BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
CTEV (Congenital Talipes Equino Varus) atau biasa disebut sebagai
kaki pengkor atau clubfoot adalah suatu kelainan pada kaki bayi yang
merupakan kelainan bawaan sejak lahir. Clubfoot yang terbanyak merupakan
kombinasi dari beberapa posisi dan angka kejadian yang paling tinggi adalah
tipe Talipes Equino Varus (TEV) dimana kaki posisinya melengkung ke
bawah dan ke dalam dengan berbagai tingkat keparahan. Unilateral clubfoot
lebih umum terjadi dibandingkan tipe bilateral dan dapat terjadi sebagai
kelainan yang berhubungan dengan sindroma lain seperti aberasi
kromosomal, artrogriposis (imobilitas umum dari persendian), cerebral palsy
atau spina bifida (Our Life, 2012).
Insidens CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin.
Insidens CTEV di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran
hidup. Perbandingan kasus laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan
bilateral didapatkan pada 30-50% kasus (Cahyono, 2012).
CTEV atau kaki pengkor dapat terjadi karena beberapa hal. Cahyono
(2012) menyatakan club foot dapat terjadi karena faktor herediter; defek
primer pada jaringan neurogenik, sel otot, dan sel plasma; gangguan
vaskularisasi, dan faktor mekanik intrauteri. Hal tersebut dapat menyebabkan
perkembangan fetus terhambat, sehingga akan mempengaruhi pembentukan
tulang, sendi, dan ligamen. Dengan adanya kelainan pada tulang, sendi, dan
ligamen akan menyebabkan terjadi deformitas pada ankle. Deformitas ini
dapat berupa inversi atau membengkok ke dalam, atau lebih dikenal dengan
talipes varus. Karena terjadi saat janin masih dalam kandungan maka disebut
dengan Congenital Talipes Equino Varus.
Untuk mengatasi penyakit yang berhubungan dengan deformitas pada
tungkai, perlu dilakukan penatalaksanaan untuk mencegah terjadinya
komplikasi. Selain itu, agar penyakit dapat sembuh sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup klien. Asuhan keperawatan diperlukan untuk
muskuloskeletal | 1
menyelesaikan segala masalah yang dapat timbul akibat CTEV serta masalah
yang diperkirakan akan timbul akibat penyakit tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari CTEV?
2. Apakah etiologi dari CTEV?
3. Apakah manifestasi klinis dari CTEV?
4. Bagaimana patofisiologi dari CTEV?
5. Apa sajakah pemeriksaan penunjaang untuk CTEV?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari CTEV?
7. Apakah komplikasi dari CTEV?
8. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan untuk CTEV?
9. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan CTEV?
1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Menjelaskan tentang konsep penyakit CTEV serta pendekatan asuhan
keperawatannya.
Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mengerti definisi dari CTEV
2. Mahasiswa mengerti etiologi dari CTEV
3. Mahasiswa mengerti manifestasi klinis dari CTEV
4. Mahasiswa mengerti patofisiologi dari CTEV
5. Mahasiswa mengerti pemeriksaan penunjaang untuk CTEV
6. Mahasiswa mengerti penatalaksanaan dari CTEV
7. Mahasiswa mengerti komplikasi dari CTEV
8. Mahasiswa mengerti pencegahan yang dapat dilakukan untuk CTEV
9. Mahasiswa mengerti a asuhan keperawatan klien dengan CTEV
muskuloskeletal | 2
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit CTEV serta mampu
menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan CTEV dengan
pendekatan Student Centre Learning.
muskuloskeletal | 3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau biasa disebut Clubfoot
merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan deformitas
umum dimana kaki berubah dari posisi normal yang umum terjadi pada anak-
anak. CTEV adalah deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki,
inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia
(Priciples of Surgery, Schwartz). Talipes berasal dari kata talus (ankle) dan
pes (foot), menunjukkan suatu kelainan pada kaki (foot) yang menyebabkan
penderitanya berjalan pada ankle-nya. Sedang Equinovarus berasal dari kata
equino (mengkuda) dan varus (bengkok ke arah dalam/medial).
Congenital talipes equinovarus atau kaki pengkor adalah fiksasi kaki
pada posisi adduksi, supinasi dan varus. Tulang kalkaneus, navikular, dan
kuboid terrotasi ke arah medial terhadap talus, dan tertahan dalam posisi
adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai tambahan, tulang
metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar (Cahyono, 2012).
CTEV adalah salah satu anomali ortopedik kongenital yang sudah lama
dideskripsikan oleh Hippocrates pada tahun 400 SM (Miedzybrodzka, 2002).
