YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: jurnal metalurgi dan energi

JMEI JurnalMaterial dan Energi Indonesia

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2011

ISSN: 2087-748X

http://jmei.phys.unpad.ac.id

Diagram film tipis untuk sel surya(lihat halaman 7)

Page 2: jurnal metalurgi dan energi

i

JMEI Jurnal Material dan Energi Indonesia

Volume 1 No. 1 28 Februari 2011

Penanggung Jawab

Ketua Jurusan Fisika FMIPA Unpad

Ketua Editor:

Fitrilawati, Jurusan Fisika FMIPA Unpad

Editor Pelaksana :

Irwan Ary Dharmawan, Jurusan Fisika FMIPA Unpad

Sahrul Hidayat, Jurusan Fisika FMIPA Unpad

Editor:

Yudi Rosandi, Unpad

Risdiana, Unpad

Darmawan Hidayat, Unpad

Hendra Grandis, ITB

Bambang Prijamboedi, ITB

Darminto, ITS

Evvy Kartini , BATAN

Taufik, California Polytechnic State University (Calpoly)

Luis Sandoval, Lawrence Livermore National Laboratory (LLNL)

Kazuki Ohishi (RIKEN)

Jurnal Material dan Energi Indonesia

(JMEI) merupakan jurnal ilmiah yang

memuat hasil-hasil penelitian yang

mencakup kajian teoretik, simulasi

dan modeling, eksperimen, rekayasa

dan eksplorasi dalam bidang Material

dan Energi. Jurnal ini terbit secara

berkala sebanyak tiga kali dalam

setahun (Februari, Juni dan Oktober).

Redaksi menerima naskah ilmiah hasil

penelitian, pikiran dan pandangan,

review, komunikasi singkat dalam

bidang material dan energi. Petunjuk

penulisan artikel tersedia di dalam

setiap terbitan dan secara online.

Artikel yang masuk akan melalui

proses seleksi mitra bebestari dan

disetujui oleh dewan editor.

Biaya Penerbitan: Rp. 300.000 per artikel

Harga langganan (termasuk ongkos kirim per eksemplar) Untuk Pemesanan atas nama Pulau Jawa Luar Jawa

Lembaga Rp. 75.000,- Rp. 85.000,-

Perorangan Rp. 50.000,- Rp. 60.000,-

Penerbit: Jurusan Fisika FMIPA Unpad

Terbit pertama kali: Februari 2011

Terbit tiga kali setahun (Februari, Juni, Oktober)

Alamat Editor: Sekretariat Jurnal Material dan Energi Indonesia (JMEI)

Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran

Jl. Raya Jatinangor Sumedang 45363

Telpon: 022 779 6014, Fax: 022 779 2435

Alamat email jurnal: [email protected]

Website: http://jmei.phys.unpad.ac.id

Page 3: jurnal metalurgi dan energi

ii

JMEI Jurnal Material dan Energi Indonesia

Volume 1 No. 1 28 Februari 2011

Daftar Isi

Hal

Sintesis Nanopartikel Fe3O4 dengan Template PEG-1000 dan Karakterisasi 1 – 6

Sifat Magnetiknya

Febie Angelia Perdana, Malik Anjelh Baqiya, Mashuri, Triwikantoro, Darminto

Sel-Surya Polimer: State of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas 7 – 14

Padjadjaran

Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati

Realisasi dan Analisis Sumber Energi Baru Terbarukan Nanohidro dari 15 – 21

Aliran Air Berdebit Kecil

Warsito, Sri Wahyu Suciati, D. Wahyudi, Wildan Khoiron

Studi Eksperimental Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut 22 – 30

Kemiringan Untai pada Kasus Sirkulasi Alamiah Menggunakan Untai

Simulasi Sirkulasi Alamiah (USSA-FT01)

Mulya Juarsa, Arief Goeritno, Asep Suheri, Iwan Sumirat, Dewanto Saptoadi,

Andika Nurcahyo

Estimasi Distrubusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoar 31 – 39

Panas Bumi

Alamta Singarimbun, Robi Irsamukhti

Karakteristik Fotodioda dan Sel Surya Hibrid Berbasis Polimer 40 – 46

Poli(alkil tiofen)

Rahmat Hidayat, Annisa Aprilia, Priastuti Wulandari, Herman

Simulasi Lattice Boltzman untuk Menentukan Konsentrasi Polarisasi 47 – 58

pada Solid Oxide Fuel Cell

Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto

Penelitian Bahan Termoelektrik bagi Aplikasi Konversi Energi di 59 – 71

Masa Mendatang

Inge M. Sutjahja

Page 4: jurnal metalurgi dan energi

iii

Kata Pengantar

Dalam penerbitan perdana, Jurnal Material dan Energi Indonesia (JMEI) Volume 1

Nomor 1 tahun 2011 menyajikan delapan buah artikel yang terdiri dari empat buah artikel

kontribusi dan empat buah artikel yang merupakan makalah terpilih pada kegiatan Simposium

Nasional Energi (SNE 2010). Dari makalah kontribusi terdapat artikel tentang nanopartikel

magnetik, sumber energi terbarukan nano hidro, karakteristik fotodioda dan sel surya hibrid

berbasis polimer polialkiltiofen, dan review singkat tentang bahan termoelektrik untuk aplikasi

konversi energi. Dari makalah terpilih SNE2010 terdapat artikel tentang perkembangan penelitian

sel surya polimer, studi eksperimental laju aliran massa air berdasarkan data perubahan temperatur

pada bagian dingin dan bagian panas di untai USSA FT-01, estimasi parameter fisis reservoar

panas bumi, dan simulasi lattice Boltzman untuk fuel cell.

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada kontributor JMEI edisi perdana. Semoga

artikel-artikel dalam jurnal edisi nomor ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan penelitian

bidang material dan energi di Indonesia.

Dewan Redaksi

Page 5: jurnal metalurgi dan energi

Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 1 – 6 © Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran

1

SINTESIS NANOPARTIKEL Fe3O4 DENGAN TEMPLATE PEG-1000 DAN

KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIKNYA

FEBIE ANGELIA PERDANA, MALIK ANJELH BAQIYA, MASHURI, TRIWIKANTORO, DARMINTO†

Jurusan Fisika,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111

diterima 27 Oktober 2010 revisi 4 Februari 2011

dipublikasikan 28 Februari 2011

Abstrak. Nanopartikel Fe3O4 telah berhasil disintesis menggunakan metode kopresipitasi dengan penambahan polietilen glikol (PEG)-1000 sebagai template. Ukuran partikel, distribusi dan sifat magnetik dari partikel nano ini diteliti berdasarkan perbandingan volume larutan dan PEG, yaitu 1:1, 1:2 dan 1:4. Ukuran kristal dari nanopartikel menurut uji dan analisis data XRD menurun dengan bertambahnya kadar PEG-1000, yang dikonfirmasi dengan pengamatan ukuran partikel dengan TEM. Nilai medan koersivitas dan magnetisasi remanen nanopartikel Fe3O4 bervariasi bergantung pada ukuran kristalnya.

Kata kunci : Nanopartikel Fe3O4, Polietilen Glikol (PEG-1000)

Abstract. Fe3O4 nanoparticles have successfully been synthesized using coprecipitation method employing polyethylene glycol (PEG)-1000as templates. Particle size and its distribution as well as magnetic properties were examined with respect to the volume fraction of starting materials and PEG, namely 1:1, 1:2 and 1:4. Crystallite size of nanoparticles according to XRD spectra analyses which was confirmed by TEM observation decreases with increasing PEG-1000 content. Further, coercive field and remanent magnetizations of Fe3O4 nanoparticles were obtained to be somewhat strongly dependent on its crystallite size.

Keywords : Fe3O4 Nanoparticle, Polyethylene Glycol (PEG-1000)

1. Pendahuluan

Nanopartikel magnetik kini intensif dikembangkan karena sifatnya yang menarik dalam aplikasinya dalam berbagai bidang, seperti fluida dan gel magnetik, katalis, pigmen pewarna, dan diagnosa medik. Beberapa sifat nanopartikel magnetik ini bergantung pada ukurannya. Sebagai contoh, ketika ukuran suatu partikel magnetik di bawah 10 nm, akan bersifat superparamagnetik pada suhu ruang, artinya bahwa energi termal dapat menghalangi anisotropi energi penghalang dari sebuah nanopartikel tunggal. Karena itu, sintesis nanopartikel yang seragam dengan mengatur ukurannya menjadi salah satu kunci masalah dalam ruang lingkup sintesis ini [1].

Salah satu zat yang dapat dipakai untuk membentuk dan sekaligus mengontrol ukuran dan struktur pori dari partikel adalah polietilen glikol (PEG). Dalam peran ini PEG dapat berfungsi sebagai template, yang membungkus partikel sehingga tidak terbentuk agregat lebih lanjut, dikarenakan PEG menempel pada permukaan partikel dan menutupi ion positif yang bersangkutan untuk bergabung dan membesar, sehingga pada akhirnya akan diperoleh partikel dengan bentuk bulatan yang seragam. Akan tetapi, agar dapat bekerja sesuai dengan fungsinya, diperlukan PEG dengan panjang molekul dan jumlah yang tepat; misalnya, untuk PEG 2000 diperlukan sekitar 200 % dari jumlah bahan yang ditambahkan [2].

† email : [email protected]

Page 6: jurnal metalurgi dan energi

2 Febie Angelia Permana dkk

Dalam tulisan ini dilaporkan kegiatan sintesis dan karakterisasi struktur serta sifat magnetik nanopartikel Fe3O4 dengan template PEG-1000. Fe3O4 disintesis dari pasir besi (ferit alami) dengan metoda kopresipitasi. Hasilnya akan dibandingkan lebih lanjut dengan hasil sintesis Fe3O4

menggunakan PEG-400 dari penelitian sebelumnya [3].

2. Eksperimen

Pasir besi yang telah diekstrak [4] dilarutkan dalam HCl 12 molar sebanyak ±35 ml pada suhu ~70 °C dan diaduk selama 15 menit dengan pengaduk magnetik. Setelah larutan homogen dilakukan penyaringan dengan kertas saring. PEG-1000 yang berbentuk padatan, dipanaskan dan dilelehkan pada suhu 40 ºC. PEG-1000 yang sudah mencair ditambahkan dalam larutan dengan variasi perbandingan volume 1:1, 1:2 dan 1:4, lalu diaduk. Ke dalam larutan ditambahkan NH4OH 12 molar sebanyak ±30 ml sambil terus diaduk dan dipanaskan pada suhu ~70 °C. Endapan Fe3O4 yang terbentuk (berwarna hitam pekat) dipisahkan dari larutannya yang kemudian dicuci dengan aquades berulang kali. Untuk mendapatkan serbuk nanopartikel Fe3O4, endapan dikeringkan dalam oven pada suhu sekitar 70 ºC selama 5 jam, yang kemudian dikarakterisasi dengan X-Ray

diffractometer (XRD), transmission electron microscope (TEM) dan vibrating sample

magnetometer (VSM).

Gambar 1. Pola XRD sampel Fe3O4 dengan : (a) tanpa PEG-1000 dan penambahan PEG (b) 1:1 (c) 1:2 (d) 1:4.

3. Hasil dan Pembahasan

Gambar 1 menunjukkan pola XRD dari sampel Fe3O4 tanpa penambahan PEG-1000 dan dengan perbandingan penambahan PEG-1000 yang bervariasi. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa terbentuk puncak yang semakin lebar dengan bertambahnya volume PEG-1000, yang menunjukkan bahwa ukuran kristalnya semakin kecil. Berdasarkan hasil analisis menggunakan program search- match dan analisis kualitatif menggunakan metode Hanawalt, bahwa sampel mengandung 100% fasa Fe3O4, yang ditunjukkan oleh puncak-puncak difraksi dengan indeks Miller. Ini berarti tidak ditemukan adanya fasa PEG dalam sampel, yang menandakan bahwa PEG-1000 tidak ikut bereaksi dan hanya bertindak sebagai template saja.

Ukuran kristal masing-masing sampel dapat ditentukan salah satunya menggunakan program Material Analysis Using Diffraction (MAUD) dengan data ICSD No. 82237 (a = 8,3873 Å). Tabel 1 menunjukkan ukuran kristal dari masing-masing sampel. Sampel Fe3O4 tanpa penambahan PEG-1000 mempunyai ukuran kristal yang lebih besar dibandingkan sampel dengan penambahan PEG-

Page 7: jurnal metalurgi dan energi

Sintesis Nanopartikel Fe3O4 dengan Template PEG-1000 dan Karakterisasi Sifat Magnetiknya 3

1000. Dari Tabel 1 dapat pula dilihat bahwa semakin besar konsentrasi penambahan PEG-1000, semakin kecil ukuran kristal yang didapatkan.

Tabel 1. Ukuran kristal masing-masing sampel

Sampel Ukuran Partikel (nm)

Fe3O4 10,9 ± 0,3

Fe3O4 dengan PEG 1:1 7,3 ± 0,1

Fe3O4 dengan PEG 1:2 6,5 ± 0,1

Fe3O4 dengan PEG 1:4 7,5 ± 0,1

Tabel 2. Nilai rata-rata ukuran kristal Fe3O4 dengan penambahan PEG-400 [3]

PEG – 400

(mol)

Ukuran Rata-rata Kristal (nm)

0,023 9,4 ± 3,5

0,050 11,5 ± 2,4

0,075 16,3 ± 5,1

Hasil ini jauh berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, yaitu dengan penambahan PEG-400 [3]. Pada penambahan PEG-400 menyebabkan ukuran kristal Fe3O4 semakin besar. Perbedaan hasil ini kemungkinan diakibatkan oleh banyaknya rantai yang terkandung dalam masing-masing PEG. PEG-400 yang mempunyai berat molekul rata-rata 400 g/mol mempunyai derajat polimerisasi sebesar 9 sedangkan PEG-1000 dengan berat molekul rata-rata 1000 g/mol mempunyai derajat polimerisasi sebesar 23. Derajat polimerisasi menyatakan banyaknya jumlah mer atau panjang rantai yang terkandung dalam PEG. Sehingga, PEG-1000 mempunyai rantai yang lebih panjang dibanding PEG-400. Panjang rantai ini menyebabkan semakin banyak partikel Fe3O4 yang terjebak di dalam rantai PEG sehingga pertumbuhan kristal terbatasi atau terhalangi. Karena pertumbuhanya terhambat, ukuran kristal Fe3O4 semakin kecil.

Pada penelitian sebelumnya, pembuatan nanopartikel Fe3O4 juga dilakukan dengan perbandingan volume PEG-1000 dengan H2O. Agar diperoleh ukuran yang efektif atau pembentukannya tidak menurun, konsentrasi pembentukan maksimumnya diperoleh dengan perbandingan 1:3. Hal ini diakibatkan viskositas yang tinggi dengan kandungan PEG yang tinggi. Penambahan PEG-1000 menghasilkan nanopartikel Fe3O4 yang berbentuk nanorod dengan diameter 200 nm dengan panjang 2-3 µm [5].

PEG-1000 berpengaruh terhadap distribusi ukuran partikel Fe3O4. Hal ini disebabkan PEG-1000 yang berfungsi sebagai template juga berperilaku sebagai surfaktan. Surfaktan merupakan senyawa yang mempunyai dua ujung, yang satu bersifat hidrofilik atau suka air dan ujung yang lain bersifat hidrofobik atau penolak air. PEG yang merupakan sebuah oligomer yang mempunyai rantai seragam pendek, dapat dengan mudah diserap pada permukaan koloid metal oksida. Salah satu ujung rantai PEG yang bersifat hidrofilik akan menempel pada permukaan koloid magnetit dan ujung yang bersifat hidrofobik bebas. Pelapisan oleh PEG pada permukaan koloid menyebabkan pertumbuhan terhambat karena ruang gerak partikel terhalang oleh adanya PEG. Penambahan PEG-1000 juga menyebabkan persebaran ukuran kristalnya terlihat lebih monodisperse

dibandingkan partikel tanpa penambahan PEG-1000 yang mempunyai persebaran ukuran kristal lebih polidisperse dalam Gambar 2.

Page 8: jurnal metalurgi dan energi

4 Febie Angelia Permana dkk

Gambar 2. Distribusi ukuran kristal menurut data XRD sampel Fe3O4 tanpa PEG-1000, dan dengan penambahan PEG : 1:1, 1:2, dan 1:4.

Gambar 3 menunjukkan foto TEM dari masing-masing sampel. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa semua sampel memiliki morfologi yang sama yaitu bulat (spherical). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya [5] yang berbentuk nanorod. Hasil ini mungkin disebabkan seluruh permukaan nanopartikel Fe3O4 terlapisi sempurna oleh PEG-1000, sehingga pertumbuhannya terbatasi ke segala arah.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 3. Foto TEM sampel Fe3O4 dengan : (a) tanpa PEG-1000, dan penambahan PEG : (b) 1:1, (c) 1:2 (d) 1:4.

Sifat magnetik Fe3O4 hasil pengukuran dengan VSM ditunjukkan dari Gambar 4. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa partikel Fe3O4 dengan dan tanpa penambahan PEG-1000 tergolong magnet lunak, karena dari kurva histeresis mempunyai urut balik yang hampir simetris ketika dikenai medan magnet maupun ketika medan magnet ditiadakan. Atau dapat dilihat dari luasan kurva histeresis yang sempit. Luasan kurva histeresis menunjukkan energi yang diperlukan untuk megnetisasi. Pada magnet lunak, untuk magnetisasi memerlukan energi yang sangat kecil. Dari Gambar 4 dapat dilihat juga bahwa dengan atau tanpa penambahan PEG-1000, nanopartikel Fe3O4 tetap bersifat ferimagnetik; meskipun ukuran kristalnya di bawah 10 nm, yang dimungkinkan berubah sifatnya menjadi superparamagnetik ditinjau dari ukurannya. Suatu bahan dapat dikatakan bersifat superparamagnetik jika memiliki nilai Hc yang sangat kecil (~0). Sementara itu, nilai Hc dari masing-masing sampel dalam sintesis ini masih cukup besar.

Page 9: jurnal metalurgi dan energi

Sintesis Nanopartikel Fe3O4 dengan Template PEG-1000 dan Karakterisasi Sifat Magnetiknya 5

Nilai magnetisasi remanen partikel Fe3O4 tanpa penambahan PEG-1000 sebesar 18,1 emu/gr, lebih tinggi dibandingkan Fe3O4 dengan penambahan PEG-1000. Hasil ini juga berbeda dengan nilai magnetisasi remanen Fe3O4 dengan penambahan PEG-400 yang besarnya 12,5 emu/gr [6] yang mempunyai ukuran kristal yang lebih besar dibandingkan dengan penambahan PEG-1000. Untuk lebih jelasnya nilai medan koersivitas dan magnetisasi remanen dari masing-masing sampel berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat pada Tabel 3.

Gambar 4. Kurva histeresis Fe3O4 tanpa dan dengan penambahan PEG-1000

Tabel 3. Nilai magnetisasi saturasi (Ms), medan koersivitas (Hc) dan magnetisasi remanen (Mr) untuk masing-masing sampel

Sampel Hc

(Oe)

Mr

(emu/gr)

Fe3O4 -84 18,1

Fe3O4 dengan PEG 1:1 -100 15,7

Fe3O4 dengan PEG 1:2 -99 13,3

Fe3O4 dengan PEG 1:4 -97 13,7

Nilai medan koersivitas dan magnetisasi remanen dari partikel Fe3O4 tanpa penambahan PEG-1000 berbeda dibandingkan dengan penambahan PEG-1000 menghasilkan kecenderungan yang berlawanan. Perbedaan ini cukup menarik mengingat ada sejumlah faktor yang menentukan secara simultan. Dalam penelitian ini sifat magnetik belum dibahas secara tuntas dan masih memerlukan kajian yang lebih mendalam. Namun demikian, jelas bahwa kekuatan magnetik partikel dipengaruhi oleh ukurannya.

4. Kesimpulan

Pembuatan nanopartikel Fe3O4 dengan metode kopresipitasi menghasilkan partikel dengan ukuran 10,9 ± 0,3 nm. Penambahan PEG-1000 berpengaruh terhadap ukuran partikel yang dihasilkan. Penambahan PEG-1000 menyebabkan ukuran nanopartikel Fe3O4 menjadi lebih kecil sekitar 6,5 ± 0,1 nm. Medan koersivitas dan magnetisasi remanen nanopartikel Fe3O4 menurun dengan menurunya ukuran kristal dengan kecenderungan yang masih memerlukan kajian lebih lanjut.

Page 10: jurnal metalurgi dan energi

6 Febie Angelia Permana dkk

Ucapan terima kasih

Sebagian dari penelitian ini dibiayai oleh Hibah Tim Pascasarjana, DP2M – DIKTI, tahun 2009 – 2010. Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. H. Sosiati untuk bantuan teknis pengukuran dengan TEM.

Daftar Pustaka

1. Y. Aiguo, Journal Alloys and Compound 458 (2008) 487. 2. D. E. Zhang, et al., Journal of Magnetism and Magnetic Materials 292 (2005) 491. 3. M.A. Baqiya, T. Heriyanto, D. Kurniawan, M. Anwar, Darminto, Jurnal Sains Materi

Indonesia, 102 – 105, Oktober 2007. 4. D.M. Arisandi, D. Kurniawan, T. Hariyanto, Darminto, Pengaruh jenis surfaktan pada sifat

magnetik fluida magnetik berbasis pasir besi dan aplikasinya untuk pelapisan, Prosiding Seminar Fisika dan Aplikasinya 2007, Jurusan Fisika FMIPA ITS, Surabaya, p. B3-1.

5. H. Kai, C-Y. Xu, L. Zhen, e-Z. Shao, Materials Letters 61 (2007) 303. 6. M. A. Baqiya dan Darminto, Jurnal Sains Materi Indonesia, 74 – 77, Desember 2009.

Page 11: jurnal metalurgi dan energi

Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 7 – 14

© Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran

7

SEL-SURYA POLIMER: STATE OF ART DAN PROGRES PENELITIANNYA DI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

AYI BAHTIAR†, ANNISA APRILIA, FITRILAWATI

Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Padjadjaran

Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21Jatinangor, Indonesia

diterima 3 November 2010

revisi 9 Februari 2011

dipublikasikan 28 Februari 2011

Abstrak. Sel-surya merupakan suatu piranti untuk mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik.

Perkembangan penelitian dan aplikasi sel-surya sebagai sumber energi listrik utama dimasa mendatang

sangat pesat, seiring berkurangnya sumber energi listrik berbahan bakar fosil dan masalah pencemaran

lingkungan. Sel-surya berbahan polimer semikonduktor atau sel-surya plastik merupakan salah satu kandidat

sel-surya masa depan, karena menawarkan kemudahan dalam proses sintesis bahan, fabrikasi, ringan dan

dapat diproduksi secara masal dan berbiaya murah. Sampai saat ini efisiensi sel-surya polimer mencapai 6–

7% berbasis konsep bulk-heterojunction atau blend polimer dan fuleren, baik struktur tunggal maupun

tandem. Efisiensi ini masih relatif rendah dan perlu ditingkatkan untuk produksi masal dan komersialisasi.

Dalam makalah ini, akan dibahas tentang perkembangan sel-surya polimer di dunia dan progres penelitian

sel-surya polimer di Jurusan Fisika Universitas Padjadjaran. Penelitian telah dimulai tahun 2009, berbasis

bulk-heterojunction polimer poli(3-heksiltiofen, P3HT) dan turunan fuleren ([6,6]-phenyl-C61-butyric acid

methyl ester, PCBM) sebagai bahan aktif sel-surya. Berbagai pendekatan dilakukan untuk meningkatkan

kinerja sel-surya berupa aniling termal, penyisipan lapisan tipis optical spacer dan penambahan molekul

aditif dalam bahan aktif.

Kata kunci : sel-surya polimer, bulk-heterojunction, optical spacer, molekul aditif

Abstract. Solar cell is a device for converting sunlight into electricity. Research development and

application of solar cells for electricity source grows very fast, due to a decreasing of fossil energy sources

and environmental problems. Semiconducting polymer solar cells or plastic solar cells become a promising

candidate for future solar cells, because it offers the easy-ways of synthetic materials, fabrication process,

lightweight, and it can be fabricated with mass and low cost production. Currently, 6–7% efficiency is

achieved for polymer solar cells based on bulk-heterojunction concept or blend polymer with fullerene using

both single and tandem structure. However, this efficiency is still low and need to be improved for mass

production and commercialization. In this paper, we discuss the state of the art of polymer solar cells and its

research progress at Department of Physics Universitas Padjadjaran. Our research on polymer solar cells has

been started since 2009 using bulk-heterojunction of polymer poly(3-hexylthiophene, P3HT) and fullerene’s

derivative fullerene ([6,6]-phenyl-C61-butyric acid methyl ester, PCBM) as an active material layer. Several

approaches such as thermal annealing, insertion of thin optical spacer layer, and addition of additive

molecule into active layer have been applied to improve the performance of solar cells

Keywords : polymer solar-cell, bulk-heterojunction, optical spacer, additive molecule

1. Pendahuluan

Semakin meningkatnya kebutuhan dan konsumsi energi listrik di Indonesia dan semakin mahalnya

harga bahan bakar minyak (BBM) dunia, mengakibatkan pasokan listrik di Indonesia semakin

tersendat. Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang menyediakan pasokan energi listrik di Indonesia

telah menerapkan kebijakan pemadaman begilir dan penghematan penggunaan energi listrik untuk

mengurangi beban daya PLN. Oleh karena itu, perlu dipikirkan pencarian sumber energi listrik

alternatif yang dapat digunakan secara massal dan berbiaya murah. Dalam 30 tahun mendatang,

sumber energi dari bahan fosil semakin berkurang sehingga penggunaan sumber energi alternatif,

† email : [email protected]

Page 12: jurnal metalurgi dan energi

8 Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati

seperti panas bumi, angin, biomasa, air, nuklir dan matahari semakin dibutuhkan [1]. Karenanya

kajian intensif pengembangan, penggunaan dan manajemen sumber energi listrik selain fosil,

sangat mendesak untuk segera dilakukan.

Sel-surya merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mengkonversi energi matahari

menjadi energi listrik, karena tidak memerlukan generator dan dapat ditangani secara individu.

