YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: LENTERA NEWS #14

1

EDISI #14 MEI 2015

KEHENINGANSesuatu Yang Hilang Atau Terlupakan?

Page 2: LENTERA NEWS #14

2

DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWSDENGAN DOA DAN DANA

Kunjungi kami di sini:

Bank Nasional IndonesiaRek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy

/LENTERA-NEWS MAJALAHLENTERA.COM

daft

ar is

i Tajuk Redaksi3Telisik6

8 Lentera khusus

12 Embun katekese

14 Opini

20 Ilham sehat

KEHENINGANSesuatu Yang Hilang atau Terlupakan?

18 Rumah Joss

16 Sastra

RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Sr. Ursula Gultom, KSSY [Keuangan]

Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | [email protected] , [email protected] | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news

REDAKSI

Mencari TuhanLaksana Bunda Maria

Mengenal Tradisi Keru-dung Misa “Mantilla”

Menghitung Potensi Bank Tanpa Cabang

Tabula Rasa

Rambutan dan Semut

22 PollungMimpi Toba

27 Lapo AksaraLangit Itu Biru

Page 3: LENTERA NEWS #14

3

Redaksi

3

TAJUK REDAKSI | KEHENINGAN

‘Menjauhkan Yang Dekat, dan Mendekatkan Yang Jauh’

Adagium di atas sepertinya tidak asing bagi kita. Sebuah penggambaran, atau tepatnya sindiran terhadap kemajuan teknologi. Khususnya Teknologi Komunikasi dan Informasi.

Kesalahan tidak terletak pada perangkat teknologi tersebut. Namun bagaimana manusia memberdayakannya bak koin bersisi dua. Untuk kebaikan atau niat buruk. Nah, pada bagian kedua tersebut lah sosok dalam halaman Lentera Khusus edisi Mei ini menyatakan keprihatinannya. Pater Anton Yohanes Lelaona, SVD mendapati gaya hidup ‘hening’ kian pupus dalam kebiasaan manusia.

Setiap orang seperti hidup serba cepat. Tidak hanya dalam wujud makanan instant, bahkan sampai pada cara kita berdialog dan menghadapi masalah. Apakah kecepatan tersebut melulu bersifat baik? Tidak juga. Malah semakin banyak yang terabaikan.

Seolah seia sekata, pengabaian tersebut juga menjadi ilham bagi Dian Purba, kolumnis baru untuk majalah kesayangan kita ini. Bung Dian menyorot bagaimana arus zaman juga berimbas

menurunnya minat pemuda Batak untuk kembali ke kampung halaman. Tidak hanya untuk membangun kampungnya semasing, namun juga bagaimana mengangkat kembali citra Danau Toba. Simbol kebanggaan Pemuda Batak.

Lentera News edisi ini juga kembali menghadirkan ilham baru dari kolumnis ‘Rumah Joss’, Yoseph Tien yang kerap disapa Bung Joss. Perihal kaidah belajar anak yang baik kita terapkan kepada para generasi muda. Dan jangan lewatkan kiat sehat dari kontributor Vinny Avilla Barus. Kiat kali ini dikhususkan bagi penderita asam urat.

Setiap ilham yang hendak disebar dalam majalah online ini, diutamakan untuk mendorong semangat hidup yang lebih baik. Tentu tidak hanya para kolumnis dan kontributor Lentera News yang memiliki inspirasi tersebut. Para sahabat pembaca juga dapat mengirim karya tulis dan foto nya untuk Redaksi.

Sekecil apapun makna dalam karya tersebut. Jika kita sebar untuk banyak insan dan membantu mereka, adalah bagian dari kebaikan. Jangan lah kiranya arus zaman justru menyeret kita pada egoisme yang memecah belah.

Page 4: LENTERA NEWS #14

4

Page 5: LENTERA NEWS #14

55

Page 6: LENTERA NEWS #14

6

RP Hubertus Lidi, OSC [email protected]

MENCARI TUHANLAKSANA BUNDA MARIA

TELISIK | RELAWAN

Ibu muda, gaun panjang berikatkan biru, itu mencari……mencari, dan mencari. Dari raut wajahnya , tampaknya ia men-

cari sesuatu yang amat penting. Ada kegelisahan dan kecemasan yang mendalam, yang terpancar dari raut wajahnya “ Lae, apakah melihat anakku?” Ia bertanya. “Ito, apakah melihat anakku?” Lagi-lagi ia bertan-ya: “Bang…. apakah melihat anakku?” “De…. apakah melihat anaku?” Ia bertanya, satu persatu. Semuanya menjawab: “Maaf bu, kami tak melihat anakmu.”

Dalam suasana batin yang galau, wanita itu toh masih tetap berpikir positif. Bahwa ia akan menemukan anaknya. Ia menyangka anaknya yang sudah lincah berjalan itu, berada seperjalanan dengan sanak saudara, famili serta kenalannya.

Sesudah beberapa hari, tak melihat-Nya, ada kerinduan yang mencuat dari kedalaman batinnya. Ingin bertemu, melihat wajah, dan jalan bersamaNya. Saat itu…… ia mencari. Ia dan suaminya memutuskan kembali ke Yerusalem. Ada sebuah keyakinan bahwa anaknya itu masih berada di sana. Di rumah Bapa. Ia yakin karena gelagat dan orientasi anaknya itu selalu terarah kepada Allah.

Benar yang diperkirakan wanita itu. Dari kejauhan wanita itu menyaksikan anaknya sedang bersoal jawab dengan para tetua di rumah Ibadat. Antara heran dan kagum, wanita itu tengah menyaksikan sebuah pemandangan yang langkah. Pelan dan pasti, ia merangsek masuk, menerobos orang-orang yang mengelilingi anaknya itu. Orang-orang yang sedang mengagumi kearifan anak itu. Ia menjumpai dan dengan kata-kata

Page 7: LENTERA NEWS #14

7

keibuan, wanita itu berujar: “Nak aku dan bapaMu Yoseph dengan cemas mencariMu.” Keluhan yang wajar dari seorang ibu. Jawaban Anak itu sungguh meyakinkan ibu itu, bahwa keputusannya untuk kembali ke Yerusalem adalah sebuah keputusan yang tepat. “Aku harus berada di rumah Bapaku.” Ibu itu dan suaminya tak kecewa dengan jawaban anaknya itu. Penting bagi mereka adalah men-emukan dan sama sama kembali….

Teladan yang paling berharga dari wanita itu, untuk kita renugan dan dalami bersama adalah: Berpikir Positif dan mencari serta menemukan Tuhan. Wanita itu tidak lain adalah bunda Maria. Berpikir Positif menginspirasi kita untuk bertemu, bertanya, berdialog dan mengungkapkan seraya mengundang kita untuk mengkomunikasikan kebaikan. Berpikir positif memunculkan penghargaan tulus akan kepribadiannya, seraya menciptakan perdamaian dan merekat keretakan. Berpikir positif adalah cermin jiwa kita yang damai dan bahagia dengan segala keterbatasan kemanusiaan kita.

Mencari dan menemukan Tuhan merupakan tindakan iman. Dalam arti kita sedang menanggapi, mengapresiasi dan menghayati cinta dan kasih Tuhan. Kita mencari dan menegaskan bahwa Tuhan telah, sedang dan akan mencintai serta mengasihi kita. Proses mencari pada dasarnya merupakan akselerasi untuk cepat dan terus menemukan serta mengalami ci ntah Tuhan.

Mengapa kita Perlu Berpikir Positif dan Mencari serta menemukan Tuhan?