Gambar.1 Perbedaan kaki normal dan CTEV pada bayi
2.2 Klasifikasi
Menurut Staheli (2009), klasifikasi kaki pengkor dapat berubah dengan
berjalannya waktu tergantung pada penanganannya. Berikut adalah kalsifikasi
CTEV :
muskuloskeletal | 4
1. Typical Clubfoot, merupakan kaki pengkor klasik, hanya menderita kaki
pengkor saja tanpa disertai kelainan lain. Umumnya dapat dikoreksi
setelah lima kali pemasanagan gips, dan dengan manajemen Ponseti
mempunyai hasil jangka panjang yang baik atau memuaskan, yang
termasuk typical clubfoot yaitu :
a. Positional Clubfoot, sangat jarang ditemukan, sangat fleksibel dan
diduga akibat jepitan intrauterin. Pada umumnya koreksi dapat dicapai
dengan satu atau dua kali pemasangan gips
b. Delayed Treated Clubfoot, ditemukan pada anak berusia 6 bulan atau
lebih
c. Recurrent Typical Clubfoot, dapat terjadi baik pada kasus yang awalnya
ditangani dengan metode Ponseti maupun dengan metode lain. Relaps
lebih jarang terjadi dengan metode Ponseti dan umumnya diakibatkan
pelepasan brace yang terlalu dini. Rekurensi supinasi dan equinus
paling sering terjadi. Awalnya bersifat dinamik namun dengan
berjalannya waktu menjadi fixed
d. Alternatively treated typical clubfoot, termasuk kaki pengkor yang
ditangani secara operatif atau pengegipan dengan metode non-Ponseti
2. Atypical clubfoot, biasanya berhubungan dengan penyakit yang lain.
Penanganan dimulai dengan metode Ponseti, koreksi pada umumnya lebih
sulit. Yang termasuk atypical clubfoot yaitu :
a. Rigid atau Resistant atypical clubfoot, dapat kurus atau gemuk. Kasus
dengan kaki yang gemuk lebih sulit ditangani. Kaki tersebut
umumnya kaku, pendek, gemuk dengan lekukan kulit yang dalam
pada telapak kaki dan dibagian belakang pergelangan kaki, terdapat
pemendekan metatarsal pertama dengan hiperekstensi sendi
metatarsophalangeal
b. Syndromic clubfoot, selain kaki pengkor ditemukan juga kelainan
kongenital lain. Jadi kaki pengkor merupakan bagian dari suatu
sindroma. Metode Ponseti tetap merupakan standar penanganan, tetapi
mungkin lebih sulit dengan hasil kurang dapat diprediksi
c. Tetralogic clubfoot, seperti pada congenital tarsal synchondrosis
muskuloskeletal | 5
d. Neurogenic clubfoot, berhubungan dengan kelainan neurologi seperti
meningomyelocele
e. Acquired clubfoot, seperti pada Streeter dysplasia.
2.3 Etiologi
Sampai saat ini penyebab utama terjadinya kaki bengkok (CTEV) tidak
diketahui secara pasti. Mihran (2008) dan Hita (2008) menjelaskan beberapa
teori penyebab terjadinya CTEV/kaki pengkor :
1. Teori embrionik, antara lain defek primer yang terjadi pada sel
germinativum yang dibuahi yang mengimplikasikan perubahan bentuk.
Terjadi antara masa konsepsi dan pada minggu ke-12 usia kehamilan
2. Perkembangan fetus terhambat
3. Teori neurogenik, yaitu teori yang menjelaskan bahwa defek primer
terjadi pada jaringan neurogenik, terjadi perubahan inervasi intrauterin
karena penyakit neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung oleh insiden
CTEV pada 35% bayi spina bifida.
4. Teori amiogenik, yang menjelaskan bahwa defek primer terjadi pada
jaringan otot dan terjadi penebalan kapsul fibrosa sendi
5. Faktor keturunan, adanya faktor poligenik mempermudah fetus terpapar
faktor-faktor eksternal, seperti infeksi Rubella dan pajanan talidomid
(Wynne dan Davis)
6. Cairan amnion dalam ketuban yang terlalu sedikit pada waktu hamil
(oligohidramnion) : mempermudah terjadinya penekanan dari luar karena
keterbatasan gerak fetus
7. Vaskular : Atlas dkk. (1980) menemukan abnormalitas vaskulatur berupa
hambatan vaskular setinggi sinus tarsalis pada kasus CTEV. Pada bayi
dengan CTEV didapatkan muscle wasting di bagian ipsilateral, mungkin
karena berkurangnya perfusi arteri tibialis anterior selama masa
perkembangan.
8. Kadang kala ditemukan bersamaan dengan kelainan lain seperti Spina
Bifida atau displasia dari rongga panggul.
muskuloskeletal | 6
2.4 Patofisiologi
Penyebab pasti dari clubfoot sampai sekarang belum diketahui.
