YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: ISI FOKUS Berebut (Suara) Umat - wahidinstitute.orgwahidinstitute.org/files/_docs/NAWALA IX cetak.pdf · Cawapres dari partai-partai Islam, ... lokal tempat umat berada dan lingkungan

Kritik dan Saran: Jl. Taman Amir Hamzah No 8 Jakarta 103�0, Indonesia Phone: +6� �1-39�8�33, 3145671|Fax: +6� �1-39�8�50Email: [email protected] Website: www.wahidinstitute.org

Salah satu spanduk isu jilbab dalam Pilpres 2009/Foto Dok. detik.com

Setelah didesak kanan-kiri, diberi saran sana-sini, Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menentukan pilihan calon

wakil presiden (cawapres) sendiri. “Yang berun-tung” itu ternyata Boediono, sang debutan baru. Cawapres dari partai-partai Islam, yang berkoalisi dengan Partai Demokrat, tak dilirik sama se-kali. Tetapi mereka tak mau menerima pilihan bulat-bulat. Mereka merapat dan memutuskan menolak. Alasannya, Boediono tidak mewakili umat. Boediono memang seorang muslim, tapi bukan representasi dari ”umat” yang memilih partai-partai Islam tersebut.

Adalah Tifatul Sembiring, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang membawa-bawa kata “umat“. SBY bahkan terlihat kepayahan, ka-rena PKS ngotot setengah mati agar cawapresnya mewakili “umat“. Baru detik terakhir mereka mau menerima. Dengan negosiasi sana-sini, tentu. Isi negosiasi, hanya SBY dan PKS yang tahu. Apakah umat hanya jualan politik yang musnah begitu saja ketika terjadi kesepakatan “harga”? Siapa se-jatinya yang berhak mengklaim mewakili umat? Memang, dalam jagad politik, “umat” mengalami pengkerutan (contraction) dan pemuaian (expan-sion) tergantung situasi dan selera politisi.

Umat: Pengkerutan dan PemuaianDalam Ensiklopedi Islam (�007), secara lek-

sikal “umat” memiliki makna beragam. Pertama, setiap generasi umat manusia yang kepada me-reka diutus seorang rasul, seperti umat Ibrahim AS, umat Isa AS, dan umat Muhammad SAW. Kedua, suatu jamaah atau segolongan manusia yang menganut suatu agama, seperti umat Yahu-di, umat Kristen, dan umat Islam. Ketiga, suatu jamaah manusia dari berbagai kelompok sosial yang diikat oleh ikatan sosial yang membuat mereka menjadi satu. Keempat, seluruh golongan atau jenis bangsa manusia adalah umat yang satu, maka disebut umat manusia.

Secara gramatikal, umat juga memiliki makna beragam. Bagi Fazlur Rahman, sebagaimana ditu-lis Sidney Jones (1997), umat bermakna bangsa (nation) atau masyarakat (people). Umat, lanjut Rahman, memiliki konotasi politis, karena mak-nanya mencakup semua orang yang menerima kehendak Ilahi sebagaimana terekspresi di dalam syariah yang dengan demikian memunculkan kebutuhan akan institusi-institusi untuk mem-berlakukan hukum tersebut. Kehendak Tuhan itu akan hanya bisa diimplementasikan melalui suatu tatanan politik. Meskipun wewenang kea-

REDAKTUR AHLI: YENNY ZANNUBA WAHID, AHMAD SUAEDY | SIDANG REDAKSI: RUMADI, SUBHI AZHARI, GAMAL FERDHI, ALAMSYAH M. DJA’FAR, BADRUS SAMSUL FATA REDAKTUR PELAKSANA: NURUN NISA’ | DESAIN: ULUM ZULVATON

No. 9/TH. IIIMEI - JULI 2009

FOKUS

Menjadi umat Islam Indonesia sebagai yang mayoritas mung-kin suatu kebanggaan. Betapa

tidak, ia menjadi primadona di kalangan partai yang berlaga di pemilu sejak 1955. Umat dijadikan barang dagangan untuk menggapai kekuasaan atau alat penawar negosiasi politik. Tetapi kemalangan nam-paknya mengikuti kebanggaan. Setelah dijual, di monopoli, umat ditinggalkan.

Umat, yang mulanya percaya pada partai Islam, kemudian putar haluan. Mereka menjadi pemilih rasional; mereka memilih bukan berdasarkan ideologi lagi. Sandaran pilihannya, menurut analisa para pengamat politik, adalah program dan visi partai atau kandidat tertentu. Analisa lainnya, pilihan didasarkan pada pragmatisme; ada uang, ada barang. Yang bersetuju ini menyatakan agar umat jangan disalahkan. Pragmatisme tersebut adalah balasan terhadap para politikus yang tidak amanah.

Kini umat dibawa (lagi) sebagai modal kampanye politik pemilihan presiden (pilpres) 2009. Pelakunya, tetap saja, partai-partai Islam itu.

Nawala edisi kali ini, yang telah meng-alami perubahan tampilan, membahas “umat” dan isu “umat” yang digadang-gadang oleh mereka. Tentu saja, perilaku semacam ini tidak elok untuk diteruskan. Saatnya umat memilih yang paling tepat. Jangan mau diperalat oleh mereka yang menjual “umat”.

Akhirnya, selamat membaca.

TAJUK

Berebut (Suara) UmatISI Tajuk hal.1 Fokus hal.1Wawancara hal.3Advetorial hal.4Opini hal.5Rak Buku hal.7Aktivitas hal.8

Page 2: ISI FOKUS Berebut (Suara) Umat - wahidinstitute.orgwahidinstitute.org/files/_docs/NAWALA IX cetak.pdf · Cawapres dari partai-partai Islam, ... lokal tempat umat berada dan lingkungan

No. 9/TH. III/MEI-JULI 2009

LIPUTAN KHUSUS

gamaan dan sekular dalam dunia Islam dipisahkan segera sesudah Nabi wafat, namun eksistensi umat sebagai komunitas politik tetap merupakan fiksi dan kuat, sebab hanya di dalam umat kebenaran menemukan tempatnya; ”Umatku tidak akan pernah menyetujui suatu kesalahan,” sabda Nabi.

Dengan definisi ini, umat mengandaikan pemeluk Islam di seluruh dunia yang melampaui batas teritorial. Konsep ini senada dengan pengertian ”komunitas Islam”, mengutip Bahtiar Effendy (1998), sebuah konsep politik Islam yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan. Umat Islam adalah universal tetapi ia tersebar; ada umat Islam Indonesia, umat Islam Mesir, umat Islam Amerika untuk sekedar contoh. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah, konsep umat—menyitir Jones—”mengkerut” dan ”me-muai”. Faktor penentuya adalah lingkungan politik dan ekonomi lokal tempat umat berada dan lingkungan Islam internasional yang terkait dengannya.

