MAKALAH PSIKIATRI
SKIZOPRENE DAN PENANGANANNYA
Disusun Oleh :
NADIA SAPTARINA
1407045024
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU KEFARMASIAN
MINAT FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2015
Gambaran Persepsi Tentang Gangguan Jiwa Pada Keluarga Penderita Skizofrenia Yang
Datang Ke Grha Atma Pada Periode April Sampai Dengan Mei 2014.
ABSTRAK
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada
setiap keadaan sehat dan sakit anggota keluarganya. Skizofrenia bukan penyakit menular tetapi
dapat menyebabkan beban mental maupun materi bagi keluarganya. Persepsi keluarga yang
positif diperlukan untuk membantu kesembuhan penderita skizofrenia. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui gambaran persepsi tentang gangguan jiwa pada keluarga penderita skizofrenia
yang datang ke Grha Atma pada periode bulan April 2014 sampai dengan Mei 2014.
Penelitian deskriptif kuantitatif ini dilakukan pada 96 responden keluarga penderita
skizofrenia yang diambil dengan cara consecutive sampling. Instrumen penelitian yang
digunakan berupa kuesioner. Hasil penelitian menggunakan analisa univariat.
Hasil penelitian menunjukkan persepsi keluarga yang positif (52,1%) tentang gangguan
jiwa lebih banyak dibandingkan dengan persepsi keluarga yang negatif (47,9%).
Disarankan bagi pelayanan di Grha Atma untuk mengoptimalkan program promosi
kesehatan jiwa. Bagi tenaga kesehatan untuk melaksanakan standard operasional procedure
psikoedukasi gangguan jiwa pada keluarga dan masyarakat.
Kata kunci : Gangguan jiwa, keluarga, persepsi, skizofrenia
BAB I
PENDAHULUAN
1. Pengertian
Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada
kepribadian, distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa
dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang
aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau
sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan kapasitas
intelektual biasanya tidak terganggu.(Mansjoer, 2000).
Sedangkan gangguan skizoafektif adalah kelainan mental yang rancu yang
ditandai dengan adanya gejala kombinasi antara gejala skizofrenia dan gejala gangguan
afektif diaman keduanya sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam
beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama
(Sadock, dkk., 2003 ; Maslim, 2002).
Maramis (2006) menyebutkan skizofrenia dan gangguan skizoafektif merupakan
salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi
(kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability (ketidakmampuan).
Ketidakmapuan penderita skizofrenia atau dengan gangguan skizoafektif dalam mencapai
berbagai keterampilan hidup inilah yang menyebabkan penderita menjadi beban keluarga
dan masyarakat.
Ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia tergantung dari tingkat
keparahan simptom psikologis yang dialami penderita, dimana semakin dominan tingkah
laku simptomatologik menguasai seluruh tingkah lakunya, semakin buruk juga
ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami oleh penderita.
Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki
prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan gangguan depresif maupun gangguan
bipolar, tetapi memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan skizofrenia
(Sadockdkk., 2003).
2. Epidemiologi
Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu
dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau sekitar
dua sampai empat juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari
sekitar satu sampai dua juta yang terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu
hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap skizofrenia.
Perkiraan angka ini disampaikan Dr LS Chandra, SpKJ dari Sanatorium
Dharmawangsa Jakarta Selatan. Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya
dimulai pada usia 16 sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia
biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini cenderung
menyebar di antara anggota keluarga sedarah
3. Manifestasi Klinik dan Kriteria Diagnosis
A. Manifestasi Klinik
1. Tanda dan gejala pramorbid
Kepribadian schizoid / skizotipal, ditandai sebagai pendiam, pasif, dan
introvert, sehingga memiliki sedikit teman. Gangguan somatisasi, dimulai dengan
keluhan di sekitar gejala somatic, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot,
kelemahan, dan masalah pencernaan.
2. Pemeriksaan status mental
Penampilan bermacam-macam, dari orang yang sama sekali acak-acakan,
berteriak-teriak, teragitasi sampai orang yang berdandan secara obsesif, sangat
tenang, dan tidak bergerak. Pasien senang berbicara dan menunjukkan postur
tubuh yang aneh. Perilaku menjadi teragitasi dan menyerang, tampaknya dalam
suatu cara yang tidak terprovokasi tetapi biasanya sebagai respon terhadap
halusinasi.Pada katatonia, pasien tampaknya tanpa kehidupan sama sekali dan
menunjukkan tanda seperti kebisuan, negativisme, dan kepatuhan otomatis.
Kadang tampak fleksibilitas lilin.
Penarikan diri dari lingkungan sosial yang jelas dan egosentrisitas, tidak
adanya bicara / gerakan spontan, tidak adanya perilaku yang diarahkan
tujuan.Gerakan tubuh yang aneh (tiks, stereotipik, manerisme,
ekopraksia).Perasaan prekoks.Depresi (ciri psikosis). Irama perasaan lain seperti
kebingungan, terror, perasaan terisolasi, ambivalensi.Penurunan responsivitas
emosional dan emosi yang sangat aktif dan tidak sesuai, seperti penyerangan yang
ekstrem, kegembiraan, dan kecemasan. Afek datar atau tumpul.Gangguan
persepsi, seperti halusinasi (paling sering halusinasi dengar).
Halusinasi kenestetik adalah sensasi perubahan keadaan organ tubuh yang
tidak mempunyai dasar. Ilusi : penyimpangan dari citra atau sensasi yang
sesungguhnya.Gangguan berpikir, meliputi gangguan isi pikiran, seperti waham
(waham kejar, kebesaran, keagamaan, somatik), gangguan bentuk pikiran
(inkoherensi, tangensialitas, sirkumstansialitas, neologisme, ekolalia, verbigerasi,
kata yang campur aduk, mutisme), dan gangguan proses pikiran (flight of idea,
hambatan pikiran, gangguan perhatian, kemiskinan isi pikiran, over-inclusion).
Impulsivitas, bunuh diri, dan pembunuhan Orientasi terhadap orang, waktu, dan
tempat baik
B. Kriteria Diagnosis
1. Kriteria Diagnostik Skizofrenia
a. Gejala-gejala yang khas : 2 atau lebih dari gejala berikut yang bermakna
dalam periode 1 bulan (atau kurang jika berhasil diterapi):Waham, halusinasi,
pembicaraan yang janggal (mis.Sering derailment atau incohorensia), perilaku
janggal atau katatonik, adanya gejala negatif (spt afek datar,alogia,abulia).