Beberapa ahli mengatakan bahwa kelainan ini timbul karena posisi abnormal
atau pergerakan yang terbatas dalam rahim. Ahli lain mengatakan bahwa
kelainan terjadi karena perkembangan embrionik yang abnormal yaitu saat
perkembangan kaki ke arah fleksi dan eversi pada bulan ke-7 kehamilan.
Pertumbuhan yang terganggu pada fase tersebut akan menimbulkan
deformitas dimana dipengaruhi pula oleh tekanan intrauterin.
Kaki pengkor atau club foot bukan merupakan malformasi
embrionik. Kaki yang pada mulanya normal akan menjadi pengkor selama
trimester kedua kehamilan. Kaki pengkor jarang terdeteksi oleh ultrasonografi
pada janin yang berumur dibawah 16 minggu. Oleh karena itu, seperti
developmental hip dysplasia dan idiophatic scoliosis, kaki pengkor
merupakan deformasi pertumbuhan (developmental deformation) (Staheli,
2009). Berikut adalah perubahan yang terjadi pada kaki pengkor atau club
foot :
1. Jaringan Lunak
a. Otot gastroknemius mengecil
b. Tendon Achiles memendek dengan arah mediokaudal dan
menyebabkan varus; begitu pula tendon halucis longus dan digitorum
komunis
c. Tendon tibialis anterior dan posterior memendek, sehingga kaki bagian
depan (forefoot) menjadi aduksi
d. Ligamen antara talus, kalkaneus, naviculare menebal dan memendek.
Fasia plantaris menebal dan memendek, dengan kuat menahan kaki
pada posisi equines dan membuat navicular dan calcaneus dalam posisi
adduksi dan inversi.
2. Tulang dan Sendi
Sebagian besar deformitas terjadi di tarsus. Pada saat lahir, tulang
tarsal, yang hampir seluruhnya masih berupa tulang rawan, berada dalam
posisi fleksi, adduksi, dan inversi yang berlebihan. Talus dalam posisi
plantar fleksi hebat, collum melengkung ke medial dan plantar, dan kaput
muskuloskeletal | 7
berbentuk baji. Navicular bergeser jauh ke medial, mendekati malleolus
medialis, dan berartikulasi dengan permukaan medial caput talus.
Calcaneus adduksi dan inversi dibawah talus. Baik pada kaki yang normal
ataupun kaki pengkor, tidak ada sumbu gerak tunggal (seperti mitered
hinge) dimana talus berotasi pada sumbu tersebut. Sendi-sendi tarsal
secara fungsional saling tergantung (interdependent). Pergerakan satu
tulang tarsal akan menyebabkan pergeseran tulang tarsal disekitarnya
secara bersamaan. Pergerakan sendi ditentukan oleh kelengkungan
permukaan sendi dan oleh orientasi dan struktur ligamen yang
mengikatnya. Tiap-tiap sendi mempunyai pola pergerakan yang khas
(Staheli, 2009).
Bentuk sendi-sendi tarsal relatif berubah karena perubahan posisi
tulang tarsal. Forefoot yang pronasi, menyebabkan arcus plantaris menjadi
lebih konkaf (cavus). Tulang-tulang metatarsal tampak fleksi dan makin ke
medial makin bertambah fleksi. Pada kaki pengkor, terjadi tarikan yang
kuat dari tibialis posterior dan gastrosoleus serta fleksor hallucis longus.
Ukuran otot-otot itu lebih kecil dan lebih pendek dibandingkan kaki
normal. Di ujung distal gastrosoleus terdapat peningkatan jaringan ikat
yang kaya akan kolagen, yang menyatu ke dalam tendon achilles dan
fascia profundus. Pada kaki pengkor, ligamen-ligamen pada sisi lateral dan
ankle medial serta sendi tarsal sangat tebal dan kaku, yang dengan kuat
menahan kaki pada posisi equinus dan membuat navicular dan calcaneus
dalam posisi adduksi dan inversi. Ukuran otot-otot betis berbanding
terbalik dengan derajat deformitasnya. Pada kaki pengkor yang sangat
berat, gastrosoleus tampak sebagai otot kecil pada sepertiga atas betis.
Sintesis kolagen yang berlebihan pada ligamen, tendon dan otot terus
berlangsung sampai anak berumur 3-4 tahun dan mungkin merupakan
penyebab relaps (kekambuhan) (Staheli, 2009).
Secara histologi dibawah mikroskop, berkas serabut kolagen
menunjukkan gambaran bergelombang yang dikenal sebagai crimp
(kerutan). Kerutan ini menyebabkan ligamen mudah diregangkan.
Peregangan ligamen pada bayi, yang dilakukan dengan gentle, tidak
muskuloskeletal | 8
membahayakan. Kerutan akan muncul lagi beberapa hari berikutnya, yang
memungkinkan dilakukan peregangan lebih lanjut. Inilah sebabnya
mengapa koreksi deformitas secara manual mudah dilakukan (Staheli,
2009).
