KENDURI
DALAM PERSPEKTIF
MAJELIS TAFSIR AL-QUR’AN (MTA)
(STUDI KASUS DI DESA BRINGIN KECAMATAN
BRINGIN KABUPATEN SEMARANG)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Disusun oleh :
Di susun oleh :
Iik Dian Ekayanti
NIM: 111 09 064
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2016
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab : 21)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Orang tua Bapak (Bastori) dan Ibu (Siti Wafiroh) yang telah memberikan
semangat serta mendukung demi meraih kesuksesan anaknya. Terima kasih
atas semua kasih dan sayang yang telah di berikan.
2. Bapak mertua (Towil) dan Ibu mertua (Suriyah) yang juga telah memberikan
semangat dalam mencapai kesuksesan menantunya.
3. Suami (Yanu Dani Marfiyanto) dan Anakku (Talita Alya Iftina) yang selalu
menjadi motivasi dan penyemangat hingga sampai sekarang ini.
4. Segenap keluarga yang juga mendoakan demi kesuksesan saya.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan limpahan rahmat
dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam tercurah kepada Khatamul Anbiya
Muhammad Saw beserta keluarga dan para sahabatnya.
Skripsi yang berjudul “ KENDURI DALAM PERSPEKTIF
MAJELIS TAFSIR AL-QUR’AN (MTA) (Studi Kasus Di Desa Bringin
Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang) ” ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) pada Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam
Negeri Salatiga.
Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan
dan juga arahan serta saran dari berbagai pihak, sehingga penyusunan skripsi ini
dapat terselesaikan. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih
sedalam dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan
3. Ibu Siti Ruhayati, M.Pd. selaku Ketua Jurusan PAI
4. Ibu Hj. Maslikhah, S.ag. M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik
5. Bapak Prof. Dr. Mansur, M.Ag. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
dengan tulus, ikhlas membimbing penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.
6. Segenap dosen dan karyawan IAIN salatiga
ABSTRAK
Ekayanti, Iik Dian. 2016. Kenduri Dalam Perspektif Majelis Tafsir Al-Qur‟an
(MTA) (Studi Kasus Di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten
Semarang) . Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan
Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.
Pembimbing : Prof. Dr. Mansur, M.Ag.
Kata Kunci: Kenduri, Majelis Tafsir Al-Qur‟an
Kenduri adalah ritual yang dijalankan setelah meninggalnya seseorang
yang berupa pembacaan zikir, doa, dan bacaan-bacaan Al-Qur‟an dengan
melibatkan kerabat dan warga masyarakat sekitar yang dipandu oleh seorang
modin. Perdebatan muncul terutama pada status hukum tahlilan, apakah
menjalankan tahlilan itu sebuah amalan ibadah atau bid‟ah dan apakah haram
atau halal menjalankan ritual tersebut. Perdebatan ini semakin memanas ketika
sekelompok masyarakat dengan arogan menyatakan bahwa ritual ini dilarang dan
haram hukumnya menurut Islam kemudian mengklaim syirik bagi mereka yang
menjalankan.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian skripsi ini adalah pertama,
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pandangan hukum kenduri
yang dikemukakan oleh warga kelompok Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA).
Kedua, Untuk menjelaskan landasan berpikir dari hukum penolakan kenduri yang
digunakan oleh warga kelompok Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA).
Penelitian yang penulis lakukan menggunakan jenis penelitian kualititaf,
yaitu penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa dasarnya
menyatakan dalam keadaan sebenarnya atau sebagaimana adanya (natural
setting). Sedangkan berdasarkan sifat masalahnya penelitian ini menggunakan
metode deskriptif . Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang
berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan obyek sesuai dengan apa
adanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di
desa bringin berpandangan kenduri merupakan kegiatan atau ritual yang
berlangsung di masyarakat dan hanya tradisi yang dilakukan turun temurun untuk
memperingati atau mendoakan orang atau keluarga yang sudah meninggal.
kenduri secara fungsi tidak ada karena tahlilan pada dasarnya do‟a-do‟a yang
dikirimkan untuk orang yang sudah meninggal tidak akan menjadi pahala bagi
orang yang sudah meninggal. Sedangkan kenduri tidak diajarkan oleh Rasulullah,
sehingga pahala yang akan dikirimkan kepada orang yang meninggal tidak
sampai. Mereka menolak akan kenduri adalah tidak adanya sumber rujukan atau
perintah yang jelas dari Al-Qur‟an dan Sunnah, bahkan Rosulullah tidak
mengajarkannya. Mereka mengambil dasar di dalam al-Qur‟an yaitu surat An-
Najm ayat 38-39 dan hadits riwayat Abdu Daud dan Tirmidzi yang berkenaan
dengan hal-hal yang bid‟ah.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................. ii
PENGESAHAN KELULUSAN................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN................................................... iv
MOTTO .................................................................................................. v
PERSEMBAHAN.................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................vii
ABSTRAK ................................................................................................viii
DAFTAR ISI ........................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian................................................................................ 6
E. Penegasan Istilah ................................................................................... 6
F. Metodologi Penelitian.............................................................................. 7
G. Sistematika Penulisan ............................................................................ 15
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Tradisi Kenduri…………………………….......................................... 17
B. Pelaksanaan Tradisi Kenduri ……....................................................... 19
C. Acara Dalam Kenduri ........................................................................... 21
1. Pembukaan ………......................................................................... 21
2. Tahlilan .......................................................................................... 21
3. Penutup .......................................................................................... 25
D. Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) ................................................. 26
1. Pengertian Majelis Tafsir Al-Qur‟an …….................................... 27
2. Tujuan Majelis Tafsir Al-Qur‟an .................................................. 31
3. Struktur lembaga MTA ………………………………………… 31
4. Kegiatan Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) ……………………… 32
5. Dasar MTA Menolak Kenduri ………………………………… 36
BAB III : PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin ......................... 37
1. Sejarah Berdiri Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin ...................... 37
2. Visi Misi Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin ................................38
3. Manajemen Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin ............................41
B. Pandangan Kelompok Pengajian Majlis Tafsir Al-Qur‟an
di Bringin Terhadap Kenduri ......................................................45
C. Dasar Kelompok Pengajian Majlis Tafsir Al-Qur‟an
di Bringin Menolak Kenduri .....................................................49
BAB IV : ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Pandangan Kelompok Pengajian Majlis Tafsir Al-Qur‟an
di Bringin Terhadap Kenduri ......................................................52
B. Analisis Yang Mendasari Kelompok Pengajian Majlis Tafsir Al-Qur‟an
di Bringin Menolak Kenduri ...................................................... 54
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................ 57
B. Saran-saran............................................................................................ 58
C. Penutup...................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama dakwah, yang disebarluaskan dan diperkenalkan
kepada manusia melalui aktifitas dakwah, tidak melalui kekerasan, pemaksaan
atau kekuatan senjata. Islam tidak membenarkan pemeluk-pemeluknya
melakukan pemaksaan terhadap umat manusia, agar mereka mau memeluk
agama Islam. Islam adalah agama yang benar dan dapat diuji kebenarannya
secara ilmiah, masuknya iman ke dalam kalbu setiap manusia merupakan
hidayah Allah SWT.
Al-Qur‟an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad S.A.W., mengandumg hal-hal yang berhubungan dengan
keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafat, peraturan-peraturan yang
mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk
individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia
dan di akhirat.
Sebagian penduduk di Indonesia beragama Islam, tetapi masyarakat di
Jawa banyak yang melakukan kegiatan-kegiatan atau tradisi yang dikaitkan
dengan acara-acara agama. Salah satu kegiatan yang di lakukan oleh
masyarakat Jawa yaitu kenduri.
Kenduri adalah ritual yang dijalankan setelah meninggalnya seseorang
berupa pembacaan zikir, doa, dan bacaan-bacaan Al-Qur‟an dengan melibatkan
kerabat dan warga masyarakat sekitar yang dipandu oleh seorang modin
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1992:231). Biasanya ritual ini dijalankan
pada malam hari setelah menjalankan shalat Isya‟ dengan periode tertentu,
antara lain: Pada saat kematian (selametan surtanah atau geblag), hari ketiga
(selametan nelung dina), hari ketujuh (selametan mitung dina), hari keempat
puluh (selametan patang puluh dina), hari seratus hari (selametan nyatus),
peringatan satu tahun (mendak sepisan), peringatan kedua tahun (mendak
pindo) dan hari keseribu (nyewu) sesudah kematian (Rudini, 1992:93). Dan ada
juga yang melakukan peringatan saat kematian seseorang untuk terakhir
kalinya (selametan nguwis-uwisi), (Ismawati, 2000:7).
Tradisi ini tidak diketahui secara pasti asal-usulnya. Para pelaku
tradisi hanya biasa mengatakan bahwa tradisi ini merupakan warisan dari
nenek moyang mereka kurang lebih tiga atau empat generasi yang lalu. Tapi
menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebut diadopsi para da‟i terdahulu
dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut
kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila seseorang meninggal
dunia maka ruhnya akan datang ke rumah pada malam hari mengunjungi
keluarganya. Jika dalam rumah tadi tidak ada orang ramai yang berkumpul-
kumpul dan mengadakan upacara-upacara sesaji, seperti membakar
kemenyan, dan sesaji terhadap yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang
mati tadi akan marah dan masuk (sumerup) ke dalam jasad orang yang masih
hidup dari keluarga si mati (www.syar‟iahonline.com. Download pada tanggal
29 Oktober 2015).
http://www.syar'iahonline.com/
Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk
Islam, mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah
awal, para da‟i terdahulu tidak memberantasnya, tetapi mengalihkan dari
upacara yang bersifat Hindu dan Budha itu menjadi upacara yang bernafaskan
Islam. Sesaji diganti dengan nasi dan lauk-pauk untuk shadaqah. Mantera-
mantera digantikan dengan zikir, do‟a dan bacaan-bacaan Al-Qur‟an.
Akulturasi budaya dari Animisme, agama Hindu dan Budha menjadi
Islam inilah yang sekarang menjadi perdebatan sengit oleh kalangan
masyarakat. Perdebatan muncul terutama pada status hukum kenduri, apakah
menjalankan kenduri itu sebuah amalan ibadah atau bid‟ah dan apakah haram
atau halal menjalankan ritual tersebut. Perdebatan ini semakin memanas ketika
sekelompok masyarakat dengan arogan menyatakan bahwa ritual ini dilarang
dan haram hukumnya menurut Islam kemudian mengklaim syirik bagi mereka
yang menjalankan. Padahal selama ini masyarakat menganggap ritual tersebut
bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan syari‟at Islam, apalagi yang
memimpin adalah orang yang tidak diragukan pengetahuannya agamanya.
