1
Kajian Sosio Teologis Terhadap Nasionalisme Yehuda Dalam Kejadian 38:1-30
Oleh
Amelia Theodora Salawe
NIM 712011050
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program studi Teologi, Fakultas Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Sains Teologi (S.SiTeol)
PROGRAM STUDI TEOLOGI
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
2
Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nasionalisme Yehuda Dalam Kejadian 38:1-30
Abstrak
Penelitian ini merupakan upaya untuk mendapatkan pemahaman mengenai konsep
nasionalisme Yehuda melalui cerita Yehuda dan Tamar dalam Kejadian 38:1-38. Penelitian
mengenai konsep nasionalisme Yehuda dalam Kejadian 38:1-30 ini, dikaji secara sosio-
teologis dengan pendekatan sosio-historis. Teori yang digunakan adalah teori nasionalisme.
Secara sosio-historis, konsep nasionalisme Yehuda dalam Kejadian 38:1-30 dibangun dalam
kerangka berpikir sumber Y yang menekankan pada kesamaan keturunan, suku, ikatan darah,
serta perasaan senasib dan sepenanggungan dalam menghadapi ancaman dan tekanan dari
Mesir dengan menempatkan Tamar sebagai tokoh utama yang memainkan peranan penting
dalam mendukung alur cerita. Konsep nasionalisme seperti ini pada akhirnya dapat menjadi
chauvinisme yang mengunggulkan bangsanya dan merendahkan bangsa lain. Padahal
kesamaan identitas, suku, keturunan dan sejarah yang sama bukan satu-satunya tolok ukur
dalam membangun sebuah nasionalisme suatu bangsa dan negara.
Kata kunci : Nasionalisme, Yehuda dan Tamar, Kejadian 38:1-30
I. Pendahuluan
Istilah nasionalisme merupakan suatu istilah yang cukup modern dan jarang
digunakan pada awal abad kesembilan belas. Pada tahun 1836, istilah ini digunakan dalam
bahasa Inggris dan bersifat teologis yaitu sebagai doktrin bahwa bangsa-bangsa tertentu
dipilih secara ilahiah. Berbagai upaya dilakukan oleh para ahli untuk mendefinisikan
nasionalisme. Menurut Smith, nasionalisme adalah sebuah ideologi yang menempatkan
bangsa di pusat keprihatinannya dan berupaya menaikkan eksistensinya. Namun menurut
Smith pernyataan ini tidak terlalu jelas, oleh sebab itu perlu ditetapkannya sasaran utama,
tempat nasionalisme menaikkan derajat bangsa yaitu otonomi nasional, kesatuan nasional dan
identitas nasional.1 Pandangan Smith didukung oleh Kohn yang beranggapan bahwa
nasionalisme merupakan suatu paham yang menyatakan bahwa kesetiaan tertinggi individu
harus diserahkan kepada negara kebangsaan.2 Jadi, dapat dikatakan bahwa secara garis besar,
nasionalisme merupakan wujud dari kecintaan terhadap bangsanya atau cinta tanah air.
Meskipun nasionalisme merupakan gejala yang hadir di zaman modern, namun
beberapa watak nasionalisme sudah lama tumbuh dan berkembang di masa lampau. Salah
satu bangsa yang diatasnya nasionalisme tumbuh dan berkembang yaitu bangsa Ibrani.
Bangsa Ibrani memiliki kesadaran yang tinggi bahwa mereka berbeda dari bangsa-bangsa
1 Anthony D. Smith, Nasionalisme : Teori, Ideologi, Sejarah (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2002), 6-10.
2 Hans Kohn, Nasionalisme : Arti dan Sedjarahnya (Jakarta : P.T. Pembangunan, 1958), 11.
3
yang lain. Ada tiga corak hakiki nasionalisme yang berasal dari bangsa Ibrani yakni cita
sebagai bangsa yang terpilih, memiliki kenangan yang sama dimasa lampau dan harapan
yang sama di masa depan, serta penegasan bahwa mereka memiliki tugas khusus di dunia.3
Konsep nasionalisme ini menurut Stoddart dibentuk melalui rasa kebersamaan segolongan
sebagai suatu bangsa. Keadaan jiwa serta kepercayaan yang dianut oleh sejumlah besar
individu tersebutlah, yang kemudian membentuk suatu kebangsaan.4 Hal demikian terjadi
pada kisah Yehuda dalam Kejadian 38:1-30.
Dalam membentuk suatu nasionalisme, Kejadian 38:1-30 menceritakan mengenai
kisah Yehuda dalam bingkai tradisi Y yang ditulis demi kepentingan Daud sebagai raja atas
kerajaan Israel Bersatu. Kisah ini merupakan kisah yang menarik karena menceritakan
tentang masa depan keturunan Yehuda leluhur Daud, yang berada dalam bahaya. Oleh sebab
itu pembentukan keluarga berdasarkan garis keturunan Yehuda sangatlah ditekankan dalam
Kejadian 38:1-30. Kisah ini dimulai ketika Yehuda menjalin hubungan dengan seorang
perempuan Kanaan bernama Syua yang kemudian melahirkan tiga anak laki-laki bagi
Yehuda yaitu Er, Onan, dan Syela. Berkaitan dengan perkawinan campuran, Lambdin
mengatakan perkawinan campuran dengan seorang Kanaan dipahami oleh bapa leluhur
sebagai suatu ancaman terhadap janji bagi keturunan Abraham. Oleh sebab itu, menjadi suatu
larangan bagi Abraham dan Ishak agar tidak mengambil seorang Istri dari keturunan
Kanaan.5 Pada akhirnya, Kejadian 38:11 ditutup dengan kisah menyedihkan karena Yehuda
tidak memiliki keturunan dari anak-anak lelakinya yang didapat dari seorang perempuan
Kanaan.
Kisah ini dibuka kembali dengan menceritakan kelanjutan garis keturunan Yehuda
melalui Tamar menantunya. Asal-usul dari Tamar masih menjadi misteri. Tradisi kuno
mengatakan bahwa Tamar adalah seorang perempuan Kanaan sama seperti Syua, istri
Yehuda. Namun dalam kitab Yobel, kitab yang berisi kumpulan catatan sejarah Alkitab yang
ditulis selama masa Bait Allah kedua, menunjukkan bahwa Tamar adalah seorang Aram, dari
Mesopotamia.6 Asal-usul Tamar mengingatkan kita pada Abraham yang juga berasal dari
Mesopotamia dan merupakan leluhur dari Daud. Kisah ini ditutup melalui kehadiran dua
anak laki-laki Yehuda dari Tamar yang bernama Zerah dan Perez.
3 Anthony D. Smith, Nasionalisme: Teori..., 13-14.
4 A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 10.
5 Thomas O. Lambdin, Introduction to Biblical Hebrew (New York: Charles Scribner's Sons, 1971), 114.
6 Rabbi Jeffrey K. Salkin, Righteous Gentiles In The Hebrew Bible : Ancient role models for sacred
relationship (Woodstock, Vermont : Jewish Light Publishing, 2008), 23.
4
Secara sosiologis-teologis, kisah pembentukan keluarga dari garis keturunan Yehuda
dalam Kejadian 38:1-30 berada dalam bingkai tradisi Y, berguna untuk mengokohkan
pemerintahan Daud sebagai raja dalam kerajaan Israel Bersatu serta untuk menegaskan
bahwa daud merupakan raja dari garis keturunan yang terpilih dan yang diberkati oleh
Yahweh. Bukan berasal dari garis keturunan yang dikutuk. Bentuk nasionalisme yang
ditemukan dalam kisah ini yaitu nasionalisme berdasarkan suku ataupun keturunan yang
sama. Oleh sebab itu, berdasarkan silsilah keturunan yang dilihat dari Tamar dan perdebatan
para ahli tentang asal-usul Tamar, maka penelitian ini kemudian dilakukan dengan fokus
pada nasionalisme Yehuda dalam cerita Yehuda dan Tamar guna memperoleh pemahaman
mengenai konsep nasionalisme Yehuda.
Adapun pertanyaan sentral sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa
konsep nasionalisme Yehuda dalam Kejadian 38:1-30 berdasarkan kajian Sosio-Teologis?.
Tujuan dari penelitian ini mendeskripsikan konsep nasionalisme Yehuda dalam Kejadian
38:1-30 berdasarkan kajian Sosio-Teologis. Manfaat dari penelitian ini, secara teoritis
memberikan sumbangan pemikiran yang sekaligus berguna untuk melengkapi literatur
penelitian sebelumnya tentang nasionalisme khususnya dalam studi-studi biblika dan secara
praktis sebagai salah satu upaya sumbangan pemahaman kepada Fakultas Teologi khususnya
matakuliah Hermeneutik Perjanjian Lama tentang konsep nasionalisme Yehuda dalam
Kejadian 38:1-30.