Perkembangan industri pembuat modul sel-surya di dunia pun sangat meningkat tajam (46%) dari

tahun 2000 dan mencapai 1200 MW pada tahun 2004 dan terus berkembang sampai 30 tahun ke

depan dan pada tahun 2020 diharapkan bisa menghasilkan daya 200 GW [2]. Jumlah daya ini

sama dengan daya yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebanyak 200

buah.

Dewasa ini, material aktif untuk sel-surya umumnya adalah semikonduktor inorganik, seperti

Silikon (Si), Galium Arsenida (GaAs), Kadmiumselenium (CdSe) dan masih banyak lagi, dengan

efisiensi konversi bervariasi mulai dari 8% sampai 40% [2]. Namun, proses pembuatan sel-surya

berbahan aktif ini umumnya dibuat dalam bentuk film tipis menggunakan teknik efitaksi, sehingga

memerlukan biaya yang tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan sel-surya anorganik di Indonesia

sangat minim.

Tren penelitian sel-surya saat ini adalah menggunakan material organik dan polimer terkonjugasi.

Polimer terkonjugasi memiliki elektron-π yang terdelokalisasi sehingga mampu menyerap sinar

matahari, membentuk pembawa-pembawa muatan, mentransport muatan-muatan tersebut dan

menghasilkan listrik [3,4]. Penelitian di bidang sel-surya berbahan aktif polimer terkonjugasi

sangat berkembang pesat, karena menawarkan proses pembuatan yang berbiaya murah, sederhana

dan dapat dihasilkan efisiensi konversi yang tinggi.

Polimer poli(3-heksiltiofen) atau P3HT merupakan material yang banyak dikaji sebagai bahan

aktif sel-surya polimer, karena memiliki struktur regio-reguler (RR) yang mampu menghasilkan

konduktivitas listrik yang tinggi, mudah larut dalam pelarut organik biasa, dan dapat dibuat dalam

bentuk film tipis dengan teknik sederhana, seperti spin-coating, dip-coating, inkjet printing dan

roll-to-roll printing [5]. Saat ini sel-surya dengan konsep bulk-heterojunction (BHJ) campuran

polimer P3HT sebagai donor elektron dan turunan metanofuleren (PCBM) sebagai akseptor

elektron banyak dikaji. Saat ini, efisiensi sel-surya mencapai 6–7% [6,7]. Efisiensi ini perlu

ditingkatkan minimal menjadi 10% untuk produksi masal dan komersialisasi. Berbagai cara

dilakukan untuk meningkatkan efisiensi sel-surya BHJ, diantaranya, penggunaan polimer baru [7],

kontrol morfologi lapisan aktif [8] dan optimasi struktur [6,7].

Dalam makalah ini, dibahas perkembangan penelitian sel-surya yang dilakukan di Jurusan Fisika

Universitas Padjadjaran, juga berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi melalui aniling termal,

penyisipan lapisan optical spacer dan penambahan molekul aditif dalam bahan aktif untuk

mengontrol morfologi lapisan aktif.

2. Eksperimen

Polimer regioregular poli(3-heksiltiofen) (RR > 90%) dan turunan metanofuleren PCBM (struktur

kimia, ditunjukkan pada Gambar 1), digunakan sebagai bahan aktif sel-surya. Kedua material

diperoleh dari Sigma Aldrich, yang digunakan langsung tanpa purifikasi.

Page 13: jurnal metalurgi dan energi

Sel Surya Polimer: State of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas Padjadjaran 9

Gambar 1. Struktur kimia polimer P3HT dan PCBM

Sel-surya dibuat dengan struktur Gelas/ITO/PEDOT:PSS/P3HT:PCBM/Al, seperti ditunjukkan

pada Gambar 2. Lapisan ITO berfungsi sebagai anoda, lapisan PEDOT:PSS berfungsi sebagai

injeksi lubang (hole) dan lapisan Al sebagai katoda. Dalam eksperimen, kami menggunakan

campuran P3HT dan PCBM dengan rasio 1:1.

Gambar 2. Struktur sel-surya polimer dengan bahan aktif campuran P3HT dan PCBM.

Untuk sel-surya yang diberikan perlakuan aniling termal, sebanyak 10 mg P3HT dilarutkan dalam

1 ml klorobenzen dan diaduk sampai larutan homogen. 10 mg PCBM juga dicampur dengan 1 ml

klorobenzen diaduk sampai homogen. Kedua larutan, kemudian dicampurkan dan diaduk selama

18 jam pada temperature 50 °C, sehingga rasio akhir P3HT:PCBM adalah 1:1. Sebelum digunakan,

larutan difilter dengan syringe-filter 0,45 µm. Film tipis dibuat menggunakan spin coater dengan

kecepatan 800 rpm selama 20 detik. Film tipis kemudian dianil dengan suhu 150 °C di dalam oven

yang divakumkan selama 30 menit. Aniling termal merupakan teknik umum yang digunakan

untuk mengembalikan keteraturan atau kristalinitas polimer P3HT yang terganggu akibat

kehadiran PCBM [9]. Lapisan Alumunium (Al) dibuat dengan teknik evaporasi termal. Sifat optik

film tipis diukur dengan menggunakan spektroskopi UV-Vis. Karakteristik sel-surya diukur

dengan mengukur arus listrik dari piranti ketika diberi tegangan panjar maju. Sebagai sumber

cahaya, digunakan lampu Halogen atau Xenon.

Untuk sel-surya yang menggunakan lapisan tipis optical spacer, kami menggunakan lapisan

titanium sub-oksida (TiOX) yang disisipkan di antara lapisan aktif dan lapisan Alumunium.

Lapisan TiOX dibuat dengan teknik spin-coating, sedangkan material TiOX dibuat dengan teknik

sol-gel suhu rendah [7]. Lapisan TiOX dispin-coating di atas lapisan aktif, kemudian dianil pada

suhu 150 °C selama 30 menit.

Untuk sel-surya yang menggunakan molekul aditif sebagai campuran pada pelarut bahan aktif,

digunakan molekul 1,8-diiodooktan (DIO). Sebanyak 3% molekul aditif DIO dicampurkan dengan

larutan P3HT:PCBM dalam klorobenzen yang sudah diaduk hingga homogen. Larutan difilter

Gelas

ITOPEDOT-PSS

P3HT:PCBM

+-

PCBM

P3HT

Gelas

ITOPEDOT-PSS

P3HT:PCBM

+-

PCBM

P3HT

Page 14: jurnal metalurgi dan energi

10 Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati

in

SCOC

P

FF*I*V=η

OCSC

MPPMPP

V*I

V*IFF =

dengan syringe filter 0,45 µm, sebelum dibuat film tipis. Struktur sel-surya yang dibuat adalah

seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2. Ada 3 sampel sel-surya yang dibuat yaitu sel-surya

tanpa perlakuan aniling termal (Sampel A), dianil termal pada suhu 100 °C selama 30 menit

(Sampel B), dan sel-surya yang dianil termal pada suhu 100 °C selama 30 menit (Sampel C).

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Sel-Surya dengan Aniling Termal

Kurva karakteristik sel-surya dengan lapisan aktif blend P3HT:PCBM (1:1) yang dianil termal

pada suhu 150 °C dalam keadaan disinari dengan lampu Xenon dengan intensitas 177 mW/cm2

ditunjukkan pada Gambar 3. Luas area sel-surya adalah 4 mm2.

Gambar 3. Kurva karakteristik sel-surya dalam keadaan gelap dan disinari.

Dari kurva karakteristik arus-tegangan di atas, diperoleh parameter-parameter sebagai berikut:

tegangan hubung-terbuka, VOC = 0,3 Volt, rapat arus hubung singkat, JSC = 5,275 µA/cm2, rapat

arus pada daya maksimum, JMPP = 4,675 µA/cm2, tegangan pada daya maksimum, VMPP = 0,2 Volt,

maka faktor pengisi (fill-factor, FF) dan efisiensi konversi (η) diperoleh 0,59 dan 0,0005%,

berdasarkan persamaan :

(1)

(2)

Nilai efisiensi konversi ini masih sangat kecil dibandingkan dengan efisiensi yang saat ini dicapai

pada sel-surya P3HT:PCBM, yaitu 5%. Hal ini diakibatkan oleh nilai tegangan terbuka VOC yang

lebih kecil dari seharusnya yaitu ~0,63 Volt. Arus yang kecil diakibatkan oleh tingginya nilai

hambatan seri dari sel-surya, yang berasal dari belum optimumnya morfologi lapisan aktif dan

masalah homogenitas antarmuka (interface) antar lapisan di dalam sel-surya. Di samping itu, sel-

surya ini dibuat dalam lingkungan yang lembab, sehingga mengakibatkan penetrasi oksigen ke

dalam lapisan aktif selama spin-coating dan evaporasi Alumunium. Akibatnya elektron-elektron

yang dihasilkan oleh proses fotogenerasi akan diserap, sehingga arus listrik yang sampai ke katoda

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

10 Gelap

Disinari

J [

µA

/cm

2]

V [Volt]

Page 15: jurnal metalurgi dan energi

Sel Surya Polimer: State of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas Padjadjaran 11

(Al) kecil. Faktor lainya yang menyebabkan rendahnya efisiensi adalah nilai FF yang kecil. Nilai

FF yang kecil diakibatkan oleh degradasi sel-surya selama pengukuran. Hasil pengukuran pada

sel-surya pristin tanpa diberikan tegangan panjar maju, diperoleh rapat arus JSC = 37,5 µA/cm2.

Namun arus listrik terus berkurang selama pengukuran akibat degradasi karena foto-oksidasi

polimer. Efek degradasi ini menjadi perhatian khusus bagi sel-surya polimer, karena pengurangan

panjang konjugasi polimer akibat oksidasi sehingga arus yang mengalir menjadi berkurang.

Dengan menggunakan teknik enkapsulasi, kelompok N.S. Sariciftci dkk [10] berhasil membuat

sel-surya polimer blend MDMO-PPV:PCBM, dan kelompok Brabec dkk dari Konarka dengan sel-

surya blend P3HT:PCBM tanpa mengalami penurunan efisiensi dalam waktu 1 tahun yang diuji

coba diatas atap gedung [11]. Salah satu cara untuk mengatasi efek degradasi, di samping

enkapsulasi, juga sebaiknya pembuatan sel-surya dan pengukuran karakteristiknya dilakukan di

dalam Glove-Box yang dialiri gas Nitrogen, sehingga efek oksidasi dapat dikurangi. Di samping

itu, arus yang kecil dapat diakibatkan oleh kontak yang buruk antara lapisan aktif dan katoda.

3.2. Sel-Surya dengan Lapisan Optical Spacer TiOX

Gambar 4 memperlihatkan pengaruh penyisipan lapisan tipis optical spacer TiOX terhadap

parameter-parameter sel-surya: VOC, JSC, FF dan η. Efisiensi sel-surya yang disisipi lapisan TiOX

lebih tinggi daripada sel-surya tanpa lapisan TiOX [12]. Hal ini menunjukkan bahwa penyisipan

optical spacer meredistribusi intensitas cahaya di dalam sel-surya akibat perubahan interferensi

optis antara cahaya datang dan cahaya yang dipantulkan Alumunium [13], sehingga maksimum

absorpsi terjadi di dalam lapisan aktif. Akibatnya, jumlah arus fotogenerasi dan efisiensi

meningkat.

Namun, jika lapisan TiOX dipertebal, maka semua parameter sel-surya akan berkurang. Lapisan

TiOx yang lebih tebal akan menurunkan efisiensi sel-surya akibat meningkatnya resistansi seri

(RS) sel-surya. Dalam Gambar 4 jelas, bahwa kinerja sel-surya optimum jika ketebalan lapisan

TiOX di bawah 10 nm. Hasil ini sesuai dengan studi sebelumnya oleh Hayakawa dkk [14], yang

mengkaji efek penyisipan lapisan TiOx terhadap resistansi paralel (RP) dan resistansi seri (RS) sel-

surya, menggunakan inverse gradien dari kurva I-V pada keadaan hubung terbuka dan hubung

singkat. Hayakawa dkk menemukan bahwa penyisipan lapisan TiOx meningkatkan nilai RP

sebesar 5 orde dan nilai RS hanya berubah sedikit, jika ketebalan lapisan TiOx di bawah 10 nm.

Dengan demikian, meningkatnya nilai VOC akibat dari meningkatnya nilai resistansi paralel.

3.3. Sel-Surya dengan Molekul Aditif

Spektra absorbansi lapisan tipis P3HT murni dan P3HT:PCBM yang ditambahkan 3% volume

molekul aditif 1,8-diiodooktan (DIO) tanpa perlakuan dan dengan perlakuan aniling termal 100 °C

dan 150 °C selama 30 menit di dalam oven vakum, ditunjukkan pada Gambar 5. Pada spektrum

film tipis P3HT murni, terdapat puncak-puncak vibronik pada panjang gelombang 515 nm dan 550

nm, yang merupakan transisi π−π* dan pada 600 nm yang merupakan ciri dari adanya agregat atau

interaksi antar rantai polimer. Munculnya puncak-puncak ini mengindikasikan bahwa polimer

P3HT membentuk struktur kristal berbentuk lamela [15].

Page 16: jurnal metalurgi dan energi

12 Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati

Gambar 4. Grafik efek ketebalan lapisan TiOX terhadap parameter sel-surya (a). VOC, (b). FF, (c).

JSC, (d) efesiensi

Gambar 5. Spektra absorbansi film tipis P3HT murni, film tipis P3HT:PCBM (1:1) yang

dicampur 3% volume molekul ODT.

Penambahan sedikit molekul DIO tetap mempertahankan puncak-puncak vibronik di atas,

sehingga kehadiran molekul PCBM tidak menggangu kristalinitas polimer P3HT bahkan pada film

tipis tanpa perlakuan aniling termal. Hasil ini berbeda dengan film tipis tanpa molekul aditif,

dimana kehadiran PCBM mengganggu kristalinitas P3HT, sehingga diperlukan aniling termal

untuk mengembalikan kristalinitas P3HT di dalam film tipis campuran P3HT:PCBM [9].

Parameter-parameter sel-surya yang ditambahkan 3% molekul DIO ke dalam lapisan aktifnya

(P3HT:PCBM) diperlihatkan dalam Tabel 1. Tampak bahwa penambahan ODT, meningkatkan

rapat arus dan tegangan terbuka. Hal ini mungkin diakibatkan oleh separasi fasa antara P3HT dan

PCBM menjadi lebih jelas, sehingga meningkatkan efisiensi pemisahan eksiton dan transfer

muatan [8]. Akibatnya arus listrik meningkat. Namun, untuk mengkaji lebih jauh diperlukan foto

SEM atau TEM untuk melihat morfologi lapisan aktif sel-surya. Proses aniling termal,

0 20 40 60 804

6

8

d (T iO x ) [n m ]

Vo

c (m

V)

(a )

(c )

0 20 40 60 80

0.1

0.2

0 .3

d (T iO x ) [n m ]

FF

(b)

0 20 40 60 80

0.1

0.2

0.3

d (T iO x ) [nm ]

J sc

(mA

/cm2

)

0 20 40 60 80

0.2

0.4

0 .6

0 .8

1[× 10

- 5]

d (T iO x ) [n m ]

Efi

sien

si (

%) (d)

300 400 500 600 7000.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25 P3HT murni

setelah spin-coating

aniling 1000C

aniling 1500C

OD

[a

.u.]

λ [nm]

Page 17: jurnal metalurgi dan energi

Sel Surya Polimer: State of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas Padjadjaran 13

menurunkan nilai dari semua parameter sel-surya yang diakibatkan oleh perubahan morfologi

lapisan aktif. Diperlukan kajian morfologi lebih lanjut untuk menjelaskan penurunan nilai

parameter sel-surya yang ditambahkan molekul ODT akibat aniling termal.

Tabel 1. Parameter-parameter sel-surya dengan penambahan molekul 3% volume ODT

Sampel JSC

[mA/cm2]

VOC

[Volt] FF

A 12,5 0,58 0,29

B 0,15 0,50 0,31

C 0,015 0,50 0,11

4. Kesimpulan

Telah dilakukan fabrikasi sel-surya berbahan aktif campuran P3HT:PCBM dengan rasio 1:1,

menggunakan beberapa perlakuan, yaitu aniling termal, penyisipan lapisan tipis optical spacer

TiOX, dan penambahan molekul aditif 1,8-diiodooktan pada larutan campuran P3HT:PCBM dalam

klorobenzen. Penyisipan lapisan tipis TiOX meningkatkan kinerja sel-surya akibat dari redistribusi

absorpsi cahaya sehingga maksimum absorpsi cahaya terjadi pada lapisan aktif. Ketebalan

optimum dari lapisan TiOX adalah 10 nm, jika lebih tebal menurunkan kinerja sel-surya akibat

bertambahnya resistansi seri sel-surya [16]. Penambahan molekul aditif DIO mempertahankan

kristalinitas P3HT pada lapisan aktif P3HT:PCBM, sehingga meningkatkan kinerja sel-surya.

Namun, kinerja sel-surya menurun akibat aniling termal. Perlu studi morfologi lebih lanjut, untuk

menjelaskan efek penambahan molekul aditif DIO pada morfologi lapisan aktif sel-surya, seperti

separasi fasa P3HT dan PCBM, pembentukan antar-rantai P3HT dan PCBM.

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Dikti (DIKTI) atas

suport dana penelitian ini melalui Penelitian Hibah Bersaing (PHB) Tahun 2010, berdasarkan SK

No. 710/H6.26/LPPM/PL/2010. Terima kasih juga untuk Andria Kurniawan, Ahmad Rosikhin

atas bantuannya dalam eksperimen.

Daftar Pustaka

1. W. Hoffmann, and L. Waldmann, PV Solar Electricity: From a Niche Market to One of the Most Mainstream Markets for Electricity, in High-Efficient Low-Cost Photovoltaics ; Recent Development, edited by Petrova-Koch, R. Hezel, and A. Goetzberger, Berlin : Springer Verlag GmbH, 2009, pp. 29-43.

2. G. Dennler, N. S. Sariciftci, and C. J. Brabec, Conjugated Polymer-Based Organic Solar Cells, in Semiconducting Polymers: Chemistry, Physics and Engineering, Vol I Second Edition, edited by G. Hadziioannou and G.G. Malliaras, Weinheim : Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, 2006, pp. 455-530.

3. C.J. Brabec, N.S. Sariciftci, and J.C. Hummelen, Adv. Funct. Mater. 11, 15 - 26 (2001). 4. R. D. McCullough, Adv. Mater. 10, 93 - 98 (1998). 5. F. C. Krebs, Sol. Energy Mater. Sol. Cells 93, 394-412 (2009). 6. J. Y. Kim, K. Lee, N. E. Coates, D. Moses, T-Q. Nguyen, M. Dante, A. J. Heeger, Science 317,

222-225 (2007). 7. S. H. Park, A. Roy, S. Beaupre, S. Cho, N. Coates, J. S. Moon, D. Moses, M. Leclerc, K.-H.

Lee, A. J. Heeger, Nat. Photonics 3, 297–302 (2009).

Page 18: jurnal metalurgi dan energi

14 Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati

8. Y. Liang, Z. Xu, J. Xia, S.-T. Tsai, Y. Wu, G. Li, C. Ray and L. Yu, Adv. Mater. 22, E135-E138 (2010).

9. A. Bahtiar, Fitrilawati, and A. Aprilia, Effect of Thermal Annealing on Optical Properties and Morphology of Thin Film of P3HT-PCBM Blend, The 7th International Symposium on Modern Optics and Its Applications, Bandung, August 12-14, (2009).

10. G. Dennler, C. Lungenschmied, H. Neugebauer, N.S. Sariciftci, M. Latreche, G. Czeremuszkin, and M.R. Wertheimer, Thin Solid Films 349, 511-512 (2006).

11. J. A. Hauch, P. Schilinsky, S. A. Choulis, R. Childers, M. Biele and C. J. Brabec, Sol. Energy Mater.Sol. Cells 92, 727-731 (2008).

12. A. Bahtiar, A. Kurniawan, A. Rosikhin, and A. Aprilia, The Role of TiOX Interlayer on Performance of Bulk-Heterojunction Polymer Solar Cells, Proceedings of the 5th Kentingan Physics Forum; International Conference on Physics and Its Application, 21-24 (2010).

13. J. Y. Kim, S. H. Kim, H.-H Lee, K. Lee, W. Ma, X. Gong, and A. J. Heeger, Adv. Mater. 18, 572–576 (2006).

14. A. Hayakawa, O. Yoshikawa, T. Fujieda, K. Uehara, and S. Yoshikawa, Appl. Phys. Lett. 90, 1635171-1635173 (2007).

15. H. Sirringhaus, P. J. Brown, R. H. Friend, M. M. Nielsen, K. Bechgaard, B. M. W. Langeveld-Voss, A. J. H. Spiering, R. A. J. Janssen, E. W. Meijer, P. Herwig and D. M. de Leeuw, Nature 401, 685-688 (1999).

16. Roy, S. H. Park, S. Cowan, M. H. Tong, S. Cho, K.e Lee, and A. J. Heeger, Appl. Phys. Lett. 95, 0133021 – 0133023 (2009)

Page 19: jurnal metalurgi dan energi

Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 15 – 21

© Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran

15

REALISASI DAN ANALISIS SUMBER ENERGI BARU TERBARUKAN NANOHIDRO

DARI ALIRAN AIR BERDEBIT KECIL

WARSITO†, SRI WAHYU SUCIYATI, D WAHYUDI, WILDAN KHOIRON

Jurusan Fisika, Fakultas MIPA

Universitas Lampung

Jl. Sumantri Brojonegoro 1 Bandar Lampung 35145

diterima 1 November 2010

revisi 11 Pebruari 2011

dipublikasikan 28 Pebruari 2011

Abstrak. Telah direalisasi sumber energi baru terbarukan dengan sistem nanohidro berdaya 2.34W

menggunakan kincir tipe Francis dengan debit air maksimum 0.87 × 10-3 m3/s dan ketinggian head 1,5 m.

Agar didapatkan kecepatan putar optimal dari generator yang digunakan, maka transmisi daya putar dari

kincir menggunakan 2 buah pulley dengan diameter masing-masing 0.19 m dan 0.015 m serta 1 buah belt

yang panjangnya 70 cm dan lebar 4 mm. Secara teori, generator yang digunakan merupakan generator

magnet permanen 3 pasang kutub yang mempunyai kecepatan putar optimal 2400 rpm dengan tegangan

keluaran 12/15 V dan kapasitas daya keluaran maksimum 6 W. Daya optimum yang dihasilkan adalah 2.34

W untuk generator dengan kecepatan sebesar 2333 rpm. Dengan data ini, kita dapat menghitung efisiensi

generator sebesar 40.12 %. Daya keluaran selanjutnya dimanfaatkan untuk mengisi akumulator 12 V.

Kata kunci : energi terbarukan, nanohidro, akumulator

Abstract. It has been realized a renewable energy source by nanohydro system with 2.34 W power output

using Francis wheel type with water flow debit of 0.87 × 10-3 m3/s and head elevation of 1.5 m. In order to be

obtained a generator optimum power output, we use a transmission system of wheel rotation using two

pulleys with diameter of 0.19 m and 0.015 m and a belt with the size of 0.70 m length and 0.004 m width to

transmit the rotation power from the wheel to the generator. Generator used in this study has three permanent

magnets, 2400 rpm maximum rotation, 12/15 V voltage output and 6 W maximum power output. The

optimum power output obtained in this study is about 2.34 W with the generator rotation of 2333 rpm. Using

this result, we can find the generator efficiency is about 40.12 %. Finally, the power output is used to

recharge the 12 V accumulator.

Keywords: renewable energy, nanohydro, accumulator

1. Pendahuluan

Kebutuhan energi akan selalu meningkat sebagai fungsi pertumbuhan jumlah penduduk. Untuk

energi konvensional seperti migas, tingginya kebutuhan apabila tidak diimbangi dengan kapasitas

produksinya menyebabkan kelangkaan sehingga terjadi kenaikan harga dan krisis energi [1].

Salah satu usaha pemerintah yang terkait dengan kebijakan energi tersebut adalah dengan

mengembangkan dan meningkatkan keanekaragaman energi termasuk energi yang sangat potensial

saat ini dan di masa yang akan datang. Berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional

(RUKN/National Electricity Plan), prosentase penduduk Indonesia yang belum berlistrik 36 %

dan desa belum berlistrik 35 % [2]. Hal ini menunjukkan pentingnya pengembangan bidang energi

terbarukan.

Sistem mikrohidro atau nanohidro sebagai salah satu sumber energi baru terbarukan, dapat

memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dalam memenuhi energi listrik tanpa harus

† email : [email protected]

Page 20: jurnal metalurgi dan energi

16 Warsito dkk

mengeluarkan biaya tinggi untuk sistem transmisi daya atau perawatan lingkungan secara umum

karena implementasi sistem terintegrasi dengan pemanfaatannya [3].

Dalam konsep Fisika bahwa energi tidak dapat dimusnahkan oleh karena itu tentu energi setelah

digunakan tentu menjadi sumber energi lain yang baru. Konsep dasar dari penelitian ini adalah

bahwa hukum kekekalan energi yaitu energi bersifat kekal, tidak bisa dimusnahkan, tetapi

berpindah dari bentuk energi yang satu ke bentuk energi lainnya. Maka untuk memahami konsep

ini, yang terpenting adalah menciptakan energi awal sebagai pemicu (trigger), selanjutnya energi

lain dapat dihasilkan dari energi tersebut, demikian seterusnya energi akan berputar.

Pemanfaatan tenaga air sebagai pembangkit listrik mempunyai bermacam-macam tingkatannya;

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan daya keluaran di atas 0,5 MW, sistem mikrohidro

sekitar 1–500 kW, sistem nanohidro dengan daya keluaran di bawah 1 kW. System nanohidro

dapat direalisasi menggunakan aliran air pada pipa dengan diameter 2–6 inch [4] dan

perkembangannya hingga kini dapat direalisasi menggunakan pipa berdiameter mulai dari ½ inch.

Parameter utama penentu tingkat daya keluaran sistem tenaga air tersebut adalah debit air dan

ketinggian air jatuh [3] sesuai dengan persamaan berikut :

(1)

dengan

h : head efektif (m)

Q : debit air (m3/s)

ηt : efisiensi turbin

ηg : efisiensi generator

g : gravitasi (10 m/s2)

Besarnya nilai efisiensi turbin adalah ηt = 82 % untuk Turbin Pelton, ηt = 84 % untuk Turbin

Francis, ηt = 77 % untuk Turbin Crossflow dan ηt = 84 % untuk Turbin Tubular tipe S.

