BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini
adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri untuk
memproduksi kembali dirinya. Asal dari HIV tidak jelas, penemuan kasus awal
adalah dari sampel darah yang dikumpulkan tahun 1959 dari seorang laki–laki dari
Kinshasa di Republik Demokrat Congo. Tidak diketahui bagaimana ia terinfeksi
(Djausi, 2001).
Saat ini terdapat dua jenis HIV: HIV–1 dan HIV–2. HIV–1 mendominasi
seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah. Keturunan yang berbeda–beda
dari HIV–1 juga ada, mereka dapat dikategorikan dalam kelompok dan sub–jenis
(clades). Terdapat dua kelompok, yaitu kelompok M dan O. Dalam kelompok M
terdapat sekurang–kurangnya 10 sub–jenis yang dibedakan secara turun temurun.
Ini adalah sub–jenis A–J. Sub–jenis B kebanyakan ditemukan di America, Japan,
Australia, Karibia dan Eropa. Sub–jenis C ditemukan di Afrika Selatan dan India.
HIV–2 teridentifikasi pada tahun 1986 dan semula merata di Afrika Barat. Terdapat
banyak kemiripan diantara HIV–1 dan HIV–2, contohnya adalah bahwa keduanya
menular dengan cara yang sama, keduanya dihubungkan dengan infeksi–infeksi
oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada orang yang terinfeksi dengan HIV–2,
ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh terlihat berkembang lebih lambat
dan lebih halus. Dibandingkan dengan orang yang terinfeksi dengan HIV–1, maka
mereka yang terinfeksi dengan HIV–2 ditulari lebih awal dalam proses
penularannya (Djausi, 2001).
HIV dapat menular melalui kontak darah, namun disini kami akan mencoba
membahas bagaiamana HIV AIDS dan bagaimana melakukan sebuah proses
keperawatan pada penderita dengan HIV AIDS (Kuswayan. 2009).
1
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mahasiswa mengetahui pengertian HIV/AIDS, penyebab, dan patofisiologinya.
2. Mahasiswa mengetahui gejala klinis HIV/AIDS, komplikasinya, serta
penatalaksanaan medis dari HIV/AIDS.
3. Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami
HIV/AIDS.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Pengertian
HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif
lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma
penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama karena penurunan
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang
menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab
yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi tersebut sepertii
keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan
sebagainya (Laurentz ,1997 ).
AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem
kekebalan tubuh manusia (Wartono, 1999).
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh ( Syahlan, 1997).
Infeksi pada kehamilan adalah penyebab morbiditas ibu dan neonatal yang
sudah diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan dalam makalah ini akan dibahas
mengenai penyakit infeksi yang sering ditemukan yang dapat terjadi dalam
kehamilan (Kuswayan, 2009).
2.2. Etiologi
Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human
immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983
sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi
retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang
pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya
disebut HIV.
3
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes
illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam
hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist.
Cara penularan HIV:
1. Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah
terinfeksi. Kondom adalah satu–satunya cara dimana penularan HIV dapat
dicegah.
2. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana
darah tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang
tidak steril.
3. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan
seseorang yang telah terinfeksi.
4. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa
kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui.
Penularan secara perinatal
1. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang
dikandungnya.
2. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena pada
saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga
virus dari ibu dapat menular pada bayi.
4
3. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewktu berada dalam kandungan
atau juga melalui ASI
4. Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI
Kelompok resiko tinggi:
1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi (Ida, 2010).
2.3. Macam infeksi HIV
Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi
menjadi tiga Tahap :
1. Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam jaringan
limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti serokonversi dan
pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel T antivirus. Secara
klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri dengan nyeri tenggorok,
mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik. Keseimbangan klinis dan jumlah
CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam waktu 6-12 minggu.
2. Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan
replikasi. virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan CD4+
secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran kelenjar
limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai beberapa
tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit, kelelahan, dan
viremia. Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun.
3. Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh
penderita secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat badan,
diare, infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini umumnya
dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat menganggap
5
semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200
sel/µl sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum terlihat. ( Robbins,
1998).
2.4. Patofisiologi
HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan
dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus
dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah
menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut
reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia,
yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut
mulai menghasilkan virus–virus HI.
Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus
yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas
dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah
proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan
tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi dan
penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut
dari orang ke orang.
Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–
sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut
mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya.
Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200
sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya
terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi
oportunistik.
Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem
kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–
infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang
pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal (Wirya, 2003).