Pembentuk konsep umat yang paling penting, kata Jones, mungkin ibadah haji yang mondial. Ibadah haji ini menjadikan kota Mekah berperan penting dalam mengabadikan keyakinan terhadap realitas fisik mengenai umat secara global. Syarif Husein, pemimpin Mekah hingga 19�5, menikmati status khusus sebagai ibu kota kekuasaan dinasti Arab, Persia maupun Turki. Mekah menjadi tempat tinggal bagi para ulama yang bertindak sebagai hakim terhadap perbedaan-perbedaan dalam umat dan yang bisa memberi Dominasi Mekah—yang artinya ”umat” menjadi mengke-rut—berakhir setelah kejatuhan dinasti Syarif dan bergabungnya Arab Saudi menjadi negara bangsa. Persaingan ideologi yang kian marak juga mendorong terjadinya hal ini. Umat Jawa—kini In-donesia—turut terpengaruh. Pada abad 19, umat Islam Jawa tidak menautkan diri mereka dengan komunitas Islam internasional Mekah. Mereka tetap sebagai Jawa. Jawa yang berbahasa Melayu di Mekah. Sebabnya, peran dunia Arab sudah digantikan Eropa. Akan tetapi, ”umat” yang mengkerut ini justru diikuti dengan peningkatan mereka yang menunaikan ibadah haji.

Setelah masa Indonesia merdeka, definisi umat tambah mengkerut. Ketika organisasi massa Islam Muhammadiyah (lahir 191�) dan NU (lahir 19�6), ”umat” adalah mereka yang menjadi dua anggota ormas tersebut. Lalu kurun 1950-1960-an, mengutip Bahtiar, klaim umat absah adalah hanya bagi mereka yang berga-bung dengan organisasi sosial politik Islam. Dengan definisi ini, ”umat” hanya berlaku bagi partai politik yang menjadikan Islam sebagai basis ideologi. Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), Partai NU (Nahdlatul Ulama), Parmusi (Partai Mus-limin Indonesia), dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) layak disebut dalam tautan ini. PPP, yang merupakan fusi partai-partai Islam yang telah disebut, paling dapat disorot di masa Orde Baru. Makna terkahir ini tampaknya masih menjadi acuan politisi partai Islam hingga kini.

Pada masa Orde Baru, PPP pernah memonopoli makna umat, karena PPP-lah satu-satunya partai politik Islam. Aroma monopoli ini tampak pada kekhawatiran PPP tentang adanya upaya orsospol (organisasi sosial politik) yang menjauhkan “umat Islam” dari PPP. Indikasinya, adanya gerakan politik Golkar dan PDI yang ketika itu agresif mendekati kantong-kantong umat Islam; Harmoko, Ketua Golkar, rajin berkunjung ke pesantren dan Megawati selaku Ketua PDI bergandengan dengan tokoh semacam Gus Dur. Dengan ge-rakan ini, klaim PPP sebagai suara ”umat” mulai terdegradasi.

Kini, di era reformasi, definisi umat mengalami pemuaian seiring menjamurnya partai yang mengatasnamakan Islam. Banyak partai-partai umat Islam yang menuliskan “umat” sebagai basis perjuangan partainya, dalam bentuk visi maupun misi. PBB (Partai

Bulan Bintang) tegas mengatakan partainya sebagai ”aset umat” dan mempelopori penyatuan-penyatuan partai Islam sebagai stra-tegi partai. PMB (Partai Matahari Bangsa) mengandalkan jargon “Satukan Umat, Makmurkan Bangsa”. PKS memiliki visi sebagai ”partai dakwah penegak keadilan dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa”. PPP tidak mencantumkan ”umat” barang satu kata pun, tetapi PPP merupakan satu-satunya partai yang memonopoli umat pada masanya.

Umat dalam Pilpres 2009Umat dijual lagi kali ini. Dengan total suara di kisaran �4%,

dihitung dari suara partai Islam yang lolos parliamentary treshold, muncul gagasan untuk membuat poros baru. Din Syamsuddin menamainya dengan Poros Tengah II untuk menandingi SBY dari Partai Demokrat—Poros Tengah I dimotori Amien Rais yang berupaya menjegal Megawati selaku wakil partai PDI-nasionalis. Tetapi nama ini dinilai tidak tepat karena oleh Tifatul Sembiring, Presiden PKS. “Saya nggak ngerti Poros Tengah. Tidak ada Poros Tengah, adanya Poros Umat,” kata Tifatul di sela acara Jakarta Political Club di Jakarta, Selasa (16/1�/08) sebagaimana dikutip inilah.com. Poros Umat akhirnya hilang ditelan arus ketika PAN (Partai Amanat Nasional), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PPP, dan PKS merapat ke kubu SBY.

Namun mereka masih membawa umat sebagai syarat penerima-an koalisi. “Kami dari partai-partai Islam atau berbasis Islam (PPP, PKS, dan PAN) terus mengadakan komunikasi untuk mempertegas sikap kami bahwa kami tidak bersedia dalam satu perahu dengan Pak Boediono yang bukan representasi Islam,” kata Wasekjen DPP PPP T Taufiqulhadi kepada detik.com, Jumat (15/5/�009) menanggapi penunjukan mantan Gubernur BI itu. Hingga detik-detik mendekati waktu deklarasi pasangan capres/cawapres SBY, partai-partai Islam pendukung koalisi Partai Demokrat (PD) ini terus berkoordinasi. Mereka, menurut Taufiq, meminta SBY mempertimbangkan cawa-pres dari kalangan umat Islam atau yang dipandang dapat mewakili umat Islam. Memang, dengan pendekatan sana sini, penolakan itu berbuah penerimaan.

Tetapi isu-isu yang membangkitkan sentimen umat terus dihem-buskan. Isu jilbab, aliran sesat, agama istri seorang kandidat menjadi bahan kampanye. Mulanya adalah komentar Zullkieflimansyah, Wasekjen PKS. Ia menyatakan bahwa pendukung PKS lebih sreg dengan pasangan lain yang beristrikan perempuan berjilbab. “Se-bagian besar hati kader PKS ada di JK-Wiranto karena istrinya berjilbab. Dan isu bahwa istri Pak JK dan Pak Wiranto berjilbab, walau sederhana tapi di akar rumput berpengaruh besar,” aku Zulkiefli, sebelum mengisi sebuah diskusi sebagaimana dikutip Kompas.com (�5/05/09).

