YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

HUBUNGAN ANTARA METAKOGNISI DAN MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN KREATIVITAS

 

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian atau keberhasilan seseorang di dalam

bidang akademik. Namun pada penelitian ini peneliti akan meneliti peranan dan kaitan antara

metakognisi, afektif dan sosial terhadap prestasi TOEFL dengan motivasi sebagai variable intervening.

Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan memainkan peran yang sangat penting di dalam

Page 2: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

mempengaruhi keberhasilan akademik di kalangan mahasiswa di dalam pencapaian nilai TOEFL yang

diinginkan.

Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa

diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun

tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 keterampilan menyimak (listening

skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills), dan

keterampilan menulis (writing skills). Keempat keterampilan tersebut sebagai sarana intelektual.

Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang berbahasa maka semakin

cerah dan jelas jalan pikirannya. Salah satu tujuan pembelajaran bahasa Inggris di universitas adalah

agar siswa memahami bahasa Inggris dari segi bentuk, fungsi, serta menggunakannya dengan tepat

dan kreatif untuk bermacam-macam keperluan salah satunya adalah pencapaian prestasi nilai TOEFL.

Tujuan ini mengimplikasikan bahwa di dalam suatu pembelajaran, siswa membutuhkan suatu strategi

untuk memahami bahasa Inggris dengan baik dan benar dari berbagai segi. Strategi belajar merupakan

langkah-langkah yang diambil oleh para siswa untuk meningkatkan pembelajaran mereka sendiri.

Strategi belajar digunakan dosen untuk mencapai tujuan tertentu. Penggunaan strategi belajar ini

tampak pada tindakan-tindakan atau perilaku-perilaku khusus yang dilakukan seorang dosen untuk

meningkatkan kemampuan bahasanya. Misalnya dengan cara meniru, mengulang-ulang,

menterjemahkan ke dalam bahasa lain, memperbaiki tuturan, meminta klarifikasi, dan lain-lain.

Sebagai contoh seorang siswa memperbaiki tuturan teman yang diketahuinya salah atau kurang baik.

Menurut Oxford (1990) mengklasifikasikan strategi belajar menjadi dua kategori umum, yaitu strategi

langsung dan strategi tidak langsung. Strategi belajar dikatakan strategi langsung jika dalam

penerapannya melibatkan penggunaan bahasa target secara langsung dan strategi tidak langsung jika

dalam penerapannya tidak berkenaan dengan penggunaan secara langsung dengan penggunaan bahasa

target. Strategi langsung terdiri dari tiga kategori strategi yaitu strategi memori, kognitif dan

kompensasi. Adapun strategi tidak langsung terdiri dari tiga kategori yaitu strategi metakognitif,

afektif dan sosial.

Hamalik (2008 : 55) mengatakan bahwa pengajaran adalah upaya atau cara menyampaikan

pengetahuan kepada peserta didik yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk

mengetahui sejauh mana tujuan itu telah tercapai, metode pengajaran haruslah direncanakan. Karena

itu metode atau sistem pengajaran selalu mengalami dan mengikuti tiga tahap, yakni tahap analisis

(menentukan dan menrumuskan tujuan), tahap sintesis (perencanaan proses yang akan di tempuh), dan

tahap evaluasi (memberikan tes tahap pertama dan kedua) (Hamalik, 2008:56).

Sedangkan pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi,

material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan

pembelajaran, yang dapat dilaksanakan dengan cara membaca buku, belajar di kelas, interaksi antara

berbagai komponen yang saling berkaitan, untuk membelajarkan peserta didik (Hamalik, 2008:57).

Page 3: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

Oleh karena itu, mengajar dan belajar adalah dua peristiwa yang berbeda tetapi terdapat hubungan

yang erat, bahkan terjadi kaitan dan interaksi yang saling pengaruh dan mempengaruhi dan saling

menunjang sati sama lain.

Pranata dan Kristianto dalam Johanna (2007:1) mengemukakan bahwa proses belajar – mengajar

merupakan suatu proses komunikasi antara guru dengan murid, yaitu bagaimana materi disampaikan,

kurikulum sebagai rangkaian materi kuliah, serta hasil proses tersebut.

Ukuran sukses dari hasil proses belajar - men gajar adalah keberhasilan belajar, yaitu berupa

penguasaan atas materi yang telah dipelajari.

Oleh karena itu, agar tercapai tujuan pembelajaran, dosen sebagai sumber utama bagi para pembelajar

dalam proses pembelajaran, harus mampu mendorong motivasi para pembelajar untuk mengikuti

pelajaran yang diberikan. Menurut Hamalik (2008 : 68), hal ini dapat dilakukan dengan beberapa

cara, yaitu :

a) Daya tarik ; pembelajar lebih menyukai belajar, bila perhatiannya tertarik oleh penyajian yang

menyenangkan atau menarik.

b) Aktif dalam latihan ; pembelajar lebih senang belajar bila mereka dapat berperan aktif dalam

latihan / praktek dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran.

c) Latihan yang terbagi ; pembelajar lebih menyukai belajar bila latihan – latihan dilaksanakan dalam

jangka waktu yang pendek.

d) Keadaan yang menyenangkan ; pembelajar lebih menyukai belajar bila kondisi belajaran

menyenangkan bagi mereka.

1.2 Rumusan Permasalahan

Sehubungan dengan beberapa hal yang telah diungkapkan sebelumnya, penulis bermaksud

untuk meneliti apakah strategi pembelajaran strategi tidak langsung yang terdiri dari tiga kategori

yaitu strategi metakognitif, afektif dan sosial.berpengaruh terhadap prestasi TOEFL dengan

menggunakan motivasi sebagai variabel intervening.

1.3 Ruang Lingkup Permasalahan

Penelitian ini dilakukan atas dasar pentingnya faktor penggunaan strategi pembelajaran secara

tidak langsung dengan metode metakognitif, afektif dan sosial. Penelitian ini dilakukan untuk

membuktikan apakah ada korelasi antara penggunaan strategi metakognitif, afektif dan sosial dengan

kemampuan mahasiswa terhadap prestasi nilai TOEFL dengan motivasi sebagai variabel intervening

terhadap mahasiswa STIESIA Surabaya.

Mengapa Strategi Belajar Diperlukan?

1. Mencapai pembelajaran yang lebih efektif

a. Aktif, terarah, dan mandiri

b. Lebih bertanggung jawab dalam belajar

Page 4: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

2. Memenuhi kebutuhan persona

3. Membentuk pebelajar sepanjang hayat

4. Terbukti secara empiris berkaitan dengan gaya belajar yang diterapkan

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum penelitian ini dapat diketahui dari masalah-masalah yang akan dibahas,

diungkap, dan dibuktikan dalam penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan

apakah ada korelasi antara penggunaan strategi metakognitif, afektif dan sosial dengan prestasi nilai

TOEFL dengan motivasi sebagai variabel intervening di STIESIA Surabaya. Tujuan khusus penelitian

ini dapat diketahui dari masalah-masalah yang akan dibahas, diungkap dan dibuktikan dalam

penelitian ini yaitu adalah untuk mendeskripsikan secara objektif tentang hasil prestasi TOEFL

penggunaan strategi metakognitif, afektif dan sosial mahasiswa STIESIA Surabaya, mendeskripsikan

secara objektif tentang hubungan antara penggunaan strategi metakognitif, afektif dan sosial dengan

prestasi nilai TOEFL mahasiswa STIESIA Surabaya.

Manfaat yang didapat adalah bisa menjadikan alternatif pembelajaran bagi dosen bahasa Inggris

dengan menggunakan strategi pembelajaran melalui metakognitive, afektif dan sosial bagi anak

didiknya untuk bisa mendapatkan nilai yang baik di dalam nilai prestasi TOEFL sehingga nilai yang

ditargetkan tercapai.

BAB 2

DAFTAR PUSTAKA

2.1 Pengertian Strategi Belajar

Page 5: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

Strategi belajar dipersepsi dan diartikan secara berbeda-beda. Ada yang menggambarkan strategi

belajar sebagai sifat, tingkah laku yang tidak teramati, atau langkah nyata yang dapat diamati. Dari segi

ruang lingkupnya, sebagian ahli beranggapan bahwa strategi belajar hanya mencakup hal-hal yang berkaitan

dengan proses internalisasi sistem bahasa; namun ada sebagian yang beranggapan bahwa strategi belajar

juga mencakup proses pemakaian bahasa untuk berkomunikasi. Strategi belajar dapat digambarkan

sebagai sifat dan tingkah laku. Joan Rubin (1975) misalnya melakukan kajian tentang perbedaan antara

sifat-sifat pembelajar bahasa yang berhasil dan sifat-sifat pembelajar bahasa yang tidak berhasil. Oxford

mendefinisikan strategi belajar sebagai "tingkah laku atau tindakan yang dipakai oleh pembelajar agar

supaya pembelajaran bahasa lebih berhasil, terarah, dan menyenangkan" (Oxford, 1989:235). Pengertian

yang diberikan oleh Oxford lebih bersifat perbuatan yang dapat diamati, walaupun pengertian tersebut

dapat pula mencakup tindakan kognitif yang tidak teramati. Oxford memandang strategi belajar sebagai

tindakan dan sekaligus sebagai sifat pribadi pembelajar. Dia menyatakan bahwa strategi belajar adalah "the

specific techniques or activities a learner uses to facilitate learning and are a very important attribute to

the learner" (Oxford-Carpenter, tanpa tahun a). Pengertian yang disajikan oleh Brown (1987)

menekankan konsep strategi belajar sebagai tingkah laku yang tidak teramati di dalam diri pembelajar.

