YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: Lapkas Karina Marolop Daniel

LAPORAN KASUS

Congestive Heart Failure fc II ec Mitral Stenosis

Pembimbing:

Dr. Maruli Simanjuntak. SpJP

Disusun oleh:

KARINA DWI SWASTIKA

MAROLOP C. HUTAPEA

DANIEL RAJ KUMAR

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP HAM

MEDAN

2013

Page 2: Lapkas Karina Marolop Daniel

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkah dan petunjuk-Nya sehingga laporan kasus kepaniteraan klinik program pendidikan

profesi dokter ini dapat diselesaikan dengan semaksimal mungkin.

Laporan kasus ini disusun sebagai upaya integrasi pengetahuan biomedik yang

didapat di bangku perkuliahan dengan kenyataan kasus yang terjadi pada pasien di rumah

sakit. Diharapkan dengan penulisan laporan kasus ini, dapat dihasilkan suatu pemahaman

yang utuh, integratif dan aplikatif mengenai seluk beluk penyakit yang dibahas dalam

laporan kasus ini.

Laporan kasus kali ini mengangkat topik gagal jantung akibat kelainan katup

jantung, suatu penyakit yang merupakan cakupan divisi kardiologi. Diharapkan dengan

membahas kasus ini, diperoleh pula pemahaman yang lebih kompleks mengenai penyakit

katup jantung sehingga menyebabkan terjadinya gagal jantung.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus kali ini masih jauh dari

sempurna, baik dari segi isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, dengan

segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi

perbaikan laporan kasus ini kedepannya nanti.

Medan, Juni 2013

Penulis

ii

Page 3: Lapkas Karina Marolop Daniel

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Ii

Daftar Isi Iii

Bab 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang........................................................................... 1

1.2. Tujuan Penulisan....................................................................... 2

Bab 2. Pembahasan

2.1. Gagal Jantung Kongestif........................................................... 3

2.1.1 Definisi...................................................................................... 3

2.1.2 Epidemiologi.............................................................................. 3

2.1.3 Etiologi....................................................................................... 3

2.1.4 Patofisiologi............................................................................... 4

2.1.5 Manifestasi Klinis...................................................................... 5

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang............................................................. 6

2.1.7 Kriteria Diagnosis...................................................................... 7

2.1.8 Penatalaksanaan......................................................................... 8

2.1.9 Prognosis.................................................................................... 10

2.2. Mitral Stenosis........................................................................... 10

2.2.1 Definisi....................................................................................... 10

2.2.2 Etiologi....................................................................................... 10

2.2.3 Patogenesis................................................................................. 11

2.2.4 Patofisiologi............................................................................... 11

2.2.5 Manifestasi Klinis...................................................................... 12

2.2.6 Diagnosis.................................................................................... 13

2.2.7 Penatalaksanaan......................................................................... 13

2.2.8 Prognosis.................................................................................... 15

2.3. Demam Rematik Akut............................................................... 15

iii

Page 4: Lapkas Karina Marolop Daniel

2.3.1 Etiologi...................................................................................... 15

2.3.2 Patologi...................................................................................... 16

2.3.3 Manifestasi Klinis...................................................................... 16

2.3.4 Diagnosis.................................................................................... 21

2.3.5 Penatalaksanaan......................................................................... 21

2.3.6 Prognosis.................................................................................... 23

2.3.7 Pencegahan................................................................................ 24

2.4. Penyakit Jantung Rematik.......................................................... 25

2.4.1 Definisi....................................................................................... 25

2.4.2 Patofisiologi............................................................................... 25

2.4.3 Pola Kelainan Katup.................................................................. 27

2.4.4 Penatalaksanaan Operatif Katup................................................ 28

2.4.5 Prognosis.................................................................................... 29

Bab 3. Laporan Kasus........................................................................... 30

Bab 4. Kesimpulan................................................................................ 36

Daftar Pustaka............................................................................................. 37

iv

Page 5: Lapkas Karina Marolop Daniel

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Menurut ESC (European Society Of Cardiology), sekurang-kurangnya 15 juta

penderita gagal jantung di 51 negara Eropa. Prevalensi gagal jantung

asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi. Prevalensi gagal jantung pada usia

lebih tua (70-80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar 10-20%. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan diberbagai tempat di Indonesia, penyakit katup jantung

menduduki urutan ke-2 setelah penyakit jantung koroner dari seluruh jenis

penyebab penyakit jantung.

Penyakit katup jantung merupakan suatu keadaan dimana terjadi

gangguan fungsi katup yang dapat mempengaruhi fungsi jantung seutuhnya.

Berbagai macam kelainan katup dapat terjadi namun yang akan dibahas adalah

mengenai mitral stenosis.

Mitral stenosis merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran

darah pada tingkat katup mitral oleh karena adanya perubahan pada struktur daun

katup mitral, yang menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul

gangguan pengisian ventrikel kiri saat diastol. Stenosis mitral merupakan

penyebab utama terjadinya gagal jantung kongestif di negara-negara berkembang.

Di Amerika Serikat, prevalensi dari stenosis mitral telah menurun seiring

dengan penurunan insidensi demam rematik. Pemberian antibiotik seperti

penisilin pada streptococcal pharyngitis turut berperan pada penurunan insidensi

ini. Dari pola etiologi penyakit jantung di poliklinik Rumah Sakit Mohammad

Hoesin Palembang selama 5 tahun (1990-1994) didapatkan angka 13,94% dengan

penyakit katup jantung.

Selain itu aorta regurgitasi dan trikuspid regurgitasi sering terjadi

bersamaan dengan mitral stenosis sebagai akibat dari kompensasi jantung. Bila

hal ini terus berkelanjutan akan jatuh pada kegagalan fungsi jantung.

1

Page 6: Lapkas Karina Marolop Daniel

2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui

definisi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang,

pengobatan, dan prognosis gagal jantung yang disebabkan oleh penyakit katup

jantung . Selain itu penulisan referat ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas

kepaniteraan klinik di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler RS Haji

Adam Malik Medan.

2

Page 7: Lapkas Karina Marolop Daniel

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Gagal Jantung Kongestif

2.1.1 Definisi

Gagal jantung adalah satu gejala klinis pada pasien mengalami kelainan struktur

atau fungsi jantung yang disebabkan oleh kelainan bawaan atau acquired heart disease

sehingga jantung tidak mampu untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai

untuk memenuhi kebutuhan metabolit tubuh (forward failure) atau kemampuan tersebut

hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure) atau

kedua-duanya.1,2

Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan

curah jantung (cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.

Penurunan CO mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang dan disebabkan oleh

(1) kegagalan kontraksi ventrikel (impaired ventricular contractility) , (2) Kegagalan

pengisian ventrikel( impaired ventricular filling) (3) peningkatan afterload.3

Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat maka di dalam tubuh

terjadi suatu refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahan-

perubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel dan aktivasi sistem simpatis.

2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi gagal jantung asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi.

Prevalensi gagal jantung pada usia lebih tua (70-80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar 10-

20%. Pada Negara tertentu mortality gagal jantung telah menurun dengan terapi yang

moden. Kira-kira 50% penderita gagal jantung meninggal setelah 4 tahun dan 40% pasien

yang masuk rumah sakit dengan gagal jantung meninggal atau kambuh dalam setahun.4

2.1.3 Etiologi

Penyebab gagal jantung kiri:

Systolic dysfunction

(a) kegagalan kontraktilitas- miokard infark,transient miokard ischemia,

volume overload ( mitral regurgitasi dan aortic regurgitasi) dan dilatasi

kardiomiopati.

3

Page 8: Lapkas Karina Marolop Daniel

(b) Peningkatan afterload – aortic stenosis dan hipertensi

Diastolic dysfunction

(a) Kegagalan relaksasi ventrikular – LVH, hypertrophic cardiomyopathy,

restrictive cardiomyopathy, transient myocardiac ischemia.

(b) Okstruksi pengisian ventrikel kiri – mitral stenosis dan pericardiac

constriction atau tamponade.

Penyebab gagal jantung kanan :

(a) Penyakit jantung – gagal jantung kiri, katub pulmonal stenosis, infark

ventrikel kanan

(b) Penyakit parenkim pulmonal – COPD, instertial lung disease (eg.

Sarcoidosis), adult respiratory distress syndrome, infeksi paru yang

kronik dan bronchietasis.

(c) Penyakit vaskular pulmonal – pulmonary embolism dan primary

pulmonary hipertensi.5

2.1.4. Patofisiologi

Gagal jantung kongestif dapat dilihat sebagai suatu kelainan yang progresif, dapat

terjadi dari kumpulan suatu kejadian dengan hasil akhir kerusakan fungsi miosit jantung

atau gangguan kemampuan kontraksi miokard. Beberapa mekanisme kompensatorik

diaktifkan untuk mengatasi turunnya fungsi jantung sebagai pompa, di antaranya sistem

adrenergik, renin angiotensin ataupun sitokin. Dalam waktu pendek beberapa mekanisme

ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler dalam batas normal, menghasilkan pasien

asimptomatik. Meskipun demikian, jika tidak terdeteksi dan berjalan seiring waktu akan

menyebabkan kerusakan ventrikel dengan suatu keadaan remodeling sehingga akan

menimbulkan gagal jantung yang simptomatik.

Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi untuk mengatasi gagal jantung

seperti (1) mekanisme Frank-Starling, (2) neurohormonal (3) ventricular hipertrofi dan

remodeling

Penurunan stroke volume akan meningkatkan end sistolic volume (ESV) sehingga

volume dalam ventrikel kiri meningkat. Peningkatan volume ini akan meregang ventrikel

kiri sehingga otot jantung akan berkontraksi dengan lebih kuat untuk meningkatkan

stroke volume (Frank-Starling mechanism) dan cardiac output untuk memenuhi

kebutuhan metabolik tubuh. Mekanisme kompensasi ini mempunyai batasnya. Pada kasus

gagal jantung dengan penurunan kontraktilitas yang berat, ventrikel tidak mampu

4

Page 9: Lapkas Karina Marolop Daniel

memompa semua darah sehingga end diastolic volume (EDV) meningkat dan tekanan

ventrikel kiri juga meningkat dimana tekanan yang ini akan transmisi ke atrium kiri,

vena pulmonal dan kapiler pulmonal dan ini akan menyebabkan edema paru.

Penurunan cardiac output akan merangsang sistem simpatis sehingga meningkatkan

kontraksi jantung sehingga stroke volume meningkat dan cardiac output meningkat.

Penurunan cardiac output juga merangsang renin angiotensin sistem dan merangsang

vasokonstriksi vena dan menyebabkan venous return meningkat (preload increase) dan

akhirnya stroke volume meningkat dan cardiac output tercapai. Penurunan cardiac

output juga meningkatkan ADH dan merangsang retensi garam dan air untuk memenuhi

stroke volume dan cardiac output. Hormon aldosterone juga meningkat untuk

meningkatkan retensi garam dan cairan untuk meningkatkan venous return tubuh. Tetapi

stimulasi neurohormonal yang kronik akan menyebabkan efek yang tidak diinginkan

seperti edema.

Peningkatan beban jantung juga akan meningkatkan wall stress menyebabkan dilatasi

ventrikel kiri dan peningkatan tekanan sistolic untuk mengatasi afterload yang meningkat.

Maka otot ventrikel akan menebal sebagai kompensasi untuk menurunkan wall stress

namun peningkatan stiffness dinding hipertrofi menyebabkan tekanan diastolik

ventrikular yang tinggi dimana tekanan ini akan ditransmisi ke atrium kiri, vaskular

pulmonal. Chronic volume overload seperti pada mitral regurgitasi atau aorta regurgitasi

akan merangsang miosit memanjang. Maka radius chamber ventrikel meningkat dan

dinamakan eccentric hipertrofi. Chronic pressure overload seperti hipertensi atau aorta

stenosis akan merangsang miosit menebal yang dinamakan concentric hypertrophy.

Hipertrofi dan remodeling ini membantu untuk menurunkan wall stress tetapi pada waktu

yang lama, fungsi ventrikel akan menurun dan dilatasi ventrikel akan terjadi. Apabila ini

terjadi, beban hemodinamik pada otot jantung akan menurunkan fungsi jantung sehingga

gejala gagal jantung yang progresif akan timbul.6

2.1.5 Manifestasi klinis

Gagal jantung kongestif akan menyebabkan meningkatnya volume intravaskuler,

kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat. Edema paru terjadi akibat

peningkatan tekanan vena pulmolalis sehingga cairan mengalir dari kapiler paru ke

alveoli, yang dimanifestasikan dengan batuk dan napas pendek. Edema perifer umum dan

5

Page 10: Lapkas Karina Marolop Daniel

penambahan berat badan akibat tekanan sistemik. Turunnya curah jantung akibat darah

tidak dapat mencapai jaringan dan organ. Tekanan perfusi ginjal menurun mengakibatkan

pelepasan renin dari ginjal,’yang pada gilirannya akan menyebabkan sekresi aldosteron,

retensi natrium dan cairan serta peningkatan volume intravaskuler.7

Tanda dan gejala :

Dispnea, akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran

gas, dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau sedang,

ortopnea , kesulitan bernapas saat berbaring, paroximal nokturnal dispnea (terjadi bila

pasien sebelumnya duduk lama dengan posisi kaki dan tangan dibawah, pergi berbaring

ke tempat tidur), batuk, bisa batuk kering dan basah yang menghasilkan sputum berbusa

dalam jumlah banyak kadang disertai banyak darah. mudah lelah akibat cairan jantung

yang kurang, yang menghambat cairan dari sirkulasi normal dan oksigen serta

menurunnya pembuanggan sisa hasil katabolisme, kegelisahan akibat gangguan

oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernapas, dan pengetahuan bahwa jantung

tidak berfungsi dengan baik, edema ekstremitas bawah atau edema dependen,

hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan batas abdomen, anoreksia dan mual

terjadi akibat pembesaran vena dan status vena didalam rongga abdomen, nokturia, rasa

ingin kencing pada malam hari, terjadi karena perfusi renal didukung oleh posisi

penderita pada saat berbaring, Lemah akibat menurunnya curah jantung, gangguan

sirkulasi dan pembuanggan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan,

palpitasi ( jamtung berdebar-debar), pusing & pingsan karenaPenurunan aliran darah

karena denyut atau irama jantung yang abnormal atau karena kemampuan memompa

yang buruk, bisa menyebabkan pusing dan pingsan.8

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Elektokardiografi tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH tetapi hanya

merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular aritmia) sebagai faktor sekunder

dalam mengamati perubahan anatomi. Hasil pemeriksaan EKG tidak spesifik

menunjukkan adanya gagal jantung.

Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung. Kardiomegali biasanya

ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari 0,5)

6

Page 11: Lapkas Karina Marolop Daniel

pada tampilan posterior anterior. Pada pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal

jantung pada disfungsi sistolik karena ukuran bisa terlihat normal.

Pada saat ini terdapat metoda baru yang mempu menentukan gagal jantung yaitu

pemeriksaan laboratorium BNP ( Brain Natriuretic Peptide) dan NT- pro BNP (N

Terminal protein BNP). Protein NT-proBNP merupakan penanda sensitif untuk fungsi

jantung. Menurut situs web Endolab Selandia Baru, kadar NT-proBNP orang sehat di

bawah 40 pmol/L. Peningkatan kadar NT-proBNP di atas 220 pmol/L menunjukkan

adanya gangguan fungsi jantung dalam tahap dini yang perlu pemeriksaan lebih lanjut.

Tes NT-proBNP mampu mendeteksi gagal jantung tahap dini yang belum terdeteksi

dengan pemeriksaan elektrokardiografi. Hal ini memungkinkan dokter membedakan

gagal jantung dengan gangguan pada paru yang memiliki gejala serupa, sehingga

pengobatan lebih terarah. Kadar NT proBNP yang berkorelasi dalam darah itu bisa

digunakan untuk mengidentifikasi pasien gagal jantung yang perlu pengobatan intensif

serta memantau pasien risiko tinggi. Di sisi lain, kadar NT-proBNP bisa turun jika

penderita minum obat, sehingga pemeriksaan rutin NT-proBNP bisa digunakan untuk

mengetahui kemajuan pengobatan.9

2.1.7 Kriteria diagnosis

Kriteria Framingham: Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan bila terdapat paling

sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. 10

Kriteria mayor

• Paroksismal nocturnal dispnea

• Distensi vena-vena leher

• Peningkatan tekanan vena jugularis

• Ronki basah basal

• Kardiomegali

• Edema paru akut

• Gallop bunyi jantung III

• Refluks hepatojugular positif

Kriteria minor

• Edema ekstremitas

• Batuk malam

• Sesak pada aktivitas

7

Page 12: Lapkas Karina Marolop Daniel

• Hepatomegali

• Efusi pleura

• Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal

• Takikardia (>120 denyut/menit)

Mayor atau minor

Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Berdasarkan gejala sesak nafas NewYork Heart Association (NYHA) membagi gagal

jantung kongestif menjadi 4 kelas yaitu:

Kelas I :Aktivitas sehari-hari tidak terganggu. Sesak timbul jika melakukan kegiatan

fisik yang berat.

Kelas II : Aktivitas sehari-hari terganggu sedikit.

Kelas III :Aktivitas sehari-hari sangat terganggu. Merasa nyaman pada waktu istirahat.

Kelas IV : walaupun istirahat terasa sesak.11

2.1.8 Penatalaksanaan

Terdapat tiga aspek yang penting dalam menanggulangi Gagal jantung : pengobatan

terhadap Gagal jantung, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan

terhadap faktor pencetus. Termasuk dalam pengobatan medikamentosa yaitu mengurangi

retensi cairan dan garam, meningkatkan kontraktilitas dan mengurangi beban jantung.

