BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia
maupun hewan (zoonosis). Penyakit ini disebabkan oleh leptospira bakteri
aerob(termasuk golongan spirochaeta) yang berbentuk spiral dan bergerak
aktif .Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti anjing, sapi, babi,
kerbau, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dll. Di dalam tubuh hewan-
hewan ini (juga berlaku sebagai penjamu reservoar) leptospira hidup di ginjal dan air
kemihnya. Manusia biasa terinfeksi bakteri leptospira karena kontak dengan air atau
tanah yang terkontaminasi oleh urin atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang
terinfeksi bakteri leptospira. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang
luka atau membrane mukosa. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim
sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena
tmperatur adalah factor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira,
sedangkan untuk daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. ( Aru
W. Sudoyo, et al. 2009: 1823). Gejala dari penyakit ini sangat bervariasi mulai dari
gejala infeksi ringan sampai dengan infeksi berat dan fatal.Dalam bentuk
ringan,Leptospirosis dapat menampilkan gejala seperti influenza disertai nyeri kepala
sedangkan dalam bentuk parah yang biasa disebut sebagai Weil’s syndrome secara
khas menampilkan gejala ikterus dan disfungsi renal.(Djunaedi,2007: 19)
Umumnya penyakit ini menyerang para petani, pekerja perkebunan, perkerja
tambang/ selokan, pekerja “Rumah Potong Hewan” dan militer. Ancaman ini berlaku
pula bagi mereka yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau di sungai
seperti berenang. Urmimala Sarkar (2002) mendapatkan bahwa jenis pekerjaan
tukang selokan air mempunyai risiko 2 kali lebih tinggi terkena leptospirosis. Tempat
tinggal yang dekat dengan selokan air mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis. Adanya tikus di dalam rumah mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi
terkena leptospirosis. Leptospirosis juga dapat menyerang manusia akibat kondisi
seperti banjir, air bah atau saat air konsumsi tercemar oleh urin hewan. Kontak
dengan air selokan mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis .
Kontak dengan air banjir dan lumpur mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis.( Sarkar Urmimala et al, 2002:605-610)
Internasional Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai Negara
dengan insiden Leptospirosis tinggi dan menduduki peringkat ke tiga di dunia untuk
mortalitas ( 16,7 %) setelah Uruguay dan India. Angka kematiannya bias mencapai
2,5-16, 47% ( rata-rata 7,1 %) , pada usia lebih dari 50 tahun bias mencapai 56%.
Penderita yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati),
resiko kematian akan lebih tinggi. Di Indonesia Leptospirosis ditemukan di DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. ( Aru W. Sudoyo et al
2006: 1823).
Jadi berdasarkan penjelasan yang telah dikemukan, jelaslah diketahui bahwa
wilayah di Indonesia sangat berpotensi dalam terinfeksinya penyakit leptospirosis,
karena itulah penyakit ini perlu untuk diwaspadai atau dilakukan pencengahan. Inilah
factor yang melatarbelakangi penulis tertarik memilih judul cara penularan dan
pencengahan pada leptospirosis sebagai focus pembahasan dalam tulisan ini.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan topic yang akan dikaji dalam tulisan ini, maka ada beberapa
rumusan masalah yang akan dibahas pada bagian selanjutnya yaitu :
1. Apakah yang dimaksud dengan Leptospirosis dan morfologi dari
Leptospirosis?
2. Apa penyebab lepospirosis?
3. Bagaimana cara penularan leptospirosis?
4. Bagaimana manifestasi kliniks yang ditimbulkan oleh leptospirosis?
5. Bagaimana cara mendiagnosis leptospirosis?
6. Langkah apa yang dilakukan untuk mencengah terjadinya leptospirosis?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tulisan ini
bertujuan :
1. Untuk mendeskripsikan secara terperinci pengertian leptospirosis dan
morfologi dari Leptospirosis
2. Untuk mengetahui penyebab leptospirosis
3. Untuk mengetahui bagaimana cara penularan leptospirosis
4. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi kliniks yang ditimbulkan oleh
leptospirosis
5. Untuk mengetahui bagaimana cara mendiagnosa leptospirosis
6. Untk mengetahui langkah-langkah apa yang dilakukan untuk mencengah
terjadinya leptospirosis?
1.4 Manfaat Penulisan
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Bagi Penulis
Tulisan ini adalah sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana
kedokteran, sekaligus memperluas cakrawala pengetahuan penulis khususnya
mengenai Leptospirosis, serta meningkatkan ketrampilan dalam menulis
Karya Ilmiah yang bernilai akademis tinggi.
2. Bagi Pembaca
Untuk menambah wawasan pengetahuan para pembaca mengenai
Leptospirosis
3. Bagi Lembaga
Untuk memperkaya koleksi ilmu pengetahuan khususnya pada perpustakaan
lembaga, sebagai bahan bacaan yang bermanfaat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonis yang disebabkan oleh infeksi bakteri
yang berbentuk spiral dari genus leptospira yang pathogen,menyerang hewan dan
manusia. Penelitian tentang leptospira pertama kali dilakukan oleh Adolf Heil pada
tahun 1886. Dia melaporkan adanya penyakit tersebut pada manusia dengan
gambaran kliniks demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus dan ada tanda-tanda
kerusakan pada ginjal. Penyakit-penyakit ini dengan gejalan tersebut disebut sebagai
“ weil’s disease” . dan pada tahun 1915, inada berhasil membuktikan bahwa Weil’s
Disease disebakan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. ( Bodner, Elizabeth
M, 2005). Leptospira merupakan organism fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan
panjang 5-15µm, disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2µm. salah satu ujung
organism ini sering kali bengkok membentuk sebuah kait. ( Seoeharsono, 2006: 40)
Gambar 1. Morfologi Leptospira
Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan, tumbuh paling baik
dalam keadaan aerob pada pH 7,4 dan pada suhu 28-30 c. waktu generasinya rata-rata
sekitar 12 jam dan bila dibiakkan di dalam media semisolid yang kaya akan protein
( misalnya media Fletcher, dll), Leptospira akan membentuk koloni di bawah
permukaan berbentuk bundar dengan diameter 1-3 mm dalam 6- 10 hari. Bakteri ini
mempunyai kebutuhan nutrisi yang relative sederhana, yaitu mengambil energy
melalui oksidasi dan membutuhkan asam lemak rantai panjang serta vitamin B1 dan
B12 untuk pertumbuhan.(Sylvia Y. Muliawan, 2007: 65-66)
2.2 Epidemiologi
Leptospira merupakan penyakit zoonis penting yang tersebar luas diseluruh
dunia dan menyerang lebih dari 160 spesies mamalia. Reservoir yang memegang
peran utama bagi penyebaran leptospira ke manusia adalah hewan pengerat terutama
tikus meskipun hewan periharaan ( anjing, babi, sapi, kuda , kucing, kelinci) dan
hewan lain seperti kelelawar, tupai, musang juga dapat berperan sebagai reservoir.
