2 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
REFLEKSI 2019
Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 telah terselenggara. Pemilu sebagai bentuk
demokrasi prosedural, telah menghasilkan pemerintahan baru, yakni Presiden dan Wakil
Presiden, DPR, DPD, dan DPRD diseluruh wilayah Indonesia. Namun Pemilu 2019 masih
menyisakan pekerjaan rumah yang belum usai, juga memberikan tantangan baru bagi
pemerintahan terpilih dalam penyelenggaraan negara yang demokratis dan konstitusional.
Pertama, Pemilu 2019 masih menyisakan residu penegakan hukum pemilu.
Dilantiknya Anggota DPR dan DPRD periode 2019 – 2024, tidak serta merta menjadi
penanda pemilu telah usai sepenuhnya. Muncul sengketa hukum yang mestinya tuntas
sebagai bagian dari proses penegakan hukum pemilu. Seperti penentuan caleg terpilih
(PAW PDIP) dan kasus pergantian caleg terpilih (Gerindra – Mulan Jamela dkk),
seharusnya diselesaikan dalam perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi yang merupakan
penanda telah berakhirnya pemilu. Akan tetapi, justru muncul sempalan sempalan
mekanisme diluar prosedur hukum yang telah ditentukan dalam UU Pemilu.
Atas kondisi penegakan hukum pemilu itu, KODE Inisiatif melakukan assessment awal,
atas penerapan electoral justice system di Indonesia. Assesment yang menggunakan
istrumen panduan International IDEA ini, secara menyeluruh melingkupi 40 pertanyaan
mengenai prinsip penegakan hukum, kelembagaan, waktu penanganan, dan lainnya.
Hasilnya, ada 6 persoalan yakni sebagai berikut:
1. Tumpang Tindihnya Kewenangan Lembaga Penegakan Hukum Pemilu
Seperti kewenangan Bawaslu menangani pelanggaran administrasi dalam
proses rekapitulasi hasil pemilu dengan kewenangan MK menyelesaikan
perselisihan hasil pemilu. Penanganan sengketa pencalonan (kasus OSO), antara
MK, MA, dan PTUN. Sengketa hasil pemilu antara MK dengan Mahkamah Partai dan
Pengadilan Negeri (Mulan Jamela cs). Batasan kewenangan masing-masing mesti
dipertegas sehingga persinggungan kewenangan semakin jelas dan tidak tumpang
tindih. Komitmen kelembagaan yang memang akan sulit jika masing-masingnya
merasa memiliki kewenangan untuk menyelesaikan.
2. Minimnya Pendidikan Keahlian bagi Bawaslu sebagai Lembaga EJS
Pejabat Bawaslu (keanggotaan maupun pendukung) diberbagai tingkatan belum
mendapatkan pendidikan secara berkelanjutan dan intensif terkait dengan tugas
dan fungsinya. Umumnya setelah terpilih, pejabat Bawaslu langsung dibebankan
dengan pelaksanaan tugas rutin dalam penanganan pelanggaran dan menjadi
pemutus (hakim) dalam sengketa pemilu. Karena itu, kedepan perlu dibangun
pendidikan secara intensif bagi pejabat Bawaslu dalam penegakan hukum pemilu.
3 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
3. Penegakan Etika Penegak Hukum Pemilu oleh DKPP dan majelis etik lainnya.
Penegakan etik lembaga penegak hukum pemilu (EJS) yakni Bawaslu dan KPU
telah berjalan, melalui DKPP untuk tingkat kabupaten hingga pusat. Namun proses
penanganan kode etik cenderung tidak memiliki batasan waktu yang jelas bahkan
cenderung lama. Begitu juga penanganan etik oleh kelembagaan lainnya yang
terlibat dalam penegakan hukum pemilu seperti MK, PN, PT, PTUN, MA, serta
penegak hukum lainnya. Karena itu, kedepan perlu penataan penangaan etik
kelembagaan EJS agar sesuai sifat penyelenggaraan pemilu yang cepat dengan
limitasi waktu terbatas.
