YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
  • 5/25/2018 Kajian Rasio CN Terhadap Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus Thuringiensis Subsp. Aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu Dan

    1/11

    3

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 LIMBAH INDUSTRI TAHU DAN AIR KELAPA

    Proses produksi tahu menghasilkan dua jenis limbah, yaitu limbah padat dan limbah cairan.

    Pada umumnya, limbah padat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan dibuat kerupuk, sedangkan

    limbah cair dibuang langsung ke lingkungan. Limbah cair pabrik tahu ini memiliki kandungan

    senyawa organik yang tinggi. Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu dapat

    menyebabkan dampak negatif seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan

    pertumbuhan nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungan sekitar (www.okenet-kimia.com).

    Dalam proses produksi tahu, dihasilkan limbah cair antara 15-20 L/kg bahan baku kedelai dan

    limbah padat. Jumlah produksi tahu yang semakin meningkat akan mengakibatkan jumlah limbah cair

    yang dihasilkan semakin melimpah. Mengingat kedelai sebagai bahan baku pembuatan tahu yangmemiliki kadar protein (34-45%), karbohidrat (12-30%), lemak (18-32%), dan air (7%) (Radiyati

    2000), akibatnya limbah cair tahu memiliki zat-zat organik yang tinggi. Jika limbah cair industri tahu

    tersebut dibuang langsung ke lingkungan tanpa proses pengolahan, akan terjadi blooming

    (pengendapan zat-zat organik pada badan perairan), proses pembusukan dan berkembangnya

    mikroorganisme patogen (Sudaryati et al. 2007).

    Tabel 1. Kandungan kimia limbah cair tahu

    Komponen Jumlah Limbah Cair Tahu (% )

    Air 99.34*

    Abu 0.11*

    Protein 1.73**

    Lemak 0.63**

    Nitrogen 0.05**

    Serat -

    Sumber: *(Hartati 2010) **(Nuraida et al. 1996)

    Pada tahun 2000 produksi kelapa di Indonesia mencapai 5.6 juta ton per tahun. Buah kelapa

    tua terdiri dari empat komponen utama, yaitu 35 % sabut, 12 % tempurung, 28 % daging buah, dan 25

    % air kelapa, sehingga satu buah kelapa rata-rata mengandung sekitar 200 ml air kelapa. Air kelapa

    mempunyai potensi yang baik untuk dibuat media fermentasi karena kandungan zat gizinya yang kaya

    dan relatif lengkap, sehingga sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Komposisi gizi air kelapa

    tergantung pada umur kelapa dan varietasnya. Air kelapa mengandung sejumlah zat gizi, yaitu

    protein, lemak, gula, sejumlah vitamin, asam amino, dan hormon pertumbuhan. Kandungan gula

    maksimal, yaitu 3 gram per 100 ml air kelapa, sehingga air kelapa dapat menjadi sumber karbon dan

    berperan sebagai fermentable sugar dalam fermentasi bioinsektisida berbahan aktif Bacillus

    thuringiensis subsp. aizawaiyang dapat mengoptimalkan proses fermentasi(www.transdigit.com).

  • 5/25/2018 Kajian Rasio CN Terhadap Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus Thuringiensis Subsp. Aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu Dan

    2/11

    4

    Kelapa yang dibudidayakan di Indonesia pada umumnya adalah kelapa dalam dan kelapa

    hibrida. Buah kelapa terdiri dari kulit luar, sabut, tempurung, kulit daging (testa), daging buah, air

    kelapa, dan lembaga. Setiap butir kelapa dalam dan hibrida mengandung air kelapa masing-masing

    sebanyak 300-230 ml dengan berat jenis rata-rata 1.02 dan pH sedikit asam (5.6). Air kelapa

    mengandung sedikit karbohidrat, protein, lemak, dan beberapa mineral. Kandungan zat gizi initergantung kepada umur buah. Di samping zat gizi tersebut, air kelapa juga mengandung berbagai

    asam amino bebas.