Penelitian yang banyak dilakukan saat ini adalah pemanfaatan energi air dalam skala mikrohidro

10–100 kW yang berasal dari saluran irigasi [5,6]; atau sistem mikrohidro pada umumnya [7,8,9].

Sistem sejenis juga telah dilakukan oleh Takane dan Hiromaro [10] dengan memanfaatkan aliran

air sungai kecil dan dihasilkan efisiensi turbin sebesar 25–30 %.

Pada penelitian ini telah didesain dan direalisasi energi listrik nanohidro menggunakan kincir tipe

Francis yang bersumber pada aliran sungai berdebit kecil 0,87 × 10-3

m3/s dengan ketinggian head

1,5 m.

2. Metode

Tahap awal yang dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan studi tentang potensi aliran air

untuk mengetahui tipe kincir yang digunakan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa potensi aliran

mempunyai head setinggi 1,5 m sehingga tipe kincir yang tepat adalah tipe Francis. Desain sistem

nanohidro tampak seperti pada Gambar 1.

Dari Gambar 1, aliran air dari sungai kecil ditampung dalam bak penstock (A) yang selanjutnya

dialirkan menuju kincir tipe Francis (C) melalui pipa pesat (B). Selanjutnya putaran kincir

gthQgP ηη ××××=

Page 21: jurnal metalurgi dan energi

Realisasi dan Analisis Sumber Energi Baru dan Terbarukan Nanohidro dari Aliran Air Berdebit Kecil 17

dihubungkan ke generator (D) menggunakan belt. Untuk menghasilkan putaran optimal pada

generator, maka dilakukan analisis sistem konversi gir secara integral. Tujuan utama dari tahap ini

adalah mendapatkan nilai putaran optimal pada titik generator dan mendapatkan daya putar yang

optimal.

Tahapan selanjutnya adalah analisis secara integral dari sistem nanohidro yang meliputi daya

keluaran generator sebagai fungsi kecepatan putar (rpm) dari generator. Pengukuran kecepatan

putar generator menggunakan tachometer analog, dengan mendapatkan nilai kecepatan putar

generator ini maka dapat dianalisis efisiensi (ηsistem) secara keseluruhan.

Gambar 1. Desain sistem nanohidro

3. Hasil dan Pembahasan

Analisis Pemilihan Jenis Turbin

Analisis pemilihan turbin didasarkan oleh data-data yang diambil secara teknis yang

memperhitungkan faktor tinggi jatuhan air efektif (Net Head) dan debit yang akan dimanfaatkan

untuk operasi turbin. Dari data dan analisis perhitungan tinggi jatuhan air efektif yang didapatkan

adalah sebesar 1.5m dengan debit air maksimum 0,87 x 10-3

m3/s. Ketinggian 1,5m digolongkan

ke dalam kategori ketinggian rendah, sehingga turbin yang dipilih adalah turbin reaksi jenis

Francis [11].

Analisis Transmisi Daya Mekanik

Perancangan sistem nanohidro yang sudah dilakukan, menggunakan turbin Francis dan generator

jenis magnet permanent 1 phase dengan 3 pasang kutub dan transmisi daya mekanik dengan rasio

pulley 12,67 kali. Pulley berfungsi untuk menaikkan putaran sehingga putaran generator sesuai

dengan putaran daerah kerjanya. Agar didapatkan kecepatan putar sesuai dengan yang dibutuhkan,

maka transmisi daya menggunakan 2 buah pulley dengan diameter masing-masing 19 cm dan 1,5

cm serta 1 buah belt yang panjangnya 70 cm dan lebar 4 mm. Belt berfungsi untuk menyalurkan

daya dari poros turbin ke poros generator.

Daya mekanik disalurkan secara satu tahap, pulley yang berdiameter 19 cm yang dipasang pada

poros turbin dihubungkan dengan pulley yang berdiameter 1,5 cm yang terpasang pada generator.

Penyaluran daya hasil putaran dari turbin tersebut mampu menaikkan kecepatan putar sebanyak

12,67 kali pada poros generator.

Page 22: jurnal metalurgi dan energi

18 Warsito dkk

Analisis Pengujian Turbin yang Terhubung dengan Generator menggunakan aliran air dari

pipa ½ inch

Pada perancangan nanohidro yang sudah dilakukan memakai turbin reaksi sebagai pengkonversi

energi potensial yang dimiliki oleh air menjadi energi mekanik dan generator ac yang mengubah

energi mekanik menjadi energi listrik. Pada penelitian ini, di ujung pipa pesat dipasang sebuah

kran yang berfungsi untuk mengatur debit air untuk menggerakan turbin. Ada tiga posisi pada

pengaturan debit air, yaitu posisi 3 dimana kran terbuka penuh, posisi 2 kran terbuka sekitar ¾ dan

posisi 1 kran terbuka sekitar ½. Pengukuran debit di lakukan dengan cara menampung air pada

sebuah ember dalam waktu tertentu. Hasil pengujian pengaruh posisi kran terhadap debit air

terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh posisi kran terhadap debit air

Posisi

Kran

Waktu

t (s)

Volume

(L)

Debit

Q (m3/s)

3 23 20 0,87 × 10-3

2 34 20 0,59 × 10-3

1 45 20 0,44 × 10-3

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa posisi kran berpengaruh terhadap debit air yang akan

menggerakan turbin, sehingga dengan berkurangnya debit air mengakibatkan berkurangnya

putaran. Pada posisi kran terbuka penuh (100 %) waktu yang dibutuhkan untuk mengisi ember

dengan volume 20 l adalah 23 detik, pada posisi 1 dan 2 dengan volume yang sama dibutuhkan

waktu yang lebih lama untuk mengisi penuh ember.

Debit air akan berpengaruh terhadap putaran yang dihasilkan oleh turbin. Pengujian pengaruh

turbin terhadap putaran turbin di lakukan dengan tiga debit air yang berbeda yang dihasilkan oleh

perubahan posisi kran. Semakin besar debit air maka putaran turbin yang dihasilkan akan lebih

besar apabila dibandingkan denngan debit air yang lebih sedikit. Pengukuran putaran pada turbin

menggunakan alat pengukur putaran yaitu tachometer. Pengaruh putaran turbin terhadap tegangan

yang dihasilkan oleh generator, debit air mempengaruhi kecepatan putaran turbin dan selanjutnya

semakin cepat putaran turbin tegangan keluaran akan semakin tinggi pula (Gambar 2).

Gambar 2. Pengaruh putaran turbin terhadap tegangan keluaran generator

Pengujian selanjutnya adalah melakukan uji pemberian beban yang dilakukan sebanyak 3 kali

perubahan, yaitu menggunakan lampu 6 W 12 volt dan hambatan yang terukur adalah 25 Ω.

Sedangkan total hambatan untuk sistem secara terpasang (lampu dan juga tachometer), adalah 125

Page 23: jurnal metalurgi dan energi

Realisasi dan Analisis Sumber Energi Baru dan Terbarukan Nanohidro dari Aliran Air Berdebit Kecil 19

Ω. Jika pembebanan dilakukan secara seri antara lampu dan tacho, hambatan yang terukur adalah

145 Ω. Data hasil pengujian pembebanan terlihat pada Tabel 2.

Analisis generator dan kecepatan putar

Pada penelitian ini telah dibuat sistem nanohidro yang diputar oleh mini turbin tipe Francis.

Generator yang digunakan merupakan generator magnet permanen 3 pasang kutub yang

mempunyai kecepatan putar optimal 2400 rpm (rotation per minute / putaran per menit) dengan

tegangan keluaran 12/15 V dan kapasitas daya 6 W. Keluaran dari generator berupa tegangan arus

bolak balik yang kemudian disimpan dalam akumulator. Sebelum disimpan pada akumulator

tegangan tersebut disearahkan terlebih dahulu menggunakan dioda.

Generator ini terdiri dari magnet yang berputar atau disebut rotor dan kumparan yang diam atau

disebut stator. Untuk mengetahui tegangan generator yang digunakan pada pengisian akumulator,

dilakukan pengujian menggunakan motor sebagai penggerak generator dengan sebuah dimmer

sebagai pengatur kecepatannya.

Tabel 2. Data Hasil Perubahan Beban Terhadap Tegangan Keluaran

Beban

R (Ω)

Arus

I (A)

TeganganV

(Volt)

Daya

P (Watt)

KM/H

25 0,33 4,7 1,551 60

120 0,12 8,75 1,05 75

145 0,13 9,5 1,235 85

Gambar 3. Grafik tegangan keluaran

Tegangan yang keluar dari generator yang sudah disearahkan oleh dioda diukur menggunakan

multimeter digital dan kecepatannya diukur menggunakan tachometer. Rotor generator yang

diputar tersebut menghasilkan tegangan yang bervariasi sebagai fungsi kecepatan putar yang juga

berubah-rubah pula. Untuk mendapatkan nilai kuat arus dari keluaran generator diperlukan beban

(R) yang telah diketahui nilainya, sehingga diperoleh daya yang dapat dihasilkan oleh generator.

Gambar 3 merupakan grafik hasil pengukuran tegangan keluaran generator dengan variasi

kecepatan di mulai dari 1050–2333 rpm dengan beban resistor 100 Ω dan diperoleh hasil berupa

tegangan dan kuat arus.

Nilai tegangan yang dihasilkan oleh generator tergantung pada kecepatan putaran yang diberikan

pada generator tersebut. Semakin besar kecepatannya maka akan menghasilkan tegangan yang

semakin besar. Dari grafik pada Gambar 3 diperoleh persamaan 85.3005,0 −= vVout dengan

Page 24: jurnal metalurgi dan energi

20 Warsito dkk

kemiringan (slope) = 0,005 dan sensibilitas generator yaitu )/(005,0 rpmVoltdvdV = artinya

generator yang digunakan mengalami kenaikan tegangan sebesar 0,005 Volt setiap 1 rpm. Pada

penelitian ini kecepatan maksimum putaran hanya mencapai 2333 rpm. Untuk mengetahui daya

yang dihasilkan, dilakukan perhitungan, sehingga diperoleh nilai daya seperti tampak pada

Gambar 4.

Gambar 4. Grafik hubungan antara putaran turbin dan daya keluaran dari generator

Tegangan yang di gunakan untuk mengisi akumulator besarnya adalah minimal sama dengan

tegangan akumulator (12V), sedangkan hasil pengukuran keluaran generator adalah 12,22 V, maka

nilai ini sudah memenuhi syarat untuk mengisi arus pada akumulator. Kecepatan putar yang

dibutuhkan untuk nilai tegangan tersebut adalah 1983 rpm, sehingga menghasilkan daya sebesar

1,71 W yang ditunjukkan pada Gambar 4. Tinggi rendahnya daya yang dihasilkan mempengaruhi

pada lama waktu yang dibutuhkan dalam pengisian akumulator.

Gambar 5. Foto sistem pulley dan belt serta generator yang terpasang pada turbin tipe Francis

Setelah diketahui karakteristik dari generator dengan beberapa variabel yang telah diperoleh maka

generator dapat dirangkai dengan turbin yang mempunyai kecepatan putar 166 rpm menggunakan

belt dan pulley. Untuk menaikkan kecepatan hingga 1983 rpm digunakan pulley dengan

perbandingan 12, artinya perbandingan pulley minimal 1:12. Gambar 5 adalah foto hasil rancangan

generator yang terpasang pada turbin. Namun sistem ini masih mempunyai efisiensi daya keluaran

yang rendah. Efisiensi daya keluaran dari sistem dapat dihitung sebagai berikut:

WWPoptimal 83.56*2400

2333==

Page 25: jurnal metalurgi dan energi

Realisasi dan Analisis Sumber Energi Baru dan Terbarukan Nanohidro dari Aliran Air Berdebit Kecil 21

Daya optimal yang seharusnya dihasilkan dari sistem nanohidro pada 2333 rpm adalah 5,83 W,

namun sistem hanya menghasilkan 2,34 W sehingga efisiensi sistem secara integral dari sistem

nanohidro adalah 40,12%.

4. Kesimpulan

Telah direalisasi dan dikarakterisasi sistem nanohidro dengan head 1,5 m dan debit 0,87 × 10-3

m3/S dengan kecepatn turbin maksimum yang dihasilkan adalah 2333 rpm dan daya yang

dihasilkan adalah 2,34 W. Efisiensi sistem secara integral sebesar 40,12%, nilai ini merupakan

rasio antara daya hasil penelitian yang terukur terhadap daya ideal yang seharusnya didapatkan

dengan nilai rpm yang sama.

Prospektif secara umum dari hasil penelitian ini adalah memanfaatkan daya keluaran dari

generator untuk mengisi akumulator 12 V dan selanjutnya daya tersebut dapat dimanfaatkan secara

langsung dengan arus dc atau ac menggunakan sistem inverter. Solusi dari daya yang dihasilkan

kecil adalah sistem multi titik nanohidro yang merupakan penjumlahan daya dari beberapa titik

nanohidro

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada DP2M, Dirjen Dikti yang telah memberikan support

dana penelitian melalui program Penelitian Hibah Strategis Nasional dengan No Kontrak :

529/SP2H/PP/DP2M/VII/2010 tanggal 24 Juli 2010.

Daftar Pustaka

1. B. Nababan, Rancangan Sistem Kontrol Operasi Pembangkit Listrik Tenaga Air, Laporan penelitian IPB. Bogor (2001).

2. Dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (The National Electricity Plan), Departemen ESDM, Jakarta (2006).

3. E. Bedi, H. Falk, Small hydro power plants, Journal of Energy Saving Now, Vol. 1(2008) 4. B-O. Schultze, Siting for Nanohydro : a Primer, Journal of Home-Made Power, Vol. 15,

February / March (1990). 5. H. Nadjamuddin, M. Yamin dan N. Salam, Pemanfaatan Turbin Mikrohidro Untuk

Pembangkit Tenaga Listrik Di Desa Baji Minasa Kecamatan Bulukumpa Kabupaten

Bukukumba, Jurnal ASPI, Vol. I, No. 4, Februari (1995) 6. E. Mawardi, dan M.Memed, Pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro tipe

MdCCF di saluran irigas, Pusat Litbang Sumber Daya Air, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta (2008)

7. O.F. Patty, Tenaga Air, Erlangga, Jakarta (1995) 8. Satriyo, Puguh Adi, Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Untuk Daerah

Terpencil, Buletin Balitbang Dephan Volume 10 Nomor 18 (2007). 9. D. J. Fullford, P. Mosley and A.Gill, Recommendations on the use of microhydro power in

rural development, Journal of International Development, Vol. 12, 975 – 983 (2000) 10. I. Takane dan I. Hiromaro, Micro Turbine and Micro Hydro, Journal of the Institute of

Electrical Engineers of Japan, VoL.121; No.2; Page 119-122 (2001). 11. F. Dietzl, Turbin, Pompa dan Kompresor (alih bahasa Dakso Sriyono), Erlangga, Jakarta

(1992)

%12.40%100*83.5

34.2==sistemη

Page 26: jurnal metalurgi dan energi

Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 22 – 30

© Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran

22

STUDI EKPERIMENTAL LAJU ALIRAN MASSA AIR

BERDASARKAN PERUBAHAN SUDUT KEMIRINGAN UNTAI

PADA KASUS SIRKULASI ALAMIAH MENGGUNAKAN

UNTAI SIMULASI SIRKULASI ALAMIAH (USSA-FT01)

MULYA JUARSA†, ARIEF GOERITNO, ASEP SUHERI, IWAN SUMIRAT,

DEWANTO SAPTOADI, ANDIKA NURCAHYO

Engineering and Devices for Energy Conversion (EDfEC) Laboratory

Fakultas Teknik Univeristas Ibn Khaldun Bogor

Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor – Jawa Barat INDONESIA

diterima 3 November 2010

revisi 19 Pebruari 2011

dipublikasikan 28 Pebruari 2011

Abstrak. Optimalisasi pemanfaatan energi untuk efisiensi dilakukan selain merancang bangun alat konversi

energi yang baru, juga memanfaatkan hukum-hukum alam yang berlaku seperti fenomena natural sirkulasi

alamiah. Studi ekperimental dilakukan untuk memahami fenomena natural sirkulasi dengan menghitung laju

aliran massa air berdasarkan data perubahan temperatur pada bagian dingin dan bagian panas di untai USSA

FT-01. Konstruksi USSA FT-01 terdiri dari komponen pipa SS304 berdiameter 1 inci, heater, cooler dan

tangki ekspansi. Variasi eksperimen adalah beda ketinggian antara sisi panas dan sisi dingin berdasarkan

variasi sudut kemiringan untai, yaitu 30o, 45o dan 90o. Temperatur outlet dari heater (Th) dan temperatur

outlet dari cooler (Tc) digunakan sebagai parameter yang diukur dan direkam dengan rentang waktu

eksperimen selama 50 menit. Hasil ekperimen dan perhitungan menggunakan beberapa korelasi

menunjukkan, laju aliran massa air akan memiliki harga kestabilan yang secara berturut-turut adalah 5,6 gr/s,

4,9 gr/s dan 9,8 gr/s berdasarkan perubahan sudut kemiringan 30o, 45o dan 90o. Pengaruh beda temperatur

rata-rata lebih dominan dibandingkan gaya apung karena beda ketinggian.

Kata kunci : sirkulasi alamiah, fenomena, aliran, massa

Abstract. Optimizing energy utilization for more efficiency purpose can be done by design and construct a

new energy conversion devices, also apply a natural laws such as natural circulation. Experimental studies

has been conducting to understand the phenomena of natural circulation by calculating the water mass flow

rate based on temperature changes in the cold area and the hot area in the USSA FT-01’s loop. Construction

USSA FT-01 consists of components SS304 pipe 1 inch in diameter, heater, cooler and expansion tank.

Experimental variation is the height difference between hot side and cold side based on the variation of loop

angle, i.e. 30o, 45o and 90o. Outlet of the heater temperature (Th) and the outlet of the cooler temperature (Tc)

were used as a parameter that is measured and recorded with the experimental time range for 50 minutes.

Experimental results and calculations using multiple correlation shows that the water mass flow rate will

have a stable value in respectively 5.6 g/s, 4.9 g/s and 9.8 g/s based on angle variations of 30o, 45o and 90o.

The effect of average temperature difference is more dominant than the buoyancy force due to the difference

of height between the cold and hot side.

Keywords : natural circulation, phenomena, flow, mass

1. Pendahuluan

Perpindahan energi dalam bentuk kalor pada suatu peralatan konversi energi masih menjadi kajian

dan tema penelitian yang belum usang. Peningkatan kebutuhan energi yang terus-terusan mesti

diantisipasi dan hal ini memaksa penelitian terhadap fenomena yang muncul selama kalor

dipindahkan menjadi perhatian penting. Salah satu peralatan pemindah kalor berupa loop tertutup

† email : [email protected]

Page 27: jurnal metalurgi dan energi

Studi Eksperimen Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai ... 23

thermosyphon memiliki kemampuan untuk memindahkan kalor dari suatu sumber ke area yang

lebih dingin lain dengan jarak tertentu. Kondisi ini dapat digambarkan dengan loop tertutup yang

diisi fluida kerja (air). Jika salah satu bagian dipanaskan dan bagian lainnya didinginkan, maka

kerapatan air di bagian yang panas lebih rendah dibandingkan dengan bagian dingin. Perbedaan

tekanan hidrostatik karena kerapatan akan menyebabkan gradien kerapatan yang menggerakkan air

untuk mengalir di dalam loop. Kemampuan pergerakan molekul air karena beda kerapatan dan

ditambah adanya perbedaan ketinggian akan menimbulkan aliran di dalam loop. Stabilitas aliran

diharapkan akan timbul apabila terjadi perbedaan temperatur yang stabil antara bagian dingin dan

bagian panas. Aliran tanpa adanya intervensi mekanik seperti pompa atau kendali aliran, disebut

fenomena aliran sirkulasi alamiah. Aplikasi dari sirkulasi alamiah seperti pada teknologi pemanas

surya, konversi energi, pembangkit listrik tenaga nuklir dan termal control untuk komponen

elektronik.

Beberapa penelitian terkait fenomena sirkulasi alamian seperti yang dilakukan oleh Welander [1]

telah mempertimbangkan aspek penggerak (driven) dalam aliran yang timbul karena gaya apung

(buoyancy), perbedaan tekanan dan hambatan oleh gaya gesekan pada pipa. Kasus fluida laminar

pada fasa tunggal oleh Dobson [2], menjelaskan skema formulasi yang sederhana yang mampu

menangkap perilaku non-liner dan transien pada loop. Instabilitas aliran yang muncul belum dapat

dijelaskan. Penelitian lainnya seperti yang dilakukan oleh K.Chen [3] dan P.K. Vijayan [4-5],

menjelaskan instabilitas osilasi aliran dan stabilitas yang muncul pada loop yang dilakukan melalui

eksperimen dan simulasi komputer, meskipun kondisi batasnya belum didefiniskan secara baik.

Kemudian, review terhadap aliran thermosypon pada geometri umum dan aplikasinya telah

dilakukan oleh Grief [6], P.K. Vijayan et al. [5], and Zvirin [7], dimana untuk kasus untai

rektangular terbuka dan tertutup telah menekankan pada aliran steadi dan aliran transien seperti

halnya analisis stabilitas sistem berdasarkan variasi kondisi pemanasan dan pendinginan.

Sedangkan, Perbedaan kondisi batas termal, seperti perubahan sudut kemiringan untai telah

dipertimbangkan oleh Misale [8] dan konduksi termal pipa juga dipertimbangkan oleh Jiang [9–

12].

2. Metoda Eksperimen

Fasilitas Eksperimen

Fasilitas eksperimen yang ada di laboratorium teknik dan devais untuk konversi energi (EDfEC,

Engineering and Device for Energy Conversion) di FTUIKA Bogor, telah dikonstruksi pada tahun

2009. Fasilitas eksperimen yang disebut Untai simulasi sirkulasi alamiah (USSA-FT01) dibuat

dengan bentuk segi empat, dengan panjang 1,5 meter dan lebar 1,0 meter dibuat menggunakan

pipa SS304 dengan diameter 1 inch (2,54 cm). Sisi panjang terdiri dari 3 pipa dan sisi lebar terdiri

dari 2 pipa yang ujung-ujung dipasang flange, dengan tujuan agar ukuran untai dapat dimodifikasi

sesuai kebutuhan eksperimen. Gambar 1 menujukkan geometri USSA FT-01

Page 28: jurnal metalurgi dan energi

24 Mulya Juarsa dkk

Gambar 1. Geometri tampak atas USSA FT-01

Perubahan sudut kemiringan untai dilakukan dengan merubah kedudukan USSA FT-01 pada suatu

penopang persegi empat (berbahan CS), dimana penopang disambungkan dengan engsel. Busur

derajat dipasang pada salah satu engsel untuk mengetahui posisi kemiringan untai. Gambar 2

menunjukkan bagian lengkap dari fasilitas eksperimen. Gambar 2 menunjukkan posisi untai

berdasarkan kemiringan sudutnya. Ketinggian (H) diperoleh dengan rumus,

(550 )H mm Sinα= ×

Sistem intrumentasi adalah dengan mengendalikan temperatur yang dilakukan PLC yang

terkoneksi ke heater melalui SSR (solid state relay), dimana temperatur heater akan disesuikan

dengan perubahan temperatur pada cooler. Data pengukuran temperatur menggunakan termokopel

tipe K, kemudian data pengukuran direkam melalui sistem akuisisi data (DAS) WinDAQ T1000

dengan sampling rate 1 data per-detik pada 8 kanal (dalam makalah ini data hanya ditampilkan

untuk Th dan Tc). Gambar lengkap dari fasilitas eksperimen disajikan pada Gambar 3.

Gambar 2. Fungsi sudut kemiringan untai

550 mm

Page 29: jurnal metalurgi dan energi

Studi Eksperimen Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai ... 25

Gambar 3. Fasilitas eksperimen USSA FT-01

Prosedur Eksperimen

Eksperimen sebelumnya didahului dengan mengisi untai dengan air menggunakan katup inlet,

kemudian diberikan tekanan secara hidrostatik hingga mencapai 1 bar lebih (untuk menguji

kebocoran). Setelah tidak terjadi kebocoran, eksperimen sudah bisa dilakukan. Setelah air terisi

pada untai, setting terhadap system instrumentasi dilakukan. Kemudian posisi untai dirubah

berdasarkan sudut kemiringan yang ditentukan, dalam hal ini 30o, 45o dan 90o. Langkah pertama

menghidupkan cooler hingga temperatur minimal tercapai, sekitar -9 oC. Kemudian setelah itu,

daya heater dinaikkan secara gradual berdasarkan setting dari PLC melalui SSR. Persentase

kenaikan daya adalah sebesar 20% setiap 10 menit. Daya maksimal heater adalah 300 Watt. Saat

heater dihidupkan, maka DAS mulai merekam data. Eksperimen dilakukan untuk setiap

perubahan sudut untai

Perhitungan

Hasil pengamatan perbedaan temperatur pada heater dan cooler dikonversikan menjadi densitas

air untuk memperoleh perbedaan densitas air pada untai dari sifat fisik air, sehingga dapat

digunakan untuk menghitung laju aliran massa air yang terjadi di dalam untai USSA FT-01,

menggunakan korelasi (1)[10-11].

&m2

=2gH (ρc − ρh )ρ

R (1)

Dengan &m (kg/s) adalah laju aliran massa air, H (meter) adalah ketinggian antara heater dan

cooler, ρ (kg/m3) adalah massa jenis air, g percepatan gravitas (m/s

2) dan R adalah resistensi

hidrodinamika (m4). Hasil perkalian antara Q (m3/s) debit air dengan densitas air sama adalah laju

aliran massa air, seperti yang diuraikan melalui korelasi (2).

&m = Qρair = Avρ

(2)

Dengan A (m2) luasan hidrodinamika, v (m/s) kecepatan aliran air. Kemudian korelasi (1)

disubstitusikan ke dalam korelasi (2), sehingga diperoleh korelasi (3), sebagai berikut;

Page 30: jurnal metalurgi dan energi

26 Mulya Juarsa dkk

2

2 )(2

AR

gHv hc

ρ

ρρ −= (3)

Bilangan Reynolds yang mempunyai fungsi sebagai bilangan penentu aliran laminer atau aliran

turbulen yang timbul pada USSA FT-01 dihitung menggunakan korelasi (2). Korelasi (4)

menunjukkan hubungan bilangan Reynolds dengan faktor gesek Fanning. Faktor gesek Darcy

Weishbach (fD) mempunyai besar empat kali faktor gesek Fanning (ff), sehingga (fD) = 4 (ff) seperti

pada korelasi (5).

vDf f

ρ

µ16= (4)

vDf D

ρ

µ64= (5)

Kemudian harga resistensi termohidrolik ditunjukan pada korelasi (6)[12].