Pengobatan umum meliputi istirahat, pengaturan suhu dan kelembaban, oksigen,

pemberian cairan dan diet. Selain itu, penatalaksanaa gagal jantung juga berupa:

Medikamentosa :

• Obat inotropik (digitalis, obat inotropik intravena),

• Vasodilator : (arteriolar dilator : hidralazin), (venodilator : nitrat, nitrogliserin), (mixed

dilator : prazosin, kaptopril, nitroprusid)

• Diuretik

• Pengobatan disritmia

Gagal jantung dengan disfungsi sistolik

Pada umumnya obat-obatan yang efektif mengatasi gagal jantung menunjukkan manfaat

untuk mengatasi disfungsi sistolik. Gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri hampir selalu

disertai adanya aktivitas sistem neuro-endokrin, karena itu salah satu obat pilihan utama

adalah ACE Inhibitor.

8

Page 13: Lapkas Karina Marolop Daniel

ACE Inhibitor, disamping dapat mengatasi gangguan neurohumoral pada gagal jantung,

dapat juga memperbaiki toleransi kerja fisik yang tampak jelas sesudah 3-6 bulan

pengobatan. Dari golongan ACE-I, Captopril merupakan obat pilihan karena tidak

menyebabkan hipotensi berkepanjangan dan tidak terlalu banyak mengganggu faal ginjal

pada kasus gagal jantung. Kontraindikasinya adalah disfungsi ginjal berat dan bila ada

stenosis bilateral arteri renalis.

Diuretika, bertujuan mengatasi retensi cairan sehingga mengurangi beban volume

sirkulasi yang menghambat kerja jantung. Yang paling banyak dipakai untuk terapi gagal

jantung kongestif dari golongan ini adalah Furosemid. Pada usia lanjut seringkali sudah

ada penurunan faal ginjal dimana furosemid kurang efektif dan pada keadaan ini dapat

ditambahkan metolazone. Pada pemberian diuretika harus diawasi kadar kalium darah

karena diuresis akibat furosemid selalu disertai keluarnya kalium. Pada keadaan

hipokalsemia mudah terjadi gangguan irama jantung.

Obat-obatan inotropik, seperti digoksin diberikan pada kasus gagal jantung untuk

memperbaiki kontraksi ventrikel. Dosis digoksin juga harus disesuaikan dengn besarnya

clearance kreatinin pasien. Obat-obat inotropik positif lainnya adalah dopamine (5-10

Ugr/kg/min) yang dipakai bila tekanan darah kurang dari 90 mmHg. Bila tekanan darah

sudah diatas 90 mmHg dapat ditambahkan dobutamin (5-20 Ugr/kg/min). Bila tekanan

darah sudah diatas 110 mmHg, dosis dopamin dan dobutamin diturunkan bertahap sampai

dihentikan.

Spironolakton, dipakai sebagai terapi gagal jantung kongestif dengan fraksi ejeksi yang

rendah, bila walau sudah diterapi dengan diuretik, ACE-I dan digoksin tidak

menunjukkan perbaikan. Dosis 25 mg/hari dan ini terbukti menurunkan angka mortalitas

gagal jantung sebanyak 25%.

Gagal jantung dengan disfungsi diastolik

Pada usia lanjut lebih sering terdapat gagal jantung dengan disfungsi diastolik. Untuk

mengatasi gagal jantung diastolik dapat dengan cara:

• Memperbaiki sirkulasi koroner dalam mengatasi iskemia miokard (pada kasus PJK)

• Pengendalian tekanan darah pada hipertensi untuk mencegah hipertrofi miokard

ventrikel kiri dalam jangka panjang.

• Pengobatan agresif terhadap penyakit komorbid terutama yang memperberat beban

sirkulasi darah, seperti anemia, gangguan faal ginjal dan beberapa penyakit metabolik

seperti Diabetes Mellitus.

9

Page 14: Lapkas Karina Marolop Daniel

• Upaya memperbaiki gangguan irama jantung agar terpelihara fungsi sistolik atrium

dalam rangka pengisian diastolik ventrikel.

Obat-obat yang digunakan antara lain:

1. Beta bloker, untuk mengatasi takikardia dan memperbaiki pengisian ventrikel.

2. Diuretika, untuk gagal jantung disertai oedem paru akibat disfungsi diastolik. Bila

tanda oedem paru sudah hilang, maka pemberian diuretika harus hati-hati agar jangan

sampai terjadi hipovolemia dimana pengisian ventrikel berkurang sehingga curah jantung

dan tekanan darah menurun.12

2.1.9. Prognosis

Secara umum, mortality rate untuk pasien gagal jantung yang dirawat inap adalah 5-20%

sementara penderita yang di luar rumah sakit adalah 20% pada akhir tahun pertama

setelah diagnosa ditegakkan dan setinggi 50% pada 5 tahun pertama post diagnosis.

Walaupun terdapat perbaikan pengobatan. Setiap pasien yang rehospitalization

mempunyai peningkatan mortality rate sebanyak 20-30%. Cardiopulmonal stress testing

merupakan cara yang efektif untuk menilai survival rate pasien untuk tahun ke depan dan

indikasi transplantasi jantung. Pasien dengan NYHA IV, ACC/AHA stage D mempunyai

mortality yang melebihi 50% mortality pada tahun pertama post diagnose. Gagal jantung

yang disebabkan oleh myocard infark akut mempunyai inpatient mortality rate 20-40%;

mortality rate mendekati 80% pada pasien yang menderita hipotensi( eg.cardiogenic

shock).13

2.2 Mitral Stenosis14,16

2.2.1. Definisi

Mitral stenosis merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran darah

dari atrium kiri ke ventrikel kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level

katup mitral. Kelainan struktur mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga

timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat diastol

2.2.2 Etiologi

Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi yang progresif

dari demam reumatik oleh infeksi streptokokus. Penyebab lain walaupun jarang dapat

juga disebabkan oleh mitral stenosis kongenital, deformitas parasut mitral, vegetasi dari

sistemic lupus erythematosus (SLE), deposit amiloid, serta kalsifikasi annulus maupun

daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratif.

10

Page 15: Lapkas Karina Marolop Daniel

Dari pasien dengan penyakit katup jantung ini 60 % dengan riwayat demam

reumatik, sisanya menyangkal. Selain itu, 50 % dengan karditis remumatik akut tidak

berlanjut sebagai penyakit katup secara klinik, kemungkinan hal ini disebabkan karena

pengenalan dini dan terapi antibiotik yang adekuat.

2.2.3 Patogenesis

Pada mitral stenosis akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan

(valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini

akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi, fusi komisura, fusi

serta pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan

menimbulkan distorsi dari aparatus mitral yang normal, mengecilnya area katup mitral

menjadi seperti bentuk mulut ikan (fish mouth) atau lubang kancing (button hole)

Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium primer,

sedangkan fusi korda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder.

Pada endokarditis reumatika, daun katup dan korda akan mengalami sikatriks dan

kontraktur bersamaan dengan pemendekan korda sehingga menimbulkan penarikan daun

katup menjadi bentuk funnel shaped. Kalsifikasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan

biasanya lebih sering pada perempuan dibanding pria. Proses perubahan patologi sampai

terjadinya gejala klinis (periode laten) biasanya memakan waktu bertahun – tahun (10 –

20 tahun).

2.2.4 Patofisiologi

Pada keadaan normal area katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2. Bila area

orifisium katup ini berkurang sampai 2 cm2, maka diperlukan upaya aktif aktif atrium kiri

berupa peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal tetap terjadi.

Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm 2. Pada

tahap ini, dibutuhkan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg untuk mempertahankan

cardiac output yang normal. Berdasarkan luasnya area katup mitral, derajat stenosis

mitral dibagi menjadi minimal (> 2,5 cm2), ringan (1,4 – 2,5 cm2), sedang (1 – 1,4 cm2),

berat (< 1 cm2).

Gradien transmitral merupakan ‘hall mark ’ mitral stenosis selain luasnya area

katup mitral. Gradien dapat terjadi akibat aliran besar melalui katup normal, atau aliran

normal pada katup sempit. Sebagai akibatnya kenaikan tekanan atrium kiri akan

11

Page 16: Lapkas Karina Marolop Daniel

diteruskan ke vena pulmonalis dam seterusnya mengakibatkan kongesti paru serta

keluhan sesak (exertional dyspnea).

Bila dilihat dari lama waktu pengisian dan besarnya pengisian, gejala akan

muncul bila waktu pengisian menjadi pendek dan aliran transmitral besar, sehingga

terjadi peningkatan tekanan atrium kiri walaupun area belum terlalu sempit (1,5 cm2).