Brown membedakan antara strategi belajar (learning strategy) dan strategi komunikasi (communication

strategy). Strategi belajar berkaitan dengan pemrosesan, penyimpanan, dan pengambilan (retrieval)

masukan pemerolehan bahasa; sedangkan strategi komunikasi ber-kenaan dengan keluaran pemerolehan

bahasa (bagaimana menyatakan arti dan bertindak tentang apa yang telah diketahui atau dianggap

diketahui). Di dalam kepustakaan istilah strategi belajar dan strategi komunikasi seringkali dipakai untuk

menyatakan konsep yang sama. Seperti halnya Brown, definisi yang diberikan oleh Stern (1983) juga

menekankan pada aspek kognitif yang tidak teramati. Stern memandang strategi belajar sebagai

kecenderungan atau sifat-sifat umum dari pendekatan yang digunakan oleh pembelajar bahasa kedua

(Stem, 1983:405). Dia memisahkan strategi belajar dari teknik belajar. Teknik belajar mengacu kepada

tingkah laku yang teramati.

2.2 Penggolongan Strategi Belajar

Oxford-Carpenter (tanpa tahun b) menggolongkan strategi belajar atas 2 kelompok besar, yaitu

strategi langsung atau utama dan strategi tidak langsung atau pendukung. Strategi utama terdiri atas 9 butir

dan tiap butir kemudian dirinci lagi menjadi beberapa strategi spefisik. Kesem-bilan butir tersebut ialah

inferensi, Bahasal-Bahasa2, mnemonik, ingatan umum, penekanan dan peringkasan, latihan fungsional,

latihan dengan bunyi dan aturan, klarifikasi dan verifikasi, dan sumber. Sedangkan strategi pendukung terdiri

atas 8 butir dan tiap butirkemudian dirinci lagi. Kedelapan butir tersebut adalah penguat perhatian,

Page 6: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

manajemen pribadi, afektif, perencanaan dan penetapan tujuan, produksi dan persepsi, belajar, pen-

ciptaan latihan, dan kerjasama.

Oxford (1990) mengajukan struktur strategi belajar yang agak berbeda, walaupun masih

membedakan strategi langsung {direct) dengan strategi tidak langsung {indirect). Kedua jenis strategi ini

saling mendukung dan membantu.

2.2.1 Strategi langsung

Oxford (1990) strategi yang secara langsung berhubungan dengan bahasa dalam berbagai tugas

dan situasi. Strategi ini adalah "pelaku" didalam kegiatan belajar dan mengembangkan kemampuan

bahasa. Strategi langsung terdiri atas strategi ingatan (memory) yang bertugas untuk menyimpan dan

memanggil informasi dalam otak, strategi kognitif yang bertugas memahami dan memproduksi bahasa,

dan strategi kompensasi yang bertugas menggunakan bahasa walaupun terdapat celah-celah pengetahuan

dalam otak.

2.2.2 Strategi tidak langsung

Oxford (1990) kelompok kedua adalah strategi tidak langsung yang secara umum bertugas

mengatur jalannya kegiatan belajar dalam otak. Strategi ini terdiri atas strategi metakognitif yang

bertugas mengkoordinasi proses belajar, strategi afektif yang bertugas mengatur emosi, dan strategi

sosial yang bertugas untuk membina kerjasama dengan orang lain dalam proses belajar. Menurut Oxford

(1990), jika proses belajar diibaratkan sebagai pertunjukan drama, maka strategi langsung dapat

diibaratkan sebagai pemainnya, sedangkan strategi tidak langsung sebagai sutradaranya. Sutradara

mempunyai sejumlah tugas mengatur seperti pemusatan sasaran pertunjukan, menyusun organisasi,

mengarahkan, mengecek, membetulkan, melatih, mendorong, dan menggembirakan pemain serta

meyakinkan pemain agar mau dan bisa bekerjasama dengan pihak lain (Oxford, 1990:15). Masing-

masing kelompok strategi seperti yang tercakup di dalamnya terdiri atas beberapa strategi belajar yang

lebih spesifik. Disini peneliti akan menggunakan strategi pembelajaran tidak langsung, maka penulis

akan membahas lebih dalam tentang strategi pembelajaran tidak langsung ini.

2.2.2.1 Strategi Metakognitif

Metakognisi merupakan kata yang dewasa ini sering diperdengarkan oleh para pemuka

pendidikan. Bagaimana para ahli mendefinisikan kata“metakognisi” ini?. Menurut Winn dan

Snyder (1998), Metacognition is an important concept in cognitive theory. It consists of two

basic processes occurring simultaneously, monitoring your progress as you learn, and making changes and

adapting your strategies if you perceive you are not doing so well  It’s about self-reflection, self-responsibility

and initiative, as well as goal  setting and time management 

Sementara itu, Ridley, dkk. mendefinisikan kata metakognitif sebagai berikut: “Metacognitive skills

include taking conscious control of learning, planning and selecting strategies, monitoring the progress

Page 7: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

of learning,correcting errors, ana lyzing the effectiveness of learning strategies,

and ch ang ing l ea rn i ng be ha v io r s an d s t ra t eg i e s wh en ne ce s sa ry ”

(R id l ey ,D.S.,Schutz, P.A., Glanz, R.S. & Weinstein, C.E., 1992).

De ngan me tak og n i t i f ad a l a h ke sad a ra n be rp i k i r t en t a ng apa ya ng diketahui

dan apa yang tidak diketahui. Dalam konteks pembelajaran, siswa mengetahui bagaimana untuk

belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas belajar yang dimiliki, dan mengetahui strategi belajar

terbaik untuk belajar efektif.

Dalam menjelaskan konsep metakognitif, Flavel (dalam Susantini: 5) mendefiniskannya

sebagai pengetahuan seseorang yang berkenaan dengan proses dan produk kognitif orang itu

sendiri atau segala sesuatu yang berkaitan dengan proses dan produk tersebut. Metakognitif diartikan

juga pengetahuan tentang kognisi sebagaimana disampaikan Meichenbaum (dalamSusantini: 5). Dari

dua definisi ini metakognitif dapat disimpulkan sebagai pengetahuan yang dihasilkan oleh seseorang

dari proses (aktivitas) yang dilakukannya.

G a g n e d a n B e r l i n e r ( d a l a m S u s a n t i n i : 6 ) m e n y a t a k a n

b a h w a me takog n i t i f t e rma suk ke mamp ua n be r t a nya pa da d i r i s en d i r i

de ng an  pertanyaan-pertanyaan

:a.Apa yang saya ketahui mengenai obyek ini? 

b.Berapa banyak waktu yang saya perlukan untuk mempelajari materi ini?

c.Rencana tindakan apa yang baik untuk memecahkan masalah ini?

d.Bagaimana saya merevisi langkah-langkah yang saya tempuh?

e B a g a i m a n a s a y a d a p a t m e n i n g g a l k a n k e s a l a h a n s a y a j i k a

s a y a melakukannya?

2.2.2.2

Strategi Afektif

2.3 Penelitian Terdahulu

Hasil penelitan terdahulu oleh Rubin (1975) menemukan 7 strategi, yaitu pembelajar:

1) memiliki kemauan untuk menebak dengan teliti;

2) memiliki dorongan kuat untuk berkomunikasi;

3) sering tidak merasa takut dan mau membuat kekeliruan;

4) memfokuskan pada bentuk dengan mencari pola-pola dan melakukan analisis;

4) memanfaatkan kesempatan untuk berlatih;

Page 8: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

5) memonitor pembicaraannya sendiri dan pembicaraan orang lain

6) memberikan perhatian kepada makna.

Peneliti lain juga melakukan upaya serupa seperti Stem (1975 dan 1983) dan Naiman, Frohlich, dan Todesco

(1975) yaitu dengan membandingkan mahasiswa yang pandai yang memiliki prestasi nilai skor TOEFL diatas

500 ke strategi belajar yang digunakan oleh mahasiswa yang kurang pandai yaitu mahasiswa dengan prestasi skor TOEFL

dibawah 500. Pembandingan dilakukan tidak hanya pada jenisnya, tetapi juga terhadap jumlahnya, dan pola-pola

gabungan dari strategi-strategi yang digunakan. Salah satu temuan dari kajian ini yang patut dikemukakan bahwa

pemakaian strategi belajar yang tepat membantu peningkatan kemahiran berbahasa dan kemampuan secara umum

dan kemampuan padahal-hal yang bersifat khusus (lihat Oxford dan Crookal, 1989). Selain itu, pembelajar yang

pandai cenderung menggunakan banyak strategi belajar dan mampu memadukan sejumlah strategi secara efektif.8

Strategi kognitif acap kali dipadukan dengan strategi metakognitif.