Saat kabar itu menyebar, muncul di seberang kantor PKS span-duk berlatar hijau dengan isi yang cukup provokatif; “Saudaraku, banggakah ketika ibu negara kita menutup aurat dengan sempurna?”. Spanduk tersebut dilengkapi dengan gambar Mufidah (istri Jusuf Kalla) dan Rugaya (istri Wiranto) yang berjilbab. Publik mau tak mau membaca spanduk ini sebagai tekanan agar Ani Yudhoyono dan Herawati Boediono memakai jilbab. PKS sendiri membantahnya. Ketua DPP Bidang Kewanitaan PKS, Ledia Hanifa, sendiri memban-tah anggapan kalau di tataran akar rumput PKS, terutama kalangan perempuan, yang menolak SBY-Boediono karena istri mereka tidak berjilbab. “Mereka tidak komplain soal ini,” tambahnya.

Isu agama lainnya adalah soal pembubaran Ahmadiyah. “Haram bagi FPI untuk memilih SBY,” kata Sekjen FPI Ahmad Shobri, antara lain, karena SBY sampai saat ini belum membubarkan Ahmadiyah. “Saya lebih senang mendengarkan orang asing sehingga Ahmadiyah

Page 3: ISI FOKUS Berebut (Suara) Umat - wahidinstitute.orgwahidinstitute.org/files/_docs/NAWALA IX cetak.pdf · Cawapres dari partai-partai Islam, ... lokal tempat umat berada dan lingkungan

3

No. 9/TH. III/MEI - JULI 2009

tidak dibubarkan,” jelasnya kepada RMOnline (0�/06/09). Apakah isu ini berpengaruh terhadap perolehan suara kandidat capres-cawapres?

Isu Agama Kehilangan PesonaSalah satu perkembangan penting dalam politik pasca reformasi

adalah semakin berkurangnya sentimen agama untuk menentukan pilihan politik. Memang hal ini sering menimbulkan tanda tanya, mengapa pilihan politik selalu berjarak dengan isu agama? Alih-alih dalam rumah Islam yang begitu besar, dalam NU saja pilihan politik warganya sangat variatif. Survey Litbang Kompas yang menyoal ”Rumah Politik Nahdliyin” yang hasilnya dirilis pada 1 April �009. Orang-orang NU, ternyata tidak menjadikan NU dan juga Islam sebagai sentimen pilihan politik. Partai Demokrat di-pilih oleh �9,8 % responden warga NU dan 19,4 % untuk PDI-P pada Pemilihan Umum �009. Anehnya, PKB hanya meraih 5,9 % suara dari responden warga NU dan 1,3 % responden yang lain mengaku memilih PKNU.

Di sisi lain kaum santri, sebagai contoh juga memiliki perilaku yang berubah; mereka tidak lagi manut kyai. “Dulu, kyai menge lu a r-kan ”fatwa” membela PKB identik dengan membela NU dibuktikan dengan kataatan warga NU memenangkan PKB Jatim pada pemilu 1999 dan �004,” terang Muhammad Faisol dalam artikel ”Desakra-lisasi Politik NU” di Kompas (�1/04/09). Kini, Jawa Timur telah dibirukan oleh Partai Demokrat.

Apakah ini tanda bahwa pemilih semakin rasional dalam menye-leksi partai? Siti Zuhro, peneliti LIPI, menyatakan bahwa bahwa pemilih semakin rasional dari waktu ke waktu, meskipun belum ada penelitian untuk membuktikannya. ”Dari studi kasus di Jatim saja, terjadi pergeseran dari pemilu tradisional ke pemilih rasional,” jelas alumnus University of Adelaide seperti dimuat pikiranrakyat.com (16/06/09). Tentu saja yang dimaksud adalah pendukung PKB yang membelot ke Partai Demokrat. Rasionalitas ini, merujuk pada Zuhro, nampaknya berbasis pada program SBY-JK yang kian

kinclong seperti pemberantasan korupsi. Namun, bagi sebagian kalangan rasionalitas yang dimaksud hanya

sebatas pragmatisme. ”Mereka menjatuhkan pilihan berdasarkan pertimbangan rasionalitas. bahasa kasarnya; ada uang ada barang,” sergah Akhamd Zaini dalam artikelnya yang bertajuk ”Desakra-lisasi Politik Santri” di Jawa Pos (�3/06/09). Akan tetapi santri tidak layak dijadikan terdakwa utama. Mereka, menurut Zaini, hanyalah korban yang kemudian nekat melakukan serangan balasan kepada wakil rakyat (dari kalangan santri) yang tidak amanah dan korup—tidak ada bedanya dengan para politisi yang bukan datang dari kalangan santri.

Intinya, bagi Zaini, telah terjadi desakralisasi di kalangan kaum santri. Mereka tidak lagi mengikuti kyai-nya dalam urusan politik. Urusan politik adalah hal duniawi yang praktis. Meskipun, tentu saja, santri yang ”taat” juga masih tetap ada. Dengan adanya desakra-lisasi ini, kata Anas, orang memilih partai politik bukan karena soal yang ilahiyah tapi itu pilihan dunia terhadap pikiran yang rasional yang tidak ada hubungannya dengan agama. Di luar kalangan NU, nampaknya terjadi gejala senada.

Rasionalitas pemilih tampaknya telah membuat definisi umat menjadi dinamis. Dulu, umat dalam ranah politik diklaim semata milik PPP sebagai satu-satunya partai Islam di masa Orde Baru. Kini, ketika PPP mendapat saingan partai Islam yang cukup banyak—mereka juga merasa memiliki umat yang sama—definisi ini memuai. Umat Islam (secara politik) tidak bisa diklaim lagi milik partai umat Islam semata.

Umat Islam (Indonesia) kini milik semua partai melampaui batas ideologi dan ormas yang diikutinya. Partai yang mengklaim umat itu sendiri akhirnya menggadaikan umatnya sendiri ketika bergabung dengan kandidat capres-cawapres yang berasal dai partai yang tidak ”memiliki” umat. Isu jilbab, tidak mewakili umat ternyata ditelan kembali demi pragmatisme politik. Oh, PKS! Wallahu A’lam Bisshawab [] (Rumadi, Nurun Nisa’)

Isu Agama Hanya Isu Lokal Anas Saidi:

Seperti siklus yang selalu berulang, isu berbau agama dibawa kembali ke gelanggang politik menjelang pemilihan presiden bulan Juli nanti. Soal jilbab, aliran sesat, dan Ahmadiyah dijual di ruang publik sebagai modal kampanye dan negoisasi. Apakah isu ini tetap relevan di tengah arus pemilih yang makin rasional? Berikut petikan wawancara Nurun Nisa’ dari the WAHID Institute kepada Anas Saidi, peneliti LIPI terkait tema tersebut: Penggunaan isu agama masih dimainkan dalam pemilihan presiden ini, meskipun tidak begitu vulgar. Bagaimana pendapat Anda?

