BAB I
PEDAHULUAN
Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri
dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Definisi anestesiologi
berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.1
Anestesi regional adalah suatu cara untuk menghilangkan rasa sakit pada sebagianmatau
beberapa bagian tubuh yang tidak disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat sementara.
Analgesia regional sering digunakan karena sederhana, murah, obatnya mudah disuntikkan,
alatnya sederhana dan perawatan pasca bedah tidak rumit.Tahun-tahun terakhir ini analgesia
regional berkembang dengan pesat di Indonesia. Dari sekian banyak teknik analgesia regional,
blok subarakhnoid (SAB) termasuk diantaranya. SAB atau lebih populer disebut anestesi spinal
adalah suatu tindakan atau usahamenghentikan transmisi impuls syaraf yang melintas medulla
spinalis anterior dandengan jalan menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid
melalui interspace L2-3, L3-4, L4-5.2
Sub-arachnoid block (SAB) atau anestesi spinal merupakan salah satutehnik anestesi
yang aman, ekonomis dan dapat dipercaya serta sering digunakanpada tindakan anestesi sehari-
hari. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yangminimal, efek
samping yang minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien
tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas,serta membutuhkan penanganan post operatif
dan analgesia yang minimal.
Adanya inovasi terhadap obat-obatan dan teknik menjadikan anestesi spinal dapat
menjadi pilihan pada prosedur-prosedur operasi rawat jalan dan pada operasi dengan indikasi
anestesi spinal.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anestesi Blok Subaraknoid (Anestesi Spinal)
1. Definisi3
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal atau blok
subaraknoid disebut juga sebagai analgesi atau blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang subaraknoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.Jarum
spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis. Batas
atas ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan
penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi.
2. Anatomi Tulang Belakang4
Untuk mempelajari kelainan Tulang Belakang atau Tulang Punggung seperti
scoliosis terlebih dahulu kita harus mengenal anatominya.
Tulang punggung atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang
membentuk punggung yang mudah digerakkan, terdapat 33 tulang punggung pada
manusia, 5 diantaranya bergabung membentuk bagian sacral, dan 4 tulang
membentuk tulang ekor (coccyx). Tiga bagian di atasnya terdiri dari 24 tulang yang
dibagi menjadi 7 tulang cervical (leher), 12 tulang thorax (thoraks atau dada) dan, 5
tulang lumbal. Banyaknya tulang belakang dapat saja terjadi ketidaknormalan. Bagian
terjarang terjadi ketidaknormalan adalah bagian punggung.
Struktur umum
Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri
dari badan dan tulang atau corpus vertebrae dan bagian posterior yang terdiri dari arcus
vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh dua “kaki” atau pediculus dan dua lamina,
serta didukung oleh penonjolan atau procesus yakni procesus articularis, procesus
transversus, dan procesus spinosus. Procesus tersebut membentuk lubang yang disebut
foramen vertebrale. Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan membentuk
saluran sebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Di antara dua
tulang punggung dapat ditemui celah yang disebut foramen intervertebrale.
Tulang punggung cervical
Secara umum memiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina atau procesus
spinosus (bagian seperti sayap pada belakang tulang) yang pendek, kecuali tulang ke-2
dan 7 yang procesus spinosusnya pendek. Diberi nomor sesuai dengan urutannya dari
C1-C7 (C dari cervical), namun beberapa memiliki sebutan khusus seperti C1 atau atlas,
C2 atau aksis.
Tulang punggung thorax
Procesus spinosusnya akan berhubungan dengan tulang rusuk. Beberapa gerakan
memutar dapat terjadi. Bagian ini dikenal juga sebagai ”tulang punggung dorsal”.
Bagian ini diberi nomor T1 hingga T12.
Tulang punggung lumbal
Bagian ini (L1-L5) merupakan bagian paling tegap konstruksinya dan
menanggung beban terberat dari yang lainnya. Bagian ini memungkinkan gerakan fleksi
dan ekstensi tubuh, dan beberapa gerakan rotasi dengan derajat yang kecil.
Tulang punggung sacral
Terdapat 5 tulang di bagian ini (S1-S5). Tulang-tulang bergabung dan tidak
memiliki celah atau diskus intervertebralis satu sama lainnya.
Tulang punggung coccygeal
Terdapat 3 hingga 5 tulang (Co1-Co5) yang saling bergabung dan tanpa celah.