Mahasiswa yang kurang pandai dengan skor TOEFL dibawah 500 cenderung menggunakan sedikit

strategi belajar, ia tidak tahu strategi apa yang dia pergunakan, walaupun di antara mereka ada yang

menggunakan strategi belajar secara sadar dan jenis maupun jumlah strategi tersebut tidak jauh berbeda

dengan strategi yang dipakai oleh mahasiswa yang pandai (lihat Oxford, 1993). Berpijak dari kajian

tentang strategi belajar yang dipergunakan oleh mahasiswa yang pandai dengan nilai skor TOEFL lebih

dari 500 dan kurang pandai dengan prestasi skor TOEFL dibawah 500, fokus kajian diarahkan pada upaya

menyusun sistematika (taksonomi atau tipologi) strategi belajar. Sejumlah sistematika telah berhasil

disusun. Ada yang mendasarkan sistematika tersebut pada aspek fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif,

metakognitif, afektif misalnya:

O'Malley dan Chamot, 1990). Ada yang mendasarkan sistematikanya pada kajian

psikolinguistik seperti inferensi, monitoring, latihan formal, latihan fungsional

(misalnyaBialystok, 1978 dan 1981). Ada pula sistematika yang disusun berdasarkan jenis-jenis

ketrampilan berbahasa kedua (menyimak, berbicara, belajar kosakata, membaca pemahaman, dan

mengarang) misalnya sistematika Cohen (1990). Di antara sistematika yang terdapat dalam

kepustakaan, sistematika yang disusun menggunakan kriteria gabungan, khususnya yang disusun

oleh Oxford (1990) banyak menarik perhatian (lihat bagan). Sistematika ini telah dijadikan dasar

untuk menyusun alat identifikasi strategi belajar yang banyak digunakan oleh para peneliti.

sejumlah kajian tentang strategi belajar difokuskan pada faktor-faktor yang berperan dalam

pemakaian strategi belajar. Faktor- faktor yang banyak diteliti antara lain ialah motivasi, jenis

kelamin, latar belakang budaya, jenis tugas, umur, tahapan belajar bahasa, dan gaya belajar

(Oxford, 1993). Beberapa temuan yang patut diketahui antara lain bahwa pembelajar yang

bermotivasi tinggi menggunakan lebih banyak strategi daripada yang bermotivasi rendah (Oxford

Page 9: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

dan Nyikos, 1989); wanita lebih banyak menggunakan strategi daripada pria (Green, 1991);

kelompok etnis berbeda menggunakan strategi yang berbeda (Lengkanawati, 1997) dan lebih

spesifik lagi, kelompok etnis Asia banyak menggunakan strategi hafalan mekanis {rote) (misalnya,

Chang, 1989 dan Huda, 1997); pembelajar yang lebih tua cenderung menggunakan strategi belajar

yang lebih rumit (Bialystok, 1981), dan pembelajar yang memiliki gaya belajar berbeda cenderung

menggunakan strategi belajar yang berbeda (Ely, 1989). Keterampilan bahasa

sesuai dengan yang dikatakan Ziliang dan Renfu dalam Tjahjadi (1996:165) di dalam

pengajaran bahasa Inggris dibagi menjadi empat keterampilan dasar untuk menguasai TOEFL

yaitu menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing),

sehingga mahasiswa mempunyai keterampilan berbahasa yang menyeluruh dan lengkap dan

prestasi TOEFL pun menjadi meningkat.

Sedangkan menurut Oxford (1995 : 6) dikatakan bahwa:

“ Dalam pembelajaran bahasa asing berkaitan dengan membangun kemampuan

berbahasa dan mengkombinasikan berbagai macam keterampilan yaitu, mendengar,

membaca, berbicara, dan menulis. Di antara pengajar bahasa asing pola inidiketahui sebagai empat keterampilan bahasa. Ada yang menyebut budaya maupuntata bahasa sebagai suatu keterampilan, namun empat keterampilan bahasa inisedikit berbeda. Intinya budaya dan tata bahasa dalam bentuk yang spesifik yaknimenyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Istilah keterampilan memiliki artibukan hanya sekedar keterampilan, dan menguasai, tetapi keterampilan bahasaadalah hal yang dipelajari secara perlahan dalam proses meningkatkan

kemampuan bahasa” .

9

Page 10: Kelompok Revisi 2013 TOEFL
Page 11: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

berbicara, membaca, dan menulis, sehingga pemelajar mempunyai keterampilan

berbahasa yang menyeluruh dan lengkap.

Page 12: Kelompok Revisi 2013 TOEFL
Page 13: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

 

Penelitian tentang Kreativitas, metakognisi, dan Motivasi Berprestasi

Ada beberapa penelitian tentang kreativitas diantaranya yang dilakukan oleh DeCharm dan Moeler, Hakim, dan Suharnan. DeCharm dan Moeler serta Hakim pernah meneliti hubungan  motivasi berprestasi dengan kreativitas. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan kreativitas (Suharnan, 2011). Suharnan pada tahun 1998 melakukan penelitian tentang kreativitas dalam hubungannya dengan motivasi intrinsik-ekstrinsik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa motivasi intrinsik berperan penting di dalam proses-proses kreatif (Suharnan, 2011). 

Penelitian tentang metakognisi sejauh yang diketahui penulis belum sebanyak penelitian tentang kreativitas dan motivasi berprestasi. Peneliti yang telah melakukan penelitian dengan mengambil metakognisi sebagai variabel bebas antara lain  Coutinho (2006 dan 2007), Lee dan Bergin (2009), Rahman dan Masrur (2011).

Coutinho (2006) melakukan penelitian dengan judul The Relationship between the Need for Cognition, Metacognition, and Intellectual Task Performance dengan responden 417 mahasiswa Northern Illionis University. Variabel need for cognition diukur menggunakan the 18-item need for cognition scale, variabel metakognisi diukur menggunakan the 34-item trait metacognitive inventory sedangkan untuk mengukur variable task performance dipakai problem solved GRE analytical items.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi antara variable need for cognition dengan task performance dan tidak ada korelasi antara metacogniton dengan task performance.   Kemudian pada tahun 2007 Coutinho melakukan penelitian lagi tentang metakognisi namun dalam hubungan dengan variable lainnya, pencapaian tujuan (achievement goals) dan keberhasilan akademik (academic success).  Subjek yang diteliti  adalah  179  mahasiswa Midwestern University, Amerika Serikat. Instumen penelitian  yang  mereka  pakai  untuk mengukur variabel achievement goals adalah 25-item Goals Inventory sedangkan untuk mengungkap metakognisi mereka menggunakan the 52-item Metacognitive Awareness Inventory dari Schraw dan Dennison. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama,  terdapat hubungan positif achievement goals dengan metacognition, kedua, ada hubungan positif metacognition dengan academic success (Coutinho, 2007). 

Lee dan Bergin (2009) melakukan penelitian tentang penggunaan metakognisi oleh anak-anak dalam pemecahan masalah sehari-hari. Subjek yang diteliti adalah murid sekolah dasar kelas V di wilayah Asia Fasifik. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variable adalah 25 item yang diseleksi dari 52-item metacognitive awareness inventori dari Schraw dan Dennison. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan penggunaan metakognisi dengan pemecahan masalah sehari-hari. 

Penelitian lain tentang metakognisi dilakukan oleh Rahman dan Masrur. Mereka telah melakukan survai dengan judul Is Metacognition a Single Variabel?  Subjek yang mereka teliti 200 pelajar yang berusia 15 – 16 tahun. Instumen penelitian yang mereka pakai untuk mengukur variabel metakognisi adalah the 52-item Metacognitive Awareness Inventory dari Schraw dan Dennison.Hasil penelitian menyatakan bahwa metakognisi bukan merupakan variabel tunggal melainkan variabel jamak. Mereka selanjutnya merekomendasikan bahwa diperlukan penelitian  untuk mengidentifikasi karakteristik metakognisi pada pelajar (Rahman dan Masrur, 2011).

Page 14: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

Penelitian tentang motivasi berprestasi sudah banyak dilakukan dan kebanyakan menempatkan variabel ini sebagai variabel tergantung. Ada 3 penelitian tentang motivasi berprestasi yang dipaparkan pada uraian berikut, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Zenzen (2002), Garliah dan Nasution (2005), dan Chaturvedi (2009).

