MENGENAL ISLAM
Pada dasarnya setiap manusia hidup tidak lepas dengan sebuah agama, sebab agama
merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan ghoib dan supranatural atau
disebut Tuhan dengan segala konsekwensinya. Dengan kata lain, adanya agama untuk
menjebatani kebutuhan fitrah manusia terhadap Tuhan di dalam mencapai kebenaran,
kedamaian dan kesejahteraan yang hakiki. Begitu juga dengan Islam, merupakan agama yang
memiliki konsep Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari sudut kitab, Islam memiliki kemurnian
baik teks maupun isi kandungannya dari zaman ke zaman, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits yang
benar, dibawa dan tercermin dalam diri Nabi Muhammad SAW. Hal ini sesuai dengan tujuan
dari lahirnya agama Islam, yaitu mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera dalam
konteks Illahiyah, baik di dunia maupun di akhirat.
Terkait dengan Islam sebagai agama yang berupaya membentuk pengikutnya yang
memiliki akhlak karimah, yaitu manusia yang mempunyai wawasan budaya lingkungan,
dapat mengfungsikan nilai-nilai Islam sebagai pedoman hidup secara cerdas dan kreatif,
dapat menjadi uswah hasanah dan secara kumulatif keberadaannya dapat memberikan
kontribusi bagi terwujudnya misi Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Untuk itu, maka ada 3
hal yang akan dibicarakan dalam tema ini, yaitu: what is Islam, Islam sebagai agama
rahmatan lil ‘alamin, Islam sebagai way of life. Selanjutnya, ketiga tema ini akan dijabarkan
sebagai berikut:
A. What is Islam ?
Ada beberapa hal yang akan dibicarakan dalam bagian ini, antara lain:
1. Mengapa manusia harus beragama ?
Apabila diperhatikan sejarah kehidupan manusia dari zaman ke zaman, maka tidak
akan ada manusia yang hidup tanpa agama. Sebab, agama merupakan aktualisasi dari
kepercaaan adanya kekuatan ghoib dan supranatural yang disebut sebagai Tuhan dengan
segala konsekwensinya. Oleh karena itu, agama dipahami sebagai seperangkat ajaran yang
telah tersistematisasi dan baku. Dan pada ranah praktis, ada upaya untuk mengaplikasikan
ajaran tersebut melalui kelembagaan dalam sistem kepercayaan. Seperti: membangun sistem
nilai, kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha
mengarahkan penganutnya untuk mendapatkan rasa aman dan tentram, Abdul Madjid, dkk
(1989).
Bertolak pada gambaran secara umum tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa agama
berada pada wilayah privatisasi manusia yang terkait dengan jiwanya (asal mula benih
agama itu tumbuh dalam sanubarinya). Termasuk juga adanya kesediaan manusia untuk
menjalankan nilai-nilai agama, yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari benih
agama yang telah ditanamkan ke dalam jiwanya sebelum dia lahir. Menyangkut persoalan
benih agama, ada yang berpendapat dimulai dari rasa takut, yang selanjutnya termanifestasi
dalam bentuk pemberian sesajen pada sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan yang
menakutkan. Walhasil, rasa takut merupakan salah satu pendorong utama tumbuh suburnya
rasa keagamaan, meskipun pendapat ini banyak ditolak oleh para pakar.
Sedangkan menurut pakar Islam, bahwa benih agama
muncul dari penemuan manusia terhadap: (a) kebenaran
ciptaan Allah yang terbentang di alam raya dan diri manusia.
(b) Keindahan pada bintang yang gemerlapan, bunga yang
mekar dan alam raya yang terbentang luas dengan aneka ragam
tanaman maupun binatang. (c) Kebaikan pada angin sepoi
yang menyehatkan tubuh ketika merasakan gerah kepanasan,
atau yang sejuk ketika seseorang merasakan kehausan, Shihab,
M. Quraisy (1998). Ketiga hal ini selanjutnya melahirkan
kesucian, dan itu dimiliki oleh manusia. Selanjutnya manusia
yang memiliki naluri ingin tahu, dan tetap berupaya
mendapatkan sesuatu yang paling indah, benar dan baik melalui panca inderanya. Disinilah
letak jiwa dan akalnya dalam rangka mengantarkan untuk bertemu dengan Sang Maha Suci,
dan berupaya untuk berhubungan dengan-Nya, bahkan berupaya mencontoh sifat-sifat-Nya.
Dari sini agama lahir, bahkan proses beragamapun terjadi, sebagai upaya manusia untuk
mencontoh sifat-sifat Yang Maha Suci.
2. Agama mana yang harus diikuti oleh manusia ?
Apabila diperhatikan beberapa isi buku perbandingan agama, maka setiap pemeluk
suatu agama akan mengatakan bahwa agama yang dipeluk yang paling benar. Sedangkan
bagi seseorang yang kurang memperdulikan agamanya akan mengatakan semua agama sama,
sama baiknya atau sama jeleknya. Jawaban ini nampaknya seiring dengan manusia diberi
kebebasan untuk memilih agama, termasuk tidak beragama. Mengingat, Allah hanya
menuntut tanggungjawab atas pilihannya, dan tidak seorangpun berhak memaksakan
kehendaknya untuk memeluk suatu agama tertentu (baca kisah Nabi Nuh yang tidak bisa
mengislamkan istri dan anaknya dan Nabi Muhammad tidak bisa mengislamkan pamannya*).
Meskipun demikian, seseorang tidak dapat memungkiri bahwa Allah telah memberikan
seperangkat potensi yang harus dilakukan dan dimaksimalkan sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan masing-masing dengan tidak menyalahi norma dan aturan untuk dapat
berhubungan dengan kekuatan ghaib dan supranatural. Oleh karena itu, yang harus dilakukan
oleh setiap orang adalah berkewajiban untuk mengikuti salah satu ajaran agama, berusaha
dan bekerja, serta berdoa dengan sungguh-sungguh untuk berhubungan dengan Tuhannya.
Dengan demikian, manusia diwajibkan untuk menentukan salah satu agama yang dipercayai,
dan dilanjutkan dengan melakukan serangkaian aktivitas yang terkandung dalam ajaran
kitabnya untuk berhubungan dengan Tuhannya juga berhubungan dengan antara sesama
manusia.
Ditinjau dari sumbernya, agama yang dipeluk oleh
manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu agama
samawi dan ardhi. Agama samawi disebut juga dengan
agama langit, agama wahyu, agama profetis, revealid
religion, Din as-Samawi, yaitu agama yang diwahyukan Allah
kepada manusia melalui para Nabi/Rasul-Nya. Sedangkan
agama ardhi disebut dengan agama budaya, agama filsafat,
agama bumi, agama ra’yun, natural relegion, non-revealed relegion, Din at-Thabi’i, yaitu
Agama untuk
menjebatani
kebutuhan fitrah
manusia terhadap
Tuhan di dalam
mencapai kebenaran,
kedamaian dan
kesejahteraan yang
hakiki
Dilihat dari sumbernya
maka agama
dikelompokkan
menjadi 2 yaitu agama
samawi dan agama
ardhi
agama ciptaan manusia sendiri, (Anshori, Endang Syaifuddin, 1986). Diantara contoh agama
samawi adalah agama Yahudi asli, agama Nasrani asli dan agama Islam. Sedangkan contoh
agama ardhi adalah agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Shinto, termasuk aliran kepercayaan.
Menurut pandangan Islam, baik agama Yahudi asli maupun Nasrani asli merupakan agama
samawi. Mengingat kedua agama ini termaktub dalam bentuknya yang murni dan menurut al-
Qur’an adalah agama Islam juga, bahkan menurut al-Qur’an (QS. Ali Imran : 67)semua
agama yang dianut oleh para Nabi/Rasul adalah agama Islam. (Anshori, Endang Syaifuddin
1986).
Selanjutnya, agama mana yang harus diikuti oleh seseorang? apakah agama samawi
atau ardhi? Untuk menjawab pada dua pilihan agama yang harus diikuti ini memang tidak
semudah membalikkan tangan, dan juga tidak semudah mendengarkan ceramah maupun
khotbah dari siapapun yang menyampaikan, selanjutnya mengikutinya tanpa alasan yang
jelas dan benar. Akan tetapi perlu sekali seseorang untuk melakukan perenungan terhadap
apa yang telah didengar, membaca beberapa buku atau leteratur yang dianggap dapat
membantu membawa pada pencerahan dalam berfikir, berdialog kepada orang-orang yang
dianggap mampu dalam hal ini, bahkan membaca fenomena alam pun sangat diperlukan,
sehingga seseorang tidak terjebak untuk sekedar mengikutinya tanpa memahami substansi isi
atau ajaran yang dibawa oleh masing-masing agama tersebut. Dengan demikian, yang harus
dilakukan oleh seseorang adalah mempertimbangan lahirnya agama dan proses perjalanan
manusia yang gagal mencari kedamaian atau kebenaran yang hakiki melalui inderanya dan isi
kitabnya lebih dikedepankan. Sesudah itu berfikir pada keberadaan masing-masing agama
samawi atau agama ardhi pada ranah implementasi pada kehidupan sehari-hari, sehingga
ajaran agama yang diikuti dapat menghasilkan suatu karya atau budaya tertentu yang
mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya.
