YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript

Diskusi kasus

HIV AIDS

oleh :

Elita Rahmi

G99131004

KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2015BAB I

PENDAHULUANAIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human immunodeficiency virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.1,2,3HIV/AIDS adalah penyakit yang relatif baru ditemukan. Infeksi lainnya seperti malaria, wabah, kusta, tuberkulosis, campak, dan kolera telah mempengaruhi mayoritas umat manusia selama berabad-abad. HIV muncul di akhir abad ke-20. Ini dikenal sebagai dekade "diam" karena kemungkinan besar HIV pertama muncul sekitar tahun 1960-an tetapi tidak diketahui atau tidak dilaporkan. Penyebaran dimulai pada tahun 1970-an ketika komunitas medis mulai menyadari hal ini. HIV diperkirakan berasal di Afrika, dimana manusia memburu simpanse. Virus yang mempengaruhi kera sangat mirip dengan HIV dan disebut SIVcpz (simian immunodeficiency virus). Virus ini menyebar ke manusia setelah kontak dengan darah terinfeksi simpanse selama berburu simpanse. Selama bertahun-tahun manusia yang terinfeksi HIV hanya terbatas pada daerah terpencil dari Afrika. Dengan peningkatan kontak antar manusia, virus mulai menyebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, 34, 3 juta kasus HIV di seluruh dunia, dengan jumlah terbesar di Afrika Selatan, diperkirakan. Uji vaksin HIV dimulai di Oxford pada 2000. Pada tahun 2003 di Swaziland dan Botswana di Afrika Selatan, hampir 40% dari orang dewasa vaksin HIV + AIDS gagal. Enfuviride obat baru yang disebut fusion inhibitor telah disetujui di Amerika Serikat. Pada tahun 2005, perusahaan obat dan pembuat sepakat untuk membuat tersedia obat anti-virus generik yang lebih murah. Di Indonesia, kasus pertama AIDS dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan tahun 1987, yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali.1,4Dalam tubuh ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS) , partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, maka seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampIr semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan system kekebalan tubuh yang juga bertahap. 1BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. EPIDEMIOLOGI

Pusat perhatian HIV akan didasarkan pada data dari Amerika karena statistik yang berasal dari Amerika Serikat merupakan yang paling mutakhir dan terlengkap. Namun demikian, kecendrungan di negara berkembang kadang- kadang berbeda secara bermakna, dan kecendrungan ini akan disorot secara khusus jika diperlukan. Penularan HIV/AIDS terjadi akibat infeksi melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV, yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah, dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu, kelompok yang beresiko tinggi terhadap HIV/AIDS adalah pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya.1,5Di tahun 1991 ketiga obat untuk memperlambat perkembangan AIDS, dideoxycytidine (ddC) dikembangkan. Pada tahun 1994, tercatat bahwa AZT bisa mengurangi risiko penularan virus HIV positif ibu untuk bayi. Pada tahun 1995,dari total orang yang terkan AIDS, diperkirakan 18 juta HIV orang dewasa dan 1,5 juta HIV anak-anak dilaporkan. AIDS menjadi penyebab utama kematian di kelompok usia 25-44 di Amerika Serikat. Pada tahun 1995 jenis baru obat adalah disetujui disebut saquinivir, protease inhibitor enzim. Perkiraan kematian global dari AIDS adalah 9 juta. Pada tahun 1997 diperkirakan bahwa 40 juta orang dinyatakan HIV positif. AIDS dinyatakan 4 terbesar global penyebab kematian pada tahun 1999.4

Ada tiga cara utama penularan virus HIV, yaitu kontak seksual, inokulasi parenteral, dan perjalanan virus dari ibu yang terinfeksi terhadap bayi mereka yang baru lahir. Penularan seksual jelas merupakan cara infeksi yang paling utama di seluruh dunia, secara umum disebabkan oleh aktivitas heteroseksual. Virus berada di dalam semen secara ekstraseluler maupun di dalam sel inflamasi mononuclear, dan memasuki tubuh resipien melalui robekan atau lecet pada mukosa. Yang jelas, semua bentuk penularan seksual dibantu dan dipermudah oleh adanya penyakit menular seksual lainnya.1,2,3,5