Zenzen pada tahun 2002 melakukan penelitian untuk memperoleh gelar Master of Science Degree dengan judul Achievemen Motivation. Subjek penelitian adalah murid program Industrial Technology Kellogg Middle School, Minnesota. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa tidak ada hubungan motivasi berprestasi  dengan performansi siswa (students performance) (Zenzen, 2002).

Garliah dan Nasution pada tahun 2005 melakukan penelitian dengan judul Peran Pola Asuh Orangtua dalam Motivasi Berprestasi dengan subjek 100 mahasiswa Universitas Sumatra Utara. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa ada perbedaan motivasi berprestasi mahasiswa pada berbagai bentuk pola asuh orang tua (Garliah dan Nasution, 2005).

Chaturvedi pada tahun 2009 melakukan penelitian tentang motivasi berprestasi dalam hubungannya dengan lingkungan sekolah dan pencapaian akademik (academic achievement) 300 pelajar di Bhopal, India. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa ada hubungan lingkungan sekolah dengan motivasi berprestasi dan pencapaian academik (Chaturvedi, 2009).

Berdasarkan paparan di atas dapat dinyatakan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara penelitian yang akan penulis lakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya sebagaimana dipaparkan di atas. Persamaannya adalah, kreativitas diteliti dalam hubungannya dengan motivasi berprestasi. Adapun perbedaannya adalah dalam penelitian ini kreativitas akan diteliti dalam hubungannya dengan metakognisi dan motivasi berprestasi. Perbedaan juga terjadi dalam hal subjek yang diteliti serta skala untuk mengukur variabel penelitian. Subjek penelitian ini adalah Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri dan skala yang dipergunakan untuk mengukur variabel adalah skala kreativitas yang diadopsi dari skala C.O.R.E., skala metakognisi  dan skala motivasi berprestasi yang dikembangkan oleh peneliti. 

Penelitian ini diharapkan mendatangkan manfaat,  baik bagi pengembangan ilmu, khususnya psikologi. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan temuan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan kajian teoritis tentang kreativitas, metakognisi, dan motivasi berprestasi. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna, yang dapat dijadikan acuan  bagi upaya pengembangan kreativitas, metakognisi, dan motivasi berprestasi peserta didik, khususnya mahasiswa.

 

Tinjauan Pustaka

Kreativitas

Menurut Sternberg (2008), kreativitas sebagai proses memproduksi sesuatu yang orisinal dan bernilai. Solso dkk. (2008) mendefinisikan kreativitas sebagai aktivitas kognitif yang

Page 15: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

menghasilkan suatu pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada hasil yang pragmatis (selalu dipandang menurut kegunaannya).

Suharnan (2011), setelah mengkaji berbagai pendapat dari para ahli tentang kreativitas selanjunya menyatakan bahwa kreativitas sering disebut berpikir kreatif (creative thinking), berpikir inovatif (innovative thinking), jika dikaitkan dengan kemampuan seseorang, kreativitas sebagai daya cipta, dan dalam konteks pemecahan masalah, kreativitas juga dapat disebut sebagai kecerdasan kreatif atau creative intelligence.  Selanjutnya Suharnan (2011) mengidentifikasi  substansi kreativitas,  yang   disebutnya  sebagai bagian pokok dari definisi kreativitas, yaitu: proses berpikir,  menemukan,  baru atau orisinal, dan berguna atau bernilai. Karakteristik pokok kreativitas, menurut European University Association (EUA) (2007), khususnya  untuk  konteks   pendidikan  tinggi    adalah:  originality,   appropriateness,   future orientation,  problem-solving ability.

Berkenaan dengan karakteristik pribadi yang kreatif, Ormrod (2009) menyatakan bahwa individu yang kreatif memiliki karakteristik : menafsirkan masalah dan situasi secara fleksibel,   memiliki banyak informasi yang relevan dengan suatu tugas, mengombinasikan informasi dan ide-ide yang ada dengan cara-cara yang baru,   mengevaluasi pencapaian diri menurut standar yang tinggi, dan memiliki gairah dan karenanya menginvestasikan banyak waktu dan usaha dalam apa saja yang sedang mereka kerjakan.

Setelah melakukan pengkajian pendapat para ahli tentang karakteristik pribadi yang kreatif, Suharnan (2011), menyatakan bahwa secara umum karakteristik penting dari pribadi yang kreatif adalah: kebebasan, imajinasi, kecerdasan (ketajaman pandangan), rasa ingin tahu yang tinggi, mencintai pekerjaan, ketahannan fisik dan mental dalam bekerja, ambisi, dan toleran terhadap resiko (gagal). 

Kreativitas seseorang, menurut Directorate-General for Education an Culture, the European Commission (2009), dipengaruhi oleh 6 faktor, yaitu: faktor genetis atau faktor bawaan; faktor personality (kepribadian) yang meliputi intelligence, motivation, divergent thinking, cultural dan capital; faktor Psycho-analysis (unconscious atau faktor ketidak sadaran); konteks di mana seseorang berada yang meliputi : policies, education/knowledge,  cultural/social environment, constraints/references, working environment, dan  geography/location; proses manajemen, yang meliputi: collaboration, system of relationship, dan organization;    faktor kognitif, mencakup process to create thoughts dan technical skills.

Membahas faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas juga dapat didasarkan pada teori investasi (The investment Theory of Creativity) yang dikembangkan oleh Sternber dan Lubart. According to the investment theory, creativity requires a confluence of six distinct but interrelated resources: intellectual abilities, knowledge, styles of thinking, personality, motivation, and environment (Sternberg, 2006).  

Keberhasilan proses-proses kreatif, menurut Suharnan (2011) tidak akan terlepas dari keterlibatan kemampuan kognitif, yang sering disebut sebagai kemampuan berpikir atau intelektual. Pengaruh kemampuan kognitif terhadap kreativitas juga dipertegas oleh Reed (2009) bahwa kreativitas membutuhkan kemampuan kognitif, seperti kontrol yang efektif dari memori kerja, perhatian berkelanjutan, fleksibilitas kognitif, dan penilaian kesesuaian yang biasanya berasal dari korteks prefrontal.

Page 16: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

Kreativitas seseorang, menurut Directorate-General for Education an Culture, the European Commission, sebagimana divisualisasikan dalam bentuk bagan diatas  dipengaruhi pula oleh motivasi.  Membahas hubungan motivasi dengan kreativitas, Woolfolk (2009) menyatakan bahwa motivasi, persistensi, dan dukungan sosial juga berperan penting dalam proses kreatif.   Motivasi berprestasi yang merupakan salah satu jenis motivasi,  menurut hasil penelitian DeCharms dan Muller serta hasil penelitian Hakim (Suharnan, 2011),  berkorelasi positif secara signifikan dengan kreativitas. Hubungan motivasi dengan kreativitas juga sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Sternberg.  Menurut Strenberg (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas seseorang, diantaranya adalah motivasi yang sangat tinggi untuk menjadi kreatif di bidang tertentu.

 

Metakognisi

Livingstone (1997) mendefinisikan metakognisi sebagai thinking about thinking. Metakognisi, menurut tokoh tersebut adalah kemampuan berpikir di mana yang menjadi objek berpikirnya adalah  proses berpikir yang terjadi pada diri sendiri. Sementara itu Margaret W. Matlin (1998) dalam bukunya yang diberi judul Cognition, menyatakan : “Metacognition is our knowledge, awareness, and control of our cognitive process”. Papaleontiou-Louca (2008), setelah menelaah beberapa definisi metakognisi selanjutnya menyatakan : ‘Metacognition’ refers to all processes about cognition, such as sensing something about one’s own thinking, thinking about one’s thinking and responding to one’s own thinking by monitoring and regulating it.

Flavell (dalam Livingstone, 1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu  pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge), dan  pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive experiences or regulation). Kedua komponen metakognisi, yaitu pengetahuan metakognitif dan regulasi metakognitif, masing-masing memiliki sub komponen-sub komponen sebagaimana disebutkan berikut ini (Lee dan Bergin, 2009  dan Woolfolk,  2009).

1)   Pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition), yang terdiri dari sub kemampuan-sub kemampuan sebagai berikut : a) declarative knowledge, b) procedural knowledge, dan c) conditional knowledge.

2)   Regulasi tentang kognisi (regulation about cognition), yang terdiri dari  sub kemampuan-sub kemampuan sebagai berikut: a) planning (perencanaan), b) monitoring (pemantauan), dan c) evaluation (evaluasi).

Declarative knowledge, yaitu pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pembelajar serta strategi, keterampilan, dan sumber-sumber belajar yang dibutuhkannya untuk keperluan belajar dan memecahkan masalah.  Procedural knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan  apa saja yang telah diketahui dalam

Page 17: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

declarative  knowledge tersebut dalam aktivitas belajar atau menyelesaikan suatu tugas. Conditional knowledge, adalah pengetahuan tentang bilamana menggunakan suatu prosedur, keterampilan, atau strategi dan bilamana hal-hal tersebut tidak digunakan, mengapa suatu prosedur berlangsung dan dalam kondisi yang bagaimana berlangsungnya, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari pada prosedur-prosedur yang lain.