6
PATHWAY
7
Virus HIV Immunocompromise
Menyerang T Limfosit, sel saraf, makrofag, monosit, limfosit BMerusak seluler
Flora normal patogen
Organ target
Manifestasi oral Respiratori
Invasi kuman patogen
Manifestasi saraf Gastrointestinal
Lesi mulut
Dermatologi
Nut
risi
inad
ekua
t
Sensori
Penyakit anorektal
HepatitisEnsepalopati akut Gangguan penglihatan
dan pendengaran
Disfungsi biliari
Diare Gatal, sepsis, nyeri
Infeksi
Kompleks demensia
Cai
ran
berk
uran
g
Gan
ggua
n m
obil
isas
i
Akt
ivit
as in
tole
rans
Gan
ggua
n ra
sa n
yam
an :
nyer
i
hipe
rter
mi
Cai
ran
berk
uran
g
Nut
risi
inad
ekua
t
Gan
ggua
n ra
sa n
yam
an :
nyer
i
Gan
ggua
n po
la B
AB
Tid
ak e
fekt
fi b
ersi
han
jala
n na
pas
Tid
ak e
fekt
if p
ol n
apas
Gan
ggua
n bo
dy im
agea
pas
Gan
ggua
n se
nsor
i
HIV- positif ?
Reaksi psikologis
2.5. Gejala HIV AIDS
1. Gejala mayor
a. BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis
d. Demensia / HIV Ensefalopati
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalist
c. Adanya herpes zoster yang berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Herpes simplex kronik progresif
f. Limfadenopati generalist
g. Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita
Retinitis Cytomegalovirus (Djausi, 2001).
2.6. Pemeriksaan diagnostik
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
- ELISA
- Western blot
- P24 antigen test
- Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
- Hematokrit.
- LED
- CD4 limfosit
- Rasio CD4/CD limfosit
- Serum mikroglobulin B2
Hemoglobulin (Djausi, 2001).
8
2.7. Pengobatan
Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS
tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat
yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara
medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap
HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu
kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai
terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini
dapat mengunakan:
1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan
pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan
dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat
reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu
enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam
memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk:
Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan
dilepaskan.
Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang
mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan,
persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan,
kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan
terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi
penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–obatan tersebut adalah:
1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28
minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini
menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai
9
pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu
rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi
telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan
Lamivudine (3TC)
2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan
dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa
dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya
digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa
persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat
antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari,
untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik
melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan
permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk
menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu
diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan
untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan
memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP
termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah
memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP
yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi
yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam,
sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai
pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak
merekomen dasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal
ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat
dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman
10
2.8. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Biodata Klien
2. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon
imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum
berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia
aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit
seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status
imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta
terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )
Terapi radiasi, defisiensi nutrisi, penuaan, aplasia timik, limfoma,
kortikosteroid, globulin anti limfosit, disfungsi timik congenital.
Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia congenital,
protein liosing enteropati (peradangan usus)
3. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Subyektif)
a) Aktifitas / Istirahat
- Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola
tidur.
- Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi
aktifitas ( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).
b) Sirkulasi
- Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada
cedera.
11
- Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer,
pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
c) Integritas dan Ego
- Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan
penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
- Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d) Eliminasi
- Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa
kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
- Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat
dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal,
perubahan jumlah, warna dan karakteristik urine.
e) Makanan / Cairan
- Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
- Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi
yang buruk, edema
f) Hygiene
- Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
- Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g) Neurosensoro
- Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan status
indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.
- Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak
normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
h) Nyeri / Kenyamanan
- Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada
pleuritis.
- Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan
gerak,pincang.
12
i) Pernafasan
- Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak
pada dada.
- Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya
sputum.
j) Keamanan
- Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse darah,penyakit
defisiensi imun, demam berulang,berkeringat malam.
- Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya
nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan
umum.
k) Seksualitas
- Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi, menurunnya
libido, penggunaan pil pencegah kehamilan.
- Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.
l) Interaksi Sosial
- Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian,
adanya trauma AIDS.
- Tanda : Perubahan interaksi.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a) Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih
bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk
mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau
perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
Serologis
- Tes antibody serum
13
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif,
tapi bukan merupakan diagnosa
- Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
- Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
- Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
- T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8
ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
- P24 ( Protein pembungkus HIV)
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
- Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal
- Reaksi rantai polimerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer
monoseluler.
- Tes PHS
Kapsul hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif
Neurologis
- EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
- Tes Lainnya
- Sinar X dada
- Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau
adanya komplikasi lain
- Tes Fungsi Pulmonal
- Deteksi awal pneumonia interstisial
14
- Skan Gallium Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk
pneumonia lainnya.
- Biopsis
- Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
- Bronkoskopi / pencucian trakeobronkial Dilakukan dengan biopsy pada waktu
PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka
system imun akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus
tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa
sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi
awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak
efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan
evaluasi diagnostic. Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA)
memberi lisensi tentang uji kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi
semua pendonor darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu :
- Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)
Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus
Human Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa
AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya
terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.
- Western Blot Assay
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)
- Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas.
- Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )
15
Mendeteksi protein dari pada antibody.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola
hidup yang beresiko.
2. Resiko tinggi penularan infeksi pada bayi berhubungan dengan adanya
kontak darah dengan bayi sekunder terhadap proses melahirkan.
3. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan output cairan
berlebih sekunder terhadap diare
4. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen,
malnutrisi, kelelahan.
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat
gizi.
6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan
yang orang dicintai.
16
C. Rencana Keperawatan
No DiagnosaTujuan dan Kriteria
hasilIntervensi Rasional
1 Resiko tinggi infeksi
berhubungan dengan
imunosupresi, malnutrisi
dan pola hidup yang
beresiko.