Harus kita akui bersama bahwa kadang-kadang egoisme dan kesombongan masih merupakan biang utama, kita menjahui cinta Tuhan. Kita hanya mau berurusan dengan diri kita masing-masing. Kita mengedepankan, baik secara tersurat maupun tersirat, bahwa yang penting adalah: aku….. aku dan aku. Kita menjadi ‘buncit’ loba dan tamak. Kita tak mau tahu dengan sesama.

Kesombongan membuat kita merasa tidak membutuhkan orang lain. Seakan-akan kita adalah paling utama dan penting. Kita menempatkan diri pada gradasi superlative. Kita tampil di panggung kehidupan ini, seakan-akan tidak ada relasi dan korelasi dengan ciptaan yang lain. Kala itu kalau kita jujur mengungkapkan diri, Kita bak segepok bulir hampa yang mendongak pongah, ke atas tapi ko-song. Bahkan pada tingkat fatal kita tak merasa membutuhkan Tuhan.

Dua aspek yang ditunjukkan bunda Maria, melalui peritiwa perjalanan pulang dari Yerusalem mengundang kita menjadi lebih rendah hati dan mengandalkan Tuhan. Mari kita sejenak bertanya dan berefleksi: Adakah si egoisme berpikir positif tentang sesama manusia? Yang ada padanya hanya bagaimana meraup habis bagian orang lain. Kepusingan si egoisme adalah: menimbun Kepuasan. Adakah si sombong mengandalkan sesama untuk sebuah kebaikan? Yang ada padanya adalah ‘menumpuk kuasa’ untuk mengokohkan dirinya bahwa dialah yang paling hebat. Kepusingan si sombong adalah : sebuah status quo.

Mari kita membina dalam diri kebiasaan untuk berpikir Positif dan kerinduan untuk mencari serta menemukan Tuhan. Tuhan ada bersama kita, penting untuk kita adalah berupaya meruntuhkan secara pelan dan pasti egoism dan kesombong diri, membiar diri Tuhan menguasai diri kita. Bunda Maria Ratu Rosari, doakanlah kami!

Teladan yang paling berharga dari

wanita itu, untuk kita renugan dan dalami bersama

adalah: Berpikir Positif

dan mencari serta menemukan Tuhan.

Wanita itu tidak lain adalah bunda

Maria.

Page 8: LENTERA NEWS #14

88

LENTERA KHUSUS | RP ANTON LELAONA, SVD

Page 9: LENTERA NEWS #14

99

KEHENINGANSesuatu Yang Hilang atau Terlupakan?

Bergulirnya era kehidupan itu bak arus sungai. Dan jika metamorfosis tersebut menggambarkan masa

terkini, maka ia sungguh mengalir amat deras. Keadaan tersebut tak lepas dari temuan dan pembaharuan pada teknologi informasi dan komunikasi. Secara terus menerus.

Perkembangan tersebut nyatanya turut menyeret imbas. Dimana setiap insan dapat memandangnya buruk atau baik. Namun, tak ada yang menyangkal teknologi canggih semakin mengkerdilkan relasi sosial kita dengan sesama. Sebab seluruh peristiwa dan fakta di dunia bisa kita genggam dalam bentuk gawai maupun perangkat keras komputer. Sehingga ke depannya, manusia melek teknologi hanya butuh ruang seukuran peti mayat, toilet mini, koneksi internet dan makanan instan.

Laksana batu-batu cadas, ternyata tidak semua insan hendak turut terbuai arus zaman. Pater Antonius Yohanes Lelaona, SVD termasuk diantara sosok tersebut. Di sela aktivitasnya sebagai Pastor Rekan di Paroki Santo Kristoforus Sibo-rongborong, Pater Anton berbagi kiat perihal esensi keheningan dalam hidup.

“Ilham tentang pentingnya keheningan dalam hidup berawal dua buku yang

pernah saya rujuk,” terang Imam kelahiran 11 Desember 1985 tersebut. “Yakni buku ‘Minum Dari Sumber Sendiri’ dari buku studi STFT Widya Sasana Malang. Serta tulisan Prof. DR. Berthold Anton Pareira, O. Carm berjudul ‘Spiritualitas Ekologi’ dalam buku ‘Dari Alam Menuju Tuhan’.”

Tulisan inspiratif tersebut sungguh mengena dalam hati Pater Anton terkait pengalaman hidupnya. “Ketika saya tidak bisa hening, segala sesuatu sepertinya hambar. Saya melakukan sesuatu, tetapi itu hanya sebatas kewajiban saya saja,” akunya. “Saya tidak bisa menghayatinya dalam kehidupan. Hidup menjadi gerusa-gerusu alias tidak tenang, maunya serba cepat tetapi tidak ada penghayatan dalam kehidupan beriman.”

Ia mengimbuhkan, aneka kegiatan yang berkenaan dengan teknologi juga mempengaruhi konsentrasi tatkala studi seminarinya. “Pada saat saya masih men-empuh pendidikan di Seminari Tinggi SVD di Malang, saya merasakan bahwa keheningan itu sangat dibutuhkan. Saya tidak bisa duduk belajar dan membaca dengan tenang, kalau saya tidak hening. Hidup saya menjadi semrawut dan tidak menentu. Pikiran jadi tidak terfokus dan bercabang-cabang.”

Page 10: LENTERA NEWS #14

10

“Studi filsafat dan teologi membutuhkan keheningan. Bahkan, hingga sekarang ketika jadi Imam, keheningan itu sangat penting guna menghadirkan Roh Kudus terutama dalam mempersiapkan diri dalam perayaan Ekaristi kudus dan homili,” ujarnya.

Dalam penerapan hidup hening juga turut mengasah minat Pater Anton dalam dunia menulis. Hingga kini, telah telah empat buku ia terbitkan. Yakni, ‘Lamafa di Lautan Lain’ (Penerbit Bejawa Press), ‘Berteologi di Tengah Pergulatan Hidup’ (Penerbit Pustaka Nusatama), ‘Hidup Bakti yang Misioner di Tengah Arus Globalisasi’ (Penerbit Kanisius) dan ‘Dari Alam: Manusia Belajar Mencintai’ (Penerbit Obor).

Larut Dalam Candu Teknologi?

Nicholas Carr dalam bukunya ‘The Shallow’ memaparkan dampak buruk Internet, yang juga bagian besar dari teknologi infomasi dan komunikasi. Dalam buku tersebut, Carr mengatakan, seperti junk food yang membuat kita obesitas dan terkena kanker. Informasi sampah juga sama berbahayanya. Otak manusia mengalami kelebihan informasi tidak penting yang dibuat ‘seolah’ penting. Tak lama, kemampuan berpikir manusia direnggut sedikit demi sedikit. Mudah terdistraksi. Sehingga banyak insan menjadi terlalu reaktif dalam menilai dan memberi opini terhadap suatu berita. Pengguna Internet juga mudah terombang-ambing terhadap luapan informasi yang tersebar di internet.

Temuan Nicholas Carr tersebut turut diamini oleh Pater Anton. Menurutnya, manusia masa kini telah candu hidup serba cepat. “Contoh nyata saja kalau ada pesan SMS lama dikirim karena jaringan rusak dia sudah gelisah bukan main. Kehadiran smartphone yang setiap hari menawarkan aneka aplikasi cepat membuat banyak manusia zaman sekarang tidak mau bahkan tidak berani lagi untuk hening melihat ke dalam diri,” ucapnya.

Fenomena sosial ini berpengaruh kepada kehidupan bersama. Manusia tidak lagi menghayati proses dalam kehidupan. “Kita menjadi manusia yang tidak sabar.

Manusia zaman ini maunya cepat. Yang lambat akan ketinggalan. Karena maunya cepat, maka yang lambat sedikit saja langsung dimarahi.”