( Djuanedi 2007: 21).
Di dalam tubuh binatang, leptospira hidup didalam ginjal/ air kemihnya. Tikus
merupakan vector yang utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis
pada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetapdan membentuk koloni
serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus
dan ikut mengalir dalam filtrate urine. Leptospira membentuk hubungan simbiosis
dengan penjamunya dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun. Beberapa serovar berhubungan dengan binatang tertentu
seperti L. icterohaemoragiae/ copenhageni dengan tikus, L. grippotyphosa dengan
voles( sejenin tikus), L. hardjo dengan sapi, L. canicola dengan anjing dan L. Pomona
dengan babi. Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak
insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperature adalah
factor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptosipra, sedangkan daerah tropis
insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. Leptospirosis mempunyai dua cirri
epidemiologic yang sangat mempersulit pengendalian penyakit ini secara efektif yaitu
: 1) Leptospira dapat membuat hubungan simbiotik dengan banyak hospes hewan,
menetap untuk waktu yang lama di dalam tubuli renalis dan diekresi di dalam urin
tanpa menimbulkan penyakit atau perubahan patologik pada ginjal, bahkan anjing
yang telah mendapat imunisasi dapat mengekskresi Leptospira infeksius di dalam
urin untuk waktu yang lama. 2) hewan liar merupakan reservoir untuk reinfeksi
populasi hewan peliharaan secara berkesinambungan. ( Sylvia Y. Muliawan,
2008:64-65)
2.3 Penularan
Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi
kuman leptospira. Hewan penjamu kuman leptospira adalah hewan peliharaan,
seperti, babi, lembu, kambing, kucing, anjing, serta beberapa hewan liar, seperti:
tikus, anjing, dan lain-lain. . Di dalam tubuh hewan-hewan ini (juga berlaku sebagai
penjamu reservoar) leptospira hidup di ginjal dan air kemihnya.
Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah ( lumpur),
tanaman yang telah di kotori oleh air seni dari hewan-hewan penderita Leptospirosis.
Tempat masuknya Leptosira biasanya melalui kulit yang terluka atau mukosa, pada
kulit yang utuh, infeksi dapat terjadi setelah kontak lama dengan air yang
terkontaminasi. ( LEVETT, 2001) Leptospira, kadang-kadang melalui saluran
pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi
Leptospira. Penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi. Penularan
Leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. 1.)Penularan secara langsung
dapat melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman Leptospira
yang masuk ke dalam tubuh penjamu, dapat juga melalui hewan ke manusia yang
disebabkan akibat pekerjaan, terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani
organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan atau seseorang yang tertular dari
hewan peliharaan. Penularan dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat terjadi
namun dapat terjadi melalui hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu
penderita Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu. (Djuanedi,
2007 : 22)
Gambar 2. Siklus penularan leptospirosis
Sumber : FAINE, 1999
Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah ( lumpur),
tanaman yang telah di kotori oleh air seni dari hewan-hewan penderita Leptospirosis.
Tempat masuknya Leptosira biasanya melalui kulit yang terluka atau mukosa, pada
kulit yang utuh, infeksi dapat terjadi setelah kontak lama dengan air yang
terkontaminasi Leptospira, kadang-kadang melalui saluran pencernaan dari makanan
yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi Leptospira. Penularan langsung
Tikus bayi
tikus Dewasa
urin
urin
Tumpahan urin
Ternak/ hewan peliharaan
Manusia, musiman, pekerjaan
Air, tanah , lumpur
Penyakit akut pada hewan: 1. Keguguran 2. Infeksi kongenital
Air, tanah, lumpur
dari manusia ke manusia jarang terjadi. Penularan Leptospirosis dapat secara
langsung dan tidak langsung. 1.)Penularan secara langsung dapat melalui darah, urin
atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman Leptospira yang masuk ke dalam
tubuh penjamu, dapat juga melalui hewan ke manusia yang disebabkan akibat
pekerjaan, terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh
hewan misalnya pekerja potong hewan atau seseorang yang tertular dari hewan
peliharaan. Penularan dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat terjadi namun
dapat terjadi melalui hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita
Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu. (Djuanedi, 2007 : 22)
Masuknya kuman Leptospira pada hospes secara kualitatif berkembang
bersamaan dengan proses infeksi pada semua reservoir Leptospira, namun masuknya
kuman secara kuantitatif berbeda bergantung kepada agen, host dan lingkungan.
