YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript

Nekrosis pada Infeksi Jaringan LunakSeorang pasien,laki-laki berusia 50 tahun, memiliki riwayat hipertensi dan diabetes militus mengeluh nyeri pada perut tepatnya pada kuadran kiri bawah selama 2 hari belakangan ini. Awalnya nyeri perut diawali adanya rasa kram tetapi menghilang dengan sendirinya yang diduga awalnya akibat akumulasi gas di perutnya. Namun 2 hari kemudian nyeri muncul lagi, semakin berat, dan menetap. Pasien mengeluh tidak dapat buang angin dan buang air besar sejak keluhan nyeri ini muncul. Selain itu pasien juga merasa mual, demam dan perutnya terasa kembung. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan temperatur tubuhnya 101,5 F dan tampak gelisah, nadi 110x/ menit, tekanan darah 110/60 mmHg, saturasi oksigen 100%. Pada pemeriksaan fisik tampak obesitas abdominal, disertai distensi dan adanya tahanan di kuadran kiri bawah. Pemeriksaan laboratorium didapatkan WBC 18.000/mm3, HCT 45%, pemeriksaan kimia darah didapatkan Natrium 135, Kalium 5, HCO3 22, BUN 40, Kreatinin 1,6 Glukosa 350. Pemeriksaan urin rutin tidak dijumpai keton. Diagnosis kerja dicurigai adanya perforasi diverticulitis. Lalu dilakukan CT-scan dan didapatkan gambaran udara bebas intraperitoneal dan tidak tampak adanya cairan yang perlu di drainase. Setelah diskusi bersama pasien dan keluarganya. Pasien disiapkan untuk menjalani operasi dengan prosedur Hartmans dimana sebelumnya dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai yaitu pemberian cairan, pemberian antibiotik, pemberian insulin. Selama operasi kondisi pasien stabil dan pasien diekstubasi di ruang operasi lalu pasien dipindahkan ke ruangan dengan pengobatan antibiotik Ciprofloksasin dan Flagyl secara parentral melalui Nasogastric Tube, selain itu diberikan pula drip insulin. Pasien diberikan cairan 2 liter pada fase awal pasca operasi dan diturunkan secara bertahap. Pada pertengahan hari ke-2 pasca operasi, didapatkan produksi urin pasien berkurang dan produksi urin tidak bertambah walaupun diberikan cairan bolus. Temperatur tubuh pasien meningkat sekitar 39 C. pada peneriksaan laboratorium didapatkan peningkatan WBC (35.000/mm3) peningkatan BUN dan Kreatinin. Pemberian drip insulin dilanjutkan karena gula darah pasien meningkat kembali. Pasien menjadi agitasi dan saturasi oksigen menurun pada analisis gas darah didapatkan pH 7,82, pCO2 30, pO2 75, HCO3 22 dan BE -8. Kemudian pasien dikirin ke ICU dan di intubasi. Dicurigai terjadi infeksi abdominal dan dilakukan investigasi penyebab infeksi ini dan sambil menunggu hasil pemeriksaan pasien diberikan antibioti spektrum luas. Luka bekas operasi di inspeksi untuk mendeteksi adanya tanda-tanda infeksi pada luka. Dari inspeksi ditemukan stoma, dan beberapapa hari kemudian setelah pembungkus stoma dibuka tampak eritema, indurasi dan krepitus sekitar stoma. Lalu dilakukan CT-scan tampak adanya empisema sekitar lokasi stoma yang meluas ke dinding abdomen. Keluarga pasien dijelaskan mengenai kondisi pasien ini dimana perlu dilakukan operasi kembali untuk eksplorasi dan kemungkinan dilakukan debridemen dinding abdomen, karena dicurigai adanya infeksi jaringan lunak. Pada kamar operasi luka