3. Indikasi dan Kontraindikasi1:
Indikasi :
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rektum perineum
Bedah obstetrik-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikandengan
anesthesia umum ringan.
Kontraindikasi absolut:
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
Tekanan intrakranial meningkat
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsulen anestesi.
Kontra indikasi relatif 1 :
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
4. Persiapan dan peralatan analgesia spinal :
Persiapan analgesia spinal 1 :
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali
sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal
di bawah ini:
1. Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT (activated
partial thromboplastine time)
Peralatan analgesia spinal 1 :
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
2. Peralatan resusitasi/anestesi umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quinckebacock)
atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).
5. Teknik analgesia spinal1:
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka, misal
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.
6. Anestesi Lokal untuk Anastesi Spinal1:
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.
Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric. Anastetik lokal
dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
- Lidokain (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100
mg (2-5ml).
- Lidokain (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat
hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2 ml).
- Bupivakain (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20
mg
- Bupivakain (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)
Bupivakain
Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain,
atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan
perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari
berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke
atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan.
Bupivakain adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino
amida. Bupivakain diindikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi
infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupivakain
kadang diberikan pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty
pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk
mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi.
Bupivakain dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang
durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi
epidural. Kontraindikasi untuk pemberian bupivakain adalah anestesi regional IV
(IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi
sistemik dari obat tersebut.
Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium
dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya
depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai
serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivakain dapat
berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut
saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran
serabut saraf lebih tebal.
7. Komplikasi Anastesi Spinal :
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi tindakan dan
komplikasi pasca tindakan.
Komplikasi tindakan :
1. Hipotensi berat4
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah terjadinya
hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan anestesi spinal merupakan
manifestasi fisiologis yang biasa terjadi. Hal ini terjadi karena : (1) Penurunan
darah balik, penurunan secara fungsional volume sirkulasi efektif karena
venodilatasi, dan penumpukan darah. (2) Penurunan tahanan pembuluh darah
sistemik karena vasodilatasi dan (3) Penurunan curah jantung karena penurunan
kontraktilitas dan denyut jantung.
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal adalah blok
simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri menyebabkan
penurunan tahanan perifer total dan tekanan darah sistolik sampai 30%. Dilatasi
vena dapat menyebabkan hipotensi yang berat sebagai akibat penurunan aliran
balik vena dan curah jantung. Tetapi sebetulnya hal ini tidak boleh terjadi karena
ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi tidak adekuat sehingga
oksigenasinya tidak adekuat. Hal ini sangat berbahaya pada pasien dengan
kelainan pembuluh coroner (misalnya pada geriatri). Dikatakan hipotensi jika
terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 atau 100 mmhg, atau
penurunan prosentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan lamanya perubahan
bervariasi dari 3 sampai 10 menit.Oleh karena itu kejadian hipotensi harus
dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat spinal
anestesi adalah dengan pemberian cairan prabeban yaitu Ringer Laktat (RL) dan
atau obat vasopressor salah satunya dengan pemberian efedrin. Efedrin
merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetric sebagai
obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin
adalah obat sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi langsung yang
menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan
melepaskan nor-epinefrin endogen.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung
dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah splanikus
dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot. Pemberian efedrin
dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus intravena, dan infus kontinyu dan
pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus IV 5-10mg bila terjadi
hipotensi akibat anestesi spinal.
2. Bradikardia5
Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi adalah
perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal.
Pemahaman tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol
tekanan darah dan denyut jantung penting untuk merawat perubahan
kardiovaskuler terkait dengan anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang berlebihan.
Karena itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang penting mengingat
adanya efek-efek yang ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan tekanan darah dan
frekuesi denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan efedrin yang berfungsi
berdasarkan reseptor adrenergik yang menghasilkan respon simpatis. Oleh karena
efedrin dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer, sehingga pada penggunaan
klinis efedrin meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut nadi.
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total3
Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:
Volume obat analgetik lokal makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan : 3 detik untuk 1 ml larutan.
Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul kekaudal (saddle block) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipo barik.
Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar
dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi
pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan
hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.