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lender, memasuki aliran
darah dan berkembang. Setelah Leptospira masuk ke dalam tubuh kemudian akan
terjadi respon imunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini
dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik, walapun demikian beberapa organism
ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi scara imunologi seperti di dalam ginjal
dimana sebagian mikro organism akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana
dan akan dilepaskan melalui urin. Baktei leptospira akan ditemukan dalam air kemih
8 hai sampai beberapa minggu setelah terinfeksi dan juga bias sampai berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagotosis dan
mekanisme humoral. Bakteri Leptospira ini dapat dengan cepat lenyap dari darah
setelah terbentuknya agglutinin dan setelah fase leptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya akan dapat ditemukan dalam jarigan ginjal dan okuler. Ada
beberapa mekanisme yang terlibat dalam patogenese leptospirosis yaitu invasi bakteri
langsung, factor inflamasi non spesifik dan reaksi imunologi.( Aru W. Sudoyo, 2006:
1823-1824)
Semua jenis leptospira dapat merusak dinding pembuluh darah kecil yang dapat
menyebabkan vaskulitis yang bertanggung jawab terhadap manifestasi penting dari
penyakit ini dengan disertai perembesan dan ekstravasasi sel termasuk sel darah
merah. Pada kasus leptospirosis yang berat, vaskulitis dapat menganggu
mikrosirkulasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang bermuara pada
perembesan cairan dan hipovolemia. Setelah antibody terbentuk, leptospira umunya
tereleminasi dari seluruh jaringan tubuh kecuali mata dan bagian proksimal tubulus
ginjal dimana leptospira menetap untuk beberapa minggu atau bulan.dalam
perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung
jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Leptospira yang dapat
masuk ke dalam cairan serebrospinalis pada fase leptospiremia akan menyebabkan
meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang dapat terjadi sebagai
komplikasi dari leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah
ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ yaitu :
a.) Ginjal : dalam ginjal, leptospira akan bermigrasi ke dalam interstitum, tubulus
dan lumen tubulus ginjal serta menyebabkan nefritis interstitial dan nekrosis
tubuler. Intesstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan
bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi
ginjal.tubular nekrosis akut dapat menyebabkan gagal ginjal. Adapun
beberapa peranan seperti nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal,
hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme dapat juga menimbulkan
kerusakan pada ginjal.
b.) Hati : Hati menunjukan nekrosis sentilobuler fokal dengan inflitrasi sel
limfosit fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus
yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar yang biasaya
organism ini terdapat diantara sel-sel parenkim.
c.) Jantung : beberapa dapat terlibat sperti epikardium, endokardium dan
miokardium. Kelain pada miokardium dapat fokal atau difus berupa
interstitial edema dengan inflitrasi sel monokuler dan plasma. Nekrosis
berhubungan dengan inflitrasi neutrofil yang dapat menyebabkan pendarahan
pada miokardium dan endokarditis.
d.) Otot Rangka : Pada otot rangka terjadi perubahan-perubahan berupa local
nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada
leptospira sidebakan oleh invasi langsung dari leptospira. Dapat juga
ditemukan antigen leptospira pada otot.
e.) Mata : Leptospira dapat masuk ke dalam ruang anterior dari mata selama fase
leptospiremia dan dapat bertahan beberpa bulan walupun antibody yang
terbentuk cukup tinggi namun hal ini dapat menyebabkan uveitis.
f.) Pembuluh Darah : Di dalam pembuluh darah terjadi perobahan akibat
terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan pendarahan. Hal ini sering
ditemukan pendarahan/pteki pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat
viscera dan pendarahan bawah kulit.
g.) Susunan Saraf Pusat : leptospira dapat dengan mudah masuk ke dalam cairan
serebrospinal( CSS) dan dapat dikaitkan dengan terjadinya meningitis.
Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respn antibody bukan disaat
memasuki CSS. Hal ini diduga karena meningitis diperantarai oleh
mekanisme imunologis sehingga terjadi penebalan meninges dengan sedikit
peningkatan sel monokuler araknoid. Meningitis yang tejadi adalah meningitis
aseptic, biasanya paling sering disebakan oleh Leptospira Canicola.
h.) Weil Disease: Weil Disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan
ikterus, biasanya terjadi dengan disertai kontinua. Penyakit Weil ini biasanya
terdapat pada 1-6% kasus pada leptospirosis. Penyebabnya adalah serotype
icterohaemorragica yang pernah juga dilaporkan oleh serotype copenhageni
dan bataviae. Gambaran kliniks bervariasi dapat berupa gangguan renal,
hepatic dan disfungsi vascular.
2.) Penularan secara tidak langsung dapat terjadi melalui genangan air, sungai,
danau, selokan daluran air dan lumpur yang tercemar oleh urin hewan. Factor-
faktor resiko yaitu :
a.) kontak dengan air yang terkontaminasi kuman Leptospira/ urin tikus saat banjir.
b.) pekerjaan tukang perahu, rakit bamboo, pemulung.
c.) mencuci / mandi di sungai/ danau
d.) tukang kebun/ pekerja di perkebunan.
e.) petani tanpa alas kaki di sawah.
f.) pembersih selokan
g.) pekerja tambang
h.) pemancing ikan, pekerja tambak udang/ ikan air tawar
i.) anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan
j.) petugas kebersihan di rumah sakit dan para medis juga dianggap mempunyai resiko tinggi terhadap penularan kuman leptospira.
Gambar 3. Resiko Penluaran Leptospirosis
Kelompok pekerjaan kelompok aktivitas kelompok lingkungan
- Petani dan peternak - berenang disungai - anjing piaraan
- Tukang potong hewan - bersampan - ternak
- Penangkap/ penjerat hewan - kemping - genangan air hujan
- Dokter/ mantri hewan - berburu - lingkungan tikus
- Penebang kayu - kegiatan di hutan - banjir
- Pekerja selokan
- Pekerja perkebunan
2.4 Manifestasi Kliniks
Manifestasi Kliniks pada leptospirosis dapat berkaitan dengan
penyakt febril umum dan tidak cukup khas untuk menegakkan diagnosis sehingga
dapat mengakibatkan leptospirosis pada awalnya seringkalin salah didiagnosis
sebagai meningitis atau hepatitis. Secara khas penyakit ini bersifat bifasik, dengan
fase leptospiremik yang dapat diikuti dengan fase leptospirurik. Tida system organ
yang paling sering terkena adalah susuan saraf pusat, ginjal dan hati.
Setelah masa inkubasi rata-rata 1-2 minggu, fase leptospiremik
yang akut ditandai dengan timbulnya demam secara mendadak, nyeri kepala yang
hebat, nyeri otot dan nausea. Gejala ini bertahan selama kira-kira 7 hari. Kemudian
bakteri tersebut akan menetap di dalam organ parenkimatosa ( terutama di hati dan
ginjal ) yang meyebabkan perdarahan serta nekrosis jaringan, sehingga
mengakibatkan disfungsi pada organ tersebut seperti ikterus, perdarahan dan retensi
nitrogen.