Perbedaan ini menciptakan pengelompokan terhadap masyarakat di
Desa Bringin. Mereka yang menjalankan Kenduri dan mereka warga Majelis
Tafsir Al-Qur‟an (MTA) yang tidak menjalankan Kenduri. Menurut kelompok
warga MTA, larangan menjalankan ritual kenduri adalah, karena perkara
tersebut tidak ada tuntunan dalam Islam, sedangkan perkara yang tidak ada
tuntunannya adalah perkara bid‟ah dan semua bid‟ah adalah haram hukumnya
untuk dijalankan. Selain itu, ciri khas kenduri adalah menghidangkan makanan
dan membagi-bagi bingkisan dari keluarga si mayit untuk diberikan kepada
sanak kerabat maupun masyarakat sekitar, hal ini jelas-jelas dilarang dalam
Islam.
Sedangkan menurut kelompok yang melakukan kenduri, Kenduri
bukanlah perkara yang diharamkan, karena dalam Kenduri penuh dengan
aktifitas zikir kepada Allah SWT, dan membaca Al-Qur‟an. Islam tidak
melarang umatnya untuk berzikir membaca kalimat dan membaca Al-Qur‟an
dengan cara khusus seperti yang dilakukan dalam Kenduri. Tentang hidangan
makanan dan bingkisan, orang yang melakukan Kenduri berpendapat bahwa itu
adalah bentuk sedekah. Adapun sedekah tersebut dimaksudkan sebagai bentuk
permohonan kepada masarakat untuk memaafkan dan merelakan kepergian si
mayit, sebagai ungkapan terima kasih kepada masyarakat sekitar atas perhatian
dan partisipasi selama pengurusan si mayit, dan sebagai bentuk amal kebaikan
yang pahalanya ditujukan kepada si mayit.
Oleh karena itu, pembahasan yang sangat menarik tentang hukum
kenduri menurut kelompok Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA), dengan dasar
hukum yang sama Al-Qur‟an dan as-Sunnah, terjadi perbedaan persepsi. Dari
masalah di atas penulis tertarik mengambil judul skripsi:
“ KENDURI DALAM PERSPEKTIF MAJELIS TAFSIR AL-QUR’AN
(MTA) (STUDI KASUS DI DESA BRINGIN KECAMATAN BRINGIN
KABUPATEN SEMARANG)”.
B. Rumusan Penelitian
Fokus penelitian ini adalah Kenduri dalam perspektif kelompok
pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA). Fokus penelitian dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an
(MTA) di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
terhadap Kenduri?
2. Apakah yang mendasari kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an
(MTA) di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
menolak Kenduri?
C. Tujuan Penelitian
Agar peneliti ini dapat memperoleh hasil yang baik, maka perlu
direncanakan tujuan yang hendak dicapai, adapun tujuan yang ingin dicapai
dalam pelaksanaannya adalah :
1. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pandangan hukum
Kenduri yang dikemukakan oleh warga kelompok Majelis Tafsir Al-
Qur‟an (MTA).
2. Untuk menjelaskan landasan berpikir dari hukum penolakan Kenduri
yang digunakan oleh warga kelompok Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA).
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat berguna:
1. Manfaat Teoritis
Hasil-hasil penelitian diharapkan sebagai acuan atau referensi untuk
menghadapi permasalahan yang muncul di masyarakat.
2. Manfaat Praktis
Hasil-hasil penelitian diharapkan untuk menambah wawasan khususnya
wawasan tentang Tradisi Kenduri pada Upacara Selametan dan status
hukumnya menurut hukum Islam.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari interpretasi dan kesalahpahaman pengertian
batasan istilah, maka peneliti menyampaikan batasan-batasan istilah sebagai
berikut :
1. Kenduri
Kenduri adalah acara ritual (serimonial) memperingati hari kematian
yang biasa dilaku-kan oleh umumnya masyarakat Indone-sia. Acara
tersebut diselenggarakan keti-ka salah seorang dari anggota keluarga
telah meninggal dunia. Secara bersama-sama, setelah proses penguburan
selesai dilakukan, seluruh keluarga, handai tau-lan, serta masyarakat
sekitar berkumpul di rumah keluarga mayit hendak menye-lenggarakan
acara pembacaan beberapa ayat al Qur‟an, dzikir, dan do‟a-do‟a yang
ditujukan untuk mayit di “alam sana” karena dari sekian materi
bacaannya ter-dapat kalimat tahlil ( اَل ِإَلَه ِإالَّ اهلُل ) yang diulang-ulang
(ratusan kali). (Muhammad Idrus Ramli, 2010:58).
2. Majelis Tafsir Al-Qur‟an
Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) merupakan sebuah lembaga
pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta.
MTA didirikan oleh Ustadz Abdullah Thufail Saputra pada pada tanggal
19 September 1972. Beliau seorang mubaligh keturunan Pakistan yang
juga berprofesi sebagai pedagang (http://www.mta.or.id/).
Maka dapat diartikan bahwa belajar menggunakan Al-Qur‟an sebagai
dasar pedomannya dalam Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) cabang binaan
Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.
Menurut uraian batasan-batasan istilah, dapat disimpulkan bahwa
pembahasan tentang judul: “ Kenduri Dalam Perspektif Majelis Tafsir Al-
Qur‟an (MTA) (Studi Kasus di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten
Semarang)” adalah mempelajari hukum kenduri berdasarkan Al-Qur‟an dan as-
Sunnah dalam pandangan warga Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di Desa
Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh penelitian yang valid, maka harus digunakan
metode yang tepat dan sesuai untuk pengolahan data sesuai obyek yang
dibahas. Dalam hal ini dikemukakan beberapa metode dan sumber data yang
berkaitan dengan penelitian yaitu :
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk jenis penelitian
kualitatif, yaitu suatu pendekatan dalam penelitian yang berorientasi pada
fenomena atau gejala yang bersifat alami. Mengingat tujuannya adalah
untuk mendapatkan data di lapangan, maka penelitian ini tidak dapat
dilakukan hanya di laboratorium, melainkan harus dilaksanakan di lapangan
(Ali, 1993:152). Selain itu penelitian ini juga disebut penelitian deskriptif
kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak
menggunakan prosedur analisis statistic atau cara kuantifikasi lain yang
tidak mengadakan perhitungan (Moleong, 2012:2).
Penelitian ini akan mengadakan penelitian di lapangan tanpa
menggunakan prosedur analisis statistik. Dalam hal ini peneliti akan
mengadakan penelitian langsung di Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di
Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang guna memperoleh
data-data yang akurat mengenai hukum Kenduri dalam pandangan Majelis
Tafsir Al-Qur‟an (MTA).
2. Kehadiran Peneliti
Dalam melakukan suatu penelitian, peneliti bertindak sebagai
pengumpul data dan sebagai instrument aktif dalam upaya pengumpulan
data di lapangan. Instrument digunakan sebagai alat bantu dan berupa
dokumen-dokumen yang dapat digunakan untuk menunjang keabsahan
penelitian. Oleh karena itu, kehadiran peneliti secara langsung menjadi tolak
ukur keberhasilan untuk memahami kasus yang diteliti, sehingga
keterlibatan peneliti secara langsung dan aktif dengan informan dan atau
sumber data lainnya di sini mutlak diperlukan.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat di mana penelitian akan
dilakukan, beserta jalan dan kotanya. Dalam penelitian ini peneliti
mengambil lokasi tempat pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA)
Bringin yang diadakan setiap hari Rabu jam 15.00-17.00.
4. Sumber Data
1) Data Primer
Menurut S.Nasution data primer adalah data yang diperoleh
langsung dari lapangan atau tempat penelitian (Nasution, 2004:64). Kata-
kata dan tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan
dengan mengamati atau mewawancarai. Data primer digunakan untuk
mendapatkan informasi langsung mengenai Majelis Tafsir Al-Qur‟an
(MTA) di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari sumber
bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang berupa surat pribadi,
buku harian, notula rapat, sampai dokumen yang resmi dari berbagai
instansi pemerintah. Peneliti menggunakan data sekunder ini untuk
memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah
dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan beberapa informan di
Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di Desa Bringin Kecamatan Bringin
Kabupaten Semarang.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Adapun dalam pengkajian skripsi ini peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data penelitian dengan cara sebagai berikut :
1) Metode Wawancara
Interview atau wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua
orang, melibatkan peneliti yang ingi memperoleh informasi dari
seseorang dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan
tujan tertentu. Menurut Esterberg (2002), dalam Sugiyono wawancara
merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam satu
topik. Ia juga mengemukakan beberapa macam wawancara yaitu
wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak terstruktur (Sugiyono,
2008:317).
Metode ini digunakan untuk mengetahui apa saja yang ada
dalam pikiran dan perasaan responden. Salah satu cara yang akan
ditempuh peneliti adalah melakukan wawancara secara mendalam
dengan subyek penelitian dengan tetap berpegang pada arah sasaran dan
fokus penelitian.
Adapun pihak-pihak yang diwawancarai adalah sebagai berikut:
1. Ketua cabang Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) Bringin, materi
wawancara adalah seputar Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) Bringin
Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang (sejarah berdirinya, letak
geografis, visi dan misi, kondisi peserta pengajian, guru, dan
pengurus, sarana prasarana).
2. Waka cabang Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di Desa Bringin, apa
saja problem yang dihadapi dalam Kenduri menurut pandangan
Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA).
3. Guru Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA), materi wawancara seputar
ilmu yang diajarkan, bagaimana cara penyampaian ilmu kepada
peserta pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA).
2) Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan pencarian data mengenai hal-
hal atau variabel yang berupa catatan-catatan, transkip, buku, surat kabar,
majalah, dan sebagainya (Arikunto, 1996:6). Metode dokumentasi juga
dapat diartikan sebagai metode pengumpulan data dengan cara mencari
data atau informasi yang sudah dicatat dalam beberapa dokumen yang
ada seperti buku induk, buku pribadi dan surat-surat keterangan lainnya.
Teknik ini diarahkan untuk mengupulkan berbagai informasi,
khususnya untuk melengkapi data dalam rangka menjawab pertanyaan
penelitian mengenai hukum kenduri menurut pandangan Majelis Tafsir
Al-Qur‟an (MTA) informasi atau data yang dikumpulkan melalui studi
dokumentasi antara lain :
a. Data tentang kondisi Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) Bringin, data
guru, pengurus, dan peserta pengajian.
b. Buku yang digunakan dalam pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an
(MTA) Bringin.