    Kandungan zat gizi air kelapa tua dan muda disajikan dalam tabel berikut :

    Tabel 2. Kandungan zat gizi air kelapa muda dan tua per 100 g

    Zat Gizi Satuan Muda Tua

    Kalori K 17.0 -

    Lemak g 0.20 0.14

    Protein g 1.00 1.50

    Karbohidrat g 3.80 4.60

    Kalsium mg 15.00 -

    Fosfor mg 8.00 0.50

    Besi mg 0.20 -

    Vitamin C mg 1.00 -

    Air g 95.50 91.50

    Sumber :http://warintek.ristek.go.id/pangan/umum/tanaman............... perkebunan.pdf

    2.2 BIOINSEKTISIDA

    Bioinsektisida merupakan salah satu dari beberapa jenis pestisida yang dapat digunakan untuk

    mengendalikan hama berupa serangga. Bioinsektisida dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ovisida dan

    larvisida. Ovisida khusus digunakan untuk mengendalikan telur serangga, sedangkan larvisida khusus

    digunakan untuk mengendalikan larva serangga. Bioinsektisida memanfaatkan bakteri, cendawan,

    jamur, nematoda untuk membunuh hama serangga. Bioinsektisida juga merupakan insektisida

    generasi baru dan sangat dianjurkan untuk digunakan dalam PHT (Pengendalian Hama Terpadu)

    (Djojosumarto 2008).

    Bioinsektisida (insektisida mikrobial) merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme

    yang dapat membunuh hama serangga dan vektor pembawa penyakit. Insektisida mikrobial

    didefinisikan juga sebagai racun biologis dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuhserangga (entomopathogen). Sebagai entomopathogen, insektisida mikrobial dapat dikembangkan

    dari bakteri, virus, fungi, dan protozoa (Ignoffo dan Anderson 1979).

    Menurut Bravo (1997), adapun bakteri yang paling banyak digunakan untuk memproduksi

    bioinsektisida adalah Bacillus. Bakteri ini mampu membentuk -endotoksin yang bersifat toksin

    terhadap larva serangga.

    Penggunaan bioinsektida ditujukan untuk menggantikan insektisida kimia yang banyak

    digunakan selama ini. Menurut Behle et al. (1999), bioinsektisida memiliki beberapa keunggulan

    dibandingkan dengan insektisida kimia. Keunggulan tersebut adalah sifat dari bioinsektisida yang

    spesifik terhadap hama serangga sehingga tidak membahayakan organisme non target lainnya,

    penggunaannya aman, dan bersifat ramah lingkungan karena tidak menyebabkan terjadinya

    penumpukan residu pada hasil pertanian dan dalam tanah. Menurut Becker dan Margalit (1993),

    http://warintek.ristek.go.id/pangan/umum/tanaman%20%20%20...............%20%20perkebunan.pdfhttp://warintek.ristek.go.id/pangan/umum/tanaman%20%20%20...............%20%20perkebunan.pdfhttp://warintek.ristek.go.id/pangan/umum/tanaman%20%20%20...............%20%20perkebunan.pdfhttp://warintek.ristek.go.id/pangan/umum/tanaman%20%20%20...............%20%20perkebunan.pdfhttp://warintek.ristek.go.id/pangan/umum/tanaman%20%20%20...............%20%20perkebunan.pdf
  • 5/25/2018 Kajian Rasio CN Terhadap Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus Thuringiensis Subsp. Aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu Dan

    3/11

    5

    penggunaan insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi menjadikan serangga vektor

    penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia tersebut dan menyebabkan terganggunya

    keseimbangan ekosistem.

    2.3 Bacill us thur ingiensisSEBAGAI BIOINSEKTISIDA

    A. Bacill us thuringiensis (B.t)

    B.t merupakan bakteri yang berbentuk batang dengan ukuran 3-5 m ketika tumbuh

    pada media. Bakteri ini tergolong ke dalam kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, dan

    famili Bacillaceae. Bakteri ini bersifat gram positif, aerob umumnya anaerob fakultatif, dan

    berflagelum. Bakteri ini dapat membentuk spora secara aerobik dan selama masa sporulasi

    juga dapat membentuk kristal protein yang toksik. Kristal protein ini dikenal dengan nama -

    endotoksin (Shieh 1994).

    Menurut Dulmage (1981), menyatakan bahwa selain menghasilkan -endotoksin,

    bakteri ini juga menghasilkan -eksotoksin, -eksotoksin, dan faktor kutu. -eksotoksin

    memiliki sifat yang tidak tahan terhadap panas dan larut di dalam air. -eksotoksin memiliki

    sifat yang tahan terhadap panas, larut di dalam air, dan sangat beracun terhadap larva beberapa

    jenis lalat. -eksotoksin diproduksi pada masa pertumbuhan sel vegetatif dan terdiri atas

    adenine, ribose, glukosa, dan asam allaric dengan sekelompok fosfat. Sel-sel vegetatif yang

    dihasilkan dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari lima sampai enam sel.

