YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: mode operasi dan aplikasi GC

MODE OPERASIONAL DAN APLIKASI KROMATOGRAFI GAS S.SI

Oleh :

Irfan Ariefianto, S.Si*

*Sekolah Pasca sarjana UPI , Prodi IPA-Kimia

A. Mode Operasional GC

Komponen-komponen yang ada dalam cuplikan akan terpisah satu sama lain di

dalam kolom akibat perbedaan distribusi di antara fasa diam dan fasa gerak. Semakin

lama komponen tersebut berada dalam fasa gerak, maka komponen tersebut akan terelusi

lebih dulu. Waktu yang dibutuhkan oleh setiap komponen untuk berada pada masing-

masing fasa sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemisahan komponen dari

suatu campuran dengan metode kromatografi gas. Parameter yang sangat menentukan

adalah pengaturan suhu injektor dan kolom. Perbedaan suhu sekitar 0,5 0C saja dapat

menyebabkan perbedaan yang cukup berarti1.

Suhu kolom dapat mempengaruhi posisi kesetimbangan distribusi analit di antara

fasa diam dan fasa gerak, dimana kesetimbangan distribusi akan lebih cepat tercapai

seiring dengan meningkatnya suhu. Dengan demikian, pada suhu rendah, analit yang

memiliki titik didih rendah akan lebih lama berada dalam fasa gerak dibandingkan analit

yang memiliki titik didih lebih tinggi. Akibatnya, analit bertitik didih rendah akan terelusi

lebih dulu.

Faktor suhu, terutama suhu di dalam kolom, tentu saja menjadi salah satu faktor

yang harus diperhatikan dalam sebuah analisa kuantitatif menggunakan kromatografi gas.

Oleh karena itu, dalam pengoperasian kromatografi gas dikenal dua mode operasional,

yaitu :

1. mode operasi isotermal

Pada pengukuran dengan menggunakan mode operasi isothermal, suhu kolom

dijaga tetap selama pengukuran berlangsung. Pengukuran dengan cara ini dapat

dilakukan apabila analit yang ingin dipisahkan memiliki titik didih yang tidak

berdekatan.

2. mode operasional suhu terprogram (Programming suhu)

Page 2: mode operasi dan aplikasi GC

pada pengukuran dengan cara ini, suhu kolom divariasikan selama pengukuran

berlangsung. Peningkatan suhu kolom pada analisa menggunakan kromatografi

gas dikenal sebagai gradien suhu1. Gradien suhu adalah perubahan suhu per

satuan waktu, bukanlah peningkatan suhu per panjang kolom. Pengukuran dengan

mode operasi ini memungkinkan analit yang memiliki titik didih yang berdekatan

untuk saling memisah dengan baik, sehingga diperoleh peak yang tidak saling

bertumpukan. Gambar 1 dibawah ini menunjukan perbandingan kromatogram

yang dihasilkan oleh mode operasi isothermal dan mode operasi pemograman

suhu1.

Gambar 1 Perbandingan kromatogram yang dihasilkan dari mode operasi isothermal

Page 3: mode operasi dan aplikasi GC

(a) pada 168 0C,

(b) gradien suhu 6 0C/menit dimulai dari 50 0C

Gambar 1.a dan 1.b adalah kromatogram yang dihasilkan oleh mode operasi

isothermal dan suhu terprogram untuk sample yang mengandung 7 komponen, yaitu :

1. pentana

2. heksana

3. heptana

4. 1-oktena

5. dekana

6. 1-dodekana

7. tetradekana

Kromatogram yang dihasilkan dari pengukuran dengan mode isothermal

menunjukan bahwa analit tidak terpisah dengan sempurna karena beberapa puncak saling

bertumpukan, yakni puncak 1 sampai dengan 4. Hal tersebut terjadi karena analit yang

menghasilkan puncak 1-4 memiliki titik didih yang berdekatan sehingga terelusi secara

hampir bersamaan.