jahitan bekas operasi dibuka kembali dan stoma diambil. Daerah sekitar jaringan lunak yang terinfeksi tampak pucat dan mengandung banyak cairan bewarna abu-abu. Tampak sedikit perdarahan disekitar jaringan lemak subkutan, fascia tampak sehat dan melekat pada otot. Dan otot tampak sehat, jaringan subkutan dan kulit di debridement sampai jaringan yang sehat, terutama bagian stoma diambil, dan daerah sekitar stoma diambil. Alat penutup sementara diletakan diatas luka dan pasien kembali dirawat di ICU untuk menilai pakah perlu dilakukan operasi kedua, sehingga pasien perlu diobservasi selama 24 jam. Selama observasi 24 jam, perlu dilakukan tindakan reeksplorasi dimana jaringan nekrosis didebridemen dan ditutup sementara. Beberapa hari kemudian kebutuhan cairan dikurangi,deman dan kondisi hemodinamik pasien membaik. Tampak luka masih aktif, stoma yang baru dibawa ke sisi kanan abdomen, kemudian fascia ditutup dengan jahitan benang 01 protease. 1.1 Epidemiologi Secara umum data mengenai kasus ini jarang ditemukan. Institusi pusat pengontrol penyakit memperkirakan ada sekitar 500-1500 kasus nekrosis fascilitis setiap tahunnya yang menyebutkan Streptokokus sebagai satu-satunya organisme yang diduga sebagai penyebabnya. Terdapat variasi angka mortalitas setiap tahunnya, hal ini diduga karena adanya perubahan dalam virulensi dari orgnisme penyebabnya atau adanya perubahan dalam penatalaksanaannya. Tabel 58.1 menunjukan hasil penelitian berkaitan dengan angka kematian akibat penyakit ini.

1.2 Spektrum Penyakit Nekrosis pada infeksi jaringan lunak sering disebut dalam berbagai istilah antara lain necrotizing fascilitis, necrotizing myositis, fesh eating strep, dan banyak lainnya seiring perkembangannya. Seorang ahli bedah, Joseph Jones sering menyebut penyakit ini sebagai hospital gangrene. Beberapa nomenklatur juga disebutkan berdasarkan lokasinya antara lain Ludwigs angina untuk infeksi di daerah ruang submandibula dan Fourniers gangrene untuk infeksi di daerah perineum. Banyaknya istilah untuk mejelaskan penyakit ini kadang membingungkan pada saat menegakan diagnosis, sehingga menghambat penatalaksanaannya. Nekrotizing cellulitis dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada kulit seperti timbulnya bula, pada kasus ini penting untuk dibedakan dengan proses non infeksi seperti Steven Johnson Syndrome, atau kasus autoimun seperti pempigus. Pada kasus infeksi ini diagnosis berdasarkan pemeriksaan histology, pemeriksaan ini penting dilakukan untuk membedakan dengan penyebab lainnya. Kasus infeksi perlu dibedakan, apakah kasus infeksi yang mengenai kulit saja seperti selulitis atau proses infeksi pada jaringan lunak yang lebih dalam. Perlu dibedakan karena pengobatan untuk selulitis adalah medikamentosa sedangkan untuk infeksi jaringan lunak adalah operatif. Penegakan diagnosis harus segera dilakukan agar dapat memberikan pengobatan yang tepat, karena bila terlambat dalam penatalaksanaannya akan berdampak pada kegagalan multi organ bahkan kematian. Nekrosis pada infeksi jaringan lunak sering mengenai bagian dalam dermis sampai bagian subkutan, fascia, dan otot. Bagian bagian ini dapat terkena secara terpisah atau terkena keseluruhan. Mekanisme terjadinya infeksi dapat menjelaskan tampilan klinis dari penyakit ini contonya luka akibat tembakan yang menembus sampai lapisan otot, akan menimbulkan necrotizing miositis dimana struktus yang lebih superfisial tidak mengalami nekrosis. Gambaran histologi dari penyakit ini antara lain nekrosis jaringan yang luas, banyak ditemukan bakteri pada jaringan infeksi dan trombosis pembuluh darah. Pada pemeriksaan kultur dapat ditemukan satu organisme penyebab tetapi dapat pula ditemukan banyak organisme penyebab (polimikrobial). Pasien akan mengalami syok sepsis yang fulminan. Dapat muncul dengan gejala toksemia, gejalanya kadang muncul secara perlahan, meskipun demikian keterlambatan dalam penegakan diagnosis dan penatalaksaan akan memperburuk prognosis dari penyakit ini. Sehingga eksplorasi secara operatif perlu segera dilakukan bila telah dicurigai adanya infeksi pada jaringan lunak. Jika masih ragu dalam penegakan diagnosis maka perlu dialakukan pemeriksaan histologi dan kultur.