22

264

DvA

vDKLR

ρ

ρµ += (6)

Dengan L (m) panjang total untai, D (m) diameter dalam pipa. Untuk memperoleh kecepatan rata-

rata yang terjadi di dalam untai adalah dengan mensubstitusikan korelasi (6) ke dalam korelasi (3),

dengan menggunakan rumus abc diperoleh korelasi (7), sebagai berikut.

2

42

2

)(8)64(64

DK

DgHKLLv

hc

ρ

ρρρµµ −++−=

(7)

Harga untuk massa jenis air diperoleh dari table sifat fisik air berdasarkan perubahan

temperaturnya.

3. Hasil dan Pembahasan

Hasil pengukuran

Hasil pengukuran pada dasarnya dilakukan pada 8 titik pengukuran, untuk penelitian ini hanya 2

titik pengukuran temperatur saja yang ditampilkan. Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6

menyajikan hasil pengukuran Th dan Tc serta selisihnya berdasarkan vairasi sudut kemiringan untai

secara berturut-turut dari 30o, 45

o dan 90

o.

Gambar 4. Temperatur air pada daerah heater dan cooler untuk sudut kemiringan 30o

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Tem

per

atu

r T

erm

ok

op

el,

T[o

C]

waktu, t [detik]

Tc

Th

∆∆∆∆T=Th-T

c

Kurva Temperatur heater dan cooler USSA FT-01

α =30o

Page 31: jurnal metalurgi dan energi

Studi Eksperimen Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai ... 27

Gambar 5. Temperatur air pada daerah heater dan cooler untuk sudut kemiringan 45o

Gambar 6. Temperatur air pada daerah heater dan cooler untuk sudut kemiringan 90o

Fenomena perubahan temperatur selama 50 menit dapat dijelaskan sebagai berikut, pada Gambar 4

untuk sudut kemiringan 30o kenaikan temperatur air pada daerah heater terjadi dengan cepat dan

cukup tajam, dimulai dari 0 detik hingga sekitar 800 detik temperatur air yang semula 27 oC naik

menjadi 47 oC. Kemudian temperatur mulai stabil dari 800 detik hingga 3000 detik, meski pada

detik ke 2200, temperatur naik sekitar 8 oC. Kecenderungan kenaikan temperatur air yang tajam

pada daerah heater diimbangi dengan pengurangan temperatur air pada cooler, meski terjadi

kenaikan kembali mulai detik ke 800. Sedangkan pada posisi 45o (Gambar 5) profile temperatur

seperti pada kasus 30o tidak terjadi, temperatur air di daerah heater naik secara perlahan. Meskipun

demikian gradien kenaikannya sekitar 14 oC selama 1000 detik. Pada kasus kemiringan untai 90

o,

temperatur air di daerah heater dari awal naik secara perlahan hingga detik terakhir pada 3000

detik. Kenaikan hanya sekitar 6 oC selama 3000 detik. Perbedaan gradien keanikan temperatur jika

disimpulkan mengalami perubahan berdasarkan perubahan sudut kemiringan untai. Gradien

temperatur mengalami penurunan untuk kenaikan besarnya sudut kemiringan untai.

Pembahasan

Berdasarkan data pengukuran temperatur air pada daerah heater dan cooler sepertti yang

dipresentasikan pada Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6. Kemudian harga massa jenis air

berdasarkan perubahan temperatur menggunakan tabel sifat fisik air, kemudian data tersebut

dimasukkan ke dalam korelasi (7). Hasil perhitungan berdasarkan korelasi (7) kembali dimasukkan

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Tem

pera

tur

Ter

mo

ko

pel

, T

[oC

]

waktu, t [detik]

Tc

Th

∆∆∆∆T=Th-T

c

Kurva Temperatur heater dan cooler USSA FT-01

α =45o

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Tem

pera

tur

Ter

mo

ko

pel

, T

[oC

]

waktu, t [detik]

Tc

Th

∆∆∆∆T=Th-T

c

Kurva Temperatur heater dan cooler USSA FT-01

α =90o

Page 32: jurnal metalurgi dan energi

28 Mulya Juarsa dkk

ke dalam korelasi (2) dengan terlebih dahulu menghitung luas tampang lintang dalam pipa (A),

resistansi hidrodinamika (R). Hasil perhitungan disajikan pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9

untuk setiap perubahan besar sudut kemiringan.

Gambar 7. Laju aliran massa air terhadap waktu untuk sudut kemiringan 0o

Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9 memiliki profile perubahan laju aliran massa air yang sesuai

dengan profile perubahan temperatur di daerah heater atau selisih temperatur. Stabilitas laju aliran

pada kasus kemiringan 30o (Gambar 7) mulai terjadi pada detik 750 hingga detik ke 3000. Hal ini

sangat sesuai dengan yang terjadi pada perubahan temperatur seperti pada Gambar 4. Demikian

kondisi serupa juga terjadi pada Gambar 8 dan Gambar 9 untuk sudut kemiringan untai 45o dan

90o, bahwa pengaruh satbilitas temperatur pada untai akan berpengaruh pula pada stabilitas laju

aliran massa. Keadaan ini telah diprediksikan oleh Misale [10] dan D’Auria [11], bahwa stabilitas

temperatur akan berpengaruh pada stabilitas aliran fluida.

Gambar 8. Laju aliran massa air terhadap waktu untuk sudut kemiringan 45o

Mekanisme yang dapat dijelaskan dari kasus ini adalah, untuk sudut kemiringan untai 30o, efek

dari gaya apung dengan ketinggian H=0,275 meter menyebabkan gerakan molekul air untuk segera

mengisi kembali bagian yang kurang rapat kurang terbantu oleh efek gaya apung. Kemudian jika

dibandingkan dengan sudut kemiringan 45o dan 90

o, efek gaya apung semakin membesar seiring

dengan perubahan ketinggian, yaitu berturut-turut menjadi H= 389 meter dan H=0,550 meter.

Menjadi jelas bahwa, efek perubahan sudut kemiringan berlaku untuk waktu pencapaian kestabilan

selisih temperatur air. Sedangkan besarnya perubahan laju aliran massa air bergantung pada

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

0,00

0,02

0,04

0,06

0,08

0,10

0,12

0,14

0,16

0,18

0,20

Laj

u a

lira

n m

assa

air

, m

[k

g/s

]

waktu, t [detik]

data laju aliran massa air

Kurva laju aliran massa air

α =30o

laju aliran massa (rata2) = 0,05656 kg/s

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

0,00

0,02

0,04

0,06

0,08

0,10

0,12

0,14

0,16

0,18

0,20

Laj

u a

lira

n m

assa

air

, m

[k

g/s

]

waktu, t [detik]

data laju aliran massa air

Kurva laju aliran massa air

α =45o

laju aliran massa (rata2) = 0,04967 kg/s

Page 33: jurnal metalurgi dan energi

Studi Eksperimen Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai ... 29

kestabilan temperatur air. Beda besarnya laju aliran massa air terkait dengan beda temperatur air

pada daerah heater dan cooler. Hal tersebut dapat dijelaskan pada Gambar 10. Gambar 10

menjelaskan perubahan laju aliran massa air akan didominasi oleh besarnya beda temperatur air di

daerah heater dan cooler. Selain itu efek gaya apung memberikan kontribusi terhadap mekanisme

kestabilan temperatur dan laju aliran massa.

Gambar 9. Laju aliran massa air terhadap waktu untuk sudut kemiringan 90o

Gambar 10. Efek beda tempratur dan laju aliran massa air berdasarjan sudut kemiringan

4. Kesimpulan

Hasil studi eksperimental laju aliran massa air berdasarkan perubahan sudut kemiringan untai,

menyimpulkan bahwa:

- Karakteristik laju aliran massa dipengaruhi oleh beda temperatur air di daerah heater dan

cooler, serta beda ketinggian antara heater dan cooler.

- Laju aliran tertinggi adalah 0,098 kg/s untuk H=0,550 m dan beda temperatur rata-rata 38,19 oC untuk sudut 90o. Laju aliran minimal terjadi pada sudut 45o, dikarenakan beda temperatur

rata-ratanya 16,37 oC meskipun memiliki ketinggian H yang lebih besar dibandingkan sudut

kemiringan 30o.

- Keadaan tersebut menyimpulkan bahwa, efek besarnya perbedaan rata-rata temperatur air

pada daerah heater dan cooler lebih besar dibandingkan efek gaya apung yang beracuan pada

beda ketinggian.

-500 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

0,00

0,02

0,04

0,06

0,08

0,10

0,12

0,14

0,16

0,18

0,20

Laj

u a

lira

n m

assa

air

, m

[k

g/s

]

waktu, t [detik]

data laju aliran massa air

Kurva laju aliran massa air

α =90o

laju aliran massa (rata2) = 0,09804 kg/s

0 15 30 45 60 75 90 105 120

0,00

0,02

0,04

0,06

0,08

0,10

0,12

0,14

0,16

0,18

0,20

Rata-rata laju aliran massa air

Laju

ali

ran

mass

a a

ir r

ata

-rat

a [

kg

/s]

sudut kemiringan untai, α[o]

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

Beda t

empera

tur

rata

-rata

[oC

]

∆Trata-rata

Page 34: jurnal metalurgi dan energi

30 Mulya Juarsa dkk

Studi awal ini menunjukkan bahwa perlunya dilakukan eksperimen lanjutan dengan menetapkan

beda temperatur air harus sama. Sehingga efek gaya apung terhadap mekanisme pergerakan fluida

akan lebih diperjelas dan dianalisis dengan baik.

Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakutas Teknik UIKA Bogor atas dukungan

moril dan menyediakan Lab. EdfEC untuk riset dosen dan mahasiswa. Para sarjana alumni EDfEC

maupun yang masih riset TA, kami ucapkan terimakasih atas kerjasama dan kerja kerasnya.

Daftar Pustaka

1. P. Welander, Journal of Fluid Mech, 29, Part 1, 17-30 (1967). 2. R.T. Dobson, Transient response of a closed loop thermosyphon, R & D J., 9, 32-38 (1993). 3. K. Chen, On the oscillatory instability of closed-loop thermosypons, Journal of Heat Transfer ,

105 (1985). 4. P.K.Vijayan et al., Effect of loop diameter on the stability of single-phase natural circulation in

rectangular loop, Proc. 5th Int.Topical Meeting on reactor thermal hydraulics (Salt Lake City), September 21-24. pp 261-267 (1992).

5. P.K.Vijayan et al., Simulation of unstable oscillatory behaviour of single-phase natural circulation with repetitve flow reversals in a rectangular loop using computer code ATHLET, Nuclear Engineering and Desaign, 155, 623-41 (1995).

6. R. Greif, Natural circulation loops, Journal of Heat Transfer, 110, 1243–57 (1988) . 7. Y. Zvirin, A review of N. C. loops in PWR and other systems, Nuclear Engineering and

Design, 67, 203–25 (1981). 8. M. Misale et al., Some considerations on the interaction between the fluid and wall tube during

experiments in a single-phase natural circulation loops, IASME Transaction Issue 9 , 2, 1717–22 (2005).

9. Y.Y. Jiang, M. Shoji, Flow stability in a natural circulation loop: influence of wall thermal conductivity, Nuclear Engineering Design, 222, 6–28 (2003).

10. M. Misale et al., Experiments in a single-phase natural circulation mini-loop, University of Genoa, Genoa, Italy (2006).

11. F. D’Auria, et al., Insights Into Natural Circulation Stability, Dipartimento Di Ingegneria Meccanica, Nucleare e Della Produzione Universita' di Pisa 56100 Pisa, Italy, IAEA Course on Natural Circulation in Water-Cooled Nuclear Power Plants, ICTP, Trieste, Italy, 25-29 June (2007).

12. P.K. Vijayan et al., Experimental observations on the general trends of the steady state and

stability behaviour of single-phase natural circulation loops, Nuclear Engineering and Design, 215, 139–52 (2002)

Page 35: jurnal metalurgi dan energi

Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 31 – 39

© Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran

31

ESTIMASI DISTRIBUSI TEMPERATUR, ENTALPI DAN TEKANAN

DALAM RESERVOIR PANAS BUMI

ALAMTA SINGARIMBUN†, ROBI IRSAMUKHTI

KK Fisika Sistim Kompleks, Prodi Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Teknologi Bandung

Jl. Ganesha 10 Bandung

CYRKE A. BUJUNG

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Negeri Manado

diterima 3 November 2010

revisi 9 Februari 2011

dipublikasikan 28 Februari 2011

Abstrak. Karakteristik reservoir panas bumi ditentukan oleh beberapa sifat fisisnya, antara lain distribusi

temperatur, tekanan, dan entalpi. Oleh karena itu pengetahuan akan nilai-nilai parameter tersebut amat

penting. Penelitian ini dilakukan untuk memperkirakan nilai-nilai parameter tersebut dengan teknik simulasi.

Untuk itu beberapa persamaan matematis dari hukum-hukum kekekalan, termodinamika serta aliran fluida

dalam medium berpori dipadukan. Untuk melakukan perhitungan dilakukan model numerik 2D yang

dibangun melalui metode diskretisasi beda hingga. Dalam hal ini reservoir diasumsikan terisi oleh air dalam

kondisi satu fasa. Fluks energi disuplai secara terus menerus dari ruang magma melalui rekahan pada dasar

formasi reservoir. Hasilnya dapat terlihat berupa peningkatan nilai temperatur, entalpi sebagai fungsi waktu

pada formasi reservoir. Meningkatnya nilai entalpi dan temperatur memiliki kecenderungan yang sama, akan

tetapi peningkatan tersebut tidak linear terhadap kedalaman. Apabila entalpi melebihi nilai entalpi saturasi air,

maka fasa fluida dalam reservoir berubah dari fasa cair menjadi sistim dua fasa.

Kata kunci : reservoir panas bumi, medium berpori, diskritisasi beda hingga, fluks energi

Abstract. Characteristics of the geothermal reservoir is determined by several physical properties, among

others, is the distribution of temperature, pressure, and enthalpy. Therefore, knowledge of these parameter

values is very important. This research was conducted to estimate the value of these parameters with

simulation techniques. For that some mathematical equations of conservation laws, thermodynamics and

fluid flow in porous medium combined. To do the calculations performed 2D numerical model developed by

discretizing the finite difference method. In this case the reservoir is assumed to be filled by water in a single-

phase conditions. Energy flux is continuously supplied from the magma chamber through the fracture at the

base of the reservoir formation. The results can be seen by increasing the value of the temperature, enthalpy

as a function of time at the reservoir formation. Increasing the value of enthalpy and temperature have the

same trend, but the increase was not linear with depth. If the enthalpy exceeds the value of enthalpy of water

saturation, the fluid phase in the reservoir changed from liquid to two-phase system.

Keywords : geothermal reservoir, porous medium, finite difference discretization, energy flux

1. Pendahuluan

Isu energi merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian yang sangat serius di dunia saat ini.

Seiring dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi dan gas (migas) di seluruh dunia

akibat eksploitasi terus menerus, maka dibutuhkan pencarian sumber-sumber energi alternatif baru

untuk mengatasi berkurangnya pasokan energi dari migas di masa datang. Dalam hal ini, salah satu

† email : [email protected]

Page 36: jurnal metalurgi dan energi

32 Alamta Singarimbun, Robi Irshamukhti dan Cyrke A. Bujung

sumber energi yang dapat dikembangkan untuk mengatasi krisis migas adalah energi panas bumi.

Energi panasbumi merupakan energi panas dari dalam bumi yang dibangkitkan oleh proses

magmatisasi lempeng-lempeng tektonik. Besarnya potensi cadangan suatu lapangan panas bumi

dapat digambarkan dengan beberapa parameter reservoir seperti temperatur, tekanan, dan entalpi

yang merepresentasikan energi termal yang terkandung di dalam fluida reservoir tersebut. Karena

itu pengetahuan mengenai distribusi temperatur, tekanan, dan entalpi dari sistem reservoir

merupakan hal yang sangat penting.

2. Aliran Fluida dalam Reservoar Panas Bumi

Aliran fluida melalui medium berpori dan proses penghantaran panas (heat transport) merupakan

dasar dari model matematis sistem panas bumi fasa tunggal [1]. Gerakan fluida melewati zona

permeabel secara diasumsikan tidak kencang, karena itu berlaku hukum empiris Darcy, yaitu :

( )PDgk

Qm ∇−∇= ρν

(1)

dimana Qm adalah fluks massa fluida per satuan luas, k adalah permeabilitas, ν merupakan

viskositas kinematik, ρ adalah densitas fluida, g adalah percepatan gravitasi, D∇ adalah gradien

kedalaman, dan P∇ adalah gradien tekanan.

2.1. Kekekalan Massa dalam Sistem Reservoir

Dalam kesetimbangan fluida dengan aliran transien, perubahan massa terhadap waktu di dalam

reservoir haruslah sama dengan selisih fluks massa yang masuk ke dalam reservoir dan fluks

massa yang keluar reservoir selama selang waktu tersebut. Secara matematis, hubungan ini dapat

dirumuskan sebagai:

mm Qqt

W•∇−=

∂ (2)

dimana W adalah massa di dalam reservoir per unit volume, t adalah waktu dan qm merupakan

fluks massa sumber (inlet) per unit volume serta Qm merupakan fluks massa keluar reservoir

(outlet) per unit volume. Persamaan (2) merupakan jenis persamaan difusi dan merupakan

persamaan diferensial parsial parabolik. Persamaan ini dapat disusun lagi penulisannya dalam

bentuk:

0=−•∇+∂

∂mm qQ

t

W (3)

Fluida yang dimodelkan di dalam simulasi ini merupakan fluida satu fasa air, sehingga saturasi air

dapat diasumsikan sama dengan 1. Jika Φ adalah porositas medium, maka dengan

mensubstitusikan persamaan (1) ke dalam persamaan (3) diperoleh persamaan (4) [2].

0()(

=−

∇−∇−•∇+

Φ∂mqDgP

k

ν

ρ (4)

Oberbeck-Boussinesq mengasumsikan bahwa perubahan massa jenis dalam persamaan (4) tersebut

dapat diabaikan kecuali untuk suku Dg∇ρ dalam hukum Darcy [3]. Oleh karena itu, jika

porositas medium diasumsikan konstan maka persamaan (4) tereduksi menjadi persamaan (5).

Page 37: jurnal metalurgi dan energi

Estimasi Distribusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoir Panas Bumi 33

0( =−

∇−∇−•∇ mqDgP

ν (5)

2.2. Kekekalan Energi dalam Sistem Reservoir

Reservoir panas bumi mendapatkan energi dari ruang magma melalui proses recharge. Energi di

dalam reservoir dapat mengalir keluar reservoir melalui proses discharge. Dalam keadaan

setimbang, perubahan energi terhadap waktu di dalam reservoir haruslah sama dengan selisih dari

fluks energi yang masuk ke dalam reservoir dan fluks energi yang keluar reservoir selama selang

waktu tersebut. Secara matematis, hubungan ini dapat dirumuskan persamaan (6)

ee Qqt

E•∇−=

∂ (6)

dimana E adalah energi dalam reservoir, qe adalah fluks energi sumber dan Qe merupakan fluks

energi yang keluar dari reservoir. Persamaan (6) dapat disusun menjadi persamaan (7).

0=−•∇+∂

∂ee qQ

t

E (7)

Jika ρr adalah densitas batuan dan hr adalah entalpi batuan, maka dengan memasukkan persamaan

(2) dan (3) ke dalam persamaan (7), diperoleh persamaan (8) [4].

0)()1( =−∇−•∇+Φ−+Φ∂

∂emrr qTKhQhh

tρρ (8)

Berdasarkan hubungan termodinamika didefenisikan bahwa T merupakan fungsi dari P dan h

sehingga TK∇ dapat diuraikan secara parsial menjadi persamaan (9).

hh

TKP

P

TKTK

Ph

∂+∇

∂=∇ (9)

Jika persamaan (2) disubstitusikan ke dalam persamaan (9) akan didapatkan persamaan (10).

0)()(

)()1(

=−∇∂

∂+∇

∂•∇−

∇−∇−•∇+Φ−+Φ∂

ePh

rr

qhh

TKP

P

TK

hDgPk

hht

ρν

ρρ (10)

Persamaan (10) dapat disusun penulisannya dalam bentuk persamaan (11).

0)()(

)1(

22

22

=−∇∂

∂−∇

∂−

∇+∇−Φ−+Φ∂

ePh

rr

qhh

TKP

P

TK

Dghk

Phk

hht

ρνν

ρρ (11)

3. Metodologi

Persamaan (5) untuk kesetimbangan massa dan persamaan (11) untuk kesetimbangan energi

merupakan persamaan utama yang digunakan dalam program simulasi ini. Agar persamaan

Page 38: jurnal metalurgi dan energi

34 Alamta Singarimbun, Robi Irshamukhti dan Cyrke A. Bujung

tersebut dapat dimasukkan ke dalam proses komputasi, maka dibutuhkan perhitungan numerik dan

pemberian syarat awal (initial value problem) serta syarat batas (boundary condition) terhadap

kedua persamaan tersebut. Untuk tujuan tersebut digunakan metode diskretisasi numerik beda

hingga selisih pusat (central finite difference method).

Di dalam simulasi ini, pengaruh gravitasi terhadap laju fluks massa yang dirumuskan di dalam

hukum empiris Darcy diabaikan. Akibatnya, persamaan (5) dan persamaan (11) tereduksi menjadi

persamaan (12) [5].

errPh qhht

hh

TKP

P

TKh

k−Φ−+Φ

∂=∇

∂+∇

∂+ )1()()( 22 ρρ

ν (12)

3.1. Skema Numerik Sistem Reservoir

Dengan menggunakan metode beda hingga selisih pusat (central finite difference method),

persamaan (12) dapat diaproksimasi menjadi persamaan (13) [6].

022

2

,1,,11

2

,1,,11 =∆

+−+

+− −+−+

z

PPP

x

PPP kikikkikik (13)

Dengan menggunakan diskretisasi beda hingga (finite difference) dan skema metode numerik

FTCS (forward time centered space), persamaan (13) dapat diaproksimasi dan ditulis dalam

bentuk persamaan (14) [3].

( )

( ) n

jie

n

ki

n

ki

n

kih

n

ki

n

ki

n

kihn

ki

n

ki

qA

thhh

zA

tT

hhhxA

tThh

,1,,1,2

,1,,12,

1

,

2

2

∆++−

∆+

+−∆

∆+=

−+

−++

(14)

dimana n merupakan level waktu.

3.2. Geometri, Syarat Batas dan Syarat Awal Reservoir

Reservoir pada simulasi ini diasumsikan berada pada keadaan alaminya tanpa ada perlakuan

proses produksi selama simulasi baik berupa pengambilan massa fluida dari dalam reservoir

maupun injeksi fluida ke dalam reservoir. Pada keadaan awal, belum ada aliran massa maupun

energi dari dan keluar reservoir, reservoir pada keadaan ini diasumsikan berada pada fasa air

dengan gradien temperatur 0,07 °C/m [7].

Formasi reservoir terletak pada kedalaman 250 meter di bawah permukaan bumi dengan ketebalan

formasi 1,5 km dan lebar formasi secara horizontal juga 1,5 km. Ketebalan 250 m pada bagian

paling bawah formasi ditafsirkan sebagai daerah di bawah pengaruh kuat ruang magma (magma

chamber) dan ruang tengah vertikal pada reservoir merupakan daerah rekahan (fractured zone)

yang memiliki porositas dan konduktivitas termal paling tinggi dibandingkan daerah sekitarnya.

Formasi ini selanjutnya didiskretisasi dengan ukuran grid 5x5 m.

Semua dinding reservoir diasumsikan impermeabel baik terhadap fluks massa maupun fluks energi

kecuali sel paling bawah pada ruang magma yang terletak pada daerah rekahan merupakan daerah

yang permeabel terhadap fluks energi. Geometri dan kondisi batas dari reservoir selanjutnya

diperlihatkan pada Gambar 1.

Page 39: jurnal metalurgi dan energi

Estimasi Distribusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoir Panas Bumi 35

Gambar 1. Geometri dan Kondisi Batas Reservoir

Daerah yang diarsir pada gambar di atas menyatakan daerah rekahan dengan porositas dan

konduktivas termal paling tinggi, warna merah-gelap menyatakan daerah yang ditafsirkan sebagai

daerah di bawah pengaruh kuat ruang magma, dan sel dengan warna hitam merupakan daerah yang

permeabel terhadap fluks energi tempat masuknya energi dari ruang magma ke dalam reservoir.

Formasi yang ditinjau lebih lanjut dalam simulasi ini adalah daerah di atas warna merah-gelap.

Daerah warna merah-gelap (daerah di bawah pengaruh kuat ruang magma) memiliki kontras

entalpi dan temperatur yang sangat tinggi dibandingkan dengan daerah di atasnya, sehingga

meninjaunya sekaligus dengan daerah di atasnya menyebabkan daerah di atasnya menjadi tidak

signifikan. Nilai parameter/variabel fisis yang digunakan dalam simulasi ini dinyatakan dalam

Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Parameter / Variabel Fisis

Parameter/Variabel Fisis Nilai Satuan

Konduktivitas Termal Zona Rekahan 5 Watt/m.K

Konduktivitas Termal Daerah Sekitar 1 Watt/m.K

Kapasitas Panas Spesifik 775 J/kg.K

Densitas Fluida 1,000 kg/m3

Densitas Batuan 2,700 kg/m3

Porositas Zona Rekahan 17 %

Porositas Daerah Sekitar 1,7 %

Fluks Energi Sumber 100 MWatt/kg.m2

Pendekatan hidrostatik digunakan untuk menyatakan syarat awal simulasi distribusi tekanan, dan

keadaan awal reservoir dengan gradien temperatur 0,07 °C/m digunakan untuk menyatakan syarat

awal entalpi. Distribusi temperatur pada simulasi ini diperoleh secara manual dari steam table [8]

JSME berdasarkan kenyataan bahwa secara termodinamika variabel temperatur merupakan fungsi

dari tekanan dan entalpi.

qe =0, Qe =0

qm=0, Qm=0qe ? 0, Qe =0qm=0, Qm=0

qe =0, Qe =0

qm=0, Qm=0

qe =0, Qe =0qm=0, Qm=0 qe =0, Qe =0

qm=0, Qm=0

qe =0, Qe =0

qm=0, Qm=0

Page 40: jurnal metalurgi dan energi

36 Alamta Singarimbun, Robi Irshamukhti dan Cyrke A. Bujung

4. Hasil dan Analisis

4.1. Distribusi Tekanan

Setelah program perhitungan numerik dijalankan, diperoleh hasilnya bahwa distribusi tekanan

hanya sedikit bergantung terhadap waktu. Hal ini karena asumsi tidak adanya fluks massa yang

masuk dan keluar reservoir. Distribusi tekanan merupakan distribusi tekanan hidrostatis, dengan

tekanan terendah terletak pada bagian atas formasi dengan nilai 2,6 MPa sedangkan tekanan

tertinggi terletak pada bagian paling bawah formasi dengan nilai 17,251 MPa. Distribusi tekanan

ini valid selama fasa fluida yang digambarkan oleh distribusi ini masih dalam fasa air.