Dengan mode operasi isotermal ini tak mungkin memisahkan campuran

komponen dengan titik didih/sifat kimia fisika yang sangat bervariasi. Pada suhu rendah,

komponen-komponen bertitik didih rendah mungkin dapat terpisah dengan baik, tetapi

yang bertitik didih tinggi akan teretensi dengan kuat pada kolom. Pada suhu tinggi,

komponen-komponen dengan titik didih tinggi mungkin terpisah dengan baik dengan

waktu retensi yang tidak terlalu besar, tetapi komponen-komponen bertitik didih rendah

tidak akan terpisah dan terelusi pada awal pemisahan7.

Lain halnya dengan kromatogram yang dihasilkan dari pengukuran dengan mode

operasi suhu terprogram dengan kenaikan suhu 6 0C. Peningkatan suhu menyebabkan

perbedaan waktu retensi yang lebih baik dari analit-analit dengan titik didih yang

berdekatan, akibatnya pemisahan terjadi dengan baik seperti ditunjukan oleh puncak 1

sampai dengan 4 pada kromatogram. Peningkatan suhu secara bertahap memungkinkan

kecepatan masing-masing analit untuk mencapai kesetimbangan distribusi berbeda-beda.

Page 4: mode operasi dan aplikasi GC

Analit yang bertitik didih rendah akan lebih cepat mencapai kesetimbangan distribusi

daripada analit yang bertitik didih lebih tinggi.

B. Aplikasi Kromatografi Gas

Kromatografi gas adalah metode yang cocok bagi pemisahan, identifikasi, dan

analisa kuantitatif komponen gas atau bahan organik yang mudah menguap dan tidak

mudah rusak oleh pengaruh panas3. Metode ini dapat diaplikasikan bagi senyawa organik

dan gas yang memiliki titik didih kurang dari 250 0C, dimana keduanya memiliki tekanan

uap yang cukup tinggi sehingga dapat terbawa oleh fasa gerak yang berupa gas inert1.

Tekhnik ini telah digunakan untuk menyelesaikan masalah analitik yang sangat luas

selama lebih dari 40 tahun.1,6.

Perlakuan yang dilakukan terhadap parameter analisa berdasarkan kromatogram

yang dihasilkan, baik oleh GC maupun LC, adalah sama1. Baik pada GC maupun LC,

waktu retensi atau volume retensi sama-sama digunakan untuk mengidentifikasi analit

yang terelusi. Begitu pula dengan tekhnik yang digunakan untuk analisa kuantitatif,

dimana baik pada GC maupun LC, luas area puncak digunakan untuk menentukan

konsentrasi analit3.

.

1. Analisa Kualitatif

Tujuan utama kromatografi adalah memisahkan komponen-komponen yang

terdapat dalam suatu campuran. Dengan demikian, jumlah puncak yang terdapat dalam

kromatogram menunjukan jumlah komponen yang terdapat dalam suatu campuran. Selain

digunakan untuk keperluan pemisahan, kromatografi juga sering kali digunakan dalam

analisis kualitatif senyawa-senyawa yang mudah menguap2. Misalnya, analisa komponen

pestisida yang dipisahkan dengan kolom (panjang 1,5 m dan diameter 6 mm) yang berisi

fasa diam 1,5% OV-17 dan dideteksi dengan detektor ECD. Dari hasil pengukuran,

diperoleh kromatogram sebagai berikut :

Page 5: mode operasi dan aplikasi GC

Gambar 2. Kromatogram Pestisida

Berdasarkan kromatogram pada gambar 2 diatas, maka kita dapat

mengidentifikasi setiap komponen yang menghasilkan puncak. Dari hasil analisa

kualitatif, komponen –komponen yang menghasilkan puncak A, B, C, D, dan E berturut-

turut adalah Aldrin, heptaklor, aldrin, dieldrin, dan DDT2.

