I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengawetan pangan pada dasarnya adalah tindakan untuk memperkecil atau
menghilangkan faktor-faktor penyebab kerusakan yang terjadi pada bahan dan
produk pangan. Pengawetan dapat dilakukan untuk menghambat terjadinya kerusakan
sehingga memperpanjang umur simpan bahan maupun produk. Beberapa metode
pengawetan dapat memperpanjang umur simpan produk hingga beberapa bulan
bahkan tahun. Namun dengan pengawetan dapat terjadi perubahan nilai gizi dan
organoleptik suatu bahan atau produk.
Banyak metode pengawetan yang dapat dilakukan antara lain, yaitu dengan
mengontrol kontaminasi mikroba dan pertumbuhannya, menurunkan laju reaksi
enzimatik, menurunkan laju reaksi kimia, melindungi dari serangan tikus ataupun
serangga, serta melindungi dari pengaruh lingkungan seperti kelembapan (Rh),
oksigen, dan sinar UV.
Untuk melakukan metode-metode tersebut, ada beberapa teknik yang bisa
ditempuh antara lain melalui pengolahan suhu tinggi, penyimpanan suhu rendah,
pengurangan kadar air, irradiasi, fermentasi, pengasapan dan curing, penggunaan
bahan pengawet kimia dan pengemasan yang melindungi.
Pengawetan umumnya tidak selalu merubah bentuk bahan pangan, karena
pengawetan bahan pangan ada yang mampu mempertahankan kondisi bahan relative
tetap, misalnya dengan disimpan dalam suhu rendah, atau melalui irradiasi. Namun
ada juga yang bertindak sekaligus untuk mengolah atau menghasilkan produk pangan
baru, seperti pengolahan kacang kedelai menjadi susu kedelai, telur bebek yang
diasinkan menjadi telur asin, atau singkong yang diberi khamir sehingga berubah
menjadi tempe.
2
Beberapa metode pengawetan pangan yang banyak diaplikasikan di industri
pangan antara lain pengawetan dengan penyimpanan pada suhu rendah, pengawetan
dengan bahan pengawet kimia, penggunaan suhu tinggi, penurunan aktivitas air, dan
penggunaan kemasan yang baik.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari praktikum ini adalah untuk mempraktekkan beberapa
metode untuk mengurangi pengaruh faktor-faktor penyebab kerusakan pangan,
khususnya proses pengawetan melalui suhu rendah, penurunan aw, serta penggunaan
bahan-bahan kimia.
1.3. Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum ini di laksanakan pada :
Waktu : 17 April 2013 - Selesai
Tempat : Laboratorium Teknologi Pengolahan Produk Peternakan
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
3
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perubahan Pasca Panen Telur
2.1.1. Definisi Telur
Telur merupakan kumpulan makanan yang disediakan induk unggas untuk
perkembangan embrio menjadi anak ayam di dalam suatu wadah. Isi dari telur akan
semakin habis begitu telur telah menetas. Telur tersusun oleh tiga bagian utama : kulit
telur, bagian cairan bening, dan bagian cairan yang berwarna kuning (Rasyaf, 1990).
Menurut Suprapti (2002), telur merupakan salah satu produk peternakan unggas yang
memiliki kandungan gizi lengkap dan mudah dicerna. Telur merupakan salah satu
sumber protein hewani disamping daging, ikan dan susu. Secara umum terdiri atas
tiga komponen pokok, yaitu kulit telur atau cangkang (11 % dari bobot tubuh), putih
telur (57 % dari bobot tubuh) dan kuning telur (32 % dari bobot tubuh).
2.1.2. Struktur Telur
Telur memiliki struktur yang khusus, karena di dalamnya terkandung zat gizi
yang disediakan bagi perkembangan sel telur yang telah dibuahi menjadi seekor
ayam. Bagian esensial dari telur adalah albumen (putih telur), yang mengandung
banyak air dan berfungsi sebagai peredam getaran. Secara bersama-sama albumen
dan yolk (kuning telur) merupakan cadangan makanan yang siap digunakan oleh
embrio. Telur dibungkus dilapisi oleh kerabang yang berfungsi sebagai pelindung
terhadap gangguan fisik, tetapi juga mampu berfungsi untuk pertukaran gas untuk
respirasi (pernafasan). Telur ayam berdasar beratnya terbagi atas albumen 56%
sampai dengan 61%, yolk 27% sampai dengan 32% dan kerabang 89% sampai
dengan 11% (Soeparno et. al., 2001).
4
2.1.3. Kualitas Telur
Kualitas telur ayam dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu kualitas telur
bagian luar (eksterior) dan kualitas telur bagian dalam (interior). Kualitas telur
interior meliputi indeks yolk (kuning telur), indeks albumen (putih telur), pH kuning
eksterior meliputi bentuk telur, berat telur, kebrsihan kerabang. Penentuan secara dan
putih telur, warna kuning telur dan keadaan rongga udara serta nilai Haugh Unit
(Indratiningsih, 1996).
Standar telur ayam dari luar meliputi berat, volume, berat jenis, lingkar
panjang, lingkar lebar, indeks telur dan luas permukaan (Indratiningsih, 1996).
Menurut Sarwono (1994), kualitas (mutu telur) dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa klas.
Mutu kelas I (AA Quality). Telur jenis ini kulitnya tidak retak, tidak berlubang
dan tidak pecah. Permukaan telur halus, bersih dan tidak tercemar kotoran. Bentuk
normal, ruang udara kurang dari 0,3 mm, putih telur pekat, kuning telur terletak di
tengah, warna terang, dan jika diteropong bebas dari noda hitam (Sarwono, 1994).
Mutu kelas 2 (A Quality). Telur bermutu kelas dua, mempunyai kulit tidak
berlubang, tidak retak, dan tidak percah. Bentuk normal dan tampak berisi. Ruang
udara kurang dari 0,6 mm. Putih telur jernih dan agak pekat, kuning telur agak
bergeser dari pusat, warna terang dan bebas dari kerusakan lain (Sarwono, 1994).
Mutu kelas 3 (B Quality). Telur ini mempunyai ciri-ciri kulit tidak retak, tidak
berlubang dan tidak pecah. Tetapi telur ini agak kotor karena terdapat sedikit noda.
Ruang udara tidak teratur, tetapi tidak menggelembung. Putih telur jenrih dan tidak
encer, kuning telur tidak terletak di pusat karena bergeser. Warna kuning telur
kurang, kadang-kadang terdapat bercak noda, tapi belum menimbulkan kerusakan
yang berat. Lebar ruang udara sekitar 0,75 mm (Sarwono, 1994).
Mutu kelas 4 (C Quality). Telur kelas ini kulitnya tetap bersih, tidak retak, tidak
berlubang dan tidak pecah. Ruang udara sudah sangat lebar, yaitu lebih dari 0,99 mm.
5
Kuning telur sudah mulai encer, warna kurang dan ukuran terlihat besar, bila dimakan
telur terasa hambar (Sarwono, 1994).
A. Berat telur
Menurut Indratiningsih dan Rihastuti (1996), berat telur pada saat peneluran
bervariasi antara 52 sampai dengan 57,2 gram dan mempunyai hubungan linear
dengan lama penyimpanan, makin lama penyimpanan makin besar persentase
penurunan berat telur. Ukuran telur dibagi menjadi 6 golongan, yaitu jumbo dengan
berat lebih dari 65 gr, extra large 60 sampai 65 gr, large/besar 55 sampai 60 gr,
medium 50 sampai dengan 55 gr, small/kecil 45 sampai 50 gr, dan peewee di bawah
45 gr (Stewart dan Abbott, 1972).
B. Bentuk telur
Bentuk telur dapat ditentukan dengan indeks telur yaitu perbandingan antara
lebar (diameter) telur dengan panjang telur dikalikan 100. Bentuk telur yang baik
mempunyai indeks telur sebesar 74 (Indratiningsih dan Rihastuti, 1996). Bentuk telur
ada lima m acam yaitu sperical (spheris), elliptical (ellips),biconical (biconus),
conical (conus) dan oval (Indratiningish dan Rihastuti, 1996).
C. Kerabang telur
Kerabang menentukan dalam kualitas telur secara eksternal, seperti retaknya
kerabang, tekstrur kerabang, warna kerabang dan kebersihabn kerabang
(Indratiningsih, 1996). Warka kerabang telur ada dua macam, yaitu coklat dan putih.
Perbedaan warna kerabang telur disebabkan adanya pigmen. Kerabang yang
berwarna coklat disebabkan adanya pigmen oophorpyrin yang terdapat pada
permukaan kerabang. Pada telur yang berwarna putih, pigmen tersebut rusak setelah
terkena cahaya matahari saat telur keluar dari kloaka. Kerabang yang berwarna coklat
umumnya lebih tebal dibanding dengan yang berwarna putih (Sarwono, 1994).
D. Indeks albumen
6
Indeks albumen adalah perbandingan tinggi albumen dengan setengah jumlah
dari panjang dan lebar albumen dikalikan 100 persen (Anonimus, 2001). Menurut
Buckle et al. (1978), indeks albumen bervariasi antara 0,054 sampai dengan 0,174.
Apabila telur disimpan, makin lama indeks albumen akan menurun dan semakin
kecil, ini disebabkan karena putih telur semakin encer (Card and Neishein, 1975)
E. Indeks yolk
Indeks yolk dihitung dengan perbandingan antara tinggi yolk dengan diameter
rata-rata yolk dikalikan seratus persen (Anonimus, 2001). Indeks kuning telur yang
baik berkisar antara 0,40 sampai 0,42, apabila telur terlalu lama disimpan, maka
indeks yolk menurun menjadi 0,25 atau kurang. Hal ini disebabkan kuning telur
semakin encer dan semakin lebar telurnya yang baru mempunyai indeks yolk sebesar
0,30 sampai dengan 0,50 (Indratiningsih dan Rihastuti, 1996).
F. Warna yolk
Warna kuning telur ditentukan oleh pigmen xantofil yang berasal dari pakan,
terutama jagung kuning. Pigmen tersebut diserap usus, selanjutnya diangkut dan
disimpan dalam kuning telur. Faktor lain yang menentukan warna yolk adalah strai,
coccidiosis dan stress. Telur yang dihasilkan oleh ayam berproduksi tinggi bagian
kuning telurnya berwarna lebih muda dibandingkan telur yang berasal dari ayam
berproduksi rendah, karena pigmen yang diperoleh dari pakan dibagikan merata pada
sejumlah telur yang dihasilkan (Sarwono, 1994).
G. Tebal kerabang
Ketebalan kerabang telur yang berwarna putih berbeda dengan kulit telur yang
berwarna coklat. Ketebalan kulit telur berwarna putih 0,44 mm, sedangkan yang
berwarna coklat 0,51 mm (Indratiningsih, 1996).
H. Rongga udara
Rongga udara berguna sebagai tempat memberi udara sewaktu embrio bernafas.
Makin lama kantong udara, umur telur relatif makin lama. Membesarnya rongga
7
udara disebabkan oleh menguatnya air di dalam isi telur (Sarwono, 1994). Bertambah
besarnya rongga udara dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: tekstur kerabang,
temperatur serta kelembaban lingkungan (Indratiningsih, 1996).
I. Haugh Unit (HU)
Haugh Unit (HU) digunakan untuk menentukan kualitas telur yang menyatakan
hubungan antara berat telur dengan tinggi albumen (Card and Nieshein, 1975). HU
dinyatakan dengan rumus:
HU = 100 log (H + 7,57 – 1,7 W0,37)
Keterangan: H = tinggi albumen kental (mm)
W = berat telur (gram) (Card and Neishein, 1975).
Berdasarkan HU, kualitas albumen dapat digolongkan menjadi empat, yaitu
highest (AA) untuk HU diatas 72, high (A) untuk HU antara 60 sampai 72,
intermediate (B) jika HU antara 31 sampai 60 dan low (C) untuk HU di bawah 31
(Sarwono, 1994).Menurut Indratiningsih dan Rihastuti (1996), berat telur pada saat
peneluran bervariasi antara 52 sampai dengan 57,2 gram dan mempunyai hubungan
linear dengan lama penyimpanan, makin lama penyimpanan makin besar persentase
penurunan berat telur. Ukuran telur dibagi menjadi 6 golongan, yaitu jumbo dengan
berat lebih dari 65 gr, extra large 60 sampai 65 gr, large/besar 55 sampai 60 gr,
medium 50 sampai dengan 55 gr, small/kecil 45 sampai 50 gr, dan peewee di bawah
45 gr (Stewart dan Abbott, 1972).
2.1.4. Telur Sebagai Sumber Nutrisi
Telur unggas adalah salah satu makanan yang sudah umum dikenal sebagai
sumber protein. Kebanyakan jenis telur yang dikonsumsi adalah telur ayam, bebek
dan angsa, namun telur burung puyuh yang kecil juga sering menjadi bahan masakan.
Telur yang terbesar adalah telur burung unta. Semuanya mengandung nutrisi penting
yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.
8
Telur ayam yang biasa dijual dan dikonsumsi manusia biasanya merupakan
telur yang tidak fertil (tidak subur) karena ayam-ayam betina di peternakan ayam
dipisahkan dari ayam-ayam jantan. Namun tentu saja telur yang fertil (subur) tetap
bisa dijual dan dikonsumsi dengan sedikit perbedaan nutrisi. Telur yang fertil tidak
akan mengandung embrio yang berkembang karena proses pendinginan baik alami
atau dari kulkas akan menghalangi perkembangan sel.
Sebagai bahan makanan, telur mempunyai beberapa kelebihan. Kelebihan itu
antara lain mengandung hamper semua zat makanan yang diperlukan oleh tubuh,
rasanya enak, mudah dicerna, menimbulkan rasa segar dan kuat pada tubuh, dan
dapat diolah menjadi beberapa macam masakan. Telur merupakan sumber protein
yang mudah diperoleh.
Hampir setiap bagian telur mempunyai unsure yang sangat bermanfaat bagi
tubuh. Bahan makanan ini mengandung protein sekitar 13% dan lemak sekitar 12%.
Sebagian protein (50%) dan semua lemak terdapat pada kuning telur. Telur juga
mengandung 10 asam amino esensial dan 18 macam asam amino yang ada.
Nilai tertinggi telur sebagai bahan makanan terdapat pada bagian kuning
telurnya. Bagian ini mengandung asam amino esensial yang sangat dibutuhkan oleh
manusia. Pada bagian ini juga terdapat mineral seperti fosfor, besi, dan kalsium.
Selain itu juga mengandung vitamin B kompleks dan vitamin A dalam jumlah yang
cukup, serta karbohidrat dalam jumlah sedikit sekali.
Pentingnya telur sebagai bahan makanan semata-mata karena banyakanya zat-
zat pembangun (protein) yang terdapat didalamnya. Selain itu juga merupakan bahan
9
makanan yang paling mudah dicerna. Karena rasanya yang lezat, maka telur
merupakan bahan makanan yang digemari orang banyak
2.1.5. Kandungan Nutrisi Telur
Telur ayam merupakan yang paling umum dikonsumsi dan sangat bernutrisi
tinggi. Telur ayam banyak mengandung berbagai jenis protein berkualitas tinggi
termasuk mengandung semua jenis asam amino esensial bagi kebutuhan manusia.
Juga mengandung berbagai vitamin dan mineral, termasuk vitamin A, riboflavin,
asam folat, vitamin B6, vitamin B12, choline, besi, kalsium, fosfor dan potasium.
Telur ayam juga merupakan makanan termurah sumber protein yang lengkap. Satu
butir telur ayam berukuran besar mengandung sekitar 7 gram protein.
Kandungan vitamin A, D dan E terdapat dalam kuning telur. Telur memang
dikenal menjadi salah satu dari sedikit makanan yang mengandung vitamin D. Satu
kuning telur besar mengandung sekitar 60 kalori dan putih telur mengandung sekitar
15 kalori. Satu kuning telur besar mengandung dua per tiga jumlah kolesterol harian
yang dianjurkan yaitu 300 mg. Lemak dalam telur juga terdapat dalam bagian kuning
telur. Satu kuning telur juga mengandung separuh jumlah choline harian yang
dianjurkan. Choline merupakan nutrisi yang penting untuk perkembangan otak dan
juga sangat penting untuk wanita hamil dan menyusui untuk memastikan
perkembangan otak janin yang sehat.