Pada mitral stenosis ringan, gejala yang muncul biasanya dicetuskan oleh faktor yang

meningkatkan kecepatan aliran atau curah jantung, atau menurunnya periode pengisian

diastol, yang meningkatkan tekanan atrium kiri, dengan bertambah sempitnya area mitral

maka tekanan atrium kiri akan meningkat dengan progresi keluhan. Apabila area mital <

1 cm2 yang berupa stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktifitas.

Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi. Pada awalnya

hipertensi pulmonal terjadi secra pasif akibat kenaikan tekanan atrium kiri. Demikian

pula terjadi perubahan pada vaskular paru berupa vasokonstriksi. Kenaikan resistensi

arteriolar paru ini sebenarnya merupakan mekanisme adaptif untuk melindungi paru

kongesti. Dengan meningktanya hipertensi pulmonal ini menyebabkan kenaikan tekanan

dan volume akhir diastol, trikuspid regurgitasi, pulmonal sekunder gagal jantung kanan,

dan kongesti sistemik.

2.2.5. Manifestasi Klinis

Biasanya keluhan utama berupa sesak nafas dan kelelahan. Pada stenosis mitral

yang bermakna dapat mengalami dyspnea d’effort, paroxysmal nocturnal dyspnea,

orthopnea serta edema paru. Hal ini dicetuskan oleh keadaan meningkatnya aliran darah

melalui mitral atau menurunnya waktu pengisian diastol.

Aritmia atrial berupa atrial fibrilasi juga merupakan kejadian yang sering terjadi

pada mitral stenosis yaitu 30 – 40 %. Kejadian ini sering terjadi pada umur yang lebih

lanjut atau distensi atrium yang mencolok akan merubah sifat elektrofisiologi dari atrium

kiri . Atrial fibrilasi yang tidak dikontrol akan menimbulkan keluhan sesak atau kongesti

yang lebih berat, karena hilangnya peran kontraksi atrium dalam pengisian ventrikel serta

memendeknya waktu pengisian diastol, yang selanjutnya akan menimbulkan gradien

transmitral dan kenaikan tekanan atrium kiri.

Kadang pasien mengeluhkan terjadinya hemoptisis yang disebabkan oleh

terjadinya apopleksi pulmonal akibat rupturnya vena bronkial yang melebar. Manifestasi

klinis dapat juga berupa komplikasi mitral stenosis seperti tromboemboli.

2.2.6. Diagnosis15

12

Page 17: Lapkas Karina Marolop Daniel

Pemeriksaan fisik

Temuan klasik pada stenosis mitral adalah ‘opening snap’ dan ‘diastolic rumble’

pada daerah mitral. S1 mengeras oleh karena pengisian yang lama membuat tekanan

ventrikel kiri meningkat dan menutup katup sebelum katup itu kembali ke posisinya. Di

apeks, rumble diastolik dapat teraba sebagai thrill. Pada keadaan dimana katup

mengalami kalsifikasi dan kaku maka penutupan katup mitral tidak menimbulkan S1

yang keras. Bising diastol pada mitral stenosis dapat menjadi halus oleh karena obesitas,

atau edema paru.

Pemeriksaan Foto Toraks

Gambaran klasik dari foto toraks adalah pembesaran atrium kiri serta pembesaran

arteri pulmonalis.

Ekokardiografi Doopler17

Dengan ekokardiografi dapat dilakukan evaluasi struktur katup, pliabilitas dari

daun katup, ukuran dari area katup dengan planimetri, struktur dari aparatus subvalvular,

juga dapat ditentukan fungsi ventrikel.

2.2.7.Penatalaksanaan15

Prinsip Umum

Mitral stenosis merupakan kelainan mekanik, oleh karena itu obat bersifat

suportif atau simtomatik terhadap gangguan fungsional jantung, atau pencegahan

terhadap infeksi. Obat – obatan seperti antibiotik golongan penisillin, eritromisin, sulfa,

sefalosporin digunakan untuk demam rematik. Obat – obtan initropik negatif seperti β

bloker atau Ca channel bloker dapat bermanfaat pada pasien dengan irama sinus yang

memberi keluhan peningkatan frekuensi jantung. Restriksi garam atau pemberian diuretik

secara intermitten bermanfaat jika terdapat bukti adanya kongesti vaskular paru.

Pada keadaan atrial fibrilasi, pemakaian digitalis merupakan indikasi, dapat

dikombinasikan dengan β bloker dan Ca channel bloker untuk mengontrol frekuensi

jantung. Antikoagulan warfarin dipakai pada mitral stenosis dengan atrial fibrilasi atau

irama sinus dengan kecenderungan pembentukan trombus untuk mencegah fenomena

tromboemboli. Selain itu ada juga valvotomi mitral perkutan dengan balon dan intervensi

bedah, reparasi, atau ganti katup.

13

Page 18: Lapkas Karina Marolop Daniel

Gambar 1. Algoritme pada pasien stenosis mitral (Bonow R, et al. ACC/AHA

Task Force Report on guidline for valvular heart disease)

Gambar 2 Algoritme pada pasien stenosis mitral dengan gejala klasifikasi II

(Bonow R, et al. ACC/AHA Task Force Report on guidline for valvular heart

disease)

14

Page 19: Lapkas Karina Marolop Daniel

Gambar 3 Algoritme pada pasien stenosis mitral dengan gejala klasifikasi III-IV

(Bonow R, et al. ACC/AHA Task Force Report on guidline for valvular heart

disease)

2.1.8. Prognosis

Angka 10 tahun survival pada mitral stenosis yang tidak diobati berkisar 50 – 60

%, Bila tidak disertai keluhan atau minimal angka meningkat 80 %. Apabila timbul

atrium fibrilasi prognosisnya kurang baik (25 %) dibanding dengan irama sinus (46 %)

mengeras. Bising pansistolik dengan nada tingi terdengar paling keras di sela iga 4 garis

parasternal kiri dan dapat pula sampai ke subxifoif. Derajat bising regurgitasi trikuspidal

akan meningkat pada inspirasi (Rivero-Carvello’s sign). Adanya kenaikan aliran melalui

katup trikuspid dapat menimbulkan bising diastolik pada daerah parasternal kiri.

2.3 DEMAM REMATIK AKUT

2.3.1 Etiologi

Demam rematik akut disebabkan oleh respon imunologis yang terjadi sebagai sekuel dari

infeksi streptokokus grup A pada faring tetapi bukan pada kulit. Tingkat serangan demam

rematik akut setelah infeksi streptokokus bervariasi tergantung derajat infeksinya, yaitu

0,3 sampai 3 persen. Faktor predisposisi yang penting meliputi riwayat keluarga yang

menderita demam rematik, status sosial ekonomi rendah (kemiskinan, sanitasi yang

buruk), dan usia antara 6 sampai 15 tahun (dengan puncak insidensi pada usia 8 tahun).22

2.3.2. Patologi

15

Page 20: Lapkas Karina Marolop Daniel

Lesi peradangan dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh, terutama pada

jantung, otak, sendi dan kulit. Karditis akibat rematik sering disebut sebagai pankarditis,

dengan miokarditis sebagai bagian yang paling utama. Saat ini, diketahui bahwa

komponen katup yang mungkin sama atau lebih penting dibandingkan keterlibatan otot

jantung maupun pericardium. Pada miokarditis rematik, kontraktilitas miokard jarang

mengalami kerusakan dan kadar troponin serum tidak mengalami peningkatan. Pada

penyakit jantung rematik tidak hanya terjadi kerusakan pada daun katup akibat timbulnya

vegetasi pada permukaannya, namun seluruh katup mitral mengalami kerusakan (dengan

pelebaran annulus dan tertariknya korda tendineae).22,23

Katup mitral merupakan katup yang paling sering dan paling berat mengalami

kerusakan dibandingkan dengan katup aorta dan lebih jarang pada katup trikuspid dan

pulmonalis. Badan Aschoff yang ditemukan pada otot jantung atrium merupakan salah

satu tanda khas pada demam rematik. Badan Aschoff terdiri dari lesi-lesi peradangan

yang disertai dengan pembengkakan, serat kolagen yang berfragmen, dan perubahan

jaringan penyambung, yang saat ini dianggap sebagai sel miokardium yang mengalami

nekrosis.22

Gambar 2.1

2.3.3. Manifestasi Klinis

Demam rematik akut didiagnosis dengan menggunakan kriteria Jones. Kriteria

tersebut dibagi menjadi tiga bagian : (1) lima gejala mayor, (2) empat gejala minor, dan

(3) bukti pemeriksaan yang mendukung adanya infeksi streptokokus grup A.22,23 Lihat

tabel 2.1.