“Oleh karena itu, baik bagi kita untuk sejenak hening meluangkan waktu melihat ke dalam dan mengevaluasi diri. Tuhan saja bisa berhenti bekerja dalam proses penciptaan. Dia melihat hasil karya-Nya. Karena itu, diciptakannya hari ke-7 untuk beristirahat memulihkan tenaga, memulihkan hati dan pikiran yang sumpek, agar di hari yang baru kita bisa segar kembali. Itulah manfaat dari keheningan yang kita ciptakan dalam hidup. Di dalam jiwa yang sehat terdapat tubuh yang kuat,” kata Pater Anton.

Bagi Pater Anton yang kini tengah bukunya yang ke-5 dan 6, hidup hening masih sangat relevan sekali bagi setiap insan. “Bukan hanya untuk kaum biara-wan/wati tetapi untuk semua orang. Dengan menciptakan keheningan, kita mampu mengolah emosi. Kita bisa berpikir dengan jernih bila sedang menghadapi masalah dalam kehidupan,” katanya.

“Orang zaman sekarang yang tidak bisa hening hidupnya akan menjadi tidak menentu. Dia hanya sekadar ikut arus perkembangan tetapi tidak mendalam. Misalkan saja seorang penulis. Seorang penulis yang menulis dalam keheningan akan mampu menghasilkan tulisan mendalam.”

Ia menambahkan, orang yang mencintai keheningan juga bersikap rendah hati bisa membuat otokritik diri bukan hanya bisa mengkritik orang lain. “Orang yang bisa hening akan terpancar dari wajahnya. Wajah yang selalu menampakkan keceriaan dan senyuman. Itulah yang saya lihat dalam kehidupan sosial dan saya alami sendiri dalam kehidupan saya,” tutur Pater Anton.

Page 11: LENTERA NEWS #14

11

Oleh karena itu, baik bagi kita untuk

sejenak hening meluangkan

waktu melihat ke dalam dan

mengevaluasi diri.

Tuhan saja bisa berhenti bekerja

dalam proses penciptaan. Dia

melihat hasil karya-Nya.

Page 12: LENTERA NEWS #14

12

Mengenal Tradisi Kerudung Misa “Mantilla”

T eladan Santa Perawan Maria yang selalu digambarkan menggunakan

kerudung dalam lukisan maupun patungnya. Pemakaian mantila juga menggambarkan martabat wanita Katolik (the dignity of catholic woman), ciptaan Tuhan yang terindah dengan ciri khasnya sebagai bejana kehidupan.

Mantilla adalah tudung yang biasanya dipakai oleh perempuan Katolik pada waktu misa. Ketika seorang wanita menutupi kepalanya di Gereja Katolik terutama saat dihadapan Sakramen Maha Kudus, melambangkan martabat dan kerendahan hatinya dihadapan Tuhan. Dengan menutupi kepalanya dengan mantila atau veil, ia menyatakan kewanitaannya yang indah dan unik. Ia membiarkan mahkotanya disembunyikan agar kemuliaan Tuhan nampak padanya.

Mungkin di lingkungan kita terasa aneh melihat seorang memakai tudung kepala saat misa. Namun ternyata tradisi ini sudah ada sejak jaman dahulu dan pernah diwajibkan oleh Gereja dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1262. Namun say-angnya, setelah KHK tersebut diperbaha-rui pada 1917, maka pemakaian mantilla

menjadi tidak wajib. Meskipun demikian, masih banyak perempuan Amerika Latin dan Korea yang mengenakan mantilla ketika ke Gereja. Nah, bagaimana dengan Indonesia?

Kitab Rasul Paulus dalam 1 Kor 11:2-16 sebagai dasar penggunaan Mantilla

Dalam perjalanan sejarah terkuak beberapa alasan utama penggunaan mantilla bagi perempuan pada jaman dahulu. Alasan tersebut didasarkan pada Kitab Rasul Paulus dalam 1 Kor 11:2-16. Berikut beberapa petikan bunyi seruan Rasul Paulus:

1. Paulus dalam 1 Kor 11: 2-3 mengingatkan bahwa Kristus adalah Sang Kepala bagi kaum laki-laki maupun perempuan.

2. Paulus dalam 1 Kor 11: 4-10 mengajarkan bahwa dalam hal berdoa, dalam liturgi, hendaknya berpakaian sesuai dengan budaya yang baik yang berlaku di masa itu, dimana perempuan hendaknya menggunakan tudung kepala sebagai tanda ketaatannya kepada Sang Kepala. Budaya pemakaian tudung bagi perempuan pada masa itu adalah tanda ketaatannya kepada suaminya dan ayahnya jika ia belum bersuami.

3. Paulus dalam 1 Kor 11:16, menyadari

EMBUN KATAKESE | MANTILLA

Sry Lestari Samosir

penulis, alumnus Jurusan Antropologi Universitas Negeri Medan

Page 13: LENTERA NEWS #14

13

bahwa Gereja Kristus tersebar di seluruh dunia. Komunitas Gereja bersekutu di dalamnya dan dari budaya yang berbeda. Maka Ia menganjurkan untuk mempertahankan penggunaan penutup kepala bagi perempuan sesuai budaya yang baik di masa itu dan pantas dipakai untuk berdoa, dalam liturgi.

Pada intinya Rasul Paulus menganjurkan kepada laki-laki dan perempuan berpakaian yang pantas dalam perayaan liturgi agar dapat mempersembahkan kurban yang layak kepada Allah. Sehingga atas dasar tersebut dimungkinkan Gereja dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1262, menyatakan pemakaian mantilla adalah sesuatu hal yang wajib bagi perempuan sebagai suatu tradisi.

Penghapusan Ketentuan Pemakaian Man-tilla Dalam Ibadah

Seiring berjalannya waktu ternyata kewajiban pemakaian mantilla mulai memudar. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal yakni:

1. Hilangnya makna tanda tersebut oleh tanda kekhususan suatu budaya. Suatu tanda, cara berpakaian, ekspresi menyampaikan arti yang dipahami oleh orang- orang pada budaya tertentu. Ketika budaya tidak lagi melihat pentingnya suatu tanda tertentu, maka tanda tersebut kehilangan makna, kecuali bagi mereka yang tetap mempertahankan pemahaman tersebut. Gereja harus mengajarkan makna tanda sakramental. Maka ketika pemakaian tudung itu sudah kehilangan makna, hal itu bisa tidak dipraktekkan lagi.

2. Konflik arti. Suatu tanda, meskipun artinya tetap berlaku, namun dapat memberikan arti yang menjadi penghalang bagi orang- orang pada budaya tertentu. Dalam kasus penutup kepala ini, walau artinya tetap valid, namun dapat dengan mudah disalah artikan sebagai ketundukan semena-mena sang istri kepada suaminya, atau bahkan semua wanita kepada semua pria.

Dalam dunia modern di mana persamaan martabat antara pria dan wanita sebagai pribadi- pribadi yang setara ditekankan, maka alasan ini merupakan alasan yang perlu dipertimbangkan. Kita tidak dapat menghalangi jiwa-jiwa untuk datang pada Yesus. Kanon terakhir dalam KHK mengingatkan kita bahwa keselamatan jiwa- jiwa merupakan hukum yang tertinggi dari Gereja (salus animarum suprema lex).

Kesopanan Dalam Berpakaian Saat Misa

Meskipun jelas bahwa tidak ada kewajiban kanonik bagi para wanita untuk mengenakan tutup kepala di gereja, para wanita tetap bebas untuk melakukannya sebagai ungkapan devosi pribadi.