Penularan parenteral HIV dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu penyalahgunaan obat intravena, penderita hemophilia yang menerima konsentrat faktor VIII atau IX, dan resipien acak transfuse darah.Diantara penyalah guna obat intravena, penularan terjadi melalui penggunaan jarum, alat suntik, atau perlengkapan lain secara bersama yang tercemar oleh darah yang mengandung HIV.3

Penularan dari ibu ke bayi secara vertical merupakan penyebab utama AIDS pada anak- anak. Ada tiga rute yang terlibat, yaitu: 1,2,3,51. In utero, yaitu melalui penyebaran transplasental2. Intrapartum, yaitu selama persalinan

3. Ingesti, yaitu melalui air susu ibu yang tercemar oleh HIV

Dari ketiga jalur rute ini, rute transplasental dan intrapartum berperan pada sebagian besar kasus. 5II. ETIOLOGI

AIDS disebabkan oleh HIV, suatu retrovirus pada manusia yang termasuk dalam keluarga lentivirus. Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi berbeda secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2, telah berhasil diisolasi dari penderita AIDS. HIV-1 merupakan tipe yang lebih sering dihubungkan dengan AIDS di Amerika Serikat, Eropa, dan Afrika Tengah, sedangkan HIV-2 menyebabkan penyakit yang serupa, terutama di Afrika Barat. 1,2,3,5Seperti sebagian besar retrovirus, virion HIV-1 berbentuk sferis dan mengandung inti berbentuk kerucut yang padat electron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membrane sel pejamu. Inti virus tersebut mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid protein p7/p9, dua salinan RNA genom, dan ketiga enzim virus protease, reverse transcriptase, dan integrase. P24 adalah antigen virus yang paling mudah dideteksi sehingga menjadi sasaran antibodi yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi virus HIV dalam pemeriksaan darah. Selubung virus itu sendiri tersusun atas dua glikoprein virus (gp 120 dan gp41) yang sangat penting untuk infeksi HIV pada sel. 1,2,3,5Berdasarkan analisis molecular, HIV-1 dapat dibagi menjadi dua kelompok yang lebih luas, yaitu disebut dengan M (major) dan O (outlier). Virus kelompok M, bentuk yang lebih umum di seluruh dunia, dibagi lebih lanjut ke dalam subtipe (juga disebut dengan clades), yang diberi nama dari A hingga J. Clade tersebut berbeda- beda dalam sebaran geografisnya, dengan B merupakan bentuk paling umum ditemukan di Eropa Barat serta Amerika Serikat dan E paling umum ditemukan di Thailand. Selain homolog molekularnya, clade ini menunjukkan perbedaan pula dalam cara penularannya. Oleh karena itu, clade E terutama tersebar melalui kontak heteroseksual (laki- laki- ke- perempuan), kemungkinan karena kemampuannya menginfeksi sel dendrite subepitel vagina. Sebaliknya, virus clade B tumbuh dengan buruk dalam sel dendrite dan mungkin paling baik jika ditularkan melalui pengenalan monosit dan limfosit yang terinfeksi. 1,2,3,5

Gambar 1 Struktur Virus HIV

Dikutip dari kepustakaan 6

III. PATOGENESIS

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berkembang selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan adapula yang perjalanannya lambat (non-progressor). 1,2,3,5

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes dll. 1,2,3,5

Dua sasaran utama infeksi HIV, yaitu sistem imun dan sistem saraf pusat. Mekanismenya adalah sebagai berikut:31. Patogenesis penyakit HIV secara imunologis.

Infeksi monosit dan makrofag sangat penting dalam patogenesis HIV. Makrofag adalah penjaga-gerbang infeksi HIV. Selain memberikan jalan masuk untuk penularan awal, monosit dan makrofag merupakan reservoir dan pabrik virus, yang hasil keluarannya tetap sangat terlindungi dari pertahanan pejamu. Makrofag juga menyediakan suatu kendaraan untuk pengangkutan HIV menuju berbagai tempat di tubuh, khususnya sistem saraf.3

