YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: News Edisi Okt Final

Edisi: 006/Oktober 2007 | 1

Edisi: 006/Oktober 2007

Salah satu persiapan di stand ASPPUK untuk menyambut tamu Ford Foundation New York

dan Representatif Asia (Rusia, Cina, Indonesia, India, Vietnam).

foto

by

hafid

PERJALANAN Program Integratif Pemulihan Pasca gempadi 5 Dusun (Kadisoro, Kedungpring, Klisat, Warungpring danJoho) di wilayah Bantul sudah berjalan kurang lebih 6 bulan.

Banyak kegiatan yang telah dilakukan LSM Jejaring Ford Founda-tion (JFF) dalam melangsungkan kegiatan programnya masing-masing.

Sebut saja kegiatanyang dilakukan CHPSC (Cen-ter of Health Policy and SocialChange) atau Pusat StudiKebijakan Kesehatan danSosial, yang telah melakukansejumlah workshop di beberapaSekolah Dasar tentang programpenanganan Demam berdarahDengue (DBD).

Ataupun yang dilakukanASPPUK (AsosiasiPendamping Perempuan UsahaKecil), memberikan bantuanbagi perempuan yang punyausaha kecil ataupun perempuanyang berniat memiliki usaha.Bantuan yang diberikanASPPUK dapat berupa peralatan seperti sepeda sebagai alattransportasi bagi mereka yang membutuhkan, kompor dan wajanbagi pembuat emping melinjo, meja ataupun lemari yang bergunauntuk usaha dagang dan masih banyak lagi bantuan lainnya.

Bantuan memang tidak seragam, tapi diberikan berdasarkankebutuhan masing-masing para perempuan untuk menjalankankegiatan ekonominya. Karena para perempuan tersebut berperanpenting dalam menjalankan ekonomi keluarga.

Selain itu masih ada juga Cemeti dengan pemberdayaandi sektor kesenian. Sebagaimana pasca gempa ini, banya pelakukesenian masih enggan membangun kembali kesenian didaerahnya akibat trauma gempa dan peralatan kesenian yangrusak. Dalam program ini Cemeti hadir sebagai fasilitator untukmembangkitkan kesenian yang dulu pernah ada. Denganmengadakan beragam workshop dan kegiatan atau pertunjukankesenian dengan tujuan menumbuhkan semangat berkesenianagar tetap lestari dan tidak hilang.

Masih banyak lagi kegiatan-kegitan yang dilakukananggota JFF yang berjumlah 12 LSM untuk membangunmasyarakat setempat. Selain juga program perumahan (hous-ing), sinau anggaran, penyusunan housing code dan sebagainya.

Berkaitan dengan itu, persiapan para LSM Jejaring ini dalammenyambut tamu dari FordFoundation New York danRepresentatif Asia (Rusia, Cina,Indonesia, India, Vietnam),mereka mengadakan pertemuanuntuk persiapan tersebut.Masing-masing LSM akanmemberikan ataumemperkenalkan program yangtelah mereka jalankan selama ini.

Acara ini rencananyaakan diselenggarakan diKampung Joho, Jambidan,Banguntapan, Bantul.Mengingat padatnya acaratamu tersebut, sehinggapengaturan waktu untukpresentasi, kunjungan ke

rumah-rumah warga dusun Joho yang mendapatkan manfaat ataubantuan atas program ini pun perlu diperhitungkan waktunya.

Semua itu dilakukan dengan harapan akhir Novembermendatang, tamu-tamu tersebut dapat mendapatkan sesuatu,paling tidak “sesuatu” yang berharga agar bisa bermanfaat. Ataudengan kata lain program integrative ini bisa menjadi modeldalam penanganan pemulihan pasca bencana di mana saja.

Dalam kaitan penangan pasca bencana tentu mediaidealnya juga punya peran penting membantu. Untuk itu padaOktober ini, rubrik analisis info mengupas tentang bagaimanamedia menyajikan berita tentang pemotongan dana rekonstruksi.

Selain itu rubrik Spesial Info, masih tentang pemberitaanmedia, kali ini menganalisis tentang validitas data pada kasusmajalah Time VS Soeharto.

Masih banyak lagi sajian laporan menarik lainnya. Untuklebih lengkapnya silakan simak laporan-laporan tersebut.Selamat membaca.

Page 2: News Edisi Okt Final

2 | Edisi: 006/Oktober 2007

D a p u r I n f o

KEGIATAN LP3YDI BULAN OKTOBER

Para siswa SMU ketika diberikan materi genderdan kesehatan reproduksi

foto

by

hafid

Diskusi Film “Mungkin Aku Belum Mengerti”PADA 4 Oktober lalu pukul 15.30, tepatnya di perpustakaanLP3Y diselenggarakan diskusi film yang berjudul Mungkin AkuBelum Mengerti.

Film ini bercerita tentang seorang pemuda yang semula tidaktahu apa-apa tentanginformasi HIV/AIDS,mempunyai calon pacaryang terpapar HIV,menghadapi pengalaman-pengalaman buruk sepertimelihat dan ikut berperanrekan kerjanya dikeluarkankarena diketahui terinfeksiHIV, melihat perilakuanarkis warga yang mengusirODHA (Orang dengan HIV)dari tempat tinggalnya.

Selain itu, film inisebenarnya punya tujuanyang di antaranya memberiinformasi kepada penontontentang informasi HIV/AIDS yang tepat agar tidakterjadi stigma dandiskriminasi terhadap ODHA. Selain informasi dasar tentangcara penularan HIV, dalam film itu juga diberikan informasibahwa ODHA bisa hamil memiliki anak tanpa tertular HIV.

Pembahas film ini adalah Masduki, M.SI, dosenKomunikasi Universitas Indonesia dan juga pengamat filmmengatakan bahwa ada beberapa pesan yang ingin disampaikandari film ini antara lain: pertama, problem HIV tidak terletakpada ODHA tetapi terletak pada sikap lingkungan dan orangterdekat mereka.

Kedua, diskriminasi terhadap ODHA bisa dicegah olehpemahaman yang lengkap terhadap penyebab inveksi virus itusendiri, dan ketiga, sikap terbuka ODHA akan membantubagaimana ia diterima oleh publik.

Ada beberapa catatan dalam film ini menurut Ading,panggilan Masduki biasa disapa, pertama, akting Fauzi Badilasebagai tokoh kurang tergali. Karakter sebagai cowok antengdapi romantis kurang tergali tentang dia.

Kedua, setting asmara dalam film ini cukup mampumengikat emosi penontonutnuk mengikuti hinggaakhir cerita, tetapi mengapaharus di-close adeganberpelukan?

Catatan atau kritikanketiga yakni, penggambaranantara mall yang megah,rumah dan kota yang lebihmenerima ODHA kontrasdengan suasana desa/pojokkota yang warganya“marah” diskriminatif.Apakah ini mengandungbias bahwa “orang kota”lebih punya awareness?

Catatan ketiga tersebuthampir sama “nafasnya”dengan pernyataan salahsatu peserta diskusi Udin

dari IDEA yang mengkritik bahwa film ini hanya diperuntukkanbagi mereka yang berpendidikan tinggi, padahal kenyataannyabanyak ODHA yang juga berpendidikan rendah.

Sebagai masukan dari Rani PKBI DIY, film ini akan lebihtepat jika diputar di kalangan anak muda atau mahasiswa. (*)

Workshop Radio KomunitasWorkshop radio komunitas diselenggarakan pada 25-26

Oktober lalu. Workshop yang diikuti oleh para pemuda darilima dusun yakni Warungpring, Kedungpring, Klisat, Kadisoro,dan Joho tersebut berlangsung dengan sejumlah materi tentangprogram radio komunitas (rakom).

Page 3: News Edisi Okt Final

Edisi: 006/Oktober 2007 | 3

D a p u r I n f o

Materi workshop terdiridari apa itu radio komunitas,regulasi rakom, caramembuat program rakomsampai akhirnya pesertadiajak untuk simulasi ataupraktek siaran di studo minimilik LP3Y.