    B.t merupakan bakteri yang paling penting secara ekonomi dan terbanyak digunakan

    untuk produksi bioinsektisida, sehingga bioinsektisida komersial B.t digunakan secara luas

    untuk mengendalikan larva hama serangga (Feitelson et al. 1992). Selain itu, menurut de

    Barjac dan Frachon (1990),B.t mempunyai sifat yang spesifik, aman terhadap lingkungan, dan

    bersifat entomopatogenik. Spora B.t berbentuk oval, letaknya subterminal, berwarna hijau

    kebiruan, dan berukuran 1.0-1.3 m. Pembentukan spora terjadi dengan cepat pada suhu 35-

    37oC. Spora tersebut relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia. Spora ini mengandung

    asam dipikolinik (DPA), merupakan 10-15% dari berat kering spora. Asam ini bisa terdapat

    dalam bentuk kombinasi dengan unsur kalsium.

    B. Bacill us thuri ngiensis subsp.aizawai (B.t.a) Sebagai Bahan Aktif

    Bioinsektisida

    Bacillus thuringiensissubsp. aizawai (B.t.a) pertama kali ditemukan oleh Aizawa pada

    tahun 1962 (Dulmage 1981). Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval

    dan selama masa sporulasi menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya. Kristal

    protein ini dikenal juga sebagai -endotoksin yang merupakan komponen utama yang

    menyebabkan bersifat insektisidal. Menurut Faust dan Bulla (1982), -endotoksin tersebut

    bersifat termolabil karena dapat terdenaturasi oleh panas (walaupun lebih stabil dibandingkan

    eksotoksin yang terlarut) dan tidak larut dalam pelarut organik namun larut dalam pelarut

    alkalin.

    Sebagai organisme mesofilik, kisaran suhu pertumbuhannya ialah 15-45oC dengan suhu

    optimum 26-30oC. Kisaran pH pertumbuhannya ialah 5.5-8.5 dengan pH optimum 6.5-7.5

    (Benhard dan Utz 1993). B.t.adapat membentuk endospora yang berbentuk elips di bagian

    subterminal sel. Seperti halnya pada Bacillus thuringiensis lain, selama masa sporulasi, B.t.a

    membentuk tubuh paraspora berupa kristal protein yang disebut juga -endotoksin (Sneath

    1986).

  • 5/25/2018 Kajian Rasio CN Terhadap Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus Thuringiensis Subsp. Aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu Dan

    4/11

    6

    Kristal protein B.t.a berbentuk bipiramida yang bersifat insektisida terhadap larva

    serangga yang tergolong dalam ordo Lepidoptera dan Diptera (Lereclus et al.1993).

    Sifat insektisida B.t.a berhubungan dengan gen penyandi kristal protein yang disebut

    gen cry. Menurut klasifikasi terbaru, dikenali ada 22 gen cry dan 2 gen cyt. Gen cry yang

    dimiliki B.t.a meliputi cry1A(a), cry1A(b), cry1C(a), cry1D(a) (Crickmore et al. 1998).Protein cry1C(a) menyandikan protein yang toksik terhadap Spodoptera litura, sedangkan

    protein cry1 lain yang dimiliki B.t.a, yaitu cry1A(a), cry1A(b), cry1D(a) kurang toksik

    terhadap Spodoptera litura, tetapi dapat memberikan pengaruh sinergis pada protein cry1C(a)

    sehingga dapat meningkatkan keampuhannya (Muller et al.1996). Sedangkan menurut Liu et

    al.(1998), pada beberapa kasus, spora ternyata secara sinergis dapat meningktakan toksisitas

    kristal protein. Pada B.t.a, sinergisme yang terjadi adalah antara spora dengan protein

    cry1C(a)tetapi tidak dengan protein cry1yang lain.

    C. Kristal Protein (-endotoksin) Bacill us thur ingiensis

    Komponen utama penyusun kristal protein pada sebagian besar B.t adalah polipeptida

    dengan berat molekul (BM) berkisar antara 130-140 kilodalton (kDa). Polipeptida ini adalah

    protoksin yang dapat berubah menjadi toksin dengan BM yang bervariasi dari 30-80 kDa,

    setelah mengalami hidrolisis pada kondisi pH alkali dan adanya protease dalam saluran

    pencernaan serangga. Aktivitas insektisida tersebut akan menghilang jika BM lebih rendah

    dari 30 kDa (Aronson et al. 1986 dan Gill et al. 1992).

    Kristal protein ini terbentuk bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu

    sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komponen protein yang mengandung

    toksin (-endotoksin) yang terbentuk di dalam sel selama 2-3 jam setelah akhir fase

    eksponensial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mangalami autolisis setelah sporulasi

    sempurna. Sekitar 95% dari keseluruhan komponen kristal terdiri dari protein dengan asam

    amino (umumnya terdiri dari asam glutamat, asam aspartat, dan arginin), sedangkan 5%

    sisanya terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa (Bulla et al. 1977), serta tidak

    mengandung asam nukleat maupun asam lemak. Protein yang mnyusun kristal protein tersebut

    terdiri dari 18 asam amino. Kandungan asam amino yang terbesar adalah asam aspartat dan

    asam glutamat (Fast 1981).

