YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 1

KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM PADA KOTA-KOTA DI INDONESIA Learning Paper (2016)1 NYOMAN PRAYOGA, MERCY CORPS INDONESIA

Abstrak Dalam membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim, salah satu unsur penting yang harus menjadi

perhatian adalah keberadaan aktor atau stakeholder yang mengakomodir isu perubahan iklim tersebut.

Seperti yang telah didefinisikan oleh ISET (2013), ketahanan kota terhadap perubahan iklim diperlukan

untuk membuat kota mampu menghadapi perubahan dan ketidakpastian dengan menggunakan berbagai

sumber daya dan kemampuan yang memungkinkan pembangunan tetap berfungsi di tengah dampak

perubahan iklim yang terjadi. Keberadaan sumber daya manusia yang mengupayakan ketahanan di level

kota menjadi penting karena merekalah yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan berdasarkan

pengalaman dan kapasitas mereka. Unsur-unsur seperti pemerintah kota, akademisi, praktisi, dunia usaha,

dan masyarakat memiliki kapasitas yang berbeda-beda dan diperlukan suatu kolaborasi untuk memperkuat

perwujudan kota berketahanan. Pengalaman dari Program Asian Cities Climate Change Resilience Network

di Indonesia menunjukkan bahwa keberadaan suatu wadah kolaboratif dengan beragam unsur stakeholder

di level kota dapat menunjang upaya peningkatan ketahanan kota. Tidak dapat dipungkiri bahwa masing-

masing unsur dan latar belakang para pemangku kepentingan di tingkat kota memiliki kekuatan dan

kekurangan masing-masing yang harapannya dapat bekerjasama untuk memberikan capaian lebih dalam

upaya membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Kota-kota seperti Bandar Lampung,

Semarang, Cirebon, Probolinggo, Palembang, Pekalongan, Tarakan, dan Blitar memiliki tim ketahanan

terhadap perubahan iklim dengan bentuk dan struktur yang disesuaikan dengan kebutuhan kota masing-

masing. Dalam proses membangun ketahanan kota tersebut, banyak hal yang dipelajari dari keberadaan

Tim Kota di bawah Program ACCCRN tersebut, baik peran dan kebutuhan adanya Tim Kota, sampai

tantangan yang harus dihadapi untuk menghasilkan Tim Kota dengan performa yang baik dalam

mengarusutamakan isu perubahan iklim di kotanya.

Kata Kunci: adaptasi perubahan iklim, ketahanan kota, stakeholder, kolaborasi

Pendahuluan

Istilah Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim lebih dikenal di dunia internasional dengan istilah Urban

Climate Change Resilience (UCCR). The Institute for Social and Environmental Transition (ISET), sebuah

lembaga penelitian mendefinisikan UCCR sebagai upaya untuk menghadapi perubahan dan ketidakpastian

1 Learning paper title in English: The Need of Coordination Platform in Building Climate Change Resilience in Indonesian Cities

Page 2: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 2

menggunakan berbagai sumber daya dan kemampuan yang memungkinkan pembangunan untuk tetap

berfungsi dan berjalan di tengah dampak-dampak perubahan iklim yang terjadi (ISET, 2013).

Melalui konsep Urban Climate Resilience Planning Framework (UCRPF), ketahanan didefinisikan dengan

bagaimana sistem perkotaan, agen sosial, dan tata kelola berinteraksi untuk „menyerap gangguan dan

belajar dari gangguan‟ dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim. Sistem perkotaan adalah “apa”

saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat

keputusan dan kemudian bertindak berdasarkan keputusannya (baik itu organisasi dan perorangan); dan

institusi memberikan pedoman “bagaimana” suatu tindakan diperbolehkan atau dilarang (hukum, peraturan,

perundang-undangan, dan struktur).

Keberadaan sumber daya manusia yang mengupayakan ketahanan di level kota menjadi penting karena

merekalah yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman dan kapasitas

mereka. Unsur-unsur seperti pemerintah kota, akademisi, praktisi, dunia usaha, dan masyarakat memiliki

kapasitas yang berbeda-beda dan diperlukan suatu kolaborasi untuk memperkuat perwujudan kota

berketahanan. Tidak dapat dipungkiri bahwa masing-masing unsur dan latar belakang para pemangku

kepentingan di tingkat kota memiliki kekuatan dan kekurangan masing-masing yang harapannya dapat

bekerjasama untuk memberikan capaian lebih dalam upaya membangun ketahanan kota terhadap

perubahan iklim.

Saat ini berbagai isu yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pembangunan perkotaan banyak menarik

perhatian baik bagi pihak masyarakat, komunitas, pemerintah, dan swasta. ACCCRN (Asian Cities Climate

Change Resilience Network – Jejaring Ketahanan Kota Asia Terhadap Perubahan Iklim), suaru program

yang diinisiasi oleh Rockefeller Foundation telah berjalan dari tahun 2008 sampai tahun 2016. ACCCRN

bertujuan untuk membangun ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim melalui fokus perhatian

kepada kebutuhan masyarakat yang rentan. Di Indonesia, ACCCRN di bawah koordinasi Mercy Corps

Indonesia memiliki wilayah kerja di Bandar Lampung dan Semarang pada awalnya di tahun 2009 dan

selanjutnya memperluas cakupan kerjanya ke Cirebon, Blitar, Probolinggo, Palembang, Pekalongan, dan

Tarakan sampai 2016 ini.

Program ACCCRN di Indonesia memiliki tujuan untuk mengarusutamakan isu perubahan iklim pada level

kebijakan pemerintah sehingga isu tersebut lebih banyak terakomodir dalam program-program pemerintah.

Dalam mencapai tujuan tersebut, tentu ada upaya untuk meningkatkan kapasitas kota dalam mengenali

karakter kerentanan dan risiko kota terhadap perubahan iklim, termasuk menyusun strategi dan aksi untuk

merespon dampak yang mereka hadapi. Selain itu, kota juga didorong untuk dapat mengimplementasikan

aksi untuk membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim sehingga dapat menjadi pembelajaran

untuk aksi dan praktik membangun ketahanan kota selanjutnya. Dari hal itu dapat disadari bahwa

keberadaan aktor atau stakeholder yang bertanggung jawab dalam mengakomodir isu ketahanan kota

terhadap perubahan iklim amat dibutuhkan untuk realisasi segala proses tersebut.

Pengalaman dari Program ACCCRN di Indonesia menunjukkan bahwa keberadaan suatu wadah kolaboratif

dengan beragam unsur stakeholder di level kota dapat menunjang upaya peningkatan ketahanan kota.

Kota-kota seperti Bandar Lampung, Semarang, Cirebon, Probolinggo, Palembang, Pekalongan, Tarakan,

dan Blitar memiliki tim ketahanan terhadap perubahan iklim (Tim Kota) dengan bentuk dan struktur yang

disesuaikan dengan kebutuhan kota masing-masing. Dalam proses membangun ketahanan kota tersebut,

banyak hal yang dipelajari dari keberadaan Tim Kota di bawah Program ACCCRN tersebut, baik peran dan

kebutuhan adanya Tim Kota, sampai tantangan yang harus dihadapi untuk menghasilkan Tim Kota dengan

performa yang baik dalam mengarusutamakan isu perubahan iklim di kotanya.

Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai kebutuhan dan peran Tim Ketahanan Kota terhadap Perubahan

Iklim pada kota-kota di Indonesia. Proses untuk mendapatkan Tim Kota yang memiliki performa yang

Page 3: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 3

maksimal dalam mengarusutamakan isu perubahan iklim ke level kebijakan tidak dapat dikatakan mudah.

Bahkan, membawa isu perubahan iklim sebagai suatu isu yang mendesak di level kota juga bukan sesuatu

yang mudah. Tulisan ini berusaha untuk menguraikan hal-hal mulai dari upaya menumbuhkan kesadaran,

membentuk tim dengan struktur yang sesuai, membangun dan mengelola kapasitas tim, memotivasi para

stakeholder yang ada di dalam tim, dan hal-hal lain yang dapat diambil pembelajarannya baik dari segi

keberhasilan maupun tantangan.

Tantangan Manajemen Perkotaan di Bawah Ancaman Perubahan Iklim

Kompleksitas Urbanisasi dan Perubahan Iklim

Masalah perkotaan adalah masalah yang memiliki kompleksitas tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai

tantangan urbanisasi mulai dari masalah kependudukan, transportasi, tata guna lahan, ekonomi,

lingkungan, dan sebagainya. Seiring perkembangan dan waktu, beratnya tantangan yang harus dihadapi

dari masalah urbanisasi menjadi semakin kompleks dengan adanya tantangan dari masalah perubahan

iklim. Area perkotaan dengan berbagai macam aktivitasnya harus disadari memiliki keterkaitan erat baik

sebagai salah satu penyebab maupun terdampak dari perubahan iklim.