Kandungan nutrisi telur ayam memang berbeda-beda tergantung dari makanan
dan kondisi lingkungan induk ayamnya. Penelitian dari Mother Earth News
menunjukkan bahwa telur dari ayam yang diternakkan bebas di padang rumput
mengandung asam lemak Omega-3 empat kali lebih banyak, vitamin E dua kali lebih
10
banyak, beta-karoten dua sampai enam kali lebih banyak dan kolesterol hanya
separuh daripada kandungan telur dari ayam yang hanya diternakkan di kandang
dengan penghangat buatan.
Kualitas telur adalah sekumpulan sifat yang dimiliki oleh telur dan mempunyai
peng- aruh terhadap penilaian atau pemilihan oleh konsumen.
Egg grading merupakan metoda yang digunakan secara komersial untuk menetapkan
kualitas telur. Grade adalah tingkatan kualitas untuk sekelompok telur.
2.1.6.Standar Kualitas Telur
Standar kualitas telur Amerika Serikat didasarkan kepada :
1. Kualitas eksternal
• Bentuk telur
• Kebersihan kerabang
• Keutuhan kerabang
• Ketebalan kerabang
• Porositas
• Warna kerabang
2. Kualitas Internal
• Ukuran dan keadaan rongga udara
• Tebal albumen
• Kondisi kuning telur
• Abnomalitas (kelainan) pada telur
Istilah-istilah yang biasa digunakan oleh USDA untuk menjelaskan kondisi
kerabang, rongga udara, putih telur dan yolk sebagai berikut:
11
A. Kerabang
1. Bersih
Kerabang yang bebas dari material asing dan noda atau perubahan warna
yang dengan mudah/segera terlihat.Telur masih bisa dikatakan bersih bila
hanya ditemukan sedikit noda atau bila noda tersebut tidak terlalu banyak
untuk dapat mengurangi kebersihan telur secara keseluruhan.Telur yang
memperlihatkan bekas oiling pada kerabangnya teergolong bersih
sebelum diminyaki.
2. Kotor
Kerabang yang mempunyai kotoran atau material asing melekat
dipermukaannya; memiliki noda yang menyolok atau noda menutupi
lebih dari ¼ permukaan kerabang.
3. Praktis Normal (AA atau A)
Kerabang dengan bentuk normal,tekstur dan kekuatan kerabang baik dan
tidak memiliki bagian-bagian yang kasar atau bintik-bintik kecil.Sedikit
bergaris dan ada bagian-bagian yang kasar yang secara material tidak
mempengaruhi bentuk,tekstur dan kekuatan kerabang masih dibolehkan.
4. Sedikit Abnormal (B)
Bentuk agak kurang normal, ada sidikit kelainan pada tekstur dan
kekuatan kerabang.Telur memiliki garis yang jelas,namun tanpa bintik
dan bagian-bagian yang kasar.
12
5. Abnormal (B)
Bentuk abnormal,ada kelainan tekstur dan kekuatan kerabang,garis besar
dengan bintik kecil atau bagian-bagian yang kasar (kualitas C tidak
dipakai lagi oleh USDA).
B. Rongga Udara
Kedalaman rongga udara (rongga udara antara selaput kerabang,biasanya pada
bagian telur yang tumpul). Kedalaman rongga udara adalah :jarak antara bagian atas
dan bagian bawah bila telur diletakkan dengan rongga udara pada bagian atas.
1. Praktis Regular (AA atau A)
Rongga udara praktis berada pada posisi yang tetap dan memperlihatkan
batas yang jelas dengan pergerakkan tidak lebih dari 3/8 inci dalam arah
tertentu ketika telur diputar.
2. Rongga Udara Bebas Bergerak (Free Air CELL/B)
Rongga udara bebas bergerak menuju kearah titik paling atas dari telur
ketika telur diputar perlahan-lahan.
3. Rongga udara pecah (Bubly air cell/B)
Rongga udara pecah menghasilkan satu atau lebih bagian-bagian kecil
udara yang bergerak kemana-mana.biasanya mengambang dibawah
rongga udara utama.
13
C. Putih telur
1. Bersih
Bebas dari perubahan warna atau benda-benda asing dipermukaanya
(jangan dikelirukan antara kalaza yang nampak jelas dengan benda-benda
asing).
2. Pekat (AA)
Putih telur tebal atau kental sehingga batas kuning telur tidak jelas
trerlihat ketika dicandling.bila telur dipecahkan,nilai HU > 72 dengan
suhu pengukuran 45-60o F(7,2-15o).
3. Agak pekat (A)
Putih telur agak kurang tebal/kental dibanding AA.Hasil ini
memungkinkan bagi yolk untuk mendekati kerabang sehingga garis batas
yolk bisa dilihat dengan jelas ketika telur diputar.HU telur 60-72.
4. Sedikit encer (B)
Putih telur sedikit encer,sehingga garis batas kuning telur bisa dilihat
dengan jelas ketika telur diputar.HU 31-60.
5. Encer dan berair (B)
Putih telur tipis dan kekentalanya turun.hal ini memungkinkan yolk
mendekati kerabang dengan sangat dekat,sehingga kuning telur terlihat
agak sangat jelas dan berwarna gelap ketika telur diputar.HU<31.
6. Gumpalan dan bintik darah (bukan karena pertumbuhan embrio)
Adalah gumpalan bitik darah tyang terdapat dipermukaan yolk atau
mengambang dipermukaan putih telur.Gumpalan darah ini mungkin
14
kehilangan karakteristik warna merahnya dan terlihat sebagai bintik kecil
atau material asing,umum dikenal sebagai bintik daging.bila ukuranya
kecil (diameter <1/8 incvi),telur bisa diklasifikasikan kedalam kualitas
B.bila besar,atau terlihat difusi darah putih telur yang mengitarinya,maka
teur dikllasifikasikan sebagai loss (dibuang).
D. Yolk
1. Garis batas sedikit terlihat (AA)
Garis batas kuning telur nampak kabur dan terlihat menyatu dengan putih
telur disekitarnya ketika telur diputar.
2. Garis batas agak jelas (A)
Garis batas jelas terlihat.
3. Garis batas jelas terlihat (B)
Garis batas jelas terlihat sebagai bayangan gelap ketika telur terlihat.
4. Sedikit membesar dan datar (B)
Kuning telur dimana membran kuining telur dan jaringan mencair dan
berair,yag diabsorbsi dari putih telur sehingga kuning telur membesar dan
datar.
5. Praktis dan bebas dari kerusakan (AA atau A)
Tidak terjadi pertumbuhan embrio,namun terdapat sedikit kerusakan pada
permukaanya.
6. Terdapat kerusakan yang tidak serius (B)
15
Kuning telur mempunyai bintik area pada permukaanya yang
memperlihatkan sedikit indikasi pertumbuhjan embrio atau kerusakan
lainya.
7. Kerusakan serius lainya (B)
Kuning telur dengan spot atau kerusakan lainya,seperti kuning telur
berminyak (olive yolk) yang membuat telur tidak bisa dimakan.
8. Pertumbuhan embrio jelas terlihat
Terjadi pertumbuhan embrio yang terlihat sebagai cincin,tanpa ada darah.
9. Darah sebagai akibat pertumbuhan embrio
Terlihat sebagai cincin darah.Telur yang seperti ini tidak boleh dimakan.
2.1.7.Faktor-faktor yang menentukan kualitas telur
Secara keseluruhan kualitas sebutir telur tergantung pada kualitas isi telur dan
kulit telur. Selain itu, berat telur juga menjadi salah satu faktor yang ikut menentukan
kualitasnya.
a. Kualitas interior telur
Untuk menentukan kualitas isi telur dapat dilihat dari bagian telur disebelah
kanan dalam. Beberapa faktor yang menentukan kualitas isi telur di antarannya
kondisi ruang udara, kuning telur, dan putih telur.
1. Ruang Udara
Telur yang segar memiliki ruang udara yang lebih kecil dibandingkan telur
yang sudah lama. Di luar negeri, kualitas telur dapat dikelompokkan berdasarkan
ukuran kedalaman ruang udaranya. Berikut ini pembagian kualitas telur berdasarkan
ukuran kedalaman ruang udaranya:
16
Kualitas AA memiliki kedalaman ruang udara 0,3 cm.
Kualitas A memiliki kedalaman ruang udara 0,5 cm.
Kualitas B memiliki kedalaman ruang udara lebih dari 0,5 cm.
2. Kuning Telur
Telur yang segar memiliki kuning telur yang tidak cacat, bersih, dan tidak
terdapat pembuluh darah. Selain itu, di dalam kuning telur tidak terdapat bercak
daging atau bercak darah.
3. Putih Telur
Putih telur dari telur yang segar adalah tebal dan diikat kuat oleh chalaza.
Untuk telur kualitas AA, putih telur harus bebas dari titik daging atau tidak darah.
Tabel 1. Kriteria penentuan kualitas telur
Bagian TelurKualitas Telur
AA A B
1. kulit telur - bersih- tidak retak- bentuk normal
- bersih- tidak retak-bentuk normal
- terang, ada sedikit noda- tidak retak-bentuk kadang-kadang tidak normal
2. ruang udara - 0,3 cm atau lebih kecil
-0,5 cm atau lebih kecil
- lebih dari 0,5 cm
3. putih telur - jernih- pekat - jernih- agak pekat - jernih- encer
4. kuning telur - letak terpusat baik- kuning jernih- bebas dari noda
- letak berpusat baik- kung jernih-kadang-kadang ada sedikit noda
- letak tidak terpusat- kurang jernih- kadang-kadang ada noda
17
2.1.8. Kualitas Eksterior Telur
Kualitas telur sebelah luar ditentukan oleh kondisi kulit telurnya. Berikut ini
beberapa parameter yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kualitas telur
sebelah luar.
1. Kebersihan kulit telur
Kualitas telur semakin baik jika kulit telur dalam keadaan bersih dan tidak ada
kotoran apa pun.
2. Kondisi kulit telur
Kondisi kulit telur dapat dilihat dari tekstur dan kehalusannya. Kualitas telur
akan semakin baik jika tekstur kulitnya halus dan keadaan kulit telurnya utuh serta
tidak retak.
3. Warna kulit
Warna kulit telur ayam ras ada dua, yaitu putih dan coklat. Perbedaan warna
kulit tersebut disebabkan adanya pigmen cephorpyrin yang terdapat pada permukaan
kulit telur yang berwarna coklat relative tebal dibandingkan yang kulit telur yang
berwarna putih. Tebal kulit telur yang berwarna coklat rata-rata 0,51 mm, sedangkan
tebal kulit telur yang berwarna putih rata-rata 0,44 mm. oleh karenanya, kualitas telur
yang berwarna coklat lebih baik dibandingkan telur yang berwarna putih. Dalam
penyimpanan, telur yang berkulit coklat lebih awet dibandingkan telur yang berwarna
putih.
18
4. Bentuk telur
Bentuk telur yang baik adalah proporsional, tidak berbenjol-benjol, tidak
terlalu lonjong, dan juga tidak terlalu bulat.
5. Berat telur
Tabel 2. klasifikasi telur berdasarkan beratnya
Klasifikasi Berat/butir (gram)
Jumbo 68,5
Sangat besar 61,4
Besar 54,3
Medium 47,2
Kecil 40,2
Pee wee < 40
2.1.9.Penentuan kualitas telur
Kualitas telur secara keseluruhan ditentukan oleh kualitas isi telur dan kualitas
kulit telur. Oleh karennya, penentuan kualitas telur dilakukan pada kedua bagian telur
tersebut.
a. Penentuan kualitas isi telur
Secara umum, kualitas isi telur dapat dikategorikan baik jika tidak terdapat
bercak darah atau bercak lainnya, belum pernah dierami yang ditandai dengan tidak
adanya bercak calan embrio, kondisi putih telurnya kental dan tebal, serta kuning
telurnya tidak pucat.
Untuk menentukan kualitas isi telur dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
peneropongan dan pengukuran dengan micrometer dalam satuan haugh unit.
19
1. Peneropongan
Pada prinsipnya, peneropongan merupakan pemeriksaan telur dengan cahaya.
Bagi pembeli, peneropongan ini berguna untuk menghindari agar tidak tertipu
membeli telur yang telah dierami.
2. Haugh unit
Haugh unit merupakan satuan yang digunakan untuk mengetahui kesegaran
isi telur, terutama bagian putih telur. Untuk mengukurnya, telur harus dipecah lalu
ketebalan putih telur diukur dengan alat micrometer. Telur yang segar biasanya
memiliki putih telur yang tebal. Biasanya haugh unit dapat ditentukan dengan
menggunakan tebal konversi. Semakin tinggi nilai haugh unit suatu telur
menunjukkan bahwa kualitas telur semakin baik.
Penentuan kualitas telur berdasarkan haugh unit menurut standar United State
Departement of Agriculture (USDA) adalah sebagai berikut:
1. Nilai haugh unit kurang dari 31 digolongkan kualitas C.
2. Nilai haugh unit antara 31-60 digolongkan kualitas B.
3. Nilai haugh unit antara 60-72 digolongkan kualitas A.
4. Nilai haugh unit lebih dari 72 digolongkan kualitas AA.
Haugh Unit (HU) digunakan untuk menentukan kualitas telur yang menyatakan
hubungan antara berat telur dengan tinggi albumen. HU dinyatakan dengan rumus:
HU = 100 log (H + 7,57 – 1,7 W0,37)
Keterangan: H = tinggi albumen kental (mm)
W = berat telur (gram)
20
3. Kecerahan kuning telur
Kecerahan kuning telur merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan
untuk menentukan kualitas telur. Untuk menentukan kualitas kuning telur dapat
digunakan alat troche yolk colour fan. Berdasarkan pengukuran dengan alat tersebut
maka warna kuning telur yang baik berada pada kisaran angka 9-12.
b. Penentuan kualitas kulit telur
Kualitas kulit telur dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu dengan
1. Specific gravity
Cara ini hanya dapat dilakukan pada telur-telur segar atau telur dengan kantung
udara kecil. Penentuan kualitas telur dengan cara ini dibutuhkan alat berupa
keranjang, ember dan larutan garam.
Tabel 3. Perbandingan air dan garam yang dibutuhkan untuk mendapatkan nilai
spesific gravity
Air
(liter)
Garam
(gram)
Specific gravity
3 276 1,060
3 298 1,065
3 320 1,070
3 342 1,075
3 365 1,080
3 390 1,085
3 414 1,090
3 438 1,095
3 462 1,100
21
2. Peneropongan.
Selain untuk mengetahui kualitas isi telur, peneropongan dapat pula digunakan
untuk membantu mengetahui kualitas kulit telur. Cara ini terutama digunakan untuk
mengetahui retak halus yang tidak dapat dilihat secara jelas dengan mata biasa.
2.2. Laju Respirasi
Respirasi adalah proses pemecahan komponen organik ( zat hidrat arang, lemak
dan protein) menjadi produk yang lebih sederhana dan energy. Aktivitas ini ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan energi sel agar tetap hidup. Komoditi dengan laju
respirasi tinggi menunjukan kecenderungan lebih cepat rusak. Pengurangan laju
respirasi sampai batas minimal pemenuhan kebutuhan energy sel tanpa menimbulkan
fermentasi akan dapat memperpanjang umur ekonomis produk. Manipulasi faktor ini
dapat dilakukan dengan teknik pelapisan (coating), penyimpanan suhu rendah, atau
memodifikasi atmosfir ruang penyimpanan.
Selama proses respirasi dan metabolisme berlangsung dikeluarkan CO2 dan air
dan dikonsumsi oksigen yang ada disekitarnya. Komposisi dari udara di ruang
penyimpanan mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat-sifat bahan segar yang
disimpan. Baik kandungan oksigen dan karbon dioksida saling mempengaruhi
metabolisme komoditi. Komposisi udara secara normal terdiri dari O2 (20%), CO2
(0.03%), N2 (78.8%). Dengan melakukan modifikasi atmosfer di sekitar komoditi
tersebut dapat menghasilkan beberapa keuntungan terhadap komoditi tersebut.