Planning, adalah kemampuan memutuskan seberapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu tugas, strategi mana yang akan digunakan, bagaimana memulainya, sumber daya apa yang akan digunakan, urutan apa yang akan diikuti dan apa yang perlu diberi perhatian, dan sebagainya (Woolfolk, 2009). Monitoring,  merupakan real – time  awareness tentang bagaimana saya bekerja (Woolfolk, 2009).  Evaluation, adalah kemampuan membuat judgement tentang proses dan hasil berpikir dan belajar (Woolfolk, 2009).

Metakognisi berperan penting dalam pemecahan masalah. Menurut Gardner dan Karmiloff-Smith, sebagaimana pendapatnya dikutip oleh Lee dan Bergin (2009), metakognisi merupakan dimensi penting dari pemecahan masalah karena kemampuan tersebut mencakup kesadaran akan masalah yang relevan dengan yang dipikirkan, pemantauan terhadap proses kognitif serta penerapan strategi yang tepat.

 

Motivasi Berprestasi

Konsep tentang motivasi berprestasi menjadi terkenal stelah McClelland mengemukakan hasil pemikirannya tentang kebutuhan untuk berprestasi (need of achievement), yang sering disingkat dengan n-Aach. Menurut Klose (2008), motivasi berprestasi,  khususnya pada peserta  didik, terdiri dari komponen-komponen:   social  comparison,    ability   and  effort,  reward salience, dan  task preference. Dengan  perbandingan sosial (social comparison), orientasi motivasi yang  positif akan diwakili oleh keyakinan bahwa perkembangan pribadi dan penguasaan terhadap suatu tugas atau pekerjaan lebih penting daripada membandingkan kinerja seseorang kepada orang lain. Kemampuan dan usaha (ability and effort) berhubungan erat. Prestasi dapat dicapai jika ada usaha untuk mencapainya dan usaha tersebut harus didukung oleh adanya kemampuan.

Page 18: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

Arti penting suatu hadiah (reward salience) adalah orientasi prestasi yang mencerminkan keyakinan siswa tentang perhargaan dari kelas dan sekolahnya.

Komponen-komponen  motivasi berprestasi, berdasarkan  A Tripartite Model of Motivation for Achievement  yang dikembangkan oleh Tuckman (1999: http://dennislearningcenter.osu.edu/all-tour/apa99paper.htm),  terdiri dari tiga variabel generik, yaitu 1) attitude (sikap), 2) drive (dorongan), dan  3) strategy  (startegi).

1)      Attitude

Berdasarkan model tripartite, sikap yang dimaksud dalam dalam hubungannya dengan motivasi berprestasi adalah self-efficacy, atau bagaimana keyakinan seseorang akan kemampuannya sendiri. Ada bukti yang cukup untuk mendukung pendapat bahwa self-efficacy berkontribusi pada dicapainya prestasi akademik (Tuckman,1999: Error! Hyperlink reference not valid.).

2)      Drive

Keyakinan bahwa ada kemampuan untuk  melakukan suatu saja masih belum cukup untuk bisa mencapai keberhasilan.  Diperlukan energi agar keyakinan tersebut berkembang menjadi suatu tindakan.  Dalam konteks inilah drive (dorongan) diperlukan. Tanpa dorongan yang kuat seseorang enggan untuk berbuat, takut menghadapi tantangan persaingan, dan mudah putus asa.

3)      Strategy

Strategi dibutuhkan berkenaan dengan usaha melakukan tindakan yang efektif.  Tanpa strategi tidak ada acuan untuk membantu memilih dan membimbing tindakan yang diperlukan. Dengan adanya strategi selain percaya pada kemampuan sendiri, dan memiliki keinginan untuk mencapai hasil tertentu,  mampu melaksanakan strategi tertentu dapat mencapai  sukses dalam berbagai bidang, misalnya penulis, atlet, musisi, dan seterusnya (Tuckman,  1999: http://dennislearningcenter.osu.edu/all-tour/apa99-paper. htm.).

 

Motivasi berprestasi, khususnya pada pelajar atau mahasiswa dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik  internal maupun eksternal, sebagaimana pernyataan  Klose (2008) berikut: “Several internal and external factors contribute to a student’s motivational in the classroom,  these include recognizing the relationship between effort and ability, understanding the classroom reward structures, balancing academic mastery and social competence, and choosing tasks of appropriate difficulty”  

 

Dasar Teori

Berdasarkan pendapat tentang kreativitas dari beberapa ahli sebagaimana dipaparkan dalam tinjauan pustaka dapat dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk menemukan sesuatu yang baru dan unik serta berdaya guna. Dan apa yang ditemukan melalui proses kreatif merupakan sesuatu yang memiliki nilai.

Page 19: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

Kreativitas seseorang berdasarkan pendapat para ahli dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:   faktor-faktor yang pembawaan;   faktor-faktor kepribadian yang di dalamnya terdapat kecerdasan, motivasi,  kemampuan berpikir divergen, dan sebagainya;  faktor-faktor yang bersumber dari ketidak sadaran; faktor-faktor kontekstual seperti lingkungan sosial, kebijakan suatu lembaga, letak geografis, dan seterusnya;  faktor-faktor proses manajemen mencakup kerjasama, sistem  hubungan sosial, dan organisasi;   faktor-faktor kognitif diantaranya proses untuk menciptakan pikiran-pikiran dan keterampilan teknis.

Bahwa setiap individu memiliki potensi kreatif yang dapat dikembangkan. Pengembangan potensi kreatif individu mestinya dilakukan sejak usia dini. Pengembangan kreativitas dapat dilakukan berdasarkan model C.O.R.E. sebagai kerangka kerja dan sasaran pengembangan, yang meliputi : Curiousity (rasa ingin tahu), Openness to experiences (terbuka pada pengalaman), Risk tolerance (berani menghadapi resiko) dan Energy (energi fisik dan mental).

Kreativitas  sebagaimana digambarkan dinyatakan oleh para ahli,  dipengaruhi oleh faktor kognitif, diantaranya adalah  process to create thoughts.  Keberhasilan proses-proses kreatif, membutuhkan keterlibatan kemampuan kognitif.  Kreativitas membutuhkan kemampuan kognitif, seperti kontrol yang efektif dari memori kerja, perhatian berkelanjutan,  dan fleksibilitas kognitif. Salah satu kemampuan kognitif yang memberikan kontribusi pada kreativitas adalah metakognisi.

Keberhasilan proses-proses kreatif, menurut para ahli tidak akan terlepas dari keterlibatan kemampuan kognitif, yang sering disebut sebagai kemampuan berpikir atau kemampuan intelektual. Dan salah satu kemampuan kognitif  tingkat tinggi yang memberikan kontribusi terhadap lahirnya karya-karya kreatif adalah metakognisi. Metakognisi antara lain terdiri dari pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif dapat meningkatkan pemikiran kreatif dengan hanya memberikan informasi faktual. Pengetahuan prosedural menyediakan ketentuan-ketentuan  untuk berpikir strategis.

Berdasarkan pendapat para ahli ada beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas seseorang, diantaranya adalah motivasi yang sangat tinggi untuk menjadi kreatif di bidang tertentu. Orang yang memiliki motivasi berprestasi menurut    A Tripartite Model of Motivation for Achievement, dapat dikenali dari 3 aspek, yaitu:  attitude (sikap) yang dioperasionalisasikan ke dalam konsep sef-efficacy,   drive (dorongan) yang dioperasionalisasikan ke dalam konsep incentive value, dan strategy (strategi)  yang dioperasionalisasikan ke dalam konsep self-regulation.

Individu yang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi berdasarkan model di atas ditandai dengan : memiliki pandangan positif tentang tugas yang dihadapi dan kayakinan bahwa  dirinya mampu melakukan suatu tugas atau pekerjaan tertentu, memiliki memiliki dorongan yang kuat  untuk berhasil mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, dan berusaha mencari jalan yang efektif untuk berhasil menyelesaikan tugasnya.

 

Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka dan landasan teori selanjutnya dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

Page 20: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

1.  Ada hubungan positif metakognisi dan motivasi berprestasi dengan kreativitas.

2.  Ada hubungan positif metakognisi dengan kreativitas.

3.  Ada hubungan positif motivasi berprestasi dengan kreativitas.

 

Metode Penelitian

Populasi penelitian ini adalah mahasiswa semester I 2011 / 2012 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI yang terdiri dari 4 kelas, Kelas A, B, E, dan F yang berjumlah 180 orang.  Untuk mahasiswa kelas C dan D yang mahasiswa berjumlah 88 tidak dimasukkan dalam populasi penelitian karena karena dijadikan subjek untuk ujicoba instrumen penelitian. Pemilihan kelas C dan D untuk ujicoba instrumen dilakukan secara acak.