3) Observasi
Metode observasi merupakan pengamatan langsung dengan
melihat atau mengamati sendiri obyek yang akan diamati. Observasi juga
bisa diartikan sebagai pengamatan dengan sistematika fenomena-
fenomena yang diteliti. Sutrisno Hadi (1986) menyatakan dalam bukunya
Dr Sugiyono bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks,
suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis.
Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan
ingatan.
Metode ini digunakan untuk memperoleh data dan
mengumpulkan informasi mengenai Kenduri Dalam Perspektif Majelis
Tafsir Al-Qur‟an (MTA) Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten
Semarang.
6. Analisis Data
Analisis data kualitatif merupakan upaya yang dilakukan dengan
jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Dalam analisis
ini peneliti menggunakan tiga macam analisis yaitu reduksi data, penyajian
data, dan verifikasi data atau kesimpulan. Fokus analisa data ini pada ruang
lingkup hukum Kenduri menurut Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) serta
problematikanya.
a. Reduksi Data
Langkah awal ini untuk memudahkan pemahaman terhadap
yang sudah terkumpul, reduksi data dilakukan dengan cara
mengelompokkan data berdasarkan aspek-aspek permasalahan penelitian,
aspek-aspek yang direduksi dalam penelitian ini adalah : kenduri dalam
perspektif Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) serta problematikanya.
b. Penyajian Data
Data yang telah direduksi, kemudian disajikan dalam bentuk
deskripsi berdasarkan aspek-aspek dan penelitian, penyajian data
dimaksudkan untuk memudahkan peneliti menafsirkan data dan menarik
kesimpulan. Sesuai dengan aspek-aspek masalah penelitian ini, maka
susunan penyajian datanya dimulai dari hukum kenduri menurut Majelis
Tafsir Al-Qur‟an (MTA) Bringin dan problematikanya.
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Penarikan kesimpulan dan verifikasi dilakukan berdasarkan
pemahaman terhadap data yang telah dikumpulkan, sesuai dengan
hakikat penelitian kualitatif, penarikan kesimpulan ini dilakukan secara
bertahap, pertama menarik kesimpulan sementara, namun seiring dengan
bertambahnya data, maka harus dilakukan verifikasi dengan cara
mempelajari kembali data yang telah ada. Berdasarkan verifikasi data ini
selanjutnya peneliti dapat menarik kesimpulan akhir temuan penelitian.
7. Pengecekan Keabsahan Penelitian
Kriteria keabsahan data ada empat macam yaitu: (1) kepercayaan,
(2) keteralihan, (3) kebergantungan, (4) kepastian (Moelong, 2012:37).
Tetapi dalam penelitian ini peneliti hanya memakai 3 macam antara lain :
1) Kepercayaan
Kepercayaan data dimaksudkan untuk membuktikan data yang
dikumpulkan sesuai dengan yang sebenarnya.
2) Kebergantungan
Kriteria ini digunakan untuk menjaga kehati-hatian akan
terjadinya kemungkinan kesalahan dalam pengumpulan dan
menginterpretasikan data sehingga data yang dikumpulkan dapat dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
3) Kepastian
Kriteria ini digunakan untuk menilai hasil penelitian yang
dilakukan dengan cara mengecek data dan informan serta interpretasi
hasil penelitian yang didukung oleh materi yang ada pada pelacakan
audit.
8. Tahap-tahap Penelitian
a. Tahap pra-lapangan
Dalam tahap ini, yang dilakukan peneliti adalah menyusun rancangan
penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajaki
dan menilai keadaan lapangan, memilih dan memafaatkan informan,
serta menyiapkan perlengkapan penelitian.
b. Tahap pekerjaan lapangan
Pada tahap ini peneliti harus mempersiapkan diri dengan menjaga
kesehatan fisik, berpenampilan rapi dan sopan saat melakukan penelitian.
Ketika memasuki lapangan, hendaknya peneliti berbaur mejadi satu dan
menjaga keakraban dengan subyek agar tidak ada dinding pemisah antara
keduanya. Selain itu peneliti juga harus berbahasa yang baik dan jelas
agar dalam mencari informasi subyek mudah menjawabnya. Sambil
berperan serta, peneliti juga mencatat data yang diperlukan.
c. Tahap analisis data
Analisis data menurut Patton dalam kutipan Moleong (2009:103), adalah
proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola,
kategori, dan satuan uraian dasar. Dalam hal ini peneliti mengatur,
mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan
mengategorikannya.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika diperlukan untuk menata dan mengatur sistematika
penulisan sehingga mudah dibaca dan dipahami. Adapun sistematika penulisan
dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN : Memuat latar belakang masalah, fokus
penelitian masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI : Merupakan kajian teoritis yang berisi
tentang penegertian Kenduri dan hal-hal yang berkaitan dengan Majelis Tafsir
Al-Qur‟an (MTA).
BAB III PAPARAN HASIL PENELITIAN : Pada bab ini dipaparkan
tentang definisi obyek penelitian yaitu Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di
Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.
BAB IV PEMBAHASAN : Pada bab ini dijelaskan tentang hasil
penelitian yang diperoleh peneliti dalam melakukan penelitian di lapangan.
BAB V PENUTUP : Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran
dari pembahasan yang telah dilakukan serta daftar pustaka dan lampiran-
lampiran.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tradisi Kenduri
Ada dua pendapat mengenai latar belakang tradisi kenduri. Pendapat
yang pertama berasal dari Pengamat budaya dan sejarah Agus Sunyoto. Ia
mengemukakan bahwa budaya kenduri kematian yang dilakukan umat Islam di
Nusantara, khususnya di tanah Jawa bukan karena pengaruh Hindu atau Budha.
Dalam Agama Hindu atau Budha tidak dikenal kenduri dan tidak pula dikenal
peringatan orang meninggal pada hari ketiga, ketujuh, ke empat puluh, ke
seratus atau ke seribu. Akan tetapi, berdasarkan catatan sejarah menunjukkan
bahwa orang Cempa telah memperingati kematian seseorang pada hari ketiga (
nelung dina), ketujuh ( mitung dina), ke empat puluh (matang puluh), ke
seratus ( nyatus) dan ke keseribu ( nyewu). Orang-orang Cempa juga
menjalankan peringatan khaul, peringatan hari Assyuro dan maulid Nabi
Muhammad SAW. Kerajaan Cempa pada waktu itu dipengaruhi oleh Faham
Syi‟ah. Tradisi kenduri, termasuk khaul adalah tradisi khas Cempa yang jelas-
jelas terpengaruh faham Syi`ah. Begitu juga dengan perayaan 1 dan 10 Syuro,
pembacaan kasidah-kasidah yang memuji-muji Nabi Muhammad menunjukkan
keterkaitan tersebut. ( http://www.antara.co.id/arc/2008/4/27/kenduri-
kematian-bukan-pengaruh-hindu-budha/,akses tanggal 29 Sepetember 2016.)
Istilah kenduri itu sendiri menunjuk kepada pengaruh Syi`ah karena
dipungut dari bahasa Persia, yakni kanduri yang berarti upacara makan-makan
memperingati Fatimah Az Zahroh, putri Nabi Muhammad SAW. Agus
http://www.antara.co.id/arc/2008/4/27/kenduri-kematian-bukan-pengaruh-hindu-budha/,akseshttp://www.antara.co.id/arc/2008/4/27/kenduri-kematian-bukan-pengaruh-hindu-budha/,akses
Sunyoto juga mengemukakan bahwa ditinjau dari aspek sosio-historis,
munculnya tradisi kepercayaan di Nusantara ini banyak dipengaruhi pengungsi
dari Cempa yang beragama Islam. (
http://www.antara.co.id/arc/2008/4/27/kenduri-kematian-bukan-pengaruh-
hindu-budha/,akses tanggal 29 Sepetember 2016.)
Kepercayaan–kepercayaan dari agama Hindu dan Budha, maupun
kepercayaan Animisme dan Dinamisme itulah yang dalam proses
perkembangan Islam di Jawa selanjutnya terkontaminasi dengan kepercayaan -
kepercayaan tersebut. Sebagai contoh yang berkaitan dengan sisa-sisa
kepercayaan Animisme dan Dinamisme, ketika masyarakat mengesakan Allah
sering kali telah tercampuri baik secara sadar dan tidak dengan penuhanan
terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati maupun benda
hidup. Misalnya ketika seseorang telah mengerjakan sholat, puasa, tetapi masih
menjalankan ritual penyembahan terhadap benda hidup atau mati. Ritual itu
contohnya seperti pemberian sesaji pada pohon yang dianggap keramat dan
sesaji dalam suatu ritual, misalnya saja kenduri kematian. Padahal kepercayaan
Islam diyakini bahwa penyembahan kepada Tuhan hanya satu, yaitu Allah.
Kepercayaan dalam Islam yang lain bahwa kalau ada orang yang meninggal
dunia perlu dikirimi do‟a, maka muncul tradisi kirim do‟a, tahlilan, tujuh hari,
empat puluh hari, seratus hari, satu tahun, seribu hari setelah orang meninggal.
Do‟a kepada orang yang meninggal dunia merupakan anjuran menurut ajaran
Islam, sedangkan penentuan hari-hari sebagai data pelaksanaan upacara kirim
do‟a lebih diwarnai oleh warisan budaya Jawa pra Islam. (Amin,2000:128)
http://www.antara.co.id/arc/2008/4/27/kenduri-kematian-bukan-pengaruh-hindu-budha/,akseshttp://www.antara.co.id/arc/2008/4/27/kenduri-kematian-bukan-pengaruh-hindu-budha/,akses
Selanjutnya Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu
dengan sebutan kenduri atau slametan. Kenduri merupakan upacara sederhana
yang diselenggarakan oleh setiap keluarga Jawa untuk mohon keselamatan dan
kebahagiaan hidup roh leluhur atau roh nenek moyang. (Murniatno. Dkk,
2000:84)
Kenduri, dalam Islam dapat diartikan shodaqoh, karena adanya
makanan yang dibagi-bagikan pada masyarakat. Kemudian wali songo sedikit
demi sedikit mengajak para penduduk untuk mau memeluk agama Islam. Bagi
orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara, upacara-upacara itu berkaitan
dengan lingkaran hidup manusia sejak dari kandungan ibunya, kanak - kanak,
remaja, dewasa sampai dengan saat kematian dan setelahnya, atau juga upacara
- upacara yang berkaitan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari. Upacara -
upacara itu semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk
dari daya kekuatan gaib yang tidak dikehendaki yang akan membahayakan
bagi kelangsungan kehidupan manusia. Dalam kepercayaan lama, upacara
dilakukan dengan mengadakan sesaji yang disajikan kepada roh-roh, makhluk
halus, dewa - dewa. Tentu dengan upacara itu harapan pelaku adalah agar
hidup senantiasa dalam keadaan selamat. (Amin, 2000:130)
B. Pelaksanaan Tradisi
Kenduri Setiap masyarakat mempunyai suatu kebudayaan yang
berbeda dari kebudayaan masyarakat lain. Kebudayaan itu merupakan suatu
kumpulan yang berintegrasi dari cara-cara berlaku yang dimiliki bersama.