Cat. : Hanya satu dari kriteria A yang diperlukan jika waham-nya janggal atau
jika halusinasinya berupa suara yang terus menerus mengomentari tingkah
laku atau pikiran yang bersangkutan atau berisi 2 (atau lebih) suara-suara
yang saling bercakap-cakap.
b. Disfungsi sosial atau pekerjaan: 1 atau lebih dari area fungsional utama
menunjukkan penurunan nyata di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset
dalam suatu rentang waktu yang bermakna sejak onset gangguan (atau bila
onset pada masa anak-anak atau remaja terdapat kegagalan pencapaian
tingkat interpersonal, akademik atau okupasi lainnya) seperti pekerjaan,
hubungan interpersonal atau perawatan diri.
c. Durasi: tanda-tanda gangguan terus berlanjut dan menetap sedikitnya 6
bulan. Periode 6 bulan ini meliputi 1 bulan gejala-gejala fase aktif yang
memenuhi kriteria A (atau kurang bila berhasil diterapi) dan dapat juga
mencakup fase prodromal atau residual. Selama berlangsung. fase prodormal
atau residual ini, tanda-tanda gangguan dapat bermanifestasi hanya sebagai
gejala-gejala negatif saja atau lebih dariatau=2 dari gejala-gejala dalam
kriteria A dalam bentuk yang lebih ringan (seperti kepercayaan –kepercayaan
ganjil, pengalaman perseptual yang tidak biasa).
d. Penyingkiran skizofektif dan gangguan mood: Gangguan skizoafektif dan
mood dengan gambaran psikotik dikesampingkan karena : (1) tidak ada
episode depresi, mania atau campuran keduanya yang terjadi bersamaan
dengan gejala-gelala fase aktif, (2) jika episode mood terjadi intra fase aktif
maka perlangsungannya relatif singkat dibanding periode fase aktif dan
residual.
e. Penyingkiran kondisi medis dan zat: Gangguan ini bukan disebabkan oleh
efek fisiologis langsung dari suatu zat (seperti obat-obatan medikasi atau yang
disalah gunakan) atau oleh suatu kondisi medis umum.
f. Hubungan dengan suatu gangguan perkembangan pervasif: Jika terdapat
riwayat autistik atau gangguan pervasif lainnya maka tambahan diagnosa
skizofernia hanya dibuat bila juga terdapat delusi atau halusinasi yang
menonjol dalam waktu sedikitnya 1 bulan (atau kurang jika berhasil diterapi).
Klasifikasi berdasarkan perjalanannya (longitudinal;hanya dipakai setelah minimal 1 tahun
berlalu semenjak onset dari gejala-gejala fase aktif pertama):
Episodik dengan gejala-gejala residual interepisode (episode ditandai dengan keadaan
kekambuhan dari gejala-gejala psikosis) juga tentukan jika disertai gejala-gejala negatif yang
menonjol.
Episodik tanpa gejala-gejala residual interepisode.
Kontinyu (gejala-gejala psikosis jelas ada sepanjang periode observasi) juga tentukan jika
disertai gejala-gejala negatif yang menonjol.
Episode tunggal dengan remisi parsial; juga tentukan jika disertai gejala-gejala negatif yang
menonjol.
Episode tunggal dengan remisi penuh
Pola lainnya atau yang tidak ditentukan.
2. Tipe Skizoprene
a. Tipe PARANOID
Suatu tipe skizofrenia yg memenuhi kriteria:
1. Preokupasi dgn 1 ataulebih waham atau sering berhalusinasi auditorik.
2. Gejala2 berikut tidak menonjol: pembicaraan atau perilaku yang janggal atau
katatonik atau afek datar atau inappropriate.
b. Tipe KACAU (DISORGANIZED)
Suatu tipe skizofrenia yg memenuhi kriteria:
1. Semua gejala berikut menonjol: pembicaraan yang janggal.perilaku yang
janggal.afek datar atau inappropriate.
2. Kriteria tipe katatonik tidak terpenuhi.
c. Tipe KATATONIK
Suatu tipe skizofrenia dimana gambaran klinisnya didominasi ole 2 ataulebih
hal2 berikut:
1. imobilitas motorik yg dibuktikan dgn catalepsy (termasuk waxy
flexibility) atau stupor.
2. aktfitas2 motorik yg berlebihan (yg tampak tak bertujuan dan tidak
dipengaruhi oleh stimuli external).
3. negativisme yg nyata (yg tampaknya penolakan tanpa motif thd semua
perintah atau mempertahankan suatu postur kaku melawan usaha untuk
menggerakannya) atau mutisme.
4. gerakan spontan yg aneh spt melakukan postur tertentu (berlagak spontan
yg inappropriate atau postur ganjil),gerakan stereotipik,menojolnya manerisme
atau menyerigai.
5. echolalia atau echopraxia.
d. Tipe tak tergolongkan
Suatu tipe skizofrenia yg memenuhi kriteria A tapi tidak memenuhi kriteria
tipe Paranoid,Kacau atau katatonik.
e. Tipe RESIDUAL
Suatu tipe skizofrenia yg memenuhi kriteria:
1. tidak aadanya penonjolan waham2, halusinasi2, pembicaraan yang janggal,
perilaku janggal atau katatonik.
2. Adanya bukti perlangsunan gangguan spt yang ditunjukan olehgejala2
negatif dlm kriteria A skizofrenia dlm bentuk yg lebih lemah (keyakinan2
aneh,pengalaman2 persepsi yg tidak biasanya).
C. GEJALA KLINIS
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok menurutBleuler, yaitu
primer dan sekunder.
Gejala-gejala primer :
1. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah, isi pikiran).
Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran. Yang
terganggu terutama ialah asosiasi. Kadang-kadang satu ide belum selesai diutarakan,
sudah timbul ide lain. Atau terdapat pemindahan maksud, umpamanya maksudnya
“tani” tetapi dikatakan “sawah”.
Tidak jarang juga digunakan arti simbolik, seperti dikatakan “merah” bila
dimaksudkan “berani”. Atau terdapat “clang association” oleh karena pikiran sering
tidak mempunyai tujuan tertentu, umpamanya piring-miring, atau “…dulu waktu hari,
jah memang matahari, lalu saya lari…”.Semua ini menyebabkan jalan pikiran pada
skizofrenia sukar atau tidak dapat diikuti dan dimengerti.Hal ini dinamakan
inkoherensi.Jalan pikiran mudah dibelokkan dan hal ini menambah inkoherensinya.
Seorang dengan skizofrenia juga kecenderungan untuk menyamakan hal-hal,
umpamanya seorang perawat dimarahi dan dipukuli, kemudian seorang lain yang ada
disampingnya juga dimarahi dan dipukuli.
Kadang-kadang pikiran seakan berhenti, tidak timbul ide lagi.Keadaan ini
dinamakan “blocking”, biasanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi kadang-
kadang sampai beberapa hari.
Ada penderita yang mengatakan bahwa seperti ada sesuatu yang lain didalamnya
yang berpikir, timbul ide-ide yang tidak dikehendaki: tekanan pikiran atau “pressure
of thoughts”. Bila suatu ide berulang-ulang timbul dan diutarakan olehnya dinamakan
preseverasi atau stereotipi pikiran.
Pikiran melayang (flight of ideas) lebih sering inkoherensi.Pada inkoherensi
sering tidak ada hubungan antara emosi dan pikiran, pada pikiran melayang selalu ada
efori. Pada inkoherensi biasanya jalan pikiran tidak dapat diikuti sama sekali, pada
pikiran melayang ide timbul sangat cepat, tetapi masih dapat diikuti, masih bertujuan.
2. Gangguan afek dan emosi
Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa :
Kedangkalan afek dan emosi (“emotional blunting”), misalnya penderita menjadi
acuh tak acuh terhadap hal-hal penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan
keluarganya dan masa depannya.Perasaan halus sudah hilang.
Parathimi : apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada
penderita timbul rasa sedih atau marah.
Paramimi : penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis.
Parathimi dan paramimi bersama-sama dalam bahasa Inggris dinamakan
“incongruity of affect” dalam bahasa Belanda hal ini dinamakan “inadequat”.
Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan,
umpamanya sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari, tetapi
mulutnya tertawa.Semua ini merupakan gangguan afek dan emosi yang khas
untuk skizofrenia. Gangguan afek dan emosi lain adalah :
Emosi yang berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti
penderita yang sedang bermain sandiwara.
Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk
melakukan hubungan emosi yang baik (“emotional rapport”).Karena itu sering
kita tidak dapat merasakan perasaan penderita.
Karena terpecah belahnya kepribadian, maka dua hal yang berlawanan
mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu
orang yang sama ; atau menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama. Ini
dinamakan ambivalensi pada afek.
3. Gangguan kemauan
Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai kelemahan kemauan. Mereka
tidak dapat mengambil keputusan., tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan.
Mereka selalu memberikan alasan, meskipun alasan itu tidak jelas atau tepat,
umpamanya bila ditanyai mengapa tidak maju dengan pekerjaan atau mengapa
tiduran terus.Atau mereka menganggap hal itu biasa saja dan tidak perlu diterangkan.
Kadang-kadang penderita melamun berhari-hari lamanya bahkan berbulan-
bulan.Perilaku demikian erat hubungannya dengan otisme dan stupor katatonik.
Negativisme : sikap atau perbuatan yang negative atau berlawanan terhadap suatu
permintaan.
Ambivalensi kemauan : menghendaki dua hal yang berlawanan pada waktu yang
sama, umpamanya mau makan dan tidak mau makan; atau tangan diulurkan untuk
berjabat tangan, tetapi belum sampai tangannya sudah ditarik kembali; hendak masuk
kedalam ruangan, tetapi sewaktu melewati pintu ia mundur, maju mundur. Jadi
sebelum suatu perbuatan selesai sudah timbul dorongan yang berlawanan.
Otomatisme : penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau tenaga
dari luar, sehingga ia melakukan sesuatu secara otomatis.
4. Gejala psikomotor
Juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau gangguan perbuatan. Kelompok
gejala ini oleh Bleuler dimasukkan dalam kelompok gejala skizofrenia yang sekunder
sebab didapati juga pada penyakit lain.
Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan kemauan.Bila
gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang luwes
atau yang agak kaku. Penderita dalma keadaan stupor tidak menunjukkan pergerakan
sama sekali. Stupor ini dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang-
kadang bertahun-tahun lamanya pada skizofrenia yang menahun.Mungkin penderita
mutistik. Mutisme dapat disebabkan oleh waham, ada sesuatu yang melarang ia
bicara. Mungkin juga oleh karena sikapnya yang negativistik atau karena hubungan
penderita dengan dunia luar sudah hilang sama sekali hingga ia tidak ingin
mengatakan apa-apa lagi.
Sebaliknya tidak jarang penderita dalam keadaan katatonik menunjukkan
hiperkinesa, ia terus bergerak saja, maka keadaan ini dinamakan logorea. Kadang-
kadang penderita menggunakan atau membuat kata-kata yang baru: neologisme.
Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau sikap disebut stereotipi;
umpamanya menarik-narik rambutnya, atau tiap kali mau menyuap nasi mengetok
piring dulu beberapa kali.Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai
beberapa tahun.Stereotipi pembicaraan dinamakan verbigerasi, kata atau kalimat
diulang-ulangi. Mannerisme adalah stereotipi yang tertentu pada skizofrenia, yang
dapat dilihat dalam bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya.
Gejala katalepsi ialah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang
lama. Fleksibilitas cerea: bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan
seperti pada lilin.
Negativisme : menentang atau justru melakukan yang berlawanan dengan apa
yang disuruh. Otomatisme komando (“command automatism”) sebetulnya merupakan
lawan dari negativisme : semua perintah dituruti secara otomatis, bagaimana
ganjilpun.Termasuk dalam gangguan ini adalah echolalia (penderita meniru kata-kata
yang diucapkan orang lain) dan ekophraksia (penderita meniru perbuatan atau
pergerakan orang lain).
Gejala-gejala sekunder :
1. Waham
Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizarre. Tetapi
penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya adalah fakta dan tidak
dapat diubah oleh siapapun. Sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya yang
bertentangan, umpamanya penderita berwaham bahwa ia raja, tetapi ia bermain-main
dengan air ludahnya dan mau disuruh melakukan pekerjaan kasar.Mayer
gross membagi waham dalam dua kelompok yaitu waham primer dan waham
sekunder, waham sistematis atau tafsiran yang bersifat waham (delutional
interpretations).
Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa
dari luar. Menurur Mayer-Gross hal ini hampir patognomonis buat skizofrenia.
Umpamanya istrinya sedang berbuat serong sebab ia melihat seekor cicak berjalan
dan berhenti dua kali, atau seorang penderita berkata “dunia akan kiamat sebab ia
melihgat seekor anjing mengangkat kaki terhadap sebatang pohin untuk kencing.
Waham sekunder biasanya logis kedengarannya dapat diikuti dan merupakan
cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain. Waham
dinamakan menurut isinya :waham kebesaran atau ekspansif, waham nihilistik,
waham kejaran, waham sindiran, waham dosa, dan sebagainya.
2. Halusinasi
Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan
gejala yang hampir tidak dijumpai dalam keadaan lain. Paling sering pada keadaan
sskizofrenia ialah halusinasi (oditif atau akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi
barang-barang atau siulan.Kadang-kadang terdapat halusinasi penciuman (olfaktorik),
halusinasi citrarasa (gustatorik) atau halusinasi singgungan (taktil). Umpamanya
penderita mencium kembang kemanapun ia pergi, atau ada orang yang menyinarinya
dengan alat rahasia atau ia merqasa ada racun dalammakanannya Halusinasi
penglihatan agak jarang pada skizofrenia lebih sering pada psikosa akut yang
berhubungan dengan sindroma otak organik bila terdapat maka biasanya pada
stadium permulaan misalnya penderita melihat cahaya yang berwarna atau muka
orang yang menakutkan.
Diatas telah dibicarakan gejala-gejala.Sekali lagi, kesadaran dan intelegensi tidak
menurun pada skizofrenia.Penderita sering dapat menceritakan dengan jelas
pengalamannya dan perasaannya.Kadang-kadang didapati depersonalisasi atau “double
personality”, misalnya penderita mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah meja dan
menganggap dirinya sudah tidak adalagi. Atau pada double personality seakan-akan
terdapat kekuatan lain yang bertindak sendiri didalamnya atau yang menguasai dan
menyuruh penderita melakukan sesuatu.
Pada skizofrenia sering dilihat otisme : penderita kehilangan hubungan dengan dunia luar
ia seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri tidak menghiraukan apa yang terjadi di
sekitarnya.
Oleh Bleuler depersonalisasi, double personality dan otisme digolongkan sebagai gejala
primer.Tetapi ada yang mengatakan bahwa otisme terjadi karena sangat terganggunya
afek dan kemauan.
Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilai simptom dan gejala klinis
skizofrenia adalah:
(1). Tidak ada symptom atau gejala klinis yang patognomonik untu skizofrenia. Artinya
tidak ada simptom yang khas atau hanya terdapat pada skizofrenia.Tiap simptom
skizofrenia mungkin ditemukan pada gangguan psikiatrik atau gangguan syaraf
lainnya.Karena itu diagnosis skizofrenia tidak dapat ditegakkan dari pemeriksaan
status mental saat ini.Riwayat penyakit pasien merupakan hal yang esensial untuk
menegakkan diagnosis skizofrenia.
(2). Simptom dan gejala klinis pasien skizofrenia dapat berubah dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu pasien skizofrenia dapat berubah diagnosis subtipenya dari
perawatan sebelumnya (yang lalu).Bahkan dalam satu kali perawatanpun diagnosis
subtipe mungkin berubah.