4.2. Distribusi Entalpi

Keadaaan awal reservoir pada simulasi ini merupakan reservoir fasa tunggal (air). Dengan adanya

fluks energi yang masuk ke dalam reservoir secara terus menerus dari ruang magma

mengakibatkan keadaan air berubah menjadi uap atau dua fasa uap-air.

Gambar 2. Distribusi Entalpi Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-50

Gambar 3. Distribusi Entalpi Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-100

Page 41: jurnal metalurgi dan energi

Estimasi Distribusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoir Panas Bumi 37

Gambar 4. Distribusi Entalpi Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-150

Hasil simulasi di atas menunjukkan adanya perambatan energi ke seluruh formasi reservoir akibat

adanya fluks energi dari ruang magma yang masuk terus menerus ke dalam reservoir seperti

diperlihatkan pada Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4.. Perambatan energi ini mengakibatkan

peningkatan energi pada permukaan yang ditunjukkan dengan peningkatan entalpi reservoir di

permukaan. Peningkatan energi ini dapat menyebabkan perubahan fasa fluida dari air menjadi uap

atau dua fasa uap-air jika peningkatan entalpi telah melewati ambang batas nilai entalpi saturasi air.

Akibatnya ketebalan reservoir yang hanya mengandung satu fasa air semakin lama akan semakin

menipis seiring dengan peningkatan waktu. Pada tahun ke-1500, ketebalan reservoir fasa air pada

daerah rekahan hanya tersisa 5 meter dengan nilai entalpi pada bidang batas dua-fasa sebesar 830

kJ/kg dan besarnya entalpi di permukaan reservoir 540 kJ/kg. Simulasi ini dilakukan sampai

dengan tahun ke-1500, di atas 1500 tahun fluida di seluruh ruang tengah reservoir (fractured zone)

telah berubah menjadi uap.

4.3. Distribusi Temperatur

Distribusi temperatur untuk keadaan satu fasa ditampilkan pada Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar

7. Bidang datar x-y dalam gambar tersebut menyatakan bidang vertikal reservoir 2D yang

disimulasikan dan 0 pada sumbu thickness of reservoir dimulai dari permukaan reservoir itu

sendiri.

Terlihat pada hasil simulasi tersebut bahwa distribusi temperatur memiliki kecenderungan yang

sama dengan distribusi entalpi. Ketebalan reservoir yang hanya mengandung satu fasa air semakin

lama akan semakin menipis seiring dengan peningkatan waktu. Hal ini diikuti dengan peningkatan

temperatur yang terus merambat ke permukaan. Akan tetapi, sebagaimana dengan hasil simulasi

entalpi, peningkatan ini secara umum tidaklah linear terhadap kedalaman. Linearitas baru

diperoleh ketika ketebalan reservoir yang hanya mengandung satu fasa air tersebut semakin

menipis.

Page 42: jurnal metalurgi dan energi

38 Alamta Singarimbun, Robi Irshamukhti dan Cyrke A. Bujung

Gambar 5. Distribusi Temperatur Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-50

Gambar 6. Distribusi Temperatur Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-100

Gambar 7. Distribusi Temperatur Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-250

Page 43: jurnal metalurgi dan energi

Estimasi Distribusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoir Panas Bumi 39

5. Kesimpulan

Hasil simulasi dapat memperlihatkan distribusi beberapa parameter fisis penting dalam reservoir

bumi. Distribusi nilai tersebut dapat dilihat perubahannnya sebagai fungsi waktu Besarnya nilai

temperatur di permukaan reservoir pada zona rekahan pada tahun ke- 50, 100 dan 250. Hasil ini

dapat memberi gambaran untuk memperkirakan kapan suatu reservoir panas bumi dapat secara

poternsial untuk dieksploitasi. Hal ini bergantung kepada efek termal dari ruang magma yang telah

mulai sampai ke permukaan reservoir yang ditunjukkan dengan kenaikan temperatur di permukaan

reservoir.

Daftar Pustaka

1. T.N. Narasimhan, and K. Pruess. A Practical Method for Modelling Fluid and Heat Flow in Fractured Porous Media. Lawrence Berkeley Laboratory LBL-13487, University of California, (1982).

2. A. Singarimbun, A Numerical Model of Magmatic Hydrothermal System: “A Case Study of

Kuju Volcano, Central Kyushu, Japan. Kyushu: Department of Mining Engineering, Faculty of Mining, Kyushu University (1997).

3. A. Sumardi, Pemodelan Numerik Sistem Hidrotermal Lapangan Panasbumi Kamojang. Bandung: Departemen Fisika FMIPA ITB (2005).

4. G.S. Bodvarsson, and K. Pruess and M.J. Lipmann. Modelling of Geothermal System. California: University of California (1985).

5. P.S. Huyakorn, and G. F. Pinder. Computational Methods in Subsurface Flow. New York: Academic Press, Inc. (1983).

6. A.R., Mitchell, and D.F. Griffiths. The Finite Difference Method in The Partial Differential Equations. John Wiley & Sons Ltd. (1980).

7. J. LeVeque Randall, Finite Difference Methods for Differential Equations. University of Washington. (2006).

8. JSME. JSME Steam Tables. Japan: The Society of Mechanical Engineers (1980).

Page 44: jurnal metalurgi dan energi

Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 40 – 46 © Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran

40

KARAKTERISTIK FOTODIODA DAN SEL SURYA HIBRID BERBASIS

POLIMER POLIALKILTIOFEN

RAHMAT HIDAYAT†,1, ANNISA APRILIA1,2, PRIASTUTI WULANDARI1, HERMAN1

1) Kelompok Keahlian Fisika Magnetik dan Fotonik, Program Studi Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung

Jl. Ganesha 10, Bandung 40132

2) Program Studi Fisika, Jurusan Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran

Jl. Raya Bandung – Sumedang km. 21, Sumedang 45363

diterima 3 November 2010 revisi 8 November 2010

dipublikasikan 28 Februari 2011

Abstrak. Telah dilakukan kajian karakteristik fotoarus dari fotodioda dengan polialkiltiofen, yakni poliheksiltiofen (P3HT) regio-regular, sebagai bahan aktifnya. Fotodioda tersebut dibuat dalam bentuk struktur lapis tunggal dengan susunan ITO/P3HT/Al. Karakteristik fotoarus yang teramati menunjukkan karakterisitik fotodioda umumnya yang dicirikan oleh kondisi space-charged limited current. Akan tetapi, besar fotoarus tidak tepat bergantung secara kuadratis terhadap tegangan bias, melainkan sedikit bervariasi bergantung pada intensitas cahaya, yang diduga terkait dengan proses generasi dan transpor pembawa muatan dalam bahan ini. Karakteristik fotovoltaik dari polimer ini juga telah dikaji dalam struktur sel surya terbalik (inverted) dengan konfigurasi ITO/ZnO/P3HT/Ag, dimana lapisan ZnO-nya dibuat dengan metoda sol-gel. Karakteristik fotovoltaik teramati dengan potensial elektroda Ag lebih positif dari elektroda ITO, yang berarti elektron mengalir dari ITO ke Ag di dalam rangkaian beban. Meski rapat fotoarus lebih kecil dibanding dengan sel surya P3HT/fullerene, dari hasil ini dapat diklarifikasi kemungkinan terjadinya proses transfer elektron dari P3HT ke lapisan ZnO, yang juga berperan sebagai lapisan pemblok hole.

Kata kunci : sel surya hibrid, polialkiltiofen, polimer terkonjugasi, ZnO, sol-gel, fotodioda, fotovoltaik

Abstract. Photocurrent characteristics of photodiode made from poly(alkylthiophene) as the active material, namely regio-regular polyhexylthiophene, has been carried out. This photodiode has a single layer structure with ITO/P3HT/Al configuration. The measured photocurrent shows a typical photodiode characteristics which is indicated by space-charged limited current. However, the photocurrent is not exactly depending on the square of bias voltage, but it is slightly influenced by the light intensity which is related with the photogeneration and transport of charge carrier. The photovoltaic characteristics of this polymer has been also investigated in an inverted solar cell structure with ITO/ZnO/P3HT/Ag configuration, where the ZnO layer was prepared by sol-gel method. The photovoltaic characteristics was indicated by the Ag electrode with more positive potential than the ITO electrode, as the result of electron flowing from ITO to Ag inside the load circuit. Although the photocurrent density is smaller compared to the P3HT/fullerene system, the result may confirm electron transfer process from P3HT to ZnO layer, which is also functioning as hole blocking layer.

Keywords : hybrid solar cell, poly(alkylthiophene), conjugated polymers, ZnO, sol-gel, photodiode, photovoltaic

1. Pendahuluan

Berbagai jenis sel surya telah dikembangkan menggunakan bahan anorganik, seperti silikon, CdTe, GaAs, dan kombinasi dari golongan I-III-VI (misalnya, CuInSe). Dalam dua dekade terakhir ini, berbagai upaya telah dilakukan secara intensif untuk mengembangkan sel surya dengan

† email : [email protected]

Page 45: jurnal metalurgi dan energi

Karakteristik Fotodioda dan Sel Surya Hibrid berbasis Polimer Polialkiltiofen 41

menggunakan bahan organik, yang dapat dikelompokkan menjadi dye synthesized solar cell (DSC)

dan conjugated polymer solar cell (CPSC). Tipe DSC umumnya berbentuk sel basah yang memiliki efesiensi konversi energi yang relatif besar tetapi rentan terhadap terjadinya aglomerasi dye dan kebocoran larutan elektrolitnya [1]. CPSC memiliki bentuk padatan (all solid state

devices) sehingga terbebas dari masalah tersebut, namun sayangnya efesiensi konversi sel surya ini masih rendah dibandingkan tipe DSC. Di antara sel surya berbahan organik ini, sel surya yang menggunakan polimer terkonjugasi dan turunan fullerene merupakan salah satu jenis yang paling

banyak dipelajari, dengan efesiensi konversi hingga 4.4% telah dilaporkan [2]. Selain kedua tipe sel surya tersebut, akhir-akhir ini telah dilakukan berbagai upaya untuk mengembangkan sel surya hibrid dengan struktur persambungan hetero dari bahan polimer terkonjugasi dan semikonduktor oksida logam [3].

Struktur sel surya hibrid organik/anorganik mendapatkan perhatian yang cukup besar akhir-akhir ini dalam upaya meningkatkan kinerja devais berbasis bahan polimer/organik. Dalam struktur

semacam tersebut, perbedaan tingkat energi pada persambungan diharapkan akan memfasilitisasi pemisahan eksiton, yang merupakan produk primer serapan cahaya oleh polimer terkonjugasi. Di antara bahan oksida yang sering dipakai, ZnO mendapatkan perhatian yang besar karena lapisan tipis ZnO dapat disintesis dalam suhu rendah dan dengan berbagai metoda penumbuhan, termasuk metoda deposisi kimia dan sol-gel yang relatif sederhana. Semikonduktor oksida ini memiliki energi ikat eksiton sebesar 60 meV pada suhu kamar. Tanpa adanya dopan pada ZnO, material ini

merupakan bahan semikonduktor tipe-n. [5]

Dalam makalah ini akan dipaparkan hasil kajian kami tentang fabrikasi sel surya hibrid dengan persambungan hetero ZnO/poli(alkiltiofen) dan karakteristik fotovoltaiknya. Metoda pembuatan lapisan tipis ZnO yang digunakan adalah metoda deposisi kimia dan sol-gel. Metoda ini dipilih karena kemudahan proses pembuatan lapisan tipis, yang memiliki potensi untuk sel berpenampang luas nantinya. Fungsi kerja dari sel surya ini dikaji melalui pengukuran karakteristik fotoarus statik

dan transien. Akan juga dicoba dikaji kemungkinan keterkaitannya dengan proses elektronik dan pengaruh dari nano-morfologi lapisan ZnO.

2. Eksperimen

Polialkiltiofen yang digunakan dalam penelitian ini adalah P3HT, yang memiliki gugus samping alkil (R = CnHn+1) dengan panjang n = 6. Lapisan tipis polimer dibuat dengan spin-coating larutan polimer dalam kloroform atau toluene pada substrat gelas atau gelas ITO. Untuk mempelajari

karakteristik fotoarus, lapisan tipis polimer di atas gelas ITO kemudian dilapisi dengan logam (Aluminium) melalui metoda deposisi vakum fisis. Karakteristik fotoarus dikaji melalui pengukuran tegangan bias vs. fotoarus (I-V).

Untuk membentuk sel surya, lapisan tipis ZnO dibuat lebih dulu di atas gelas ITO dan kemudian dilanjutkan dengan lapisan politiofen serta lapisan logam (Ag). Susunan tersebut membentuk struktur hibrid juga membentuk struktur terbalik (inverted), yakni pengkoleksian elektron pada sisi

ITO. Lapisan ZnO di sini adalah lapisan ZnO dengan doping Alumunium yang dipreparasi melalui metoda sol-gel. Larutan prekursor dibuat dari Zn asetat dihidrat di dalam pelarut metanol atau metoksietanol dengan tambahan dietilamin atau dietanolamin sebagai stabilisator. Larutan prekursor tersebut kemudian dispin-coating di atas gelas ITO dan dikenai pemanasan bertahap mulai dari suhu 100 oC hingga 500 oC. Pengukuran Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Atomic Force Microscopy (AFM) dilakukan untuk mengetahui morfologi dari lapisan ZnO

tersebut. Karakteristik sel surya dikaji melalui pengukuran I-V, dalam keadaan gelap dan di bawah penyinaran cahaya, dan pengukuran spektrum fotoarusnya.

Page 46: jurnal metalurgi dan energi

42 Rahmat Hidayat dkk

3. Hasil dan pembahasan

3.1. Karakteristik foto arus

Gambar 1 menunjukkan hubungan antara tegangan bias vs. fotoarus (I-V) yang diukur dari struktur ITO/regio-regular P3HT/Al di bawah pengaruh bias mundur dan maju. Kebergantungan terhadap intensitas cahaya penyinaran di bawah bias mundur lebih tampak jelas dibandingkan di bawah bias maju. Dalam kondisi gelap, fotoarus tidak teramati karena belum ada pembentukan pembawa muatan di dalam polimer. Dalam keadaan bias maju, arus lebih didominasi dengan arus

injeksi sehingga kontribusi dari fotoarus kurang terlihat. Di bawah panjar mundur, arus injeksi sangatlah kecil sehingga kontribusi fotoarus menjadi dominan. Kebergantungan fotoarus terhadap tegangan bias ternyata tidak secara linier, melainkan mengikuti suatu fungsi pangkat berbentuk

( ) bVaVI = . Inset dalam Gambar 1 menunjukkan bahwa kurva I-V tersebut dapat difit dengan

hubungan tersebut dengan a = 6.6 10-10 A and b = 2.2. Hal ini menunjukkan bahwa fotoarus

bergantung hampir secara kuadratis terhadap tegangan bias.

Kebergantungan fotoarus secara kuadratis terhadap tegangan bias dapat mengindikasikan bahwa karakteristik fotoarus dibatasi oleh akumulasi pembawa muatan pada bidang batas elektroda. Kondisi semacam ini dikenal sebagai space-charged limited current (SCLC), dimana fotoarus

diberikan oleh hubungan: [4]

2

39

8s

SCL

Vj nq E

d

ε µµ= =

(1)

dengan j adalah rapat fotoarus dan V adalah tegangan bias. Secara umum, efek akumulasi pembawa muatan ini terjadi pada bidang batas metal/semikonduktor yang menghasilkan medan

listrik internal yang akan membatasi besar aliran arus di dalam devais tersebut. Akan tetapi, jumlah pembawa muatan di dalam polimer ini, dan juga polimer terkonjugasi secara umum, tidaklah sebesar dalam bahan kristal semikonduktor inorganik (seperti silikon). Selain itu, lapisan polimer dalam struktur fotodioda ini bukanlah dalam keadaan terdoping. Oleh karena itu, karakteristik kurva I-V yang teramati bisa dipengaruhi oleh faktor lain selain efek SCLC.

-2.0E-5

-1.5E-5

-1.0E-5

-5.0E-6

0.0E+0

-12 -10 -8 -6 -4 -2 0

Fo

toaru

s (A

)

Tegangan Bias (V)

dark

18V

21V

0 2 4 6 8 10 120

1x10-6

2x10-6

3x10-6

4x10-6

5x10-6

0 2 4 6 8 100

1x10-6

2x10-6

3x10-6

4x10-6

Iluminasi

(Lux)

200K

160K

120K

80K

40K

12K

dark

Foto

aru

s (

A)

Tegangan Bias (V)

IIllum

120K Lux

fitting

Fo

toa

rus (

A)

Tegangan Bias (V)

Gambar 1. Karakteristik fotoarus diukur dari struktur ITO/P3HT(regio-regular)/Al pada berbagai intensitas cahaya (a) di bawah tegangan bias mundur dan (b) tegangan bias maju. Inset: Hasil kurva fiting untuk fotoarus diukur pada intensitas cahaya 120 KLux.

(a) (b)

Page 47: jurnal metalurgi dan energi

Karakteristik Fotodioda dan Sel Surya Hibrid berbasis Polimer Polialkiltiofen 43

Meskipun sifat kelistrikan dari polimer terkonjugasi ini dapat dijelaskan secara sederhana dengan

mengadopsi konsep pita energi dan pembawa muatan elektron-hole seperti dalam bahan kristal semikonduktor anorganik, terdapat perbedaan yang mendasar pada skala mikroskopik. Produk foto-eksitasi adalah eksiton polaron, yakni pasangan elektron dan hole yang terstabilkan oleh distorsi struktur molekul sehingga memiliki energi ikat yang besar. Eksiton tersebut harus mengalami disosiasi untuk menghasilkan pembawa muatan bebas, yakni polaron negatif dan polaron positif, suatu keadaan yang membawa elektron dan hole tetapi disertai juga dengan

distorsi struktur molekul. Oleh karena itu, konsentrasi pembawa muatan (n) dan mobilitas pembawa muatan (µ) di dalam persamaan (1) tidaklah konstan untuk polimer ini.

Model Onsager sering dirujuk untuk mendeskripsikan karakteristik fotogenerasi dalam bahan dengan ke-takteraturan keadaan dan energi ikat eksiton yang besar [5]. Dalam kondisi semacam tersebut, proses disosiasi eksiton memerlukan bantuan medan listrik seperti diilustrasikan dalam Gambar 2. Fotoarus di dalam bahan merupakan produk dari proses pembangkitan pembawa

muatan yang bergerak di bawah pengaruh tegangan bias (V), yang diberikan oleh hubungan

( ) ( )

dVEThEgeI h τµν ,,=

(2)

dimana E adalah medan listrik lokal, g adalah laju fotogenerasi, µ adalah mobilitas pembawa muatan, τ adalah waktu hidup pembawa muatan dan d adalah ketebalan lapisan polimer. Laju fotogenerasi pada energi eksitasi (hν) tertentu adalah:

( ) ( )( , ) ( , , ) phh I x

g E T E h Th

α νη ν

ν=

(3)

dimana η adalah efesiensi pembentukan eksiton per foton yang diserap, α(hν) adalah absorbansi (yang bergantung pada energi eksitasinya), dan Iph adalah intensitas cahaya pada kedalaman penetrasi (x) tertentu pada lapisan polimer. Jelas bahwa kebergantungan laju generasi dan mobilitas pembawa muatan pada medan listrik ini dapat turut memberikan pengaruh pada karakteristik I-V seperti yang teramati.

E (eV) r

Gambar 2. Ilustrasi proses disosiasi eksiton yang dibantu oleh medan listrik.

Page 48: jurnal metalurgi dan energi

44 Rahmat Hidayat dkk

3.2. Karakteristik sel surya

Dalam sel surya, foto-arus harus terjadi secara spontan, meski tanpa kehadiran medan listrik atau tegangan bias eksternal. Oleh karena itu, untuk menghasilkan disosiasi eksiton secara spontan,

biasanya dibentuk struktur persambungan donor-akseptor (D-A), baik dalam bentuk persambungan bulk-hetero ataupun lapisan hetero. Dalam penelitian ini digunakan persambungan lapisan hetero dengan struktur terbalik (inverted) ITO/ZnO/P3HT/Ag. Meskipun ZnO sering dipakai sebagai lapisan transpor elektron, dalam penelitian ini kami menduga bahwa ZnO dapat juga berperan sebagai akseptor. Elektron akan mengalir keluar lewat lapisan ZnO dan kemudian ke ITO, sehingga elektroda ITO akan memiliki tegangan lebih negatif dibanding elektroda emas. Diagram

tingkat energi dan ilustrasi aliran pembawa muatan (elektron dan hole) ditunjukkan dalam Gambar 3. Dalam kondisi terbalik seperti ini, sel surya ini beroperasi dengan polarisasi yang berlawanan dibandingkan dengan struktur sel surya polimer konvensional [2–4].

Lapisan ZnO yang dipakai dibuat dengan metoda sol-gel [2]. Hasil pengukuran Energy Disperse

Spectrum (EDS) dari lapisan yang telah dibuat menunjukkan kandungan ZnO, yakni 22.3% ZnO dan 77.3% In2O3 (yang berasal dari substrat gelas ITO yang dipakai). Gambar 4 menunjukkan citra

AFM

300 400 500 600 700 8000.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

EQ

E (

%)

Wavelength (nm)

-0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

Curr

en

t (m

A)/

cm

2

Voltage (V)

dark

irradiated

(a) (b)

Gambar 5 (a) Kurva I-V dalam keadaan gelap dan penyinaran cahaya. (b) Spektrum fotoarus yang menunjukkan dua daerah sintesasi, yang masing-masing berasal dari ZnO dan P3HT.

Gambar 4. Citra AFM yang menunjukkan morfologi lapisan ZnO dengan kekasaran < 10 nm.

Gambar 3. Diagram tingkatan energi untuk sel surya hibrid.

Page 49: jurnal metalurgi dan energi

Karakteristik Fotodioda dan Sel Surya Hibrid berbasis Polimer Polialkiltiofen 45

lapisan ZnO yang telah dibuat dengan uniformitas yang baik dan kekasaran permukaan < 10 nm. Dengan mengatur konsentrasi prekursor dan kecepatan putaran spin coater, dapat dibuat lapisan ZnO dengan ketebalan berkisar dari 30-200 nm.

Fullerene atau PCBM tidak ditambahkan ke dalam P3HT dalam sel surya ini karena kami ingin mengklarifikasi kemungkinan fungsi ZnO juga sebagai lapisan akseptor dalam kajian ini. Gambar 5(a) menunjukkan kurva I-V dari sel surya hibrid ini. Dalam keadaan gelap, tampak bahwa arus berubah secara linier terhadap perubahan tegangan. Di bawah penyinaran simulator surya AM 1.5, kurva I-V yang terukur jelas-jelas menunjukkan karakteristik fotovoltaik. Elektroda Ag memiliki potensial lebih positif dibandingkan elektroda ITO, yang berarti juga elektron mengalir dari ITO ke Ag. Karakteristik ini jelas menunjukkan fungsi kerja yang terbalik (inverted) dari karakterisitik fotodioda jenis ini dengan struktur yang standar. Dalam struktur standar, elektroda ITO bermuatan lebih positif dari elektroda metal, umumnya Al. yang berarti elektron mengalir dari Al ke ITO. Akan tetapi, kurva I-V dalam kedua kondisi tersebut sepertinya menunjukkan karakteristik Ohmic, yakni perubahan arus yang hampir linier terhadap perubahan tegangan. Karakteristik ini sedikit berbeda dengan karakteristik efek fotovoltaik yang umum dengan karakteristik dioda, yang dipengaruhi oleh adanya daerah space-charge yang terbentuk di bidang batas persambungan. Karakteristik ini belum dapat dipahami sepenuhnya saat ini, tetapi diperkirakan terkait dengan karakteristik persambungan ZnO/P3HT yang terbentuk. Spektrum fotoarus dalam Gambar 5(b) menunjukkan sebuah pita dengan puncak di 500 nm dan sebuah pita dengan puncak di 350 nm, yang masing-masing merupakan fotoarus yang berasal dari hasil sentisasi molekul ZnO dan P3HT. Masing-masing pita tersebut memiliki bentuk yang serupa dengan spektrum absorbsinya.

4. Kesimpulan

Telah berhasil dibuat devais fotodioda dan sel surya dengan bahan aktif P3HT. Untuk sel surya, struktur yang dibuat adalah struktur terbalik (inverted) dengan lapisan ZnO yang dibuat dengan metoda sol-gel. Karakteristik fotodioda yang teramati mirip dengan karakteristik fotodioda umumnya, yang biasanya dipengaruhi oleh efek SCLC. Akan tetapi, teramati adanya deviasi dari model SCLC bergantung pada intensitas penyinaran cahaya, yang diduga terkait dengan

mekanisme generasi dan transpor pembawa muatan dalam P3HT. Efek fotovoltaik juga teramati dalam struktur sel surya terbalik yang telah dibuat. Fotoarus mengalir dari elektroda Ag ke elektroda ITO. Meski fotoarus yang teramati kecil, hasil yang diperoleh dapat mengklarifikasi kemungkinan terjadinya proses transfer elektron dari P3HT ke lapisan ZnO, yang juga berperan sebagai lapisan pemblok hole.

Ucapan terima-kasih

Penulis berterimakasih pada program Riset Unggulan Institut Teknologi Bandung. 2009 (Project number: 0098/k01.20/SPK-LPM/I/2009). Penulis juga berterima kasih pada Prof. Masanori Ozaki, Osaka University, yang telah memberikan kesempatan menggunakan beberapa peralatan yang digunakan dalam penelitian ini.