Keadaan imunosupresi berat, yang terutama menyerang imunitas seluler, merupakan penanda AIDS. Hal ini terutama disebabkan oleh infeksi dan hilangnya sel T CD4+ serta gangguan pada fungsi kelangsungan hidup sel T- helper. Makrofag dan sel dendrite juga merupakan sasaran infeksi HIV. Molekul CD4+ merupakan suatu reseptor untuk HIV yang berafinitas tinggi. Hal ini menjelaskan mengenai tropisme (kecondongan) selektif virus terhadap sel T terutama makrofag dan sel dendrite. Namun, dengan berikatan pada CD4 tidak cukup untuk menimbulkan infeksi, selubung gp120 HIV juga harus berikatan pada molekul permukaan sel lainnya untuk memudahkan masuknya sel. Peranan ini dimainkan oleh dua molekul reseptor kemokin permukaan sel, CCR5 dan CXCR4. Selubung gp120 HIV (menempel secara nonkovalen pada transmembran gp41) mula- mula berikatan pada molekul CD4. Ikatan ini menyebabkan perubahan konformasional yang membuka suatu lokasi pengenalan baru pada gp120 untuk koreseptor CXCR4 (sebagian pada sel T) atau CCR5 (sebagian besar pada makrofag). Kemudian gp41 akan mengalami perubahan konformasional yang memungkinkan masuknya rangkaian peptide gp41 ke dalam membran target sehingga memudahkan fusi sel- virus. Setelah terjadi fusi, inti virus yang mengandung genom HIV memasuki sitoplasma sel. Koreseptor merupakan komponen penting pada proses infeksi HIV. Oleh karena itu, kemokin dapat bersaing dengan virus untuk berikatan dengan reseptornya, dan kadar kemokin dalam lingkungan mikro yang mengelilingi HIV dan sel targetnya dapat memengaruhi efisiensi infeksi virus in vivo.3

Sekali mengalami internalisasi, genom virus mengalami transkrip-balik (reverse transcription), yang membentuk DNA komplementer (cDNA) . Pada sel T istirahat, cDNA provirus HIV dapat tetap berada dalam sitoplasma dalam bentuk episomal linear. Tetapi, pada sel T yang sedang membelah, cDNA akan memasuki nucleus dan akan terintegrasi ke dalam genom pejamu. Setelah integrasi, provirus tersebut dapat tetap tidak ditranskripsikan selama berbulan- bulan atau bertahun- tahun dan infeksinya menjadi laten; jika tidak demikian, DNA provirus dapat ditranskripsikan untuk membentuk partikel virus yang lengkap yang tumbuh dari membran sel. Infeksi produktif tersebut, yang disertai dengan pertumbuhan virus yang meluas, menyebabkan kematian sel.3

Infeksi HIV ditandai oleh hilangnya sel CD4+ yang terus- menerus, dan pada akhirnya terkuras dari darah perifer. Infeksi produktif sel T merupakan mekanisme terjadinya deplesi sel T CD4+ akibat infeksi HIV. Awalnya, HIV berkolonisasi di organ limfoid (limpa, kelenjar getah bening, tosil) dan menginfeksi sel T, makrofag, dan sel dendrite. Organ ini merupakan tempat penyimpanan sel yang terinfeksi. Pada awalnya, sistem imun dapat berproliferasi secara giat untuk menggantikan sel T yang mati sehingga menyamarkan kematian sel yang masif yang terutama terjadi dalam jaringan limfoid. Hilangnya sel T terjadi karena lisis sel langsung karena infeksi HIV produktif.3

Hilangnya sel T dapat terjadi melalui mekanisme lain, yaitu hilangnya prekursor imatur sel T CD4+ akibat infeksi langsung pada sel progenitor timus atau infeksi sel aksesoris yang menyekresikan sitokin yang penting untuk diferensiasi sel T CD4+.3

Jadi hilangnya sel CD4+ terjadi, baik akibat meningkatknya perusakan maupun berkurangnya produksi. Akhirnya, pada infeksi HIV lanjut, pada saat jumlah sel T CD4+ dikuras habis, makrofag tetap merupakan tempat utama untuk kelanjutan replikasi virus.32. Patogenesis serangan pada sistem saraf

Patogenesis manifestasi neurologis pada AIDS pantas untuk dibahas secara khusus karena selain sistem limfoid, sistem saraf juga merupakan sasaran utama infeksi HIV. Makrofag dan sel yang masuk dalam jalur keturunan monosit dan makrofag (mikroglia) merupakan jenis sel terbanyak dalam otak yang terinfeksi HIV . Kemungkinan terbesar adalah karena virus tersebut dibawa masuk ke dalam otak oleh monosit terinfeksi. Namun, mekanisme kerusakan otak yang diinduksi oleh HIV, dan arena luasnya perubahan neuropatologis sering kali lebih sedikit daripada yang diperkirakan berdasarkan keparahan gejala neurologisnya, sebagian besar peneliti meyakini bahwa defisit neurologisnya disebabkan secara tidak langsung oleh produk virus dan faktor terlarut, seperti sitokin TNF yang dihasilkan oleh makrofag/ microglia. Selain itu, nitrit oksida yang diinduksi di dalam sel neuron oleh gp41 dan perusakan neuron secara langsung oleh gp120 HIV terlarut telah pula dianggap sebagai penyebabnya.3IV. GEJALA KLINIS DAN PERJALANAN PENYAKIT