Modifikasi komposisi udara dilakukan dengan menurunkan kadar oksigen dan
atau meningkatkan kandungan karbon dioksida (CO2). Pada umumnya udara yang
semakin menipis kandungan oksigennya serta semakin meningkat kandungan karbon
22
dioksida akan mengakibatkan menurunnya laju aktivitas pernapasan dari komoditi
segar.
Oksigen dalam udara tidak dapat dihilangkan sama sekali dari atmosphere,
karena adanya oksigen masih diperlukan untuk menjaga berlangsungnya metabolisme
secara normal. Di bawah 1 – 3% oksigen, banyak komoditi justru mengalami banyak
kerusakan. Demikian halnya dengan konsentrasi CO2. Batas toleransi komoditi
terhadap gas-gas tersebut bervariasi. Beberapa komoditi tidak tahan pada konsentrasi
CO2 tinggi. Beberapa komoditi tahan pada konsentrasi CO2 1% sedang komoditi lain
tahan pada 20% atau lebih.
Laju respirasi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
adalah faktor yang berasal dari dalam bahan, meliputi tingkat perkembangan organ,
komposisi kimia jaringan, ukuran produk, pelapisan alami, dan jenis jaringan. Faktor
eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan sekeliling bahan, meliputi suhu,
ketersediaan oksigen, karbon dioksida, dan luka pada bahan.
Metode yang umum digunakan untuk menurunkan laju respirasi produk segar
adalah pengontrolan suhu ruang penyimpanan. Menurut Kays (1991), untuk beberapa
produk, dengan kenaikan suhu penyimpanan sebesar 100C akan mengakibatkan
naiknya laju respirasi sebesar 2 sampai 2.5 kali, tetapi di atas suhu 350C laju respirasi
akan menurun karena aktivitas enzim terganggu yang menyebabkan terhambatnya
difusi oksigen.
2.3. Reaksi Pencoklatan Enzimatis
Reaksi pencoklatan merupakan fenomena yang penting yang terjadi pada
makanan hingga proses dan penyimpanan. Reaksi pencoklatan dapat dialami oleh
buah-buahan dan sayur-sayuran yang tidak berwarna. Reaksi ini disebut reaksi
pencoklatan karena menyebabkan warna makanan berubah menjadi coklat. Ada
beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan, salah satunya adalah
23
keberadaan enzim. Reaksi pencoklatan ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu
reaksi pencoklatan enzimatis dan reaksi pencoklatan non-enzimatis.
Reaksi pencoklatan enzimatis adalah proses kimia yang terjadi pada sayuran
dan buah-buahan oleh enzim polifenol oksidase yang menghasilkan pigmen warna
coklat (melanin). Proses pencoklatan enzimatis memerlukan enzim polifenol oksidase
dan oksigen untuk berhubungan dengan substrat tersebut. Enzim-enzim yang dikenal
yaitu fenol oksidase, polifenol oksidase, fenolase/polifenolase, enzim-enzim ini
bekerja secara spesifik untuk substrat tertentu (Winarno, 1995). Reaksi ini dapat
terjadi bila jaringan tanaman terpotong, terkupas, dan karena kerusakan secara
mekanis. Reaksi ini banyak terjadi pada buah-buahan atau sayuran yang banyak
mengandung substrat senyawa fenolik seperti catechin dan turunannya yaitu tirosin,
asam kafeat, asam klorogenat, serta leukoantosianin. Adapun reaksi pencoklatan
adalah sebagai berikut :
Polifenol oksidase Polimerase
Polifenol Quinon + H2O Melanin
Reaksi pencoklatan enzimatis pada bahan pangan ini memiliki dua macam
dampak yaitu dampak yang menguntungkan dan juga dampak yang merugikan.
Dampak yang menguntungkan misalnya saja pada teh hitam, teh oolong dan teh
hijau. Reaksi pencoklatan enzimatis bertanggung jawab pada warna dan flavor yang
terbentuk.(Fennema, 1996). Begitu juga yang terjadi pada produk pangan lain seperti
misalnya kopi. Polifenol oksidase juga bertanggung jawab pada karakteristik warna
coklat keemasan pada buah-buahan yang telah dikeringkan seperti kismis, buah prem,
dan buah ara
24
2.4. Reaksi Pencoklatan Non Enzimatis
2.4.1. Proses browning nonenzimatik.
Proses Browning non Enzimatis disebabkan oleh reaksi pencoklatan tanpa
pengaruh enzim, biasanya terjadi saat pngolahan berlangsung. Contohnya proses
karamelisasi pada gula, yaitu proses pencokelatan yang disebabkan karena
bertemunya gula reduksi dan asam amino (penyusun protein)pada suhu tinggi dan
waktu lama.
Gula merupakan bagian dari Karbohidrat. Tepung terigu dan pati (amilum)
adalah gula kompleks, biasa cisebut dengan polisakarida.Reaksi pencoklatan secara
nonenzimatik pada umumnya ada tiga macam reaksi pencoklatan nonenzimatik yaitu
karamelisasi, reaksi Maillard, dan pencoklatan akibat vitamin C.
a. Karamelisasi
Bila suatu larutan sukrosa diuapkan maka konsentrasinya akan meningkat,
demikian juga titik didihnya. Keadaan ini akan terus berlangsung sehingga seluruh air
menguap semua. Bila keadaan tersebut telah tercapai dan pemanasan diteruskan,
maka cairan yang ada bukan lagi terdiri dari air tetapi cairan sukrosa yang lebur. Titik
lebur sukrosa adalah 1600C. Bila gula yang telah mencair tersebut dipanaskan terus
sehingga suhunya melampaui titik leburnya, misalnya pada suhu 1700C, maka
mulailah terjadi karamelisasi sukrosa. Reaksi yang terjadi bila gula mulai hancur atau
terpecah-pecah tidak diketahui pasti, tetapi paling sedikit melalui tahap-tahap seperti
berikut: Mula-mula setiap molekul sukrosa dipecah menjadi sebuah molekul glukosa
dan sebuah fruktosan (Fruktosa yang kekurangan satu molekul air). Suhu yang tinggi
mampu mengeluarkan sebuah molekul air dari setiap molekul gula sehingga
terjadilah glukosan, suatu molekul yang analog dengan fruktosan. Proses pemecahan
25
dan dehidrasi diikuti dengan polimerisasi, dan beberapa jenis asam timbul dalam
campuran tersebut.
b. Reaksi Maillard
Reaksi Maillard adalah reaksi yang terjadi antara karbohidrat, khususnya gula
pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan
berwarna cokelat, yang sering disebut dikehendaki atau kadang-kadang malahan
menjadi pertanda penurunan mutu.
Reaksi Maillard berlangsung melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Suatu aldosa bereaksi bolak-balik dengan asam amino atau dengan suatu
gugus amino dari protein sehingga menghsilkan basa Schiff.
2. Perubahan terjadi menurut reaksi Amadori sehingga menjadi amino ketosa.
3. Dehidrasi dari hasil reaksi Amadori membentuk turunan-turunan
furfuraldehida, misalnya dari heksosa diperoleh hidroksi metil furfural.
4. Proses dehidrasi selanjutnya menghasilkan hasil antara metil α-dikarbonil
yang diikuti penguraian menghasilkan reduktor-reduktor dan α-dikarboksil
seperti metilglioksal, asetol, dan diasetil.
5. Aldehid-aldehid aktif dari 3 dan 4 terpolemerisasi tanpa mengikutsertakan
gugus amino (disebu kondensasi aldol) atau dengan gugusan amino
membentuk senyawa berwarna cokelat yang disebut melanoidin.
c. Pencoklatan Akibat Vitamin
Vitamin C ( asam askorbat) merupakan suatu senyawa reduktor dan juga dapat
bertindak sebagai precursor untuk pembentukan warna cokelat nonenzimatik. Asam-
asam askorbat berada dalam keseimbangan denga asam dehidrokaskorbat. Dalam
suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan
26
membentuk suatu senyawa diketogulonati kemudian berlangsung reaksi Maillard dan
proses pencoklatan.
d. Proses Terjadinya Browning
Proses pencoklatan enzimatik akan terjadi apabila adanya reaksi antara enzim
fenol oksidase dan oksigen dengan substrat tersebut, Pada umumnya ada tiga macam
reaksi pencokelatan nonenzimatik yaitu karamelisasi, reaksi millard, dan
pencokelatan akibat vitamin C. dalam suasana asam, cincin lakton asam
dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk suatu senyawa
diketogulonaat, dan kemudian berlangsunglah reaksi Maillard dan proses
pencokelatan. Karamelisasi terjadi pada suatu larutan sukrosa yang diuapkan maka
konsentrasinya akan meningkat, begitu juga titik didihnya sehingga seluruh air akan
menguap semua. Bila keadaan tersebut telah tercapai dan pemanasan diteruskan,
maka cairan yang ada bukan lagi terdiri dari air tetapi cairan sukrosa yang melebur.
Reaksi maillard berlangsung melalui beberapa tahap yaitu, suatu aldosa bereaksi
bolak-balik dengan asam amino atau dengan suatu gugus amino dari protein sehingga
menghasilkanbasa Schiff. Perubahan terjadi menurut aksi Amodori sehingga menjadi
amino ketosa. Dehidrasi dari hasil selanjutnya menghasilkan hasil antara metal α-
dikarbonil yang diikuti penguraian menghasilkan redukstor-reduktor dan α-
dikarboksil seperti metilglioksal, aseton, dan diasetil. Aldehida-aldehida aktif dari 3
dan 4 terpolimerisasi tanpa mengikutsertakan gugus amino (hal ini disebut
kondensasi aldol) atau dengan gugusan amino membentuk senyawa berwarna cokelat
yang disebut melanoidin.
2.5. Sifat Fungsional Protein
2.5.1. Protein
27
Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak seperti
bahan makronutrien lainnya (karbohidrat, lemak), protein ini berperan lebih penting
dalam pembentukan biomolekul daripada sumber energi. Namun demikian apabila
organisme sedang kekurangan energi, maka protein ini dapat juga di pakai sebagai
sumber energi. Keistimewaan lain dari protein adalah strukturnya yang selain
mengandung N, C, H, O, kadang mengandung S, P, dan Fe (Sudarmadji, 1989).
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh, karena
zat ini disamping berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur, Protein adalah
sumber asam- asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak
dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein mengandung pula posfor,
belerang dan ada jenis protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan
tembaga (Budianto, A.K, 2009).
Protein merupakan molekul yang sangat besar, sehingga mudah sekali
mengalami perubahan bentuk fisik maupun aktivitas biologis. Banyak faktor yang
menyebabkan perubahan sifat alamiah protein misalnya : panas, asam, basa, pelarut
organik, pH, garam, logam berat, maupun sinar radiasi radioaktif. Perubahan sifat
fisik yang mudah diamati adalah terjadinya penjendalan (menjadi tidak larut) atau
pemadatan (Sudarmadji. S, 1989). Ada protein yang larut dalam air, ada pula yang
tidak larut dalam air, tetapi semua protein tidak larut dalam pelarut lemak seperti
misalnya etil eter. Daya larut protein akan berkurang jika ditambahkan garam,
akibatnya protein akan terpisah sebagai endapan. Apabila protein dipanaskan atau
ditambahkan alkohol, maka protein akan menggumpal. Hal ini disebabkan alkohol
menarik mantel air yang melingkupi molekul-molekul protein. Adanya gugus amino
28
dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul protein, menyebabkan protein
mempunyai banyak muatan dan bersifat amfoter (dapat bereaksi dengan asam
maupun basa). Dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino bereaksi dengan H+,
sehingga protein bermuatan positif. Bila pada kondisi ini dilakukan elektrolisis,
molekul protein akan bergerak kearah katoda. Dan sebaliknya, dalam larutan basa
(pH tinggi) molekul protein akan bereaksi sebagai asam atau bermuatan negatif,
sehingga molekul protein akan bergerak menuju anoda (Winarno. F.G, 1992).
2.5.2.Denaturasi
Denaturasi Protein adalah proses perubahan struktur lengkap dan karakteristik
bentuk protein akibat dari gangguan interaksi sekunder, tersier, dan kuaterner
struktural seperti suhu, penambahan garam, enzim dll. Karena fungsi biokimia
protein tergantung pada tiga dimensi bentuknya atau susunan senyawa yang terdapat
pada asam amino. Hasil denaturasi adalah hilangnya aktivitas biokimia yang terjadi
didalam senyawa protein itu sendiri. Denaturasi protein juga tidak mempengaruhi
kandungan struktur utama protein yaitu C, H, O, dan N. Meskipun beberapa protein
mengalami kemungkinan untuk kehilangan kandungan senyawa mereka karakteristik
struktural saat Denaturasi. Namun, kebanyakan protein tidak akan mengalami hal
tersebut, hanya saja tidak menutup kemungkinan juga protein akan berubah struktur
kecil didalamnya saat proses denaturasi terjadi. Bagaimanapun, untuk perubahan
denaturasi secara umum, prosesnya sama dan tidak dapat diubah. ( Stoker, 2010).
Denaturasi akibat panas menyebabkan molekul-molekul yang menyusun
protein bergerak dengan sangat cepat. sehingga sifat protein yaitu hidrofobik menjadi
terbuka. Akibatnya, semakin panas, molekul akan bergerak semakin cepat dan
29
memutus ikatan hidrogen didalamnya. Denaturasi akibat asam / basa terjadi ketika
adanya penambahan kadar asam atau basa pada garam protein yang dapat memutus
kandungan struktur dari protein tersebut karena terjadi subtitusi ion negatif dan
positif pada garam dengan ion positif dan negatif pada asam atau basa.
Denaturasi akibat campuran logam berat pada protein, hal ini terjadi karena
ikatan sulfur pada protein tertarik oleh ikatan logam berat sehingga proses denaturasi
terjadi dengan adanya perubahan struktur kandungan senyawa pada protein tersebut
saat ion pada protein bereaksi dengan ion logam berat yang tercampur didalamnya.
(Vladimir. 2007).
2.5.3.Koagulasi
Denaturasi, koagulasi dan redenaturasi dapat dibedakan sebagai berikut.
Denaturasi protein adalah suatu keadaan telah terjadinya perubahan struktur protein
yang mencakup perubahan bentuk dan lipatan molekul, tanpa menyebabkan
pemutusan atau kerusakan lipatan antar asam amino dan struktur primer protein.
Koagulasi adalah denaturasi protein akibat panas dan alkohol (Winarno, 2002).
Redenaturasi adalah denaturasi protein yang berlangsung secara reveresibel
(Poedjiadi, 1994). Panas dapat digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan
interaksi hidrofobik nonpolar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan
energi kinetik dan menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar
sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan molekul tersebut. Protein telur mengalami
denaturasi dan terkoagulasi selama pemasakan. Beberapa makanan dimasak untuk
mendenaturasi protein yang dikandung supaya memudahkan enzim pencernaan dalam
mencerna protein tersebut (Ophart, 2003).
30
Protein akan mengalami koagulasi apabila dipanaskan pada suhu 50ºC atau
lebih. Koagulasi ini hanya terjadi bila larutan protein berada titik isolistriknya
(Poedjiadi, 1994). Pada pH iso-elektrik (pH larutan tertentu biasanya berkisar 4 – 4,5
di mana protein mempunyai muatanpositif dan negatif sama, sehingga saling
menetralkan) kelarutan protein sangat menurun atau mengendap, dalam hal ini pH
isolistrik albumin adalah 4,55-4,90. Pada temperatur diatas 60ºC kelarutan protein
akan berkurang (koagulasi) karena pada temperatur yang tinggi energi
kinetik molekul protein meningkat sehingga terjadi getaran yang cukup kuat untuk
merusak ikatan ataustruktur sekunder, tertier dan kuartener yang menyebabkan
koagulasi (Blogspot, 2007).
2.5.4.Titik Isoelektrik
Titik Isoelektrik adalah derajat keasaman atau pH ketika suatu makromolekul
bermuatan nol akibat bertambahnya proton atau kehilangan muatan oleh reaksi asam-
basa. Pada koloid, jika pH sama dengan titik isoelektrik, maka sebagian atau semua
muatan pada partikelnya akan hilang selama proses ionisasi terjadi. Jika pH berada
pada kondisi di bawah titik isoelektrik, maka matan partikel koloid akan bermuatan
positif. Sebaliknya jika pH berada di atas titik isoelektrik maka muatan koloid akan
berubah menjadi netral atau bahkan menjadi negatif.