Penelitian ini menggunakan kajian sosiologis teologis dengan pendekatan sosio
historis. Pendekatan sejarah dan sosial merupakan dua hal yang berbeda tetapi keduanya
sama-sama dalam merekonstruksi kehidupan Israel Monarki. Jadi, pendekatan sosio-historis
adalah cara untuk melihat berbagai latar belakang sejarah dan juga situasi atau keadaan sosial
yang terjadi pada masa atau zaman tertentu dengan lebih mendalam dan seksama. Melalui
pendekatan ini penulis menarik kesimpulan sebagai hasil penelitian penulis atas judul yang
telah penulis rumuskan terlebih dahulu.7 Kisah Yehuda dan Tamar dalam Kejadian 38:1-30
juga perlu dikaji dengan pendekatan sosio-historis agar pembaca dapat mengerti maksud dan
tujuan teks tersebut ditulis.
Sistematika penulisan tugas akhir ini di jelaskan dalam lima bagian yang antara lain:
bagian pertama yaitu Pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan yang
7 Norman K. Gottwald, Sociological Method in the Study of Ancient Israel. Edited by Norman K. Gottwald.
The bible and Liberation – Political and Social Hermeneotics (Maryknoll New York: Orbis Books, 1983), 27.
5
menjadi kerangka umum penulisan tugas akhir ini. Bagian kedua menjelaskan mengenai
konsep nasionalisme. Bagian ketiga menjelaskan tradisi Y kaitannya dengan Yehuda dan
Tamar dalam Kejadian 38:1-30. Pada bagian keempat yaitu hasil penelitian dan pembahasan
yang akan menjelaskan konsep nasionalisme Yehuda dalam Kejadian 38:1-30 secara Sosio-
Teologis dan bagian kelima yaitu penutup yang meliputi kesimpulan berupa temuan-temuan
penelitian yang diperoleh dari hasil pembahasan, analisis dan saran berupa kontribusi dan
rekomendasi.
II. Teori Nasionalisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme diartikan sebagai paham atau
ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Selain itu nasionalisme mengandung
makna kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual
bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas,
kemakmuran serta kekuatan bangsa tersebut.8 Kata nasionalisme itu sendiri secara
etimologis, berasal dari bahasa latin yaitu natio yang berarti bangsa yang dipersatukan karena
kelahiran. Kata natio ini berasal dari kata nascie yang berarti dilahirkan. Kata tersebut
memberikan makna sekelompok orang yang berasal dari keturunan dan rumpun yang sama.
Oleh sebab itu, jika makna tersebut dihubungkan secara objektif, maka pada umumnya yang
dikemukakan adalah bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, negara, dan kewarganegaraan.9
J.E. Renan dan Otto Bouwer yang menganut aliran nasionalisme mengungkapkan
bahwa munculnya suatu bangsa atas dasar kemanusiaan. Namun penekanan pada faktor
kemanusiaan tersebut berbeda. Renan menekankan bahwa suatu bangsa hadir karena adanya
suatu dorongan yang kuat untuk bersatu, sedangkan Bouwer menekankan pada kesadaran
akan persamaan nasib yang harus diperjuangkan secara bersama-sama.10
Berbagai upaya dilakukan oleh para ahli untuk menjelaskan definisi mengenai
nasionalisme. Ernest Gellner dalam bukunya “Nation and nationalism” menyatakan bahwa
nasionalisme pertama-tama merupakan suatu prinsip legitimasi politik, yang meyakini bahwa
dalam suatu negara, kesatuan politik dan kesatuan nasional harus berjalan seimbang.
Nasionalisme sebagai sentimen, atau sebagai sebuah gerakan, paling tepat didefinisikan
8 Suharso dan Dra. Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Semarang: Penerbit Widya Karya,
2011), 333. 9Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama (Yogyakarta: PT LKiS
Pelangi Aksara, 2007), 28-29. 10
Hendro Muhaimin et al., Prosiding Kongres Pancasila VI (Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila, 2014),
485.
6
dalam konteks prinsip ini. Sentimen nasionalis adalah rasa marah yang timbul akibat
pelanggaran prinsip ini, atau rasa puas karena prinsip ini dijalankan dengan baik.11
Gellner mendefinisikan gagasan mengenai bangsa dalam dua bagian, diantaranya
yang pertama, bangsa sebagai suatu kondisi di mana dua orang dari bangsa yang sama,
memiliki budaya yang sama, yang mana budaya tersebut mencakup sistem ide, tanda-tanda
(simbol) dan cara bertingkah laku serta berkomunikasi. Kedua, mengakui bahwa mereka
terikat oleh persaudaraan atas dasar kebangsaan.12
Definisi nasionalisme menurut Gellner
didasarkan pada dua hal, yakni negara dan bangsa. Gellner menegaskan bahwa sulit
membayangkan bangsa tanpa negara, maksudnya, bangsa seperti negara sama-sama memiliki
sejarah, Namun bukan sejarah yang sama.13
Dalam menciptakan tipologi nasionalisme, Gellner menggabungkan tiga faktor yaitu
daya, pendidikan, dan budaya bersama. Hal tersebut dikarenakan Gellner melihat, dalam
masyarakat tradisional, kekuasaan disebarkan sedangkan dalam masyarakat modern,
kekuasaan berada di tangan beberapa orang. Menurut Gellner, nasionalisme hanya muncul
dalam situasi perbedaan budaya. Selain itu, nasionalisme juga muncul dari kesadaran
penguasa dan pemerintah mengenai arti pentingnya pendidikan bergaya modern.14
Berdasarkan pandangan Gellner, dapat ditarik kesimpulan bahwa Gellner melihat
nasionalisme sebagai suatu produk dari zaman modern.
Pandangan Gellner mengenai nasionalisme sebagai suatu produk modern dengan
menggabungkan tiga faktor utama dalam menciptakan suatu tipologi nasionalisme, dikritik
oleh Anthony Smith. Dalam bukunya yang berjudul “Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah”,
Smith menegaskan bahwa, nasionalisme atau perasaan kebangsaan sudah terlebih dulu hadir
sebelum lahirnya suatu bangsa. Perasaan kebangsaan itulah yang kemudian mendorong
seseorang atau sekelompok orang untuk membentuk suatu negara. Oleh sebab itu Smith
menjabarkan nasionalisme dalam beberapa pengertian, yaitu suatu proses pembentukan dan
pertumbuhan bangsa, hadir dan dibentuk karena adanya sentimen atau kesadaran memiliki
bangsa. Nasionalisme juga merupakan bahasa dan lambang oleh sebab itu nasionalisme selalu
dikaitkan dengan lambang-lambang seperti bendera serta lagu kebangsaan. Selain itu
11
Ernest Gellner, Nation And Nationalism (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1983), 1. 12
Ibid.,7. 13
Ibid.,5-7. 14
Ibid.,84-95.
7
nasionalisme menurut Smith memiliki makna suatu gerakan sosial-politik serta suatu doktrin
atau ideologi bangsa.15
Pada akhirnya Anthony Smith berpendapat bahwa nasionalisme merupakan suatu
ideologi yang menempatkan bangsa di pusat masalahnya dan berupaya mempertinggi
keberadaannya. Oleh sebab itu perlu adanya sasaran utama bagi nasionalisme dalam
menaikkan derajat bangsa. Sasaran umumnya terdiri dari tiga, diantaranya otonomi nasional,
kesatuan nasional, dan identitas nasional. Smith meyakini bahwa suatu bangsa tidak dapat
menjalankan hidupnya jika tidak terdapat ketiga sasaran ini dalam derajat yang memadai.
Dari pernyataan ini, kemudian muncullah definisi kerja nasionalisme yaitu sebagai suatu
gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan dan identitas bagi
suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu „bangsa‟ yang
aktual atau „bangsa‟ yang potensial.16
Pandangan Smith mengenai nasionalisme didukung oleh Hans Kohn, seorang pakar
nasionalisme menyatakan bahwa semangat nasionalisme sudah hadir sebelum adanya negara.