2.5 Manifestasi Klinis
1. Pada Talipes Equinovarus didapatkan telapak kaki bayi yang mengarah ke
dalam (sulit untuk diluruskan), dengan tumit yang berputar ke dalam, dan
otot kaki (betis) yang lebih kecil.
2. Positional equinovarus, yaitu terpuntirnya kaki kearah dalam karena posisi
bayi pada saat didalam kandungan (Our Life, 2012)
3. Deformitas serupa terlihat pada myelomeningocele and arthrogryposis.
Ankle equinus dan kaki supinasi (varus) dan adduksi (normalnya kaki bayi
dapat dorso fleksi dan eversi, sehingga kaki dapat menyentuh bagian
anterior dari tibia). Dorso fleksi melebihi 90° tidak memungkinkan (Our
Life, 2012)
4. Tumit tampak kecil dan kosong; pada perabaan tumit akan terasa lembut
(seperti pipi) (Cahyono, 2012)
5. Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat dengan
mudah teraba di sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh tulang
navikular dan badan talus (Cahyono, 2012)
6. Maleolus medialis menjadi sulit diraba dan pada umumnya menempel
pada tulang navikular. Jarak yang normal terdapat antara tulang navikular
dan maleolus menghilang (Cahyono, 2012)
7. Tulang tibia sering mengalami rotasi internal (Cahyono, 2012).
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Kelainan ini mudah didiagnosis, dan biasanya terlihat nyata pada
waktu lahir (early diagnosis after birth). Pada bayi normal dengan
equinovarus postural, kaki dapat mengalami dorsofleksi dan eversi hingga
jari-jari kaki menyentuh bagian depan tibia (Our Life, 2012).
muskuloskeletal | 9
Gambaran radiologis CTEV adalah adanya kesejajaran tulang talus
dan kalkaneus. Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis sangat
penting. Posisi anteroposterior (AP) diambil dengan kaki fleksi terhadap
plantar sebesar 30º dan posisi tabung 30° dari keadaan vertikal. Posisi lateral
diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º. Gambaran AP dan
lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi dan plantar fleksi
penuh. Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus dan kalkaneus
dan mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral. Garis lateral
digambar melalui titik tengah antara kepala dan badan tulang talus serta
sepanjang dasar tulang kalkaneus. Nilai normalnya antara 35-50°, sedang
pada CTEV nilainya berkisar antara 35° dan negatif 10°. Garis AP dan lateral
talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular dan metatarsal
pertama. Sudut dari dua sisi (AP and lateral) ditambahkan untuk menghitung
indeks talokalkaneus; pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki nilai
lebih dari 40°. Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan
pada posisi maksimal dorsofleksi adalah metode yang paling dapat
diandalkan untuk mendiagnosis CTEV yang tidak dikoreksi (Cahyono, 2012).
2.7 Penatalaksanaan
Tindakan operatif, sekitar 90-95% kasus CTEV bisa tangani dengan
tindakan non-operatif. Penatalaksanaan non-operatif, pertumbuhan cepat
selama periode infant memungkinkan untuk penanganan
remodelling. Penanganan dimulai saat kelainan didapatkan dan terdiri dari
tiga tahap yaitu koreksi dari deformitas, mempertahankan koreksi sampai
keseimbangan otot normal tercapai, observasi dan follow up untuk mencegah
kembalinya deformitas (Our Life, 2012).
Penanganan non operatif antara lain :
1. Splint, dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan koreksi yang akan
dilakukan adalah adduksi kaki depan (forefoot), supinasi kaki depan, dan
ekuinus. Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi ekuinus di awal masa
koreksi dapat mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya
rockerbottom foot. Tidak boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan
muskuloskeletal | 10
koreksi. Tempatkan kaki pada posisi terbaik, kemudian pertahankan posisi
ini dengan menggunakan “strapping” yang diganti tiap beberapa hari, atau
menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Cara ini
dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat
lagi dilakukan koreksi selanjutnya. Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini
kemudian dipertahankan selama beberapa bulan. Tindakan operatif harus
dilakukan sesegera mungkin saat tampak kegagalan terapi konservatif,
yang antara lain ditandai dengan deformitas menetap, deformitas berupa
rockerbottom foot, atau kembalinya deformitas segera setelah koreksi
dihentikan. Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui
apakah jenis deformitas CTEV mudah dikoreksi atau resisten. Hal ini
dikonfirmasi menggunakan X-ray dan dilakukan perbandingan
penghitungan orientasi tulang. Tingkat kesuksesan metode ini 11-58%
(Cahyono, 2012).