Komplikasi pasca tindakan 1 :
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya
kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin
besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit
kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan
serebrospina l sampai 1-2 minggu. Kehilangan CSS sebanyak 20 ml dapat
menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90%
pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang
dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan
pencegahan dengan :
Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).
Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga
jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.
Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal
ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :
Memakai abdominal binder
Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang
epidural tempat kebocoran.
Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.
Kejadian post spinal headache10-20% pada umur 20-40 tahun; >10% bila
dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas.
Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.
4. Retensio urine
5. Meningitis.
8. Persiapan dan Penilaian Pra Anastesia
Persiapan Tindakan Anestesi 1
Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan memperkenalkan dirinya.
Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan lokasi operasi
(misalnya, lutut kanan).
Bertanya mengenai kapan pasien makan terakhir kali
Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).
Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri nadi, pengukur
tekanantekanandarah arteri.
Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka kesakitan
operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien
menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara
(anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya,
adakah penyakit-penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada
pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, ukuran
lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan juga hasil pemeriksaan laboratorium atas
indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah
(Hb, leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
Melakukanaktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancamankehidupan
setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda
darurat huruf E (E = EMERGENCY).
2.2. Hernia
1. Definisi Hernia
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau
bagian yang lemah dari dinding yang bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut
menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aponeurotik dinding
perut. Hernia terdiri atas cincin, kantong, dan isi hernia.1
2. Epidemiologi
Tujuh puluh lima persen dari semua kasus hernia di dinding abdomen muncul
disekitar lipatan paha. Hernia sisi kanan lebih sering terjadi daripada di sisi kiri. Hernia
indirect lebih banyak daripada hernia direct yaitu 2:1, perbandingan pria:wanita pada
hernia indirect adalah 7:1. Hernia femoralis kejadiaanya kurang dari 10% dari semua
hernia tetapi 40% dari itu muncul kasus emergensi dengan inkaserasi atau strangulasi.
Hernia femoralis lebih sering terjadi pada lansia dan laki-laki yang pernah menjalani
operasi hernia inguinal.2,3
3. Etiologi
Penyebab terjadinya hernia adalah1,2:
a) Lemahnya dinding rongga perut. Dapat sejak lahit atau didapat kemudian dalam
hidup
b) Akibat dari pembedahan senelumnya
c) Kongenital
Hernia kongenital sempurna
Bayi sudah menderita hernia karena adanya defek pada tempat-tempat tertentu.
Hernia kongenital tidak sempurna
Bayi dilahirkan normal (kelainan belum tampak) tapi mempunyai defek pada
tempat-tempat tertentu (predisposisi) dan beberapa bulan (0-1 tahun) setelah
lahir akan terjadi melalui defek tersebut karena dipengaruhi oleh kenaikan
tekanan intraabdominal (mengejan, batuk, menangis)
d) Aquisial adalah hernia yang bukan disebabkan karena adanya defek bawaan tetapi
disebabkan oleh faktor lain yang dialami manusia, antara lain:
Tekanan intraabdominal yang tinggi, yaitu pada pasien yang sering mengejan
pada saat buang air besar atau buang air kecil.
Konstitusi tubuh. Pada orang kurus terjadinya hernia karena jairngan ikatnya
yang sedikit, sedangkan pada orang gemuk disebabkan karena jaringan lemak
yang banyak sehingga menambah beban jaringan ikat penyokong.
Distensi diding abdomen karena peningkatan tekanan intaabdominal
Penyakit yang melemahkan dinding perut
Merokok
Diabetes mellitus
4. Bagian Hernia
Bagian-bagian dari hernia menurut:
1) Kantong hernia. Pada hernia abdominalis berupa peritoneum parietalis. Tidak semua
hernia memiliki kantong, misalnya hernia incisional, hernia adiposa, hernia
internalis.
2) Isi hernia: berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong hernia, misalnya
usus, ovarium, dan jaringan penyangga usus (omentum).
3) Pintu hernia: merupakan bagian locus minoris resistance yang dilalui kantong hernia.
4) Leher hernia: bagian tersempit kantong hernia.
5. Klasifikasi Hernia
Menurut sifat dan keadaannya hernia dibedakan menjadi3:
Hernia reponibel: bila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau
mengedan dan masuk lagi bila berbaring atau didorong masuk perut, tidak ada
keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus.
Hernia ireponibel: Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga
perut. Ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritoneum kantong
hernia.
