YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

(Studi Kasus : Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah,Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

MUHAMAD FADILAH

NIM. 1112015000039

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018

Page 2: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN
Page 3: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN
Page 4: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN
Page 5: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN
Page 6: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

i

ABSTRAK

Muhamad Fadilah, NIM: 1112015000039 Kearifan Lokal Sebagai KetahananPangan (Studi kasus : Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah,Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat). Skripsi JurusanPendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setiap masyarakat atau suku mempunyai kebiasaan makan berbeda sesuaikebiasaan yang dianut. Kebiasaan menyebabkan semakin beragam konsumsi jenismakanan pokok. Community-based food system (Sistem makanan pokok berbasiskomunias/masyarakat ) menawarkan kepada rakyat suatu peluang di mana merekadapat meningkatkan pendapatan, penghidupan mereka, dan kapasitas untukmemproduksi, dan secara mendasar suatu jalan lapang di mana mereka dapatmenjamin ketahanan pangan mereka pada masa mendatang. Penelitian inibertujuan untuk mendeskripsian kearifan lokal sebagai upaya mempertahankanketahanan pangan. Penelitian ini dilakukan di kampung adat Cireundeu,Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimai Selatan, Kota Cimahi. Pengambilansampel menggunakan teknik Pursposive Sampling. Metode yang digunakanadalah penelitian kualitatif dan pendekatan emik. Instruemen pengumpulan datayang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi partisipan dandokumentasi. Data hasil penelitian dianalisis melalui tiga tahapan yaitu opencoding, axial coding, dan selective coding. Hasil penelitian ini menunjukan nilaiKearifan lokal di kampung Cireundeu dalam mengkonsumsi singkong sebagaimakanan pokok bermanfaat sebagai bentuk upaya dalam meningkatkankesejahteraan pangan dan ketahanan pangan di masyarakat Masyarakat dankebudayaan Cireundeu memiliki ciri khas yaitu rasi sebagai makanan pokok danupacara satu sura.

Kata Kunci : Kampung Adat Cireundeu, Kearifan Lokal, Ketahanan Pangan

Page 7: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

ii

AbstractMuhamad Fadilah, NIM: 1112015000039 The Local Wisdom As An Effort ToKeep The Food Security (Case Study : Cireundeu Village, Leuwigajah, SouthCimahi, Cimahi City, West Java). Thesis : Social Science Department, Facultyof Tarbiyah and Education, , Islamic State University Syarif HidayatullahJakarta.

Everyone or ethnic group had a differnt way to consume based food depend on theirhabit. This habit caused variety of based food. Community-based food system offer thepeople opportunity to increase daily income, life quality, product capacity and aopportunity to keep the food security. This study aims to find out the local wisdom aseffort to keep the food security in Cireundeu Village, Leuwigajah, Cimahi Selatan,Cimahi City. The sampling was done by purposive sampling technic. The methodused was qualitative research with Emik approach. The instrument used weredeep interiew, participan observation and docmentation. The data were analyzedby three stage that was open coding, axial coding, and selective coding. The resultshows that the local wisdom value in cireundeu village that consume cassava asbased food had benefit to increase prosperity and food security.Cireundeunesehave characteristic that are Rasi as based food and Satu Sura Ceremony.

Key word: Cireundeu Village, Local Wisdom, The Food Security

Page 8: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil 'alamin segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada

Allah SWT. Karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Kearifan Lokal Sebagai Ketahanan

Pangan (Studi Kasus : Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah,

Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat). Shalawat dan salam

senantiasa menyelimuti Rasulullah SAW tercinta beserta keluarga, sahabat dan

para pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir dalam rangka menyelesaikan studi

strata satu (S1) untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan (S.Pd) yang diajukan

kepada Fakultas Ilmut Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarya, dan untuk menerapkan dan mengembangkan teori-teori yang penulis

peroleh selama kuliah

Selanjutnya dalam proses penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat

perhatian dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat

menyelesaikan laporan pelaksanaan ini. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS FITK UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Drs. Syaripulloh, M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial.

4. Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A. selaku Dosen Penasehat Akademik yang

telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama mengikuti perkuliahan.

5. Prof. Dr. Ulfah Fajarini, M.Si, selaku Dosen Pembimbing I Jurusan IPS

FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bimbingan dan

pengarahan kepada penulis selama penulisan skripsi.

Page 9: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

iv

6. Dr. H. Nurochim, MM selaku Dosen Pembimbing II Jurusan IPS FITK UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bimbingan dan

pengarahan kepada penulis selama penulisan skripsi.

7. Seluruh Dosen yang berada di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

khususnya Dosen Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial yang memiliki peran sangat

besar bagi saya dalam proses perkuliahan.

8. Seluruh staf Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah

bekerja dengan baik melayani mahasiswa.

9. Abah Emen sebagai ketua adat serta seluruh masyarakat kampung adat

Cireundeu yang telah memberikan izin penelitian dan membantu peneliti

selama menjalankan penelitian ini.

10. Orang tua, Subandi dan Karyati yang penulis sangat cintai karna telah

membesarkan dan mendidik sampai saat ini.

11. Keluarga, Kholilah, Maisapri, Tina Hasanah, dan seluruh keluarga besar

penulis yang banyak membantu baik secara moril ataupun materil semasa

menjalani kuliah.

12. Dhuhana Putri Ramadhani, yang senantiasa memberikan motivasi, semangat,

do’a, serta selalu bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga urusan kita

diperlancar.

13. Sahabat-sahabat seperjuangan, Ikhsan Tila Mahendra, Mega Dhaniswara A.,

Fikry Kautsar A., Sheila Muria P., Aida Sri Rahayu, Hanni Khairunisa,

Ardhana Erviani, Nita Chairunnisa, dan Nurits Nadia K. yang selalu

menemani serta saling mendukung penulis selama masa perkuliahan.

14. Afif NDS dan Zakiah Noor Nasution sahabat sejak masa MAN yang

mendukung penuh penulisan karya ilmiah ini.

15. Febriani Ramadhana teman yang selalu membantu dan memberi masukan

kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

16. Rizky Maulana, Amry Al Mursalaat, Maulana Yusuf, Abdurrohman, dan Nia

teman berbagi suka dan duka selama masa perkuliahan.

Page 10: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

v

17. Kepada seluruh teman-teman Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

angkatan 2012 semoga kita dapat meraih kesuksesan kedepannya.

18. Rekan-rekan Guru SD Islam Al-Amjad, khususnya Dra. Hj. Nurlaelah

sebagai kepala SD Islam Al-Amjad yang selalu mendukung penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

19. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu oleh penulis.

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk

kesempurnaan skripsi ini. Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat dan

memberikan informasi relevan yang dibutuhkan juga sebagai bahan perbandingan

untuk pembuatan laporan kedepannya.

Tangerang Selatan, 22 Maret 2018

Penulis,

Muhamad Fadilah

Page 11: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEM PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ……………………………………………………………………. i

ABSTRACT ………………………………………………………………….. ii

KATA PENGANTAR.................................................................................... iii

DAFTAR ISI ............................................................................................. … vi

DAFTAR TABEL .........................................................................................viii

DAFTAR GAMBAR....................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................1

B. Fokus Masalah ................................................................................. 5

C. Pembatasan Masalah......................................................................... 5

D. Perumusan Masalah Penelitian ........................................................ 5

E. Tujuan Penelitian............................................................................. 5

F. Manfaat Penelitian ........................................................................... 6

BAB II KAJIAN TEORITIS

A. Kearifan Lokal ................................................................................. 7

1. Pengertian Kearifan Lokal… ....................................................... 7

2. Potensi Kearifan Lokal................................................................ 9

3. Kearifan Lokal sebagai sumber hukum...................................... 11

4. Kearifan lokal sebagai kebudayaan ........................................... 12

5. Nilai-Nilai Budaya .................................................................... 13

6. Fungsi Kearifan lokal ................................................................ 18

B. Ketahanan Pangan .......................................................................... 19

1. Pengertian Ketahanan pangan.................................................... 22

2. Sistem ketahanan pangan .......................................................... 27

Page 12: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

vii

3. Rawan Pangan .......................................................................... 30

4. Aksen Pangan ........................................................................... 32

C. Hasil Penelitian relevan .................................................................. 33

D. Kerangka Berpikir .......................................................................... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat , Populasi, dan Sampel Penelitian ...................................... 39

1. Tempat Penelitian ..................................................................... 39

2. Populasi Penelitian.................................................................... 40

3. Sampel Penelitian...................................................................... 40

B. Metode dan Desain Penelitian......................................................... 40

C. Langkah-Langkah Penelitian .......................................................... 42

D. Teknik Pengumpulan Data.............................................................. 43

E. Pemeriksaan Keabsahan Data ......................................................... 45

F. Analisis Data .................................................................................. 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ............................................................................. 50

B. Pembahasan.................................................................................... 65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................... 75

B. Saran ............................................................................................ 76

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. ...... 77

LAMPIRAN

Page 13: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jumlah Tempat Hiburan/Rekreasi Komersial Menurut

Kelurahan di Kecamatan Cimahi Selatan Tahun 2014.................... 39

Tabel 3.2 Indikator Pedoman Wawancara...................................................... 48

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Sex Ratio dan Kepadatan

Penduduk Menurut Kelurahan di Kecamatan Cimahi Selatan

Tahun 2014.................................................................................... 51

Tabel 4.2 Jumlah RW, RT, Ketua RT, Karang Taruna dan Anggota

Karang Taruna Menurut Kelurahan di Kecamatan Cimahi

Selatan Tahun 2014 ....................................................................... 52

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian dan Kelurahan

di Kecamatan Cimahi Selatan Tahun 2014..................................... 55

Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Meurut Agama dan Kelurahan di Kecamatan

Cimahi Selatan Tahun 2014………………………………………59

Page 14: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir ....................................................................... 38

Gambar 4.1 Warga sedang membersihkan ladang singkong ............................. 54

Gambar 4.2 Bale Sara Sehan tampak dari luar.................................................. 55

Gambar 4.3 Bale Sara Sehan tampak dari dalam .............................................. 56

Gambar 4.4 Ais Pangampih ialah Bapak Widi.................................................. 57

Gambar 4.5 Ketua RT Bapak Jajat .................................................................. 58

Gambar 4.6 Singkong yang telah digiling kemudian dijemur ........................... 62

Gambar 4.7 Makanan olahan dari singkong...................................................... 64

Gambar 4.8 Rasi yang sudah dimasak .............................................................. 66

Gambar 4.9 Rasi yang siap dikonsumsi sebagai makan pokok.......................... 67

Page 15: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Instrumen Wawancara………………………………………. 81

Lampiran 2 Transkrip Wawancara……………………………………..... 85

Lampiran 3 Transkrip Wawancara……………………………………..... 87

Lampiran 4 Transkrip Wawancara……………………………………..... 89

Lampiran 5 Transkrip Wawancara……………………………………..... 91

Lampiran 6 Transkrip Wawancara……………………………………..... 92

Lampiran 8 Dokumentasi Penelitian…………………………………….. 94

Lampiran 9 Surat Permohonan Izin Penelitian………………………….. 96

Lampiran 10 Surat Keterangan Penelitian………………………………... 97

Lampiran 11 Surat Keterangan Penelitian ……………………………….. 98

Lampiran 12 Lembar Uji Referensi………………………………………. 99

Page 16: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.

Pemenuhannya pun telah dijamin oleh negara dalam Undang-Undang Dasar 1945

pasal 28H ayat 1. Kebutuhan pangan dikatakan kebutuhan fundamental karena

jika tidak terpenuhi, maka kehidupan seseorang dapat dikatakan tidak layak.

Pemenuhan akan pangan sangat penting karena menentukan kualitas dari sumber

daya manusia.

Berdasarkan Undang-Undang No 18 tahun 2012, yang dimaksud dengan

ketahanan pangan adalah ”kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai

dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik

jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta

tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk

dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”

Fokus dari ketahanan pangan ini tidak hanya penyediaan pangan tingkat

wilayah akan tetapi termasuk tingkat rumah tangga dan individu. Permasalahan

ketahanan pangan merupakan permasalahan yang multidimensi, meskipun tidak

ada cara spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas ketahanan

pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada 3 dimensi yang

berbeda, namun saling berkaitan, yaitu: 1) Kesedian pangan; 2) akses pangan

oleh rumah tangga; dan 3) pemanfaatan pangan oleh individu

Hasil penelitian Somaratme di Srilanka menyatakan bahwa kerentanan dan

ketahanan pangan di masyarakat banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial,

budaya, dan lingkungan sosial. Hubungan sosial di antara masyarakat sering

Page 17: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

2

memainkan peran kunci dalam menjaga ketahanan pangan. Berbagi makanan dan

tidak membiarkan orang lain kelaparan merupakan nilai budaya yang kuat dan

tumbuh dibanyak masyarakat. Aspek sosial tersebut harus dipertimbangkan

dalam pengukuran ketahanan pangan.

Selanjutnya, lingkungan sosial memberikan gambaran jelas tentang

perbedaan pola makan. Setiap masyarakat atau suku mempunyai kebiasaan

makan berbeda sesuai kebiasaan yang dianut. Kebutuhan makan bukanlah satu-

satunya dorongan untuk mengatasi rasa lapar, disamping itu ada kebutuhan

fisiologis, seperti pemenuhan gizi ikut mempengaruhi. Setiap strata atau

kelompok sosial masyarakat mempunyai pola tersendiri dalam memperoleh,

menggunakan, dan menilai makanan yang merupakan ciri dari strata atau

kelompok sosial masing-masing.1 Hal ini menyebabkan semakin beragam

konsumsi jenis makanan pokok. Komunitas-komunitas di Indonesia telah

mengembangkan berbagai makanan pokok seperti sagu, jagung, ketela pohon,

dan ubi jalar. Berbagai jenis tanaman itu tumbuh dan tersedia sepanjang tahun di

berbagai keadaan lahan dan musim. Sejak dulu secara turun-temurun masyarakat

desa terbiasa memanfaatkan sumber-sumber pangan yang beragam itu sebagai

basis pemenuhan kebutuhan pangan pokok sehari-hari maupun sebagai camilan.

Keragaman pangan juga mengandung keragaman nutrisi, bahkan diantara

tanaman pangan itu berkhasiat obat. Sistem pangan lokal inilah yang menjadi

andalan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan dan mengatasi ancaman

dari bahaya kelaparan atau krisis pangan.2

Berbagai potensi yang terkandung dalam sistem pangan lokal inilah yang

sangat mungkin dapat mengatasi persoalan pangan pada tingkat komunitas.

Sistem komunitas pangan (community based food systems) memiliki peran

1 Suhardjo, Sosio Budaya Gizi, (Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, DirektoratJenderal Pendidikan Tinggi, dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, 1989).

2 Witoro, “Menemukan kembali dan Memperkuat Sistem Pangan Lokal”, Makalah Lokakaryadisampaikan Pad Forum Pendamping Petani Regio Gedepahala, Kampung Pending, Sukabumi, 2-24September 2003.

Page 18: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

3

penting dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pangan. Community based food

system menawarkan kepada rakyat suatu peluang di mana mereka dapat

meningkatkan pendapatan, penghidupan mereka, dan kapasitas untuk

memproduksi, dan secara mendasar suatu jalan lapang di mana mereka dapat

menjamin ketahanan pangan mereka pada masa mendatang. Salah satu

komunitas yang tetap melestarikan tradisi pangan berbasis pangan lokal adalah

kampung adat Cirendeu, kelurahan Leuwigajah, kecamatan Cimahi Selatan, kota

Cimahi, Jawa Barat. Komunitas ini memiliki tradisi mengkonsumsi singkong

sebagai makanan pokok. Tindakan sosial yang melandasi masyarakat Cireundeu

memilih singkong sebagai makanan pokok, pola tindakan sosialnya mengarah

kepada dua pola, yaitu tindakan sosial rasionalitas instrumental dan tindakan

sosial tradisional. Pola tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan

individu-individu di masyarakat yang diarahkan kepada suatu tujuan berdasarkan

kriteria tertentu dalam menentukan suatu pilihan.3 Dalam konteks ini tindakan

masyarakat kampung adat Cireundeu pada awalnya sebagai bentuk adaptasi

terhadap lingkungan geografis yang berbukit-bukit serta lahan kering, selain itu

untuk memenuhi sumber pangan singkong yang bisa dipanen dan mudah diolah.

Tipologi tindakan sosial kedua adalah tindakan tradisional, yaitu tindakan yang

dilakukan berulang-ulang dan telah berlangsung secara turun temurun.

Pola makan pada dasarnya merupakan konsep budaya bertalian dengan

makanan yang banyak dipengaruhi oleh unsur sosial budaya yang berlaku dalam

kelompok masyarakat itu, seperti nilai sosial, norma sosial dan norma budaya

bertalian dengan makanan, makanan apa yang dianggap baik dan tidak baik.4

3 Amir Fadhilah & Badri Yatim, “Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial Ketahanan PanganMasyarakat : Studi Kasus pada Masyarakat Kp. Cireundeu Kelurahan Leuwi Gajah Kecamatan CimahiSelatan Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat, Desa Molamahu Kecamatan Pulubala Kabupaten GorontaloProvinsi Gorontalo , Komunitas Baduy Desa Kenekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten LebakProvinsi Banten”, Laporan Penelitian Kompetitif, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN SyarifHidayatullah Jakarta,2009).

4 Sediaoetama AD., Imu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II, (Jakarta : DianRakyat,1999).

Page 19: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

4

Makanan tidaklah semata-mata sebagai produk organik hidup dengan kualitas

biokimia, tetapi makanan dapat dilihat sebagai gejala budaya. Gejala budaya

terhadap makanan dibentuk karena berbagai pandangan hidup masyarakatnya.

Suatu kelompok masyarakat melalui pemuka ataupun mitos-mitos (yang beredar

di masyarakat) akan mengijinkan warganya memakan makanan yang boleh

disantap dan makanan yang tidak boleh disantap.5 “Ijin” tersebut menjadi

semacam pengesahan atau legitimasi yang muncul dalam berbagai peraturan

yang sifatnya normatif. Masyarakat akan patuh terhadap hal itu. Munculnya

pandangan tentang makanan yang boleh dan tidak boleh disantap menimbulkan

kategori “bukan makanan” bagi makanan yang tidak boleh disantap.

Hal itu juga memunculkan pandangan yang membedakan antara nutrimen

(nutriment) dengan makanan (food). Nutrimen adalah konsep biokimia yaitu zat

yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang

memakannya. Sedang makanan (food) adalah konsep budaya, suatu pernyataan

yang berada pada masyarakat tentang makanan yang dianggap boleh dimakan

dan yang dianggap tidak boleh dimakan dan itu bukan sebagai makanan.6

Kategori terhadap makanan yang muncul adalah makanan yang boleh dimakan

dan makanan yang tidak boleh dimakan. Kategori tersebut berasal dari latar

belakang budaya masyarakat yang mengijinkan orang untuk memakan makanan

tertentu. Latar belakang budaya dapat berasal dari pandangan tradisional atau

adat istiadat, pandangan hidup (way of life) ataupun agama. Memakan makanan

yang diijinkan berarti patuh dan taat pada norma budaya yang ada, tetapi

sekaligus membawa “keselamatan” bagi dirinya agar tidak berada pada jalan

sesat atau melakukan pelanggaran. Makanan yang tidak boleh dimakan berarti

makanan tersebut dianggap sebagai makanan yang tidak sepatutnya dimakan

5 Irmayanti Meliono Budianto, “Dimensi Etis Terhadap Budaya Makan dan Dampaknya padaMasyarakat”, Jurnal Makara sosial Humaniora, Vol. 8 No. 2, Agustus 2004, Fakultas IlmuPengetahuan Budaya UI.