Adapun alasan seseorang memilih dan mengikuti agama samawi adalah: (1) Agama
samawi sebagai agama wahyu yang datangnya dari Allah yang disampaikan kepada manusia
melalui utusan-Nya. (2) Agama wahyu pada dasarnya merupakan sifat Rahman dan Rahim
Allah kepada manusia, agar manusia dapat selamat dan hidup sejahtera di dunia dan di
akhirat. (3) Setiap manusia ingin hidup selamat dan sejahtera di dunia-akhirat, maka
diharuskan berpedoman pada agama wahyu. Sedangkan alasan seseorang memilih dan
mengikuti agama ardhi adalah (1) Secara fitrah manusia bertuhan, hati nuraninya tidak
pernah bohong itu mengatakan bahwa ada kekuatan gaib dan supranatural yang menciptakan,
mengatur dan menguasai alam ini, termasuk menguasai manusia. (2) Dialah sebenarnya yang
dapat memenuhi segala kebutuhan apa yang diinginkan. (3) Dialah tempat mengadu dari
berbagai persoalan hidup, perasaan takut dan cemas, juga perasaan tidak menentu. (4) Agar
semua keinginannya dapat terpenuhi, maka manusia harus mengadakan hubungan dengan
kekuatan ghaib dan supranatural dengan berbagai cara, sesuai dengan pemahamannya
terhadap kekuatan ghaib. (5) Cara mengadakan hubungan dengan kekuatan ghaib ini
diwariskan secara turun temurun, selanjutnya disakralkan dan dilembagakan, Madjid, Abdul,
dkk (1989).
3. Mengapa saya memilih Islam?
Ada beberapa alasan mengapa manusia memilih agama Islam sebagai agama yang diikutinya,
antara lain:
a. Fitrah Manusia
Setiap manusia dilahirkan telah dianugerahi oleh Allah yang bernama fitrah (kesucian),
maksudnya setiap manusia memiliki sifat-sifat yang baik, sifat-sifat ketuhanan dan beragama.
Sebagaimana sabda Nabi :
لود من ما رة على يولد إل مو دانه فأبواه ال فط رانه يهو سانه وينص ويمج Artinya: “Tidak ada seorang anak pun yang dilahirkan, kecuali dilahirkan dalam keadaan
fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi”.
(H.R. Muslim dan Abu Hurairah). Juga firman Allah S.Ar-Rum ayat 30,
رت فأقم ين حنيفا فط هك للد ق لناس ٱفطر لتيٱ لل ٱوج ديل لخل ها ل تب لك لل ٱعلي ين ٱذ قي م ٱ لد ل
ثر ول لمون لناس ٱكن أك ٣٠ل يع Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS.
Ar-Rum: 30).
Kata fitrah dalam Qur’an dan hadits tersebut menunjukkan pengertian bertuhan atau
beragama Islam. Hal ini dipertegas dengan ujung hadits yang mengatakan “kedua orang
tualah yang menjadikan anaknya beragama Yahudi atau Nasrani atau Majusi”. Dengan
demikian, setiap manusia dilahirkan telah beragama Islam. Hal ini sesuai dengan hasil dialog
antara Allah dengan semua roh manusia, mulai roh manusia pertama yang dilahirkan hingga
roh manusia terakhir dilahirkan sebelum diciptakan jasadnya. Dimana, Allah meminta
kesaksian kepada roh-roh manusia ketika di alam arwah dahulu. Dan semua roh manusia
sudah sama-sama memberikan kesaksiannya, bahwa Allah adalah Tuhannya. Kesaksian dan
pengakuan roh-roh semacam ini dapat dibaca di dalam QS. Al A’raf ayat 172.
ق وإذ ت برب كم أنفسهم ألس هدهم على يتهم وأش الوا بلى أخذ ربك من بني ءادم من ظهورهم ذر
م أن تقولوا يو نا مة ٱشهد قي فلين ل ذا غ ١٧٢إنا كنا عن هArtinya: “ Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami
menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al-A’rof : 172).
Ada dua alasan mengapa Allah meminta kesaksian dalam ayat di atas, lebih dahulu
terhadap roh-roh atas dirinya sebelum manusia diciptakan, yaitu: (1) Agar manusia tidak
beralasan lupa, karena roh yang suci itu tidak dapat lupa. (2) Agar manusia tidak
melemparkan kesalahan kepada nenek moyangnya yang telah mempersekutukan Allah
dengan Tuhan lain.
b. Firman Allah QS.Ali Imran ayat 19 dan 85,
ين ٱ إن م ٱ لل ٱعند لد ل س تلف ٱوما ل ب ٱأوتوا لذين ٱ خ كت د ما جاءهم ل م ٱإل من بع عل نهم ل ا بي ي بغ
فر ب ت ومن يك حساب ٱسريع لل ٱفإن لل ٱاي ١٩ ل Artinya :“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-
ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS. Ali Imran: 19).
Menurut Ibn Katsir dalam memberikan penafsiran ayat ini mengandung pesan dari
Allah bahwa tiada agama seseorang yang diterima disisi-Nya kecuali Islam, dengan
mengikuti ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. sebagai nabi terakhir. Oleh
karena itu, telah tertutup semua jalan menuju Allah kecuali jalan dari arah beliau, sehingga
siapapun menemui (menyembah) Allah setelah diutusnya Muhammad SAW. dengan
menganut suatu agama selain syaria’at yang beliau sampaikan, maka tidak diterima-Nya.
Selanjutnya, bagaimana kalau ada umatnya yang mengikuti ajaran selain Islam, sehingga
terjadi perselesihan dalam menjalan ajaran agamanya? Mereka berselisih karena
kedengkiannya (kata baghyan) baik ucapan maupun perbuatan yang dilakukannya untuk
tujuan mencabut nikmat yang dianugerahkan Allah kepada pihak lain, disebabkan rasa iri hati
terhadap pemilik nikmat itu, Shihab, M.Quraish,Volume 2 (2006).
ر ومن تغ غي م ٱيب ل س بل م ل ه وهو في دينا فلن يق خرة ٱن سرين ٱمن ل خ ٨٥ ل Artinya : “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi”.
(QS. Ali Imran: 85).
Ayat ini menjelaskan sangsi bagi seseorang yang mengikuti agama selain Islam dan
berakibat pada kepatuhannya menyembah selain Allah, maka sangsinya ketika di dunia
berupa (falan yuqbala, artinya sekali-kali tidak akan diterima) semua amal perbuatannya
sewaktu di dunia akan sia-sia atau terhapus, seperti: ketaatan dan keimanannya pada
Tuhannya, juga mempercayai, mengikuti, mendukung, tunduk dan patuh pada ketentuan
yang ditetapkan dalam kitabnya. Sedangkan sanksi ukhrowi (wahuwa fil akhirati minal
khaasirin, artinya dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi) memperoleh kerugian yang
amat besar, karena sewaktu dunia patuh selain Allah hingga kematiannya, maka semua amal
perbuatannya tidak diterima oleh Allah walaupun amalan itu baik dan bermanfaat bagi
manusia. Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi: ”Siapa yang mengamalkan satu amalan yang
tidak berdasarkan ketetapan Allah yang ditetapkan-Nya, maka amalan itu tertolak”, Shihab,
M.Quraish,Volume 2 (2006). Oleh karena itu, boleh jadi di dunia (dengan ukuran dunia) dia
tidak rugi karena mendapat nama baik atau kedudukan yang tinggi, namun di akhirat pasti
rugi dan celaka. Sedangkan ayat lain yang mengungkap tentang kebenaran agama Islam
sebagai satu-satunya agama yang diterima oleh Allah terdapat dalam: S.Al Maidah ayat 3, Al
An’am ayat 125, Az Zumar ayat 22 dan S.Ash Shaff ayat 7.
c. Pengakuan Fir’aun
Pengakuan Fir’aun yang mengaku dirinya sebagai Tuhan ketika akan mati dengan
tenggelam di laut merah sewaktu mengejar Nabi Musa beserta kaumnya, pengakuan ini telah
diabadikan dalam firman-Nya QS.Yunus ayat 90-92 sebagai berikut :
ءيل ر نا ببني إس وز ر ٱوج بح ن وجنوده ل عو بعهم فر ركه ۥفأت إذا أد وا حتى يا وعد غرق ٱبغ قال ل
ه إل ۥءامنت أنه ءيل وأنا من ۦنت به ءام لذي ٱل إل ر لمين ٱبنوا إس مس ـ ن ٩٠ ل ت ءال وقد عصي
ل وكنت من سدين ٱقب مف م ٱف ٩١ ل يو ن ل وإن كثيرا م فك ءاية يك ببدنك لتكون لمن خل لناس ٱننج
تنا لغ ٩٢فلون عن ءايArtinya: “Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh
Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak Menganiaya dan menindas (mereka); hingga
bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada
Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya Termasuk orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah) (90). Apakah sekarang (baru kamu percaya), Padahal
Sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu Termasuk orang-orang yang
berbuat kerusakan (91). Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya kebanyakan
dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami” (92) (QS. Yunus : 90-92).