Mengacu pada World Population Prospect yang dirilis oleh PBB (UN – United Nations) tahun 2015, populasi

dunia diperkirakan akan mencapai 8,5 miliar pada tahun 2030, 9,7 miliar pada tahun 2050, dan melampaui

11 miliar pada tahun 2100. Konsentrasi peningkatan jumlah populasi yang pesat ini banyak terjadi di

daerah-daerah negara Asia dan Afrika. Indonesia sendiri di tahun 2050 diprediksi akan memiliki populasi di

atas 300 juta penduduk. Pada tahun 2014 sendiri, 54% dari total populasi dunia tinggal di area perkotaan.

Berdasarkan proyeksi, maka jumlah penduduk di kota-kota besar akan meningkat hingga 66 persen pada

2050. Masih menurut proyeksi PBB, pada tahun 2050 dua pertiga atau sekitar 67% populasi Indonesia akan

tinggal di wilayah perkotaan. Sejak 40 tahun yang lalu Indonesia sedang mengalami sebuah proses

urbanisasi yang pesat sehingga sekarang sekitar separuh dari jumlah total penduduk Indonesia tinggal di

wilayah perkotaan. Kondisi ini tentu menjadi salah satu peringatan dini bahwa pengelolaan wilayah

perkotaan akan menjadi tantangan yang sangat penting dalam pembangunan secara umum.

Sebagai masalah pembangunan, masalah perubahan iklim seringkali dipandang sebagai masalah

lingkungan. Padahal, penyebab maupun dampak dari perubahan iklim terkait dengan banyak sektor

pembangunan. Berdasarkan pembelajaran dari Asian Cities Climate Change Resilience Network

(ACCCRN), di Indonesia sendiri, perubahan iklim telah berdampak pada semakin tingginya intensitas dan

jenis bencana perubahan iklim yang terjadi seperti banjir, rob, kekeringan, angin putting beliung,

ketidakpastian musim, penurunan produktivitas pertanian, serta wabah penyakit. Hal ini mengakibatkan

besarnya kerugian yang dialami masyarakat di perkotaan baik secara material mapun immaterial.

Kompleksitas kombinasi masalah perkotaan dan perubahan iklim memunculkan berbagai upaya untuk

meningkatkan ketahanan perkotaan terhadap perubahan iklim. Upaya ini sering dikenal sebagai upaya

untuk membangun UCCR (Urban Climate Change Resilience). The Institute for Social and Environmental

Transition (ISET), mendefinisikan UCCR sebagai upaya untuk menghadapi perubahan dan ketidakpastian

menggunakan berbagai sumber daya dan kemampuan yang memungkinkan pembangunan untuk tetap

berfungsi dan berjalan di tengah dampak-dampak perubahan iklim yang terjadi (ISET, 2013). Berdasarkan

kerangka ketahanan, upaya membangun kapasitas kota dilihat dari sistem perkotaan (system), agen sosial

(agent), dan tata kelola (institution) berinteraksi untuk beradaptasi dengan keadaan dan belajar dari

pengalaman dan situasi saat ini serta situasi yang mengancam dalam menghadapi dampak dari perubahan

iklim. Sistem perkotaan adalah ‘apa’ saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen

Page 4: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 4

adalah ‘siapa’ saja yang dapat membuat keputusan, mempengaruhi proses pengambilan keputusan,

bertindak berdasarkan keputusannya, maupun yang terdampak atas keadaan; tata kelola adalah pedoman

‘bagaimana’ suatu tindakan diperbolehkan atau dilarang (hukum, peraturan, perundang-undangan, struktur).

Kebutuhan Kolaborasi Antar Pemangku Kepentingan dalam Membangun Ketahanan

terhadap Perubahan Iklim

Perubahan iklim berdampak pada pembangunan dan kehidupan masyarakat tanpa mengenal latar belakang

maupun kelompok sosial dan bisa mengancam dan dirasakan di berbagai wilayah. Pembangunan suatu

kerangka hubungan multi-stakeholder pada level nasional, regional, maupun daerah menjadi penting untuk

meningkatkan kolaborasi, penyamaan persepsi, dan konsensus mengenai rencana ke depan akan

pembangunan berkelanjutan dan menghadapi perubahan iklim (UNDP, 2012).

Berbagai aksi dalam menghadapi perubahan iklim sudah memberi pelajaran bahwa aksi kolaborasi lintas

sektor, lintas stakeholder dari kelompok, organisasi, maupun individu menjadi salah satu kunci untuk

membangun ketahanan. Upaya bersama tersebut dibutuhkan untuk mengelola sumber daya dan keahlian

yang berbeda-beda, pengumpulan informasi dan data, merancang suatu strategi aksi yang komprehensif,

dan menciptakan koordinasi yang baik sehingga masing-masing memahami peran dan keterlibatannya. Aksi

respon terhadap perubahan iklim baik di bidang mitigasi maupun adaptasi idealnya melibatkan jejaring yang

bisa berasal dari aktor heterogen di berbagai level dan memiliki tujuan menyelesaikan masalah bersama,

mengambil keputusan, dan menginisiasi aksi secara kolaboratif (May dan Plumer, 2011).

Menurut Khare, Beckman, dan Crouse (2011), kelompok stakeholder dalam pembangunan dapat

dikategorikan menjadi tiga yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. PWC (2012) menambahkan

bahwa akademisi seharusnya dibedakan dan menjadi kategori keempat. Harus diyakini bahwa tujuan

pembangunan yang ideal tidak akan tercapai tanpa adanya partisipasi dan interaksi antar kelompok

stakeholder tersebut. Masing-masing kelompok stakeholder memiliki kelebihan dan kekurangan dari segi

kapasitas, maka dari itu kolaborasi menjadi suatu kebutuhan. Crane dan Matten (2010) memberi contoh,

dengan keterbatasan anggaran yang ada menyebabkan pemerintah berupaya membangun bekerjasama

dengan sektor usaha (private sector) untuk mendukung pendanaan dalam menyelesaikan suatu masalah di

sektor transportasi publik. Dalam praktiknya, kerjasama juga dapat dilebarkan dengan kolaborasi bersama

NGO (non governmental organization) yang bisa mendukung implementasi di tingkat masyarakat, misalnya

untuk menjaring aspirasi tentang transportasi publik seperti apa yang ideal bagi masyarakat sasaran.

Sebagai acuan analisis dalam tulisan ini, Roberts dan Bradley (1991) telah mengidentifikasi lima elemen

yang menggambarkan kolaborasi. Elemen pertama adalah tujuan bersama (transmutational purpose),

mengacu pada orientasi dan ekspektasi dari masing-masing partisipan. Elemen kedua adalah kesukarelaan

dan keanggotaan (voluntary and clear membership), mengacu pada kemauan untuk partisipasi serta

artikulasi peran ditunjukkan. Elemen ketiga adalah organisasi atau pengaturan (organization), mengacu

pada perencanaan dan koordinasi aktivitas, termasuk norma dan aturan, dan pengambilan keputusan

bersama. Elemen keempat adalah proses interactive (interactive process) yang harus secara kontinyu

dievaluasi dan diperiksa kembali karena juga akan terkait dengan tahapan perkembangan kolaborasi

tersebut. Elemen kelima adalah durasi (temporary duration) kolaborasi, mengacu pada kapan dimulainya

kerjasama, kapan tujuan kolaborasi tercapai, dan kapan kolaborasi harus berakhir.

Metode Kajian Studi ini dilakukan dengan melakukan kajian dari pembelajaran Program Asian Cities Climate Change

Resilience Network (ACCCRN) – Jejaring Ketahanan Kota Asia terhadap Perubahan Iklim yang

diimplementasikan di Indonesia oleh Mercy Corps Indonesia dari tahun 2009 sampai 2016. Program

Page 5: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 5

ACCCRN di Indonesia diimplementasikan di 8 kota utama meliputi Bandar Lampung, Blitar, Cirebon,

Palembang, Pekalongan, Probolinggo, Semarang, Tarakan. Pembelajaran mengenai pentingnya

mengidentifikasi kerentanan dan risiko serta di kota-kota tersebut juga disebarluaskan oleh Asosiasi

Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) ke jejaring kota yang lebih luas. Dalam konteks ini, analisis

dilakukan berdasarkan pendampingan program ACCCRN di 8 kota tersebut yang seluruhnya memiliki Tim

Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim yang secara singkat disebut sebagai Tim Kota.

Metode kajian yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif terhadap proses

berjalannya Tim Kota dalam berupaya mengarusutamakan isu perubahan iklim di kotanya. Penelitian

deskriptif kualitatif digunakan untuk melihat objek studi secara komprehensif sehingga uraian mengenai

pentingnya kolaborasi dalam memunculkan peran dan eksistensi Tim Kota dapat ditunjukkan dengan baik.

Proses pengumpulan data dan informasi diperoleh dari hasil observasi dan pengalaman pendampingan

dalam program ACCCRN serta studi literatur dari laporan dan materi peningkatan kapasitas Tim Kota.