Setelah mula-mula terjadi perbaikan, timbul fase ke 2 ketika titer
antobodi IgM meningkat. Pada fase ke 2 ini seringkali bermanifestasi sebagai
meningitis aseptic dengan nyeri kepala yang hebat, kaku kuduk, dan pleositosis pada
cairan serebrospinal. Nefritis dan hepatitis mungkin akan kambuh dan mungkin
terdapat lesi pada kulit, otot dan mata.
Dengan timbulnya antibody antileptospiral, fase akut akan mereda
dan bakteri Leptospira tidak lagi dapat diisolasi dari darah. Pada fase leptospirurik
yang merupaka fase imun, terjadi setelah masa aimtomatik beberapa hari ( 4-30 hari,
kadang lebih lama). Pada awal fase ini leptospira menghilang dari darah dan cairan
serebrospinal, tetapi masih dapat ditemukan dalam ginjaln, urin dan aqueous humor.
Fase ini ditandai oleh adanya antibody yang ebredar dan timbulnya muveitis, ruam
kulit dan pada kasus berat kelainan hati serta ginjal. Pada kasus ikterik kadang-
kadang dapat diisolasi leptospira dari darah selama 24-48 jam setelah timbulnya
ikterus. Fase ini ditadnai dengan demam yang lebih singkat serta keterlibatan Susana
saraf pusat( gejala meningitis). Bakteri Leptosira ditemukan di dalam urin pada fase
ini dan dilepaskan selama masa yang bervariasi, bergantung pada hospes. Bentuk
leptospirosis yang lebih berat seringkali berkaitan dengan infeksi serotype
icterohemorragiae dan seringkali disebut sebagai penyakit Weil.
Derajat dan penyebaran organ yang terkena berbeda-beda pada
berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh Leptospira di berbagai bagian dunia.
Banyak diantara infeksi itu bersifat ringan atau subklinik. Hepatitis sering terdapat
pada penderita leptospirosis dan seringkali berkaitan dengan peningkatan keratin
fosfokinase di dalam serum, sedangkan pada hepatitis virus, enzim tersebut berada
dalam kadar normal. Keterlibatan ginjal pada berbagai spesies hewan bersifat
menahun yang akan mengakibatkan sejumlah besar leptospira ke dalam urin. Hal ini
mungkin merupakan sumber utamany kontaminasi dan infeksi pada manusia. Gejala
klinik yang paling menarik pada leptospirosis yang berat adlah hgangguan fungsi hati
dan fungsi ginjal yang progresif. Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang
paling umum. Tidak adanya kerusakan sel yang cukup besar pada leptospirosis
dicerminka pada pemulihan sempurna dari fungsi hati dan fungsi ginjal pada
penderita sembuh. Meskipun abortus spontan sering terjadi pada ternak sapid an babi,
baru-baru belakangan ini dilaporkan kasus leptospirosis kogentina yang fatal terdapat
pada manusia.
Kerusakan hati tampaknya bersifat subselular dan leptospira jarang
terlibat pada hati. Kelainan fungsi ginjal mungkin bersifat berat dan tidak sebanding
dengan perubahan hitologik yang terlihat pada ginjal. Gagal ginjal terutama
diakibatkan oleh kerusakan pada tuuli dan lepospira umunya terlihat di dalam lumen
tubuli. Penyebab utama lesi tubular tampaknya adalah hipoksemua atau efek toksik
langsung dari leptospira. Perubahan inflamatorik pada ginjal dapat terligat pada
stadium lanjut pada perjalanan lesi ginjal. Sedikitnya pada satu kasus perubahan
tersebut terkait dengan kompleks imun yang beredar dan deposisi( peletakan)
komponen komplemen serta badan padat electron ( electron-dense bodies) didalam
glomerulus yang menunjukkan kemungkinan adanya glomerulonefritis akibat
kompleks imun. Hipovolemia dan hipotensi yang disebabkan oleh kehilangan volume
intravaskuler akibat kerusakan endotel, mungkin turut menyebabkan gagal ginjal.
Leptospirosis subkliniks terjadi paling sering diantara orang yang
terpapar dngan hewan terinfeksi. Bukti serelogik adanya infksi ditemukan pada
sekitar 15% pekerja rumah jagal, pekerja usaha pengemasan, serta pada dokter
hewan. Diantara penderita leptospirosis. 90% mengalami bentuk penyakit anikterik
yang lebih ringan, sedangkan 5-10% menderita leptospirosis berat disertai ikterus
( Weil’s Disease).
2.4.1 Fase Leptospiremic/septicemic Phase
Fase pertama leptopirosis disebut sebagai fase septicemic atau
leptospiremic sebab dalam fase ini mikro-organisme dapat diisolasi dari kultur darah,
cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan. Selama fase yang berakhir sekitar 4-
7 hari ini pasien menunjukkan gejala tidak spesifik seperti penyakit influenza akut
yang ditandai dengan demam, mengigil, nyeri kepala, mual, muntah dan mialgia
dengan tingkat keparahan yang bervariasi.
Manifestasi penting dari infeksi leptspira adalah nyeri otot yang
terutama menyerang otot betis, punggung dan otot perut. Manifestasi lain yang dapat
menyertai adalah nyeri menelan dan rash. Paseien umunya mengalamu nyeri kepala
hebat di daerah frontal atau preorbital yang kadang-kadang disertai fotofobia.
Gangguan mental berupa confusion dan gangguan pulmonal berupa batuk dan nyeri
dada dapt pula menyertai infeksi leptospira. Pasien umunya dapat mengemukakan
dengan jelas kapan onset keluhan dan gejala dimulai.
2.4.2 Fase immune/ Leptospiruric Phase
Fase ini disebut fase immune atau Leptospiruric sebab antibody
dapat terdetekso dalam sirkulasi atau mikro-organisme dapat diisolasi dari urin,
namun tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini
muncul sebagai konsekwensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir
dalam waktu 0-30 hari atau lebih. Dengan kata lain, awal dari fase imun ini sejalan
dengan pembentukan antibody.
Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala
pada fase pertama( fase leptospiremic). Berbagai gejala tersebut biasanya
berlangsung selama beberapa hari namun ditemukan juga sejumlah kasus dengan
gejala penyakit yang bertahan sampai beberapa minggu. Demam dan mailgia pada
fase ke 2 ini biasanya tidak begitu menonjol( parah) seperti demam dan mialgia pada
fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami nyeri kepala hebat yang
nyaris tidak dapat dikontrol dengan preparat analgesic. Nyeri kepala ini seringkali
merupakan pertanda awal dari meningitis.
Anicteric Disease( meningitis aseptic) merupakan gejala kliniks
paling utama yang menandai fase immune anicteric. Gejala dan keluhan meningeal
ditemukan pada sekitar 50% pasien namun cairan serebrospinalis yang pleiositosis
ditemukan pada sebagian besa pasien. Kelumpuhan syaraf cranial, ensefalitis dan
perubahan kesadaran lebih jarang ditemukan. Gejala menigeal umumnya menghilang
dalam beberapa hari atau dapat pula menetap sampai beberapa minggu, sementara
gejala pleositosis umumnya menghilang dalam 2 minggu atau menetap sampai
beberapa bulan. Meningitis asepis ini lebih banyak dialami oleh kasus anak-anak
dibandingkan dengan kasus dewasa. Mortalitas pada anicteric leptospirosis sangat
jarang meskipun kematian akibat hemoragia pulmoner ditemukan pada 2.4% kasus
saat kejadian luar biasa di china pada tahun 1999.
Icteric disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat
diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang
ditemukan pada icteric disease ini adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi
( ditemukan pada 30% kasus), hepatosplenomegali, mual, muntah dan anoreksia.
Uveitis ( ditemukan pada 2-10% kasus) dapat ditemukan pada fase awal atau fase
lanjut dari penyakit ( dilaporkan dapat terjadi 1 tahun setelah awal penyakit). Gejala
iritis, iridosiklitis dan khorioretintits ( komplikasi lambat yang dapat menetap selama
beberapa tahun) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul
beberapa bulan setelah awal penyakit.
Komplikasi mata yang paling sering ditemukan ( 92% pada kasus)
adalah hemoragia subconjuctival, bahkan leptospira mungkin ditemukan dalam cairan
aqueous. Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria,
proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50% kasus leptospirosis. Leptospirosis dapat
pula ditemukan dalam ginjal. Manifestasi paru ditemukan pada 20-70% kasus. Selain
itu, adenopati, bercak kemerahan dan nyeri otot juga dapat ditemukan.
Gambar 4. Hemorragia subconjuctival
2.4.3 Severe Leptospirosis ( Weil’s Syndrome)
Sindroma Weil merupakan bentuk leptospirosis yang paling parah.
Sindroma ini ditandai oleh warna kekuningan( jaundice) yang hebat, disfungsi renal,
nekrosis hepatis, disfungsi pulmoner dan diathesis hemoragika. Angka kematian
pada sindroma Weil ditemukan sebesar 5-15% terutama pada pasien lanjut usia
( WHO, 2003) . Sindroma ini biasanya terjadi pada akhir fase pertama dan mencapai
puncaknya pada fase ke-2, namun kondisi pasien dapat berubah secara tiba-tiba setiap
saat ( seringkali transisi antara fase tidak berlangsung secara jelas). Demam hebat
mungkin ditemukan selama fase ke -2. Criteria untuk menentukan kasus mana yang
menuju kepada sindroma Weil tidak diketahui secara pasti.
Onset penyakit ini tidak berbeda dengan onset leptospirosis yang
lebih ringan namun stetelah 4-9 hari, warna kekuningan, disfungsi renal dan vaskuler
mulai muncul. Warna kekuningan pada Weil’s syndrome dapat sangat
menonjol( meskipun tidak ada kaitannya dengan nekrosis hati) dan memberikan
nuansa orange pada kulit. Pasien dengan warna kekuningan yang hebat sering
berkembang menuju kegagalan fungsi ginjal, perdarahan dan kolaps kardiovaskuler,
kematian jarang sekali disebabkan oleh kegagalan fungsi hati. Pada pemeriksaan fisik
biasanya ditemukkan hepatomegali yang teraba lunak pada kuadran kanan atas dan
pada 20% kasus ditemukan pembesaran limpa.
Kegagalan ginjal yang terjadi umumnya ditemukan dalam minggu
ke-2 penyakit. Hipovolemia dan penurunan perfusi ginjal member urunan dalam
terjadinya nekrosis tubuler akut dengan oliguria dan anuria. Upaya perbaikkan fungsi
ginjal kadang-kadang membutuhkan tindakan dialysis meskipun pada sejumlah besar
kasus fungsi ginjal dapat diperbaiki tanpa dialysis. Apabila dapat diatasi maka pasien
akan sembuh dan fungsi ginjal umumnya dapat kembali normal.
Pada kelompok pasien tertentu, munculnya gejala pulmoner justru
merupakan manifestasi utama. Manifestasi pulmoner ini ditandai oleh batuk, sesak
nafas, nyeri dada, dahak berdarah, kadang-kadang batuk darah atau bahkan kegagalan
system pernafasan. Manifestasi perdarahan lain yang jarang ditemkan adalah
perdarahan saluran percernaan makanan, adrenal atau sub-arachnoid. Manifestasi lain
yang pernah dilaporkan selama fase parah leptospirosis adalah rhabdomyolisis,
hemolisis, miokarditis, perikarditis, gagal jantung kongestif, syok kardiogenil,
ARDS( adult respiratory distress syndrome), MOF ( multi organ failure).