4. Proses Penegakan Hukum Murah dan Aksessibel
Prinsip pengajuan laporan dan permohonan tidak dipungut biaya, baik di
Bawaslu, DKPP maupun Mahkamah Konstitusi. Lembaga EJS juga sudah
melaksanakan prinsip pelayanan yang sama untuk semua pihak. Hal ini ditunjukkan
dengan diperlakukannya para pihak secara adil tanpa memandang suku, agama, ras
dan kelompok gender tertentu. Seluruh proses penegakan hukum pemilu juga dapat
diakses dengan mudah oleh public.baik itu melalui siaran langsung, online bahkan
public dapat menyaksikan ditempatnya secara langsung. Putusan atas proses
seperti Putusan DKPP dan MK dapat langsung diakses. Namun pekerjaan rumah
bagi Bawaslu, belum memiliki system publikasi putusan sengketa yang terintegrasi
dan cepat untuk seluruh jenjang.
5. Transparansi Proses namun Belum Mampu Memberikan Perlindungan Bagi
Pemilih
Sistem pelaporan pelanggaran dan sengketa, tidak memiliki sistem perlindungan
dan kerahasiaan pelapor. Sistem yang dibangun tidak didesain untuk memberikan
perlindungan dan mengakomodir kerahasiaan pelapor, namun baru sebatas
berorientasi pada upaya meningkatkan partisipasi untuk melaporkan dugaan
pelanggaran.
6. Akuntabilitas vs Timeliness
Penegakan hukum pemilu berorientasi pada kecepatan proses. Namun juga
menuntut akuntabilitas baik proses maupun mekanisme penanganan, serta sangat
rigit dan kaku.
4 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
575
135
2206
17610
DPR RI
DPD RI
DPRD Prov
DPRD Kab/Kota
Sumber: Data KPU, diolah KODE Inisiatif
Kedua, konteks pelaksanaan demokrasi substansial, muncul harapan bahwa
pemerintahan baru mampu menerjemahkan kehendak publik melalui penyelenggaraan
Negara yang demokratis dan konstitusional. Pemilu 2019, telah menghasilkan 1 orang
pasang calon Presiden dan Wakil Presiden, 575 Anggota DPR, 135 Anggota DPD, serta
2.206 Anggota DPRD di 34 Propinsi, dan 17.610 Anggota DPRD di 512 Kabupaten/Kota.
Namun tantangannya, Pemilu
2019 telah menghasilkan peta koalisi
partai politik yang tidak berimbang,
tersentralisasi pada kekuatan pendukung
pemerintah terpilih. Sentralisasi partai
politik pada satu kekuatan, bisa menjadi
tantangan sendiri.
Satu sisi, kebijakan pemerintahan
akan sangat efektif dan mudah untuk
dibangun. Namun disisi lainnya,
pengambilan kebijakan tanpa kontrol
yang berimbang justru dapat
menjerumuskan pemerintahan dengan
menghasilkan kebijakan yang tidak
responsif (Philippe Nonet dan Philip
Selznick, Law and Society in Transition:
Toward Responsive Law (New York:
Harper and Row, 1978). Kasus
perubahan UU KPK, dan pembahasan
RUU KUHP memperlihatkan bagaimana
respon publik yang sangat kuat atas
kebijakan yang nirpartisipasi.
PDIP, 128
Golkar,85
Gerindra, 78
Nasdem, 59
PKB, 58
Demokrat54
PKS, 50
PAN, 44 PPP, 19
PEROLEHAN KURSI PARTAI DI DPR
Koalisi Pemerintah
74%
Oposisi9%
Tidak Menentukan Sikap17%
PETA KEKUATAN DI PARLEMEN 2020 - 2024
Sumber: diolah KODE Inisiatif dari berbagai sumber
Sumber: Data KPU, diolah KODE Inisiatif
5 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
PROYEKSI 2020
Ada beberapa momentum penting di Tahun 2020 yang perlu dicermati. Pertama, akan
diselenggarakan rangkaian terakhir pilkada serentak sebelum keserentakan secara
nasional 2024. Kedua, Konteks pengambilan kebijakan, pemerintahan telah menyiapkan
sejumlah rancangan undang-undang dalam program legislasi nasional sepanjang 5 tahun.
Terlihat bahwa pemerintah sedang memberikan prioritas untuk penataan regulasi,
khususnya dalam bidang ekonomi (33 RUU), sumber daya alam (27 RUU), kesejahteraan
sosial (11 RUU), penegakan hukum (5 RUU), dan paket politik (4 RUU).