Titik isoelektrik dapat ditentukan berdasar kekeruhan dan endapan karena
pada titik dekat isoelektrik akan terjadi gaya tolak-menolak elektrostatik yang
menyebabkan kelarutan minimum, sehingga terjadi kekeruhan. Setiap jenis protein
memiliki titik isoelektrik yang berbeda-beda. Pada titik isolistrik protein mempunyai
muatan positif dan negatif yang sama, sehingga tidak bergerak ke arah elektroda
31
positif maupun negatif apabila ditempatkan di antara kedua elektroda tersebut.
Protein mempunyai titik isolistrik yang berbeda-beda. Titik isolistrik protein
mempunyai arti penting karena pada umumnya sifat fisika dan kimia erat
hubungannya dengan pH isolistrik ini. Pada pH di atas titik isolistrik protein
bermuatan negatif, sedangkan di bawah titik isolistrik, protein bermuatan positif.
2.6. Mempertahankan Warna Daging
Mioglobin merupakan pigmen utama yang bertanggungjawab pada warna
daging. Bentuk mioglobin salah satunya adalah oxymioglobin. Bentuk lain dari
mioglobin ditandai adanya oxidasi besi dari heme didalam mioglobin dari bentuk Fe
2+ (ferrous) menjadi Fe 3+ (ferric), disebut sebagai metmioglobin dan berwarna
coklat. Metmiglobin adalah pigmen utama penyebab penyimpangan warna daging
yang normal sebagai akibat dari oksidasi atom besi. Nampaknya merupakan pigmen
merah kecoklatan yang tidak diinginkan. Reaksi ini dapat reversible sepanjang ada
senyawa pereduksi, seperti NADH (nicotinamide adenine dinucleotide) didalam
daging.
Pada nilai pH < 5,4, oksidasi mioglobin akan terjadi. pH yang rendah akan
menyebabkan denaturasi terhadap protein globin yang mempertahankan heme dan
berikutnya mengakibatkan pelepasan oksigen dari heme demikian juga oksidasi
molekul besi. Asam adalah agen oksidasi yang dikenal baik dan oleh karena itu
mengoksidasi mioglobin tereduksi menjadi metmioglobin. Karena pH menurun
secara kontinu, maka tingkat oksidasi yang terjadi akan meningkat.
32
Perubahan warna daging dapat juga dihubungkan dengan kontaminasi bakteri
aerobik atau anaerobik tergantung pada kondisi dimana terjadi. Permintaan oksigen
yang tinggi bagi bakteri aerobik pada fase logaritmik dari pertumbuhan
mengakibatkan pembentukan metmioglobin, menghasilkan pengaruh terhadap
perubahan warna. Peningkatan jumlah bakteri aerobik mengakibatkan permukaaan
daging berubah warnanya dari merah oksimioglobin menjadi coklat metmiglobin dan
kemudian ke ungu mioglobin tereduksi. Setelah pembentukan metmioglobin, oksidasi
lebih lanjut yang merubah mioglobin disebabkan oleh enzim dan bakteri yang akan
menghasilkan warna coklat, hijau, dan senyawa –senyawa dengan penampilan
memudar. Ada 2 macam warna daging, yaitu :
1. PSE (Pale Soft Exudative)
Daging berwarna light red. Hal ini disebabkan perlakukan pada hewan sebelum
disembelih. Biasanya hewan dikarantina sebelum disembelih dan diberikan pakan.
Apabila pakan yang dimakan oleh hewan banyak maka kelebihan karbohidrat yang
berasal dari pakan yang dikonsumsi akan dirubah dalam tubuh ternak menjadi
glikogen (pati hewan) yang akan disimpan didalam hati dan otot. Selama hewan
hidup ATP banyak diproduksi dari metabolise glikogen secara aerob. Ketika hewan
telah mati maka ATP yang tersisa masih banyak sehingga mengakibatkan waktu
umtuk masuk fase rigor mortis lama,setelah hewan mati,glikogen dirombak menjadi
asam laktat dalam kondidi anaerob. Asam laktat yang terbentuk banyak dan akan
terakumulasi sehingga menyebabkan penurunan PH cepat dan tajam.PH yang turun
mengakibatkan WHC protein turun dan memperbanyak air bebas. Air bebas akan
melarutkan mioglobin. Hal ini akan membuat warna yang terbentuk adalah light red.
33
2. DCM (Dark Firm Muscle).
Apabila pakan yang dimakan ternak sedikit maka sisa ATP dan glikogen
setelah hewan disembelih hanya sedikit. Waktu untuk masuk fase rigor mortis lebih
cepat. Asam laktat yang terbentuk sedikit sehingga PH tidak mengalami penurunan
yang significan . WHC protein tidak menurun secara significant menyebabakan
sedikitnya air bebas. Mioglobin tidak banyak terlerut dalam air bebas sehingga warna
daging menjadi merah gelap.
Aplikasi antioksidan seperti asam askorbat, asam sitrat, a tokoferol dan
sebagainya dapat membantu mempertahankan warna. Selain itu, aplikasi nitrit dan
nitrat juga dapat mempertahankan warna merah daging. Pada pengolahan daging
dengan menggunakan garam nitrit (proses kuring), nitrit akan bereaksi dengan heme
membentuk kompleks nitrit-heme yang disebut nitrosomioglobin berwarna merah
gelap. Bentuk nitrosomioglobin tidak terlalu stabil dan bisa teroksidasi menjadi
bentuk metmioglobin. Proses pemanasan akan mendenaturasi bagian globin
membentuk nitrosohemokrom yang stabil. Nitrosohemokrom ini menghasilkan warna
merah muda yang merupakan warna utama daging kuring. Proses ini memerlukan
suhu 650C.
2.7. Karakteristik Karbohidrat
Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas
terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman. Sebagian besar
pati di simpan dalam akar,umbi,akar,biji buah dan umbi lapis.simpan cadangan
tersebut berada dalam bentuk granula-granula berukuran lebih besar,disebut dengan
34
pati cadangan. Pati adalah salah satu hodrokoloid yang di gunakan oleh industry
pangan sebagai pengental ataupun pembentukan gel.Hidrokoloid lainya meliputi
gum,pectin,gelatin selulosa agar,keraganan alginate dan lain-lain. Di samping peran
tersebut diatas, banyak pati di gunakan untuk pengikat lemak dan pembantu
pembentukan emulsi.
2.7.1. Struktur Pati
Pati alami polimer karbohidrat yang di susun dalam tanaman melalui
pengikatan kimiawi dari ratusan hingaa ribuan satuan-satuan glukosa,untuk molekul
yang berantai panjang.Satuan dasar pati adalah anhidroglukosa,atau lebih tepatnya
dinamakan a-D-anhidroglukopiranosa,karena pengikatanya satuan glukosa satu sama
lain berakibat kehilangan satu molekul air yang semula terikat dalam bentuk gugus
hidroksil.
Amilopektin umumnya merupakan penyusun utama kebanyakan granula pati
(Howling, 1947). Fraksi amilosa dalam granula pati pada umumnya berkisar 22-26%,
sedangkan amilopektin antara 74-78%. Kandungan amilosanpada pati ubi kayu
sekitar 18%,pada pati gandum sekitar 25%,pada pati jagung sekitar 26%,pada pati ubi
jalar sekitar 20% dan pada pati sorgum sekitar 27%(Whistler dan Smart,1953.)
Perbedaan sifat-sifat amilosa dan amilopektin mengenai reaksi dengan iodine,
krisnalitas ,kelarutan dalam air, dan kemantapan dalam larutan banyak air dpt dilihat
pada Tabel perbandingan berat amilosa dan amilopektin yang terkandung dalam
granula pati dengan demikian menentukan sifat-sifat granula yang bersangkutan.
35
Perbedaan sifat – sifat amilosa dan amilopektin
Sifat - Sifat Amilosa Amilopektin
Reaksi dengan Iodin Biru kelam Merah Ungu
Berat molekul 250.000 1.000.000
Analisis sinar-X Kristalinitas tinggi Amorf
Kelarutan dalam air Larut Tak larut
Kemantapan dalam larutan Retrogradasi Mantapdalam air
Macam-macam bentuk granula pati umumnya adalah bulat,lomjong (bulat
telur), ataupun bersegi banyak(Kerr,1950; Yoslyn, 1970). Ciri-ciri yang lain adalah
bentuk dan ukuran granula,letak hilum,keberadaan atau ketiadaan striasi yang
mungkin sebagian atau seluruh nya melingkari hium, dan ketampakan granula jika di
amati dengan sinar tropolar yaitu tampak terdapat bagian gelap berbentuk seperti
silang (birefrigensi).
Macam-macam bentuk granula pati umumnya adalah bulat, lonjong, ataupun
bersegi banyak. Ukuran granula pati umumnya berkisar antara 1 mikron sampai 100
mikron. Granula pati komersial berukuran terkecil ialah granula pati beras, yaitu
sekitar 3 – 8 µm. Granula pati beras berbentuk segi banyak, dengan
berkecenderungan membentuk kelompok – kelompok. Granula pati tapioka
36
berbentuk bulat dan bulat seperti terpotong pada salah satu sisi membentuk seperti
drum ketel. Ukuran granula pati tapioka sekitar 4 – 5 µm, banyak granula-granula
menunjukkan keberadaan hilum di bagian tengahnya. Granula pati jagung adalah
membulat dan bersegi banyak, ukurannya antara 3 – 26 µm, hilum pada granula
terletak di tengah. Pati jagung komersial berwarna biru bila diberi Iodin, karena
kandungan amilosanya yang tinggi, sedangkan pati varietas ketan menjadi berwarna
kemerahan karena kandungan amilopektin yang tinggi. Granula pati gandum tampak
pipih, bulat, dan lonjong, dengan kecenderungan mengelompok menjadi dua macam
ukuran, yaitu yang kecil berukuran 2 – 10 µm, dan yang besar antara 20 – 35 µm.
Granula pati kentang adalah yang terbesar ukurannya di antara pati-pati komersial,
yaitu antara 5 – 100 µm. Bentuknya kentang adalah bulat telur, granulanya
mempunyai hilum terletak di dekat ujung. Granula ini juga menunjukkan keberadaan
striasi.
Molekul-molekul pada granula pati berbentuk bangunan dengan susunan
sebagai berikut :
a. Susunan molekul-molekul amilosa teratur dengan arah jari-jari.
b. Daerah amorf terdiri atas amilopektin.
Daerah kompak (kristalin) tersusun atas molekul-molekul amilosa
2.7.2. Gelatinisasi
Sebagian tersebar penggunaan pati adalah berkaitan dengan lingkungan yang
banyak mengandung.Salah satu fungsi pati,terutama pada olahan pangan .adlah dlam
37
pengendalian sifat-sifat tekstur dan reologi. Ciri-ciri utama pati yang menetukan
fungsi ini adalah gelatinisasi dan retrogradasi.
Cara-cara lain untuk menentukan tingkatan gelatinisasi pati ialah dengan
mengukur kemampuan pengikatan air, differential scanning calori-metry, amilografi
dapat juga digunakan untuk penentuan suhu tersebut.Tingkatan gelatinisasi dapat
ditentukan menggunakan enzim, berdasar kenyataan bahwa makin tinggi tingkat
gelatinisasi, pati mudah dicerna oleh enzim.Perubahan yang paling mudah diamati
selama pemanasan suspensi pati adalah kenaikan kejernihan dan kekentalan suspensi
pati. Pada pemanasan berlanjut, kekentalan pasta berangsur-angsur meningkat, karena
penggelembungan granula lebih lanjut. Kenaikan kekentalan ini akhirnya mencapai
puncak. Kemudian selanjutnya kekentalan turun pada saat terjadi kerusakan granula
yang terjadi karena pengadukan. Akhirnya kesetimbangan dicapi antara granula-
granula pati utuh dengan potongan-potongan granula pati yang tersebar berupa
koloid. Granula-granula pati gandum yang sudah mengalami gelatinisasi, tampak
kempes karena sebagian besar penyusun terutama amilosa telah lepas keluar.
Konsentrasi pati yang dimasak mempengaruhi perilaku granula pati selama
pemasakan, khususnya pada kemampuan penggelumbungan granula. Konsentrasi
kritis adalah berat pati yang dapat menyerap air 100 ml seluruhnya setelah pemasakan
hingga terjadi penggelembungan granula pati terbesar. Jika konsentrasi granula pati
lebih besar daripada nilai konsentrasi kritis, granula – granula pati dapat membentuk
fase yang berkesinambungan yang terdiri atas granula – granula pati yang sudah
menggelembung dan semua air yang tersedia terperangkap. Konsentrasi granula pati
38
yang kurang dari nilai konsentrasi kritis, mengakibatkan terdapat air bebas dan
pemisahan fase granula menggelembung dari larutan. Penggelembungan lebih lanjut
berakibat molekul – molekul pati menjadi memisah dari jaringan ikatan mula – mula
dan menyebar ke seluruh medium.
2.7.4. Retrogradasi
Pada pendinginan, kejernihan pati menurun dan kekentelan meningkat.Jika
campuran pati kental di aduk selama pendinginan, gaya tarik antara molekul-molekul
pati di biarkan tanpa pengadukan, ikatan inter-molekuler terbentuk antara granula-
granula pati dan potonganpotongan granula pati, yang mengakibatkan sol pati
terbentuk, Gel tersebut tampak buram dan sifatnya tegar.Retrogradasi berakibat
terbentuk gel yang tegar. Beberapa jenis olahan pangan dikehendaki teksturnya yang
kenyal dan tegar. Sifat ini dapat diperoleh dengan menggunakan bahan dasar berpati
yang banyak mengandung amilosa. Laju retrogradasi dipengaruhi oleh suhu, ukuran,
bentuk, dan kepekatan molekul – molekul pati oleh keberadaan bahan lain.
Retrogradasi juga digunakan sebagai penentu tekstur dan reologi. Retrogradasi ini
menyebabkan pengerutan dan sineresis gel pati, jika dibiarkan lama dan pengaruhnya
makin besar jika pangan dibekukan dan kemudian dilelehkan.
2.7.5.Pati dan Penyusunan Pangan Lainnya
Pangan olahan terdri dari atas gabungan campuran beebagai jenis penyusunan.
Interaksi antara pati dengan penyusunan pangan lainya adalah menarik perhatian
paara peneliti, karena berkaitan dengan sifat-sifat fungsional karbohidrat nabati
39
tersebut.penyusunan pangan selain pati, seperti gula,asam,basa,lipida, dan garam
dapat mempengaruhi prilakuk geletinisasi dan retrogradasi pati, maupun sifat-sifat
fisik pasta dan gelnya.
1. Interaksi Pati dengan Pemanis Interaksi antara pati dengan bahan pemanis dapat
dinyatakan kedalam dua hal :
Karbohidrat, khususnya sukrosa untuk menghambat gelatinisasi
Keberadaan pati dapat merubah pola kemanisan.
Gula pada umumnya memperlambat gelatinisasi pati, karena gula menyerap
air. Suhu gelatinisasi pati dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi gula yang
dicampurkan. Makin tinggi konsentrasi gula dalam suspensi pati dalam air, suhu
gelatinisasi makin tinggi. Pada umumnya pemanis karbohidrat meningkatkan suhu
gelatinisasi pati, dengan urutan kemampuan meningkatkan sebagai berikut : sukrosa
> glukosa > fruktosa. Gula-gula mempunyai pengaruh pada gelatinisasi dan pada
pengurangan kekentalan pasta pati. Sakarida-sakarida yang banyak mengandung
gugus hidroksil tersebut cenderung memantapkan gel pati dan mengurangi
kecenderungan untuk retrogradasi.