6 Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson, Antropologi Kesehatan, Penerjemah PriyantiPakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono, (Jakarta: UI Press,1986).

Page 20: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

5

(haram) karena tidak dijinkan oleh norma budaya yang ada dan agama. Orang

akan tidak bahagia atau keselamatan terancam karena memakan makanan yang

seharusnya tidak boleh dimakan.

Mengacu pada pemikiran di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat lebih

jauh mengenai kearifan lokal yang mempengaruhi ketahanan pangan masyarakat

di Kampung Adat Cirendeu, dengan judul: ”Kearifan Lokal sebagai

Ketahanan Pangan”. Adapun kajian ini adalah : (1). untuk memahami konsep

kearifan lokal dan relevensinya dalam membentuk budaya pangan lokal

masyarakat pedesaan di Indonesia (kasus Desa Cirendeu). (2). Untuk membahas

peran dan fungsi kearifan lokal dalam membentuk budaya pangan lokal.

B. Fokus Masalah

1. Kearifan lokal sebagai salah satu faktor ketahanan pangan

2. Upaya tokoh masyarakat dan warga mempertahankan kearifan lokal

3. Nasi singkong sebagai makanan pokok

C. Pembatasan Masalah

Nasi singkong sebagai salah satu kearifan lokal dalam ketahanan pangan

D. Rumusan Masalah

Bagaimana masyarakat memanfaatkan kearifan lokal untuk mempertahankan

kebutuhan pangan?

E. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui peran warga dan tokoh masyarakat dalam mempertahankan

kearifan lokal

Page 21: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

6

2. Mengapa singkong yang dijadikan makanan pokok sebagai pengganti nasi

F. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

a. Bagi para akademisi, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan

referensi atau bahan kajian dalam menambah ilmu pengetahuan tentang

kearifan lokal yang ada di Indonesia.

b. Bagi peneliti lebih lanjut, dapat dijadikan referensi dalam mengembang-

kan budaya masyarakat suatu daerah untuk masyarakat lain.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan alternatif lain sebagai

pengganti nasi sebagai makanan pokok.

b. Bagi pemerintah diharapkan dapat menjadikan masukan dalam menjaga

ketahanan pangan di Indonesia.

Page 22: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

7

7

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Kearifan Lokal

1. Pengertian kearifan lokal

Berbicara mengenai kearifan lokal, banyak sekali definisi dari

berbagai sumber dan para ahli serta memiliki prespektif yang berbeda.

Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan dan lokal, kearifan

sepadan dengan kebijaksanaan, seperti halnya seorang filsuf yang

mencintai kebijaksanaan, sedangkan istilah lokal berarti setempat, istilah

menunjuk kepada kekhususan tempat atau kewilayahan karena itu kearifan

lokal dapat dipahami sebagai kebijakan setempat dalam masyarakat

multikultural, masing-masing kelompok mempunyai kebenaran masing-

masing karena itu, kita lihat bahwa kearifan lokal itu akan bersifat relatif

terhadap kearifan lokal lainnya.1

Kearifan lokal merupakan gagasan konseptual yang mengandung

nilai-nilai yang dimiliki komunitas masyarakat tertentu. Sejalan dengan itu,

Haidlor mengatakan bahwa kearifan lokal didefinisikan sebagai suatu

budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang

berulang ulang, melalui internalisasi dan interpretasi melalui ajaran agama

dan budaya yang sosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan

pedoman dalam kehidupan masyarakat. 2 Sedangkan menurut Caroline

Nyamai-Kisia, “kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang

1 Mikka Wildha Nurochsyam, Tradisi Pasola antara Kekerasan dan Kearifan Lokal”. DalamAde Makmur, (ed), Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, (Jakarta:Kementrian Kebudayaan DanPariwisata Republik Indonesia, 2011), h.86.

2 Haidlor, “Kearifan Lokal Sebagai Landasan Pembangunan Bangsa”, Jurnal Multicultural danMultireligius, Vol 9 2010, h.5.

Page 23: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

8

diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi

tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan

budaya sekitarnya”.3

Dalam hal ini, Suhartini mengatakan bahwa kearifan lokal

merupakan warisan-warisan nenek moyang dalam tata nilai kehidupan

yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Kearifan lokal

juga adalah proses adaptif keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap

lingkungan yang ada di masyarakat yang diwariskan secara turun menurun

dan menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumber daya alam dan

lingkunganya, yang diketahui sebagai kearifan lokal, suatu masyarakat.

Dan melalui, “keraifan lokal ini masyarakat bisa mampu bertahan mampu

menghadapi berbagai krisis yang menimpanya.”4 Selain itu, Suhartini pun

mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan setempat

(lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam

dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.5

Menurut Permana Kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap

situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal.

Kearifan lokal juga dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan

pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas

yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah

dalam pemenuhan kebutuhan mereka.6

3 Pasopati Media Group Bondowoso, “Kearifan Lokal dan Pembangunan Indonesia”,,(www.passopatifm.com), 2013.

4 Suhartini, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Penggelolan Sumber Alam danLingkungan,” Makalah disampaikan pada Seminar, Pendidikan dan Penerapan MIPA, FMIPAUniversitas Negeri (Yogyakarta, Yogyakarta, 16 Mei 2009).

5 Sartini, “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat”. Jurnal Filsafat, 2004. h,111.

6 Cecep Eka Permana, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mengatasi Bencana, (Jakarta:Wedatama Widia Sastra, 2010).

Page 24: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

9

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan berarti

kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam

berinteraksi. Kata lokal, yang berarti tempat atau pada suatu tempat atau

pada suatu tempat tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin berbeda

dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang bernilai yang

mungkin berlaku setempat atau mungkin juga berlaku universal.7

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami bahwa kearifan

lokal juga disebut juga proses adaptif, terhadap lingkungan dan

sekitarnya yang diwariskan secara turun menurun dan kearifan lokal juga

adalah sarana yang bisa digunakan masyarkat dalam menghadapi

berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat .

2. Potensi keungulan Kearifan Lokal

Potensi keungulan kearifan lokal diinspirasi dari berbagai sumber

yang dimiliki setiap kelompok-kelompok masyarakat tertentu, hal-hal

tersebutlah yang menjadi adanya sebuah keungulan yang dimiliki

kelompok tertentu sesuai dengan daerah masing-masing. Menurut,

“Akhmad Sudrajat, konsep pengembangan keunggulan lokal diinspirasi

dari berbagai potensi, “yaitu potensi sumber daya alam (SDA), sumber

daya manusia (SDM), geografis, budaya, dan historis.”8 Berikut adalah

penjelasan beberapa jenis potensi:

a. Potensi Sumber daya alam, adalah potensi yang terkandung dalam

bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk berbagai

kepentingan hidup, contohnya bidang pertanian ialah padi, jagung,

buah-buahan, sayuran-sayuran, dan lain sebagainya; bidang

7 MuinFahmal, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak Dalam MewujudkanPemerintahan yang Bersih, (Yogyakarta: UII Press, 2006).

8 Jamal Ma’ mur Asmani, Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal, (Jakarta: DIVA Press, 2012), h.32-39.

Page 25: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

10

perkebunan, seperti karet, tebu, tembakau, sawit, cokelat dan lain-lain;

bidang perternakan misalnya unggas, kambing, sapi, dan lain

sebagainya. bidang perikanan, seperti ikan laut dan tawar, rumput laut,

tambak, dan lain-lain.

b. Potensi Sumber daya manusia. Sumber daya manusia, didefinsikan

sebagai manusia dengan segenap potensi yang dapat dimanfaatkan dan

di kembangkan menjadi mahluk sosial yang adaptif dan transformatif,

serta mampu mendayagunakan potensi alam sekitarnya secara

seimbangan dan berkesinambungan, pengertian adaptif artinya mampu

menyesuaikan diri terhadap tantangan alam, perubahan IPTEK, dan

perubahan sosial budaya. Bangsa Jepang, karena biasa diguncang

gempa, sehigga cara hidup dan sistem arsitektur yang dipilih

diadaptasikan dari resiko menghadapi gempa, keraifan lokal semacam

ini juga dipunyai di berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan

tranformatif artinya mampu memahami, menerjemahkan, serta dari

kontak sosialnya dan dengan fenomena alam, bagi kemasalahatan

dirinya dimasa depan, sehingga yang berkembang berkesinambungan.

c. Potensi Geografis. Tidak semua objek geografi menjadi dan fenomena

geografis berkaitan dengan konsep keunggulan kearifan lokal, sebab,

keunggulan lokal dicirikan nilai guna fenomena geografis bagi

penghidupan dan kehidupan yang memiliki, dampak ekonomis, dan

pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Misalnya

angin yang merupakan cuaca dan iklim sebagai fenomena geografis di

atmosfer.

d. Potensi budaya. Budaya adalah sikap, sedangkan sumber sikap adalah

kebudayaan. Agar kebudayaan dilandasi dengan sikap baik,

masyarakat perlu memadukan antara idealisme dengan realisme, yang

pada hakikatnya merupakan perpaduan antara seni dan budaya. Ciri

Page 26: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

11

khas budaya masing-masing daerah tertentu berbeda dengan daerah

lain merupakan sikap menghargai kebudayaan daerah sehingga

menjadi keunggulan lokal.

e. Potensi Historis. Keunggulan lokal dalam konsep historis merupakan

potensi sejarah dalam bentuk peninggalan benda-benda purbakala

maupun tradisi adat istiadat yang masih dilestarikan hingga saat ini.9

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa kelima potensi di atas

menjadi sumber utama dalam menentukan keunggulan lokal yang di

miliki setiap komunitas-komunitas tertentu sesuai dengan daerahnya

masing-masing.

3. Kearifan Lokal Sebagai Sumber Hukum

Sebelum adanya hukum negara dengan segala perangkatnya.

Masyarakat melewati beberapa fase yang merupakan juga sebuah fase

berlakunya hukum-hukum sebelumnya, baik sebagai sumber hukum dalam

bermasyarakat ataupun untuk pribadi. Menulusuri sejarah peradaban

manusia membawa kita kepada empat era, “yang pertama merupakan

zaman kebangkitan logos yang meninggalkan takhayul dan mistisme,

Kedua zaman medieval yang di dominasi oleh gereja, dimana akal

dijadikan budak perempuan keimanan, Ketiga era kebangkitan kembali

rasionalisme dan empirisme dan kombinasinya. Keempat, adalah era

kesadaran dimana kita merasa perlu untuk menggali kembali pemikiran-

pemikiran filosofis yang diharapkan akan memanusiakan manusia.”10

Sedangkan menurut Auguste Comte, “Membagi perkembangan masyarakat

dalam arti lembaga kemasyarakatan disesuaikan dengan tahap

9 Ibid. h. 32-39.10A Mappadjantji Amien, Kemandirian Lokal konsepsi pembangunan, organisasi, dan pendidikan

dalam prespektif Sains Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2005), h. 2-3.

Page 27: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

12

perkembangan manusia sesuai dengan tahap-tahap perkembangan pikiran

manusia yaitu tahap teologis, tahap metafisis, tahap positifistis.” 11

Jadi sebelum adanya hukum formal masyarakat desa atau adat

memakai hukum adat atau kebudayaan sebagai sumber hukum.

Keberadaan sumber daya alam dimaksud diyakini telah lahir mendahului

negara, demikian pula masyarakat telah ada sebelum negara berdiri.

Dengan demikian “potensi penggelolan sumber daya alam berdasarkan

budaya lokal telah dilakukan oleh masyarakat sebelum negara berdiri.”12

4. Kearifan lokal sebagai kebudayaan

Pada penjelasan sebelumnya, salah satu potensi kearifan lokal adalah

sebagai budaya itu dikarnakan kearifan lokal terjadi karna adanya

kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat.

Menurut Rusmin Tumanggor, kebudayaan adalah idea berupa model-

model pengetahuan yang dijadikan landasan atau acuan oleh seseorang

sebagai anggota masyarakat melakukan aktifitas sosial, menciptakan materi

kebudayaan dalam unsur budaya universal: agama, ilmu pengetahuan,

teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta

kesenian.13 Kebudayaan itu muncul atas adanya kesepakatan bersama antar

individu dalam masyarakat tersebut. Kebudayaan menyangkut keseluruhan

aspek kehidupan manusia baik material maupun non material.14

Kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari, kebudayaan

tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur

11Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo persas 2005), h. 349-350.

12 Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan lokal Revatalisasi Hukum Adat Nusantara ,(Jakarta:Grasindo 2005), h. 2.

13 Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Prenada Media Grup, 2015),h.25.

14 Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, h. 81.

Page 28: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

13

genetis.15 Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah manusia itu

sendiri. Sekalipun manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya

tidak akan mati dan akan diwariskan pada keturunannya, demikian

seterusnya. Pewarisan kebudayaan manusia, tidak selalu terjadi kepada

anak-cucu mereka, melainkan kepada manusia yang satu dapat belajar

kebudayaan dari manusia lainnya atau dengan kata lain kebudayaan

tersebut dapat dipelajari oleh manusia lain yang tidak memiliki hubungan

kekerarabatan yang dekat dengan mereka atau tidak memiliki hubungan

darah.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

kebudayaan merupakan segala sesuatu yang bersumber dari kesepakatan

bersama antar individu dalam masyarakat sebagai proses adaptasi terhadap

alam dan lingkungannya yang dilakukan oleh manusia dalam rangka untuk

dapat bertahan hidup.

5. Nilai-nilai Budaya

Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan, dicita-citakan

dan dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat.

Karna itu, sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga

(nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral atau etis),

religious (nilai agama).16

Nilai-nilai budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan

tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan

masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe),

simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan

15 T.O Ihromi, pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), h.18.16 Elly M. Setiadi, Op. Cit., h. 31.

Page 29: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

14

lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi

atau sedang terjadi.17

Menurut Koentjaraningrat nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi

yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat

mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia.18

Sekurang-kurangnya ada enam nilai budaya yang amat menentukan

wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai

masyarakat, yaitu:

1) Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan objektif identitas

benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga

menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi

konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.

2) Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda

atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau

kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar

kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang

senantiasa maju disebut aspek progresif dari kebudayaan.

3) Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan

dan kebesaran yang menggetarkan dimana di dalamnya ada konsep

dedudukan dan ketakziman kepada yang Maha gaib, maka manusia

mengenal nilai agama.

4) Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan dimana ada konsep estetika

dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal

nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama

17 “Nilai-Nilai Budaya”, Diakses pada 14 Oktober 2015 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Nilai-nilai_budaya.

18 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987), h.87.

Page 30: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

15

menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari

kebudayaan.

5) Nilai kuasa. Manusia merasa puas jika orang lain mengikuti

pikirannya, norma-normanya, dan kemauannya, maka ketika itu

manusia mengenal nilai kuasa.

6) Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta,

persahabatan, dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan

merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia

mengenal nilai solidaritas. 19

Selanjutnya kearifan lokal pun diartikan sebagai pandangan hidup

dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas

yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah

dalam pemenuhan kebutuhan mereka.20 Zulkarnain dan Febriamansyah

menyatakan kearifan lokal berupa prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu

yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam

berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan

dalam bentuk sistem nilai dan norma adat.21

Adat istiadat termasuk ke dalam wujud kebudayaan yang bersifat

abstrak, karena adat istiadat berisi gagasan, ide-ide atau peraturan yang

dituangkan melalui tulisan, adat berfungsi untuk mengatur mengendalikan

dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam

masyarakat. Berikut beberapa pengertian tentang adat-istiadat dari

beberapa sumber:

19 Rusmin Tumanggor, Op.Cit, h. 142.20 Departemen Sosial RI, Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil, 2006.21 Zulkarnain, A.Ag., & Febriamansyah, R. Kearifan Lokal dan Pemanfaatan dan Pelestarian

Sumberdaya Pesisir. Jurnal Agribisnis Kerakyatan 1, 2008, h. 72.

Page 31: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

16

Adat istiadat secara umum dapat dikatakan bahwa kata adat itu berartikeseluruhan bentuk kelakuan (behavior) yang diwarisi turun-menurun(tradition) oleh satu kumpulan. Kata istiadat dapat diartikan sebagaikegunaan dan cara sesuatu adat itu dipakai. Jadi secara singkat dapatlahkita simpulkan pengertian adat istiadat itu sebagai bentuk keseluruhanbentuk kelakuan turun–menurun cara dan kegunaannya pada satukumpulan masyarakat.22

Dalam kamu besar bahasa Indonesia, adat istiadat diartikan sebagai aturantentang perbuatan atau kelakuan yang lazim diikuti atau dilakukan sejakdahulu kala, yang sudah menjadi kebiasaan turun menurun antar generasisebagai warisan sehingga integrasinya dengan pola perilaku masyarakat. Adatermasuk wujud gagasa kebudayaan yang terdiri atas nilai nilai budaya,norma, hukum, dan aturan yang satu dan yang lainya berkaitan menjadi satusistem.23

Berdasarkan uraian di atas yang terkait dengan adat istiadat adalah

nilai-nilai yang abstrak yang didalamnya mengandung nilai-nilai yang

merupakan sumber hukum atau tata kelakuan yang dijalani seseorang

dalam sebuah kesatuan hidup dalam kelompok masyarakat sama seperti

kearifan lokal yang merupakan tata-cara perilaku dalam sebuah kesatuan

kelompok masyarkat.

Kearifan lokal atau Local Wisdom, merupakan sesuatu yang

diketahui sebagai perilaku sosial masyarakat lokal dalam berinteraksi dan

berinterelasi dengan kehidupannya. Perilaku sosial dalam kaitannya dengan

lingkungan paling tidak terdiri dua dimensi, yaitu: pertama, bagaimana

karakteristik dan kualitas lingkungan mempengaruhi perilaku social

22 Ikhtisar budaya ( Bandar Sri Begawan: Dewan bahasa dan kebudayan kementian kebudayaan,1976), h. 7.

23 Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka)

Page 32: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

17

tertentu, dan kedua, bagaimana perilaku sosial tertentu mempengaruhi

karakteristik dan kualitas lingkungan.24

Ridwan mengemukakan bahwa kearifan lokal dapat dipahami sebagai

usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan

bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang

tertentu.25

Kearifan lokal muncul juga karna adanya tradisi masyarakat yang

diwariskan oleh nenek moyang mereka. Tradisi merupakan kebiasaan

kolektif dan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Tradisi merupakan

mekanisme yang dapat membantu memperlancar perkembangan pribadi

anggota masyarakat, misalnya dalam membimbing anak menuju

kedewasaan. Tradisi juga penting sebagai pembimbing pergaulan bersama

di dalam masyarakat. Jika tradisi bersifat absolut, nilainya sebagai

pembimbing akan merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi sebagai

pembimbing, melainkan merupakan penghalang kemajuan. Oleh karna itu,

tradisi yang kita terima perlu kita renungkan kembali dan kita sesuaikan

dengan zaman.26

Dengan demikian kearifan lokal merupakan pandangan dan

pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku dan telah

dipraktikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan

tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal berfungsi dan

bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya alam dan

manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk

kehidupan.

24 Usman, S, “Sosiologi Lingkungan. Pembahasan Tentang Lingkungan dan PerilakuSosial”,1995,” Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (tidak diterbitkan).http://iep.pasca.unand.ac.id/id/images/download/Jurnal/JAK/artikel diakses pada 12 Januari 2016

25 Ridwan N,“Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, 2007, http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2- landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf. diakses 12 Januari 2016.26 Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h.12-13.