Perjalanan klinis infeksi HIV tebagi atas 3 tahap, yaitu: 1. Fase Akut

Fase akut menggambarkan respon awal seorang dewasa yang imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, secara khas penyakit pada fase ini sembuh sendiri 3-6 minggu setelah infeksi. 3Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik, yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam, ruam, dan kadang- kadang meningitis aseptik. Namun, segera setelah hal itu terjadi, akan muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi ( sekitar 3 hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal, Namun, berkurangnya virus dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan. 32. Fase Kronis

Fase kronis menunjukkan tahap penahanan relatif virus. Para pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang mengalami infeksi oportunistik, seperti sariawan (Candidiasis) atau herpes zoster. Limfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah) mencerminkan onset adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi virus, dan onset fase krisis. 33. Fase Krisis

Fase ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare. Jumlah CD4+ menurun dibawah 500 sel/L. 3Setelah interval yang berubah- ubah, pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder, dan/ atau manifestasi neurologis , dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang sesungguhnya. 3Menurut penurunan CD4+, CDC ( Centers for Disease Control ) mengklasifikasikan gejala pasien berdasarkan jumlah sel CD4+, yaitu:31. CD4+ lebih dari 500 sel/L: asimptomatis2. CD4+ 200- 500 sel/L: gejala awal penuruna CD4+3. CD4+ dibawah 200 sel/L: disertai imunosupresi yang berat

Menurut Zubair Djoerban, Depkes RI, pembagian tingkatan klinis HIV dibagi atas:21. Tingkat I (asimptomatik/ Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP)):a. Tanpa gejala sama sekali. Pada tingkat ini belum mengalami kelainan sehingga aktivitas normal.b. Limfadenopati Generalisata Persisten, yaitu penyakit pada getah bening atau limfadenopati pada beberapa kelenjar getah bening yang bertahan lama.2. Tingkat 2 (dini), pada tingkatan ini sudah bergejala tetapi aktivitas masih normal:a. Penurunan berat badan kurang dari 10%b. Kelainan mulut dan kulit ringan

c. Herpes zoster yang timbul 5 tahun terakhir, suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh virus herpes varicella zoster.d. Infeksi saluran napas atas berulang, misalnya sinusitis, yaitu peradangan pada rongga sinus di tengkorak.3. Tingkat 3 (menengah)

a. Penurunan berat badan lebih dari 10%

b. Diare kronik lebih dari 1 bulan tanpa diketahui sebabnya

c. Demam yang tidak diketahui penyebabnya selama 1 bulan, hilang timbul maupun terus- menerus

d. Kandidosis mulut, yaitu adanya infeksi Candida pada daerah mulute. Bercak putih berambut dimulut ( hairy leukoplakia)

f. TB paru setahun terakhir

g. Infeksi bacterial berat pada parenkim paru seperti pneumonia4. Tingkat 4 ( lanjut)

a. Badan menjadi kurus, HIV wasting syndrome, yaitu berat badan turun lebih dari 10% dan diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan atau kelemahan kronik dan demam tanpa diketahui sebabnya lebih dari 1 bulan.

b. Infeksi oportuistik berat

c. Enselofalopati HIV, sesuai kriteria CDC, yaitu gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas sehari- hari, progreisf sesudah beberapa minggu atau bulan, tanpa dapat ditemukan penyebab lain kecuali HIV.