2. Pengaruh pH
Kisaran pH pati umumnya antara 5,0 – 7,0. Pemasakan pada pH 5,0atau kurang
dari 7,0 atau diatas pH 7,0 cenderung merendahkan suhu gelatinisasi dan
mempercepat tata cara pemasakan keseluruhannya. Pada pH yang sangat asam,
hidrolisis ikatan – ikatan glukosidik dapat terjadi, dengan akibat menurunkan
40
kekentalan gel. Pengaruh asam terhadap perilaku pati selama gelatinisasi menjadi
berkurang karena keberadaan gula dengan konsentrasi tinggi. Penambahan gula
sukrosa dengan konsentrasi tinggi mengurangi kecenderungan menggelembung dan
juga menghambat hidrolisis. Penyebab terjadi suspense yang tidak kental se3telah
pemanasan adalah mungkin karena pencegahan penggelembungan pati karena
pemasakan yang kurang, bukannya lewat masak yang berakibat hidrolisis.
3. Pengaruh Lipida
Faktor yang mempengaruhi tingkat penggelembungan granula pati dan sifat gel
pati:
Keadaan alami granula pati
Keadaan atau suasana lingkungan pembentukan gel
Keberadaan bahan tambahan
Lemak tidak jenuh yang bersifat cair sampai lemak padat yang mudah retak
pada suhu kamar memunyai pengaruh yang sama, yaitu menurunkan kekentalan pasta
pati, pada pemanasan granula pati dalam air. Lemak yang memisah dapat mencegah
pembetukan struktur gel yang homogen.
2.8. Emulsi
Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fluida yang tidak bercampur,
fase dispersinya tersebar sebagai butiran-butiran (<100 nm) dalam fase kontinyu.
Cairan yang membentuk globula-globula kecil disebut fase dispersi atau fase
diskontinyu, dan cairan tempat terdispersinya globula-globula tersebut disebut fase
41
kontinyu (misalnya air). Air dan minyak adalah dua fase yang berbeda dan bila
dicampur dengan adanya agensia pengemulsi dapat terbentuk suatu kombinasi
campuran stabil dan disebut suspense koloidal (Kramlich, 1971). Emulsifikasi adalah
proses pembentukkan suatu campuran yang berasal dari 3 fase yang berbeda.
Umumnya ditambahkan komponen ketiga yang berupa emulsifier untuk
mempertahankan stabilitas emulsi. Ada dua bentuk jenis emulsi bahan pangan yaitu :
1. Emulsi air (w) dalam minyak (o), w/o
Sistem dimana butiran-butiran air tersebar dalam minyak
Contoh : margarine, mentega
2. Lemak (o) dalam air (w), o/w
Sistem dimana butiran-butiran lemak tersebar dalam air
Contoh : mayonnaise, salad draising, krim, es krim
Homogenisasi di dalam teknologi pencampuran, emulsifikasi dan suspense
dikenal sebagai operasi yang pada dasarnya terdiri dari dua tahap, yaitu pertama
pengecilan ukuran droplet (fase terdispersi) pada fase bagian dalam dan kedua yang
merupakan tahap simultan pendistribusian droplet ke dalam fase kontinyu.
Pada umumnya emulsi bersifat tidak stabil, yaitu dapat pecah atau lemak dan
air akan terpisah, tergantung dari keadaan lingkungannya. Untuk menstabilkan sistem
emulsi biasanya ditambahkan emulsifier. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh :
1. Suhu selama proses emulsifikasi
2. Ukuran partikel lemak
3. pH
4. Jumlah dan type protein yang larut
5. Viscositas (kekentalan) emulsi
Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang
dapat terikat baik pada minyak maupun air. Bila emulsifier tersebut lebih terikat pada
air atau lebih larut dalam air (polar) maka dapat lebih membantu terjadinya dispersi
42
minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air (o/w), contoh : susu.
Bila emulsifier lebih larut dalam minyak (nonpolar) terjadilah emulsi air dalam
minyak (w/o), contoh margarin, dan mentega. Emulsifier yang banyak terdapat di
alam adalah fosfolipida, lesitin dan fosfatidil etanolamina. Fosfolipida merupakan
turunan lemak, yang sebuah asam lemaknya tersubstitusi oleh asam fosfat yang
teresterifikasi dengan gliserol pada salah satu atom karbon ujungnya. Jenis asam
lemak yang terdapat pada atom karbon lain dalam gliserol sangat tergantung dari
jenis fosfolipidnya, biasanya satu dari dua asam lemak tersebut merupakan asam
lemak tidak jenuh. Gelatin dan albumen (putih telur) adalah protein yang bersifat
sebagai emulsifier dengan kekuatan biasa, kuning telur merupakan emulsifier kuat.
Paling sedikit sepertiga kuning telur terdiri dari lemak, tetapi yang menyebabkan
daya emulsifier yang kuat adalah kandungan lesitinnya yang terdapat dalam bentuk
kompleks sebagai lesitin-protein. Untuk lebih menjelaskan bagaimana kerja
emulsifier akan diberikan ilustrasi sebagai berikut; bila butir-butir lemak telah
terpisah karena adanya tenaga mekanik (pengocokan), maka butir-butir lemak yang
terdispersi tersebut segera terselubungi oleh selaput tipis emulsifier. Bagian molekul
emulsifier yang nonpolar larut dalam lapisan luar butir-butir lemak, sedangkan bagian
yang polar menghadap ke pelarut (air-continous phase).
Bila minyak dan air saja dikocok bersama-sama, akan terbentuk butir-butir
lemak, dan terbentuklah suatu emulsi; tetapi bila dibiarkan partikel-partikel minyak
akan bergabung lagi dan memisahkan diri dari molekul-molekul air. Jenis emulsi ini
dikenal sebagai emulsi temporer. Karena itu, harus cepat digunakan, atau harus
dikocok lagi sebelum waktu pemakaian. Contoh emulsi temporer adalah French
dressing.
43
III
ALAT BAHAN DAN PROSEDUR KERJA
3.1. Perubahan Pasca Panen Telur
a. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
Timbangan
Candler
Pengukur kedalaman kantung udara
Gelas piala
Tissue/lap
Jangka sorong
Haughmeter
pH meter
Nampan kaca
b.Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
Telur ayam ras
Larutan garam
c.Prosedur Kerja
Peningkatan Kantung Udara
44
Mengoperasikan alat candler.
Menyimpan telur pada lubang candler.
Mengamati kantung udara.
Menandai kantung udara menggunakan pensil.
Mengukur kedalaman kantung udara.
Penurunan Berat Telur
Menimbang berat telur dan mencatat hasilnya.
Mengamati penurunan berat telur tiap minggu.
Penurunan Berat Jenis Telur
Mempersiapkan larutan garam dengan berbagai konsentrasi.
Memasukkan telur kedalam larutan garam.
Mengamati penurunan berat jenis telur.
Peningkatan pH Telur
Memecahkan telur diatas nampan kaca.
Memisahkan kuning telur dan putih telur.
Mengukur pH masing-masing menggunakan pH meter.
Peningkatan Keenceran Putih dan Kuning Telur
Memecahkan telur diatas nampan kaca.
Mengukur tinggi putih telur dan kuning telur.
Mengukur rata-rata lebar kuning telur.
45
3.2. Laju Respirasi Telur
a. Alat
Selang kecil
Desikator
Gelas ukur
Seperangkat alat titrasi
Mikrometer skrup
Jangka sorong
Plat kaca
Nampan
Toples kecil (larutan kapur 1
buah, larutan NaOH 3 buah)
Toples besar (tempat telur)
Aerator
Lilin/malam
b. Bahan
Telur sebanyak 2 kg
HCl
Kapur
NaOH
46
c. Prosedur Kerja
1. Pertama siapkan telur sebanyak kurang lebih 2kg
2. Lakukan pengukuran blanko selama 1 jam.
3. Keluarkan cairan NaOH sebanyak 5 ml, beri indikiator PP, lalu
titrasi dengan HCl. Catat hasilnya.
4. Isi kembali toples kecil dengan NaOH.
5. Lalu masukkan telur kedalam wadah toples besar yang telah
disiapkan.
6. Lakukan hal yang sama tiap minggu sampai pada minggu ke empat
(1 bulan).
7. Setelah 4 minggu telur dipecahkan kemudian ditimbang beratnya.
3.3. Reaksi Pencoklatan Enzimatis
3.3.1. Reaksi Pencoklatan
a. Alat :
Pisau Stainless
Pisau Besi
Piring kecil
b. Bahan :
Apel
Belimbing
Lobak
Terong ungu
Wortel
c. Cara kerja :
1. Siapkan piring kecil
2. Ambil sayuran dan buah-buahan (apel, belimbing, lobak, terong ungu dan
wortel) kelompokan menjadi 2 kelompok.
3. Secara bersamaan lakukan pengirisan sayuran dan buah-buahan.
Kelompok pertama diirisdengan pisau stainless steel, kelompok kedua
diiris dengan pisau besi.
47
4. Letakkan setiap irisan sayuran dan buah-buahan pada piring kecil amati
perubahan yang terjadi setelah 15 menit.
3.3.2. Pencegahan Pencoklatan Enzimatis Dengan Mengurangi KontakOksigen
a. Alat
Mangkok plastik
Pisau stainless steel
b. Bahan :
Sayuran dan buah-buahan (apel, belimbing, lobak, terong ungu dan
wortel).
Larutan garam 2.5 %
Larutan gula 20 %
c. Cara kerja :
1. Setiap kelompok menyiapkan 4 buah mangkok sebagai berikut : mangkok
kosong, mangkok berisi air, mangkok berisi larutan garam 2,5 % ,
mangkok berisi larutan gula 20%.
2. Cuci, kupas dan iris (dengan pisau stainless steel ) sayuran dan buah-
buahan dan segera masukkan masing-masing 2 iris ke dalam mangkok.
3. Biarkan selama 15 menit, lalu amati dan bandingkan warna serta tekstur
dari masing-masing perlakuan.
3.3.3. Pencegahan Pencoklatan Enzimatik dengan menonaktifkan enzimpolifenol oksidase (PFO)
a. Alat
Mangkok 15 buah
Pisau stainles
b. Bahan
Sayuran dan buah-buahan (apel, belimbing, lobak, terong, wortel) yang
telah dipotong.
48
Larutan Na bisulfit, asam askorbat, asam sitrat.
c. Cara kerja :
Potong kecil sayuran dan buah-buahan.
Siapkan larutan asam askorbat, Na bisulfit dan asam sitrat masing
masing dimasukan ke dalam 5 mangkok kecil.
Masukan secara bersamaan semua sayuran ke dalam masing masing
larutan.
Tunggu 15 menit kemudian amati tekstur dan perubahan warna yang
terjadi.
Hasil perendaman yang telah diamati kemudian kukus dan rebus.
Amati lagi perubahan yang terjadi.
3.4. Reaksi Pencoklatan Non Enzimatis
a. Alat
Tabung Reaksi
Penangas air/bunsen
b. Bahan
Tepung Karbohidrat
Gula Pasir
Antioksidan
Tepung Protein
c. Cara Kerja
1. Efek Antioksidan
Menyiapkan 15 tabung reaksi untuk 3 sample dan 5 antioksidan
49
Menimbang 1 gram sample dan dimasukan kedalam tabung reaksi
Menambahkan 0,05 gram antioksidan kecuali kontrol
Memanaskan sample sampai terjadi perubahan warna
Mengamati perubahan warna
2. Efek pH
Menyiapkan 12 tabung reaksi untuk 3 sample dan 4 pH
Menimbang 1 gram sample dan dimasukan kedalam setiap tabung reaksi
Mengatur pH sample pada setiap tabung reaksi
Memanaskan sample sampai terjadi perubahan warna
Mengamati lama waktu perubahan warna
3. Efek Kombinasi Antioksidan dan pH
Menyiapkan 15 tabung reaksi untuk 3 sample dan 4 pH
Menimbang 1 gram sample dan dimasukkan kedalam setiap tabung reaksi
Menambahkan 0,005 gram antioksidan
Mengatur pH sample pada setiap tabung reaksi
Memanaskan sample sampai terjadi perubahan warna
Mengamati lama waktu perubahan warna
3.5. Sifat Fungsional Protein
a. Alat
Tabung Reaksi
Pipet
Penangas Air
Labu ukur
Gelas piala 250 ml
Thermometer
Pengaduk
50
b. Bahan :
Larutan casein 0,5%
Larutan buffer asetat dengan pH 6,0-5,3, - 5,0 – 4,7 dan 3,8
Larutan NaOH IN
Larutan asam asetat 0,1 N
3.6. Mempertahankan Warna Daging
a. Alat
Tabung reaksi
penangas air
b. Bahan
Daging cacah segar (daging giling)
Pereaksi : sendawa, vitamin C, aquadest, asam asetat 95%
c. Cara Kerja
1. Disiapkan tabung reaksi sebanyak 18 buah.
2. Bahan pengawet disiapkan sebagai berikut :
1. Efek pH
Tabel 4. Efek pH terhadap warna daging
Daging /Pereaksi
Tabung Reaksi
1 2 3 4
Daging (g) 5 5 5 5Akuades (ml) 5 5 5 5Ph 4 5 6 7
Tabel 5. Efek Sendawa dan pH terhadap warna daging
Daging /Pereaksi Tabung Reaksi
51
1 2 3
Sendawa (g) 1 1 1Daging (g) 5 5 5Akuades (ml) 5 5 5pH 4 5 6
Tabel 6. Efek Vitamin C dan pH terhadap warna dagingDaging /Pereaksi Tabung Reaksi
1 2 3
Vitamin C (g) 1 1 1Daging (g) 5 5 5Akuades (ml) 5 5 5pH 4 5 6
Tabel 7. Efek kombinasi sendawa, Vitamin C dan pHDaging /Pereaksi Tabung Reaksi
1 2 3
Sendawa (g) 1 1 1Vitamin C (g) 0,5 0,5 0,5Daging (g) 5 5 5Akuades (ml) 5 5 5pH 4 5 6
3. Daging cacah segar dimasukan kedalam tabung reaksi
4. Setiap tabung reaksi ditambahkan 2-3 tetes asam cuka (asam asetat) 95%
dan diaduk
5. Biarkan selama 15 menit dan amati perubahan warnanya
6. Tabung reaksi di masukkan dalam gelas piala yang berisi air dan didihkan
selama 15 menit
7. Tabung reaksi diangkat, diamati perubahan yang terjadi
3.7. Karakteristik Karbohidrat
3.7.1. Pemeriksaan Granula Pati
a. Bahan:
52
1. Tepung beras
2. Tepung Tapioka
3. Terigu
4. Tepung Jagung
b. Peralatan
1. Beaker Glass 100cc
2. Sendok Kecil
3. Gelas Pengaduk
4. Mikroskopik
5. Object Glass dan Penutup
c. Cara Kerja
1. Siapkan 4 buah beaker glass, beri masing-masing 1 sendok tepung
2. Tambahkan aquades, aduk dengan gelas pengaduk
3. Buat preparat dari jenis-jenis pati, kemudian amati dan gambar bentuk
granula pati yang terlihat dibawah mikroskop
4. Buat preparat baru, tambahkan 1-2 tetes larutan yodium dalam KI 0,01 N,
gambar yang terlihat dibawah mikroskop
3.7.2 Gelatinisasi Pati
a. Bahan
1. Bahan Beras
2. Tapoca
3. Terigu
4. Tepung Jagung
b. Peralatan
1. Termometer
2. Lainnya sama
53
c. Cara Kerja
A. 1. Siapkan 4 buah beaker glass, beri masing-masing 1 sendok tepung
2. Tambahkan aquades, aduk dengan gelas pengaduk
3. Panaskan dalam oven sampai kering
4. Amati Perubahan yang terjadi
B. 1. Panaskan 100cc air dalam beaker glass, hingga mencapai suhu 60,70,80,dan
1000C
2. Masukan 1 sendok pati kedalam setiap beaker glass dan aduk
3. Amati perubahan yang terjadi
4. Tambahkan 1-2 tetes larutan yodium dalam KI 0,01N
5. Amati perubahan yang terjadi
6. Buat preparat dan amati dengan mikroskop dan gambar hasilnya
3.7.3. Hidrolisis Pati
a. Cara Kerja
1. 30 gr pati dilarutkan dalam 100 ml HCl 1%
2. Panasakan dalam penangas air dengan suhu 60-700C selama 10 menit, 20
menit, 30 menit
3. Amati perubahan yang terjadi
3.8. Emulsi
a. Alat :
- Mikroskop
b. Bahan :
- Margarine - Merica
54
- Obyek glass
- Kaca penutup
- Tabung reaksi
- Penangas air
- Beaker glass
- Mentega
- Kuning telur
- Susu
- Minyak goreng
- Detergent
- Garam
- Asam asetat
- Aquades
- Methyline blue
- Sudan III
c. Prosedur Kerja
1. Stuktur Mikroskopis dari Emulsi
Teteskan air susu pada kaca objek. Tambahkan setetes akuades,
tutup dengan watch glass (hindarkan adanya gelembung udara),
amati di bawah mikroskop.