Kebudayaan yang bersangkutan secara unik mencapai penyesuaian kepada
lingkungan tertentu. (Ihromi,1987:32)
Kenduri merupakan tradisi yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita
terdahulu. Tradisi ini dilakukan untuk memperingati meninggalnya seseorang.
Masyarakat Jawa pada umumnya melakukan tradisi ini. Kenduri biasanya
dilaksanakan pada malam hari, setelah shalat Isya‟. Kenduri dilaksanakan
ketika ada orang yang telah meninggal atau geblaknya, kemudian pada malam
harinya sampai malam ke tujuh diadakan kenduri atau pengajian. Dalam
kenduri ini, berkathanya dibagikan pada waktu tujuh harinya, kemudian empat
puluh hari, seratus hari, dan pada hari keseribu.
Unsur-unsur Animisme dan Dinamisme hingga kini pengaruhnya
masih mewarnai sendi - sendi kehidupan masyarakat, terutama dalam ritualitas
kebudayaan. Hal ini bisa diamati pada seremonial-seremonial budaya dalam
masyarakat yang masih menunjukkan kepercayaannya terhadap makhluk
supranatural. Kepercayaan terhadap makhluk supranatural misalnya saja adalah
kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Islam memberikan warna baru pada
upacara upacara itu dengan sebutan kenduri atau slametan. Di dalam upacara
slametan ini yang pokok adalah pembacaan do‟a yang dipimpin oleh orang
yang dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam, apakah seorang modin
atau kaum. Berikut ini adalah deskripsi mengenai pelaksanaan kenduri pada
peringatan hari kematian yang dilakukan oleh masyarakat.
C. Acara Dalam Kenduri
1. Pembukaan
Pembukaan dilakukan oleh pengisi acara kenduri, yang tidak harus
tokoh agama atau kaum, tokoh masyarakat juga bisa dalam memimpin
pembukaan. Acara pembukaan ini diisi dengan ucapan terimakasih kepada
masyarakat karena telah bersedia mengikuti pengajian yang diadakan oleh
keluarga yang telah ditinggalkan.
2. Tahlilan
a. Pengertian Tahlil
Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya
membaca kalimat La Ilaha Illallah (Munawar Abdul Fattah, 2012: 276).
Kata tahlil merupakan kata yang disingkat dari kalimat La Ilaha Illallah.
Penyingkatan ini sama seperti takbir (dari Allahu Akbar), hamdalah (dari
Alhamdu Lillah), hauqalah (dari La Haula Wala Quwwata Illah Billah),
basmalah (dari Bismillah ar-Rahman ar-Rahim) dan sebagainya (Khozin,
2013:1).
Menurut Ramli (2010: 58) bahwa, “Tahlilan adalah tradisi ritual
yang komposisi bacaannya terdiri dari beberapa ayat Al-Qur‟an, tahlil,
tasbih, tahmid, sholawat, dan lain-lain. Bacaan tesebut dihadiahkan
kepada orang yang telah meninggal. Hal tersebut kadang dilakukan
secara bersama-sama (jama‟ah) dan kadang pula dilakukan sendirian.
Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak malam pertama orang
meninggal sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi pada hari ke-40,
hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjutnya dilakukan setiap tahun dengan
nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya.
Setelah pembacaan doa biasanya tuan rumah menghidangkan makanan
dan minuman kepada para jamaah. Kadang masih ditambah dengan
berkat (buah tangan berbentuk makanan matang). Pada
perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat, bukan
lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan,
seperti mie, beras, gula, teh, telur, dan lain-lain. Semua itu diberikan
sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah
meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa cinta yang
mendalam baginya (Nugroho, 2012:140).
Dalam konteks Indonesia, tahlilan menjadi sebuah istilah untuk
menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam
rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Sedang tahlil
secara istilah ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang
tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengakui Allah sebagai
Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagaimana dalam pentafsiran
kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil diistilahkan sebagai
rangkaian kegiatan do‟a yang diselenggarakan dalam rangka mendo‟akan
keluarga yang sudah meninggal dunia (Nugroho, 2012:140-141).
Di masyarakat biasanya acara tahlilan di tempatkan pada acara
inti pada setiap acara pertemuan. Misalnya, acara tasmiyah (memberi
nama anak) ada tahlilan, khitanan ada tahlilan, rapat-rapat ada tahlilan,
kumpul-kumpul ada acara tahlilan, pengajian ada tahlilan, sampai arisan
pun ada tahlilan (Fattah:276-277). Waktu yang digunakan untuk tahlilan
biasanya 15-20 menit dan bisa diperpanjang dengan cara membaca
kalimat la illaha illallah 100 kali, 200 kali, atau 700 kali. Atau
diperpendek misalnya 3kali, atau 21 kali. Semuanya itu disesuaikan
kebutuhan dan waktu.
Dalam penjabaran mengenai pengertian tahlilan di atas, dapatlah
ditarik kesimpulan bahwa tahlilan adalah kegiatan membaca kalimat
thayyibah khususnya La Illaha Illallah yang dilakukan seseorang atau
banyak orang dalam rangka mendo‟akan orang yang telah meninggal
dunia.
b. Sejarah Tahlilan
Acara tahlilan yang kedengarannya tak lagi asing di telinga
orang Indonesia merupakan salah satu tradisi zaman Wali Songo yang
sampai sekarang masih diamalkan oleh sebagian besar masyarakat. Asal-
usul tradisi ini sebenarnya berasal dari kebudayaan Hindu-Budha yang
termodifikasi oleh ide-ide kreatif para Wali Songo, penyebaran agama
Islam di Jawa. Awalnya tradisi tahlilan ini belum ada, sebab masyarakat
zaman dulu masih mempercayai kepada makhluk-makhluk halus dan
gaib. Oleh sebab itu, mereka berusaha meminta sesuatu kepada makhluk-
makhluk gaib tersebut berdasarkan keinginan yang dikehendakinya. Agar
keinginan itu terkabul, maka mereka membuat semacam sesajen yang
nantinya ditaruh di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti punden
dan pohon-pohon besar.
Melihat kenyataan tersebut, selain menyebar dakwah Islam, para
Wali Songo juga bertekad ingin merubah kebiasaan mereka yang sangat
kental akan nuansa tahayyul untuk kemudian diarahkan kepada kebiasaan
yang bercorak islami dan realistik. Untuk itulah, mereka berdakwah
lewat jalur budaya dan kesenian yang cukup disukai oleh masyarakat
dengan sedikit memodifikasi serta membuang unsur-unsur yang
berseberangan dengan Islam. Dengan begitu, agama Islam akan cepat
berkembang di tanah Jawa dengan tidak membuang mentah-mentah
tradisi yang selama ini mereka lakukan.
Lebih tepatnya tradisi ini identik dengan perpaduan antara
kebudayaan Jawa Kuno dengan tradisi Islam. Sehingga tidak sedikit dari
mereka yang secara terang-terangan menolak, bahkan menentang tradisi
ini. Sebab, mereka menyakini bahwa acara tahlilan merupakan amalan
yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sehingga termasuk bid‟ah.
Tradisi bacaan tahlilan sebagaimana yang dilakukan kaum
muslimin sekarang ini tidak terdapat secara khusus pada zaman Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya (Royyan, 2013:2). Tetapi tradisi
itu mulai ada sejak zaman ulama sekitar abad sebelas hijriyah yang
mereka lakukan berdasarkan istinbath Al-Qur‟an dan hadits Nabi
Muhammad SAW, lalu mereka menyusun rangkaian bacaan tahlilan,
mengamalkannay secara rutin dan mengajarkannya kepada kaum
muslimin.
Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang pertama kali
menyusun rangkaian bacaan tahlilan dan mentradisikannya. Sebagian
mereka berpendapat, bahwa yang pertama menyusun tahlil adalah Sayyid
Ja‟far Al-Barzanji, dan sebagian lain berpendapat, bahwa yang
menyusun pertama kali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad
(Royyan, 2013:2).
Pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang disebut di
atas adalah pendapat bahwa orang yang menyusun tahlilan pertama kali
adalah Imam Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddid yang wafat pada tahun
1132 H lebih dahulu daripada Sayyid Ja‟far Al-Barzanji yang wafat pada
tahun 1177 H.
Kalau kita perhatikan secara cermat susunan bacaan tahlilan
tidak terdapat di dalamnya satu bacaan pun yang menyimpang dari Al-
Qur‟an (Rinaldi, 2012:20). Semua bacaan yang ada bersumber dari Al-
Qur‟an. Kalaupun kemudian formatnya tidak diatur secara langsung di
dalamnya Al-Qur‟an dan Hadits, hal itu tidaklah masalah, karena ia
termasuk dzikir umum yang waktu, bilangan dan bacaannya tidak diatur
secara baku oleh kedua sumber utama hukum Islam tersebut.
3. Penutup
Pelaksanaan kenduri ini dilakukan dengan mengadakan acara
pengajian selama tujuh malam berturut-turut setelah meninggalnya
seseorang. Kenduri ini dilaksanakan sesudah shalat Isya‟. Dalam hal ini,
yang memimpin pengajian tersebut tidak mau disebut dengan istilah
kenduri, tetapi lebih berkenan disebut dengan pengajian. Dengan cara ini,
ada harapan dari pemimpin pengajian istilah kenduri dapat ditinggalkan dan
sedikit demi sedikit diganti dengan istilah pengajian. Pada malam ke
tujuhnya, berkat baru dibagikan kepada peserta pangajian.