    Kristal proteinB.t mempunyai beberapa bentuk, di antaranya bentuk bulat pada subsp.

    israelensis yang toksik terhadapDiptera, bentuk kubus yang toksik terhadap Diptera tertentu

    danLepidoptera, bentuk pipih empat persegi panjang (flat rectangular) pada subsp. tenebriosis

    yang toksik terhadap Coleoptera, bentuk piramida pada subsp. kurstaki yang toksik terhadap

    Lepidoptera (Shieh 1994).Sedangkan menurut Trizelia (2001), kristal protein memiliki beberapa bentuk. Ada

    hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Varietas yang memiliki

    daya bunuh terhadap serangga ordo Lepidoptera memiliki kristal protein yang berbentuk

    bipiramida dan jumlahnya hanya satu tiap sel, sedangkan yang berbentuk kubus, oval, dan

    amorf umumnya bersifat toksik terhadap serangga ordo Diptera dan jumlahnya dapat lebih

    dari satu tiap sel. Kristal yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Coleoptera

    berbentuk empat persegi panjang dan datar batu pipih.

    Aktifitas toksin dari kristal protein ini tergantung pada sifat intrinsik dari usus serangga,

    seperti kadar pH dari sekresi enzim proteolitik dan kehadiran spora bakteri secara terus

    menerus beserta kristal protein yang termakan (Burgerjon dan Martouret 1971). Selain itu,

  • 5/25/2018 Kajian Rasio CN Terhadap Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus Thuringiensis Subsp. Aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu Dan

    5/11

    7

    efektifitas dari toksin tertentu dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas terhadap reseptor yang ada

    serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin.

    Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja kristal protein sebagai toksin dari B.t

    dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan

    kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al. 1990). Selain itu, umur dari seranggamerupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari B.t. Jentik serangga yang lebih

    muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua (Swadener 1994).

    D. Proses Toksisitas dan Infeksi Bacill us thur ingiensis

    Proses toksisitas kristal protein (-endotoksin) sebagai bioinsektisida dimulai ketika

    serangga memakan kristal protein tersebut, maka kristal tersebut akan larut di dalam usus

    tengah serangga. Setelah itu, dengan bantuan enzim protease pada pencernaan serangga, maka

    kristal protein tersebut akan terpecah struktur kristalnya. Toksin aktif yang dihasilkan akan

    berinteraksi dengan reseptor pada sel-sel epitelium usus tengah larva serangga, sehingga akan

    membentuk pori-pori kecil berukuran 0.5-1.0 nm. Hal ini akan mengganggu keseimbangan

    osmotik sel di dalam usus serangga sehingga ion-ion dan air dapat masuk ke dalam sel dan

    menyebabkan sel mengembang dan mengalami lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan

    akhirnya mati (Hofte dan Whiteley 1989; Gill et al. 1992).

    Kristal protein yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin yang jika larut

    dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27-147 kDa). Pada

    umumnya, kristal protein di alam bersifat protoksin karena adanya aktivitas proteolisis dalam

    sistem pencernaan serangga yang mengubah B.t protoksin menjadi polipeptida yang lebih

    pendek dan bersifat toksin. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epitelium di

    usus tengah serangga sehingga menyebabkan terbentuknya pori-pori di sel membran saluran

    pencernaan serangga (Bahagiawati, 2002). Proses toksisitas Bacillus thuringiensispada larva

    ulat dapat dilihat pada Gambar 1.

    Gambar 1. Proses toksisitasBacillus thuringiensispada larva ulat

    Sumber : (http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc217.htm)

    Kristal protein B.t.a yang tersusun atas protein cry1A(a) (32%), cry1A(b) (38%),

    cry1C(a) (26%), cry1D(a) (5%) (Wright et al. 1997) dengan berat molekul 130-140 kDa,

    apabila terserap dalam suasana basah, saluran pencernaan tengah serangga yang rentan akan

    http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc217.htmhttp://www.inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc217.htm
  • 5/25/2018 Kajian Rasio CN Terhadap Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus Thuringiensis Subsp. Aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu Dan

    6/11

    8

    terlarut dan terhidrolisis untuk menghasilkan protein toksin. Selama aktivitas proteolitiknya

    tersebut, protease akan mengubah polipeptida tersebut menjadi fragmen toksin aktif berukuran