Mereka harus melihatnya sebagai tanda ketaatan/ tunduk kepada Tuhan. Mereka yang mengenakan tudung dan mereka yang tidak mengenakannya, tidak perlu menghakimi satu sama lain, tetapi membiarkan setiap wanita untuk memutuskannya karena jelas hal ini tidak menjadi kewajiban.

Namun yang harus diingat adalah tentu kewajiban moral untuk berpakaian sopan sesuai dengan keadaan (dalam hal ini, pada saat ibadah untuk menerima Komuni kudus) tidak pernah diabaikan. Contoh sederhana ketika seorang gadis yang suka pakai jeans atau berpakaian seksi mengikuti misa. Sungguh rasanya kurang sopan menghadap Tuhan dengan penampilan seperti itu. Berbusana indah serta sederhana dianjurkan kepada setiap pribadi, karena tubuh pun tidak kalah pentingnya untuk memuliakan Allah! (1 Korintus 6:20).

Kesopanan/ kesederhanaan dalam berpakaian dan bertingkah laku merupakan tanda luar yang menunjukkan sikap batin. Perlu kita tanamkan bahwa kemurnian hati menuntut sikap yang sopan, yang terdiri dari kesabaran, kerendahan hati, dan perasaan halus

Pewartaan Pemakaian Kerudung Wanita

Setelah lebih dekat dengan si kerudung misa “Mantilla”, apakah kamu tergerak menggunakannya? Jika tidak, tetaplah kamu menjaga kesopanan saat misa.

Nah, jika kamu menjawab “Ya”, ayok mari saling menyemangati para wanita untuk bersama-sama mengembalikan kesakralan beribadah yang menyenangkan Tuhan. Penutup kepala tidaklah harus mantilla. Bisa juga memakai selendang, syal, pashmina dan sebagainya. Yah.. semoga mantilla semakin memberkati hati dan rupa para wanita.

Disadur dari http://www.kangheru.web.id/2014/12/penggunaan-mantilla.html

Sumber foto: LuxVeritatis7.wordpress.com

Meskipun jelas bahwa tidak ada kewajiban kanonik bagi para wanita untuk mengenakan tutup kepala di gereja, para wanita tetap bebas untuk melakukannya sebagai ungkapan devosi pribadi

Page 14: LENTERA NEWS #14

14

Menghitung Potensi Bank Tanpa Cabang

Beberapa waktu yang lalu Indonesia menerapkan kebijakan konsep branchless

banking untuk meningkatkan akses warga ke dunia perbankan, khususnya bagi mereka yang berada di pedesaan, jauh dari kantor bank. Walaupun dapat dikatakan terlambat, branchless banking akan sangat bermanfaat mengakomodir warga yang belum tersentuh layanan perbankan secara mudah dengan memanfaatkan telepon selular. Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, BPTN dan Bank Sinar Harapan Bali adalah beberapa bank yang menjadi peserta program ini.

Branchless banking juga diselenggarakan dalam rangka

program literasi keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK menargetkan penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang melek keuangan bertambah menjadi 3,1 juta jiwa hingga akhir tahun 2015. Jumlah itu setara dengan 2% dari jumlah populasi penduduk usia produktif sebanyak 157 juta jiwa. Hal tersebut menjadi target yang ditetapkan OJK guna meningkatkan literasi keuangan.

Sebelumnya, target utama OJK pada 2014 adalah ibu-ibu rumah tangga dan UMKM. Sedangkan pada tahun ini, OJK juga akan melaksanakan berbagai program edukasi yang menyentuh semua lapisan masyarakat di daerah pelosok. Sementara itu khusus di bidang perbankan, hasil penelitian Bank Dunia pada 2010 mengungkapkan berkisar 49% dari

Vinsensius Sitepu

Pendiri Komunitas Kreatif MahapalaMultimedia di Medan

vinsensius.info

OPINII | PERBANKAN

Page 15: LENTERA NEWS #14

15

populasi Indonesia belum terlayani jasa bank. Negara-negara lain seperti Pakistan 85%, Filipina 75%, China 60% dan India 55%. Hasil riset OJK pada tahun 2013, hanya 21% masyarakat Indonesia yang paham terhadap produk dan jasa keuangan itu sendiri. Berbanding negara jiran, Filipina 27%, Malaysia 66%, Thailand 73%, dan Singapura 98%.

Selama ini warga pedesaan merasa untuk menjadi nasabah bank perlu banyak duit dan dengan peraturan rumit dan membingungkan. Belum lagi jarak dari tempat tinggal mereka menuju bank terdekat cukup jauh, sebab mayoritas bank berada di daerah perkotaan padat.

Di sisi lainnya, secara bisnis bank yang ingin membangun kantor cabang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dari hitung-hitungan bank, sebuah cabang baru memerlukan dana sekitar Rp1,5 miliar, dengan biaya per bulan Rp900 juta. Pertimbangan utama bagi satu cabang adalah bahwa di wilayah itu harus memiliki potensi transaksi yang tinggi. Maka, tidak heran di wilayah desa-desa yang jauh untuk melakukan transaksi, warga masih mengandalkan transaksi tunai, khususnya bagi pelaku bisnis usaha kecil menengah (UKM). Padahal seperti diketahui jumlah UKM di Indonesi sangatlah banyak dengan nilai ekonomi yang tinggi. Ia akan semakin tinggi, jikalau ditunjang oleh sistem pembayaran yang lebih efisien dan cepat. Terlebih lagi jikalau pihak UKM dan masyarakat biasa menggunakan layanan perbankan, tentu saja berpeluang mendapatkan pinjaman mikro untuk menunjang kebutuhan bisnis mereka ataupun untuk kemudahan mendapatkan KPR. Dalam hitung-hitungan Bank Indonesia, transaksi keuangan masyarakat kelas bawah mencapai Rp300 triliun setiap harinya!

Nah, pendekatan branchless banking memanfaatkan tingkat tinggi penetrasi telepon selular di desa-desa. Dengan mengoptimalkan perangkat itu, warga desa bisa melakukan transaksi sebagai nasabah. Mereka dapat menyetor dan mengambil uang layaknya menggunakan ATM. Dalam hal ini nasabah melakukan transaksi bersama agen yang telah

ditunjuk dan dilatih oleh masing-masing bank peserta branchless banking. Setiap agen tersertifikasi tentunya harus melalui serangkaian ujian yang tidak mudah, karena ini urusannya mengelola duit masyarakat, apalagi sebagai seoarang agen ia mendapatkan imbalan berupa komisi. Di sisi ini, menjadi agen akan men-jadi peluang mendapatkan pekerjaan di desa.

Peningkatan literasi keuangan melalui branchless banking akan mengubah pola pikir orang Indonesia agar memaksimalkan potensi menyimpan atau menggunakan layanan transaksi di bank untuk memaksimalkan nilai ekonomi uangnya dengan melakukan bisnis dan membuka usaha penting lainnya. Dengan kata lain, uang tidak semestinya di-spending begitu saja, tetapi diputar kembali atau meminjam uang dari bank dengan risiko minim. Menggunakan layanan perbankan sejatinya bukan hanya menyimpan uang kita di lembaga keuangan itu dalam bentuk tabungan. Bank menjual produk investasi seperti deposito, reksadana, jual beli saham dan lainnya. Produk itu memberikan peluang keuangan lebih besar, daripada sekadar mengharapkan bunga tabungan yang sangat kecil. Dengan memahami fungsi bank dan beragam produknya, maka uang di tangan akan lebih bernilai dan memberikan manfaat yang jauh lebih besar guna membiayai pendidikan anak, membeli rumah dan sejumlah kebutuhan lainnya.

Pendekatan branchless banking memanfaatkan tingkat tinggi penetrasi telepon selular di desa- desa.

