka metabolit tersebut dapat segera diekskresikan oleh ginjal. Bila belum diperlukan suatu reaksi konjugasi lanjutan dengan substrat endogen, seperti asam glukuronat, asam sulfat, asam amino, metil, asetil yang akan menghasilkan suatu senyawa polar dan bersifat inaktif dibandingkan dengan obat induk.

Reaksi enzimatik yang berperan dalam proses tersebut sebagian besar terjadi di dalam sel-sel hepar, dan sisanya terjadi di organ-organ lain seperti saluran cerna, paru, ginjal dan darah. Mikroflora gastrointestinal lebih berperan dalam reduksi daripada oksidasi, dan hidrolisis daripada konjugasi.

Tempat terjadinya reaksi oksidasi sebagian besar di dalam retikulum endoplasmik sel. Namun proses tersebut juga bisa dikatalisir oleh enzim-enzim yang berbeda di dalam sitosol ataupun mitokondria. Sedang reaksi fase II (konjugasi) umumnya terjadi di dalam sitosol, kecuali reaksi glukuronidasi.

Tabel 2.1. Jalur metabolisme obat oleh enzim heparReaksi Fase IReaksi Fase II

1. Oksidasi, meliputi : hidroksilasi, dealkilasi, pembentukan oksida, desulfurasi, dehalogenasi, deaminasi1. Konjugasi glukuronida

2. Konjugasi sulfat

3. Asilasi

4. Metilasi

5. Pembentukan asam merkapturat

2. Reduksi, meliputi : reduksi aldehida, reduksi azo, reduksi nitro 6.

3. Hidrolisis : deesterifikasi

Obat yang mengalami deaktivasi dengan reaksi konjugasi, jika molekul obat sangat larut dalam lipid dan tidak mempunyai gugus aktif untuk konjugasi, maka akan didahului berbagai biotransformasi (oksidasi, reduksi, dan hidrolisis).

Dalam konjugasi dengan asam glukuronat (paling lazim) koenzim antara (uridine diphosphoglucuronic acid; UDPGA) bereaksi dengan obat dengan adanya enzim glukuronil-transferase untuk memindahkan glukuronida ke atom O pada alkohol, fenol atau asam karboksilat karboksilat atau atom S pada senyawa tiol, atau senyawa N pada senyawa-senyawa amina dan sulfonamida.

Dalam konjugasi obat-obat dengan asam amino (misal: glisin dan glutamin), terjadi reaksi antara obat yang mempunyai gugus karboksilat dan telah diaktifasi dengan koenzim A. Dalam konjugasi dengan glutation epoksida atau aren oksida yang sangat reaktif bereaksi dengan glutation, kemudian dimetabolisir lagi menjadi asam merkapturat (non-toksik).

Enzim mikrosom hepar, mukosa usus dan jaringan lain, berperan dalam oksigenasi xenobiotika dan senyawa endogen (asam lemak, kolesterol dan hormon steroid). Dalam hidroksilasi, satu atom O akan berikatan dengan atom-atom C, N dan S dari molekul obat. Reaksi ini dikatalisis oleh kelompok enzim retikulum endoplasmik hepar (mixed function oxidase system =MFO) yang melibatkan sitokrom P-450 dan reduktase NADPH-sitokrom-C.

Sistem P-450

P-450 adalah keluarga enzim (isozim) ditemukan pada banyak sel, terutama sangat banyak di sel hati. Enzim umumnya tidak spesifik, karena itu sering terjadi tumpang tindih. Banyak obat dapat menginduksi peningkatan kadar sitokrom P-450, yang menyebabkan suatu peningkatan kecepatan metabolisme obat penginduksi tersebut atau obat-obat lain yang dibiotransformasi oleh sistem P-450. Banyak obat yang dapat menginduksi maupun menginhibisi sistem P-450 ini.

Induksi enzim

Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya sendiri dengan induksi enzim (menaikkan kecepatan sintesis enzim). Kenaikan aktivitas enzim metabolisme ini menyebabkan lebih cepatnya metabolisme dan umumnya merupakan proses deaktivasi obat sehingga mengurangi kadarnya di dalam plasma dan memperpendek waktu paro obat. Karena itu intensitas dan durasi efek farmakologinya berkurang.