A. Pilkada Serentak 2020
Pilkada Serentak 2020 akan diselenggarakan di 270 daerah, yakni 9 Pemilihan
Gubernur, 224 Pemilihan Bupati, dan 37 Pemilihan Walikota. Tantangannya, praktik
penyelenggaraan pemilu (2019) berkembang sangat pesat bahkan meninggalkan
pengaturan dan praktik pilkada. Pengaturan Pilkada dan Pemilu menggunakan undang-
undang berbeda, sehingga pemilih, peserta pemilu, dan penyelenggara harus melakukan
penyesuaian. Pendaftaran pemantau pemilu tidak lagi kepada Bawaslu dan kembali ke
KPU. Kewenangan penanganan pelanggaran administrasi oleh Bawaslu tidak lagi
menghasilkan Putusan namun Rekomendasi. Bawaslu Kabupaten/Kota kembali menjadi
lembaga adhoc, serta syarat pencalonan akan berbeda beda.
Sedangkan bagi Partai Politik, Pilkada 2020 merupakan pondasi awal menyusun
kekuatan menghadapi Pemilu Serentak 2024. Memenangkan pilkada, menjadi modalitas
pemenangan Pemilu 2024 dengan menggunakan kekuatan kepala daerah dan potensinya.
Berdasarkan itu, ada beberapa isu krusial yang perlu diantisipasi:
1. Demokrasi Partisipatif
Kasus operasi tangkap tangan salah satu Komisioner KPU, akan berdampak
terhadap kinerja, moralitas dan semangat, serta kepercayaan terhadap penyelenggara.
Namun tantangan lebih besar justru pada kepercayaan pemangku kepentingan
terhadap sistem demokrasi yang telah dibangun.
Pasca kasus itu, penyelenggara pemilu mesti lebih kuat untuk melakukan penataan
di internal penyelenggara. Juga meyakinkan publik bahwa sistem demokrasi melalui
penyelenggaraan pemilu dan pilkada langsung merupakan pilihan yang terus mesti
dijaga. Keterlibatan publik secara langsung justru mesti ditingkatkan, karena
kepentingan elit politik sangat kuat dan potensial menimbulkan penyimpangan. Oleh
karena itu, bangunan demokrasi yang dipilih kedepannya mesti melibatkan partisipasi
publik yang lebih luas.
6 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
2,757
1,543
2,566
4,506
2,524
802
5,814
18,995
Pilkada 2015
Pilkada 2017
Pilkada 2018
Pemilu 2019
Temuan & Laporan Pelanggaran
Temuan
Laporan
Sumber: Data Bawaslu, diolah KODE Inisiatif
2. Penyelenggaraan Pilkada
a. Regulasi
Penataan regulasi akan menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu baik KPU
dan Bawaslu. Praktik penyelenggaraan yang berkembang, seperti rencana
rekapitulasi elektronik, penyesuaian kondisi kelembagaan Bawaslu (adhoc vs
permanen), penegakan hukum pilkada, dan lainnya, perlu penataan regulasi. Namun
tantangannya, revisi UU Pilkada tidak masuk dalam prioritas pembahasan, menanti
putusan MK juga membutuhkan waktu. Saat inipun masih ada 3 permohon
pengujian Undang-Undang Pilkada di MK, jika diputus ditengah proses tentu
berpotensi mengganggu tahapan berjalan.
Oleh karena itu, KPU dan Bawaslu mesti dengan segera melakukan penataan
regulasi. Bukan hanya kecepatan, namun akurasi dan konstitusionalitasnya mesti
dipastikan. Sebab, regulasi regulasi itu potensial dipersoalkan oleh pihak
berkepentingan dan diuji konstitusionalitas, ketika dianggap melanggar hak hak
peserta pilkada.
b. Partisipasi Penegakan Hukum
Partisipasi dalam penggunaan hak pilih cukup tinggi. Rata rata diatas lima puluh
persen, seperti Pilkada Serentak 2015 (69,23%), 2017 (74,5%), 2018 (73,24%) dan
Pemilu 2019 (81,69%). Meskipun di daerah tertentu, partisipasi bisa sangat rendah
dibanding rata rata nasional. Seperti partisipasi dalam Pilkada Kota Medan 2015,
hanya 26%.
Namun partisipasi mestinya tidak hanya dimaknai sebatas menggunakan hak
pilih, mestinya juga partisipasi dalam penegakan hukum pemilu. Kecenderungan
Pilkada, proses penanganan pelanggaran berangkat dari laporan baik oleh kandidat,
tim sukses/simpatisan maupun pemilih. Berbeda dengan Pemilu 2019 yang justru
didominasi oleh temuan yang berasal dari kerja pengawasan Bawaslu.