Untuk malam-malam pengajian sebelumya hanya mendo‟akan
orang yang telah meninggal dan peserta pengajian hanya disajikan minuman
dan makanan kecil saja. Sebelum pengajian tersebut ditutup, tuan rumah
atau keluarga yang ditinggal membagi-bagikan berkat. Berkat ini diberikan
pada waktu tujuh harinya orang yang telah meninggal. Di dalam berkat
tersebut berisi nasi dan lauk-pauk sebagai ucapan terimakasih, karena telah
bersedia menghadiri kenduri dan ikut mendoakan bagi yang telah meninggal
dunia.
D. Majelis Tafsir Al - Qur’an
Dalam bahasa Arab, kata majelis (مجلس) adalah bentuk isim
makan (kata tempat) kata kerja dari (جلس) yang artinya tempat duduk,
tempat sidang, dewan (Munawir, 1997:202).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia pengertian majelis adalah
pertemuan atau perkumpulan orang banyak atau bangunan tempat orang
berkumpul (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994:615).
Dari pengertian terminologi tentang majelis di atas dapatlah
dikatakan bahwa majelis adalah tempat duduk melaksanakan pengajaran
atau pengajian agama Islam (Dewan Redaksi Ensiklopedi, 1994:120).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa majelis adalah
tempat perkumpulan orang banyak untuk mempelajari agama Islam melalui
pengajian yang diberikan oleh guru-guru dan ahli agama Islam.
1. Pengertian Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA)
Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) merupakan sebuah lembaga
pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta. MTA
didirikan oleh Ustadz Abdullah Thufail Saputra pada pada tanggal 19
September 1972. Beliau seorang mubaligh keturunan Pakistan yang juga
berprofesi sebagai pedagang (http://www.mta.or.id/).
Pendirian MTA dilatarbelakangi oleh kondisi umum umat Islam di
Indonesia pada akhir dekade 60-an dan awal dekade 70-an. Saat itu, ummat
Islam yang berjuang sejak zaman Belanda dalam bidang politik, ekonomi,
dan kultural, posisinya justru semakin terpinggirkan. Ustadz Abdullah
Thufail Saputra melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang semacam itu
disebabkan karena kurang memahami Al-Qur’an secara benar. Karena itu
beliau mendirikan MTA sebagai rintisan awal dalam mengajak umat Islam
kembali kepada Al-Qur’an.
MTA tidak ingin menjadi lembaga yang ilegal, juga tidak ingin
menjadi organisasi masa (ormas) ataupun organisasi politik (orpol), apalagi
menjadi underbow ormas atau parpol tertentu. Untuk memenuhi keinginan
ini, bentuk badan hukum yang dipilih MTA adalah yayasan. Pada tanggal 23
Januari tahun 1974, MTA resmi menjadi yayasan dengan akta notaris R.
Soegondo Notodirejo.
Pada dasarnya, MTA merupakan gerakan pemurnian syariat Islam
dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai dasar acuannya.
Hal ini disandarkan pada sabda Rosulullah Saw yang diriwayatkan oleh
Malik dan Hakim.
َتَرْكُت ِفْيُكْم َأْمَرْيِه َلْه َتِضلُّْىا َما َتَمسَّْكُتْم ِبِهَما ِكَتا َب اللَِّه َوُسىَُّة َوِبيِِّه
”Sungguh telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara, apabila engkau
berpegang teguh pada keduanya maka engkau akan selamat, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya” (HR. Malik).
Awalnya kajian MTA dilakukan di Masjid Marwah kelurahan
Semanggi dan juga di rumah kakaknya. Adapun pesertanya hanya warga di
sekitar Semanggi, dan beberapa orang dari wilayah sekitar Solo. Setelah
mendirikan MTA di Surakarta, Ustadz Abdullah Thufail Saputra membuka
cabang di beberapa daerah lain, yaitu di kecamatan Nogosari (Boyolali),
kecamatan Polan Harjo dan kecamatan Juwiring (Klaten), dan di kecamatan
Gemolong (Sragen).
Pekembangan berikutnya penyebaran MTA dilakukan oleh
siswasiswa yang sudah mengaji baik di MTA Pusat maupun di cabang-
cabang. Mereka membentuk kelompok-kelompok pengajian di daerah
asalnya masing-masing atau di perantauan. Mereka memiliki tanggungjawab
untuk menyebarkan ilmu walaupun tidak di instruksikan. Setelah menjadi
besar, kelompok-kelompok pengajian itu mengajukan permohonan ke MTA
Pusat agar dikirim guru pengajar sehingga kelompok-kelompok pengajian
itu pun menjadi cabang-cabang MTA yang baru. Dengan cara itu, tumbuh
cabang-cabang baru. Ketika di sebuah kabupaten sudah tumbuh lebih dari
satu cabang dan diperlukan koordinasi, maka dibentuklah perwakilan yang
mengkoordinir cabang-cabang tersebut yang bertanggungjawab membina
kelompok-kelompok baru sehingga menjadi cabang. MTA Pusat tidak
pernah menggunakan strategi top down dalam membentuk dan meresmikan
Perwakilan dan Cabang tapi secara buttom up.
Seiring dengan tumbuhnya cabang-cabang dan perwakilan-
perwakilan baru di berbagai daerah di Indonesia MTA memperoleh
strukturnya seperti sekarang ini. MTA pusat berkedudukan di Surakarta;
MTA perwakilan di daerah tingkat dua; dan MTA cabang di tingkat
kecamatan (kecuali di DIY, perwakilan berada di tingkat propinsi dan
cabang berada di tingkat kabupaten). Hingga kini MTA telah memiliki 34
perwakilan (tingkat kabupaten) dan 181 cabang (tingkat kecamatan) yang
tersebar di seluruh Indonesia (http://www.mta.or.id/).
Dalam ajarannya MTA berusaha keras mengikis tahayul, bid’ah
dan khurafat yang menurut mereka masih banyak berkembang di
masyarakat seperti, kenduren, nyadran, pergi ke dukun. Hal itu terbukti
dengan masih banyaknya Islam yang masih menyimpan jimat, rajah dan
sejenisnya. Sebagian anggota masyarakat secara sukarela menyerahkan
jimat yang mereka miliki saat mengikuti Pengajian Ahad Pagi di kantor
pusat MTA (http://mta-online.com, diakses tanggal 15 November 2015).
Untuk menyikapi budaya lokal yang berkembang di masyarakat,
MTA memiliki tiga pendekatan. Pertama, budaya lokal yang bisa sejalan
dengan Al-Qur’an dan Sunnah akan biarkan. Kedua, kalau budaya itu perlu
di luruskan maka akan luruskan. Ketiga, budaya lokal yang berlawanan
dengan ajaran Islam maka harus ditolak sama sekali. Contohnya halal bi
halal, walaupun tidak di contohkan dalam Islam namun berdasarkan
penelaahan dan kajian MTA itu tidak mengandung kemusyrikan, maka
dibiarkan saja. Namun kalau itu sudah memuja orang maka akan ditolak,
contohnya seperti tradisi keraton yang harus minta maaf sampai mencium
kaki (http://www.mta.or.id/). Dalam perkembangannya MTA semakin
mengukuhkan diri sebagai lembaga dakwah dengan berbagai aktivitasnya.
MTA menanamkan pemahaman dalam diri kader, bahwa sebagai
warga MTA dan bagian dari umat Islam mereka harus istiqomah dalam
mengkaji, memahami dan mengamalkan tuntunan Islam. Mereka harus
mengamalkan Islam dalam level pribadi, keluarga dan masyarakat. Dalam
MTA juga di tekankan kesatuan antara perkataan, hati dan amal, karena
itulah yang disebut iman. Kalau itu tidak bisa dilakukan maka MTA
mempersilakan orang tersebut untuk mencari organisasi lain.
(http://www.mta.or.id/). Selain itu mereka berkewajiban pula
mendakwahkan Islam kepada masyarakat yang dikelola dalam Pengajian
Binaan MTA.
http://www.mta.or.id/
Untuk mengkoordinasikan dan memantau kegiatan di perwakilan,
cabang dan binaan MTA, Majlis Tafsir Al-Qur’an Pusat setiap Ahad siang
jam 11.00 — 13.30 WIB menyelenggarakan pertemuan pengurus dan
Ustadz yang mengajar di MTA bertempat di Kantor Pusat MTA JI. Serayu
No. 12 Semanggi, Pasar Kliwon, Surakarta (http://mtapct.wordpress.com,
diakses tanggal 15 November 2015 ).
2. Tujuan MTA
Majelis Tafsir Al-Qur’an tidak merumuskan Visi dan Misi secara
eksplisit, namun pada dasarnya MTA berupaya mengamalkan Qur’an surat
Al-Isra’: 9
”Sesungguhnya Al-Qur‟an ini memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang
Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala
yang besar”. (Depag RI, 2005:283)
Oleh karena itu dalam Anggaran Dasar MTA, tujuan didirikannya
MTA adalah untuk mengajak umat Islam kembali ke AI-Qur’an. Sesuai
dengan nama dan tujuannya, pengkajian AI-Qur’an lebih ditekankan pada
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan AI-Qur’an dalam kehidupan
sehari-hari.
http://mtapct.wordpress.com/
3. Struktur Pengurus MTA
Struktur lembaga MTA sebagai lembaga terdiri atas pusat, perwakilan dan
cabang. MTA Pusat berkedudukan di Surakarta. Perwakilan berkedudukan
di tingkat kota/kabupaten kecamatan (kecuali DIY, perwakilan berada
ditingkat propinsi dan cabang berada di tingkat kabupaten). Cabang berada
di tingkat kecamatan. Dengan diresmikannya 127 perwakilan dan cabang
baru, hingga kini perwakilan dan cabang MTA berjumlah 426 yang tersebar
mulai Aceh, Jawa, Kalimantan, Bali dan NTB. Untuk mengkoordinasikan
dan memantau kegiatan di perwakilan, cabang dan binaan, MTA Pusat
setiap Ahad Pagi jam 11.00-13.00 WIB menyelenggarakan pertemuan
pengurus MTA cabang dan perwakilan bertempat di Kantor Pusat MTA, Jl.