Gejala Mayor Karditis

Poliartritis

Khorea

16

Page 21: Lapkas Karina Marolop Daniel

Eritema marginatum

Nodul subkutan

Gejala Minor

Temuan klinis :

Riwayat demam rematik atau penyakit jantung

rematik

Arthralgia

Demam

Temuan laboratorium:

Peningkatan reaktan fase akut ( laju

pengendapan eritrosit, protein C-reaktif)

Pemanjangan interval PR

Bukti yang

mendukung adanya

infeksi streptokokus

grup A

Kultur tenggorok atau pemeriksaan antigen

streptokokus hasilnya (+)

Peningkatan titer antibodi streptokokus

Tabel.2.1 Kriteria Jones

Kriteria Mayor

1. Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena

merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada

fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung

rematik. Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya

salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b)

kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif. Bising jantung merupakan

manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan

gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang

lebih berat. 22

2. Poliartritis, ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan

keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik paling

sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya berlangsung

beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat

ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang

sama; sementara tanda-tanda radang mereda pada satu sendi, sendi yang lain mulai

terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu sendi (monoartritis) tidak

17

Page 22: Lapkas Karina Marolop Daniel

dapat dijadikan sebagai suatu criteria mayor. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai

suatu kriteria mayor, poliartritis harus disertai sekurang-kurangnya dua kriteria minor,

seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer

ASTO atau antibodi anti Streptokokus lainnya yang tinggi.22

3. Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan

yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya

mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot

dan ketidakstabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun

atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea Sydenham

merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap

sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain.

Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat, sehingga

tanda dan gejala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea mulai

timbul.22

4. Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam

rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak

terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara

sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan

terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak

pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap,

berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat dicetuskan oleh

pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya

ditemukan pada kasus yang berat.22

Gambar 2.2 Eritema marginatum

5. Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat

di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini

18

Page 23: Lapkas Karina Marolop Daniel

berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya,

dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya

tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis.22,23

Gambar 2.3 Nodul Subkutan

Gambar 2.4 Manifestasi klinis demam rematik akut

Kriteria Minor

1. Riwayat demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah

satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang

didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam

rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang

penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan

kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.22

2. Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai

peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan

dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri

sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak

19

Page 24: Lapkas Karina Marolop Daniel

dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai

sebagai kriteria mayor.22

3. Demam pada demam rematik biasanya ringan, meskipun adakalanya

mencapai 39°C, terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim

berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu.

Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat

dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki

arti diagnosis banding yang bermakna.23

4. Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap

darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator

nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini

hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan

satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju

endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif.

Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami

kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C

reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C

reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi Streptokokus akut

dapat dipertanyakan. 23

5. Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya

keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan

meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini

tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang

juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan adanya karditis rematik.22

Bukti yang mendukung

Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standar untuk

demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi Streptokokus.

Titer ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa

atau 333 unit Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar

70% sampai 80% kasus demam rematik akut.

Infeksi Streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan usapan

tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut. Bagaimanapun,

biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi 20

Page 25: Lapkas Karina Marolop Daniel

Streptokokus akut.

2.3.4. Diagnosis

Demam rematik akut didiagnosis berdasarkan kriteria Jones dimana didapatkan

minimal dua gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua gejala minor, ditambah adanya

bukti pemeriksaan yang menunjukkan adanya infeksi streptokokus. Dua gejala mayor

selalu lebih kuat dibandingkan satu gejala mayor dengan dua gejala minor. Arthralgia

atau pemanjangan interval PR tidak dapat digunakan sebagai gejala minor ketika

menggunakan karditis dan arthritis sebagai gejala mayor. Tidak adanya bukti yang

mendukung adanya infeksi streptokokus grup A merupakan peringatan bahwa demam

rematik akut mungkin tidak terjadi pada pasien (kecuali bila ditemukan adanya khorea).

Murmur innocent (Still’s) sering salah interpretasi sebagai murmur dari regurgitasi katup

mitral (MR) dan oleh karenanya merupakan penyebab yang sering dari kesalahan

diagnosis dari demam rematik akut. Murmur dari MR merupakan tipe regurgitan sistolik

(berawal dari bunyi jantung I) sedangkan murmur innocent merupakan murmur dengan

nada rendah dan tipe ejeksi.22

Pengecualian dari kriteria Jones meliputi tiga keadaan berikut ini:

1. Khorea mungkin timbul sebagai satu-satunya gejala klinis dari demam

rematik.

2. Karditis indolen mungkin satu-satunya gejala klinis pada pasien yang

datang ke tenaga medis setelah berbulan-bulan dari onset serangan demam

rematik.

3. Kadang-kadang, pasien dengan demam rematik rekuren mungkin tidak

memenuhi kriteria Jones.

Hanya karditis yang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada jantung.

Tanda klinis ringan dari karditis menghilang secara cepat dalam jangka waktu mingguan,

tetapi pada pasien dengan karditis berat baru hilang setelah 2-6 bulan. Khorea secara

bertahap berkurang setelah 6 sampai 7 bulan atau lebih lama dan biasanya tidak

menimbulkan sekuel neurologis yang permanen.22

2.3.5. Penatalaksanaan

Ketika demam rematik akut ditemukan secara anamnesis dan pemeriksaan fisik,

selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium antara lain : pemeriksaan darah lengkap,

reaktan fase akut (LED, protein C-reaktif), kultur tenggorok, titer anti streptolisin O (dan

titer antibodi kedua, terutama pada pasien dengan khorea), foto Rontgen, dan

elektrokardiografi. Konsultasi ke ahli jantung diindikasikan untuk menjelaskan apakah

21

Page 26: Lapkas Karina Marolop Daniel

terjadi kerusakan pada jantung : pemeriksaan ekhokardiografi dua dimensi dan Doppler

yang biasa dilakukan.22

Penisilin benzathine G 0,6 sampai 1,2 juta unit disuntikkan secara intramuskular,

diberikan untuk eradikasi streptokokus. Pada pasien yang mempunyai alergi penisilin,

dapat diberikan eritromisin dengan dosis 40 mg/kgBB perhari dalam dua sampai empat

dosis selama 10 hari. Terapi anti-inflamasi atau supresi dengan salisilat atau steroid tidak

boleh diberikan sampai ditegakkannya diagnosis pasti.

Ketika diagnosis demam rematik akut ditegakkan, diperlukan edukasi kepada pasien dan

orang tuanya tentang perlunya pemakaian antibiotik secara berkelanjutan untuk mencegah

infeksi streptokokus berikutnya. Adanya keterlibatan jantung, diperlukan pemberian

profilaksis untuk menangani endokarditis infektif.22,24

Jangka waktu tirah baring bergantung pada tipe dan keparahan dari gejala dan berkisar dari seminggu (untuk arthritis) hingga beberapa

minggu untuk karditis berat. Tirah baring diikuti periode untuk ambulasi di dalam rumah dengan durasi bervariasi sebelum anak diperbolehkan untuk

kembali ke sekolah. Aktivitas bebas diperbolehkan bila laju endap darah sudah kembali ke normal, kecuali pada anak dengan kerusakan jantung yang

cukup berat. Untuk lebih jelasnya lihat pada tabel 2.2 22

Hanya

arthritis

Carditis

ringan*

Karditis

sedang**

Karditis

berat***

Tirah baring

1-2 minggu 3-4 minggu 4-6 minggu

Selama masih

adanya gagal

jantung

kongestif

Ambulasi

indoor1-2 minggu 3-4 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan

* kardiomegali diragukan

** kardiomegali ringan

*** kardiomegali yang nyata atau gagal jantung

Tabel 2.2 Durasi tirah baring dan ambulasi indoor

Terapi dengan agen anti inflamasi harus dimulai sedini mungkin saat demam

rematik akut sudah didiagnosis. Untuk karditis ringan hingga sedang, penggunaan aspirin

saja sebagai anti inflamasi direkomendasikan dengan dosis 90-100 mg/kgBB perhari yang

22

Page 27: Lapkas Karina Marolop Daniel

dibagi dalam 4 sampai 6 dosis. Kadar salisilat yang adekuat di dalam darah adalah sekitar

20-25 mg/100 mL. Dosis ini dilanjutkan selama 4 sampai 8 minggu, tergantung pada

respon klinis. Setelah perbaikan, terapi dikurangi secara bertahap selama 4-6 minggu

selagi monitor reaktan fase akut. 22

Untuk arthritis, terapi aspirin dilanjutkan selama 2 minggu dan dikurangi secara

bertahap selama lebih dari 2 sampai 3 minggu. Adanya perbaikan gejala sendi dengan

pemberian aspirin merupakan bukti yang mendukung arthritis pada demam rematik akut.