(3). Harus diperhatikan taraf pendidikan, kemampuan intelektual dan latar belakang
sosial budaya pasien. Sebab perilaku atau pola pikir masyarakat dari sosial budaya
tertentu mungkin dipandang sebagai suatu hal yang aneh bagi budaya lain.
Contohnya memakai koteka di Papua merupakan hal yang biasa namun akan
dipandang aneh jika dilakukan di Jakarta. Selain itu hal yang tampaknya merupakan
gangguan realitas mungkin akibat keterbatasan intelektual dan pendidikan pasien.
4. Etiologi
Sampai saat ini penyebab dari gangguan skizofrenia masih belum diketahui secara
pasti. Namun, terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain :
A. Faktor Genetik
Menurut Maramis (2006) faktor keturunan juga menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga
penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi
saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan salah satu
orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia
40 – 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur
(monozigot) 61 – 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut
quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh
beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini
juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang
mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami
skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).
B. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut
neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi
satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau
dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang
berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk
skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine
tampaknya juga memainkan peranan (Durand & Barlow, 2007).
C. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama
semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak
yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja &
Sutardjo, 2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother
kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin,
dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-
anaknya. Keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam
pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan
tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak
terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran
yang dibutuhkannya (Durand & Barlow, 2007).
5. Risk Factor
Diperkirakan gen yang telibat adalah: 1q, 5q, 6p, 6q, 8p, 10p, 13q, 15q, dan 22q.
dang en yang diperkirakan terlibat alpha-7nicotine receptor, DISC 1, GRM 3, COMT,
NGR 1, RGS 4, dan G27.Lahir pada musim dingin dan awal musim semi (Mungkin
berkaitan dengan virus atau perubahan pola makan pada tiap musim). Komplikasi masa
kehamilan dan persalinan.Bentuk tubuh astenik.Terinfeksi influenza pada trisemester
ketiga. Penyalahgunaan obat-obatan. Usia ayah saat hamil di atas 60 tahun. Angka
reproduksi pernikahan antara sesama penderita skizofrenia meningkatkan jumlah
penderita skizofrenia. Kepadatan populasi peningkatan stresor sosial akan meningkatkan
angka kejadian skizofrenia.
6. Patofisiologi
Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa,
terutamadi korteks prefrontalis, dan pada pasien tipe II (negativisme) terdapat penurunan
sejumlah neuron (penurunan jumlah substansia grisea).Selain itu, migrasi
neuronabnormal selama perkembangan otak secara patofisologis sangat bermakna.
Atrofi penonjolan dendrit dari sel piramidal telah ditemukan pda korteks prefrontalis d
an girus singulata. Penonjolan dedrit mengandung sinaps glutaminergik, sehingga
transmisi glutamineriknya terganggu.Selain itu, pada area yang terkena, pembentukan
GABA dan atau jumlah neuron GABAnergik tampaknya berkurang sehingga
penghambatan sel piramidal menjadi berkurang.
Makna patofisologis khusus dikaitkan dengan dopamin.
Availabilitasdopaminatau agonis dopamin yang berlebihan dapat menimbulkan gejala ski
zofren.Penghambatan pada reseptor dopamineD2telak sukses digunakan dalam penatalak
sanaan skizofrenia.Di sisi lain, penurunan reseptor D2 yang ditemukan pada
korteks prefrontalis dan penurunan reseptor D1dan D2 berkaitan dengan gejalanegatif
skizofrenia., seperti kurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamin mungkinterjadi akibat
pelepasan dopamin mungkin terjadi akibat pelepasan dopamin yangmeningkat dan ini
tidak memiliki efek patogenetik.Dopamin berperan sebagai transmiter melalui beberapa
jalur (Silbernagl , 2003):
a.Jalur dopaminergik ke sistem limbik (mesolimbik)
b.Jalur dopaminergik ke korteks (sistem mesokorteks) mungkin penting
dalam perkembangan skizofrenia
c.Pada sistem tubuloinfundibular, dopamin mengatur pelepasan hormonhipofisis
(terutama pelepasan prolaktin)
d.Dopamin mengatur aktivitas motorik pada sitem nigrostriatumSerotonin mungkin juga
berperan dalam menimbulkan gejala skizofrenia. Kerjaserotonis yang berlebihan dapat
menimbulkan halusinasi dan banyak obatantipsikotik akan menghambat eseptor 5-HT2a
BAB II
PEDOMAN TERAPI DAN PENATALAKSANAAN UMUM
A. Pedoman Terapi dan Penatalaksanaan Umum
1. Penatalaksanaan Skizofrenia
Walaupun terapi antipsikotik merupakan pengobatan yang penting untuk
skizofrenia, penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial, termasuk
psikoterapi, dapat mendukung perbaikan klinis.Modalitas psikososial harus
diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi obat dan harus mendukung
regimen tersebut. Sebagian besar pasien skizofrenia mendapatkan manfaat dari
pemakaian kombinasi pengobatan antipsikotik dan psikososial.
a. Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalisasi)
Indikasi utama untuk perawatan di rumah sakit adalah untuk tujuan
diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri
atau membunuh, dan perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai, termasuk
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian,
dan tempat berlindung. Tujuan utama perawatan di Rumah Sakit yang harus
ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu
mereka menyusun aktivitas harian mereka.Lamanya perawatan di rumah sakit
tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan
rawat jalan. Penelitian telah menunjukkan bahwa perawatan singkat di rumah
sakit (empat sampai enam minggu) adalah sama efektifnya dengan perawatan
jangka panjang di rumah sakit dan bahwa rumah sakit dengan pendekatan perilaku
yang aktif adalah lebih efektif daripada institusi yang biasanya dan komunitas
terapetik berorientasi-tilikan.
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan, dan
hubungan social. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien
dengan fasilitas pascarawat, termasuk keluarganya, keluarga angkat, board-and-
care homes, dan half-way house, pusat perawatan di siang hari (day care center)
dan kunjungan rumah kadang-kadang dapat membantu pasien tetap di luar rumah
sakit untuk periode waktu yang lama dan dapat memperbaiki kualitas kehidupan
sehari-hari pasien.
b. Drug Of Choice
1). PSIKOFARMAKA
Obat psikofarmaka yang ideal yaitu memenuhi syarat-syarat antara lain sebagai berikut :
Dosis rendah dengan efektifitas terapi dalam waktu relative singkat.
Tidak ada efek samping, kalaupun ada relative kecil.
Dapat menghilangkan dalam waktu relative singkat baik gejala positif maupun negatif skizofrenia.
Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat).
Tidak menyebabkan kantuk.
Memperbaiki pola tidur.
Tidak menyebabkan habituasi, adiksi, dan dependensi.
Tidak menyebabkan lemas otot.
Kalau mungkin pemakaiannya dosis tunggal (singel dose).
2). Pemilihan Obat
Pada dasarnya semua obat antipsikosis mempunyai efek primer (efek klinis)
yang sama pada dosis ekivalen. Perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping).
Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan
efek samping obat. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya
adalah obat antipsikosis atipikal (golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala
positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal
(golongan generasi pertama).
a). Penggolongan Obat Anti-psikosis
Obat Anti-Psikosis Tipikal :
1. PHENOTIAZINE :
Rantai Aliphatic : ♥ Clorpromazine
Nama dagang : largactile, Sediaan : Tab 25-100 mg
Dosis anjuran : 150-600 mg/hari
♥ Levomepromazine
Nama dagang : Nozinan, Sediaan : Tab 25 mg
Dosis anjuran : 25-50 mg/hari
Rantai Piperazine : ♥ Perphenazine
Nama dagang : Trilafon, Sediaan : Tab 2 mg, 4 mg, 5 mg
Dosis anjuran : 12-24 mg/hari
♥ Trifluoperazin
Nama dagang : Stelazine, Sediaan : Tab 1 mg, 5 mg
Dosis anjuran : 10-15 mg/hari
♥ Fluphenazine
Nama dagang : Anatensol, Sediaan : Tab 2,5 mg, 5 mg
Dosis anjuran : 10-15 mg/hari
Rantai Piperadine : ♥ Thioridazine
Nama dagang : Malleril, Sediaan : Tab 50 mg, 100 mg
Dosis anjuran : 150-600 mg/hari
2. BUTYROPHENONE :
♥ Haloperidol
Nama dagang : ☼ Haldo (jansen), Sediaan : Tab 2 mg, 5 mg
☼ Serenace (searle), Sediaan : 0,5-1,5-5 mg
Dosis anjuran : 150-600 mg/hari
3. DIPHENYL-BUTYL-PIPERIDINE :
♥ Pimozide
Nama dagang : Orap Forte, Sediaan : Tab 4 mg
Dosis anjuran : 2-4 mg/hari
Obat Anti-Psikosis Atipikal :
1. BENZAMIDE :
♥ Sulpride
Nama dagang : Dogmatil Forte, Sediaan : Tab 200 mg, Amp : 50 mg/ml
Dosis anjuran : 300-600 mg/hari
2. DIBENZODIAZEPINE :
♥ Clozapine
Nama dagang : Clozaril (Novartis), Sediaan : Tab 25-100 mg
Dosis anjuran : 25-100 mg/hari
♥ Olanzapine
Nama dagang : Zyprexa, Sediaan : Tab 5-10 mg
Dosis anjuran : 10-20 mg/hari
♥ Quitipine (Ludopine)
Nama dagang : Serequel, Sediaan : Tab 25 mg, 100 mg, 200 mg
Dosis anjuran : 50-400 mg/hari
3. BENZISOXAZOLE
♥ Risperidone
Nama dagang : Risperidal, Sediaan : Tab 1,2,3 mg
Dosis anjuran : 2-6 mg/hari
Nama dagang : Neripos, Sediaan : Tab 1, 2 mg, 3 mg
Dosis anjuran : -
Nama dagang : Noprenia, Sediaan : Tab 1 mg, 2 mg, 3 mg
Dosis anjuran : -
Obat golongan tipikal bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik,
mesokortikal, nigostriatal dan tuberoinfundibular sehingga dengan cepat menurunkan
gejala positif tetapi tidak memberikan efek yang baik pada pemulihan fungsi kognitif
(kemampuan berfikir dan mengingat) penderita. Pemakaian lama memberikan efek
samping berupa gangguan ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar
prolaktin yang akan meyebabkan disfungsi seksual atau peningkatan berat badan dan
memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu juga bisa menimbulkan efek
samping antikolinergik seperti mulut kering, pandangan kabur, gangguan miksi, dan
gangguan defekasi serta hipotensi.
3). Obat golongan tipikal dapat dibagi lagi menjadi :
Potensi tinggi diantaranya adalah tifluuoroperazin, fluphenazin, haloperidol, dan
pimozide. Obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala
dominan apatis menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi.
Potensi rendah diantaranya adalah Chlorpomazine dan Thionidazine digunakan
pada penderita dengan gejala dominan gaduh, gelisah, hiperaktif, dan sulit tidur.
Obat golongan atipikal mempunyai kelebihan dibandingkan dengan golongan
obat tipikal yaitu gejala positif maupun negative dapat dihilangkan, efek samping
sangat minimal. Golongan atipikal sering disebut sebagai Serotonin Dopamin
Antagonis (SDA). Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada keempat jalur
dopamine di otak yang sangat efektif mengatasi gejala negative. Obat yang tersedia
untuk golongan ini adalah Clozapine, Olanzapine, Quetiapine dan Risperidon.
Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen,
Misalnya: Chlorpomazine dan Thioridazine yang efek sedative kuat terutama
digunakan terhadap sindrom psikosis dengan gejala dominan : gaduh, gelisah,
hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, perilaku, dan lain-lain. Sedangkan
Trifuloperazine, Fluphenazine, dan Haloperidol yang efek samping sedative lemah
digunakan terhadap sindrom psikosis dengan gejala dominan: Apatis, menarik diri,
perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi, dan
lain-lain . untuk pasien yang timbul “Tardive Dyskinesia” obat anti psikosis yang
tanpa efek samping ekstrapiramidal adalah Clozapine.
4). PENGATURAN DOSIS
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
Onset efek primer (efek klinis) : 2-4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : 2-6 jam
Waktu paruh : 12-24 jam (Pemberian 1-2x/hari)
Dosis pagi dan malam dapat berbeda(pagi kecil, malam besar) sehingga tidak mengganggu kualitas hidup pasien.
c. Farmakoterapi
Obat antipsikotik, diperkenalkan pada awal tahun 1950, telah mengalami
perkembangan yang revolusioner dalam pengobatan skizofrenia.Kira-kira dua
sampai empat kali banyaknya pasien yang kambuh ketika diterapi dengan plasebo
dibandingkan dengan terapi dengan obat antipsikotik.Akan tetapi obat ini
menyembuhkan gejala dari penyakit dan tidak mengobati skizofrenia.Obat
antipsikotik terdiri dari dua kelas mayor: antagonis reseptor dopamin (misalnya
chlorpromazine, haloperidol) dan SDAs (misalnya risperidon) dan Clozapin.
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah pertama untuk
mengendalikan gejala aktif dan kedua mencegah kekambuhan.Efektivitas
antipsikotik dalam pengobatan skizofrenia telah dibuktikan oleh berbagai
penelitian buta ganda yang terkontrol. Untuk antipsikotik tipikal atau generasi
pertama, tidak ada bukti bahwa obat yang satu lebih daripada yang lain untuk
gejala-gejala tertentu.
Penggunaan obat antipsikotik dalam pengobatan skizofrenia harus
mengikuti lima prinsip utama yaitu:
1. Klinisi harus secara hati-hati menentukan target simptom untuk diterapi.
2. Antipsikotik yang telah bekerja dengan baik sebelumnya pada pasien harus
digunakan lagi. Pada kejadian yang tidak mendapatkan informasi, pilihan
antipsikotik biasanya didasarkan pada efek samping dari obat tersebut.
3. Waktu minimum pemberian permulaan antipsikotik adalah empat sampai enam
minggu dengan dosis yang adekuat. Jika permulaan tidak berhasil, obat
antipsikotik yang berbeda, biasanya dari kelas yang berbeda, dapat dicoba. Akan
tetapi reaksi yang tidak menyenangkan dari pasien pada pemberian dosis pertama
obat antipsikotik berhubungan erat dengan ketidaktaatan dan respon yang jelek ke
depannya.
4. Pada umumnya, penggunaan lebih dari satu obat antipsikotik pada saat yang
bersamaan jarang, jika pernah, atas indikasi. Akan tetapi, pada terapi yang khusus
pasien resisten kombinasi obat antipsikotik dengan obat yang lain, sebagai contoh,
carbamazepin (tegretol) bisa diindikasikan.