Meskipun digunakan, isu agama sebenarnya tidak relevan. Sebabnya, pertama, kalau kita lihat dari tren partai saja, suara partai Islam (yang kerap memakai isu agama) makin lama makin turun. Sekarang hanya 18% saja. Kalau ditambah PKB dan PAN akan menjadi 38%. Sejak tahun 1955, suara mereka terus turun. Kedua, secara faktual, isu agama itu sudah tidak akan menarik di pemilu mendatang. Kalau itu toh digunakan, saya kira itu tidak efektif dan tidak signifikan.

Mengapa isu agama tidak signifikan dan relevan?

Ada kesan kuat bahwa masyarakat justru semakin takut terhadap isu

agama. Isu syariat Islam (SI) dan yang sejenisnya di tingkat empiris tidak ada korelasinya dengan kemakmuran ekonomi. Isu yang lain, misalnya, isu jilbab itu sifatnya hanya sementara. Kalau toh itu dimunculkan sifatnya hanya sebentar saja, tidak akan bisa membikin orientasi pilihan (beru-bah).

Ada partai yang “menekan” kandidat presiden tertentu untuk memakai jilbab, misalya. Apakah itu berarti hanya ger-tak sambal karena isu agama

WAWANCARA

Foto.Dok.Witjak/WI

Page 4: ISI FOKUS Berebut (Suara) Umat - wahidinstitute.orgwahidinstitute.org/files/_docs/NAWALA IX cetak.pdf · Cawapres dari partai-partai Islam, ... lokal tempat umat berada dan lingkungan

4

No. 9/TH. III/MEI-JULI 2009

Buku ini mengulas banyak isu, mulai dari gerakan sosial baru

Islam, HAM, hingga, tema-tema spritualitas. Isu tentang neoliberalisme juga dibahas dalam kaitannya dengan Is-lam dan hak asasi manusia.

Salah satu “kelihaian” sistem neoliberalisme, menurut Suaedy, adalah kemampuannya hidup dan “berkembang biak” dalam ra-gam sistem, mulai dari semidemokratis, otoriter, hingga teokra-tis. Gap yang menganga antara kaum kaya dan miskin, negara kaya dan negara miskin, itulah yang melahirkan dampak lanjutan berupa lahirnya gerakan fundamentalisme dan terorisme.

Secara umum buku ini diikat oleh wacana penguatan gerakan

sosial baru Islam dalam memantapkan demokrasi yang lebih substansial di Tanah Air. Gerakan sosial baru (new social move-ment) di lingkungan masyakarat muslim, terutama di lingkungan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dipercaya oleh Suaedy mampu melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Namun banyak tantangan yang menghadang. Selain neolibera-lisme, tantangan yang tengah menghadang adalah menjamurnya gerakan Islamisme, kekerasan agama, dan beragam regulasi yang mengekang kebebasan beragama di Tanah Air. Problem masih belum sinerginya gerakan yang tersebar di Nusantara ini adalah masalah internal yang juga patut dipertimbangkan (Alamsyah M. Dja’far)

Buku ini bisa diperoleh di toko buku the WAHID Institute dengan harga Rp. 75.000.-

Judul Buku : Perspektif Pesantren: Islam Indonesia, Gerakan Sosial Baru, Demokratisasi Penulis : Ahmad SuaedyPenerbit : the WAHID InstituteTahun Terbit : 2009Jumlah Halaman : xxxiv + 388 hlm.

ADVETORIAL

tidak signifikan efeknya?

Saya kira bukan gertak sambal. Bagi kader, pengikut PKS, saya kira ya. Kader-kader PKS yang di kampus, misalnya, yang cenderung tekstual itu masih mempersoalkan jilbab. Tapi persentasenya PKS itu berapa kalau kita hitung dari (suara) partai nasionalis itu. Selain itu, di PKS kan ada faksi-faksi. Ada faksi simbol (yang mengutamakan simbol) dan ada faksi moderat.

Kalau menghitung variabel agama sebagai jilbab, Megawati juga kadang berjilbab, kadang tidak. Ibu SBY (Ani Yudhoyono) kadang berjilbab dan kadang tidak, tergantung pada situasi dan kondisinya. Tetapi yang mau saya katakan bahwa simbolisasi agama itu semakin lama semakin tidak popular di dalam masyarakat lain. Indikator lain saja, misalnya, survey yang dimuat di Kompas, yang menyatakan bahwa orang NU yang bisa disebut “pasti orang Islam,” itu yang memilih Partai Demokrat itu ternyata mencapai hampir �9,8%. Yang memilih PKB sendiri tenyata hanya 5,9% dan yang memilih PKNU itu hanya 1,3%. Itu menunjukkan bahwa isu agama itu sudah tidak begitu relevan. Tapi ada satu pergeseran rasionalisasi politik yang lebih kuat, di kelompok Islam tradisionalis sekalipun. Jadi kecenderungan yang memanipulasi agama, menurut saya, tidak terlalu efektif.

Bagaimana dengan FPI yang mengharamkan memilih SBY karena tidak membubarkan Ahmadiyah dan kontrak politik JK dengan FDMI (Forum Da’i Muda Indonesia) terhadap soal pemberantasan aliran sesat dihubungkan dengan irrelevansi isu agama?

Saya juga melihat kecenderungan yang tidak terlalu relevan. Te-

man-teman FPI atau kubu-kubu yang keras dalam soal semacam itu karena mereka punya panggung untuk menyuarakan opini. Sementara kelompok mayoritas tidak peduli. Mereka cenderung tidak menginginkan bahwa sesuatu yang sifatnya primordial itu di-selesaikan dengan kekerasan. Suara FPI tidak mewakili dari sebuah suara mayoritas atau suara kecil saja.

Tidak efektifnya fatwa MUI terhadap fatwa haram pluralisme, seku-larisme, dan liberalisme dapat dipakai untuk menunjukkan bahwa kekhawatiran tentang dukungan kalau SBY tidak membubarkan (Ahmadiyah), tidak ada yang memilih, itu hanya kelompok-ke-lompok minoritas. Itu saja. Andaikata kelompok itu betul, cuma berapa persen sih?

Lalu siapa yang diuntungkan dengan keadaan begini?