Ronggowarsito No. III A Surakarta, Indonesia. Adapun struktur organisasi
MTA Pusat yaitu;
Ketua Umum : Drs. Ahmad Sukina
Ketua I : Suharto, S. Ag
Ketua II : Dahlan Harjotaroeno
Sekretaris I : Drs. Yoyok Mugiyatno, M. Si
Sekretaris II : Drs. Medi
Bendahara I : Mansyur Masyhuri
Bendahara II : Sri Sadono
(wawancara dengan Bp.Purwanto, 22 Agustus 2016)
4. Dasar MTA Menolak Tahlilan
Kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di desa
Bringin menolak tahlilan dengan mengambil dasar di dalam al-Qur‟an yaitu
surat An-Najm ayat 38-39 dan hadits riwayat Muslim yaitu sebagai berikut:
“ (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain,, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya,” (QS. An- Najm : 38-39) (Depag RI,
2005:436)
Dalam ayat tersebut bermaksud menyatakan bahwa seseorang tidak bisa
mendapat manfaat dari orang lain, Namun maksudnya, seseorang hanya
berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah
hak orang lain.
اْلَحِديِث ِكَتاُب اللَِّه َوَخْيُر اْلُهَدي ُهَدي ُمَحمٍَّد َوَشرُّ َأمَّا َبْعُد َفِإنَّ َخْيَر
اأُلُمىِر ُمْحَدَثاُتَها َوُكلُّ ِبْدَعٍة َضاَلَلٌة
“Amma ba‟du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu „alaihi
wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah)
dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum Majlis Tafsir Al-Qur’an di Bringin
1. Sejarah Berdirinya Majlis Tafsir Al-Qur’an di Bringin
Berdirinya Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin berangkat dari
adanya asumsi MTA bahwa masyarakat dewasa ini sudah termasuki budaya
asing melalui berbagai media informasi yang ada, yang belum tentu sesuai
tuntunan yang MTA pahami yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Kemerosotan itu
sudah sedemikian parah, yang ditandai dengan anak-anak dan remaja lebih
memilih bersenang-senang daripada rajin belajar.
Yang dewasa lebih memilih berhura-hura di cafe, pub dan diskotik
daripada bekerja keras untuk mensejahterakan diri dan masyarakatnya.
Yang lain suka mengkonsumsi minuman keras dan narkoba. Minuman keras
tersebar di mana-mana. Di atas kertas dilarang, namun di lapangan dibiarkan
merajalela. Razia hanya sebatas formalitas, bukan untuk memberantas.
Sedang perzinaan sudah sampai dalam tingkat yang sangat meresahkan.
Berbagai indikator sebagai tanda-tanda kehancuran suatu bangsa
telah banyak terlihat di mana-mana. Dalam kondisi seperti ini, MTA tidak
bisa bersikap acuh tak acuh, sebab keselamatan bangsa ini tergantung
bagaimana model kehidupan yang di adopsi. Kejayaan bangsa ini tergantung
pada keberhasilan seluruh komponen bangsa dalam membangun akhlak.
Oleh karena itu tergantung bagaimana kita membangun kembali iman dan
takwa kita kepada Allah SWT di tengah puing-puing kehancuran moral
bangsa.
Sehubungan dengan persoalan seperti itulah diperlukan berbagai
cara untuk mencegah keterpurukan bangsa Indonesia ke kondisi yang lebih
buruk. Salah satu caranya adalah dengan saling menyeru dan bersamasama
bergandeng tangan melangkah ke depan untuk memperbaiki kualitas iman
dan taqwa. Berbagai sarana bisa digunakan dan dimanfaatkan untuk
mencapai tujuan itu, salah satunya adalah memanfaatkan media dakwah atau
kenduri. Oleh karena itu MTA mendirikan majelis kenduri di Bringin untuk
mempermudah masyarakat yang ingin mengikuti kenduri sebagai media
dakwah MTA.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan kajian MTA di Bringin
semakin mendapat respon yang positif. Sebagian masyarakat Bringin
mengikuti kegiatan kajian ini yang dilaksanakan setiap hari Rabu pukul
14.00 WIB. Tidak hanya melakukan kajian saja, dalam kegiatan ini
disajikan juga berbagai informasi berupa pendidikan, ekonomi dan bisnis,
kesehatan, teknologi, sampai pertanian.
2. Visi dan Misi Majlis Tafsir Al-Qur’an Bringin
a. Visi
Adapun visi diadakannya kenduri Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Bringin
yaitu;
” Membangun mental spiritual warga Kecamatan Bringin sehingga
menjadi makhluk sosial maupun individu yang memiliki jati diri dan
berakhlak mulia.” (wawancara dengan bapak Purwanto pada tanggal 16
Oktober 2015)
Dari visi diatas di atas terlihat gambaran jelas pribadi yang
diharapkan sebagai hasil dari dakwah MTA melalui media kenduri.
Yakni warga Kecamatan Bringin yang bisa memerankan diri sebagai
makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari lingkungannya. Disamping itu
juga menjadi individu yang berkepribadian unggul, religius, memiliki jati
diri dan berakhlak mulia.
b. Misi
Visi organisasi mempunyai gambaran menyeluruh tentang
kemana organisasi akan dibawa kemasa depan, sedangkan misi adalah
suatu pernyataan tentang apa yang dilakukan oleh berbagai unit
organisasi dan apa yang mereka harapkan untuk mencapai visi
organisasi.Misi bisa juga bisa merupakan bagian visi yang biasanya
mencerminkan norma perilaku yang menjadi pedoman anggota
organisasi. Karena itu suatu organisasi umumnya hanya memiliki satu
visi dengan satu atau beberapa misi untuk mewujudkan visi tersebut
(Kuncoro, 2005: 60).
Untuk dapat mencapai tujuan dakwah sebagaimana tersirat
dalam visi MTA Bringin maka disusunlah beberapa misi sebagai berikut:
1) Mewujudkan Visi dari segi program
Menjadi komunitas dakwah yang dipercaya dan dikelola untuk
menyajikan program yang sesuai dan diharapkan oleh warga Bringin.
2) Mewujudkan visi dari segi manajemen
Menjalankan organisasi dengan efektif dan efisien serta tanggap atas
segala perubahan yang terjadi.
3) Berdasarkan Latar belakang
Menitikberatkan pada penyampaian informasi dan persuasi untuk
menumbuhkan kesadaran dan pemahaman warga Kecamatan Bringin
terhadap perlunya memperkuat jati diri sebagai warga masyarakat
yang berbudaya.
Arah utama pernyataan misi kenduri MTA di Kecamatan Bringin
tersebut diatas bersifat eksternal, berfokus pada jamaah, dan secara tipikal
menspesifikasikan pada usaha tertentu yang akan dilakukan MTA
Kecamatan Bringin dalam mencapai visi dakwahnya.
3. Manajemen Majlis Tafsir Al-Qur’an Bringin
a. Alamat MTA
Rumah Bapak Zamahsari Jl. Diponegoro No. 36 Desa Bringin Kec.
Bringin Kab. Semarang
Letak geografis
Sebelah utara : berbatasan dengan sawah
Sebelah selatan : berbatasan dengan jalan raya bringin salatiga
Sebelah barat : berbatasan dengan Toko besi, Emas Zam Zam
bringin
Sebelah timur : berbatasan dengan rumah ibu tukinem
Luas gedung : 182 m2 dengan ukuran 13m x 14m
b. Struktur organisasi Tahun 2014/2017
Ketua : Bapak Suyanto
Sekretaris : Bapak Purwanto
Bendahara : Bapak Ahmad Rasipan (wawancara dengan bapak
Purwanto pada tanggal 16 Oktober 2015)
c. Nama Ustadz yang Mengisi
Ustadz setip 6 bulan sekali bergantian dengan cabang MTA lain. Untuk
yang mengisi saat ini yaitu:
1) Bapak Juwair mengisi pada minggu 1
2) Bapak Tantowi mengisi pada minggu 2
3) Bapak Juwair mengisi pada minggu 3
4) Bapak Saiful mengisi pada minggu 4
5) Bapak suyanto mengisi pada minggu 5
(wawancara dengan bapak Purwanto pada tanggal 16 Oktober
2015)
d. Materi yang diajarkan
Materi yang diajarkan sesuai dengan Al-Qur‟an dan Sunnah berdasarkan
materi Brosur Ahad Pagi dari Majelis Pusat Solo.
e. Jumlah Peserta Pengajian
Laki-laki : 11 orang
Perempuan : 25 orang
Table 1
Daftar nama peserta perempuan
No Nama Peserta
1 Suriyah
2 Purwiyati
3 Romdanah
4 Sundari
5 Sujini
6 Rini Ernawati
7 Suryati
8 Sri Ruwahni
9 Sri Insiati
10 Sutimah
11 Sri Murdiningsih
12 Winarti
13 Aviyanti
14 Flora
15 Puji Rahayu
16 Rizky Suroni
17 Ambarwati A
18 Lutfia Nurul Aini
19 Dika Yuliana
20 Endang Suprapti
21 Amin Farida
22 Ambarwati B
23 Nita
24 Nur Afifah
25 Lilik Setyowati
Table 2
Daftar nama peserta laki-laki:
No Nama Peserta
1 Suyanto
2 Purwanto
3 Ahmad Rasipan
4 Towil
5 Rusbandi
6 Tofik
7 Eko
8 Kholil
9 Sugiyanto
10 Zamansari
11 Rokhim
12 Muhammad Arifin
13 Susanto
14 Zaenal
15 Romdhoni
16 Jupri
19 Chodirin
f. Kegiatan-kegiatan di MTA cabang Bringin
a. Pengajian Rutin
Pengajian rutin dilaksanakan setiap hari Rabu pukul 14.30-17.00.
Pukul 14.30 dimulai dengan membaca Al-Qur‟an bersama-
sama,dilanjutkan solat „Asyar dan setelah solat „Asyar dimulai
pengajian yang diisi oleh ustadz. Ustadz menyampaikan materi brosur
Ahad Pagi yang berasal dari MTA pusat Solo, dilanjutkan tanya jawab
dengan peserta sampai pukul 17.00.
b. Qurban
Setiap tahun MTA Bringin mengadakan Qurban dan dibagikan kepada
masyarakat Bringin yang mempunyai hak menerima daging qurban.
c. Paket Merdeka
Setiap bulan Agustus, tepatnya tgl 17 Agustus MTA Bringin
mengadakan Paket Merdeka dengan membagikan sembako kepada
warga masyarakat Bringin berupa sembako dan kebutuhan sehari-hari.
d. Nafar
Nafar dilakukan setiap bulan Ramadhan dengan menukarkan peserta
MTA Bringin dengan peserta cabang lain untuk mempelajari ilmu Al-
Qur‟an dan Sunnah di tempat cabang MTA lain.
e. Ahad Pagi
Peserta MTA Bringin selalu rutin mengadakan rombongan untuk ke
MTA Pusat di Solo mengikuti pengajian Ahad Pagi. Untuk ibu-ibu
setiap sebulan sekali pada Minggu pertama. Untuk bapak-bapak setiap
Minggu pasti ada rombongan.