Hernia inkarserata atau strangulata: bila isinya terjepit oleh cincin hernia sehingga isi
kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya,
terjadi gangguan vaskularisasi. Reseksi usus perlu segera dilakukan untuk
menghilangkan bagian yang mungkin nekrosis.
Menurut Erickson (2009) dalam Muttaqin 2011, ada beberapa klasifikasi hernia yang
dibagi berdasarkan regionya, yaitu: hernia inguinalis, hernia femoralis, hernia
umbilikalis, dan hernia skrotalis.
Hernia Inguinalis, yaitu: kondisi prostrusi (penonjolan) organ intestinal masuk ke
rongga melalui defek atau bagian dinding yang tipis atau lemah dari cincin inguinalis.
Materi yang masuk lebih sering adalah usus halus, tetapi bisa juga merupakan suatu
jaringan lemak atau omentum. Predisposisi terjadinya hernia inguinalis adalah
terdapat defek atau kelainan berupa sebagian dinding rongga lemah. Penyebab pasti
hernia inguinalis terletak pada lemahnya dinding, akibat perubahan struktur fisik dari
dinding rongga (usia lanjut), peningkatan tekanan intraabdomen (kegemukan, batuk
yang kuat dan kronis, mengedan akibat sembelit, dll).
Hernia Femoralis, yaitu: suatu penonjolan organ intestinal yang masuk melalui
kanalis femoralis yang berbentuk corong dan keluar pada fosa ovalis di lipat paha.
Penyebab hernia femoralis sama seperti hernia inguinalis.
Hernia Umbilikus, yaitu: suatu penonjolan (prostrusi) ketika isi suatu organ
abdominal masuk melalui kanal anterior yang dibatasi oleh linea alba, posterior oleh
fasia umbilicus, dan rektus lateral. Hernia ini terjadi ketika jaringan fasia dari dinding
abdomen di area umbilicus mengalami kelemahan.
Hernia Skrotalis, yaitu: hernia inguinalis lateralis yang isinya masuk ke dalam
skrotum secara lengkap. Hernia ini harus cermat dibedakan dengan hidrokel atau
elevantiasis skrotum.
6. Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Finger test menggunakan jari ke 2
atau jari ke 5, dimasukkan lewat skrotum melalui
anulus eksternus ke kanal inguinal, penderita disuruh
batuk. Bila impuls diujung jari berarti hernia
ingunalis lateralis, bila impuls disamping jari hernia
inguinalis medialis.4
Pemeriksaan Ziemen test posisi
berbaring, bila ada benjolan masukkan
dulu, hernia kanan diperiksa dengan tangan kanan, penderita disuruh batuk bila
rangsangan pada jari ke-2 hernia ingunalis lateralis, jari ke-3 hernia inguinalis
medialis, jari ke-4 hernia femoralis.4
Pemeriksaan Thumb test anulus ditekan dengan
ibu jari dan penderita disuruh mengejan, bila keluar
benjolan berarti hernia inguinalis medialis, bila tidak
keluar benjolan berarti hernia inguinalis lateralis.4
b. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ultrasonografi juga berguna untuk membedakan hernia incaserata dari
suatu nodus limfatikus patologis atau penyebab lain dari suatu massa yang teraba di
inguinal.
CT scan dapat digunakan untuk mngevaluasi pelvis untuk mencari adanya hernia
obturator.