Syndrome kliniks sebagaimana dikemukakan di depan tidak
merupakan sindroma yang khas diakibatkan oleh infeksi serotipe tertentu meskipun
beberapa manifestasi kliniks mnglkin lebih sering ditemukkan sebagai akibat infeksi
serotype tertentu. Seringkali serovar tertentu merujuk secara lebih khusus pada
beberapa manifestasi klinik namun setiap serovar dapat pula memberikan keluhan
dan gejala yang timbul pada penyakit ini. Contoh : warna kekuningan Nampak pada
80% pasien yang terinfeksi oleh L.icterohaemorragoae dan pada 30% paseien yang
terinfeksi oleh L. Pomona. Bercak kemerahan preorbital yang khas ditemukan pada
paseien dengan infeksi L.autumnalis, gejala gangguan saluran pencernaan ditemukan
lebih dominan pada pasien yang terinfeksi L.pomona atau L.canicola.
Leptospirosis dapat hadir dengan disertai bercak makuler atau
makulopapuler, nyeri perut yang dapat dikacaukan dengan apendiksitis atau
pembesaran menyeluruh dari kelenjar limfoid yang menyerupai infeksi
mononucleosis. Selain itu leptospirosis juga dapat muncul sebagai meningitis aseptic,
ensefalitis atau sebagai FUO ( fever of unknown origin). Kehadiran leptospirosis
harus dipertimbangkan jika pasien mengalami sindroma menyerupai penyakit
influenza disertai dengan meningitis aseptic atau disproportionately severe myalgia.
Temuan paling sering pada pemeriksaan fisik pada fase pertama
adalah adanya demam disertai conjuctival suffusion sedang kelemahan otot,
limfadenopati, kemerahan pada farings, hepatomegali dan splenomegali lebih jarang
ditemukan . bercak kemerahan (rash) mungkin berbentuk makuler, makulopapuler,
eritematus, urtikaria atau hemoragis. Temuan pemeriksaan fisik pada fase ke -2
tergantung pada organ yang terserang penyakit ini. Pada fase ini secara umum dapat
ditemukan adenopati, bercak kemerahan, demam, perdarahan, tanda-tanda
hipovolemia atau syok kardiogenik.
Gambar 5. Bercak kemerahan ( RASH)
Pada icteric disease dapat ditemukan jaundice, heparomegali, nyeri
perut( abdominal tenderness), tanda-tanda koagulopati. Gangguan paru ditandai oleh
batuk, batuk darah, sesak nafas. Gangguan neurologis ditandai oleh kelemahan
syaraf cranial, confussion, perubahan kesadaran, delirium dan tanda-tanda lain dari
meningitis. Gangguan pada mata berupa perdarahan subconjunctival, uveitis, tanda-
tanda iridosiklitis atau khorioretinitis. Gangguan hepatologis berupa pendarahan,
petechiae, purpura, nyeri perut( abdominal tenderness) dan gangguan jantung ditandai
oleh gejala gagal jantung kongestif, perikarditis.( Djunaedi, 2007:25-30)
2.5 Diagnosis
Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit, dikarenakan
pasien datang dengan keluhan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza,
demam yang tidak diketahui asalnya dan diatetesis hemoragik, bahkan beberapa
kasus datang sebagai pancreatitis. Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat
pekerjaan, apakah termasuk kelompok resiko tinggi. Gejala/ keluhan didapati demam
yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot, mata
merah/ fotobia, mual atau muntah. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam.
Bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan
laboratorium darah rutin bias dijumpai lekositosis, normal atau sedikit menurun
disertai gambaran neutrpfilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai
protein uria, leukosituria dan torak( cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk
meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, Ureum dan kreatinin juga bias
meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50%
kasus. Diagnose pasti dapat dengan cara isolasi leptospira dari cairan tubuh dan
serologi.( Aru W. Sudoyo, 2006 : 1825)
Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan dugaan leptospirosis
umumnya dikerjakan dengan melakukan kultur, pemeriksaan MAT, dan pemeriksaan
radiologis apabila diperlukan.
1.) Kultur
Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal
hanya pada 10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di
dalam urin selama minggu ke-2, dan kadang-kadang dari specimen biopsy
berbagai jaringan. Media Fletcher dan media Tween 80-albumin merupakan
media semisolid yang bermanfaat pada isolasi primer Leptospira. Media
Tween 80-albumin kini tersedia secara kormesial dan mungkin merupakan
media yang terbaik. Satu sampai tiga tetes specimen yang akan dibiakkan
harus ditambahkan pada 3-5 Ml media biakan. Biakan diinkubasi selama 5-6
minggu pada suhu 28-30 c dalam keadaan gelap
Pada media semisolid, Leptospira tumbuh dalam cincin ( lingkaran)
yang padat 0,5-1 cm di bawah permukaan media, dan biasanya ta,pal 6-14 hari
setelah inokulasi( setelah ditanam). Harus dilakukan biakan multiple,
sedangkan jenis bahan yang dibiakkan bergantung pad fase penyakit.
Leptospira tetap hidup pada darah yang diberi antikoagulan selama 11 hari,
maka speciment dapat dikirim melalui pos ke laboratrium rujukan untuk
dibiakkan.
Jangan menggunakan sitrat sebagai antikoahgulan, karena bersifat toksik
terhadap Leptospira. P penambahan obat antibakteri ( neosimin, vankomisin,
basitrasin, 5-FU, sulfonamide, sikloheksimida) ke media biakkan atau
inokulasi bahan klinik secara intraperintoneal pada hamster, kadang-kadang
memudahkan isolasi Lpetospira dari urin atau specimen lainnya yang secara
potnsial tercemar. Baru-baru ini dideskripsikan suatu metode radiometric
untuk mendeteksi organism Leptospira secara cepat dengan menggunakan
system BACTEC 460( Johnston Laboratories). Dengan system ini, organism
Leptospira dideteksi pada darah manusia hanya setelah inkubasi 2-5 hari.
( Sylvia Y.Muliawan,2008;74)
2.) Microscopic Agglutination Test ( MAT)
Peningkatan titer sebesar 4x lipat pada fase konvalesens perlu
dipertimbangkan sebagai hasil positif. Diagnose dugaan dapat dibuat melalui
observasi titer antibody yang lebih besar daripada atau sama dengan 1:100
dalam MAT dihubungkan dengan keluhan yang konsisten dengan penyakit
leptospirosis. MAT dikerjakan dengan emnggunakan strain leptospira hidup.