Ketika praktekmembuat proposal rencanapendirian rakom, suasanapendopo menjadi hangatkarena banyak argumentasipeserta membuat namarakom misalnya dengannama yang unik. Berikut inidaftar pertanyaan perumusanatau proposal rencanapendirian rakom:

1. Uraikan tiga atau limaalasan mengama perluradio bagi wargasetempat

2. Uraikan apa saja cara-cara memperolehd u k u n g a ntandatangan warga

3. uraikan apa sajab e n t u k - b e n t u kdukungan keuangandan peralatan siaranyang bisa diperolehdari warga

4. uraikan siapa sajacalon penegelola ra-dio yang bisadilibatkan

5. uraikan rencana lokasi, nama radio dan jam siaran yangdilakukan per hari

6. uraikan lima bentuk program siaran yang akan dibuatdisertai alasan mengapa program itu perlu

Pelatihan AGKR Untuk PemudaPengelola Majalah Dinding

Ada sekitar 18 pemudapengelola mading dusun yang ikutpelatihan/workshop ini. Workshopini berlangsung akhir Oktober lalu,tepatnya tanggal 28 dengan pesertacampuran, dalam arti ada pesertayang dahulu pernah ikut pelatihansebelumnya. Namun peserta baru inihanya satu atau dua orang dan tidakmendominasi.

Workshop ketiga kali ini mulaiberanjak dengan fokus pembahasangender. Sebelumnya peserta telahdibekali pengetahuan AIDS danKesehatan reproduksi serta materiperencanaan yang bertingkat.

Maksudnya, sebelumnyapeserta telah dibekali materipenulisan, berlatih membuatmading dan pada workshop inidifokuskan menulis isu AGKR.

Peserta begitu antusiasberlatih menulis. Meski hujanturun tidak henti-hentinya daripagi hingga sore, peserta masihmenunjukkan semangatnyadengan aktif bertanya sertaberdiskusi dengan fasilitatoruntuk mengatasi hawa dingin.Maklumlah selain karena cuaca,letak LP3Y lumayan dekatdengan dataran tinggiKaliurang.

Output dari pelatihanAGKR untu pemuda kali ini

selain penekanan pada satu isu juga menguatkan pemahamansubsatnsi akan isu AIDS, gender dan kesehatan reproduksi(AGKR). Selain menulis sebagai salah satu bahan mading,tujuan berlatih menulis juga untuk mengasah kemampuanpeserta dalam menulis isu AGKR khususnya.(*)

Peserta rakom pada saat pengenalan alat dan berlatih menjadipenyiar di studio mini LP3Y

foto

by

hafid

Peserta rakom dalam sebuah diskusi kelompok di pendopo.

foto

by

hafid

Page 4: News Edisi Okt Final

4 | Edisi: 006/Oktober 2007

A n a l i s i s I n f o

PERNYATAAN editor buku Kisah Kisruh di Tanah Gempa,Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Jogja – Jateng27 Mei 2006 AB Widiyanta, sebagaimana diberitakansuratkabar, menarik disimak. Dikatakan, media memilikiketerbatasan untuk mem-blow up persoalan yang ada dalampembagian dana rekonstruksi yang sarat penyimpangan(Kedaulatan Rakyat, 27 Agustus 2007).

Pernyataan tersebut menarik perhatian, walau pernyataanitu tidak disertai penjelasan mengapa media dikatakan memilikiketerbatasan mem-blow up persoalan dana rekonstruksi. Jugatidak disertai keterangan rinci apa saja yang dimaksud sebagaiketerbatasan media. Namun secara tersirat, pernyataan tersebutbisa dimaknai sebagai ungkapan terhadap pemberitaan mediaatas persoalan yang dimaksudkan,

Blow up adalah istilah yang biasa dipakai para jurnalis untukmenggambarkan upaya memberitakan suatu persoalan agar menjadiperhatian publik. Pada suratkabar sebagai misal, suatu persoalanbisa saja diberitakan selama beberapa hari berturut-turut dan dimuatpada halaman pertama. Bahkan sering dilanjutkan dengan laporanmendalam yang dimuat berseri pada hari-hari sesudahnya.

Pemberitaan gencar tentang suatu masalah sampaiberulangkali di satu sisi merupakan isyarat bagi pembaca bahwapersoalan yang diberitakan penting diperhatikan. Di sisi lain,hal itu sekaligus menunjukkan ada kepedulian kuat di dalamdiri jurnalis atas persoalan tersebut. Kepedulian kuat itulah yangmendorong jurnalis berinisiatif meliput dan menulis beritatentang persoalan yang sama berkali-kali.

Maka, ketika muncul pernyataan sebagai ungkapanketidakpuasan terhadap pemberitaan media atas persoalan danarekonstruksi, muncul pertanyaan: Bagaimana media massamemberitakan hal tersebut?

Kasus LepasBerdasarkan pengamatan terhadap tiga suratkabar

(Kompas, Suara Merdeka, dan Kedaulatan Rakyat), persoalandana rekonstruksi sesungguhnya tidaklah luput dari pemberitaansuratkabar. Sejak awal, masalah dana rekonstruksi untukpembangunan atau perbaikan rumah penduduk yang rusakakibat gempa telah menjadi sorotan ketiga suratkabar tersebut.

Berita Pemotongan Dana Rekonstruksi:

ADA KETERBATASAN MEDIA?

Ada tiga persoalan seputar dana rekonstruksi yang seringdiberitakan suratkabar. Pertama, masalah akurasi data jumlahrumah penduduk yang layak mendapat dana rekonstruksi.Kedua, pemotongan dana rekonstruksi. Ketiga, pokmas(kelompok masyarakat penerima dana rekonstruksi yangdidampingi fasilitator) dan kinerjanya.

Apabila kemunculan berita persoalan dana rekonstruksidicermati, ditemukan kecenderungan bahwa persoalan tersebutdisikapi oleh jurnalis sebagai peristiwa momentum biasa.Kecenderungan tersebut menyebabkan kasus yang timbulberkaitan dengan dana rekonstruksi hanya diberitakan sebagaimasalah yang terjadi di suatu tempat, menyangkut pihak-pihaksetempat, dan terjadi saat tertentu.

Karena itu, berita tentang persoalan dana rekonstruksisuatu saat bisa muncul, bisa pula sama sekali tidak ada beritabertopik sama selama beberapa minggu, kemudian muncul lagi.

Sebagai ilustrasi, masalah akurasi data jumlah keluargakorban gempa yang layak mendapat dana rekonstruksi banyakdiberitakan sekitar bulan Agustus 2006, dipicu oleh protessejumlah warga yang merasa diperlakukan tidak adil karenatidak tercantum sebagai penerima dana rekonstruksi. Padahal,ada warga lain yang kondisi rumahnya lebih baik, malahtercantum sebagai penerima dana rekonstruksi.

Sedang pemotongan dana rekonstruksi sebenarnya sudahmuncul dalam berita bulan Oktober 2006, setelah danarekonstruksi tahap I diturunkan (lihat misalnya Kompas, 17-10-2006). Sesudah itu, berita tentang pemotongan dana rekonstruksimuncul sesekali, dengan selang waktu cukup lama. Itu pun tanpadiikuti berita lanjutan tentang nasib persoalan tersebut.

Sebagai contoh, antara bulan Januari hingga April, beritapemotongan dana rekonstruksi tiga kali diberitakan KedaulatanRakyat(9-1-200, 28-2-2007, dan 28-3-2007). Memang beritaitu kemudian diikuti berita lanjutan (follow-up news) baik yangberisi janji aparat penegak hukum akan mengusut kasus tersebut,maupun sanggahan bahwa tidak ada pemotongan danarekonstruksi. Namun setelah itu, tidak juga muncul berita yangmengungkap bagaimana kasus tersebut ditangani.