2. Metode Ponsetti
Metode ini dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas
Iowa, dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik yang
dilakukan oleh dr. Ponseti. Metode ini dilakukan secepatnya setelah
kelahiran pada usia 7-10 hari. Lebih dari dekade terakhir metode Ponseti
telah diterima diseluruh dunia sebagai metode penanganan kaki pengkor
yang paling efektif dan paling murah. Kaki yang ditangani dengan metode
ini terbukti kuat, fleksibel dan bebas nyeri, sehingga memungkinkan untuk
menjalani kehidupan yang normal. Deformitas utama yang terjadi pada
kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang kalkaneus ke arah intenal
(adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki berada dalam posisi adduksi dan
plantar pedis mengalami fleksi pada sendi subtalar.
Kebanyakan kaki pengkor dapat dikoreksi dengan manipulasi
singkat dan gips dalam koreksi maksimal. Setelah kira-kira 5 kali
pengegipan cavus, adduktus, dan varus dapat terkoreksi. Tenotomi
Achilles perkutan dilakukan pada hampir semua kasus untuk
menyempurnakan koreksi equinus, kemudian kaki di gips selama 3
minggu. Koreksi ini dipertahankan dengan foot abduction brace yang
muskuloskeletal | 11
dipakai malam hari sampai anak berumur 2-4 tahun. Pemasangan gips di
mulai dari bawah lutut lebih dulu kemudian lanjutkan gips sampai paha
atas. Kaki yang ditangani dengan metode ini terbukti kuat, fleksibel dan
bebas nyeri, sehingga memungkinkan untuk menjalani kehidupan yang
normal.
Gambar.2 Metode Ponseti
3. Bracing
Pada akhir pemasangan gips, kaki dalam posisi sangat abduksi,
sekitar 60-70o (tight-foot axis). Setelah tenotomi, gips terakhir dipakai
selama 3 minggu. Protokol Ponseti selanjutnya adalah memakai brace
(bracing) untuk mempertahankan kaki dalam posisi abduksi dan
dorsofleksi. Brace berupa bar (batang) logam direkatkan pada sepatu yang
bertelapak kaki lurus dengan ujung terbuka (straight-last open-toe shoes).
Abduksi kaki dengan sudut 60-70o ini diperlukan untuk mempertahankan
abduksi calcaneus dan forefoot serta mencegah kekambuhan (relaps).
Jaringan lunak pada sisi medial akan tetap teregang hanya jika dilakukan
bracing setelah pemasangan gips. Dengan brace, lutut tetap bebas,
sehingga anak dapat ”menendangkan” kaki kedepan sehingga
meregangkan otot gastrosoleus. Abduksi kaki dalam brace, ditambah
dengan bar yang sedikit melengkung, akan membuat kaki dorsofleksi. Hal
ini membantu mempertahankan regangan pada otot gastrocnemius dan
tendon achilles.
Brace harus dipakai sepanjang hari selama 3 bulan pertama sejak
gips terakhir dilepas. Setelah itu anak harus memakai brace ini selama 12
muskuloskeletal | 12
jam pada malam hari dan 2-4 jam pada siang. Sehingga total pemakaian
14-16 jam dalam sehari sampai anak berusia 3-4 tahun.
Gambar.3 Bracing
Penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan operasi,
indikasi dilakukan operasi adalah jika terapi dengan gips gagal dan pada
kasus Rigid Clubfoot pada umur 3-9 bulan.
Operasi dilakukan dengan melepasakan jaringan lunak yang
mengalami kontraktur maupun dengan osteotomi. Osteotomi biasanya
dilakukan pada kasus clubfoot yang neglected/ tidak ditangani dengan
tepat. Kasus yang resisten paling baik dioperasi pada umur 8 minggu,
tindakan ini dimulai dengan pemanjangan tendon achiles, namun jika
masih ada equinus, dilakukan posterior release dengan memisahkan
seluruh lebar kapsul pergelangan kaki posterior, dan jika perlu, kapsul
talokalkaneus. Varus kemudian diperbaiki dengan melakukan release
talonavikularis medial dan pemanjangan tendon tibialis posterior. Pada
umur > 5 tahun dilakukan bone procedure osteotomy. Diatas umur 10
tahun atau kalau tulang kaki sudah mature, dilakukan tindakan artrodesis
triple yang terdiri atas reseksi dan koreksi letak pada tiga persendian, yaitu
art. talokalkaneus, art. talonavikularis, dan art. kalkaneokuboid (Our Life,
2012).
2.8 Komplikasi
Menurut Cahyono (2012), komplikasi yang dapat terjadi akibat CTEV antara
lain :
1. Infeksi, dapat terjadi pada beberapa tindakan operasi
muskuloskeletal | 13
2. Kekakuan dan keterbatasan gerak, kekakuan yang muncul awal
berhubungan dengan hasil yang kurang baik
3. Nekrosis avaskular talus, sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus
muncul pada teknik kombinasi pelepasan medial dan lateral
4. Overkoreksi, mungkin karena pelepasan ligamen interoseum dari
persendian subtalus, perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah
lateral, adanya perpanjangan tendon.