Dengan mengoptimalkan perangkat itu, warga desa bisa melakukan transaksi sebagai nasabah

Page 16: LENTERA NEWS #14

16

SASTRA | RAMBUTAN DAN SEMUT

Sr. Angela Siallagan, FCJM

Anggota Kongregasi FCJM, tinggal di Siantar

RAMBUTAN DAN SEMUT

Ketika semburat kilauan sang surya menggantung di dedaunan pohon, mengeringkan tetesan embun tadi malam.

Menebarkan pesona indahnya bangunan SMK Assisi yang teratur bentuknya ketika melihatnya dari lantai dua Asrama Putri St. Clara. Saat itu pula semilirnya angin mengantar sepotong kenangan yang telah terpatri delapan belas tahun silam. Yang menyusup pada rasa cemas menggelayut di ujung hatiku, yakni antara rambutan dan semut. Kenangan yang tersimpan dalam sanubari oleh seorang gadis tengah umur yang kujumpai kemarin dari kejauhan. Yuli, nama gadis molek berambut ikal itu.

Kisahnya, saat Yuli masih berusia sembilan tahun dan hidup bersama keluarganya, bersama Bapak, Ibu, kakak dan kedua adiknya. Yuli adalah anak kedua dalam keluarga itu.

Bisa dikatakan bahwa keluarga Yuli adalah keluarga yang sederhana dan rukun. Bapak dan Ibunya aktif dalam kegiatan kerohanian yang selalu mengajarkan hal-hal rohani, etika dan sopan santun. Dalam keluarga itu juga telah ditetapkan pembagian tugas yang jelas. Yuli mendapat tugas menjaga adik bungsunya. Ketepatan Yuli bertugas untuk menjaga adik bungsu yang masih berusia 2 tahun waktu itu amat terasa. Yuli beruntung karena adikn-ya yang bungsu tidak rewel, sehingga Yuli memiliki waktu luang yang cukup untuk diisi. Biasanya Yuli mengisinya dengan bermain-main bersama teman-teman sebayanya. Satu hal yang paling Yuli senangi adalah memanjat pohon rambutan yang terletak di belakang rumahnya.

Kali ini Yuli teringat akan suatu kisah bersama dengan sebatang pohon rambutan yang tumbuh persis dibelakang rumahnya. Pohon rambutan itu menjadi sahabat masa kecilnya. Menjadi sahabat karena dia selalu memberikan buah yang terbaik baginya saat musim berbuah. Buahnya manis dan lengkang. Orang-orang di desa Yuli sudah hapal rasa buah rambutan itu sehingga mereka menjadi sasaran pemasaran rambutan itu.

Musim rambutan adalah saat yang paling dinanti dalam sejarah masa kecilnya. Yuli selalu nyaman tinggal di bawah naungan pohon rambutan itu, setelah pulang sekolah untuk menikmati buahnya. Bukan hanya itu, rambutan menjadi mata pencahariannya untuk menambah besarnya uang jajan. Biasanya pembeli selalu mencari Yuli untuk membeli rambutan yang manis itu. Dan segera dipanjatnya

pohon rambutan itu dengan girang gembira.

Pernah dalam satu musim, pohon rambutan itu dipenuhi dengan semut. Semut termasuk jenis binatang kecil tetapi berbahaya. Berbahaya karena gigitan semut akan menyebabkan gatal-gatal dan bengkak pada badan. Yuli pernah mengalami peristiwa ini. Saat memanjat pohon rambutan, kolonial semut berusaha menembus kulitnya. Kulitnya yang putih segera berubah menjadi merah. Semut-semut itu berlari kian kemari dengan barisan panjang yang begitu menarik. Semut-semut itu pun dengan leluasa menembus rambut kepala hingga ujung kakinya. Kali ini Yuli berada dalam zona tidak nyaman. Tidak nyaman karena kolonial semut telah membuat badan Yuli gatal, merah dan bengkak.

Syukurlah sang Ibu mampu mengobati anaknya dengan cara yang paling sederhana. Pengobatan tradisional itu yang ditempuh. Cara pengobatannya mudah yakni dengan mengunyah sirih hingga air ludahnya merah delima dan memercikkan ke seluruh tubuhnya yang sudah bengkak itu. Dan pengobatan tradisional ini memang sangat ampuh. Dalam jangka waktu 30 menit gatal dan bengkak-bengkak di badan Yuli hilang. “Sungguh ajaib seperti suatu mantra yang agak profesional“, bisik anganku ketika mendengar Yuli bercerita kala itu.

Kesedihan kembali menimpa Yuli karena tak bisa lagi menikmati buah rambutan yang manis itu. Uang jajan menjadi pas-pasan sesuai jumlah formal yang diterima Yuli dari orang tuanya. Keuangan berlaku surut karena semut sialan itu. Namun, Yuli tak kehabisan akal..... dan mulai berfikir keras untuk mencari bagaimana caranya Yuli mampu mengambil buah rambutan itu lagi. Akhirnya dia menemukan solusinya. Dia mengambilnya dengan menggunakan kayu panjang dan menebas buah rambutan itu beserta ranting-rantingnya. Tengah melakukan hal itu, tersadarlah ia, jika cara demikian yang kutempuh maka dahan rambutan itu akan rusak sehingga tidak akan memberikan buah lagi pada musim berikutnya, demikian otak Yuli bergeliat.

Lagi-lagi Yuli harus berpikir keras untuk mencari solusi berikut serta mempertimbangkan untung dan ruginya jika dia bersikeras memanjat pohon rambutan yang dihuni semut jahat itu. Dan akhirnya..... dia putuskan un-tuk memanjat pohon rambutan itu. Dan apa yang terjadi. Kali ini Yuli benar-benar mendapatkan buah rambutan yang cukup banyak meskipun rambutnya telah berubah

16

Page 17: LENTERA NEWS #14

17

menjadi sarang semut dan badannya menjadi pasar semut yang dengan sebebas-bebasnya melintasi badannya ke mana ia suka.

Semut adalah musuh terbesar Yuli saat itu. Di tempat yang paling banyak buah manis itu, justru di situlah semut paling senang bersarang. Ini mengartikan bahwa Yuli dan semut sama-sama ingin menikmati buah rambutan yang manis itu. Yuli yang tak pernah mau kalah bertarung melawan semut merengkuh rambutan. “Aku tak mau kalah oleh semut sialan ini”, pikirnya dalam hati.

Sungguh tak peduli, sebanyak apa pun semut yang menggeledek badannya, ia tak peduli. Dan bisa ditebak, setelah turun dari pohon rambutan, kulit Yuli berubah warna menjadi merah dan akhirnya bengkak-bengkak karena di garut sekuat-kuatnya. Rambutnya yang ikal kemerah-merahan itu telah berubah menjadi sarang semut.Sungguh pengalaman yang cukup berkesan!

Kakak dan adik-adik tersenyum simpul melihat keadaannya. Bagi mereka, Yuli seperti “Nai Malvinas” sang pelawak batak terkenal yang sedang berakting. Mereka tidak tau betapa menderitanya Yuli saat itu. Sementara bapaknya menasehati Yuli, “lain kali kalau di pohon rambutan itu masih banyak semut, jangan pernah kamu panjat lagi. Syukur kamu masih bisa turun dari pohon itu, kalau tadinya semut itu bersarang di seluruh badanmu, bagaimana? Kamu kan bisa jatuh dari pohon itu karena tidak mampu lagi menahan gatalnya”. Dalam keadaan tertunduk lesu dan tanpa pikir panjang, Yuli hanya mampu menjawab : “Ya, pak”.