7. Diagnosis banding
a. Keganasan : limfoma, retroperitoneal sarcoma, metastasis, tumor testis
b. Penyakit testis primer: varicocele, epididimitis, torsio testis, hidrokel, testis ectopic,
undescenden testis
c. Aneurisma artery femoralis
d. Nodus limfatikus
e. Kista limfatikus
f. Kista sebasea
g. Psoas abses
h. Hematoma
i. Ascites
8. Penatalaksanaan
Operasi elektif dilakukan untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi seperti
inkeserasi dan strangulasi. Pngobatan non operatif direkomendasikan hanya pada hernia
yang asimptomatik. Prinsip utama operasi hernia adalah herniotomy: membuka dan
memotong kantong hernia. Herniorraphy: memperbaiki dinding posterior abdomen
kanalis ingunalis.1,2
Herniotomy
Insisi 1-2 cm diatas ligamentum inguinal dan aponeurosis obliqus eksterna dibuka
sepanjang canalis inguinalis eksterna. Kantong hernia dipisahkan dari m.creamester
secara hati-hati sampai ke kanalis inguinalis internus, kantong hernia dibuka, lihat isinya
dan kembalikan ke kavum abdomen kemudian hernia dipotong. Pada anak-anak cukup
hanya melakukan herniotomy dan tidak memerlukan herniorrhapy.1,2
Herniorrhapy
Dinding posterior di perkuat dengan menggunakan jahitan atau non-absorbable mesh
dengan tekhnik yang berbeda-beda. Meskipun tekhnik operasi dapat bermacam-macam
tekhnik bassini dan shouldice paling banyak digunakan. Teknik operasi liechtenstein
dengan menggunakan mesh diatas defek mempunyai angka rekurensi yang rendah.1,2
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : Tn. C.D
Umur : 62 tahun
Alamat : Dok VIII
BB : 67 Kg
TB : 170 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Nelayan
Suku bangsa : Papua
Ruangan : Bedah Pria
Tanggal masuk rumah sakit : 6 Agustus 2014
Tanggal operasi : 7 Agustus 2014
3.2. Anamnesis
Keluhan utama:
Timbul benjolan di lipatan paha kiri disertai nyeri
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan timbul benjolan di lipatan paha kiri disertai nyeri. Pasien
mengaku sejak 3 tahun yang lalu merasakan ada benjolan di lipat paha kiri yang timbul
saat beraktivitas seperti berjalan dan hilang saat istirahat. Benjolan pada awalnya tidak
menimbulkan rasa nyeri. Pada tahun 2013, pasien sempat berobat ke poliklinik karena
keluhan ini dan disarankan oleh dokter untuk dioperasi agar benjolan tidak muncul lagi
tetapi pasien belum bersedia .
Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat Penyakit kardiovaskular : disangkal
- Riwayat Penyakit Pernapasan : disangkal
(Asma, TBC)
- Riwayat Alergi Obat : disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya : tidak ada
3.3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium tanggal 30 Juli 2015
Hasil laboratorium 30 Juli 2015
Pemeriksaan Hasil
CT
BT
9’30’’
2’00’’
Hasil laboratorium tanggal 30 Juli 2015
Pemeriksaan Hasil
Gula darah sewaktu
Ureum
Kreatinin
SGOT
SGPT
87 mg/dL
25 mg/dL
1,2 mg/dL
31 U/L
13 U/L
3.4. Status Anestesi
PS. ASA : I
Hari/Tanggal : 07/08/2015
Ahli Anestesiologi : dr. D. S. Sp.An KIC
Ahli Bedah : dr. S.Y. Sp.B
Pemeriksaan Hasil
Hb
Leukosit
Trombosit
11,8 g/d
12.760
151.000 /ult
Diagnosa Pra Bedah : - Hernia Inguinalis Lateralis (S) Reponible
Diagnosa Pasca Bedah : - Hernia Inguinalis Lateralis (S) Reponible
Makan terakhir
BB
TTV
SpO2
:
:
:
:
8 jam yang lalu
67 Kg
TD :140/80 mmHg, N: 87x/m, SB: 36,3
100 %
B1 : Airway bebas, thorax simetris, ikut gerak
napas,RR:18 x/m, palpasi: Vocal Fremitus
D=S, perkusi: sonor, suara napas vesikuler+/+,
ronkhi-/-, wheezing -/-,malampati score: I
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill
Time< 2 detik, BJ: I-II murni regular,
konjungtiva anemis -/-
B3 : Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15(E4V5M6),
riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 : Terpasang DC, produksi urin durante op 50 cc,
warna kuning jernih.
B5 : Perut tampak cembung, palpasi: nyeri tekan (-),
perkusi : tympani,BU (+) normal
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-).
Medikasi Pra Bedah : -
Jenis Pembedahan : Herniotomi
Lama Operasi : (12.30 –13.15WIT)
Jenis Anestesi : Blok subaraknoid (blok spinal)
Anestesi Dengan : Decain 0,5% 20 mg
Teknik Anestesi : Pasien duduk di meja operasi dan kepala
menunduk, dilakukan aseptic di sekitar daerah
tusukan yaitu di regio vertebra lumbal 3-4,
dilakukan blok subaraknoid (injeksi Decain 0,5 %20
mg) dengan jarum spinal pada regio vertebra antara
lumbal 3-4, Cairan serebro spinal keluar (+) jernih,
dilakukan blok.