7 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
Tantangan kedepan, partisipasi penegakan hukum pemilu masih akan
didominasi oleh Bawaslu, kandidat dan simpatisannya. Oleh karena itu, perlu
didorong partisipasi publik untuk turut terlibat dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum pemilu tidak hanya menjadi domain Bawaslu atau kandidat dan
simpatisannya. Namun keterlibatan pemantau pemilu dan pemilih bisa
dioptimalkan.
3. Kandidasi
a. Kecenderungan Calon Tunggal Meningkat
Calon tunggal muncul setelah Putusan MK No.100/PUU-XIII/2015 yang menguji
UU 8/2015. Sebelum dibatalkan MK, UU Pilkada mengharuskan minimal 2 orang
pasang calon untuk bisa menyelenggarakan pilkada. Jika tidak, pelaksanaan pilkada
di daerah itu akan ditunda pada pilkada tahun berikutnya.
Sejak pemberlakuannya 2015, jumlah calon tunggal terus mengalami
peningkatan dari 3 (2015), naik menjadi 9 (2017), dan 16 daerah pilkada calon
tunggal pada 2018.
Kedepan, potensi calon tunggal akan naik. Selain karena kecenderungannya naik,
juga digunakannya peluang ini sebagai strategi pemenangan oleh kandidat. Hampir
seluruh pilkada dengan calon tunggal dimenangkan calon tunggal, kecuali Pilkada
Kota Makasar 2018.
b. Hukum Sebagai Strategi Pemenangan Pilkada
Penggunaan mekanisme hukum sebagai strategi pemenangan potensial
dilakukan oleh peserta Pilkada. Celah hukum seperti calon tunggal, akan digunakan
sejak awal, tidak hanya dengan cara borong dukungan partai. Ada beberapa strategi
Sumber: Data KPU, diolah KODE Inisiatif
8 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
hukum lainnya seperti: (1) menggunakan sengketa pencalonan untuk tidak
meloloskan kandidat lain. Beberapa kasus sengketa pencalonan di Bawaslu dengan
melibatkan pihak terkait, potensial digunakannya sebagai ruang penghambat yang
strategis. (2) Penggunaan instrument penanganan pelanggaran untuk
mendiskualifikasi kandidat lain. Sejumlah regulasi membuka peluang diskualifikasi
kandidat seperti politik uang, tidak melaporkan dana kampanye, petahana
melakukan penggantian pejabat dan lainnya.
Model kecurangan dalam pilkada tidak akan jauh berbeda dengan pola yang
berkembang selama ini. Seperti Pilkada 2018, pelanggaran masa kampanye dan
masa tenang, meliputi pelanggaran alat peraga kampanye, politisasi birokrasi,
politik uang, kampanye diluar jadwal dan lainnya. Model pelanggaran seperti HOAX
dan SARA seperti Pemilu Serentak 2019 tidak cukup signifikan. Sebab kompetisinya
tidak tersentralisasi seperti Pilpres. Koalisi partai juga cenderung cair dan
pragmatis. Meskipun demikian, soal Hoax dan SARA perlu diwaspadai.
Sumber: Data Bawaslu, diolah KODE Inisiatif
115179
1532
871
680
657
148
137
187
Pelanggaran APK
Politisasi Birokrasi (Fasilitas Negara)
Kampanye Luar Jadwal
Politik Uang
Kampanye di Tempat Terlarang
Kampanye Tanpa Izin
Pelibatan Anak
Mengganggu Ketertiban Umum
Pelanggaran Kampanye dan Masa Tenang Dalam Pilkada 2018
9 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
1124
152
134
122
Keterlibatan BUMN/BUMD
Keterlibatan ASN, Perangkat Desa &Pejabat Daerah
Penggunaan Fasilitas Negara
Pejabat Tanpa Cuti Kampanye
Sumber: Data Bawaslu, diolah KODE Inisiatif
Pelanggaran Politisasi Birokrasi dan Penggunaan Fasilitas Negara
Pelanggaran terkait APK memang mendominasi, namun yang perlu
diantisipasi dan menjadi isu krusial adalah terkait politik uang dan politisasi
birokrasi. Sepanjang pelaksanaan pilkada, kedua jenis pelanggaran ini selalu muncul
dan menjadi perhatian serius karena bisa berdampak secara signifikan terhadap
hasil pemilihan. Berdasarkan data Pilkada 2018 lalu, modus politik uang cukup
beragam mulai dari menjanjikan atau memberi uang, pemberian sembako,
pengobatan gratis, bazar murah hingga door prize. Kasus serupa dalam politik uang
potensial akan kembali terjadi dalam Pilkada 2020.