Untuk mengidentifikasi tiap peak dalam kromatogram dapat dilakukan dengan

berbagai macam cara, antara lain2 :

a. membandingkan waktu retensi analit dengan waktu

retensi standar. Waktu retensi standar diperoleh melalui pengukuran senyawa

yang diketahui pada kondisi pengukuran yang sama dengan sampel. Misalnya,

menentukan waktu retensi eldrin saja, atau DDT saja, kemudian dibandingkan

dengan waktu retensi yang dihasilkan oleh sampel. Bila kedua waktu retensi

tersebut sesuai, maka kita dapat mengidentifikasi puncak pada kromatogram.

b. melakukan ko-kromatografi, yaitu dengan cara

menambahkan larutan standar kepada cuplikan untuk kemudian diukur dengan

menggunakan kromatografi gas. Bila luas area salah satu peak bertambah, maka

dapat dipastikan bahwa analit tersebut identik dengan standard.

c. menghubungkan GC dengan detektor spektrometer

massa atai IR. Dengan menghubungkan GC dengan spektrometer massa atau IR,

maka spektra dari setiap peak dapat direkam secara menyeluruh.

d. setiap komponen yang telah keluar dari kolom

kemudian dikondensasi dan selanjutnya dilakukan analisis lebih lanjut dengan

menggunakan spektrometri NMR. Cara ini dapat dilakukan apabila detektor yang

digunakan pada GC tidak bersifat destruktif, misalnya TCD.

Page 6: mode operasi dan aplikasi GC

2. Analisa Kuantitatif

Kromatografi gas juga dapat digunakan untuk keperluan analisa kuantitatif, yang

didasarkan pada dua pendekatan, yaitu luas area dan tinggi puncak pada kromatogram.

Pendekatan tinggi peak kromatogram dilakukan dengan cara membuat base line pada

suatu peak dan mengukur tinggi garis tegak lurus yang menghubungkan base line dengan

peak3. pendekatan ini berlaku jika lebar peak larutan standar dan analit tidak berbeda.

Pendekatan luas area peak memperhitungkan lebar peak sehingga perbedaan lebar peak

antara standar dengan analit tidak lagi menjadi masalah. Biasanya, kromatografi gas

modern telah dilengkapi dengan piranti untuk menghitung luas area peak secara otomatis.

Secara manual, luas area peak dihitung dengan menggambarkan segitiga pada peak

tersebut, kemudian luas segitiga dihitung.

(a) (b)

Page 7: mode operasi dan aplikasi GC

Gambar 3. Pendekatan pada analisa kuantitatif

(a) Pendekatan luas area : A = w1/2.tinggi

(b) pendekatan tinggi puncak

Analisa kuantitatif dengan kedua pendekatan tersebut masih sangat kasar,

sehingga diperlukan koreksi terhadap hubungan antara luas/tinggi area puncak dengan

jumlah analit yang menghasilkan puncak tersebut, yang biasanya dinyatakan sebagai

faktor respon detektor. Faktor respon detektor berhubungan dengan kemampuan detektor

untuk mendeteksi setiap komponen yang terelusi dari kolom4.

Berdasarkan cara memperoleh harga respon detektor (f) maka analisa kualitatif

dapat dibedakan menjadi beberapa metode. Metode tersebut antara lain, metode kalibrasi,

metodel standar internal, dan metode adisi3.

a. Metode kalibrasi

Metode kalibrasi dilakukan dengan cara menyiapkan sederet larutan standar yang

berbeda konsentrasinya tetapi komposisinya sama dengan komposisi cuplikan. Kemudian

larutan standar dan cuplikan diukur dengan kromatografi gas sehingga diperoleh

kromatogram untuk setiap larutan standar dan cuplikan. Selanjutnya, luas area atau tinggi

puncak diplot terhadap konsentrasi larutan standar. Plot data harus berupa garis lurus

yang memotong titik nol. Konsentrasi analit ditentukan berdasarkan plot luas area/tinggi

puncak terhadap konsentrasi larutan standar.