Ayat ini menjelaskan tentang siksaan bagi penguasa yang dhalim dan mengaku dirinya
sebagai tuhan yang dimohonkan oleh Nabi Musa beserta kaumnya, padahal dakwah (ajakan)
telah disampaikan kepadanya. Saat itu Nabi Musa beserta kaumnya telah diusir dan disiksa
oleh Fir’aun beserta bala tentaranya hingga meninggalkan daerahnya dan melintasi laut
merah, selanjutnya Fir’aun beserta bala tentaranya mengejar dan mengikutinya dengan tujuan
melakukan penganiayaan dan agresi terhadap Nabi Musa beserta kaumnya. Akan tetapi air
laut semakin tinggi (pasang), hingga hampir menenggelamkan Fir’aun beserta bala
tentaranya. Disaat itu Fir’aun telah melihat dan merasakan kematiannya hampir dekat dan ia
yakin tidak akan selamat, ia berkata (potongan ayat 90): "Saya percaya bahwa tidak ada
Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil”. Apa yang diucapkan oleh Fir’aun
ini merupakan ajaran yang telah disampaikan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun, sehingga
keinginannya Fir’aun termasuk orang-orang yang berserah diri kepada Allah. Namun
pengakuan Fir’aun ini sia-sia belaka ketika nyawa akan keluar dari badannya, hingga
Malaikat pencabut nyawa bertanya kepadanya dengan nada kecaman dan ejekan: (ayat 91)
“Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak
dahulu”. Nampak sekali bahwa Nabi Musa telah mengajak Fir’aun untuk mempercayai Allah
sebagai Tuhan, namun ia enggan untuk percaya bahkan termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan untuk dirinya dan orang lain. Selanjutnya, Malaikat mengambil rohnya dan
menyelamatkan badanya (ayat 92, menurut sejarah, setelah Fir'aun itu tenggelam mayatnya
terdampar di pantai diketemukan oleh orang-orang Mesir lalu dibalsem, sehingga utuh
sampai sekarang dan dapat dilihat di musium Mesir ) untuk dijadikan pelajaran bagi siapapun
yang hidup sesudahnya atau generasi berikutnya, bahwa betapun kuat dan kuasanya manusia,
tidak akan mampu menghadapi Allah, Shihab, M.Quraisy, Volume 6, (2006).
d. Pengakuan orang-orang ahli kitab (Yahudi & Nasrani)
Pengakuan ahli kitab bahwa agama Islam adalah agama yang benar, sebagaimana
pengakuan Waraqah bin Naufal mengakui Muhammad (suami Khadijah) seorang Nabi
sebagaimana Nabi Musa, Haekal, Muhammad Husain, (2002). Waraqah bin Naufal (seorang
penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bible dan menerjemahkan kedalam bahasa
Arab, beliau adalah anak paman Khadijah atau saudara sepupunya) telah didatangi oleh
Khadijah bersama Muhammad, dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dan penguatan
terhadap dirinya dan suaminya pada peristiwa yang baru dialami. Khadijah dan Muhammad
menceritakan kejadian yang dialaminya ketika berada di gua Hira’ untuk melakukan
tahannuth atau khalwat. Ketika Muhammad sedang tidur di dalam gua, dia didatangi
Malaikat (Jibril) seraya berkata kepadanya: Iqra’ (bacalah), dengan terkejut Muhammad
menjawab, ma aqra’ (saya tidak dapat membaca), pertanyaan ini diajukan kepada beliau
hingga 3 kali dan beliau memberi jawaban sama. Selanjutnya Jibril membacakan QS. Al
‘Alaq ayat 1-5, lalu beliau menirukan bacaan tersebut hingga kelima ayat tersebut terpatri di
dalam kalbunya. Sesudah itu Malaikat pun pergi, kemudian beliau terbangun dengan kondisi
ketakutan, sambil bertanya pada dirinya sendiri: apa yang dilihatnya ? apa yang menimpa
dirinya ? sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tidak melihat apa-apa. Cepat-cepat beliau
pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya dalam hatinya, siapa gerangan yang
menyuruh membaca tadi ?. Yang ia lihat selama ini hanyalah lewat mimpi yang dapat
memancarkan dari sela-sela renungannya, membuat jalan di hadapannya menjadi terang
benderang, menunjukkan kepadanya jalan yang terang benderang.
Waraqah berkata kepada Khadijah dan Muhammad SAW, wahai anak saudaraku: apa
yang dilihat dan dialami oleh suamimu sama dengan yang dialami oleh Nabi Musa. Semoga
dimasa ini saya masih hidup, dimana kaum tuan mengusir tuan. Mendengar kata Waraqah itu
Nabi bertanya: apakah mereka akan mengusir aku ? Jawab Waraqah betul: belum pernah
seorang jua pun yang diberi wahyu seperti engkau ini, yang tidak dimusuhi orang. Apabila
saya masih mendapati masa tuan diusir dan dimusuhi oleh orang-orang yang tidak sepahaman
denganmu, niscaya aku akan menolongmu dengan sekuat tenaga, akan tetapi tidak lama
Waraqah meninggal dunia.
4. Pengertian Islam
Ada 2 pendapat cendekiawan muslim dalam memberikan pengertian Islam, yaitu: (a)
Menurut Syalkhul ‘I-Azhar Cairo al-marhum Muhammad Syaltut memberikan pengertian
Islam adalah “agama Allah yang diperintahkan untuk mengerjakan tentang pokok-pokok
serta peraturan-peraturan kepada Nabi Muhammad SAW dan menugaskannya untuk
menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia mengajak mereka untuk
memeluknya. (b) Dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah memberikan
pengertian agama ada dua pengertian, yaitu: pertama, Agama yakni agama Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Qur’an dan
yang tersebut dalam sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan,
serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat. Kedua, Agama adalah apa
yang disyari’atkan Allah dengan perantaraan Nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan
larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat,
Anshari, Endang Saifuddin, (1986: 74).
Bertolak pada dua pendapat ini dalam memberikan pengertian Islam, menurut hemat
kami lebih menekankan pada isi ajaran Islam yang telah disampaikan kepada Nabi
Muhammad, baik tersurat dan tersirat di dalam al Qur’an maupun hadits, selanjutnya para
pengikutnya diperintahkan untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkannya dan apa
yang telah dilarangnya.
5. Sumber Ajaran Islam
Al-Qur’an dan hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam, keduanya sebagai
sumber ajaran yang harus dibaca, dipahami dan diamalkan oleh manusia. Maksud manusia
disini adalah semua umat dibawah kerasulan Muhammad SAW. kapan dan dimana saja
berada, tanpa memperhatikan suku, kelompok dan salah satu bangsa atau generasi tertentu.
Untuk lebih jelasnya, kedua sumber ini akan diuraikan sebagai berikut:
a. Al-Qur’an sebagai sumber pertama.
Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT. yang
bersifat/berfungsi mu’jizat (sebagai bukti atas kenabian
Muhammad) yang diturunkan (diwahyukan) kepada
Sumber agama
Islam : Al-Qur’an
dan Hadist (as-
sunnah)
N.Muhammad SAW. tertulis di dalam mushaf-mushaf, dinukilkan/diriwayatkan dengan jalan
mutawatir dan dipandang beribadah membacanya. Dengan demikian, al-Qur’an dijadikan
sebagai petunjuk hidup sekaligus penjelas bagi manusia dengan bahasa yang dapat dipahami
oleh manusia. Sedangkan isinya mengandung 5 prinsip yang harus disampaikan kepada
semua umatnya dan selanjutnya diamalkannya, yaitu:
1) Tauhid (doktrin tentang kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa). Tauhid dari kata
wahhada (telah menyatukan) – yuwahhidu (akan tetap menyatukan) – tauhidan (benar-
benar menyatukan), Ahmad, Malik (1980). Kata ini dapat dipahami bahwa tauhid
haruslah berwujud, maksudnya ada upaya seseorang untuk menyatukan Allah dengan
hatinya yang tepat, yakni merebut hati sendiri supaya memiliki i’tikad yang meyakinkan
bahwa Allah itu Esa atau Tunggal, perhatikan Surat Al-Ikhlas ayat 1-4. Apabila digali
secara mendalam dan dengan penuh kesadaran bahwa kesediaan manusia untuk
mengakui adanya Allah telah tertanam dalam jiwanya sejak berada di alam roh, sebelum
jasmani menyatu dengan rohani di alam kandungan maupun di alam materi (dunia),
sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-’Araf ayat 172.
2) Janji dan ancaman Tuhan. Allah telah menjanjikan kepada setiap umat-Nya yang
beriman dan selalu mengikuti semua petunjuk-Nya akan memperoleh kebahagian hidup
di dunia dan akhirat, dan dijadikan khalifah (penguasa) di muka bumi ini, sebagaimana
firman-Nya Surat An-Nur ayat 55. Sedangkan ancaman-Nya kepada siapa saja yang
ingkar kepada-Nya dan memusuhi Nabi/Rasul-Nya serta melanggar perintah dan
larangan-Nya akan mendapatkan kesengsaraan hidupnya, baik di dunia maupun di
akhirat, firman Allah Surat at-Taubah ayat 67-68 dan al-Hajj ayat 72. Terkait dengan
janji dan ancaman, dalam surat Al-Fatihah ayat 1 dan 2 telah menggambarkannya,
dimana Allah telah memerintah manusia bertauhid (ber-KetuhananYang Maha Esa) dan
beribadah adalah semata-mata sebagai rahmat Tuhan kepada manusia sendiri, untuk
kepentingan dan kemasalahannya. Sedangkan ayat 3, 4 dan 5 mengingatkan manusia,
bahwa Allah yang kuasa pada hari pembalasan (kiamat) nanti, baik memberi pahala
kepada orang-orang yang beramal dan memberi hukuman / siksaan bagi orang-orang
yang berbuat kejelekan
3) Petunjuk dan tata cara ibadah yaitu semua bentuk perbuatan atau amaliah sebagai
manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid. Sedangkan inti ajaran ibadah bila dikaitkan
dengan Surat Al-Fatihah terdapat pada ayat 5 dan 6, bahwa Allah sebagai: (a) penegak
keadilan, (b) penguasa yang baik dengan mengasihi rakyatnya, (c) pendidik manusia
yang pertama, (d) membela siapapun yang teraniaya, (e) memberi balasan terhadap
siapun yang berbuat baik dan memberikan sangsi atau hukuma terhadap orang yang
salah, (d) memiliki kewenangan penuh terhadap apa saja yang dimilikinya. Sebagai
kesimpulannya, ada hubungan antara Allah sebagai Dzat Penguasa yang mempunyai
kedudukan tinggi, sedangkan manusia sebagai mahluk yang tidak berdaya dalam
memberikan balasan pada hari akhir.
