YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI

DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA

POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk

artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas

Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan

Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta

salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda

besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada

kebenaran hakiki.

Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik

bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua

dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga

si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.

Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka

yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika

skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa

lalu.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari

berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak

terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam

merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan

terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai

ii  

Page 2: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai

Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan Drs.

Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.

2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris

Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam

memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis.

Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik

KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan

proposal skripsi ini.

3. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing,

yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan

waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi

masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian

skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan

bimbingan ini.

4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya

ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu

memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.

5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan

penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif

seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi

eksistensi pondok.

7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul

Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak

Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang

Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah

iii  

Page 3: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

iv  

membantu penulis dalam mengambil data lapangan (Mohon maaf banyak

data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian).

8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika

bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga

terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis.

Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT

yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin.

Ciputat, 23 Juni 2010

Mohamad Romdoni

Page 4: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

ABSTRAK

Sudah satu abad lebih pondok pesantren Nahdjussalam memberikan

pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di

masyarakat. Sifat ekslusif pesantren Nahdjussalam menjadikan pesantren tidak

lepas dari pengaruh-pengaruh luar seperti dampak-dampak industrialisasi dalam

arti yang seluas-luasnya. Keberadaan pesantren dan industrialisasi di wilayah

Panyawungan tentu akan memberi bentuk baru masyarakat dalam orientasi

makna, nilai dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan.

Dari permasalahan dan asumsi di atas, menimbulkan pertanyaan;

Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik masyarakat

kampung panyawungan? Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi

oleh pesantren dan industrialisasi: dilihat dari aspek doktrin atau isi dan materi,

dan dari apek generik seperti bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik seperti

militan, utopis, terbuka, dan tertutup?

Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dan menggunakan

metode deskriftip kualitatif untuk menyajikan temuan-temuan yang ada di

lapangan.

Industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis,

hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita

ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi

nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen,

akhlak dan nilai-nilai luhur. Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika,

pemahaman-diri, dan tafsiran kultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari

interaksi intersubjektif dalam masyarakat.

Masyarakat kampung Panyawungan tidak hanya turut pada ketentuan

normatif semata, tapi mereka sudah mulai mempertimbangkan asas fungsional.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada “kaum elit” baik dalam posisi sebagai

subjek maupun objek transformasi, pada akhirnya juga berimplikasi pada proses

transformasi “bawah” masyarakat dan lingkungannya.

i  

Page 5: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI

DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA

POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk

artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas

Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan

Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta

salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda

besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada

kebenaran hakiki.

Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik

bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua

dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga

si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.

Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka

yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika

skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa

lalu.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari

berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak

terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam

merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan

terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai

Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai

ii  

Page 6: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan Drs.

Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.

2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris

Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam

memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis.

Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik

KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan

proposal skripsi ini.

3. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing,

yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan

waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi

masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian

skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan

bimbingan ini.

4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya

ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu

memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.

5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan

penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif

seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi

eksistensi pondok.

7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul

Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak

Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang

Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah

iii  

Page 7: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

membantu penulis dalam mengambil data lapangan (Mohon maaf banyak

data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian).

8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika

bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga

terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis.

Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT

yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin.

Ciputat, 23 Juni 2010

Mohamad Romdoni

iv  

Page 8: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ 

ABSTRAKSI ........................................................................................................... i 

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii 

DAFTAR ISI ........................................................................................................... v 

DAFTAR DIAGRAM ........................................................................................ viii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5

A.1. Sejarah Pesantren ......................................................................... 12

Dan Unsur-Unsur Pesantren  .............................................. 15 

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 6

D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8

E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 10

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Pengertian dan Sejarah Pesantren .............................................................. 12

A.2. Tipelogi

A.3. Sistem Nilai Pesantren  ................................................................ 17

B. Pengertian Industrialisasi  .......................................................................... 18

B.1. Pengertian Industrialisasi ............................................................. 18

B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ............................................... 20 

B.3. Industri Mempengaruhi Politik .................................................... 23

C. Agama Dan Politik  ........................................................................................... 26

v  

Page 9: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

D. Pen

2. Berdasarkan Orientasi ................................................................ 33

E. Ker

BAB III

GAMBPANYAWUNGAN

A. Ga

2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual ... 49

3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik ............................................................................................................ 52

Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren ....... 53

B.

gertian Budaya Politik  ......................................................................... 28

D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ................................................... 28

D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik .................................................................. 31

1. Berdasarkan Pola Otoritas  ........................................................ 31

3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ....................................... 34

D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik .......................................... 36 

angka Konseptual ................................................................................. 37

ARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP.

mbaran Umum Pesantren Nahdjussalam .................................................. 43

A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren .............................. 43

1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan ............................................................................................. 46

4. Kh.

A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ................................................. 54

2.1. Tradisi Pesantren ........................................................................ 54

2.2. Sistem Nilai Pesantren ............................................................... 58

A.3. Ekonomi Pesantren ........................................................................... 60

A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ............................................ 62

A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ................................. 65

Kondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ................................... 68

vi  

Page 10: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

B.1. Sejarah Kampung Panyawungan ..................................................... 68

B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat .............. 69

B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk ........................... 72

BAB IV

PERUBAHPANYAW

A. Arti

B. Usadan Jaminan Keberlangsungan Industri .......................................................... 80

D. ArenKam

Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan Pragmatis ............................................................................................... 90

PENUTUP

B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk .................................................. 74 

AN BUDAYA POLITIK PADA MASYARAKAT KAMPUNG UGAN

kulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ..................... 76

ha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren: Antara Pemberdayaan

C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ............................... 83

a Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat pung Panyawungan ................................................................................... 86

D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul: Aliansi Kepentingan Antar Elite yang Sudah Mapan ........................................................... 86

D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna: Tarik Menarik

BAB V

A. Kesimpulan ........................................................................................................ 98

B. Rekomendasi .................................................................................................... 100

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................  

LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................................  

 

vii  

Page 11: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Daftar Digram

1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 42 Diagram

2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ........................................ 46 

ni Afandi dan Bani Kholil ......................... 48 

iagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul ............................ 89

iagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul ......................... 90

Diagram

Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Ba

Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ........................... 48 

Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ......................... 49 

Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ..................................................................... 59

D

viii  

Page 12: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Daftar Tabel

a Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ................. 71

Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73 

Tabel 3. Daftar Langgar ................................................................................................ 75 

 

 

Tabel 1. Daftar Nam

ix  

Page 13: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

x  

Daftar Gambar

Gambar 1. Lokasi Komplek Pesantren................................................................... 45

Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ..................................... 63 

Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ......................................................................... 68 

Gambar 4. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung)  ..... 77

Gambar 5. Aktivitas Di Penyortiran Limbah .............................................................. 82 

Gambar 6. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ...................... 93

Gambar 7. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta  ......................... 97

 

Page 14: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ 

ABSTRAKSI ........................................................................................................... i 

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii 

DAFTAR ISI ........................................................................................................... v 

DAFTAR DIAGRAM ........................................................................................ viii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5

A.1. Sejarah Pesantren ......................................................................... 12

Dan Unsur-Unsur Pesantren  .............................................. 15 

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 6

D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8

E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 11

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Pengertian dan Sejarah Pesantren .............................................................. 12

A.2. Tipelogi

A.3. Sistem Nilai Pesantren  ................................................................ 17

B. Pengertian Industrialisasi  .......................................................................... 18

B.1. Pengertian Industrialisasi ............................................................. 18

B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ............................................... 20 

B.3. Industri Mempengaruhi Politik .................................................... 23

v  

Page 15: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

C. Agama Dan Politik  ........................................................................................... 26

D. Pengertian Budaya Politik  ......................................................................... 28

D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ................................................... 28

D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik .................................................................. 31

1. Berdasarkan Pola Otoritas  ........................................................ 31

E. Kerangka Konseptual 37

BAB III

GAMBPANYAW

A.

A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren

 ...................................................................................................... 49 1.3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan

Politik ........................................................................................... 52 1.4. Kh. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren .. 53

....... 54

2.1. Tradisi Pesantren ........................................................................ 54

B. K

2. Berdasarkan Orientasi ................................................................ 33

3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ....................................... 34

D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik .......................................... 36 

 ................................................................................. 

ARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP. UNGAN

Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam .................................................. 43

 .............................. 43

1.1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan ........................................................................................ 46

1.2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual

A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ..........................................

2.2. Sistem Nilai Pesantren ............................................................... 58

A.3. Ekonomi Pesantren ........................................................................... 60

A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ............................................ 62

A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ................................. 65

ondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ................................... 67

vi  

Page 16: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

vii  

B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk

B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk .................................................. 74 

BAB IV

PENGA

A. Artikulasi P

B.dan

C. Pesa

Antar Elite yang Sudah Mapan ........................................................... 86

D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna : Tarik Menarik

Pragmatis ............................................................................................... 90

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................................ 99

 

B.1. Sejarah Kampung Panyawungan ..................................................... 67

B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat .............. 69

 ........................... 72

RUH INDUSTRIALISASI PADA KAMPUNG PANYAWUNGAN 

olitik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ..................... 76

Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren : Antara Pemberdayaan Jaminan Keberlangsungan Industri .......................................................... 80

ntren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ............................... 83

D. Arena Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat Kampung Panyawungan ................................................................................... 86

D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul : Aliansi Kepentingan

Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan

B. Rekomendasi .................................................................................................... 101

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................  

LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................................  

Page 17: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Daftar Tabel

Tabel 1. Daftar Nama Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ................. 71

Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73 

Tabel 3. Daftar Langgar ................................................................................................ 75 

 

 

ix  

Page 18: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Daftar Gambar

Gambar 1. Lokasi Komplek Pesantren................................................................... 45

Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ..................................... 63 

Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ......................................................................... 68

Gambar 4. Peta Kampung Panyawungan ...................................................................  69

Gambar 5. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung)  ..... 78

Gambar 6. Aktivitas Di Penyortiran Limbah .............................................................. 83 

Gambar 7. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ...................... 93

Gambar 8. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta  ......................... 97

 

x  

Page 19: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Daftar Digram

Diagram 1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 42

Diagram 2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ........................................ 46 

Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil ......................... 48 

Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ........................... 48 

Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ......................... 49 

Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ..................................................................... 59

Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul .......................... 89

Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul ....................... 90

viii  

Page 20: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

1  

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua Islam Nusantara

telah diakui memiliki andil dan peran yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa

Indonesia. Pesantren Nusantara telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya

menjadi dinamisator dalam setiap proses sejarah nation and character building.

Menurut Harry J. Benda, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan

peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial dan politik

Indonesia. Bahkan menurut J. Benda para penguasa yang baru dinobatkan

bersandar diri kepada para ahli agama, karena hanya merekalah yang dapat men-

sah-kan pentasbihan.1 Oleh karenanya keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan

dari sejarah Indonesia, karena sejarah pesantren adalah sejarah Indonesia itu

sendiri.2

Pesantren selain pengemban misi pewaris para Nabi dan penterjemah

wahyu Tuhan terkait dengan peran keagamaan, ia juga memiliki pengaruh

terhadap lingkungan masyarakatnya. Pesantren sebagai bagian dari institusi sosial,

keagamaan, dan kultural tidak dapat dilihat sebagai sub-kultur dalam arti

merupakan gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Meskipun pesantren

mempunyai penggambaran kultural dengan karakternya yang khas, hal itu bukan

                                                            1 Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta : Pustaka Jaya) 1983, h. 33  2 Hasan Muarif Ambari, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial di

Banten, Makalah Simposium Nasional dan Kongres Pemuda Al-Khairiyah se Indonesia, Serang 1992, h. 2

 

Page 21: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

2  

berarti bahwa pesantren tertutup kepada pengaruh-pengaruh dari luar. Sebab

pesantren sebagai milik dan bagian dari masyarakat tidak dapat melepaskan diri

dari kehidupan sosial dan komuinitas kemasyarakatan lainnya.3

Hal tersebut juga berlaku pada sejarah berdiri dan keberlangsunganya

pondok pesantren Nahdjussalam yang tidak terlepas dari peran masyarakat.

Menurut masyarakat sekitar, sebelum berdirinya sebuah pesantren dahulunya

kampung tersebut merupakan perkampungan arena judi, seperti sabung ayam, adu

domba, dan lain-lain. Tidak mudah pastinya mendirikan sebuah pesantren dengan

latar belakang seperti disebut. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang

mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil

‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau

donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang

adil (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail

fuqoro atau dukungan masyarakat umum.

Banyaknya pihak yang berkontribusi pada pendirian pesantren mejadikan

pesantren ini bersifat inklusif dengan masyarakat sekitar dan saling memberi

pengaruh satu sama lain.

Pondok pesantren Nahdjussalam, sudah satu abad lebih memberikan

pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di

masyarakat dengan mengacu kepada prinsip kesederhanaan, kebersamaan,

tradisional, religius, homogen, akhlak serta nilai-nilai luhur. Pondok pesantren

Nahdjussalam telah berhasil menjadikan masyarakat kampung Panyawungan                                                             

3 H.M Yacub., Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung : Angkasa, 1985). 

Page 22: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

3  

menjadi masyarakat yang agamis, hal itu diketahui tidak hanya oleh masyarakat

sekitar saja, masyarakat luar daerah pun banyak mengetahui hal itu karena luasnya

jejaring pesantren tersebut.

Pengaruh pondok pesantren yang masuk kedalam sendi-sendi norma,

budaya, dan sistem kemasyarakatan di kampung Panyawungan juga membawa

pengaruh besar pada budaya politik masyarakat. Masyarakat kampung

Panyawungan mempunyai tipe tatanan otoritas kharismatis yang menjadikan kyai

serta pesantren sebagai legitimasi gagasan-gagasan, aturan-aturan, dan nilai-nilai

yang berlaku di masyarakat.

Namun, kini pesantren Nahdjussalam mendapatkan tantangan dalam

membina masyarakatnya serta eksistensinya di masyarakat seiring dengan

gempuran arus industrialisasi. Industrialisasi yang merebak di kawasan lingkar

Panyawungan tidak pelak lagi membawa dampak positif yang sangat signifikan,

seperti terbukanya lowongan pekerjaan, kemajuan perekonomian, percepatan

pembangunan, dan lain-lain.

Namun industrialisasi yang berada di kawasan lingkar Panyawungan juga

membawa sisi negatif yang berimbas pada kehidupan masyarakat, seperti

urbanisasi yang tidak terkontrol, pencemaran lingkungan oleh limbah industri, dan

lain-lain.

Urbanisasi yang tidak terkontrol membawa pengaruh besar terhadap

sistem norma yang dianut oleh masyarakat sekitar, hal itu jelas tidak terbantahkan

karena proses persentuhan antara budaya pendatang dan budaya lokal yang sangat

cepat sehingga membawa perubahan dan memunculkan budaya baru dalam

Page 23: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

4  

masyarakat. Selain itu perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industrialis

juga berimbas pada perubahan sistem kemasyarakatan yang bersandarkankan pada

orientasi materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional,

heterogen, dan pemuasan kebutuhan.

Dalam masyarakat modern tentu tipe tatanan otoritas pun berbeda dengan

masyarakat tradisional. Dalam masyarakat modern bentuk tatanan otoritasnya

adalah otoritas rasional atau legal berdasarkan pada sebuah kepercayaan atau

“legalitas”. Aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan

aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu dengan dasar kompetisi.

Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-

individu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai

penjaga-penjaga sebuah tradisi.4

Dari permasalahan tersebut penelitian ini menjadi penting karena

memungkinkan banyaknya permasalahan yang unik. Misalnya, sebagai apakah

pesantren dalam memposisikan dirinya pada perubahan yang didorong oleh

industrialisasi? Apakah ia memposisikan dirinya sebagai makelar budaya (cultural

broker) yang didefinisikan oleh Greetz yang menurutnya, kyai berperan sebagai

alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungannya, menularkan apa

yang menurutnya berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi

mereka. Atau justru pesantren memposisikan dirinya seperti temuan Hiroko

Hirokoshi, menurutnya, kyai berperan kreatif terhadap perubahan sosial. Bukan

karena sang kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan

                                                            4 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman, (Jakarta: Kanisius, 1994),

h. 213 

Page 24: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

5  

justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan

melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan

yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.5

Meskipun hal itu tersentral pada seseorang, namun menurut penulis hal itu

cukup relevan untuk dijadikan perbandingan mengingat otoritas kyai dalam

sebuah pesantren hampir mutlak. Namun kebijakan seorang kyai juga tidak

terlepas dari situsi dan kondisi internal yang melingkupi institusi yang

dipimpinya, seperti aturan tertulis (tanbih), struktur kepengurusan, rentang

generasi keluarga, dan lain-lain. Maka dengan alasan itu penulis lebih tertarik

untuk meneliti keseluruhan institusi pesantren.

Selain kemungkinan permasalahan di atas, penelitian ini juga menjadi

penting untuk melihat bentuk baru dari budaya politik masyarakat kampung

Panyawungan yang dipengaruhi oleh budaya industrialisasi dan budaya

tradisional. Pengaruh mana yang lebih dominan dan apakah bentuk baru tersebut

membawa kemajuan atau kemunduran berdasarkan konsep masyarakat madani.

B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

Mengingat luasnya dampak perubahan yang di bawa oleh industrialisasi,

sesuai dengan judul penulis hanya membatasi penelitian ini pada budaya politik

masyrakat Panyawungan yang didasarkan pada perubahan orientasi makna, nilai

dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan6.

                                                            5 Abdurahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial ?,” dalam Hiroko

Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h. XVii 6 Mary Grisez Kweit, Konsep dan Metode Analisa Politik Penerjemah Ratnawati, (Jakarta;

Bina Aksara, 1986). 

Page 25: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

6  

Kajian budaya politik sama sekali berbeda dengan politik praktis. Dalam

kajian budaya poltik ditelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk,

operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ia

berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan koersi dalam

proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak

menopangnya, dan seterusnya.7

Sedangkan untuk perumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik

masyarakat kampung Panyawungan ?

2. Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi oleh pesantren

(tradisional) dan industri (modern); dilihat dari aspek doktrin (isi atau

materi) dan dari aspek generik (bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya

politik, seperti militan, utopis, terbuka atau tertutup) ?

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

C.1. Tujuan

1. Untuk mengetahui perubahan pandangan politik yang ada di

masyarakat kampung Panyawungan.

2. Untuk mengetahui eksistensi pengaruh pondok pesantren dalam

perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri.

                                                            7 Amalinda Safirani, Dari Negara Ke Coca-Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu

Politik di Indonesia, Newsletter KUNCI No. 3, November 1999 

Page 26: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

7  

3. Sebagai bakti anak daerah dalam mengenal fenomena daerahnya serta

menyumbangkan data eksistensi pesantren di kampung Panyawungan

kepada pengguna dan pihak terkait, dalam hal ini pemerintah, pihak

industri, maupun masyarakat umum untuk menjadikan pesantren

sebagai mitra dalam program pembangunan dan pembrdayaan yang

memberikan kontribusi besar pada masyarakat.

C.2. Kegunaan

1. Hasil penelitian ini bermanfaat dalam rangka menghimpun dan

memperluas informasi tentang eksistensi dan dinamika pesantren

yang tetap memberikan warna dalam ranah kehidupan.

2. Hasil penelitian ini juga bermanfaat terutama bagi kalangan pesantren

dalam menyikapi diri lebih terbuka pada perubahan dan menyiapkan

diri agar tetap menjadi simpul jaringan bagi kebutuhan dan

pemberdayaan masyarakat.

3. Menjadi kajian pustaka bagi penelitian lainnya mengenai etos

pesantren.

4. Mengembangkan penelitian bagi sarjana strata satu. Dan memberikan

sumbangsi pada kajian pranata sosial, budaya politik dan komunikasi

antar budaya.

Page 27: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

8  

D. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian sosial keagamaan dengan

menggunakan pendekatan sosio - historis. Adapun metode yang digunakan adalah

deskriptif kualitatif. Deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok

manusia, suatu obyek, suatu setting kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu

kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode penelitian ini untuk

membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselididki

(M. Nazir, 1988 : 63).

Sedangkan teknik pengumpulan dan analisa data dilakukan dengan cara;

pengamatan dan wawancara untuk mendapatkan data primer. Pertama, Observasi

(pengamatan). Pengamatan dilakukan untuk melihat fenomena dan gejala sosial

yang terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya di lingkungan

pesantren, yang meliputi kyai, santri dan di lingkungan masyarakat sekitar.

Adapun waktu pegamatan sebenarnya telah terjadi begitu lama yaitu semenjak

pemulis tinggal di lingkungan pesantren semasa sekolah SMA dan belajar mengaji

di pesantren yang bersangkutan. Kedua, wawancara terencana-terbuka yang

bertujuan untuk mengumpulkan keterangan yang lebih lengkap untuk

menyempurnakan hasil pengamatan. Adapun sasarannya adalah kyai dan keluarga

pesantren sebagai sumber untuk mendapatkan data primer.

Dalam perjalananya, hasil wawancara yang cukup signifikan untuk dimuat

dalam skripsi ini hanya dari orang-orang tertentu seperti sesepuh pondok yaitu

KH. Athoillah, dan Ustadz Tb. Bibin Sarbini. Selain itu, data signifikan juga

Page 28: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

9  

banyak diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat seperti bapak Iin Zaenal Muttaqin

selaku Ketua RW, dan bapak Iwan Miftahul Fallah selaku Mantan Kepala Desa

Cileunyi Wetan.

Wawancara dengan pelaku industri dijadikan sebagai data sekunder

(pendukung) yang bisa digunakan untuk menjadi data pendukung dan pelengkap.

Selain itu, data sekunder juga didapat dari Panitia Hari Besar Islam (PHBI)

kampung Panyawungan, Karang Taruna, dan lembaga pemerintah setempat,

seperti desa dan kecamatan.

E. TINJAUAN PUSTAKA

Penulis melakukan tinjauan pustaka dengan maksud memeriksa apakah

fokus penelitian yang akan dikaji telah ada orang terdahulu yang melakukannya.

Dari hasil pencarian, penulis tidak menemukan fokus yang sama persis dengan

fokus penelitian yang akan dikaji. Namun ada penelitian yang ditemukan sedikit

mirip dengan fokus penulis.

Aim Salim dari jurusan Penyiaran dan Penerangan Agama IAIN Sunan

Gunung Djati (sekarang UIN) dalam penelitiannya “Relasi Antara Umara dan

Ulama Di Desa Sukasari Kec. Tanjung Sari Kab. Sumedang (2001)” menemukan

pengaruh seorang kyai yang sangat dominan dalam penentuan seorang kepala

desa. Seorang calon kandidat kepala desa tidak akan diangkat sebelum

mendapatkan izin dan restu dari kyai. Dalam kesimpulan penelitiannya kyai juga

berperan penting dalam pembuatan kebijakan-kebijakan daerah tersebut, dan

seperti menjadi dewan penasihat dalam lembaga-lembaga resmi dengan legitimasi

total dari masyarakat.

Page 29: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

10  

Dra. Umdatul Hasanah dalam penelitian yang berjudul “Eksistensi dan

Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri

Cilegon (2008)”, menemukan bahwa pondok pesantren memberikan sumbangsih

yang besar terhadap pembangunan masyarakat Cilegon. Namun sumbangsi yang

diberikan pesantren dalam penelitiannya hanya menyentuh aspek-aspek religius

masyarakat dan seolah pesantren tidak mempunyai andil dalam pembangunan

yang sifatnya real. Namun menurut penulis hal itu wajar saja karena setiap

pesantren mempunyai corak tersendiri yang dipengaruhi oleh berbagai faktor

seperti, sejarah, lingkungan, dan psikologi pesantren dan masyarakatnya.

Penelitian tentang pesantren telah banyak dilakukan oleh para ahli,

Clifford Gerertz misalnya telah memasukan kelompok pesantren (santri) menjadi

salah satu kelas masyarakat, di samping priyayi dan abangan pada masyarakat

Jawa. Tentu saja dengan setting masyarakat pesantren pada awal dasawarsa 1950-

an, sudah lebih dari 30 tahun penelitian itu berlalu, tentu potret masa itu tidak bisa

disamakan dengan potret pesantren masa kini. Pesantren bukan lagi lembaga yang

tertutup, esoteris dan ekslusif. Bahkan Zamkhsari Dhofier dalam pengamatannya

terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional, ia

menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu pondok, masjid,

pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.8

                                                            8 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES),

1985, h. 5  

Page 30: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

11  

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Demi mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat

sistematika penulisan berdasarkan kesamaan dan kesesuaian yang ada di dalam

skripsi ini. Skripsi ini terdiri dari lima BAB.

BAB I. Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah,

batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

metodelogi penelitian yang berisi penjelasan metode yang akan

digunakan dalam penelitian, kajian pustaka, serta sistematika

penulisan.

BAB II. Kajian teori yang menjabarkan pengertian pesantren, pengertian

industrialisasi, hubungan agama dan politik, pengetian budaya

politik, serta kerangka konseptual yang dijadikan pedoman

dalam penulisan skripsi ini.

BAB III. Gambaran umum mengenai Pondok Pesantren Nahdjussalam dan

kampung Panyawungan yang mencakup lokasi dan demografi.

BAB IV. Temuan data lapangan yang berkaitan dengan perubahan budaya

politik masyarakat kampung Panyawungan.

BAB V. penutup yang mengemukakan hasil kesimpulan dari penelitian

dan rekomendasi-rekomendasi baik bagi penelitian maupun

tindakan.

Page 31: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

12  

BAB II

KERANGKA TEORI

A. PENGERTIAN DAN SEJARAH PESANTREN

A.1. Sejarah Pesantren

Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru

mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India

“shastri” dari akar kata “shastra” yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku

agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Di luar pulau Jawa

lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti “surau” di Sumatra

Barat, “dayah” di Aceh, dan “pondok” di beberapa daerah lain.1

Menurut Nurcholis Madjid, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai

acuan untuk melihat asal-usul perkataan santri. Pertama adalah pendapat yang

menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa sansakerta yaitu kata “sastri”

yang artinya melek huruf. Dapat dikatan bahwa kaum santri adalah kaum yang

melek huruf, oleh karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab.