Sebagai contoh, pada penentuan kandungan iodium dalam air dengan metode

kalibrasi, larutan standar iodium dengan konsentrasi 2x10-8 M sampai dengan 16 x 10-8 M

dan cuplikan yang mengandung iodium diukur secara terpisah dengan menggunakan

kromatografi gas. Selanjutnya dibuat plot luas area puncak terhadap konsentrasi larutan

standar. Misalkan, Plot yang dihasilkan ditunjukan oleh gambar 4.

Page 8: mode operasi dan aplikasi GC

Gambar 4. kurva kalibrasi untuk menentukan konsentrasi iodium dalam air2

Dari hasil pengukuran sampel diperoleh kromatogram cuplikan. Kemudian

berdasarkan waktu retensinya ditentukan puncak untuk iodium. Misalkan, setelah

dihitung luas area untuk iodium dalam air adalah.0,8. Berdasarkan kurva kalibrasi pada

gambar 2, maka konsntrasi iodium dalam air dapat ditentukan dengan menarik garis

tegak lurus terhadap sumbu x pada y=0,8.

b. Metode standar internal

Pada metoda ini kita membuat suatu larutan standar yang mengandung senyawa-

senyawa yang akan ditetapkan kadarnya, idealnya jumlah larutan standar sama dengan

jumlah cuplikan, dan kita membandingkan kromatogram larutan standar dengan

kromatogram sampel. Berdasarkan kromatogram larutan standar, faktor respon detektor

dapat ditentukan untuk setiap analit5.:

Kemudian luas area dari masing-masing analit dikoreksi dengan mengalikannya

dengan faktor respon detektor untuk masing-masing analit. Selanjutnya, konsentrasi

analit ditentukan dengan membandingkan luas area suatu peak terhadap total area semua

komponen2. Contoh, data kromatogram berikut diperoleh dari suatu kromatogram

Page 9: mode operasi dan aplikasi GC

campuran butil alkohol. Respon detektor diperoleh dari percobaan kromatografi terpisah

untuk alkohol murni yang diketahui konsentrasinya pada kondisi operasi yang sama

dengan pengukuran sampel.

Tabel 1. Contoh perhitungan dengan metode normalisasi area2

Jenis alkohol Luas area (cm3) Faktor respon detektor Luas area terkoreksi (cm3)

n-butil 2,74 0,603 1,652

i-butil 7,61 0,530 4,033

e-butil 3,19 0,667 2,128

t-butil 1,66 0,681 1,130

Total area 8,943

Selanjutnya, persentase masing-msaing komponen luas area total dari semua

komponen dihitung, hingga dihasilkan persentasi n-butil, i-butil, e-butil, dan t-butil

masing-masing sebesar 18.5%, 45.1%, 23.8%, dan 12.6%

Bila bekerja dengan metoda ini, respons detektor harus tinier untuk setiap

senyawa pada kisaran (range) konsentrasi yang digunakan, dan juga kita harus

menginjeksikan jumlah yang sama untuk setiap komponen. Oleh karena itu, keberhasilan

operasi dari metoda ini tergantung pada kemampuan menginjeksi sampel dengan presisi

yang baik5.

c. Metode adisi

Metode adisi digunakan untuk mengurangi kesalahan akibat efek matriks. Efek

matriks terjadi apabila cuplikan mengandung pengotor sehingga mengurangi respon

detektor sebagai akibat interaksi pengotor dengan analit.

Berbeda dengan metode kalibrasi dimana cuplikan dan standar diukur secara

terpisah, pada analisa kuantitatif dengan metode ini larutan standar ditambahkan ke

dalam cuplikan dengan perbandingan volum yang sama, kemudian diukur secara

bersamaan. Bila larutan standar yang digunakan identik dengan salah satu komponen

cuplikan, maka luas area atau tinggi puncak akan semakin besar. Kemudian dari

kromatogram masing-masing larutan standar, luas area/tinggi puncak diplot terhadap

konsentrasi larutan standar. Intersep terhadap sumbu y menunjukan luas area puncak

Page 10: mode operasi dan aplikasi GC

analit, sedangkan faktor respon detektor dinyatakan sebagai kemiringannya. Oleh karena

itu, konsentrasi analit dalam cuplikan dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan

sebagai berikut3 :

Aa = fd.Ca,

Dimana Aa adalah luas area analit, fd adalah factor koreksi (respon detektor), dan Ca

adalah konsentrasi analit dalam cuplikan.