Selain politik uang, politisasi birokrasi menjadi isu krusial yang potensial
digunakan dalam Pilkada 2020. Kasus ini dapat mengganggu pelaksanaan pilkada
demokratis. Ada beberapa modus yang sering terjadi, seperti penggunaan fasilitas
negara, keterlibatan ASN, perangkat desa dan pejabat daerah, keterlibatan
BUMN/BUMD, bahkan banyak kasus pejabat tidak melakukan cuti dalam
pelaksanaan kampanye
535
35
19
14
37
40
Politik Uang
Pemberian Door Prize
Bazar Murah
Pengobatan Gratis
Pembagian Sembako
Menjanjikan Uang
Sumber: Data Bawaslu, diolah KODE Inisiatif
Pelanggaran Politik Uang Dalam Pilkada 2018
10 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
4. Potensi Sengketa
Jumlah perkara perselisihan hasil pilkada yang ditangani MK cukup tinggi. Pilkada 2015
dan 2017, lebih dari separuhnya diajukan sengketa. Seperti 2015, dari 264 pilkada – 152
kasus diajukan ke MK. Begitu juga 2017, dari 101 pilkada – 60 kasus ditangani MK. Namun
untuk 2018 persentasenya menurun, dari 171 pilkada – 72 kasus ditangani MK. Menurunnya
persentase kasus 2018, dipengaruhi pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 yang jadwalnya
berdekatan. Perselisihan Hasil Pilkada berlangsung bulan Juli 2018 dan pada saat yang sama
pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD sedang berlangsung. Sehingga tidak banyak
kandidat yang mempertaruhkan sumberdayanya untuk sengketa di MK, dan
menggunakannya untuk maju dalam Pemilu 2019.
Jika melihat kenaikan prosentase 2015 – 2017, dan faktor penurunan kasus 2018
karena berhimpitan dengan tahapan Pemilu 2019, maka potensi sengketa 2020 akan
mengalami kenaikan. Muncul kesadaran bahwa hukum menjadi strategi untuk
memenangkan perkara. Perselisihan hasil pilkada akan menjadi ruang pertarungan
akhir untuk menang, juga ruang pengaduan atas ketidakpuasan terhadap proses
penyelenggaraan.
5. Potensi Konflik
Setiap daerah pilkada memiliki potensi konfliknya masing-masing. Menurut data
Sistem Nasional Pemantauan kekerasan (SPNK) periode 2002 -2015, ada sejumlah
daerah tercatat mengalami konflik. Sistem SNPK ini merupakan sistem informasi
tentang konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Dimana
152
60
72
264
101
171
Pilkada 2015
Pilkada 2017
Pilkada 2018
Perbandingan Jumlah Pilkada & Sengketa Hasil
Jml Pilkada Jml Sengketa
Sumber: Putusan MK, Diolah KODE Inisiatif
11 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
proyek SNPK dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia
dan Kebudayaan (PMK), dengan dukungan Bank Dunia dan The Habibie Center.
Berdasarkan data SPNK itu, 9 dari 9 propinsi yang akan menyelenggarakan
Pilkada 2020, memiliki riwayat konflik. Tertinggi berada di Sulawesi Tengah dengan
885 sejarah konflik, Kalimantan Tengah 553, Sulawesi Utara 475, Jambi 111, Bengkulu
105, Sumatera Barat 85, Kalimantan Selatan 71, Kepulauan Riau 68, Kalimantan Utara
19.
105
111
71
553
19
68
885
475
85
BENGKULU
JAMBI
KALIMANTAN SELATAN
KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN UTARA
KEPULAUAN RIAU
SULAWESI TENGAH
SULAWESI UTARA
SUMATERA BARAT
Sumber: Data SPNK, diolah KODE Inisiatif
Provinsi Pilkada 2020 Yang Memiliki Sejarah Konflik
12 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
Sedangkan dari 161 kabupaten dan kota penyelenggara Pilkada 2020, terdapat
88 daerah yang memiliki sejarah konflik. Memang konflik yang terjadi cukup beragam
mulai dari kriminalitas, konflik tata kelola pemerintahan, konflik pemilihan dan jabatan,
konflik identitas dan konflik sumber daya, kekerasan dalam penegak hukum dan
lainnya
608
391
309
306
234
209
193
112
99
99
Makassar
Medan
Surabaya
Poso
Manado
Palu
Ternate
Kab. Bima
Bandar Lampung
Sompu
Sumber: Data Bawaslu, diolah KODE Inisiatif
10 Daerah dengan Sejarah Konflik Terbanyak
13 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
Peta Sejarah Konflik di 88 Daerah dari 270 Daerah Yang Akan Pilkada di Tahun 2020
14 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
B. Kebijakan Pemerintah Konstitusional
Secara umum, kebijakan pemerintah melalui pembentukan undang-undang akan sangat
rawan mengabaikan rambu rambu dalam konstitusi. Apalagi jika melihat peta koalisi partai
yang tersentralisasi pada kekuatan pemerintah. Kebijakan hukum yang akan dilahirkan
potensial terjebak pada orientasi kemudahan sehingga mengabaikan konstitusionalitasnya.