Teknik sampling dilakukan dengan menggunakan formula empiris yang dianjurkan oleh Isaac dan Michael (Sukardi, 2008),  jika jumlah populasi 180 sampel minimal 123 orang (68,33 %). Berdasarkan ketentuan tersebut sampel diambil dari setiap sub populasi sebasar 69 % secara acak dengan cara undian. Dengan demikian teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah proportional random sampling.    

Pengukuran terhadap tiga variabel penelitian dilakukan dengan skala kreativitas, skala metakognisi, dan skala motivasi berprestasi. Pada setiap pernyataan, baik yang favourable maupun  yang unfavourable disertai dengan 4 pilihan jawaban, yaitu: sangat sesuai dengan kenyataan pada diri saya,  sesuai dengan kenyataan pada diri saya,  tidak sesuai dengan kenyataan pada diri saya, dan sangat tidak sesuai dengan kenyataan pada diri saya dan skor 4, 3, 2, dan 1 untuk pernyataan yang favourable serta 1, 2, 3, dan 4 untuk pernyataan yang unfavourable. 

Sebelum dipergunakan untuk mengukur variabel, masing-masing skala diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas skala dilakukan dengan korelasi teknik corrected Item – Total Correlation (Koefisien korelasi item – total), yaitu dengan mengkorelasikan antara skor tiap item dan skor total dan melakukan koreksi terhadap koefisien korelasi yang overestimasi.   Teknik  analisis untuk uji validitas    dilakukan  dengan  program  SPSS Versi 19.   Sebagai kriteria pemilihan item berdasarkan item total, biasanya digunakan batasan r¡x ≥ 0,30 (Azwar, 2007). Namun untuk uji validitas skala digunakan kriteria 0,75 dengan pertimbangan agar item yang lolos jumlahnya masih mendekati jumlah keseluruhan item yang diujicobakan.  Keputusan tersebut didasarkan pada pendapat Azwar apabila jumlah item yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, batas kriteria dapat diturunkan dari 0,30 menjadi 0,25 misalnya,  sehingga jumlah item yang diinginkan tercapai (Azwar, 2007).

Butir-butir skala yang dinyatakan valid, selanjutnya diuji reliabilitasnya menggunakan metode  alpha dari Cronbach yang teknik perhitungannya dilakukan menggunakan program SPSS 19. Untuk mengetahui reliabilitas skala pengukuran reliabel, dasar yang dipergunakan adalah kriteria indeks reliabilitas sebagaimana dipaparkan oleh Arikunto (dalam Agung, 2010) sebagaimana disajikan dalam bentuk tabel 1 berikut ini.

Page 21: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

 

 

Tabel 1.  Kriteria Indeks Reliabilitas

NO.

 INTERVAL KRITERIA

1. < 0,200 Sangat rendah2. 0,200 – 0,399 Rendah3. 0,400 – 0,599 Cukup4. 0,600 – 0,799 Tinggi5. 0,800  –  1,00 Sangat tinggi

 

Sumber: Agung  (2010) 

 

 

 

Subjek untuk uji validitas instrumen penelitian adalah mahasiswa Semester I 2011/2012 Program  Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri Kelas C dan D yang terpilih secara acak dari 6 kelas yang ada (Kelas A s/d F).  Dari mahasiswa kelas C dan D yang masing-masing berjumlah 44 selanjutnya diambil secara acak masing-masing sebesar 50%. Dengan demikian jumlah subjek yang dijadikan responden untuk keperluan uji validitas berjumlah 44 orang mahasiswa.

Skala yang akan dipakai untuk mengukur variabel kreativitas diadopsi dari skala C.O.R.E. yang dikembangkan oleh Suharnan. Suharnan (2002) mengembangkan alat ukur kreativitas berdasarkan empat karakteristik kepribadian yang dibutuhkan untuk bagi  usaha-usaha  di  bidang  kreativitas,  yaitu:  1.  rasa   ingin  tahu  (C:  curiousity), 2. keterbukaan  atas  pengalaman  dan  informasi  baru  (O: Openness  to experience),  3. tolerasi terhadap resiko   (R: risk tolerance),   dan  4. energi fisik dan psikis  (E: energy).

Setelah dilakukan uji validitas, dari 45 item skala kreativitas, 13 item dinyatakan gugur karena nilai corrected item-total correlation lebih kecil dari 0,75. Item yang gugur sebanyak 13 tersebut mencakup semua indikator dari konsep C.O.R.E. Dengan gugurnya 13 item maka tinggal 32 item untuk skala kreativitas yang nantinya dipergunakan untuk mengukur variabel kreativitas. 

Page 22: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

Butir-butir skala yang dinyatakan valid, yang berjumlah 32  selanjutnya diuji reliabilitasnya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Alpha sebesar 0,882. Berdasarkan kriteria indeks reliabilitas, nilai Alpha sebesar 0,882 mengandung arti bahwa reliabilitas skala kreativitas sangat tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa butir-butir skala kreativitas telah memenuhi syarat sebagai alat ukur yang reliabel.

Berdasarkan komponen pengetahuan metakognisi yang terdiri dari tiga sub-komponen, yaitu: 1) pengetahuan deklaratif, 2) pengetahuan prosedural, dan 3) pengetahuan kondisional serta komponen keterampilan metakognisi yang juga terdiri dari tiga sub-komponen, yaitu: 1) perencanaan, 2) pemantauan,  dan 3) evaluasi selanjutnya disusun skala metakognisi dengan menempatkan keenam sub-komponen tersebut sebagai indikator dan dari setiap indikator ada 5 item yang terdiri dari pernyataan yang vafourable dan unvafourable. Dengan demikian jumlah item ada 30.

Uji validitas skala metakognisi juga dilakukan menggunakan korelasi teknik corrected Item – Total Correlation (Koefisien korelasi item – total). Setelah dilakukan uji validitas, dapat diidentifikasi ada 5 item yang harus  dikeluarkan (gugur), karena nilai corrected item-total correlation lebih kecil dari 0,75. Butir-butir skala yang dinyatakan valid selanjutnya diuji reliabilitasnya.  Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Alpha sebesar 0,895.  Berdasarkan kriteria indeks reliabilitas sebagaimana yang terdapat pada tabel 1, nilai Alpha sebesar 0,895  menunjukkan bahwa reliabilitas skala metakognisi sangat tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa butir-butir skala metakognisi  telah memenuhi syarat sebagai alat ukur yang reliabel.

Pengembangan skala motivasi berprestasi berdasarkan pada model yang dikembangkan oleh  oleh  Tuckman  (1999), yaitu A Tripartite Model of Motivation for Achievement  (Error! Hyperlink reference not valid. apa99paper.htm.).  Menurut A Tripartite Model of Motivation for Achievement, motivasi berprestasi mencakup tiga indikator, yaitu : sikap khususnya efikasi diri (self-efficacy),  dorongan (drive),  dan strategi.  Berdasarkan model tersebut dikembangkan skala yang terdiri dari berjumlah 33 butir pernyataan.

Setelah dilakukan analisis menggunakan teknik corrected item-total correlation, dari 33 item pada skala motivasi berprestasi, 6 item dinyatakan gugur karena nilai corrected item-total correlation lebih kecil dari 0,75 sebagaimana norma yang juga digunakan untuk uji validitas skala kreativitas.  Butir-butir skala yang dinyatakan valid selanjutnya diuji reliabilitasnya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Alpha sebesar 0,886. Nilai Alpha sebesar 0,886 menunjukkan bahwa reliabilitas skala motivasi berprestasi sangat tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa butir-butir skala motivasi berprestasi telah memenuhi syarat sebagai alat ukur yang reliabel.

Syarat yang harus dipenuhi untuk menggunakan analisis regresi adalah terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas, uji liniaritas, uji mulitikoliniaritas, dan uji autokorelasi. Uji normalitas dilakukan untuk apakah populasi data berdistribusi normal atau tidak. Jika analisis data menggunakan metode parametrik, maka persyaratan normalitas harus terpenuhi, yaitu data berasal dari berdistribusi yang normal (Priyatno, 2009).  Pengujian normalitas dilakukan dengan uji Kolmogorov – Smirnov dan teknik perhitungan menggunakan program SPSS Versi 19. Data dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi lebih besar dari 5% atau 0,05 (Priyatno, 2009). Dari hasil uji normalitas dapat diketahui bahwa Signifikansi (sig.) untuk data tentang kreativitas

Page 23: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

sebasar 0,052 data tentang metakognisi sebesar 0,052 dan untuk data tentang motivasi berprestasi sebesar 0,190. Karena signifikansi dari ketiga jenis data tersebut lebih besar dari 0,05 maka ketiga jenis data tersebut berdistribusi normal sehingga memenuhi syarat untuk dilakukan analisis regresi.