Sejak Mei 2007, suratkabar semakin gencar memberitakanmasalah pemotongan dana rekonstruksi, menyusul penahanansalah satu Kepala Dusun sebagai tersangka dugaan penyunatan

Page 5: News Edisi Okt Final

Edisi: 006/Oktober 2007 | 5

A n a l i s i s I n f o

dana rekonstruksi. Hingga September 2007, kasus pemotongandana rekonstruksi di berbagai tempat banyak diberitakansuratkabar, baik berdasarkan informasi yang dihimpun sendirioleh jurnalis dari lapangan, atau mengutip pengakuan korbanpemotongan yang dilontarkan pada suatu diskusi, maupunsetelah sejumlah warga korban gempa berunjuk rasa.

Meski demikian, kasus pemotongan dana rekonstruksitetap diberitakan sebagai kasus lepas. Dan tidak tuntas.

Lemah InvestigasiKetika pernyataan AB Widiyanta diberitakan, suratkabar

sebetulnya sedang gencar memberitakan berbagai kasus pemotongandana rekonstruksi. Toh pernyataan itu tetap dilontarkan.

Sebagai ungkapan ketidakpuasan atas pemberitaan tentangpemotongan dana rekonstruksi, pernyataan itu menyiratkanbahwa media sebetulnya diharapkan membuat berita yang lebihkuat gaungnya. Berita yang mampu menggugah perhatian publik,dan melalui mekanisme pemberitaan intensif yang tidak berhentidi satu titik, melainkan berkelanjutan agar semua masalahterungkap tuntas. Dengan pemberitaan semacam itulah yangdiharapkan menumbuhkan kesadaran publik bahwa tindakanpemotongan dana rekonstruksi demi alasan apapun harusdihentikan. Pada gilirannya, kesadaran itu diharapkan mendorongpublik melakukan tekanan terhadap pihak berwenang agar segeramengusut kejadian tersebut. Harapan itu tidak terpenuhi.

Manakala pemotongan dana rekonstruksi diberitakan sebagaikasus lepas, sedang pemuatan berita antara satu kasus dan kasuslain terentang selang waktu cukup lama, maka intensitas perhatianpembaca terhadap kasus tersebut menjadi terputus-putus. Pembacabisa saja sudah lupa bahwa persoalan serupa pernah terjadi di suatutempat dan sudah pernah diberitakan. Pembaca juga bisa cenderungmenyikapi suatu persoalan yang diberitakan sebagai kasus belaka.Bukan suatu persoalan yang menggejala.

Akan lain halnya jika sejak awal jurnalis tetap bersikapkritis dengan mengajukan pertanyaan berikut: Apakahpemotongan dana rekonstruksi di suatu tempat hanya terjadi disana? Atau pemotongan dana rekonstruksi juga mungkin dialamiwarga di tempat lain? Dengan bersikap kritis, jurnalis tidakserta merta memandang pemotongan dana rekonstruksi sebagaipersoalan yang hanya terjadi di suatu tempat. Ada kemungkinankejadian serupa juga menggejala di berbagai tempat.

Kemungkin itu cukup terbuka, karena menyangkut jumlahyang cukup besar. Sebagai gambaran, untuk provinsi DIYogyakarta, berdasarkan Peraturan Gubernur No. 23 Tahun2006, ada 47.468 unit rumah roboh/rusak berat yang tersebardi empat kabupaten dan satu kotamadya. Setiap rumah roboh/rusak berat mendapat bantuan dana rekonstruksi Rp 15 juta,dibayarkan dua tahap, masing-masing Rp 6 juta dan Rp 9 juta.

Maka, begitu muncul berita tentang pemotongan danarekonstruksi tahap I (Kompas, 17-10-2006, sebagaimanadisebutkan di atas), jurnalis segera bisa mengajukan pertanyaan:Dari jumlah penerima dana rekonstruksi untuk rumah roboh/rusak berat, seberapa banyak mengalami pemotongan?

Pertanyaan itu sudah tentu diikuti pertanyaan-pertanyaanlain seperti: Kapan dan di mana saja terjadi pemotongan? Siapa

saja yang melakukan pemotongan? Berdasarkan alasan apa sertabagaimana pemotongan dilakukan? Berapa besar pemotongandari jumlah yang seharusnya diterima warga?

Jawaban atas pertanyaan itulah yang bisa menggambarkanseberapa signifikan sesungguhnya pemotongan dana rekonstruksiitu. Sebagai misal, laporan suratkabar akan jauh lebih menggugahkesadaran pembaca dengan menyajikan fakta bahwa telah terjadipemotongan dana rekonstruksi untuk sekian persen dari 47.468unit rumah rusak berat, disertai keterangan jumlah rupiah yangdipotong, serta di mana saja pemotongan itu terjadi.

Tidak mudah bagi jurnalis untuk memperoleh jawaban atassemua pertanyaan tersebut. Belum tentu warga yang mengalamipemotongan dana rekonstruksi bersedia membuka mulut.Seperti diberitakan (lihat Kedaulatan Rakyat, 24 dan 27 Agustus2007), ada warga yang mendapat tekanan, ancaman, atau bahkankekerasan fisik.

Maka, untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan itu,jurnalis harus melakukan liputan investigasi. Untuk tugas ini,jurnalis perlu mempunyai kemampuan mengungkap apa yangtersembunyi dan sengaja ditutup-tutupi, memiliki kesabaran dandaya tahan, serta memiliki penciuman tajam terhadap setiapkemungkinan penyimpangan.

Agar berhasil memperoleh fakta yang lengkap, rinci, benar,dan akurat, bukan mustahil ia akan menghabiskan waktuberhari-hari keluar masuk dari satu desa ke desa lain di wilayahterkena gempa. Informasi sekecil apapun yang bisa menjadipetunjuk untuk mengungkap setiap tindakan pemotongan, tidakdiabaikan. Ia akan mewawancarai warga penerima danarekonstruksi atau siapapun yang bersedia memberi keterangan,mencari bukti berupa data atau dokumen, menguji setiap faktayang diperoleh untuk memastikan kebenaran dan akurasinya.Semua itu lalu dituliskan dalam laporan hasil investigasi yangmengungkap tindakan pemotongan dana rekonstruksi.

Itu saja belum cukup. Jurnalis masih perlu membuat beritalanjutan tentang apa yang dilakukan pihak berwenang, apakahhak warga telah dipulihkan, apakah pelaku pemotongan telahditindak, dan sebagainya. Laporan-laporan sedemikiansekaligus akan berdampak sebagai peringatan bagi siapapunyang berniat memotong dana rekonstruksi. Dengan kata lain,berita berfungsi prefentif sehingga kejadian serupa tidak meluas.

Akan tetapi, mekanisme pemberitaan seperti itu tidak dilakukan.Jangankan laporan investigasi. Tidak semua kasus pemotongan danarekonstruksi tuntas diberitakan. Mengacu pada hasil pengamatansebagaimana dikemukakan di atas, ada kasus pemotongan danarekonstruksi yang tidak jelas lagi kabarnya, karena tidak diikuti beritalanjutan apakah pelaku pemotongan sudah ditindak.

Maka bisa dipahami mengapa muncul ketidakpuasanterhadap pemberitaan media. Ketidakpuasan melahirkanpenilaian, seperti terkandung dalam pernyataan bahwa mediamemiliki keterbatasan mem-blow up persoalan dana rekonstruksi.Sudah tentu keterbatasan itu bukan karena faktor eksternal,mengingat UU Pers 1999 menjamin kebebasan pers. Tidak adapihak yang boleh mencampuri tugas pers. Keterbatasan itu berasaldari faktor internal, yaitu profesionalisme. (ron)

Page 6: News Edisi Okt Final

6 | Edisi: 006/Oktober 2007

S u m b e r I n f o

Perempuan BaduyDI baduy, kami bergaul, sekaligus melakukan penelitian kecil tentangmasyarakat disana. Selain mempunyai alam yang indah, kami jugabanyak belajar bagaimana cara mereka menjaga alam. Mereka selalumampu untuk bersetubuh bersama alam- memanfaatkan, sekaligusmemeliharanya. Namun sayang, ada banyak persoalan yang menimpaanak-anak dan perempuan disana.