    60-70 kDa. Toksin cry1A(a) dan cry1A(b) akan berikatan dengan reseptor spesifik yang

    berukuran 210 kDa pada membran mikrofili apikal sel epithelium usus tengah serangga,

    sementara protein cry1C(a)berikatan dengan reseptor lainnya yang berukuran 40 kDa. Ikatanantara toksin dengan reseptornya itu akan menginduksi perubahan konformasi toksin yang

    diikuti dengan penyisipan toksin pada membran sehingga terjadi oligomerisasi toksin berupa

    lubang pada pori membran (Bravo 1997). Fenomena tersebut mengakibatkan sistem pompa

    ion K+ pada membran aplikasinya tidak berfungsi sehingga mengganggu keseimbangan

    osmotik yang berakibat lisisnya sel. Akhirnya, larva akan berhenti makan dan mati karena

    gejala septisemia setelah satu atau tiga hari (Aronson et al. 1986 ; Hofte and Whiteley 1989 ;

    Prieto-Samsonov et al. 1997).

    Efektifitas dari toksin tertentu juga dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas tehadap reseptor

    yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin. Secara umum dapat disimpulkan bahwa

    cara kerja kristal protein sebagai toksin dari B.tdapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktorspesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al. 1990).

    Selain itu, umur dari serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dariB.t.

    Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua

    (Swadener 1994).

    2.4 FERMENTASI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai DAN

    KONDISINYA

    A. Media Pertumbuhan Dan Fermentasi

    Faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi B.tadalah komponen media dan kondisi

    fermentasi untuk pertumbuhan seperti pH, kelarutan oksigen, dan temperatur (Dulmage dan

    Rhodes 1971). Dalam pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan sumber air, karbon,

    nitrogen, unsur mineral, dan faktor pertumbuhan dalam media pertumbuhannya (Vandekar dan

    Dulmage 1982). Media basal untuk pertumbuhan B.t terdiri dari garam, glukosa, dan asam

    amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, dan alanin dalam konsentrasi yang cukup untuk

    mendukung pertumbuhan dan sporulasiB.t(Dulmage et al. 1990).

    Pearson dan Ward (1988) mengemukakan bahwa komposisi media berpengaruh pada

    produk bioinsektisida yang dihasilkan. Beberapa formula media menghasilkan jumlah sel

    maksimum dan waktu terjadinya lisis sel yang berbeda-beda. Hal ini didukung juga oleh

    pendapat Mummigatti dan Raghunathan (1990) bahwa komposisi media berpengaruh terhadap

    pertumbuhan, toksisitas, dan potensi produkB.t.Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), karbon adalah bahan utama untuk mensintesis

    sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi

    bioinsektisida B.t dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa,

    sukrosa, laktosa, pati, minyak kedelai, dan molases dari bit dan tebu. Dalam penentuan sumber

    karbon, konsentrasi yang digunakan harus dipilih secara hati-hati. Hal ini karena semua galur

    B.tyang telah diteliti sejauh ini dapat memproduksi asam dari metabolisme glukosa. Menurut

    Rehm dan Reed (1981), jika konsentrasi glukosa terlalu tinggi, yaitu 50 g/L, pH media akan

    turun lebih rendah dari 5.6-5.8 dan keasaman yang terlalu tinggi akan menghambat dan

    menghentikan pertumbuhan B.t. Akan tetapi, jika konsentrasi gula terlalu rendah, menurut

    Vandekar dan Dulmage (1982), akan dapat menghentikan pertumbuhan B.t dengan segera,

    sehingga biomassa yang dihasilkan akan kurang baik karena dapat memperlambat proses

  • 5/25/2018 Kajian Rasio CN Terhadap Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus Thuringiensis Subsp. Aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu Dan

    7/11

    9

    sporulasi yang menyebabkan proses fermentasi menjadi lebih lama. Nitrogen yang dibutuhkan

    oleh mikroorganisme biasanya dipenuhi oleh garam amonium. Dalam hal ini, sering nitrogen

    organik harus disediakan dalam bentuk asam amino tunggal atau bahan kompleks termasuk

    asam nukleat dan vitamin. Beberapa sumber nitrogen yang sering digunakan dalam

    memproduksi bioinsektisida B.tadalah tepung kedelai, tepung biji kapas (proflo), corn steep,gluten jagung, ekstrak khamir, pepton kedelai, tepung ikan, tripton, tepung endosperma, dan

    kasein.

    Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan mineral untuk

    pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan mineral bervariasi tergantung

    pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), garam-

    garam organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan

    yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Dalam

    media fermentasi B.t ditambahkan 0.3 g/l MgSO4.7H2O, 0.02 g/l MnSO4.7H2O, 0.02 g/l

    ZnSO4.7H2O, 0.02 g/l FeSO4.7H2O, dan 1.0 g/l CaCO3.

    Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), Ca selain berperan dalam pertumbuhan danproduksi -endotoksin juga berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhadap panas.

    Penambahan ion Mg2+

    , Mn2+

    , Zn2+

    , dan Ca2+

    ke dalam media perlu dipertimbangkan, karena

    berperan dalam pertumbuhan dan sporulasiB.t(Vandekar dan Dulmage, 1982).

    B. Kondisi Fermentasi

    Kondisi fermentasiB.tdalam labu kocok dilakukan pada suhu 28-320C, pH awal media

    diatur sekitar pH 6.8-7.2, agitasi 142-340 rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi 24-48 jam.

    Sedangkan fermentasi B.t dalam fermentor dilakukan pada kondisi suhu 28-320C, pH awal

    media sekitar 6.8-7.2, volume media sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas

    volume fermentor, agitasi 400-700 rpm, aerasi 0.5-1.5 volume udara/volume media/menit(v/v/m), dan dipanen pada waktu inkubasi 40-72 jam (Vandekar dan Dulmage 1982; Pearson

    dan Ward 1988; dan Sikdar et al. 1993).

    Pertumbuhan optimum sebagian bakteri terjadi pada pH sekitar 7. Nilai pH awal media

    fermentasi sering kali diatur dengan menggunakan larutan penyangga atau dengan penambahan

    alkali atau asam steril. Nilai pH awal untuk media fermentasi Bacillus ditentukan pada kisaran

    6.8-7.2. Selama fermentasi pH dapat berubah dengan cepat tergantung pada penggunaan

    karbohidrat dan protein. Penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak daripada protein dapat

    menurunkan pH, sedangkan penggunaan protein yang terlalu banyak daripada karbohidrat

    dapat menaikkan pH. Nilai pH dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara

    senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan Lisansky 1985).Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), tiap mikroorganisme akan berbeda-beda dalam

    hal kebutuhan oksigen, dan kebutuhan ini akan berubah-ubah selama fase pertumbuhan yang

    berbeda. Dalam kondisi fermentasi yang aerob, penting untuk memperoleh campuran yang

    sesuai antara mikroorganisme, nutrien, dan udara. Untuk memperoleh hal tersebut harus

    dilakukan agitasi secara terus-menerus terhadap cairan fermentasi selama proses fermentasi.

    Hal ini penting apabila kultur ditumbuhkan dalam tabung atau labu. Agitasi dan aerasi tidak

    praktis jika dilakukan terhadap setiap labu secara sendiri-sendiri, maka aerasi dilakukan di atas

    mesin kocok.

    Aerasi (O2bebas dari udara) dibutuhkan untuk pertumbuhan sel bakteri. Tujuan aerasi

    adalah memperoleh udara untuk fermentasi pada kecepatan yang akan memenuhi kebutuhan

    mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Vandekar dan Dulmage 1982).

  • 5/25/2018 Kajian Rasio CN Terhadap Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus Thuringiensis Subsp. Aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu Dan

    8/11

    10

    C. Pemanenan (Recovery)

    Bahan aktif insektisida B.tdapat dipanen dengan sentrifugasi, filtrasi, presipitasi, spray

    drying, atau kombinasi dari proses-proses tersebut. Bahan aktif insektisida tersebut kemudian

    dapat diformulasikan menjadi produk flowable liquid, wettable powder, dust, atau granular

    tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu

    (Quinlan dan Lisansky 1985).

    D. Penentuan Aktivitas Insektisida Mikroba

    Terdapat perbedaan pengukuran aktivitas mikroba antara insektisida kimia dengan

    bioinsektisida. Pada insektisida kimia prosedur yang dilakukan untuk memonitor produksi

    relatif sederhana. Hal ini karena produk yang digunakan adalah produk murni yang telah

    dievaluasi dan aktivitas insektisidanya telah diketahui sebelumnya. Sedangkan pada

    bioinsektisida, aktivitas insektisida dari mikroorganisme tidak dapat diukur secara kimia,

    melainkan dengan bioassay. Bioassaymerupakan salah satu cara untuk menentukan serbukbahan aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Pada insektisida kimia, bioassay hanya

    digunakan sebagai pelengkap (Vandekar dan Dulmage 1982).