Pentobarbital, alobarbital dan fenobarbital menaikkan kadar sitokrom P-450, serta meningkatkan kecepatan beberapa reaksi metabolisme seperti deetilasi fenasetin, demetilasi aminopirin, 4 hidroksilasi bifenil dan hidroksilasi heksobarbital.

Induksi enzim menunjukkan variasi yang besar antar spesies, antar keturunan dalam satu spesies dan bahkan variasi antara jaringan satu dengan yang lain di dalam tubuh.

Inhibisi enzim

Penghambatan metabolisme obat oleh xenobiotika dapat berlangsung dalam beberapa cara yaitu: (1) destruksi enzim yang sudah ada sebelumnya; (2) penghambatan sintesis enzim atau dengan pembentukan kompleks, sehingga membuat tidak aktifnya enzim pemetabolisme obat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Tabel 2.2. dan 2.3..

Tabel 2.2. Penghambatan enzim dengan mekanisme destruksi sitokrom P-450Derivat olefinatDerivat asetilenat

Alobarbital ; alilisopropilasetamid ; aprobarbital; etilen; fluoroksen; sekobarbital; vinilkloridaAsetilen; etklorvinol; etinilestradiol; noretindron

Tabel 2.3. Penghambatan enzim dengan pembentukan kompleks dengan sitokrom P-450

Senyawa-senyawa nitrogenSenyawa bukan nitrogen

Amfetamin; simetidin; dapson; despramin; difenilhidramin; fenfluramin; INH; metadon; metamfetamin; nortriptilin; propoksifen; sulfanilamideIsosafrol; piperonal; safrol; sesamol, piperonil butoksida

Pengaruh induksi dan penghambatan enzim terhadp efek farmakologik dan toksisitas cukup besar, sehingga perlu diperhatikan oleh para praktisi. Sebagai contoh pemberian fenobarbital bersama-sama dengan warfarin akan mengurangi efek antikoagulansianya. Demikian pula pemberian simetidin suatu antagonis reseptor H-2 akan menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisis obat-obat lain.

Pengetahuan tentang pengaruh induktor dan inhibitor enzim terhadap laju metabolisme obat akan sangat membantu dalam memperkirakan perubahan-perubahan yang terjadi pada efek farmakodinamiknya.

Bahan dan dosis pemberian:

1. Pentobarbital (50 mg/kg BB, i.p., dosis tunggal)

2. Fenobarbital (80mg/kg BB, i.p., q24jam, untuk 3 hari)

3. Simetidin (80mg/kg BB, p.o., 1 jam sebelum pemberian pentobarbital)

Alat: Spuit injeksi; spuit oral; dan stopwatch.

Hewan uji: mencit.

Cara kerja:

1. Setiap subkelompok mendapat 3 ekor mencit.

2. Mencit pertama (kontrol) pentobarbital saja: tanpa praperlakuan.

3. Mencit kedua (induksi enzim): praperlakuan fenobarbital 3 hari berturut-turut setiap 24jam (disiapkan laboran).

4. Mencit ketiga (inhibisi enzim): praperlakuan simetidin 1X 1 jam sebelum pentobarbital.

5. Semua mencit diberikan pentobarbital. Segera catat waktu mencit pertama kali kehilangan refleks balik badan (righting reflect) dan waktu kembalinya refleks tersebut.

6. Kumpulkan data seperti tabel di bawah ini. Hitung durasi pentobarbital berdasarkan data refleks balik badan. Uji statistik dengan Anova (95%).

Tabel 2.4. Hasil Percobaan Induksi dan Inhibisi EnzimKelompok perlakuanNoVolume Pentotal (ml)Refleks balik badanDurasi

(menit)

HilangKembali

Kontrol1

2

3

4

X

Induksi1

2

3

4

X

Inhibisi1

2

3

4

X

Tugas laporan sementara:

1. Apakah yang dimaksud dengan induktor dan inhibitor enzim dan berikan contohnya masing-masing 3 dengan obat yang dipengaruhinya! Jelaskan mekanisme kerja induktor dan inhibitor enzim?

2. Jelaskan pengaruh induktor dan inhibitor enzim terhadap efek farmakologi dan toksisitas obat!3. Apakah yang dimaksud dengan auto-induction?