Serangan pada sistem saraf merupakan manifestasi AIDS yang umum terjadi dan penting. Yang bermakna pada beberapa pasien pasien adalah manifestasi neurologis dapat merupakan satu- satunya gambaran yang muncul atau yang paling awal muncul pada infeksi HIV. Gangguan neurologis dapat berupa meningitis aseptic, mielopati vacuolar, neuropati perifer, dan yang paling umum adalah enselopati progresif yang secara klinis disebut kompleks demensia- AIDS.5V. DIAGNOSIS

Pasien yang baru terdiagnosis infeksi HIV-1 harus memberikan riwayat penyakit yang lengkap serta melalui pemeriksaan fisis untuk menentukan apakah ada gejala klinis dari infeksi. Jika ada indikasi, bisa dilakukan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan HIV memerlukan konseling sebelum dan setelah pengetesan disertai informed consent yang baik. Konseling yang tepat diperlukan bagi pasien dengan hasil positif untuk menjelaskan stigma dan ketakutan berdekatan dengan seseorang berstatus HIV, kebutuhan untuk menginformasikan pasangan seksual sekarang dan sebelumnya yang berkemungkinan untuk berisiko, tes HIV bagi anak- anak yang terlahir setelah pasien terinfeksi HIV, menjelaskan tentang keamanan hubungan seksual yang aman, dan penolakan terhadap obat- obatan seperti methamphetamine yang bisa tidak menghalangi perilaku. Pasien harus mendengarkan dengan baik konselor atau dokter di klinik VCT (Voluntary Counseling aand Testing) yang memberikan penjelasan.1,2,3,7

Skrining pada pasien saat pemeriksaan sebaiknya juga dilakukan secara rutin terhadap kemungkinan terjadinya infeksi pada pasien pada yang dicurigai HIV. Skrining tidak hanya pada pasien dengan infeksi oportunistik atau keganasan yang terkait HIV, tetapi juga pada pasien dengan penyakit berat, seperti pneumococcal bacterial; orang- orang yang dengan faktor resiko tinggi seperti riwayat kontak seksual (sifilis, gonorea, infeksi Clamidia trachomatis, herpes simpleks genital) atau penyakit karena penurunan imunitas, seperti herpes zoster, candidiasis, dan laukoplakia oral; serta orang- orang dengan perilaku berisiko tinggi, seperti kontak seksual yang tidak aman dan penyalahgunaan obat- obatan. 1,2,3,7

Test yang bisa digunakan adalah test Rapid HIV antibody yang dapat menunjukkan hasil dalam 20 menit , hal ini dapat meningkatkan efisiensi dari test untuk perawatan. Sensitifitas dan spesifisitas hasil dari alat test Rapid HIV antibody sama dengan pemeriksaan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) standar. Rapid test berguna dalam beberapa kondisi seperti saat persalinan ibu hamil yang tidak pernah melakukan pemeriksaan sebelum kehamilan, di klinik penyakit menular seksual, dan di instalasi gawat darurat, serta di pengaturan rumah sakit, dimana pengetahuan segera tentang status pasien akan mempengaruhi pengambilan keputusan perawatan dan perawatan lebih lanjut pasien. Tes antibodi HIV standar bisa menggunakan kedua test berikut. 7

Konfirmasi dari hasilnya masih dibutuhkan. Tes enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) adalah salah satu tes yang bisa digunakan. Tes enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) , adalah tes yangbereaksi terhadap adanya antibodi dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar. Karena hasil positif palsu dapat menimbulkan damapak psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang positif diulang, dan apabila keduanya positif, maka dilakukan uji yang lebih spesifik, Western blot. Uji western blot juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil kemungkinananya memberikan hasil positif-palsu atau negatif-palsu. 1,2,3,7,8

HIV juga dapat di deteksi dengan uji lain, yang memeriksa ada tidaknya virus atau komponen virus sebelum ELISA atau Western blot dapat mendeteksi antibodi. Prosedur-prosedur ini mencakup biakan virus, pengukuran antigen p24, dan pengukuran DNA dan RNA HIV yang menggunakan reaksi berantai polymerase (PCR) dan RNA HIV-1 plasma. 1,2,3,7,8VI. PENATALAKSANAAN

Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu:1,2,31. Pengobatan suportif:a. Asupan nutris dengan gizi yang baik serta multivitamin.

b. Psikososial dan dukungan agama

c. Istirahat yang cukup.