1. Sejarah BaduyOrang baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat sunda

di wilayah lebak, banten. Namun orang baduy lebih suka jikadisebut sebagai orang kanekes, sesuai dengan nama asal kampungmereka, yaitu kampung kanekes.

Bahasa yang mereka gunakan bahasa sunda dialek sundabanten. Orang baduy dalam tidak mengenal budaya tulis. Sehinggaadat-istiadat, dan kepercayaan mereka hanya tersimpan dalamtuturan lisan saja. Kepercayaan masyarakat kanekes disebut sundawiwitan. Ini berakar pada arwah nenek moyang mereka (animisme).Isi terpenting dari agama yang mereka anut adalah konsep “tanpaperubahan apapun” atau “perubahan sesedikit mungkin”

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang kanekes mengakuketurunan dari batara cikal, yang merupakan salah satu dari tujuh dewaatau batara yang diutus untuk turun ke bumi. Menurut kepercayaanmereka, adam dan keturunannya termasuk warga kanekes yangmempunyai tugas di dunia untuk menjaga harmoni.

2. Perkembangan BaduySelanjutnya baduy dibagi dalam dua wilayah, yaitu baduy

dalam dan baduy luar. Wilayah baduy dalam dikelilingi oleh baduyluar. Pemukiman orang baduy berjumlah 52 buah perkampungan,mereka masuk dalam wilayah desa kanekes, kecamatan leuwidamar, kabupaten lebak, banten. Luas desa kurang lebih 5000hektar. 3000 hektar diantaranya adalah hutan lindung. Hasil sen-sus tahun 2000 menunjukkan, jumlah penduduk baduy mencapaikurang lebih 8000 orang. 45 persen diantaranya adalah perempuan.

Untuk mencapai baduy dalam, para pendatang harus berjalankurang lebih 18 kilometer atau berjalan kaki selama 4 jam. Dengantanjakan tajam dan lereng-lereng yang sempit. Memasuki baduy,maka pendatang tidak diperbolehkan untuk membawa barang-

PEREMPUAN DALAM ADAT BADUY*Luviana**

barang elektronik, minuman keras dan senjata tajam. Ini merupakanketentuan yang sudah mereka sepakati untuk tidak terlalu banyakmenerima unsur-unsur dunia luar.

Pada umumnya pemukiman mereka berada di lereng-lerengbukit dan lembah yang ditumbuhi pohon besar dan dengan sungaiyang ada di tengah-tengah mereka. perumahan baduy berbentukpanggung dengan atap yang dibuat dari daun rumbia dan papanrumah dari bambu.

Suku baduy sangat dekat dengan alam. Mereka juga menolakperkembangan jaman. Untuk itulah, maka kemudian merekamelarang siapapun untuk menggunakan alat transportasi danbarang-barang dari luar, untuk sampai pada wilayah baduy.

Selain itu, warga suku baduy sudah menyepakati bahwa merekahingga hari ini membentuk pemerintahan sendiri. Mereka memangmengakui keberadaan pemerintah Indonesia, namun berbagai penolakantajam pada pemerintah yang berlaku di Indonesia terus mereka lontarkan.Hal ini disebabkan karena mereka tidak percaya dengan kebijakanpemerintah Indonesia, seperti tidak ramahnya pemerintah padapersoalan-persoalan yang dialami masyarakat adat (seperti hakpembagian tanah ulayat, kerusakan tanah dan ladang, juga tidakberpihaknya pemerintah pada nasib petani). Pemerintah Indonesia jugatidak kunjung memperbaiki lingkungan, salah satunya pencemaranudara. Hal ini juga mereka tunjukkan dengan penolakan mereka untukmengikuti pemilu maupun pilkada. Karena mereka meyakini, bahwamempercayai pemerintah Indonesia, tidak akan merubah nasib mereka.selain itu mereka juga menolak masuk sekolah. Menolak menggunakanbarang-barang seperti piring, sendok dan senter.

Baduy dipimpin oleh seorang Puun (pemimpin tertinggidalam adat/ presiden) yang dibantu oleh Jaro (menteri-menteri/kepala desa). Ada Jaro yang mengurusi kesehatan warga. Jaro inilahyang mengobati warga jika mereka sakit dengan menggunakanjampi-jampi. Ada pula Jaro yang mengurus pertanian, dan jaroyang mengurus adat seperti pernikahan dan kelahiran. Juga Jaroyang berhubungan dengan pemerintah Indonesia. Selain pengambilkeputusan, Puun juga memimpin semua rapat yang ada di baduy.

Hingga hari ini, suku baduy memanfaatkan alam untukmakanan mereka. seluruh penduduknya bertani. Mereka hanyamemanfaatkan air hujan untuk mengairi ladang-ladang mereka.

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Film Perempuan Baduy di ruang Perpustakaan LP3Y, pada 27 September 2007 lalu.** Luviana, Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Extension Program Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara

Jakarta. Pernah bekerja di Jurnal Perempuan dan kantor Berita Radio (KBR) 68H Jakarta. Saat ini bekerja sebagai Produser Pemberitaan di MetroTV, aktif sebagai Koordinator Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Page 7: News Edisi Okt Final

Edisi: 006/Oktober 2007 | 7

S u m b e r I n f o

Namun tidak seperti 10 tahun lalu, saat ini para suku baduy dalamsudah mulai menjual hasil padi mereka keluar dari suku, sama halnyayang dilakukan oleh warga suku baduy luar. Setiap musim tanamdan musim panen tiba, suku baduy selalu membuat upacara yangdisebut ngaseuk. Ini sebagai ungkapan syukur mereka terhadap dewisri atau dewi padi. Para warga baduy selalu menyimpan hasil panenmereka di lumbung-lumbung padi. Tak heran jika luas lumbunglebih besar dari rumah mereka.

3. Persoalan Perempuan dan anak-anak BaduyWarga baduy lebih menyukai mempunyai anak-anak laki-laki

daripada anak perempuan. Karena laki-laki baduy bisa menjadi kepalasuku, sedangkan perempuan tidak. Menjadi kepala suku merupakankehormatan bagi warga baduy. Tidak heran jika para kepala sukumenginginkan mempunyai anak laki-laki. Karena dia bisa dipilih untukmelanjutkan garis keturunan kepala suku. Hingga hari ini belum adakepala suku baduy yang diambil dari perempuan.

Sejak kecil, baik anak laki maupun anak perempuan baduydiperbolehkan ikut orangtuanya ke sawah. Namun anak laki bolehmemegang alat seperti arit atau pacul, sedangkan perempuan tidak.Bagi suku baduy, alat cangkul identik dengan laki-laki karena merekayang memutuskan untuk menanam padi dan menentukan kapan padibisa dituai, sedangkan perempuan hanya boleh memeliharanya.

Perempuan baduy tidak boleh bertemu orang asing/ pendatang,karena dianggap pamali. Hanya laki-lakilah yang boleh bertemudengan orang asing. Kalaupun ia terpaksa harus bertemu, maka Puunakan menjadi wali yang menyampaikan pesan dari perempuan.

Ketika beranjak dewasa, maka perempuan dan laki baduy akandijodohkan oleh orangtuanya. Setelah itu mereka akan melakukanbebogohan atau pacaran.laki-laki boleh memilih siapa perempuanyang ia maui, sedangkan perempuan hanya berhak untuk dipilih.

Perempuan baduy akan dinikahkan pada usia 15 tahun atau lebihmuda dan laki-laki berumur 20 tahun. Pada dasarnya perempuan akandinikahkan sesudah mengalami proses menstruasi. Padahal dalamkesehatan reproduksi, jika mereka melahirkan di usia muda, akanmembahayakan kesehatan reproduksi perempuan dan untuk bayi.

Setelah menikah, maka laki-laki menjadi kepala keluarga. iayang menentukan segala keputusan keluarga dan untuk istrisekaligus anak-anaknya.