4. Jelaskan pengaruh kekurangan konsumsi asam-asam amino terhadap kapasitas enzim yang berperan dalam metabolisme obat!

Tugas laporan akhir:

1. Urutkan 3 jenis perlakukan berdasarkan lama durasi refleks balik badan dari hasil percobaan, bandingkan dengan teori, dan bahas.

2. Apakah induksi dan inhibisi enzim mempengaruhi onset obat?

PERCOBAAN 3EFEK ANALGESIK

Tujuan:

Memahami efek analgesik beberapa obat pereda nyeri dengan metode rangsang kimia.

Dasar Teori:

Obat analgesik adalah obat atau senyawa yang bertujuan untuk mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Secara umum analgesik dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu analgesik narkotik dan analgesika non-narkotik.

Analgesik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang disebabkan oleh berbagai rangsang nyeri seperti rangsang mekanis, kimia dan fisis. Rasa nyeri tersebut disebabkan karena lepasnya mediator-mediator nyeri seperti bradikinin, prostaglandin atau serotonin dari jaringan yang rusak, yang kemudian akan merangsang reseptor nyeri di ujung saraf perifer atau tempat lain. Dari tempat-tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh syaraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan talamus.

Metode pengujian aktivitas suatu analgesik dilakukan dengan menilai kemampuan zat uji untuk menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan, seperti mencit atau tikus. Pada umumnya potensi daya analgesik dinilai pada hewan dengan menggunakan besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulus nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri (Anonim, 1991).

Turner (1965) membagi metode pengujian daya analgesik menjadi dua berdasarkan jenis analgesiknya sebagai berikut:

1. Golongan analgesik narkotik

a. metode jepitan ekor

b. metode pengukuran tekanan

c. metode rangsang panas

d. metode potensi petidin

e. metode antagonis nalorfin

f. metode kejang oksitosin

g. metode pencelupan pada air panas

2. Golongan analgesik non-narkotik

a. metode rangsang kimia

b. metode pododolorimeter

c. metode rektodolorimeter

Bahan dan Alat Percobaan:

BahanAlat

Hewan uji : mencit Spuit injeksi (0,1-1 ml)

Larutan CMC Na 1% peroral Jarum oral (ujung tumpul)

Suspensi asetosal 0,5% dalam CMC 1% dosis 10,1 mg/kgBB (dosis manusia)Beker glass

Suspensi parasetamol 1% dalam CMC 1 % dosis 7,14 mg/KgBB (dosis manusia)Stop watch

Larutan steril asam asetat 1%

Cara Kerja:

1. Setiap kelompok mendapat 15 mencit.

2. Mencit I (kontrol), diberi larutan CMC1% p.o.

3. Mencit II, diberi suspensi asetosal p.o.

4. Mencit III diberi suspensi parasetamol p.o.

5. Setelah 15 menit kemudian, seluruh mencit disuntik asam asetat 50 mg/kg BB i.p..

6. Beberapa menit kemudian mencit akan menggeliat (perut kejang dan kaki ditarik ke belakang). Catat jumlah kumulatif geliat yang timbul setiap selang waktu 5 menit selama 60 menit.

7. Buat kurva mean (kum geliat masing-masing perlakuan vs t (menit).

8. Hitung persen daya analgetik dengan rumus

% daya analgetik = 100 - (O/K x 100), di mana :

O = jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi obat analgesik

K = jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi CMC (kontrol)

9. Bandingkan daya analgetik asetosal dan jamu.

Catatan: Rangsang kimia tidak spesifik untuk uji analgetik. Bila suatu senyawa ditemukan positif terhadap rangsang kimia perlu dilanjutkan dengan uji analgetik yang lain sebelum disimpulkan mempunyai efek analgetik!

PERCOBAAN 4EFEK ANTIINFLAMASI

Tujuan: memahami prosedur pengujian efek antiinflamasi suatu obat dengan metode Langford et.al..

Bahan dan Alat:

Karagenin 1% dalam CMC

0,05ml subplantarJarum injeksi

Natrium Diklofenak 11,95mg/kgBBJarum oral

Aquadest vol. 0,5 mlTimbangan

Hewan uji: mencit

Cara Kerja: (berdasarkan skripsi Esti Novita*, 2003 dengan modifikasi)

1. Mencit 6 ekor dibagi menjadi 2 kelompok dan diperlakukan aquadest (kontrol) dan diklofenak (perlakuan) per oral.

2. Setelah 15 menit pada kedua kelompok mencit, kaki kiri belakang mencit disuntik karagenin subplantar sementara kaki kanan belakang disuntik dengan spuit tanpa suspensi.