    Insektisida mikroba ditentukan aktivitasnya dengan menghitung jumlah spora hidup dan

    melalui bioassayuntuk menentukan kadar letal (LC50) dan International Unit(IU) (Vandekar

    dan Dulmage 1982) atau dosis letal (LD50),Diet Dillution Unit(DDU50) dan IU (Dulmage dan

    Rhodes, 1971). LC50, LD50, DDU50 sebenarnya hanya menunjukkan potensi relatif produk,

    karena potensi produk insektisida mikroba (Bacillus thuringiensis) dinyatakan dalam satuan

    internasional (SI) dengan cara pengukuran sebagai berikut :

    2.5 LARVA Crocidolomia pavonana (C. binotali s) SEBAGAI SERANGGA

    SASARAN Bacill us thur ingiensissubsp aizawai

    Ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana)memiliki nama lokal dalam Bahasa Indonesia: ulat

    krop kubis; hileud cocok; olet bosok. Kubis yang dimakan larva ulat krop kubis dapat mengakibatkan

    tanaman Brassica tidak laku dijual. Penggunaan pendekatan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) akan

    membantu mengatasi hal ini serta hama penting lainnya seperti ngengat ulat daun kubis

    (www.indopetani.com)

    Crocidolomia pavonana (C. binotalis) tergolong dalam famili Pyralidae, ordo Lepidoptera,filum Arthropoda, genus Croccidolomia, dan kelas Insecta (Kalshoven 1981). Dalam siklus hidupnya,

    ulat ini mengalami metamorfosis sempurna yang melewati empat stadium, yaitu telur, larva, pupa,

    dan imago (Suyanto 1994).

    C. pavonana atau C. binotalis merupakan hama utama pada tanaman kubis-kubisan seperti

    kubis, sawi, lobak, petsai, dan brokoli (Kalshoven 1981). Daerah persebaran hama ini cukup luas

    mencakup Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Di Pulau Jawa, hama ini

    ditemukan di dataran rendah maupun dataran tinggi. Ulat C. binotalis dapat dilihat pada Gambar 2.

    Di dataran tinggi Indonesia, ulat krop kubis memerlukan waktu satu bulan lebih sedikit bagi

    telur untuk berkembang menjadi ulat dewasa. Daur hidupnya serta kerusakan yang ditimbulkannya

    dapat dilihat dibawah Gambar 2.

    (1.1)

    http://www.indopetani.com/http://www.indopetani.com/
  • 5/25/2018 Kajian Rasio CN Terhadap Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus Thuringiensis Subsp. Aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu Dan

    9/11

    11

    Gambar 2. Daur hidup ulat krop kubis dan kerusakan yang diakibatkan olehnya

    (Sumber :www.indopetani.com)

    Gambar 3. Ngengat dewasa sedang berada pada permukaan daun

    ( Sumber :www.indopetani.com)

    Ngengat ulat krop kubis memiliki panjang sekitar 18 mm dan berwarna cokelat krem muda(Gambar 3). Telur yang diratakan ditaruh di saling tumpang tindih dalam gugusan yang mengandung

    10-140 telur. Gugusan telur yang baru ditaruh di berwarna hijau pucat. Warnanya berubah menjadi

    kuning cerah sebelum segera menjadi coklat tua sebelum menetas. Gugusan telur ulat krop kubis

    berbeda dengan gugusan telur ulat grayak (Spodoptera) yang ditutupi sisik halus.

    Gambar 4. Kumpulan telur ulat krop kubis: a) berumur satu hari berwarna kuning,

    b) lebih dewasa saat bentuk seperti irisan jeruk terlihat; dan c) telur

    berwarna coklat tua siap untuk menetas (Sumber : www.indopetani.com)

    Larva yang baru menetas berukuran panjang 2-3 mm, berbulu dan terlihat basah serta makan

    secara berkelompok. Larva yang lebih dewasa berwarna hijau muda, berbulu dan memiliki garis-garis

    hijau pucat atau muda sepanjang punggung mereka. Mereka menutupi permukaan tanaman dengan

    anyaman sutera tebal dan makan di bawahnya. Larva yang telah tumbuh sempurna (panjang 20 mm)

    menggali tanah dan membentuk kepompong cokelat mengkilap. Ngengat dewasa muncul sekitar dua

    minggu kemudian.

    Hama ini sangat merusak karena larva memakan daun baru di bagian tengah tanaman kubis.