3. Pemilihan Kondisi Kromatografi Gas

Kondisi pengukuran yang tepat tentu saja akan memberikan hasil yang baik,

dimana peak pada kromatogram yang dihasilkan berbentuk simetris, tajam, dan terpisah

satu sama lain. Pengaturan kondisi pengukuran ini meliputi beberapa hal antara lain,

pemilihan kolom, pemilihan fasa gerak, pemilihan detektor, penentuan laju alir fasa gerak

yang optimum

a. Pemilihan kolom

Kolom merupakan jantungnya kromatugrafi, dimana komponen-komponen

dalam cuplikan terpisah satu sama lain. Sehingga pemilihan kolom yang sesuai akan

menentukan keberhasilan pemisahan oleh kromatografi gas. Di dalam melakukan

pemilihan kolom, terdapat beberapa pertimbangan. Pertimbangan pertama adalah

konsistensi kualitas kolom yang diproduksi. Pertimbangan kedua adalah memilih

kolom yang sesuai bagi kebutuhan analisis yang spesifik yang meliputi panjang

kolom, diameter dalam dari kolom, pemilihan fasa diam yang benar, dan ketebalan

fasa diam.

Pemilihan jenis kolom, diameter dalam, dan panjang kolom harus disesuaikan

dengan kebutuhan analisa, karena menyangkut dengan biaya operasional. Untuk

kebutuhan preparasi dan analisa kualitatif, cukup menggunakan kolom kemas. Tetapi

untuk kebutuhan analisa kuantitatif, sebaiknya menggunakan jenis kolom kapiler

karena memiliki selektivitas yang lebih baik daripada kolom kemas1. Hal tersebut

ditunjukan pada gambar di bawah ini.

Page 11: mode operasi dan aplikasi GC

Gambar 5. Pemisahan komponen parfum menggunakan kolom pack (atas)

dan kolom kapiler (bawah) dengan fasa diam Carbowax 202

Jika diameter dalam dari suatu kolom semakin besar, maka kapasitas kolom

akan semakin besar. Kapasitas kolom berhubungan dengan jumlah fasa diam yang

terdapat dalam kolom. Kapasitas kolom yang besar memungkinkan untuk mengukur

sampel dalam jumlah yang banyak1. Tetapi, semakin besar kapasitas kolom, maka

analit akan teretensi lebih lama pada fasa diam sehingga waktu retensinya akan

meningkat. Dengan demikian, kapasitas kolom harus seimbang dengan waktu

retensinya.

Panjang kolom juga harus dijadikan dasar pertimbangan bagi pemilihan

kolom. Semakin panjang kolom, maka selektivitas kolom akan semakin tinggi karena

jumlah plat teori yang terdapat dalam kolom semakin banyak. Akibatnya, pemisahan

komponen dalam cuplikan menjadi lebih baik.

Faktor lain yang juga harus dipertimbangkan dalam memilih kolom agar

memberikan hasil yang baik adalah pemilihan fasa diam. Pemilihan fasa diam

didasarkan pada kepolaran cuplikan yang akan dianalisis. Tabel 2 dan 3 masing-

masing menunjukan penggolongan solut dan fasa diam berdasarkan kepolarannya.