Hanya saja nasionalisme dalam arti modern baru diakui secara umum pada akhir abad
kedelapan-belas. Kohn mendefinisikan nasionalisme sebagai suatu paham yang menyatakan
bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Namun pada
kenyataannya nasionalisme itu sendiri, tidak sama pada setiap negara dan zaman. Perasaan
mendalam akan sebuah ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-
tradisi setempat serta penguasa-penguasa resmi di daerahnya, selalu ada di sepanjang sejarah
dengan kekuatan yang berbeda-beda. Lebih lanjut, Kohn menjelaskan bahwa sebelum paham
kebangsaan hadir, kesetiaan dari masing-masing individu diserahkan kepada raja dan juga
gereja. Namun pada akhir abad kedelapan-belas, “kesetiaan” tersebut berubah maknanya
menjadi kesetiaan kepada Negara kebangsaan.17
Kesetiaan terhadap negara kebangsaan hadir
karena adanya kesadaran akan identitas kolektif yang berbeda dengan yang lain. Pada
umumnya hal tersebut terjadi karena adanya kesamaan keturunan, bahasa atau kebudayaan.
Namun lebih daripada itu menurut Kohn, unsur terpenting ialah kemauan untuk hidup
bersama secara nyata. Kemauan untuk hidup bersama tersebutlah yang menjadi tujuan dari
nasionalisme yang digambarkan Kohn karena melalui hal tersebut maka terciptalah suatu
penyatuan perbedaan dalam sebuah negara. 18
15
Anthony D. Smith, Nasionalisme: Teori..., 7-10. 16
Ibid., 10-11. 17
Han Kohn, Nasionalisme: Arti...,11. 18
Ibid., 12.
8
Dalam pembahasannya mengenai nasionalisme, Kohn memberikan contoh bangsa
yang diatasnya nasionalisme tumbuh dan berkembang yaitu bangsa Ibrani. Bangsa yang
mempunyai kesadaran identitas yang tegas bahwa bangsa tersebut berbeda dengan yang lain.
Ada tiga ciri khas utama nasionalisme modern yang diwariskan dari bangsa Ibrani, yakni cita
sebagai bangsa yang terpilih, memiliki kenangan masa lampau dan harapan yang sama
dimasa depan, serta keyakinan yang kuat bahwa bangsa Ibrani memiliki tugas khusus
didunia.19
Dengan kata lain, Kohn ingin menegaskan bahwa nasionalisme terbentuk karena
adanya kesadaran nasional. Kesadaran nasional inilah yang kemudian memacu seseorang
atau sekelompok orang untuk membentuk nation dalam arti politik.
Berdasarkan realitas tersebut, Kohn seperti yang dikutip Moesa memilah nasionalisme
menjadi dua yaitu nasionalisme tertutup dan nasionalisme terbuka. Nasionalisme tertutup
memiliki ciri khas antara lain yaitu kebangsaan, kesetiaan politik dan rohani didasarkan pada
karakter bangsa yang asli, seperti asal-usul ras dan darah serta anak dari negeri leluhur
sebagai sesuatu yang paling mendasar. Dalam hal ini, unsur biologis dan historis sangatlah
ditekankan.20
Arthur de Gobineau yang pertama kali menyusun secara sistematis mengenai
nasionalisme biologis. Dalam penjelasannya Gobineau menyatakan bahwa setiap manusia
memiliki perbedaan satu dengan yang lain, oleh sebab itu darah merupakan sesuatu yang
penting dalam sebuah peradaban. Bangsa-bangsa yang tertinggal tidak bisa mencapai
kedudukan atau mutu yang lebih tinggi yaitu sebagai umat yang terpilih. Lebih lanjut
Gobineau menjelaskan bahwa kesanggupan suatu bangsa tergantung pada kemurnian darah.
Oleh sebab itu perkawinan campuran merugikan peradaban.21
Selain nasionalisme tertutup,
Kohn juga menjelaskan mengenai nasionalisme terbuka. Nasionalisme terbuka cenderung
terarah pada kebersamaan dalam relasi-relasi dengan basis suatu masyarakat politis di mana
warga negaranya terlepas dari kategori etnis maupun ras.22
Dengan demikian, pemahaman
nasionalisme yang dipegang oleh Kohn tidak hanya terbatas pada kesamaan suku, budaya,
darah serta keturunan, melainkan lebih luasnya Kohn ingin menyatakan bahwa nasionalisme
bisa tercapai karena adanya keinginan untuk hidup bersama tanpa memandang etnis maupun
ras.
Soekarno seperti yang dikutip Silaban dalam pidatonya mengambil contoh
nasionalisme yang ada di Indonesia. Ada dua hal yang melatarbelakangi munculnya
19
Ibid.,13-14. 20
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai..., 30. 21
Hans Kohn, Nasionalisme: Arti..., 90. 22
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai..., 30.
9
nasionalisme menurut pemikiran Soekarno tersebut, yaitu Adanya keinginan suatu bangsa
untuk melepaskan diri dari penjajahan. Keinginan ini muncul karena adanya perasaan
senasib, sepenanggungan dan sependeritaan di bawah penjajahan bangsa lain. Dengan
demikian, bahwa nasionalisme di Indonesia itu lahir dan berkembang sebagai fenomena yang
menentang penjajahan oleh satu bangsa atas bangsa yang lain. Bagi Soekarno, nasionalisme
merupakan suatu kekuatan besar bagi bangsa-bangsa yang terjajah. Selain itu latarbelakang
munculnya nasionalisme karena adanya rasa persatuan dan cinta tanah air tanpa
mempermasalahkan ataupun menonjolkan perbedaan yang ada dalam masyarakat. 23
Berdasarkan perdebatan para ahli mengenai nasionalisme, peneliti memilahnya dalam
dua kelompok besar, yaitu kelompok yang beranggapan bahwa nasionalisme merupakan
suatu gejala yang lahir pada zaman modern dan kelompok yang beranggapan bahwa
nasionalisme sudah hadir jauh sebelum lahirnya suatu bangsa dan negara. Namun peneliti
dapat menarik kesimpulan dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli tentang
nasionalisme yaitu suatu bentuk rasa cinta seseorang atau sekelompok orang kepada bangsa
dan negaranya. Walaupun nasionalisme merupakan suatu istilah modern namun semangatnya
dapat dirasakan sebelum hadirnya istilah nasionalisme itu sendiri. Hal ini disebabkan karena
nasionalisme merupakan suatu kesadaran individu akan bangsanya karena merasa memiliki
ikataan serta persamaan rumpun, tradisi, budaya, serta bahasa, yang diwujudnyatakan dalam
bentuk cinta serta kesetiaan terhadap bangsanya sendiri. Dalam hal ini, nasionalisme
merupakan sebuah gerakan untuk mempertahankan identitas dari bangsa tersebut. Selain itu,
nasionalisme juga memiliki makna politik, dalam arti selalu dikaitkan dengan kesadaran
individu atau sekelompok orang dalam membentuk negara dan kekuasaan. Hanya saja,
sebagian besar ahli berpendapat bahwa nasionalisme hadir karena adanya persamaan suku,
keturunan, etnis, bahasa, pengalaman, serta masa depan yang sama. Pada akhirnya
pemahaman nasionalisme yang seperti inilah yang kemudian menimbulkan nasionalisme
yang chauvinisme. Sikap kecintaan kepada bangsa atau negara, meninggikan bangsanya dan
merendahkan yang lain.
III. Pendekatan Sosio-Historis Terhadap Kejadian 38:1-30
Kelima kitab pertama dalam Perjanjian Lama merupakan suatu karya yang disebut
“Pentateukh”. Dalam bahasa Yunani, Pentateukh disebut Lima (sarung) gulungan Kitab atau
23
Winer Silaban, “Pemikiran Soekarno Tentang Nasionalisme”, Jurnal Dinamika Politik Vol.1 No.3
(Desember 2012), 3.
10
Torah, sedangkan bahasa Ibrani disebut Instruksi atau Perintah.24
Tokoh utama dalam
sebagian besar kitab-kitab itu adalah Musa. Bahkan tradisi kuno yang dipegang oleh kaum
Yahudi dan Kekristenan meyakini bahwa Lima Kitab tersebut merupakan hasil tulisan Musa.
Pendapat tersebut mulai diragukan kebenarannya oleh seorang dokter Perancis, Jean Astruc.
Meskipun tetap menganggap bahwa Musa sebagai penulis satu-satunya, Astruc berpendapat
bahwa dalam menulis Pentateukh, Musa menggunakan dua sumber besar yang perbedaannya
dapat dilihat melalui penggunaan sebutan-sebutan untuk Allah yaitu Yahweh dan Elohim.