Jika berangkat dari pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, ada banyak
kebijakan serupa yang akhirnya diuji hingga dibatalkan/ ditafsirkan oleh MK.
Paling tidak, sepanjang 16 Tahun Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang
terhadap UUD 1945, kebijakan tentang Pemerintahan Daerah (utamanya Pilkada) paling
banyak diuji, selanjutnya hukum pidana, pemilu, kekuasaan kehakiman dan penegakan
hukum. Artinya, banyak kebijakan yang potensial dipersoalkan konstitusionalitasnya di
Mahkamah Konstitusi.
Sumber: Buku Membaca 16 Tahun MK oleh KODE Inisiatif
212
161
159
145
84
83
65
54
48
44
37
34
33
28
27
25
24
23
22
19
16
13
5
1
Pemda
Hukum pidana
Pemilu
Kekuasaan Kehakiman
Penegakan hukum
Parpol, Parlemen & Kementerian Negara
Hukum bisnis
Sumber daya alam
Ketenagakerjaan
Pajak dan bea
Pendidikan
Keuangan Negara
Sosial & Identitas Nasional
Informasi & Pelayanan Publik
Jaminan social
Kesehatan
Birokrasi & Kependudukan
APBN
Hukum perdata
Transportasi & Lalu Lintas
Agraria
perundang-undangan
Keamanan & Pertahanan Nasional
Tidak Disebutkan
Kategori Pengujian UU di MK
15 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
Hal itulah yang mestinya diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR. Apalagi telah
ditetapkannya Prolegnas 2020-2024. Paling tidak ada 248 undang-undang yang akan
dibahas dalam periode ini. Undang-undang terkait ekonomi dan bisnis menjadi regulasi
yang paling banyak direncakan untuk dibahas. Seperti RUU tentang Sistem Perindustrian
Nasional, Sistem Perekonomian Nasional, BUMN, Investasi Penanaman Modal Daerah, OJK,
Finansial Teknologi, dan lainnya. Selanjutnya terkait Sumber Daya Alam, Sosial Budaya dan
Identitas Nasional, Pemerintah Daerah, kesehatan dan lainnya.
Kategori Ekonomi dan Bisnis memang menjadi kategori rancangan undang-undang
paling banyak. Bahkan tidak menutup kemungkinan, materi RUU di kategori lain
bersinggungan dengan persoalan ekonomi dan bisnis. Misalnya, kategori Sumber Daya
Alam berhimpitan dengan penanaman modal, sehingga seperti RUU tentang Kehutanan,
RUU tentang Pertembakauan, RUU tentang Perkelapasawitan, RUU tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara, RUU tentang Pemanfaatan Tenaga Surya, dan RUU tentang Minyak
dan Gas Bumi dibuat atau ditinjau kembali untuk menciptakan iklim yang ramah dengan
investasi.
Ada pula dalam kategori Pemerintahan Daerah, RUU tentang Badan Usaha Milik
Desa akan dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian di basis
pemerintahan yang paling rendah. Di sisi lain, bidang Ekonomi dan Bisnis juga disilangkan
dengan pemanfaatan teknologi, sehingga salah satu rancangan undang-undang pada
kategori Teknologi Informasi dan Pelayanan Publik, yaitu RUU tentang Transportasi
Daring, disusun untuk menjawab tantangan bisnis transportasi berbasis internet yang saat
ini menjadi kebutuhan sehari-hari publik yang tidak terelakkan.
Data kebijakan bidang ekonomi di atas sejalan dengan wacana pemerintahan
Presiden Jokowi dalam penataan regulasi di Indonesia. Presiden memberikan perhatian
cukup besar terhadap perkembangan perekonomian nasional dan iklim investasi. Salah
satu yang paling menjadi perhatian dan prioritas Presiden adalah terkait pembentukan
omnibuslaw yakni terkait “Ketentuan dan Fasilitasi Perpajakan untuk Penguatan
Perekonomian”, dan “Cipta Lapangan kerja”.