Pernafasan : Spontan
Posisi : Tidur terlentang
Infus : Tangan Kanan, IV line abocath 18 G, cairan RL
Penyulit pembedahan : -
Tanda vital pada akhir
pembedahan
: TD: 142/98 mmHg, N:88x/m, SB: 36,6°C RR:
24 x/m
Medikasi : Durante operasi:
- Decain 0,5% (20 mg)
- Fentanyl
- Sedacum
- Ranitidin 50 mg
- Ondansentrom 4 mg
- Santagesik
- Tramadol II
3.5. Observasi selama operasi
Diagram 1. Observasi tekanan darah
3.6. BALANCE CAIRAN
Waktu Input Output
Pre operasi RL :500 cc IWL : 670 ccUrin : 250 cc
Durante operasi RL : 700cc Urin : 340 ccPerdarahan : 160 cc
Total 1200 cc 2470
3.7. Follow Up Post-Operasi
1. Hari/Tanggal : Sabtu, 08-08-2015 Jam : 16.30 WIT
S : Pasien dapat beraktifitas di tempat tidur, merasakan nyeri pada lipatan paha kiri
bekas tempat bekas operasi. Pasien juga sudah dapat makan dan minum. Demam (-).
O :
Keadaan Umum = Tampak sakit ringan,
Kesadaran = pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm.
Nadi = 78x/m ,
Respirasi = 20 x/m,
Suhu Badan = 36,8oC
B1 : Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara napas
vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 20 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill
Time < 2 detik, Nadi 78x/m, kuat angkat, regular.
BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3 : pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm,riwayat pingsan (-),
riwayat kejang (-).
B4 : DC (+), BAK (+) spontan, warna kuning jernih.
B5 : Abdomen supel, cembung,nyeri tekan (-), timpani,
BU (+) normal
B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif
A : Hernia Inguinalis Lateralis (S) Reponible Post Herniotomi Hari I
P :
IVFD RL 1000 cc : D5 500 cc / 24 Jam Cefuroxime 3 x 1 gr (H.1) Antrain 3 x 1 amp GV/2 hari
2. Hari/Tanggal : Minggu, 09-08-2015 Jam : 17.45 WIT
S : Pasien sudah dapat duduk, masih merasakan nyeri di daerah bekas operasi tetapi
berkurang.
O :
Keadaan Umum = Tampak sakit ringan,
Kesadaran = pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm.
Nadi = 89x/m ,
Respirasi = 22x/m,
Suhu Badan = 35,8oC
B1 : Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara napas
vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 22 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill
Time < 2 detik, Nadi 89x/m, kuat angkat, regular.
BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3 : pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm,riwayat pingsan (-),
riwayat kejang (-).
B4 : DC (+), BAK (+) spontan, warna kuning jernih.
B5 : Abdomen supel, cembung,nyeri tekan (-), timpani,
BU (+) normal
B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif
A : Hernia Inguinalis Lateralis (S) Reponible Post Herniotomi Hari II
P :
IVFD RL 1000 cc : D5 500 cc / 24 Jam Cefuroxime 3 x 1 gr (H.II) Antrain 3 x 1 amp GV/2 hari.
3.8. RESUME
Seorang pasien, pria, 61 tahun, datang berobat ke rumah sakit tanggal 28Agustus 2014
dengan keluhanNyeri pada kaki kanan disertai kesulitan dalam berjalan. Setelah diperiksa
dengan pemeriksaan fisik dan foto radiologi, ditemukan adanya deformitas pada tulang
tibia, tampak malunion pada tibia dekstra. Pasien didiagnosis Malunion fr. Tibia dekstra
post screwing. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus. Klasifikasi
status fisik penderita digolongkan dalam ASA Isehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan
biokimia. Saat pertama kali pasien datang tensi pasien 120/80 mmHg, N : 87x/menit.