Perempuan baduy adalah type perempuan pekerja keras. Bersamasuaminya, biasanya perempuan baduy akan pergi ke sawah sejak jam 3pagi. Sebelumnya, perempuan baduy lebih dahulu memasak danmembersihkan rumah. Rata-rata mereka akan bangun jam 1 dinihari untukmelakukannya. Setelah itu, mereka biasa pulang dari sawah pukul 15.sampai di rumah, perempuan baduy masih harus memasak dan mengurusanaknya hingga malam hari. Padahal pekerjaan domestic ini tidakdilakukan oleh para laki-laki baduy. Perempuan yang sedang hamilpuntetap mempunyai kewajiban yang sama. Tidak jarang mereka berjalan 3-5 kilometer dari sawah dengan membawa anak dan beban yang lain.

Namun beberapa rumah tangga di baduy mempercayai bahwahanya laki-laki yang boleh bekerja di ladang, sedangkan perempuanbekerja di rumah. Perempuan yang bekerja di rumah akhirnyamenenun dan mengerjakan pekerjaan rumah serta mengasuh anak.

Rapat-rapat suku biasanya dilakukan ketika malam tiba. Hanyalaki baduy yang diperbolehkan mengikuti rapat. Sedangkan perempuan

tidak diperbolehkan ikut. Karena di suku baduy, ada peraturan bahwapengambil keputusan adalah di tangan laki-laki, bukan di tanganperempuan. Rapat dipimpin oleh Puun dan dibantu oleh menteri/ Jaroyang semuanya dijabat oleh laki-laki.

Keputusan untuk mempunyai anakpun diputuskan oleh laki-laki. Juga keputusan dengan siapa mereka harus melahirkan.Beberapa warga di suku baduy luar sudah mulai melahirkan dengandibantu oleh bidan. Namun keputusan dengan siapa merekamelahirkan diputuskan oleh suami mereka.

Para perempuan yang memilih melahirkan dengan dukun,menggunakan alat tradisional. Seperti misalnya menggunakanbambu sebagai pemutus ari-ari. Jika ada bayi yang meninggal, makamereka mempercayai bahwa bayi ini dikehendaki oleh alam.

Para perempuan baduy dalam juga meyakini bahwa bayi baduyharus diberikan pisang setelah baduy lahir. Ini adalah kepercayaanmereka secara turun-temurun. mereka menolak air susu ibu untukuntuk diberikan pada bayi baduy. padahal seorang bayi yang barusaja lahir tidak diperbolehkan makan makanan yang keras karenaini akan mengganggu lambung mereka.

Setelah berkeluarga dan mempunyai anak para perempuanbaduy biasanya akan menjarangkan kelahiran dengan menggunakanKB dengan system saral carang boga anak. KB ini merupakankeputusan adat. para perempuan baduy harus makan daun-daunansesuai dengan ketentuan adat dan jampi-jampi dari kepala suku.

para perempuan baduy menyatakan syarat-syarat inilah yangharus mereka jalani untuk tetap tinggal di dalam suku baduy.

4. Keterlibatan Petugas KesehatanBeberapa penolakan yang dilakukan masyarakat Baduy

termasuk menolak obat dan menjaga kesehatan para perempuandan anak inilah yang selanjutnya mengusik mantri idi rosidi untukbekerja sebagai mantri di wilayah ini

Sudah tiga puluh tahun ia menjadi mantri di daerah baduyini tepatnya di kecamatan cisemut bersama anaknya eros Rositayang bekerja sebagai bidan

Idi rosidi berniat masuk universitas kala itu namun karenatidak mampu ia kemudian menjadi Pekerja Rumah Tangga dipuskesmas ini

Tidak hanya di luar baduy mantri rosidi dan bidan Rositaharus harus keluar masuk suku baduy. jarak 18 kilometer atausekitar empat jam perjalanan harus mereka lalui untuk memeriksakesehatan masyarakat baduy

Kaki Idi Rosidi yang pincang sejak kecil sekaligus kehamilanbidan Rosita tidak pernah mereka hiraukan.

Setelah pensiun tiga tahun lalu saat ini ia dipekerjakan sebagaitenaga honorer di puskesmas cisemut. ini karena kurangnya tenagamantra. honornya hanya seratus ribu rupiah perbulannya. padahalwaktu liburpun tetap ia gunakan untuk menemui masyarakat.

Bidan Rosita sendiri sudah bekerja sebagai bidan selama sepuluhtahun. namun baru tahun ini diangkat sebagai pegawai negeri, prob-lem ini pula yang banyak dialami para perempuan di puskesmas ini.

Selain bergaji kecil, tidak jarang masyarakat baduy menolakkedatangan mereka. padahal dengan bertemu masyarakat sepertiini, mereka hanya ingin memberikan alternative pengobatan.

Bersambung ke halaman-9

Page 8: News Edisi Okt Final

8 | Edisi: 006/Oktober 2007

S p e s i a l I n f o

BERITA tentang kekalahan majalah Time Asia yang berperkara denganbekas Presiden Indonesia, Soeharto, menyeruak di tengah belantaraberagam informasi di negeri ini, pekan kedua September 2007 lalu.

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasiHM Soeharto atas Time Asia setelah kedua belah pihak selamaenam tahun berperkara di pengadilan.

Perkara itu menyangkut gugatan Soeharto atas pemberitaanmajalah Time berjudul Suharto Incorporated. Oleh MA diputuskan,Time Asia, para penulis dan editornya harus membayar Rp 1 triliunkepada pihak penggugat, yakni Soeharto. Selain itu, Time juga dihukumagar meminta maaf melalui media cetak tiga kali berturut-turut.

Banyak pihak berkomentar atas keputusan MA itu, mulai darikekhawatiran mengenai keterancaman kemerdekaan pers di Indo-nesia, hingga menggugat independensi para hakim yangmemutuskan perkara itu.

Apa dan bagaimana sebenarnya kasus tersebut terjadi? Tulisanini tidak hendak melihat masalah tersebut dari sisi persoalan hukumyang melibatkan kedua belah pihak berperkara di pengadilan. Akantetapi, tulisan di bawah ini akan mencoba melihat dari sisi jurnalisme,khususnya mengenai validitas data dalam kerja jurnalisme yangdiungkapkan oleh Time sehingga pihak penggugat akhirnyamengajukan majalah itu ke meja hijau.

Adalah majalah Time edisi 24 Mei 1999. Laporan utama (cover story)majalah itu bertajuk Suharto Inc, terangkum dalam artikel laporan sepanjang14 halaman, dimuat mulai halaman 13 hingga 26. Laporan itumengungkapkan investigasi majalah Time atas harta kekayaan dan dugaankorupsi yang dilakukan Soeharto dan keluarganya, ketika Soeharto berkuasaselama lebih dari 30 tahun di Indonesia.

Sebagai majalah dengan kredibilitas dan reputasi internasional,laporan Time itu tentu saja telah didasarkan pada prinsip-prinsipjurnalisme yang akurat dan terjaga. Namun, justru dari sanalah kasusitu kemudian jadi perkara di pengadilan.

Pihak Soeharto mengajukan Time ke pengadilan karena merasaharga dirinya tercemar atas pemberitaan itu. Untuk sekadar mengingatsecara fisik, pada sampul majalah itu bergambar wajah Soehartosedang tersenyum. Di bawah gambar tertulis Special Report, SuhartoInc. How Indonesia”s longtime boss built a family fortune.

Pada salah satu halaman majalah, laporan di edisi itu, Timememberi judul The Family Firm, dilengkapi ilustrasi Soeharto yangberpeci dan berjas hitam sedang memeluk rupa-rupa barang, adakarung beras, piring porselen bergambar perempuan Jawa danrumah mewah bergaya Eropa.

SOAL VALIDITAS DATA PADA

KASUS TIME VS SOEHARTO

Sesuai dengan tulisannya, majalah Time bahkanmenggolongkan Soeharto sebagai diktator korup di Asia. Selama32 tahun berkuasa, kekayaan Keluarga Cendana ditaksir sekitar US$15 miliar atau sekitar Rp 141,7 triliun. Padahal, gaji Soeharto sebagaipresiden –kala itu— hanya Rp 15 juta sebulan (Tempo 23/9/2007).