Selama menunggu penegakan diagnosis pasien harus diobservasi secara ketat untuk menilai adanya perburukan klinis dan respon terhadap terapi. 1.3 Diagnosis Penegakan diagnosis terutama berdasarkan manifestasi klinis. Walaupun demikian modalitas seperti pencitraan dan labolatorium juga diperlukan. Bila ada kecurigaan secara klinis yang mengarah adanya infeksi jaringan lunak maka perlu dilakukan konsultasi tindakan pembedahan. Pemeriksaan penunjang disini sebagai penyokong tanda klinis yang sudah ada. Tetapi bila dari pemeriksaan penunjang tidak menunjukan suatu kelainan tetapi secara klinis memburuk akan sangat berbahaya bila tindakan bedah untuk eksplorasi ditunda, saat eksplorasi jaringan diambil untuk pemeriksaan histologi jika masih meragukan dalam penegakan diagnosis. Secara umum keluhan awal yang paling sering muncul antara lain nyeri, bengkak, dan demam, tetapi keluhan demam tidak spesifik karena hanya sepertiga pasien yang mengeluhkan demam. Pada saat datang berobat pasien kadang hanya mengeluhkan nyeri pada satu lokasi yang menyerupai bekas gigitan serangga. Pada lokasi infeksi dapat ditemukan perubahan pada kulit antara lain timbul bula, blister, krepitus dan teraba hangat, konsistensi keras, tidak terdapat fluktuasi (abses). Bila terdapat bula dan krepitus harus dibedakan dengan infeksi superfisial seperti selulitis dengan infeksi yag lebih dalam pada jaringan lunak. Secara klinis akan diadapatkan gejala toksemia antara lain demam, leukositosis, leukopenia, takikardi, hipotensi, gangguan elektrolit, gangguan ginjal, gangguan respirasi, acidemia, dan perubahan status mental. Pada pemeriksaan x-ray polos tampak gambaran udara pada jarinagan lunak, tindakan operatif perlu dipertimbangkan sebelum proses infeksi merusak jaringan disekitarnya. CT-scan dan MRI juga dapat digulakan sebagai modalitas menegakan diagnosis. Modalitas ini dapat digunakan bila bukti klinis meragukan seperti selulitis yang tidak mununjukan tanda komplikasi. CT-scan dapat mengidentifikasi adanya udara pada jaringan yang dalam yang tidak teraba sebagai krepitus pada palpasi dan pada foto x-ray. CT-scan lebih bagus dalam mengidentifikasi udara dalam jaringan dibandingkan MRI, selain itu CT-scan juga dapat mengidentifikasi edema dalam jaringan. Sedangkan MRI dapat dimanfaatkan untuk membedakan infeksi yang mengalami nekrosis dan non-nekrosis dalam jaringan tetapi kadang pemeriksaan ini menghasilkan estimasi yang berlebihan, kususnya akan sulit membedakan perluasan penyakit dengan edema jaringan. Tanda klinis nekrosis pada infeksi jaringan lunak yang ditemukan dimeja operasi antara lain jaringan yang menjadi pucat, purulensi tampak sedikit atau bahkan tidak

ditemukan. Jaringan subkutan menjadi pucat dan tidak tampak perdarahan. Fascia tidak melekat dengan otot dibawahnya.