Dengan tidak lakunya isu ini, maka dapat dilihat beberapa hal. Pertama, di satu sisi, rakyat relatif cerdas untuk persoalan janji. Akan lebih signifikan sebenarnya jika kita mengamati seberapa jauh tiga calon presiden memlihara psikologi massa. Misalnya, SBY kalau hati-hati untuk mempertimbangkan (sebuah isu), tidak terlalu reaktif, tetap bersifat low profi le, bersikap rasional, dia (akan) jauh memperoleh simpatik ketimbang isu agama. Tetapi kalau misalnya SBY di dalam perkembangannya misalnya agak sedikit sombong, memaksa, menyerang, akan riskan. Kedua, memang ada sebagian masyarakat yang memang sifatnya sangat pragmatis sehingga ke mun g ki n an hal yang berbau money politics seperti pembelian suara masih bisa dimungkinkan terjadi. Tapi kalau itu pun terjadi, skalanya tidak bisa signifikan. Jadi masih performance dan janji-janji yang rasional itu lebih diminati masyarakat. Kaum minoritas yang membawa-bawa agama tidak menikmati keuntungan, baik dari segi

Page 5: ISI FOKUS Berebut (Suara) Umat - wahidinstitute.orgwahidinstitute.org/files/_docs/NAWALA IX cetak.pdf · Cawapres dari partai-partai Islam, ... lokal tempat umat berada dan lingkungan

5

No. 9/TH. III/MEI - JULI 2009

Dalam konferens i the Mid dle East Studies Asso-ciation of North America

tahun 1993, feminis Mesir, Nawal Sa’dawi (l. 1931) mengatakan, “There are no secular states. All states are religious”, tidak ada negara se-kuler, semua negara adalah negara agama. Pernyataan Sa’dawi ini sebuah sindiran terhadap rezim politik, birokrat dan tokoh partai yang tampil “agamis” tidak hanya di negara-negara berbasis muslim, tapi juga untuk negara-negara

Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). AS yang dianggap kampium demokrasi dan sarang sekularisme, dalam realitas politiknya juga tampil sangat “religius”; tidak hanya pendukung Partai Republik yang memang dikenal sangat agamis dan konservatif, bahkan bagi para pendukung Partai Demokrat itu sendiri yang dipandang liberal juga tampil religius.

Fenomena ini seperti membenarkan jargon “Nietzche telah mati”. Doktrin Nietzche yang menyatakan meramalkan “kematian Tuhan” seperti sudah tidak relevan. Memang sejak 1990-an, agama kembali menjadi sorotan publik intelektual setelah sekian lama mati suri “dibunuh” oleh ajaran sekularisasi. Pemicunya tentu saja adalah munculnya gelombang gerakan-gerakan sosial dan politik yang bermerek agama sejak 1980-an dari fundamentalisme Islam di Timur Tengah dan Afghanistan sampai teologi pembebasan Katolik di Amerika Latin. Sejak era itu, agama-agama di seluruh dunia “ke-luar dari sarang”: dari ruang privat ke kehidupan publik—sebuah fenomena yang menyebabkan munculnya “deprivatisasi agama” atau, meminjam istilah Peter Berger (1999), “desekularisasi dunia” dalam kehidupan modern.

Merespon fenomena ini, banyak ilmuwan membuat tulisan dan buku semisal Jose Casanova yang bertajuk Public Religions in the Modern World atau buku editan Robert Hefner, Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation, and Democratization. Secara garis be-sar, buku-buku ini mempertanyakan kembali tesis-tesis klasik teori sekularisasi yang berakar pada tradisi intelektual Eropa abad ke-19 yang meramalkan bangkrutnya peran agama di sektor publik seiring

Foto.Dok.Pribadi

OPINI

Dari Sekularisme ke Politisasi AgamaOleh Sumanto Al Qurtuby*

ekonomi atau segi agama.

Bagaimana irrelevansi isu agama jika dikaitkan survey Gallup Poll kepada 1,3 miliar muslim di seluruh dunia di negara-negara yang mayoritas muslim tentang pene-rimaan demokrasi tetapi mengandaikan peran syariah di dalamnya?

Ini terkait dengan teori dalam fi qh siyasah (fikih politik) yang memiliki dua aliran. Pertama, Islam dianggap sebagai al-din wa al-daulah, Islam itu satu paket antara agama dan negara. Karena itu, isu tentang syariah Islam itu sebuah kewajiban yang diperjuangkan oleh PKS dan oleh partai-partai yang lain. Kedua, Islam itu dinilai tidak punya cetak biru tentang demokrasi tetapi memiliki prinsip-prinsip umum tentang demokrasi seperti al-musawa (persamaan), musyawarah, al-adl (keadilan), al-hurriyah (kemerdekaan). Inilah argumen yang digunakan orang-orang muslim seperti Gus Dur, Cak Nur, yang menganggap Pancasila sebagai yang final karena itu dianggap sebagai sesuatu yang sesuai dengan politik Islam.

Survey untuk mahasiswa di universitas umum, terutama di UI (Universitas Indonesia) dan UGM (Universitas Gadjah Mada), menunjukkan setidaknya 86% itu mengatakan perlunya SI. Tapi dalam survey pada masyarakat umum oleh PPIM (Pusat Peneli-tidan Islam dan Masyarakat), terungkap bahwa 84% masyarakat tetap menginginkan Pancasila. Karena itu saya optimis bahwa isu keagamaan itu sebenarnya berstatus atau bersifat lokalitas. Jadi un-tuk mahasiswa, isu agama benar (relevan) karena sebagian mahasiswa umum itu umumnya tekstual dalam soal pemahaman keagamaan. Ini memang merisaukan tetapi dalam skala yang lebih umum, isu keagamaan tetap tidak relevan dan tetap tidak begitu laku dijual

sebagai suatu upaya untuk melakukan pemilahan terhadap pemilihan presiden itu. Kalaupun ada, konsentrasinya cukup kecil.

Ketika isu agama tidak lagi penting, apakah berarti se-dang terjadi sekularisasi dalam masyarakat?

Sekarang ini, isu sudah tidak ada gaungnya lagi. Orang sudah merasa bahwa SI itu ternyata tidak signifikan dengan apa yang disebut good governance (pemerintahan yang baik), misalnya. Tidak ada kaitannya dengan pemberantasan korupsi. Untuk apa jika cuma buat sekedar simbol.

Sekularisasi tidak sampai seperti itu. Sekularisasi itu intinya mem-bedakan bahwa agama itu sepenuhnya bersifat privat, tetapi kita (di Indonesia) masih tetap menghargai bahwa persoalan keagamaan itu masih diperbolehkan di ranah publik. Negara masih dibutuhkan untuk persoalan agama tetapi tidak boleh melampaui tapal batas.