Untuk keperluan uji linearitas digunakan test for linearity pada progam SPSS dengan taraf signifikansi 0,05.  Dua variabel dinyatakan mempunyai hubungan yang linear bila signifikansi (linearity) kurang dari 0,05 (Priyatno, 2009). Dari output SPSS 19 dapat diketahui bahwa nilai signifikansi pada linearity sebasar 0,000. Karena nilai linearity kurang dari 0,05. Berdasarkan hasil uji  linearitas terhadap variabel metakognisi dan variable kreativitas serta variabel motivasi berprestasi dan variabel kreativitas dapat syarat linearitas untuk analisis regresi terpenuhi.

Uji multikoliniaritas digunakan untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas, yaitu adanya hubungan linear antar variabel independen dalam model regresi. Prasyarat yang harus dipenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya multikolinearitas (Priyatno, 2009). Metode yang dipergunakan untuk menguji multikolenearitas  adalah dengan meilihat nilai variance inflation factor (VIF).  Jika nilai VIF lebih besar dari 5, maka ada multikolinearitas antar variabel independen (Priyatno, 2009).  Nilai variance inflation factor kedua variabel, yaitu metakognisi dan motivasi berprestasi sebasar 1,513. Nilai tersebut lebih kecil dari 5, sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas.

Untuk memenuhi syarat bahwa tidak terdapat autikorelasi dalam model regresi, maka dilakukan uji autokorelasi menggunakan metode Durbin – Watson. Jika nilai Durbin – Watson berada pada rentang – 2 ≤ Durbin – Watson ≤ 2, maka tidak terjadi autokorelasi (Agusyana dan Islandscript, 2011). Hasil perhitungan menggunakan program SPSS 19 menunjukkan nilai Durbin – Watson sebesar 1,999.  Nilai Durbin – Watson yang dihasilkan dari model regresi adalah 1,999, yang berarti berada diantara – 2 dan + 2, maka tidak terkadi autokorelasi dalam model regresi.  

Data hasil penelitian akan dianalisis dengan analisis regresi. Teknik perhitungan dilakukan dengan program SPSS Versi 19 dengan norma pengujian sebagai berikut. Jika pada tabel ANOVA nilai probabilitas ≤ nilai alfa (0,05) maka hipotesis pertama diterima. Sebaliknya,  jika pada tabel ANOVA nilai probabilitas ˃ nilai alfa (0,05) maka hipotesis pertama ditolak. Jika pada tabel korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat  nilai probabilitas ≤ nilai alfa (0,05) maka hipotesis kedua dan ketiga diterima. Sebaliknya jika pada tabel korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat  nilai probabilitas ˃ nilai alfa (0,05) maka hipotesis kedua dan ketiga  ditolak.

 

Hasil Penelitian

Jumlah responden semula 126, namun ada 1 responden yang merespon skala pengukuran variabel secara tidak lengkap dengan demikian jumlah responden untuk penelitian tinggal 125.  Dari tabel ringkasan ANOVA atau F test, diperoleh nilai F sebesar dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05 maka model regresi dapat dipergunakan untuk memprediksi kreativitas atau dengan kata lain metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama-sama berkorelasi dengan kreativitas.  Dengan demikian hipotesis

Page 24: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

pertama yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Untuk mengetahui seberapa besar sumbangan pengaruh variabel metakognisi dan motivasi terhadap kreativitas  dapat dilihat dari nilai R Square. Nilai R Square (R²) adalah 0,508. Hal tersebut menunjukkkan bahwa koefisien determinasi sebesar 0,508. Artinya prosentase sumbangan pengaruh variabel bebas (metakognisi dan motivasi berprestasi) secara bersama terhadap variabel kreativitas sebesar 50,8 % sedangkan sisanya, sebesar 49,2 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini.

Berdasarkan output viewer SPSS yang terjadi dalam bentuk tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai signifikansi  antara variabel metakognisi dengan variabel kreativitas dan variabel motivasi dengan variabel kreativitas ternayata sama yaitu sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari nilai r kritis (0,05), artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kedua variabel bebas secara terpisah  dengan variabel terikat. Dengan demikian hipotesis kedua dan ketiga, ada hubungan positif metakognisi dengan kreativitas dan ada hubungan positif motivasi berprestasi dengan kreativitas diterima.

 

Pembahasan

Hasil uji hipotesis pertama menunjukkan bahwa secara bersama-sama metakognisi dan motivasi berprestasi berhubungan secara positif dengan kreativitas. Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam teori investasi  (The Investment Theory of Creativity dari Sternberg dan Lumbart), bahwa kreativitas membutuhkan 6 sumber penting, diantaranya keterampilan intelektual dan motivasi (Sternberg, 2006). Begitu pula apa yang dinyatakan oleh Directorate-General for Education an Culture, the European Commission (2009), bahwa kreativitas dipengaruhi oleh 6 faktor, diantaranya kemampuan kognitif dan motivasi. Bahwa metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama-sama mempengaruhi kreativitas sesuai pula dengan apa yang dinyatakan oleh Suharnan (2011) bahwa sinergi dari beberapa sumber, termasuk  metakognisi, sebagai keterampilan intelektual, dan motivasi berprestasi melahirkan kreativitas. 

Berdasarkan hasil penelitian tersebut kreativitas dapat dikembangkan melalui peningkatan metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama. Nilai R² sebasar 0,508 memiliki arti bahwa prosentasi sumbangan pengaruh metakognisi dan motivasi berprestasi terhadap kreativitas sebasar 50,8%.  Hal demikian berarti ada variabel-variabel lain yang memberikan kontribusi yang hampir sama besarnya (49,2%) untuk pengembangan kreativitas.

Pengujian hipotesis kedua membawa hasil bahwa metakognisi berkorelasi positif secara kuat dengan kreativitas.  Fakta ini mendukung pernyataan yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini. Suharnan (2011), menyatakan bahwa keberhasilan proses-proses kreatif tidak akan terlepas dari keterlibatan kemampuan kognitif, yang sering disebut sebagai kemampuan berpikir atau intelektual.  Menurut Suharnan (2005) kreativitas atau berpikir kreatif adalah proses kognitif untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru yang berguna. Kreativitas sebagai proses kognitif, kreativitas tidak lepas dari pengaruh kemampuan kognitif terutama metakognisi. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Solso dkk. (2008), bahwa kreativitas merupakan bentuk aktivitas kognitif,  yang tentu saja peranan peranan metakognisi.

Page 25: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

Diterimanya hipotesis kedua juga menunjukkan adanya kesesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh Fasko (2000) bahwa pengetahuan deklaratif dapat meningkatkan kreativitas dengan menyediaan informasi-informasi yang faktual, dan pengetahuan prosedural mempengaruhi kreativitas dengan menyediakan petunjuk-petunjuk untuk strategi berpikir. Kemampuan metakognisi seseorang dapat mengontrol kemampuan kognitifnya melalui pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional dan menerapkannya dengan merencanakan, memantau, dan mengevaluasi aktivitas kognitifnya sehingga mampu menghasilkan kemampuan kognitif yang baik yang pada akhirnya  berpengaruh juga pada perilaku kreatifnya.

Hasil pengujian hipotesis ketiga menyatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara motivasi berprestasi dengan kreativitas.  Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh DeCharms dan Moeller  serta hasil penelitian Hakim (Suharnan, 2011)  bahwa motivasi berprestasi berkorelasi positif secara signifikan dengan kreativitas. Adanya korelasi positif antara motivasi berprestasi dengan kreativitas sejalan pula dengan apa yang dinyatakan oleh Sternberg (2008), bahwa ada beberapa faktor yang berhubungan dengan individu yang kreatif diantaranya adalah motivasi yang tinggi untuk menjadi kreatif di bidang tertentu. Diterimanya hipotesis ketiga juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Directorate-General for Education an Culture, the European Commission (2009), bahwa salah satu aspek kepribadian yang mempengaruhi kreativitas adalah motivasi, termasuk di dalamnya motivasi berprestasi. Teori investasi, yang berisi pernyataan bahwa untuk menjadi kreatif, seseorang perlu bertindak dengan mensinergikan 6 sumber yang berbeda tetapi saling terkait dan salah satu sumber adalah motivasi, termasuk motivasi berprestasi (Suharnan, 2011).  

Berdasarkan hasil penelitian tersebut kreativitas dapat dikembangkan melalui peningkatan metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama. Nilai R² sebasar 0,508 memiliki arti bahwa prosentasi sumbangan pengaruh metakognisi dan motivasi berprestasi terhadap kreativitas sebasar 50,8%.  Hal demikian berarti ada variabel-variabel lain yang memberikan kontribusi yang hampir sama besarnya (49,2%) untuk pengembangan kreativitas, yaitu:  pemberdayaan kecerdasan intelektual, peningkatan kuantitas dan kualitas pengetahuan, pelatihan kemampuan berpikir divergen, pembuatan kebijakan yang memberikan toleransi pada perbedaan pendapat dan temuan-temuan baru, dan penciptaan lingkungan sosial budaya yang kondusif.