3. Tunggu 1 jam, mencit dikorbankan, kakinya dipotong pada sendi torsocrural, dan ditimbang. * induksi karagenin maksimal setelah 3 jam, percobaan ini memilih 1 jam untuk efisiensi.4. Hitung daya antiinflamasi dengan rumus: U D

Daya antiinflamasi (%) = ---------- X 100%

U

U = harga rata-rata berat kaki (kiri) kelompok kontrol dikurangi

rata-rata berat kaki normal (tanpa perlakuan atau kaki kanan)

D= harga rata-rata berat kaki kelompok perlakuan dikurangi

rata-rata berat kaki normal (tanpa perlakuan)

5. Uji statistik daya antiinflamasi dengan statistik yang sesuai (tidak dikerjakan).

Tabel 5.1. Hasil Percobaan Daya Antiinflamasi Diklofenak vs Aquadest

NoKontrolDiklofenak

Kaki kiriKaki kananUKaki kiriKaki kananD

1

2

3

(

X

Tugas laporan sementara:

1. Apakah yang dimaksud dengan inflamasi dan bagaimana gejalanya?

2. Apa saja yang dapat menyebabkan inflamasi?

3. Sebutkan golongan obat yang dapat bekerja sebagai antiinflamasi, jelaskan mekanisme kerjanya, dan berikan contoh obatnya!

PERCOBAAN 5UJI KETOKSIKAN AKUT

I. TUJUAN

Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksanaan, luaran, dan manfaat uji ketoksikan akut sesuatu obat atau pestisida.

II. PENDAHULUAN

Ketoksikan akut adalah derajad efek toksik sesuatu senyawa yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Batasan waktu singkat disini ialah rentang waktu selama 24 jam setelah pemberian senyawa. Bila demikian, uji ketoksikan akut dapat ditakrifkan sebagai uji ketoksikan sesuatu senyawa yang diberikan atau dipejankan dengan dosis tunggal pada hewan uji tertentu, dan pengamatannya dilakukan selama masa 24 jam.

Tujuan utama uji ketoksikan akut sesuatu obat ialah untuk menetapkan potensi ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik obat terkait, pada satu jenis hewan uji atau lebih. Selain itu, uji ini juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas, dan mekanisme yang memerantarai terjadinya kematian hewan uji.

Jadi, dalam uji ketoksikan akut, data yang dikumpulkan berupa tolok ukur ketoksikan kuantitatif (kisaran dosis letal/toksik) dan tolok ukur ketoksikan kualitatif (gejala klinis, wujud, dan mekanisme efek toksik).

Tolok ukur kuantitatif yang paling sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letal atau toksik, berturut-turut adalah dosis letal tengah (LD50) atau dosis toksik tengah (TD50). Yakni, suatu besaran yang diturunkan secara statistik, guna menyatakan atau menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50% hewan uji. Terdapat tiga metode yang paling sering digunakan untuk menghitung harga LD50 yakni metode grafik Lithfield & Wilcoxon, metode kertas grafiik probit logaritma Miller dan Tainter, dan metode rata-rata bergerak Thompson-Well, yang pada dasarnya didasarkan pada kekerabatan antara peringkat dosis dan % hewan yang menunjukkan respons.

Pada dasarnya, uji ketoksikan akut sesuatu obat, merupakan salah satu mata rantai uji toksikologi, dalam kaitannya dengan penilaian keamanan obat terkait bila digunakan oleh manusia. Jadi, hasil uji ketoksikan akut, terutama potensi ketoksikannya (LD50), bersama-sama dengan hasil uji potensi keefektifannya (ED50) obat terkait. Selain itu, pengetahuan tentang potensi ketoksikan akut, juga dapat dimanfaatkan untuk merancang uji ketoksikan subkronis/kronis, maupun untuk memperkirakan dosis awal atau dosis terapi penelitian yang lain (5-10% LD50).

Berikut ini para mahasiswa akan diperkenalkan pada tata cara pelaksanaan baku uji ketoksikan akut sesuatu obat.