Daftar Pustaka

1. M. Law et al., Nanowire dye-sensitized solar cells, Nat. Mater., 4 (2005) 455; T. Oekermann, et al., J. Phys. Chem. B 108 (2004) 2227–2235.

2. H. Hoppe and N. S. Sariciftci, Polymer Solar Cells, Adv Polym Sci., DOI 10.1007 (2007) 121; C. J. Brabec, Plastic Solar Cells, Adv. Funct. Mater., 11 (2001) 15; G. Li et al., Nat. Mater. 4 (2005) 864.

3. T. Shirakawa et al., J. Phys. D: Appl. Phys., 37 (2004) 847-850; J. Owen et al., Appl. Phys. Lett. 90 (2007) 033512.

4. S. M. Sze, Physics of Semiconductors and Devices, (1981), John Wiley, New York.

Page 50: jurnal metalurgi dan energi

46 Rahmat Hidayat dkk

5. S. Barth, D. Hertel, Y.-H. Tak, H. Bassler, and H.H. Horhold, Chem. Phys. Lett. 274 (1997) 165

6. Ü. Özgür et al., J. Appl. Phys., 98 (2005) 041301. 7. Beek et al., Adv. Funct, Mater, 16 (2006) 1112-1116. 8. P. Quist et al., J. Phys. Chem.. B, 110 (2006) 10315-10321. 9. Sekine Nobuyuki et al., Org. Electron. (2009), doi:10.1016/j.orgel.2009.08.01. 10. Annisa Aprilia, Herman, and Rahmat Hidayat, AIP Conference Proceedings Vol. 1284 (2010)

142-147.

Page 51: jurnal metalurgi dan energi

Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 01, No. 01 (2011) 47 – 57

© Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran

47

SIMULASI LATTICE BOLTZMANN UNTUK MENENTUKAN

KONSENTRASI POLARISASI PADA SOLID OXIDE FUEL CELL

IRWAN ARY DHARMAWAN †, DINI FITRIANI, KUSNAHADI SUSANTO

Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Padjadjaran

Jl. Raya Bandung-Sumedang km.21, Jatinangor 45363, Indonesia

WAHYU PERDANA YUDISTIAWAN

School of Chemical and Biomedical Bioengineering

Nanyang Technological University

Nanyang Road, Singapore

diterima 3 November 2010

revisi 24 Februari 2011

dipublikasikan 28 Februari 2011

Abstrak. Dalam makalah ini telah disimulasikan metoda lattice Boltzmann untuk memprediksi nilai

konsentrasi polarisasi pada Solid Oxide Fuel Cell (SOFC). Nilai konsentrasi polarisasi pada SOFC sangat

dipengaruhi oleh bentuk geometri pada anoda berporinya. Metoda Lattice Boltzmann digunakan untuk

menghitung konsentrasi H2 dan H2O untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam persamaan Nerst untuk

menghasilkan nilai konsentrasi polarisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai konsentrasi

polarisasi terendah dimiliki oleh bentuk geometri anoda yang memiliki porositas tinggi.

Kata kunci : konsentrasi polarisasi, metode lattice Boltzmann

Abstract. In this paper, we performed lattice Boltzmann method to predict the polarization concentration of

the SOFC. The polarization concentration value is depends on the anode geometry itself. The lattice

Boltzmann is used to calculate the concentration of H2 and H2O, and these value will be consider as the input

for the Nerst equation to produce polarization concentration value. Results showed that the lowest

concentration polarization is obtained for the higher porosity media.

Keywords : concentration polarization, lattice Boltzmann method

1. Pendahuluan

Dengan semakin terbatasnya sumber energi dari bahan fosil (bahan bakar minyak atau BBM) dan

meningkatnya konsumsi energi dunia, khususnya energi listrik serta dengan semakin tingginya

harga minyak dunia saat ini, mendorong pencarian sumber energi alternatif yang dapat

diperbaharui. Salah satu sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui dan sangat berpotensi

untuk dikembangkan di Indonesia adalah sumber energi berbasis hidrogen.

Fuel Cell atau sel bahan bakar adalah sebuah divais elektrokimia yang mengubah energi kimia ke

energi listrik secara kontinyu. Dari berbagai macam teknologi sel bahan bakar yang ada saat ini,

salah satu sel bahan bakar yang sering digunakan pada industri adalah sel bahan bakar oksida

padatan atau Solid Oxide Fuell Cell (SOFC), selain mempunyai efisiensi yang lebih tinggi, SOFC

tidak memerlukan jaringan pemasok hidrogen yang banyak dibandingkan sel bahan bakar lainnya

seperti molten carbonate, polymer electrolyte, phosphoric acid dan alkali [1]. Namun, di pihak lain

† email : [email protected]

Page 52: jurnal metalurgi dan energi

48 Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan

SOFC mempunyai kelemahan yaitu temperatur kerja yang cukup tinggi dibandingkan sel bahan

bakar lainnya [2].

Pada prinsipnya SOFC terdiri dari dua buah elektroda yang berpori, yaitu katoda dan anoda. Dua

buah elektroda karbon yang tercelup dalam larutan elektrolit (dalam hal ini asam) dan dipisahkan

dengan sebuah pemisah gas. Bahan bakar, dalam hal ini hidrogen, digelembungkan melewati

permukaan satu elektroda melewati elektroda lainnya. Ketika kedua elektroda yang secara listrik

dihubungkan dengan beban luar, beberapa hal terjadi yaitu hidrogen menempel pada permukaan

katalitik elektroda, membentuk ion ion hidrogen dan elektron elektron. Ion ion hidrogen (H+)

migrasi melewati elektrolit dan pemisah gas ke permukaan katalitik elektroda oksigen. Secara

simultan, elektron elektron bergerak melewati lintasan luar pada permukaan katalitik yang sama.

Oksigen, ion ion hidrogen dan elektron bersatu pada permukaan elektroda membentuk gas H2O.

Reaksi total yang dihasilkan adalah H2O dan energi.

Kinerja SOFC bergantung kepada fenomena transport fluida dalam anoda dan faktor geometrinya

[2–4], selain itu menurut Yakabe, kinerja SOFC sangat bergantung pada faktor konsentrasi

polarisasi [5]. Faktor konsentrasi polarisasi menunjukkan kehilangan energi yang berkaitan dengan

efek perpindahan massa dalam proses difusi gas pada anoda. Laju difusi ini sangat bergantung

pada faktor geometri anoda seperti ukuran pori, porositas dan tortuositas. Dalam penelitian ini

hanya difokuskan pada faktor konsentrasi polarisasi, dimana perhitungannya menggunakan

persamaan Nerst dan dalam perhitungannya melibatkan faktor transport dan geometri anoda.

Transport gas dalam anoda disimulasikan secara numerik menggunakan metoda Lattice Boltzmann

yang telah dimodifikasi untuk aliran gas multikomponen [6–7]. Dari simulasi ini dihitung nilai

konsentrasi gas hidrogen dan air pada elektroda untuk selanjutnya akan digunakan dalam

persamaan Nerst.

2. Pemodelan dan Simulasi

2.1. Proses Difusi

Proses difusi dalam media berpori memenuhi hukum Stefan Maxwell yaitu :

∑≠=

−=∇−

N

ijj ijT

jiij

iDc

XXX

1

JJ (1)

Dengan iX dan iJ adalah fraksi mol dan mol fluks dari gas komponen ke i , sedangkan Tc adalah

total konsentrasi molar dan ijD merupakan koefisien difusi antardua buah komponen. Persamaan

di atas merupakan persamaan yang menggambarkan kasus difusi untuk gas multikomponen dalam

campuran yang ideal, dengan N menyatakan jumlah komponen gas yang terlibat dalam sistem.

Apabila 2=N , maka persamaan (1) akan berubah menjadi persamaan hukum Fick, yang

dinyatakan oleh persamaan (2)

iTi XDcJ ∇−= (2)

Persamaan (2) menyatakan bahwa setiap komponen gas dalam campuran akan terdifusi dari suatu

daerah yang konsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi rendah. Proses difusi untuk masing-

Page 53: jurnal metalurgi dan energi

Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell 49

masing gas terlibat disertakan, karena proses ini sangat berhubungan erat dengan perhitungan rapat

arus pada anoda yang secara langsung nantinya akan diketahui besarnya konsentrasi polarisasi.

2.2. Metoda Lattice Boltzmann

Simulasi numerik dalam penelitian ini bertujuan: (i) memvalidasi model matematik yang

dikembangkan sekaligus sebagai kontrol model tersebut, (ii) Untuk memahami proses yang

sebenarnya terjadi pada SOFC, (iii) mengetahui pengaruh geometri terhadap faktor-faktor yang

menunjang kinerja SOFC, (iv) mengetahui perilaku SOFC beserta kinerjanya apabila komponen

gasnya divariasikan.

Pada dasarnya metoda LB yang dikembangkan adalah metoda LB yang diadopsi dari model yang

dikembangkan oleh Joshi [6–7], dimana persamaan umumnya diungkapkan oleh persamaan

berikut :

),(),()1,( txtxftexfiiii

αααα Ω+=++ (3)

Dengan i

fα merupakan fungsi distribusi partikel pada posisi x dan waktu t yang didefinisikan

sebagai jumlah partikel dari komponen ke i yang bergerak dengan kecepatan α sepanjang arah i

eα . Indeks i menyatakan indeks komponen gas yang berada dalam system anoda. Jumlah

komponen pada gas anoda ada sebanyak tiga terdiri dari H2, O2 dan H20. i

αΩ adalah operator

tumbukan, di mana dalam hal ini menggunakan operator BGK atau Bhatnagar-Gross-Krook. Kisi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah kisi D2Q9 yang merupakan kisi dua dimensi dengan

sembilah arah kecepatan, yang digambarkan pada gambar 1 berikut :

Gambar 1 Gambar sembilan arah kecepatan untuk komponen gas pertama atau yang teringan

pada metoda LB D2Q9

Adapun vektor kecepatan untuk masing-masing komponennya adalah :

nM

Tke B

1

1 =α , nM

Tke B

2

2 =α ,nM

Tke B

3

3 =α (4)

Page 54: jurnal metalurgi dan energi

50 Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan

Dengan Bk , T , M dan n menyatakan konstanta Boltzmann, temperatur, berat molekul dan mol

secara berturut-turut. Sedangkan untuk operator tumbukannya dinyatakan oleh

3332313

2322212

1312111

αααα

αααα

αααα

Ω+Ω+Ω=Ω

Ω+Ω+Ω=Ω

Ω+Ω+Ω=Ω

(5)

Persamaan (5) menyatakan operator tumbukan untuk masing-masing partikel gas, yang masing-

masing sukunya dinyatakan oleh persamaan berikut :

−−=Ω

i

iiii ff

ταα

α (6)

)()(1

2

,

)(

ji

i

is

eqij

ij

D

ije

c

fuuu −⋅−

−=Ω α

αα

ρ

ρ

τ (7)

Persamaan (6) menyatakan operator tumbukan antarpartikel sejenis, sedangkan persamaan (7)

menyatakan operator tumbukan antarpartikel antarkomponen. Sedangkan )(eqi

fα , ij

Dτ , ρ ,2

sjc dan

u menyatakan fungsi kesetimbangan, waktu relaksasi, densitas, kecepatan suara dan kecepatan

fluida secara berturut-turut.

Fungsi kesetimbangan yang dipilih untuk simulasi multikomponen adalah [7] :

)(

2

,

)0(

2

,

4

,

2

,

)(

)()(1

22

)(1

eqi

is

i

i

isis

i

is

i

i

eqi

fc

ef

cc

e

c

enf

αα

α

αααα ω

−⋅−+=

⋅−

⋅+

⋅+=

uuu

uuuu

(8)

Dengan αω adalah vektor bobot statistik, dimana untuk D2Q9 nilainya adalah :

36

1

9

1

9

4

8765

5432

1

====

====

=

ωωωω

ωωωω

ω

(9)

Waktu relaksasi dalam perasmaan (7) ditentukan oleh besarnya nilai koefisien difusi

antarkomponen sebagai berikut

−=

2

12

ij

D

ji

ijMMn

PD τ

ρ (10)

Variabel iM menyatakan berat molekul dari komponen ke i . Sedangkan tekanan ( P ) ditentukan

oleh persamaan berikut :

Page 55: jurnal metalurgi dan energi

Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell 51

2

3,3

2

2,2

2

1,1 sss cccP ρρρ ++= (11)

Dengan

3

11, =sc ,

2

12,

3

1

M

Mcs = ,

3

13,

3

1

M

Mcs = (12)

Persamaan (12) menyatakan kecepatan suara dalam metoda LB untuk setiap komponennya. Dari

persamaan (11) dan (12) maka persamaan (11) dapat dinyatakan sebagai

3/nMP i= (13)

Dari persamaan (13) terlihat bahwa jika tekanan bernilai tetap maka total konsentasi ( n ) akan

bernilai tetap. Dengan mensubstitusikan persamaan (13) ke dalam persamaan (10) dihasilkan

persamaan berikut

=

6

121

ij

D

ji

ijnMM

MD

τρ (14)

Dari persamaan (14) dapat dihitung koefisien relaksasi untuk setiap kisinya sebagai berikut

+=

ρτ

n

M

MMD

ji

ij

ij

D

1

32

1 (15)

Untuk menjaga kestabilan numerik maka harus diupayakan agar koefisien relaksasi (15) selalu

berharga dalam orde satu [7].

Besaran makro yang diperoleh dari metoda ini diperoleh dengan persamaan (16) dan (17) berikut

di bawah ini :

iii nM=ρ (17)

∑=

=3

1i

iρρ (18)

Dengan in menyatakan kerapatan partikel ke i yang dihitung melalui persamaan (4.19)

∑=

=8

0ααi

i fn (19)

Dan total jumlah densitas diperoleh menggunakan persamaan (20)

321 nnnn ++= (20)

Untuk komponen ke i , kecepatan iu digunakan untuk menghitung fungsi kesetimbangan dengan

menggunakan persamaan (21). Namun demikian kecepatan komponen iu′ digunakan untuk

menghitung mol flux yang dievaluasi menggunakan persamaan (22) . Selain itu persamaan (22)

digunakan untuk menurunkan syarat batas pada inlet dan outlet. Mol flux dan kecepatan campuran

u dihitung menggunakan persamaan (23) dan (24).

ii

ii efun αα

α∑=

=8

0

(21)

Page 56: jurnal metalurgi dan energi

52 Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan

∑∑==

++

−−=′

8

0

,8

0

111144

ααα

ααα

ττττieqi

ikij

ii

ikij

ii efefun (22)

iii unJ ′= (23)

332211 uuuu ρρρρ ++= (24)

Syarat batas

Untuk menangani syarat batas untuk konsentrasi dan fluks maka kita perlu memodifikasi

kecepatan terlebih dahulu dengan menggunakan

(25)

dan parameter relaksasi

(26)

Dengan kedua persamaan di atas, maka persamaan (22) dapat dinyatakan kembali menggunakan

(27)

(28)

Dengan mendefinisikan variabel dummy

(29)

Persamaan (19) , (27) dan (28) dapat dimodifikasi menjadi

(30)

(31)

(32)

(33)

1

~

M

M iii uu ′=′

+=

ikij ττφ

11

∑ +−=′i

ii

xix Sfeun ,1, )4(~4 φφ α

∑ +−=′i

ii

yiy Sfeun ,2, )4(~4 φφ α

eq

i

eq

i

eq

i

eq

i

eq

i

eq

ii

eq

i

eq

i

eq

i

eq

i

eq

i

eq

ii

ffffffS

ffffffS

,9,8,5,7,6,3,2

,8,7,4,9,6,2,1

−−−++=

−−−++=

[ ][ ]

ix

iiiiiiiii

iu

Sfffffffffn

,

1584731874

~4)4(

))(4())(4(

′−−

−+++++−+++−=

φ

φφφ

−′+++−−=−

φ

φ

4

~4 ,2,

587396

iiyiiiiiiSun

ffffff

2

,

,1,

87969

2

4

~4

is

xiixiiii

c

nSunffff

u−

−′++=+

φ

φ

2

,

429

2

is

xii

c

nff

u+=

Page 57: jurnal metalurgi dan energi

Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell 53

Persamaan (30) s.d (33) menyatakan fungsi distribusi partikel pada syarat batas inlet yang akan

ditentukan, dan secara simultan keempat persamaan tersebut dapat diselesaikan. Hal yang sama

pula dapat diterapkan untuk syarat batas di outlet.

2.3. Sistem transport gas

Dua buah parameter utama tak berdimensi dalam persamaan transport dalam poros media adalah

porositas φ , yang didefinisikan sebagai fraksi luas anoda yang ditempati oleh pori, dan fluks *J .

Hubungan kedua parameternya dijelaskan oleh persamaan berikut :

31

*

Dc

JL

T

=J (34)

Dengan J menyatakan mol fluks pada TPB (Triple Phase Boundary), L adalah panjang media,

Tc total konsentrasi molar dan 31D koefiesien difusi antara H2 dan N2. Secara fisis *J merepresentasikan besarnya transport konveksi dan difusi massa dari gas hidrogen melalui gas

nitrogen. Nilai *J berorde sekitar 10

-2, karena transport massa dalam SOFC lebih didominasi oleh

proses difusi. Parameter LB dapat dipilih secara sembarang sepanjang bilangan tak berdimensi

yang dipilih ada benar. Sebagai contoh untuk mensimulasikan kasus di mana *J = 0.16, parameter

LBnya adalah (dalam satuan kisi) 150=L , 069.0=J , 600=Tc , 337.012 =D ,

069.023 =D dan 1085.031 =D . Fraksi mol yang dipilih adalah H2 = 0,47, H2O = 0,03 dan N2

= 0,5 yang terletak pada 0=x . Nilai *J juga dapat direlasikan dengan arus pada sel bahan bakar

melalui :

JFi ×= 2 (35)

i menyatakan rapat arus dan F adalah konstanta Faraday. Dalam kasus ini mol fluks akan selalu

konstan pada TPB, hal ini menyebabkan rapat aruspun akan konstan pada antarmuka anoda-

elektrolit. Nilai arus yang tidak berdimensi dinyatakan oleh

*

31

*

2J==

DFc

iLi

T

(36)

Tegangan yang dihasilkan E diperoleh menggunakan tekanan parsial (atau fraksi mol) dari

hidrogen sebagai bahan bakar, dan produk antara H2O dan O2 pada TPB melalui persamaan Nerst

[7]

+=

OH

OH

P

PP

F

RTEE

2

22

5,0

0 ln2

(37)

Dalam persamaan (37), 0E adalah tegangan pada tekanan standar dan R adalah konstanta gas.

Konsentrasi polarisasi ( concV∆ ) didefinisikan kehilangan tegangan karena hilangnya konsentrasi

bahan bakar hidrogen melalui anoda (media berpori) pada 0=x menuju Lx = .

TPBgconc EEV −=∆ (38)

Page 58: jurnal metalurgi dan energi

54 Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan

Dalam persamaan (37) nilai gE ditentukan dengan menggunakan nilai fraksi mol H2 dan H2O

yaitu 0.47 dan 0.03. Sedangkan nilai TPBE ditentukan dengan menggunakan nilai fraksi mol pada

TPB menggunakan model LB.

3. Hasil dan diskusi

3.1. Validasi metoda LB

Dalam validasi ini kita akan membandingkan antara nilai konsentrasi polarisasi dengan nilai arus

yang disimulasikan menggunakan LB. Hasilnya kemudian akan diplotkan dengan penelitian

sebelumnya yang dikembangkan oleh Chan et.al [4] dan Zhao [8]. Hasil yang diperoleh disajikan

pada gambar 2 di bawah ini

Gambar 2 Validasi model LB untuk porositas 0,3

Media yang dipilih adalah media yang mempunyai porositas 0,3. Dari gambar terlihat bahwa

metoda prediksi metoda LB cukup sesuai dengan dua metoda lainnya, hal ini mengindikasikan

bahwa model LB cukup akurat untuk memodelkan konsentrasi polarisasi dalam SOFC

menggunakan model dua dimensi. Perbedaan nilai konsentrasi polarisasi yang terjadi diprediksi

terjadi karena perbedaan geometri untuk setiap metoda, sehingga menyebabkan faktor tourtuositas

berbeda pula, sedangkan hal ini merupakan faktor yang cukup signifikan dalam kontribusi

penghitungan nilai konsentrasi polarisasi. Selain itu, perbedaan inipun terjadi karena dalam model

LB digunakan sistem ternary yang artinya komponennya terdiri dari tiga jenis gas, sedangkan

model yang lainnya menggunakan sistem binary atau yang terdiri atas dua jenis gas.

3.2. Efek tortuositas pada laju difusi

Pada bagian ini akan disajikan kasus aliran fluida pada anoda dua dimensi. Anoda yang dijadikan

objek merupakan media berpori hasil rekonstruksi secara acak yang divariasikan menurut

porositasnya. Terdapat lima macam geometri anoda pada kasus ini yang diperoleh dengan variasi

porositas dari 0,60 s.d 0,85 dengan ukuran geometri sebesar 128 × 128 kisi. Pemilihan porositas

Page 59: jurnal metalurgi dan energi

Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell 55

bernilai tinggi ini dimaksudkan agar nilai konsentrasi polarisasi yang dihasilkan relatif lebih kecil

dibandingkan dengan porositas yang rendah [7].

Besarnya konsentrasi awal dan fluks mol yang digunakan pada bagian ini sama persis dengan yang

telah dilakukan pada bagian 3.1. Simulasi dilakukan pada mesin komputer dengan prosesor quad

core 2.8 GHz dengan RAM sebesar 8 MB. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan tunak

adalah delapan jam untuk setiap simulasinya.

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 3. Profil kecepatan fluida H20 untuk setiap geometrinya (a) porositas 0,6 (b) porositas

0,7 (c) porositas 0,75 (d) porositas 0,8 (e) porositas 0,85

Gambar 3 mengilustrasikan laju aliran fluida dihasilkan oleh H2O, bentuk geometri bola pada

media menandakan bentuk penghalang berupa padatan. Pemilihan gas ini semata-mata karena gas

tersebut mendapatkan perlakuan mol fluks yang lebih tinggi dibandingkan gas lainnya, sehingga

pola fluks yang dihasilkan lebih jelas. Hasil yang diperoleh untuk gas H2 tidak jauh berbeda

dengan hasil pada gambar 3, yang berbeda hanyalah skala nilai yang dihasilkan.

Gambar 3 menjelaskan bahwa meskipun fluks yang diberikan untuk anoda media berpori ini

sangat rendah, namun dari hasil simulasi terlihat munculnya vorteks laminar di sekitar penghalang.

Hal ini berlaku pula untuk gas H2. Pola aliran yang ditunjukkan pada gambar 3 menggambarkan

bagaimana pengaruh trajektori fluida dalam hal ini tortuositas untuk setiap alirannya. Tortuositas

merupakan perbandingan antara trajektori fluida sebenarnya dari inlet menuju outlet dengan

panjang geometri sepanjang aliran. Dari gambar 3 terlihat bahwa besarnya luas vorteks laminar

Page 60: jurnal metalurgi dan energi

56 Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan

yang dihasilkan (warna gelap sekitar penghalang) adalah bernilai kecil seiring dengan besarnya

nilai porositas. Pada porositas 0,85 (gambar 3.e) medan fluks yang dihasilkan (warna terang di

sekitar pori) lebih besar dibandingkan luas vorteks laminarnya, hal ini berbeda dengan apa yang

dihasilkan oleh porositas terendah yaitu pada gambar 3(a), di mana luas vorteks laminarnya lebih

besar daripada medan fluks massanya.

Fenomena ini menggambarkan bagaimana pengaruh dari efek tortuositas pada proses difusi gas

multikomponen. Secara umum nilai tortuositas tertinggi dihasilkan oleh bentuk geometri dengan

porositas yang lebih rendah. Hal ini menandakan bahwa geometri dengan porositas yang rendah

akan menghasilkan tingginya resistansi difusi massa karena jejak aliran fluida akan semakin

bersifat tortuos. Meskipun tidak dapat dijelaskan dengan gambar, fraksi mol H2O bervariasi

sepanjang arah vertikal dan fraksi terendah ditemukan pada daerah yang mendekati penghalang.

3.3. Efek porositas dan fluks terhadap konsentrasi polarisasi

Ketika fraksi mol H2 dan H2O pada anoda diketahui dengan menggunakan metoda LB, maka

konsentrasi polarisasi dapat dihitung menggunakan persamaan (37) untuk mempelajari kinerja dari

SOFC. Rendahnya konsentrasi bahan bakar pada anoda dapat mengindikasikan tingginya

kehilangan polarisasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa kehilangan ini akan terjadi pada media

dengan nilai porositas yang rendah dan nilai mol fluks yang tinggi. Konsentrasi polarisasi dihitung

dengan memvariasikan nilai porositasnya, grafiknya seperti yang diilustrasikan pada gambar 4 di

bawah ini.

Rapat arus tak berdimensi (*

i )

Gambar 4. Konsentrasi Polarisasi pada anoda untuk perbedaan nilai porositas

Dari gambar 4 terlihat bahwa semakin kecil porositasnya maka polarisasinya semakin menaik.

Seperti yang diharapkan, karena *

i proporsional dengan *J , nilai polarisasi terkecil terjadi pada

nilai *

i yang rendah. Tren umum untuk kurva polarisasi akan sama untuk setiap nilai porositas

anoda yang berbeda, namun semakin kecil porositas maka konsentrasi polarisasi menjadi menaik.

Hal ini disebabkan karena reduksi fraksi mol H2 pada anoda untuk porositas yang rendah.

Ko

nse

ntr

asi

Po

lari

sasi

[V

]

0 0.05 0.1 0.15 0.20

0.05

0.1

0.15

0.2

φ=.65

φ=.70

φ=.75

φ=.80

φ=.85

Page 61: jurnal metalurgi dan energi

Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell 57

Menaiknya porositas pada anoda mengindikasikan semakin baiknya transport massa dalam bahan

bakar dan rendahnya nilai konsentrasi polarisasi. Namun demikian, untuk porositas tinggi akan

menyebabkan rendahnya kekuatan mekanik dari media tersebut. Porositas dan struktur geometri

yang optimum akan ada apabila kombinasi polarisasi (konsentrasi + aktivasi + ohmic) juga

minimum[6]. Khusus untuk konsentrasi aktivasi dan ohmic tidak dibahas dalam penelitian ini.