Pasien akan bebas
infeksi setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama
3×24 jam dengan
kriteria hasil:
- Tidak ada luka atau
eksudat.
- Tanda vital dalam
batas normal
(TD=110/70, RR=16-
24, N=60-100, S=36-
37)
- Pemeriksaan leukosit
normal (6000-10000)
1. Monitor tanda-tanda
infeksi baru.
2. gunakan teknik aseptik
pada setiap tindakan invasif.
Cuci tangan sebelum
meberikan tindakan.
3. Anjurkan pasien metoda
mencegah terpapar terhadap
lingkungan yang patogen.
4. Kumpulkan spesimen
untuk tes lab sesuai order.
5. Atur pemberian
antiinfeksi sesuai order
1. Untuk pengobatan dini
2. Mencegah pasien terpapar
oleh kuman patogen yang
diperoleh di rumah sakit.
3. Mencegah bertambahnya
infeksi
4. Meyakinkan diagnosis
akurat dan pengobatan
5. Mempertahankan kadar
darah yang terapeutik
2 Resiko tinggi infeksi
(kontak pasien)
Infeksi HIV tidak
ditransmisikan setelah
1. Anjurkan pasien atau
orang penting lainnya
1. Pasien dan keluarga mau
dan memerlukan
17
berhubungan dengan infeksi
HIV, adanya infeksi
nonopportunisitik yang
dapat ditransmisikan.
dilakukan tindakan
keperawatan selama
3×24 jam dengan
kriteria hasil:
- kontak pasien dan tim
kesehatan tidak
terpapar HIV
- Tidak terinfeksi
patogen lain seperti
TBC.
metode mencegah transmisi
HIV dan kuman patogen
lainnya.
2. Gunakan darah dan
cairan tubuh precaution bial
merawat pasien. Gunakan
masker bila perlu.
informasikan ini
2. Mencegah transimisi infeksi
HIV ke orang lain
3 Resiko tinggi defisit volume
cairan berhubungan dengan
output cairan berlebih
sekunder terhadap diare
Defisit volume cairan
dapat teratasi setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama
1×24 jam dengan
criteria hasil:
- perut lunak
- tidak tegang
- feses lunak, warna
normal
1. Kaji konsistensi dan
frekuensi feses dan adanya
darah.
2. Auskultasi bunyi usus
3. Atur agen antimotilitas
dan psilium (Metamucil)
sesuai order
4. Berikan ointment A dan
D, vaselin atau zinc oside
1. Mendeteksi adanya
darah dalam feses
2. Hipermotiliti mumnya
dengan diare
3. Mengurangi motilitas
usus, yang pelan,
emperburuk perforasi pada
intestinal
4. Untuk menghilangkan
18
- kram perut hilang, distensi
D. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko, atau potensial. Kemudian dilakukan tindakan
keperawatan yang sesuai berdasarkan NCP.
E. Evaluasi
Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai kriteria hasil, sehingga dapat diputuskan apakah
intervensi tetap dilanjutkan, dihentikan, atau diganti jika tindakan yang sebelumnya tidak berhasil (Doengoes, 2000).
19
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif
lama dapat menyebabkan AIDS. Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang
disebut human immunodeficiency virus (HIV). Cara penularan HIVmelakukan
penetrasi seks, melalui darah yang terinfeksi, dengan mengunakan bersama jarum
untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah terinfeksi, wanita hamil.
Penularan secara perinatal terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena
pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga
virus dari ibu dapat menular pada bayi.
Kelompok resiko tinggi: lelaki homoseksual atau biseks, orang yang ketagian
obat intravena, partner seks dari penderita AIDS, penerima darah atau produk darah
(transfusi), bayi dari ibu/bapak terinfeksi. Gejala mayor infeksi HIV adalah BB
menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan, diare kronik yang berlangsung lebih dari 1
bulan, penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis, demensia / HIV
ensefalopati. Gejala minor: batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalist,
adanya herpes zoster yang berulang, kandidiasis orofaringeal, herpes simplex
kronik progresif, limfadenopati generalist,
infeksi jamur berulang pada kelamin wanita, retinitis cytomegalovirus.
3.2. Saran
Dengan dibuatnya makalah HIV, diharapkan nantinya akan memberikan
manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan
bagaimana melakukan sebuah proses asuhan keperawatan terutama pada penderita
HIV.
20
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I
Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta
Djausi, Samsu Rizal. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ketiga. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Duarsa, N. Wirya. 2003. Penyakit Menular seksual Edisi kedua Jakarta :FKUI
Carpenito, Lynda Juall; 2001. Diagnosa Keperawatan Edisi tujuh. Jakarta,
EGC
Kuswayan. 2009. Apa itu HIV/AIDS?. http://www.kswann.com/WhatisHIVAIDS.pdf.
Lamongan, 10 Desember 2010. 13.00 WIB (access online)
Yati, Ida. 2010. AIDS pada ibu hamil. http://www.docstoc.com/docs/. Lamongan, 10
Desember 2010. 13.10 WIB (access online)
Administrator. 2010. Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi HIV (AIDS) pada
kehamilan.http://www.mkb-online.org/
21