Bentuk Tim Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim

Kebutuhan terhadap keberadaan Tim Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim (Tim Kota) dari

pengalaman Program ACCCRN muncul dari keinginan adanya rasa kepemilikan dari kota itu sendiri

terhadap aksi-aksi terkait dengan perubahan iklim. Selama ini, upaya intervensi yang dilakukan berbagai

lembaga tidak jarang berhenti keberlanjutannya karena keterlibatan yang minim dari para stakeholder yang

relevan dengan isu terkait. Harapannya, dengan adanya suatu kelompok kerja yang diisi oleh pihak-pihak

yang relevan dan bahkan memiliki minat terhadap isu perubahan iklim, maka kelompok kerja atau Tim Kota

tersebut dapat menjadi suatu kendaraan di tingkat kota untuk menjadikan isu perubahan iklim sebagai isu

yang terarusutamakan di bidang pembangunan.

Sesuai dengan pembelajaran yang pernah dilakukan oleh ARUP dan Mercy Corps Indonesia (2014), bahwa

tidak ada bentuk tunggal Tim Kota yang akan tepat untuk semua dalam setiap waktu. Pengalaman dari kota

ACCCRN menunjukkan:

1. Kepemimpinan tim kota berbeda-beda. Tim kota dapat dipimpin oleh organisasi yang berbeda-beda,

dapat dari unsur pemerintahan, NGO maupun pihak swasta;

2. Struktur tim kota berbeda-beda. Pengalaman menunjukkan bahwa struktur pada tim kota di masing-

masing kota berbeda-beda.

3. Anggota tim kota berbeda-beda. Pengalaman menunjukkan bahwa anggota dapat dipilih secara

individual ataupun menurut organisasinya. Organisasi yang diwakilkan bisa berupa SKPD, NGO dan

universitas;

4. Struktur tim kota dapat berubah seiring berjalannya waktu. Pengalaman menunjukkan bahwa struktur

tim kota dapat berubah sesuai kebutuhan saat itu (misalnya inisiasi baru, melanjutkan, atau menjaga

struktur). Perubahan biasanya dibutuhkan agar dapat lebih fokus terhadap aksi atau untuk

mendapatkan pendanaan.

Dari berbagai bentuk Tim Kota di 8 Kota ACCCRN di Indonesia, seperti yang disebutkan sebelumnya,

leading sector bisa berbeda-beda meski seluruhnya tetap dipimpin oleh unsur pemerintah. Mengacu pada

Surat Keputusan di berbagai kota tersebut, ada struktur dengan kepemimpinan oleh high level position

seperti Sekretaris Daerah yang memiliki kewenangan yang sangat berpengaruh di tingkat kota. Bahkan

beberapa kota memiliki Walikota nya pada posisi sebagai penanggung jawab atau pengarah. Meski

demikian, peletakan posisi pada pejabat level tinggi ini sering kali memiliki kecenderungan sebagai

Page 6: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 6

formalitas dari suatu kelompok kerja di pemerintahan karena pada praktiknya, akan ada posisi tertentu

dalam struktur yang menjadi focal point atau koordinator dalam pekerjaan Tim Kota yang lebih intensif.

Perbedaan kepengurusan Tim Kota dari segi kepemimpinan ini sangat berkaitan juga dengan struktur

organisasinya. Ada bentuk Tim Kota dengan struktur sederhana yang terdiri dari pengarah, penanggung

jawab, ketua, wakil ketua, sekretaris, kemudian dilengkapi dengan susunan anggota. Ada bentuk Tim Kota

dengan struktur serupa namun dengan pembagian peran yang lebih kompleks karena susunan anggota

dikelompokkan lagi ke dalam kelompok kerja tertentu seperti bidang penetlitian, monitoring evaluasi,

kemitraan, dan sebagainya. Beberapa struktur Tim Kota di beberapa kota juga secara spesifik membedakan

peran ketua dan koordinator, dan ada juga yang memiliki posisi ketua namun tidak secara eksplisit

menunjukkan posisi yang memainkan peran koordinator di kenyataannya.

TABEL 1. VARIASI STRUKTUR TIM KOTA PADA KOTA-KOTA ACCCRN DI INDONESIA BERDASAR SK

Kota Gambaran Struktur Tim Kota

Bandar Lampung

Ketua: Sekretaris Daerah; Wakil Ketua: Asisten Bidang Perekonomian & Pembangunan; Sekretaris: Kepala Bappeda; Kelompok Kerja Publikasi dan Komunikasi; Kelompok Kerja Kemitraan; Kelompok Kerja Litbang & Perencanaan Program; Kelompok Kerja Pelaporan dan Evaluasi (Kelompok Kerja terdiri dari anggota dengan berbagai posisi di berbagai lembaga) * Focal Point: Kabid Fisik Prasarana Bappeda Kota

Blitar Penanggung Jawab: Walikota; Wakil Penanggung Jawab: Wakil Walikota Pengarah: Sekretaris Daerah; Wakil Pengarah: Asisten Perekonomian dan Pembangunan Ketua: Kepala Bappeda; Wakil Ketua: Kepala BLH; Sekretaris: Kabid Perencanaan Prasarana Wilayah dan Tata Ruang Bappeda; Sekretariat; Bidang Perencanaan; Bidang Implementasi; Bidang Monev (Sekretariat dan Bidang terdiri dari anggota dengan berbagai posisi di berbagai lembaga) * Focal Point: Kabid Perencanaan Lingkungan Hidup, ESDM, dan Perhubungan Bappeda

Cirebon Penanggung Jawab 1: Kepala Bappeda Penanggung Jawab 2, Ketua, dan Anggota terdiri dari keanggotaan berdasarkan nama (bukan berdasarkan posisi) * Focal Point: Kabid Fisik Prasarana Bappeda Kota

Palembang Tim Pengarah: Walikota; Wakil Walikota, Sekda, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Ketua Koordinator: Kepala BLH; Tim Koordinator: anggota dengan berbagai posisi di berbagai lembaga; Tim Sekretariat Penelitian: anggota dengan berbagai posisi di berbagai lembaga * Focal Point: Kabid Pengendalian Kerusakan dan Pemulihan Lingkungan BLH

Pekalongan Tim Pengarah: Penanggung Jawab I: Walikota; Penanggung Jawab II: Wakil Walikota; Ketua Pengarah: Sekretaris Daerah; Wakil Ketua: Asisten II Sekda Kota; Sekretaris Pengarah: Kepala KLH; Anggota Pengarah: Kepala Dinas SKPD Kota; Tim Pelaksana: Penanggung Jawab Pelaksana: Kepala Bappeda; Ketua Pelaksana: Kepala KLH;

Page 7: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 7

Kota Gambaran Struktur Tim Kota

Sekretaris Pelaksana: Kasubag Tata Usaha KLH; Anggota * Focal Point: Kasubid Tata Lingkungan Kantor Lingkungan Hidup (KLH)

Probolinggo Komite Pengarah Pelindung: Walikota; Penanggung Jawab: Wakil Walikota; Pengarah: Sekretaris Daerah; Wakil Pengarah: Asisten Perekonomian dan Pembangunan; Ketua Pengarah: Kepala BLH; Sekretaris Pengarah: Sekretaris BLH; Anggota Pengarah: Kepala Dinas SKPD Kota; Komite Teknis Koordinator: Kabid Pelestarian, Pengendalian, dan Pengembangan Kapasitas Lingkungan Hidup (P3KLH) BLH; Wakil Koordinator: Kabid Fisik dan Prasarana Bappeda; Sekretaris Komite Teknis: Kasubid Pelestarian dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan pada Bidang P3KLH BLH Anggota: anggota dengan berbagai posisi di berbagai lembaga * Focal Point: Kabid P3KLH BLH

Semarang Ketua: Kepala Bappeda Kota; Ketua Harian: Sekretaris Bappeda Kota; Sekretaris: Kepala BLH; Anggota: anggota dengan berbagai posisi di berbagai lembaga * Focal Point: Sekretaris Bappeda Kota

Tarakan Penanggung Jawab: Walikota; Ketua: Sekretaris Daerah; Wakil Ketua: Asisten Ekonomi dan Pembangunan Kota; Sekretaris: Kepala BPLH; Anggota: anggota dengan berbagai posisi di berbagai lembaga * Focal Point: Kasubag Analisis dan Kajian Pembangunan Sekda dan/atau

Kasubag Pengendalian Pengerusakan Pesisir BPLH

* Focal Point adalah pihak yang menjadi pintu masuk koordinasi Program ACCCRN dengan Tim Kota yang teridentifikasi seiring masa implementasi Program ACCCRN – tidak ditunjuk secara langsung dalam SK yang diterbitkan oleh Kota

Sumber: Dokumentasi Program ACCCRN

Bentuk struktur kepemimpinan dan keanggotaan Tim Kota yang sedemikian rupa dan bervariasi jika

dibandingkan antar kota-kota ACCCRN di Indonesia menunjukkan tidak adanya format khusus yang

menjamin kesempurnaan kinerja yang diharapkan. Bentuk struktur yang ditetapkan melalui Surat Keputusan

(SK) Walikota (atau Badan maupun Dinas) merupakan hasil identifikasi kebutuhan dan ketersediaan sumber

daya yang ada di kota beserta relevansinya dengan bidang perubahan iklim.