Pandangan Astruc diperluas oleh J.G Eichorn yang menyatakan bahwa Pentateukh bukanlah
ditulis oleh Musa melainkan oleh orang yang tidak diketahui namanya. Sampai pada akhir
abad kesembilan belas, Abraham Kuenen dan Julius Wellhausen berhasil mengembangkan
penyelidikannya terhadap Lima Kitab tersebut. Menurut Kuenen dan Wellhausen, Lima Kitab
pertama dari Perjanjian Lama atau yang disebut Pentateukh terdiri dari empat sumber,
diantaranya sumber Y yang menggunakan nama Yahweh dan berasal dari Selatan (Yehuda);
Sumber E yang menggunakan nama Elohim dan berasal dari Utara (Israel); Sumber D atau
Deuteronomium yang hanya ditemukan dalam kitab Ulangan; Sumber P (Priester Codex)
yang dipelopori oleh para imam 25
Robert B. Coote dan Mary P. Coote menjelaskan, jika sejarah dari keempat sumber ini
dihubungkan satu dengan lainnya, maka sejarah Alkitab paling awal yaitu “Y”. Sejarah “Y”
ditulis di istana Daud untuk menghadirkan sejarah wangsa Daud dari sudut pandang Daud.
Sejarah ini menerangkan bagaimana Yehuda dan Israel dianggap bersatu dibawah
pemerintahan Daud dalam menghadapi ancaman Mesir yang merupakan musuh wangsa
Daud. Ketika orang Israel berada dibawah kepemimpinan Yerobeam, sejarah Israel versi
Daud tetap digunakan, tetapi dengan membuat banyak tambahan ke dalamnya. Tambahan
tersebut disebut “E”. Tambahan penting lainnya datang dari para imam Yerusalem yang di
buang ke Babel dan bait suci Salomo dihancurkan. Tambahan tersebut disebut “P”. Lebih
lanjut Coote dan Coote menambahkan bahwa Tetrateukh (Kejadian, Keluaran, Imamat,
Bilangan) yang berisi pembenaran-pembenaran dari tiga penguasa yang saling tumpang
tindih, yakni Daud, Yerobeam, dan para imam, menjadi Pentateukh ketika kitab Ulangan atau
Deuteronomium dimasukkan, didalamnya.26
3.1 Sumber Y
24 C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1979), 84-85.
25 J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 17.
26 Robert B. Coote & Mary P. Coote, Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab: Suatu Pengantar
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 8-9.
11
Sumber Y merupakan sumber tertua dan yang paling besar memberikan kontribusi
dalam pentateukh dibandingkan sumber-sumber yang lain dan dapat ditemukan dalam kitab
Kejadian, Keluaran, dan Bilangan.27
Dalam menyapa Allah Israel, penulis sumber ini
menggunakan nama Yahweh. Oleh sebab itu, penulis yang tidak diketahui namanya dikenal
sebagai J atau Yahwist. J berasal dari ejaan Jerman yakni Jahweh atau Jahwist. J ditulis di
Yehuda dan menekankan peran sentral Yehuda di antara suku-suku lain di Israel.28
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa J atau Y memiliki makna ganda, yaitu
mengacu pada nama yang disukai oleh Allah yaitu Yahweh dan kepada suku yang lebih
disukai yaitu Yehuda.
Sumber Y menekankan pada pemusatan kekuasaan suku-suku Israel dibawah
pemerintahan Daud dan keturunannya di Kerajaan Selatan (Yehuda).29
Pandangan sumber Y
yang terpenting adalah pemanggilan Yahweh kepada Abraham untuk menjadi bangsa yang
besar dan akan mendiami negeri yang telah dijanjikan Yahweh kepadanya. Pemanggilan ini
bertujuan agar melalui Abraham, semua bangsa di dunia akan mendapat berkat. Oleh sebab
itu maka kelahiran bangsa Israel, sebagaimana terungkap dalam cerita-cerita kelahiran Ishak,
Yakub serta kelepasan dari Mesir sangat ditekankan.30
Konsep Israel sebagai umat pilihan
yang diberkati Yahweh, menurut Coote dan Ord dikembangkan oleh Daud karena pada saat
itu Mesir merupakan ancaman terbesar bagi Kerajaan Daud.31
Dengan demikian, cerita
tersebut harus dikembangkan, dengan menempatkan Mesir pada posisi yang dikutuk dan
Israel pada posisi yang diberkati. Tujuannya untuk meyakinkan rakyat, terutama para
pemimpin (syeikhs) agar tidak khawatir terhadap ancaman yang datang dari Mesir.32
Berkaitan dengan konsep terkutuk dan diberkati, pokok perhatian lainnya yang juga
disoroti oleh penulis Y ialah mengenai jodoh atau perkawinan. Untuk mencapai tujuannya
sebagai raja yang berkuasa, Daud mengawini istri-istri dari musuhnya yang telah ia bunuh
dan pada akhirnya Daud berhasil membangun aliansi, salah satunya ialah Abigail, istri dari
Nabal. Sikap Daud dalam menjadikan perkawinan sebagai upaya untuk membangun aliansi,
dibenarkan oleh peneliti Y. Bahkan berkaitan dengan perkawinan, peneliti Y memilahnya
dalam dua sifat, yaitu perkawinan yang terkutuk dan yang diberkati. Generasi terkutuk
27
Robert B. Coote, David Robert Ord, Sejarah Pertama Alkitab – Dari Eden hingga Kerajaan Daud
Berdasarkan Sumber Y (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2015), 16. 28
Norman K, Gottwald, The Hebrew Bible- A Socio Literary Introduction, (Philadelphia: Fortress Press,
1987), 137. 29
Ibid., 137. 30
J.Blommendaal, Pengantar..., 18. 31
Robert B. Coote, David Robert Ord, Sejarah..., 79. 32
Ibid., 91.
12
menurut Coote dan Ord ialah generasi yang hadir sebelum air bah, yang mana laki-laki bebas
memilih istri sesuai dengan keinginannya. Sangat kontras dengan generasi yang diberkati.
Dalam generasi yang diberkati, Abram yang memilih Ribka untuk Ishak, ia memintanya dari
Yahweh. 33
Melalui konsep perkawinan inilah tergambar dengan jelas bahwa konsep utama
dalam Y adalah diberkati dan dikutuk. Daud berasal dari latarbelakang keluarga dan garis
keturunan yang diberkati, oleh sebab itu perkawinan Daud bukan seperti perkawinan raja-
raja yang terkutuk, dalam hal ini Mesir yang menjadi ancamannya saat itu, melainkan Daud
diberkati bersama istri-istrinya oleh Yahweh.
Mengenai waktu penulisan sumber Y, masih terdapat perdebatan dikalangan para ahli
Alkitab. M. Grant menyatakan bahwa ada kemungkinan sumber Y ditulis pada masa
pemerintahan Salomo.34
Berbeda dengan Grant, Gottwald meyakini bahwa sumber Y ditulis
kira-kira tahun 960-930 Sebelum Zaman Bersama (SZB) dan diperkirakan berasal dari
kerajaan Selatan (Yehuda) pada masa pemerintahan Daud dan Salomo. Sumber Y
diperkirakan ditulis pada masa kemerdekaan suatu bangsa, dilihat dari syair “kepahlawan
nasional” yang diciptakan peneliti bagi kerajaan Daud dan Salomo. 35
Pertimbangan terbesar
yang diungkapkan Wahono bahwa tulisan-tulisan dalam sumber Y mencerminkan adanya
kesatuan, keteguhan dan kepercayaan serta kepenuhan nasional. Keadaan seperti itu hanya
bisa terjadi dalam masa pemerintahan Daud dan Salomo, ketika seluruh Israel bergabung
menjadi satu dalam Israel Raya.36
Berbeda dengan itu, Coote dan Ord yang meyakini bahwa
sumber ini bukan berasal dari zaman pemerintahan Salomo, melainkan Daud. Y ditulis pada
masa berdirinya kerajaan Daud dan kemungkinan besar Y didukung oleh seorang penguasa
dinasti Daud yang ada di Yerusalem, dengan tujuan untuk menjustifikasi sebuah dinasti
Kerajaan dalam hubungan dengan ideologi dan tradisi kesukuan Israel.37
Coote dan Ord
menambahkan alasan sumber ini ditulis pada masa pemerintahan Daud karena konsep
penyatuan yang ada dalam sumber Y bukanlah konsep penyatuan suatu kerajaan yang pernah
terpecah. Selain itu sumber Y menyiratkan adanya permusuhan dengan Mesir, sedangkan
pada zaman Salomo, Mesir bukanlah suatu ancaman. Dalam sumber Y, penekanan tentang
pentingnya identitas suku sesuai dengan pemerintahan Daud, yang mencoba untuk tetap
33
David Robert Ord, Robert B. Coote, Apakah Alkitab Benar? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 88.