4. Kesimpulan

Metoda Lattice Boltzmann (LB) telah dibangun untuk mensimulasikan transport massa dari H2

(bahan bakar) dan H2O (produk) dalam kehadiran gas N2 pada struktur anoda berpori dalam SOFC.

Struktur geometri yang kompleks mengindikasikan efek tortuositas pada proses difusi gas

sepanjang geometri. Secara numerik efek tortuositas dapat diukur, namun proses difusi satu

dimensi belum dapat digunakan untuk mengoptimalisasi proses transfer massa dalam bentuk

geometri dua dimensi.

Struktur berpori yang digunakan dalam model LB dihasilkan dari pencitraan SEM yang

dikonversikan ke dalam bentuk digital. Hasil-hasil distribusi fraksi mol yang diperoleh untuk

variasi nilai porositas dan mol fluks. Dengan turunnya nilai porositas, konsentrasi bahan bakar

pada anoda secara drastis akan berkurang, hal ini mengindikasikan besarnya nilai konsentrasi

polarisasi, dan demikian pula sebaliknya dengan besarnya nilai porositas maka akan turunnya nilai

konsentrasi polarisasi yang mengakibatkan meningkatnya kinerja dari sel bahan bakar. Namun di

lain pihak, besarnya nilai porositas akan mengurangi nilai kekuatan mekanik dari bahan.

Perhitungan konsentrasi polarisasi belum merupakan jaminan dalam meningkatkan kinerja dari sel

bahan bakar, perlu adanya perhitungan konsetrasi lain seperti aktivasi dan ohmik untuk

memberikan gambaran yang utuh tentang kinerja dari sel bahan bakar.

Ucapan Terimakasih

Penulis berterimakasih pada DIKTI yang telah membiayai penelitain ini melalui program Hibah

Bersaing 2010 No : 005/SP2H/PP/DP2M/III/2010.

Daftar Pustaka

1. S.C. Singhal. Science and Techologi of Solid-Oxide Fuel Cells MRS Bull. Vol 25, No.3, 200 p 16-21

2. Eileen J. De Guire, A Solide Oxide Fuell Cell , Journal of Electrochemical Society (128) 6, 2003

3. S.H.Chan, Z.T. Chia, Anode Micro Model of Solid Oxide Fuel Cell, Journal of the Electrochemical Society, 148 (4) 2001.

4. S.H.Chan, K.A.Khor, Z.T.Chia, A complete polarization model of a solid oxide fuel cell and its sensitivity to the change of cell component thickness, Journal of Power Sources (87) 4, 2000.

5. Yakabe, M. Uratani, I. Yasuda, Evaluation and modeling of performance of anode-supported solid oxide fuel cell, Journal of Power Sources (86) 2000

6. Abhijit S. Joshi, Kyle N. Grew, Aldo A. Peracchio, Wilson K. Chiu, Lattice boltzmann modeling of 2D gas transport in a solid oxide fuel cell anode, Journal of Power Sources (164), 2007

7. Abhijit S. Joshi, Kyle N. Grew, Aldo A. Peracchio, Wilson K. Chiu, Lattice boltzmann method

for continuum, multi-component diffusion in complex 2D geometries, Journal of Applied Physics (40) 2007.

8. Feng Zhao, Anil F. Virkar, Dependence of polarization in anode-supported solid oxide fuel cells on various cell parameters, Journal of Power Sources (141) 5, 2005

Page 62: jurnal metalurgi dan energi

Jurnal Material dan Energi Indonesia

Vol. 01, No. 01 (2011) 58 – 70

© Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran

58

PENELITIAN BAHAN THERMOELEKTRIK

BAGI APLIKASI KONVERSI ENERGI DI MASA MENDATANG

(REVIEW ARTICLE)

INGE M. SUTJAHJA†

Grup Riset Fisika Magnetik dan Fotonik

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Teknologi Bandung

Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132

Indonesia

diterima 22 Oktober 2010

revisi 10 Februari 2011

dipublikasikan 28 Februari 2011

Abstrak. Bahan thermoelektrik adalah bahan unik yang dapat mengkonversi energi panas menjadi energi

listrik, atau sebaliknya yang ramah lingkungan. Kinerja dari bahan thermoelektrik ditentukan oleh nilai figure

of merit (FOM) yang didefinisikan sebagai T=(S2σ/κ)/T, dengan S adalah koefisien Seebeck, σ adalah

konduktivitas listrik, κ adalah konduktivitas thermal, dan T adalah temperatur yang dinyatakan dalam Kelvin.

Devais thermoelektrik konvensional umumnya menggunakan bahan aloy bulk binary semikonduktor.

Walaupun demikian, penggunaan devais thermoelektrik konvensional ini dibatasi oleh nilai efisiensinya yang

relatif masih rendah. Dalam makalah ini direview hasil penelitian bahan thermoelektrik baru dalam usaha

untuk meningkatkan kinerjanya untuk aplikasi. Teknik yang digunakan berupa manipulasi sifat fisis bahan

dengan ‘induksi’ elemen tertentu (“rattler”), manipulasi struktur kristal dengan struktur nano, dan

investigasi bahan oksida bulk baru berbasis logam oksida kobalt.

Kata kunci: Bahan thermoelektrik, figure of merit (FOM), thermopower (koefisien Seebeck), resistivitas

(konduktivitas) listrik, konduktivitas thermal.

Abstact. The thermoelectric material is a unique material that can convert the heat energy directly into elec-

trical energy, or vise versa, with environmental friendly properties. In general the performance of the ther-

moelectric material is determined by its figure of merit (FOM) defined by ZT=(S2σ/κ)/T, where S is the See-

beck coefficient, σ is the electrical conductivity, κ is the thermal conductivity, and T is the operating tem-

perature measured in Kelvin. The conventional thermoelectric device commonly used alloy bulk binary sem-

iconductor materials. However its application is limited by its relatively low efficiency compared to other

energy converter methods. In this article we review several investigations on the ‘new thermoelectric mate-

rials’ to increase its performance for application. The techniques consist of doping the semiconductor mate-

rials with “rattler”, crystal structure manipulation by using nanostructure, and investigation of new bulk oxide

materials mainly based on cobalt oxide system.

Keywords: thermoelectric material, figure of merit (FOM), thermopower, electrical resistivity (conductivity),

thermal conductivity.

Bahan thermoelektrik adalah bahan unik yang dapat mengkonversi energi panas menjadi energi

listrik, atau sebaliknya, tanpa menghasilkan gas beracun karbondioksida maupun polutan lain

seperti elemen logam berat (ramah lingkungan). Di dalam kehidupan manusia di muka bumi ini

energi panas terutama dihasilkan dari cahaya matahari; energi panas yang tidak berguna banyak

† email : [email protected]

Page 63: jurnal metalurgi dan energi

Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang 59

pula dihasilkan dari limbah industri (pabrik) maupun dari kegiatan antropogenik manusia seperti

kendaraan bermotor (automotive) dan pemakaian AC (air conditioning). Dengan demikian, dengan

menggunakan bahan thermoelektrik ini, energi panas yang jumlahnya berlebih atau tidak berguna

dapat dikonversi menjadi energi listrik yang berguna bagi kehidupan manusia, terutama bagi dae-

rah-daerah terpencil atau terisolir dimana distribusi energi listrik masih memerlukan transmisi-

transmisi energi. Dalam skala aplikasi yang lebih besar, material thermoelektrik ini diharapkan

dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif untuk menggantikan energi dari bahan bakar

fosil yang bersifat tak terbarukan, sejajar dengan sumber-sumber energi alternatif yang lain seperti

tenaga air, geotermal, energi surya, energi angin, energi berbahan bakar biogas, dan energi nuklir.

Gambar 1. Kebergantungan dari parameter-parameter thermoelektrik: konduktivitas listrik (σ ), thermopower (S), dan

konduktivitas thermal (κ) pada konsentrasi pembawa muatan bebas (n). Untuk nilai optimum tertentu, n ≈1025/m3=1019/cm3

,faktor daya S2σ mencapai nilai maksimum [1].

Kinerja dari bahan thermoelektrik ditentukan oleh nilai figure of merit (FOM) bahan yang ber-

sangkutan, yang didefinisikan sebagai [1,2]

( ) ( )

le

TSTSZT

κκ

σ

κ

σ

+==

22

(1)

dimana T adalah temperatur mutlak, S adalah thermopower atau koefisien Seebeck, σ (=1/ρ) ada-

lah konduktivitas (resistivitas) listrik, dan κ adalah konduktivitas thermal total yang merupakan

jumlahan dari kontribusi elektronik (κe) dan kontribusi kisi (κl). Nilai konduktivitas thermal

elektronik berhubungan dengan konduktivitas listrik menurut hukum Wiedemann-Franz [1,2],

TLe σκ 0≅ (2)

S

S2σ

σ

κ

κl

κe

Page 64: jurnal metalurgi dan energi

60 Inge M. Sutjahja

dimana L0 = 2,44 x 10-8

V2/K

2 adalah nilai Sommerfeld dari bilangan Lorenz. Seperti diperlihatkan

dalam Gambar 1, secara umum nilai-nilai parameter S, σ, dan κe bergantung pada konsentrasi

pembawa muatan (melalui doping) dalam bahan, yaitu untuk bahan umum logam, semikonduktor,

dan superkonduktor [1]. Secara khusus, faktor daya, S2σ, memiliki sebuah nilai maksimum terten-

tu untuk nilai konsentrasi pembawa muatan yang optimum sekitar n ≈1019

/cm3 [1]. Dalam hal ini

diperlukan nilai yang besar dari mobilitas pembawa muatan untuk mencapai nilai konduktivitas

listrik maksimum untuk suatu konsentrasi pembawa muatan tertentu. Dengan demikian dapat dis-

impulkan bahwa kinerja dari bahan thermoelektrik terutama ditentukan oleh pembawa muatan

listrik n (elektron atau lubang) dengan minor kontribusi dari kisi (lattice).

Dapat dilihat pula dari Gambar 1 kebergantungan yang berlawanan dari nilai S dan σ pada n. Se-

cara umum nilai thermopower dari suatu bahan bergantung pada temperatur bahan dan struktur

kristalnya. Dapat disebutkan bahwa umumnya logam memiliki nilai S yang relatif kecil berkaitan

dengan pita valensi yang terisi setengah penuh. Dalam hal ini, baik elektron (muatan negatif) dan

lubang (muatan positif) berkontribusi secara bersamaan pada nilai S dengan tanda yang saling ber-

lawanan, sehingga menghasilkan nilai S total yang relatif kecil. Sebaliknya, bahan semikonduktor

dapat didoping oleh elektron atau lubang (melalui doping elemen lain) sehingga dapat menghasil-

kan nilai S yang lebih besar, dimana tanda dari nilai S yang dihasilkan sesuai dengan mayoritas

jenis pembawa muatan. Di sisi lain, bahan superkonduktor memiliki nilai thermopower sama den-

gan nol berhubungan dengan nilai entropi nol dari pembawa muatan yang dikenal dengan nama

pasangan Cooper.

Prinsip kerja bahan thermoelektrik adalah berdasarkan efek Peltier (produksi dari gradien

temperatur oleh arus listrik), efek Seebeck (konversi langsung gradien temperatur menjadi arus

listrik atau daya listrik), dan efek Thomson (pendinginan atau pemanasan dari sebuah konduktor

pembawa arus oleh sebuah gradien temperatur) [2,3]. Hal ini memberikan banyak keuntungan dari

pemakaian bahan thermoelektrik bagi aplikasi devais semikonduktor dan elektronik lain karena

merupakan refrigerator bahan-padat (solid-state refrigerator) yaitu tanpa adanya bagian-bagian

yang bergerak atau bervibrasi, performa yang baik berhubungan dengan kemampuannya untuk

melokalisasi “spot” pendinginan, bersifat ramah lingkungan, dan dapat dengan mudah digunakan

dalam teknologi untuk menangkap panas atau untuk konversi energi [3].

Gambar 2. Prinsip kerja devais thermoelektrik sebagai: (a) generator daya, dan (b) pompa panas. I adalah arus listrik [2].

(a) (b)

Page 65: jurnal metalurgi dan energi

Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang 61

Devais thermoelektrik secara umum terdiri dari dua material thermoelektrik yang berbeda jenis

(tipe-n dan tipe-p) yang saling terhubung satu sama lain membentuk sebuah junction [2]. Jelasnya,

elemen-elemen tersebut dihubungkan seri secara elektrik dan paralel secara thermal, yang dapat

dipakai sebagai devais generator daya dan pompa panas, seperti diperlihatkan dalam Gambar 2.

Dapat disebutkan secara singkat bahwa prinsip kerja generator daya adalah dengan memberikan

sebuah gradien thermal sehingga arus listrik akan mengalir dari satu bahan ke bahan yang lain,

sedangkan prinsip kerja dari pompa panas adalah melewatkan sebuah arus listrik melalui junction

sehingga akan dihasilkan pendinginan pada bahan [2].

Gambar 3. Nilai FOM ZT untuk beberapa bahan thermoelektrik konvensional [3].

Devais thermoelektrik konvensional umumnya menggunakan bahan aloy bulk binary

semikonduktor yang tersusun dari pasangan elemen material thermoelektrik berbeda (tipe-n dan

tipe-p). Selama lebih dari 30 dekade, bahan aloy semikonduktor dengan sistem Bi2Te3, (Bi1-

xSbx)2(Te1-xSex)3, PbTe, dan Si1-xGex telah dikaji secara intensif untuk menghasilkan nilai ZT yang

optimum [1,4]. Variasi nilai ZT terhadap temperatur dari beberapa bahan thermoelektrik

konvensional tipe-p dan tipe-n diperlihatkan dalam Gambar 3 [3,5]. Walaupun demikian,

penggunaan devais thermoelektrik konvensional ini dibatasi oleh nilai efisiensinya yang relatif

masih rendah. Hal ini berkaitan dengan sulitnya memanipulasi ketiga parameter S, σ and κ, untuk

mencapai nilai ZT yang besar pada bahan-bahan padatan konvensional. Fakta menunjukkan bahwa

modifikasi pada satu parameter tersebut akan mempengaruhi nilai parameter yang lain, sehingga

nilai ZT tidak berubah secara signifikan. Dengan demikian, pada daerah temperatur ruang nilai ZT

dari bahan thermoelektrik konvensional hanya berkisar pada angka satu, yang jauh berbeda dengan

nilai ZT sekitar 4 yang diperlukan dalam skala aplikasi. Gambar 4 menunjukkan perbandingan

nilai performansi atau efisiensi dari bahan thermoelektrik dibandingkan dengan metoda konversi

energi yang lain [6]. Dari gambar tersebut terlihat bahwa nilai performansi (efisiensi) dari

Page 66: jurnal metalurgi dan energi

62 Inge M. Sutjahja

teknologi berbasis bahan thermoelektrik (ZT = 0,5) masih jauh di bawah nilai dari teknologi yang

lain yang memiliki nilai ZT yang lebih besar

Gambar 4. Perbandingan dari teknologi bahan thermoelektrik dengan metoda konversi energi yang lain untuk: (a) pendinginan dan (b) generator daya [6]. Performansi (efisiensi) dari teknologi berbasis bahan thermoelektrik ditandai oleh

nilai ZT = 0,5.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh para peneliti mancanegara untuk melahirkan bahan-bahan

thermoelektrik baru yang dapat menghasilkan nilai ZT yang lebih tinggi bagi keperluan aplikasi.

Secara prinsip nilai efisiensi thermoelektrik yang tinggi memerlukan material dengan nilai

konduktivitas listrik yang besar (untuk mereduksi efek pemanasan diri atau self-heating

berhubungan dengan arus listrik yang melewati devais), koefisien Seebeck yang tinggi (untuk

menghasilkan tegangan yang besar di dalam generator daya dan koefisien Peltier yang besar di

dalam proses pendinginan), dan konduktivitas thermal yang rendah (untuk menghasilkan beda

temperatur yang besar dan dengan demikian nilai tegangan yang besar di dalam generator daya).

Dari sisi eksperimen, upaya tersebut berupa manipulasi sifat fisis bahan dengan ‘induksi’ elemen

tertentu (“rattler”) [2,3,7,8] dan investigasi bahan oksida bulk baru (berbasis logam transisi)

dengan kadar doping yang dapat divariasi [9,10]. Di sisi lain, manipulasi struktur kristal bahan

dengan film tipis atau struktur dimensi rendah (struktur nano) menunjukkan peningkatan nilai ZT

thermoelektrik yang cukup signifikan [2,3,6,11,12].

Semikonduktor dengan “rattler”

Bergantung pada bagaimana baiknya sifat konduktivitas listrik dan buruknya sifat konduktivitas

thermal dari suatu bahan tertentu, Glen Slack (Rensselaer Polytechnic Institute) mengkarakterisasi

material sebagai semikonduktor "holey" atau "unholey". Pengelompokkan ini berdasarkan prinsip

bahwa bahan thermoelektrik yang baik harus bersifat seperti sebuah material “phonon-glass,

electron-crystal” (PGEC), atau dengan kata lain bahan thermoelektrik tersebut harus memiliki sifat

thermal seperti sebuah glass dan sifat elektronik seperti sebuah kristal [2,3,7].

Konsep Slack dari semikonduktor holey untuk bahan thermoelektrik yang baru berpusat pada

minimisasi nilai konduktivitas thermal kisi dengan memasukkan atom-atom lain yang tidak terikat

("rattlers") ke dalam lubang-lubang di dalam struktur bahan. Berkaitan dengan hilangnya

keteraturan berjangkauan panjang (long-range order), atom-atom rattlers ini akan bergerak bebas

Page 67: jurnal metalurgi dan energi

Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang 63

di dalam lubang dan dengan demikian menghamburkan fonon (kuantisasi vibrasi kisi), yang pada

gilirannya akan mereduksi secara efektif dan meminimalkan nilai konduktivitas thermal kisi. Dari

investigasi ini dikenal beberapa material baru yang disebut sebagai skutterudites [2,3,7,13,14] dan

clathrates [2,3,7].

Gambar 5. Struktur kristal dari binary skutterudites [14].

Secara umum material skutterudites dengan rumus pokok ReTm4M12 adalah suatu senyawa

kompleks yang terdiri dari elemen tanah jarang (Re), logam tansisi (Tm) dan Pnicogen atau

metalloids (M). Nama skutterudites berasal dari nama mineral alami skutterudite atau CoAs3 yang

ditemukan di daerah skutterud, Norwaygia. Dalam hal ini elemen tanah jarang merupakan

“rattler” yang dimasukkan dalam material binary skutterudites yang memiliki rumus kimia TmM3,

yang awalnya memiliki nilai konduktivitas termal dan nilai koefisien Seebeck yang relatif besar.

Struktur kristal dari binary skutterudites diperlihatkan dalam Gambar 5. Dari gambar tersebut

terlihat bahwa binary skutterudites memiliki dua ruang kosong yang besar dalam tiap unit sel

satuan. Pengisian tempat kosong tersebut dengan ion-ion tanah jarang bervalensi +3 dengan

ukuran diameter yang relatif kecil dan massa yang relatif besar akan berakibat pada reduksi

konduktivitas thermal, yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai ZT.

(a) (b)

Gambar 6. Penurunan nilai konduktivitas thermal kisi dari material skutterudites: (a) IrSb3 dan Ir0.5Rh0.5Sb3, serta (b) ReIr4(Ge3Sb9) untuk Re = La, Sm, dan Nd [14].

Transition Metal Atom

(Co, Rh, Ir)

Metalloids atau Pnicogen

Atom (P, As, Sb)

Void Space/Filler Ion

Transition Metal Atom

(Co, Rh, Ir)

Metalloids atau Pnicogen

Atom (P, As, Sb)

Void Space/Filler Ion

Transition Metal Atom

(Co, Rh, Ir)

Transition Metal Atom

(Co, Rh, Ir)

Metalloids atau Pnicogen

Atom (P, As, Sb)

Metalloids atau Pnicogen

Atom (P, As, Sb)

Void Space/Filler IonVoid Space/Filler Ion

Latt

ice T

herm

al

Co

nd

uc

tivit

y

(mW

/cm

K)

Temperature (K)

Latt

ice T

herm

al

Co

nd

uc

tivit

y

(mW

/cm

K)

Temperature (K)

Page 68: jurnal metalurgi dan energi

64 Inge M. Sutjahja

Gambar 6 menunjukkan secara nyata penurunan nilai konduktivitas thermal kisi dari material

skutterudites Ir0.5Rh0.5Sb3 (dibandingkan dengan IrSb3), dan ReIr4(Ge3Sb9) untuk Re = La, Sm, dan

Nd [14]. Selanjutnya, peningkatan nilai ZT dari beberapa material bulk skutterudites dibandingkan

dengan bahan thermoelektrik konvensional dan kebergantungannya terhadap temperatur

ditunjukkan dalam Gambar 7 [15].

Kelas lain dari bahan thermoelektrik baru dengan konsep semikonduktor holey yang menjanjikan

peningkatan nilai ZT yang cukup signifikan adalah clathrates. Material ini, seperti halnya

skutterudites, juga menunjukkan struktur seperti perangkap dan mekanisme “rattling” untuk

menurunkan nilai konduktivitas thermal. Terdapat dua tipe material clathrate, yaitu clathrates tipe I

dengan rumus umum X2Y6E46 (X dan Y masing-masing adalah logam alkali, alkali tanah atau

logam tanah jarang yang berlaku sebagai atom “rattler”, dan E adalah elemen grup IV) dan

clathrates tipe II dengan rumus umum X8Y16E136 [8].

Gambar 7. Nilai ZT dari beberapa material bulk skutterudites dan bahan thermoelektrik konvensional serta

kebergantunganya sebagai fungsi dari temperatur [15].

Material clathrates tipe I menunjukkan sifat-sifat fisis menarik yang jarang ditemui dalam bahan

padat lain, antara lain nilai konduktivitas thermal yang cukup kecil dan variasinya yang menarik

sebagai fungsi dari temperatur. Sebagai contoh, nilai konduktivitas thermal pada temperatur ruang

dari semikonduktor Sr8Ga16Ge30 lebih rendah dari bahan vitreous silica dan sangat dekat dengan

amorphous Germanium [16–18]. Di sisi lain, data konduktivitas termal pada temperatur rendah (T

< 1 K) menunjukkan kebergantungan temperatur T2, sedangkan pada temperatur yang lebih tinggi

konduktivitas termal menunjukkan sebuah nilai minimum atau dip yang mengindikasikan suatu

proses hamburan resonansi. Studi intensif hasil-hasil eksperimen dan kajian teori menunjukkan

korelasi antara sifat-sifat thermal, ultrasound, dan optik dengan struktur kristal bahan, yang

merupakan indikasi kuat dari kehadiran hamburan resonansi dari fonon akustik dengan modus

“rattle” optik frekuensi rendah, yang pada gilirannya menentukan sifat transport thermal di dalam

bahan clathrate. Hasil refinement struktur kristal pada suhu ruang dari data pengukuran hamburan

neutron dan difraksi sinar X menunjukkan parameter perpindahan atomik yang besar untuk atom-

atom di dalam struktur dari clathrate tipe I. Hal ini mengindikasikan disorder terlokalisasi di dalam

Page 69: jurnal metalurgi dan energi

Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang 65

polihedra di sekitar vibrasi termal umum. Material tertentu dari clathrates tipe I seperti

Sr8Ga16Ge30 dan Eu8Ga16Ge30 menunjukkan konduktivitas thermal sperti glass dan mobilitas

pembawa muatan yang besar, sehingga dapat dipandang sebagai “phonon glass–electron crystal”

(PGEC). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keadaan penerobosan (tunneling states) dan

keadaan “rattling” pada material clathrate diperlukan untuk menghasilkan nilai konduktivitas

thermal yang kecil, yang pada gilirannya dapat meningkatkan nilai ZT. Lebih jauh, bentuk kristal

dari material ini menunjukkan sifat-sifat fisis yang lebih kaya, termasuk di dalamnya adalah

kelakukan semikonduktif dan superkonduktif, dengan sifat-sifat thermal seperti bahan amorphous.

Kebanyakan bahan thermoelektrik konvensional yang telah banyak dikaji sebelumnya merupakan

sistem binary intermetalik semikonduktor. Dengan demikian investigasi bahan baru berfokus pada

sistem ternary dan quaternary chalcogenides yang mengandung atom berat dengan struktur

kompleks isotropik atau berdimensi rendah [6]. Sistem ini merupakan bahan semikonduktor

unholey dengan massa efektif pembawa muatan yang besar dan konduktivitas thermal kisi yang

kecil. Termasuk contoh dari material chalcogenide ini adalah CsBi4Te6 (Bi2Te3 yang diisi oleh

elemen Cs) [19] dan pentatelluride (HfTe5 and ZfTe5) [20]. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa

nilai ZT dari CsBi4Te6 adalah 40% lebih tinggi dari bahan aloy konvensional [(Bi1-xSbx)2(Te1-

xSex)3] pada suhu 225 K, sedangkan nilai faktor daya dari bahan pentatellurides yang didoping

dengan Selenium melebihi nilai yang dicapai oleh material Bi2Te3 pada suhu rendah. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa material semikonduktor unholey ini memiliki potensi sifat

elektronik yang baik pada temperatur rendah, yang dapat berperan sebagai bahan thermoelektrik

temperatur rendah (T < 220 K).

Struktur nano

Material struktur nano menjanjikan konversi energi thermoelektrik yang lebih efisien

dibandingkan dengan material bulk. Hal ini terutama berkaitan dengan fakta bahwa di dalam

struktur nano, berbagai fenomena, sifat, dan fungsi baru yang tidak biasa (unusual) dapat muncul.

Hicks dan Dresselhauss [12] menunjukkan bahwa pada bentuk struktur nano dari material tertentu,

efek pembatasan gerak dari pembawa muatan listrik pada skala mikroskopik atau yang dikenal

sebagai efek pembatasan kuantum (quantum confinement) dapat meningkatkan nilai koefisien

Seebeck dan konduktivitas listrik. Efek pembatasan kuantum dapat dicapai, contohnya, melalui

reduksi dari dimensi sistem (struktur film tipis atau nanowire). Gambar 8 menunjukkan prediksi

nilai ZT dari bahan semikonduktor BiTe, yaitu berbentuk 3D (bulk), 2D (film tipis), dan 1D

(nanowire) [6]. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan nilai ZT berkaitan erat

dengan peningkatan efek pembatasan kuantum dengan reduksi dimensionalitas efektif sistem.