Ide dari keberadaan Tim Kota dari awal adalah adanya suatu wadah yang mengakomodir berbagai

stakeholder dari berbagai latar belakang. Dari berbagai komponen stakeholder di kota-kota ACCCRN di

Indonesia, terdapat unsur pemerintah, lembaga masyarakat, akademisi, dan ada juga Tim Kota yang sudah

memiliki unsur dunia usaha di dalamnya. Secara umum, pemerintah menjadi koordinator dari keberadaan

Tim Kota. Rata-rata, Tim Kota di kota ACCCRN memiliki leading sector dari Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (Bappeda) atau dari Badan Lingkungan Hidup (BLH). Kedua lembaga tersebut

memang memiliki ranah yang cukup terkait dengan perubahan iklim sehingga lebih mudah menjadikannya

Page 8: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 8

sebagai entry point di awal pengembangan Tim Kota. Bappeda sendiri memiliki fungsi strategis dan

koordinasi sehingga lebih mudah untuk mengorganisir lembaga-lembaga lain khususnya di pemerintahan

untuk berpartisipasi dalam Tim Kota, sedangkan BLH memiliki ranah di bidang lingkungan hidup yang harus

diakui masih menjadi isu yang sangat lekat dengan perubahan iklim. Meski demikian, beberapa kota dengan

format kepemimpinan Tim Kota yang dipegang oleh Kepala Badan/ Kepala Dinas merasa bahwa ada

limitasi koordinasi yang terjadi karena format Tim Kota yang lintas sektor. Pada level tertentu, ada rasa

ketidaknyamanan yang muncul saat suatu badan atau dinas tertentu melakukan penugasan atau

pendelegasian suatu aktivitas terkait dengan perubahan iklim kepada individu atau posisi yang berada di

instansi lain. Maka, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa kepemimpinan Sekretaris Daerah

dirasa lebih bisa mengakomodir isu-isu pendelegasian tugas yang lintas institusi tersebut mengingat posisi

Sekretaris Daerah yang memiliki kewenangan lebih luas di tingkat kota.

Seperti yang dapat dilihat dari format struktur kepemimpinan dan organisasi Tim Kota di berbagai kota

ACCCRN, pada praktiknya selama ini Program ACCCRN lebih banyak melakukan koordinasi dengan focal

point yang ada di Kota dibandingkan dengan posisi strategis atau high level position yang ada dalam

struktur Tim Kota. Kendala terbesar tentu kesibukan dan fleksibilitas posisi-posisi seperti Sekretaris Daerah

atau Kepala Badan/ Dinas yang justru akan menimbulkan ketidakefektifan implementasi karena sulitnya

koordinasi yang intensif dengan mereka. Maka, seiring berjalannya pendampingan, Program ACCCRN

mengidentifikasi pihak-pihak yang memiliki fungsi maupun kemampuan koordinasi yang dapat menunjang

pelaksanaan berbagai aktivitas membangun ketahanan di kota. Bahkan, beberapa focal point memang

sudah ditunjuk secara informal oleh Ketua Tim Kota untuk menjalankan peran koordinasi yang diharapkan.

Selain perbedaan kepemimpinan dan struktur organisasinya, Tim Kota di berbagai Kota ACCCRN juga

memiliki unsur keanggotaan yang bervariasi pula. Seperti yang disebutkan sebelumnya, ekspektasi

keberadaan Tim Kota sebagai salah satu wadah penggerak kegiatan pembangunan ketahanan kota

terhadap perubahan iklim dapat direpresentasikan oleh stakeholder dengan berbagai kelompok latar

belakang. Berdasarkan pendokumentasian dari ARUP dan ACCCRN (2015), unsur pembentuk Tim

Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim dapat terdiri dari perwakilan pemerintah, lembaga swadaya

masyarakat (LSM) atau non governmental organization (NGO), akademisi, dan dunia usaha. Masing-masing

kelompok stakeholder tersebut memiliki peran spesifik yang menjadikan alasan dibutuhkannya kolaborasi di

antara mereka untuk kepentingan bersama di tingkat kota.

TABEL 2. PERAN DARI KELOMPOK STAKEHOLDER SEBAGAI UNSUR PEMBENTUK TIM KOTA

Kelompok Stakeholder Peran

Pemerintah Mengambil/ merumuskan sekaligus melaksanakan kebijakan (sekaligus mengarusutamakan isu perubahan iklim pada level kebijakan);

Mengoordinasikan fungsi dan peran antar lembaga;

Menyediakan akses data pemerintahan;

Melakukan proses penganggaran daerah (dapat menyertakan aksi perubahan iklim dalam anggaran pembangunan daerah)

LSM/ NGO Memberikan keahlian pendampingan di masyarakat;

Menyediakan kapasitas pelaksanaan teknis di lapangan;

Melaksanakan fungsi advokasi;

Membantu proses monitoring dan evaluasi suatu aksi;

Akademisi Menyediakan keahlian penelitian atau pengetahuan pada bidang tertentu;

Memberikan peningkatan kapasitas materi atau teknis pada bidang

Page 9: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 9

Kelompok Stakeholder Peran

tertentu;

Memberikan fasilitasi pada forum diskusi sesuai kebutuhan;

Membantu proses publikasi melalui hasil penelitian atau pendokumentasian pembelajaran;

Membantu proses monitoring dan evaluasi suatu aksi

Dunia Usaha Menyediakan sumber pendanaan alternatif;

Menyediakan peluang kolaborasi dengan mekanisme kerjasama lainnya

Sumber: Analisis penulis (2016)

Berdasarkan deskripsi singkat mengenai peran dari kelompok stakeholder yang disebutkan pada tabel di

atas, maka kondisi kelengkapan unsur pembentuk Tim Kota di kota-kota ACCCRN tidak sepenuhnya

seragam. Masing-masing kota memiliki karakter dan ketersediaan sumber daya yang beragam. Selain itu,

membangun kerjasama lintas institusi bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih pada konteks isu yang

belum populer. Unsur pembentuk Tim Kota pada kota ACCCRN di Indonesia dapat dilihat pada tabel di

bawah.

TABEL 3. UNSUR PEMBENTUK TIM KOTA PADA KOTA-KOTA ACCCRN DI INDONESIA BERDASARKAN SURAT KEPUTUSAN MASING-MASING DAERAH

Unsur Pembentuk Tim Kota

Pemerintah Lembaga/Kelompok

Masyarakat/LSM/NGO Akademisi

Dunia Usaha

Bandar Lampung

Blitar

Cirebon

Palembang

Pekalongan

Probolinggo

Semarang

Tarakan

Sumber: Dokumentasi Program ACCCRN (2016)

Ketika membicarakan keanggotaan Tim Kota, maka penting untuk menyadari beberapa poin pertimbangan.

Hal-hal seperti apakah Tim Kota memiliki keragaman keterampilan dan sudut pandang, apakah Tim Kota

memiliki anggota dari kelompok stakeholder yang berbeda sehingga dapat mempengaruhi serangkaian

sektor, apakah Tim Kota memiliki kekuatan atau akses untuk memengaruhi kebijakan di kota, dan

pertimbangan sehubungan dengan apakah setiap anggota sudah memiliki peran dan tanggung jawab

tertentu. Bahkan, pertimbangan dasar dari keanggotaan Tim Kota juga dapat dilihat dari ada atau tidaknya

motivasi dari para stakeholder yang masuk dalam struktur keanggotaan untuk membangun ketahanan kota

terhadap perubahan iklim.

Selain unsur pembentuknya, sistem penunjukkan keanggotaan Tim Kota juga dapat bervariasi. Berdasarkan

pengalaman kota-kota ACCCRN, keanggotaan dapat dipilih secara institusi atau posisi maupun secara

Page 10: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 10

individu atau penunjukkan nama. Penunjukkan keanggotaan berdasarkan institusi atau posisi dipilih karena

pertimbangan relevansi posisi tertentu terhadap bidang atau lingkup pekerjaannya. Ini berarti individu yang

melakukan aktivitasnya di Tim Kota dapat berganti sewaktu-waktu jika pihak yang bersangkutan dimutasi ke

institusi lain. Selanjutnya, individu baru di posisi yang didokumentasikan dalam Surat Keputusan akan

meneruskan tanggung jawabnya dalam Tim Kota. Kelemahannya adalah transfer pengetahuan yang sulit

terjadi dari individu lama ke individu baru di posisi dengan lingkup pekerjaan yang relevan tersebut sehingga

harus kembali ada proses investasi pengetahuan yang dibutuhkan untuk konteks UCCR. Di sisi lain, Tim

Kota dengan sistem keanggotaan yang dipilih dengan penunjukkan individu langsung berarti nama

seseorang didokumentasikan pada Surat Keputusan yang ada. Ini juga berarti bahwa individu tersebut akan

tetap menjadi bagian dari Tim Kota ketika yang bersangkutan harus pindah dan bergerak di institusi atau

departemen yang berbeda. Maka, investasi pengetahuan yang ditanamkan pada individu yang menjadi

anggota Tim Kota akan lebih terjamin keberlanjutannya. Kelemahannya adalah jika individu tertentu

dipindahtugaskan ke institusi yang tidak relevan dengan isu perubahan iklim, maka dia akan kesulitan

mendapatkan izin atau pendelegasian tugas (disposisiterkait dengan konteks tersebut. Kedua sistem

penunjukkan keanggotaan ini tentu memiliki perbedaan benefit dan konsekuensi masing-masing. Maka,

selama Tim Kota sadar konsekuensi yang harus mereka hadapi dari bentuk struktur dan sistem

keanggotaan yang mereka pilih, maka mereka sebaiknya juga paham bagaimana menyikapi konsekuensi

tersebut.