2.9 WOC
muskuloskeletal | 14
Perkembangan fetus terhambat
Defek primer (di otot, jaringan
neurogenik, sel otot)
Oligohidramnion Hambatan vaskular
setinggi sinus tarsalis Gerak fetus
terhambat
Perkembangan embrionik abnormal (saat perkembangan kaki ke arah fleksi dan eversi pada bulan ke-7 kehamilan)
Deformitas
Otot gastroc-nemius mengecil; Tendon tibialis anterior dan
posterior memendek, kaki bagian depan (forefoot) aduksi; Tendon Achiles memendek (arah medio-
kaudal)
Tulang dan sendi
Tulang tarsal (hampir seluruhnya masih berupa tulang rawan) dalam posisi fleksi, adduksi, dan inversi
yang berlebihan.
Faktor keturunan (faktor poligenik
mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksternal, seperti infeksi
Rubella dan pajanan talidomid)
Jaringan lunak
Muscle wasting di
bagian ipsilateral
Perfusi arteri tibialis anterior
berkurang selama masa
perkembangan
Perkembang-an tulang abnormal
muskuloskeletal | 15
Ligamen antara talus, kalkaneus, navicular
menebal dan memendek
Fasia plantaris menebal dan memendek
Fasia plantaris menahan kaki pada
posisi equines
CTEV/Club Foot
Talus dalam posisi plantar fleksi hebat, collum
melengkung ke medial dan plantar, kaput berbentuk
baji
Navicular bergeser jauh ke medial, mendekati malleolus medialis, dan berartikulasi dengan
permukaan medial caput talus,
Tulang-tulang metatarsal tampak fleksi dan makin ke
medial makin bertambah fleksi
Forefoot pronasi
Arcus plantaris menjadi lebih konkaf (cavus)
Tulang melengkung ke dalam
Navikular dan kalkaneus adduksi dan inversi dibawah talus.
Perubahan fungsi sistem muskuloskeletal
MK : Hambatan Mobilitas Fisik
Kelainan anatomi talus, tarsal, kalkaneus, navicular
Kelainan bentuk kaki
MK : Ansietas
Osteotomi
Prosedur invasif
Luka insisi
Port de entry kuman
MK : Resiko Infeksi
Ibu cemas
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Contoh Kasus
Ny. A membawa anak perempuannya, An. X usia 9 bulan (infant) ke Poli
Ortopedi Rumah Sakit Pendidikan Unair. Ny. A mengatakan bahwa kaki An.X
perngkor, tidak seperti anak-anak lainnya, sehinggan An.X kesulitan saat belajar
berjalan. Dan merasa bentuk kaki anaknya berbeda Saat datang ke rumah sakit
kondisi pasien baik dan TTV normal (suhu tubuh 36,5°C, RR 22x/menit, nadi
110x/menit ). Ny. A melahirkan secara normal dengan berat janin yang normal
pula. Tidak ada riwayat minum obat dan penyakit tertentu selama kehamilan.
3.2 Pengkajian
1. Data demografi
Identitas anak :
Nama : An.x
Tanggal lahir : 6 September 2012
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : Surabaya
Diagnosa medis : CTEV/ Clubfoot
Identitas orang tua :
Nama ayah : Tn. T
Nama ibu : Ny. A
Pekerjaan ayah/ibu : wiraswasta/ ibu rumah tangga
Pendidikan ayah/ibu : SMA/SMA
Agama : Islam
Alamat : Surabaya
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan
a. Keluhan utama : kaki pengkor / CTEV
b. Riwayat penyakit saat ini: klien kesulitan dalam melakukan aktivitas
belajar berjalan. Kaki klien tidak mengalami perubahan bentuk yaitu
tetap melengkung kedalam walaupun sudah berusia 9 bulan
c. Riwayat kesehatan sebelumnya: -
muskuloskeletal | 16
d. Riwayat kesehatan masa lalu: batuk pilek
e. Riwayat penyakit keluarga: Anggota keluarga yang lain tidak ada
yang menderita kelainan seperti ini.
f. Riwayat nutrisi
Nafsu makan baik, pola makan 3x/hari, minum susu 800cc/hari, air
putih 120cc/hari, tidak ada pantangan makanan, menu makanan
bubur+sayur+lauk pauk.