Dengan demikian, apakah berarti desakralisasi telah dijalankan oleh masyarakat?

Desakralisasi ini sekarang itu sudah dan harus berjalan; bahwa partai-partai Islam atau partai-partai agama itu tidak memiliki kewibawaan untuk “memaksa” para konstituen untuk memilih partai Islam tertentu dengan ditakuti masuk neraka atau masuk surga. Sekarang orang NU bisa memilih SBY, bukan Hasyim Muzadi (selaku kandidat pesaing SBY) yang ketua NU. Inilah yang disebut rasionalisasi politik; bahwa hubungan ikatan organisasi keagamaan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pilihan politik. Sudah ada satu pergeseran rasionalisasi politik yang lebih kuat, bahkan di kelompok Islam tradisionalis sekalipun.

Page 6: ISI FOKUS Berebut (Suara) Umat - wahidinstitute.orgwahidinstitute.org/files/_docs/NAWALA IX cetak.pdf · Cawapres dari partai-partai Islam, ... lokal tempat umat berada dan lingkungan

6

No. 9/TH. III/MEI-JULI 2009

dengan proses modernisasi dan sekularisasi. Tesis-tesis teori sekularisasi yang meramalkan “kematian agama”

ini kemudian mendapat kritik tajam, bahkan dari para pendukungnya sendiri. Faktor-faktor yang menjadi basis untuk mengkritik teori sekularisasi itu dan mendukung teori revitalisasi agama ini beragam. Misalnya, munculnya fenomena “vitalitas agama” di panggung publik seperti trend konservatisme Kristen AS, gerakan spiritualitas New Age di Eropa Barat, revivalisme kaum Evangelis di Amerika Latin dan Asia Timur, kekerasan berbasis agama di berbagai belahan dunia. Dan, tentu saja, pertumbuhan gerakan fundamentalisme dan neo-fundamentalisme agama—mengutip istilah Oliver Roy—serta kaum Salafi dan partai-partai berbasis agama di dunia Islam.

Sejak dua dasawarsa terakhir, agama memang kembali menjadi faktor penting dan identitas budaya yang paling diperhitungkan dalam kehidupan politik. Dalam konteks sejarah Islam modern, suk-sesnya Imam Khomeini dalam menumbangkan ikon sekuler rezim Pahlevi dalam Revolusi Islam Iran tahun 1979 menjadi titik awal bangkitnya gerakan-gerakan keagamaan yang mengusung simbol-simbol, ideologi, dan identitas keislaman. Nilai-nilai konservatisme Syi’ah ini dilestarikan oleh para rezim politik pasca-Khomeini. Hanya mantan Presiden Khatami yang berakar pada tradisi moderat Syi’ah.

Kesuksesan Khomeini ini disusul oleh gemilangnya pasukan Mujahidin di bawah komando Abdullah Azam (pendiri Hamas) dan para “tuan tanah” Afghan seperti Ahmad Sjah Massoud, Gulbuddin Hekmatyar, dan Abdul Rasul Sayyaf yang mampu memukul mundur “Tentara Merah” Uni Soviet dari Afghanistan dan Pakistan Utara pada akhir tahun 1980-an. Kekalahan telak Uni Soviet menyeba-bkan bercokolnya kaum Islamis impor dari Arab di negera yang mendapat sebutan “jalan raya penaklukan” itu. Sejak itulah Osama Bin Laden mulai nenanamkan otoritasnya dengan menjadikan Ta-liban dan Mullah Omar sebagai “pion”-nya. Kemenangan tentara Mujahidin ini memberi inspirasi munculnya sayap “Islam garis keras” yang membentang dari Mesir Pilipina Selatan, Saudi Arabia sampai Indonesia.

Gerakan Islam politik juga kembali mendapatkan momentum signifikan di Turki, negara yang menjadi ikon sekularisme dunia Islam, setelah Adalet ve Kalkınma Partisi atau AKP (Justice and Development Party) berhasil dengan gemilang meyakinkan publik sekuler Turki sejak akhir 1990-an/awal �000-an, dan berturut-turut dalam setiap pemilu mampu menjungkalkan rezim Kemalis-Sekuler-Nasionalis yang sejak pendirian negara Turki modern tahun 19�3 menjadi blok penguasa. Meskipun AKP tidak bisa dikatakan sepe-nuhnya sebagai partai Islamis karena dasar-dasar pergerakannya yang pro-Barat dan jauh dari proyek “Islamisasi” masyarakat dan negara, tapi daya tarik mereka terhadap simbol-simbol keislaman.

Sementara itu di negara-negara Arab dan Timur Tengah terutama di kawasan berbasis Sunni, meskipun kelompok Islam politik belum berhasil menggoyang rezim sekuler, mereka mendapat dukungan pu-blik sangat signifikan seperti dialami kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir atau kelompok Hamas di Palestina. Di negara-negara di mana Syi’ah menjadi kelompok agama utama seperti Iran, Irak, dan Lebanon, kelompok Islam politik juga bergaung dengan kencang.

Bagaimana dengan Indonesia? Gerakan Islamisme di Indonesia mulai tumbuh subur sejak akhir tahun 1980-an/awal 1990-an. Me-reka tumbuh ketika Suharto mengubah kebijakan politik yang semula sangat ketat terhadap kelompok umat Islam dan lebih menyukai gaya kepemimpinan yang sekuler-abangan, menjadi pro-muslim. Saat itu, Suharto menoleransi organisasi dan gerakan-gerakan keislaman sepanjang tidak berorientasi pada kegiatan politik yang mengancam eksistensi negara dan rezim Orde Baru. Maka mulai bersemilah kelompok Islamis, kaum Salafi, atau gerakan Tarbiyah. Gerakan

Tarbiyah dan Islamisme yang semula berorientasi pada dakwah dan kesalehan individual ini kemudian aktif secara politik sejak 1998 ketika Orde Baru tumbang.

Penting untuk dicatat bahwa gerakan Islamisme di Indonesia bukanlah sebuah gerakan monolitik. Gerakan ini sangat variatif baik dari segi motif, kepentingan, niat, interpretasi, strategi, aksi, serta formasi dan struktur organisasi keagamaannya: dari Jama’ah Islamiyah yang ‘sembunyi’ dan radikal sampai Hizbut Tahrir yang, meskipun sangat ideologis, menggunakan strategi dan aksi yang relatif damai (dan “pro-militer”), dari Front Pembela Islam (FPI) dan kelompok sejenis yang frontal dan urakan sampai PKS yang berpu-ra-pura tampil simpatik memperjuangkan demokrasi dan toleransi, meskipun sebetulnya berwatak islamis-idelogis dan intoleran.