5. Pasien harus diberikan terapi rumatan dengan dosis minimal yang efektif. Dosis
rumatan lebih rendah dibandingkan dengan dosis selama kontrol simtom selama
episode psikotik.
Skizofrenia adalah suatu gangguan yang berlangsung lama dan fase
psikotiknya memiliki tiga fase yaitu fase akut, stabilisasi, dan fase
stabil.Penanggulangan memakai antipsikotik diindikasikan terhadap semua fase
tersebut.
Antipsikotik dibedakan atas:
1. Antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi pertama)
a. Klorpromazin
b. Flufenazin
c. Tioridazin
d. Haloperidol
e. Dan lain-lain
2. Antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua)
a. Klozapin
b. Olanzapin
c. Risperidon
d. Quetapin
e. Aripiprazol
f. Dan lain-lain
Pemakaian antipsikotik dalam menanggulangi skizofrenia telah mengalami
pergeseran. Bila mulanya menggunakan antipsikotik tipikal, kini pilihan beralih ke
antipsikotik atipikal, yang dinyatakan lebih superior dalam menanggulangi simtom
negatif dan dan kemunduran kognitif.
Adanya perbedaan efek samping yang nyata antara antipsikotik atipikal dan
antipsikotik tipikal antara lain bahwa antipsikotik atipikal
a. Menimbulkan lebih sedikit efek samping neurologis
b. Lebih besar kemungkinan dalam menimbulkan efek samping metabolik, misalnya
pertambahan berat badan, diabetes melitus, atau sindroma metabolik
Penanggulangan memakai antipsikotik diusahakan sesegera, bila memungkinkan
secara klinik, karena eksaserbasi psikotik akut melibatkan distres emosional, perilaku
individu membahayakan diri sendiri, orang lain, dan merusak sekitar.Individu terlebih
dahulu menjalani pemeriksaan kondisi fisik, vital signs, dan pemeriksaan laboratorium
dasar, sebelum memperoleh antipsikotik.
c. Penanggulangan berdasarkan fase
Strategi pengobatan tergantung pada fase penyakit apakah akut atau kronis. Fase
akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang
perlu segera diatasi. Tujuan pengobatan di sini adalah mengurangi gejala psikotik yang
parah. Dengan fenotiazin biasanya waham dan halusinasi hilang dalam waktu dua sampai
tiga minggu. Biarpun masih ada waham dan halusinasi, penderita tidak begitu
terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif, mau ikut serta dalam kegiatan
lingkungannya dan mau turut terapi kerja.
Setelah empat sampai delapan minggu, pasien masuk ke tahap stabilisasi sewaktu
gejala-gejala sedikit banyak sudah teratasi, tetapi resiko relaps masih tinggi, apalagi bila
pengobatan terputus atau pasien mengalami stres. Sesudah gejala-gejala mereda, maka
dosis dipertahankan selama beberapa bulan lagi, jika serangan itu baru yang pertama kali.
Jika serangan skizofrenia itu sudah lebih dari satu kali, maka sesudah gejala-gejal
mereda, obat diberi terus selama satu atau dua tahun.
Setelah enam bulan, pasien masuk fase rumatan (maintenance) yang bertujuan
untuk mencegah kekambuhan. Kepada pasien dengan skizofrenia menahun, neuroleptika
diberi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik turun
sesuai dengan keadaan pasien (seperti juga pemberian obat kepada pasien dengan
penyakit badaniah yang menahun, misalnya diabetes melitus, hipertensi, payah jantung,
dan sebagainya). Senantiasa kita harus waspada terhadap efek samping obat.
Strategi rumatan adalah menemukan dosis efektif terendah yang dapat memberikan
perlindungan terhadap kekambuhan dan tidak mengganggu fungsi psikososial pasien.
Hasil pengobatan akan lebih baik bila antipsikotik mulai diberi dalam dua tahun pertama
dari penyakit. Tidak ada dosis standar untuk obat ini, tetapi dosis ditetapkan secara
individual. Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan profil efek samping dan respon
pasien pada pengobatan sebelumnya. Ada beberapa kondisi khusus yang perlu
diperhatikan, misalnya pada wanita hamil lebih dianjurkan haloperidol, karena obat ini
mempunyai data keamanan yang paling baik. Pada pasien yang sensitif terhadap efek
samping ekstrapiramidal lebih baik diberi antipsikotik atipik, demikian pula pada pasien
yang menunjukkan gejala kognitif atau gejala negatif yang menonjol.
Untuk pasien yang pertama kali mengalami episode skizofrenia, pemberian obat
harus diupayakan agar tidak terlalu meberikan efek samping, karena pengalaman yang
buruk dengan pengobatan akan mengurangi ketaatberobatan (compliance) atau
kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan untuk menggunakan antipsikotik atipik atau
antipsikotik tipikal tetapi dengan dosis yang rendah.
Demikian penanggulangan skizofrenia memakai antipsikotik berdasarkan fase
diperinci sebagai berikut ini:
1. Fase akut
a. Lama: empat sampai delapan minggu
b. Simtom psikotik akut: halusinasi, waham, pembicaraan, dan perilaku yang kacau
c. Target penanggulangan: mengurangi simtom psikotik dan melindungi individu
dari perilaku psikotik yang berbahaya
2. Fase stabilisasi
a. Lama: dua sampai enam bulan
b. Simtom mulai berkurang, akan tetapi individu masih vulnerable untuk mendapat
serangan ulang, bila dosis dikurangi, atau adanya stresor psikososial, serta
memperhatikan, adanya perbaikan, dari fungsi-fungsi individu
c. Target penanggulangan: mengurangi simtom yang masih ada dan merencanakan
pengobatan jangka panjang.
3. Fase stabil
a. Lama: tidak terbatas
b. Simtom positif sudah minimal atau tidak dijumpai lagi, dan simtom negatif masih
dominan pada gambaran klinik individu
c. Target penanggulangan: mencegah muncul kembali psikosis, mengurangi simtom
negatif dan menfasilitasi individu untuk rehabilitasi sosial
d. Terapi psikososial
Terapi psikososial terdiri dari berbagai metode untuk meningkatkan kemampuan
sosial, pengembangan diri, keterampilan praktis, dan komunikasi interpersonal pasien
skizofrenia. Tujuan utamanya adalah untuk memampukan pasien yang menderita
penyakit serius dalam mengembangkan keterampilan sosial untuk kehidupan yang
mandiri.
e. Latihan keterampilan sosial (terapi perilaku)
Terapi ini dapat secara langsung membantu dan berguna bagi pasien selama
terapi farmakologis. Disamping gejala personal dari skizofrenia, beberapa gejala
skizofrenia yang paling terlihat adalah menyangkut hubungan pasien dengan orang lain,
termasuk kontak mata yang buruk, keterlambatan respon yang tidak lazim, ekspresi
wajah yang aneh, tidak adanya spontanitas dalam situasi sosial, dan persepsi yang tidak
akurat atau tidak adanya persepsi emosi terhadap orang lain. Perilaku tersebut secara
spesifik dipusatkan di dalam latihan keterampilan perilaku. Latihan keterampilan
perilaku melibatkan penggunaan kaset video orang lain dan pasien, permainan-simulasi
(role playing) dalam terapi, dan pekerjaan rumah tentang keterampilan yang telah
dilakukan.
f. Terapi berorientasi keluarga
Hal ini berguna dalam pengobatan skizofrenia. Karena pasien skizofrenia
seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluarga dimana pasien
skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat
tetapi intensif (setiap hari). Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus
termasuk mengidentifikasi dan menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan
kesulitan. Jika masalah memang timbul pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi
harus pada pemecahan masalah secara cepat.