2. Pengobatan simptomatik: Antipiretik, antiimflamasi, obat diare, dan lain- lain3. Pengobatan oportunistik:Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS , seperti jamur, tuberculosis, hepatitis, toksoplasma, sarcoma kaposi, limfoma, kanker serviks. Pengobatan penyakit infeksi dengan antibiotic sesuai dengan kausa infeksi.4. Pengobatan antiretroviral: Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat anti retroviral (ARV). Kombinasi yang diberikan adalah kombinasi penghambat reverse transcriptase dan penghambat protease. Beberapa penelitian menunjukkan indinavir, retrovir, dan lamifudin yang diberikan sebagai kombinasi dapat meningkatkan CD4 dan menghilangkan HIV pada 24/26 sampai ditingkat HIV. Namun, setelah pengobatan beberapa waktu, mungkin HIVakan bermutasi menjadi resisten dan toksisitas obat akan muncul sehingga perlu obat baru. Obat- obat yang diteliti adalah antisense therapy, gene therapy dengan penghambat HIV yang ditujukan ke CD4 dan sel induk (stem cell).1,2,3Pengobatan antiretroviral yang bisa diberikan, seperti: 1,2,31. Zidovudin (AZT)Dosis: 500-600 mg sehari per os2. Lamivudin (3TC)Dosis: 150 mg dua kali3. Neviropin Dosis: 200 mg sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg sehari dua kali.

Berdasarkan guidelines WHO, regimen terapi antiretrovirus, lini pertama untuk dewasa adalah zidovudine, lamivudine, dan efavirenz. Substitusi satu obat bisa dilakukan. Stavudine dapat menggantikan zidovudine, dan nevirapine dapat mengganti efavirenz. Lini pertama bagi anak- anak dibawah 3 tahun adalah mengganti efavirenz dengan nevirapine. 1,2,3,7Pengobatan antiretroviral tidak boleh monoterapi. Hal ini dikarenakan oleh virus HIV yang sangat mudah resisten. Jika dua atau lebih obat digunakan bersama- sama, virus hanya bisa berkembang sangat lambat dan butuh waktu lama untuk menjadi resisten. Oleh karena itu, minimal digunakan kombinasi dua obat dan lebih bagus jika menggunakan kombinasi tiga obat yang berbeda.1,2,3,9VII. UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan dibeberapa Negara dan amat dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk dilaksanakan secara sekaligus, yaitu: 1,2,3,5,7,8,9,101. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda2. Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai kelompok sasaran

3. Program kerja sama dengan media cetak dan elektronik

4. Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika, termasuk program pengadaan jarum suntik steril

5. Program pendidikan agama

6. Program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS)

7. Program promosi kondom dilokalisasi pelacuran dan panti pijat

8. Pelatihan keterampilan hidup

9. Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling

10. Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak

11. Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan dan dukungan untuk ODHA12. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV. Banyaknya virus menjadi faktor resiko utama dalam penularan HIV. Pengobatan sebagai pencegahan berdasarkan fakta bahwa antiretroviral dapat menurunkan jumlah virus plasma dan genital diamping menurunkan tingkat infeksi. 10

BAB IIISTATUS PENDERITADAFTAR PUSTAKA1. Sudoyo, Aru W. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.2006.Hal.1803-1807.2. Budimulja, Unandar. Sjaiful F Dali. Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Dalam: Djuanda, A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. Hal.427-431.3. Price, S. Lorraine M Wilson. Buku Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- proses penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. Hal. 236-237.4. Mandal,A. Sejarah AIDS. Jakarta.2013. http://www.news-medical.net/health/History-of-AIDS-%28Indonesian%29.aspx. Diakses 16 Desember 2013.5. Kumar,V. Penyakit Imunitas. Dalam: Kumar,V.Ramzi S Cotran. Stanley L Robbins. Buku ajar Patologi Robbins. Volume 1. Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2007. Hal.164-176.6. Bonsor,R. HIV Virus Structure- Anatomi Picture Reference. 2013. http://healthfavo.com/hiv-virus-structure-anatomy-picture-reference.html. Diakses 16 Desember 2013.7. WHO, HIV and Adolescent: HIV Testing and Counseling, Treatment and Care for Adolescents Living With HIV.Switzerland.2013. http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/94561/1/9789241506526_eng.pdf . Diakses 16 Desember 2013.8. ILO. Addressing HIV and AIDS in The Work Place.Jakarta.2012 www.betterwork.org/indonesia. Diakses 16 Desember 2013.9. Dean.Antiretroviral Treatment. Australia.2006. http://www.health24.com. Diakses 16 Desember 2013.10. Piot, Peter. Response to the AIDS Pandemic- A Global Health Model. UK. 2013. www.nejm.com . Diakses 16 Desember 2013.15


Related Documents