Kebijakan ambisius ini akan terkait dengan penataan 82 undang-undang dan 1.100
pasal yang dinilai tumpang tindih dan menghambat investasi (Sofyan Jalil – Menteri
ATR/BPN).1 Pembahasan ini melibatkan perwakilan lembaga/ kementerian, pengusaha,
kepala daerah, akademisi, dan tokoh masyarakat. Akan tetapi terkait Omnibuslaw Cipta
Lapangan Kerja, dianggap minim melibatkan perwakilan buruh.2
1 https://katadata.co.id/berita/2019/12/27/mengenal-omnibus-law-jurus-pamungkas-pemerintah-menarik-investasi 2 Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). https://bisnis.tempo.co/read/1281097/omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-kspsi-buruh-tak-dilibatkan/full&view=ok
16 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
33
27
18
16
13
12
12
11
11
11
10
10
8
8
7
7
6
5
5
5
4
4
2
2
1
Ekonomi dan Bisnis
Sumber Daya Alam
Sosial-Budaya dan Identitas Nasional
Pemerintahan Daerah
Kesehatan
Hukum Perdata
Birokrasi dan Kependudukan
Pertahanan dan Keamanan Nasional
Ketenagakerjaan
Jaminan Sosial
Perpajakan
Hukum Pidana
Keuangan Negara
Agraria
Transportasi dan Perhubungan
Teknologi Informasi dan Pelayanan Publik
Kekuasaan Kehakiman
Perundang-Undangan
Penegakan Hukum
Pendidikan
Partai Politik, Parlemen, dan Kementerian Negara
Lingkungan Hidup dan Tata Ruang
Kepemudaan dan Olahraga
Hukum Internasional
Pemilihan Umum
Sumber: Data website DPR, diolah KODE Inisiatif
Jumlah Kategori Prolegnas 2020-2024
Melihat kuatnya orientasi pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi dan bisnis,
maka tidak dipungkiri jika kebijakan itu potensial mengabaikan aspek konstitusionalitas
sebuah undang-undang. Aspek kepastian hukum penting menjadi orientasi, namun
persamaan dihadapan hukum juga tidak dapat diabaikan. Misalnya, ketika pemerintah
berorientasi pada kepastian hukum dalam berusaha, maka pada saat yang sama mesti
dilihat juga keseimbangan kepentingan aktor terdampak dari pengambilan kebijakan. Agar
prinsip persamaan dihadapan hukum tidak terlanggar. Begitu juga jika kebijakan ekonomi
akan diberlakukan, ada aspek dalam konstitusi yang mesti diperhatikan, seperti setiap
orang memiliki hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang layak.
17 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
Aspek konstitusionalitas kebijakan itu akan sangat luas, oleh karena itu dalam
pengambilan kebijakan mesti memperhatikan tidak hanya satu aspek namun lebih
komprehensif. Hal ini bisa dilihat dari pengalaman Mahkamah Konstitusi memutus
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Ada banyak ketentuan dalam konstitusi
yang sering menjadi rujukan MK dalam memutus perkara.
Paling banyak, MK mendasarkan pada ketentuan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945
terkait kepastian hukum dan persamaan dihadapan hukum. Selanjutnya ada beberapa
ketentuan yang sering dirujuk seperti Pasal 27 ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 1 ayat (3),
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan lainnya. Ketentuan itu menyangkut soal persamaan
dihadapan hukum dan pemerintahan, bebas dari perlakuan diskriminatif, Negara hukum,
pembatasan atas hak melalui undang-undang, hak yang sama dalam pemerintahan, hak
bekerja dan mendapatkan imbalan yang layak, hak untuk mendapat perlindungan diri,
keluarga, harkat dan martabat, serta harta benda, serta hak memperjuangkan hak kolektif.
Sumber: Buku Membaca 16 Tahun MK, KODE Inisiatif
Berdasarkan hal itu, maka sepanjang 2020 terkait kebijakan yang menyangkut
perekonomian dan bisnis serta kebijakan terkait lainnya, potensial dan rawan
bertentangan dengan konstitusi. Juga tidak menutup kemungkinan kebijakan pada
umumnya yang telah menjadi prioritas pengambilan kebijakan oleh pemerintah dan DPR.