1.4 Faktor Resiko Faktor resiko penyakit ini dibagi menjadi dua kategori yang saling tumpang tindih yaitu faktor resiko dari pasien dan faktor resiko yang berkaitan dengan tempat masuknya infeksi. Sebagian besar tenaga kesehatan mampu mengidentifikasi trauma antecenden yang dinilai mulai dari daerah trauma yang terlihat, walaupun hanya minimal. Pada penelitian Elliots terhadap 198 pasien hanya 4% yang tidak teridentifikasi port of the entry untuk infeksinya, dan penelitian-penelitian lainnya tidak ditemukan port of the entry sekitar 20-30%. Faktor resiko lainnya adalah trauma yang tampak nyata, tanda bekas suntikan (baik untuk kepentingan pengobatan maupun bekas suntikan penggunaan obat terlarang). Lesi lainnya yaitu lesi varisela, gigitan serangga, ulkus pada kaki yang sering ditemui pada pasien diabetes militus dan penyakit vaskuler perifer. Luka pasca operasi yang terkontaminasi bakteri atau feses memiliki resiko tinggi terjadinnya nekrosis pada infeksi jaringan lunak. Bahkan kadang kala tidak tampak sumber trauma. Sumber infeksi lainnya yang muncul sering kali berasal dari populasi sekitar, seperti penggunaan jarum suntik untuk obat-obatan terlarang yang banyak dilaporkan terjadi di Los Angeles. Zat yang sering dilaporkan berkaitan dengan penggunaan

jarum suntik adalah heroin akan tetapi data ini kadang bias karena dinamisnya perkembangan di populasi. Penelitian menyebutkan ada jenis heroin yang presentase penggunaannya lebih tinggi seperti golongan black tar. Zat ini memiliki resiko lebih tinggi untuk menimbulkan nekrosis pada infeksi jaringan lunak. Pada penyakit ini yang sulit diidentifikasi faktor resikonya, ataupun bukti Streptokokus Grup A meragukan sebagai penyebab maka, perlu dipertimbangkan kemungkinan Meticilin Resisten Stapilococus Aureus (MRSA). Faktor resiko dari pihak pasien sendiri misalnya adanya penyakit sistemik lainnya seperti penyakit vaskular perifer, gangguan imunitas seperti HIV, DM yang terjadi 20-60% orang dewasa. Faktor komorbid lainnya seperti obesitas, penyakit hati, penyakit ginjal, paraplegia, dan malnutrisi. Faktor lainnya seperti merokok, penggunaan steroid jangka panjng, konsumsi alkohol kronis, pengguana obat menggunakan jarum suntik. Bervariasinya laporan mengenai faktor resiko penyakit ini dikarenakan populasi yang dievaluasi sangat beragam seperti yang dijelaskan sebelumnya, yang di rangkum dalam tabel 58.2 1.5 Mikrobiologi Karakteristik dari pemeriksaan mikrobiologi dapat menentukan organisme penyebab. Misalnya, adanya udara pada jaringan yang terinfeksi seperti contoh kasus diatas, diketahui organisme penyebab yang menghasilkan udara adalah Clostridium Sp. Bukti lain bahwa Clostridium sebagai penyebabnya dapat dinilai dari waktu kejadian, berkaitan dengan tipe bakteri ini sebagai penghasil toksin, sehingga gejala infeksi akan segera muncul dibanding dengan organisme lainnya, dan tipe gejalanya muncul secara fulminan. Infeksi monomikrobial biasannya community-acquired dan lukannya tampak ringan. Organisme penyebabnya biasanya Streptococus pyogenes, Streptococuc aureus, Vibrio vulnificus, Aeromonas hydrophila, dan Streptococus anaerob (Peptostreptococus sp.) Pada pasien pasca operasi yang menunjukan tanda-tanda awal infeksi (< 48 jam) dapat mengarahkan kemungkinan adanya infeksi jaringan lunak ( pada contoh kasus timbulnya eritema, bengkak, dan krepitus pada stoma) yang disebabkan Clostridium S.pyogen. Kejadian infeksi jaringan lunak yang berkaitan dengan MRSA semakin meningkat setiap tahunnya dan pada beberapa daerah organisme penyebab infeksi ini ditemukan > 50% pada infeksi jaringan lunak.