B. Pandangan Kelompok Pengajian Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) Di Desa
Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang Terhadap Kenduri.
Pada penelitian ini penulis mengumpulkan beberapa data terkait
dengan pandangan kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di
desa Bringin terhadap kenduri. Penulis mengumpulkan data melalui beberapa
informan yaitu, Ketua Majlis Tafsir Al-Qur‟an desa Bringin, Ustadz yang
mengajar, dan peserta pengajian Majlis Tafsir Al-Qur‟an desa Bringin.
a. Ketua Majlis Tafsir Al-Qur‟an desa Bringin
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Majlis Tafsir Al-
Qur‟an desa Bringin bapak Suyanto, beliau menjelaskan bahwa:
“Kenduri adalah ritual yang dilakukan untuk memperingati dan
mendoakan orang yang telah meninggal dan biasanya dilakukan pada
hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan dilanjutkan dilakukan
pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya.
Saya setelah mengenal MTA tidak melaksanakan kenduri karena
kenduri adalah amalan yang tidak ada dasarnya dalam Al-qur‟an dan
Sunnah. Dan di masyarakat banyak hal-hal tradisi, kebiasaan yang
secara tekstual tidak ada dasarnya tapi dilaksanakan. Jadi sampai saat
ini saya tidak melaksanakan kenduri, tetapi saya tidak
mengharamkannya.” (wawancara dengan bapak Suyanto pada tanggal
14 Februari 2016)
Dari hasil wawancara dengan bapak Suyanto, dapat penulis
simpulkan bahwa, kenduri hanya ritual yang dilakukan untuk mendo‟akan
orang meninggal. Sama seperti pemahaman kebanyakan orang, dan
bahwasanya ritual kenduri adalah amalan yang tidak ada dasarnya di dalam
Al-Quran.
b. Ustadz yang mengajar
Berdasarkan hasil wawancara dengan ustadz di Majlis Tafsir Al-
Qur‟an desa Bringin bapak Juwair, beliau menjelaskan bahwa:
“Kenduri adalah tradisi yang sudah mengakar di tengh-tengah
masyarakat. Kenduri biasanya dilengkapi dengan yasinan yang
digunakan untuk memperingati hari kematin seseorang. Orang yang
punya hajat biasanya mengundang sanak saudara untuk kenduri yang
pahalanya dikirimkan untuk orang yang meninggal. Sedangkan
kenduri tidak diajarkan oleh rasulullah. Sehingga pahala yang akan
dikirimkan kepada orang yang meninggal tidak sampai.” (wawancara
dengan bapak Juwair pada tanggal 15 Februari 2016)
Dari hasil wawancara dengan bapak Juwair, dapat penulis
simpulkan bahwa, kenduri adalah tradisi yang mengakar di tengah-tengah
masyarakat. Kenduri biasanya di lengkapi dengan membaca surat yasin
(yasinan) yang di gunakan untuk memperingati hari kematian, sedangkan
kenduri tidak di ajarkan oleh Rosulullah. Dan berpendapat bahwa pahala
yang dikirim kepada orang yang sudah meninggal melalui kenduri tidak
akan sampai.
Sejalan dengan apa yang di sampaikan dengan bapak Juwair,
bapak Saiful juga berpendapat bahwa kenduri hanya sekedar ritual
keagamaan yang telah mengakar di tengah-tengah masyarakat.
“Kenduri hanya ritual yang di lakukan masyarakat dalam mendoakan
orang yang sudah meninggal, padahal itu tidak di ajarkan oleh
Rosulullah dan kemungkinan doa – doa yang di kirim kepada orang
yang sudah meninggal tidak akan sampai.” (wawancara dengan bapak
Saiful pada tanggal 15 Februari 2016)
c. peserta pengajian Majlis Tafsir Al-Qur‟an
Berdasarkan wawancara dengan beberapa peserta atau jamaah
pengajian MTA di Bringin, bahwa kenduri yang di dalamnya merupakan
merupakan kalimat yang harus selalu diucapakan sebagai pengingat kepada
Allah SWT. Akan tetapi kenduri menurut saya sebagai warga MTA tidak
ada tuntunannya. Kenduri adalah tradisi budaya, tetapi tidak ada
tuntunannya. Jadi saya meninggalkannya karena itu tidak dicontohkan oleh
rasulullah. Bagimu amalanmu bagiku amalanku.
“Tahlil merupakan kalimat yang harus selalu diucapakan sebagai
pengingat kepada Allah SWT. Bahkan jika di akhir hayat mampu
mengucapkan kalimat tahlil dijamin surga. Akan tetapi kenduri
menurut saya sebagai warga MTA tidak ada tuntunannya. Kenduri
adalah tradisi budaya, tetapi tidak ada tuntunannya. Jadi saya
meninggalkannya karena itu tidak dicontohkan oleh rasulullah.
Bagimu amalanmu bagiku amalanku.” (wawancara dengan bapak
Sugiyanto pada tanggal 17 Februari 2016)
Hampir serupa juga di sampaikan oleh ibu Nur Afifah bahwa
kenduri yang di dalamnya merupakan amalan – amalan yang melafalkan
kaliamat kalimat untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Tetapi di
MTA tidak di ajarkan karena hanya tradisi dan ritual masyarakat saja, tapi
secara umum tidak mengharamkan atau membid‟ahkan ritual kenduri yang
sudah menjadi ritual dimasyarakat.
“kenduri merupakan amalan-amalan yang dilakukan masyarakat untuk
mendoakan orang yang sudah meninggal, tapi di MTA tidak diajarkan
tentang kenduri karena tidak ada tuntunannya. Saya secara umum
tidak menolak atau mengharamkan adanya kenduri dimasyarakat
karena sudah menjadi tradisi dan ritual keagamaan di tengah
masyarakat.” (wawancara dengan ibu Nur Afifah pada tanggal 17
Februari 2016)
Lain halnya dengan bapak Rusbandi walaupun dia mengikuti
pengajian MTA tapi terkandang masih ikut dalam ritual atau tradisi kenduri
yang ada di daerah asalnya. Dengan alasan untuk menjaga hubungannya
dengan masyarakat sekitarnya yang notabennya masih ada kenduri, dan
berpendapat mungkin saja amalan dan doa-doa yang di lafalkan dalam
kenduri dapat sampai kepada keluarganya yang sudah meninggal walaupun
di dalam pengajian MTA tidak ada tuntunannya.
“kenduri adalah ritual yang di dalamnya merupakan amalan dan doa-
doa yang dilafalkan untuk orang yang sudah meninggal, terkadang
saya juga ikut dalam acara kenduri di daerah saya karena saya ingin
menjaga saja hubungan saya dengan masyarakat. Karena saya juga
hidup di dalam masyarakat, mungkin saja amalan atau do-doa yang di
lafalkan itu pahalanya sampai kepada keluarga saya yang sudah
meninngal. Walaupun di pengajian MTA tidak ada tuntunannya”
(wawancara dengan bapak Rusbandi pada tanggal 17 Februari 2016)
Dapat dipahami dari hasil wawancara dengan beberapa informan
diatas terkait pandang kelompok pengajian Majlis Tafsir Al-Qur‟an di
Bringin tentang kenduri, bahwa kenduri itu hanya ritual atau tardisi yang
berlangsung di tengah-tengah masyarakat yang di situ ada amalan dan doa-
doa yang bertujuan untuk mendoakan orang yang sudah meninngal. Akan
tetapi di dalam pengajian MTA tidak diajarkan dan tidak ada tuntunannya
karena Rosulullah tidak pernah mengajarkan tentang kenduri. Walaupun
masih ada peserta atau jama‟ah dari pengajian MTA yang mengikuti tradisi
kenduri itu dengan alasan untuk menjaga hubungan dengan masyarakat
karena merasa bahwa mereka hidup di tengah – tengah masyrakat yang
percaya dan melakukan ritual kenduri sebagai cara mendoakan orang yang
sudah meninggal.
C. Dasar kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di Desa
Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang menolak Kenduri
Kenduri menjadi kontroversi di berbagai aliran keagamaan, karena di
anggap tidak ada landasan atau dasar (dalil dan hadist) yang fokus atau khusus
membahas tentang kenduri itu sendiri. Seperti halnya kelompok pengajian
Majlis Tafsir Al-Qu‟an (MTA) di desa Bringin.
Dari hasil penelitian tentang bagaimana yang mendasari kelompok
pengajian MTA di desa Bringin menolak kenduri akan peneliti paparkan
sebagai berikut:
Menurut ketua kelompok pengajian MTA di desa Bringin bapak
Suyanto mengungkapakan bahwa kenapa MTA secara umum dan saya secra
khusus menolak kenduri karena tidak ada aturan atau dasar baik didalam al-
Qur‟an dan hadist yang menjelaskan tentang perintah melakukan kenduri untuk
mendoakan orang yang sudah meninggal.
“Dasar saya menolak kenduri adalah karena kenduri tidak ada perintah
baik dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. (wawancara dengan bapak
Suyanto pada tanggal 15 Februari 2016)
Hal serupa juga disampaikan oleh ustadz yang mengajar di pengajian
MTA di desa Bringin, bahwa secara jelas tidak ada dalil al-Qur‟an yang
memperintahkan untuk melakukan kenduri walaupun ada hadist yang
menganjurkan kenduri tapi itu termasuk hadist dhoif.
“Yang mendasari saya menolak kenduri adalah tidak ada dalam Al-
Qur‟an dan Sunnah. Haditsnya pun juga dhaif, sehingga saya
meninggalkan kenduri.” (wawancara dengan bapak Juwair pada
tanggal 15 Februari 2016)
Bahkan salah satu dari ustadz yang mengajar di pengajian MTA
menganggap kenduri adalah sesuatu yang bid‟ah, karena rosulullah tidak
pernah mengajarkan dan di dalam al-Qu‟an dan sunnah tidak ada yang
memperintahakan atau menganjurakan kenduri.
“Yang menjadi dasar saya menolak kenduri adalah tidak sesuai
dengan ajaran rasulullah (sunnah) dan Al-Qur‟an, maka saya
meninggalkannya. Karena ibadah yang tidak ada tuntunannya maka
termasuk bid‟ah,sehingga saya meninggalkannya.” (wawancara
dengan bapak Saiful pada tanggal 15 Februari 2016)
Dari beberapa peserta atau jama‟ah pengajian MTA semua
berpendapat sama tentang bagaimana yang mendasari mereka menolak
kenduri, semua berpendapat mengapa mereka menolak kenduri karena
rosulullah tidak pernah memperintahkan ataupun mengajurkan kenduri.