Letakkan seulas tipis mentega pada kaca objek, tutup hati-hati
dengan watch glass, amati di bawah mikroskop.
Lakukan hal yang sama seperti pada langkah satu atau dua pada
minyak goreng, margarine, dan mayonnaise.
2. Stabilitas Relatif Zat Pengemulsi
Siapkan 4 tabung reaksi, tambahkan ke dalam masing-masing
tabung reaksi 3 minyak dan 3 ml asam asetat.
Ke dalam masing-masing tabung masukkan 1 mg (1 ml) zat-zat :
a)garam, b) merica, c) kuning telur, d) ditergent.
Kocok ke empat tabung tersebut dalam waktu yang bersamaan dan
segera simpan dalam rak tabung reaksi.
Amati kecepatan memecah masing-masing emulsi menjadi 2
lapisan dan stabilitas relative masing-masing zat pengemulsi.
3. Menentukan Jenis Emulsi
Buat campuran methyline blue dan Sudan III (50:50).
55
Letakkan sejumlah kecil sampel (air susu, margarine, mentega)
pada kaca obyek. Teteskan campuran pewarna (tidak diaduk) dan
tutup dengan watch glass.
Amati di bawah mikroskop dan identifikasi jenis emulsinya.
4. Pengaruh Pemanasan dengan Emulsi
Timbang 5 gram bahan (margarine, mentega, mayonnaise)
masukkan dalam tabung reaski.
Tabung reaksi dimasukkan ke dalam penangas air.
Amati perubahan yang terjadi sewaktu bahan masih panas.
IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
56
4.1. Perubahan Pasca Panen
4.1.1. Hasil Pengamatan
Tabel 8. Penurunan Berat Telur Selama PenyimpananNo Berat
Telur/Berat Jenis Telur
Berat Telur (gr)Minggu
IIMinggu
IIIMinggu
IVMinggu
V1 63 gr/1.094 63 gr 63 gr 61 gr -2 65 gr/1.094 65 gr - - -3 60 gr/1.094 60 gr 59 gr - -4 63 gr/1.086 63 gr 62 gr 60 gr 60 gr5 61 gr/1.094 61 gr 60 gr 59 gr 57 gr6 70 gr/1.086 - - - -
Tabel 9. Peningkatan Kedalaman Kantung UdaraNo Berat
Telur/Berat Jenis Telur
Kedalaman Kantung Udara (cm)Minggu
IMinggu
IIMinggu
IIIMinggu
IVMinggu
V1 63 gr/1.094 0.91 1.8 3.02 3.79 -2 65 gr/1.094 2.10 3.08 - - -3 60 gr/1.094 1.70 1.89 2.01 - -4 63 gr/1.086 1.55 1.83 2.0 3.0 3.065 61 gr/1.094 1.61 2.31 2.71 3.03 3.556 70 gr/1.086 1.96 - - - -
Tabel 10. Peningkatan pH Telur Selama PenyimpananNo Berat
Telur (gr)
pHMg I Mg II Mg III Mg IV Mg V
A Y A Y A Y A Y A Y1 63 - - - - - - 8.87 6.71 - -2 65 - - 8.53 7 - - - - - -3 60 - - - - 8.78 6.8 - - - -4 63 - - - - - - - - 8.96 6.775 61 - - - - - - - - 8.97 6.566 70 8.24 6.53 - - - - - - - -Keterangan : Mg = Minggu A = Albumen Y = Yolk
Tabel 11. Suhu Albumen dan Yolk Telur Selama PenyimpananNo Berat
Telur Suhu (0C)
Mg I Mg II Mg III Mg IV Mg V
57
(gr) A Y A Y A Y A Y A Y1 63 - - - - - - 26.1 20.6 - -2 65 - - 25.6 26.1 - - - - - -3 60 - - - - 25.6 25.6 - - - -4 63 - - - - - - - - 26.1 26.15 61 - - - - - - - - 25.6 26.16 70 26.
126.1 - - - - - - - -
Keterangan : Mg = Minggu A = Albumen Y = Yolk
Tabel 12. Penurunan Indeks Putih Telur dan Kuning TelurNo Berat
Telur (gr)
Indeks (%)Mg I Mg II Mg III Mg IV Mg V
A Y A Y A Y A Y A Y1 64 - - - - - - 2.77 19.08 - -2 66 - - 3.05 25.11 - - - - - -3 60 - - - - 6 19 - - - -4 63 - - - - - - - - 3.95 17.545 69 - - - - - - - - 2.71 14.846 73 9.8 36 - - - - - - - -Keterangan : Mg = Minggu A = Albumen Y = Yolk
Tabel 13. Penurunan Haugh Unit Telur Selama PenyimpananNo Berat
Telur/Berat Jenis Telur
Haugh UnitMinggu
IMinggu
IIMinggu
IIIMinggu
IVMinggu
V1 64 gr/1.094 - - - 49.72 -2 66 gr/1.094 - 44.78 - - -3 60 gr/1.094 - - 83.79 - -4 63 gr/1.086 - - - - 73.295 69 gr/1.094 - - - - 55.416 73 gr/1.086 90.60 - - - -
4.1.2. Pembahasan
Dari hasil pengamatan, diperoleh data pengamatan pascapanen telur yaitu
penurunan berat telur selama penyimpanan, peningkatan kedalaman kantung
udara, peningkatan pH telur selama penyimpanan, suhu albumen dan yolk selama
penyimpanan, penurunan indeks putih telur dan kuning telur, dan penurunan
haugh unit telur selama penyimpanan. Untuk pengamatan penurunan berat telur
selama penyimpanan, data pengamatan menunjukkan bahwa telur 1 dengan bobot
58
63 gram (sangat besar) pada minggu ke empat mengalami penurunan sebesar 2
gram sehingga beratnya menjadi 61 gram. Keseluruhan telur yang diamati tidak
mengalami perubahan bobot yang signifikan. Bobot telur yang menurunsering
dijumpai pada telur yang telah lama simpan. Hal ini terkait oleh adanya
prosesrespirasi pada telur, penguapan gas-gas dalam telur melalui pori-pori telur
serta reaksi-reaksi yang terjadi akibat lama penyimpanan atau pengaruh mikroba
pengrusak misalnya
Salmonella sp. Bobot telur ini adalah salah satu komponen yang
menentukan haugh unit dalam penilaian kualitas telur.
Pada pengamatan peningkatan kedalaman kantung udara, didapati bahwa
peningkatan kedalaman kantung udara setiap telur meningkat secara cukup
signifikan. Hal ini terjadi karena faktor penyimpanan telur. Semakin lama telur
disimpan, kadar air semakin berkurang (menguap) sehingga kantong udara
semakin besar. Keadaan ini menyebabkan berat jenis telur turun. Sedangkan pada
pengamatan peningkatan pH telur selama penyimpanan didapati bahwa
peningkatan pH telur pada albumen telur menjadi lebih basa dan yolk telur
menjadi lebih asam setiap minggunya. Lain halnya pada pengamatan suhu
albumen dan yolk selama penyimpanan dimana tidak terjadi perubahan suhu pada
telur setiap minggunya.
Pada pengamatan penurunan indeks putih telur dan kuning telur, terjadi
penurunan indeks albumin dan indeks yolk. Indeks albumen adalah perbandingan
tinggi albumen dengan setengah jumlah dari panjang dan lebar albumen dikalikan
100%. Indeks albumen bervariasi antara 0,054 sampai dengan 0,174. Apabila telur
disimpan, makin lama indeks albumen akan menurun dan semakin kecil, ini
disebabkan karena putih telur semakin encer.Sedangkan indeks yolk dihitung
dengan perbandingan antara tinggi yolk dengan diameter rata-rata yolk dikalikan
59
100%. Indeks kuning telur yang baik berkisar antara 0,40 sampai 0,42, apabila
telur terlalu lama disimpan, maka indeks yolk menurun menjadi 0,25 atau kurang.
Hal ini disebabkan kuning telur semakin encer dan semakin lebar. Telur yang baru
mempunyai indeks yolk sebesar 0,30 sampai dengan 0,50.
Pada pengamatan penurunan haugh unit telur selama penyimpanan sangat
dipengaruhi oleh kekentalan albumin dan berat telur. Penurunan berat telur yang
terjadi dan penurunan tinggi albumen yang terjadi hampir disetiap perlakuan telur
mempengaruhi penurunan haugh unit pada telur yang disimpan, karena pada
penurunan bobot telur dan tinggi albumen factor yang mempengaruhi nilai HU,
dimana nilai HU ialah nilai tingkat kualitastelur. Semakin rendah nilai HU maka
semakin menurun pula tingkat kualitas telur tersebut,begitu sebaliknya.
4.2. Laju Respirasi Telur
4.2.1. Hasil Pengamatan
Perhitungan Laju Respirasi CO2 / kg telur = ½ x ml blanko – ml contoh x N HCl x
berat molekul CO2
Minggu I ½ (10-2) x 0,05 x 28 = 5,9 mg CO2 / kg telur
Minggu II ½ (10-2) x 0,05 x 28 = 5,6 mg CO2 / kg telur
Minggu III ½ (15-2) x 0,05 x 28 = 16,8 mg CO2 / kg telur
Minggu IV ½ (30-2) x 0,05 x 28 = 18,6 mg CO2 / kg telur
Tabel 14. Laju Respirasi
Minggu ml HCL ml Blanko Laju Respirasi (MgCO2)
1 1,53 10 5,93
2 2 10 5,6
3 3 15 16,8
4 3,5 30 18,55
4.2.2. Pembahasan
60
Respirasi adalah proses pemecahan makanan sehingga dihasilkan energi.
Umumnya makhluk hidup mengambil oksigen untuk respirasi. Dari proses
respirasi ini akan dihasilkan energi, uap air dan gas karbondioksida sebagai sisa
pemecahan molekul makanan. Energi yang dihasilkan selama respirasi digunakan
untuk seluruh aktivitas dalam proses kehidupan.Telur memiliki sensitifitas tinggi
terhadap kerusakan. Telur yang telah disimpan lebih dari 2 minggu sangat rawan
kerusakan. Biasanya telor akan berbau busuk dan tidak bisa dikonsumsi.Dilihat
dalam hasil pengamatan, telur yang disimpan dalam desikator mengalami
penurunan mutu dari minggu ke minggu. Laju respirasinya pun menurun dari
minggu ke minggu. Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan O2 dalam
desikator semakin menipis, dan kandungan CO2 semakin bertambah. Dengan
demikian, daya awet telur pun bertambah walaupun tetap mengalami penurunan
mutu, tetapi daya awetnya lebih panjang dibandingkan telur yang disimpan dalam
suhu ruangan. Telur dibungkus dilapisi oleh kerabang yang berfungsi sebagai
pelindung terhadap gangguan fisik, tetapi juga mampu berfungsi untuk pertukaran
gas untuk respirasi (pernafasan).Karbondioksida adalah gas yang umumnya
dihasilakan pada respirasi hewan Kerabang telur memiliki pori-pori sebagai
media lalu lintas gas oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2) selama proses
penetasan. Oksigen diperlukan embrio untuk proses pernapasan dan
perkembangannya sehingga laju respirasi ini penting untuk diamati.
4.3. Reaksi Pencoklatan Enzimatis
61
4.3.1. Hasil Pengamatan
Tabel 15. Warna sayuran dan buah-buahan akibat pengirisan
Sayuran/ buah-buahan Pisau besi Pisau Stainless
Apel Tetap Tetap
Belimbing Tetap Tetap
Lobak Tetap Tetap
Terong ungu Tepi coklat Tetap
Wortel Tepi coklat Tetap
Gambar 1. Hasil pemotongan buah dan sayur yang di potong pisau besi
(kiri) dan pisau stanless (kanan)
Tabel 16. Pencegahan pencoklatan enzimatis dengan mengurangi kontak oksigen
62
Sayur/buah Tanpa air + air Garam 2,5%
Gula 20%
Apel , Warna Teksur
Tidak coklatLembek
Tidak coklatSedikit rapuh
Coklat Agak keras
Coklat sekaliAgak lembek
Belimbing, WarnaTekstur
Coklat sekaliKenyal
Sedikit coklatKenyal
Sedikit coklatKenyal
Coklat sekaliKeras
Lobak, Warna Tekstur
Tetap Agak lentur
Tetap Keras
TetapKeras
Tetap Keras
Terong unguWarnaTekstur
Coklat sekaliLembek
Agak coklat
Keras
Coklat
Agak keras
Coklat sekali
Agak lembek
Wortel , warna tekstur
Tetapkeras
Tetap Keras
Tetap Keras
Tetap Keras
Gambar 2. Hasil tanpa perendaman, air, garam, gula(kanan ke kiri)
63
Tabel 17 . Pencegahan Pencoklatan Enzimatik dengan menonaktifkan enzim
polifenol okoksidase (PFO)
Bahan Perendaman Blansing
Na bisulfat As askorbat
As. sitrat rebus Kukus
Apel Agak putih
Kuning Lebih putih
Coklat terang
Coklat terang
Agak lembek
lembek Lebih keras
Lembek Keras
Lobak Agak coklat
Kuning Lebih putih
Normal Normal
Keras Normal Lembek Agak lembek
Keras
Wortel Normal Normal Lebih cerah
normal Coklat
Lembek Normal Lembek Agak lembek
Agak keras
Terong Agak coklat
Coklat Putih Coklat Coklat kehitaman
Lembek sekali
Kenyal Lembek kenyal Lembek
Belimbing Agak coklat
Lebih coklat
Putih Coklat Coklat sekali
Lembek keras Lembek lembek Agak keras
64
Gambar 3 . Hasil Perendaman dengan Na bisulfit, asam sitrat, asam
askorbat.
4.3.2.Pembahasan
Reaksi pencoklatan
Reaksi pencoklatan (browning) dapat terjadi pada sayur dan buah, juga
umbi-umbian. Reaksi ini disebut reaksi pencoklatan, karena memang merubah
warna asal bahan menjadi warna coklat. Reaksi pencoklatan ini bisa terjadi karena
bantuan enzim (browning enzimatic) atau tanpa bantuan enzim (browning non-
enzimatic).
Umbi merupakan komoditas yang mudah mengalami pencoklatan setelah
dikupas. Hal ini disebabkan oksidasi dengan udara sehingga terbentuk reaksi
pencoklatan oleh pengaruh enzim yang terdapat di dalam bahan pangan tersebut
antara oksigen dan suatu senyawa phenol yang dikatalisis oleh polyphenol
oksidase.
Browning enzymatic atau reaksi pencoklatan enzimatis adalah proses kimia
yang terjadi pada sayuran dan buah-buahan oleh enzim polifenol oksidase yang
menghasilkan pigmen warna coklat (melanin). Proses pencoklatan enzimatis
memerlukan enzim polifenol oksidase dan oksigen untuk berhubungan dengan
substrat tersebut. Enzim-enzim yang dikenal yaitu fenol oksidase, polifenol
oksidase, fenolase/polifenolase, enzim-enzim ini bekerja secara spesifik untuk
substrat tertentu (Winarno, 1995). Reaksi ini dapat terjadi jika jaringan tanaman
65
terpotong, terbelah, tergigit, atau cara apapun yang dapat menyebabkan luka pada
tanaman.
Pemotongan menggunakan pisau yang berbeda, akan menyebabkan
perbedaan waktu pencoklatan yang berbeda pula, pisau stainless steel terbuat dari
baja yang cenderung tidak bereaksi dengan bahan yang dipotongnya, sedangkan
pisau yang terbuat dari bahan selain stainless steel, misalkan pisau besi akan cepat
bereaksi/ mudah teroksidasi dibandingkan dengan pisau stainless steel.