4) Jalan dan cara mencapai kebahagiaan. Setiap orang yang beragama pasti bercita-cita
ingin mendapatlan kebahagiaan hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk
mencapai cita-cita tersebut, maka Allah dalam firman-Nya telah memberikan petunjuk
bahwa manusia harus menempuh jalan yang lurus, yaitu jalan yang diridhoi oleh Allah.
Sedangkan caranya adalah menghayati dan mematuhi segala aturan agama yang
ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
Surat Al-Fatihah ayat 5 ayat ini mengingatkan kepada seluruh manusia agar menenpuh
jalan yang lurus, jalan yang diridhai oleh Allah untuk mencapai kebahagiaan hidupnya
dunia dan akhirat.
5) Sejarah/cerita umat manusia sebelum Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an telah
menceritakan kisah para Rasul beserta umatnya masing-masing, seperti: kisah Nabi Lut,
Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Nuh dan seterusnya. Salah satu tujuan Allah mengabadikan
kisah para Rasul beserta umatnya, agar dijadikan pelajaran bagi umat manusia sekarang
(umat Nabi Muhammad), bagaimana nasib manusia yang taat kepada Allah maupun yang
ingkar bahkan melawan kepada Allah. Juga membicarakan tentang hal ihwal para Nabi /
Rasul beserta umatnya, hal ini dimaksud sebagai hiburan, cambukan dan motivasi bagi
Nabi Muhammad beserta umat Islam (para sahabat) pada masa permulaan Islam agar
tetap berteguh hati dan tidak berkecil hati dalam menghadapi segala hambatan, rintangan
dan tantangan secara langsung maupun tidak langsung dalam menjalankan dakwah
Islamiyah / missinya. Sebab, para Nabi dan Rasul sebelumnya juga mengalami
hambatan, rintangan dan tantangan yang sama, bahkan lebih dari apa yang dialami oleh
Nabi Muhammad beserta para sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu, patutlah bila Nabi
Muhammad beserta para sahabatnya bersyukur kepada Allah, karena misi yang
dijalankan jauh lebih berhasil dibanding dengan missi yang dijalankan oleh para Nabi /
Rasul yang mendahuluinya. Meskipun misi dalam menyebarkan Islam yang diemban
oleh Nabi Muhammad tidak sebatas bangsa Arab saja, melain untuk seluruh umat
manusia sepanjang masa hingga hari qiyamat.
b. Hadits/sunah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an.
Hadits/sunah merupakan sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun penetapan pengakuan, Syafe’i, Imam Rahmat (2007). Para
ulama sepakat bahwa As-Sunah dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum.
Kekuatan hukum berasal dari As-Sunah sama dengan kekuatan hukum yang berasal dari
Al-Qur’an dan menjadi sumber hukum Islam dan wajib dipatuhi. Karena itu As-Sunah
berfungsi sebagai penjelas terhadap maksud ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak atau kurang
jelas, sebagaiman firman Allah dalam Surat Al-Hasyr ayat 7, Surat An-Nisa ayat 59 dan
ayat 80. Begitu juga dengan para sahabat Rasulullah, baik pada waktu beliau masih
hidup maupun sudah wafat, telah bersepakat wajib mengikuti sunah nabi, tanpa
membedakan antara wahyu yang diturunkan dalam Al-Quran dengan ketentuan yang
berasal dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, hadits berfungsi sebagai: (1) Menguatkan
dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Quran. (2) Menguraikan dan memerinci
yang global (mujmal), mengaitkan yang mutlak dan mentakhsiskan yang umum (‘am),
dan berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Quran. (3) Menetapkan dan
mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Quran. Ilyas, Yanuar, (2009).
6. Ruang lingkup ajaran Islam
Secara garis besarnya ajaran Islam dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu: (aqidah,
ibadah, dan ahlaq) atau (iman, islam dan ihsan). Ketiga pokok ajaran Islam ini diibaratkan
sebuah bangunan, terdiri dari: fondasi, bangunan pokok dan
Ruang lingkup
ajaran Islam :
a. Aqidah (iman)
b. Ibadah (islam)
c. Akhlak (ihsan)
perabotan atau asesoris. Ketiganya merupakan sebuah rangkaian yang tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan lainnya. Dalam hal ini, kami contohkan sebuah rumah yang layak dihuni,
maka yang diperlukan adalah:
a. Pondasi (’Aqidah atau Iman) yang kokoh, sehingga tidak mudah roboh meski ada gempa
yang mengguncang atau badai yang menerjang. Bangunan ini belum bisa dikatakan
rumah bila hanya fondasi saja, tanpa ada bangunan pokok. Begitu juga dengan aqidah
atau iman, merupakan dasar dan pondasi dari segala macam aktifitas amal shaleh
seseorang ketika hidup di dunia. Hal ini tentunya sesuai dengan fungsi aqidah itu sendiri,
dimana seseorang yang memiliki aqidah kuat, pasti akan melaksanakan ibadah yang
tertib, memiliki ahlak yang mulia dan bermuamalah (berhubungan dengan orang lain)
dengan sebaik-baiknya. Sebagai dampaknya, ibadah yang telah dilakukannya akan
diterima oleh Allah, karena dilandasi dengan aqidah yang kuat. Sebaliknya, ibadah
seseorang tidak akan diterima oleh Allah kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Begitu
juga seseorang tidak dapat dikatakan berahlak mulia, bila tidak dilandasi dengan aqidah
yang benar. Untuk mencapai tingkatan aqidah yang kuat, maka diperlukan keyakinan
yang mantap, sehingga tidak bercampur baur dengan keraguan. Disamping itu, harus
mampu menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran. Artinya, seseorang
tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan. Sedangkan tingkatan
aqidah (keyakinan) seseorang tergantung pada pemahaman pada: Pertama Informasi
tentang keyakinan yang diterimanya, baik bersifat meyakinkan atau meragukan bahkan
kegoyahkan keyakinan yang sudah terpatrih dalam lubuk hatinya yang paling dalam.
Kedua, tergantung pada tingkat kekuatan pemahaman terhadap dalil di dalam Qur’an
maupun hadits. Bangunan pokok (Ibadah atau Islam), paling tidak ada pilar-pilar yang
tegak, dinding yang rapat, pintu untuk keluar masuk anggota keluarga, kerabat dan
tamu, jendela yang dapat digunakan sebagai sirkulasi udara sehingga menjadi segar dan
sejuk, serta atap yang melindungi penghuninya dari terik matahari dan curahan air hujan.
Bangunan ini sudah bisa dijadikan tempat tinggal, namun kurang nyaman kalau tidak
dilengkapi dengan perabotan atau asesoris. Begitu juga dengan ibadah, harus
diwujudkan dalam bentuk taat (ketaatan), tunduk (ketundukan), doa (berdoa),
memperhambakan diri, menyembah (shalat), dan lain-lain. Oleh karena itu, bentuk
ketundukan dan ketaatan yang dilakukan seharusnya dapat mencapai puncaknya untuk
berhubungan langsung dengan Allah. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat adanya rasa
keagungan dalam jiwanya, juga sebagai dampak dari keyakinannya, bahwa pengabdian
itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan atau Allah semata-mata. Untuk itu, ibadah
merupakan pekerjaan yang harus dilakukan oleh setiap manusia yang beriman dan
terwujud dalam setiap sikap, gerak-gerik dan tingkah laku sehari-hari. Sedangkan tujuan
hidup manusia di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana firman Allah
dalam Surat Adz-Dzariyat ayat 56. Oleh karena itu, ibadah bagi manusia berfungsi
sebagai manifestasi manusia bersyukur kepada Allah Pencipta segala nikmat dan
karunia-Nya yang telah diberikan kepada kita. Juga sebagai realisasi dan konsekwensi
manusia atas kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebab tidaklah cukup
bagi manusia hanya beriman tanpa disertai dengan amal / ibadah, sebagaimana pula
tidaklah cukup bagi manusia beramal / berdedikasi tanpa dilandasi dengan iman.
b. Perabotan (Ahlak atau Ihsan), seperti: meja, kursi, tempat tidur, almari, perlengkapan
dapur, perlengkapan kamar mandi dan lain-lain. Berbagai peraabotan tersebut
nampaknya akan lebih nyaman bagi penghuninya, manakala dilengkapi dengan peralatan
yang bersifat sekunder maupun hiasan-hiasan yang indah. Begitu juga akhlak atau ihsan,
dapat berupa ucapan maupun perbuatan. Terkait dengan ucapan, maka ada 2 jalur yang
dapat dijadikan komunikasi oleh seseorang, yaitu jalur komunikasi manusia dengan
Tuhan (Vertikal) dan jalur komunikasi manusia dengan alam sekitar, khususnya sesama
manusia (horisontal). Untuk dapat melakukan kedua jalur ini, maka seseorang harus
dapat menjalin hubungan baik kepada Tuhannya dan sesama manusia, sehingga ada
keseimbangan. Dengan demikian, kedua jalur ini harus sama-sama dilakukan, sehingga
kehidupannya dapat berjalan dengan stabil, harmonis dan sejahtera lahir dan batin.