Bdk. 1 Samuel 25:2-44, Kejadian 6:1-8. 34
Michael Grant, The History of Ancient Israel (New York: Charles Scribner‟s Sons, 1984), 96. 35
Norman K, Gottwald, The Hebrew...,137. 36
S. Wismoady Wahono, Disini Kutemukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 61-62. 37
Robert B. Coote, David Robert Ord, Sejarah...,16.
13
mempertahankan serta memelihara identitas suku pada masa pra-monarki, sedangkan Salomo
tidak.38
Coote dan Ord menjelaskan bahwa sumber Y merupakan hasil dari tradisi kota besar
atau great tradition yang secara optimis menggambarkan perkembangan sistem pemerintahan
monarki dan menujukkan peran penting kaum elit kerajaan dalam sistem sosial politik.
Penulisan sumber Y juga menunjukkan bahwa dalam semangat nasionalisme yang dibangun
oleh Daud, terdapat sejarah nasional Israel yang disusun untuk melegitimasi terbentuknya
pemerintahan Daud dan keturunannya dalam mensentralisasikan sistem politik dan
melakukan berbagai perubahan baik di dalam bidang sosial, ekonomi, maupun keagamaan.39
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka dapat disimpulkan seperti
yang dikemukakan oleh Grant, Gottwald, dan juga Wahono bahwa dilihat dari tulisan-tulisan
yang ada dalam sumber Y memang menyiratkan adanya kesatuan dan keutuhan suatu bangsa
tanpa ada perpecahan. Namun kesimpulan seperti itu tidak cukup membuktikan bahwa
sumber Y ditulis pada masa Daud dan Salomo. Grant, Gottwald dan juga Wahono
mengabaikan bukti penting yang dapat menjelaskan mengenai kapan waktu yang tepat dan
pada masa pemerintahan siapa sumber ini di tulis. Pertimbangan lain yang harus diperhatikan
adalah bagaimana cara Daud membangun hubungan kerja sama antara Israel dengan bangsa-
bangsa lain. Pada zaman Salomo, Mesir bukanlah suatu ancaman bagi Salomo dan
kerajaannya karena Salomo membangun hubungan kerja sama dengan Mesir, dengan
menikahi putri Firaun. Hal ini berbeda dengan penulisan sumber Y yang menyatakan bahwa
musuh utama yang disoroti dalam Y adalah Mesir sama seperti Daud dalam
pemerintahannya.
Selain itu penyatuan, pemeliharaan serta upaya mempertahankan identitas suku dalam
Y sangatlah ditekankan dan itu hanya terjadi pada masa pemerintahan Daud dalam upaya
mendukung legitimasi kekuasaannya. Berbeda dengan Salomo yang melakukan perubahan
besar sehingga menyebabkan suku-suku tersebut memilih untuk berpisah.
3.2 Yehuda dan Tamar dalam Kejadian 38:1-30
Menurut Lasor (2008) kitab Kejadian dalam bahasa Ibrani disebut beresyit (pada
mulanya), yaitu kata pembuka dalam kitab tersebut. Kitab Kejadian menjelaskan mengenai
permulaan segala sesuatu. Berdasarkan isinya, kitab ini terbagi dalam dua bagian besar yaitu
38
Ibid., 83. 39
Ibid., 46-51.
14
bagian pertama yang dimulai dari fasal 1-11 yang menceritakan mengenai sejarah zaman
permulaan. Sedangkan fasal 12-50 menceritakan mengenai asal mula sejarah keselamatan
Yahweh atas para bapak leluhur yaitu Abraham, Ishak dan Yakub serta janji-Nya tentang
tanah dan keturunan.40
Dalam kedua bagian besar inilah kitab Kejadian disusun. Kisah- kisah
sebelum pemanggilan Abraham yang dimulai dengan kisah penciptaan alam semesta, awal
mula kehidupan manusia, kisah Nuh yang menceritakan bagaimana Allah memusnahkan
manusia dengan air bah dan menyelamatkan nuh beserta keluarganya dan berakhir pada kisah
menara Babel sebagai lambang kesombongan manusia. Kisah ini dilanjutkan kembali dengan
menceritakan pemanggilan Allah atas diri para bapak leluhur yaitu Abraham, Ishak, Yakub
dan keturunannya khususnya Yehuda dan Yusuf.
Berdasarkan pembagiannya, Gottwald menjelaskan bahwa Kejadian 38:1-30 berada
dalam lingkup Kejadian 12-50 tentang sejarah para leluhur Israel dan juga termasuk dalam
sumber Y. 41
Tema besar yang dipilih untuk kisah yang terdapat dalam Kejadian 38:1-30
menurut Coote dan Ord adalah “Sebelah Barat Eden”. Tema besar ini merupakan satu
kesatuan dari sebagian kisah Yusuf yang berasal dari tradisi J/Y dan dimulai dari Kejadian
37:1-41:56.42
Sama halnya dengan Coote dan Ord, Gottwald juga memasukkan kisah ini
dalam kisah-kisah Yusuf dan diberikan tema Yehuda dan Tamar.43
Kesatuan cerita Yehuda
dengan cerita Yusuf seakan-akan menyiratkan bahwa kisah-kisah ini memiliki kaitan satu
dengan lainnya.
Penyatuan kisah Yehuda dan Yusuf menimbulkan perdebatan dikalangan para ahli
karena kisah ini berada ditengah-tengah narasi yang melukiskan perjalanan dan karir Yusuf di
Mesir. Seperti yang diketahui, Yehuda dalam catatan sejarah bangsa Israel merupakan tokoh
terkemuka dalam keluarga Yakub karena nama Yehudalah yang kemudian berada dalam
garis keturunan Daud. Coote dan Ord melihat kisah-kisah ini sebagai satu episode yang
mencakup kisah rekonsiliasi dari anak-anak Israel sebagai sejarah tentang Yehuda dan Yusuf
yang nantinya akan melibatkan entitas dalam membentuk satu kesatuan Israel. Lebih lanjut
Coote dan Ord mengatakan bahwa kisah Yehuda yang ditempatkan ditengah-tengah kisah
Yusuf juga menyangkut masalah penguasa siapa yang akan menang, apakah penguasa dari
pegunungan Yehuda atau penguasa dari pegunungan Utara.44
40
LaSor, W.S., et.al, Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2008), 111. 41
Norman K, Gottwald, The Hebrew..., 151-152. 42
Robert B. Coote, David Robert Ord, Sejarah..., 308. 43
Norman K. Gottwald, The Hebrew..., 152. 44
Robert B. Coote, David Robert Ord, Sejarah..., 308-310.
15
Setelah kisah Yusuf yang dijual saudara-saudaranya, sosok Yehuda muncul dalam
Kejadian 38:1-30 dengan kisah yang berbeda. Dalam kisah ini, Yehuda meninggalkan
saudara-saudaranya dan tinggal bersama seorang laki-laki yang bernama Hira, seorang
Adulam. Disitu Yehuda melihat anak perempuan dari seorang Kanaan bernama Syua.
Yehuda kawin dengan perempuan itu dan bersetubuh dengannya, kemudian melahirkan tiga
anak laki-laki yang diberi nama Er, Onan dan Syela. Syuah melahirkan ketiga anaknya
disebuah tempat yang bernama Kezib. Jika dikaitkan dengan pandangan Coote dan Ord
mengenai nama dari anak-anak lelaki Yehuda yang dilahirkan dari seorang perempuan
Kanaan, maka jelaslah bahwa anak pertama Yehuda yaitu Er, merupakan kata yang dipakai
oleh Y untuk menyebut kota (Ir). Nama Er juga terkait dengan beberapa istilah yang
digunakan dalam kebudayaan saat itu untuk menunjuk pada impotensi dan potensi. Menurut
Coote dan Ord, permainan kata yang dipakai dalam Y menyangkut kedua kota dan potensi
cukup sejalan dengan yang digambarkan Y mengenai garis keturunan Kain dan Ham yaitu
garis keturunan yang dikutuk. Anak kedua Yehuda yaitu, Onan, namanya menjadi referensi
terselubung terhadap potensi reproduksi. Anak ketiga Yehuda yaitu, Syela, menurut Coote
dan Ord nama Syela atau Selah membuat dia seorang yang penuh damai tetapi makna
sebenarnya dari nama ini tidak begitu jelas. Sebagai seorang Ayah, Yehuda
bertanggungjawab memilihkan istri bagi anak-anaknya. Yehuda memilih Tamar untuk Er.45
Penulis teks ini memberikan penjelasan mengenai garis keturunan Yehuda yang
terancam punah karena tidak mendapatkan keturunan dari anak-anak yang dilahirkan oleh
seorang perempuan Kanaan. Ketika Er menikahi Tamar, Er melakukan hal yang jahat dimata
Yahweh oleh sebab itu Er dimusnahkan oleh Yahweh. Coote dan Ord mengatakan bahwa
Yahweh tidak menyukai Er karena Er merupakan anak pertama dari seorang kanaan dan
pemegang nama dari generasi terkutuk. Akhirnya Er mati tanpa meninggalkan keturunan. Hal
yang sama juga terjadi kepada Onan. Menurut hukum Ibrani, seorang laki-laki diwajibkan
menikahi istri dari saudaranya yang meninggal agar dapat meneruskan keturunan dari
saudaranya. Onan menikahi Tamar dan berhubungan intim dengannya tetapi melakukan
senggama terputus karena Onan takut anak yang akan dilahirkan nanti bukanlah ahli warisnya
melainkan ahli waris Er. Coote dan Ord mengatakan bahwa Onan melakukan hal yang tidak
disukai oleh Yahweh yaitu mencoba mengontrol reproduksi keluarga.46
Satu-satunya yang
tersisa ialah Syela. Dalam Kejadian 38 dikatakan bahwa Yehuda tidak rela anak laki-lakinya
45
Ibid., 316-319. 46
Ibid., 319-320.