Page 70: jurnal metalurgi dan energi

66 Inge M. Sutjahja

Gambar 8. Prediksi peningkatan nilai ZT dari bahan bismuth telluride dengan struktur nano [6].

Kontribusi utama lain dari peningkatan nilai ZT di dalam bahan struktur nano bersumber dari

perubahan sifat-sifat transport thermal pada skala nano. Sebagai contoh, investigasi eksperimental

dari sifat transport panas di dalam superlattice menunjukkan bahwa walaupun lapisan-lapisan

dalam struktur tersebut merupakan kristal tunggal dengan kualitas baik, nilai konduktivitas thermal

efektif yang dihasilkan jauh lebih rendah dari bahan bulk, dan juga lebih kecil dari nilai

konduktivitas thermal dari bahan aloy dengan komposisi ekivalen. Hal ini terkait erat dengan

peran sangat penting dari hamburan pembawa muatan pada permukaan dan interface [6].

Gambar 9. Nilai ZT dari beberapa bahan thermoelektrik, dengan struktur nano dan bulk [6].

Page 71: jurnal metalurgi dan energi

Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang 67

(a) (b) (c)

Gambar 10. Pendekatan baru dari penggunaan struktur nano untuk menghasilkan nilai ZT thermoelektrik yang besar: (a)

sistem superlattices Bi2Te3/Sb2Te3, (b) sistem superlattices quantum dot PbTe/PbTeSe, dan (c) sistem nanowire Bi, BiSb,

dan BiTe [6].

Bukti nyata hasil eksperimen dari peningkatan nilai ZT dari sistem struktur nano dan

perbandingannya dengan bahan thermoelektrik bulk diperlihatkan dalam Gambar 9 [21]. Dari

gambar tersebut, peningkatan nilai performansi thermoelektrik hingga mencapai nilai ZT ≈ 2,4

pada T ≈ 330 K diperoleh pada superlattices Bi2Te3/Sb2Te3 dan ZT ≈ 1,3 – 1,6 pada struktur

superlattices quantum dot PbTe/PbTeSe. Struktur dari kedua material tersebut ditunjukkan secara

kualitatif dalam Gambar 10. Ekperimen menunjukkan bahwa kontribusi utama pada peningkatan

nilai ZT dari material superlattices bersumber dari reduksi konduktivitas thermal kisi daripada

peningkatan dari faktor daya. Sebaliknya, peningkatan nilai koefisien Seebeck yang cukup

signifikan diamati pada material struktur nanowire (Gambar 10 (c)), antara lain sistem nanowire

Bi, BiSb, dan BiTe [6].

Bahan Bulk Baru

Dibandingkan dengan bahan thermoelektrik yang lain, bahan oksida bulk menarik dari sisi sifat

kimiawinya yang stabil pada temperatur tinggi dan sifatnya yang tidak beracun. Loncatan besar

pada investigasi material bulk thermoelektrik dimulai dengan penemuan sistem oksida kobalt

berlapis NaxCoO2 dengan nilai S mencapai 100 µV/K pada temperatur ruang [9,10]. Selain bersifat

thermoelektrik, bentuk hidrat dari material ini juga bersifat superkonduktif pada suhu rendah [22].

Penemuan ini kemudian berlanjut pada sistem serupa seperti La1-xSrxCoO3 [23], Ca3Co4O9 [24]

dan Bi2Sr2Co2Oy [25,26].

Seperti diperlihatkan dalam Gambar 11, selain kesamaan kehadiran lapisan konduktif CoO2,

perbedaan mendasar dari struktur kristal sistem NaxCoO2 dengan sistem oksida kobalt berlapis

yang lainnya adalah pada lapisan blok. Pada sistem NaxCoO2, lapisan blok hanya terdiri dari

lapisan Na tunggal dimana Na terorder secara struktur, sedangkan lapisan blok pada sistem lain

terdiri dari lapisan rock-salt yang tebal dengan tipe NaCl, yang berlaku sebagai lapisan reservoar

muatan untuk menjamin stabilisasi struktur secara elektrostatik. Dalam hal ini, variasi doping

dapat dilakukan dengan mengubah kation atau komposisi oksigen. Di sisi lain, sistem oksida

kobalt selain NaxCoO2 menunjukkan struktur misfit dari kedua lapisan blok (modulasi dalam

bidang basal oktahedral), yang merupakan parameter penting dalam peningkatan nilai daya

thermopower sistem yang bersangkutan [28].

Page 72: jurnal metalurgi dan energi

68 Inge M. Sutjahja

Gambar 11. Struktur kristal material termoelektrik sistem oksida kobalt berlapis: NaxCoO2, Ca2Co2O5, dan Bi2Sr2CoO8

[27].

Di sisi lain, studi intensif menunjukkan bahwa sistem elektron 3d dari ion Co merupakan sistem

elektron yang terkorelasi kuat (strongly correlated electron system) yang memegang peranan

sangat penting bagi peningkatan nilai daya thermopower (S) [29]. Hal ini berkaitan dengan

degenerasi karakteristik yang diasosiasikan dengan derajat kebebasan spin dan orbital dalam

keadaan lokal dari ion-ion Co3+ dan Co4+. Keadaan lokal tersebut dikarakterisasi oleh konfigurasi

elektron 3d dengan derajat degenerasi lipat 5 dalam orbital-orbital 3 t2g dan 2 eg, yang ditentukan

oleh nilai kopling Hund K, nilai splitting medan kristal ∆ (= 10 Dq) antara tingkat energi eg dan t2g,

serta nilai temperatur T. Setiap keadaan yang dikarakterisasi dengan konfigurasi spin dan nilai spin

total yang berbeda dapat diklasifikasikan menjadi; 1) konfigurasi spin rendah (low spin, LS), 2)

spin menengah (intermediated-spin, IS), dan 3) spin tinggi (high spin, HS), di mana masing-

masing keadaan tersebut memiliki derajat degenerasi (g) yang berbeda sesuai dengan perkalian

antara derajat degenerasi orbital gL dan derajat degenerasi spin gS (= 2S + 1).

Secara teoritis, Koshibae telah menurunkan nilai ekspektasi thermopower pada daerah temperatur

yang cukup tinggi melalui modifikasi rumusan Heikes [29],

−−=

x

x

g

g

e

kS B

1ln

4

3 (3)

dimana g3 (g4) adalah derajat degenerasi ion Co dalam keadaan valensi Co3+

(Co4+

), serta x adalah

jumlah atau konsentrasi doping. Rumusan ini telah berhasil memprediksi nilai thermopower dari

material NaxCoO2 sesuai dengan hasil eksperimen, yaitu prediksi keadaan spin rendah (LS) dari

ion-ion Co3+

dan Co4+

dalam bahan. Selain itu, rumusan ini juga dapat dipakai untuk memprediksi

tanda dan nilai thermopower dari material oksida lain berbasis logam transisi (jika valensi ionik

dari logam tersebut dapat memiliki keadaan divalensi seperti ion Co), dan dengan mengatur derajat

degenerasi yang bersesuaian. Beberapa contoh diperlihatkan dalam Tabel 1 berikut, dengan tingkat

kesesuaian yang tinggi dengan hasil eksperimen [27].

Page 73: jurnal metalurgi dan energi

Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang 69

Tabel 1: Nilai ekspektasi thermopower dari material oksida lain berbasis logam transisi [27].

Ion logam transisi 43 gg ( ) ( )43ln ggekB− , µV/K

Ti3+

(3d1), Ti

4+ (3d

0) 6 / 1 - 154

V3+

(3d2), V

4+ (3d

1) 9 / 6 - 35

Cr3+ (3d3), Cr4+ (3d2) 4 / 9 70

Mn3+

(3d4), Mn

4+ (3d

3) 10 / 4 - 79

Rh3+ (4d6), Rh4+ (4d5) 1 / 6 154

Ucapan Terimakasih

Sebagian hasil penelitian yang disajikan dalam artikel ini didukung oleh Riset Ikatan Alumni ITB

tahun anggaran 2010-2011.

Daftar Pustaka

1. D.M. Rowe, ed., CRC Handbook of Thermoelectrics (CRC Press, Boca Raton, FL, 1995).

2. Terry M.Tritt and M.A. Subramanian, Guest Editors, Thermoelectric Materials, Phenomena,

and Applications: A Bird’s Eye View, MRS BULLETIN VOLUME 31, p. 188-198 MARCH

2006

3. Jyrki Tervo, Antti Manninen, Risto Ilola & Hannu Hänninen, State-of-the-art of thermoelec-

tric materials processing (Properties and applications), V JULKAISIJA – UTGIVARE –

PUBLISHER, ISBN 978-951-38-7184-0 (URL: http://www.vtt.fi/publications/index.jsp),

ISSN 1459-7683, Copyright © VTT 2009.

4. H.J. Goldsmid, Electronic Refrigeration (Pion Limited, London, 1986).

5. Terasaki, I. Introduction to Thermoelectricity (Ch 13). Materials for Energy Conversion De-

vices, eds. Sorrell, C., Sugihara, S. & Nowotny, J. Woodhead Publishing in Materials, Cam-

bridge, 2005, pp. 339–357.

6. Chen, G. and Shakouri, A. 2002 Heat transfer in nanostructures for solid state energy

conversion, J. Heat Transfer, Vol. 124 pp. 242-252.

7. G.A. Slack, in CRC Handbook of Thermoelectrics, ed. by D.M. Rowe (CRC Press, Boca Ra-

ton, FL, 1995) pp. 407.

8. Terry M. Tritt, Overview of Various Strategies and Promising New Bulk Materials for Poten-

tial Thermoelectric Applications, Mat. Res. Soc. Symp. Proc. Vol. 691 © 2002 Materials Re-

search Society.

9. I. Terasaki and N. Murayama, eds., Oxide Thermoelectrics (Research Signpost, Trivandrum,

India, 2002).

10. I. Terasaki, Y. Sasago, and K. Uchinokura, Phys. Rev. B 56, 12685 (1997).

11. Handbook of thermoelectrics (From Macro to Nano), edited by D.M. Rowe, Ph.D, D.Sc.,

CRC Taylor and Francis, 2006.

12. L.D. Hicks and M.S. Dresselhaus, Phys. Rev.B 47 (1993) pp. 12727.

13. J.-P. Fleurial, T. Caillat and A. Borshchevsky , Skutterudites: An Update , Proceedings of the

XVI International Conference on Thermoelectrics, Dresden, Germany, August 26-29, 1997

14. Gary A. Lamberton, Jr., Terry M. Tritt, R. W. Ertenberg, M. Beekman, George S. Nolas,

Overview of the Thermoelectric Properties of Yb-filled CoSb3 Skutterudites, Power Point

Presentation, The University of Mississippi.

15. Terry M. Tritt & Mas Subramanian, MRS Bulletin TE Theme, March 2006

16. J.L. Cohn, G.S. Nolas, V. Fessatidis, T.H. Metcalf and G.A. Slack, Phys. Rev. Lett. 82, 779

(1999).

17. G.S. Nolas, T.J.R. Weakley and J. L. Cohn, Chem. Mater. 11, 2470 (1999).

Page 74: jurnal metalurgi dan energi

70 Inge M. Sutjahja

18. B.C. Sales, B.C. Chakoumakos, R. Jin, J.R. Thompson and D. Mandrus, Phys. Rev. B 63,

245113 (2001).

19. Duck Young Chung, et. al., Science, 287, 1024 (2000).

20. W. M. Yim and F. D. Rosi, Solid-State Electronics, 15, 1121-40, (1972).

21. Chen, G., Dresselhaus, M. S., Dresselhaus, G., Fleurial, J.-P., and Caillat, T., 2003, “Recent

Developments in Thermoelectric Materials, “ International Materials Reviews, Vol. 48.

22. K. Takada, H. Sakurai, E. Takayama-Muromachi, F. Izumi, R.A. Dilanian, T. Sasaki, Nature

422, 53 (2003).

23. K. Berggold, M. Kriener, C. Zobel, A. Reichi, M. Reuther, R. Müller, A. Freimuth, and T.

Lorenz, Phys. Rev. B 72, 155116 (2005).

24. A. Maignan, S. Hébert, M. Hervieu, C. Michel, D. Pelloquin, and D. Khomskii, J. phys. :

Condens. Matter 15, 2711 (2003).

25. D. Pelloquin, A. Maignan, S. He´bert, C. Martin, M. Hervieu, C. Michel, L. B. Wang, and B.

Raveau, Chem. Mater. 14, 3100 (2002).

26. R. Funahashi and M. Shikano, Appl. Phys. Lett. 81, 1459 (2002).

27. S. Maekawa, IMR, Tohoku University, Spin, Charge and Orbital and their Excitations in

Transition Metal Oxides, Hong Kong, Dec. 18, 2006.

28. H. Leligny, D. Grebille, O. Perez, A.C. Masset, M. Hervieu, and B. Raveau, Acta Crystallo-

graphica Section B, B56, 173-182 (1999).

29. W. Koshibae, T. Tsutsui and S. Maekawa, Phys. Rev. B 62, 6869 (2000).

Page 75: jurnal metalurgi dan energi

73

INDEKS PENULIS

A

Alamta Singarimbun, 31

Andika Nurcahyo, 22

Annisa Aprilia, 40

Annisa Aprilia, 7

Arief Goeritno, 22

Asep Suheri, 22

Ayi Bahtiar, 7

D

D Wahyudi, 15

Darminto, 1

Dewanto Saptoadi, 22

Dini Fitriani, 47

F

Febie Angelia Perdana, 1

Fitrilawati, 7

H

Herman, 40

I

Inge M. Sutjahja, 59

Irwan Ary Dharmawan, 47

Iwan Sumirat, 22

K

Kusnahadi Susanto, 47

M

Malik Anjelh Baqiya, 1

Mashuri, 1

Mulya Juarsa, 22

P

Priastuti Wulandari, 40

R

Rahmat Hidayat, 40

Robi Irsamukhti, 31

S

Sri Wahyu Suciyati, 15

T

Triwikantoro, 1

W

Warsito, 15

Wildan Khoiron, 15

INDEKS SUBJEK

A

Akumulator, 15, 19, 20, 21

B

Bahan thermoelektrik, 58, 59, 60, 61, 62, 64,

65, 67

Bulk-heterojunction, 7, 8, 14

D

Diskritisasi beda hingga, 31

E

Energi terbarukan, 15

F

Figure of merit, 58, 59

Fluks energi, 31, 33, 34, 35, 36, 37

Fotodioda, 40, 42, 45

Fotovoltaik, 40, 41, 45

K

Koefisien Seebeck, 58, 59, 62, 63, 65, 67

Konduktivitas thermal, 58, 59, 62, 63, 64,

65, 66, 67

Konsentrasi polarisasi, 47, 48, 49, 53, 54,

55, 56, 47

M

Massa, 22, 25, 26, 27, 28, 29, 32, 33, 34, 36,

48, 53

Medium berpori, 31, 32

Metode lattice Boltzmann, 47

Molekul aditif, 7, 8, 9, 11, 12, 13

N

Nanohidro, 15, 16, 17, 18, 19, 21

Nanopartikel, 1,2, 3, 4, 5

O

Optical spacer, 7, 8, 9, 11, 13

P

Polialkiltiofen, 40, 41

Polietilen Glikol, 1

Polimer terkonjugasi, 8, 41, 41, 43

R

Reservoir panas bumi, 31, 33, 39

Resistivitas listrik, 59

S

Sel surya hibrid, 40, 41, 44, 45

Sel-surya polimer, 7, 9, 11

Sirkulasi alamiah, 22, 23

Sol-gel, 9, 40, 41, 44, 45

T

Thermopower, 58, 59, 60, 68, 68

Z

ZnO, 40, 41, 44, 45

Page 76: jurnal metalurgi dan energi

71

Panduan Persiapan Naskah

Panduan Umum.

Editor menerima makalah dalam Bahasa Indonesia maupun

Bahasa Inggris. Karena itu, teks naskah ditulis dalam bahasa

Indonesia (dapat juga dalam bahasa Inggris) menggunakan

piranti lunak pengolah-kata Microsoft Office. Teks dibuat

dalam satu kolom, rata kiri, huruf Times New Romance,

ukuran 12, spasi Double. Margin kiri, atas, kanan dan bawah

masing-masing adalah 4, 2,5, 3 dan 2,5 cm. Tiap halaman

dibubuhi nomor halaman dan baris teks dibubuhi nomor

guna proses review. Gunakan format yang sesederhana

mungkin karena editor akan memformat ulang sesuai

dengan format akhir publikasi guna kesergaman format

pada Jurnal Material dan Energi Indonesia (JMEI).

Tataletak Naskah:

Naskah terdiri dari Halaman Muka, Teks,

Ilustrasi/Gambar/Grafik, Tabel dan Data Tambahan.

Masing-masing dijelaskan sebagai berikut.

1. Halaman Muka

o Judul. Harus singkat dan informatif. Hindari singkatan

dan rumus pada judul jika memungkinkan

o Nama penulis dan afiliasi. Nama lengkap seluruh

penulis ditulis. Nama institusi, alamat institusi, nama

negara jika ada dan alamat email ditulis lengkap setelah

baris nama-penulis. Hubungan nama penulis dan

afiliasinya ditunjukan dengan angka superskrip.

o Penulis koresponden. Tunjukan dengan jelas penulis

yang menangani korespondensi selama tahap

pengirimin, revisi dan publikasi. Di samping alamat

email dan kode pos alamat, tuliskan juga nomor telepon,

faksimili (kode negara jika ada).

2. Struktur Teks Naskah

o Abstrak. Tuliskan abstrak dengan singkat dan faktual. Isi

abstrak harus dengan singkat menggambarkan tujuan

penelitian, hasil-hasil mendasar dan simpulan penting

atas isi makalah. Abstrak seringkali disajikan terpisah

dari makalah sehingga harus bersifat berdiri-sendiri.

Oleh karena itu, dalam abstrak tidak diperkenankan

acuan dan referensi maupun persamaan matematik.

Abstrak harus kurang dari 200 kata, tidak boleh

mengandung singkatan dan harus disertakan maksimum

lima kata kunci yang relevan. Abstrak (Abstract) dalam

bahasa Inggris juga harus dibuat dan harus dituliskan

lima keywords.

Gunakan subseksi (seksi bernomor) untuk penomoran

subseksi naskah anda. Subseksi diberi nomor 1.1 (kemudian

1.1.1, 1.1.2, ...), 1.2, dan seterusnya (Abstrak/abstract tidak

termasuk dalam penomoran seksi). Tiap judul subseksi

harus ditulis sesingkat mungkin.

o Pendahuluan. Tuliskan tujuan beserta latar belakang

yang relevan atas pekerjaan penelitian.

o Bahan dan metoda. Berikan informasi detail yang

memadai untuk pembaca yang tertarik untuk

melakukan-ulang penelitian tersebut. Metoda-metoda

yang digunakan namun telah dipublikasikan harus diacu

dalam naskah.

o Eksperimen. Berikan informasi detail yang memadai

untuk pembaca yang tertarik untuk melakukan-ulang

penelitian tersebut. Metoda-metoda yang digunakan

namun telah dipublikasikan harus diacu dalam naskah.

o Teori/perhitungan. Bagian teori harus memperluas,

bukan mengulang, latar belakang yang telah

diungkapkan di bagian Pendahuluan. Sedangkan

Perhitungan menyajikan implementasi praktik dari

dasar teori tersebut. Jika memungkinkan, bagian ini

dapat digabung dengan seksi Hasil dan Diskusi.

o Hasil. Hasil penelitian harus dinyatakan

dengan jelas dan singkat. Sebaiknya hasil

bersifat kuantitatif, numerik dan spesifik.

o Diskusi. Seksi diskusi sebaiknya membahas

informasi penting yang terkandung dalam hasil

dan membahas pentingnya hasil yang telah

diperoleh dan disajikan bukan hanya

menceritakan (narasi) atas hasil tersebut. Hasil

dan diskusi dapat juga digabungkan dalam satu

seksi. Hindari acuan dan diskusi yang

berlebihan atas literatur yang ditulis di Daftar

Pustaka.

o Simpulan. Tuliskan simpulan utama atas

penelitian tersebut di seksi Simpulan. Seksi

Simpulan bersifat berdiri-sendiri tidak

terhubung dengan seksi Hasil dan Diskusi.

Seksi Simpulan suatu makalah ilmiah tidak

boleh sama dengan bagian Abstrak. Simpulan

memuat rangkuman hasil umum; penemuan

unik dan kuantitatif harus ditekankan di sini

dengan implifikasi yang lebih luas daripada

Abstrak. Perbandingan dengan hasil-hasil

sebelumnya dapat juga dimuat.

o Lampiran. Jika terdapat lebih dari satu

lampiran maka dapat dituliskan dengan notasi

Lampiran A, B, dst. Rumus dan Persamaan

dalam bagian Lampiran harus diberi nomor

berbeda dengan isi teks, contoh Pers. (A.1),

Pers. (A.2), dst; persamaan dalam lampiran-

selanjutnya diberi nomor Pers. (B.1) dst. Begitu

juga dengan nomor tabel dan gambar dalam

Lampiran: Tabel A.1; Fig. A.1, dst.

3. Gambar. Ilustrasi/gambar/grafik diletakkan setelah

bagian Teks Naskah. Letakkan tiap gambar beserta

nomor dan keterangannya pada tiap halaman.

4. Informasi Pelengkap. Data tambahan yang kiranya

tidak dapat masuk ke teks namundirasa perlu

untuk mendukung hasil dan diskusi dapat

dimasukan di bagian Data Pelengkap di halaman

terakhir setelah bagian Gambar..

Panduan Tambahan:

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih dibuat dalam satu seksi sebelum

seksi Daftar Pustaka. Jangan menulikan ucapan terima

kasih pada halaman muka atau sebagai catatan-kaki.

Ucapan terima kasih ditujukan pada individu atau

institusi yang memberikan bantuan selama penelitian

(mis. membantu dalam penyediaan dana, bantuan

eksperimen dan diskusi, dsj) tanpa menuliskan gelar

akademik, gelar sosial maupun gelar keagamaan.

Satuan

Satuan besaran fisis dinyatakan dengan sistem

internasional (SI) atau jika dinyatakan dengan satuan

lain, sertakan pula kesetaraaannya dalam SI.

Page 77: jurnal metalurgi dan energi

72

Nomenklatur dan Satuannya

Nomenklatur dan satuannya menggunakan sistem

internasional (SI). Jika menggunakan sistem lain. Tuliskan

kesetaraaannya dalam SI.

Persamaan Matematika

Rumus matematika ditulis dengan Equation Editor 2.0,

Microsft Office. Setiap persamaan yang dirujuk dalam

makalah harus menggunakan penomoran dengan

menggunakan tanda kurung ”( )”. Penomoran diawali sesuai

dengan kemunculannya secara berurut.

Tampilan (Artwork)

Penggunaan huruf dan ukuran huruf harus seragam.

Teks yang tercantum di dalam grafik harus disimpan dalam

bentuk file ”image”.

Gunakan jenis huruf Arial, Times New Romance, Courier di

dalam ilustrasi/gambar/grafik.

Ilustrasi/gambar/grafik dibuat dengan ukuran yang sesuai

dengan ukuran cetaknya.

Ilustrasi/gambar/grafik dimuat di halaman setelah halaman

teks.

Format. Ilustrasi/gambar/grafik dibuat dalam format grafik

file TIFF dengan resolusi 300 dpi.

Warna. Jika dimungkinkan untuk tidak menggunakan warna,

grafik dapat dibuat dalam warna hitam-putih.

Keterangan Gambar (Caption). Bubuhi nomor berurut pada

ilustrasi/gambar/grafik. Berikan keterangan (caption) dan

gambaran atas setiap gambar dengan singkat dan informatif.

Teks pada Grafik. Ukuran teks pada grafik seperti judul

grafik, judul dan nilai pada sumbu-sumbu grafik, legenda,

simbol dan keterangan tambahan pada grafik harus dibuat

proporsional sehingga dapat terbaca jelas meskipun grafik

tersebut diperkecil hingga 50% . Kejelasan tampilan

penyajian ilustrasi/gambar/grafik adalah tanggung jawab

penulis. Untuk kejelasan informasi pada grafik yang ingin

disampaikan, penulis harus antisipasi dan perhitungkan hal

ini.

Tabel

Tabel dibubuhi nomor berurut sesuai kemunculannya

dalam teks. Catatan kaki tabel diletakkan di bawah tabel

dan dituliskan dengan huruf-kecil superskrip.

Daftar Pustaka

Acuan Dalam Teks. Setiap literatur yang diacu di dalam

teks harus ada di dalam seksi Daftar Pustaka. Juga

sebaliknya, setiap literatur yang ditulis di Daftar Pustaka

harus diacu di dalam teks.

Format Daftar Pustaka. Daftar literatur di seksi Daftar

Pustaka ditulis dengan penomoran angka berurut (1, 2,

3, ... dst) sesuai dengan urutan kemunculannya di dalam

teks. Urutan informasi pada setiap literatur adalah

Nama penulis, Judul, Nama Jurnal, Edisi (volume),

(Tahun), Halaman.

Contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut.

Data yang tidak dipublikasi tidak boleh dimasukkan

dalam daftar pustaka.

1. Y. Rosandi et.al., Phys. Rev. Lett. 104, 075501

(2010)

2. D.A. Nield and A. Bejan, Convection in Porous

Media (Springer, New York, 2006)

3. K. Ernstons, In Groundwater geophysics, ed.

Reinhard Kirsch (Springer, Heidelberg, 2006)

4. P. P. Edwards, in Superconductivity and

Applications — Proc. Taiwan Int. Symp. on

Superconductivity, ed. P. T. Wu et al. (World

Scientific, Singapore, 1989), pp. 29–35.

5. I. A. Dharmawan, Disertasi Doktor, Institut

Teknologi Bandung, Bandung, 2006

6. J.S. Moon, “Lattice Boltzmann method for blood

flow”, MEYS preprint, November 2000

7. J. I. Katz, “The Ptolemaic Gamma-Ray Burst

Universe”, astro-ph/9204003

Page 78: jurnal metalurgi dan energi

ISSN: 2087-748XPENERBITJurusan Fisika FMIPA Universitas PadjadjaranJl. Raya Bandung-Sumedang Km 21 Jatinangor 45363 Telp: 022 779 6014, Fax: 022 779 2435 Email : [email protected]


Related Documents