Page 33: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

18

6. Fungsi Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg

dalam suatu daerah. Kearifan lokal memiliki kandungan nilai kehidupan

yang tinggi dan layak terus digali, dikembangkan, serta dilestarikan sebagai

antitesis atau perubahan sosial budaya dan modernisasi. Kearifan lokal

produk budaya masa lalu yang runtut secara terus-menerus dijadikan

pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tapi nilai yang terkandung

didalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal terbentuk sebagai

keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam

arti luas.

Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat

tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan

karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan

melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata

nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata

lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian dari cara hidup

mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang

mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan

kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan.

Adapun fungsi kearifan lokal terhadap masuknya budaya luar adalah

sebagai berikut :

1. Sebagai filter dan pengendali terhadap budaya luar.

2. Mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.

3. Mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.

Page 34: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

19

4. Memberi arah pada perkembangan budaya.27

B. Ketahanan Pangan

Sebelum membahas lebih jauh mengenai apa itu ketahanan pangan, akan

diuraikan pengertian tentang pangan dan jenis-jenisnya serta akan diuraikan

mengenai konsumsi pangan. Pangan merupakan kebutuhan utama bagi

manusia. Di antara kebutuhan yang lainnya, pangan merupakan kebutuhan yang

harus dipenuhi agar kelangsungan hidup seseorang dapat terjamin. Indonesia

merupakan salah satu negara berkembang yang dulu hingga sekarang masih

terkenal dengan mata pencaharian penduduknya sebagia petani atau bercocok

tanam. Luas lahan pertanianpun tidak diragukan lagi. Namun, dewasa ini

Indonesia justru menghadapi masalah serius dalam situasi pangan di mana yang

menjadi kebutuhan pokok semua orang. Menurut Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004, Pangan adalah segala sesuatu yang

berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah,

yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,

termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang

digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan

atau minuman. Pangan dibedakan atas 3 (tiga) jenis, yaitu pangan segar, pangan

olahan, dan pangan siap saji.

1) Pangan Segar

Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan, yang

dapat dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku pengolahan pangan.

Misalnya beras, gandum, singkong, segala macam buah, ikan, air segar.

27 Rohaedi Ayat, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), (Jakarta: Pustaka Jaya,1986).

Page 35: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

20

2) Pangan Olahan

Makanan atau pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang

diperuntukkan bagi kelomjpok tertentu dalam upaya memelihara dan

meningkatkan kualitas kesehatan kelompok tersebut.

3) Pangan Siap Saji

Pangan siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah diolah dan bisa

langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar

pesanan.

Adapun tanaman pangan ialah semua jenis tanaman yang dapat

menghasilkan karbohidrat dan protein. Beberapa jenis tanaman yang tergolong

sebagai tanaman pangan adalah: 1) Tanaman Umbi-Umbian (singkong, talas,

ubi jalar, dll); 2) Tanaman Serealia (padi, gandum, jagung, dll); 3) Tanaman

Kacang-Kacangan (kacang tanah, kedelai, kacang hijau, dll).

Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang di makan oleh

seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologik, psikologik,

maupun sosial. Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup

jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per-orang per-hari yang umum

dikonsumsi/dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu.

Konsumsi pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati

dan air baik yang diolah maupan yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai

makanan dan minuman bagi konsumsi manusia yang termasuk bahan tambahan

pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses

penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman.28

28 Ditjen Bina kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat., Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi),(Jakarta : Depkes RI, 2004).

Page 36: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

21

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan

yang dikonsumsi (dimakan) atau diminum seseorang atau kelompok orang pada

waktu tertentu. Jenis dan jumlah pangan merupakan informasi yang penting

dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi.29

Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah

faktor ekonomi dan harga dimana keadaan ekonomi keluarga relatif mudah

diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan

miskin, selain pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi

pangan adalah harga pangan dan non pangan. Harga pangan yang tinggi

menyebabkan berkurangnya daya beli yang berarti pendapatan riil berkurang.

Keadaan ini menyebabkan konsumsi pangan berkurang sedangkan faktor sosio-

budaya dan religi yaitu aspek sosial budaya berarti fungsi pangan dalam

masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaaan lingkungan, agama, adat,

kebiasaan dan pendidikan masyarakat tersebut. Kebudayaan suatu masyarakat

mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan

yang digunakan untuk dikonsumsi. Kebudayaan mempengaruhi seseorang

dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis bahan pangan,

pengolahan, serta persiapan dan penyajiannya.30

Pangan atau makanan yang dikonsumsi pada dasarnya berfungsi untuk

mempertahankan kehidupan manusia yaitu sebagai sumber energi dan

pertumbuhan serta mengganti jaringan atau sel tubuh yang rusak. Karna pangan

menyediakan unsur-unsur kimia tubuh yang dikenal sebagai zat gizi. Zat gizi

tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses dalam tubuh dan

membuat lancarnya pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh. Konsumsi

pangan dipengaruhi oleh banyak faktor dan pemilihan jenis maupun banyaknya

29 Hardinsyah,. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. (Bogor: Pusat Antar Universitas.IPB, 1994)

30 Baliwati, Y. F, Pengantar Pangan dan Gizi, Cetakan I, (Jakarta: Penerbit Swadaya, 2004).

Page 37: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

22

pangan yang dimakan, dapat berlainan dari masyarakat ke masyarakat dan dari

negara ke negara.

Untuk memenuhi konsumsi pangan yang sesuai dengan keadaan masyarakat,

maka penyediaan pangan tentunya dapat ditempuh melalui:

a. Produksi sendiri, dengan cara mengalokasikan sumber daya alam (SDA),

manajemen dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta

aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal.

b. Import dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang memadai

disektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan luar negeri.

Hal ini dilakukan agar ketersediaan pangan selalu tercukupi untuk

kebutuhan masyarakat.

1. Pengertian Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan suatu keadaan

dimana pangan tersedia bagia setiap individu setiap saat dimana saja baik

secara fisik, maupun ekonomi. Ada tiga aspek yang menjadi indikator

ketahanan pangan suatu wilayah, yaitu sektor ketersediaan pangan, stabilitas

ekonomi (harga) pangan, dan akses fisik maupun ekonomi bagi setiap

individu untuk mendapatkan pangan.

Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1996, ketahanan pangan adalah

kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari

tersedianya pangan yang cukup, baik jumlahnya maupun mutunya, aman,

merata, dan terjangkau.31

Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan

seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan

31 Undang-Undang No.7 Tahun 1996 Tentang : Pangan, ews.kemendag.go.id diakses pada 14Januari 2016

Page 38: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

23

memiliki ketahanan panganjika penghuninya tidak berada dalam kondisi

kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.32

Sumarwan mengatakan bahwa ketahanan pangan pada dasarnya juga

membahas hal-hal yang menyebabkan orang tidak tercukupi kebutuhan

pangannya. Hal-hal tersebut meliputi antara lain tersedianya pangan,

lapangan kerja dan pendapatan. Ketiga hal tersebut menentukan apakah

suatu rumah tangga memiliki ketahanan pangan, artinya dapat memenuhi

kebutuhan pangan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya.33

Soekirman mengungkapkan bahwa cukup tidaknya persediaan pangan

di pasar berpengaruh pada harga pangan. Kenaikan harga pangan bagi

keluarga yang tidak bekerja atau yang bekerja tetapi penghasilannya tidak

cukup, dapat mengancam kebutuhan gizinya yang berarti ketahanan pangan

keluarganya terancam. Sebaliknya, persediaan cukup, harga stabil tetapi

banyak penduduk tanpa kerja dan tanpa pendapatan, berarti tanpa daya beli,

juga menyebabkan persediaan pangan itu tidak efektif. Karena itu

pembangunan Sumber daya Manusia (SDM) akan mengatur keseimbangan

dan keserasian antara kebijaksanaan sistem pangan (produksi, distribusi,

pemasaran, dan konsumsi) dan kebijaksanaan di bidang sosial seperti

penanggulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, gizi dan lain-lain.34

Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk menyatakan situasi

pangan pada beberapa tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional

(daerah), dan tingkat rumah tangga serta individu.35

32 “Ketahanan pangan”, https://id.wikipedia.org/wiki/Ketahanan_pangan diakses pada 17 Desember2016

33 Sumarwan, U. dan D. Sukandar, Identifikasi Indikator dan Variabel serta Kelompok Sasaran danWilayah Rawan Pangan Nasional, (Bogor: Jurusan GMSK-Faperta IPB, UNICEF dan BiroPerencanaan, Departemen Pertanian R.I Widuri Press, 1998).

34 Soekirman, “Ketahanan Pangan : Konsep, Kebijaksanaan dan Pelaksanaannya”, Makalahdisampaikan pada Lokakarya Ketahanan pangan Rumah Tangga, Yogyakarta, 26-30 Mei, 1996.

35 Suhardjo, “Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga”. Makalahdisampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah tangga. Yogyakarta, 26-30 Mei, 1996.

Page 39: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

24

Ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi di mana setiap orang

sepanjang waktu memiliki akses, baik secara fisik maupun ekonomis,

terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi, untuk memenuhi kebutuhan

gizi harian yang diperlukan agar dapat hidup dengan aktif dan sehat.36

Sejalan dengan itu dalam ketahanan pangan terdapat 3 (tiga) komponen

penting pembentuk ketahanan pangan, yaitu produksi dan ketersediaan

pangan, jaminan akses terhadap pangan, serta mutu dan keamanan pangan.

Internasional Confrence in Nutrition (FAO/WHO) mendefenisikan

ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk

memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat.

Sedangkan World Food Summit memeperluas defenisi FAO/WHO dengan

persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai dan budaya setempat.

World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses oleh semua

orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang

sehat dan aktif. Oxfam, ketahanan pangan adalah kondisi ketika: “setiap

orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan

yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. FIVIMS

(Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Systems),

mendefinisikan ketahanan pangan merupakan kondisi ketika semua orang

pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada

pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan

konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi

kehidupan yang aktif dan sehat. Sejalan dengan itu, Hasil Lokakarya

Ketahanan Pangan Nasional mendefenisikan ketahanan pangan sebagai

kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga

36 Suryana A, Kapita Selecta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan, (Yogyakarta:BPEE, 2003).

Page 40: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

25

dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari waktu

kewaktu agar dapat hidup sehat.

Sementara itu ketahanan pangan tingkat global, nasional, regional,

komunitas lokal, rumah tangga dan individu merupakan suatu rangkaian

sistem hierarkis. Lebih jauh mengungkapkan bahwa ketahanan pangan

tingkat komunitas lokal merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup

menjamin ketahanan pangan untuk seluruh rumah tangga. Selanjutnya

ketahanan pangan tingkat regional merupakan syarat keharusan bagi

ketahanan pangan tingkat komunitas lokal tetapi tidak cukup menjamin

ketahanan pangan komunitas lokal. Pada akhirnya ketahanan pangan tingkat

nasional tidak cukup menjamin terwujudnya ketahanan pangan bagi semua

orang, setiap saat sehingga dapat mencukupi kebutuhan pangan agar dapat

hidup sehat dan produktif.37 Dalam hal ini ketahanan pangan rumah tangga

tidak cukup menjamin ketahanan pangan individu. Kaitan antara ketahanan

pangan individu dan rumah tangga ditentukan oleh alokasi dan pengolahan

pangan dalam rumah tangga, status kesehatan anggota rumah tangga, kondisi

kesehatan dan kebersihan lingkungan setempat. Selain itu faktor tingkat

pendidikan suami-istri, budaya dan infrastruktur setempat juga sangat

menentukan ketahanan pangan individu/rumah tangga.

Tonggak ketahanan pangan adalah ketersediaan atau kecukupan

pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Penyediaan

pangan dapat ditempuh melalui produksi sendiri dengan memanfaatkan

pengalokasian sumber daya alam. Basis dari konsep ketahanan pangan

nasional adalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, terutama di

perdesaan. Demikian pula sebaliknya, ketahanan pangan di tingkat rumah

37 Simatupang, P, Toward Sustainable Food Security: The Need for A New Paradigm inSimatupang, P. et a/. (eds) Indonesia's Economic Crisis: Effects on Agriculture and Policy Responses,(Adelaide : Centre for International Economic Studies, University of Adelaide 5005 Australia, 1999).

Page 41: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

26

tangga merupakan prakondisi sangat penting untuk memupuk ketahanan

pangan regional dan di tingkat nasional.

Berbagai pengertian di atas menunjukkan bahwa konsep dan

pengertian atau definisi ketahanan pangan sangat luas dan beragam. Namun

demikian dari luas dan beragamnya konsep ketahanan pangan tersebut

intinya adalah terjaminnya ketersediaan pangan bagi umat manusia secara

cukup serta terjaminnya pula setiap individu untuk memperoleh pangan dari

waktu kewaktu sesuai kebutuhan untuk dapat hidup sehat dan beraktivitas.

Terkait dengan konsep terjamin dan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi

setiap individu tersebut perlu pula diperhatikan aspek jumlah, mutu,

keamanan pangan, budaya lokal serta kelestarian lingkungan dalam proses

memproduksi dan mengakses pangan. Dalam perumusan kebijakan maupun

kajian empiris ketahanan pangan, penerapan konsep ketahanan pangan

tersebut perlu dikaitkan dengan rangkaian sistem hirarki sesuai dimensi

sasaran mulai dari tingkat individu, rumah tangga, masyarakat/komunitas,

regional, nasional maupun global.

Mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai

pemenuhan kondisi kondisi : (1) Terpenuhinya pangan dengan kondisi

ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti

luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan dan

memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan,

yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. (2)

Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran

biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu, merugikan, dan

membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama. (3)

Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa

distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan

merata di seluruh tanah air. (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi

Page 42: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

27

terjangkau, diartikan bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan

harga yang terjangkau.

Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :

a. Berorientasi pada rumah tangga dan individu

b. Dimensi watu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses

c. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik,

ekonomi dan sosial

d. Berorientasi pada pemenuhan gizi

e. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif

Tujuan program ketahanan pangan adalah:

a. Mengembangkan usaha pegelolaan pangan.

b. Mengembangkan kelembagaan pangan. .

c. Mengembangkan diversifikasi pangan

d. Meningkatnya ketersediaan pangan.

2. Sistem Ketahanan Pangan

Secara umum, ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu

Kecukupan (sufficiency), akses (access), keterjaminan (security), dan

waktu (time).38 Dengan adanya aspek tersebut maka ketahanan pangan

dipandang menjadi suatu sistem, yang merupakan rangkaian dari tiga

komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability

dan stability), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility) dan

pemanfaatan pangan.

38 Baliwati, Y. F. Loc. Cit.

Page 43: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

28

Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu

sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu

subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan

kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut

masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus dikelola sedemikian

rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagaian bersifat musiman,

terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga

harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu kewaktu.

Sementara itu subsistem distribusi mencakup upaya memperlancar

proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas

harga pangan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya akses

masyarakat terhadap pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat wilayah,

belum menjamin kecukupan pangan bagi individu atau masyarakatnya.

Sedangkan subsistem konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat

agar mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat

mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkat

kebutuhannya. Konsumsi pangan tanpa memperhatikan asupan zat gizi

yang cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang

sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif. 39

Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka ketahanan

pangan tidak mungkin terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan

pangan.40

Menurut Retnaningtyas dalam tulisannya, sistem ketahanan pangan bisa

diatasi dengan beberapa cara sebagai berikut :

39 Thaha R. Abd,dkk, Pangan Dan Gizi. (Bogor : Penerbit DPP Pergizi Pangan Indonesia, 2002).40 Suryana, A, Loc.Cit.

Page 44: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

29

1) Membangun sistem klaster dalam rangka pengembangan potensi

wilayah, dengan potensi yang dimanfaatkan secara optimal maka dapat

membantu meningkatkan perekonomian masyarakat, meningkatkan

kesejahteraan dan akhirnya dengan ekonomi yang baik masyarakat

dapat memenuhi kebutuhan pangannya.

2) Membuat lumbung hidup melalui gerakan 1 rumah 5 tanaman berupa

tanaman sayur, singkong, jagung, dll, sehingga masing-masing rumah

tangga dapat memenuhi kebutuhan gizi keluarganya serta memiliki

alternative pangan lainnya.

3) Mengurangi konsumsi beras, dalam satu keluarga kami himbau untuk

mengurangi konsumsi beras 1 ons per hari dan diganti makanan lain

pengganti beras yang apabila diasumsikan 1 kelurahan 3500 KK maka

dalam satu hari kita mampu mengurangi 3500 ons beras dan apabila ini

bisa diterapkan di seluruh wilayah, ketahanan pangan akan terwujud

4) Mengenalkan makanan non beras sejak dini melalui keluarga, dimana

setiap keluarga dihimbau untuk memasak masakan non beras minimal

1 kali dalam seminggu. Tujuannya selain dalam rangka ketahanan

pangan, juga mengenalkan makanan non beras kepada anak-anak yang

sekarang mulai tidak mengenal makanan tradisional.

5) Pengembangan UKM dan ekonomi kreatif sebagai lapangan pekerjaan

bagi masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang ada.

6) Melalui Celengan sedekah, celengan sedekah adalah gerakan

kemanusiaan yang dilakukan dengan cara membagi celengan kepada

keluarga yang mampu, setelah 1 atau 2 bulan maka celengan yang

Page 45: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

30

dibagi tadi akan dikumpulkan yang selanjutnya akan disalurkan pada

keluarga-keluarga yang kurang mampu.41

Dengan membangun sistem ketahanan pangan seperti di atas menjadi

sangat penting, sebagai penegasan atas upaya penyediaan pangan yang

dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan berbasis pada

potensi, sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.

3. Rawan pangan

Rawan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk

memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan

berakvitas dengan baik. Rawan pangan dapat dibedakan 2 jenis yaitu : (a)

rawan pangan kronis, yaitu ketidak cukupan pangan secara menetap akibat

ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang

dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau melalui produksi sendiri.

Kondisi ini berakar pada kemiskinan dan (b) rawan pangan transien/

transistori, yaitu penurunan akses terhadap pangan yang dibutuhkan rumah

tangga secara kontemporer. Hal ini disebabkan adanya bencana alam,

kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang bersifat

mendadak, sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga pangan, produksi,

atau pendapatan.42

Menurut Food An Agriculture Organization Of The United Nations

(FAO) dan Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, maka

kondisi rawan pangan dapat diartikan bahwa individu atau rumah tangga

masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi (penghasilannya tidak

memadai atau harga pangan tidak terjangkau), tidak memiliki akses secara

41“Sistem Ketahanan Pangan”, https://www.kompasiana.com/retnaningtyas/sistem-ketahanan-pangan_58e59ef8729773d4094d19c5. Diakses pada 26 Desember 2017.

42 Baliwati, Y. F. Loc, Cit.

Page 46: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

31

fisik, untuk memperoleh pangan yang cukup kehidupan yang normal, sehat

dan produktif, baik kualitas maupaun kuantitasnya.

Rawan pangan dapat mengakibatkan kelaparan, kurang gizi dan

gangguan kesehatan, termasuk didalamnya busung lapar. Bahkan dalam

keadaan yang paling fatal dan menyebabkan kematian.