Bapak Yuli yang menaruh kasihan karena melihat keadaannya itu, segera mengambil tindakan penyelesa-ian saat itu juga. Apa yang dilakukan sang ayah untuk Yuli? Dia memanjat pohon rambutan itu dan membersihkan setiap dahan yang dipenuhi semut hingga bersih. Hal ini dilakukan berkali-kali..... kalau tidak salah hampir 4 (empat) hari berturut-turut. Dan bisa dipastikan pohon rambutan itu sudah aman dari semut jika suatu saat Yuli memanjat ulang lagi. Kejadian ini terus membekas dalam memori Yuli.

Perasaan senang dan bahagia memenuhi jiwanya saat itu. Hati bersorak-sorai dan girang saat Yuli berada di pohon rambutan itu untuk menikmati buahnya. Saking asiknya, Yuli menikmati buah rambutan itu sambil membaring-kan badannya tepat pada dahannya. Sungguh..... Yuli menikmati buah rambutan tanpa gangguan semut nakal itu lagi.

Dalam suasana sore berbalutkan awan mulus, angin sepoi mengibas sejuk dibalik lambaian dedaunan pohon-pohon yang mulai meronta-ronta kegirangan melepaskan diri dari cengkemanan induknya. Kini, bibir Yuli mulai mengembang mengumbar senyum semanis buah rambutan yang sedang dia nikmati.

Kuhempaskan tubuhku di kursi saat mengingat cerita Yuli. Bagai sedang berada di pohon rambutan dengan kenangan indah bersamanya. Mataku menyapu deretan pot bunga yang setia menemaniku di teras berukuran 3 x 4 ini.

Kuhaturkan sepatah kata ini, “sejatinya, persinggahan kita yang singkat diatas bumi ini memang harus menjadi terang yang bersinar”, pikirku dalam hati saat mengingat tindakan Bapak Yuli bak seorang pahlawan yang menyelamatkan jiwa Yuli dari serangan semut nakal itu.

Masih segar dalam ingatan, kalimat yang dituturkan oleh seorang Bapak Yuli : “lain kali kalau pohon rambutan itu masih banyak semut, jangan pernah kamu panjat lagi. Sy-ukur kamu masih bisa turun dari pohon itu, kalau tadinya semut itu bersarang di seluruh badanmu, bagaimana? Kamu kan bisa jatuh dari pohon itu karena tidak mampu lagi menahan gatalnya”.

Dan kini kata demi kata kuhayati, merasuk dalam setiap sel-sel darah merahku lalu mengalirlah hingga ke jantung dan seluruh tubuhku.

Aku mulai menarik makna dari peristiwa yang dialami oleh Yuli delapan belas tahun yang telah berlalu itu. Bagaikan suntikan semangat pada jiwa yang sedang kalut antara harapan dan kenyataan dan menatap sebuah persimpangan.

Sesungguhnya, kesulitan yang dialami oleh Yuli saat berada di pohon rambutan untuk mengumpulkan buah rambutan dalam jumlah yang besar dengan gangguan semut nakal menjadi suatu pelajaran berharga. Dalam hidup....., seringkali harapan tak seindah kenyataan yang terjadi. Untuk meraih impian tak sedikit kegagalan dan tan-tangan menghadang, yang kadang membuat diri lemah dan putus asa. Sehingga seringlah diri mempersalahkan tantangan yang datang dari luar diri dan berfikir bahwa sengaja mencipta tantangan besar itu untuk diri sendiri. Tapi sesungguhnya tidak. Ibarat semut yang menyusuri badan Yuli saat mengambil buah rambutan yang manis itu. Senada dengan tantangan saat mendaki impian.

Mungkin perlu mencontoh sikap bapak yang membersihkan semut-semut nakal itu sehingga dengan leluasa Yuli mengambil buah rambutan yang manis tanpa gangguan semut. Kini, semut tidak lagi menghalangi Yuli untuk mendapat rambutan dalam jumlah besar.

Demikianlah halnya dengan tantangan dan kesulitan yang ada. Kisah itu kini mengingatkan, supaya manusia senantiasa mengesampingkan tantangan dan kesulitan yang mungkin terjadi dan tak menjadi penghalang yang berguna dalam meraih impian. Sejatinya, tantangan men-jadi peluang....bukanlah penghalang.

Aku pun tertawa lepas dalam hati, selepas aku meninggalkan kursi rotan berwarna coklat tua itu.

17

Page 18: LENTERA NEWS #14

1818

KOLOM “RUMAH JOSS” | TABULA RASA

Di ruang tengah rumah kami yang mungil, bersama putri tao Toba dan tiga srikandi,

kami berbicara lepas bebas tentang banyak hal. Akrab dan dekat. Aroma cinta membungkus setiap tutur dan laku. Diluar sana, angin yang tak jadi mengirim hujan baru saja mendesah permisi, meninggalkan malam Jumat yang lengang.

Johana asyik meraut pinsil dengan jari-jari kecilnya. Jeanne dan Joice duduk manis disampingku. Mereka baru selesai membaca ulang catatan kecilku setahun yang lalu tentang pengalaman membaca buku.

“Pa, cara belajar Papa dulu kayak mana rupanya?” Joice melempar tanya.“Iya Pa...kasih taulah sama kami?” Jeanne menyokong sang kakak.

“Maksud kalian, cara belajar apa dulu ni?” respon pertama kutayangkan, sambil

menggeser posisi duduk agar semakin dekat dengan mereka.

“Gini Pak, misalnya belajar perkalian. Pake lagu nggak? Dinyanyikan gak?”

“Oh itu...ada lagunya tu...!” spontan kunyanyikan lagu perkalian. Selesai kunyanyikan lagu itu, mereka lalu menyanyikan versi mereka. Sedikit berbeda notasinya memang. Tapi tujuan dan substansinya sama.

“Terus kalau menghafal mata angin kaya mana Pak? Pakai lagu juga ya?” Jeanne bertanya dengan semangat empat lima. Singkat cerita, untuk arah mata angin, disamping jelas notasinya beda, urutan arahnya juga berbeda.

Versi anak-anak: Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat, Barat Laut, Utara, Timur Laut.

Versi saya:Utara, Timur Laut, Timur,

TABULA RASA

Yoseph Tien

Wakil Ketua KomIsi Kepemudaan di Keuskupan Agung Medan

Page 19: LENTERA NEWS #14

19

Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat, Barat Laut.

Itulah dunia anak, kosong bagaikan kertas. Lingkungan yang mengisi dan memberi warna, dengan warna apa saja yang tersedia atau disediakan lingkungan.

Tabula rasa, sebuah ungkapan dari bahasa Latin yang berarti ‘papan yang diratakan”. Terjemahan bebasnya: papan tulis yang bersih.

Dahulu, orang-orang Romawi menulis pada papan (tabula) lilin yang mudah dihapus. Ungkapan ini kemudian dipakai oleh filsuf John Locke (1632-1704), untuk menggambarkan pikiran manusia ketika ia baru lahir dan belum dipengaruhi oleh berbagai pengetahuan dan pengalaman.

Tabula rasa kemudian menjadi dasar dari pandangan empiris John Locke mengenai manusia. Melalui dasar itu, ia berpendapat bahwa hidup, kebebasan, milik adalah hak-hak alamiah manusia (Proverbia Latina. 260).

John Locke dalam An Essay Concering Human Understanding (1960) menolak pendapat Descartes dan setuju dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa jiwa pada saat lahir berada dalam keadaan tabula rasa.

Rene Descartes (1596-1650) membahas jiwa raga dalam Discourse on Method (1637) dan The Meditations (1641). Descartes menjelaskan bahwa jiwa memiliki hanya satu fungsi yaitu berpikir, apa yang kemudian melahirkan rasionalisme.