Sebaliknya, seseorang yang hanya mementingkan salah satu komunikasi saja, seperti
menjalin komunikasi dengan Allah saja, maka akan berdampak pada sikap hidupnya
yang zuhud, menolak duniawi dan suka mengangsingkan diri dari pergaulan dengan
masyarakat. Begitu juga kalau hanya berkomunikasi antar sesama manusia saja, maka
dapat mendatangkan sikap hidup sekuler yang tandus bahkan atheis.
B. Islam sebagai Agama Rahmatan Lil ‘Alamin
Kata rahmatan lil ‘alamin diartikan dengan kelembutan hati yang melahirkan rasa kasih
sayang dan kebaikan. Hal ini bila dikaitkan dengan terciptanya dunia dan seluruh isinya atau
alam semesta, maka karena adanya kasih sayang Allah. Karena itu pula, maka Allah
mengutus Nabi Muhammad SAW. dengan menurunkan Islam untuk menuntun manusia agar
mampu menjadi khalifah di bumi. Untuk itu, maka ada beberapa hal yang akan dibicarakan
dalam bagian ini, antara lain :
1. Islam memperlakukan semua manusia sama.
Telah lama beredar pendapat di kalangan masyarakat, bahwa seseorang dikatakan
muslim manakala dia telah mengucapkan dua kalimat syahadat “Asyhadu an laa ilaaha illa
Allah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”. Artinya: “Saya bersaksi, bahwa tidak
ada tuhan melainkan Allah, dan saya bersaksi, bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.
Ucapan syahadataini ini merupakan kesaksian atau pengakuan seseorang yang secara resmi
diakui sebagai seorang muslim, karenanya dia berhak mendapat perlakuan sebagai layaknya
seorang muslim.
Pendapat ini nampaknya ada dasarnya, dimana saat itu terjadi peperangan antara orang-
orang Islam melawan orang-orang kafir. Sebagai panglima perangnya adalah Khalid bin
Walid (baru masuk Islam sesudah tahun ketujuh hijrah), beliau membunuh para musuh yang
sudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Kejadian ini dilaporkan kepada Rasulullah, maka
segera Rasulullah menegur Khalid. Khalid menjawab: ya Rasulullah, mereka mengucapkan
syahadataini itu semata-mata takut kepada pedangku, bukan karena beriman kepada Allah
dan kerasulanmu?. Rasulullah menjawab: bagaimana kamu bisa membaca hati orang?.
Merujuk pada hasil dialog ini, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa setiap orang yang
sudah mengucapkan syahadataini wajib diperlakukan sebagai seorang muslim, karena kita
tidak mungkin mengetahui hati orang lain.
Bertolak pada kasus ini bila dikaitkan dengan apa yang dilakukan oleh petugas KUA
ketika akan menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang muslimah, maka
laki-laki itu harus mengucapkan syahadataini terlebih dahulu sebelum mengucapkan aqad
nikah. Hal ini dilakukan semata-mata untuk meyakinkan dirinya, bahwa ia tidak menikahkan
seorang muslimah dengan seorang pria yang bukan muslim.
Dengan demikian, ucapan syahadataini sebagai pernyataan keislaman seseorang itu
sangat penting dan benar bagi pergaulan sesama muslim. Apakah dia mengucapkan dua
kalimat syahadat itu benar-benar ikhlas dalam pengakuannya atau tidak, itu bukan urusan
manusia untuk menilai, tetapi hanya Allah yang berhak untuk memberikan penilaian. Dengan
kata lain, ucapan syahadataini sebagai tanda keislaman seseorang memang sangat diperlukan
dan cukup untuk meyakinkan bagi antar sesama, lebih-lebih untuk pergaulan hidup
bermasyarakat, Imaduddin ‘Abdulrahim, (2002).
2. Islam mengakui kemerdekaan sebagai hak asasi manusia
Setiap manusia hidup di muka bumi telah diberi oleh Allah kemerdekaan, salah satu
bentuknya dengan menempatkan manusia pada kedudukan yang sejajar dengan manusia
lainnya. Dan kalau toh adanya perbedaan secara lahiriyah antar sesama, maka itu bukan
berarti menyebabkan perbedaan dalam kedudukan sosialnya. Karena dengan kemerdekaan ini
yang membuat pembeda antara manusia dengan mahluk Allah lainnya. Oleh karena itu,
kemerdekaan merupakan salah satu ciri manusia yang paling penting, dan Allah pun
melarang untuk memaksakan dalam menentukan pilihannya (termasuk memilih agama). Al-
Qur’an secara tegas mengatakan dalam Surat Al-Baqarah ayat 256 :
راه في ل ين ٱإك د ٱقد تبين لد ش ٱمن لر غي فر ب ل غوت ٱفمن يك
من ب لط سك ٱفقد لل ٱويؤ تم س
وة ٱب عر قى ٱ ل وث ٢٥٦سميع عليم لل ٱلها و نفصام ٱل ل
Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut [syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT] dan beriman kepada
Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak
akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 256).
Ayat ini menyatakan bahwa manusia tidak berhak memaksakan manusia lainnya agar
beriman, karena urusan iman atau kufurnya seseorang itu urusan Allah semata-mata dengan
orang yang bersangkutan. Karena itu, seseorang memilih Islam atau non Islam merupakan
hak pilihnya sebagai manusia yang memiliki kemerdekaan. Dengan kemerdekaan inilah yang
membedakan antara manusia dengan mahluk Allah lainnya, dan dengan melaksanakan hak
pilih inilah nilai kemanusiaanya dapat ditentukan, sesuai dengan kemerdekaan yang
dihayatinya, Abdulrahim, Imaduddin (2002). Sebagaimana firman Allah dalam QS.al-Ahzab
ayat 72,
نا إنا مانة ٱعرض ت ٱعلى ل و ض ٱو لسم ر جبال ٱو ل ها وحملها ل ن من فق نها وأش مل ن أن يح فأبي
ن ٱ نس ٧٢كان ظلوما جهول ۥإنه ل Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat [tugas-tugas keagamaan]
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”,(QS. Al-Ahzab : 72).
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia dengan amanah yang diterimanya itu berbeda
dengan mahluk lain, amanah yang dimaksud adalah kemerdekaan untuk menentukan pilihan.
Dengan adanya kemerdekaan, seseorang dapat:
a. Menentukan pilihannya untuk masuk surga atau neraka, mengingat kedua tempat ini
sudah diciptakan Allah dan diperuntukkan manusia, sesuai dengan balasan yang diterima
sewaktu menempuh perjalanan hidupnya di dunia.
b. Menilai dirinya atau orang lain termasuk baik atau jahat, benar atau salah.
c. Adanya berbagai macam kelompok manusia, dengan berbagai macam adat istiadat,
bahkan berbagai ragam agama di dunia. Akibat yang dilakukan, timbulnya salah
pengertian atau renggangnya komunikasi yang menyebabkan seseorang cekcok, bahkan
sampai terjadi pertumpuhan darah antara satu dengan lainnya (inilah resiko
kemerdekaan). Disisi lain, dengan keanekaragaman ini melahirkan keramaian dan
keindahan dinamika hidup, dan ini tidak dimiliki selain manusia.
d. Memilih menjadi manusia muslim, maka sikap dan sifat yang dimiliki harus disesuaikan
dengan sifat seluruh alam, sehingga menjadi manusia yang suka damai. Menjadi manusia
yang suka damai merupakan salah satu wujud kepasrahannya kepada Allah. Oleh karena
itu, ia akan memilih jalan yang sesuai dengan sifat-sifat alam di sekitarnya yang sudah
Islam kepada Allah, termasuk tubuhnya sendiri.
e. Memilih menjadi manusia yang kufur, kelompok orang-orang ini termasuk melawan
kenyataan yang ada disekitarnya, termasuk mengisolasi atau menutup mata hatinya.
Orang yang memilih menjadi kufur termasuk orang yang bodoh dan jahil, karena ia
dianggap gagal dalam melihat kenyataan yang merupakan kebenaran. Karena itu, ia tidak
dapat diharapkan mau dan mampu mempertahankan kebenaran. Sikap dan sifat seperti
ini dimiliki oleh orang-orang kafir, dimana ia berusaha untuk: (1) menghindar dari
kenyataan, (2) mencoba untuk menyembunyikan diri dari kebenaran, (3) pikirannya
picik, sempit dan tidak amau terbuka, (4) tidak tahan dikritik, meskipun bersifat
membangun, (5) menempatkan dirinya berbeda dengan mahluk lainnya, Abdulrahim,
Imaduddin (2002).