Pemberian prednisone ( 2 mg/kgBB perhari dalam 4 dosis untuk 2 sampai 6 minggu )

diindikasikan hanya pada kasus karditis berat. 22

Penanganan gagal jantung kongestif meliputi istirahat total dengan posisi

setengah duduk (orthopneic) dan pemberian oksigen. Prednison untuk karditis berat

dengan onset akut. Digoksin digunakan dengan hati-hati, dimulai dengan setengah dosis

rekomendasi biasa, karena beberapa pasien dengan karditis rematik sangat sensitif

terhadap pemberian digitalis. Furosemid dengan dosis 1 mg/kgBB setiap 6 sampai 12

jam, jika terdapat indikasi. 22

Penanganan khorea Sydenham dilakukan dengan mengurangi stres fisik dan

emosional. Terapi medikamentosa antara lain pemberian benzatin penisilin G 1,2 juta

unit, sebagai awalan eradikasi streptokokus dan juga setiap 28 hari untuk pencegahan

rekurensi, seperti pada pasien dengan gejala rematik lainnya. Tanpa profilaksis sekitar

25% pasien dengan khorea (tanpa adanya karditis) berkembang menjadi penyakit katup

jantung rematik pada follow-up 20 tahun berikutnya. Pada kasus yang berat, obat-obatan

berikut dapat diberikan : fenobarbital (15-30 mg setiap 6-8 jam), haloperidol (dimulai

dengan dosis 0,5 mg dan ditingkatkan setiap 8 jam sampai 2 mg setiap 8 jam), asam

valproat, klorpromazine, diazepam, atau steroid.22

2.3.6. Prognosis

Ada maupun tidak adanya kerusakan jantung permanen menentukan prognosis.

Perkembangan penyakit jantung sebagai akibat demam rematik akut diperngaruhi oleh

tiga faktor, yaitu:

1. Keadaan jantung pada saat memulai pengobatan. Lebih parahnya

kerusakan jantung pada saat pasien pertama datang, menunjukkan lebih besarnya

kemungkinan insiden penyakit jantung residual.

2. Kekambuhan dari demam rematik : Keparahan dari kerusakan katup

meningkat pada setiap kekambuhan.

23

Page 28: Lapkas Karina Marolop Daniel

3. Penyembuhan dari kerusakan jantung : terbukti bahwa kelainan jantung

pada serangan awal dapat menghilang pada 10-25% pasien. Penyakit katup sering

membaik ketika diikuti dengan terapi profilaksis. 22

2.3.7. Pencegahan

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer dari demam rematik dimungkinkan dengan terapi penisilin

selama 10 hari untuk faringitis karena streptokokus. Namun, 30% pasien berkembang

menjadi subklinis faringitis dan oleh karena itu tidak berobat lebih lanjut. Sementara itu,

30% pasien lainnya berkembang menjadi demam rematik akut tanpa keluhan dan tanda

klinis faringitis streptokokus.22,23,24

b. Pencegahan sekunder

Pasien dengan riwayat demam rematik, termasuk dengan gejala khorea dan pada

pasien dengan tidak adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan pasien menderita

demam remati akut harus diberikan profilaksis. Sebaiknya, pasien menerima profilaksis

dalam jangka waktu tidak terbatas. Lihat tabel 2.3 22

Kategori Durasi

Demam rematik tanpa karditis Minimal selama 5 tahun atau sampai usia

21 tahun, yang mana lebih lama

Demam rematik dengan karditis tetapi

tanpa penyakit jantung residual (tidak ada

kelainan katup)

Minimal 10 tahun atau hingga dewasa,

yang mana lebih lama

Demam rematik dengan karditis dan

penyakit jantung residual (kelainan katup

persisten)

Minimal 10 tahun sejak episode terakhir

dan minimal sampai usia 40 tahun,

kadang-kadang selama seumur hidup

Tabel 2.3 Durasi profilaksis untuk demam rematik

2.4 PENYAKIT JANTUNG REMATIK

2.4.1 Definisi

Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung

24

Page 29: Lapkas Karina Marolop Daniel

didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan

katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama

mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak

pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan

stenosis atau insufisiensi atau keduanya. 23

Terkenanya katup dan endokardium adalah manifestasi paling penting dari demam

rematik. Lesi pada katup berawal dari verrucae kecil yang terdiri dari fibrin dan sel-sel

darah di sepanjang perbatasan dari satu atau lebih katup jantung. Katup mitral paling

sering terkena, selanjutnya diikuti oleh katup aorta; manifestasi ke jantung-kanan jarang

ditemukan. Sejalan dengan berkurangnya peradangan, verrucae akan menghilang dan

meninggalkan jaringan parut. Dengan serangan berulang dari demam rematik, verrucae

baru terbentuk di bekas tempat tumbuhnya verrucae sebelumnya dan endokardium mural

dan korda tendinea menjadi terkena.23

Gambar 2.5 Vegetasi pada katup jantung

2.4.2 Patofisiologi

Demam reumatik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang disebabkan Streptokokus

beta hemolitik grup A. Reaksi autoimun terhadap infeksi Streptokokus secara hipotetif

akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam reumatik, sebagai berikut

(1) Streptokokus grup A akan menyebabkan infeksi pada faring, (2) antigen Streptokokus

akan menyebabkan pembentukan antibodi pada hospes yang hiperimun, (3) antibodi akan

bereaksi dengan antigen Streptokokus, dan dengan jaringan hospes yang secara antigenik

sama seperti Streptokokus ( dengan kata lain antibodi tidak dapat membedakan antara

antigen Streptokokus dengan antigen jaringan jantung), (4) autoantibodi tesebut bereaksi

dengan jaringan hospes sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.

25

Page 30: Lapkas Karina Marolop Daniel

Gambar 2.3 Patofisiologi penyakit jantung rematik

Adapun kerusakan jaringan ini akan menyebabkan peradangan pada lapisan jantung

khususnya mengenai endotel katup, yang mengakibatkan pembengkakan daun katup dan

erosi pinggir daun katup. Hal ini mengakibatkan tidak sempurnanya daun katup mitral

menutup pada saat sistolik sehingga mengakibatkan penurunan suplai darah ke aorta dan

aliran darah balik dari ventrikel kiri ke atrium kiri, hal ini mengakibatkan penurunan

curah sekuncup ventrikel sehingga jantung berkompensasi dengan dilatasi ventrikel kiri,

peningkatan kontraksi miokardium, hipertrofi dinding ventrikel dan dinding atrium

sehingga terjadi penurunan kemampuan atrium kiri untuk memompa darah hal ini

mengakibatkan kongesti vena pulmonalis dan darah kembali ke paru-paru mengakibatkan

terjadi edema intertisial paru, hipertensi arteri pulmonalis, hipertensi ventrikel kanan

sehingga dapat mengakibatkan gagal jantung kanan.22

2.4.3 Pola Kelainan Katup

1. Insufisiensi mitral

Insufisiensi mitral merupakan akibat dari perubahan struktural yang biasanya

meliputi kehilangan beberapa komponen katup dan pemendekan serta penebalan korda

tendineae. Selama demam rematik akut dengan karditis berat, gagal jantung disebabkan

oleh kombinasi dari insufisiensi mitral yang berpasangan dengan peradangan pada

perikardium, miokardium, endokardium dan epikardium. Oleh karena tingginya volume

26

Page 31: Lapkas Karina Marolop Daniel

pengisian dan proses peradangan, ventrikel kiri mengalami pembesaran. Atrium kiri

berdilatasi saat darah yang mengalami regurgitasi ke dalam atrium. Peningkatan tekanan

atrium kiri menyebabkan kongesti pulmonalis dan gejala gagal jantung kiri. 8,10

Perbaikan spontan biasanya terjadi sejalan dengan waktu, bahkan pada pasien dengan

insufisensi mitral yang keadaannya berat pada saat onset. Lebih dari separuh pasien

dengan insufisiensi mitral akut tidak lagi mempunyai murmur mitral setelah 1 tahun.

Pada pasien dengan insufisiensi mitral kronik yang berat, tekanan arteri pulmonalis

meningkat, ventrikel kanan dan atrium membesar, dan berkembang menjadi gagal

jantung kanan. Insufisiensi mitral berat dapat berakibat gagal jantung yang dicetuskan

oleh proses rematik yang progresif, onset dari fibrilasi atrium, atau endokarditis infekstif. 22,23

2. Stenosis Mitral

Stenosis mitral pada penyakit jantung rematik disebabkan adanya fibrosis pada

cincin mitral, adhesi komisura, dan kontraktur dari katup, korda dan muskulus papilaris.

Stenosis mitral yang signifikan menyebabkan peningkatan tekanan dan pembesaran serta

hipertrofi atrium kiri, hipertensi vena pulmonalis, peningkatan rersistensi vaskuler di

paru, serta hipertensi pulmonal. Terjadi dilatasi serta hipertrofi atrium dan ventrikel

kanan yang kemudian diikuti gagal jantung kanan.23

3. Insufisiensi Aorta

Pada insufisiensi aorta akibat proses rematik kronik dan sklerosis katup aorta

menyebabkan distorsi dan retraksi dari daun katup. Regurgitasi dari darah menyebabkan

volume overload dengan dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri. Kombinasi insufisiensi

mitral dengan insufisiensi aorta lebih sering terjadi daripada insufisiensi aorta saja.