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas di dalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Sering sekali,
anggota keluarga, di dalam cara yang jelas, mendorong sanak saudaranya yang
menderita skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang
terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofrenia dan dari
penyangkalan tentang keparahan penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan
pasien mengerti skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati.
Terapi keluarga selanjutnya dapat diarahkan kepada berbagai macam penerapan
strategi menurunkan stres dan mengatasi masalah dan pelibatan kembali pasien ke
dalam aktivitas. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah
efektif dalam menurunkan relaps.
g. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah,
dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku,
terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif
dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes
realitas bagi pasien dengan skizofrenia. Kelompok yang memimpin dalam cara yang
suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien
skizofrenia.
h. Terapi perilaku kognitif
Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk
meningkatkan distorsi kognitif, menurunkan distractibility, dan mengoreksi
penyimpangan tilikan (judgment).
i. Psikoterapi individual
Jenis terapi yang diteliti adalah psikoterapi suportif dan psikoterapi berorientasi-
tilikan. Suatu konsep penting dalam psikoterapi bagi seorang pasien skizofrenia adalah
perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien secara aman adalah kritis.
Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayainya ahli terapi, jarak emosional
antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan
oleh pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di dalam
pengobatan pasien nonpsikotik. Menegakkan hubungan seringkali sulit dilakukan;
pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban dan
kepercayaan dan kemungkinan bersikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika
seseorang berusaha mendekati. Pengamatan yang cermat dari jarak jauh dan rahasia,
perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial
adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama
pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan
adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi,
atau eksploitasi. Dalam konteks hubungan professional, fleksibilitas adalah penting
dalam menegakkan hubungan kerja dengan pasien. Ahli terapi mungkin harus makan
dengan pasien, duduk di lantai, berjalan-jalan, makan di restoran, menerima dan
member hadiah, bermain tenis meja, mengingat hari ulang tahun pasien, atau hanya
duduk diam bersama pasien.
Tujuan utama adalah untuk menyampaikan gagasan bahwa ahli terapi dapat
dipercaya, ingin memahami pasien, dan akan mencoba melakukannya, dan memiliki
kepercayaan tentang kemampuan pasien sebagai manusia, tidak peduli betapa
terganggunya, bermusuhannya, atau kacaunya pasien pada suatu saat. Mandred Bleuler
menyatakan bahwa sikap terapetik yang benar terhadap pasien skizofrenia adalah
dengan menerima mereka, bukannya mengamati mereka sebagai orang yang tidak dapat
dipahami dan berbeda dengan ahli terapi.
j. Terapi elektro konvulsi
Cara kerja elektro konvulsi belum diketahui dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa
terapi konvulsi dapat memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah kontak
dengan penderita. Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan
datang.Terapi elektro konvulsi baik hasilnya pada jenis katatonik terutama stupor.
Terhadap terapi skizofrenia simpleks efeknya mengecewakan: bila gejala hanya ringan
lantas diberi terapi elektro konvulsi, kadang-kadang gejala menjadi lebih berat.
d. Contoh Kasus dan Aplikasi Pembahasan
Riwayat penyakit
Seorang laki-laki berusia 25 tahun menderita skizoprenia selam 3 tahun dan dirawat
dirumah sakit.sampai saat ini masih menunjukan gejala halusinasi serta sering tertawa
dan berbicara sendiri, seolah olah ada oarng lain yang diajak berbicara
Riwayat Pengobatan
Selama priode terapi dia telah mendapatkan obat-obat antispikosis oal termasuk
CPZ,Haloperidol, sulpride,resperidon dan olanzapin. Sekarang ini dia mendapatkan
terapi Zuclopenthixol 500mg i.m setiap minggu, olazapin 10mg pada malam hari,
Carbamazepin 200mg 3 kali sehari, haloperidol 10 mg 4 kali sehari dan procyclidin 10
mg 3 kali sehari.
keterangan
Berdasarkan tindakan pengobatan yang sudah dilakukan tersebut belum juga ada
perubahan atau peningkatan fungsi mental.
Pertanyaan
1. Evaluasi pengobatan yang telahditerima pasien
2. Mengapa terapi belum berhasil, bagaimana tindakan yang harus dilakukan selanjutnya?
PENYELESAIAN KASUS
Dengan metode SOAP:
Subjektif (S)
Nama : -
Jenis kelamin : laki-laki.
Umur : 25 tahun
Riwayat Penderita : halusina serta sering tertawa dan berbicara sendiri, seolah olah
ada orang lain yang diajak berbicara.
Riwayat pengobatan dahulu:
CPZ,Haloperidol, sulpride,resperidon dan olanzapin
Riwayat pengobatan Sekarang :
Zuclopenthixol 500mg i.m setiap minggu, olazapin 10mg pada malam hari, Carbamazepin 200 mg 3 kali sehari, haloperidol 10 mg 4 kali sehari dan procyclidin 10 mg 3 kali sehari.
Objektif (S)
Tidak Ada
Assesment (A)
• Diagnosis: skizofrenia
Plan (P)
a. Tujuan Terapi
Fase akut: Mengurangi atau menghilangkan gejala – gejala psikotik dan meningkatkan
fungsi-fungsi kehidupan.
Fase Stabilisasi: Mengurangi resiko kekambuhandan meningkatkan adaptasi pasien
terhadap kehidupan dalam masyarakat.
b. Sasaran Terapi
Menghambat terjadinya overaktivitas jalur dopaminergik.
c. Terapi non farmakologi
1. Dukungan keluarga terhadap penderita.
2. Psikoterapi secara berkala dan terus menerus.
3. Dokter melakukan kontrol dengan teratur dan memastikan keamanan penderita.
4. Diajak berkomunikasi secara terus menerus dalam hal –hal positif.
5. program rehabilitasi : living skills, social skills, basic education, work program,supported housing
6. Psikoterapi : terapi tambahan, terutama jika pasien sudah berespon terhadap obat
7. Family education
d. Terapi Farmakologi
Dengan metode 4T + 1W
Tepat Indikasi
No. Nama Obat Indikasi Keterangan
1 Clozapin Skizoprenia pada pasien yang tidak bereaksi, atau inoleran, terhadap obat-obat antipsikotikankonvensional.
Tepat indikasi
Tepat Pasien
No. Nama Obat KontraIndikasi Keterangan
1 Clozapin Penyakit jantung berat; riwayat netropenia atau aglunulositosis yang diinduksi oleh obat; gangguan sumsum tulang; alkoholikdan psikosis toksik; riwayat circulatory collapse atau ileusnparalisis; intoksikasi obat; koma atau depresi SSP berat; epilepsy yang tidak terkontrol;kehamilan dan menyusui.
Tepat Pasien
Tepat Obat
No. Nama Obat Mekanisme Kerja Keterangan
1 Clozapin Antagonis reseptor 5-HT,
Blokade dopamin rendah
Tepat Obat
Tepat Dosis
No.