Kejadian krisis pangan dan gizi dapat diantisipasi apabila gejala

gejala kekurangan pangan dan gizi serta masalahnya dapat secara dini

diidentifikasi dan kemudian dilakukan tindakan secara tepat dan cepat

sesuai dengan kondisi yang ada.43

Tanda-tanda rawan pangan yang erat kaitannya dengan usaha

individu/rumah tangga untuk mengatasi kerawanan pangan.

1) Tanda-tanda pada kelompok pertama, berhubungan dengan gejala

kekurangan produksi dan cadangan pangan suatu tempat yaitu:

a. Terjadinya eksplosi hama dan penyakit pada tanaman;

b. Terjadi bencana alam berupa kekeringan, banjir, gempa bumi,

gunung meletus, dan sebagainya;

c. Terjadi kegagalan tanaman pangan makanan pokok; dan

d. Terjadinya penurunan persediaan bahan pangan setempat;

2) Sedangkan tanda-tanda rawan pangan kedua yang terkait akibat rawan

pangan, yaitu : kurang gizi dan gangguan kesehatan meliputi ;

a. Bentuk tubuh individu kurus;

b. Ada penderita kurang kalori protein (KKP) atau kurang makanan

(KM);

43 Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sumatera Utara, Analisis Konsumsi Kebutuhan Pangan,http:/bpk.pertanian.go.id., 2005.

Page 47: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

32

c. Terjadinya peningkatan jumlah orang sakit yang dicatat di Balai

Kesehatan Puskesmas;

d. Peningkatan kematian bayi dan balita; dan

e. Peningkatan angka kelahiran dengan angka berat badan dibawah

standar

3) Tanda-tanda yang ketiga yang erat hubungannya dengan masalah

sosial ekonomi dalam usaha individu atau rumah tangga untuk

mengatasi masalah rawan pangan yang meliputi;

a. Bahan pangan yang kurang biasa dikonsumsi seperti gadung yang

sudah mulai makan sebagian masyarakat;

b. Peningkatan jumlah masyarakat yang menggadaikan aset;

c. Peningkatan penjualan ternak, peralatan produksi (bajak dan

sebagainya);

d. Meningkatkan kriminalitas

4. Akses Pangan

Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli

dan besarnya alokasi bahan pangan, juga faktor selera pada suatu individu

dan rumah tangga. Penyebab kelaparan seringkali bukan disebabkan oleh

kelangkaan bahan pangan namun ketidakmampuan mengakses bahan

pangan karena kemiskinan. Kemiskinan membatasi akses terhadap bahan

pangan dan juga meningkatkan kerentanan suatu individu atau rumah

tangga terhadap peningkatan harga bahan pangan. Kemampuan akses

bergantung pada besarnya pendapatan suatu rumah tangga untuk membeli

bahan pangan, atau kepemilikan lahan untuk menumbuhkan makanan

untuk dirinya sendiri. Rumah tangga dengan sumber daya yang cukup

Page 48: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

33

dapat mengatasi ketidakstabilan panen dan kelangkaan pangan setempat

serta mampu mempertahankan akses kepada bahan pangan.

Terdapat dua perbedaan mengenai akses kepada bahan pangan. 1)

Akses langsung, yaitu rumah tangga memproduksi bahan pangan sendiri,

2) akses ekonomi, yaitu rumah tangga membeli bahan pangan yang

diproduksi di tempat lain. Lokasi dapat mempengaruhi akses kepada bahan

pangan dan jenis akses yang digunakan pada rumah tangga tersebut meski

demikian, kemampuan akses kepada suatu bahan pangan tidak selalu

menyebabkan seseorang membeli bahan pangan tersebut karena ada faktor

selera dan budaya. Demografi dan tingkat edukasi suatu anggota rumah

tangga juga gender menentukan keinginan memilih bahan pangan yang

diinginkannya sehingga juga mempengaruhi jenis pangan yang akan

dibeli.44

C. Hasil Penelitian yang Relevan

Untuk mendukung penelahaan yang lebih mendetail, penulis berusaha

melakukan kajian terhadap beberapa pustaka ataupun hasil penelitian yang

relevan dengan topik penulisan ini. Jurnal dan karya ilmiah yang sebelumnya

pernah ditulis ditelusuri sebagai bahan perbandingan maupun rujukan dalam

penulisan karya ilmiah ini, yakni :

1. Dalam jurnal berjudul Kearifan Lokal dalam Membentuk Daya Pangan

Lokal Komunitas Molamahu Pulubala Gorontalo, Penelitian ini penulis

mengungkapkan perspektif budaya memandang makanan bukanlah

sesuatu yang dipandang semata-mata berhubungan dengan aspek

fisiologis dan biologis manusia melainkan secara menyeluruh terserap

44 Nur Sagran, “Kondisi Ketahanan Pangan Indonesia”,http://www.academia.edu/20194304/Kondisi_Ketahanan_Pangan_Indonesia_saat_Ini, diakses 22Desember 2017.

Page 49: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

34

dalam suatu sistem budaya pangan. Sistem budaya pangan (makanan)

mencakup kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi makanan yang di

dalamnya tersirat pemenuhan kebutuhan manusia, sosial, dan budaya

dalam rangka melangsungkan kehidupan dan meningkatkan

kesejahteraan diri, keluarga, dan masyarakatnya. Tradisi kuliner berbasis

pangan lokal merupakan bentuk kearifan lokal sebagai gambaran pola-

pola hidup masyarakat yang mampu menghadirkan identitas kolektifitas

dan representasi sosial budaya dalam mengkonsepkan makanan, fungsi

sosial makanan.45

2. Dalam jurnal berjudul Penerapan Nilai-nilai Kearifan Lokal Dalam

Mempertahankan Ketahanan Pangan (Studi Etnografi pada Masyarakat

Kampung Adat Cireundeu, Kel. Leuwigajah Kec. Cimahi Selatan, Kota

Cimahi). Penelitian ini membahas tentang masyarakat kampung

Cireundeu yang mampu mempertahankan ketahanan pangannya dengan

cara mengganti makanan pokok layaknya masyarakat Indonesia, yaitu

beras menjadi singkong. Masyarakat kampung Cireundeu juga mampu

melestarikan kearifan lokal daerah mereka dengan mempertahankan

kebudayaan yang berasal dari nenek moyang mereka. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai nilai-nilai

kearifan lokal dalam mempertahankan ketahanan pangan masyarakat

kampung adat Cireundeu. Teori yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teori dari Ayatrohaendi mengenai kearifan lokal sedangkan teori

mengenai ketahanan pangan diambil dari Peraturan Pemerintah No. 68

tahun 2002. Metode yang digunakan adalah metode Etnografi kualitatif.

Penelitian ini mengungkapkan bahwa bentuk kearifan lokal yang ada

45 Amir Fadhilah. “ Kearifan Lokal dalam Membentuk Daya Pangan Lokal Komunitas MolamahuPulubala Gorontalo”, Jurnal Al-Turāṡ Vol. XIX No. 1, Januari 2013, Fakultas Adab dan Humaniora& Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 50: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

35

dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, sanksi, dan

aturan-aturan khusus, ketahanan pangan yang diperlihatkan warga

Cireundeu kerap dijadikan kampung percontohan ketahanan maupun

diversifikasi pangan yang berhasil di Jawa Barat, bahkan Indonesia,

interaksi sosial yang terjadi antar warga masyarakat Cireundeu

berlangsung secara harmonis dengan penataan wilayah yang sangat

nyaman, aman, dan damai, masyarakat dan kebudayaan Cireundeu

memiliki ciri khas yaitu rasi sebagai makanan pokok dan upacara satu

sura. Kesimpulan cara mempertankan pangan kampung adat Cireundeu

ini menjadi ciri khas budaya, nilai-nilai budaya yang terkandung

didalamnya menjadikan ini sebagai kearifan lokal Kampung Adat

Cireundeu.46

3. Dalam jurnal yang berjudul Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Adat

dalam Pengelolaan Hutan : Studi Kasus Kearifan Lokal Masyarakat Adat

dalam Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui Lampung Barat

Kaitannya dengan Ketahanan Nasional, Penelitian ini berupaya

mendalami pola-pola adaptasi yang dikembangkan penduduk Pesisir Krui

menanggapi tantangan/dilema dalam mempertahankan keserasian dengan

lingkungan hidupnya dari perspektif ketahanan nasional. Penelitian ini

adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pola-pola adaptasi yang dikembangkan masyarakat

dalam merespon keterbatasan lahan dan sumberdaya alam, intervensi

ekonomi pasar, dan intervensi politik telah melemahkan kohesi sosial dan

memicu munculnya gejala-gejala sosial yang mengarah pada konflik dan

tindak kekerasan yang membahayakan stabilitas keamanan sehingga

mengganggu ketahanan nasional. Penelitian menyarankan agar kebijakan-

46 Rizka Nurdiani, “Penerapan Nilai-nilai Kearifan Lokal Dalam Mempertahankan KetahananPangan (Studi Etnografi pada Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kel. Leuwigajah Kec. CimahiSelatan, Kota Cimahi)”. Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2(Agustus 2014).

Page 51: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

36

kebijakan pemerintah terkait kehutanan harus memperhatikan aspek

ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat setempat serta tidak

bersifat represif dan diskriminatif. Selain itu, perlu upaya penguatan

kelembagaan adat dan penciptaan diversifikasi lapangan pekerjaan untuk

mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan.47

4. Dalam jurnal yang berjudul Kearifan lokal tentang mitigasi bencana pada

masyarakat Baduy. Penelitian ini mengenai kearifan lokal masyarakat

Baduy dalam pencegahan bencana. Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui metode observasi dan

wawancara mendalam, dan data diolah secara deskriptif-analitik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan dan pandangan

tradisional masyarakat Baduy yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) masyarakat Baduy yang selalu

melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma), tidak

terjadi bencana kebakaran hutan atau tanah longsor di wilayah Baduy; (2)

di wilayah Baduy banyak permukiman penduduk berdekatan dengan

sungai, tidak terjadi bencana banjir; (3) walaupun rumah dan bangunan

masyarakat Baduy terbuat dari bahan yang mudah terbakar (kayu, bambu,

rumbia, dan ijuk), jarang terjadi bencana kebakaran hebat; dan (4)

wilayah Baduy yang termasuk dalam daerah rawan gempa Jawa bagian

Barat, tidak terjadi

5. kerusakan bangun an akibat bencana gempa. Kearifan lokal dalam

mitigasi bencana yang dimiliki masyarakat Baduy sejatinya didasari oleh

pikukuh (ketentuan adat) yang menjadi petunjuk dan arahan dalam

berpikir dan bertindak. Pikukuh merupakan dasar dari pengetahuan

47 Friska Liberti, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan : Studi KasusKearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui Lampung BaratKaitannya dengan Ketahanan Nasional”,:http://lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=20329639&lokasi=lokal. Di akses Oktober 2017.

Page 52: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

37

tradisional yang arif dan bijaksana, termasuk juga dalam mencegah

bencana.48

6. Dalam jurnal yang berjudul Model Pengembangan Ketahanan Pangan

Berbasis Pisang Melalui Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal. Penelitian ini

bertujuan untuk menemukan “Model Pengembangan Ketahanan Pangan

Berbasis Pisang dengan Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal”. Model ini

dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan publik dan

upaya edukasi dan advokasi publik dalam bidang pangan untuk

mendorong terwujudnya ketahanan pangan nasional. Berdasarkan hasil

penelitian dapat disimpulkan: 1) Terdapat keragaman profil produksi

pisang, distribusi, konsumsi, dan peran kearifan lokal di Kabupaten

Lumajang, Malang, dan Blitar, 2) Optimalisasi peran kearifan lokal dapat

dijadikan fokus utama dalam upaya mengembangkan ketahanan pangan

berbasis pisang, dan 3) Beberapa komponen penting dan strategis dalam

model pengembangan ketahanan pangan berbasis pisang melalui

revitalisasi nilai kearifan lokal dan penguatan kelembagaan kelompok tani

adalah: a) kearifan lokal (penguatan penggunaan bahan pangan berbasis

lokal, peran perempuan, peran tokoh masyarakat/agama, gotong royong,

guyub rukun, desa mandiri pangan, pertanian ramah lingkungan,

pertanian multikultur, dan perencanaan berbasis masyarakat) dalam

pengembangan ketahanan pangan berbasis pisang melalui revitalisasi

nilai kearifan lokal tersebut yang menjadi lokomotif pengembangan

adalah kearifan lokal dan kelembagaan kelompok tani.49

48 Raden Cecep Eka Permana, dkk, “Kearifan Local Tentang Mitigasi Bencana Pada MasyarakatBaduy”, http://lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=20322209&lokasi=lokal. Di akses Oktober 2017.

49 Moch. Agus Krisno Budiyanto, “Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis PisangMelalui Revitalisasi Nilai Kearifan Loka". Jurnal Program Studi Pendidikan Biologi FKIPUniversitas Muhammadiyah Malang, 2012.

Page 53: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

38

D. Kerangka Berpikir

Kearifan lokal disebut juga proses adaftif, terhadap lingkungan dan

sekitarnya yang diwariskan secara turun menurun dan kearifan lokal juga

adalah sarana yang bisa digunakan masyarkat dalam menghadapi berbagai

tantangan yang dihadapi masyarakat. Kearifan lokal muncul juga karna adanya

tradisi masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Kearifan lokal

berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya

alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk

kehidupan.

Ketahanan pangan adalah terjaminnya ketersediaan pangan bagi umat

manusia secara cukup serta terjaminnya pula setiap individu untuk memperoleh

pangan dari waktu kewaktu sesuai kebutuhan untuk dapat hidup sehat dan

beraktivitas. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu

sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu

subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan

penyediaan pangan.

Gambar 2.1

Kerangka Berpikir

MASYARAKAT

KEARIFAN LOKAL

BUDAYA

KETAHANAN PANGAN

Page 54: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

39

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. Tempat, Populasi, dan Sample Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kampung adat Cireundeu, yang terletak

di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi,

Jawa Barat.

Tabel 3.1

Tabel di atas menjelaskan bahwa di wilayah kelurahan Leuwigajah,

Cimahi Selatan memiliki 1 tempat hiburan/rekreasi budaya. Tempat

hiburan/rekreasi yang dimaksud di atas yaitu adalah kampung adat

Cireundeu.

Page 55: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

40

2. Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang teridiri atas objek/subjek

yang mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.1

Populasi di kampung adat Cireundeu secara terstruktur dibagi

menjadi beberapa bagian yaitu tokoh masyarakat contohnya ketua adat,

ketua lingkungan misalnya ketua RT atau ketua PKK, dan masyarakat

umum.

3. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut.2 Dalam penelitian ini populasi terdiri dari tokoh

masyarakat dan masyarakat kampung adat Cireundeu.

Sample yang diambil oleh peneliti antara lain adalah ketua adat,

ketua RT, ketua PKK, dan beberapa masyarakat kampung adat

Cireundeu.

B. Metode Penelitian

Metodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang

metode metode penelitian, ilmu tentang alat-alat dalam penelitian.3

Berkaitan dengan hal itu, pada hakikatnya, penelitian merupakan suatu

upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan

kebenaran.4 Selain itu, Mahsun juga mendefinisikan penelitian sebagai

1 Sugiyono, Metode Penelitian pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan RnD, (Bandung :Alfabeta, 2012), h.15.2 ibid3 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996),h.4.4 Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),

h. 49.

Page 56: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

41

suatu ikhtiar yang dilakukan manusia dalam upaya pemecahan masalah

yang dihadapi.5 Namun dalam praktiknya, upaya untuk mencari kebenaran

atau pemecahan masalah seperti yang disebutkan di atas dalam dunia ilmiah

tidak begitu saja bisa dikatakan sebagai penelitian. Hal ini sangat

bergantung pada jenis masalah yang ingin dicari jawabannya serta prosedur

atau cara apa yang digunakan dalam pemecahan masalah tersebut.6

Dalam sebuah penelitian yang ditempuh tentu terdapat tujuan yang

ingin dicapai, untuk itulah dibutuhkan suatu pendekatan guna

mempermudah penelitian. Pendekatan yang digunakan oleh seorang

peneliti akan menuntunnya pada metode apa yang harus digunakan, tetapi

dalam pemilihannya ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti jenis

data yang diteliti, serta paradigma yang menyertainya. Sehingga apa yang

menjadi tujuan penelitian dapat tercapai.

Dalam hal penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode

kualitatif yaitu penelitian yang diarahkan untuk mengambil fakta

berdasarkan fakta subjek penelitian mengetengahkan hasil penelitian secara

rinci. Pendekatan yang digunakan disesuaikan dengan lapangan penelitian,

maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Emik dan alasaan

digunakan pendekatan ini objek dan subjek yang berhubungan dengan

fenomena kebudayaan tentang keberadaan kearifan lokal dari kampung

Adat Cirendeu dan mengambarkan kearifan lokal berdasarkan pada sudut

pandang partisipan (informan setempat).7 Kerangka teori yang telah

dibangun menjadi pengarah agar hasil berdasarkan tujuan dalam

memperoleh data, jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jenis

penelitian deskriptif adalah jenis yang tujuanya memberikan gambaran

yang jelas tentang karakteristik dari fenomena yang sedang diteliti.

Fenomena yang diteliti adalah kearifan lokal di kampung adat Cirendeu.

5 Mahsun, Metode Penelitian Bahasa, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 1.6 Ibid.7 Suwardi Endraswara, Metode Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan, Idiologi, Epistemologi,

dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widayatama, 2006). h. 56.

Page 57: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

42

Sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas tentang kearifan lokal dan

adat istiadat dikaitkan dalam hubunganya dengan ketahanan pangan.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengambilan sample

dengan teknik purpose sampling, menurut Sugiyono purpose sampling

adalah teknik untuk menentukan sample penelitian dengan beberapa

pertimbangan tertentu yang bertujuan data yang diperoleh nantinya bisa

lebih representatif.8 Teknik pengambilan sample ini memiliki tujuan

tertentu. Artinya setiap sample yang diambil dari populasi dipilih langsung

oleh peneliti karna tujuan dan pertimbangan tertentu. Misalnya informan

yang dipilih oleh peneliti adalah orang-orang yang berhubungan langsung

terhadap perjalanan tradisi pada masyarakat kampung adat Cireundeu.

Dengan demikian maka peneliti dapat mendapatkan informasi yang akurat

dan terpercaya dari informan yang dituju.

C. Langkah – Langkah Penelitian

1. Tahap Persiapan

Melakukan observasi ke kampung adat Cireundeu dan wawancara

ketua adat mengenai data yang diperlukan untuk penelitian, menentukan

aspek kearifan lokal dan aspek ketahanan pangan yang digunakan, dan

membuat instrumen penelitian berdasarkan aspek kearifan lokal dan

aspek ketahanan pangan.

2. Tahap Pelaksanaan

Prosedur tahap pelakasanaan meliputi langkah-langkah berikut:

1) Menemui ketua RT untuk diarahkan menemui ketua adat

2) Melakukan wawancara dengan ketua adat dan ketua RT

3) Ketua RT mengarahkan untuk mewawancarai ketua PKK kampung

adat Cireundeu

8 Sugiyono, Op. Cit.

Page 58: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

43

4) Ketua RT mengarahkan untuk mewawancarai warga.

5) Pengamatan langsung kondisi geografis kampung adat Cireundeu

3. Tahap penarikan Kesimpulan

Tahap terakhir pembahasan dari temuan data yang diperoleh

sehingga dihasilkan kesimpulan berupa deskripsi kemampua masyarakat

kampung adat Cireundeu dalam mempertahankan kebutuhan pangan

berdasarkan kearifan lokal yang ada.