Dari data hasil pengamatan di atas, terjadi reaksi pencoklatan pada wortel
dan terong yang dipotong menggunakan pisau besi. Sedangkan warna yang tetap
pada apel, lobak dan belimbing. Disini ada hal yang mengganjal pada apel yang
tidak mengalami perubahan pemotongan dengan menggunakan pisau besi. Hal inii
bisa disebabkan karena sampel tidak terlalu bersinggungan dengan pisau besi
tersebut. Lazimnya reaksi pencoklatan denga pemototongan menggunakan pisau
besi akan lebih cepat dibandingkan dengan pisau stainless.
Pencegahan pencoklatan enzimatis dengan mengurangi kontak oksigen
Kecepatan pencoklatan enzimatis dapat dilakukan inaktifasi PPO dengan
panas, penghambatan PPO secara kimiawi (dengan asidulan, pengaturan pH,
pengkelat, atau kofaktor esensial yang terikat pada enzim), agen pereduksi (asam
askorbat & eritrobat), pengurangan oksigen (pengemasan vakum, perendaman
gula, pelapisan edible film), enzim proteolitik, ataupun dengan madu (Hartoyo A
et al 2010).
Terong dan belimbing yang tidak direndam, direndam dengan air, air garam
2,5% dan air gula 20% mengalami perubahan warna menjadi coklat dan juga
teksturnya berubah menjadi lembek tetapi yang lebih positif berwarna coklat yang
tidak direndam. Pada lobak dan wortel semua perlakuan menunjukan tidak ada
perubahan warna (tetap warna asal), hal ini bisa dikarenakan karena sayuran ini
tidak memiliki enzim polifenol oksidase. Sedangkat pada apel perubahan warna
terlihat pada perendaman dengan menggunakan garam, hal ini karena garam tidak
dapat menjadi inhibitor untuk apel.
66
Pencegahan pencoklatan menurut Anonim (2011) dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
a. Pengurangan oksigen (O2) atau penggunaan antioksidan, misalnya vitamin
C ataupun senyawa sulfit. Antioksidan dapat mencegah oksidasi
komponen-komponen fenolat menjadi quinon berwarna gelap. Sulfit dapat
menghambat enzim fenolase pada konsentrasi satu ppm secara langsung
atau mereduksi hasil oksidasi quinon menjadi bentuk fenolat sebelumnya,
sedangkan penggunaan vitamin C dapat mereduksi kembali quinon
berwarna hasil oksidasi (o-quinon) menjadi senyawa fenolat (o-difenol)
tak berwarna. Asam askorbat selanjutnya dioksidasi menjadi asam
dehidroaskorbat. Ketika vitamin C habis, komponen berwarna akan
terbentuk sebagai hasil reaksi polimerisasi dan menjadi produk antara yang
irreversibel. Jadi produk berwama hanya akan terjadi jika vitamin C yang
ada habis dioksidasi dan quinon terpolimerisasi.
b. Mengkontrol reaksi browning enzimatis dengan menambahkan enzim
mometiltransferase sebagai penginduksi.
c. Mengurangi komponen-komponen yang bereaksi browning melalui
deaktivasi enzim fenolase yang mengandung komponen Cu (suatu
kofaktor esensial yang terikat pada enzim PPO). Chelating agent EDTA
atau garamnya dapat digunakan untuk melepaskan komponen Cu dari
enzim sehingga enzim menjadi inaktif.
d. Pemanasan untuk menginaktivasi enzim-enzim. Enzim umumnya bereaksi
optimum pada suhu 30-40ºC. Pada suhu 45ºC enzim mulai terdenaturasi
dan pada suhu 60ºC mengalami dekomposisi.
e. Penambahan sulfit. Larutan sulfit bertujuan untuk mencegah terjadinya
browning secara enzimatis maupun non enzimatis, selain itu juga sulfit
berperan sebagai pengawet.
f. Pemberian asam sitrat. Asam sitrat adalah asam trikarboksilat yang tiap
molekulnya mengandung tiga gugus karboksilat. Selain itu ada satu gugus
hidroksil yang terikat pada atom karbon di tengah. Asam sitrat termasuk
67
asidulan, yaitu senyawa kimia yang bersifat asam dan ditambahkan pada
proses pengolahan makanan dengan berbagai tujuan.
Pencegahan Pencoklatan Enzimatik dengan menonaktifkan enzim polifenol
okoksidase (PFO)
Kecepatan perubahan pencoklatan enzimatis dapat dihambat oleh beberapa
inhibitor, biasanya cara yang dilakukan adalah perlakuan perendaman diantaranya
adalah dengan cara perendaman air, perendaman asam sitrat dan perendaman
sulfit. Perlakuan-perlakuan tersebut memiliki perbedaan kekuatan penghambatan
reaksi pencoklatan. Berikut akan dijelaskan sedikit tentang sulfit dan sitrat:
1) Sulfit
Senyawa sulfit sejak lama digunakan sebagai bahan pengawet makanan.
Sejarah mencatat bahwa bangsa Mesir kuno dan bangsa Romawi telah
menggunakan asap hasil pembakaran belerang untuk sanitasi dalam pembuatan
anggur. Ada dua tujuan yang diinginkan dari penggunaan sulfit, yaitu: (1) untuk
mengawetkan (sebagai senyawa anti mikroba), dan (2) untuk mencegah
perubahan warna bahan makanan menjadi kecoklatan (Muchtadi 1989).
Sulfit dapat mencegah timbulnya reaksi pencoklatan baik yang enzimatis
ataupun non enzimatis. Keampuhan sulfit dalam hal mencegah reaksi pencoklatan
dan sekaligus mengawetkan belum dapat disaingi oleh bahan kimia lain. Itulah
sebabnya mengapa sulfit luas sekali pemakaiannya. Misalnya untuk sayuran dan
buah-buahan kering, beku, asinan, manisan, sari buah, konsentrat, pure, sirup,
anggur minuman dan bahkan untuk produk-produk daging serta ikan yang
dikeringkan (Muchtadi 1989).
Gas belerang dioksida dan sulfit dalam tubuh akan dioksidasi menjadi
senyawa sulfat yang tidak berbahaya, yang kemudian akan dikeluarkan melalui
urin. Mekanisme detoksifikasi ini cukup mampu untuk menangani jumlah sulfit
yang termakan. Itulah sebabnya dalam daftar bahan aditif makanan, sulfit
68
digolongkan sebagai senyawa GRAS (generally recognized as safe) yang berarti
aman untuk dikonsumsi (Muchtadi 1989).
Namun demikian, dosis penggunaannya dibatasi, karena pada konsentrasi
lebih besar dari 500 ppm (bagian per sejuta), rasa makanan akan terpengaruhi.
Selain itu, pada dosis tinggi sulfit dapat menyebabkan muntah-muntah. Dan juga
senyawa ini dapat menghancurkan vitamin B1. Itulah sebabnya sulfit tidak boleh
digunakan pada bahan makanan yang berfungsi sebagai sumber vitamin B1
(Muchtadi 1989).
2) Sitrat
Asam sitrat merupakan senyawa intermediet dari asam organik yang
berbentuk kristal atau serbuk putih. Sifat-sifat asam sitrat antara lain: mudah larut
dalam air, spiritus, dan ethanol, tidak berbau, rasanya sangat asam, serta jika
dipanaskan akan meleleh kemudian terurai yang selanjutnya terbakar sampai
menjadi arang. Asam sitrat merupakan agen pengkelat. Asam sitrat menghambat
terjadinya pencoklatan karena dapat mengkompleks ion tembaga yang dalam hal
ini berperan sebagai katalis dalam reaksi pencoklatan. Selain itu, asam sitrat juga
dapat menghambat pencoklatan dengan cara menurunkan pH seperti halnya pada
asam asetat sehingga enzim PPO menjadi inaktif (Winarno, 1997).
69
4.4. Reaksi Pencoklatan Non Enzimatis
4.4.1.Hasil Pengamatan
Tabel 18. Efek kombinasi antioksidan terhadap kecepatan perubahan warna
Bahan Kontrol BHT As.Askorbat Na Bisulfat
Gula pasir 15 detik 54 detik 31 detik 37 detik
Tepung KH 22 detik 76 detik 45 detik 48 detik
Tepung protein
10 detik 13 detik 22 detik 12 detik
Tabel 19. Efek pH terhadap kecepatan perubahan warna
Bahan pH 5 pH 6 pH 7 pH 8
Gula pasir 1 menit 10 detik
1 menit 21 detik
48 detik 1 menit 11 detik
Tepung KH 36 detik 53 detik 45 detik 27 detik
Tepung protein
1 menit 5 detik
1 menit 24 detik
58 detik 1 menit
Tabel 20. Efek pH kombinasi antioksidan dan pH
70
Bahan pH 5 pH 6 pH 7 pH 8
Gula pasir 56 detik 1 menit 26 detik
1 menit 26 detik
1 menit 11 detik
Tepung KH 1 menit 16 detik
1 menit 3 detik
38 detik 22 detik
Tepung protein
2 menit 43 detik
1 menit 40 detik
2 menit 12 detik
1 menit 38 detik
4.4.2.Pembahasan
Reaksi pencoklatan non-enzimatis yaitu karamelisasi, reaksi Maillard, dan
pencoklatan akibat vitamin C. Namun, hanya akan dibahas karamelisasi dan
reaksi Maillard saja. Warna coklat karamel didapat dari pemanasan larutan
sukrosa dengan amonium bisulfat seperti yang digunakan pada minuman cola,
minuman asam lainnya, produk-produk hasil pemanggangan, sirup, permen, pelet,
dan bumbu kering. Larutan asam (pH 2-4,5) ini memiliki muatan negatif
(Fennema 1996). Terdapat tiga kelompok karamel, yaitu karamelan, karamelen,
dan karamelin, yang masing-masing memiki bobot molekul berbeda(Hartoyo A et
al 2010).
Reaksi Maillard terjadi antara gugus amin (asam amino) dan gula pereduksi
(gugus keton atau aldehidnya). Pada akhir reaksi terbentuk pigmen coklat
melanoidin yang memiliki bobot molekul besar. Reaksi yang diawali dengan
reaksi antara gugus aldehid atau keton pada gula dengan asam amino pada protein
ini membentuk glukosilamin. Selain gugus aldehid/keton dan gugus amino, faktor
yang memengaruhi reaksi Maillard, adalah suhu, konsentrasi gula, konsentrasi
amino, pH, dan tipe gula.
Berkaitan dengan suhu, reaksi ini berlangsung cepat pada suhu 100oC
namun tidak terjadi pada suhu 150oC. Kadar air 10-15% adalah kadar air terbaik
untuk reaksi Maillard, sedangkan reaksi lambat pada kadar air yang terlalu rendah
atau terlalu tinggi. Pada pH rendah, gugus amino yang terprotonasi lebih banyak
sehingga tidak tersedia untuk berlangsungnya reaksi ini. Umumnya molekul gula
71
yang lebih kecil bereaksi lebih cepat dibanding molekul gula yang lebih besar.
Dalam hal ini, konfigurasi stereokimia juga memengaruh, misalnya pada sesama
molekul heksosa, galaktosa lebih reaktif dibanding yang lain (Hartoyo A et al
2010).
4.5. Sifat Fungsional Protein
4.5.1. Hasil Pengamatan
Tabel 21 .Hasil Pengamatan Uji Titik Isoelektrik Protein
No
Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 0,01 N asam asetat (ml) 0 0 0 0 0 0
2 0,1 N asam asetat (ml) EK EK EK
3 1,0 N asam asetat (ml) K
4 Akuades (ml)
5 Kasein dalam 0,1 N asetat (ml)
Ket: 0 = Tidak ada perubahanK = Ada keruhanE = Ada endapan
Tabel 22. Hasil Pengamatan Pengaruh Temperatur
Suhu Pepsin 2% Bromelin
5°-10°C 5 menit 5 menit
40°-45°C 10 menit 7 menit
60°-65°C 18 menit 8 menit
75°-80°C 25 menit Tidak terjadi koagulasi
85°-90°C 28 menit 12 menit
72
Tabel 23. Hasil Pengamatan Pengaruh pH Protein
pH Waktu Koagulasi
5,5 ±0,1 16 detik
6,0 ±0,1 1 menit 40 detik
6,5 ±0,1 4 menit 37 detik
7,0 ±0,1 27 menit
8,0 ±0,1 37 menit
Tabel 24. Hasil Pengamatan Penambahan Kalsium
Susu segar Pepsin (1 ml) Bromelin (10 ml)
0,25 ml 5 menit 13 menit
0,50 ml 3 menit 12 menit 5 detik
0,75 ml 2 menit 12 menit
Kontrol (tanpa
CaCl₂)
31 menit 58menit
4.5.2. Pembahasan
Pengaruh Temperatur
Temperatur merupakan hal yang sangat penting untuk penjagaaan kualitas,
terutama pada bahan yang mengandung nilai gizi tinggi yaitu protein seperti yang
terdapat pada susu, telur dan bahan lainnya. Pada uji koagulasi ini setelah sampel
dipanaskan dengan temperatur yang berbeda-beda sesuai yang ada pada data,
73
sedikit demi sedikit mengalami mengalami kerusakan pada protein. Ketika
dipanaskan dengan suhu 85°C-90°C pada sampel yang ditambah dengan pepsin
cukup lama pada perubahan koagulasinya, namun pada sampel yang dicampur
dengan bromein tidak terjadi perubahan koagulasi yang disebabkan dengan
temperatur yang cukup panas.
Pengaruh pH
Pada praktikum ini untuk mengatur pH maka ditambahkan asam asetat 10%
atau NaOH 0.2 N sehingga pada masing-masing gelas dengan ukuran yang
berbeda-beda dihasilkan jumlah waktu yang berbeda-beda pula. Kemudian
masing-masing gelas piala tersebut dipanaskan sampai temperatur 40-42° C, lalu
ditambahkan 1 ml larutan enzim pepsin 2% sambil diaduk dengan cepat maka
akan membuka gugus reakif yang ada pada rantai polipeptida dan selanjutnya
akan terjadi pengikatan kembali pada gugus reaktif yang sama atau yang
berdekatan. Sehingga untuk menghasilkan pengaturan pada pH terjadi koagulasi
dengan waktu yang berbeda.
Pengaruh Penambahan Kalsium
Pengaruh penambahan kalsium sampai terjadinya waktu koagulasi cukup
lama dan banyaknya sampel juga mempengaruhi terjadinya koagulasi, sehingga
pada penambahan campuran pada sampel yaitu Pepsin (1 ml) dan Bromelin (10
ml) koagulasi lebih lama pada sampel yang ditambahkan Bromelin (10 ml)
dibandingkan dengan Pepsin (1 ml).
74
75
4.6. Mempertahankan Warna Daging
4.6.1 Hasil Pengamatan
Tabel 25. Perubahan warna daging tanpa pemanasan
Perlakuan Warna (coklat gelap, coklat, merah, merah terang)
Kecepatan pembentukan warna (detik)
4 5 6 7 4 5 6 7
pH Coklat
Merah
Merah
Coklat tua
30 detik
30 detik
30 detik
30 detik
Sendawa dan pH
Merah
Coklat pucat
Coklat pucat
17 detik
18 detik
7 detik
Vitamin C dan pH
Merah pucat
Merah pucat
Merah
20 detik
20 detik
20 detik
Sendawa, pH, Vit C
Coklat
Coklat gelap
Merah
28 detik
25 detik
32 detik
Tabel 26. Perubahan warna daging dengan pemanasan
Perlakuan Warna (coklat gelap, coklat, merah, merah terang)
Kecepatan pembentukan warna (detik)
4 5 6 7 4 5 6 7
pH Coklat tua Coklat Coklat tua
Coklat
tua
4 menit
4 menit
4 menit
4 menit
Sendawa dan pH
Coklat kemerahan
Coklat Coklat gelap
3 menit 4 detik
3 menit 10 detik
3 menit 12 detik
Vitamin C dan pH
Coklat keabuan
Coklat keabuan
Coklat tua
3 menit
3 menit
3 menit 38 detik
76
Sendawa, pH, Vit C
Merah gelap/
coklat
Coklat gelap
Coklat gelap
240 310 380
77
4.6.2 Pembahasan
Proses pemanasan dan oksidasi dapat menyebabkan perubahan warna
daging. Dari merah menjadi coklat. Oleh karena itu, untuk mempertahankan
warna merah dari daging dilakukan penggunaan bahan kimia garam nitrat dan
nitrit (sendawa) atau penggunaan antioksidan. Dalam pengolahan daging,
penggunaan sendawa tidak hanya ditujukan untuk mendapatkan warna daging
yang merah, tetapi juga untuk mendapatkan rasa dan bau (flavor) yang khas,
disamping itu sebagai pengawet tetapi penggunaannya harus dibatasi karena dapat
terbentuknya senyawa nitrosamine yang merupakan prekursor kanker.