Nama Obat Dosis Standart Dosis Anjuran Keterangan
1 Clozapin 50mg – 900 mg Dosis awal 12,5 mg jika tidak terjadi efek hipotensi dinaikkan 25 mg diberikan pada malam hari.
Dosis dapat ditingkatkan 25 mg dua kali sehari setelah 3 hari. Dan peningkatan dosis 25-50 mg per hari dapat dilakukan setiaap 3 hari hingga dicapai dossis 300 mg per hari.
Tepat Dosis
Waspada Efek Samping
No. Nama Obat Efek Samping Saran
1 Clozapin Efek sedasi yang rendah, sering timbul gejala antimuskarinik, gejala ekstrapiramidal jarang terjadi, neutropenia, dan agranulositisis yang bias berakibat fatal, demam (evaluasi untuk mencegah terjadinya infeksi tak Nampak atau agranulositosis), sakit kepala, pusing, hipersalivasi, tidak bias menahan buang air kecil, priapismus, perikarditis, miokarditis, delirium, hipotensi jarang terjadi circulatory collapse dengan hati, jantung, dan pernafasan (tetapi dilaporkan juga terjadi hipertensi), mual dan muntah, dilaporkan timblnya hiperglikemia.
PEMBAHASAN
Pada kasus kali ini obat yang sekarang digunakan adalah Zuclopenthixol 500mg i.m
setiap minggu, olazapin 10 mg pada malam hari, Carbamazepin 200mg 3 kali sehari,
haloperidol 10 mg 4 kali sehari dan procyclidin 10 mg 3 kali sehari. Maka pengobatan
tersebut kami sesuaikan dengan algoritma.
Dilihat dari algoritma bahwa tahap 1, tahap 2 dan tahap 2a sudah dilaksanakan,
karena pada sebelumnya telah diberikan telah tercantum obat-obat yang pernah diberikan
yaitu CPZ (Chlorpromazin) dan Haloperidol yang merupakan AGK (Antipsikotik
Generasi pertama) resperidon dan olanzapin yang merupakan AGK (Antipsikotik
Generasi Kedua) dan sulpride. Jadi tahap ini telah mencapai tahap 2A karena masih
menunjukkan adanya gejala maka sebaiknya dilanjutkan ke tahap ke 3 terlebih
dahulu dengan pemberian clozapine, baru apabila respon baru sebagian atau bahkan tidak
ada respon mungkin bisa dilakukan tahapan selanjutnya dengan kombinasi.sebenarnya
pada kasus tersebut terdapat polifarmasi, hal itu diperbolehkan karena reaksi tidak
muncul dalam bentuk tnggal, Jadi obat-obat sekarang yang dipakai lebih baik diganti
dengan clozapine, karena kami mengacu pada algoritma .
Pada kasus ini dianggap sudah resistensi terapi sehingga obat clozapin ini cocok
karena hanya klozapine yang menunjukkan keunggulan pada uji klinik acak untuk
penatalaksanaan skizoprenia dengan resistensi terapi. Perbaikan simtomatik dengan
pemberian klozapin sering terjadi perlahan pada penderita yang mengalami resistensi
sebanyak 60% penderita mungkin mengalami perbaikan pada penggunaan clozapine
hingga 6 bulan (ISFI,2008).
Namun jika pasien telah melakukan pengobatan yang baru dilakukan obat-obat
yang sudah diminum tidak boleh begitu saja di hentikan mendadak dan langsung diganti
obat baru, tapi ketika hendak mengganti antipsikotik yang lainnya, antipsikotik yang
pertama harus dikurang secara bertahap dan dihentikan 1 hingga 2 minggu setelah
antipsikotik yang kedua mulai digunakan terapi.
Clozapine memiliki sprektrum yang luas dan tidak menimbulkan extrapiramidal
maka dari itu dapat digunakan sebagai dosis tunggal. Karena efek samping dari clozapine
salah satunya ada agranulositosis yang bias berakibat fatal, maka dari itu perlu adanya
pemeriksaan keadaan biokimia darah pasien. Lagipula clozapin merupakan antipsikotik
generasi kedua ata biasa disebut dengan antipsikotik atipikal yang merupakan Generasi
lebih baru (th 1990an) yang bertugas memblok reseptor 5-HT2, efek blokade dopamin
rendah, efek samping EPS lebih kecil, dan yang paling penting obat generasi ini paling
efektif untuk mengatasi gejala baik positif maupun negatif. Karena pada obat antipsikotik
generasi pertama atau antipsikotik tipikal efekif mengatasi gejala positif saja.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Skizofrenia adalah gangguan mental yang parah, membuat individu yang menderitanya
menjadi tidak berdaya. Skizofrenia berupa sindrom yang heterogen, di mana diagnosisnya belum
dapat ditegakkan memakai suatu uji laboratorium tertentu. Diagnosisnya ditegakkan berdasarkan
sekumpulan simtom yang dinyatakan karakteristik untuk skizofrenia.
Untuk penatalaksanaan skizofrenia diantaranya adalah hospitalisasi; terapi farmakologi;
psikoterapi yang meliputi terapi perilaku (latihan keterampilan sosial), terapi berorientasi
keluarga, terapi kelompok, terapi perilaku kognitif, psikoterapi individual; terapi elektro
konvulsi.
2. Saran
Untuk keberhasilan penanggulangan skizofrenia agar mencapai hasil yang diharapkan,
diperlukan:
1. Dukungan dari keluarga, baik dalam menciptakan suasana yang tidak menimbulkan
stressor dari segi finansial/pembelian antipsikotik.
2. Melibatkan individu dalam bersosialisasi/rehabilitasi.
3. Memberikan dukungan atau motivasi kepada pasien dalam hal yang menyangkut
kehidupannya, misalnya mengusahakan agar pasien mencari pekerjaan atau berusaha
supaya bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
1. Loebis B. Skizofrenia: penanggulangan memakai antipsikotik. 2007. Diunduh dari:
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_bahagia_loebis .pdf ( tanggal
1 Agustus 2010 ).
2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Skizofrenia. Dalam: Kaplan, HI, Sadock BJ, Grebb
JA, editor. Kaplan dan sadock sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis
– edisi ketujuh jilid satu. 685 – 729.
3. Maslim R. Skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham. Dalam: Maslim R,
editor. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ – III. Jakarta: Bagian ilmu
kedokteran jiwa FK – Unika Atmajaya; 2001. h. 46 – 47.
4. Sadock BJ, Sadock VA. Treatment. In: Sadock BJ, Sadock VA, editors. Kaplan and
sadock’s concise textbook of clinical psychiatry – 2nd ed. Philadelphia: Lippincott
William and Wilkins; 150 – 153.
5. Kane JM, Stroup TS, and Marder SR. Schizophrenia: pharmacological treatment. In:
Sadock BJ, Sadock VA, and Ruiz P, editors. Kaplan and sadock’s comprehensive
textbook of psychiatry – 9th ed volume I. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins;
2007. 1547 – 1556.
6. Tenhula WN, Bellack AS, and Drake RE. Schizophrenia: psychosocial approaches. In:
Sadock BJ, Sadock VA, and Ruiz P, editors. Kaplan and sadock’s comprehensive
textbook of psychiatry – 9th ed volume I. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins;
2007. 1556 – 1572.
7. Maramis WF, Maramis AA. Pengobatan. Dalam: Maramis WF, Maramis AA, editor.
Catatan ilmu kedokteran jiwa – edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press; 2009.
276 – 281.
8. Sadock BJ, Sadock VA. Treatment. In: Sadock BJ, Sadock VA, editors. Kaplan and
sadock’s synopsis of psychiatry behavioral sciences/clinical