    Saat bagian tengah telah hancur, larva pindah ke ujung daun dan kemudian turun ke daun yang lebih

    tua (Gambar 2). Kebanyakan tanaman yang terserang akan hancur seluruhnya jika ulat krop kubis

    tidak dikendalikan.

    http://www.indopetani.com/http://www.indopetani.com/http://www.indopetani.com/http://www.indopetani.com/
  • 5/25/2018 Kajian Rasio CN Terhadap Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus Thuringiensis Subsp. Aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu Dan

    10/11

    12

    Gambar 5. Kerusakan yang diakibatkan larva ulat krop kubis: ke bagian tengahtanaman (kiri), kemudian menghancurkan seluruh tanaman dari bagian

    tengah (Sumber : www.indopetani.com)

    Ulat krop kubis rentan terhadap sebagian besar insektisida tetapi insektisida tersebut harus

    dipilih dengan hati-hati untuk memastikan mereka tidak merugikan musuh alami ngengat ulat kubis.

    PHT adalah pendekatan yang paling efektif salah satunya adalah gunakan insektisida selektif yangtidak begitu berbahaya bagi musuh alami: Bacillus thuringiensis atau B.t (seperti Bacillin, Bite,

    Dipel), abamektin (seperti Amect, Mitigate) atau spinosad (seperti Success, Tracer). Insektisida ini

    membunuh larva bukan telur dan harus digunakan saat larva masih kecil.

    Kerusakan yang disebabkan C. pavonana atau C. binotalis dapat menurunkan hasil baik

    kualitas maupun kuantitas, karena menyebabkan kerusakan krop kubis bahkan kubis tidak dapat

    membentuk krop (Uhan 1993). Kehilangan hasil akibat serangan C. binotalis dapat mencapai 65.8 %.

    Larva yang baru keluar telur akan hidup berkelompok, memakan daun dari permukaan bawah

    karena menghindari cahaya. Bekas daun yang dimakan kelompok larva instar I biasanya berupa

    bercak putih yang merupakan lapisan epidermis daun yang tidak ikut dimakan dan berlubang bila

    epidermis mengering. Apabila serangga terjadi pada saat kubis sudah membentuk krop, larva yangtelah mencapai instar III akan menggerek ke dalam krop dan merusak bagian ini, sehingga

    menurunkan nilai ekonomi. Pembusukan pada krop yang sudah rusak dapat terjadi karena munculnya

    serangan sekunder oleh cendawan dan bakteri (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993).

    Larva C. binotalis melewati empat instar. Larva instar I berkelompok pada permukaan bawah

    daun, berwarna krem dengan kepala hitam kecoklatan, berukuran 2.1-2.7 mm dengan stadium rata-

    rata 2 hari. Larva instar II bewarna hijau terang, berukuran 5.5-6.1 mm dengan stadium rata-rata 2

    hari. Larva instar III berwarna hijau, berukuran 1.1-1.3 mm, stadium rata-rata 1.5 hari. Larva instar

    IV berwarna hijau dengan tiga garis putih pada bagian dorsal dan satu pada bagian lateral tubuh,

    stadium rata-rata 3.2 hari.

    Dua hari setelah ganti kulit, warna kulit larva instar IV berubah menjadi coklat, larva menjadi

    tidak aktif, dan tidak banyak makan. Setelah 24 jam, larva akan masuk ke dalam tanah dan

    membentuk pupa. Pupa berwarna kecoklatan dan ukuran tubuhnya 9-10 mm (Prijono dan Hassan

    1992). Masa pupa berlangsung selama 9-13 hari (Othman 1982) dan rata-rata 11.4 hari pada brokoli

    (Prijono dan Hassan 1992).

  • 5/25/2018 Kajian Rasio CN Terhadap Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus Thuringiensis Subsp. Aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu Dan

    11/11

    13

    2.6 KINETIKA FERMENTASI

    Kinetika fermentasi secara umum dikaji berdasarkan laju penggunaan substrat, laju

    pertumbuhan biomassa dan laju pembentukan produk (Judoamidjojo et al.1990).

    Keterangan :

    x = Laju pertumbuhan biomassa

    N = Laju pertumbuhan sel

    Y X/S = Yield atau koefisien randemen biomassa (g sel/g substrat)

    Y N/S = Yield atau koefisien randemen sel (cfu/g substrat)

    Y P/S = Yield atau koefisien randemen produk (g produk/g substrat)

    Y P/N = Yield atau koefisien randemen produk (g produk/cfu)

    Kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk dipengaruhi oleh kemampuan sel

    (Gumbira Said 1987). Menurut Mangunwidjaja dan Suryani (1994), hubungan kinetika pertumbuhan

    sel dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk tersebut dalam metabolisme sel.

    Pertumbuhan sel B.t.a dapat dicirikan dengan waktu yang digunakan untuk menggandakan jumlah

    atau massa sel dan konversi substrat menjadi biomassa.

    (1.2)

    (1.3)

    (1.4)

    (1.5)


Related Documents