Menurut Time, kekayaan Soeharto tersimpan di bank di Swiss.Berdasarkan hasil penelusuran Time pula, ditemukan kekayaanSoeharto dan keluarganya tak hanya berupa deposito atas uang dibank, tapi juga benda berharga, tanah dan properti. Semua ituterserak tak saja di Indonesia, tapi juga berada di Selandia Baru,Inggris dan Amerika Serikat.

Dari laporan itulah gugatan berawal. Soeharto menolaklaporan majalah itu. Ia merasa tercemar, antara lain ataspemberitaan Time yang menulis telah terjadi transfer dana dalamjumlah besar, yakni US $ 9 miliar, uang milik Soeharto dari Swisske rekening tertentu di sebuah bank Austria.

Pertanyaannya, jika memang data itu disebut-sebut tidak valid,mengapa Time berani menurunkannya menjadi informasi, bahkandalam laporan utama? Benarkah majalah dengan “jam terbang”puluhan tahun di percaturan media internasional, dan telah mempunyaireputasi terhormat itu sengaja mengorbanan kredibilitasnya denganmenyiarkan kabar bohong, berita sensional?

Gugatan dengan pertanyaan semacam ini akan makin panjang,manakala argumen Mahkamah Agung (MA) yang memenangkangugatan Soeharto atas Time itu, memakai pendekatan bukti. Artinya,MA membutuhkan bukti dari Time bahwa senyatanya memang benartelah ada transaksi, transfer uang dalam jumlah besar itu.

Dalam amar putusannya, majelas kasasi MA pimpinan GermanHoediarto dengan anggota Muhammad Taufik dan M.Bahauddin Qaudryitu, Time telah melampaui batas kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hatidalam menulis berita tentang Soeharto. Yang disebut tidak hati-hati danpatut itu adalah ilustrasi dan berita yang menyebut Soeharto mentransferUS$ 9 miliar (sekitar Rp 108 triliun saat itu) dari bank di Swiss ke sebuahbank di Austria pada Juli 1998. (Tempo 23/9/07-hal 29) .

Mengutip laporan utama Tempo 23 September lalu, dasarpenurunan laporan khusus yang ditulis wartawan Time AmerikaSerikat, John Colmey dan koresponden Time di Indonesia, DavidLiebhold adalah informasi yang diterima Time tentang dana yangdiduga milik Soeharto di Swis . Time mendapat informasi, ada trans-fer dana berjumlah jumbo milik keluarga Cendana dari sebuah bankdi Swiss ke bank Austria Juli 1998. Soeharto jatuh dari kursikepemimpinannya Mei 1998. Pengalihan dana itu diduga untuk

Page 9: News Edisi Okt Final

Edisi: 006/Oktober 2007 | 9

S p e s i a l I n f o

mencari “perlindungan” lebih aman. Kementerian keuanganAmerika, ketika itu, memberikan perhatian khusus terhadapinformasi ini. Bahkan kementerian tersebut melakukan sejumlahpenyelidikan diplomatik di Wina Austria.

Majalah Time memerlukan waktu empat bulan untukmenggarap laporan Suharto Inc itu. Lebih dari sepuluh wartawan,baik dari Indonesia maupun di sejumlah biro di luar Indonesia,dikerahkan untuk mencari, mengumpulkan dan menulis laporan itu.

Kerja jurnalistik Time terkoordinasi dengan seksama. Di In-donesia, Time mengumpulkan data tersebut dengan mendatangiberbagai sumber, perorangan maupun instansi. Di antaranya BadanPertanahan Nasional, Pertamina, sejumlah yayasan milik Soehartoserta Indonesia Corruption Watch.

Pun demikian di luar negeri, Time melakukan investigasi.Selandia Baru, Amerika Serikat, Eropa dan sejumlah negara Asialainnya, didatangi Time, untuk melacak kebenaran harta-harta milikSoeharto itu berada.

Sulit untuk disangkal lagi, bahwa Time telah mengembangkanpraktik jurnalistik dengan baik. Artinya prinsip-prinsip jurnalistikdipegang teguh manakala Time melakukan penelusuran,menginvestigasi, dalam kasus Soeharto ini.

Tujuan kegiatan jurnalisme investigatif adalah memberi tahukepada masyarakat adanya pihak-pihak yang telah berbohong danmenutup-nutupi kebenaran. Masyarakat diharapkan menjadiwaspada terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan berbagaipihak, setelah mendapatkan bukti-bukti yang dilaporkan. Bukti-buktiitu ditemukan melalui pencarian dari berbagai sumber dan tipe

informasi, penelaahan terhadap dokumen-dokumen yang signifikandan pemahaman terhadap data-data statistik. (S.Santana H –Jurnalisme Investigasi-2003).

Dalam kasus ini, investigasi yang dilakukan Time, misalnyatentang kabar adanya transfer dana dari Swiss ke Austria itu, adalahmendasarkan pada sumber Wirtschaftsblats, jurnal ekonomi Barron27 Mei 1998 dan majalah Gamma 4 April 1999. Barang bukti itusudah disodorkan ke pengadilan. (Kompas 28/9).

Pada kenyataannya, data yang diperoleh Time itu dianggaptidak valid, dimentahkan oleh majelis hakim agung yangmenangani kasasi ini. Muncul pertanyaan senada oleh berbagaipihak, apakah media harus membuktikan adanya traksaksi uangitu? Atau cukup dipandang sebagai fakta jurnalistik?

Mengomentari kasus ini, anggota Dewan Pers Abdullah Alamudimenilai, artikel Suharto Inc di majalah Time itu merupakan bentuklaporan investigasi yang telah memenuhi kaidah jurnalistik. “Memilikitingkat akurasi tinggi dan bisa dipercaya,” ujarnya seperti dikutipTempo 23/9. Masih menurut Abdullah, pemberitaan tersebut,merupakan bagian dari fungsi pengawasan sosial pers untukmengungkapkan kebenaran kepada masyarakat.

Demikianlah, sampai saat ini ternyata masih ada pihak yangbelum bisa menerima penerapan validitas data dalam karyajurnalistik. Kerja jurnalistik masih dianggap sama dengan jenispekerjaan lain. Padahal undang-undang khusus yang mengaturnyapun sudah ada, yakni UU Pers. Maka, kita tunggu sajaperkembangan selanjutnya. (awd)

Bagi bidan Rosita dan mantri rosidi menjadi bidan dan man-tra di daerah terpencil tetap menjadi pilihan hidupnya.

Mereka meminta pemerintah untuk merubah nasib merekadan nasib para perempuan disini.

5. Peliputan JurnalistikDalam peliputan jurnalistik, kami (saya dan camera person

Priyo Susilo) sangat kesulitan mendapatkan data sekunder yanglengkap tentang apa yang dialami perempuan baduy. Hampir semuadiktat dan penelitian tentang baduy menuliskan tentang sejarah baduymaupun baduy dari sisi antropologisnya, maupun tentang kearifanmasyarakat baduy dalam bersetubuh bersama alam. Hampir semuabuku menuliskan, tidak ada persoalan perempuan disana. Baik darisisi kebijakan maupun kesehatan reproduksi mereka.

Kesulitan kami yang kedua, ketika kami sampai disana, kamikesulitan untuk membawa kamera untuk masuk. Kesulitan kamiyang lain, kami tidak boleh melakukan wawancara denganperempuan. Wawancara hanya boleh dilakukan oleh para Puun danJaro. Akhirnya kami wawancara dengan salah satu perempuan dariwarga suku baduy luar yang sudah mau menerima bidan dan alat-alat kesehatan. Dulu ia tinggal di baduy dalam.

Namun kami akhirnya mendapatkan banyak data dari bidaneros Rosita dan mantri Idi Rosidi. Mereka sangat membantu kamiuntuk menelusuri persoalan perempuan disana.

Tentu saja kami harus mengenali kasus-kasus perempuandalam konsep feminisme multikultur. Banyak perempuan desaumumnya yang dibungkam suaranya. Maka tugas kami untukmenuliskan sesuatu yang tidak dikenali ini.