Tabel 2. penggolongan solut berdasarkan kepolarannya3

I. Kurang Polar II. Agak Polar

Hdrokarbon jenuh

Oleofin hidrokarbon

Eter

Keton

Page 12: mode operasi dan aplikasi GC

Aromatik hidrokarbon

Merkaptan

Sulfida

CS2

Aldehid

Ester

Amin tersier

Sebyawa nitro (tanpa atom H)

Nitril (tanpa atom H)

III. Polar IV. Sangat Polar

Alkohol

Asam karboksilat

Fenol

Amin primer dan skunder

Oksim

Senyawa nitro

Polihidroksi alkohol

Amino alkohol

Asam hidroksi

Asam poliprotik

Polifenol

Tabel 3. Penggolongan fasa diam kromatografi gas berdasarkan kepolarannya

I. Kurang Polar II. Agak Polar

squalana

SE-30

Apiezon

Dibutil tetrakloro pthalat

Dinonilptalat

QF-1

OV-17

DEGS

III. Polar IV. Sangat Polar

Tetrasianoetil pentaeritriol

Zonil E-7

XE-60

Carbowax 20 M

Versamid 900

Tetrahidroksietilenadiamin

Sebagai contoh, pada pemisahan campuran Caryophyllen (c), kamfer (k) dan

mentol (m) dimana masing-masing komponen memeiliki spesifikasi sebagai berikut :

= 140°C --- C=C (ikatan rangkap)

(k) = 160°C --- C=O (keton)

(m) = 110°C --- OH (alkohol tersier)

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa suhu maksimum sampel 160°C dengan

kepolaran Caryophyllen > kamfer > dan mentol. Jika yang digunakan kolom polar

Page 13: mode operasi dan aplikasi GC

(carbowax) maka senyawa polar akan lebih lama tertahan dlm kolom sehingga urutan

elusi menjadi mentol-kamfer-Caryophyllen. Tetapi jika kolom non polar digunakan

(SE-30) maka Caryophyllen akan terelusi lebih dulu, diikuti oleh kamfer, dan

mentol8.

Ketebalan lapisan fasa diam juga berpengaruh terhadap pemilihan kolom.

Lapisan Fasa diam yang tipis memberikan retensi yang rendah sehingga sangat cocok

digunakan bagi analit bertitik didih tinggi. Sebaliknya, lapisan fasa diam yang tebal

memberikan retensi yang tinggi sehingga sangat cocok digunakan bagi analit bertitik

didih rendah.

b. Pemilihan fasa gerak

Pemilihan fasa gerak tidak terlalu bergantung pada cuplikan karena fasa gerak

tidak berinteraksi dengan solut-solut yang dipisahkan. Pemilihan fasa gerak

didasarkan pada jenis detektor yang digunakan. Tabel 4 dibawah ini menunjukan

pemilihan gas pembawa yang disesuaikan dengan detektor yang digunakan.

Tabel 4. gas pembawa yang sesuai dengan detektor7

Gas pembawa TCD FID ECD FPD

Helium + + - -

Hydrogen + - - -

Nitrogen + + + +

argon - - + -

Dari tabel 4 diatas, gas nitrogen dapat digunakan sebagai fasa gerak untuk

semua jenis detektor. Hal tersebut dikarenakan oleh sifat gas nitrogen yang sangat

inert dan murah. Lain halnya dengan hidrogen, yang bersifat inert tetapi mudah

terbakar sehingga tidak cocok digunakan pada detektor FID, ECD, dan FPD.

c. Penentuan laju alir fasa gerak optimum

Page 14: mode operasi dan aplikasi GC

Laju alir fasa gerak dapat menentukan kesetimbangan ditribusi analit dalam

dafa diam dan fasa gerak. Pada umumnya, laju alir fasa gerak untuk berbagai jenis

kolom telah ditentukan oleh produsennya. Misalnya, laju alir untuk kolom kemas,

WCOT/SCOT, dan PLOT masing-masing adalah 20-100 ml/menit, 0,5-5 ml/menit,

dan 5-10 ml/menit1.

d. Pemilihan detektor

Terdapat beberapa jenis detektor yang dapat mendeteksi komponen yang

terelusi dari kolom. Pemilihan detektor bagi kondisi optimum kromatografi gas

didasarkan pada faktor selektifitas, limit deteksi, dan daerah linier1.