16
mengalami hal yang sama, oleh sebab itu Syela tidak diberikan kepada Tamar. Hal ini
berbeda dengan yang diungkapkan dalam “Testament of The Twelve Patriachs”. Penyebab
Yehuda tidak menyerahkan Syela kepada Tamar karena istrinya tidak menyukai Tamar yang
bukan berasal dari Kanaan sepertinya melainkan berasal dari Aram, Mesopotamia.47
Pada
akhirnya Tamar tidak mendapatkan keturunan dari Er, Onan, dan Syela melainkan dari
Yehuda yang adalah mertuanya serta melahirkan dua anak laki-laki, yaitu Zerah dan Peres.
Peres yang kemudian menjadi nenek moyang dari Daud. Coote dan Ord melihat kisah ini
sebagai sebuah pembenaran bahwa Daud merupakan raja yang berasal dari garis keturunan
yang diberkati yaitu garis keturunan Sem, daripada mencampurnya dengan garis Kanaan,
melalui istri Yehuda.48
Berdasarkan pandangan Coote dan Ord serta “Testament of The
Twelve Patriachs”, perlu bagi kita untuk mencari tahu asal-usul dari Tamar.
Dalam Kejadian 38, garis keturunan dari menantu perempuan Yehuda atau ibu anak-
anaknya, Tamar, tidak begitu jelas walaupun tampaknya ia memiliki keluarga di Kanaan
dengan menyinggung tempat tinggal ayahnya. Hal tersebut secara tidak langsung ingin
menyatakan bahwa Tamar bukan bagian dari keluarga Abraham di Mesopotamia.49
Tradisi
kuno juga meyakini bahwa Tamar adalah seorang perempuan Kanaan sama seperti Syua,
istri Yehuda, akan tetapi kitab Yobel dengan tegas menyatakan bahwa Tamar adalah seorang
Aram, dari Mesopotamia.50
Menurut “Testament of The Twelve Patriachs”, asal-usul dari
Tamar yang adalah seorang Aram, Mesopotamia yang menjadi penyebab mengapa Tamar
tidak mendapatkan keturunan dari Er.51
Berdasarkan pandangan dari para ahli mengenai asal-
usul Tamar, ada dua klaim yang peneliti dapatkan mengenai Tamar. Pertama, Tamar adalah
seorang perempuan Kanaan; dan kedua Tamar adalah seorang perempuan Aram dari
Mesopotamia. Mengenai pentingnya asal-usul serta peran Tamar dalam cerita ini, belum
diketahui dengan jelas. Namun dengan menempatkan Tamar sebagai tokoh utama dalam
47
Philip F. Esler, Sex, Wives, and Warriors: Reading Old Testament Narrative with Its Ancient Audience
(Cambridge: Casemate Publishers, 2012), 97. 48
Robert B. Coote, David Robert Ord, Sejarah..., 323-324. 49
David J. Zucker and Moshe Reiss, “Righting and Rewriting Genesis 38: Tamar and Judah in the
Pseudepigrapha”, Biblical Theology Bulletin , Vol. 45 Number 4 (2015), 195. 50
Rabbi Jeffrey K. Salkin, Righteous Gentiles In The Hebrew Bible: Ancient role models for sacred
relationship (Woodstock, Vermont : Jewish Light Publishing, 2008), 23. Kitab Yobel termasuk dalam kitab
pseudopigraf. Kitab ini berisi sejarah dunia serta membagi sejarah dunia atas periode Yobel. Dalam kitab ini
terdapat sejarah dahulu kala sampai pada keluaran dari Mesir, seperti yang terdapat dalam kitab Kejadian dan
Keluaran. Baca J.Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008),
175. Selain kitab Yobel, buku yang berisi kesaksian Yehuda (Testament of Judah 10:1-11:5) menjelaskan bahwa
Tamar berasal dari Mesopotamia, anak perempuan Aram. Lihat Esther Marie Menn, Judah and Tamar (Genesis
38) in Ancient Jewish Exegesis: Studies in Literary Form and Hermeneutics (Leiden, Netherland: BRILL,
1997), 143. 51
Philip F. Esler, Sex..., 97.
17
membangun sebuah nasionalisme dalam Kejadian 38:1-30, tidak terlepas dari pentingnya
asal-usul Tamar baik sebagai perempuan Kanaan maupun perempuan Mesopotamia dalam
memberikan kontribusi bagi sebuah nasionalisme yang dibangun oleh Yehuda.
Peneliti juga melihat cerita cerita Tamar dalam kerangka sumber Y yang memegang
konsep bangsa yang diberkati dan bangsa yang dikutuk. Pentingnya Tamar dalam Kejadian
38:1-30 untuk mendukung konsep utama dari sumber Y. Jika Tamar adalah seorang
perempuan Aram dari Mesopotamia, maka secara langsung penulis sumber Y ingin memberi
kesan bahwa Tamar merupakan anak dari keturunan yang diberkati sama seperti Yehuda.
IV. Analisa Konsep Nasionalisme Yehuda Dalam Kejadian 38:1-30
Nasionalisme merupakan bentuk rasa cinta seseorang atau sekelompok orang kepada
bangsa dan negaranya. Hal ini muncul karena adanya kesadaran akan identitas bersama yang
harus diperjuangkan. Identitas bersama tersebut pada umumnya dikaitkan dengan persamaan
nasib, suku, darah bahkan keturunan. Berkaitan dengan nasionalisme, teks Kejadian 38:1-30
secara eksplisit tidak menjelaskan mengenai konsep nasionalisme yang dibangun dalam kisah
ini, namun secara implisit konsep nasionalisme nyata melalui kisah ini.
Kisah Yehuda dan Tamar dalam Kejadian 38:1-30 merupakan suatu kisah yang
menarik, karena penulis kisah ini menempatkan Tamar sebagai salah satu tokoh utama yang
memainkan dua peranan penting dalam mendukung alur ceritanya. Tidak bisa dipungkiri
bahwa kisah yang menceritakan mengenai kehidupan keluarga Yehuda merupakan bentuk
nyata dari strategi Yehuda dalam membangun suatu nasionalisme bagi bangsanya.
Berdasarkan silsilah keluarga dalam konteks cerita ini, Yehuda merupakan anak
keempat Yakub. Yehuda berasal dari garis keturunan Abraham yang adalah bapak leluhur
bangsa Israel. Dalam cerita Y, Abraham adalah bapak leluhur yang menerima janji Yahweh
mengenai berkat bagi Abraham dan keturunannya. Namun yang menjadi permasalahannya,
keturunan yang akan menerima berkat tersebut adalah keturunan yang diberkati dan tidak
bercampur dengan keturunan dari bangsa lain. Oleh sebab itu dalam tradisi bangsa Israel
perkawinan campuran dengan bangsa lain, salah satunya Kanaan, akan menyebabkan
hilangnya berkat Yahweh atas keturunan Abraham.52
Hal ini sesuai dengan apa yang
dijelaskan oleh Coote dan Ord bahwa konsep bangsa yang diberkati dan bangsa yang dikutuk
menjadi penekanan utama dalam keseluruhan cerita Y. Salah satu bangsa yang dikutuk ialah
52
Thomas O. Lambdin, Introduction..., 114. Band. Ulangan 7:3 ; Yosua 23:12-13.