Program ACCCRN paham bahwa Tim Kota memiliki bentuk yang berbeda-beda. Tidak ada bentuk tunggal

Tim Kota yang akan tepat untuk semua Tim Kota dalam setiap waktu. Pengalaman menunjukkan bahwa

struktur Tim Kota dapat berubah sesuai kebutuhan. Pada umumnya, Surat Keputusan (SK) tentang

keanggotaan Tim Kota diperbarui satu tahun sekali. Perubahan keanggotaan dann strukturnya disesuaikan

dengan kebutuhan dan kondisi kota. Perubahan posisi atau rotasi dalam elemen pemerintahan seringkali

menjadi faktor utama penyesuaian struktur dan keanggotaan tersebut. Tentu harapannya perubahan ini

dapat membawa Tim Kota menjadi lebih baik, namun tantangan yang disebabkan perubahan ini juga besar

karena beberapa anggota baru perlu melakukan penyesuaian dengan isu ketahanan terhadap perubahan

iklim yang mungkin belum familiar bagi mereka. Maka dari itu, harapannya isu perubahan iklim dapat

diarusutamakan ke depannya sehingga lebih banyak orang yang memahami atau setidaknya mengenal

konsep dasar ketahanan terhadap perubahan iklim.

Memunculkan Kolaborasi Melalui Tim Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim Kolaborasi menjadi elemen penting dalam upaya membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim.

Penting untuk memberikan ruang bagi stakeholder terkait untuk berkontribusi dan membangun argumen

bersama-sama karena perubahan iklim merupakan isu multi-sektor yang tidak bisa diatasi oleh satu pihak

saja (ACCCRN, 2016). Sudut pandang yang multi-perspektif dari multi-disiplin sangat diharapkan untuk

merumuskan masalah kota bersama-sama. Proses pelibatan bermacam-macam stakeholder tersebut dapat

mengubah kebiasaan institusi-institusi yang bekerja secara parsial, membangun kekuatan yang lebih besar,

dan sekaligus dapat melihat adanya aktor-aktor yang selama ini tidak dipertimbangkan dalam mengatasi

suatu permasalahan.

Roberts dan Bradley (1991) menyampaikan bahwa ada lima elemen yang menunjukkan adanya kolaborasi

yaitu tujuan bersama, kesukarelaan, pengaturan atau organisasi, proses interaktif, dan durasi. Kelima

elemen ini menjadi menarik untuk diidentifikasi dalam Tim Kota yang ada pada kota-kota ACCCRN di

Indonesia. Analisis terkait kelima elemen tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

Page 11: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 11

TABEL 4. LIMA ELEMEN KOLABORASI ROBERTS DAN BRADLEY PADA TIM KOTA ACCCRN

Elemen Kolaborasi (Roberts dan Bradley)

Kondisi yang Terjadi pada Kota ACCCRN

Tujuan Bersama (Transmutational Purpose)

Masing-masing anggota Tim Kota memiliki kepentingan berbeda-beda berdasarkan asal atau latar belakang institusinya. Pada tingkatan tertentu, peran koordinator menjadi sangat krusial untuk mengarahkan anggota Tim Kota terhadap tujuan besar mereka untuk mengarusutamakan isu perubahan iklim di tingkat kota. Harus diakui, pemahaman anggota secara menyeluruh tidak cukup kuat terhadap tujuan bersama tersebut yang biasanya disebabkan lemahnya perumusan visi dan misi Tim Kota. Ada kecenderungan Tim Kota yang dilegalkan oleh Surat Keputusan masih sebatas menjadi wadah para individu yang masih mengutamakan kepentingan dan ekspektasinya masing-masing, namun belum seutuhnya memiliki pemahaman tujuan besar dari keberadaan Tim Kota. Selama peran koordinator cukup kuat, maka penguatan pemahaman terhadap tujuan bersama tersebut dapat dilakukan dan ini harus dilakukan secara terus menerus.

Kesukarelaan dan Keanggotaan (Voluntary and Clear Membership)

Setiap anggota dalam Tim Kota memiliki alasan masing-masing terkait dengan minatnya terhadap isu perubahan iklim. Tingkat ketertarikan dengan kepentingan yang berbeda-beda tersebut berpengaruh pada tingkat partisipasi mereka. Keanggotaan yang ditunjuk sesuai dengan relevansi bidang institusi cenderung kurang memunculkan motivasi untuk berkontribusi aktif karena sifatnya lebih kepada pendelegasian tugas, bukan inisiatif personal. Perubahan struktur dan keanggotaan Tim Kota yang dilakukan secara reguler menjadi salah satu proses penyaringan anggota yang memiliki komitmen dan ketertarikan lebih pada isu ketahanan terhadap perubahan iklim. Maka, peran ketua dan koordinator tetap menjadi penting untuk menilai anggota-anggota yang perlu dipertahankan terlepas dari posisinya di institusi asal, serta kebutuhan untuk memotivasi individu-individu yang potensial untuk dilibatkan lebih intensif terkait, terlebih dengan isu prioritas yang sedang diusung Tim Kota.

Organisasi atau Pengaturan (Organization)

Organisasi dalam Tim Kota dapat dikatakan masih cukup lemah. Belum ada perumusan mekanisme yang menjadi aturan main yang terkait juga dengan tanggung jawab anggota. Paling tidak, Tim Kota yang sudah lebih baik berupaya untuk paling tidak mengadakan rapat koordinasi satu bulan satu kali, meskipun ini juga bukan hal yang mudah karena kesibukan dan jadwal masing-masing anggota yang berbenturan. Rata-rata, pengorganisasian Tim Kota di kota ACCCRN akhirnya terbatas pada koordinasi jika ada proyek yang sedang berjalan atau saat ada kegiatan capacity building dari lembaga mitra yang meminta para anggota untuk berkumpul dan berpartisipasi.

Proses Interaktif (Interactive Process)

Selama dalam pendampingan Program ACCCRN, Tim Kota mendapatkan monitoring dan evaluasi secara reguler untuk melihat capaian dan tantangan yang dihadapi. Proses evaluatif seperti ini dilakukan secara internal oleh Tim Kota melalui rapat koordinasi yang diupayakan untuk terlaksana satu kali satu bulan. Paling tidak, saat ada kegiatan atau proyek berjalan, proses interaktif ini berjalan cukup baik terutama di antara anggota-anggota yang terlibat langsung dalam kegiatan tersebut. Maka yang menjadi catatan adalah bagaimana interaksi dapat terjadi secara lebih menyeluruh, khususnya melalui upaya knowledge sharing yang masih bisa ditingkatkan lebih baik lagi.

Page 12: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 12

Elemen Kolaborasi (Roberts dan Bradley)

Kondisi yang Terjadi pada Kota ACCCRN

Durasi (Temporary Duration)

Tim Kota secara legal disahkan melalui Surat Keputusan (yang biasanya diterbitkan Walikota) dan berlaku selama satu tahun. Selama kota mempertimbangkan bahwa masih ada kebutuhan untuk eksistensi Tim Kota tersebut, maka SK tersebut akan diperbarui dengan melihat kembali struktur dan keanggotaannya. Secara ideal, maka Tim Kota diharapkan keberadaannya sampai target untuk mengarusutamakan isu perubahan iklim, khususnya pada tingkatan kebijakan dapat terwujud. Kondisi kota yang sudah mempertimbangkan isu perubahan iklim dalam perencanaan dan perumusan program-program pembangunan dapat dianggap sebagai kondisi ideal yang diinginkan. Pada tahap tersebut, keberadaan Tim Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim sebagai pengusung misi pengarusutamaan isu perubahan iklim di kota dapat dianggap sudah tidak diperlukan lagi.