III. TATA CARA PELAKSANAAN

1. Pemilihan hewan uji

Hewan uji yang digunakan sekurang-kurangnya dua jenis hewan, lebih disarankan empat jenis, terdiri dari roden dan nirroden, baik jantan maupun betina, satu galur, dewasa sehat, dan beratnya seragam (variasi yang diperbolehkan lebih kurang 10%).2. Pengelompokan hewan uji

Sejumlah hewan uji terpilih, selanjutnya diadaptasikan di laboratorium paling tidak selama satu minggu. Penimbangan berat badan dilakukan satu hari sebelum perlakuan. Kemudian hewan uji dibagi menjadi beberapa kelompok, sesuai dengan jumlah peringkat dosis senyawa uji yang akan diberikan, ditambah satu kelompok kontrol negatif. Masing-masing kelompok uji, paling tidak terdiri dari lima ekor hewan.

3. Tata cara pemberian/pemejanan dosis sediaan uji

Sedapat mungkin senyawa uji dipersiapkan sebagai sediaan larutan. Dosis sediaan uji yang diberikan, paling tidak terdiri dari empat peringkat dosis, berkisar dari dosis tertinggi yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewaan uji, sampai dengan dosis terendah atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji, sampai dengan dosis terendah yang mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji (kisaran dosis diperkirakan menyebabkan 10-90% kematian hewan pada masa akhir uji).

Peringkat dosis terendah sampai tertinggi yang dipilih sebaiknya merupakan interval logaritma yang ajeg (kelipatan tetap). Untuk mempermudah penetapan peringkat dosis, seyogyanya dilakukan dahulu orientasi dengan interval log 0,6 atau antilognya (kelipatan tetap = 4). Bila peringkat dosis terendah dan tertingginya sudah ditemukan, selanjutnya peringkat dosis antaranya ditetapkan berdasarkan faktor interval atau kelipatan tetap yang lebih sesuai. Namun, bila yang diuji adalah obat tradisional (jamu), lebih baik dicoba dahulu dosis tertinggi tepat pada batas volume maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji, karena pada umumnya sulit ditemukan harga LD50 aktual jamu.

Sediaan uji diberikan pada hewan uji paling tidak melalui jalur yang akan digunakan oleh manusia. Dalam hal ini, WHO (1966) menyarankan tiga atau lebih jalur pemberian. Dan kekerapan pemberiannya, hanya sekali selama masa uji.

4. Pengamatan

Masa pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus-kasus tertentu dapat selama 7 14 hari.

Kriteria pengamatan meliputi : (a) pengamatan fisik terhadap gejala-gejala klinis (Tabel IV), (b) perubahan berat badan, (c) jumlah hewan yang mati pada masing-masing kelompok uji, dan (d) histopatologi seluruh organ.

5. Analisis dan evaluasi hasil

Data gejala-gejala klinis yang nampak pada fungsi vital, secara kualitatif dipakai untuk mengevaluasi mekanisme penyebab kematian. Data hasil pemeriksaan histopatologi, digunakan untuk mengevaluasi spektrum efek toksik. Data jumlah hewan yang mati pada masing-masing kelompok, secara kuantitatif digunakan untuk menghitung LD50 mengikuti salah satu tata cara yang telah disebutkan dalam pendahuluan. Bila sampai dengan batas volume maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji, dosis yang diberikan tidak menimbulkan kematian hewan uji (sering dijumpai pada pengujian obat tradisional), maka dosis tertinggi tersebut dinyatakan sebagai LD50 semu (LD50).

Dari harga LD50 yang diperoleh, selanjutnya potensi ketoksikan akut senyawa uji dapat digolongkan menjadi :

Sangat tinggi, bila LD50= < 1 mg/kg

Tinggi= 1-50 mg/kg

Sedang= 50-500 mg/kg

Sedikit toksis= 500-5000 mg/kg

Hampir tidak toksis= 5-15 g/kg

Relatif tidak berbahaya= > 15 g/kg

IV. PERCOBAAN

Uji ketoksikan akut pestisida (baygon/DDT)Tugas :

Pelajari uraian pada butir IIII dengan seksama. Kemudian buat rencana kerja uji ketoksikan akut pestisida pada mencit.

Catatan :

Saudara akan menjalankan praktikum percobaan ini berdasarkan rencana kerja yang saudara susun. Dan kumpulkan rencana kerja tersebut pada pembimbing sebelum acara praktikum.