Tekanan darah sistolik meningkat, sedangkan tekanan diastolik semakin rendah. Pada

insufisiensi aorta berat, jantung membesar dengan apeks ventrikel kiri terangkat.Murmur

timbul segera bersamaan dengan bunyi jantung kedua dan berlanjut hingga akhir

diastolik. Murmur tipe ejeksi sistolik sering terdengar karena adanya peningkatan stroke

volume. 23

4. Kelainan Katup Trikuspid

Kelainan katup trikuspid sangat jarang terjadi setelah demam rematik akut.

Insufisiensi trikuspid lebih sering timbul sekunder akibat dilatasi ventrikel kanan. Gejala

klinis yang disebabkan oleh insufisiensi trikuspid meliputi pulsasi vena jugularis yang

jelas terlihat, pulsasi sistolik dari hepar, dan murmur holosistolik yang meningkat selama

inspirasi. 23

27

Page 32: Lapkas Karina Marolop Daniel

5. Kelainan Katup Pulmonal

Insufisiensi pulmonal sering timbul pada hipertensi pulmonal dan merupakan

temuan terakhir pada kasus stenosis mitral berat. Murmur Graham Steell hampir sama

dengan insufisiensi aorta, tetapi tanda-tanda arteri perifer tidak ditemukan. Diagnosis

pasti dikonfirmasi oleh pemeriksaan ekhokardiografi dua dimensi serta Doppler.23

2.4.4 Penatalaksanaan Operatif

a. Mitral stenosis

—Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit,

tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional III ke atas. Intervensi

dapat bersifat bedah (valvulotomi, rekonstruksi aparat sub valvular, kommisurotomi atau

penggantian katup.23

b.  Insufisiensi Mitral

Penentuan waktu yang tepat untuk melakukan pembedahan katup pada penderita

insufisiensi mitral masih banyak diperdebatkan. Namun kebanyakan ahli sepakat bahwa

tindakan bedah hendaknya dilakukan sebelum timbul disfungsi ventrikel kiri. Jika

mobilitas katup masih baik, mungkin bisa dilakukan perbaikan katup (valvuloplasti,

anuloplasti). Bila daun katup kaku dan terdapat kalsifikasi mungkin diperlukan

penggantian katup (mitral valve replacement). Katup biologik (bioprotese) digunakan

terutama digunakan untuk anak dibawah umur 20 tahun, wanita muda yang masih

menginginkan kehamilan dan penderita dengan kontra indiksi pemakaian obat-obat

antikoagulan. Katup mekanik misalnya Byork Shiley, St.Judge dan lain-lain, digunakan

untuk penderita lainnya dan diperlukan antikoagulan untuk selamanya.23

c.  Stenosis Aorta

Pasien dengan gejala-gejala akibat stenosis aorta membutuhkan tindakan operatif. Pasien

tanpa gejala membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati serta follow up untuk

menentukan kapan tindakan bedah dilakukan. Penanganan stenosis dengan pelebaran

katup aorta memakai balon mai diteliti. Pasien-pasien yang dipilih adalah pasien yang

tidak memungkinkan dilakukan penggantian katup karena usia, adanya penyakit lain yang

berat, atau menunjukkan gejala yang berat. Pasien-pasien dengan gradien sistolik 75

mmHg harus dioperasi walaupun tanpa gejala. Pasien tanpa gejala tetapi perbedaan

tekanan sistolik kurang dari 75 mmhg harus dikontrol setiap 6 bulan. Tindakan operatif

harus dilaksanakan bila pasien menunjukkan gejala terjadi pembesaran jantung,

peningkatan tekanan sistolik aorta yang diukur denagn teknik Doppler. Pada pasien muda

28

Page 33: Lapkas Karina Marolop Daniel

bisa dilakukan valvulotomi aorta sedangkan pada pasien tua membutuhkan penggantian

katup. Risiko operasi valvulotomi sangat kecil, 2% pada penggantian katup dan risiko

meningkat menjadi 4% bila disertai bedah pintas koroner. Pada pembesaran jantung

dengan gagal jantung, risiko naik jadi 4 sampai 8%. Pada pasien muda yang tidak bisa

dilakukan valvulotomi penggantian katup perlu dilakukan memakai katup sintetis.

Keuntungan katup jaringan ini adalah kemungkinan tromboemboli jarang, tidak

diperlukan antikoagulan, dan perburukan biasanya lebih lambat bila dibandingkan dengan

memakai katup sintetis.

d. Insufisiensi Aorta

Pilihan untuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontra indikasi

untuk koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita dengan katup jaringan, baik porsin

atau miokardial mungkin tidak membutuhkan penggunaan antikoagulan jangka panjang.

Risiko operasi kurang lebih 2% pada penderita insufisiensi kronik sedang dengan arteri

koroner normal. Sedangkan risiko operasi pada penderita insufisiensi berta dengan gagal

jantung, dan pada penderita penyakit arteri, bervariasi antara 4  sampai 10%. Penderita

dengan katup buatan mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang.22

2.4.5 Prognosis

Demam rematik tidak akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi. Prognosis

sangat baik bila karditis sembuh pada permulaan serangan akut demam rematik. Selama 5

tahun pertama perjalanan penyakit demam rematik dan penyakit jantung rematik tidak

membaik bila bising organik katup tidak menghilang. Prognosis memburuk bila gejala

karditisnya lebih berat, dan ternyata demam rematik akut dengan payah jantung akan

sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan ini

akan bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik. 5

BAB 3

LAPORAN KASUS

Kepaniteraan Klinik Senior

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler

Fakultas Kedokteran USU/ RS H Adam Malik

Medan

29

Page 34: Lapkas Karina Marolop Daniel

Rekam Medik

No : 00.56.12.02 Tanggal :30/5/13 Hari : Kamis

Nama Pasien : Syahrul Umur : 27 tahun Seks : Lk

Pekerjaan : Pedagang Alamat : Simpang Tiga Agama : Islam

Tlp : - Hp : -

Keluhan utama : Sesak Napas

Anamnesa : Hal ini dialami OS kurang lebih 1 tahun terakhir, dan memberat

dalam 1 bulan terakhir. Sesak semakin memberat saat beraktivitas (bekerja,

berjualan). Os mengaku tidur menggunakan 2-3 bantal. Riwayat terbangun

malam hari karena sesak (-). Riwayat kaki bengkak (-). Riwayat nyeri dada kiri

(+) berhubungan dengan aktivitas, penjalaran (-), mual/muntah (-), durasi kurang

dari 10 menit. Keluhan saat ini disertai sendi bengkak dan demam. Riwayat nyeri

sendi berpindah (+), dialami saat SMP, disertai dengan infeksi saluran nafas

berulang dan demam (+). Oleh karena keluhan tersebut OS sulit berjalan.

Riwayat biru saat kelahiran disangkal. Lahir cukup bulan dan BB lahir tidak

jelas. Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama (-). OS sudah pernah

menjalani pemeriksaan echocardiography oleh spesialis jantung pembuluh darah

dan dinyatakan penyakit katup jantung bocor dan dikirim ke RSUP HAM untuk

penatalaksanaan lebih lanjut.

Riwayat hipertensi (-), diabetes melitus (-)

Faktor Risiko PJK : laki-laki

Riwayat penyakit terdahulu : Penyakit Katup

Riwayat pemakaian obat : Furosemide, Spironolactone, Ascardia

Status Praesens:

KU : Sesak Napas Kesadaran : CM

TD :110/70 mmHg HR :64 x/m RR : 22x/m Suhu : 37.5 oC

Sianosis : (-) Ortopnu : (-) Dispnu : (+) Ikterus : (-)

Pucat : (-)

Pemeriksaan Fisik :

Kepala : Mata : konjungtiva palpebra inferior anemis (-), skelra ikterik (-)

Leher : JVP : R + 2 cm H2O

30

Page 35: Lapkas Karina Marolop Daniel

Dinding Toraks :

Inspeksi : Simetris Fusiformis

Palpasi : SF kanan=kiri kesan normal

Perkusi : Sonor

Batas Jantung : Atas : ICR 3

Kanan : LSD

Kiri : 2cm lateral LMCS

Auskultasi

Jantung : S1 mengeras S2 () di pulmonal S3(-) S4(-) Reguler

Murmur : (+) Tipe : MDM Grade IV/VI

Punctum Maximum : Apex Radiasi : Axilla

Paru : Suara Pernapasan : Vesikuler

Suara tambahan : Ronki (-) Wheezing : (-)

Abdomen : Palpasi Hepar/Lien : ttb

Ascites : (-)

Ekstremitas : Superior : Sianosis (-) Clubbing : (-)

Inferior : Edema (-) Pulsasi Arteri : (+)

Akral : Hangat

Interpretasi rekaman EKG :

SR, Q RS rate 70 x/I, QRS axis (N), QRS duration 0.08”, Pwave (N), PR

interval 0.16”, RsR’ di V1 V2, LVH (-), VES (-)

31

Page 36: Lapkas Karina Marolop Daniel

Kesan : SR + RBBB Incomplete

Interpretasi Foto Toraks :

CTR 57 % , segmen Ao normal, segmen Po normal, pinggang jantung mendatar,

apex downward, kongesti (-), Infiltrat (-)

Kesan : Kardiomegali

32

Page 37: Lapkas Karina Marolop Daniel

Echocardiography :

Dimensi ruang-ruang jantung : left atrium : dilatasi dengan diameter 48 mm

LVEDO : 48,2 mm

IVS : 5,2 mm

Efusi pericard (-) Thrombus (-) SEC (-)

Wall motion : Global normokinetik setentang

Basal, mid dan apex

Fungsi Sistolik : LVEF baik 53,9%

Katup-katup : MS severe dengan MVA planimetri Ø 0,53 cm2

MVA PHT Ø 0,53 cm2

Leaflet mengalami kalsifikasi hebat dan penebalan

TR mild, MR trivial, Ph mild.