Banyak hal yang tidak bisa kami rekam, tentu saja ini jauhdari ideal dalam peliputan jurnalistik. Namun kami tetapmenghargai hak mereka untuk mau berbicara maupun tutup mulut,termasuk untuk tidak menggunakan kamera, karena ini melanggarhak mereka sebagai individu.

Perjalanan yang sangat jauh, yaitu sekitar 15 kilometer jugamembuat kami cukup kelelahan dalam melakukan peliputan.Apalagi kami harus membawa tripot, kamera dan sejumlahmakanan. Kami tidak boleh memasuki baduy dalam, karena hanyadalam waktu-waktu tertentu saja para pendatang diperbolehkanmasuk kesana. Akhirnya kami sampai pintu baduy dalam saja.Namun hal yang sangat menggembirakan, ada beberapa Jaro yangmau kami wawancarai. Sekaligus anak laki-laki Puun. Ini membuatkami lega, karena perjalanan kami 3 kali keluar masuk baduy tidaksia-sia. Pertama kami datang untuk melakukan riset. Yang keduakami melakukan wawancara. Yang ketiga kami harus membuatjanji lagi untuk melakukan wawancara lagi. Selebihnya kamidatang untuk melakukan wawancara di baduy luar. Ini tidak berat,karena kami hanya berjalan 3 kilo saja untuk menemui mereka.

Akhirnya kami bisa membuat hasil peliputan ini dengan dibantuoleh Ari yang mengedit gambar. Walaupun jauh dari sempurna.*

Sambungan dari halaman-7

Page 10: News Edisi Okt Final

10 | Edisi: 006/Oktober 2007

I n f o b u k u

Judul Buku : Perempuan dan Bencana, PengalamanYogyakarta

Penyunting : Farsijana Adeney-RisakottaPenerbit : Selendang Ungu PressTerbit : Agustus 2007Tebal : xxxvi + 340

“KEKUATAN” PEREMPUAN

MENGHADAPI BENCANA

BUKU ini berawal dari lokakarya penulisanyang dilakukan Koalisi Perempuan Indonesia(KPI) cabang Sleman Yogyakarta tentangpenguatan kesadaran dari pengalaman mengatasiketidakadilan gender bagi perempuan-perempuan. Selain juga dari pengalaman-pengalaman secara individu menghadapibencana gempa yang terjadi di Yogyakarta danJawa Tengah pada 27 Mei 2006 pukul 05.57WIB.

Dengan tiga kali lokakarya yangdiselenggarakan, akhirnya 34 perempuan pesertalokakarya tersebut berhasil menuliskanpengalaman-pengalamannya ketika terjadibencana gempa bumi.

Ada banyak pengalamanyang dituliskan dengan gayabahasa dan penuturan masing-masing penulis. Pengalamanindividu dengan segala perasaanmanusiawi menghadapi bencanayang tidak terduga. Sedih, tegar,tetap bertahan, pasrah, mencoba bangkit dan masih banyak lagigambaran perasaan yang dituangkan dalam buku ini.

Seperti misalnya pada bab 7 tentang Keprihatinan danKepribadian Anak. Dalam bab tersebut yang berisi cerita-ceritapengalaman beberapa suami, perempuan dan seorang relawanmenggambarkan betapa perempuan sangat berguna denganperannya menjadi seorang ibu dan sekaligus lebih kuat atauunggul menghadapi musibah tersebut. Kebiasaan perempuandengan menjalankan perannya tersebut menjadikan keunggulantersendiri bagi perempuan.

Atau tentang masalah reproduksi pada perempuan. Padabab 17 tentang Cerita duka Perempuan di Balik Bencana Alam,salah satu masalah yang terekam adalah tidak adanya atauterlambatnya bantuan untuk keperluan reproduksi sepertipembalut, sehingga beban perempuan semakin berlipat. Selain

dia harus mengurus anaknya yang masih bayi,ia pun harus menghadapi kesulitan mengatasidarah menstruasi yang mengalir akibat tidakadanya pembalut (hal. 224)

Masih banyak lagi cerita menarik lainnyayang dapat pembaca simak. Buku ini dapat hadirberkat kegigihan penyunting yangdipersembahkan untuk perempuan secaraindividu dan perempuan pada umumnya dalammenghadapi situasi apapun di tengah kondisicarut marut saat itu.

Hasil tulisan perempuan-perempuan yangsebagian besar belum terbiasa menulis danternyata mereka mampu menulis. Mereka

sepakat membagi tulisantersebut dalam lima sub temayakni:1. Perempuan dankeberaniannya menyembuhkandiri dan sesamanya.2. Perempuan dan

transformasi peranan sosialnya dalam keluarga danmasyarakat.

3. Perempuan dan kapasitas membangun sistem4. Perempuan, kekersan dan proses pemulihan jalur

sesar gempa.5. Perempuan, penyembuhan bumi dan penerusan cita-

citanya.Seperti yang disebut penyunting pada pengantarnya,

kelima subtema ini mencerminkan kegiatan-kegiatan terpadudan menyeluruh yang dilakukan oleh perempuan dalammenanggapi paska gempa bumi di DIY dan Jawa Tengah.

Buku ini bisa menjadi referensi bagi siapa saja, meskipunsemangat diterbitkannya buku ini dengan tujuan untukpemberdayaan bagi semua perempuan dengan “kekuatan-kekuatan” yang dimilikinya. Selamat membaca. (may)

Page 11: News Edisi Okt Final

Edisi: 006/Oktober 2007 | 11

I n f o b u k u

Judul : Dampak Pembakuan Peran Genderterhadap Perempuan Kelas Bawah diJakarta

Penulis : Henny Wilujeng, Attashendartini Habsjah,Devy Setya Wibawa

Penerbit : LBH APIK JakartaTebal : XXII + 169Tahun : 2005

DAMPAK PEMBAKUAN

PERAN GENDER TERHADAP PEREMPUAN

APA yang terjadi di kalangan perempuan kelasbawah tatkala perempuan, khususnya istri,secara resmi (melalui produk legal) diposisikansebagai pihak yang hanya berkewajibanmengurus rumah tangga, sedangkan suamisebagai pencari nafkah?

Di Jakarta, pembakuan peran gendertersebut justru telah menempatkan paraperempuan (istri) dari kalangan bawah dalamhimpitan beban keseharian yang jauh lebih beratdari para lelaki (suami).

Fakta menunjukkan para perempuan ini takhanya dituntut menjalankan peran domestiksebagaimana dimaui negara melalui undang-undang. Mereka pun dituntut olehkehidupan untuk sekaligusmenjalankan tugas sebagaipencari nafkah, sementara posisisosial mereka tetap sebagai pihakyang dinomorduakan..

“Bangun pagi subuh nyucibaju dulu...habis nyuci terus cucipiring, terus beberesan dehsemua....segalanya....terus barujalan...berangkat kerja jam tujuh. Pulang jam setengah enamsore...kadang beli makanan di warung aja. Kalau di rumah udahnggak ada kerjaan lagi....ya kita balik lagi ke konveksi.Ngelembur. Kerja di konveksi dibayarnya per minggu, jadibagaimana pendapatan kita, dari hasil jahitnya. Kita nguberwaktu. Kalau misalnya kita lama, ya...pendapatannya sedikit,”ujar X, perempuan pekerja konveksi di Jakarta.

Cuplikan pengalaman X tersebut hanya bagian kecil darifakta perempuan kelas bawah di Jakarta.

Penelitian yang dilakukan LBH APIK Jakarta bekerjasamadengan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) UnikaAtmajaya Jakarta 2000-2001 menunjukkan bahwa perempuankelas bawah di Jakarta hidup dalam himpitan beban gandaakibat pembakuan peran gender yang antara lain disahkan dalamUU RI No 1/1974 tentang Perkawinan. UU tersebutmenetapkan, peran suami adalah kepala keluarga yangberkewajiban memberi segala sesuatu keperluan hidupberumahtangga sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga yang

berkewajiban mengatur urusan rumah tanggasebaik-baiknya.