Pasien dioperasi Rekonstruksi Tibia pada tanggal 3 September 2014 dengan anestesi blok
subaraknoid. Saat dioperasi tampak deformitas pada tulang tibia dekstra. Salah satu efek
samping anestesi blok subaraknoid adalah hipotensi.Untuk mencegah hipotensi pasien
diberi cairan prabeban yaitu Ringer Laktat sebanyak 800 ml dan diberi obat vasopresor
Efedrin sebanyak 10 mg. Selain itu pasien juga diberi Sulfat atropineyang dapat
mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihanutama untuk mengurangi efek bronchial
dan kardial yang berasal dariperangsangan saraf parasimpatis. Selain itu juga, selama
operasi diberikan obat injeksi ranitidine dan ondansentron.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien seorang Pria, 61 tahun, datang berobat ke rumah sakit tanggal 28Agustus 2014
dengan keluhankeluhannyeri pada kaki kanan disertai kesulitan dalam berjalan. Setelah diperiksa
dengan pemeriksaan fisik dan foto radiologi, ditemukan adanya deformitas pada tulang tibia,
tampak malunion pada tibia dekstra. Pasien didiagnosis Malunion fr. Tibia dekstra post
screwing.. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA I karenasehat organik,
fisiologik, psikiatrik, dan biokimia.
Pasien dioperasi tanggal 3 September 2014. Pada kasus ini dilakukan tindakan Rekonstruksi
Tibiadengan anestesi spinal (blok subaraknoid).Anestesi blok subaraknoid banyak digunakan
karena relatif murah, pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan
kemampuan mencegah respon stresslebih sempurna.
Pasien dianestesi spinal dengan Decain 0,5% 20 mg pada posisi dudukantara vertebra L3–
L4. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub
araknoid di daerah antara vertebra L2 - L3 atau L3 - L4 atau L4 - L5. Jarum spinal hanya dapat
diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis. Batas atas ini dikarenakan pada
batas atas adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra
sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi.
Isi dari obat Decain 0,5% adalah Bupivakain HCl. Bupivakain merupakan anestesi lokal
isobarik. Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan
memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi.
Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis
dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam
serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang
mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
Salah satu efek samping anestesi blok subaraknoid adalah hipotensi. Untuk mencegah
hipotensi pasien diberi cairan prabeban yaitu Ringer Laktat sebanyak 1000 ml dan diberi obat
vasopresor Efedrin sebanyak 10 mg.Pada beberapa penelitian menganjurkan cairan kristaloid
untuk digunakan sebagai preload pada tindakan anestesi spinal. Hal ini dikarenakan cairan
kristaloid ini mudah didapat, komposisi menyerupai plasma (acetated ringer, lactated ringer),
bebas reaksi anafilaksis, dan dari segi biayanya lebih ekonomis.
Efedrin merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetrik-ginekologi
sebagai obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin adalah
obat sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi langsung yang menstimuli reseptor β1, β2,
α1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan melepaskan nor-epinefrin endogen.Efedrin akan
menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung dan tekanan darah sistolik maupun
diastolik. Menurunkan aliran darah splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak
dan otot. Pemberian efedrin dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus intravena, dan infus
kontinyu dan pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus IV dengan dosis 5-10mg.
Selama dioperasi pasien juga diberi sulafas atropin mg dengan tujuan untuk mengurangi
sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang
berasal dari perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun tindakan lain
dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan
menurunkan spasme gastrointestinal. Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam
dosis terapeutik ada perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena itu
sebaiknya obat ini tidak digunakan untukanestesi regional atau lokal.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis menderita
Malunion fr. Tibia dekstra post screw. Berdasarkan pemeriksaan foto Rontgenterdapat gambaran
malunian pada tulang tibia dan fibula sehingga dilakukan tindakan rekonstruksi tibia.Klasifikasi status
penderita digolongkan dalam PS ASA Ikarena pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan
biokimia .
Kemudian pasien dioperasi tanggal 3 September 2014. Pada kasus ini dilakukan tindakan
rekonstruksi tibi dengan anestesi spinal (blok subaraknoid).Anestesi blok subaraknoid banyak
digunakan karena relatif murah, pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan
kemampuan mencegah respon streslebih sempurna.
Salah satu efek samping anestesi blok subaraknoid adalah hipotensi. Untuk mencegah
hipotensi pasien diberi cairan prabeban yaitu Ringer Laktat sebanyak 1000 ml dan diberi
vasopresor Efedrin sebanyak 10 mg. Selain itu pasien juga diberi sulfas atropinselama operasi
dengan tujuan tujuan untuk mengurangi sekresi bronchial.