Atau paling tidak seorang santri dapat membaca al-Qur’an. Pendapat kedua

menyatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik”, artinya

seorang yang menngabdi kepada guru. Cantrik selalu berada di mana gurunya

tinggal, dengan tujuan dapat belajar darinya tentang suatu keahlian. Pola

hubungan guru-cantrik melalui proses evolusi berubah menjadi guru-santri. Kata

guru diganti dengan kata kyai dengan tujuan lebih mengkeramatkan,

                                                            1 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve), 2003, Jilid 4 

Page 32: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

13  

mensakralkan, dan memberi kharisma. Pada perkembangan selanjutnya di kenal

dengan kyai-santri.2

Sedangkan tentang asal-usul dan munculnya pesantren di Indonesia

terdapat beberapa versi. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren

berasal dari tradisi islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki

kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Sebab

Rasulullah sebelum melakukan dakwah secara terang-terangan, beliau membentuk

kelompok pelopor yang melakukan pertemuan-pertemuan di kediaman al-Arqam

Ibn Abi al-Arqam. Barangkali tempat perteuam pertama untuk bermusyawarah

mengenai masalah-masalah agama dalam Islam. Kediaman al-Arqam ini

kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan ribath dan halaqah-

halaqah yang selanjutnya melembaga dalam tradisi tasawuf.

Pendapat pertama ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di

Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang

melaksanakan amalan amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini

disebut kiyai yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk

selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama

anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah

bimbingan kiyai.

Untuk keperluan suluk ini kiyai menyediakan ruangan-ruangan khusus

untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di sekitar masjid. Di

samping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan

                                                            2 Nurcholish Madjid, , Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta :

Paramadina) 1997, hal 19 - 20  

Page 33: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

14  

kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengretahuan agama Islam.

Aktifitas yang dilakukan oleh para pengikut tarekat ini kemudian dinamakan

pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan

berkembang menjadi lembaga pesantren.3

Kedua, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan

pengambil-alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di

Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum datangnya Islam ke

Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada

masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu

dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Tradisi penghormatan murid

kepada guru yang pola hubungan antar keduanya tidak didasarkan kepada hal-hal

yang sifatnya materi juga bersumber dari tradisi Hindu. Fakta lain yang

menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah tidak

ditemukannya lembaga pesantren di Negara-negara Islam lainnya. Sementara

lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan di dalam masyarakat

Hindu dan Budha seperti di India, Myanmar dan Thailand.4

Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang asal-muasal

pesantren, Wali Songo dipandang sebagai pemrakarsa berdirinya pesantren di

Indonesia, dalam menyebarkan Islam dan mendirikan Ribath dan Halaqah-halaqah

sebagai sarana pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Sebagaimana tersurat

dalam sejarah Indonesia, Wali Songo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam

                                                            3 Ensiklopedi Islam , Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT

Ichtiar Baru Van Hoeve) 2003, jilid 4 4 Ensiklopedi Islam , jilid 4 

Page 34: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

15  

yang berhasil merekrut murid untuk kemudian menjalankan dakwah di setiap

penjuru negeri.5

A.2. Tipelogi Dan Unsur-Unsur Pesantren

Dilihat dari tipelogi dan klasifikasi pesanteren, dalam peraturan yang

dikeluarkan oleh menteri agama nomor 3 tahun 1979, mengklasifikasikan pondok

pesantren sebagai berikut :

1. Pondok pesantren tipe A, yaitu di mana para santri belajar dan

bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan

pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau

sorogan);

2. Pondok pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pelajaran

secara klasikal dan pengajaran oleh kiyai bersifat aplikasi, diberikan

pada waktu-waktu tertentu, santri tinggal di asrama lingkungan pondok

pesantren;

3. Tipe C, yaitu pondok pesantren yang merupakan asrama, sedangkan

para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) kiyai

hanya mengawasi dan sebagai Pembina para santri tersebut;

4. Pondok pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok

pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.6

Dari sekian tipe pondok pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan

dan pengajaran bagi para santrinya secara garis besar seringkali diklasifikasikan

                                                            5 Drs. Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, (Jakarta : Dharma

Bhakti), 1979, hal. 19 - 21  6 H. Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, (Bandung : Humaniora), 2006, h. 43-44 

Page 35: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

16  

dalam dua tipelogi. Pertama, tipe salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan

pendidikan dan pengetahuan keislaman, al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya

yang merujuk pada kitab-kitab kalsik (kuning) dengan menggunakan cara-cara

sebagaimana awal pertumbuhannya. Kedua, Tipe Khalafiyah, yaitu pondok

pesantren di samping menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepesantrenan pada

umumnya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau

madrasah).

Sedangkan dilihat dari unsurnya, Zamkhsari Dhofier dalam

pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling

tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu

pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.7

Namun Saat ini pesantren dari sisi kelembagaan telah mengalami

perkembangan dari yang sederhana sampai yang paling maju, sebagaimana yang

dikemukakan Soedjoko Prasojo et al, ia menyebut setidaknya adanya lima macam

pola pesantren. Pola 1 ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid dan rumah

kiyai. Pola 2 terdiri atas masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola 3 terdiri atas

masjid, rumah kiyai, pondok dan madrasah. Pola 4 terdiri atas masjid. Rumah

kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola 5 terdiri atas masjid,

rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, gedung pertemuan, sarana

olah raga, dan sekolah umum. Pesantren yang terakhir inilah yang sering disebut

“pesantren moderen”, yang di samping itu juga memiliki fasilitas-fasilitas

penunjang lainya.

                                                            7 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta

: LP3ES), 1985, hal. 5  

Page 36: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

17  

A.3. Sistem Nilai Pesantren

Sistem nilai yang digunakan oleh kalangan pesantren adalah yang berakar

dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dari agama dipakai oleh

mereka. Kalangan pesantren sendiri menamakan sistem nilai yang dipakainya itu

dengan ungkapan “Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah”.8

Menurut Nurcholish Madjid, Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah sendiri

mengacu terutama pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu

ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab Sunni, sebagaimana dirumuskan oleh

Abu Hassan al- Asy’ari, dan kemudian banyak dipopulerkan melalui karya-kaarya

Imam Ghazali. Mempelajari dan menghafal rumusan tentang dua puluh sifat

Tuhan adalah salah satu inti dari teologi Asy’ari yang diamalkan oleh para santri.

Dalam hal fiqh, kaum santri mengikuti dan mewajibkan mengikuti salah-

satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzha fiqh, yaitu Maliki, Syafi’i,

Hanafi, dan Hambali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam

Syafi’i. Taqlid adalah ciri utama dari madzhab ini dan beroposisi dengan faham

yang menganjurkan ijtihad.9

Dalam hal fiqh ini sikap-sikap kaum santri (terutama yang pesantrenya di

desa-desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u ‘l-Najah, sedangkan dalam hal

keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u ‘l-Tawfiq.10

Persoalan lain yang membedakan kaum santri dan kaum lainya ialah hal

yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa atau lokal. Kaum santri

                                                            8 Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:

Paramadina), 1997, hal. 31 9 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, hal. 33 10 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, h. 33 

Page 37: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

18  

menolak banyak sekali unsur-unsur adat lokal, tetapi mempertahankan sebagian

lain dan kemudian diberi warna Islam. Salah satu adat yang masih dipertahankan

kaum santri adalah sekitar selamatan. Yang dimaksud selamatan di sini adalah

mendoakan orang yang telah meninggal dan bisaanya diakhiri oleh jamuan

makan-makan oleh keluarga berkabung baik pada saat meninggalnya maupun

setelahnya seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari,

dan haul. Dalam ritual itu bisaanya dibacakan tahlil, suatu ritus dalam bahasa

Arab yang intinya membaca kalimat “La ilah-a illa ‘l-Lah”, dengan maksud

berdoa untuk kebahagian orang yang telah meninggal.

Dalam hal kesenian, sejalan dengan kearaban yang ada dalam kitab-kitab

yang dipelajari, maka kaum santri juga menerima dengan antusias berbagai

kesenian yang berbau Arab. Yang paling umum mereka tampilkan adalah qasidah-

qasidah mengenai kehidupan Nabi seperti karangan Diba’i dan Barzanji.

Segi lain yang membedakan kaum santri dengan kaum lainya adalah

dalam hal berpakaian. Songkok atau tutup kepala secara umum dianggap sebagai

pakaian kaum santri. Sarung juga merupakan pakaian yang dianggap sebagi

simbol kaum santri sehingga tidak jarang kaum santri disebut sebagai “kaum

sarungan”. 11

B. PENGERTIAN INDUSTRIALISASI

B.1. Pengertian Industrialisasi

Menurut Henry Fratt sebagimana dikutip oleh Nurcholish Madjid,

industrialisasi didefinisikan sebagai proses perkembangan teknologi oleh                                                             

11 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina), h. 37 

Page 38: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

19  

penggunaan ilmu pengetahuan terapan. Ditandai dengan ekspansi besar-besaran

dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasaran yang luas dari

barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang

terspesialisasikan dengan pembagian kerja, seluruhnya disertai oleh urbanisasi

yang meningkat.12

Tekanan yang akan digambarkan sebagai acuan untuk penelitian ini adalah

industri yang mempunyai tekanan pada proses perubahan sosial, yaitu perubahan

susunan kemasyarakatan dari suatu sistem pra-industrial (agraris, misalnya) ke

sistem sosial industrial. Masyarakat industrial menuntut dan melahirkan nilai-

nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan. Dikehendaki atau tidak

industrialisasi pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal oleh

masyarakat non-industrial. Jock Young menyimpulkan tujuh nilai formal yang

mendasari masyarakat industrial.