V. PUSTAKA ACUAN

Balazs, T. 1970, Measurement of Chronic Toxicity. In. paget, G.E. (Ed.). Methods in Toxicology. Blackwell Scientific Publications : Oxfortd.

Donatus, I.A. 1990. Toksikologi Pangan. Edisi I. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Donatus, I.A. 2005. Toksikologi Dasar. Edisi II. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.Tallarida, R.J. & Murray, R.B. 1981. Manual of Pharmacologic Calculations with Computer Programs. Springer-Verlag:New York.

Timbrell, J.A. 1989. Introduction to Toxicology (chapter 11). Taylor & Francis : London.

Turner, R.A., 1965. Screening Me3thods in Phamacology (chapter 5). Academic Press. New York.

World Health Organization. 1966. Principles for Preclinical Testing of Drug Safety. WHO Technical Report Series, No. 341. WHO Genewa.

World Health Organzation. 1978. Environtmental Health Criteria 6: Principles and Methods for Evaluating the Toxicity of Chemicals. Part I. WHO : Geneva.

Tabel IV. Pemeriksaan fisik dalam uji ketoksikan akut pada roden

Sistem organPengamatan & pemeriksaan Tanda-tanda umum ketoksikan

SPP & somato motorPerilaku Perubahan sikap terhadap pengamat, vokalisasi luar biasa, gelisah

GerakanKedutan, tremor, ataksia, katatonia, paralisis, konvulsi, keterpaksaan gerak

Kereaktifan terhadap aneka rangsanganKeberangasan, kepasifan, anestesia, hiperastesia

Refleks serebral & spinalLemah, tidak

Tonus ototKekakuan, kelembekan

Sistem saraf otonomUkuran pupilMiosis, midriasis

SekresiSalivasi, lakrimasi

Pernafasan Sifat & laju nafasBradipnea, dispnea

KardiovaskularPalpitasi daerah kardiakBradikardi, aritmia, denyut lebihkuat atau lemah

Saluran cernaPeristiwaDiare, sembelit

PerutFlatulen, kontraksi

Konstensi tinjaTidak terbentuk, warna hitam

GenitorinariVulva, kelenjar memeBengkak

PenisProlap

Derah perinealKotor

Kulit dan bulu rrWarna keutuhanKelembekan, kemerahan, kelepuhan, piloereksi

Membran mukosaKonjungtiva, mulutKongesti, perdarahan, sianosis, kekuningan

MataKelompok mataPtosis

Bola mataEbsoptalmus, nistagmus

TransparansiOpositas

Lain-lainTempat injeksiBengkak

Kondisi umumPerawatan abnormal, kurus

VI. PERTANYAAN

a. Jelaskan perbedaan tata cara perhitungan LD50 antara metode Miller & Tainter, Thompson-Weil, dan Litchfield-Wilcoxon serta Farmakope Indonesia III!b. Jelaskan tujuan, sasaran, luaran dan manfaat uji ketoksikan akut sesuatu obat?

c. Apa bedanya harga LD50 dengan LC50? PERCOBAAN 6UJI POTENSIASII. TUJUAN

Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksanaan, luaran, dan manfaat uji potensiasi senyawa.

II. PENDAHULUAN

Uji potensiasi bertujuan untuk menentukan efek suatu senyawa dengan adanya senyawa lain, yang kemungkinan akan meningkatkan ketoksikan salah satu senyawa terserbut. Pada uji potensiasi dapat diperoleh informasi tentang adanya kemungkinan peningkatan efek toksik suatu senyawa karena tercampur denganasenyawa lain. Banyaknya ragam zat toksik memungkinkan terjadinya potensiasi efek toksik.

Uji potensiasi dilakukan mengikuti tata cara uji ketoksikan akut. Bedanya hanya terletak pada jumlah senyawa uji. Untuk uji ketoksikan aku hanya melibatkan satu senyawa uji, sedangkan untuk uji potensiasi melibatkan dua atau lebih senyawa uji. Tolok ukur kuantitatif uji potensiasi adalah harga LD50 gabungan senyawa relatif terhadap LD50 masing-masing senyawa tunggal.

III. TATA CARA PELAKSANAAN DAN PERCOBAAN

Uji potensiasi ketoksikan akut pestisida (baygon dan DDT)Tugas :

Buat rencana kerja uji potensiasi ketoksikan akut pestisida pada mencit.