18
Kanaan, karena Kanaan berasal dari garis keturunan Ham yang dikutuki oleh ayahnya, Nuh.53
Jelaslah bahwa konsep bangsa yang diberkati dan bangsa yang dikutuk inilah yang kemudian
mempengaruhi seluruh cerita dalam sumber Y dan menjadi bagian penting dalam mendukung
nasionalisme Yehuda.
Kisah ini dibagi dalam dua bagian. Bagian yang pertama penulis Y dengan jelas
menggambarkan kisah Yehuda bersama perempuan Kanaan, Syua yang melahirkan tiga anak
laki-laki namun tidak menghasilkan keturunan baginya. Sedangkan bagian yang kedua
mengenai keturunan Yehuda lahir dari seorang perempuan bernama Tamar. Kisah ini
menghadirkan dua perbedaan yang berkaitan dengan asal-usul dari dua perempuan yang
namanya dimasukkan dalam teks ini. Perempuan yang pertama bernama Syua dan berasal
dari Kanaan dengan perempuan kedua yang bernama Tamar. Para ahli memperdebatkan
mengenai asal-usul dari Tamar. Klaim yang pertama, Tamar adalah seorang perempuan
Kanaan sama seperti Syua dan klaim yang kedua, Tamar adalah seorang perempuan Aram
dari Mesopotamia.54
Mesopotamia merupakan daerah asal dari bapak leluhur Israel yaitu
Abraham. Jika perbedaan dari kedua perempuan ini dikaitkan dengan tema besar Y dan
perdebatan para ahli mengenai asal-usul Tamar, maka klaim yang pertama mengenai Tamar
tidak bisa benarkan. Hal ini sangat wajar jika anak-anak Yehuda dari Syua tidak memiliki
keturunan karena Y ingin menegaskan bahwa mereka berasal dari keturunan Kanaan yaitu
keturunan yang dikutuk, berbeda dengan Tamar. Yehuda mendapatkan keturunan dari Tamar
karena mereka berasal dari garis keturunan murni, yaitu garis keturunan Abraham. Penulis Y
sengaja menempatkan Tamar untuk menjadi perbandingan antara bangsa yang diberkati dan
bangsa yang dikutuk serta perbandingan antara garis keturunan murni dan tidak.
Jika cerita Y mengenai Yehuda dan Tamar ini dikaitkan dengan nasionalisme maka
jelaslah bahwa konsep nasionalisme Yehuda dalam Kejadian 38:1-30, pertama-tama
dibangun atas dasar persamaan khususnya keturunan. Penulis Y merangkumnya dalam tema
bangsa yang diberkati dan bangsa yang dikutuk bahkan menempatkan Tamar dengan tujuan
agar kemurnian garis keturunan dari Yehuda tetap terjaga.
Dalam hal ini bentuk nasionalisme yang muncul dalam cerita ini adalah nasionalisme
biologis, seperti yang dikemukakan oleh Gobineau bahwa menjaga kemurnian darah
merupakan hal mendasar yang harus diperhatikan dalam setiap peradaban manusia. Oleh
53
Robert B. Coote, David Robert Ord, Sejarah..., 79. Band. Kejadian 9:25. 54
Ibid., 323-324. Lihat juga David J. Zucker and Moshe Reiss, “Righting and Rewriting Genesis 38:
Tamar and Judah in the Pseudepigrapha”, Biblical Theology Bulletin , Vol. 45 Number 4 (2015), 195.
19
karena itu perkawinan campuran dapat mengakibatkan kerugian dalam suatu peradaban.55
Berdasarkan pemahaman Gobineau, dapat dikatakan bahwa keturunan campuran antara
Yehuda dengan perempuan Kanaan dapat merusak peradaban bangsa khususnya bangsa
Israel. Pemahaman seperti ini dipandang sebagai suatu nasionalisme tertutup oleh Kohn,
karena nasionalisme seperti ini menyebabkan kesetiaan politik dan rohani serta semangat
kebangsaan dari masing-masing individu hanya didasarkan pada karakter bangsa yang asli
seperti asal-usul, ras dan darah serta anak dari negeri leluhur seperti Tamar yang berasal dari
Aram, Mesopotamia.56
Bentuk nasionalisme seperti ini hanya akan menjadikan seseorang
atau sekelompok orang mengagung-agungkan bangsanya dan merendahkan bangsa lain
seperti dalam cerita ini.
Meskipun demikian cerita ini lebih difokuskan pada menjaga identitas bangsa
berdasarkan garis keturunan dan kemurnian darah. Mengingat teks ini ditulis dalam tradisi
Y, yang mengandaikan adanya kesatuan dan semangat nasionalisme dari setiap suku Israel
dibawah pemerintahan Daud dalam kerajaan Israel Raya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh
Kohn bahwa sebelum paham kebangsaan hadir, kesetiaan dari masing-masing individu
diserahkan kepada raja. Oleh karena itu kisah ini dibuat untuk melegitimasi terbentuknya
pemerintahan Daud sebagai raja yang berasal dari keturunan yang diberkati oleh Yahweh dan
tidak bercampur dengan keturunan dari bangsa lain yaitu Kanaan, mengingat Daud berasal
dari suku Yehuda dari garis keturunan Abraham. Dalam pemerintahannya Daud berusaha
untuk menyatukan, memelihara serta mempertahankan identitas sukunya, salah satunya
dengan membuat cerita seperti dalam Kejadian 38:1-30. Upaya untuk mempertahankan
identitas menurut Smith berperan sentral karena suatu bangsa tidak dapat berjalan dengan
baik jika tidak memiliki tiga sasaran yaitu otonomi nasional, kesatuan nasional serta identitas
nasional.57
Hanya saja, identitas nasional akan sulit dibangun jika masing-masing suku
menganggap identitas sukunya lebih unggul dari yang lain.
Lebih lanjut asal-usul Tamar sebagai perempuan Aram, Mesopotamia dalam
teks ini menurut Y selain memperlihatkan kemurnian garis keturunan Yehuda, asal-usul
Tamar juga mendukung tujuan politik Daud. Di bawah tema besar sumber Y yaitu bangsa
yang diberkati dan bangsa yang dikutuk, ancaman utama yang muncul dalam masa
pemerintahan Daud sebagai raja dalam kerajaan Israel Raya ialah Mesir. Bukan hanya Daud
yang merasa terancam, melainkan para syeikh (kepala suku) juga merasakan hal yang sama.
55
Hans Kohn, Nasionalisme: Arti..., 90. 56
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai..., 30. 57
Anthony D. Smith, Nasionalisme: Teori..., 7-10
20
Oleh sebab itu dalam keseluruhan cerita Y, Mesir diberi gelar sebagai bangsa yang dikutuk,
demikian sebaliknya Israel adalah bangsa yang diberkati.58
Perasaan terancam yang dirasakan
oleh Daud dan para syeikh menghadirkan keinginan untuk bebas dari rasa keterancaman
bangsa lain. Keinginan tersebut diwujudkan dalam suatu nasionalisme yang oleh Smith
merupakan ideologi yang menempatkan bangsa di pusat masalahnya.59
Menurut Otto Bouwer, suatu nasionalisme dapat muncul karena adanya keinginan
untuk bersatu atas dasar kemanusiaan. Keinginan ini muncul karena adanya kesadaran
individu atau sekelompok orang untuk memperjuangkan nasib bersama.60
Upaya
memperjuangkan nasib bersama ditemukan melalui kehadiran Tamar dalam teks Kejadian
38:1-30.