1) Kesenangan yang tertunda;

2) Perencanaan kerja atau tindakan masa mendatang;

3) Tunduk terhadap aturan-aturan birokratis;

4) Kepastian, pengawasan yang banyak terhadap kedetailan, dan

sedikit terhadap pengarahan;

5) Rutin dan dapat diramalkan;

6) Sikap instrumental terhadap kerja, dan

7) Kerja keras yang produktif dinilai sebagai kebaikan.13

                                                            12Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan), 1987,

hal. 140  13 Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, h. 128 

Page 39: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

20  

Nilai-nilai di atas adalah adalah nilai yang berlaku pada waktu kerja yang

diakui sah oleh masyarakat dan setiap orang diharuskan bertindakdengan

mengikuti ketentuan-ketentuannya. Namun nilai-nilai tersebut menjadikan

manusia menjadi layaknya mesin atau dehumanisasi. Dan dehumanisasi adalah

penderitaan sekalipun sifatnya immaterial. Maka dalam masyarakat industrial selu

ada kecenderungan untuk dapat bebas dari kondisi tersebut. Penyaluran keinginan

tersebut secara resmi seperti hari libur, cuti, atau waktu senggang.

Jadi ada dua nilai yang dianut oleh seseorang dalam masyarakat industrial,

yang resmi selama waktu kerja dan tidak resmi selama waktu senggang. Dapat

pula dikatakan norma-norma resmi adalah publik life dan nilai-nilai waktu

senggang adalah norma dalam private life. Atau ringkasnya, orang taat kepada

aturan publik life untuk dapat menikmati nilai-nilai private life. Adapun perubahan

nilai-nilai waktu senggang kepada nilai-nilai waktu kerja digambarkan secara

sederhana oleh Herbert Marcuse sebagai berikut:

dari (nilai waktu senggang) Ke (nilai waktu kerja)

kepuasan yang segera di dapat

kenikmatan

kesenangan

sikap reseptif

tidak ada tekanan

Kepuasan yang tertunda

Pengekangan kenikmatan

Garapan atau kerja

Sikap produktif

Ketertiban dan keamanan

B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat

Industri dalam arti luas, industri yang berkaitan dengan teknologi,

ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pengaruh yang

diberikan tersebut dapat berupa nilai-nilai dan pengaruh fisik terhadap

Page 40: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

21  

masyarakat. Berbicara industri adalah berbicara masalah proses mekanisasi yang

berdampak pada skala luas produksi besar-besaran, spesialisasi dan pembagian

kerja dengan merambah berbagai bidang seperti pertanian, energi, komunikasi,

transportasi, dan lain-lain.

Menyertai perubahan di bidang ekonomi terjadi pula perubahan yang

komplek dalam kelompok sosial dan proses sosial. Pada tahap proses

indusstrialisasi bisaanya bergandengan dengan urbanisasi dan peningkatan

mobilitas penduduk. Terdapat pula perubahan yang penting dalam adat kebisaaan

dan moral masyarakat yang mempengaruhi penggolongan primer maupun

sekunder, dimana penggolongan sekunder memainkan peranan yang sangat

besar.yang sangat menonjol adalah pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh

status pekerjaan, keahlian-keahlian para pekerja, terhadap kehidupan keluarga dan

kedudukan wanita, terhadap tradisi-tradisi dan terhadap konsumsi barang.14

Industri member input terhadap masyarakat sehingga membentuk sikap

dan tingkahlaku yang tercermin dalam sikap bekerja. Weber mengatakan bahwa

dengan adanya teknologi baru, diperlukan suatu nilai yang akan mengembangkan

masyarakat menjadi masyarakat kapitalis tradisional; demikian juga jika hendak

membangun masyarakat kapitalis modern diperlukan nilai-nilai tertenu.

Masyarakat pada umumnya harus menerima posisi mereka baik dalam struktur

industri maupun struktur sosial yang lebih luas lagi. Karena tingkat produksi

tergantung pada tingkat konsumsi , masyarakat harus dibujuk untuk membeli

berbagai jenis barang dan jasa yang diproduksi oleh pihak industri.15 Mereka

                                                            14 Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, hal. 140 15 S.R Parker, dkk., The Socilogy Of Industri Penerjemah G. Kartasapoetra (ttp : Bina

Aksara, 1985),) hal. 93 

Page 41: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

22  

memiliki fungsi untuk memproduksi berbagai jenis barang dan jasa sekaligus

meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa hasil produksi. Usaha dalam

meningkatkan produksi dan konsumsi melibatkan nilai-nilai dalam tingkat

“masyarakat makro”. Jika ada perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, walaupun

hal itu bersifat lokal ia akan melahirkan perubahan dalam industri. Seperti contoh

di kampung Panyawungan, dengan merebaknya industri textile di kampung

tersebut, biaya hidup di kampung tersbut menjadi sangat tinggi, dan hal itu

menyebabkan permintaan kenaikan gaji oleh buruh atau penambahan jam kerja

sebagai alternatif.

Selain itu industri juga memiliki dampak pada perubahan fisik dalam

masyarakat. Akibat yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya industri bisa

dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini seperti terjadi di wilayah kampung

Panyawungan Kedatangan industri menjadikan kampung ini bukan lagi kampung

yang hanya mengantungkan hidupnya dari bertani yang sifatnya subtantif tapi

telah berevolusi menjadi masyarakat yang mempunyai banyak wilayah lapangan

kerja, seperti menjadi buruh industri, penyedia jasa bagi pihak industri maupun

buruh industri, dan lain-lain. Industri juga telah menjadikan harga tanah di

wilayah ini menjadi sangat mahal. Kampung Panyawungan juga menjadi

kampung sebagai penampung tenga kerja yang jumlahnya sangat fantastis, maka

tidak heran apabila interaksi dengan berbagai macam budaya yang berbeda

menjadikan masyarakat kampung Panyawungan kini tidak lagi bisa disamakan

dengan keadaan masyarakat 30 tahun yang lalu.

Page 42: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

23  

B.3. Industri mempengaruhi Politik

Salah satu persoalan kekuasaan yang sangat relevan untuk masyarakat

modern adalah hubungan antara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

dengan kekuasaan politis. Di dalam sebuah masyarakat yang menjadi modern,

perkembangan ilmu pengetahuan, teknolgi dan juga industri tidak terjadi dalam

lingkungan yang terbatas melainkan meluas kedalam kehidupan yang luas.

Merujuk pada pemikiran Habermas, dalam tanggapan kritisnya terhadap

Aldous Huxley, Habermas setuju bahwa hubungan antara dunia ilmu

pengaetahuan dan dunia kehidupan sosial itu terdapat dalam identitas ilmu

pengetahuan dengan kekuasaan, tetapi Habermas berpendapat bahwa hubungan

kedua dunia itu tidak langsung. Kita tidak dapat begitu saja mempengaruhi dunia

kehidupan sosial dengan membawa hipotesa-hipotesa atau teori-teori ilmiah. Hal

itu karena perbedaan kedua dunia tersebut. Dunia ilmu pengetahuan adalah

sturuktur-struktur hasil rekontruksi yang halus, dunia yang serba teratur dan dapat

di kuantifikasi, dunia yang terbuka bagi pengalaman yang dapat di uji secara

intersubjektif. Sedangkan dunia pengalaman sehari-hari atau disebut “dunia

kehidupan sosial” adalah dunia pengalaman pribadi, dunia tempat manusia lahir,

hidup, mati, dunia tempat mausia mencintai, membenci, kalah, menang, harapan

dan putus asa. Dunia ilmu pengetahuan itu dingin, tenang penuh abstraksi-

abttraksi halus, padat dengan klaim-klaim universal. Sedangkan dunia kehidupan

sosial itu bergoalak, konkrit, padat dengan pengalaman-pengalaman unik.16

                                                            16 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan

Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123  

Page 43: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

24  

Untuk menyatukan kedua kehidupan berbeda tersebut, menurut Habermas

dibutuhkan sebuah medium, yaitu penrapan teknisnya (teknologi). Ketika

pengetahuan ilmiah menjadi pengetahuan teknolgis, menurut Habermas, sifat

kekuasaan dari ilmu pengetahuan menjadi efektif dalam dunia kehidupan. Dalam

hal ini informasi-imformasi ilmiah ini dipakai untuk memperluas control teknis

kita. Jadi pengetahuan tentang fisika atom, misalnya, tanpa penerapanya menjadi

teknologi atom, tidak memiliki konsekwensi bagi penafsiran atas dunia kehidupan

kita.

Dalam masyarakat industri dewasa ini pengetahuan teknis yang dihasilkan

lewat penerapan ilmu pengetahuan menjadi teknologi telah merasuki apa yang

disebut Habermas sebagai “kesadaran praktis” kita. Yang diacu oleh istilah ini

adalah adalah kesadaran yang muncul melalui interaksi intersubjektif dalam

masyarakat, seperti: nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, tafsiran kultural, dan

seterusnya.

Pengetahuan teknis bukan lagi soal teknik-teknik pertukangan tradisional,

melainkan sudah memperoleh bentuk informasi ilmiah yang dapat dipakai untuk

teknologi. Habermas melihat bahwa dalam kemajuan teknis macam ini, tradisi-

tradisi kebudayaan yang semula mengontrol tingkah laku sosial tidak lagi bisa

begitu saja mendifinisikan pemahaman-diri masyarakat modern.17

Seperti dikatakan di atas, bahwa industri erat kaitanya dengan ekonomi,

dan seiring kemajuannya juga tidak lepas dari proses sosial. Berbeda dengan

Habermas yang menilik kontelasi antara industri dan politik dari sisi ilmu terapan,

                                                            17 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan

Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123 

Page 44: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

25  

Kuntowijoyo melihat konstelasi antara industri dengan politik dengan

menggunakan analisa ekonomi politik. Dalam bukunya “Paradigma Islam:

interpretasi untuk aksi (2001)”, Kuntowijoyo menggambarkan tentang kuatnya

modal swasta timur asing (khususnya Cina) dalam proses industrialisasi kontek

Indonesia sangat menonjol. Bahkan sebagian dari usaha mereka dapat menyaingi

usaha pemerintah. Akibatnya kaum menengah pribumi tergeser posisinya dalam

usaha yang membutuhkan modal besar dan organisasi besar. Organisasi Sarekat

Islam adalah organisasi yang berorientasi ekonomi politik dan mencoba melawan

dominasi swasta asing.

Pasca 1965, pembangunan industri pada khususnya dan ekonomi pada

umumnya, masih juga ditangani oleh pemerintah bersama modal swasta. Namun

terdapat pendatang baru yang memasuki sektor usaha padat modal ini dari

kalangan birokrat dan militer. Tentu saja hal itu disambut baik oleh pihak swasta

dengan harapan mendapatkan jaminan keamanan dari kekuatan sosial macam PKI

atau radikalisme Islam.18 Sebaliknya, pihak pemerintah membutuhkan dana untuk

melakukan kegiatan politik-politiknya yang didukung oleh pihak pemilik modal.

Singkatnya kancah maupun perjalanan politik bangsa kita juga tidak bisa lepas

dari pengaruh industri.

Pandangan Habermas dan Kuntowijoyo di atas, sengaja penulis

kemukakan karena menurut penulis hal ini cukup relevan dengan permasalahan

yang akan diteliti oleh penulis. Industri sebagai konsekuensi kemajuan dari

terapan ilmiah dan industri juga berkaitan langsung dengan hukum ekonomi,

                                                            18 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan), 1991,

hal. 176 

Page 45: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

26  

dengan sendirinya akan membentuk kesadaran interaksi intersubjektif dalam

masyarakat. Masyarakat baik segi-segi nilai maupun fisik, dalam segi nilai,

industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis,

hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita

ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi

nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen,

akhlak dan nilai-nilai luhur.19 Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika,

pemahaman-diri, dan tafsiran cultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari

interaksi intersubjektif dalam masyarakat.

C. AGAMA DAN POLITIK

Agama sebagai pengatur hubungan antar manusia dan juga hubungannya

dengan Tuhan, pada dasarnya sudah berbekas pada individu, bagaimanapun dalam

masyarakat yang sudah mapan atau belum, agama merupakan salah satu struktur

institusional mempunyai nilai dan norma penting ang melengkapi keseluruhan

sistem sosial.

Agama yang menyangkut kepercayaan beserta ritual-ritualnya yang

menjadi pengalaman dalam masyarakat sehingga menimbulkan pengalaman

tersendiri

Penelaahaan terhadap agama merupakan hal yang mesti dilakukan, karena

pemahaman bagi pemeluknya sangat beragam dan bermacam-macam, menurut

Abdullah, sebagaimana dikutip oleh Imam dan Tobroni, agama merupakan

landasan terbentuknya suatu masyarakat yang kognitif. Artinya, agama

                                                            19 Ibid, h.2 

Page 46: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

27  

merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang

diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama yang memungkinkan

berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama.20 untuk itu dapat dikatakan

bahwa pada umumnya orang percaya pada agama yang bersifat holistik sebagai

alat untuk mencerna kehidupan. Bahwa agama memberi panduan, nilai, moral,

dan etika perilaku dalam bentuknya yang universal.

Apa yang diungkapakan dalam definsi prilaku, bahwasanya perilaku

tidaklah akan tetap, dan pada suatu saat dapat mengalami pergerakan atau

perubahan akan terlihat seiring dengan sosio-kulturalnya dan perkembangan

seseorang tersebut.

Ada beerapa unsur pokok tujuan politik untuk mendapatkan kekuasaan

yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antar manusia ataupun antara kelompok

yaitu adanya unsur takut. adanya unsur rasa cinta, adanya unsur pemujaan dan

adanya unsur kepercayaan.21

Jadi prilaku politik adalah tingkah laku terorganisir dalam upaya mencapai

tujuan politik dengan unsur-unsur yang sistematis, bagi David Easton, perilaku

politik pertama terdri dari alokasi nilai-nilai yang kemudian pengapikasianya

tersebut bersifat mengikat terhadap masarakat secara keseluruhan.

Identifikasi prilaku politik yang menyangkut proses penentuan tujuan-

tujuan adalah sebagai berikut:

                                                            20 Imam Suprayogo dan Tobroni, metodologi penelitian sosial Agama, (bandung: PT.

Remaja Rosda Karya), h. 16 21 Uswah, “Agama dan Politik : Studi Kasus Pada Dewan Pimpinan Pusat (Dpp)Partai

Amanat Nasioanl”, ( Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Jakarta , 2007), h. 30 

Page 47: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

28  

1. Pengambilan keputusan;

2. Skala prioritas dalam menentukan kebijakan-kebijakan umum; dan

3. Pengaturan dan pembagian sumber alokasi yang ada.

Dari ketiga tipe di atas untuk melaksanakanya memerlukan kekuasaan

(power) dan kewenagnan (authority), untuk membina kerjasama maupun untuk

melaksanakan konflik yang mungkin dalam proses itu akan terjadi. Banyak cara

yang dilakukan seseorang dalam menyampaikan tujuannya seperti persuasi dan

paksaan.

Bagaimanapun agama selalu membayang-bayangi proses kehidupan

seseorang. Namun yang menjadi sorotan penting adalah gejala-gejala yang timbul

dalam penguasaan sekelompok orang yang berkuasa terhadap berbagai kelompok

rakyat banyak yang dipandang sebagai usaha penataan umat.

D. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK

D.1 Pengertian Umum Budaya Politik

Ada banyak ahli politik yang mengkaji tema budaya politik, sehingga

terdapat banyak konsep tentang budaya politik salah satu sarjana yang

berpengaruh dan banyak memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan

budaya politik adalah Gabriel A. Almond. Dalam karyanya yang ditulis bersama

Sidney Verba berjudul The Civic Culture, Ia menyatakan, Istilah budaya politik

terutama mnegacu pada orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan bagian-

bagianya yang lain serta sikap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Adpun

beberapa ahli lain menyatakan sebagai berikut:

Page 48: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

29  

1. Kay Lawson (1989) menyatakan: a political culture, that is, there is a set

of overtly political values, which defines the situation in which political

action takes place (suatu budaya politik, yaitu terdapatnya satu perangkat

yang meliputi seluruh nilai-nilai politik, yang terdapat di seluruh bangsa).

2. Sidney Verba (1995) menyatakan: political culture is the sistem of

empirical beliefs, eksvressive simbol, and values, which define the

situation in political action takes place (budaya politik adalah suatu sistem

kepercayaan empirik, simbol-simbol eskpresif, dan nilai-nilai yang

menegaskan suatu situasi di mana tindakan politik dilakukan).

3. Alan R. Ball (1971) menyatakan: a political culture is composed of the

attitudes, beliefs, emotions and values society that relate to the political

sistem and to political issus (budaya politik adalah suatu susunan yang

terdiri atas sikap, kepercayaan, emosi, dan nilai-nilai masyarakat yang

berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik).22

Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan

cirri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik masalah legitimasi, pengaturan

kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai

politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang

memerintah. Kegiatan politik juga saling memasuki dan mempengaruhi dengan

dunia keagamaan, kegiatan ekonmi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara

luas.

                                                            22 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17

Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php 

Page 49: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

30  

Gabriel A. Almond berpendapat bahwa budaya politik merupakan dimensi

psikologi dari sistem politik, yang mana budaya politik besumber pada penalaran-

penalaran yang sadar. Konsep budaya politik terdiri atas sikap, keyakinan, nilai-

nilai dan keterampilan yang sedang berlaku pada seluruh anggota masyarakat

termasuk pada kebisaaan yang hidup pada masyarakat.

Yang telah dipaparkan di atas adalah konsep dari budaya politik

sedangkan untuk definisinya adalah sebagai berikut:

1. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas

pengetahuan, adat-istiadat, takhayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan

diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut

memberikan rasional untuk menerima atau menolak nilai-nilai dan norma

lain.

2. Budaya politik dapat diihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang

pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi,

dan nasionalisme. Yang kedua apek generik menganalisis bentuk, peranan,

dan ciri-ciri budaya politik, seperti militant, utopis, terbuka, dan tertutup.

3. Hakikat dari ciri budaya olitik adalah prinsip dasar yang melandasi suatu

pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.

4. Bentuk budaya politk menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka

dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam

pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong

inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo

Page 50: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

31  

atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau

politik).23

Berdasarkan dari definisi tersebut, maka dapat ditarik beberapa batasan

konseptual tentang budaya politik. Pertama, konsep budaya politik lebih

mengedepankan aspek-aspek nonperilaku actual seperti orientasi, sikap, nilai-

nilai, dan kepercayaan-kepercayaan. Kedua, hal-hal yang diorientasikan dalam

budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka

tidak akan lepas dari perbicaraan kaum politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam

sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-

komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Ketiga, budaya politik

merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen

budaya politik dalam tataran massif bukan pada tataran individu.

D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik

1. Berdasarkan Pola Otoritas

Gagasan mengenai norma-norma atau tatanan yang legitim mengenai

masyarakat, Weber membuat tiga garis besar untuk tiga tipe ideal tatanan atau

otoritas yang legitim. Pertama, Otoritas tradisional. Otoritas yang didasarkan pada

penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan tersebut telah lama ada

dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk memerintah

dengan aturan-aturan tersebut. Dalam tatanan tradisional individu merasakan

loyalitas terhadap masa lalu dan mereka yang mewakili masa lalu itu, sebuah

                                                            23Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17

Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php  

Page 51: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

32  

loyalitas yang asal-usulnya seringkali berasal dari sebuah kepercayaan akan

kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu.

Kedua, Otoritas kharismatis. Jenis tatanan ini dilegitimasikan dengan

kualitas-kualitas pribadi terkemuka dari individu-individu yang luar bisaa yang

kesuciannya, heroismenya atau keutamaannya memungkinkan mereka untuk

memerintah sejumlah besar orang dalam hubungan-hubungan langsung. Kharisma

dilukiskan sebagai kualitas-kualitas adimanusiawi yang seperti pada para nabi

atau para pahlawan militer yang memungkinkan mereka untuk memaksakan

gagasan-gagasan dan nilai-nilai mereka sendiri pada seluruh kelompok.

Ketiga, otoritas rasional atau legal. Otoritas jenis ini didasarkan pada

sebuah kepercayaan akan ‘legalitas’ aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa

mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu

menurut aturan-aturan yang masih lebih dulu lagi yang mendasari dia sehingga

memiliki hal untuk memerintah. Di dalam tatanan yang rasional memungkinkan

individu mengetahui aturan-aturan mana yang secara formal betul dan telah

dipaksakan dengan sebuah prosedur yang diterima. Sebuah tatanan impersonal

yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-individu yang menciptakan

aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga tradisi.

Distingsi-distingsi di atas dapat menjelaskan bahwa para penguasa dalam

batas-batas tatanan mereka jika ingin mereka tidak ingin kehilangan kekuatannya

untuk memerintah. Dalam otoritas tradisional misalnya, sang penguasa dituntut

untuk mengikuti praktik-praktik yang lazim, seperti para pemimpin tradisi Watu

Telu di Nusa Tenggara Timur yang melakukan puasa pada bulan tertentu; dalam

kasus otoritas kharismatis seorang pemimpin harus menunjukan

Page 52: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

33  

adimanusiawinya, seperti kaisar Cina akan dipecat apabila di daerahnya terjadi

banjir bandang yang akan mempermalukan dirinya; dalam otoritas legal pemimin

harus mematuhi hukum apabila ia ingin tetap berkuasa.24

2. Berdasarkan Orientasi

Setelah melihat pola otoritas dari seorang pemimpin, maka untuk

menggolongkan orientasi warga negara terhadap kehidupan politik dan

pemerintahanya berdasarkan dari sikap, nilai-nilai, informasi dan kecakapan

politik. Orang yang melibatkan dirinya dalam kegiatan politik setidaknya dalam

pemberian suara (voting) dan ketertarikan terhadap informasi politik dapat

dinamakan sebagai budaya politik partisipan, sedangkan orang yang pasif dan

hanya patuh terhadap pemerintah dengan ikut pemilu dinamakan politik subyek.

Golongan ketiga adalah golongan yang sama sekali tidak menyadari adanya

pemerintahan dan politik, disebut budaya politik parokhial. 25

Menurut Almond, terdapat tiga model dalam kebudayaan politik atau

model orientasi terhadap pemerintahan dan politik.

1) Masyarakat demokratis industrial.

Dalam sistem ini terdapat cukup banyak aktivis politik yang akan

menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi

suara yang besar selain itu juga terdapat banyak publik peminat politik

yang selalu mendiskusikan secara kritis moral-moral kemasyarakatan dan

                                                            24 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial Terjemah F. Budi Hardiman (Jakarta: Kanisius,

1994), hal. 213-214 25 Trubus Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan

Pendekatanya, (Jakarta: Trisakti, 2006), hal. 278 

Page 53: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

34  

pemerintahan. Kelompok-kelompok yang selalu mengusulkan

kebijaksanaan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka.

2) Sistem otoriter.

Dalam model ini terdapat beberapa kelompok masyarakat yang memiliki

sikap politik berbeda. Kelompok organisasi politik dan partisipan politik

berusaha menentang dan mengubah sistem melalui tindakan persuasif atau

protes yang agresif.

3) Sistem demokratis pra-industial.

Dalam Negara dengan model seperti ini, hanya sedikit sekali partisipan

yang terutama dari pofesional dan terpelajar. Kebanyakan dari warga

Negara memiliki pengetahuan dan keterlibatan yang sangat terbatas dalam

kehidupan politik.26

3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan

Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks,

menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan.

Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada

kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau

sifat ”toleransi”.

a. Budaya Politik Militan

                                                           

Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha

mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat  

26 Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan Pendekatanya, hal. 278 

Page 54: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

35  

dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing

hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan

masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar

emosi.

b. Budaya Politik Toleransi

Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide

yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang

mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau

kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.

Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat

militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik.

Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan

jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap

tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :

a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut

Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut

memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu

sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah

intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian

hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan

mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau

yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut

bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi,

Page 55: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

36  

malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka,

tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan

keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak

memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif

Struktur mental yang bersifat akomodatif bisaanya terbuka dan

sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat

melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia

menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.

Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai

suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu

tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap

sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan

hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong

usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.

D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik

Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.,

bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik.

Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi

satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik

(dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai

suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur

psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.

Page 56: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

37  

Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu

orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective

oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif

mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe

orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai

berikut.

Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan

pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta

input dan outputnya.

Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya,

para aktor dan pe-nampilannya.

Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-

obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar

nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.27

E. KERANGKA KONSEPTUAL

Masalah industrialisasi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari masalah

modernisasi karena industrialisasi merupakan bagian dari modernisasi.

Transformasi industrial mempunyai konsekwensi yang amat luas, karena

industrialisasi merupakan proses perubahan sosial yaitu perubahan susunan

kemasyarakatan dari sistem sosial pra industri (agraris) ke sistem sosial

                                                            27 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17

Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php  

Page 57: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

38  

industrial. Terkait dengan hal ini dalam pandangan teori “ pattern Variables” yang

dikembangkan Parsons, Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat

industri dan moderen juga berarti perubahan dari :

a. Affectivity to affective neutrality, pengaruh langsung bagi perbahan ini

bagi proses industrialisasi ialah terbentuknya modal yang diperlukan ,

juga menandai hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat industrial

yang bersifat contractual, impersonal dan calculating.

b. Particularism to universalism, Industrialisasi cenderung mengikis

keekslusivan partikularistis seperti keekslusifan rasial, warna kulit

maupun keturunan.

c. Ascriptions to achievement, dengan kata lain perubahan karena

industrialisasi adalah perubahan dari sistem penghargaan prestise ke

sistem penghargaan karena prestasi.

d. Diffuseness to specivicity, ialah perubahan dari sistem sosial yang

berlingkup luas dan membatasi hubungannya pada hubungan yang

bersifat khusus28.

Jadi Perubahan model pembangunan secara otomatis akan merubah

berbagai aspek kehidupan dan sruktur masyarakat, baik dalam bidang ekonomi,

sosial budaya, institusi-institusi kemasyarakatan dan agama bahkan keluarga.

Beberapa ahli telah memunculkan beberapa pendekatan dalam memotret dan

menganalisis perubahan sosial dan pola hubungan masyarakat. Di antaranya yang

                                                            28 Talcot Parsons and American Sosiologi, sebagaimana dikutip Nurkholis Madjid, Islam

Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan) 1987, hal 141-142  

Page 58: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

39  

penulis anggap cukup. relevan diterapkan dalam kajian ini, di antaranya teori

struktural fungsional dan teori Interactions medium yang diperkenalkan oleh

Talcott persons (1937).