Jiwa dengan satu fungsi itu, menghasilkan dua pemikiran yaitu: dari luar: muncul dari stimulus yang menerpa panca indera dari dalam: muncul dari dalam jiwa atau kesadaran, diri sendiri, kesempurnaan, keabadian, Tuhan.

Pandangan Descartes inilah yang ditentang John Locke. Sebab menurut John Locke, jiwa bagaikan kertas putih. tanpa tulisan tertentu juga tanpa pikiran tertentu. Pertanyaannya, dari

manakah jiwa peroleh kemampuan nalar dan pengetahuan. Menurut John Locke, dari pengalaman.

Pertanyaan selanjutnya, dari manakah pengalaman itu diperoleh? Dari siapakah pengalaman itu diperoleh? Tentu saja dari lingkungan dan dari orang-orang yang berada dalam lingkungan tersebut.

Anak belajar dari lingkungannya. Bandura mempertegas itu. Karakter dan kepribadian anak terbentuk dari lingkungannya. Anak belajar sosial dari model yang ada di lingkungannya. Seperti apa warna lingkungan dan bagaimana tingkah laku model, kira-kira demikianlah kelak karakter dan kepribadian anak.

Saya orang yang sangat percaya dengan teori belajar sosial ini. Saya juga tentu sangat setuju dengan John Locke. Saya tidak sepakat dengan sebagian yang lain yang mengatakan bahwa karakter anak terbentuk karena faktor genetika, mungkin seperti pepatah yang mengatakan ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Tak betul itu!

Maksudku dalam contoh begini: tak ada gen perampok dari seorang ayah yang perampok, lalu membentuk seorang anak menjadi perampok. Yang ada, karena anak lahir dan besar dalam asuhan perampok, lalu di kemudian hari dia menjadi perampok. Artinya lingkungan hidupnyanya adalah lingkungan perampok dan modelnya adalah perampok, maka jadilah dia sebagai perampok.

Jadi, mari dengan setia dan tekun, kita beri warna dan model yang baik, dalam tutur kata dan tingkah laku yang beradab dan sesuai norma, maka anak-anak kita yang adalah tabula-tabula itu, bisa terbentuk menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter baik dan unggul.

Anak-anak adalah tabula rasa. Bentuk, warna dan rasa seperti apakah karaker dan kepribadian mereka kelak, sesungguhnya kitalah yang mengerjakannya sekarang!

Salam Joss!

ITULAH DUNIA ANAK, KOSONG

BAGAIKAN KERTAS.

LINGKUNGAN YANG MENGISI DAN MEMBERI

WARNA, DENGAN WARNA APA SAJA

YANG TERSEDIA ATAU DISEDIAKAN

LINGKUNGAN

Page 20: LENTERA NEWS #14

20

Vinny Avilla BarusPenulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Diponegoro – Semarang

ILHAM SEHAT | ASAM URAT

7 MAKANAN ‘HARAM’ BAGI PENDERITA ASAM URAT

Asam urat adalah penyakit yang terjadi akibat banyaknya zat purin dalam tubuh. Zat purin adalah senyawa kimia pada makanan kita. Na-mun kadar zat purin di setiap makanan berbeda-beda sesuai dengan

jenisnya.

Asam urat biasanya terjadi pada persedian jari-jari kakai atau tangan dan kebanyakan asam urat terjadi pada jempol kaki. Makanan yang banyak mengandung zat purin adalah pemicu terjadinya penyakit asam urat pada manusia. Penyakit ini ditandai dengan peradangan yang sangat menyakitkan pada sendi. Hal ini disebabkan pe-numpukan kristal asam urat. Jempol kaki adalah target yang paling umum, tetapi asam urat juga dapat menyerang kaki, pergelangan kaki, lutut dan tangan. Sila lirik daftar tujuh makanan berikut yang ‘diharamkan’ bagi penderita asam urat.

Page 21: LENTERA NEWS #14

21

SEAFOOD

Seafood adalah makanan yang sangat banyak di sukai oleh semua orang, kandungan gizi yang terkandung di dalamnya membuat seafood mejadi makanan idola bagi mereka yang ingin mengontrol berat badan dan juga perkembangan kognitif pada anak.

Namun apabila di konsumsi secara berlebihan akan berakibat fatal bagi seperti penyakit asam urat. Kandungan asam yang terdapat pada seafood, jika dikonsumsi berlebihan sangat lah berbahaya bagi kesehatan apalagi yang sudah mengidap penyakit asam urat.

MINUMAN MANIS/ TINGGI KADAR GULA

Bagi anda yang suka mengkonsumsi minuman yang memiliki kadar gula yang tinggi sebaiknya harus mengurangi untuk mengkonsumsinya. Karena minuman yang manis-manis akan dapat merangsang produksi asam urat. Minum air putih saja akan lebih menyehatkan bagi tubuh daripada mengkonsusmsi minuman yang manis, yang bisa membuat badan menjadi terkena penyakit.

BEBERAPA BUAH-BUAHAN

Tak hanya makanan cepat saji yang meiliki zat purin, ternyata buah-buahan ada juga yang mengandung zat purin yang tinggi, seperti buah durian, nanas dan air kelapa. Hal ini tentu membuat anda yang menyukai buah-buahan tersebut agar tidak mngkonsumsinya secara berlebihan karena akan membuat kadar asam urat jadi tinggi.

JEROAN

Jeroan adalah organ dalam hewan seperti usus, hati, jantung, ginjal, limpa, jantung memiliki kaar zat purin yang sangat tinggi yaitu 300-700 mg/gram. Tentunay ini meruapakan kandungan zat purin yang sangat tinggi. Untuk itu cobalah untuk tidak mengkonsumsinya terlalu sering dan juga tidak berlebihan karena akan membuat asam urat jadi naik.

DAGING MERAH

Selain seafood, daging merah juga banyak mengandung zat purin, dan bukan berarti daging putih seperti daging babi tidak berbahaya di konsumsi berlebihan. Pada daging babi juga terdapat zat purin yang apabila dikonsumsi secara berlebihan akan menyebabkan penyakit asam urat.

MAKANAN CEPAT SAJI

Makanan cepat saji ternyata juga mengandung zat purin yang tinggi, memakan makanan fast food secara rutin akan memicu asam urat jadi naik. Tak hanya asam urat yang naik, bahkan potensi anda terkena penyakit jantung juga akan terjadi jika anda sering mengkonsumsi makanan cepat saji. So, lebih baik makanan cepat saji diganti dengan jenis buah yang menyehatkan dan rendah kadar zat purinya

KACANG-KACANGAN

Kacang-kacangan seperti Kacang polong, buncis dan kacang-kacangan lainnya juga merupakan sumber dari purin, yang membuat mereka sumber makanan yang buruk bagi mereka yang memiliki asam urat. Untuk itu konsumsi lah secara berkala dan tidak berlebihan.

Page 22: LENTERA NEWS #14

2223

Dian Purba

[email protected] Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM

POLLUNG | DANAU TOBA

Page 23: LENTERA NEWS #14

23

MIMPI TOBADanau Toba yang indah namun sedang tidur panjang itu sedang “dibangunkan” oleh dua film yang berkisah tentang dirinya dan para penghuninya: “Bulan di Atas Kuburan” dan “ToBa Dreams”. Dengan sedikit keberanian dan sedikit intervensi kreativitas berinterpretasi, saya sangat tertarik menempatkan kedua film itu sebagai pengingat: bahwa Danau Toba, dengan demikian memasukkan orang Batak ke dalamnya, bukanlah tempat mimpi orang-orang yang akan menjadikan tempat itu sebagai kuburan.