Sebagai seorang Mesopotamia yang juga berasal dari garis keturunan yang sama,
Yehuda dan Tamar memiliki sejarah masa lalu yang sama. Selain itu, kehadiran Tamar
sebagai seorang perempuan Aram, Mesopotamia menjadi pendukung utama dalam upaya
membangun nasionalisme Yehuda dalam tradisi Y. Mengingat pada masa pemerintahan
Daud, Mesopotamia merupakan penyedia kereta perang.61
Hal ini mengindikasikan bahwa
Mesopotamia merupakan lawan yang setara jika dihadapkan dengan Mesir. Berada dalam
posisi yang terancam, Daud dan juga para syeikh memiliki keinginan untuk melepaskan diri
dari keterancaman. Seperti yang diungkapkan oleh Soekarno bahwa rasa nasionalisme
muncul karena adanya perasaan senasib, sepenanggungan dan sependeritaan yang dilakukan
oleh bangsa lain terhadap diri mereka.62
Hanya saja penekanan utama dari Soekarno lebih
kepada persatuan dan cinta tanah air tanpa mempermasalahkan perbedaan yang ada. Namun,
hal ini berbeda dengan kehadiran Tamar sebagai seorang Mesopotamia yang digunakan untuk
mendukung legitimasi politik Daud yang berasal dari Yehuda untuk membangun hubungan
kerjasama dengan Mesopotamia sebagai daerah yang memiliki kekuatan yang besar dalam
mengalahkan Mesir. Nasionalisme Daud jika dilihat dari sudut pandang Gellner, maka secara
konkret dapat dikatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu bentuk legitimasi politik.63
Dengan demikian konsep nasionalisme yang dibangun Yehuda dalam Kejadian 38:1-
30 dapat dipahami dalam hubungan Yehuda dan Tamar yang berasal dari garis keturunan
murni serta memiliki identitas yang sama. Kisah ini oleh sumber Y dipakai untuk
58
Robert B. Coote, David Robert Ord, Sejarah..., 79. 59
Anthony D. Smith, Nasionalisme: Teori..., 10-11 60
Hendro Muhaimin et al., Prosiding ..., 485. 61
Mesopotamia dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid 2 (Jakarta: LAI, 2005). 76. 62
Winer Silaban, Pemikiran ...,3. 63
Ernest Gellner, Nation ...,1
21
membangun semangat nasionalisme dalam masa pemerintahan Daud yang berasal dari suku
Yehuda, untuk menegaskan bahwa Daud merupakan raja yang dipilih oleh Yahweh karena
Daud berasal dari garis keturunan yang murni. Identitas suku benar-benar dipertahankan
melalui cerita ini. Selain itu, hal ini didukung oleh adanya kesadaran bahwa mereka memiliki
nasib yang sama dan sepenanggungan dalam situasi tersebut. Oleh karena itu secara strategis,
kisah ini dipakai untuk menghadirkan rasa persatuan karena ikatan suku, keturunan dan darah
serta didukung oleh kekuatan dari bangsa tersebut untuk melawan tekanan yang datang dari
Mesir.
Hanya saja, dalam membangun nasionalismenya, Daud melalui penulis Y
menggunakan Yehuda dan Tamar untuk melegitimasi pemerintahan Daud. Sumber Y
menekankan nasionalisme hanya sebatas persamaan suku, keturunan dan darah. Hal ini
berarti bahwa nasionalisme yang dibangun dalam kerangka berpikir Y merupakan
nasionalisme tertutup. Dengan kata lain, sikap cinta kepada bangsa dan tanah
tumpahdarahnya secara berlebihan dapat menyebabkan nasionalisme yang chauvinisme
sehingga menganggap bangsa lain sebagai musuh yang harus dihancurkan dan dimusnahkan.
Pandangan nasionalisme seperti ini, hanya akan melahirkan sikap yang eksklusif terhadap
bangsa lain, berbeda dengan pandangan nasionalisme yang dipahami oleh para ahli yang
memandang bahwa meskipun nasionalisme pada masing-masing tempat dan zaman berbeda,
identitas manusia dalam suatu bangsa harus dipertahankan sebagai suatu warisan sejarah
tanpa merendahkan warisan sejarah dari bangsa lain.
Karena konteks nasionalisme sumber Y ditulis dalam kerangka berpikir pembentukan
suatu bangsa (negara) yang sedang berjuang dalam menghadapi ancaman dan tekanan dari
Mesir, hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Daud secara politis untuk meyakinkan para
syeikh dalam membentuk suatu bangsa yang dinamakan Israel dibawah kepemimpinannya.
Hal ini berbeda dengan beberapa konteks penekanan para ahli terhadap klaim
nasionalisme yang lebih menitikberatkan pada nasionalisme merupakan warisan sejarah yang
harus dipertahankan tanpa menghancurkan dan meniadakan warisan sejarah dari suku yang
lain.
V. Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nasionalisme
yang dibangun melalui cerita Yehuda dan Tamar dalam Kejadian 38:1-30 merupakan
nasionalisme yang didasarkan pada kesamaan suku, identitas, perasaan senasib dan
22
sepenanggungan dalam upaya membebaskan diri dari perasaan terancam dan tekanan dari
Mesir serta upaya untuk mempertahankan kemurnian garis keturunan. Konsep nasionalisme
seperti ini secara politis dipakai Daud untuk kepentingannya sebagai raja dalam kerajaan
Israel Raya.
Hal ini berbeda dengan pemahaman dari para ahli khususnya yang menekankan pada
konteks sejarah masing-masing suku. Sejarah dari masing-masing suku tidak menjadi
patokan utama dalam membentuk suatu bangsa atau negara. Sikap terbuka dan menerima
serta menghargai sejarah dari masing-masing suku serta tetap mempertahankan identitas
sukunya sebagai suatu warisan sejarah, merupakan faktor pendukung dalam membangun
sebuah nasionalisme dalam suatu bangsa atau negara.
23
Daftar Pustaka
Adisusilo, Sutarjo. “Nasionalisme Demokrasi Civil Society”. Jurnal Iman, Ilmu,
Budaya 3, no. 4 (September 2002)
Coote, Robert, David Robert Ord. Sejarah Pertama Alkitab : Dari Eden hingga
kerajaan Daud berdasarkan sumber Y. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
D, Mathewson, Steven. “An Exegetical Study of Genesis 38: Dalas Theological
Seminary”. Bibliotheca Sacra 146 (1989): 373-392.
Esler, Philip F., Sex, Wives, and Warriors: Reading Old Testament Narrative with
Its Ancient Audience. Cambridge: Casemate Publishers. 2012.
Gellner, Ernest. Nation And Nationalism. Ithaca, New York : Cornell University
Press, 1983.
Gottwald, Norman K. Sociological Method in the Study of Acient Israel. Edited by
Norman K. Gottwald. The bible and Liberation – Political and Social Hermeneutics.
Maryknoll New York: Orbis Books, 1983.
_________________. The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction.
Philadelphia: Fortress Press, 1987.
Kohn, Hans. Nasionalisme : Arti dan Sedjarahnya. Jakarta : P.T. Pembangunan,
1958.
Lambdin, Thomas O. Introduction to Biblical Hebrew. New York: Charles
Scribner's Sons, 1971.
Mangililo, Ira D, Steve Gaspersz, Tedi Kholiludin (ed). Nyantri Bersama John
Titaley. Salatiga : Satya Wacana University Press, 2013.
Menn, Esther Marie. Judah and Tamar (Genesis 38) in Ancient Jewish
Exegesis: Studies in Literary Form and Hermeneutics. Leiden, Netherland: BRILL.
1997.
Michael, Grant. The History of Ancient Israel. New York: Charles Sribner‟s Sons,
1984.
Moesa, Ali Maschan. Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama.
Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2007.
Muhaimin, Hendro, Hastangka, Diasma Sandi Swandaru, Agung Widodo, Endah
Agustiani, Surono, Silva Meliana (ed.). Prosiding Kongres Pancasila VI. Yogyakarta:
Pusat Studi Pancasila, 2014.
Nazir ,M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Packer , J.I., Merrill C. Tenney, William White, Jr (1980), Ensiklopedi Fakta
24
Alkitab : Bible Almanac 1 & 2. Terjemahan : Gandum Mas, cetakan kedua. Malang :
Gandum Mas, 2004.
Ritzer, George (ed). Encyclopedia of Social Theory. California: SAGE Publication,
2005.
Salkin, Rabbi Jeffrey K.. Righteous Gentiles In The Hebrew Bible : Ancient role
models for sacred relationship. Woodstock, Vermont : Jewish Light Publishing, 2008.
Silaban, Winer. “Pemikiran Soekarno Tentang Nasionalisme”. Jurnal Dinamika
Politik Vol.1 No.3, 3 (Desember 2012): 1-6.
Sills, David L.(ed). Internastional Encyclopedia of The Social Sciences. New
York: The macMillan Company & The Free Press, 1972.
Smith, Anthony D. Nasionalisme : Teori, Ideologi, Sejarah . Jakarta : Penerbit
Erlangga, 2002.
Suharso dan Ana Retnoningsih. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:
Penerbit Widya Karya, 2011.
Titaley, John A. Religiositas di Alinea Tiga : Pluralisme, Nasionalisme dan
Transformasi Agama-agama. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013.
Yewangoe, A.A. Agama dan Kerukunan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Zucker, David J. and Moshe Reiss. “Righting and Rewriting Genesis 38:
Tamar and Judah in the Pseudepigrapha”. Biblical Theology Bulletin. Vol. 45, 4
(2015): 195-201.