“Hal yang menjadi dasar saya menolak kenduri adalah tidak sesuai
dengan al-qur‟qn dan sunnah. Dan kita berusaha untuk kembali
kepada ajaran rosul dan al qur‟an.” (wawancara dengan jama‟ah
pengajian MTA pada tanggal 17 Februari 2016)
Bahkan ada yang berpendapat tradisi kenduri adalah tradisi tersebut
telah bercampur dengan tradisi agama pra islam di Jawa yaitu Hindu dan
Budha, sehingga prakteknya haram untuk dilakukan karena menyerupai
(Tasyabbuh) dengan tradisi agama lain.
“Hal yang menjadi dasar saya menolak kenduri adalah tidak sesuai
dengan al-qur‟qn dan sunnah. Dan kita berusaha untuk kembali
kepada ajaran rosul dan al qur‟an. Karena tradisi kenduri itu
bercampur dengan tradisi agama pra islam di jawa yaitu Hindu dan
Budha” (wawancara dengan jama‟ah pengajian MTA pada tanggal 17
Februari 2016)
Dapat dikatakan dari hasil wawancara tentang hak yang mendasari
kelompok pengajian MTA menolak kenduri adalah tidak adanya ajaran dari
Rosulullah tentang kenduri bahkan di dalam al-Qu‟an dan Sunnah yang
memperintahkan tentang kenduri. Karena mereka beranggapan bahwa kenduri
itu adalah tradisi agama pra Islam yaitu Hindu dan Budha. Sehingga bid‟ah
untuk dilakukan karena tidak sesuai dengan tradisi dan ajaran agama islam.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan dari teori yang dipaparkan pada Bab II dan data yang di
hasilkan dari wawancara, dokumentasi, dan observasi di kelompok pengajian
Majlis Tafsir Al –Qur‟an (MTA) di desa Bringin kec. Bringin mengenai Kenduri
dalam perspektif kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di desa
Bringin kec. Bringin yang di paparkan di Bab III, maka peneliti akan melakukan
analisa data untuk menjelaskan lebih lanjut dari penelitian. Sesuai dengan teknik
analisis yang telah di pilih oleh peneliti yaitu analisis diskriptif kualitatif
(pemaparan) yang menggambarkan fenomena yang ada saat ini atau lampau dari
seluruh data hasil wawancara, dokumentasi dan observasi.
A. Analisis Pandangan Kelompok Pengajian Majelis Tafsir Al-Qur’an (Mta)
Di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang Terhadap
Kenduri
Acara kenduri adalah suatu kegiatan yang di dalamnya membaca
kalimat tauhid (tahlil) la illaha illallah (tiada Tuhan selain Allah SWT),
dzikir, dan membaca sejumlah ayat Al-Qur‟an dan dilakukan sebagian
besar umat Islam di Indonesia. Kenduri ini dilaksanakan dalam
memperingati hari meninggalnya seseorang pada waktu tertentu untuk
mengirim doa agar Allah SWT mengampuni semua dosa-dosanya, dan untuk
mengingatkan kepada yang masih hidup bahwa mereka akan mengalami fase
hidup yang sama, yakni meninggal.
Pada umumnya, prosesi kenduri yang dilakukan dengan
Pembacaan surat Al-Fatihah pertama diniatkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarganya. Pembacaan surat Al-Fatihah kedua diniatkan kepada para
Malaikat, para Nabi, para Ulama, dan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani. Al-
Fatihah ketiga diniatkan kepada kaum Muslim secara umum dan kepada yang
meninggal beserta keluarga secara khusus. Kemudian dilanjutkan dengan
pembacaan tahlil, tahmid dan tasbih, dan diakhiri dengan do'a.
Tapi menurut pandangan kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-
Qur‟an (MTA) di desa bringin berpandangan bahwa kegiatan atau ritual yang
berlangsung di masyarakat yaitu kenduri adalah hanya tradisi yang dilakukan
turun temurun untuk memperingati atau mendoakan orang atau keluarga yang
sudah meninggal dan biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga
hari ketujuh, dan dilanjutkan dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Melaksanakan kenduri adalah suatu
amalan yang tidak ada dasarnya dalam Al-qur‟an dan Sunnah bahkan
Rosulullah tidak pernah mengajarkannya. Dan di masyarakat banyak hal-hal
tradisi, kebiasaan yang secara tekstual tidak ada dasarnya tapi dilaksanakan.
Secara fungsinya kenduri adalah kegiatan mengirim doa kepada
orang yang sudah meninggal supaya diampuni segala dosa-dosanya tetapi
berfungsi lain sebagai mempererat shilaturahmi dan jalinan ukhuwah
Islamiyah, menumbuhkan persaudaraan sesama muslim. Sebagai sarana syiar
islam, shadaqah (menggalakkan shadaqah bagi yang mampu) melalui
pembagian makanan, niat baik dan ucapan yang baik, acara seperti ini
termasuk ibadah, karena di dalamnya dibacakan Alquran, doa, dan dzikir,
mengingatkan adanya kepergian seseorang (meninggal) serta mengajak dan
mempersiapkan diri dalam menghadapi meninggal, menghibur keluarga dan
mengurangi beban keluarga yang meninggal, menentramkan dan
membersihkan hati orang yang membaca maupun keluarga yang meninggal.
Tapi menurut kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an
(MTA) di desa bringin bahwa kenduri yang disitu berfungsi mendoakan orang
yang sudah meninggal, Orang yang punya hajat biasanya mengundang sanak
saudara untuk acara kenduri yang didalamnya mengirim do‟a – do‟a untuk
orang yang meninggal. Sedangkan kenduri tidak diajarkan oleh rasulullah.
Sehingga pahala yang akan dikirimkan kepada orang yang meninggal tidak
sampai.
B. Analisis yang mendasari kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur’an
(MTA) di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
menolak Kenduri
Kenduri adalah upacaranya yang dikaitkan dengan tujuh hari
kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, Selamatan
tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh
budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah
begitu berakar dalam masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan dengan
ibadah, maka kita harus kembali kepada tuntunan Islam.
Maka menurut kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an
(MTA) di desa Bringin mengapa mereka menolak akan kenduri adalah tidak
adanya sumber rujukan atau perintah yang jelas dari Al-Qur‟an dan Sunnah,
bahkan Rosulullah tidak mengajarkannya. Kelompok pengajian Majelis Tafsir
Al-Qur‟an (MTA) di desa Bringin menolak kenduri dengan mengambil dasar
di dalam al-Qur‟an yaitu surat An-Najm ayat 38-39 dan hadits riwayat Muslim
yaitu sebagai berikut:
“ (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain,, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya,” (QS. An- Najm : 38-39) (Depag RI,
2005:436)
Dalam ayat tersebut bermaksud menyatakan bahwa seseorang tidak bisa
mendapat manfaat dari orang lain, Namun maksudnya, seseorang hanya
berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah
hak orang lain.
اْلَحِديِث ِكَتاُب اللَِّه َوَخْيُر اْلُهَدي ُهَدي ُمَحمٍَّد َوَشرُّ َأمَّا َبْعُد َفِإنَّ َخْيَر
اأُلُمىِر ُمْحَدَثاُتَها َوُكلُّ ِبْدَعٍة َضاَلَلٌة
“Amma ba‟du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu „alaihi
wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid‟ah) dan
setiap bid‟ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Maka sebagai umat Islam sikap yang harus diambil adalah
menjauhi atau meninggalkan perbuatan yang memang tidak pernah dituntunkan
oleh Rasulullah saw dan sekaligus memberikan nasehat dengan cara yang
ma'ruf (mauidlah hasanah) jangan menjalankan praktek-praktek yang tidak
dituntunkan oleh Rasulullah saw tersebut. Dan juga kenduri itu adalah tradisi
agama pra islam yaitu Hindu dan Budha. Sehingga haram dan bid‟ah untuk
dilakukan karena tidak sesuai dengan tradisi dan ajaran agama Islam.
Majlis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di desa Bringin juga menganggap
bahwa ritual atau tradisi kenduri yang sudah berlangsung di tengah-tengah
masyarakat ini adalah hal yang haram dan bid‟ah untuk dilakukan oleh umat
islam. Lebih baiknya kalau mendoakan orang yang sudah meninggal itu sendiri
saja ketika habis melakukan sholat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian serta pemahaman yang mengacu pada
rumusan masalah, dan pembahasan dan analisis tentang Kenduri dalam
perspektif kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di desa
Bringin kec. Bringin, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pandangan kelompok pengajian Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di desa
bringin bahwa kegiatan atau ritual yang berlangsung di masyarakat yaitu
kenduri adalah hanya tradisi yang dilakukan turun temurun untuk
memperingati atau mendoakan orang atau keluarga yang sudah meninggal
dan biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh,
dan dilanjutkan dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama,
kedua, ketiga dan seterusnya. Melaksanakan kenduri adalah amalan yang
tidak ada dasarnya dalam Al-qur‟an dan Sunnah bahkan Rosulullah tidak
pernah mengajarkannya. Dan di masyarakat banyak hal-hal tradisi,
kebiasaan yang secara tekstual tidak ada dasarnya tapi dilaksanakan.
Dan kenduri secara fungsi tidak ada karena kenduri yang pahalanya
dikirimkan untuk orang yang meninggal. Sedangkan kenduri tidak
diajarkan oleh Rasulullah. Sehingga pahala yang akan dikirimkan kepada
orang yang meninggal tidak sampai.
2. Mereka menolak akan kenduri adalah tidak adanya sumber rujukan atau
perintah yang jelas dari Al-Qur‟an dan Sunnah, bahkan Rosulullah tidak
mengajarkannya. Mereka mengambil dasar di dalam al-Qur‟an yaitu surat
An-Najm ayat 38-39 dan hadits riwayat Muslim. Maka sebagai umat islam
sikap yang harus diambil adalah menjauhi atau meninggalkan perbuatan
yang memang tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah saw dan sekaligus
memberikan nasehat dengan cara yang ma'ruf (mauidlah hasanah) jangan
menjalankan praktek-praktek yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah saw
tersebut. Dan juga kenduri itu adalah tradisi agama pra islam yaitu Hindu
dan Budha. Sehingga tidak sesuai dengan tradisi dan ajaran agama Islam.
Majlis