3. Islam membebaskan dari tradisi jahiliyah dan mengangkat derajat-martabat kaum
perempuan
Sejarah telah menyampaikan bahwa sebelum turunnya Al Qur’an telah lahir peradaban
bangsa-bangsa besar, seperti: Romawi, Yunani, India dan Cina. Begitu juga dengan agama-
agama, nampaknya dunia telah mengenalnya, seperti: Yahudi, Nasrani, Budha, Zoroaster dan
lain-lainnya. Dan tidak kalah menariknya tentang kaum perempuan. Untuk itu pembaca
budiman, kami ajak untuk menggali sejenak peradaban bangsa-bangsa besar yang
memposisikan dan memperlakukan kaum perempuan sebelum Islam hadir di tengah-tengah
mereka saat itu, (Shihab. M Quraish, 2003) seperti yang terjadi di berbagai belahan negara
berikut ini :
a. Masyarakat Yunani terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, akan tetapi tidak
banyak yang membicarakan hak dan kewajiban perempuan. Bahkan dikalangan
kelompok elite pun, perempuan disekap atau ditempatkan di dalam istana. Nasib
perempuan di kalangan bawah sangat memprihatinkan dan menyedihkan, mereka
diperjualbelikan yang berstatus gadis, sedangkan yang sudah berumah tangga
sepenuhnya berada pada kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak sipil, apalagi
hak waris. Perkembangan peradaban seperti ini mengalami hingga masa puncaknya,
namun kedudukan, harkat dan martabat perempuan pun tidak berubah. Dimana
perempuan diberi kebebasan untuk memenuhi kebutuhan selera laki-laki, hubungan
seksual yang bebas dianggap biasa saja dan tidak melanggar kesopanan. Begitu juga
dengan tempat-tempat pelacuran menjadi pusat kegiatan politik dan sastra/seni, patung-
patung dan gambar-gambar telanjang dianggap bagian dari seni. Dalam pandangan
mereka, bahwa para dewa melakukan hubungan gelap dengan rakyat bawahan, sebagai
hasil dari hubungan tersebut lahirlah “dewi cinta” yang sangat terkenal pada masa
peradaban Yunani.
b. Peradaban Romawi, perempuan sepenuhnya berada dibawah kekuasaan ayahnya. Setelah
kawin, kekuasaan beralih pada ke tangan suaminya. Kekauasaan ini mencakup
kewenangan untuk menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Sedangkan hasil
usaha yang dilakukan perempuan, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.
Keadaan seperti ini hingga sampai abad ke 6 Masehi, dan pada zaman Kaisar
Constantine terjadi sedikit perubahan dengan dikeluarkan undang-undang tentang hak
kepemilikan terbatas bagi perempuan, bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh
keluarga (suami atau ayah).
c. Peradaban Hindu dan Cina, dimana hak hidup seorang perempuan harus berakhir pada
saat kematian suaminya, dimana istri harus dibakar dalam kondisi hidup pada saat mayat
suaminya dibakar. Perempuan pada masyarakat Hindu sering dijadikan sesajen bagi apa
yang mereka namakan dewa-dewa. Begitu juga petuah sejarah kuno yang mengatakan,
bahwa “racun, ular dan api tidak lebih jahat dengan perempuan”. Sedangkan petuah Cina
kuno yang diajarkan adalah “anda boleh mendengarkan apa yang dibicarakan
perempuan, tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya”. Keadaan seperti ini
berakhir hingga abad ke 17 Masehi.
d. Ajaran Yahudi memperlakukan perempuan seperti pembantu atau budak, dimana ayah
berhak menjual anak-anak perempuanya bila tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran
ini menganggap perempuan sebagai sumber laknat, karena dialah yang menyebabkan
Adam diusir dari surga.
e. Pandangan pemuka Nasrani terhadap perempuan, bahwa perempuan adalah senjata iblis
untuk menyesatkan manusia. Selanjutnya pada abad ke 5 Masehi diselenggarakan konsili
(konggres pemuka agamawan Nasrani) yang membahas tentang perempuan itu
mempunyai ruh atau tidak ? dan disimpulkan bahwa perempuan tidak memiliki ruh yang
suci. Dan abad ke 6 Masehi diadakan konsili selanjutnya, yang membahas apakah
perempuan itu manusia atau tidak ? Dan sebagai kesimpulannya bahwa perempuan
diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Sepanjang abad pertengahan, nasib
perempuan tetap sangat memprihatinkan, hingga tahun 1805 perundang-undangan
Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya. Bahkan pada tahun 1882 kaum
perempuan Inggris belum memiliki hak pemilikan harta benda secarah penuh, dan hak
menuntut di pengadilan.
f. Peradaban di Amerika Serikat pada tahun 1849 bagi perempuan tidak mendapat tempat
yang layak, bahkan termarjinalisasikan (terpinggirkan). Hal ini dibuktikan, bahwa saat
itu Elizabeth Blackwill yang merupakan dokter perempuan pertama di dunia telah
menyelesaikan studinya di Geneve University. Namun, teman-temannya yang bertempat
tinggal dengan dia memboikotnya, dengan dalih perempuan tidak wajar memperoleh
pelajaran. Bahkan, ketika ia bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk kaum
perempuan di Philadelpia Amerika Serikat, para dokter setempat mengancam untuk
memboikot semua dokter yang bersedia mengajarnya.
Bertolak dari peradaban berbagai negera maju tersebut, dapat disimpulkan bahwa kaum
perempuan tidak mendapat tempat yang layak dan dipandang hanya sebelah mata. Begitu
juga di Indonesia, perempuan dibawah kekuasaan ayahnya bagi yang masih gadis dan
suaminya bagi yang sudah menikah. Kenyataan seperti ini hingga keluarnya pernyataan
Kartini lewat surat yang dikirimkan kepada teman perempuannya yang berasal dari Belanda,
yaitu “Habis gelap terbitlah terang”. Dengan memperhatikan kondisi seperti ini, tentunya
tidak sejalan dengan kehadiran Islam melalui petunjuk Al-Qur’an. Dan sedikit atau banyak
pandangan seperti ini akan mempengaruhi pemahaman para pakar terhadap redaksi petunjuk-
petunjuk Al-Qur’an, termasuk juga menempatkan posisi perempuan yang sesungguhnya,
seperti dalam hal:
a. Hak-hak perempuan di dalam dan di luar rumah.
Keberadaan perempuan di rumah maupun di luar rumah telah dijelaskan pada QS.Al-
Ahzab ayat 33, yang berbunyi:
ن ج وقر ن تبر هلية ٱفي بيوتكن ول تبرج ج ٱ ل ولى ن ل ة ٱوأقم ة ٱوءاتين لصلو ن لزكو لل ٱوأطع
هب عنكم لل ٱإنما يريد ۥ ورسوله س ٱليذ ج ل لر ت ٱأه بي ه ل ركم تط ٣٣ رايويطه Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Ayat ini sering kali digunakan dasar untuk
menghalangi kaum perempuan agar tidak keluar rumah,
begitu juga makna ayatnya menunjukkan perintah untuk
menetap di rumah. Artinya, tugas pokok perempuan (istri)
adalah mengurusi rumah tangga, termasuk mengasuh anak-
anaknya. Sedangkan tugas selain itu, termasuk mencari
nafkah menjadi tugas pokok suami. Pendapat ini merujuk
pada firman Allah QS.Thaha ayat 117:
نا رجنكما من فقل جك فل يخ ذا عدو لك ولزو ـ ادم إن ه جنة ٱي ل قى ١١٧فتش
Artinya: “Maka Kami berkata: "Hai Adam, Sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu
dan bagi isterimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari
surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka”.
Kata ف تشقى pada ujung akhir Ayat ini menunjukkan penggunaan bentuk tunggal pada
redaksi menyebabkan kamu menjadi celaka atau susah payah, memberikan isyarat bahwa
kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan (sandang, pangan, papan) anak-istri berada
pada pundak suami, Shihab, M.Quraish, (2003: 306).
Selanjutnya para mufasir menegaskan, bahwa agama Islam telah mengatur ajaran yang
dituntunkan agar perempuan tinggal di rumah dan tidak keluar rumah, kecuali dalam keadaan
Hak-hak perempuan di
luar rumah telah
dilakukan sejak masa
Rasulullah dan sahabat
Nabi dalam berbagai
bidang usaha dan
pekerjaan
darurat. Dalam hal ini, Imam Al-Maududi memberikan penafsiran ayat ini bahwa larangan
perempuan keluar rumah agar dapat melaksanakan kewajiban rumah tangganya. Dan kalau
toh ada keperluan keluar rumah, maka harus diperhatikan kesucian dirinya. Maksudnya,
perempuan itu dapat menjaga harga diri dan auratnya, agar tidak terjadi ejekan dan gunjingan
orang lain.
Dengan demikian, ada peluang bagi perempuan untuk keluar rumah. Namun yang
menjadi persoalan dalam batas-batas apa saja diizinkan untuk keluar rumah ? Said Hawa
(salah seorang ulama Mesir kontemporer) memberikan contoh yang dibolehkan keluar rumah
adalah mengunjungi orang tua, belajar atau sekolah atau kuliah yang sifatnya fardhu ‘ain atau
kifayah, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang
menanggungnya atau ada yang menanggungnya tetapi tidak mencukupi untuk kebutuhan
sehari-hari. Terkait dengan keluar rumah dengan alasana mencari nafkah, maka Khadijah bin
Khuwailid (istri Nabi) tercatat sebagai seorang pedagang yang sukses, juga Zainab binti
Jahsy yang aktif bekerja menyamak kulit binatang. Al-Syifa’, perempuan yang pandai
menulis, ia ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai karyawan yang menangani pasar Kota
Madinah.