D. Teknin Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka

digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Teknik Observasi Partisipan

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara

sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.

Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap objek di tempat terjadi

atau berlangsung-nya peristiwa. Selanjutnya penelitian ini juga termasuk

ke dalam jenis teknik observasi langsung yaitu observasi yang

dilakukan dimana observer berada bersama objek yang diselidiki.9 Dalam

penelitian kebudayaan observasi yang digunakan adalah observasi

partisipan. Observasi partisipan adalah bagian dari kerja lapangan

budaya, sepenuhnya kegiatan ini dilakukan di lapangan budaya, disertai

perangkat yang telah dipersiapkan. Cara ini merupakan langkah penting

dalam kajian budaya. Observasi partisipan melibatkan keikutsertaan

peneliti dengan individu yang diobservasi atau komunitas. Peneliti

budaya akan membuat mereka merasa nyaman dengan kehadiran peneliti

sehingga observasi dan proses pencatatan informasi mengenai kehidupan

9 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Jakarta : PT. Bumi Aksara,2006), h.47.

Page 59: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

44

mereka bisa dilakukan lebih baik.10

Obervasi partisipan dilakukan dengan cara mengunjungi Kampung

Adat Cirendeu, Jawa Barat diantaranya pengamatan terhadap keadaan

Lingkungan, Petani, Masyarakat, dan insitusi-insitusi bersangkutan dan

mengikuti beberapa acara adat yang dilaksanakan. Observasi digunakan

antara lain:

a. Untuk mendapatkan data yang lebih obyektif, jika dilakukan

pengamatan secara langsung.

b. Mengamati data secara langsung akan memudahkan dalam

menganalisis data-data tersebut

2. Teknik Wawancara Mendalam

Teknik pengumpulan data selanjutnya yaitu wawancara.

Wawancara adalah, bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan

seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya

dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan

tertentu.11 Sedangkan menurut pendapat lain wawancara, “adalah suatu

proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya

jawab sambil tatap muka antara si penanya dengan si penjawab

(informan) dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide

(panduan wawancara).12

Kegiatan wawancara dalam penelitian budaya bertujuan untuk

mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu

masyaratkat. Wawancara merupakan suatu pembantu utama dari

observasi (pengamatan). Melalui wawancara mendalam (indept

interview) menurut Bogdan dan Taylor peneliti akan membentuk dua

macam pertanyaan, yaitu pertanyaan substantif dan pertayanyaan teoritik.

10 Suwandi, Op, Cit.11 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), h.

180.12 M. Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), h. 234.

Page 60: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

45

Pertanyaan substantif berupa persoalan khas yang terkait dengan aktivitas

budaya dan pertanyaan teoritik berkaitan dengan makna dan fungsi.

Selanjutnya peneliti melakukan pertemuan berulang-ulang setelah

aktivitas budaya untuk melaksanakan wawancara guna memperoleh data

aktivitas kultural, sosial, religious, dan lain-lain.13 Dan yang dijadikan

sumber wawancara adalah segenap warga Kampung Adat Cirendeu dan

sekitarnya.

3. Teknik Dokumentasi

Arikunto juga menjelaskan bahwa dokumentasi adalah mencari

data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat kabar,

majalah, jurnal dan sebagainya.14 Teknik dokumentasi diperlukan untuk

mengetahui arsip-arsip atau data-data monografi desa yang berhubungan

erat dengan penelitian yang dilakukan, dalam hal ini peneliti

menggunakan data-data mengenai kependudukan, luas wilayah dan juga

struktur pemerintahan dan juga sosial ekonomi masyarakat Kampung

Adat Cirendeu.

E. Pemeriksaan Keabsahan data

Pemeriksaan keabsahan data digunakan untuk menentukan beberapa

kriteria yaitu derajad kepercayaan (credibility), keterahlian (transferability)

kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Sedangkan

tehnik pengecekan keabsahan data dapat dilakukan dengan delapan cara

yaitu perpanjangan, keikutsertaan, ketekunan, keajegan pengamatan,

triangulasi, pemeriksaan sejawat melakukan diskusi, analisis kasus negatif,

pengecekan anggota, uraian rinci dan auditing. Berdasarkan teori diatas,

penelitian ini menggunakan triangulasi sebagai alat pengecekan keabsahan

13 Suwandi, Op. Cit. h, 152.14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Untuk Pendekatan Praktek, (Jakarta: Bumi Aksara,

2002), h. 236.

Page 61: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

46

data.15

Triangulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau

sebagai pembanding terhadap data. Secara singkat, macam-macam tehnik

triangualsi adalah;

1. Triangulasi sumber data, yaitu menggunakan multi sumber data untuk

membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi

yang diperoleh.

2. Triangulasi metode, yaitu menggunakan berbagai macam metode

pengumpulan data untuk menggali data sejenis.

Maka sesuai dengan pengertian macam-macam triangulasi diatas,

peneliti menggunakan triangulasi metode, yaitu menggunakan berbagai

macam metode pengumpulan data seperti: wawancara, observasi dan

dokumentasi untuk menggali data yang sejenis. Untuk menjawab

permasalahan dalam penelitian ini, data yang terkumpul akan dianalisis

dengan analisis deskriptif, melalui proses pengumpulan data secara

keseluruhan yang diperoleh setelah penelitian, yang kemudian data tersebut

diklasifikasikan sesuai dengan hasil pengumpulan data sesudah proses

penelitian, selanjutnya data tersebut diverifikasi yaitu penyahihan atau

pembuktian kebenaran dari data yang diperoleh tersebut.

F. Analisis Data

Analsis data penelitian budaya ialah berupa hasil pengkajian, hasil

wawancara, observasi dan dokumen yang telah terkumpul. Data yang

banyak jumlahnya tersebut dan yang kurang relevan patut direduksi.

Reduksi data dilakukan dengan membuat pengelompokan dan abstraksi.

Analisis bersifat terbuka, open-ended, dan induktif. Jumlahnya tersebut dan

yang kurang relevan patut direduksi. Maksudnya, analisis bersifat longgar,

15 Lexy, Op. Cit h, 324

Page 62: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

47

tidak kaku, dan tidak statis. Analis boleh berubah, kemudian mengalami

perbaikan, dan pengembangan sejalan dengan data yang masuk. Analisis

juga tidak direncanakan terlebih dahulu.

Tahap-tahap analisis data dalam penelitian budaya meliputi: open

coding, axial coding, dan selective coding. Pada tahap open coding peneliti

berusaha memperoleh sebanyak-banyaknya variasi data yang terkait dengan

topik penelitian. Open coding meliputi proses memerinci (breaking down),

memeriksa (examining), memper-bandingkan (comparing), dan meng-

konseptualisasikan (concept-tualizing), dan mengkatagorikan (categorizing)

data pada tahap axial coding hasil data yang diperoleh dari open coding

diorganisir kembali berdasarkan katagori untuk dikembangkan kearah

proposisi. Pada tahap ini dilakukan hubungan antar kategori. Hubungan

tersebut dianalisis seperti model paradigma grounded theory menurut Straus

dan Corbin yang meliputi kondisi penyebab fenomena konteks kondisi

intervening strategi interaksi dan konsekuensi.

Tahap selanjutnya ialah selective coding tahapan ini peneliti

mengklasifikasikan proses pemeriksaan kategori inti kaitannya dengan

kategori lainnya. Katagori inti ditemukan melalui perbandingan hubungan

kategori dengan mengunakan model paradigma. Selanjutnya memeriksa

hubungan kategori dan akhirnya menghasilkan simpulan yang diangkat

menjadi general design. Tahapan ini akan memudahkan peneliti untuk

memberi makna pada setiap kategori. Tiap kategori dapat ditafsirkan dan

disimpulkan, agar diperoleh kejelasan pemahaman.16

16 Suwardi, Op.Cit, h, 174-175.

Page 63: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

48

Tabel 3.2

Indikator Pedoman wawancara

No Variabel Indikator Pertanyaan

1Kearifan

Lokal

Geografis

1. Berapa luas lahan di kampung adat

Cireundeu?

2. Untuk apa saja lahan yang digunakan?

3. Dibagi menjadi berapa wilayah

kampung adat Cireundeu?

Historis

1. Bagaimana sejarah awal mula kampung

ini muncul?

2. Kenapa kampung ini dinamakan

Cireundeu?

3. Sejak kapan kampung ini ada?

Budaya

1. Apa saja tradisi yang ada?

2. Siapa yang memulai tradisi-tradisi

disini?

3. Sejak kapan tradisi itu muncul?

4. Bagaimana peran tokoh

masyarakat/ketua adat untuk menjaga

tradisi itu?

5. Kenapa nasi singkong menjadi tradisi

yang khas disini?

2Ketahanan

PanganKecukupan

1. Apa ada tempat penyimpanan khusus

untuk menyimpan hasil panen?

2. Bagaimana kalau singkong atau bahan

pangan habis?

Page 64: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

49

3. Singkong yang dipanen biasanya

dimanfaatkan untuk apa saja?

Akses

1. Dari mana warga dapat mendapatkan

singkong?

2. Lembaga apa saja yang ada disini?

Keterjaminan

1. Kenapa singkong yang dijadikan bahan

pokok?

2. Bagaimana cara mendapatkan

singkong?

3. Apa saja bahan makanan lain yang

dapat dimanfaatkan selain singkong?

Waktu

1. Berapa lama waktu yang dibutuhkan

untuk panen?

2. Berapa lama singkong dapat bertahan?

Page 65: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

50

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data observasi, transkrip

wawancara dan data hasil dokumentasi. Analisis dilakukan data observasi

dan dokumentasi dilakukan secara deskriptif berdasarkan data temuan

peneliti yang didukung menggunakan hasil wawancara terkait keadaan

umum kampung adat Cirendeu, Sejarah kampung adat Cirendeu dan

peranan warga adat dalam mempertahankan kearifan lokal budaya nenek

moyang dalam menjaga ketahanan pangan.

1. Keadaan Umum Kampung Adat Cireundeu

Sejarah nama Cireundeu itu sendiri berasal dari nama “pohon

reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi

pohon reundeu. pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat

herbal. Maka dari itu kampung ini di sebut Kampung Cireundeu. 1

Kampung Cireundeu merupakan desa adat yang terletak di lembah

Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, namun

secara administratif Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan,

Kota Cimahi. Hal istimewa dari kampung ini yaitu di mulut jalan Desa

Cireundeu, terdapat tulisan Hanacaraka “Wilujeng Sumping Di

Kampung Cireundeu” dengan arti selamat datang untuk para tamu di

daerah Kampung Cireundeu. Kampung Cireundeu sendiri tidak

memposisikan desanya sebagai Objek Daya Tarik Wisata (ODTW),

tetapi lebih fokus pada desa yang masih memelihara tradisi lama yang

telah mengakar yang diwariskan oleh tetua adat dulu.

1 Jajat, Wawancara, Cireundeu Desember 2017

Page 66: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

51

Masyarakat Kampung Cireundeu beranggapan bahwa sekecil

apapun filosopi kehidupan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka

wajib untuk dipertahankan.

a. Letak Geografis Kampung Adat Cireundeu

Kampung Cireundeu merupakan desa adat yang terletak di

lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung

Gajahlangu, namun secara administratif Kelurahan Leuwigajah,

Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.

Table 4.1

Dari tabel di atas, menjelaskan bahwa untuk wilayah kelurahan

Leuwigajah memiliki jumlah penduduk 44.729 orang serta luas

lahan 393,47 ha dengan kepadatan 11.468,97. Di kampung adat

Cireundeu yang masih termasuk wilayah kelurahan Leuwigajah

memiliki jumlah penduduk yang terdiri dari 50 kepala keluarga

atau 800 jiwa, serta kampung adat Cireundeu memiliki luas 65 ha

terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 5 ha untuk pemukiman.2

2 ibid

Page 67: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

52

Table. 4.2

Kelurahan Leuwigajah terdiri dari 20 RW dan 148 RT yang

terlihat pada tabel di atas. Salah satu kampung yang berada di

wilayah kelurahan Leuwigajah tersebut adalah kampung

Cireundeu.

Kang Jajat mengatakan, “kampung adat Cireundeu terdiri dari 2kampung yaitu kampung pojok dan kampung adat, yang terdiri dari1 RW dan 5 RT, dengan rincian kampung adat Cireundeu ituterdapat 2 RT, sedangkan untuk kampung pojok terdapat 3 RT dandari dua kampung tersebut dipimpin oleh satu orang ketua rukunwarga (RW).”3

b. Peraturan Adat

Mereka tetap menjaga serta mengikuti aturan-aturan nenek

moyang seperti dalam hal bercocok tanam pun mereka tidak

sembarangan.

Seperti yang diungkapkan oleh kang Jajat “kalo untukmendapatkan singkong itu kita tanem sendiri, jadi disini tuh adatiga jenis wilayah adat, yang pertama itu hutan larangan dan hutantutupan, keduanya ga boleh di pake berladang, tapi untuk hutan

3 Ibid

Page 68: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

53

tutupan ini adalah sebagai salah satu lahan cadangan, tujuannyakalo hutan baledahan ga bisa dipakai lagi buat tanem sesuatu, jadibuat sementara dialihkan ke hutan tutupan, sambil menunggu ataudigarapnya kesuburan tanah hutan baledahan. hutan baledahanyang di pake buat berladang.4

Tujuannya melestarikan tradisi yang mereka percaya itu agar

dalam menjalani kehidupan sehari-hari dalam hal makanan mereka

selalu tercukupi.

Disamping itu sesuai dengan rencana strategis (Renstra) Kota

Cimahi tahun 2007-2012 mengenai pengembangan potensi

pariwisata menjadi industri kepariwisataan yang berbasis

ekonomi. Sebagai salah satu strategis pembangunan masyarakat

kota berkelanjutan dan percepatan peningkatan ekonomi kota

cimahi serta berdasarkan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) kota ciamhi tahun 2010-2030 mengenai kriteria kawasan

strategis wisata alam dan wisata buatan, serta surat keputusan

Walikota Cimahi No 501/kep 208/BPMPPKB/2010 tentang Desa

Mandiri Pangan. Kampung Cireundeu yang merupakan salah satu

wilayah pedesaan di kota cimahi memiliki potensi wisata yang

perlu dikaji dan digali sebagai daerah tujuan wisata ketahanan

pangan di kota cimahi. Meski dalam peraturan gubernur provinsi

jawa barat no 48/2006 kegiatan wisata pedesaan belum disebutkan

secara eksplisit, namun desa wisata yang berbasis budaya dan agro

wisata dapat menjadi daya tarikbaru tersendiri yang perlu digali

dan diangkat seperti halnya kampung Cireundeu.

c. Mata Pencarian Penduduk

Sebanyak 60% mata pencarian penduduk Kampung Adat

Cireundeu adalah bertani singkong, sayur dan umbi-umbian.

Menurut abah Widi “masyarakat menggunakan pola tanamsesuai dengan usia panen tanaman agar setiap bulan dapatmemanen singkong. Setiap masyarakat memiliki 3 hingga 5 petak

4 Ibid.

Page 69: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

54

kebun singkong yang berbeda-beda masa tanamnya. Setiap petakkebun dibuat berbeda masa tanamnya, sehingga pada tiap petaknyaakan berbeda masa panennya. Maka sepanjang tahun ladangmereka selalu menghasilkan singkong. 5

Gambar 4.1 Warga sedang membersihkan ladang singkong

(Arsip Pribadi )

Masyarakat Kampung Cireundeu memanfaatkan singkong

mulai dari akar hingga daunnya.

Seperti yang diungkapkan kang Jajat “masyarakat Cireundeubiasa memanfaatkan singkong dari mulai akarnya dapat diolahmenjadi rasi (beras singkong), makanan olahan singkong dan anekakue berbahan dasar singkong. Batangnya dapat dimanfaatkanmenjadi bibit, daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur jugadapat dijadikan makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuatmenjadi makanan olahan, biasanya dijadikan sayur lodeh ataudendeng kulit singkong.”6

5 Widi, Wawancara, Cireundeu Desember 2017.6 Jajat, Op.cit.

Page 70: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

55

Table 4.3

Dapat dilihat juga dari tabel di atas, mata pencaharian sebagai

petani termasuk besar, dan ini didominasi dari masyarakat

kampung adat Cireundeu.

d. Kondisi Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana ibadah di kampung Cireundeu terdapat

satu Mesjid dan tiga Mushola serta satu Bale Sara Sehan. Bale Sara

Sehan digunakan sebagai tempat berkumpulnya sesepuh, tempat

pelaksanaan kesenian adat, serta tempat berkumpul pada saat

upacara adat. Untuk sarana pendidikan mempunyai satu Sekolah

Dasar yaitu SD Negeri Cireundeu Mandiri dan Pendidikan anak

Usia Dini (PAUD). 7

Gambar 4.2 Bale Sara Sehan tampak dari luar

(Arsip Pribadi)

7 Jajat, Op. Cit.

Page 71: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

56

Gambar 4.3 Bale Sara Sehan tampak dari dalam

(Arsip Pribadi )

2. Sejarah dan Biografi tokoh di Kampung Cireundeu

a. Sejarah kampung Cireundeu

Dari penuturan kang Jajat “sejarah Cireundeu tidak ada buktinyata dan tertulis hanya cerita turun temurun ya. Karena budayasunda lebih kuat budaya tutur dari pada budaya tulis. Cireundeudiperkirakan ada sejak tahun 1700 sebelum kota Cimahi dibangun.kota Cimahi dibangun oleh Belanda, yang ditandai denganpembangunan jalan, kantor, rumah sakit. Kampung adat Cireundeuawalnya adalah sebuah dusun kecil yang dibangun oleh seorangpangeran yaitu Pangeran Madrais yang berasal dari CigugurKuningan. Pangeran Madrais singgah di Cireundeu tahun 1918untuk mengungsikan diri, karena pada waktu itu terjadi peperanganantara Pemerintah Hindia Belanda yang menyerang Kesultanan diKuningan. Setelah menetap beberapa tahun di Cireundeu, PangeranMadrais bertemu dengan H. Ali dan membangun sebuah kampungyang disebut kampung Cireundeu”. 8

Sedangkan menurut Abah Widi, “pada awalnya kampungadat Cireundeu merupakan daerah perbukitan yang banyakditanami pohon Reundeu dan pohon tersebut dekat dengan sumberair atau orang Sunda menyebutnya Cai sehingga kampung inidiberinama Kampung Cireundeu. Selain itu pemberian nama adatpada kampung Cireundeu karena Cireundeu menganut alirankepercayaan yang dibawa oleh Pangeran Madrais yang masihdianut sampai sekarang oleh masyarakat adat Cireundeu. Cireundeudiperkirakan ada sejak tahun 1700-an, Aki Erwan lah yangdianggap sebagai leluhur awal mula desa cireundeu ini.” 9

8 Ibid.9 Widi, Op.Cit

Page 72: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

57

b. Biografi Tokoh di Kampung Cireundeu

Masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang dipimpin oleh

ketua adat yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Sesepuh atau Ketua Adat

Sesepuh atau ketua adat ialah Abah Emen. Sesepuh bertugas

membimbing serta membina adat yang sudah diwariskan,

memimpin upacara adat, dan sebagai pemegang hukum tertinggi

dalam menentukan sebuah keputusan adat. 10

2) Ais Pangampih

Ais Pangampih ialah Bapak Widya. Ais Pangampih bertugas

membantu sesepuh atau ketua adat dalam melaksanakan tugasnya.