Sumber: Analisis Penulis berdasarkan Roberts dan Bradley, (2016)

Meskipun secara keseluruhan Tim Kota yang mengusung isu perubahan iklim di kota-kota ACCCRN saat ini

tidak sepenuhnya dalam kondisi ideal terkait elemen kolaborasi yang ditetapkan oleh Roberts dan Bradley,

namun Tim Kota sedang berjalan untuk memperkuat upaya mereka sehingga wujud kolaborasi dapat

muncul lebih kuat. Kolaborasi tentu tidak bisa hanya dipandang sebatas melibatkan berbagai stakeholder

untuk saling berinteraksi dengan harapan menyelesaikan masalah bersama.

Pada akhirnya, salah satu kunci untuk mengatasi perubahan iklim melalui kolaborasi akan tergantung pada

kepemimpinan yang dipegang oleh pemerintahan di berbagai level. Sosok koordinator atau pemimpin dalam

suatu tim sangat krusial karena performanya akan sangat mempengaruhi bagaimana Tim Kota bekerja.

Kepemimpinan ini diharapkan dapat secara aktif melibatkan aktor-aktor lain termasuk NGO, akademisi,

bahkan pihak swasta dan media massa.. Namun, kembali lagi, kesibukan masing-masing individu akan

tugas pokok hariannya menjadi kendala terbesar bagi Tim Kota untuk mengalokasikan waktu dan tenaga

mereka agar dapat berkontribusi lebih di dalam tim, kecuali pimpinan di masing-masing institusi memang

mendelegasikan tanggung jawab terkait perubahan ikilm sebagai salah satu prioritas.

Kebutuhan dan Peran Tim Ketahanan Kota dalam Upaya Merespon Perubahan Iklim Berdasarkan pendampingan yang dilakukan Program ACCCRN di Indonesia, ada beberapa hal yang

menjadi motivasi kota untuk memulai, melanjutkan, dan mempertahankan fokus mereka dalam suatu isu.

Dalam konteks ini, ada hal-hal yang menjadi pertimbangan kota untuk fokus terhadap isu ketahanan

terhadap perubahan iklim sehingga membutuhkan adanya Tim Kota. Kernaghan dan Silva (2014)

menyampaikan bahwa kota akan mempertimbangkan hal-hal seperti agenda apa saja yang dapat

dimajukan melalui Tim Kota, apa keuntungan yang didapatkan oleh kota dari keberadaan Tim Kota tersebut,

berapa banyak petinggi atau pimpinan di berbagai sektor yang berada atau tertarik pada ranah perubahan

iklim, termasuk apakah ada tekanan dari masyarakat tentang urgensi dari perubahan iklim yang perlu

diakomodir melalui keberadaan Tim Kota.

Page 13: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 13

GAMBAR 1. PROSES MEMBANGUN KETAHANAN KOTA TERHADAP PERUBAHAN IKLIM BERDASARKAN PROGRAM ACCCRN INDONESIA

Sumber: ACCCRN Indonesia (2014)

Bagan di atas merupakan rangkuman dari proses membangun UCCR yang diterapkan oleh Program

ACCCRN di Indonesia. Dapat dilihat bahwa ada unsur Kelompok Kerja Perubahan Iklim atau Tim Kota yang

menjadi langkah atau komponen inisiasi dari keseluruhan proses. Keberadaan Tim Kota pada posisi inisiasi

tersebut dimaksudkan agar mereka menjadi agen atau aktor utama dalam keseluruhan proses berikutnya.

Tim Kota seharusnya terlibat penuh dalam inisiasi pembuatan Kajian Risiko Iklim (Climate Risk Assessment

– CRA) sehingga mereka paham betul karakter kerentanan kota dan risiko yang dihadapi dari ancaman

dampak perubahan iklim. Setelah memahami kondisi kota terkait dengan dampak perubahan iklim, Tim Kota

dapat menyusun Strategi Ketahanan Kota (City Resilience Strategy – CRS) yang dapat menjadi dokumen

referensi berisikan rangkaian strategi dan aksi yang dapat dilakukan oleh kota dalam merespon kerentanan

dan risiko yang sudah mereka identifikasi. CRA dan CRS ini seringkali disebut menjadi Dokumen

Perencanaan Ketahanan Kota (City Resilience Planning – CRP). Keberadaan kajian dan strategi yang

dimuat dalam CRP ini cukup esensial kebutuhannya untuk menjadi prioritas Tim Kota di awal membangun

UCCR karena kota harus memiliki dasar dalam melakukan respon terhadap dampak perubahan iklim yang

dihadapinya. Dampak perubahan iklim mungkin bisa mirip dan terkelompokkan ke dalam kategori-kategori

yang serupa di berbagai kota, namun karakter dan situasi tiap kota akan membuat risiko dan dampaknya

berbeda-beda di setiap kota. Dokumen CRP ini selanjutnya bisa direvisi dan diperbarui sesuai kebutuhan

Tim Kota terkait dengan relevansi waktu dan kondisi. Sejauh ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Republik Indonesia sudah merekomendasikan kota-kota di Indonesia untuk memiliki kajian

kerentanan terhadap perubahan iklim. Harapannya, rekomendasi ini dapat diperkuat melalui kebijakan resmi

atau peraturan di tingkat nasional yang sifatnya mewajibkan.

Setelah mengenali karakter kota dan mengidentifikasi strategi yang tepat, maka Tim Kota juga menjadi agen

untuk memastikan strategi dan aksi tersebut diimplementasikan. Upaya implementasi ini dapat didukung

dengan upaya untuk mengakses peluang pendanaan yang tersedia. Pada praktiknya, isu perubahan ikilm

belum menjadi isu yang tindak lanjut aksinya diakomodir di level program daerah sehingga banyak yang

lebih memungkinkan jika ditindaklanjuti melalui peluang pendanaan non pemerintah seperti dari donor. Tim

Kota beserta segenap anggotanya yang berasal dari berbagai elemen kelompok stakeholders dapat

bekerjasama untuk membuat proposal dan mencari peluang pendanaan sehingga implementasi aksi yang

Kota

Berketahanan

Monitoring & Evaluasi, Diseminasi, Konsultasi Publik

Kelompok Kerja Perubahan Iklim

(Tim Kota)

Mengakses Peluang Pendanaan

Kajian Risiko Iklim Strategi Ketahanan Kota Implementasi Strategi

Ketahanan Kota

Capacity Building

Page 14: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 14

belum dapat dimasukkan ke dalam program dan anggaran daerah dapat dilakukan. Dari pengalaman

Program ACCCRN, proyek-proyek adaptasi perubahan iklim yang didanai oleh donor akhirnya

diimplementasikan langsung oleh LSM lokal di tingkat kota untuk menghindari proses birokrasi yang cukup

sulit jika pendanaan dimasukkan melalui mekanisme hibah ke anggaran resmi daerah. Tim Kota dari unsur

akademisi dan pemerintah dapat berperan dalam proses monitoring dan evaluasi serta menjadi pengarah

atau pendamping teknis sehingga kolaborasi tetap berlangsung di tingkat implementasi.

Implementasi aksi membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim melalui pilot project dianggap

sebagai salah satu kunci untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian banyak pihak terhadap isu

ketahanan. Implementasi tersebut dapat menjadi contoh nyata atau bukti keberadaan hasil dari aksi yang

dilakukan. Hal ini juga diharapkan dapat berpengaruh pada motivasi Tim Kota untuk berperan lebih dan

meningkatkan persepsi tentang kebutuhan keberadaan mereka. Rangkaian proses implementasi berbagai

strategi aksi terus berlangsung dengan adanya monitoring dan evaluasi yang baik dan diiringi peningkatan

kapasitas sumber daya sesuai kebutuhan. Proses tersebut seharusnya menjadi sesuatu yang kontinyu

karena target untuk menjadikan kegiatan-kegiatan terkait membangun ketahanan terhadap perubahan iklim

untuk menjadi kegiatan yang business as usual tentu membutuhkan proses dan waktu yang tidak sedikit.

GAMBAR 2. TAHAPAN TIM KOTA DALAM MEMBANGUN KETAHANAN KOTA TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

Sumber: ARUP dan ACCCRN Indonesia (2015)

Harus diakui, masih banyak kota di Indonesia yang belum menyadari kebutuhan untuk mempertimbangkan risiko perubahan iklim ke dalam rencana pembangunannya. Padahal, risiko perubahan iklim dapat berpengaruh pada berbagai sektor pembangunan seperti ketersediaan air bersih, ketahanan pangan, kebencanaan, infrastruktur, dan tentunya lingkungan hidup. Maka dari itu, keberadaan Tim Kota diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan pengarusutamaan isu perubahan iklim ke berbagai level kebijakan atau rencana pembangunan. Contohnya, kajian yang didokumentasikan di Kajian Risiko Iklim dan Strategi Ketahana Kota dapat menjadi referensi dalam penyusunan rencana tata ruang dan rencana pembangunan daerah. Dari situ, harapan utama untuk jangka panjang adalah isu perubahan iklim tidak lagi menjadi isu yang asing dan dapat diakomodir kebutuhannya di berbagai lembaga dan stakeholders sehingga keberadaan Tim Kota untuk mengadvokasi isu tersebut tidak lagi signifikan kebutuhannya.