Bertolak pada pada ketiga contoh perempuan ini menunjukkan, bahwa hak-hak
perempuan di luar rumah telah dilakukan sejak masa Rasulullah dan sahabat Nabi dalam
berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Tentunya tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan
yang ada masa kini sama dengan masa Nabi dan sahabat Nabi. Islam membenarkan dan
membolehkan kaum perempuan aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai
bidang pekerjaan di dalam maupun di luar rumah, baik dikerjakan secara mandiri, bersama-
sama dengan orang lain, atau dengan lembaga pemerintah atau dengan lembaga swata,
selama pekerjaan itu dilakukan secara terhormat, sopan dan dapat memelihara agamanya,
serta dapat menghindarkan dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan
lingkungannya. Dengan kata lain, perempuan mempunyai hak untuk bekerja di luar rumah
selama ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu yang membutuhkan dia, juga selama norma-
norma agama dan susila tetap terpelihara.
b. Hak-hak perempuan dalam politik
Tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang melarang keterlibatan perempuan
dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk
kaum laki-laki saja. Salah satu ayat yang berkaitan dengan keterlibatan hak-hak politik kaum
perempuan pada S. At-Taubah ayat 71:
منون ٱو مؤ ت ٱو ل من مؤ مرون ب ل يأ ض لياء بع ضهم أو روف ٱبع مع ن عن ل هو منكر ٱوين ويقيمون ل
ة ٱ تون لصلو ة ٱويؤ حمهم ۥ ورسوله لل ٱويطيعون لزكو ئك سير ل ٧١عزيز حكيم لل ٱإن لل ٱأو
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan)
yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka
taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Secara umum ayat ini menegaskan kewajiban melakukan kerja sama antara laki-laki
dengan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan yang ditujukan dengan kalimat “amar
ma’ruf nahi munkar”, artinya mengajak untuk berbuat baik dan mencegah yang munkar.
Sedangkan kata auliya’ mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan. Dan dilanjutkan
dengan kata “ya’muruuna bilma’ruufi” (artinya menyuruh mengerjakan yang makruf)
mencakup segala kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau
kritik kepada penguasa, sehingga setiap laki-laki dan perempuan muslim hendaknya
mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan memberi
saran atau nasihat untuk berbagai bidang kehidupan. Sebagaimana sabda Nabi yang artinya:
“Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum muslim, maka ia tidak
termasuk golongan mereka”, Shihab, M. Quraish, (2003: 315). Hadits ini mencakup
kepentingan kaum muslimin, karena itu persoalan yang dihadapi dapat menyempit atau
meluas, sesuai dengan latar belakang dan tingkatan pendidikan seseorang, termasuk bidang
politik.
Disisi lain, Al-Qur’an pun mengajak seluruh manusia (laki-laki dan perempuan) agar
bermusyawarah, salah satunya melalui politik. Perhatikan firman Allah S. Al-Syura ayat 38:
تجابوا ٱ لذين ٱو ة ٱلرب هم وأقاموا س هم ينفقون لصلو ن نهم ومما رزق رهم شورى بي ٣٨وأم Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka;
dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.
Ayat ini diajadikan dasar oleh ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik, bagi
setiap laki-laki dan perempuan. Sedangkan kata “syuura” (musyawarah) menurut Al-Qur’an
merupakan salah satu prinsip mengelola bidang kehidupan bersama, termasuk bidang politik.
Artinya, setiap warga negara dalam kehidupan bermasyarakat dituntut untuk membiasakan
melakukan musyawarah. Al-Qur’an pun menjelaskan permintaan kaum perempuan pada
zaman Nabi untuk melakukan bai’at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana
dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 12:
أيها ت ٱإذا جاءك لنبي ٱ ي من مؤ ن ب ل رك أن ل يش نك على نين ول شي لل ٱيبايع ن ول يز رق ا ول يس
ترينه ن يف ت تين ببه دهن ول يأ ل ن أو تل جله ۥيق ديهن وأر ن أي هن ن بي روف فبايع صينك في مع ول يع
فر ٱو تغ ١٢رحيم غفور لل ٱإن لل ٱلهن س Artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk
Mengadakan janji setia (disebut bai’at), bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah,
tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan
berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki merekadan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan
mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.
Ayat ini menjelaskan bahwa bai’at para perempuan ini menunjukkan sebagai bukti
kebebasannya untuk menentukan pandangan berkaitan dengan kehidupan, serta hak untuk
mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam
masyarakat, bahkan terkadang berbeda pandangan dengan suami atau ayahnya sendiri.
Terkait dengan politik praktis pada zaman Rasulullah, ternyata banyak perempuan yang
terlibat langsung, seperti Ummu Hani’ ketika memberikan jaminan keamanan kepada
sebagian kaum musyrik dan Rasulullah membenarkan sikapnya. Begitu juga dengan istri
Nabi sendiri, Aisyah r.a. sebagai pemimpin perang melawan Ali bin Abi Thalib yang saat itu
menjabat sebagai kepala Negara. Peperangan ini terkenal dengan sebutan dengan perang
jamal (perang unta). Keterlibatan Aisyiyah r.a. bersama dengan sekian banyak sahabat Nabi
dan kepemimpinannya dalam peperangan menunjukkan, bahwa beliau bersama para
pengikutnya membolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik praktis.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang (termasuk
perempuan), mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduku jabatan-jabatan tertinggi.
Kendatipun ada jabatan-jabatan yang sebagian ulama dianggap tidak boleh diduduki oleh
kaum perempuan, seperti: jabatan Kepala Negara dan hakim. Namun, perkembangan
masyarakat dari waktu ke waktu telah mengurangi atau membolehkan larangan tersebut,
khususnya persoalan tentang kedudukan perempuan sebagai hakim.
C. Islam Sebagai Way Of Life
Dengan memperhatikan arti Islam dalam Al Qur’an adalah sujud, tunduk, patuh atau
pasrah, maka konsekwensi bagi pemeluknya adalah melaksanakan segala aktivitas tersirat
dan tersurat dalam al Qur’an maupun hadits. Sebagaimana firman Allah pada Surat Ali Imran
ayat 83.
ر غون وله لل ٱدين أفغي لم من في ۥ يب ت ٱأس و ض ٱو لسم ر جعون ل ه ير ها وإلي عا وكر ٨٣طو Artinya : ” Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal
kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka
maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”, (Qs. Ali Imran: 83).
Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi telah Islam
(Islam diartikan sujud) kepada-Nya, walaupun seandainya ada manusia yang mau mencari
agama lain. Untuk meyakinkan pada diri kita masing-masing, mari pembaca yang budiman
kami ajak untuk berfikir dan meneliti sifat alam yang terbentang luas ini berlaku sejak
terciptanya, walaupun sebagian besar manusia tidak menyadarinya, karena berlaku tanpa
melibatkan kemauan manusia. Begitu juga dengan ciri-ciri seluruh alam yang tidak dapat
disangkal oleh siapapun, meski dia seorang penemu teori-teori kealaman. Untuk itu, mari kita
teliti kembali firman Allah Surat Al Hajj ayat 18.
جد له لل ٱتر أن ألم ت ٱمن في ۥ يس و ض ٱومن في لسم ر س ٱو ل قمر ٱو لشم جبال ٱو لنجوم ٱو ل ل
ن لدواب ٱو لشجر ٱو ه لناس ٱوكثير م عذاب ٱوكثير حق علي رم إن ۥفما له لل ٱومن يهن ل ك من م
عل ما يشاء۩ لل ٱ ١٨يف Artinya: “ Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di
langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang
melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah
ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun
yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (Qs. Al-Hajj:
18).
Ayat ini dapat pahami bahwa seluruh alam ini, baik benda-benda langit seperti
matahari, bulan, bintang hingga benda-benda yang ada di bumi seperti gunung, lautan,
daratan, flora dan fauna telah sujud kepada Allah. Oleh karena itu, tepatlah bila kata Islam
pada Qs. Ali Imran ayat 83 diartikan dengan sujud juga Qs. Al Hajj ayat 18, keduanya (sujud)
merupakan sifat atau tabiat seluruh alam terhadap Allah. Sifat ini merupakan bentuk pasrah
atau patuh pada ketentuan hukum yang tetap, konsisten dan terpadu, sehingga semuanya
bertabiat dan berjalan secara teratur, harmonis dan tidak saling mendahului. Perhatikan
firman Allah pada Surat Fushshilat ayat 11.
توى ٱ ثم ض لسماء ٱإلى س ر تياٱوهي دخان فقال لها ولل نا طائعين ئ أتي ها قالتا عا أو كر طو
١١ Artinya: “Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan
asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut
perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan
suka hati". (Qs. Fushshilat: 11).
‘Abdulrahim Imaduddin (2002: 5) menjelaskan kandungan ayat ini ada 3 hal, yaitu: (1)
Tunduk dan patuhnya seluruh alam kepada Allah tanpa kecuali (berdasarkan dekrit-Nya).
Kepatuhan dan ketaatannya alam ini sejak terciptanya alam, ketika bumi, matahari, bulan dan
bintang belum terbentuk dan masih berbentuk particles (zarrah) yang bertaburan (gas). (2)
Pada mulanya alam ini berbentuk gas, sama dengan teori alam semesta yang diakui di zaman
modern ini (Big Bang Theory, ditemukan oleh Edwin Hubble, tahun 1929). (3) Manusia
diistimewakan oleh Allah karena kepatuhan-Nya (perhatikan Surat Al Hajj ayat 18 di atas),
dimana banyak manusia yang patuh dan sujud kepada-Nya, namun ada juga yang ingkar.