Selama 3 tahun terkhir dilakukan penelitian yang dimulai dari juli 2000 di Institusi San Francisco dengan sampel sebanyak 837 kultur positif, 695 kultur yang mengandung Steptococus aureus didapatkan 76% MRSA. Sehingga pemilihan antibiotik harus memperhatikan kondisi ini, misalnya pada pasien yang dirawat di daerah yang dicurigai community-acquired MRSA sebaiknya diberikan antibiotik spektrum luas sampai hasil kultur dan uji sensitivitas didapatkan. Selain itu ditemukan pula kasus MRSA sebagai penyebab tunggal ataupun termasuk dalam penyebab polimikrobial dari kasus nekrosis pada infeksi jaringan lunak ini. Sebagian besar kasus nekrosis pada infeksi jaringan lunak penyebabnya adalah polimikrobial. Sehingga antibiotik pilihannya adalah yang berspektrum luas dan termasuk sensitif terhadap organisme terbanyak dalam satu populasi. Beberapa kasus memiliki factor komorbid yang meningkatkan resiko terinfeksi oleh satu organisme. Sebagai contoh, seseorang yang pekerjaannya sering bersentuhan dengan air seperti seorang nelayan ditambah lagi bila dia mengidap penyakit hepar, hal ini meningkatkan resiko infeksi terhadap Vibrio spp. Kususnya Vibrio vulnifucus. Pada kasus ini biasanya mengenai ekstremitas atas. Angka kematian tinggi bila hanya mengandalkan penanganan medikamentosa saja yaitu sekitar 50%. Sehingga perlu dilakukan debridement agresif, fasciotomi bahkan terkadang perlu dilakukan amputasi sebagai terapi pilihan.

1.6 Prognosis Faktor resiko yang meningkatkan angka kematian telah dijelaskan dalam beberapa penelitian. Akan tetapi beberapa faktor resiko kadang tidak konsisten, sehingga kecepatan dilakukan tindakan operatif merupakan faktor resiko paling penting, hal inilah sebagai penentu prognosis pasien. Faktor-faktor lain yang meningkatkan resiko kematian antara lain usia, kadar WBC yang tinggi, kegagalan lebih dai 1 sistem organ, perluasan infeksi primer, gagal ginjal (sampai perlu cuci darah) dan sindroma gagal nafas akut. Diabetes, terutama yang tidak terkontrol walaupun tidak satusatunya sebagai penyebab terjadinya nekrosis pada infeksi jaringan lunak akan tetapi dapat sebagai faktor yang memperburuk prognosis, walaupun bukti dilapangan masih sangat bervariasi. Kondisi hiperglikemia saat masuk rumah sakit dengan riwayat diabetes dapat meningkatkan resiko infeksi sekunder hal inilah yang meningkatkan angka kematian dan memperpanjang aktu perawatan di rumah sakit. Pasien pada contoh kasus diatas memiliki beberapa faktor resiko potensial antara lain diabetes tidak terkontrol, obesitas, dalam perjalanan penyakitnya perlu dilakukan operasi cito karena adanya kontaminasi feses dan tanda infeksi pada luka bekas operasi. 1.7 Terapi Resusitasi Seringkali pasien mengalami hipovolemi dan toksemia, sehingga resusitasi awal harus segera dilakukan yaitu dengan memberi cairan intravena, bahkan bila perlu dilakukan perawatan di ICU dan dilakukan pengawasan status hemodinamik dan tanda-tanda klinis pasien. Selanjutnya pasien disiapkan untuk menjalani operasi debridemen pertama, pada debridemen awal ini pasien akan kehilangan banyak cairan karena luka masih banyak mengeluarkan cairan sehingga pemberian cairan disesuaikan dengan status hemodinamiknya untuk mengantisipasi hilangnya cairan. Gangguan elektrolit harus segera dikoreksi dan drip insulin perlu dipertimbangkan pada kondisi hiperglikemia. Antibiotik yang sesuai harus pula segera diberikan. Konsultasi untuk tindakan pembedahan dilakukan segera. Beberapa pasien akan memerlukan tindakan resusitasi sebelum dilakukan pembedahan. Perlu diperhatikan bila tindakan operasi ditunda, maka selama penundaan tersebut kondisi pasien akan terus memburuk sampai dilakukan tindakan operasi. Ada beberapa indikasi dimana perlu dilakukan tindakan operasi kedaruratan yang bertujuan memperbaiki prognosis

pasien, seperti menyingkat waktu sampai dilakukan tindakan pembedahan. Selanjutnya dapat dilakukan cuci darah melalui pembuluh darah vena secara berkala. Operasi Operasi debridemen adalah pilihan terapi dan banyak penelitian menunjukan bila menunda tindakan operasi akan meningkatkan angka kematian, walaupun pasien tampak stabil sebelum operasi dan pasca operasi, kondisi ini perlu dilakukan observasi di ICU. Pada saat operasi dilakukan insisi dan reseksi pada area yang terinfeksi dan kulit yang melapisi jaringan ini harus dieksisi pula walaupun tampak tidak ada kelainan agar tidak menjadi iskemik dan bila dibiarkan akan menimbulkan infeksi dikemudian hari. Pada saat operasi harus dilakukan inspeksi pada jaringan yang lebih dalam, tanpa terkecuali untuk jaringan yang tidak tampak adanya purulensi. Jaringan yang dicurigai terinfeksi akan berwarna pucat, edema, dan tampak jaringan yang nekrosis. Fascia kadang lebih sulit dijangkau, dan fascia yang terinfeksi tidak melekat dengan otot diatasnya, tampak pucat, dan tidak berkilau seperti biasanya. Otot yang terinfeksi tampak nekrosis berwarna abu-abu dan sedikit perdarahan bila dieksisi. Semua jaringan yang tampak mencurigakan harus dieksisi, tetapi jika masih meragukan untuk insisi, dapat dilakukan evaluasi ulang pada tindakan operatif berikutnya. Tindakan operatif kedua harus selalu dilakukan pada kasus nekrosis pada jaringan lunak bahkan terkadang perlu dilakukan tindakan operatif ulang secara berkala atau dilakukan debridement berkelanjutan. Pada penyakit tindakan debridemen awal bukanlah suatu terapi definif, karena penyakit ini bersifat progresif. Sering kali jaringan yang terinfeksi dilakukan prosedur operasi berkali-kali hal ini bukan karena kegagalan pada tahapan debridement pertama akan tetapi operasi berulang ini berkaitan dengan tipe organismenya dan perkembangan penyakit ini. Mempertahankan jaringan yang tidak terinfeksi untuk kepentingan estetika tidak perlu dilakukan. Saat melakukan evaluasi infeksi , tindakan intubasi pasien perlu tetap dipertahankan hal ini bermanfaat dalam mengontrol rasa nyeri. Teknik operasi kusus kadang diterapkan misalnya pada infeksi di ekstremitas kususnya bila terjadi insufisiensi vaskular sebaiknya dilakukan amputasi. Pada Ganggrene Fournierss perlu dilakukan pengalihan saluran kencing dan feses baik karena bersentuhan dengan saluranya langsung atau untuk menfasilitasi penyembuhan luka. Antibiotik