Tantangan dalam Mengelola Keberlangsungan Tim Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim

Manajemen sumber daya manusia memang sesuatu yang tidak mudah. Tim Kota yang terdiri dari individu-individu dengan latar belakang yang beragam juga memiliki dinamika tersendiri dalam perjalanannya.

Inisiasi Aksi Meneruskan

Aksi

Menjaga Keberlanjutan

Aksi

Aksi Terarusutamakan

Membangun inisiatif melalui

berbagai elemen pemerintah & non

pemerintah

Melanjutkan aktivitas pada

tataran implementasi

untuk mendapatkan

dukungan pimpinan daerah

Mengupayakan isu perubahan iklim masuk ke

tataran kebijakan dan

rencana pembangunan

Isu ketahanan perubahan iklim terarusutamakan

saat ide, perhatian, dan aktivitas terkait

isu tersebut dianggap ‘wajar -

biasa’

Page 15: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 15

Sebagai tim, maka Tim Kota yang ideal adalah suatu kelompok yang dapat bekerjasama secara kooperatif demi mencapai tujuan yang sama. Proses mulai dari penyamaan persepsi terhadap tujuan bersama sampai upaya mencapai tujuan tersebut tentu tidak mudah dan ada berbagai tantangan yang harus disikapi. Dari pengalaman pendampingan Program ACCCRN di Indonesia, ada beberapa tantangan utama yang kerap muncul dari Tim Kota, yaitu perpindahan posisi di institusi terkait, motivasi untuk berkontribusi, manajemen pembelajaran bersama, dan dukungan kebijakan.

Perpindahan Posisi Anggota Tim Kota di Berbagai Institusi

Keanggotaan Tim Kota yang melekat pada posisi dalam suatu institusi sering kali harus menghadapi kendala akibat dinamika perpindahan posisi individu yang bersangkutan. Di pemerintahan, ini sering disebut dengan mutasi pegawai. Ada perpindahan yang disebabkan promosi jabatan, ada juga yang dipindahtugaskan ke institusi lain. Dinamika seperti ini tentu bukan sesuatu yang dapat dihindari. Hal yang harus menjadi perhatian adalah untuk menjaga eksistensi individu yang bersangkutan yang memang potensial kontribusinya di Tim Kota meski dia pindah ke institusi baru. Di sisi lain, individu baru yang menempati posisi yang diberi porsi untuk berkontribusi dalam Tim Kota juga seharusnya mendapat informasi yang cukup mengenai peran dan tujuan bersama yang dibawa oleh Tim Kota tersebut. Peran koordinator atau ketua Tim Kota diharapkan dapat muncul saat menyikapi situasi perpindahan tersebut.

Motivasi untuk Berkontribusi dalam Tim Kota

Salah satu faktor penting dalam mencapai suatu tujuan adalah motivasi untuk mengupayakan pencapaian tersebut. Motivasi dapat diartikan sebagai keinginan atau kemauan untuk melakukan sesuatu. Terlepas dari penunjukkan anggota Tim Kota atas dasar relevansi posisi dan bidang di institusi tertentu, idealnya, anggota Tim Kota memiliki motivasi tersendiri yang menjadi alasan mereka untuk mau berkontribusi atau berbuat sesuatu dengan caranya masing-masing. Namun pada kenyataannya, tidak semua anggota Tim Kota memiliki motivasi yang sama levelnya. Tentu ini hal yang wajar, namun hal yang disayangkan adalah individu yang tidak berkontribusi karena tidak ada motivasi yang muncul meski ada tanggung jawab yang dibebankan. Besar harapannya intervensi koordinator, ketua, atau sosok yang dianggap sebagai pemimpin untuk membangun motivasi dari anggotanya. Tim Kota perlu mengungkap dan membangun faktor-faktor yang memotivasi mereka agar dapat berkolaborasi lebih baik lagi. Hal-hal yang memicu motivasi anggota Tim Kota dapat muncul dari berbagai hal, misanya dorongan dari atasan yang mempercayakan suatu tanggung jawab, hubungan pertemanan dan jejaring yang didapat dari Tim Kota sebagai wadah multi-stakeholder, faktor gaya kepemimpinan yang dapat memicu kenyamanan anggota, benefit untuk menambah portofolio pengalaman kerja, kesempatan untuk meningkatkan kapasitas, dan lain-lain. Hal yang harus dipahami adalah bahwa memahami motivasi, pengaruh, dan keterbukaan berbagai aktor terhadap ide-ide baru dapat membantu kota dalam menanamkan isu ketahanan terhadap perubahan iklim pada tindakan dan inisiatif pembangunan.

Manajemen Pembelajaran Bersama

Seiring prosesnya, salah satu fokus pendampingan Program ACCCRN di Indonesia adalah peningkatan kapasitas sumber daya manusia di Tim Kota. Konteks ketahanan perkotaan terhadap perubahan iklim adalah konteks yang baru bagi banyak individu di Indonesia. Cara kota dalam membangun ketahanan tersebut masih baru dan pada beberapa kasus dapat terbilang eksperimental sehingga pengetahuan mengenai apa yang bisa dilakukan, di mana, dan mengapa, masih terbatas, butuh diuji, dan dibuktikan. Maka dari itu, knowledge sharing menjadi salah satu kunci untuk mencapai perubahan dalam skala yang lebih luas, termasuk pada konteks membangun ketahanan perkotaan. Selama ini, kebanyakan Tim Kota masih cukup lemah dalam proses manajemen pembelajaran bersama atau pembagian pengetahuan secara internal. Beberapa kesempatan capacity building yang didukung oleh Program ACCCRN memang tidak bisa menjangkau keseluruhan anggota Tim Kota, kecuali pelatihan-pelatihan yang diadakan di kota langsung sehingga banyak anggota yang dapat hadir. Saat kesempatan mengikuti kegiatan seperti konferensi, lokakarya, seminar, dan sejenisnya, maka itu akan menjadi kesempatan terbatas yang dapat diikuti oleh individu yang berminat dan memenuhi kualifikasi. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah masih kurangnya upaya dari individu yang telah mengikuti suatu kegiatan untuk membagikan pembelajaran yang didapat ke rekan lainnya di Tim Kota. Mekanisme knowledge sharing sejauh ini belum terlihat dalam Tim Kota sehingga rasa tanggung jawab untuk berbagi pengetahuan belum terbangun.

Page 16: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 16

Dukungan Kebijakan terkait Ketahanan Perkotaan terhadap Perubahan Iklim

Meskipun sudah ada dukungan legalitas dari Surat Keputusan (SK) pembentukan Tim Kota, peran dan kinerja Tim Kota sebenarnya bisa lebih optimal jika ada dukungan kebijakan terkait konteks rekomendasi atau kewajiban kota untuk mengakomodir isu perubahan iklim dalam rencana pembangunan. Keberadaan kebijakan yang mendorong kota untuk memiliki kajian kerentanan atau risiko iklim dan strategi ketahanan kota misalnya, maka itu akan mempermudah Tim Kota untuk mengusung proses advokasi mereka untuk mengarusutamakan isu perubahan iklim di level kota. Sejauh ini, harapannya ada dorongan dari level nasional misalnya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Bappenas yang dapat menaungi kebutuhan untuk sedikit memaksa kota agar memiliki perhatian lebih pada isu perubahan iklim untuk dipertimbangkan dalam penyusunan rencana pembangunan kota ke depannya. Terlebih lagi, Indonesia sudah mendeklarasikan posisinya secara internasional dalam konteks perubahan iklim baik dari mitigasi maupun adaptasinya.

Kesimpulan dan Rekomendasi Upaya untuk membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim sangat tergantung pada aktor yang terlibat. Sebagai masalah yang multi-sektor, maka perubahan iklim tidak dapat didelegasikan untuk menjadi perhatian satu pihak saja. Maka, proses pembangunan yang inklusif dengan diversifikasi latar belakang para aktor yang dilibatkan dapat menjadi fondasi yang bagus untuk keberlanjutan aksi membangun ketahanan terhadap perubahan iklim. Unsur-unsur seperti pemerintah kota, akademisi, praktisi, dunia usaha, dan masyarakat memiliki kapasitas yang berbeda-beda dan diperlukan suatu kolaborasi untuk memperkuat perwujudan kota berketahanan. Tidak dapat dipungkiri bahwa masing-masing unsur dan latar belakang para pemangku kepentingan di tingkat kota memiliki kekuatan dan kekurangan masing-masing yang harapannya dapat bekerjasama untuk memberikan capaian lebih dalam upaya membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim.

Saat ini, beberapa kota di Indonesia yang didampingi melalui Program ACCCRN telah memiliki suatu multistakeholder platform yang dibentuk dengan tujuan untuk mengarusutamakan isu perubahan iklim di tataran daerah. Seiring berjalannya waktu, maka muncul pertanyaan, apakah keberadaan Tim Ketahanan terahdap Perubahan Iklim memang dibutuhkan di kota-kota di Indonesia? Berdasarkan pendapat dari berbagai tokoh di masing-masing Tim Kota yang ada, termasuk mereka yang tergabung dalam Kelompok Kerja Perubahan Iklim di bawah naungan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), keberadaan Tim Kota harus dipertahankan karena pekerjaan rumah untuk meningkatkan pemahaman perubahan iklim di berbagai kalangan dah berbagai level masih perlu dilakukan baik itu penyebab maupun dampak perubahan iklim. Sebagai contoh, kendala yang terjadi di tataran pemerintah saat penyusunan program maupun di level teknis yang kurang menyadari pentingnya penyesuaian rencana pembangunan dengan perubahan iklim yang terjadi menyebabkan kegiatan masih business as usual. Jika pembangunan terus-terusan abai pada perubahan, tidak antisipatif, dan tidak mengenal risiko yang mengancam, maka kota akan sulit untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang sering diusung sebagai slogan saja.

Proses pengarusutamaan isu perubahan iklim memang memerlukan waktu yang panjang, namun optimisme untuk itu tetap ada, terlebih dengan Indonesia yang secara politis memosisikan diri untuk berkontribusi lebih dalam aksi terhadap perubahan iklim secara global.2 Indonesia memasang target optimistis pada 2030, target penurunan emisi naik menjadi 29 persen dari biaya sendiri (business as usual/ BAU) dan 41 persen dengan bantuan internasional. Implikasinya, Indonesia mesti berupaya keras melakukan kegiatan mitigasi dan adaptasi. Selain itu, Indonesia tentu harus bisa berkontribusi dalam pencapaian Sustainable Development Goals yang salah satunya benar-benar menggaris bawahi mengenai perubahan iklim, yaitu

2 Negoisasi iklim ke 21 (COP 21) dari Konvensi Kerangka Kerja PBB Untuk Perubahan iklim (UNFCCC) telah berlangsung di

Paris pada 30 November hingga 13 Desember 2015 dihadiri 195 negara. Hasil kesepakatan ini di antaranya menjaga peningkatan suhu global di bawah 2 derajat celsius dibandingkan dengan suhu global saat masa praindustri. Mereka juga akan melakukan aksi dan investasi rendah karbon. Selain itu, negara-negara tersebut juga akan meningkatkan kemampuan dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Page 17: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 17

tujuan ke-13 tentang Climate Action. Di situ dinyatakan bahwa kita harus bisa mengambil langkah untuk menghadapi perubahan iklim dan dampaknya.3

Menyadari segala tantangan yang ada, Tim Kota harus bisa melanjutkan investasi yang sudah dibangun dengan menciptakan jejaring-jejaring baru, kepercayan-kepercayaan baru. Dukungan perhatian global dan inisiatif-inisiatif yang datang di tingkat kota atau daerah tentu juga harus diperkuat dengan dukungan kebijakan di tataran pusat atau nasional. Harus disadari bahwa konsistensi dan komitmen para tokoh-tokoh kunci yang berada di Tim Kota tidak bisa dianggap menjadi jaminan. Titik jenuh menghadapi segala tantangan dalam proses membangun ketahanan iklim serta pengarusutamaannya tentu sangat mungkin ditemui. Harapannya, Pemerintah Nasional melihat inisiatif yang sudah muncul dan berjalan tersebut dengan mendukungnya melalui kerangka kebijakan yang jelas dan sejalan dengan kebutuhan yang ada. Misalnya, mendorong daerah untuk memiliki kajian kerentanan atau risiko iklim sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana pembangunan; memberi pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai perubahan iklim baik tentang isu yang berkembang maupun upaya-upaya menghadapinya; memberi insentif pada daerah-daerah yang memiliki komitmen dan inisiatif lebih untuk menghadapi perubahan iklim; dan bentuk dukungan lainnya.

Berdasarkan segala pembelajaran dan situasi yang berkembang, maka Tim Ketahanan terhadap Perubahan Iklim menjadi penting peranannya di tingkat daerah, dengan catatan Tim Kota tersebut berjalan secara baik melakukan fungsi advokasi dan mengusung tujuan pengarusutamaan isu perubahan iklim tersebut. Hal ini dapat diwujudkan dengan aktivitas-aktivitas yang disepakati maupun komitmen untuk membawa isu perubahan iklim sebagai pertimbangan di dalam program masing-masing lembaganya. Seiring dengan itu, para aktor yang bergerak di tingkat daerah tersebut harus mendapat dukungan dan atau, di titik tertentu, paksaan dari kebijakan pusat untuk mencapai tujuan yang diinginkan tersebut. Maka, meski unsur kolaborasi itu sudah terlihat dari pelibatan berbagai macam stakeholder, namun kualitas kolaborasi tersebut tetap harus menjadi perhatian dan perlu ditingkatkan. Dalam hal ini, mengandalkan kepemimpinan maupun komitmen segelintir orang yang mau berkontribusi lebih saja akan menjadi cukup sulit. Maka dari itu, mereka tidak dapat bekerja sendiri baik secara internal maupun eksternal. Sinergi yang tercipta dari pemerintah daerah, pemerintah nasional, global, serta aktor-aktor penting lainnya dari berbagai kelompok stakeholder seperti LSM, akademisi, swasta, dan masyarakat, akan membantu proses membangun ketahanan terhadap perubahan iklim secara lebih maksimal dan komprehensif.

Daftar Pustaka

ACCCRN. (2016). Involving Multiple Stakeholders. Available at: http://explore.acccrn.net/approach/involving-

multiple-stakeholders.html

Crane, A. & Matten, D. (2010). Business ethics: Managing corporate citizenship and sustainability in the age of globalization, 3rd edn, Oxford: University press

Institute for Social and Environmental Transition (ISET). 2013. Climate Resilience Framework: Putting Resilience Into Practive, [pdf], Available at http://i-s-e-t.org/resources/working-papers/resilience-into-practice.html

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2007a. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability (Perubahan Iklim 2007: Dampak, Adaptasi, dan Kerentanan). Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2007b. Climate Change 2007: Synthesis Report (Perubahan Iklim 2007: Laporan Sintesis). Contribution of Working Groups I, II and III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Core Writing Team, Pachauri, R.K and Reisinger, A. (eds.)]. IPCC, Geneva, Switzerland, 104 pp.

3 SDGs Goal 13: Take urgent action to combat climate change and its impacts

Page 18: KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN … · saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat ... Perubahan iklim

MERCY CORPS INDONESIA KEBUTUHAN WADAH KOORDINASI DALAM MEMBANGUN KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKILM 18

Kernaghan, Sam & Silva, Jo da. 2014. Initiating and sustaining action: Experiences building resilience to climate change in Asian cities. Journal Urban Climate Volume 7, March 2014, Pages 47–63.

Khare, A., Beckman, T. & Crouse, N. (2011). Cities addressing climate change: Introducing a tripartite model for sustainable partnership. Sustainable Cities and Society, [e-journal] vol. 1, no. 4, Available through: EHL Library website: http://www.lusem.lu.se/library

May, Bradley & Plummer, Ryan. 2011. Accomodating the Challenges of Climate Change Adaptation and Governance in Conventional Risk Management: Adaptive Collaborative Risk Management (ACRM). Journal Ecology and Society 16(1):47, Available through: : http://www.ecologyandsociety.org/vol16/iss1/art47/

PWC. (2012). Cities of Opportunity [pdf] Available at: http://www.pwc.com/us/en/cities-of-opportunity.html [Accessed 14 March 2016]

Roberts, N. & Bradley, R. (1991). Stakeholder Collaboration and Innovation: A Study of Public Policy Initiation at the State Level. Journal of Applied Behavioral Science, [e-journal] vol. 27, no. 2, Available through: EHL Library website: http://www.lusem.lu.se/library

The Rockefeller Foundation (RF). 2009. Rockefeller Foundation White Paper (Buku Putih Yayasan Rockefeller). Diunduh di: http://www.rockfound.org/initiatives/climate/acccrn.shtml pada 16 November 2009.

United Nation. 2015. World Population Prospects. [pdf], Available at: http://esa.un.org/unpd/wpp/publications/files/key_findings_wpp_2015.pdf

United Nations Development Programme. 2012. Multi-Stakeholder Decision Making. [pdf] Available at: http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/environment-energy/low_emission_climateresilientdevelopment/MultiStakeholder.html

KONTAK

NYOMAN PRAYOGA

[email protected]

Tentang Mercy Corps Indonesia

Mercy Corps Indonesia adalah lembaga lokal yang

berbasis di Jakarta. Kami membantu masyarakat

dalam mengubah tantangan yang mereka hadapi

menjadi peluang. Didorong oleh kebutuhan lokal,

program kami membantu masyarakat di berbagai

wilayah di Indonesia dengan dukungan yang mereka

butuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup.

AD Premier, 3rd Floor Suite

01, 02, Jl. TB Simatupang

No. 5, Ragunan, Pasar

Minggu, Jakarta Selatan,

12550

Indonesia.mercycorps.org


Related Documents