Sedangkan benda-benda langit dan bumi, seperti: matahari, bulan, bintang, gunung, daratan,
flora, fauna semuanya tunduk, sujud dan taat kepada-Nya. Dengan demikian, manusia
dibedakan dengan mahluk lainnya, perbedaan ini terletak pada pemberian hak untuk
menentukan pilihannya sendiri.
Bertolak pada uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap
manusia diberi kesempatan dan kebebasan oleh Allah untuk : (1)
Tunduk dan patuh kepada Allah, maka ia dinamakan orang yang
pasrah atau muslim. (2) Menolak mematuhi Allah, maka ia
dinamakan kafir atau kufur (ingkar) kepada Allah. Kedua
kelompok (muslim dan kafir) ini, diberi kesempatan oleh Allah
hidup berdampingan dan melakukan serangkaian aktivitas masing-
masing. Bagi mereka yang mukmin, beriman dan beramal saleh,
maka Allah berjanji untuk menjadikan mereka sebagai pemegang
kemenangan dan menjadi penengah atau pengadil di dalam
persaingan hidup di dunia ini (lihat Qs. An Nuur ayat 55).
Secara harfiah, kata kufur diartikan dengan tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya :
kafir, dan tidak pandai bersyukur, Kamus Bahasa Indonesia (2007: 608). Orang yang kufur
adalah orang yang tidak mempercayai Allah dan Rasul-Nya, berarti orang tersebut ada upaya
untuk menutup hatinya dari alam sekitarnya. Pada kenyataannya yang menolak tidak
mempercanyai Allah dan Rasul-Nya adalah hatinya, sedangkan tubuhnya mau atau tidak mau
tetap tunduk dan patuh kepada Allah, karena tubuh manusia merupakan bagian dari alam.
Orang-orang kufur atau ingkar seperti ini, seolah-olah tidak mampu melihat kenyataan yang
ada pada dirinya maupun sekitarnya yang sudah patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Juga merasa dirinya yang paling benar, sehingga dia mempertahankan kebenaran tersebut.
Untuk itu, maka manusia sebagai khalifatullah (agen pencerahan kemanusiaan dan agen
kerusakan) dengan beberapa potensi yang dimilikinya, secara tidak langsung menghantarkan
kesadaran dirinya akan keagungan Allah dan keterbatasannya sebagai mahluk Allah. Oleh
Hidup sukses
adalah orang-
orang yang
memiliki
keseimbangan
antara iman, ilmu
pengetahuan dan
kepekaan
emosional
karena itu diperlukan penyikapan yang tegas dalam menempuh perjalanan hidup ini, agar
kehidupannya dapat membawa manfaat bagi dirinya dan orang lain, sehingga dapat
memperoleh kebahagian dan keselamatan hidup di dunia maupun akhirat. Dengan demikian,
ada dua hal yang harus diperhatikan oleh setiap orang dalam menyikapi hidup, yaitu lebih
menyeimbangkan duniawi dan ukhrowi. Maksudnya, setiap manusia dituntut untuk
melakukan pengembangan diri secara seimbang, antara aspek spritualitas yang lebih
mengarah untuk menjalin hubungan harmonis kepada Allah Yang Maha Agung, juga
pengembangan fungsi ilmu dan akal dalam rangkah untuk memahami titah Allah di muka
bumi secara praktis. Kedua hal itulah yang akan membawa manusia pada pola hidup yang
seimbang, dan ini akan lebih nampak sempurna dengan diperkuat doa yang setiap saat selalu
kita baca (orang awam menyebut doa sapu jagad), perhatikan Surat Al-Baqarah: 201.
ن يقول ربنا ءاتنا في ومنهم ٢٠١ لنار ٱحسنة وقنا عذاب لخرة ٱحسنة وفي نيالد ٱمArtinya: ”Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”
Ayat ini menjelaskan tentang seluruh aktifitas yang dilakukan oleh seseorang,
hendaknya lebih mengarah kepada Allah dan selalau mengingatnya, sehingga ia berdoa: Ya
Tuhan kami, demi kasih sayang dan bimbingan-Mu, maka anugerahilah kami hasanah di
dunia maupun di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. Dalam memahami kata
hasanah, dunia dan akhirat ada beberapa pendapat, yaitu: (1) Tidak hanya berbentuk sesuatu
yang baik dan bukan pula sifatnya kesenangan dunia semata. (2) Tidak pula hanya Iman
yang kukuh, sehat wal afiyat, rezeki yang memuaskan, pasangan yang ideal dan memperoleh
keturunan yang sholeh dan sholihah. (3) Tidak pula hanya bersifat keterbebasan dari rasa
takut di hari akhirat, hisab (perhitungan) yang mudah, masuk surga dan memperoleh ridho-
Nya, tetapi lebih dari itu, yaitu memperoleh anugerah Allah yang tidak terbatas. Dengan kata
lain, memperoleh hasanah adalah segala sesuatu yang menyenangkan di dunia dan berakibat
pula menyenangkan di hari akhir.
Adapun maksud dari keseimbangan antara spiritual, ilmu dan amal dalam meraih
kesuksesan hidup dalam pandangan Al-Qur’an menurut Imaduddin Abdulrahim bahwa hidup
sukses adalah orang-orang yang memiliki keseimbangan antara iman, ilmu pengetahuan dan
kepekaan emosional, Abdulrahim, Imaduddin, (2002: 57). Maksudnya, orang-orang yang
memiliki kesungguhan (bahasa agama disebut berjihat) dan siap berkurban untuk menggapai
cita-cita, sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya dengan tetap mempertimbangkan
ketiga hal tersebut. Oleh karena itu, ketiganya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
lainnya dan sangat penting untuk dimiliki oleh setiap orang, sehingga melahirkan manusia-
manusia yang tangguh dalam menghadapi semua ujian dan cobaan hidup. Sedangkan
dampak negatifnya memisahkan antara iman, ilmu pengetahuan dan kepekaan emosional
terhadap pribadi seseorang, maka akan melahirkan profil :
1. Seseorang yang mengandalkan ilmu pengetahuan yang luas, tetapi lemah iman dan
kepekaan emosionalnya, maka akan terjadi ketimpangan dan membuat hidupnya dalam
keadaan frustasi. Orang seperti ini akan mengalami pribadi yang pecah dan sangat
menyedihkan, kemungkinan kehidupannya sebagai manusia yang egois (ananiah),
bengis dan kejam terhadap orang lain, sehingga sangat membahayakan bagi keselamatan
lingkungannya. Pribadi yang pecah seperti ini sering kali kita temukan di masyarakat
yang sebagian besar orang-orang yang berilmu, tapi haus akan iman. Orang seperti ini
biasanya sukar dipercaya ucapannya, lebih-lebih terkait dengan komitmen dan
pendiriannya. Ia mungkin bijak kalau bicara, menguasi paparan ilmu yang disampaikan
dan terampil dalam mengaplikasikan ilmunya, tapi kehidupannya tanpa landasan yang
kuat. Dan kalau toh kebetulan ia jujur, maka kejujurannya hanya dilandaskan rasa takut
kepada atasannya, sehingga kejujuran itu sangat rapuh oleh cobaan dan ujian kesetiaan.
Begitu juga kalau ia terampil pada skill yang dibidangi, maka ia dengan mudah diperalat
oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. Figur-figur semacam ini dengan mudah
sekali diperalat dan dipermainkan oleh orang-orang yang kurang bahkan tidak
bertanggungjawab.
2. Seseorang yang memiliki iman dengan keyakinan yang kukuh, sedangkan ilmunya tidak
berkembang dan kepekaan emosional sangat rendah. Orang seperti ini akan mengalami
hidup seperti orang yang tidak mampu berbuat sesuatu, karena itu ia menjadi jumud,
eksklusif, bahkan kurang toleran terhadap pemikiran orang lain, sehingga besar
kemungkinan berwatak atau merasa benar sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Madjid, dkk, (1989: 26), Al-Islam I, Pusat Dokumentasi Publikasi Universitas
Muhammadiyah Malang.
Ahmad, Malik, 1980, Tauhid, Membina Pribadi Muslim dan Masyarakat, Cetakan keempat,
Jakarta: Al-Hidayah, jakarta, hal. 32
Al Qur’an dan Terjemahnya, 1426 H, Madinah Munawwarah: Mujamma’ Al Malik Fahd
Li Thiba’at Al Mush-haf Asy-Syarif
Anshori, Endang Syaifuddin, 1986 Kuliah Al-Islam, Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi, Jakarta: CV Rajawali
Ilyas, Yanuar, 2009, Cakrawala Al Quran, Yogyakarta: Itqon Publishing
Imaduddin, ‘Abdulrahim, 2002, Islam Sistem Nilai Terpadu, Cetakan 1, Jakarta: Gema Insani
Press
Kamus Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2007, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Jakarta: Balai Pustaka
Shalih, Abdullah bin Al Fauzan, 1999, Kitab Tauhid, Jakarta: Darul Haq
Shihab, M. Quraish, 2003, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan
Umat, Cetakan ke XIV, Bandung : PT Mizan Pustaka
----------------------, 1998, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Cetakan ke XVII, Bandung: Mizan
----------------------, 2006, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Volume 2 ,6 ,15, Cetakan ke VIII, Jakarta, Lentera hati
Syafe’, Imam Rahmat, 2007, Ilmu Usul Fiqh, Bandung:Pustaka Setia
Haekal, Muhammad Husain, 2002, Sejarah Hidup Muhammad, Cetakan kedua puluh enam,
(diterjemahkan oleh Ali Audah), Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa