G U B E R N U R R I A U
PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU
NOMOR 6 TAHUN 2018
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERKEBUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR RIAU,
Menimbang: a. bahwa perkebunan mempunyai peranan yang penting
dan strategis dalam pembangunan Daerah, terutama
untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat, penerimaan Daerah, penyediaan lapangan kerja,
perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan
kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri
dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan sumber daya
alam yang layak ekonomis, layak sosial, dan berwawasan
lingkungan secara berkelanjutan;
b. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Perkebunan.
Mengingat: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang
Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun
1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra
Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 75)
sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1646);
-2-
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587); sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Tahun 2015
Nomor 58 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5679);
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang
Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 308).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI RIAU
dan
GUBERNUR RIAU
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN
PERKEBUNAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
1. Provinsi adalah Provinsi Riau.
2. Daerah adalah wilayah Provinsi Riau.
-3-
3. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat
Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah Provinsi Riau.
4. Gubernur adalah Gubernur Riau.
5. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Provinsi
Riau.
6. Dinas adalah Dinas yang membidangi Perkebunan.
7. Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber
daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat
dan mesin, budi daya, panen, pengolahan dan
pemasaran terkait tanaman perkebunan.
8. Tanaman Perkebunan adalah tanaman semusim atau
tanaman tahunan yang jenis dan tujuan pengelolaannya
ditetapkan untuk usaha perkebunan.
9. Usaha Perkebunan adalah usaha yang menghasilkan
barang dan/atau jasa perkebunan.
10. Usaha budidaya tanaman perkebunan adalah
serangkaian kegiatan pengusahaan tanaman
perkebunan meliputi kegiatan pratanam, penanaman,
pemeliharaan tanaman, pemanen dan sortasi termasuk
perubahan jenis tanaman dan diversifikasi tanaman.
11. Lahan Perkebunan adalah bidang tanah yang digunakan
untuk Usaha Perkebunan.
12. Agribisnis Perkebunan adalah suatu pendekatan usaha
yang bersifat kesisteman, mulai dari subsistem produksi,
subsistem pengolahan, subsistem pemasaran dan
subsistem jasa penunjang.
13. Pelaku Usaha Perkebunan adalah pekebun dan/atau
perusahaan Perkebunan yang mengelola Usaha
Perkebunan.
14. Pekebun adalah orang perseorangan warga negara
Indonesia yang melakukan Usaha Perkebunan dengan
skala usaha tidak mencapai skala tertentu.
15. Perusahaan Perkebunan adalah badan usaha yang
berbadan hukum, didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola
Usaha Perkebunan dengan skala tertentu.
-4-
16. Hasil Perkebunan adalah semua produk tanaman
perkebunan dan pengolahannya yang terdiri atas produk
utama, produk olahan untuk memperpanjang daya
simpan produk sampingan dan produk ikutan.
17. Pengolahan Hasil Perkebunan adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan terhadap hasil tanaman
perkebunan untuk memenuhi standar mutu produk,
memperpanjang daya simpan, mengurangi kehilangan
dan/atau kerusakan dan memperoleh hasil optimal
untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi.
18. Badan Hukum adalah badan usaha yang berbadan
hukum, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, koperasi, yayasan dan lembaga di dalam negeri
lainnya yang berbadan hukum.
19. Sistem Budidaya Tanaman adalah sistem pengembangan
dan pemanfaatan sumber daya alam nabati melalui
upaya manusia yang dengan modal, teknologi dan
sumber daya lainnya menghasilkan barang guna
memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik.
20. Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya yang
selanjutnya disingkat IUP-B adalah izin tertulis dari
Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh pelaku
usaha yang melakukan usaha budidaya perkebunan.
21. Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan yang
selanjutnya disingkat IUP-P adalah izin tertulis dari
Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh pelaku
usaha yang melakukan usaha industri pengolahan hasil
perkebunan.
22. Izin Usaha Perkebunan yang selanjutnya disingkat IUP
adalah izin tertulis dari Pejabat yang berwenang dan
wajib dimiliki oleh pelaku usaha yang melakukan usaha
budidaya perkebunan dan terintegrasi dengan usaha
industri pengolahan hasil perkebunan.
23. Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya
yang selanjutnya disingkat STD-B adalah keterangan
Budidaya yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepada
pelaku usaha budidaya tanaman perkebunan yang luas
lahannya kurang dari 25 hektar.
-5-
24. Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Industri
Pengolahan Hasil Perkebunan yang selanjutnya disingkat
STD-P adalah keterangan Industri yang diberikan oleh
Bupati/Walikota kepada pelaku usaha industri
pengolahan hasil perkebunan yang kapasitasnya
dibawah batas minimal.
25. Pabrik Kelapa Sawit yang selanjutnya disebut PKS
adalah pabrik yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS)
kelapa sawit menjadi produk minyak kelapa sawit kasar
atau disebut Crude Palm Oil (CPO) dan mengolah inti
buah kelapa sawit atau kernel menjadi minyak inti
kelapa sawit atau di sebut Palm Kernel Oil (PKO).
26. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat
yang turun temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup
serta adanya sistem nilai yang menjadi pedoman dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
27. Masyarakat setempat adalah masyarakat atau komunitas
yang merujuk pada warga sebuah dusun, desa, kota,
suku bangsa baik kecil atau besar yang hidup bersama
sedemikian rupa sehingga merasa memiliki ikatan lahir
batin dan dapat memenuhi kebutuhan hidup yang
utama.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 2
Penyelenggaraan perkebunan bertujuan untuk :
a. meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat;
b. meningkatkan pendapatan asli Daerah;
c. menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha;
d. meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai
tambah, daya saing dan pangsa pasar;
e. meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi
serta bahan baku industri dalam negeri;
-6-
f. memberi perlindungan kepada Pelaku Usaha
Perkebunan dan masyarakat;
g. mengelola dan mengembangkan sumber daya
perkebunan secara optimal, bertanggungjawab dan
lestari; dan
h. meningkatkan pemanfaatan jasa perkebunan.
Bagian Ketiga
Fungsi dan Ruang Lingkup
Pasal 3
(1) Fungsi pembangunan perkebunan, meliputi aspek :
a. ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat serta penguatan struktur
ekonomi Daerah;
b. ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air,
penyerap karbon, penyedia oksigen dan penyangga
kawasan lindung; dan
c. sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu
bangsa.
(2) Ruang lingkup penyelenggaraan perkebunan meliputi:
a. penyelenggaraan usaha perkebunan;
b. penunjang penyelenggaraan usaha perkebunan;
c. perlindungan usaha perkebunan;
d. pengelolaan lingkungan hidup, pembangunan
perkebunan berkelanjutan dan tanggung jawab
sosial perusahaan perkebunan;
e. penelitian dan pengembangan pembangunan
perkebunan;
f. forum komunikasi usaha perkebunan dan
penanganan konflik ;
g. pembinaan, pengawasan, evaluasi dan pelaporan;
h. ketentuan lain-lain;
i. sanksi administrasi;
j. penyidikan;
k. ketentuan pidana; dan
l. ketentuan peralihan;
-7-
BAB II
PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN
Bagian Kesatu
Perencanaan
Pasal 4
(1) Perencanaan perkebunan meliputi :
a. menyusun dan menetapkan tata ruang
pengembangan perkebunan terpadu;
b. menyusun dan menetapkan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (rencana
makro), rencana strategis pembangunan
perkebunan serta rencana kerja pembangunan
perkebunan;
c. menyusun dan menetapkan
perwilayahan/rayonisasi pengembangan budidaya
dan industri perkebunan; dan
d. menyusun dan menetapkan model kelembagaan
kemitraan antara perusahaan perkebunan dengan
pekebun dan masyarakat sekitarnya.
(2) Penetapan perencanaan perkebunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c,
berdasarkan pada :
a. kebijakan tata ruang Provinsi;
b. keseimbangan antara jenis, volume, mutu dan
keberlanjutan produksi dengan dinamika
permintaan pasar;
c. kajian lingkungan hidup strategis dan status
lingkungan hidup Daerah; dan
d. kebijakan Pemerintah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perencanaan
Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Gubernur.
-8-
Pasal 5
(1) Perencanaan perkebunan harus terukur, dapat
dilaksanakan, realistis, dan bermanfaat serta dilakukan
secara partisipatif, terpadu, terbuka dan akuntabel.
(2) Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup seluruh subsistem dalam sistem
agribisnis perkebunan, yaitu :
a. sarana dan prasarana;
b. budidaya;
c. pengolahan;
d. pemasaran hasil; dan
e. penunjang/pendukung sistem dan usaha agribisnis
yang terpadu untuk mendorong kegiatan ekonomi
masyarakat yang berkelanjutan.
(3) Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mampu mendorong kemitraan dengan
memberdayakan masyarakat yang berada di sekitar areal
perkebunan sebagai upaya penguatan ekonomi
masyarakat dan Daerah.
Pasal 6
(1) Perusahaan Perkebunan harus membuat perencanaan
pembangunan kebun.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pembangunan dan pengelolaan kebun;
b. pengolahan hasil;
c. pembangunan kebun untuk masyarakat; dan
d. pemantauan dan pengelolaan lingkungan.
Bagian Kedua
Penggunaan Lahan
Pasal 7
(1) Pemerintah Daerah melakukan :
a. bimbingan dan pengawasan, pengembangan,
rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian
perkebunan;
-9-
b. penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi,
konservasi, optimasi dan pengendalian perkebunan;
c. pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi
dan pengendalian perkebunan;
d. penetapan pengawasan tata ruang dan tata guna
lahan perkebunan wilayah Provinsi;
e. pemetaan potensi dan pengelolaan lahan
perkebunan wilayah Provinsi;
f. pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan
terpadu wilayah Provinsi; dan
g. penetapan sasaran areal tanaman wilayah Provinsi.
(2) Pengembangan sumber daya lahan untuk perkebunan
diselenggarakan berdasarkan rencana pengelolaan
dengan memperhitungkan sumber daya air dan tata
ruang wilayah dengan mempertimbangkan :
a. daya dukung sumber daya air;
b. kekhasan dan aspirasi Daerah serta masyarakat
setempat;
c. kemampuan pembiayaan;
d. kelestarian keanekaragaman hayati.
Pasal 8
Penyediaan lahan untuk usaha perkebunan harus mendapat
pertimbangan teknis pertanahan serta memperhatikan aspek
kesesuaian lahan, kemampuan lahan, karakteristik dan
tipologi ekosistem, dan kearifan lokal.
Pasal 9
(1) Untuk kepentingan penyelenggaraan usaha perkebunan,
Pelaku Usaha Perkebunan diberikan hak atas tanah
yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dan ditetapkan oleh instansi yang berwenang
di bidang pertanahan.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
-10-
a. hak milik untuk lahan dengan luas kurang dari 25
(dua puluh lima) hektar yang diberikan kepada
Pekebun; dan
b. hak guna usaha dan/atau hak guna bangunan
untuk lahan dengan luas lebih dari 25 (dua puluh
lima) hektar yang diberikan kepada Perusahaan
Perkebunan.
(4) Pengawasan dan pengendalian penggunaan lahan
perkebunan yang belum dan telah mempunyai hak atas
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan oleh Instansi yang berwenang dan
Pemerintah Daerah.
Pasal 10
(1) Perusahaan Perkebunan wajib mengakui dan
menghormati nilai budaya masyarakat setempat sebagai
suatu kekayaan identitas budaya Daerah.
(2) Perusahaan Perkebunan wajib mengakui dan
menghormati hak atas tanah masyarakat setempat dan
melaksanakan ketentuan hukum yang berlaku dan
dianut di wilayah usahanya.
Pasal 11
(1) Dalam hal lahan yang dimohonkan hak atas tanah
merupakan lahan milik masyarakat setempat,
Perusahaan Perkebunan harus melakukan musyawarah
dengan masyarakat pemegang hak atas tanah untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan lahan
dan imbalannya.
(2) Dalam hal upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak menghasilkan mufakat, maka penyelesaian
didasarkan kepada ketentuan peraturan perundang-
undangan.
-11-
Pasal 12
Perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Usaha dan Hak
Guna Bangunan diprioritaskan kepada pemegang hak dengan
memperhatikan kebutuhan ruang untuk masyarakat dan
penilaian kinerja perusahaan oleh Dinas sesuai
kewenangannya.
Pasal 13
Pemindahan hak dan perubahan penggunaan lahan lokasi
usaha perkebunan yang telah mempunyai Hak Guna Usaha
dan/atau Hak Guna Bangunan harus mendapat izin dari
instansi yang berwenang.
Pasal 14
Perubahan fungsi peruntukan tanah yang telah memiliki izin
usaha untuk keperluan lain dan pemindahan kepemilikan
(take over), harus mendapat persetujuan dari Gubernur
sesuai kewenangannya dengan rekomendasi Dinas.
Pasal 15
(1) Pelaku Usaha Perkebunan dapat memanfaatkan lahan
gambut untuk usaha perkebunan dengan disertai
pembuatan manajemen tata air yang baik dan menjaga
gambut tetap dalam kondisi basah.
(2) Pemanfaatan lahan gambut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperhatikan keberlanjutan
pemanfaatan lahan tanaman pangan di sekitarnya.
(3) Pemanfaatan lahan gambut sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
a. diusahakan hanya pada kawasan budidaya;
b. ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter;
c. substratum tanah mineral di bawah gambut bukan
pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam;
d. tingkat kematangan gambut saprik (matang) atau
hemik (setengah matang); dan
e. tingkat kesuburan tanah gambut eutropik.
-12-
Pasal 16
(1) Usaha budidaya tanaman perkebunan dengan
penguasaan lahan yang luasnya kurang dari 25 (dua
puluh lima) hektar, dikategorikan sebagai Perkebunan
Rakyat yang dapat dikelola oleh Pekebun.
(2) Usaha budidaya tanaman perkebunan dengan
penguasaan lahan yang luasnya 25 (dua puluh lima)
hektar atau lebih, dikategorikan sebagai Perkebunan
Besar yang dikelola oleh pelaku usaha perkebunan dan
wajib berbadan hukum dan memiliki izin usaha.
(3) Kebutuhan lahan untuk usaha industri pengolahan hasil
perkebunan yang berada di luar lokasi usaha budidaya
tanaman perkebunan, pengaturannya ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Sarana dan Prasarana Usaha Perkebunan
Paragraf 1
Infrastruktur
Pasal 17
(1) Pemerintah Daerah menyediakan sarana dan prasarana
umum perkebunan seperti jalan produksi, trio tata air
(tanggul, saluran dan pintu klep), sekat kanal dan
embung sesuai dengan kemampuan pada areal
perkebunan rakyat, serta memfasilitasi partisipasi atau
kontribusi dari pelaku usaha perkebunan untuk
membantu pengembangan sarana prasarana umum.
(2) Infrastruktur yang dibangun oleh pelaku usaha
perkebunan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana dan prasarana
perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-13-
Paragraf 2
Pemanfaatan Air Untuk Perkebunan
Pasal 18
Pemerintah Daerah melaksanakan :
a. bimbingan pemanfaatan sumber-sumber air untuk
perkebunan;
b. pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk
perkebunan;
c. bimbingan pengembangan sumber-sumber air untuk
perkebunan;
d. bimbingan pengembangan manajemen tata air untuk
perkebunan; dan
e. pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk
perkebunan.
Paragraf 3
Alat dan Mesin Perkebunan
Pasal 19
Pemerintah Daerah melaksanakan :
a. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan alat dan mesin
perkebunan wilayah Provinsi;
b. identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin
perkebunan wilayah Provinsi;
c. penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin
perkebunan;
d. penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan;
dan
e. pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan
mesin perkebunan wilayah Provinsi.
Bagian Keempat
Perbenihan
Pasal 20
Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi
pengembangan usaha perbenihan untuk percepatan
pembangunan perkebunan berkelanjutan di Daerah.
-14-
Pasal 21
Usaha perbenihan meliputi kegiatan:
a. pemuliaan tanaman;
b. produksi, pengolahan (processing);
c. distribusi, pengedaran dan perdagangan benih unggul
bermutu;
d. pengawasan mutu benih; dan
e. pengujian mutu benih.
Pasal 22
Usaha perbenihan dapat dilakukan oleh perorangan,
kelompok, badan usaha atau instansi pemerintah dengan
melalui :
a. unit produsen/penangkar;
b. badan usaha/sumber benih; dan
c. pengedar benih (rekanan/pedagang).
Pasal 23
(1) Setiap pelaku usaha di bidang benih perkebunan wajib
memiliki Izin Usaha Produksi Benih.
(2) Izin Usaha Produksi Benih sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Gubernur.
(3) Izin Usaha Produksi Benih sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan kepada Unit Produsen/Penangkar
Benih Perkebunan yang memiliki kriteria berdasarkan
Peraturan Menteri Pertanian tentang Produksi, Sertifikasi
dan Peredaran Benih.
(4) Izin Usaha Produksi Benih sebagaimana diatur pada ayat
(2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Gubernur.
Pasal 24
(1) Untuk menjamin ketersediaan Benih, Dinas dapat
menerbitkan Surat Persetujuan Penyaluran Benih
Komoditi Tanaman Perkebunan.
(2) Surat Persetujuan Penyaluran Benih Komoditi Tanaman
Perkebunan berlaku untuk jangka waktu 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal diterbitkan.
-15-
Bagian Kelima
Usaha Budidaya
Paragraf 1
Jenis Usaha Perkebunan
Pasal 25
(1) Usaha Perkebunan terdiri atas :
a. usaha budidaya tanaman perkebunan;
b. usaha lainnya.
(2) Usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a antara lain budi daya tanaman perkebunan
dengan tanaman kehutanan dan tanaman perkebunan
dengan usaha peternakan, lebah madu dan lainnya.
Paragraf 2
Pengelolaan Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan
Pasal 26
Pengelolaan usaha budidaya tanaman perkebunan dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
a. pemantapan ketersediaan lahan;
b. perencanaan atau penyusunan proposal pengelolaan
usaha budidaya tanaman perkebunan;
c. penyelenggaraan pengelolaan usaha budidaya tanaman
perkebunan; dan
d. pengembangan usaha budidaya tanaman perkebunan.
Pasal 27
Kegiatan pokok dalam pengelolaan usaha budidaya tanaman
perkebunan terdiri atas:
a. pembangunan kebun baru pada lahan bukaan baru
dan/atau perluasan kebun;
b. peremajaan kebun;
c. rehabilitasi kebun yang rusak atau tidak menghasilkan;
d. budidaya tanaman perkebunan dan diversifikasi usaha;
dan
e. peningkatan produktivitas kebun melalui kegiatan
intensifikasi.
-16-
Pasal 28
(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi pelaksanaan
peremajaan perkebunan rakyat sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perusahaan Perkebunan yang akan melakukan
peremajaan kebun baik kebun sendiri maupun kebun
masyarakat binaannya, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf b harus melakukan ekspos rencana
peremajaan (replanting) di Dinas.
(3) Pelaksanaan peremajaan perkebunan agar dilaporkan
secara periodik dan teratur setiap 6 (enam) sekali ke
Pemerintah Daerah.
Pasal 29
Pelestarian plasma nutfah komoditi Perkebunan spesifik
lokasi serta komoditi yang mempunyai keunggulan kompetitif
dan keunggulan komparatif mendapat prioritas
pengembangan.
Pasal 30
Pelaku usaha budidaya tanaman perkebunan berkewajiban:
a. mengelola usaha budidaya tanaman perkebunan dengan
praktek budidaya tanaman yang terbaik; dan
b. mengelola usaha budidaya tanaman perkebunan dengan
sistem manajemen mutu terbaik.
Bagian Keenam
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan
Paragraf 1
Pengelolaan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan
Pasal 31
Jenis usaha industri pengolahan hasil perkebunan, meliputi:
a. usaha industri pengolahan hasil perkebunan utama
terdiri atas:
-17-
1. industri pengolahan bahan mentah atau
penanganan pasca panen;
2. industri pengolahan barang setengah jadi.
b. usaha pemanfaatan atau pengolahan hasil samping
dan/atau limbah perkebunan dan/atau limbah
peremajaan perkebunan; dan
c. pengembangan industri kreatif masyarakat yang
memanfaatkan bahan baku lokal yang terintegrasi
dengan industri pengolahan hasil perkebunan.
Pasal 32
Usaha industri pengolahan hasil perkebunan dikategorikan
menjadi 2 (dua) yaitu:
a. industri perkebunan rakyat; dan
b. industri perkebunan besar.
Pasal 33
Industri perkebunan rakyat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 huruf a adalah industri perkebunan rakyat yang
mengelola unit usaha industri pengolahan hasil perkebunan
dengan usaha budidaya tanaman perkebunan rakyat.
Pasal 34
Industri perkebunan besar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 huruf b adalah industri perkebunan besar yang
dikelola oleh perusahaan perkebunan berupa unit usaha
perkebunan terpadu skala besar yang harus
mengintegrasikan pengelolaan unit usaha pengolahan hasil
perkebunan dengan unit usaha budidaya tanaman
perkebunan yang diusahakan sendiri dan kekurangan bahan
bakunya berasal dari kerja sama dengan kebun yang dikelola
masyarakat melalui pola kemitraan usaha perkebunan.
Pasal 35
(1) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf
a bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku,
legalitas sumber dan sepadan dengan jenis, jumlah dan
kapasitas minimal unit pengolahan produksi
perkebunan.
-18-
(2) Kapasitas minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 36
Bahan baku industri pengolahan hasil perkebunan diolah
sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan.
Pasal 37
Pengembangan jenis, jumlah dan penyebaran unit usaha
industri pengolahan hasil perkebunan didasarkan pada
rencana tata ruang pengembangan perkebunan terpadu dan
rencana perwilayahan pengembangan budidaya dan industri
perkebunan serta mempertimbangkan kecukupan bahan
bakunya.
Pasal 38
Produk hasil olahan industri pengolahan hasil perkebunan
berupa Crude Palm Oil, Kernel Palm Oil, Bahan Olah Karet
Rakyat, Standard Indonesian Rubber, Kopra, Biji Kering
Kakao, Tepung Sagu dan olahan hasil perkebunan lainnya
harus memenuhi standar mutu produk olahan yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia dan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 39
(1) Usaha industri pengolahan hasil perkebunan harus
memberikan nilai tambah dan daya saing yang tinggi
bagi Daerah dan penciptaan peluang kerja dengan
mengembangkan industri hilir hasil perkebunan.
(2) Pemerintah Daerah mendorong dan mempermudah
Pelaku Usaha Perkebunan untuk mengembangkan
usaha lainnya berupa industri turunan atau industri
hilir, agrowisata dan sebagainya sesuai dengan potensi
pengembangan dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
-19-
(3) Pemerintah Daerah mendorong pengembangan produk
pangan dan produk non pangan dari setiap usaha
Industri Perkebunan Rakyat dan Industri Perkebunan
Besar.
Paragraf 2
Pengelolaan Pemasaran Hasil Perkebunan
Pasal 40
Pelaku usaha perkebunan wajib mengelola usaha pemasaran
hasil perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 41
(1) Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan dan
memfasilitasi pengembangan usaha pemasaran hasil
perkebunan.
(2) Pemerintah Daerah memfasilitasi dan mengembangkan
kerja sama antara pelaku usaha perkebunan dengan
asosiasi pengusaha komoditas atau pemasaran, asosiasi
petani komoditas dan/atau kelembagaan lainnya.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan usaha
pemasaran hasil perkebunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
Bagian Ketujuh
Peran Serta Masyarakat
Pasal 43
(1) Penyelenggaraan Perkebunan dilaksanakan dengan
melibatkan peran serta masyarakat.
-20-
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam hal:a. penyusunan perencanaan;b. pengembangan kawasan;c. penelitian dan pengembangan;d. pembiayaan;e. pemberdayaan;f. pengawasan;g. pengembangan sistem data dan informasi;h. pengembangan kelembagaan; dan/ataui. penyusunan pedoman pengembangan Usaha
Perkebunan.
(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk pemberian
usulan, tanggapan, pengajuan keberatan, saran
perbaikan dan/atau bantuan.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dan ayat (3)
diatur dalam Peraturan Gubernur.
BAB III
PENUNJANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN
Bagian Kesatu
Perizinan Usaha Perkebunan
Paragraf 1
Penetapan Perizinan Usaha Perkebunan
Pasal 45
Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan perizinan usaha
perkebunan sebagai instrumen pembinaan, pengawasan dan
pengendalian guna optimalisasi penyelenggaraan perkebunan
serta penerimaan pajak dan retribusi Daerah.
-21-
Paragraf 2
Jenis dan Kewenangan Pemberian Izin
Penyelenggaraan Perkebunan
Pasal 46
(1) Setiap pelaku usaha perkebunan baik usaha budidaya
maupun usaha pengolahan hasil perkebunan atau usaha
industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas
pabrik tertentu wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. IUP-B;
b. IUP-P; dan
c. IUP, merupakan izin terintegrasi antara budidaya
dan pengolahan.
(3) Perusahaan Perkebunan yang telah memiliki IUP, IUP-B
dan IUP-P yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah
wajib memiliki kantor perwakilan dan mendaftarkan
Nomor Pokok Wajib Pajak di Daerah.
Pasal 47
(1) Pemerintah Daerah secara koordinatif menangani semua
jenis perizinan usaha perkebunan sesuai dengan
kewenangan masing-masing.
(2) Perizinan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur sebagai berikut :
a. IUP, IUP-B atau IUP-P yang lokasi areal budidaya
dan sumber bahan bakunya berada dalam 1 (satu)
wilayah diberikan setelah mendapat Rekomendasi
kesesuaian dengan perencanaan pembangunan
perkebunan Provinsi dari Gubernur dengan
memperhatikan pertimbangan teknis dari Dinas;
b. IUP, IUP-P dan IUP-B yang areal lokasi budidaya
dan sumber bahan bakunya berada pada lintas
Kabupaten/Kota diberikan oleh Gubernur setelah
mendapat rekomendasi kesesuaian perencanaan
pembangunan perkebunan serta pertimbangan
teknis dari Dinas; dan
-22-
c. Koordinasi perizinan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b melibatkan semua Perangkat
Daerah terkait pada Pemerintah Daerah.
Pasal 48
(1) Perizinan usaha perkebunan rakyat terdiri atas :
a. STD-B; dan
b. STD-P.
(2) STD-B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berlaku bagi usaha budidaya perkebunan yang luas
lahannya kurang dari 25 (dua puluh lima) hektar dalam
1 (satu) hamparan.
(3) STD-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berlaku bagi usaha industri pengolahan hasil
perkebunan yang kapasitasnya kurang dari 5 Ton
TBS/jam.
(4) STD-B dan STD-P diberikan oleh Bupati/Walikota.
(5) Pendaftaran STD-B sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling kurang berisi data identitas dan domisili pemilik,
pengelola kebun, lokasi kebun, status kepemilikan
tanah, luas areal, jenis tanaman dan tahun tanam.
(6) Pendaftaran STD-P sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
paling kurang berisi data identitas dan domisili pemilik,
pengelola, lokasi, kapasitas produksi, jenis bahan baku,
sumber bahan baku, hasil produk olahan dan tujuan
pasar.
Pasal 49
(1) IUP-B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2)
huruf a wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan yang
melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan yang
luasnya 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih dan dalam
satu hamparan dengan luasan sesuai ketentuan
peraturan perundangan dan tidak memiliki unit
pengolahan hasil perkebunan sampai dengan kapasitas
paling rendah.
-23-
(2) Luas areal yang wajib memiliki IUP-B sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2)
huruf b wajib dimiliki oleh Perusahaan Perkebunan yang
melakukan usaha pengolahan hasil perkebunan yang
kapasitas olahnya sama atau melebihi kapasitas paling
rendah.
(4) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2)
huruf c, wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan yang
melakukan usaha budidaya perkebunan yang luasnya 25
(dua puluh lima) hektar atau lebih, kondisi kebun satu
hamparan yang terintegrasi dengan unit pengolahan
hasil perkebunan yang kapasitas olahnya sama atau
melebihi kapasitas paling rendah.
Paragraf 3
Batas Maksimal Luas Areal Izin Pengelolaan
Usaha Perusahaan Perkebunan
Pasal 50
(1) Untuk mengatur pemanfaatan lahan dan memberikan
kepastian luas areal izin pengelolaan usaha Perusahaan
Perkebunan, ditentukan batas maksimal luas areal izin
pengelolaan usaha Perusahaan Perkebunan.
(2) Batas maksimal luas areal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 4
Perizinan Usaha Perkebunan
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan dibidang usaha
perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2)
diatur dalam Peraturan Gubernur.
-24-
Pasal 52
Semua jenis izin berlaku selama pelaku usaha perkebunan
masih mengelola usaha perkebunan sesuai standar teknis.
Pasal 53
Perubahan dan/atau pengalihan izin usaha perkebunan
kepada pelaku usaha perkebunan yang lain, harus mendapat
persetujuan dari Gubernur.
Paragraf 5
Kewajiban Pemegang Izin Perkebunan
Pasal 54
(1) Perusahaan Perkebunan yang telah memiliki IUP-B,
IUP-P, atau IUP sesuai Peraturan ini wajib :
a. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana
dan sistem pembukaan lahan tanpa bakar serta
pengendalian kebakaran;
b. menerapkan teknologi pembukaan lahan tanpa
bakar dan mengelola sumber daya alam secara
lestari;
c. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana
dan sistem pengendalian organisme pengganggu
tanaman;
d. menyampaikan peta digital lokasi IUP-B atau IUP
skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak peta dan file
elektronik) disertai dengan koordinat yang lengkap
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
kepada Direktorat Jenderal yang membidangi
perkebunan dan Badan Informasi Geospasial;
e. memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat
bersamaan dengan pembangunan kebun
perusahaan dan pembangunan kebun masyarakat
diselesaikan paling lama dalam waktu 3 (tiga) tahun;
f. melakukan kemitraan dengan Pekebun, karyawan
dan masyarakat sekitar; serta
-25-
g. melaporkan perkembangan usaha perkebunan
kepada pemberi izin secara berkala setiap 6 (enam)
bulan sekali dengan tembusan kepada :
1. Menteri Pertanian melalui Direktur Jenderal
Perkebunan dan Gubernur apabila izin
diterbitkan oleh Bupati/Walikota;
2. Menteri Pertanian melalui Direktur Jenderal
Perkebunan dan Bupati/Walikota apabila izin
diterbitkan oleh Gubernur.
(2) Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP-B, IUP-P
atau IUP wajib menyelesaikan proses perolehan hak atas
tanah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan.
(3) Perusahaan Perkebunan yang memiliki IUP-B, dan IUP
wajib merealisasikan memfasilitasi pembangunan kebun
untuk masyarakat sesuai dengan studi kelayakan, baku
teknis, dan peraturan perundang-undangan.
(4) Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP-P wajib
merealisasikan kepemilikan kebun yang diusahakan
sendiri minimal 20 % dari keseluruhan bahan baku yang
dibutuhkan, sesuai dengan studi kelayakan, baku teknis
dan peraturan undang-undangan.
Pasal 55
(1) Pembangunan kebun masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf e wajib
dilakukan bersamaan dengan pembangunan kebun yang
diusahakan oleh perusahaan.
(2) Biaya pembangunan kebun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berpedoman pada plafon biaya yang ditetapkan
oleh Direktorat Jenderal Perkebunan.
(3) Dinas melakukan penilaian fisik kebun masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebelum
diserahkan kepada pekebun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pembangunan kebun masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Gubernur.
-26-
Paragraf 6
Kemitraan Usaha Perkebunan
Pasal 56
(1) Pemerintah Daerah dapat mengembangkan pola
kerjasama dalam rangka penyelenggaraan perkebunan.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilakukan dengan :
a. Daerah Lain;
b. Pihak ketiga;
c. Lembaga/Pemda di luar negeri sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Paragraf 7
Program Integrasi Perkebunan
Pasal 57
(1) Program integrasi perkebunan dilaksanakan dalam
rangka memperkuat sinergi pembangunan perkebunan
dengan pembangunan sektor lainnya.
(2) Pelaku usaha perkebunan harus mendukung
pelaksanaan program integrasi perkebunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Program integrasi perkebunan antara lain berupa:
a. program integrasi perkebunan dengan pertanian
tanaman pangan dan hortikultura;
b. program integrasi perkebunan dengan peternakan;
c. program integrasi perkebunan dengan perikanan;
dan
d. program integrasi perkebunan dengan kehutanan.
(4) Selain program integrasi perkebunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Gubernur dapat menetapkan
program integrasi perkebunan lainnya berdasarkan
kebutuhan Daerah dan pertimbangan dari Dinas.
-27-
Bagian Kedua
Pengembangan Sumber Daya Manusia Perkebunan
Pasal 58
(1) Pemberdayaan dan pengembangan atau peningkatan
kualitas/kapasitas sumber daya manusia aparatur dan
pelaku usaha baik perorangan maupun badan usaha
perkebunan adalah tanggung jawab bersama pemangku
kepentingan yang penyelenggaraannya dikoordinasikan
dan difasilitasi oleh Pemerintah Daerah.
(2) Masyarakat di sekitar perkebunan diberikan kesempatan
untuk meningkatkan kualitas/kapasitas sumber daya
manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga
kerja di perkebunan dan menghasilkan produk kebun
yang memenuhi syarat dan memiliki daya saing.
(3) Pemberdayaan dan pengembangan atau peningkatan
kualitas/kapasitas sumber daya manusia perkebunan
dilakukan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan
secara terencana, terpadu, efisien, efektif dan
berkelanjutan.
(4) Peningkatan kualitas/kapasitas sumber daya manusia,
dapat dilakukan/dilaksanakan antara lain melalui
pemberian beasiswa, magang dan pelatihan.
Bagian Ketiga
Pengembangan Kelembagaan Perkebunan
Pasal 59
Pengembangan kelembagaan perkebunan, meliputi
kelembagaan petani, pembina teknis perkebunan,
kelembagaan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
perkebunan, kelembagaan asosiasi profesi pelaku usaha
perkebunan, kelembagaan usaha perkebunan dan asosiasi
petani/komoditi perkebunan.
-28-
Bagian Keempat
Pemanfaatan, Pengembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Perkebunan
Pasal 60
(1) Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi pelaku
usaha perkebunan agar memanfaatkan,
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
ramah lingkungan, adaptif dan berkelanjutan.
(2) Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi pelaku
usaha perkebunan agar mengembangkan energi
terbarukan berbasis biomassa perkebunan, baik untuk
energi listrik maupun pengembangan bahan bakar
nabati biodiesel dan biofuel.
(3) Dalam pelaksanaan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang ramah lingkungan, adaptif dan
berkelanjutan bekerjasama dengan lembaga penelitian
dan pengembangan pemerintah/swasta dan perguruan
tinggi.
Bagian Kelima
Sistem Data dan Informasi
Pasal 61
(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban membangun, menyusun, mengembangkan
dan menyediakan sistem data dan informasi perkebunan
yang terintegrasi.
(2) Sistem data dan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit digunakan untuk keperluan:
a. perencanaan;
b. pemantauan dan evaluasi;
c. pengelolaan pasokan dan permintaan produk
perkebunan; dan
d. pertimbangan penanaman modal.
-29-
(3) Pengembangan dan penyediaan sistem data dan
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Dinas.
(4) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
paling sedikit berupa:
a. letak dan luas wilayah, kawasan dan budi daya
perkebunan;
b. ketersediaan sarana dan prasarana perkebunan;
c. prakiraan iklim;
d. izin Usaha Perkebunan dan status hak lahan
perkebunan;
e. varietas tanaman;
f. peluang dan tantangan pasar;
g. permintaan pasar;
h. perkiraan produksi;
i. perkiraan pasokan; dan
j. perkiraan harga.
(5) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan pemutakhiran data dan informasi secara
berkala.
(6) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
harus dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh
pelaku usaha perkebunan dan masyarakat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 62
(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menjamin kerahasiaan data dan informasi pelaku usaha
perkebunan.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kategori yang dikecualikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
-30-
Bagian Keenam
Investasi Usaha Perkebunan
Pasal 63
(1) Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi
pengembangan investasi usaha perkebunan di Daerah,
melalui :
a. menetapkan kebijakan yang memberi kemudahan
pelayanan atau insentif investasi dan jaminan
kepastian hukum serta keamanan berusaha bagi
pelaku usaha perkebunan, termasuk kepastian
areal pengembangan perkebunan yang bebas
masalah;
b. memfasilitasi kemudahan akses sumber pendanaan
atau modal investasi usaha perkebunan bagi
pekebun dan koperasi dari lembaga keuangan;
c. memfasilitasi pelaku usaha perkebunan Daerah
untuk mendapatkan mitra usaha dari luar Daerah;
dan
d. melakukan promosi peluang investasi usaha di
bidang perkebunan.
(2) Ketentuan mengenai pengembangan investasi usaha
perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Pendanaan Usaha Perkebunan
Pasal 64
Pendanaan penyelenggaraan usaha perkebunan bersumber
dari :
a. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.
b. Sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.
c. Perusahaan Besar Negara dan/atau Swasta menyisihkan
dari laba untuk pembinaan, pelatihan dan penguatan
modal pekebun yang memiliki usaha kecil sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
-31-
BAB IV
PERLINDUNGAN USAHA PERKEBUNAN
Bagian Kesatu
Penanganan Organisme Pengganggu Tanaman
Pasal 65
(1) Pelaku usaha perkebunan wajib melakukan
pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman penting
meliputi pengamatan, analisis, Pengendalian Hama
Terpadu, pencatatan dan pelaporan.
(2) Pengamatan, analisis, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan Organisme Pengganggu Tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama
Dinas yang membidangi perkebunan.
(3) Pelaksanaan pengamatan, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan Organisme Pengganggu Tanaman dilakukan
setiap bulan oleh Dinas.
(4) Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman di kebun
rakyat menjadi tanggung jawab pekebun dan Pemerintah
Daerah serta pihak lain dapat membantu sesuai
kemampuan.
Bagian Kedua
Pengawasan Pupuk Dan Pestisida
Pasal 66
(1) Dinas melakukan pemantauan dan evaluasi penggunaan
pupuk;
(2) Dinas mengawasi pengadaan peredaran dan penggunaan
pupuk subsidi dan non subsidi serta mengawasi standar
pupuk wilayah Provinsi;
(3) Pengawasan terhadap pupuk subsidi meliputi jumlah
dan jenis, mutu, legalitas, peruntukkan dan harga
pupuk.
-32-
(4) Pengawasan terhadap pupuk non subsidi meliputi
jumlah dan jenis, mutu, legalitas dan harga pupuk.
(5) Pengawasan dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan
Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida Provinsi.
(6) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaporkan oleh Dinas setiap bulan dan Dinas
menyampaikan laporan hasil pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), kepada Direktorat Jenderal
Prasarana dan Sarana Pertanian setiap 3 (tiga) bulan.
(7) Jika dari hasil pengawasan ditemukan dugaan
pelanggaran yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, Dinas wajib
melaporkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan
atau Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida untuk
diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(8) Pemerintah Daerah mendorong usaha pengembangan
dan pemanfaatan pupuk organik.
Pasal 67
(1) Dinas melakukan pemantauan dan evaluasi ketersediaan
pestisida dan standar mutu pestisida.
(2) Dinas mengawasi pengadaan, peredaran dan
penggunaan Pestisida yang digunakan dalam usaha
perkebunan di wilayah Provinsi.
(3) Pengawasan terhadap pestisida sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mencakup kemasan, label, nama dagang
formulasi, bahan aktif, mutu, legalitas, jumlah dan jenis
dan aturan pemakaiannya.
(4) Pengawasan dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan
Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida Provinsi.
(5) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaporkan oleh Dinas dan Dinas menyampaikan laporan
hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
kepada Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana
Pertanian setiap 3 (tiga) bulan.
-33-
(6) Jika dari hasil pengawasan ditemukan dugaan
pelanggaran yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, Dinas melaporkan
kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan atau Komisi
Pengawasan Pupuk dan Pestisida untuk diproses sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pencegahan Kebakaran Lahan dan Kebun
Pasal 68
(1) Setiap pelaku usaha perkebunan baik perorangan
maupun badan hukum, dilarang membuka dan/atau
mengolah lahan atau kebun dengan cara membakar.
(2) Pemerintah Daerah berkewajiban membantu petani kecil
melakukan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar.
(3) Pemerintah Daerah dan perusahaan perkebunan
mempunyai Brigade Pengendalian kebakaran
lahan/kebun.
(4) Pengendalian kebakaran lahan dan kebun di tingkat
masyarakat di bentuk Kelompok Tani Peduli Api oleh
pejabat yang berwenang.
(5) Dinas dan perusahaan perkebunan wajib melakukan
sosialisasi Pembukaan Lahan Tanpa Bakar dan
pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran
lahan/kebun di lokasi usahanya.
(6) Pelaksanaan pemantauan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilaporkan kepada Gubernur dengan tembusan
kepada instansi teknis dan instansi yang
bertanggungjawab sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan
sekali.
(7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilengkapi
dengan data penginderaan jarak jauh oleh satelit.
-34-
Pasal 69
(1) Perusahaan Perkebunan wajib menyediakan sumber
daya manusia serta sarana dan prasarana pengendalian
kebakaran lahan/kebun dengan jumlah sebanding
dengan luasan kebun sesuai standar peraturan
perundang-undangan dan membentuk regu standar
pengendali kebakaran.
(2) Untuk memperlancar upaya pemadaman kebakaran
lahan/kebun, perusahaan perkebunan wajib
menyediakan sarana penyimpanan air berupa embung
dan/atau kanal, membuat menara pantau dan sekat
bakar.
(3) Penanganan kebakaran lahan/kebun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan :
a. pencegahan;
b. pengendalian; dan
c. pasca kebakaran
d. Perusahaan perkebunan berkewajiban menyediakan
dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan untuk
membantu masyarakat sekitar dalam rangka
melakukan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar dalam
rangka pecegahan kebakaran lahan di lahan
masyarakat.
e. Pemerintah Daerah membangun sekat kanal,
tanggul, saluran dan pintu klep serta embung di
areal perkebunan masyarakat.
Pasal 70
Dinas melakukan :
a. pendataan dan identifikasi desa rawan kebakaran di
Daerahnya masing-masing.
b. pendataan dan pembinaan terhadap regu pemadam
kebakaran di lingkungan perusahaan perkebunan dan
kecamatan/desa di Daerahnya masing-masing.
-35-
BAB V
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP, PEMBANGUNAN
PERKEBUNAN BERKELANJUTAN DAN TANGGUNG JAWAB
SOSIAL PERUSAHAAN PERKEBUNAN
Bagian Kesatu
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 71
(1) Dalam rangka pemeliharaan keseimbangan ekosistem
dan kelestarian lingkungan hidup, pelaku usaha
perkebunan wajib mengelola sumber daya alam secara
lestari dan berkelanjutan di dalam dan di sekitar lokasi
usaha perkebunan.
(2) Dalam mengelola usaha perkebunan, pelaku usaha
perkebunan wajib mencegah timbulnya kerusakan dan
pencemaran lingkungan hidup atau ketidakseimbangan
ekosistem di dalam dan di sekitar lokasi usaha
perkebunan.
(3) Perusahaan perkebunan wajib memiliki izin lingkungan
dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha
atau kegiatan.
(4) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan
lingkungan hidup bagi pelaku usaha perkebunan yang
wajib Amdal atau rekomendasi UKL-UPL bagi yang tidak
wajib Amdal, penerbitan keputusan Amdal atau
rekomendasi UKL-UPL tersebut diberikan disesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku.
(5) Perusahaan perkebunan wajib menerapkan pelaksanaan
Amdal atau UKL-UPL serta tertib menyampaikan laporan
pelaksanaannya sebagai bagian tanggung jawab dalam
mempertahankan fungsi lingkungan hidup.
-36-
(6) Perusahaan perkebunan wajib melakukan kegiatan
Amdal dan UKL-UPL yang disetujui dan
direkomendasikan oleh instansi yang bertanggung jawab
di bidang pengelolaan dan pengendalian dampak
lingkungan hidup yang melaksanakan operasionalisasi
kegiatan dimaksud, serta tertib menyampaikan
laporannya secara berkala untuk dipantau
penerapannya.
Pasal 72
Dalam penyusunan perencanaan pembangunan perkebunan,
pelaku usaha perkebunan harus mencadangkan areal lokasi
yang secara teknis harus dilindungi sebagai kawasan
konservasi berdasarkan identifikasi nilai konservasi tinggi
oleh pihak yang berkompeten.
Pasal 73
Pelaku usaha budidaya tanaman mempunyai tanggung jawab
lingkungan, konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman
hayati.
Pasal 74
Pelaku usaha perkebunan berkewajiban mengendalikan,
mengolah dan memanfaatkan limbah dan produk samping
perkebunan secara optimal dan ramah lingkungan, serta
pemanfataan untuk pengembangan energi terbarukan
berbasis perkebunan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kedua
Pembangunan Perkebunan Berkelanjutan
Pasal 75
(1) Pemerintah Daerah menerapkan prinsip pembangunan
berkelanjutan pada pengusahaan perkebunan di
Indonesia.
(2) Pembangunan berkelanjutan untuk kelapa sawit adalah
dengan menerapkan kewajiban sertifikasi Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO).
-37-
(3) Pelaksanaan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Pembangunan berkelanjutan untuk komoditi selain
kelapa sawit mengikuti peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Pasal 76
(1) Perusahaan perkebunan wajib menyusun dan
menjalankan program tanggung jawab sosial
perusahaan.
(2) Penyusunan program tanggung jawab sosial perusahaan
bersifat partisipatif dimana perusahaan wajib melakukan
konsultasi publik dengan masyarakat sekitar dan
Pemerintah Daerah.
(3) Pelaku usaha perkebunan memiliki tanggung jawab
kepada pekerja, individu dan komunitas dari kebun.
(4) Dinas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
program tangung jawab sosial perusahaan.
(5) Perusahaan perkebunan menyampaikan laporan
kegiatan dan evaluasi pelaksanaan program tanggung
jawab sosial perusahaan yang terintegrasi dengan
laporan kegiatan usaha perkebunan kepada Gubernur
melalui Dinas setiap 6 (enam) bulan.
(6) Perusahaan perkebunan menyampaikan realisasi
program tanggung jawab sosial secara terbuka kepada
masyarakat melalui media massa, setiap 6 (enam) bulan.
BAB VI
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PEMBANGUNAN PERKEBUNAN
Pasal 77
(1) Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi
pengembangan lembaga pengkajian dan pembangunan
perkebunan di Daerah.
-38-
(2) Pemerintah Daerah menetapkan tema kajian yang
penting untuk dilakukan penelitian dan pengembangan
secara periodik untuk pengelolaan dan pemanfaatan
perkebunan secara berkelanjutan.
(3) Perusahaan Perkebunan harus melakukan kerja sama
penelitian dan pengembangan dengan Badan Penelitian
dan Pengembangan Daerah dan/atau pihak lainnya.
(4) Pemerintah Daerah bersama Perusahaan Perkebunan
mendorong dan memfasilitasi pengembangan program
integrasi sawit tanaman pangan dan hortikultura, sawit
ternak dan integrasi sawit ikan dan program integrasi
lainnya.
BAB VII
FORUM KOMUNIKASI USAHA PERKEBUNAN
DAN PENANGANAN KONFLIK
Pasal 78
(1) Sebagai wadah komunikasi semua pemangku
kepentingan yang mengusahakan komoditas strategis
perkebunan, Gubernur membentuk Tim Pembina
Pembangunan Perkebunan Provinsi sesuai
kewenangannya.
(2) Tim Pembina dan Pengawasan Pembangunan
Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas unsur:
a. Pemerintah Daerah;
b. instansi vertikal di Daerah dan Kabupaten/Kota;
c. pelaku usaha perkebunan; dan
d. tokoh pemuka masyarakat/perwakilan organisasi
atau asosiasi bidang perkebunan.
(3) Tugas Tim Pembina Pembangunan Perkebunan antara
lain:
a. meningkatkan kerja sama dan koordinasi
pengembangan komoditas strategis perkebunan bagi
seluruh pemangku kepentingan perkebunan;
-39-
b. memberikan saran dan pertimbangan kepada
Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan
daya saing komoditas perkebunan serta persoalan
perkebunan; dan
c. memfasilitasi dalam penyelesaian konflik
perkebunan.
(4) Tim Pembina Pembangunan Perkebunan bertugas
selama 5 (lima) tahun.
(5) Tim Pembina Pembangunan Perkebunan tingkat Provinsi
ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(6) Tim Pembina Pembangunan Perkebunan.
Pasal 79
(1) Dalam hal terjadi gangguan usaha dan konflik
perkebunan antara perusahaan perkebunan dengan
perusahaan perkebunan, perusahaan perkebunan
dengan masyarakat dan/atau dengan pihak lain,
Gubernur berkewajiban memfasilitasi penanganannya.
(2) Dalam rangka fasilitasi penanganan gangguan usaha dan
konflik perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Gubernur membentuk Tim Fasilitasi Penanganan
Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan.
(3) Tim Fasilitasi Penanganan Ganguan Usaha dan Konflik
Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
dari anggota tetap dan anggota tidak tetap.
BAB VIII
PEMBINAAN, PENGAWASAN, EVALUASI DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Kewenangan Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 80
(1) Pemerintah Daerah melalui Dinas melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap pengelolaan usaha
perkebunan sesuai kewenangan.
-40-
(2) Pengawasan dilakukan secara koordinatif, terpadu dan
sinergi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah,
masyarakat.
(3) Gubernur dapat mengevaluasi pembinaan dan
pengawasan.
Bagian Kedua
Evaluasi dan Pelaporan
Pasal 81
(1) Pelaku usaha perkebunan melaporkan kegiatan
pengusahaan kebunnya kepada Pemerintah Daerah
secara berkala sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pemerintah Daerah melakukan pemantauan dan
evaluasi dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian
laporan dengan pelaksanaan di lapangan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 82
(1) Dalam hal IUP dicabut dan diusulkan pencabutan hak
guna usaha, bekas pemegang Izin Usaha Perkebunan
dapat menyerahkan tanaman dan bangunan yang berada
di atas lahannya kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyerahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai ketentuan
perundang-undangan.
Pasal 83
(1) Pelaku Usaha Perkebunan dapat berpartisipasi terhadap
kegiatan pengembangan sumber daya manusia,
penelitian, promosi serta pembangunan perkebunan
lainnya di Daerah.
-41-
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara
partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Gubernur.
Pasal 84
(1) Perizinan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah
ini dapat dicabut berdasarkan permohonan Pelaku
Usaha Perkebunan dan/atau tanpa permohonan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis kepada Gubernur.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Gubernur.
BAB X
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 85
(1) Pelaku Usaha Perkebunan yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 50 ayat (1), Pasal 54, Pasal 68
ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 81 ayat (1), dapat
dikenakan sanksi administrasi.
(2) Sanksi administratif terdiri atas:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin;
g. denda administratif;
h. sanksi administratif lainnya sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
i. pencabutan izin.
-42-
Pasal 86
Dalam hal Pelaku Usaha Perkebunan dijatuhi sanksi pidana
di bidang perkebunan, hutan, dan/atau lingkungan hidup,
Gubernur dapat mencabut IUP, IUP-B dan/atau IUP-P tanpa
peringatan sebelumnya.
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 87
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi
Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana lingkungan hidup.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perkebunan, perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang
diduga melakukan tindak pidana di bidang
perkebunan, perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap
orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di
bidang perkebunan, perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan
dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana
dibidang perkebunan, perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
-43-
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang
diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan
dan dokumen lain;
f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang
hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang perkebunan,
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang perkebun,
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h. menghentikan penyidikan;
i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau
membuat rekaman audio visual;
j. melakukan penggeledahan terhadap badan,
pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang
diduga merupakan tempat dilakukannya tindak
pidana dan/atau
k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
(3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, penyidik
pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik
pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Dalam hal penyidik pejabat Pegawai Negeri Sipil
melakukan penyidikan, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri
Sipil memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi
Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi
Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna
kelancaran penyidikan.
(5) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil memberitahukan
dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan
tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia.
(6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil disampaikan kepada penuntut
umum.
(7) Pengawasan peredaran mutu benih dilaksanakan oleh
Dinas.
-44-
(8) Pengawasan peredaran benih unggul dan benih unggul
lokal dilakukan oleh Pengawas Benih Tanaman (PBT) dan
jika dari hasil pengawasan ditemukan benih yang tidak
sesuai dengan sertifikat dan label dilarang diedarkan
atau diperjualbelikan.
(9) Pengawas Benih Tanaman (PBT) dapat menghentikan
peredaran benih dimaksud dan wajib dilaporkan kepada
Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk diproses sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 88
(1) Setiap orang dan/atau badan usaha yang melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal
68 ayat (1), Pasal 76 ayat (1) diancam pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud ayat (1),
pelaku tindak pidana dapat dikenakan pidana dan/atau
denda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 89
(1) Izin Usaha Perkebunan yang telah diterbitkan sebelum
berlakunya Peraturan Daerah ini, dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Daerah ini.
(2) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah, IUP, IUP-B, atau
IUP-P yang telah diterbitkan, dinyatakan tetap berlaku
dan pembinaan selanjutnya dilakukan oleh Kabupaten/
Kota yang merupakan lokasi kebun berada dan apabila
pemekaran wilayah mengakibatkan lokasi kebun
berada pada lintas Kabupaten/Kota, maka perizinan
yang sudah ada didaftarkan ulang ke Provinsi dan
pembinaan selanjutnya dilakukan oleh Provinsi.
-45-
(3) Dalam hal pembinaan dan pengawasan pelaku usaha
perkebunan, Pemerintah Daerah dapat melakukan
bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(4) Usaha perkebunan yang sudah ada sebelum
diberlakukannya Peraturan Daerah ini diberi waktu
paling lambat selama 2 (dua) tahun untuk penyesuaian.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 90
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Provinsi Riau.
Ditetapkan di Pekanbaru
Pada tanggal 19 Februari 2018
Plt. GUBERNUR RIAU
WAKIL GUBERNUR,
ttd.
WAN THAMRIN HASYIM
Diundangkan di Pekanbaru
Pada tanggal 19 Februari 2018
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI RIAU,
ttd.
H. AHMAD HIJAZI
LEMBARAN DAERAH PROVINSI RIAU TAHUN 2018 NOMOR : 6
NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : (6,51/2018)
-46-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU
NOMOR 6 TAHUN 2017
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERKEBUNAN
I. UMUM
Pembangunan perkebunan telah memberikan manfaat ekonomi bagi
masyarakat dan Daerah, namun secara bersamaan telah terjadi dampak
negatif pada aspek sosial dan ekologi secara nyata. Meningkatnya
kebutuhan akan lahan perkebunan telah menimbulkan banyak konflik
lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan besar, dan antara
perusahaan perkebunan besar dan/atau pengguna lahan lainnya.
Pencaplokan lahan masyarakat, tumpang tindih lahan dan persoalan tata
batas wilayah menjadi akar masalah konflik sosial yang ada. Hal lain yang
terjadi adalah masyarakat lokal yang ada di sekitar areal usaha perkebunan
belum secara optimal dilibatkan untuk menerima manfaat atas kehadiran
pelaku usaha perkebunan besar di Daerahnya, sehingga masyarakat sekitar
hanya sebagai penonton dan pada akhirnya akan menimbulkan
kecemburuan sosial.
Beberapa permasalahan mendasar yang saat ini terjadi pada subsektor
perkebunan adalah produktivitas yang rendah, bertambahnya tanaman tua
dan rusak yang memerlukan peremajaan, rendahnya kualitas sarana
prasarana perkebunan, banyaknya pelanggaran di bidang perizinan
perkebunan, ancaman kabakaran lahan dan kebun, dan serta isu
perkebunan kelapa sawit Indonesia yang tidak ramah lingkungan di dunia
internasional.
Pembangunan perkebunan yang dilaksanakan oleh para pelaku
perkebunan diharapkan memberikan manfaat ekonomi yang optimal bagi
pelaku, masyarakat dan Daerah; dan secara sosial dapat diterima oleh
masyarakat, serta memberikan kepastian bagi perlindungan kelestarian
lingkungan hidup. Untuk maksud tersebut, maka diperlukan suatu
pengaturan yang ditetapkan dalam sebuah Peraturan Daerah. Pengaturan-
pengaturan penyelenggaraan pembangunan usaha perkebunan sangat
diperlukan untuk memberikan kepastian dan jaminan bagi para pelaku
usaha perkebunan, baik perorangan maupun badan usaha, untuk
-47-
mengelola usahanya dan untuk memberikan dasar pijakan bagi Pemerintah
Daerah dalam melakukan perencanaan, pengembangan, pembinaan dan
pengawasan pengelolaan usaha perkebunan di Provinsi Riau.
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perkebunan ini memuat
antara lain mengenai penyelenggaraan usaha perkebunan dan penunjang
penyelenggaraan usaha perkebunan. Pengelolaan ini bermaksud untuk
mengoptimalkan pemanfaatan dan pengembangan potensi sumber daya
perkebunan Daerah dalam perspektif pembangunan berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan. Sebagai salah satu prioritas kebijakan dan program Pemerintah
Daerah, maka penyelenggaraan pembangunan perkebunan daerah serta
usaha perkebunan perlu diatur untuk memperoleh daya guna dan daya
hasil terbaik.
Penyelenggaraan perkebunan yang dikelola oleh pelaku usaha
perkebunan harus berazaskan manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan,
kebersamaan, keterbukaan, keharmonisasian serta berkeadilan, untuk
mewujudkan sistem usaha perkebunan yang utuh, efisien, produktif, dan
berdaya saing tinggi untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, melalui
optimalisasi pengelolaan atau pemanfaatan, pendayagunaan dan
pengembangan sumber daya alam, pemberdayaan dan pengembangan
kapasitas sumber daya manusia perkebunan, serta pemanfaatan
pengembangan Iptek Perkebunan.
Pengaturan penguasaan atau peruntukan tanah usaha perkebunan
didasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau, dan tetap
memperhatikan hukum adat masyarakat setempat seperti hak ulayat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan
dengan kepentingan umum.
Sebagai persyaratan legalitas dan alat pengendali terhadap
penyelenggaraan usaha perkebunan, pelaku usaha perkebunan harus
memperoleh izin dari Pemerintah Daerah. Pelaku usaha perkebunan harus
memenuhi kewajiban yang berkenaan dengan perizinan sesuai dengan
persyaratan dan tata cara yang ditetapkan oleh pemberi izin. Untuk
memfasilitasi peningkatan pengembangan usaha perkebunan, Pemerintah
Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota bersama-sama dengan pelaku
usaha perkebunan secara kooperatif menggali sumber dan mengintensifkan
berbagai jenis penerimaan Daerah dari sub sektor perkebunan. Dalam hal
ini sangat diharapkan pelaku usaha perkebunan dapat memenuhi
-48-
kewajibannya terhadap Daerah mengenai jenis penerimaan Daerah. Para
pelaku usaha perkebunan wajib menyelenggarakan usaha perkebunan
dengan baik dan tertib sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemerintah
dan Pemerintah Daerah secara koordinatif melakukan pengawasan agar
setiap unit usaha perkebunan beroperasi sebagaimana mestinya dan tujuan
pengelolaannya tercapai dengan baik.
Dengan pokok-pokok materi seperti yang diuraikan di atas, maka
disusunlah Peraturan Daerah ini sebagai acuan dan landasan hukum
pengelolaan usaha perkebunan di Riau. Hal-hal yang belum diatur secara
rinci dalam Peraturan Daerah ini, diatur dan ditetapkan lebih lanjut dengan
Peraturan Gubernur.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Perencanaan Pembangunan Perkebunan berisi kebijakan, strategi,
indikasi program, serta program dan rencana pembiayaan yang
terkait dengan rencana perlindungan wilayah perkebunan.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk dapat terjaminnya
perencanaan, pelaksanaan, pengganggaran dan evaluasi setiap
tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
-49-
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi,
optimasi dan pengendalian perkebunan berdasarkan
Geographic Information Spacial (GIS).
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Huruf e
Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah
provinsi berdasarkan Geographic Information Spacial (GIS).
Huruf f
Cukup Jelas.
Huruf g
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hak atas tanah” adalah hak yang
memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk
mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.
Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri
khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak
atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil
manfaat atas tanah yang menjadi haknya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
-50-
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak
Guna Bangunan” adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria beserta peraturan pelaksanaannya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “nilai budaya” adalah kearifan lokal dalam
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “penilaian kinerja” adalah dalam bentuk
penilaian kelas kebun perusahaan yang dilakukan oleh Dinas Tanaman
Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi dan/atau Dinas yang
membidangi Perkebunan.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf c
Yang dimaksud dengan “gambut saprik” adalah gambut yang
sudah melapuk lanjut, bahan asalnya tidak dikenali,
berwarna coklat tua sampai hitam, dan apabila diremas
-51-
kandungan seratnya kurang dari 15% (lima belas persen) dan
yang dimaksud dengan “gambut hemik” adalah gambut
setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bias dikenali,
berwarna coklat, dan apabila diremas bahan seratnya 15%
(lima belas persen) sampai dengan 75% (tujuh puluh lima
persen).
Huruf d
Yang dimaksud dengan “gambut eutropik” adalah tingkat
kesuburan gambut dengan kandungan unsur hara makro
dan mikro yang cukup untuk budidaya kelapa sawit sebagai
pengaruh luapan air sungai dan/atau pasang surut air laut.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perkebunan rakyat” adalah perkebunan
yang diselenggarakan atau dikelola oleh rakyat/pekebun yang
dikelompokkan dalam usaha kecil tanaman perkebunan rakyat
dan usaha rumah tangga perkebunan rakyat. Umumnya,
perkebunan rakyat tidak berbadan hukum. Luasan perkebunan
rakyat maksimal 25 Hektar, atau pengelola tanaman perkebunan
yang mempunyai jumlah pohon yang dipelihara lebih dari Batas
Minimum Usaha (BMU). Sejalan dengan hal ini, berdasarkan
ketentuan mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai atas Tanah, luas maksimum tanah yang dapat
diberikan Hak Guna Usaha kepada perorangan adalah dua puluh
lima hektar.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perkebunan besar” adalah perkebunan
yang diselenggarakan atau dikelola secara komersial oleh
perusahaan yang berbadan hukum. Perusahaan besar terdiri dari
Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta
(PBS) Nasional/asing. Luasan lahan berskala besar umumnya di
atas 25 Hektar. Orientasi untuk kebutuhan pasar dan laba
sehingga tanaman yang dikembangkan adalah tanaman yang laku
di pasar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-52-
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Pemuliaan Tanaman adalah rangkaian kegiatan penelitian dan
pengujian atau kegiatan penemuan dan pengembangan suatu
varietas, sesuai dengan metode baku untuk menghasilkan varietas
baru dan mempertahankan kemurnian benih varietas yang
dihasilkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
1-40.000 butir Surat Persetujuan Penyaluran Benih Kelapa Sawit
(SP2BKS) diterbitkan oleh Dinas yang membidangi perkebunan
Kabupaten/Kota.
40.001-200.000 butir Surat Persetujuan Penyaluran Benih Kelapa
Sawit (SP2BKS) diterbitkan oleh Dinas.
≥ 200.001 butir Surat Persetujuan Penyaluran Benih Kelapa Sawit
(SP2BKS) diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan.
Untuk Surat Persetujuan Penyaluran Benih (SP2B) komoditi
perkebunan lainnya diterbitkan oleh Dinas.
-53-
Ayat (2)
Benih tanaman perkebunan yang selanjutnya disebut benih
adalah tanaman dan/atau bagiannya yang digunakan untuk
memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan tanaman.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Peremajaan adalah penggantian suatu macam tanaman
perkebunan, karena sudah tua/tidak produktif dengan tanaman
perkebunan yang sama dan dapat dilakukan secara selektif
maupun menyeluruh.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Plasma Nutfah adalah substansi yang terdapat dalam kelompok
makhluk hidup, dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat
dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis
unggul atau kultivar baru.
-54-
Yang dimaksud dengan “komoditas perkebunan” adalah komoditas
binaan Direktorat Jenderal Perkebunan sebanyak 126 jenis sesuai
Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 511/Kpts/PD.310/9/2006
tanggal 12 September 2006 tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan
Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
dan Direktorat Jenderal Hortikultura.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Huruf a
Usaha Industri pengolahan hasil perkebunan utama adalah usaha
industri yang mengolah hasil utama dari tanaman perkebunan
yang terdiri dari penanganan pasca panen atau industri
pengolahan bahan mentah (kelompok industri hulu), industri
pengolahan barang setengah jadi (kelompok industri antara) dan
industri pengolahan barang jadi (kelompok industri hilir).
Bahan mentah adalah bahan yang berupa bagian dari tanaman
perkebunan yang didapat langsung dari hasil panen untuk
dimanfaatkan lebih lanjut.
Barang setengah jadi adalah bahan mentah atau bahan baku yang
telah mengalami satu atau beberapa tahap proses industri yang
dapat diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
Barang jadi adalah barang hasil industri yang sudah siap pakai
untuk konsumsi akhir ataupun siap pakai sebagai alat produksi.
Huruf b
Usaha pemanfaataan/pengolahan hasil sampingan dan/atau
limbah perkebunan dan/atau limbah peremajaan perkebunan
adalah suatu usaha pengolahan yang bahan bakunya berasal dari
hasil sampingan tanaman perkebunan selain hasil utama atau
limbah pengolahan/industri hasil perkebunan utama, misalnya :
No Komoditi Bahan Baku Jenis Produk
1 Karet Batang karet Kayu meubeler2 Kelapa
Sawit,
Limbah
Gas
Limbah padat dan
limbah cair Pabrik
Kelapa Sawit
- Cangkang
- Batang
Pupuk kompos/
organik
Asap cair
Kayu Meubeler,
Energi Listrik,
Pellet/Briket
-55-
3 Kelapa Sabut kelapa
Batang kelapa
Serat sabut
karet untuk jok,
kasur.Matras,
tali, dll
Kayu bangunan
4 Kakao Kulit buah
- Daging buah
Pupuk kompos
Nata de Coco,
sirup5 Nilam Limbah penyulingan Obat nyamuk
bakar, pupuk,
Kompos6 Kopi Kulit buah Pupuk
kompos/organik7 Sagu Tual (potongan
batang) sagu
Tepung Sagu
Huruf c
Industri kreatif merupakan kelompok industri yang terdiri dari
berbagai jenis industri yang masing-masing memiliki keterkaitan
dalam proses pengeksploitasian ide atau kekayaan intelekltual
menjadi nilai ekonomi tinggi yang dapat menciptakan
kesejahteraan dan lapangan pekerjaan.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Crude Palm Oil (CPO) atau minyak mentah kelapa sawit adalah hasil
olahan daging kelapa sawit melalui proses tandan buah segar,
perontokan dan pengepresan untuk bahan baku minyak kelapa sawit
dan turunannya.
Bahan Olah Karet yang selanjutnya disebut Bokar adalah lateks
dan/atau gumpalan yang dihasilkan pekebun, kemudian diolah secara
sederhana sehingga menjadi bentuk lain yang bersifat lebih tahan
untuk disimpan serta tidak tercampur dengan kontaminan.
Kopra adalah daging buah kelapa yang dikeringkan, merupakan salah
satu produk turunan kelapa yang sangat penting, karena merupakan
bahan baku pembuatan minyak kelapa dan turunannya.
-56-
Biji Kering Kakao adalah hasil pengeringan biji kakao setelah
dipisahkan dari salut biji baik secara fermentasi maupun non
fermentasi.
Tepung Sagu adalah tepung hasil olahan yang diperoleh dari
penggilingan teras batang pohon sagu.
Pasal 39
Ayat (1)
Industri hilir (industri pengolahan barang jadi) hasil perkebunan
adalah industri pengolahan barang hasil perkebunan yang sudah
siap pakai untuk konsumsi akhir ataupun siap pakai sebagai alat
produksi, misalnya:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Produk pangan antara lain minyak goreng, minyak makan
merah, margarin, emulsifier, shartonis, susu kental manis,
vanespati, es krim, yoghurt.
Produk non pangan antara lain : biodiesel, pelumas, senyawa
ester, lilin, kosmetik dan farmasi.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
No Komoditi
Hasil
Perkebunan
Utama
Produk
Pengolahan
Bahan
mentah
(Hulu)
Produk
Pengolahan
Barang
setengah
(Antara)
Produk
Pengolahan
barang jadi
(Hilir)1 Karet Lateks Lump,slab,she
et
Rubber Some
Sheet (RSS)
Ban, sarung
tangan, dll2 Kelapa
Sawit
TandanBuah
Segar(TBS)
Crude PalmOil
(CPO),biji inti
sawit
Minyak inti
sawit
Minyak
goreng,
margarin,bio
diesel
3 Kelapa Buahkelapa Daging buah Kopra, kelapa
parut kering
(Desicated
Coconut)
Minyak
goreng,
Minyak
kelapa
murni (Virgin
Coconut Oil)
Nira Gula kelapa4 Kakao Buah Biji
gelondongan
Bubuk kakao Cokelat5 Nilam Daun Daun basah/
Kering
Minyak nilam kosmetik, dll
-57-
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kapasitas pabrik tertentu” adalah
kapasitas minimal unit pengolahan hasil perkebunan yang
ditetapkan oleh Menteri. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian
Republik Indonesia Nomor : 98/Permentan/OT.140/9/2013
tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, kapasitas paling
rendah Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan yang
memerlukan IUP-P adalah:
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
No. Komoditas Kapasitas Produk
1. Kelapa Sawit 5 ton TBS per jam CPO, inti sawit
(palm kernel),
tandan kosong,
cangkang, serat
(fiber), sludge
2. Teh 1 ton pucuk segar
per hari
Teh Hijau
2.
3.
Teh
Tebu
10 ton pucuk
segar per hari
Teh Hitam
1.000 ton Tebu
per hari (Ton Cane
Day/TCD)
Gula Kristal Putih
-58-
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “batas maksimal luas areal” adalah batas
paling luas pemberian IUP dan IUP-B yang dapat diberikan
terhadap 1 (satu) perusahaan atau kelompok (group) perusahaan
perkebunan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Nomor : 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, batas paling luas
pemberian IUP-B untuk 1 (satu) perusahaan atau kelompok
(group) perusahaan perkebunan adalah :
No. Tanaman Batas Paling Luas(Ha)
1 Kelapa 40.000
2 Karet 20.000
3 Kopi 10.000
4 Kakao 10.000
5 Jambu Mete 10.000
6 Lada 1.000
7 Cengkeh 1.000
8 Kapas 20.000
sedangkan batas paling luas pemberian IUP untuk 1 (satu)
perusahaan atau kelompok (group) perusahaan perkebunan
adalah :
No. Tanaman Batas Paling Luas(Ha)
1 Kelapa Sawit 100.000
2 Teh 20.000
3 Tebu 150.000
Ayat (2)
Cukup jelas.
-59-
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran
monoalkyl ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai
sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat
dari sumber terbaharui seperti minyak nabati/tumbuhan atau
lemak hewan
Biofuel adalah Bahan bakar hayati adalah setiap bahan bakar baik
padatan, cairan ataupun gas yang dihasilkan dari bahan-bahan
organik. Biofuel dapat dihasilkan secara langsung dari tanaman
atau secara tidak langsung dari limbah industri, komersial,
domestik atau pertanian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
-60-
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu
kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pengendalian organisme Pengganggu”
adalah sebuah pendekatan yang mengintegrasikan berbagai jenis
metode pengendalian hama dengan tujuan untuk menekan
populasi hama hingga di bawah tingkat kerusakan ekonomis.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembukaan Lahan Tanpa Bakar adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan sesuai perencanaan tata ruang dan tata letak,
pengukuran areal, dan pembersihan lahan sampai dengan lahan
siap untuk ditanami dengan tanpa melakukan pembakaran.
Ayat (3)
Brigade pengendalian kebakaran lahan dan kebun yang
selanjutnya disebut brigade adalah satuan kerja yang berada di
Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan
-61-
Kabupaten/Kota yang mempunyai tugas melakukan pengendalian
kebakaran lahan dan kebun.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan Pengendalian kebakaran lahan dan kebun
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan mulai dari
pencegahan, pemadaman, penanganan pasca kebakaran di lahan
dan kebun.
Kelompok Tani Peduli Api (KTPA) adalah sejumlah pekebun yang
telah memperoleh pelatihan tentang pengendalian kebakaran
lahan dan kebun yang ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Sekat Kanal adalah tindakan penutupan aliran air pada kanal
yang sudah ada dengan tujuan agar air yang ada tetap
menggenangi permukaan areal, khususnya pada tanah
gambut.
-62-
Embung adalah bangunan konservasi air berbentuk kolam
untuk menampung air hujan dan air limpasan atau air
rembesan di lahan yang berdrainase baik.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang
selanjutnya disebut Amdal adalah kajian mengenai dampak
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan
pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat
UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap
usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting
terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Budidaya tanaman perkebunan terdiri dari kelapa sawit. kelapa, karet,
sagu, kakao, kopi dan aneka tanaman.
-63-
Aneka Tanaman adalah jenis komoditas tanaman perkebunan yang
memiliki potensi pengembangan, selain komoditas kelapa sawit, kelapa,
karet, sagu, kakao dan kopi.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau
Indonesian Sustainable Palm Oil yang selanjutnya disebut ISPO
adalah sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang
layak ekonomi, layak sosial dan ramah lingkungan didasarkan
pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.