Hasil Laboratorium :

Darah : Hb : 13.1 g% Eritrosit : 4.9 x 106/mm3 Leukosit : 8.82 x 106/mm3

Ht : 38.4 %

Trombosit : 183 x 103/mm3

MCV : 78.40 fl MCH : 26.70 pg MCHC : 34.1 g%

Hitung Jenis : Neutrofil : 34.50 %

Limfosit : 32.00%33

Page 38: Lapkas Karina Marolop Daniel

Monosit : 7.50 %

Eosinofil : 24.30 %

Basofil : 1.7 %

Ureum/ Kreatinin : 23.30 mg/dl / 0.78 mg/dl

Na/K/Cl : 136/3.8/105/ mEq/L

HST: PT : 16.1 (12.8) INR : 1.69

APTT : 33.7 (32.8)

TT : 22.9 (18.1)

KGD sewaktu : 128.00 mg/dl

Diagnosa Kerja :

1. Fungsional : NYHA fc II-III

2. Anatomi : Katup Mitral

3. Etiologi : PJR/ Sterptococcus ß Hemoliticus

Diferensial diagnosa : CHF fc II ec Mitral Stenosis ec Penyakit Jantung Reumatik

Pengobatan : Bed Rest Semi Fowler

O2 2-4 l/i

Furosemide 1 x 40 mg

Spironolactone 1x 25 mg

Benzathine Penicillin G 1,200,000 U / 28 hari IM

Rencana Pemeriksaan Lanjutan :

- ASTO

- CRP

- Nasopharingeal swab kultur

- LFT/RFT

FOLLOW UP tanggal 31 Mei 2013- 3 Juni 2013

Tanggal Vital sign dan PF Diagnosa Penatalaksanaan

34

Page 39: Lapkas Karina Marolop Daniel

31-5-13 S : Sesak Napas (+)

O : Sens : CM

TD : 110/70 mmHg

HR : 64 x/i

RR : 22 x/i

Kepala : mata : anemis

(-) Ikterus (-)

Leher : R + 2 cm H2O

Thoraks : Cor : S1S2

N , MDM grade IV/VI

di apex-axilla, gallop

(-)

Pulmo : SP : Vesikuler

ST : (-)

Abdomen : Soepel,

Bising Usus (+)N

Ekstremitas : Akral

Hangat, edem (-/-),

sendi bengkak

CHF Fc II ec

MS

- Bedrest semivoler

- O2 2-4 l

- Furosemide 1x 40

mg

- Spironolaktone 1x

25 mg

- B.P 1.2 juta

U/28hari

1-6-13 S : Sesak Napas (-)

O : Sens : CM

TD : 90/70 mmHg

HR : 64 x/i

RR : 22 x/i

Kepala : mata : anemis

(-) Ikterus (-)

Leher : R + 2 cm H2O

Thoraks : Cor : S1S2

N , MDM grade IV/VI

di apex-axilla, gallop

(-)

Pulmo : SP : Vesikuler

CHF Fc II ec

MS

- Bedrest semivoler

- O2 2-4 l

- Furosemide 1x 40

mg

- Spironolaktone 1x

25 mg

35

Page 40: Lapkas Karina Marolop Daniel

ST : (-)

Abdomen : Soepel,

Bising Usus (+)N

Ekstremitas : Akral

Hangat, edem (-/-),

sendi bengkak

3-6-13 S : Sesak Napas (-)

O : Sens : CM

TD : 100/60 mmHg

HR : 72 x/i

RR : 22 x/i

Kepala : mata : anemis

(-) Ikterus (-)

Leher : R + 2 cm H2O

Thoraks : Cor : S1S2

N , MDM grade IV/VI

di apex-axilla, gallop

(-)

Pulmo : SP : Vesikuler

ST : (-)

Abdomen : Soepel,

Bising Usus (+)N,

Ekstremitas : Akral

Hangat, edem (-/-),

sendi bengkak

CHF Fc II ec

MS

- Bedrest semivoler

- O2 2-4 l

- Furosemide 1x 40

mg

- Spironolaktone 1x

25 mg

BAB 4

KESIMPULAN

36

Page 41: Lapkas Karina Marolop Daniel

Gagal jantung adalah satu sindroma klinis pada pasien mengalami kelainan

struktur atau fungsi jantung yang disebabkan oleh kelainan bawaan atau acquired heart

disease sehingga jantung tidak mampu untuk memompakan darah dalam jumlah yang

memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolit tubuh (forward failure ) atau

kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi

(backward failure) atau kedua-duanya.

Penyakit katup jantung merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran

darah diantara katup – katup jantung dimana bisa akibat terjadinya stenosis maupun

regurgitasi yang bisa mempengaruhi fungsi jantung yang selanjutnya bisa berujung pada

gagal jantung.

DAFTAR PUSTAKA

37

Page 42: Lapkas Karina Marolop Daniel

1. Douglas L M. Disorder Of Heart. In : George W.T, ed. Harrrison’s

Principles of Internal Medicine, 2008; 1443.

2. Barita S, Irawan J S. Gagal Jantung. In : Lily I R, Faisal B, Santoso K, Poppy S R,

ed. Buku Ajar Kardiologi, 1997; 115.

3. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project

of Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia. Lippincott

Williams & Wilkins, 2007; 225.

4. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic

heart failure 2008 ; 2392-3.

5. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of

Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore- Philadelpia. Lippincott

Williams & Wilkins, 2007; 234-5.

6. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of

Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore- Philadelpia. Lippincott

Williams & Wilkins, 2007; 235-240.

7. Acute Coronary Syndrome. American Heart Association. Available from :

circ.ahajournals.org. Accessed 15 May 2011

8. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of

Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore- Philadelpia. Lippincott

Williams & Wilkins, 2007; 240-243.

9. Barita S, Irawan J S. Gagal Jantung. In : Lily I R, Faisal B, Santoso K, Poppy S R,

ed. Buku Ajar Kardiologi, 1997; 124-125

10. Marulam M.P. Gagal Jantung. In : Aru W S, Bambang S, Idrus A,

Marcellus S K, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.2006; 1504.

11. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic

heart failure 2008 ; 2392.

12. Douglas L M. Disorder Of Heart. In : George W.T, ed. Harrrison’s

Principles of Internal Medicine, 2008; 1448-1453.

13. Heart failure available from http://emedicine.medscape.com/article/163062-

overview#aw2aab6b2b5aa . Accessed 3 Juni 2013.

14. Braunwald E. Valvular Heart Disease. In : Heart Disease a Textbook of

Cardiovascular Medicine third edition 1988

38

Page 43: Lapkas Karina Marolop Daniel

15. Bruce CJ, Nishimura RA. Newer Advance in the Diagnosis and Treatment

of Mitral Stenosis. In Current Problems in Cardiology. Mosby Inc. Vol 23,

Number 3, March 1998, p.125-96

16. Dalen JE, Fenster PE. Mitral Stenosis. In : Valvular Heart Disease. Alpert,

JS, Dalen JE, Rahimtoola SH. Third edition. Philadelphia Lippincott

Williams & Walkins, USA. 2000. P. 75 - 112

17. Feigenbaum H. Ekokardiography. Fifth edition 1994

18. Maurice ES, MD. Aortic Regurgitation in The New England Journal of

medicine, Vol 351,2004: 1539-46

19. Oekene IS. Tricuspid valve disease. In : Valvular Heart Disease edited by

Dalen JE and Alpert JS, Little, Brown and Company, Boston, 1981

20. Rackle CE. Tricuspid and pulmonary valve disease. In : Hurst’s The Heart

eight edition 1994

21. Wilcox WD. Indication for surgery for aortic valve disease in children. In :

J. Willis Kurst (ed), Clinical Essay on The Heart, Vol 1, New York Graw

Hill Book Company, 1983: 249-69

22. Park M. Pediatric Cardiology for Practicioners. 5th ed. Philadelphia: Mosby

Elsevier. 2008

23. Kliegman R, Behrman R, Jenson H. Rheumatic Heart Disease in Nelson

Textbook of Pediatric. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007. p.1961-

63

24. Markum A.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta : FKUI, 2002.

599-613.

39