Pemberian antibiotik harus segera dilakukan pada pasien dengan gejala klinis adanya infeksi kulit disertai gejala infeksi sistemik. Perkembangan lebih lanjut dari infeksi pada kulit ini atau gejala klinis yang semakin memburuk merupakan indikasi untuk dilakukan operasi eksplorasi dan tetap dilakukan terapi medikamentosa. Pilihan terapi awal didasarkan gejala klinis yang muncul saat berobat. Pada kasus diatas, terjadi infeksi pada luka bebas operasi, terpapar flora normal dari saluran cerna memungkinkan infeksi polimikrobial. Selanjutnya bila sebelumnya pasien sudah mendapatkan Ciprofloksasin dan flagyl maka untuk selanjutnya harus dipilih antibiotik pilihan kedua untuk mencegah resistensi. Pada pasien yang dicurigai terinfeksi bakteri Stapilokokus perlu dipertimbangkan kemungkinan MRSA. Pada daerah yang tinggi insiden MRSA, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya resistensi terhadap Clindamisin. Pada konsensus yang diselenggarakan oleh Infectious Diseases Society of America (IDSA) menjabarkan pilihan awal untuk antibiotik yang terangkum dalam tabel 58.3 Menurut hasil konsensus IDSA pemberian antibiotik sebaiknya berspektrum luas untuk memberi perlindungan terhadap MRSA, Streptokokus, dan Clostridium sampai hasil kultur dan tes sensitivitas didapatkan sehingga dapat diberikan antibiotik yang sensitif terhadap organisme penyebabnya Oksigen Hiperbarik Oksigen hiperbarik bermanfaat sebagai terapi adjuvan selain terapi operasi debridement kususnya untuk infeksi yang disebabkan oleh Clostridium myonekrosis, walaupun data penelitian untuk menyokong hal ini masih terbatas. Akan tetapi pada penelitian dimana pasien yang tidak menggunakan terapi oksigen hiperbarik memiliki angka kematian yang lebih tinggi. Seperti yang dilaporkan oleh Riserman angka kematian 66% pada pasien yang tidak menerima oksigen hiperbarik, penelitian lainnya oleh Brown dilaporkan angka kematian 42%, penelitian oleh Hollanbaugh angka kematian 42%, dimana angka kematian bila menggunakan terapi oksigen hiperbarik pada penelitian-penelitian diatas berturut-turut yaitu 23%, 30%, dan 7%. Kekurangan dari penelitian ini adalah masih adanya penyimpangan data yang terkumpul karena menggunakan sampel tidak acak. Penggunaan terapi oksigen hiperbarik ini diyakini memberi efek yang baik pada awal perkembangan penyakit. Pada penggunaan oksigen hiperbarik ini pasien harus masuk ke suatu ruangan kusus. Sehingga terapi oksigen hiperbarik untuk pasien dengan kondisi kritis tidak memungkinkan. Imuno Globulin Intravena

Banyak penelitian mengenai penggunaan immunoglobulin intravena terhadap Streptokokus toksemia. Dasar pemikiran dari terapi ini bahwa faktanya toksemia yang berkaitan dengan infeksi Streptokokus sebagai akibat proses sekunder dari toksemia ekstraseluler dimana terapi immunoglobulin intravena dipercaya dapat menanggulangi kondisi toksemia ini. Rawat Luka Hilangnya jaringan dan inflamasi pada penyakit ini menyerupai kondisi jaringan pada luka bakar begitu pula untuk perawatannya memiliki prinsip yang sama. Perwatan jalan nafas diberikan misalnya pada pasien yang menggunakan alat bantu nafas jangka panjang, perlu juga diberikan terapi fisik, terapi okupasional, nutrisi, atau konsultasi pada bagian perawatan luka spesifik misalnya pada instalasi luka bakar, akan tetapi pemindahan pasien ke instalasi luka bakar harus pada saat kondisi pasien stabil.


Related Documents