Pemanasan menyebabkan protein globin terdenaturasi dan besi (II) akan
dioksidasi menjadi besi (III). Pigmen daging yang dimasak akan berwarna coklat
abu-abu dan disebut hemikrom atau metmioglobin terdenaturasi. Warna coklat
abu-abu ini merupakan warna khas daging segar yang dimasak. Jika didalam
daging yang dimasak terdapat senyawa pereduksi, maka besi (III) dapat direduksi
menjadi besi (II) dan menghasilkan hemokrom yang berwarna merah muda.
Mioglobin terdenaturasi pada suhu antara 80 – 85OC. Aplikasi antioksidan seperti
asam askorbat, asam sitrat, asam tokoferol dan sebagainya dapat membantu
mempertahankan warna. Selain itu, aplikasi nitrit dan nitrat juga dapat
mempertahankan warna merah daging. Pada pengolahan daging dengan
menggunakan garam nitrit (proses kuring), nitrit akan bereaksi dengan heme
membentuk kompleks nitrit-heme yang disebut nitrosomioglobin berwarna merah
gelap. Bentuk nitrosomioglobin tidak terlalu stabil dan bisa teroksidasi menjadi
bentuk metmioglobin. Proses pemanasan akan mendenaturasi bagian globin
membentuk nitrosohemokrom yang stabil. Nitrosohemokrom ini menghasilkan
warna merah muda yang merupakan warna utama daging curing.
78
Daging merupakan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral. Daging
segar mudah mengalami kerusakan oleh mikroorganisme sehingga daging harus
diberi pengawet. Salah satu cara pengawetan daging yaitu curing. Proses curing
membutuhkan NaCl, Na-nitrit, Na-nitrat, dan bahan lain yang dapat menambah
cita rasa. Fungsi nitrit adalah menstabilkan warna merah daging, dan menghambat
pertumbuhan bakteri pembusuk. Tetapi nitrit merupakan prekusor dari nitrosamin
yang bersifat karsinogenik. sumber vitamin C diharapkan mampu untuk
menurunkan residu nitrit dan dapat mempertahankan warna merah daging.
4.7. Karakteristik Karbohidrat
4.7.1.Hasil Pengamatan
Tepung Ketan Tepung Terigu
Tepung Jagung Tepung Tapioka
Tepung Beras
Gambar 4. Granula Pati Secara Mikroskopis
79
Tepung Ketan Tepung Terigu
Tepung Jagung Tepung Tapioka
Tepung Beras
Gambar 4. Gelatinasasi Secara Mikroskopis
4.7.2.Pembahasan
Berbeda (1 sampai 100 um) tergantung pada jenis tanamannya. Granula tersebut ada yang berkemlompok dan sendiri-sendiri. Karena adanya perbedaan bentuk, ukuran dan letak vilum dari granula pati, maka pengenalan jenis-jenis pati dapat dilakukan secara mikroskopis.
Gelatinisasi Pati
Pati mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, sehingga sering digunakan untuk pengental dalam pengolahahan makanan. Sifat-sifat ini akan mempengaruhi tekstur dari makanan, dan pengaruhnya mempunyai kaitan erat dengan perubahan-perubahan sifat yang dialami granula pati selama pemanasan dalam air.
Perubahan yang terjadi pada granula pati selama pemanasan dalam air sebagai berikut:
80
a) Zat pat umumya mengandung air 8-12%, tergantung dari jenis pati dan kelembaban udara sekitar. Karena zat pati terdiri dari molekul-molekul glukosa yang banyak mengandung gugus OH (hidroksi), maka zat pati mudah sekali mengikat air melalui ikatan hydrogen, sehingga akan mengakibatkan letak rantai molekul berjauhan. Bila dilihat dibawah mikroskop akan tampak pengembangan atau pembekakakn granula.
b) Granula pati tidak larut dlam air dingin, tapi mampu mengabsorbsi air sampai 30%, proses ini bersifat reversible
c) Bila suspense pati dipanaskan, maka pada kisaran suhu tertentu akan tampak granula-granula pati membengkak karena menyerap air dengan cepat, sehingga viskositas larutan meningkat. Bila pemanasan dilanjutkan, maka granula pati akan pecah ditandai dengan menurunna viskositas. Proses ini bersifat ireversibel. Kisaran suhu yang menunjukan gejala-gejala tersebut dinamakan suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh jenis pati, ukuran granula, dan faktor-faktor lingkungan (garam, gula, dll)
Hidrolisis Pati
Aplikasi pati dalam pengolahan pangan memiliki beberapa kekurangan, diantaranya tidak larut dalam air dingin, viskositas rendah dan pengenalan setelah mengalami pemasakan, selain itu terjadi retrogradasi dari pati gelatinisasi menyebabkan sineresisi atau pemisahan air dalam sistem pangan. Hidrolisis adalah salah satu upaya untuk memodifikasi pati dalam upaya memperbaiki kekurangan tadi, sehingga granula pati stabil selama proses pengolahan dan untuk membuat pati cocok untuk diaplikasikan pada berbagai makanan dan industri.
4.8. Emulsi
4.8.1.Hasil Pengamatan
81
4.8.1.1.Struktur Emulsi Secara Mikroskopis
Susu Minyak
Mentega Margarine
Mayonnaise
Gambar 5. Struktur Mikroskopis dari Emulsi
4.8.1.2. Stabilitas Relatif Zat Pengemulsi
82
Tabel 27. Stabilitas Relatif Zat Pengemulsi
No Minyak + Asetat + … Hasil
1 Garam Lapisan terpisah sempurna
2 Kuning telur Lesithin tidak terlalu terpisah karena pada
kuning telur terdapat zat hidrofobik dan
hidrofilik
3 Detergen Minyak tidak terlihat
4.8.1.3.Menentukan Jenis Emulsi
Susu
(oil in water)
Margarine
(water on oil)
Mentega
83
(water on oil)
Gambar 6. Jenis Emulsi Secara Mikroskopis
4.8.1.4.Pengaruh Pemanasan dengan Emulsi
Tabel 28. Pengaruh Pemanasan Emulsi
Mentega Warna kuning jernih
Ada endapan terpisah warna putih
Kembali ke bentuk semula
Margarine Warna kuning keruh
Tidak ada endapan
Kembali ke bentuk semula
Mayonnaise Emulsi stabil, tidak berubah/tetap
4.8.2.Pembahasan
Lemak dan minyak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan
kandungan yang berbeda-beda. Tetapi lema dan minyak sering kali ditambahkan
dengan sengaja ke bahan makanan dengan berbagai tujuan. Dalam pengolahan
bahan pangan, minyak dan lemak berfungsi sebagai media penghantar panas,
seperti minyak goreng, mentega putih, mentega, dan margarine. Selain itu,
penambahan lemak dimaksudkan untuk menambah kalori serta memperbaiki
tekstur dan citarasa.
Lemak berasal dari hewani dan tumbuhan (nabati). Lemak hewani banyak
mengandung sterol yang disebut kolesterol, sedangkan pada lemak nabati
84
mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh
sehingga umumnya berbentuk cair.
Adanya pigmen menyebabkan lemak berwarna. Warna lemak tergantung
dari macam pigmennya. Adanya karotenoid menyebabkan warna kuning
kemerahan. Karotenoid sangat larut dalam minyak dan merupakan hidrokarbon
dengan banyak ikatan tidak jenuh. Bila minyak dihidrogenisasi maka akan terjadi
hidrogenisasi karotenoid dan warna merah akan berkurang. Selain itu, perlakuan
pemanasan juga akan mengurangi warna pigmen, karena karotenoid tidak stabil
pada suhu tinggi. Inilah sebab pada margarine saat dipanaskan warnanya menjadi
keruh karena mengandung banyak ikatan tidak jenuh, tidak seperti mentega
(lemak hewani).
Lemak dan minyak termasuk ke dalam kelompok senyawa yang disebut
lipida, yang pada umumnya mempunyai sifat sama yaitu tidak larut dalam air.
Dalam penanganan dan pengolahan bahan pangan, perhatian lebih banyak
ditujukan pada suatu bagian dari lipida, yaitu trigliserida atau neutral fat. Lemak
merupakan bahan padat dalam suhu kamar, sedang minyak dalam bentuk cair
dalam suhu kamar, tetapi keduanya terdiri dari molekuk-molekul trigliserida.
Lemak mengandung asam lemak jenuh tinggi secara kimia tidak mengandung
ikatan rangkap, sehingga mempunyai titik lebur yang tinggi. Minyak memiliki
kandungan asamlemak jenuh yang rendah dan tingginya kandungan asam lemak
tidak jenuh, yang memiliki satu atau lebih ikatan rangkap di antara atom-atom
karbonnya, sehingga mempunyai titik lebur yang rendah.
Titik keruh ditentukan dengan cara memanaskan minyak dan ditambah
pelarut sampai terlarut sempurna, kemudian didinginkan. Pada suhu tertentu,
campuran mulai terpisah dan akan terjadi kekeruhan. Suhu itu disebut titik keruh.
Pelarut yang digunakan pada saat praktikum adalah asam asetat. Titik keruh ini
tergantung dari adanya asam lemak bebas. Lemak dan minyak yang baik
digunakan untuk pembuatan minyak goreng adalah oleo, stearin, oleo oil, lemak
babi, atau lemak nabati.
Lemak dari susu dapat dipisahkan dari komponen lain dengan baik melalui
proses pengocokan atau churning. Dengan cara tersebut, secara mekanik film
85
protein di sekeliling globula lemak retak dan pecah, sehingga memungkinkan
globula lemak menggumpal dan menyusup ke permukaan. Mentega sendiri
memiliki emulsi air dalam minyak dengan kira-kira 18% air terdispersi di dalam
80% lemak dengan sejumlah protein yang bertindak sebagai zat pengemulsi
(emulsifier).
Margarine meerupakan pengganti mentega dengan rupa, konsistensi, rasa,
dan nilai gizi yang hampir sama. Margarine juga merupakan emulsi air dalam
minyak, dengan persyaratan mengandung tidak kurang 80% lemak. Lemak yang
digunakan dimurnikan terlebih dahulu, kemudian dihidrogenisasi sampai
mendapat konsistensi yang diinginkan. Lemak diaduk, diemulsikan dengan susu
skim yang telah dipasteurisasi, dan diinokulasi dengan bakteri yang sama seperti
pada pembuatan mentega. Sesudah diinokulasi 12-24 jam sehingga terbentuk
emulsi sempurna, kadang-kadang ditambahkan emulsifier seperti lesitin, gliserin,
atau kuning telur.
Mayonnaise adalah bahan pangan berupa emulsi setengah padat yang dibuat
dari minyak nabati, cuka/lemon juice, kuning telur, dan bumbu lainnya.
Mayonnaise merupakan emulsi minyak dalam air dengan kuning telur yang
berfungsi sebgai emulsifier. Pada dasarnya paling sedikit sepertiga kuning telur
terdiri dari lemak, tetapi yang menyebabkan daya emulsifier yang kuat adalah
kandungan lesitinnya yang terdapat dalam bentuk kompleks sebagai lesitin-
protein. Lecithin adalah istilah umum pada setiap kelompok warna kecoklatan dan
zat-kuning lemak yang terdapat pada hewan dan jaringan tumbuhan, serta kuning
telur yang terdiri dari asam fosfat, kolin, asam lemak, gliserol, glycolipids,
trigliserida, dan fosfolipid (misalnya, fosfatidilkolin, phosphatidylethanolamine,
dan phosphatidylinositol).
86
V
KESIMPULAN
Penyimpanan telur dapat mengurangi nilai kualitas telur maupun gizinya
seiring dengan waktu penyimpanan yang dilakukan. Sehingga diperlukan
perlakuan penyimpanan yang baik untuk menjaga kualitas telur. Selain itu,
sebaiknya telur yang akan dikonsumsi tidak terlalu lama disimpan.
Modifikasi komposisi udara dilakukan dengan menurunkan kadar oksigen
dan atau meningkatkan kandungan karbon dioksida (CO2). Udara yang semakin
menipis kandungan oksigennya serta semakin meningkat kandungan karbon
dioksida akan mengakibatkan menurunnya laju aktivitas pernapasan dari komoditi
segar seperti telur.Telur dibungkus dilapisi oleh kerabang yang berfungsi sebagai
pelindung terhadap gangguan fisik. Lapisan kerabang juga mampu berfungsi
untuk pertukaran gas untuk respirasi (pernafasan).
Reaksi pencoklatan dalam bahan pangan dapat dihambat oleh beberapa
perlakuan, yaitu : perendaman air, perendaman pada larutan asam sitrat, dan pada
larutan sulfit. Berdasarkan hasil penelitian beberapa kelompok, inhibitor
pencoklatan enzimatis yang paling baik adalah sulfit atau asam sitrat , lalu
perendaman air, dan yang paling cepat mengalami pencoklatan adalah yang
langsung terkena udara luar. Faktor-faktor yang dapat pengaruhi kecepatan
pencoklatan, yaitu: 1) penggunaan jenis pisau untuk memotong, 2) jenis larutan
perendaman, 3) ukuran potongan bahan, 4) sterilnya alat yang digunakan, dan 5)
higinitas operator. Penggunaan perendaman dengan suatu memang dapat
mencegah pencoklatan, tapi kita harus mengetahui dulu apakah layak dimakan
atau tidak, penggunaan dosis larutannya, sebab keamanan pangan adalah hal yang
paling penting dalam mengkonsumsi suatu makanan.
87
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Proses Browning pada Bahan Pangan dan Pencegahannya.
http://lordbroken.wordpress.com/2011/09/24/proses-browning-pada-
bahan-pangan-dan-pencegahannya/ . Diakses pada 21 Mei 2013, Makassar.
Buku Ajar Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran: Sumedang. Tim Dosen. 2012.
Fennema OR. 1996. Food Chemistry. New York: Marcell Dekker Inc.
Gunawan.2010.Asam Amino.Terhubung berkala (http://www.scribd.com/doc/12936574/ Asam-Amino-Non-Esensial) diakses 21 Mei 2013
Guntoro, Suprio dan I Made Rai Yasa. 2005. Penggunaan Limbah Kakao Terfermentasi Untuk Pakan Ayam Buras Petelur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 8, No. 2 edisi Juli : Balai PengkajianTeknologi Pertanian Bali. Hantoro, Agustinus. dkk., 2002.
Kusmiadi, R. 2008. Mengapa Apel Berwarna Coklat Setelah Dikupas. Tersedia: http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Mengapa%20Apel%20Ber
warna%20Coklat%20Setelah%20diKupas&&nomorurut_artikel=150
Mewaspadai Penanganan Telur Ayam. Jurnal DimensiVol.5, No.2 edisi Juni : Warta Sains dan Teknologi ISTECS-Japan.Haryoto. 1996.
Muchtadi, D. 1989. Sulfit Dipermasalahkan dan Nitrit Dikurangi?. Tersedia: http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_sulfit.php .
Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Penebar swadaya :Jakarta.
Pengawetan Telur Segar. Penerbit Kanisius : Yogyakarta.Sarwono, B. 1996.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press :
Tanti.2009.Protein.Terhubung berkala (http://id.shvoong.com/exactsciences/biology/1902571-Protein) diakses 21 Mei 2013
Vaclavik, Vickie. A dan Elizabeth W. Cristian. 2008. Essential of Food Science
Third Edition. Springer Science + Business Media : New York
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta
Yogyakarta.