 

Kesimpulan

Kreativitas adalah salah satu kemampuan intelektual manusia yang sangat penting,  karena dengan kreativitasnya manusia mampu memecahkan berbagai masalah dan menciptakan berbagai hal seperti konsep, teori, perangkat teknologi, dst. yang sangat diperlukan bagi kehidupan. Substansi kreativitas menurut para ahli adalah proses berpikir, menemukan sesuatu yang baru dan orisinil, serta bermanfaat. 

Kreativitas peserta didik harus dikembangkan mengingat besarnya peranan kreativitas dalam kehidupan.  Pengembangan kreativitas mengacu pada fakta bahwa kreativitas berhubungan dengan beberapa faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.   Dua faktor internal yang menarik untuk diteliti dalam hubungannya dengan kreativitas adalah metakognisi dan motivasi

Page 26: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

berprestasi. Bahwa sinergi kedua faktor tersebut dapat mendorong timbulnya tindakan-tindakan kreatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis penelitian pertama diterima, yaitu kreativitas seseorang berhubungan dengan metakognisi dan motivasi berprestasi. Keberhasilan proses-proses kreatif, tidak akan terlepas dari kemampuan mensinergikan berbagi sumber yang saling berhubungan diantaranya kemampuan kognitif, dan salah satu kemampuan kognitif  tingkat tinggi yang memberikan kontribusi terhadap lahirnya karya-karya kreatif adalah metakognisi serta motivasi, termasuk di dalamnya motivasi berprestasi. Jika kedua kemampuan tersebut diberdayakan maka memunculkan berbagai tindakan kreatif. 

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hipotesis kedua diterima, yang artinya metakognisi berhubungan dengan kreativitas. Keberhasilan proses-proses kreatif, membutuhkan keterlibatan kemampuan kognitif.  Salah satu kemampuan kognitif yang memberikan kontribusi pada kreativitas adalah metakognisi. Dengan pengetahuan deklaratif , tersedia berbagai informasi yang dibutuhkan untuk tindakan-tindakan kreatif dan dengan pengetahuan presedural yang dimiliki,  seseorang memiliki pedoman tentang langkah-langkah yang perlku dilakukan untuk bisa bertindak secara kreatif.

Hipotesis ketiga penelitian ini juga diterima. Pendapat bahwa kreativitas seseorang dipengaruhi pula oleh motivasinya untuk berprestasi sesuai dengan hasil penelitian ini. Ada teori yang menyatakan bahwa kreativitas seseorang dipengaruhi oleh motivasi berprestasi yang tinggi untuk menghasilkan sesuatu, yang ditandai dengan adanya kayakinan bahwa  dirinya mampu melakukan suatu tugas atau pekerjaan tertentu,  adanya dorongan yang kuat untuk berhasil mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, dan  adanya usaha mencari jalan yang efektif untuk berhasil menyelesaikan tugasnya.

 

Saran-saran

Berdasarkan apa yang dipaparkan dalam perumusan masalah dan hasil penelitian, berikut dikemukakan saran bagi beberapa pihak.

1. Bagi para staf dosen khususnya untuk prodi Bimbingan  Bimbingan Konseling UNP Kediri

1. Hendaknya peran dosen sebagai motivator diintensifkan terutama dalam memotivasi mahasiswa untuk menjadi pribadi-pribadi yang memiliki motivasi untuk berprestasi yang tinggi.

2. Hendaknya  pembelajaran yang menekankan aktivitas dan kreativitas mahasiswa yang selama ini sudah dilakukan diintensifkan.   Model-model pembelajaran konstruktivistik seperti pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran inquiry and discovery,  dan pembelajaran kooperatif merupakan pilihan yang tepat bagi upaya pengembangan kreativitas mahasiswa.

3. Hendaknya menciptakan suasana belajar dan pembelajaran yang kondusif bagi pengembangan kreativitas dengan cara mengembangkan  tolerasi pada perbedaan

Page 27: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

pendapat, prosedur-prosedur dan produk-produk yang tidak lazim pada saat pelaksanaan pembelajaran di kelas.

 

1. Bagi institusi, baik di tingkat program studi, fakultas, maupun universitas 1. Hendaknya menciptakan situasi yang kompetitif, situasi mahasiswa  berlomba

untuk menjadi yang terbaik, dengan memberikan insentif berupa beasiswa yang memperoleh prestasi tinggi baik dalam bidang akademik/kurikuler maupun ekstrakulikuler.

2. Pengembangan kreativitas mahasiswa dalam berbagai bidang yang selama ini sudah dilakukan ditingkatkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif..

 

Daftar Pustaka

Agung, Wahyu. (2010) Panduan SPSS 17.0 Untuk Mengolah Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta: Garailmu.

Agusyana, Yus dan Islandscript. (2011) Olah Data Skripsi dan Penelitian dengan SPSS 19. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Azwar, Saifuddin. (2007) Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Chaturvedi, M. (2009) School Environment, Acievement Motivation, and Academic Achievement. Indian Journal of Social Science Researches, Vol. 6, No, 2, October 2009, pp. 29 – 37.

Coutinho, Savia A. (2006) The Relationship between the Need for Cognition, Metacognition, and Intellectual Task Perfomance. Educational Research and Review Vo. 1 (5) pp. 162- 164, Agustus 2006.

________________  (2007) The Relationship between Goals, Metacognition, and Academic Success.  Educate – Vol.7, No.1, 2007, pp. 39-47

Directorate-General for Education and Culture. (2009) The Impact of Culture on Creativity. Berlin: KEA.

European University Association. (2007) Creativity in Higher Education: Report on the UEA Creativity Project 2006 – 2007. Brussels: EUA.

Fasko, Daniel Jr. (2000) Education and Creativity. Creativity Research Journal 2000 – 2001, Vol. 13, Nos. 3 & 4.

Garliah, Lili dan Nasution, Fatma Kartika Sari. (2005) Peran Pola Asuh Orangtua dalam Motivasi Berprestasi. Psikologia, Volume 1, Nomor 1, Juni 2005.

Page 28: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

Klose, Laurie McGarry. (2008) Understanding and Fostering Achievement Motivation. Principial Leadership, December 2009, 12.

Lee, Chwee Beng dan Bergin, David. (2009) Children’s Use of Metacognition in Solving Everyday Problems: An Initila Study from an Asian Context. The Australian Educational Researcher, Volume 36, Number 3, December 2006, 89 – 103.

Livingstone, Jennifer A. (1997) “Metacognition: An Overview”.  Tersedia pada: http: //www. gse.buffalo.edu/fas/shuell/CEP564/Metacog.html.)

Matlin, Margaret W. (1998) Cognition.  Orlando: Harcourt Brace & Company.

Mulbar, Usman. (2008) “Metakognisi Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika”.Tersedia pada: http//www.usmanmulbar.files. wordpress. com. Diakses pada 8 Mei 2008.

Munandar, Utami. (2009) Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Naiman, Linda. (2010) What is Creativity. Tersedia pada: Error! Hyperlink reference not valid.. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2011.

Ormrod, Jeane Ellis. (2009) Psikologi Pendidikan : Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. (Penterjemah: Wahyu Indianti dkk.). Jakarta: Erlangga.

Papaleontiou-Louca, Eleonora. (2008) Metacognition and Theory of Mind. Newcastle: Cambridge Scholars Publishing.

Priyatno, Dwi. (2009) Mandiri Belajar SPSS. Yogyakarta: MediaKom.

Rahman, Fazalur dan Masrur, Rehana. (2011) Is Metacognition a Single  Variable? International Journal of Business and Social Science Volume 2 No. 5 / Special Issue – March 2011.

Reed, Stephen K. (2009) Kognisi: Teori dan Aplikasi. (Penterjemah: Smita Prathita S.).  Jakarta: Salemba Humnika.

Solso, Robert L. et al. (2008) Psikologi Kognitif. (Penterjemah: Mikael Rahardanto dan Kristianto Batuaji). Jakarta: Erlangga.

Sternberg, Robert J. (2006) The Nature of Creativity. Creativity Research Journal Vol. 18, No. 1, 87 – 98.

_______________  (2008) Psikologi Kognitif (Penterjemah: Yudi Santoso) Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Suharnan. (2011) Kreativitas: Teori dan Pengembangan. Laras: Surabaya.

Sukardi. (2008) Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 29: Kelompok Revisi 2013 TOEFL

Tuckman, Bruce W. (1999). “A Tripartite Model of Motivation for Achievement: Attitude, Drive, Strategy”. Paper Paper presented in the Symposium, Motivational Factors Affecting Student Achievement – Current Perspectives. Annual Meeting of the American Psychological Association, Boston. Retrieved February 17, 2005. Tersedia pada:  http://dennislearningcenter.osu.edu/all-tour/apa99paper.htm. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2011.

Woolfolk, Anita. (2009) Educational Psychology: Active Learning Edition. (Penterjemah: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto).  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zenzen, Tohmas G. (2002) Achievement Motivation. Tesis (Tidak dipublikasikan).


Related Documents