Selektifitas detektor menunjukan kemampuan detektor untuk membedakan

analit yang akan ditetapkan terhadap komponen lain yang terdapat dalam sampel

Setiap detektor memiliki selektifitas yang berbeda terhadap setiap senyawa. Sebagai

contoh, detektor FID dan ECD memiliki perbedaan selektifitas dimana FID

merupakan detektor universal, tetapi. ECD bersifat selektif karena hanya mampu

mendeteksi senyawa yang mengandung atom dengan afinitas elektron yang tinggi,

Setiap detektor juga memiliki limit deteksi dan daerah linier yang berbeda-

beda. Limit deteksi menunjukan jumlah analit yang memberikan respon sinyal

pengukuran terendah dalam suatu derajat kepercayaan statistik, yang dapat

diterjemahkan sebagai indikasi terdapatnya analit dalam larutan9. Dapat juga

didefinisikan sebagai kepekatan terendah dari analat dalam contoh yang masih dapat

memberikan respon sinyal signifikan tanpa dipengaruhi noise alat. Semakin rendah

limit deteksi suatu detektor, maka detektor tersebut semakin peka, yang berakibat

pada kemampuan yang tinggi dari detektor untuk mendeteksi jumlah sampel yang

sangat sedikit.

Daerah linear menyatakan kemampuan detektor untuk memberikan hasil yang

proporsional terhadap kepekatan analit. Daerah linear diperoleh dengan memplot nilai

hasil uji terhadap kepekatan analit. Makin lebar interval jangkuan kerja linear maka

detektor makin praktis untuk digunakan. Tabel 5 dibawah ini dapat dijadikan

pertimbangan bagi pemilihan detektor untuk kondisi pemisahan oleh kromatografi

gas.

Page 15: mode operasi dan aplikasi GC

Tabel 5. Spesifikasi detektor

Jenis Detektor Limit Deteksi (g/s) Daerah Linier Selektivitas

TCD 10-5-10-6 103-104 universal

FID 10-12 106-107 universal

ECD 10-14 102-103 Selektif (afinitas elektron tinggi)

FPD 10-13 102 Selektif untuk S dan P

MS 10-12 a universal

FTIR 10-10 102 Molekul polar

a : bergantung pada tipe MS dan senyawa yang dianalisa

DAFTAR PUSTAKA

[1] Rubinson, F. Judith & Rubinson, A. Kenneth. (1998). “Contemporary Chemical Analysis”. USA : Prentice Hall, Inc.

[2] Hendayana, Sumar. (2006). “Kimia Pemisahan. Metode kromatografi dan Elektroforesis Modern”. Bandung. Rosda.

[3] Pungor, Erno. (1995). ”A Practical Guide for Instrumental Analysis”. Florida : CRC Presss.

[4] Dept. of Chemistry University of Adelaide. (Tanpa tahun). “Detector Response Ratio”. [On Line]. :Tersedia : http://www.chemistry.adelaide.edu.au/external/ soc-rel/content/det-resp.htm. [4 Maret 2011].

[5] De Lux Putra, Effendi. (2004). “Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dalam Bidang Farmasi”. [On Line]. Tersedia : repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 3616/1/farmasi-effendy2.pdf. [4 Maret 2011]

[6] Wade, Jr. F.G. (1997). ”Separating and Identifying Mixtures by Chromatography”. [On Line] : tersedia : http://www.cerlabs.com/experiments/10875407099.pdf. [4 Maret 2011]

[7] Permanasari, Anna. (2010). Presentasi : “Kromatografi Gas”. Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI

Page 16: mode operasi dan aplikasi GC

[8] Musfirah, Ida. (tanpa tahun). ”Kromatografi Gas”. [On Line]. Tersedia : http://kimorunpad.110mb.com/kfa/KROMATOGRAFI%20GAS.ppt. [4 Maret 2011]

[9] Arifin, Zaenal. (2011). “Verifikasi Metode Analisis secara HPLC”. [On Line]. Tersedia : http://zonazaenal.wordpress.com/2011/01/02/verifikasi-metode-analisis -secara-hplc. (4 Maret 2011)


Related Documents