Catatan :

Saudara akan menjalankan praktikum ini berdasarkan rencana kerja yang saudara susun. Dan kumpulkan rencana kerja tersebut pada pembimbing sebelum acara praktikum..IV. PUSTAKA ACUANDonatus, I.A. 1990. Toksikologi Pangan. Edisi I. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Donatus, I.A. 2005. Toksikologi Dasar. Edisi II. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.Dreisbach, R.H. 1980. Handbook of Poisoning (Chapter 16). 10th ed. Lange Medical Publications-Marugen Asia (Pte0 Ltd.: pasir Panjang.

Loomis, T.A. 1978. (Edisi terjemahan, Alih bahasa Imono Argo Donatus). Toksikologi Dasar (Bab XI),. Edisi III. IKIP Press: Semarang.

PECOBAAN 7TERAPI ANTIDOTUMI. TUJUAN

Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, dan strategi terapi antidot, berdasarkan contoh kemampuan air kelapa mengawaracunkan pestisida.

II. PENDAHULUAN

Terapi antidot ialah suatu tata cara yang secara khusus ditujukan untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau untuk menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya, sehingga bermanfaat untuk mencegah bahaya selanjutnya. Bila disimak, takrif tersebut mengandung makna bahwa tujuan terapi antidot ialah membatasi penyebaran racun di dalam tubuh, sedang sasaran terapinya berupa penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik.

Intensitas efek toksik sesuatu senyawa, bergantung pada keberadaan (besar kadar dan lama tinggal) senyawa terkait di tempat aksinya. Di mana keberadaan tersebut, ditentukan oleh keefektifan absorpsi, distribusi, dan eliminasi senyawa terkait. Bila demikian, upaya membatasi penyebaran racun, tentunya harus dikaitkan dengan ketiga proses tersebut. Karena itu, strategi terapi antidot diantaranya melibatkan penghambatan absorpsi dan distribusi, serta peningkatan eliminasi racun terkait.

III. TATA CARA PELAKSANAAN DAN PERCOBAAN

1. Bahan

Mencit, pestisida , air kelapa.

2. Pengelompokkan dan perlakuan terhadap hewan uji

Dua puluh ekor mencit jantan, satu galur, berat badan seragam, umur 2-3 bulan, dibagi secara acak menjadi 4 kelompok sama banyak.

Kelompok I, hewan uji dipejankan pestisida secara peroral (dosis yang telah diperoleh pada percobaan 1), kemudian dicatat saat mulainya timbul efek toksik.

Kelompok II-IV hewan uji diperlakuan sama seperti kelompok I, kemudian dipejankan dengan air kelapa dengan tiga peringkat dosis secara peroral. Catat saat timbulnya efek toksik hingga terjadinya kematian.

4. Analisis dan evaluasi hasil

Buatlah tabel yang berisi data purata waktu yang diperlukan untuk timbulnya efek toksik setelah perlakuan masing-masing kelompok.

Perbedaan waktu untuk masing-masing gejala antar kelompok perlakuan, hitung secara statistik mengikuti tata cara varian pola searah, taraf kepercayaan 95%. Bila memungkinkan analisis statistik dilanjutkan dengan uji Tukey atau uji lain yang sejenis.IV. PUSTAKA ACUANDonatus, I.A. 1990. Toksikologi Pangan. Edisi I. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Donatus, I.A. 2005. Toksikologi Dasar. Edisi II. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.Dreisbach, R.H. 1980. Handbook of Poisoning (Chapter 16). 10th ed. Lange Medical Publications-Marugen Asia (Pte0 Ltd.: pasir Panjang.

Loomis, T.A. 1978. (Edisi terjemahan, Alih bahasa Imono Argo Donatus). Toksikologi Dasar (Bab XI),. Edisi III. IKIP Press: Semarang.

PERTANYAANa. Apa saja strategi terapi yang dilakukan dalam penanganan keracunan? Jelaskan!

b. Tetapi antidot air kelapa pada keracunan pestisida termasuk strategi terapi yang mana? Mengapa demikian?

c. Apa yang menjadi penentu keberhasilan terapi antidot? Mengapa demikian?

d. Jelaskan hubungan antara intensitas efek toksik dan strategi terapi antidot?PAGE


Related Documents