3.) Microscopic Slide Agglutination Test
Test microscopic slide agglutination bermuara pada diagnosis
dugaan. Untuk mendukung diagnosis , maka secara kliniks penyakit harus
menunjukkan keluhan dan gejala yang konsisten dengan leptospirosis. Test ini
yang memanfaatkan antigen mati, berguna untuk screen-ing tapi tidak
spesifik.
Uji laboratorium lain yang dapat digunakan unuk membantu
menetapkan diagnosis adalah indirect hemagglutination test, microcapsule
agglutination test, immunoglobulin M(IgM) enzyme-linked immunoabsorbent
assay ( ELISA) dan pemeriksaan dark-field darah atau urin. Belakangan test
komersial cepat telah tersedia seperti Dip-S-Ticks yang mampu mendeteksi
antibody leptospira. Tes ELISA menggunakan broadly reactive antigen dan
merupakan standar prosedur serologis sebagaimana halnya MAT. Oleh karena
tes tersebut mendeteksi IgM maka bermanfaat untuk emndiagnosis kehadiran
infeksi baru dalam 3-5 hari
4.) Laboratory Studies( General)
Pada kasus ringan ditemukan peningkatan laju endap eritrosit dan
hitung leukosit perifer sebesar 3.000-26.000 x 10 9/L D dengan pergeseran ke
kiri. Aminotransferase mungin ditemukan sedikit meningkat( diatas 200 U/L),
bilirubin serum dan fosfatase alkalin mungkin juga meningkat sedangkan
analisis urin menunjukkan gambaran proteinuria dengan leukosit, ertrosit,
torak hialin dan torak granuler dalam sedimen. Pada cairan serebrospinal,
apabila terdapat gangguan system saraf sentral, emnunjukkan gambaran
leukositosis polimorfonuklear pada awal penyakit untuk kemudian diganti
oleh sel monosit. Protein cairan serebrospinal mungkin normal atau
meningkat semetara level glukosa tetap normal. Dan pada tekanan dalam
cairan serebrospinalis ditemukan dalam tahap normal , namun pungsi lumbal
dapt menimbulkan nyeri kepala.
5.) Laboratories Studies ( Weil’s Disease)
Pasien dapat menampilkan trombositopenia ringan ( ditemukan
pada 50% kasus) yang sering kali disertai degan gagal ginjal. Karakteristik
lain yang prominen untuk Weil’s diasease adalah azotema dan gagal ginjal.
Pada leukositosis hebat dan waktu protombin yang meningkat mungkin dapat
ditemukan. Selain itu, CPK (Creatine Phosphokinase) juga ditemukan
meningkat pada 50% pasien dan warna kekuningan akut berkaitan dengan
nilai CPK yang sangat tinggi tapi transaminase hanya meningkat sedang.
6.) Imaging Studies dan Electrocardiographic Test
Pada penyakit parah, patcy alveolar pattern dapat nampak pada
pemeriksaan radiografis paru dan hal tersebut berkaitan dengan pendarahan
alveolar. Sebagian besar perubahan radiografis terjadi dalam bagian perifer
lobus bawah. Kelainan ECG( electrocardiograpic) sering ditemukan selama
fase leptospiremia dari syndrome Weil. Sedangkan pada kasus parah, dapat
terjadi gambaran gagal jantung kongestif dan syok kardiogenik.( Djunaedi,
2007 : 30-33)
Gambar 6. Kriteria WHO oleh Feine untuk diagnosa Leptospirosis
Daftar pertanyaan Jawaban Nilai
A. Jenis gejala dan laboratorium
Sakit kepala mendadak Ya/ Tidak 2/0
Conjunctival suffusion bilateral Ya/ Tidak 4/0
Demam Ya/ Tidak 2/0
Bila Demam> 38 c Ya/ Tidak 2/0
Meningismus Ya/ Tidak 4/0
Nyeri otot terutama betis Ya/ Tidak 4/0
Meningismus, nyeri otot dan konjunctival suffusion secara bersamaan
Ya/ Tidak 10/0
Ikterik Ya/ Tidak 1/0
Albuminuria atau azotemia Ya/ Tidak 2/0
B. Factor epidemiologi seperti riwayat kontak binatang ke hutan,rekreasi, tempat kerja atau diduga atau diketahui kontak dengan air yang terkontaminasi
Ya/ Tidak 10/0
C. Serologi( +) didaerah endemik 2/0
Single (+) titer rendah Ya/ Tidak 10/0
Single (+) titer tinggi Ya/ Tidak 25/0
Pair sera, titer menigkat Ya/ Tidak
Serologi (+) bukan daerah endemik
Single (+) titer rendah Ya/ Tidak 5/0
Single (+) titer tinggi Ya/ Tidak 15/0
Pair sera, titer menigkat Ya/ Tidak 25/0
Keterangan : Berdasarkan kriteria di bawah, leptospirosis dapat ditegakkan bila
jumlah A+B >25, atau A+B+C >25 disebut presumptive leptospirosis; dan bila A+B
nilai antara 20-25 disebut suggestive leptospirosis.
2.6 Pencegahan
Upaya –upaya yang dapat dilakukan untuk mencengah
terjangkitnya Leptosirosis dapat dilakukan dengan cara melakukan control terhadap
sumber infeksi melalui pemeliharaan kebersihan, imunisasi dan perawatan hewan.
Dengan cara memperlajari penyebab dan cara penularannya maka kita dapat
melakukan cara-cara pencengahan :
1.) Melakukan kebersihan individu ( personal hygiene):
a.) Usaha-usaha yang dapat dianjurkan antara lain dengan: mencuci kaki,
tangan serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja.
b.) Saat banjir biasakan memakai sepatu boot untuk melalui air banjir. Ini
dianjurkan untuk emngurangi kemungkinan masuknya bakteri jika ada
luka di kaki.
c.) Mengenakan sarung tangan pada saat melakukan tindakan higenil saat
kontak dengan urin hean, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap
kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
d.) Mencuci luka dengan cairan antiseptic dan ditutup dengan plester kedap
air.
e.) Mandi dengan sabun antiseptic setelah terpajan percikan urin, tanah dan
air yang terkontaminasi.
f.) Memakain pelindung kerja ( sepatu, sarung tangan, pelindung mata,
masker)
2.) Melakukan sanitasi lingkungan dan rumah.
a.) Rajin membersihkan lantai dengan menggunakan cairan yang
mengandung anti kuman( desinfektan) untuk mengepel.
b.) Segera membersihkan genangan air. Air yng menggenang dan terkena urin
tikus bias menyimpan bakteri Leptospirosis.
c.) Selalu menutup makanan di meja untuk menghindari datangnya tikus.
d.) Sediakan jebakan tikus berupa lem tikus, racun tikus atau perangkap biasa.