Tokoh tersebut mengatur sistem peradaban / sosial budaya dari

dahulu sampai sekarang masih tetap eksis dan tidak terpengaruhi

oleh dunia luar.11

Gambar 4.4 Ais Pangampih ialah Bapak Widi

3) Panitren atau bagian humas

Panitren atau bagian humas ialah Abah Asep Abas.

mempunyai tugas sebagai pengamat, peneliti serta mengawasi

kehidupan warga masyarakat di Kampung Cireundeu.

10Ibid.11 Widi, Wawancara, Cireundeu Desember 2017

Page 73: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

58

4) Ketua RT

Ketua RT ialah bapak Jajat. Ketua RT bertugas memimpin

desa secara admistrasi dan sebagai penerima tamu yang

datang.

Gambar 4.5 Ketua RT, Bapak Jajat

3. Kearifan Lokal Kampung Cireundeu

Nilai-nilai kearifan lokal kampung Cireundeu dijaga dan

dilestarikan dengan baik oleh masyarakatnya. Kearifan lokal kampung

Cireundeu meliputi kepercayaan masyarakat, upacara adat , makanan

pokok, Tali paranti, dan sumber hukum adat yang berlaku.

a. Kepercayaan Masyarakat

Sebagian besar masyarakat kampung Cireundeu menganut dan

memegang teguh kepercayaan yang disebut Sunda Wiwitan. Ajaran

Sunda Wiwitan ini pertama kali dibawa oleh Pangeran Madrais dari

Cigugur, Kuningan pada tahun 1918.

Kepercayaan masyarakat kampung Cireundeu berawal dari

jaran Madrais ini di bawa oleh Pangeran Madrais pada tahun 1918

ke Kampung Cireundeu yang mengajarkan falsafah dan ajaran

moral tentang bagaimana membawa diri dalam kehidupan. Hinggga

saat ini masyarakat adat Cireudeu masih teguh memeluk ajaran

tersebut meskipun telah berpuluh-puluh tahun, mereka salalu taat

mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.12

12 Jajat, Op. Cit.

Page 74: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

59

Tabel 4.4

b. Upacara Adat

1) Upacara 1 Sura

Salah satu upacara terbesar oleh masyarakat Kampung

Adat Cierundeu yaitu 1 Sura. Upacara atau ritual ini

merupakan Hari Besar atau lebaran umat pemeluk Aliran

Kepercayaan yang dirayakan setiap tanggal 1 Sura menurut

penanggalan tahun sunda.13 Biasanya dilakukan mulai dari pagi

hari hingga malam hari yang bertempat di Bale (tempat

berkumpul masyarakat adat), bale sendiri memiliki arsitektur

yang mempunyai arti khusus, yaitu:

a) Bentuk atap yang lurus ke atas yang berarti masyarakat

Cireundeu memiliki satu tujuan kepada Tuhan. Di

Kampung Adat Cireundeu sendiri masyarakatnya bersifat

terbuka terhadap agama atau kepercayaan selain yang

mereka anut, mereka memandang perbedaan terutama

dalam hal kepercayaan adalah sesuatu keindahan.

b) Terdapat empat helai kain dengan warna yang berbeda

yang mengandung arti unsur-unsur bumi, terdiri dari

13 Ibid.

Page 75: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

60

warna hitam mempunyai makna “bumi”, warna kuning

bermakna “angin”, warna putih “air”, dan yang terakhir

merah bermakna api.

Makna upacara 1 Sura ini menurut abah Widi “untuk

mensyukuri nikmat yang telah diberikan Sang Pencipta selama

ini kepada masyarakat Cireundeu.”

Sedangkan menurut Neneng “perayaan 1 Sura layaknyalebaran bagi kaum muslim. Saat perayaan mereka selalumenggunakan pakaian baru. Namun setelah adat merekadilembagakan sehingga pada saat kaum laki-laki menggunakanpakaian pangsi warna hitam dan ikat kepala dari kain batik.Sedangkan untuk kaum perempuan menggunakan pakaiankebaya berwarna putih. Gunungan buah-buahan yang dibentukmenyerupai janur, nasi tumpeng rasi, hasil bumi sepertirempah-rempah dan ketela yang menjadi pelengkap wajibdalam ritual ini. Selain itu kesenian kecapi suling, ngamumulebudaya sunda serta wuwuhan atau nasihat dari Sesepuh atauketua Adat menjadi rukun dalam upacara 1 Sura.14

2) Perkawinan secara Adat

Sebagian warga Kampung Adat di sana memeluk sistem

kepercayaan yang biasa kita kenal dengan nama Sunda

Wiwitan. Dalam prosesi pernikahan adat agama kepercayaan

ini, mereka menggunakan istilah Ikral, yaitu pernyataan janji

oleh kedua pihak mempelai sebagai Ijab Kabul dan syarat sah

pernikahan bagi penganut agama kepercayaan. Kedua

mempelai belum dapat dikatakan menikah sebelum melakukan

ikral. Setelah itu, dilanjutkan dengan ngeyeug seureuh,

siraman, dan ngaras, yang merupakan adat pernikahan

Kampung Adat.

14 Neneng, wawancara, Desember 2017

Page 76: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

61

c. Makanan pokok

Makanan pokok masyarakat kampung Cireundeu adalah nasi

singkong. Awal kebiasaan mengkonsumsi ketela sebagai bahan

pokok telah menjadi turun temurun. Para leluhur masyarakat

Cireundeu pernah berpesan agar mereka menanam ketela

menggantikan padi.

Dari penuturan kang Jajat “Beralihnya makanan pokok

masyarakat adat Kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi

singkong di mulai tahun 1918, yaitu di pelopori oleh Ibu Omah

Asnamah, Putra Bapak Haji Ali yang kemudian di ikuti oleh

saudara-saudaranya di kampung Cireundeu. Pada tahun tersebut

sawah-sawah yang ditanami padi mengering dan menyebabkan

fuso (gagal panen). Untuk mengantisipasinya para leluhur

Kampung Adat Cireundeu menyarankan untuk menanam singkong

sebagai penggati padi. Karena ketela dapat ditanam pada saat

musim kering maupun musim penghujan. Ibu Omah Asnamah

mulai mengembangkan makanan pokok non beras ini, berkat

kepeloporannya tersebut Pemerintahan melalui Wedana Cimahi

memberikan suatu penghargaan sebagai “Pahlawan Pangan”, tepat

nya pada tahun 1964.”15

Menurut Ibu Neneng salah satu warga Cireundeu menyatakanbahwa “Rasi atau beras singkong adalah makanan pokok wargaadat Cireundeu, tidak satu butirpun masyarakat adat Cireundeumemakan beras dari padi, karena menurut ajarannya beras ituadalah sesuatu yang suci dan tidak boleh dihabiskan dengan caradimakan. Tetapi dipergunakan untuk tolak bala yang disimpandidepan pintu.”16

Masyarakat mulai mengkonsumsi singkong dari tahun 1924

hingga saat ini. Selain itu manfaat lainnya warga Kampung Adat

Cireundeu tidak terpengaruh oleh harga bahan pokok yang

melambung tinggi. Ketahanan pangan masyarakat Cireundeu telah

15Jajat, Op.cit.16 Neneng, Op.cit.

Page 77: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

62

membuktikan karena pada masa pemerintahaan Orde Baru yang

menjadikan beras sebagai bahan pokok yang sangat terkenal

sehingga masyarakat yang asalnya mengkonsumsi umbi-umbian

beralih menjadi mengkonsumsi beras.

Gambar 4.6 Singkong yang telah digiling kemudian dijemur

Kebiasaan masyarakat kampung adat Cireundeu adalah

kebiasaan yang sudah dijalankan secara turun temurun. Untuk

melestarikan tradisi yang ada, masyarakat cireundeu memiliki

aturan adat itu sendiri.

Menurut abah Widi “ciri khas ajaran Madrais yaitu ajaranSunda Wiwitan yang mengajarkan untuk selalu menghargaihasil bumi dan tidak terpaku untuk mengkonsumsi makananpada satu jenis makanan saja.Petuah atau ciri wanci masyarakatadat Cireundeu yang dijunjung sampai sekarang adalah “Keunbae teu boga sawah asal boga pare, keun bae teu boga pareasal boga beas, keun bae teu boga beas asal bisa tuang, keunbae teu tuang asal masih kuat. Maksudnya adalah walaupuntidak mempunyai sawah karena lahan kita adalah pegununganasalkan kita punya padi, walaupun tidak punya padi asal kitapunya beras, tetapi jika kita tidak punya beras asalkan kita bisamakan, walaupun kita tidak bisa makan asalkan kita kuat.”17

Masyarakat adat Cireundeu sampai sekarang tidak berani

untuk makan beras dari padi dan hanya mengkonsumsi beras

singkong saja sebagai makanan pokoknya. Petuah atau ciri wanci

17 Widi, Wawancara, Desember 2017

Page 78: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

63

yang diajarkan para leluhur kampung adat Cireundeu dijadikan

sebagai sebuah aturan adat yang harus ditaati, yang dijadikan

sebagai salah satu kebiasaan dan sebuah aturan di kampung adat

Cireundeu.

Ajaran Madrais yang dianut oleh masyarakat adat Cireundeu

selalu mengajarkan untuk “Ngantik diri ngarawat ngabdi ka sang

hyang cipta” artinya masyarakat adat harus selalu merawat semua

yang ada dialam semesta ini sebagai wujud dari mengabdi kita

kepada Sang Maha Pencipta.

Kang Jajat juga mengatakan hal yang serupa, “bahwa asal

kebiasaan adat Cireundeu khususnya memakan singkong

merupakan petuah dari Pangeran Madrais. Pangeran Madrais

memperkirakan bahwa suatu saat “Bandung bakal heurin ku

tangtung” atau suatu saat lahan di Bandung akan hilang karena

pembangunan dan akibatnya beras akan susah untuk dicari.”18

Pada waktu dulu Pangeran Madrais dan pengikutnya mulai

menerapkan makanan pokok lain yaitu singkong. Sosialisasi

dilakukan sampai emam tahun samapai akhirnya semua masyarakat

adat Cireundeu beralih dari beras padi menjadi beras singkong.

Sehingga Cireundeu pun mempunyai ciri wanci yaitu: Teu boga

sawah asal boga pare, Teu boga pare asal boga beas, Teu boga

beas asal tuang, Teu bisa tuang asal kuat.

Masyarakat adat Cireundeu percaya tidak hanya nasi dari

padi saja yang bisa dimakan tetapi beras singkong juga dapat

dimakan dan ada manfaatnya. Hal itu terbukti sampai sekarang

warga tidak susah-susah memikirkan beras yang harganya sangat

mahal itu.

Masyarakat kampung adat Cireundeu sangat menjunjung

tinggi petuah yang diajarkan oleh ajaran Pangeran Madrais,

Pangeran Madrais mengajarkan untuk mengalihkan makanan

18Ibid

Page 79: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

64

pokok beras ke singkong dan melaksanakan upacara satu sura

sebagai upacara besar keagamaan. Makanan singkong sebagai

makanan pokok yang awalnya dijadikan sebagai peralihan karena

sulit untuk mendapatkan beras sekarang menjadi salah satu ciri

khas masyarakat adat Cireundeu sedangkan Upacara satu sura

adalah bentuk dari kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat

Cireundeu yaitu kepercayan Madrais atau kepercayaan sunda

wiwitan.

“Masyarakat Cireundeu biasa memaksimalkan tanamansingkong. Mereka dapat mengolahnya menjadi aci atau sagudengan cara digiling kemudian diendapkan setelah itu disaring.Produk kedua setelah sagu yaitu ampasnya yang kemudian dijemur dan setelah kering menjadi beras nasi, merekamenyebutnya dengan sebutan rasi atau angeun dalam bahasaSunda. Itulah yang mereka makan untuk sehari-hari. KampungCireundeu memanfaatkan singkong mulai dari akarnya hinggadaunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi rasi (berassingkong), ranggening, opak, cimpring, peyeum atau tape, dananeka kue berbahan dasar singkong seperti egg roll, kue lidahkucing, dan brownis singkong.”19

Setiap masyarakat memiliki caranya sendiri dalam mengolah

singkong sesuai dengan kebutuhan.

Gambar 4.7 Makanan olahan dari singkong

19 Neneng, Wawancara, Cireundeu Desember 2017

Page 80: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

65

d. Tali Paranti

Tali Paranti adalah Pembangunan berbasis kearifan lokal dan

adat istiadat nenek moyang . Tali paranti karuhun tidak mesti

dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistik atau takhayul, tetapi

yang dimaksud Tali Paranti Karuhun disini adalah adat istiadat

yang berurusan dengan cara kita memandang dunia, memandang

diri, dan masa depan.

Tali Paranti Karuhun Pilemburan mempunyai ciri

"guyub"(Konsep Kegotongroyongan), yaitu tradisi nulung kanu

butuh (memberi pertolongan kepada yang membutuhkan), nalang

kanu susah(membantu kepada yang susah), nyaangan kanu pokeun

(memberi pencerahan/penerangan kepada yang tidak tahu), Silih

asah, silih asih, silih asuh yang akhirnya silih anteuran jeung silih

anteurkeun Artinya saling tukar pengetahuan, saling menyayangi

dan saling menjaga yang akhirnya saling memberi dan saling

mengantar dalam hal kebaikan dan tolong menolong.

Menurut, Kang Jajat, “Tali paranti merupakan kebiasaanmasyarakat kampung adat Cireundeu dalam menjaga nilai-nilaikearifan lokal dan melestarikan tradisi nenek moyang yangsudah ada sejak dulu. Hal tersebut dilakukan sebagai sebuahpenghormatan nenek moyang sebagai salah satu bagian darikepercaya yang mereka anut yaitu sunda wiwitan. Beberapatradisi adat yang masih terus dilaksanan yaitu, upacara 1 sura ,upacara perkawinan adat, upacara kematian, dan upacarakelahiran.”20

B. Pembahasan

1. Bentuk Kearifan Lokal sebagai Upaya Mempertahankan Ketahanan Pangan

Masyarakat Kampung Adat Cireundeu

Wawancara mendalam yang telah dilakukan dimaksudkan untuk

memperlihatkan secara lebih rinci bahwa semua informan dalam penelitian

20 Jajat, Op. Cit.

Page 81: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

66

ini secara umum telah sesuai dengan rencana semula penelitian. Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan terhadap beberapa warga, terungkap bahwa

kearifan lokal berupaya mempertahankan ketahanan pangan masyarakat

Kampung Adat Cireundeu.

Kearifan lokal di Kampung Cireundeu dalam meningkatkan

kesejahteraan pangan melalui konsumsi singkong sebagai makanan pokok

bermanfaat sebagai contoh dan disosialisasikan kepada masyarakat

Indonesia. Sehingga harapan dari program ketahanan pangan dapat

terwujud. Kampung Adat Cireundeu ini mengajarkan pada kita orang

Indonesia tentang nilai-nilai kearifan lokal melalui filosofis kehidupannya.

Mereka mengajarkan kita tentang sifat tidak mau bergantung dan selalu

mencari alternatif melalui makanan pokoknya. Hal ini dapat dijadikan

sebagai contoh yang bisa diimplementasikan di daerah lain sebagai bukti

nyata Program Ketahanan Pangan.

Gambar 4.8 Rasi yang sudah dimasak

Masyarakat adat Cireundeu sangat mempertahankan ketahanan

pangannya dan melestarikan kearifan lokalnya. Bagi masyarakat luar yang

berpindah wilayah ke Kampung Adat Cireundeu atau bisa disebut pidah

rumah masih memakan beras sebagai makanan pokok sehari-hari namun

warga Kampung Adat Cireundeu tidak melarang warga tersebut memakan

padi dan merubah kepercayaanya dengan mudah. Inilah keunikan dari

Page 82: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

67

Kampung Adat Cireundeu bisa hidup sehat, ekonomi terjamin dengan

memakan singkong sebagai makanan pokok sehari-hari.

Hampir setiap bulannya masyarakat Cireundeu menghasilkan singkong.

Singkong-singkong tersebut sebagian dipergunakan untuk makanan sehari-

hari dan sebagian lagi dipergunakan untuk dijual, baik berupa mentahnya

maupun dalam bentuk olahan seperti kue-kue dan makanan lainnya. Jika

dilihat dari segi kesehatan, kandungan karbohidrat di dalam singkong tidak

kalah dengan beras. Singkong dapat dijadian sumber energi tubuh yang kuat

dapat menahan lapar lebih lama dibandingkan dengan beras. Nasi memiliki

kalori sebesar 178 kal dengan kadar karbohridrat 40,6 g. Tidak berbeda jauh

dengan nasi, singkong memiliki kalori 146 kal dengan kadar karbohidrat 34,

7 g dan singkong juga mengandung vitamin C sebesar 30mg.21 Selain itu,

kadar serat singkong lebih tinggi dibandingkan dengan nasi.

Kadar serat pada singkong yang lebih tinggi dibandingkan nasi sehigga

dapat membuat perut terasa kenyang dalam waktu yang lama, itu sebabnya

masyarkat adat Cireundeu dapat tahan sampai satu kali dalam sehari makan.

Kadar karbohidrat singkong yang lebih rendah menunjukkan singkong

memiliki kadar glukosa yang lebih rendah dibandingkan dengan nasi. Kadar

glukosa yang tidak terlalu tinggi baik untuk mencegah penyakit diabetes.

Maka tidak heran jika masyarakat kampung adat Cireundeu terhindar dari

penyakit diabetes. Kampung Adat Cireundeu ini mengajarkan pada kita orang

Indonesia tentang nilai-nilai kearifan lokal melalui filosofis kehidupannya.

Gambar 4.9 Rasi yang siap dikonsumsi sebagai makanan pokok

21 BKPP Provinsi DIY, Data Kandungan Gizi Bahan Pangan dan Hasil Olahannya, 2016

Page 83: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

68

Kearifan lokal di kampung Cireundeu dalam meningkatkan kesejahteraan

pangan melalui konsumsi singkong sebagai makanan pokok bermanfaat

sebagai contoh dan disosialisasikan di khalayak umum di seluruh wilayah

Indonesia, sehingga harapan dari program ketahanan pangan dapat terwujud.

Nilai-nilai kearifan lokal kiranya dapat dimanfaatkan sebagai nilai kehidupan

masa sekarang dan masa yang akan datang. Ayat-ayat kearifan hidup menjadi

nilai untuk direvitalisasi. Kearifan lokal di Kampung Adat Cireundeu sangat

kental dengan kearifan lokalnya dan cara mempertahankan ketahanan

pangannya terbukti hingga saat ini Kampung Adat Cireundeu membuktikan

akan sebuah jati diri kampung adatnya, ini terbukti dengan masih dilakukan

adat leluhurnya dan melestarikan tanpa merubah kehidupan di Kampung Adat

Cireundeu dari zaman nenek moyang hingga saat ini.

2. Kehidupan Sosial yang Terjadi pada Masyarakat Adat Kampung

Cireundeu

Masyarakat kampung Cireundeu dari kebiasaan adat yang dimiliki

hingga masalah pangan yang secara turun temurun dijalankan oleh

masyarakatnya salah satunya masyarakat Cireundeu yang masih

mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokoknya. Tradisi

mengkonsumsi singkong ini terbukti menjadikan masyarakat Cireundeu

mandiri dan tidak tergantung pada beras yang menjadi makanan pokok

masyarakat Indonesia. Disinilah sisi dari modal sosial masyarakat

Cireundeu sangatlah terlihat. Keterbataan dan kelangkaan pasokan beras di

Indonesia menjadi permasalahan besar bagi mayorias masyarakat

Indonesia yang mengkonsumsi nasi. Akan tetapi, Rasi sebagai makanan

pokok sehari-hari masyarakat Cireundeu tidak akan berpengaruh pada

keidupan masyarakat Cireundeu.