g. Riwayat pertumbuhan
BB saat ini = 8,5 kg TB = 70 cm, Lingkar kepala = 51,5 cm
h. Riwayat perkembangan :
1) Pengkajian DDST : personal sosial (mampu main bola tangan
dengan pemeriksa, menirukan kegiatan, daag-daag tangan,
menyatakan keinginan tanpa menangis, tepuk tangan,
memasukkan biskuit kedalam mulut, berusaha mencari mainan),
adaptif-motor halus (membenturkan dua kubus, memegang
dengan ibu jari dan jari, mengambil dua kubus, memindahkan
kubus ke tangan lain, menaruh kubus dicangkir, mencoret-coret),
bahasa (papa/mama spesifik, mengoceh, mengucapkan 1 kata,
mengucapkan 2 kata), motor kasar (tidak dapat berdiri dengan
pegangan, tidak dapat bangkit untuk berdiri, tidak dapat bangkit
terus duduk)
2) Tahap perkembangan psikososial : nyaman terhadap ibu, makan
tidak rewel, berani terhadap lingkungan.
3) Tahap perkembangan psikoseksual : dekat dengan ibu,
memasukkan benda-benda kemulut.
3. Review of system
a. Keadaan umum
baik, kesadaran kompos mentis, TD = 99/65 mmHg, Nadi =
105x/menit, Suhu = 37oC, RR = 22 x/menit
b. Pernafasan
irama = teratur, suara nafas vesikuler, tidak ada sesak nafas
c. Kardiovaskuler
muskuloskeletal | 17
irama jantung = regular, tidak ada nyeri dada, bunyi jantung normal,
CRT = < 3 detik, akral = hangat, kering, merah
d. Persyarafan
- GCS = 456, istirahat/tidur = 12 jam,
- Pupil = isokor, sclera/konjungtiva = normal, tidak ada gangguan
penglihatan
- tidak ada gangguan pendengaran
- bentuk hidung normal, tidak ada gangguan penciuman
e. Perkemihan
bersih, jumlah urin = 200 cc/hari, warna = jernih kekuningan, bau =
khas, tidak memakai alat bantu kateter, kandung kemih normal dan
tidak ada nyeri tekan.
f. Pencernaan
Nafsu makan baik, porsi makan habis, mulut bersih, mukosa lembab,
tidak ada gangguan menelan, abdomen normal, peristaltik = 11x/menit,
tidak ada pembesaran hepar, tidak ada pembesaran lien, BAB teratur
1x/hari.
h. Muskuloskeletal
Pergerakan sendi tangan bebas, pergerakan sendi kaki terbatas, warna
kulit normal, turgor baik, tidak ada odema
i. Endokrin
tyroid tidak membesar, tidak hiperglikemia, tidak hipoglikemia, tidak
ada luka gangrene.
j. Personal Hygiene
Mandi 2x/hari, keramas 1x/hari, sikat gigi 2x/hari, ganti pakaian
2x/hari, memotong kuku jika panjang.
k. Psikososiospiritual
- Ekspresi afek dan emosi tidak rewel saat dilakukan pemeriksaan
- Hubungan dengan keluarga akrab
- Dampak hospitalisasi bagi anak = anak tidak bisa bermain dengan
teman-temannya
- Dampak hospitalisasi bagi orang tua = orang tua tidak bisa bekerja
muskuloskeletal | 18
k. Data penunjang
x-ray menunjukkan adanya pembengkokan tulang tarsal dan talus, dan
terjadi deformitas ligament antara talus, kalkaneus, dan navicular
l. Terapi : -
3.3 Analisa Data
DATA ETIOLOGI MASALAH
DS :
ibu klien mengeluhkan
An X kesuliatan saat
belajar berjalan.
DO :
Klien terlihat berulang
kali terjatuh saat
dilakukan tes berdiri
untuk berjalan, hasil x-
ray menunjukkan
kelainan pada talus,
kalkaneus, navicular
CTEV
↓
Kelainan anatomi talus,
tarsal, kalkaneus, navicular
↓
Perubahan sistem
muskuloskeletal
Hambatan
mobilitas fisik
DS :
ibu klien mengeluhkan
An. X yang pengkor,
sehingga takut jika An.
X tidak akan pernah bisa
berjalan dengan normal.
DO :
Ekpresi Ny A terlihat
gelisah dan sering
memainkan tangannya
seperti orang khawatir.