Hal ini bias mengurangi populasi tikus di dalam rumah.
3.) Melakukan pencengahan terhadap sumber infeksi.
a.) Melakukan tindakan isolasi hewan yang terinfeksi ( sapi, babi, anjing)
b.) Memberikan antibiotic pada hewan yang terinfeksi sepeti penisilin,
ampisillin agar tidak menjadi karier kumam leptospira. Dosis dan cara
pemberian berbeda-beda tergantung jenis hewan yang terinfeksi.
c.) Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan
racun tikus dan pemasanagan jebakan.
d.) Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air
minum dengan membangun gudang makanan penyimpanan/. Hasil
pertanian, sumber penampungsn sir dan perkarangan yang kedap tikus dan
dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh dari jangkaun tikus.
4.) Upaya Edukasi
a.) Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan
cara-cara edukasi oleh karena itu setiap program edukasi harus melibatkan
profesi kesehatan, dokter hewan dan kelompok lembaga social masyarakat
yang terlibat. Edukasi pada tenaga kesehatan maupun masyarakat umum
mengenai perkembangan terbaru leptospirosis di daerah masing-masing
harus selalu diberikan melalui penyuluhan dengan tatap muka langsung,
seminar di rumah sakit, maupun secara tidak alngsung melalui sebaran
media massa dan media elektronik.pendidikan masyrakat lusas sangat
berpeeran untuk identifikasi faktoe resiko, pencengahan penyakit,
mengurangi lama sakit dan tingkat keparahan penyakut, melalui pengealan
gejala leptosirosis dan kesadaran untuk berobat.
b.) Memberikan selebaran ke klinik kesehatan, departemen pertanian yang
didalamnya diuraikan mengenai penyakit leptospirosis, kriteria
menegakkan diagnosis dan cara mencengah pajanan. ( Anies, 2006)
5.) Melakukan vaksinasi
Melakukan vaksinasi untuk hewan ternak dan hewan kesayangan guna
meningkatkan kekebalan merupakan salah satu cara yang cukup efektif.
Meskipun vaksinasi tidak mencengah atau mengobati infeksi tetapi dapat
mengurangi pengeluaran Leptospira melalui urin. Untuk hewan yang
terinfeksi Leptospira, pemberian antibiotic efesien dapat digunakan untuk
mempersingkat durasi penyakit, mengurangi penularan dan menurunkan
kerusakan hati dan ginjal.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu,
maka dapat disimpulkan bahwa leptospirosis adalah penyakit menular
yang dapat menginfeksi hewan dan manusia. Hewan ternak, hewan
peliharaan dan tikus dapat menjadi sumber penularan leptospirosis melalui
urin hewan yang telah terinfeksi bakteri leptospira. Beberapa serovar
berhubungan dengan binatang tertentu seperti L. icterohaemoragiae/
copenhageni dengan tikus, L. grippotyphosa dengan voles( sejenin tikus),
L. hardjo dengan sapi, L. canicola dengan anjing dan L. Pomona dengan
babi. Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa
puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena
temperature adalah factor yang mempengaruhi kelangsungan hidup
leptosipra, sedangkan daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama
musim hujan. Pencengahan/ pengendalian leptospirosis dapat dilakukan
dengan cara memutus siklus penularan melalui pengobatan dan vaksinasi
bagi ternak atau hewan kesayangan, mengurangi populasi tikus dan
meningkatkan sanitasi lingkungan. Dalam upaya pencengahan
leptospirosis pada manusia memerlukan aktivitas terintegrasi antara dokter
hewan dan dokter dan peningkatan pengetahuan serta pemahaman
masyarakat tentang bahaya leptospirosis.
3.2 Saran
Sebagai upaya untuk mencengah, menghambat bakteri penyebab
leptospirosis ini maka disarankan bagi semua anggota masyarakat agar
ikut berpartisipasi dengan cara melakukan.
a.) Kebersihan individu( personal hygiene) terutama yang tinggal di
daerah banjir.
b.) Sanitasi lingkungan
c.) Melakukan pemeliharaan hewan-hewan dengan baik guna melindungi
masyarakat dri infeksi bakteri Leptospira
d.) Melakukan pendidikan kesehatan ( health education) mengenai bahaya
serat cara penularan penyakit yang berperan dalam pencengahan
penyakit Leptospirosis.
DAFTAR PUSTAKA
Anies, 2006. Seri lingkungan dan Penyakit Manajemen Berbasis lingkungan, Solusi
mencengah dan Menanggulangi Penyakit Menular, Jakarta. PT Elex Media
Komputindo
Djunaedi, Djoni. 2007. Kapita Selekta, Penyakit Infeksi, Malang. UPT Penerbit
Universitas Muhammadiyah Malang
Faine.S. 1999. Leptospira and Leptospirosis 2nd eds. Melbourne,Australia
Levett, P.N. 2001,Leptospirosis. Clinical Microbiol Review. 14(2) : 296-326
Soeharsono. 2006. Zoonosis, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta.
Konisius Yogyajakarta
World Health Organization. Leptospirosis. Ditelusuri dari:
http://www.who.int/zoonoses/diseases/leptospirosis/en/ (diakses 25 Oktober 2010)
Okatini M., Purwana R., dan Djaja IM. Hubungan Faktor Lingkungan dan
Karakteristik Individu Terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di Jakarta, 2003-
2005
W. Sudoyo, Aru (Eds.) 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid III.
Jakarta: Interna Publishing
Y. Muliawan, Sylvia. 2008. Bakteri Spiral Patogen. Jakarta, Penerbit Erlangga