Berdasarkan wawancara dengan kang Yadi, dapat ditarik kesimpulan

bahwa masyarakat interaksi sosial yang terjadi antar warga masyarakat

Cireundeu berlangsung secara harmonis dengan penataan wilayah yang

Page 84: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

69

sangat nyaman, aman, dan damai. Mereka saling memperhatikan satu sama

lain khususnya dalam masalah kesejahteraan, sehingga masyarakat Cireundeu

tidak pernah ada yang mengalami kelaparan. Disamping mereka memiliki

solidaritas yang tinggi, saling tolong menolong terhadap sesama, mereka juga

memiliki lahan garapan masing-masing yang ditanami singkong sebagai

makanan pokok mereka. 22 Sistem gotong royong masih dibina dengan

berlandaskan toleransi antar umat beragama sehingga tidak terjadi konflik

antara masyarakat.

Berdasarkan analisis penelitian mengenai kehidupan sosial masyarakat

Cireundeu, pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap

individu lainya. Mereka tetap percaya terhadap nilai-nilai yang sudah ada

sejak dulu oleh para nenek moyangnya atau mungkin dilakukan oleh individu

terhadap suatu kelompok sosial (misalnya para pendahulu kampung

Cireundeu yang memilah-milah makanan yang cocok untuk di konsumsi

anak cucunya sampai sekarang di tentukanlah makanan tersebut yaitu

singkong sebagai pengganti nasi). Itu semuanya merupakan proses

pengendalian sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walau

sering kali manusia tidak menyadari.

Adapun Interaksi sosial yang terjadi antar warga masyarakat Cireundeu

berlangsung secara harmonis dengan penataan wilayah yang sangat nyaman,

aman dan damai. Mereka saling memperhatikan satu sama lain

khususnya dalam masalah kesejahteraan. Sehingga masyarakat Cireundeu

tidak pernah ada yang mengalami kelaparan. Perubahan sosial yang terjadi di

kampung Cireundeu dari tahun 1918 hingga saat ini, dulu penduduk di

kampung Cireundeu masih relatif sedikit dan lahan pun masih luas, penduduk

Cireundeu dulu pernah mencoba menanam padi, namun lahan disana tidak

cocok untuk ditanami padi, lebih cocok untuk ditanami singkong.

Seiring waktu, produk singkong diolah menjadi berbagai makanan

olahan. Makanan olahan tersebut sudah diolah menggunakan peralatan yang

lebih modern dan canggih untuk menunjang produksi. Mayoritas masyarakat

22 Yadi, Wawancara, Cireundeu Desember 2017

Page 85: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

70

kampung Cireundeu mengenyam pendidikan minimal jenjang SD dan tidak

ada warga yang buta huruf.23Dapat disimpulkan bahwa meskipun kampung

Cireundeu dinobatkan sebagai salah satu kampung adat yang ada di Jawa

Barat, tetapi mereka tidak pernah menutup diri dari perkembangan teknologi.

Bisa dibilang kampung Cireundeu adalah kampung adat yang fleksibel dan

terbuka

3. Implementasi Kearifan Lokal dalam Menjaga Ketahanan Pangan Masyarakat

Adat Kampung Cireundeu

Melalui proses wawancara, terungkap beberapa Mengenai bentuk

kearifan lokal akan menghasilkan suatu bentuk implementasi dalam menjaga

kesejahteraan pangan dan cara masyarakat kampung Cireundeu

memperthanakan pangan. Hasil wawancara menyimpulkan hasil kearifan

lokal dalam menjaga ketahanan pangan di kampung Cireundeu cukup baik

dikarenakan kampung ini selalau menjaga ketahanan pangan dan

melestarikan kearifan lokalnya sekalipun masyarakat Cireundeu ini berada di

luar wilayahnya akan tetap memakan Rasi sebagai makanan pokok sehari-

hari.

Dari hasil analisis yang telah dikemukakan, peneliti menyadari bahwa

pentingnya keberadaan kebudayaan dalam suatu daerah karena kebudayaan

merupakan fakta kompleks yang selain memiliki kekhasan pada batas tertentu

juga memiliki ciri yang bersifat universal dan menyangkut semua aspek

kehidupan manusia yang disampaikan melalui suatu media ataupun interaksi,

tetapi dewasa ini terdapat kecenderungan memudarnya nilai-nilai budaya

pada segi kehidupan masyarakat khususnya budaya sunda dalam masyarakat

Kampung Adat Cireundeu.

Perubahan tersebut wajar terjadi mengingat kebudayaan tidaklah bersifat

statis, bahkan selalu berubah tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh

masuknya unsur budaya asing sekalipun suatu kebudayaan akan berubah

23 Widi, Op. Cit.

Page 86: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

71

dengan berlalunya waktu. Salah satu upaya untuk mengurangi atau mengatasi

dampak negatif dari perubahan sosial-budaya adalah dengan cara menggali,

mengkaji, membina, dan mengembangkan kembali nilai-nilai luhur

kebudayaan. Masyarakatadat Cireundeu sangat menjunjung tinggi rasa

hormat kepada leluhurnya, ini terbukti kebiasaan di Kampung Adat

Cireundeu tidak berubah, warga Cireundeu masih mengkomsumsi rasi

sebagai makanan pokok sehari-hari dan masih menjalankan ritual satu sura.

Keyakinan menurut masyarakat Kampung Adat Cireundeu adalah sesuatu

yang sakral tidak boleh dirubah.

Kepercayaan yang mereka anut harus sesuai dengan ajaran para

leluhurnya, harus ada keseimbangan antara manusia dan yang menciptakan,

dan seandainya diputar maka keseimbangan tersebut akan berbentuk bulat

yang disimbolkan dengan bumi sehingga menandakan bahwa manusia harus

melestarikan bumi. Berdasarkan pembahasan yang diatas telah dipaparkan

kebiasaan masyarakat adat Cireundeu dapat disimpulkan bahwa masyarakat

Kampung Adat Cireundeu sangant menjunjung tinggi petuah yang diajarkan

oleh ajaran Pangeran Madrais yang mengajarkan untuk mengalihkan

makanan pokok beras ke singkong dan menjaga kelestarian kearifan lokal di

Kampung Adat Cireundeu.

4. Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Menjaga Ketahanan Pangan Masyarakat

Adat Kampung Cireundeu

Ketahanan pangan yang diperlihatkan warga Cireundeu menarik

perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kampung adat Cireundeu

kerap dijadikan kampung percontohan ketahanan pangan yang berhasil di

Jawa Barat, bahkan Indonesia. Respon pemerintah terhadap tradisi

masyarakat Cireundeu ini dapat dilihat sebagai suatu bentuk apresiasi

pemerintah pada keberhasilan warga Cireundeu dalam menjaga ketahanan

pangannya dengan berlandaskan kearifan lokal. Namun disisi lain, sikap

pemerintah selaku pemegang otoritas tertinggi di republik ini kontradiktif

bila meninjau kebijakan diskriminatif yang memasung kebebasan masyarakat

Page 87: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

72

Cireundeu untuk beragama dan berkeyakinan masih terus dipertahankan

hingga era reformasi kini. Terlihat ironis pula bila kita melihat kebijakan

pangan pemerintahan saat ini yang masih bergantung pada produk impor,

tanpa keseriusan membenahi sektor pertanian dalam negeri ini demi

terwujudnya kedaulatan pangan. Sudah selayaknya kita belajar dari mereka

yang telah teruji melewati dinamika sejarah tanpa mengabaikan hak-hak

mereka guna menyonsong masa depan yang lebih baik, masa depan yang

berdaulat.

Cara mempertahankan pangan di kampung Cireundeu sangat baik.

Masyarakat kampung cireundeu mematuhi peraturan yang ada di kampung

Cireundeu, tidak berani untuk memakan beras dari padi hanya mengkonsumsi

beras singkong saja sebagai makanan pokoknya nasi Rasi. Hal itu karena

pernah terjadi gagal panen dan warga kampung cireundeu tidak perlu bantuan

beras raskin dari pemerintah yang sekarang sedang maraknya warga

Indonesia berebutan mencari beras raskin. Jika ada salah satu warga

Cireundeu yang melangar aturan misalnya memakan nasi atau memakan

ketan-ketan maka akan ditanggung sendiri akibatnya. Karena beras dianggap

suci dalam agama Sunda Wiwitan.

Dilihat dari hasil analisis yang dilakukan mengenai stratifikasi sosial,

ternyata di kampung Cireundeu tersebut tidak ditemukannya stratifikasi

sosial. Sumber tersebut menyatakan bahwa tidak ada sistem stratifikasi sosial.

Dia menyatakan bahwa disana semua masyarakat dianggap sama, terbukti

bahwa di tempat bale-balenya pun atau semacam aula yang ada di kampung

tersebut, tempat para warga berkumpul, tidak memakai kursi, tetapi hanya

memakai alas saja, semacam karpet atau tikar, itu dikarenakan semua orang

disana dianggap sama, tidak ada perbedaan.

Jadi disana tidak terjadi persaingan yan menunjukan kekayaan, pofesi,

dan kedudukan. Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan

tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan.

Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan

hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dan hal lainnya. Berdasarkan

Page 88: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

73

yang sudah dijelaskan diatas kampung Cireundeu kental dengan kearifan

lokalnya dan kearifan lokal tersebut harus dijaga dan dilestarikan dan ajaran

agama sunda wiwitan yang diyakini oleh Kampung Adat Cireundeu yang

harus dipertahankan oleh kampung Cireundeu.

5. Kearifan Lokal Sebagai Upaya Ketahanan pangan

Salah satu upaya nyata untuk meningkatkan percepatan gerakan

penganekaragaman konsumsi pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan

pangan adalah dengan mengembalikan pola penganekaragaman konsumsi

pangan yang telah mengakar di masyarakat sebagai kearifan lokal.

Kearifan lokal sebagai sumber karbohidrat masyarakat di desa Cirendeu

yang biasa dikonsumsi adalah singkong. Sedangkan sebagai sumber protein,

masyarakat juga telah terbiasa mengonsumsi aneka jenis ikan dan daging

yang berasal dari hasil budidaya sendiri. Adapun untuk sumber mineral dan

vitamin, didapat dari buah-buahan dan sayuran yang tersedia di kebun yang

mereka garap sendiri.

Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian tanaman pangan,

kearifan lokal ini dapat dijadikan pendamping dari ilmu-ilmu serta teknologi

modern. Karena kearifan lokal merupakan internalisasi dari pengalaman

hidup yang panjang dan menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat lokal

dengan norma-norma sosialnya. Kearifan lokal ini dapat sekaligus menjadi

penyaring modernisasi yang dapat berdampak negatif bagi kehidupan sosial

dan budaya masyarakat setempat, maupun merusak alam lingkungan.

Mewujudkan ketahanaan pangan nasional melalui peningkatan produksi

komoditas pangan bukan berarti harus mengabaikan norma-norma sosial

budaya, mengabaikan daya dukung dan kelestarian alam, serta

memarginalisasi eksistensi masyarakat lokal. Ketahanan pangan nasional

akan menjadi terlalu mahal ongkosnya bila harus mengabaikan ketahanan

sosial budaya masyarakat pedesaan dan menimbulkan kerusakan alam.

Kearifan lokal ini menjadi benteng yang sangat penting dalam

meningkatkan peranan dunia usaha di bidang pertanian tanaman pangan.

Page 89: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

74

Peran dunia usaha memproduksi komoditas pangan memang sulit untuk

dihindari, sebaliknya peranan tersebut perlu terus didorong. Sementara peran

pemerintah lebih terfokus pada regulasi dan penyediaan infrastruktur

pertanian. Meski demikian, peranan dunia usaha tetap harus sejalan dengan

kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang pada kehidupan

masyarakat pedesaan selama ini. Dengan begitu, ketahanan pangan nasional

akan terwujud dengan adanya diversifikasi konsumsi pangan berbasis

kearifan lokal.

Page 90: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

75

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kehidupan sosial yang terjadi di Kampung Cirendeu terutama

bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-

perubahan dalam masyarakatnya. Suatu sistem pengendalian sosial dalam

bentuk sebuah kearifan lokal bertujuan untuk mencapai keadaan damai

melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan dalam bermasyarakat.

Masyarakat dan kebudayaan Cireundeu memiliki ciri khas yaitu rasi sebagai

makanan pokok dan upacara satu sura. Nilai-nilai pendidikan

kewarganegaraan masuk kedalam penerapan kebiasaan-kebiasaan masyarakat

adat Cireundeu. Dengan adanya kebiasaan dan kebudayaan serta kearifan

lokal, maka sifat gotong royong, sopan satun, dan kerjasama itu terlihat

dengan jelas di kampung adat Cireundeu. Pengaruh tradisi atau kebiasaan

tersebut berpengaruh yang sangat besar sehingga dapat menjadi warga Negara

yang cerdas dalam berfikir dan berprilaku.

Nilai Kearifan lokal di kampung Cireundeu dalam mengkonsumsi

singkong sebagai makanan pokok bermanfaat sebagai bentuk upaya dalam

meningkatkan kesejahteraan pangan di masyarakat. Sehingga harapan dari

program ketahanan pangan dapat terwujud. Kebiasaan makan rasi pada

masyarakat Cireundeu di latar belakangi oleh adat budaya leluhur yang

berdasarkan keyakinan akan sebuah ajaran yang diajarkan oleh pangeran

Madrais yang mengajarkan untuk beralih dari beras ke singkong. Bentuk

Kearifan lokal di kampung Cireundeu dalam meningkatkan kesejahteraan

pangan melalui konsumsi singkong sebagai makanan pokok bermanfaat

sebagai contoh dan disosialisasikan di khalayak umum di seluruh wilayah

Page 91: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

76

Indonesia. Bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa:

nilai, norma, kepercayaan, sanksi, dan aturan-aturan khusus. Bentuk kearifan

lokal akan menghasilkan suatu bentuk implementasi dalam menjaga

kesejahteraan pangan.

B. Saran

1. Aparat pemerintah dapat memperhatikan warga masyarakat adat

khususnya dalam mengembangkan budaya adat sehingga masyarakat luas

dapat mengetahui adanya suatu kebudayaan ditengah-tengah masyarakat

dan memberikan ruang gerak untuk masyarakat dalam melakukan sebuah

tradisi kebudayaan.

2. Para Tokoh Cireundeu lebih mempertahankan pangan dan menjaga

kearifan lokal yang sudah diturunkan oleh nenek moyang dan bisa

dirasakan oleh anak, cucu, buyut secara turun temurun.

3. Kepada masyarakat adat kampung Cireundeu dapat terus menjaga

kelestarian adat sampai kepada keturunan-keturunanya jangan sampai

kebudayaan adat hanya sebatas cerita sepupuh, perlu adanya kemauan

dari masyarakat untuk mengembangkan budaya dan pertahankan ketahan

pangan supaya menjadi ciri khas.

4. Kepada para pengunjung supaya tidak hanya melihat tetapi mempelajari

kebudayaan adat Cireundeu. Dengan mempelajari kebudayaan tersebut

maka ikut serta dalam pelestaraian kearifan lokal.

Page 92: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

77

DAFTAR PUSTAKA

------. Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sumatera Utara. Analisis KonsumsiKebutuhan Pangan. Medan. 2005.

-----. Ikhtisar budaya. Bandar Sri Begawan: Dewan bahasa dan kebudayankementian kebudayaan. 1976.

Amien, A Mappadjantji. Kemandirian Lokal konsepsi pembangunan, organisasi,dan pendidikan dalam prespektif Sains Baru. Jakarta: Gramedia PustakaUtama. 2005.

Asmani , Jamal Ma’ mur. pendidikan Berbasis Keunggulan lokal. Jakarta: DIVAPress. 2012.

Ayat, Rohaedi. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: PustakaJaya. 1986.

Baliwati, Y. F. Pengantar Pangan dan Gizi, Cetakan I. Jakarta: PenerbitSwadaya. 2004.

Budianto, Irmayanti Meliono. “Dimensi Etis Terhadap Budaya Makan danDampaknya pada Masyarakat”. Jurnal Makara sosial Humaniora, Vol. 8 No.2, Agustus 2004, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.

Budiyanto, Moch. Agus Krisno. “Model Pengembangan Ketahanan PanganBerbasis Pisang Melalui Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal”. Program StudiPendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang. 2012.

Departemen Sosial RI. Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas AdatTerpencil. 2006.

Depkes RI. Ditjen Bina kesehatan Masyarakat, Direktorat GiziMasyarakat.,Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Jakarta. 2004.

Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.

Fadhilah , Amir. “Kearifan Lokal dalam Membentuk Daya Pangan LokalKomunitas Molamahu Pulubala Gorontalo”. (Fakultas Adab dan Humaniora& Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta) Al-Turāṡ Vol. XIX No. 1, Januari 2013.

Page 93: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

78

Fadhilah, Amir & Yatim, Badri. “Kearifan Lokal Sebagai Modal SosialKetahanan Pangan Masyarakat : Studi Kasus pada Masyarakat Kp. CireundeuKelurahan Leuwi Gajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi ProvinsiJawa Barat, Desa Molamahu Kecamatan Pulubala Kabupaten GorontaloProvinsi Gorontalo , Komunitas Baduy Desa Kenekes KecamatanLeuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten (Laporan PenelitianKompetitif 2009)”. Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Jakarta. 2009

Fahmal, Muin. Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak DalamMewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: UII Press. 2006.

George M,Foster dan Anderson, Barbara Gallatin. Antropologi Kesehatan :Penerjemah Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono,Jakarta: UI Press.1986.

Haidlor.” sebagai landasan pembangunan bangsa, jurnal multicultural danmultireligius”. Jurnal Vol 9 2010.

Hardinsyah. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Pusat AntarUniversitas. IPB, Bogor. 1994.

Ihromi,T.O. pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.1996.

Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.1987.

Liberti, Friska. “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam PengelolaanHutan : Studi Kasus Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam PengelolaanRepong Damar di Pesisir Krui Lampung Barat Kaitannya dengan KetahananNasional”,:http://lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=20329639&lokasi=lokal. Di aksesOktober 2017.

Mardimin, Johanes. Jangan Tangisi Tradisi . Yogyakarta: Kanisius. 1994.

Nurdiani,Rizka. “Penerapan Nilai-nilai Kearifan Lokal Dalam MempertahankanKetahanan Pangan (Studi Etnografi pada Masyarakat Kampung AdatCireundeu, Kel. Leuwigajah Kec. Cimahi Selatan, Kota Cimahi)”. JurnalPendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus2014)

Page 94: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

79

Nurochsyam, Mikka Wildha.“ Tradisi Pasola antara Kekerasan dan KearifanLokal”. Dalam Ade Makmur, (ed), Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi.Jakarta:Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata Republik Indonesia. 2011.

Pasopati Media Group Bondowoso. “Kearifan Lokal dan PembangunanIndonesia”. (www.passopatifm.com). 2013.

Permana ,Raden Cecep Eka, dkk. Kearifan local tentang mitigasi bencana padamasyarakat Baduy,http://lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=20322209&lokasi=lokal. Di aksesOktober 2017.

Permana, Cecep Eka. Kearifan lokal masyarakat baduy dalam mengatasibencana, Jakarta: Wedatama Widia Sastra. 2010.