CTEV
↓
Kelainan anatomi talus,
tarsal, kalkaneus, navicular
↓
Kelainan bentuk kaki
↓
Ibu cemas
Ansietas
muskuloskeletal | 19
3.4 Diagnosa Keperawatan
a. Hambatan mobilitas fisik b.d perubahan sistem muskuloskeletal :
deformitas pada talus, tarsal, kalkaneus, navicular
b. Ansietas b.d kelainan bentuk kaki anak
3.5 Intervensi
1. Gangguan imobilisasi fisik b.d perubahan sistem muskuloskeletal :
deformitas pada talus, tarsal, kalkaneus, navicular
Tujuan : Klien dapat berjalan dengan normal
Kriteria hasil :
a. Tidak ada kontraktur
b. Tulang kembali normal sesuai dengan anatomi
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Pengkajian rentan gerak dengan
menggunakan goniometer
2. Pengkajian motorik kasar
Kolaborasi
3. Pemeriksaan radiologi x-ray
4. Perencanaan pemasangan gips
5. Perencanaan tindakan operasi
1. Mengevaluasi terjadi kehilangan
mobilisasi sendi
2. Menggambarkan kemampuan dari
ekstremitas klien
3. Mengetahui adanya kelainan
tulang dan terjadinya kontraktur
pada sendi
4. Imobilisasi tulang
5. Memperbaiki kondisi tulang dan
memperbaiki kontraktur
2. Diagnosa : Ansietas b.d kelainan bentuk kaki anak
Tujuan : Ibu merasa tenang
Kriteria hasil :
a. Ekpresi wajah Ny. A tidak tegang
b. Ny A terlihat tenang
muskuloskeletal | 20
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Health education pada ibu tentang
penyakit, penatalaksanaan, dan
prognosis yang baik untuk penyakit
anaknya.
2. Tunjukkan sikap empati sebagai
pendekatan utama dalam
mengurangi rasa takut akibat
prosedur yang menyakitkan
terhadap anaknya.
1. Dapat memberikan ketenangan
jika prognosis untuk
penyembuhan baik.
2. Empati merupakan wujud
kepedulian perawat
3.5 Evaluasi
a. Hambatan mobilitas fisik teratasi
b.Ny. A terlihat tenang dan ansietas teratasi
muskuloskeletal | 21
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
CTEV adalah deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki,
inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia
(Priciples of Surgery, Schwartz). Etiologi CTEV antara lain : defek primer
pada sel otot, jaringan neurogenik, perkembangan fetus terhambat, faktor
herediter, dan hambatan vaskularisasi selama dalam kandungan.
Tindakan operatif, sekitar 90-95% kasus CTEV bisa tangani dengan
tindakan non-operatif. Penatalaksanaan non-operatif, pertumbuhan cepat
selama periode infant memungkinkan untuk penanganan
remodelling. Penanganan dimulai saat kelainan didapatkan dan terdiri dari
tiga tahap yaitu koreksi dari deformitas, mempertahankan koreksi sampai
keseimbangan otot normal tercapai, observasi dan follow up untuk mencegah
kembalinya deformitas (Our Life, 2012).
2.2 Saran
Perawat dalam membuat asuhan keperawatan sebaiknya
memperhatikan setiap keluhan dari pasien sehingga komplikasi dapat
dihindari dan dapat meningkatkan kualitas hidup klien. Selain itu, perawat
juga harus berkolaborasi dengan tim medis lain untuk memberi terapi pada
klien serta keluarga sehingga penatalaksanaan dapat dilakukan secara
maksimal, baik secara mandiri dan berkolaborasi.
muskuloskeletal | 22
DAFTAR PUSTAKA
Adolescence. The Journal of Bone and Joint Surgery, 77B (5), 733-735.Derscheid, Gary L. dan Terry R. Malone. (1980). Physical Therapy Knee
Disorder. Journal of the American Physical Therapy Association, 60(12), 1582-1589.
Fraser,R.K., D.R.V Dickens, dan W.G Cole. (1995). Medial Physeal Stapling For Primary and Secondary Genu Valgum In Late Childhood and
Hansson, Lars Ingvar dan Mohammed Zayer. (1975). Physiological Genu Varum. Acta Orthop 46(2), 221-229.
Kotwal, Prakash P dan Mayilvahanan Natarajan. 2005. Textboook of Orthopaedics. New Delhi : Elsevier.
Perry, Jacquelin M.D. 1992. Gait Analysis: Normal and Pathological Function. New Jersey : SLACK Inc.
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGCRezkina, Estetika. (2010). Kaki X alias Genu Valgum?. Diakses tanggal 3 April
2012, dari http://estetikarea.wordpress.com/2010/12/03/kaki-x-alias-genu-valgum/
Scottish Rite Hospital. 1996. Knock-Knees (Genu Valgum). Scottish Rite Hospital. Texas.
Scottish Rite Hospital. 2006. Bowed Legs (Genu Varum) Knock-Knees (Genu Valgum). Scottish Rite Hospital. Texas.
Staheli, Lynn T. 2008. Fundamentals of Pediatric Orthopedics 4th Ed. Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins.
Stevens, Peter M. (2010). Genu valgum, Pediatrics. Diakses tanggal 3 April 2012, dari http://emedicine.medscape.com
Stevens, Peter M. Genu varum, Pediatrics. 2010. Diakses tanggal 3 April 2012, dari http://emedicine.medscape.com
muskuloskeletal | 23