Gerakan PKS yang pseudo-democratic ini mirip dengan fenomena Hizbul Wasat (“Partai Tengah”), sebuah pecahan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Seperti ditulis oleh Anthony Bubalo dan Greg Fealy di Join-ing Caravan? The Middle East, Islamism, and Indonesia, ada persamaan mendasar antara PKS dan Hizbul Wasat sehingga mendorong asumsi adanya pengaruh gerakan kader-kader muda Ikhwanul Muslimin (IM) Mesir ini di tubuh PKS. Beberapa persamaan itu antara lain: pertama, keduanya sama-sama partai berbasis kader. Kedua, PKS dan Hizbul Wathan juga menggunakan “layanan komunitas“ untuk memikat rakyat banyak seperti pelayanan kesehatan, bencana alam, dan lainnya. Ketiga, keduanya meninggalkan strategi dan taktik para pendahulu mereka (IM untuk Hizbul Wasat dan kelompok Tarbiyah untuk PKS) yang kental dengan kosakata keislaman dalam semua urusan publik ke bahasa demokrasi dan reformasi ekonomi serta sedikit membuka diri terhadap kelompok non-muslim (Bubalo dan Fealy (�005: 70-3).

Jika Hizbul Wasat membuka “pendaftaran” untuk kaum Kristen Koptik, PKS juga melakukan hal yang sama dengan membuka pe-luang buat kelompok non-Muslims meskipun kemudian mendapat protes keras dari kader-kadernya sendiri. Sementara kelompok Tarbiyah menganggap islamisasi masyarakat, ekonomi, dan negara sebagai “batu loncatan” perjuangan mereka, PKS “mengesamping-kan” isu-isu ini—setidaknya dalam setiap kampanye pemilu—dan secara retoris memfokuskan diri pada tema-tema sekuler seperti perang melawan korupsi, perjuangan persamaan sosial-ekonomi dan reformasi politik.

Hal itu bukan berarti para pemimpin PKS telah meninggalkan “komitmen keislaman” dan mengabaikan “identitas Islam.” Apa yang mereka lakukan hanyalah bagian dari strategi, taktik, atau “ritual” dalam “panggung politik” untuk mengais dan mendapatkan dukungan publik semata.

Dengan demikian, kita harus membaca gerak-gerik para tokoh dan elit politik secara hati-hati. Mereka saling memamerkan sim-bol dan identitas untuk menampilkan citra agamis, toleran, dan pro-rakyat. Tokoh atau elit politik parpol setiap menjelang pemilu tiba-tiba berubah menjadi islami, saleh, demokratis, toleran, dan pro-rakyat kecil, juga harus kita sikapi dengan penuh kewaspadaan dalam setting panggung teater politik tadi. Warga negara yang cerdas adalah warga yang mampu membaca dan membedakan antara on stage (di atas panggung politik) dan off stage (di belakang panggung).

Dengan demikian, menguatnya peran agama di dunia politik dan kehidupan publik seperti diuraikan di atas harus kita baca dalam kerangka “politisasi agama” yang bermuara pada kepentingan prag-matis individu, kelompok, atau aktor agama tertentu, dan bukan demi kepentingan agama, apalagi Tuhan.[]

* Mahasiswa Ph.D bidang antropologi agama dan politik di Boston University

Page 7: ISI FOKUS Berebut (Suara) Umat - wahidinstitute.orgwahidinstitute.org/files/_docs/NAWALA IX cetak.pdf · Cawapres dari partai-partai Islam, ... lokal tempat umat berada dan lingkungan

7

No. 9/TH. III/MEI - JULI 2009

Kalau saja Allah hendak menjadikan seluruh manusia sebagai sebuah umat yang tunggal, seperti termaktub dalam ayat Qur’ani (Yunus:99), niscaya semuanya mengikuti iman yang sama. Tapi Dia memiliki kuasa yang lain: kemajemukan sebagai fitrah manusia di mana-pun. Tafsir teologis ayat tersebut tak hendak menjadikan manusia sebagai makhluk satu dimensi, sebaliknya itu lebih sebagai pemicu agar dialog menjadi jembatan bagi perbedaan yang ada.

Jangankan hubungan antaragama, per-soalannya kemudian bagaimana supaya kenis-bian internal di dalam umat muslim tumbuh lebih baik. Kita bisa bertolak dari “Fitnah Besar” di akhir kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib yang menyembulkan sekte-sekte Islam dengan konflik politik yang sengit. Utamanya Khawarij yang lalu membatasi kebenaran tung-gal dengan me-liyan-kan kelompok di luarnya sebagai kafir. Dari sini, istilah darul-Islam dan darul-harb mulai berkembang dan lalu menjadi fikih politik di kemudian hari.

Terlepas dari borok sejarah yang tak ter-elakkan itu, penting dilihat bahwa bangunan politik zaman Nabi hingga kekhalifahan Ab-basiyah menegakkan Islam sebagai identitas kekuasaan yang paling memungkinkan sebagai memori kolektif diperbandingkan dengan tri-balisme Arab yang cenderung lebih memecah-belah. Kondisi sosiologis itu yang membikin Islam secara formal sekaligus dipraktekkan da-lam kenegaraan. Ketimbang non-muslim yang lalu dipayungi dengan sebutan dzimmi dengan kewajiban membayar pajak, umat Islam kala itu menjadi “warga negara kelas pertama”.

Gambaran umum mengenai hal tersebut, apabila hendak ditimbang dengan konteks kekinian, tentu saja amat diskriminatif terlepas dari latar sosiologis-politisnya. Sejak bentuk negara-bangsa menyeruak, hubungan antarma-nusia terkait di dalam kekuasaan politik yang berdaulat ditentukan dengan konstitusi yang menghargai hak-hak kewarganegaraan. Ber-beda dengan pembagian “wilayah-Islam” atau “non-Islam”, dalam sudut pandang kewarga-negaraan, setiap orang apapun latar belakang-nya, terlebih agama, dianggap sama di hadapan hukum tanpa kecuali. Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagai bagian dari hak asasi manusia, bersifat non-derogable alias tidak dapat dibatasi, kecuali terkait dengan pembatasan pe-merintah atas hubungan antarmanusia seperti pendirian rumah ibadah, misalnya.