Beban ganda akan makin menjadi-jadimanakala suami tak mampu menjalankanfungsinya karena berbagai sebab, misal karenalatarbelakang pendidikan rendah maka ia hanyabisa bekerja dengan upah minim bahkan takmenentu. Akibatnya, mau tak mau demimempertahankan perekonomian rumah tanggaistripun harus bekerja. Sementara itu, ia pundibebani kewajiban (oleh negara melalui UU)untuk mengurus rumah tangga.

Hasil penelitian yang kemudian dibukukandengan tajuk Dampak Pembakuan Peran Gen-

der terhadap Perempuan KelasBawah di Jakarta inimenunjukkan para perempuankelas bawah yang bekerja untukmencari nafkah, karenapenghasilan dari suami takmencukupi, harus bekerja jauhmelebihi porsi pasangannya.Sebelum bekerja yangmenghasilkan uang mereka

terlebih dahulu harus memasak, menyiapkan makanan/minumanuntuk suami dan anak, belanja, mencuci, mengantar anak kesekolah. Selesai bekerja, masih harus menyeterika,membersihkan rumah, mengasuh anak, masih harus memikirkankerja sosial seperti arisan, pengajian dan sebagainya.

Melalui buku setebal 169 hal dengan 35 tabel yangmenyesaki ruang ini, kita juga temukan hal ironis: meski padakenyataannya para perempuan ini juga mencari nafkah, paraperempuan ini tetap tidak diakui sebagai pihak pencari nafkah.Pencari nafkah tetap privilege para pria/suami. Kedua, paraperempuan kelas bawah ini (terutama yang bekerja di sektorformal) rentan pula terhadap berbagai kekerasan di tempat kerja.

Sayang, buku yang kaya data ini ditampilkan tak ubahnyasebuah laporan penelitian. Selain struktur, bahasanya puncenderung kaku-formal. Buku ini tak lebih dari sekadar laporanpenelitian yang dikemas seukuran buku. Padahal, denganmengubah gaya, buku ini akan jauh lebih menarik untuk dibacamengingat informasinya yang penting untuk diketahui. (ded)

Page 12: News Edisi Okt Final

12 | Edisi: 006/Oktober 2007

P r o f i l

“...rasanya saat itu, dunia seakan runtuh. Semua barangkuhancur, daganganku ludes. Air mata ini seperti tak bisamengalir lagi karena beratnya beban yang haruskutanggung nantinya.Yang tebanyang juga bagaimanadagangan warungku nanti bisa dibayar....padahal barukemarin saya baru mengambil barang dari penyalur...”begitu keluh Parjilah, warga dusun Klisat, desa Srihardono,kecamatan Pundong, Bantul, saat ditemui Sarni, salah seorangpendamping lapang ASPPUK.

Perlahan namun pasti, kenangan itu kini sudah lenyapsedikit demi sedikit di hadapan Bu Parjilah. ”Untukmenghilangkan trauma dan bisa sedikit bangkit dalamberusaha, tidak bisa cepat dilakukan. Namun itu perludukungan dari berbagai pihak”, begitu ungkap Sarni suatu kalidi sela obrolan dengan sesama pendamping di sore hari di kantorASPPUK saat waktu senggang.

Sebagaimana umumnya masyarakat Jawa di perdesaan,maka perempuan memegang peran penting dalam perekonomiankeluarga. Maka menjadi amat penting dalam hal itu, untukmemulihkan perekonomian masyarakat melalui usaha perempuandi Bantul. Selain itu, peran kelompok dan pedamping yangberperan selain menjadi kawan juga memberi motivasi dalamusaha khususnya, menjadi hal lain dalam kondisi itu.

Ibu Parjilah merupakan miniatur dari ratusan perempuanyang memegang peranan penting dalam seluruh aspek kehidupanberbangsa terutama dalam pengembangan ekonomi. Secaranasional, hingga sekarang ada sekitar 46,23% perempuanmerupakan pelaku ekonomi. Namun sayangnya hak-hak ekonomi,sosial dan politik perempuan masih kurang terfasilitasi. Atas dasaritu, ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil)berdiri pada 11 desember 1997, dan di Forum Nasional kedua,24-27 Februari 2001, disepakati anggotanya untuk menjadi”Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil.

Dalam pandangan ASPPUK, pengembangan usahaperempuan tidak dipandang dari sisi pengembangan ekonomisaja. Namun itu harus dilakukan pengembangan perempuandalam dua hal yaitu penguatan ”kebutuhan praktis” dan”kebutuhan strategis”. Makanya untuk memenuhi dua kebutuhandi atas, ASPPUK mempunyai strategi integratif dalampengembangan perempuan usaha kecil-mikro di level basiskhususnya, yaitu dengan memberikan treatmen dalam berbagaiaspek pengembangan usaha perempuan dan mempertimbangkanintegrasi semua aspek pendekatan maupun content serta proses.Kongkritnya, pada tataran strategi dan kegiatan, aktiftas yang

“MODAL USAHA BAGI PEREMPUAN USAHA

KECIL (PUK), BUKAN SEGALANYA....”

dilakukan untuk penguatan perempuan usaha kecil-mikrodilakukan, melalui; pengorganisasian, layananinformasi, pelayanan modal, dan advokasi.

Strategi di atas dilakukan ASPPUK berdasarkan atasvisinya, yakni “Terwujudnya PUK-Mikro yang kuat dan

mandiri dalam masyarakat sipil yang demokratis,sejahtera, egaliter, setara dan berkeadilan gender”. Dan juga

penjabaran lebih jauh dari misi ASPPUK, yaitu: (1) Memfasilitasiterbangunnya gerakan PUK-Mikro yang berkesetaraan danberkeadilan gender sebagai penguatan sipil, (2)

Memperjuangkan terbangunnya sistem yang kondusif bagi prosesdemokratisasi yang berkesetaraan dan berkeadilan gender.

Maka ketika terjadi bencana di Yogyakarat dan Klaten,ASPPUK terpanggil untuk ikut berpartisipasi dalam pemulihangempa di daerah tersebut dengan berbagi pengalaman dalampengembangan ekonomi perempuan di level grassroot. Bersamasejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya, ASPPUKmenjadi anggota jaringan yang bekerja untuk pemulihanmasyarakat paska gempa. Dalam hal ini, ASPPUK mendapatmandat dari jaringan untuk mengelola “program PemulihanSosial, Ekonomi, Pasca Gempa Bantul Yogyakarta”. SehinggaASPPUK di Bantul merupakan salah satu anggota jejaring FordFoundation dari 12 LSM yang terlibat. Retno Kustanti, yangselama ini menjadi Sekertaris Eksekutif Wilayah ASPPUKJawa, ditunjuk untuk menjadi koordinator program tersebut.

Lebih jauh, program yang dijalankan ASPPUK adalahpemberdayaan ekonomi bagi perempuan yang memiliki usahakecil dan juga perempuan yang berniat untuk memiliki usaha,seperti pedagang, pembuat emping melinjo, penjahit dansebagainya. Selain itu, ASPPUK bersama KPUK (kelompokperempuan usaha kecil) membangun permodalan alternatifdimana ini nantinya menjadi sumberdaya masyarakat.

Selain hal itu, ASPPUK diawal kegiatannyamengembangkan “recovery asset”, yaitu dengan memberikanbantuan alat-alat dengan pelaksanaannya melibatkan PUKsecara langsung mulai dari verifikasi, pengadaan barang sampaidengan pendistribusiannya. Selain itu, Asppuk juga mendorongterbangunnya LKP- Lembaga keuangan perempuan yangmenjadi wadah bagi PUK dalam pengelolaan perguliran,pendampingan usaha, capacity building, serta advokasi.

Diharapkan dengan strategi tersebut, upaya yang dilakukanASPPUK bisa menjawab kebutuhan PUK di Bantul sehinggageliat ekonomi yang dilakukan oleh perempuan semakinberkembang dan diperhitungkan.(by asppuk).


Related Documents