Page 24: LENTERA NEWS #14

24

Tanah Batak menyumbang sangat banyak perantau di hampir semua daerah di Indonesia. Kampung halaman Batak bukanlah daerah kaya. Di tahun 90-an, kampung halaman orang Batak berada di urutan ke-15 pendapatan per-kapita GDP, dari 17 Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara saat itu.

Merantau menjadi salah satu alternatif mencari kehidupan yang lebih baik. Di tano parserahan itu mereka menemui modernitas, kemajuan, “menyempurnakan” kemajuan yang sudah mendatangi Tanah Batak. Mereka berjumpa beragam etnis, juga gaya hidup. Mereka kemudian beranakpinak. Generasi yang mereka lahirkan kemudian semakin berjarak dari bona pasogit (kampung halaman). Terjadi penambahan dan pengurangan kebudayaan yang mereka bawa dari Batak. Mereka di satu sisi mesti berkompetisi dengan budaya dominan. Di sisi lain mereka harus memperjuangkan seketat mungkin bagian-bagian kebudayaan asal mereka. Keturunan yang terlahir dari beberapa generasi yang sudah lama tinggal di daerah perantauan itu menjadi saksi sekaligus pelaku perubahan itu. Pertanyaan ini kemudian muncul: keterpautan seperti apa yang mengikat mereka dengan kampung halaman?

Kedua film itu bercerita tentang merantau dan perantauan. Film ini menjadi sanggahan kepada tulisan Anthony Reid. Reid menulis, “Mayoritas anak-anak dari Samosir yang sekarang lebih suka tinggal di

kota-kota Indonesia, cenderung kembali ke kampung

halaman hanya untuk berpesta

dan untuk acara p e m a k a m a n kembali.” Reid m e n g a t a k a n makam dan m o n u m e n -

monumen orang-orang meninggal adalah satu-satunya tanda investasi oleh orang-orang Batak rantau di kampung halaman nenek moyang orang Batak. Dengan demikian, penghubung antara orang desa dan kota adalah makam-makam itu, monumen-monumen itu.

Togar di “Bulan di Atas Kuburan” dan Mayor Tebe beserta keluarganya di “ToBa Dreams” adalah perantau yang sangat sadar bahwa masa depan itu ada di Toba. Tentu saja mereka mesti melewati jalan berliku untuk tiba di kesimpulan itu. Togar sempat kehilangan idealismenya di Jakarta. Kehebatannya sebagai penulis ulung dilacurkan ke seorang koruptor demi cinta dan demi peningkatan taraf hidup. Togar kemudian memutuskan pulang ke kampung. Di kepulangan itu dia menangis terisak-isak. Dia kembali mengingat ucapan di satu goresannya: Toba bukan hanya memberikan keindahan, namun juga menyediakan semua hal yang dibutuhkan untuk membuat masa depan. Mayor Tebe tetap memper-tahankan idealisme yang dibawanya dari Tanah Batak. Setelah pensiun dia memutuskan melewatkan hari-hari tuanya di Toba. Namun, sepertinya, anak-anaknya menganggap pulang ke Toba adalah pulang ke keterbela-kangan, pulang ke ketiadaan masa depan, pulang ke kehilangan segala cita-cita. Ronggur, si anak sulung, menjadi cermin sempurna bagi kita sehingga untuk perihal ini kita bisa berkata: begitulah anak rantau Batak terpaut dengan daerah asal muasal mereka.

Kedua film ini menjadi kritik yang sangat

tajam kepada siapa pun yang

Page 25: LENTERA NEWS #14

25

berkepentingan dengan Toba dan Danau Toba. Setelah krisis ekonomi 1998, pariwisata Danau Toba hancur lebur. Ke mana para perantau itu? Dengan bertanya demikian, sesungguhnya, saya sedang menuduh mereka dengan tuduhan yang sangat serius: kepingan surga di Sumatera Utara itu dibantu terkubur sempurna oleh mereka. Apakah saya sedang berlebihan? Rasanya tidak.

Meninggalkan Danau Toba untuk merantau bukanlah sebuah kesalahan. Namun, bila segala hal yang didapat dari perantauan tidak dikembalikan ke kampung halaman adalah tindakan keliru. Apa yang dibutuhkan Danau Toba dan Tanah Batak sekarang ini? Guncangan. Yah, guncangan, seperti dia pernah mengguncang hampir separuh bumi dengan letusan dahsyatnya. Guncangan dari semua sisi. Guncangan pertama tentu saja menghilangkan kesadaran palsu bahwa Tanah Batak tidak mengandung masa depan dan impian. Lihatlah danau itu. Betapa indah dia ditatap dari sudut mana pun. Bukankah keindahan ini yang jadi impian itu?

Ada bulan di atas Danau Toba. Danau ini sudah terlalu lama terlelap. Danau ini sudah begitu parah dikenang pemiliknya hanya sebatas sebagai bona pasogit. Di tidurnya yang panjang itu, danau ini senantiasa bermimpi. Mimpi Toba. Dia ingin segera dibangunkan.

Dia sedang berkata, “Merantaulah lalu kembalilah padaku. Bawa

semua hal yang kita butuhkan untuk bercita-cita, bermpimpi, dan

merajut masa depan.”

Setelah krisis ekonomi 1998, pariwisata Danau

Toba hancur lebur. Ke mana para perantau itu?

Dengan bertanya demikian,

sesungguhnya, saya sedang

menuduh mereka dengan tuduhan yang

sangat serius.

Page 26: LENTERA NEWS #14

26

Page 27: LENTERA NEWS #14

27

LAPO AKSARA

Ananta Bangun

[email protected]

Redaktur Tulis di Lentera News

27

LANGIT ITU BIRU

Kapankah terakhir kali mengagumi langit biru? Seperti secangkir teh

di pagi hari, tanya ini hedak disajikan bagi kamu, aku dan kita. Bila diberi pengandaian, maka tanya ini adalah jejak. Laiknya menapaki tangga untuk turun ke lantai dasar. Bahagian tonggak lantai demi lantai di atasnya.

Langit itu biru. Tentu saja. Mengapa bersusah payah membincangkan hal-hal sederhana seperti ini? Sebab aku hendak menggamit kembali ingatan kita di satu jejak waktu. Masa dimana kita menemukan harta karun bernama ‘syukur’.

Rasa syukur karena kita masih berkesempatan menemukan langit biru di bilik jendela. Setiap bangun pagi. Rasa syukur karena masih dapat mendengar suara mereka yang kita kasihi. Engkau belum ingat? Tidak mengapa. Namun cobalah perlahan menyanyikan lagu ‘Kasih Ibu’. Atau cukup menggumam saja. Nah, kini biarkan lagu itu terdengar dan menggema di hatimu. Juga hatiku. Hati kita.

Sungguh menggelikan. Kita pernah

merasa jengah dan tak berdaya. Hanya untuk mengutarakan perasaan kasih kita pada Bapak, Ibu dan Kakak atau Adik. Padahal, itu pun melalui telepon. Tanpa tatap muka dengan mereka secara langsung.

Langit itu biru. Ya, sederhana saja bukan? Begitu juga dengan suara debur ombak. Pasir nan hangat di siang hari. Atau satu kesempatan menatap kupu-kupu menyeruak dari kepompongnya. Seluruh penemuan sederhana ini hendak aku ungkap kembali dalam rajut tulisan ini.

Terima kasih bila engkau membaca ini hingga di bait terakhir. Setidaknya ada ilham yang memberi kembali ruang nafas atas beban di relung hatimu. Dan kembali kita menemukan rasa syukur itu. Syukur atas kehidupan yang dianugerahkan oleh-Nya.

Ya, benar. Hidup ini bukan hanya milikmu. Bukan milik kita. Karenanya janganlah kau akhiri di tanganmu sendiri.