Ridwan, N.”Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”. http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf. 2007. diakses 12 Januari2016

Saptomo, Ade. Hukum dan Kearifan lokal Revatalisasi Hukum Adat Nusantara .Jakarta: Grasindo. 2005.

Sartini “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat”. JurnalFilsafat. (2004.

Sediaoetama AD. Imu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II. Jakarta : DianRakyat. 1999

Simatupang, P.” Toward Sustainable Food Security: The Need for A NewParadigm in Simatupang, P. et a/. (eds) Indonesia's Economic Crisis: Effectson Agriculture and Policy Responses” . Centre for International EconomicStudies: University of Adelaide 5005 Australia. 1999

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindopersas.2005.

Soekirman. “Ketahanan Pangan : Konsep, Kebijaksanaan dan Pelaksanaannya”.Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan pangan Rumah Tangga,Yogyakarta, 26-30 Mei. 1996.

Suhardjo. “Sosio Budaya Gizi”. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Pusat Antar Universitas Pangandan Gizi IPB. Bogor 1989

Page 95: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

80

Suhardjo. “Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga” .Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah tangga.Yogyakarta, 26-30 Mei. 1996.

Suhartini. “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Penggelolan Sumber Alamdan Lingkungan,” Makalah disampaikan pada Seminar, Pendidikan danPenerapan MIPA, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta, 16Mei 2009

Sumarwan, U. dan Sukandar ,D Identifikasi Indikator dan Variabel sertaKelompok Sasaran dan Wilayah Rawan Pangan Nasional. Jurusan GMSK-Faperta IPB, UNICEF dan Biro Perencanaan, Departemen Pertanian R.IWiduri Press, Bogor. 1998.

Suryana, A. Kapita Selecta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan.BPEE, Yogyakarta. 2003.

Thaha R. Abd,dkk. “Pangan Dan Gizi”. Penerbit DPP Pergizi Pangan Indonesia,Bogor. 2002.

Tim penyu'sun Kamus Pusat Bahasa, ed., kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka 2007.

Tumanggor, Rusmin dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Prenada MediaGrup. 2015.

Usman, S. “Sosiologi Lingkungan. Pembahasan Tentang Lingkungan danPerilaku Sosial”. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidakdipublikasikan.http://iep.pasca.unand.ac.id/id/images/download/Jurnal/JAK/artikel .1996.diakses pada 12 Januari 2016.

Witoro.” Menemukan kembali dan Memperkuat Sistem Pangan Lokal”. MakalahLokakarya Forum Pendamping Petani Regio Gedepahala, Kampung Pending,Sukabumi, 2-24 September 2003. 2003.

Zulkarnain, A.Ag., & Febriamansyah, R). “Kearifan Lokal dan Pemanfaatan danPelestarian Sumberdaya Pesisir”. Jurnal Agribisnis Kerakyatan, 1. 2008.

Page 96: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

81

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1

Instrumen Wawancara

1. Berapa luas lahan di kampung adat Cireundeu?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

2. Untuk apa saja lahan yang digunakan?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

3. Dibagi menjadi berapa wilayah kampung adat Cireundeu?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

4. Bagaimana sejarah awal mula kampung ini muncul?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

5. Kenapa kampung ini dinamakan Cireundeu?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

Page 97: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

82

6. Sejak kapan kampung ini ada?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

7. Apa saja tradisi yang ada?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

8. Siapa yang memulai tradisi-tradisi disini?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

9. Sejak kapan tradisi itu muncul?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

10. Bagaimana peran tokoh masyarakat/ketua adat untuk menjaga tradisi itu?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

11. Kenapa nasi singkong menjadi tradisi yang khas disini?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

Page 98: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

83

12. Apa ada tempat penyimpanan khusus untuk menyimpan hasil panen?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

13. Bagaimana kalau singkong atau bahan pangan habis?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

14. Singkong yang dipanen biasanya dimanfaatkan untuk apa saja?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

15. Dari mana warga dapat mendapatkan singkong?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

16. Lembaga apa saja yang ada disini?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

17. Kenapa singkong yang dijadikan bahan pokok?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

Page 99: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

84

18. Bagaimana cara mendapatkan singkong?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

19. Apa saja bahan makanan lain yang dapat dimanfaatkan selain singkong?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

20. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk panen?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

21. Berapa lama singkong dapat bertahan?

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………………

Page 100: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

85

Lampiran 2

Transkip Wawancara

P : Peneliti

J : Kang jajat

P : Pertama saya mau tanya tentang sejarah kampung adat Cireundeu ini, hmmmmbagaimana si sejarah terbentuknya kampung cireundeu?

J : sejarah cireundeu tidak ada bukti nyata dan tertulis hanya cerita turun temurunya. Hmm karena budaya sunda lebih kuat budaya tutur dari pada budaya tulis.Eeee, cireunde diperkirakan ada sejak tahun 1700 sebelum kota cimahi dibangun.kota cimahi di bangun oleh belanda, yang di tandai dengan pembangunan jalan ,kantor, rumah sakit. Kampung adat Cireundeu awalnya adalah sebuah dusun kecilyang dibangun oleh seorang pangeran yaitu Pangeran Madrais yang berasal dariCigugur Kuningan. Pangeran Madrais singgah di Cireundeu tahun 1918 untukmengungsikan diri, karena pada waktu itu terjadi peperangan antara PemerintahHindia Belanda yang menyerang Kesultanan di Kuningan. Setelah menetapbeberapa tahun di Cireundeu, Pangeran Madrais bertemu dengan H. Ali danmembangun sebuah kampung yang disebut kampung Cireundeu. Hmmmmmkampung Cirendeu ini tidak diketaui siapa yang pertama tinggal disini, dan tidakdiketahui siapa yang memberi nama cirende. tapi, secara filosofis, cirendeuberasal dari 2 kata, “ci” yang artinya air dan “reudeu” yang artinya pohon rendeu,karena dulu di sungai (mata air) banyak pohon reunde, jadi namanya cireundeu.sarwendeu , saigel, sabobot, sapihanean, yang artinya cireunde di bangun dengangotong royong. tidak diketahui siapa yang mendirikan, hmmmm tapi leluhur yangdiketahui aki erwan namanya.

P : hmmmm terus kalo disini kearifan lokalnya apa aja ya?

J : kalo disini ciri khasnya ya nasi singkong , tapi ada juga tradisi lain seperti taliparanti yaitu kebiasaan menjaga dan memegang teguh tradisi leluhur berupasunda wiwitan, upacara kematian , kelahiran, perkawinan, upacara 1 sura.

P : nah untuk tradisi atau kearifan lokal itu sendiri sejak kapan munculnya?

J : hmmmm ya sejak masyarakat sunda itu ada, karna tadi kan saya jelaskan kalobukti tertulisnya itu tidak ada, jadi ya diperkirakan sejak masyarakat sunda ituada.

Page 101: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

86

P : nah kalo peran dari ketua adat disini tuh bagaimana si?

J : tugas sesepuh atau ketua adat lah ya hanya membimbing dan membinamasyarakat adat saja.

P : tadi kan salah satu kearifan lokal disini tuh konsumsi nasi singkong ya, itukenapa ya yang dipilih singkong sebagai pengganti beras?

J : nah itu sebelom singkong yang dipilih sebagai bahan pokok, sebenernya udahdicoba bahan lain seperti jagung, ganyong dan lainnya, tapi kurang cocok karenakalo taneman lain taneman musiman, hanya bisa di panen sekali dalam semusim,kalo singkong bisa dipanen terus. pola tanam bergantian sehingga setiap bulanbisa panen.

P : terus sejak kapan masyarakat cirendeu itu makan singkong sebagai makananpokok?

J : hmmmm itu ditemukan singkong yang cocok sama kita tahun 1924 sm ibuomah.

P : hmmmm buat dapetin singkongnya itu dari mana ya? Beli atau tanem sendiri?

J : ya tanem sendiri, jadi disini tuh ada tiga jenis wilayah adat, yang pertama ituhutan larangan dan hutan tutupan , keduanya gaboleh di pake berladang, tapiuntuk hutan tutupan ini adalah sebagai salah satu lahan cadangan, tujuannya kalohutan baledahan ga bisa dipakai lagi buat tanem sesuatu, jadi buat sementaradialihkan ke hutan tutupan, sambil menunggu atau digarapnya kesuburan tanahhutan baledahan. hutan baledahan yang di pake buat berladang.

P : hmmmm terus kalo singkong itu sendiri selain dibikin jadi nasi, jadi apa lagi?

J : selain dibikin rasi singkong juga diolah jadi tepung kemudian jadi berbagaibahan untuk buat kue eggroll, bronis, dlll, terus juga kulit singkong itu tidakdibuang, itu juga bisa dijadikan dendeng kulit singkong.

P : Berapa Luas wilayah kampung adat Cireundeu? Lalu dibagi menjadi berapawilayah ya?

J : Disini luas wilayahnya kurang lebih 65 hektar ya. Dibagi jadi 2 wilayah, adayang namanya kampung pojok dan kampung adat, yang terdiri dari 1 RW dan 5RT. Kalau di kampung adat sendiri ada 2 RT. Untuk wilayah pemukimanwarganya sendiri si kurang lebih 5 hektar saja, sisanya ya jadi lahan pertanianwarga.

Page 102: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

87

Lampiran 3

Transkip Wawancara

P : Peneliti

W : Abah Widi

P : Bagaimana si sejarah terbentuknya kampung cireundeu?

W : pada awalnya kampung adat Cireundeu merupakan daerah perbukitan yangbanyak ditanami pohon Reundeu dan pohon tersebut dekat dengan sumber air atauorang Sunda menyebutnya Cai sehingga kampung ini diberinama KampungCireundeu. Selain itu pemberian nama adat pada kampung Cireundeu karenaCireundeu menganut aliran kepercayaan yang dibawa oleh Pangeran Madraisyang masih dianut sampai sekarang oleh masyarakat adat Cireundeu. Cireundeudiperkirakan ada sejak tahun 1700-an, Aki Erwan lah yang dianggap sebagaileluhur awal mula desa cireundeu ini.

P : kearifan lokalnya yang ada di desa cirendeu ini apa aja ya?

W : kalo disini ciri khasnya ya nasi singkong , upacara 1 sura.

P : peran dari ketua adat disini tuh bagaimana dalam melestarikan kearifan lokal?

W : tugas sesepuh atau ketua adat lah ya hanya membimbing dan membinamasyarakat adat agar terus melestarikan adat dengan cara mearangkul anak-anakdalam berkreatifitas kesenian.

P : tadi kan salah satu kearifan lokal disini tuh konsumsi nasi singkong ya, itukenapa ya yang dipilih singkong sebagai pengganti beras?

W : karna hanya singkong yang bisa dipanen terus tanpa harus menunggu musimpanen. pola tanam bergantian sehingga setiap bulan bisa panen.

P : terus sejak kapan masyarakat cirendeu itu makan singkong sebagai makananpokok?

W : Sekitar tahun 1924

P : hmmmm buat dapetin singkongnya itu dari mana ya? Beli atau tanem sendiri?

W : ya tanem sendiri di ladang masing-masing. Biasanya masyarakat adatnyebutnya hutan baledahan itu yang di pake buat berladang. Setiap masyarakat

Page 103: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

88

memiliki 3 hingga 5 petak kebun singkong yang berbeda-beda masa tanamnya.Setiap petak kebun dibuat berbeda masa tanamnya, sehingga pada tiap petaknyaakan berbeda masa panennya. Maka sepanjang tahun ladang mereka selalumenghasilkan singkong.

P : untuk pola pertaniannya itu gimana ya? Maksudnya udah sistem modern ataumasih tradisional?

W : sistem pertanian tradisioal karena daerah pegunugan dan bebatuan , sehinggatidak bisa pakai alat modern.

P : Selain dibuat menjadi nasi, singkong itu dibuat untuk apalagi? Dijual lagi atauada olahan lain?

W : biasanya dijual ke ibu-ibu (PKK lah istilahnya ya) buat bikin kue eggroll, dll

P : ini kan kampung adat ya, jika ada adat yang dilanggar ada sanksinya atau ga?

W : Tidak ada hukuman bagi yang melanggar, karena ada istilah asal ulah salahdisami semua aturan sudah disampaikan , kalau melanggar terima sendirikonsekuensi nya, karena adat di cireundeu tidak ada manusia yang bolehmenghukum manusia lain.

P : disini ada lembaga pendidikan? Apa saja?

W : ada satu sekolah dasar negeri (SDN)

P : kalo masyarakat disini ada yang buta huruf atau ga?

W : masyarakat cireunde terbuka tentang pendidian, sekolah sd, smp, sma kuliah.ga ada yang putus sekolah. tidak ada yang buta huruf kecuali orang tua dulu yangmasih buta huruf.

Page 104: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

89

Lampiran 4

Transkip Wawancara

P : Peneliti

R : Rita

P : Apa makanan pokoknya teteh dan keluarga?

R : nasi singkong

P : berapa kali makan dalam sehari ?

R : 2 sampai 3 kali sehari

P : Singkongnya dapet darimana ?

R : kalo singkong kita tanem sendiri.

P : Selain singkong apalagi yang ditanam ?

R : kita biasanya menanam tanaman sayuran, seperti cabe, bayam, kangkung danlain-lain.

P : kemudian, kalau sistem pertaniannya sendiri bagaimana ? sudah moderen ataumasih tradisional ?

R : Sistem pertanian disini masih tradisional, seperti memakai cangkul, arit danlain sebagainya

P : Apa ada tempat penyimpanan khusus untuk menyimpan hasil panen ?

R : Kita ga punya lumbung khusus untuk menyimpan hasil panen.

P : Bagaimana kalau bahan pangan di rumah habis? Beli atau darimana ?

R : kalau untuk bahan pokok seperti singkong itu, kita ga pernah keabisan. Karenakalau hasil panen habis, biasanya ada tetangga yang membagi atau kita beli daritetangga yang sudah panen.

P : Siapa tokoh adat atau ketua adat disini ?

R : ketua adat disini abah emen.

P : Apa peran ketua adat ?

Page 105: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

90

R : tempat berkonsultasi dan sebagai orang yang dituakan

P : Apa teteh tau aturan adat disini ada apa aja ?

R : yang pasti, disini kita gaboleh makan nasi karena disini nasi pamali untukdimakan dan ga boleh bercocok tanam di hutan larangan

Page 106: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

91

Lampiran 5

Transkip Wawancara

P : peneliti

Y : Yadi

P : Apa makanan pokoknya akang dan keluarga?

Y : kalau makanan pokok ya nasi singkong,

P : Singkongnya beli atau menanam sendiri ?

Y : kalo singkong kita tanem sendiri di ladang, kalau seandainya di rumah habisbisa beli atau minta sama tetangga

P : singkongnya itu selain buat makan sendiri apa dijual keluar juga ?

Y : biasanya, kalau hasil panen banyak kita jual ke ibu-ibu (PKK) buat di olah lagijadi aneka kue dan makanan

P : kemudian, kalau sistem pertaniannya sendiri bagaimana ? sudah moderen ataumasih tradisional ?

Y : karena disini wilayah perbukitan berbatu jadi sistem pertanian disini masihtradisional, seperti memakai cangkul, arit dan lain sebagainya

P : Biasanya kalo panen menunggu berapa lama ?

Y : Biasanya sekitar 6 bulan

P : Kalau melanggar aturan adat apa ada sanksinya ?

Y : biasanya sih ga ada, kalau melanggar ya kita tanggung sendiri akibatnya

Page 107: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

92

Lampiran 6

Transkip Wawancara

P : Peneliti

N : Neneng

P : apa saja tradisi yang ada disini?

N : disini ada tradisi perayaan 1 Sura, makanan pokoknya nasi singkong. Nahkalo 1 suro itu tradisinya mirip seperti lebaran bagi kaum muslim. Saat perayaanmereka selalu menggunakan pakaian baru. Namun setelah adat merekadilembagakan sehingga pada saat kaum laki-laki menggunakan pakaian pangsiwarna hitam dan ikat kepala dari kain batik. Sedangkan untuk kaum perempuanmenggunakan pakaian kebaya berwarna putih. Gunungan buah-buahan yangdibentuk menyerupai janur, nasi tumpeng rasi, hasil bumi seperti rempah-rempahdan ketela yang menjadi pelengkap wajib dalam ritual ini. Selain itu keseniankecapi suling, ngamumule budaya sunda serta wuwuhan atau nasihat dari Sesepuhatau ketua Adat menjadi rukun dalam upacara 1 Sura

P : Apa makanan pokoknya teteh dan keluarga?

N : kalau makanan pokok ya nasi singkong, nasi singkong itu makanan pokokwarga kampung adat Cireundeu, tidak satu butirpun masyarakat adat Cireundeumemakan beras dari padi, karena menurut ajarannya beras itu adalah sesuatu yangsuci dan tidak boleh dihabiskan dengan cara dimakan. Tetapi dipergunakan untuktolak bala yang disimpan didepan pintu.

P : Singkongnya beli atau menanam sendiri ?

N : kalo singkong kita tanem sendiri di ladang

P : singkongnya itu selain buat makan sendiri apa dijual keluar juga ?

N : Biasanya dijual ke ibu-ibu PKK yang saya pimpin buat diolah jadi kue danmakanan lain

P : Hasil produksi kue-kuenya dipasarkan kemana ?

N : Biasanya kita jual ke tamu yang datang atau sesuai dengan pesenan

P : Jenis kue apa saja yang diproduksi ?

Page 108: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

93

N : ada brownis, eggroll, apem, biskuit, dadongkol dan kripik-kripik

P : Apa cuma bagian umbi singkong saja yang dimanfaatkan untuk membuatmakanan ?

N : engga juga, kita memanfaatkan kulitnya singkong buat jadi dendeng singkong,jadi dari singkong itu ga ada yang kebuang.

P : Kan kalau dari singkong harus digiling dulu, gilingannya punya sendiri ataubagaimana?

N : untuk penggiligan hanya ada beberapa unit di kampung ini dan itu juga milikkelompok, jadi gilingnya bareng-bareng

P : berapa kisaran harga produk kuenya ?

N : kalo dari kita sekitar 15.000 sampai 80.000

P : Kalau hasil penjualan bagaimana pembagiannya ?

N : biasanya dipotong produksi, dan keuntungannya dibagi rata ke ibu-ibu yanglain

P : Apa peran tokoh adat dalam kegiatan ini seperti apa ?

N : sangat mendukung yah, yang penting kita ga melanggar aturan-aturan adat

Page 109: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN
Page 110: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN
Page 111: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN
Page 112: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN
Page 113: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN
Page 114: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

BIODATA PENULIS

NAMA : MUHAMAD FADILAH

TEMPAT, TANGGAL LAHIR : JAKARTA, 4 APRIL 1994

JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI

AGAMA : ISLAM

ALAMAT : JL. CABE RAYA GG. KELOR 1 NO.4 RT003/003 PONDOK CABE ILIR,PAMULANG, TANGERANG SELATAN

NAMA ORANG TUA : 1. SUBANDI2. KARYATI

PENDIDIKAN FORMAL :

TAHUN LEMBAGA PENDIDIKAN

1999-2000 TK DAHLIA CIRENDEU

2000-2006 SDN 1 CIREUNDEU

2006-2009 MTsN II PAMULANG

2009-2012 MAN 4 JAKARTA

2012-Sekarang UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENGALAMAN ORGANISASI :

TAHUN ORGANISASI

2009-2012 PRAMUKA MAN 4 JAKARTA

2015DEWAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS

ILMU TARBIYAH DAN KEGURUANUIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


Related Documents