Seperti kebijakan terkait paket politik, khususnya UU Pemilu. Berdasarkan data
kategori pengujian UU di MK, terkait dengan pemilu, baik Pemilu, Penyelenggara Pemilu,
265
71
60
48
44
39
38
35
34
29
28D (1)
27 (1)
28I (2)
1 (3)
28J (2)
28D (3)
28D (2)
28G (1)
28C (2)
28H (2)
10 Pasal UUD 1945 Paling Sering Digunakan MK dalam Putusan
18 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, dan Pilkada, merupakan undang-undang paling banyak
diujikan di MK. Pembahasan UU Pemilu mesti belajar dari banyaknya ketentuan dalam UU
Pemilu yang pada akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga dalam
perubahan UU Pemilu tidak hanya berorientasi pada kepentingan politik semata, namun
mesti memperhitungkan aspek konstitusionalitasnya.
Oleh karena itu, penting bagi Pemerintah, DPR, dan pemangku kepentingan lainnya
untuk memperhatian putusan MK. Mematuhi dan menjalankan apa yang memang menjadi
pertimbangan MK yang merupakan pengawal konstitusi. Jika tidak, banyak kebijakan yang
pada akhirnya berkali kali dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak sejalan
dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945.
C. Peran KODE Inisiatif
Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KODE Inisiatif), pada 2020 genap berusia 5 tahun.
Oleh karena itu, melihat perkembangan demokrasi dan konstitusi terkini, telah
menetapkan arah baru kelembagaan. Lebih berorientasi pada terwujudnya “Pemilu dan
Penyelenggaraan Negara yang Konstitusi”.
Konteks penyelenggaraan Pemilu, perhatian terbesar KODE justru pada desain dan
proses penegakan hukum. Memang perlahan dilakukan penataan, namun ada sejumlah
perbaikan yang mesti terus diupayakan. Menyangkut desain penegakan hukum, agenda
lama yang memang selalu luput dari perhatian. Revisi UU Pemilu (juga Pilkada), hanya
berfokus pada aspek aspek sistem pemilu. Itupun aspek konstitusionalitasnya hampir
selalu kedodoran. Oleh karena itu, konteks perubahan kebijakan pemilu, selain soal desain
penegakan hukum pemilu juga diberikan perhatian lebih pada aspek konstitusionalitas UU
Pemilu.
Namun berbicara demokrasi, mestinya tidak berhenti pada prosedur semata yakni
pemilihan umum. Pemerintahan hasil pemilu diharapkan mampu menjadi kanal
kepentingan warga Negara, dengan menghasilkan kebijakan yang konstitusional, tentu
demokratis pula. Oleh karena itu, terhadap kebijakan kebijakan penyelenggaraan Negara,
akan mendapatkan porsi lebih, untuk memastikan bahwa kebijakan hukum yang dibentuk
oleh pemerintah dan DPR konstitusional.
KODE Inisiatif sedang menyiapkan beberapa produk, seperti Constitutional Alert (CA),
Legislation Review (LR), dan Constitutional Review (CR) untuk mendorong kebijakan
konstitusional. Constitutional Alert memberikan peringatan dini kepada pengambil
kebijakan, apakah rancangan undang-undang yang sedang disusunnya memiliki potensi
pertentangan dengan konstitusi. Bahkan jika dibutuhkan, kajian lebih mendalam dalam
bentuk Legislation Review akan disiapkan. Bagaimana merumuskan kebijakan yang
konstitusional, baik dengan mengidentifikasi putusan putusan MK terdahulu, maupun
19 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
menganalisa perintah UUD 1945. Namun jika pada akhirnya sebuah UU dibatalkan atau
ditafsirkan MK, Constitutional Review akan membantu menyebarluaskan pertimbangan
MK. Selain itu bentuk penataan pembentuk undang-undang pasca putusan MK yang harus
dilakukan. Oleh karena itu, aspek hukum yang dilihat akan sangat luas, tidak hanya
kebijakan politik (pemilu) juga kebijakan dibidang ekonomi, sosial, penegakan hukum dan
lainnya. Namun yang akan dilihatnya adalah aspek konstitusionalitas kebijakan tersebut.
Contact Person:
Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi 0852 6300 6929
Manajer Program M. Ihsan Maulana 0812 9290 9933
Koordinator Riset Violla Reininda 0821 1672 2151
Koordinator Kolese Konstitusi Rahmah Mutiara M. 0813 1876 6026