Keluwesan Islam dengan tidak melem-bagakan dirinya sebagai otoritas politik yang baku, membuat wacana hak asasi manusia

dan demokrasi mudah diterima. Alih-alih mengikuti universalisme Barat yang kerap dipaksakan, sesungguhnya umat Islam memi-liki kesadaran untuk melihat wacana tersebut dari tilikan yang maju. Untungnya, Indonesia yang lahir dengan sekularisme uniknya me-maksa umat muslim berpikir serius mengenai hubungan agama dan negara, demokrasi, dan juga HAM. Bagi kalangan muslim progresif, menerima konsep-konsep Barat itu terutama dilihat sebagai nilai-nilai kemaslahatan umum yang memungkinkan tujuan berislam, yakni keadilan sosial, tersampaikan dengan, tentu saja, menaruhnya dalam neraca partikularitas lokal.

Khusus mengenai kebebasan untuk ber-agama dan berkeyakinan, konstitusi dasar kita telah menjaminnya secara penuh. Nyaris tak ada larangan bagi warga negara di republik ini untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing. Daripada menyebut Indonesia sebagai sebuah kedaulatan Islam, ulama-ulama NU misalnya menyebut gugusan Nusantara ini sebagai darus-salam, “negeri perdamaian,” seba-gai sebuah solusi bagi jaminan kemajemukan. Secara teoretis, hukum positif menjadi hukum bersama. Tidak ada agama satu pun yang secara absah melembaga dalam konstitusi, sehingga setiap jengkal langkah seseorang ditentukan oleh ayat-ayat konstitusional.

Sayangnya, dalam praktek, tak semua nilai yang amat ideal itu terwujud. Buku ini meliput

banyak data dan fakta tentang pelanggaran ke-bebasan beragama, terutama pasca-Orde Baru. Titik masalahnya terletak pada ketegangan hu-bungan antara agama dan negara. Pemerintah yang gamang dalam melindungi hak warga ne-gara luput bahwa banyak undang-undang yang mengancam kehidupan beragama, seperti pasal penodaan alias pemitnahan agama (blasphemy), berkuasanya sekelompok kekuasaan elite agama dalam pengarusutamaan agama, kelompok minoritas masih diawasi kepercayaannya, dan sebagainya. Pemerintah masih berpihak sebelah dalam membela semua warga negara tanpa prinsip kesetaraan. Mereka gagal mengelola politik multikultural. Ditambah lagi dengan tumpang tindihnya antara konsitusi dasar yang menjamin kebebasan itu dengan beberapa UU (Undang-Undang), surat keputusan bersama, dan perangkat hukum di bawahnya, hingga membuat syariahisasi buta itu merajalela.

Bahwa negara kita juga telah meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada �005, pada kenyata-annya tampak lebih sebagai diplomasi politik daripada kesungguhan untuk melindungi warga negara. Beragam bahaya penudingan terhadap pasal penodaan agama—dengan mengangkat isu kemurtadan dan kekafiran sebagai konsumsi politik publik—dan pelanggaran kebebasan untuk memeluk suatu agama, termasuk ateis sekalipun, tidak hanya mengancam politik kewarganegaraan, melainkan juga budaya kemajemukan di negeri ini. Kasus Ahmadiyah dan penghancuran rumah ibadah Gereja Kris-ten Indonesia, contohnya, karena itu penting dipikirkan ulang.

Buku hasil penelitian ini amat tepat dija-dikan bahan pertimbangan bagi pemerintah, penggiat hukum dan hak asasi manusia, dan juga kalangan umat Islam secara luas, untuk memahami bahwa keimanan menuntut kese-tiaan pada konstitusi demi penyelenggaraan kehidupan berbangsa yang beradab. Kanjeng Nabi telah mempraktekkan kesadaran konsti-tusional itu sewaktu membangun masyarakat di Madinah. Melihat perkembangan lokal-mondial yang semakin rumit sekarang ini, hal itu malah menjadi kebutuhan pokok untuk mengelola kemajemukan secara lebih baik dilihat dari cara bagaimana kita berbangsa dan bernegara: bahwa tidak ada pemaksaan dalam beragama!

* Peneliti Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia

Judul :Islam,Konstitusi,dan HakAsasiManusia;

ProblematikaHakKebebasanPenulis :AhmadSuaedyet.alPenerbit :TheWAHIDInstituteTahunTerbit :2009Tebal :x+270hlm

BERADAB DENGAN KONSTITUSIOleh: Zacky Khoirul Umam*

RAK BUKU

Page 8: ISI FOKUS Berebut (Suara) Umat - wahidinstitute.orgwahidinstitute.org/files/_docs/NAWALA IX cetak.pdf · Cawapres dari partai-partai Islam, ... lokal tempat umat berada dan lingkungan

GusDursebagaisalahsatunarasumberdalamacaralaunchingbukuIlusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia;diHotelGranMelia,Jakartapada16Mei2009

FocusGroupDiscussion(FGD)“ProblematikaTempatIbadah”diHotelKaniraBandung(02Mei2009)kerjasamaINCRESdanTheWAHIDInstitute

Pendidikan“JurnalismeDamai”diGedungSelfAccessCenter(SAC)Surabaya(24Mei2009)kerjasamaKAPPAS,FLA,danTheWAHIDInstitute

AssesmentBeasiswaRiyantodi10KabupatendiJawaTimur(Mei-Juni2009)

SoftLaunchingBuku Islam, Konstitusi, dan HAM: Problema-tika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indone-sia diAulaPerpustakaanNasionalRI(01Juni2009),seka-ligus Seminar “Pancasila dalam Pusaran Globalisasi danFundamentalisme”kerjasamaTheWAHIDInstitute-ANBTI

FGD“DilemaPluralismeAgama,Eksklusivisme,Ke-kerasan,danPelanggaranKebebasanBeragama”diHotel Santika Semarang (06 Juni 2009) kerjasamaeLSASemarang-TheWAHIDInstitute

AhmadSuaedy(DirekturEksekutiftheWAHIDInsti-tute)bertemudenganAbhoudSyedM.Lingo(Execu-tive Director Institute of Bangsamoro Studies-IBS)di Cotabato, Filipina Selatan dalam perjalanan misiperdamaianpada05-09Juni2009

FGD“IdentitasLokaldalamBingkaiOtonomiDaerah”diHotelArumBanjarmasin(20Juni2009)kerjasamaLK3BanjarmasindantheWAHIDInstitute

LiveEventVideoConference“BeingaYoungIndonesianMuslim”(13Juni2009)kerjasamaTheWAHIDInsti-tute,PeaceTech,EL-AI-EMMaluku,danYayasanSelasihSolo

AKTIVITAS


Related Documents