Dalam teori fungsional struktural memandang masyarakat secara

makroskopis. Ada dua asumsi dasar dalam pendektan ini. Asumsi pertama adalah

bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk dari sub strutur-sub

struktur yang saling tergantung (interdependen) antara yang satu dengan yang

lainnya sedemikian, sehingga perubahan pada satu bagian secara otomatis

mempengaruhi bagian-bagian lainnya. Upaya analisis sosiologis dengan demikan

menemukan apa mempengaruhi apa. Asumsi kedua, adalah bahwa setiap struktur

atau aktifitas yang mapan (established) memiliki fungsi untuk mempertahankan

aktifitas-aktifitas atau struktur lain dalam suatu sistem sosial. Beberapa contoh

struktur dalam hal ini , keluarga, ekonomi, pendidikan, politik, agama, keluarga

dan sebagainya29.

Pesantren dikenal sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan

makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia

(indegenous). Sebagai lembaga indegenous , pesantren muncul dan berkembang

dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain

pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak bisa dipisahkan dengan

komunitas lingkungannya.

Kenyataan ini dapat dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian

pesantren pada satu lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi                                                             

29 Soerjono soekanto, Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat ( Jakarta : Rajawali) 1983  

Page 59: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

40  

pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, ibadah dan sebagainya.

Sebaliknya pesantren pada umumnya melakukakan “membalas jasa” komunitas

lingkungannya dengan bermacam cara, tidak hanya dalam bentuk memberikan

pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial, kultural, dan

ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam konteks inilah pesantren dan

kiyainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai “ cultural

brokers” dalam pengertian yang seluas-luasnya.30

Perubahan sosial, ekonomi, politik secara otomatis turut memberikan

warna dan pengaruhnya terhadap eksistensi dan dinamika pesantren itu sendiri.

Beberapa perubahan dalam internal pesantren dan hubungnnya dengan pengaruh

luar adalah, perubahan menjadi sistem kelas. Namun demikian bukan berarti

mendudukan pesantren sebagai obyek perubahan yang pasif, sebab pesantren juga

merupakan institusi yang independen dan memiliki jati diri dan kekhasannya

sendiri.

Pada sisi lain pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial dipandang

memiliki posisi yang strategis dalam melakukan perubahan dan pembangunan

bagi masyarakat sekitarnya, hal itu telah terbukti selama beberapa abad

keberadaan pesantren dengan komitemen meneguhkan sosial kepada

masyarakatnya. Pesantren memiliki modal yang kuat dalam melakukan interaksi

dengan masyarakatnya.

Dalam pandangan teori “Interaksions medium” yang juga dikembangkan

oleh Parsons yaitu model “media interaksi” (interactions medium). Media,                                                             

30 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Kiyai dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka jaya), 1981 

Page 60: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

41  

menurut Parsons adalah kapasitas perubahan sebuah masyarakat (kelompok)

ketika berinteraksi dengan kelompok atau sektor masyarakat lain. Walaupun teori

ini pada mulanya disusun berdasarkan analisis interaksi antara ego dan alter ego,

namun kemudian juga digunakan untuk menganalisis pola interaksi lembaga,

kelompok dan masyarakat. Oleh karenanya teori ini penulis pandang relevan

untuk mengkaji pola hubungan antara pesantren tradisional dan sektor modern.

Dalam hal ini ada empat media; pertama, Komitmen atau penyerapan

nilai/gagasan dari luar yang benar dan relevan. Kedua, media Kekuasaan (power)

Ketiga, media pemanfaatan (utility) dan terakhir media pengaruh31.

Keempat media yang dikemukakan Parsons di atas setidaknya telah

dimiliki pesantren dalam melakukan hubungan dan mengukuhkan pengaruhnya

baik di kalangan internal pesantren maupun bagi masyarakat sekitarnya. Pada

beberapa dasawarsa , kiyai yang umumnya pemilik dan pengelola pesantren

memiliki power (kekuasaan) yang kadang melebihi kekuasaan pemerintah lokal.

Bahkan dalam hal-hal tertentu pemerintah lokal seringkali meminta petunjuk dan

restu pihak pesantren atau kiyai dalam melaksanakan tugas dan kebijakannya.32

                                                            

31 Talcott Parsons, On The Theori if Sosial Interactions Media, sebagaimana dikutip Ivan Alhadar, “Tradisi dan Tantangan Kebudayaan Urban Industri “ dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Kacher (ed) Dinamika Pesantren, (Jakarta : P3M), 1987 

32 Dra. Umdatul Hasanah, “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon” (Penelitian Block Grant IAIN Banten, 2008), h. 15 

Page 61: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

42  

Diagram 1 Kerangka Konseptual

 

kesederhanaan

Kebersamaan

Tradiisional

Religius

Homogen

Akhlak dan nilai-nilai luhur

Materialis

Hub. Fungsional

Modern

Kompetitif

Rasional

Heterogen

Industrial

Budaya politik

? Pesantren

 

Page 62: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

43  

BAB III

GAMBARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KAMPUNG PANYAWUNGAN

A. Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam

A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren

Sebelum berdirinya Pondok Pesantren, kampung Panyawungan

merupakan sebuah perkampungan yang menjadi pusat arena judi. Judi yang paling

dominan di kampung ini adalah judi sabung ayam. Masyarakat kampung

Panyawungan pada saat itu merupakan masyarakat Jahiliyyah dalam arti bodoh

atau buta terhadap agama.

Namun begitu, di kampung Panyawungan terdapat dua orang kaya raya

yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi yang mempunyai keprihatinan terhadap umat,

untuk itu mereka meminta kepada KH. Kholil dari kampung Bojong Malati ( +

1,5 km dari kampung Panyawungan ) untuk mengajar masyarakat dan mendirikan

pondok.

Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang mulai dirintis pada tahun

1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil ‘ulama atau orang yang

berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau donatur yaitu KH. Syarif dan

KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang adil (dalam konteks ini adalah

lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail fuqoro atau dukungan masyarakat

umum.1

Pada mulanya, KH. Kholil menempati rumah Hj. Syarifah yang

merupakan kerabat KH. Syarif. Untuk kelancaran Dakwah Islamiah, KH. Syarif

                                                            1 Wawancara pribadi dengan ustadz Bibin, Bandung, 15 April 2010 

Page 63: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

44  

mewaqafkan tanahnya seluas 8000 M. untuk lingkungan pesantren dan sawah

yang dikelola oleh KH. Kholil. Selain waqaf dari KH. Syarif, pesantren juga

menerima waqaf dari yang lainya seperti dari Hj. Omok. Pada kedatangan

awalnya, KH. Kholil telah membawa sekitar lima belas santri.2

Dengan dukungan empat elemen yang disebut di atas, perkembangan

Pondok Pesantren Nahdjussalam berkembang pesat, hingga pada tahun 1917

pesantren tersebut telah memiliki elemen dasar pesantren seperti masjid, asrama,

dan madrasah.

Empat elemen di atas juga menjadikan Pondok Pesantren Nahdjussalam

bersifat inklusif terhadap masyarakat. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren

Nahdjussalam selalu mempunyai delegasi di luar kyai sepuh dan kyai pondok

yang didedikasikan untuk membina masyarakat. Dari awal hingga saat ini,

pesantren tersebut telah empat kali berganti kyai.

                                                            2 Wawancara pribadi dengan KH. Athoillah, Bandung, 15 April 2010 

Page 64: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

45  

Gambar. 1: Lokasi Komplek Pesantren

Page 65: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

46  

1.1 KH. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan

KH. Kholil lahir sekitar 1894 di Kampung Bojong Malati. Beliau

merupakan anak pertama dari pasangan Eyang Husen dan Hj. St. Maemunah yang

juga merupakan penyiar agama di kampung tersebut. Jika di kejar lebih jauh asal

keluarganya, beliau merupakan keturunan ke enam dari Syeh Abdul Muhyi-

Tasikmalaya (seorang penyebar Islam di Jawa Barat). Beliau belajar Islam

semenjak dini dari orang tuanya yaitu Eyang Husen. Beranjak dewasa ia

mengembara keberbagai pesantren di antaranya: Pesantren Kresek Garut,

Pesantren Ciharashas, Pesantren Sukamiskin, dan Pesantren Banjar.

Keberhasilan pondok pesantren Nahdjussalam yang terus eksis hingga saat

ini tidak lepas dari peran sang pendiri. Setelah masa perintisan 1916 – 1917, KH.

Kholil mempunyai kesadaran penuh akan pentingnya pembangunan jejaring

pesantren di tingkat lokal. Untuk itu KH. Kholil membangun jejaring pesantren

dengan cara menikahkan adik-adik beliau dengan para santri terpilih atau tokoh-

tokoh setempat yang dianggap mempunyai pengaruh.

Diagram. 2 Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil

Kh. Husyen Nahrowi + Hj. Siti Maemunah

Kh. Kholil Eye+

H. . Khosim

Siti+

H. Kharis

H. Sya’diyah+

H. Juhro

Ket: Dalam diagram tersebut tidak semua keluarga dimasukan

Hj. Khuraisin+

H. Daman

Page 66: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

47  

Tokoh-tokoh atau santri terpilih yang dinikahkan dengan adik-adik beliau,

menjadi pembantu beliau dalam membina masyarakat dan mereka menempati

posisi sebagai kyai langgar.

Kyai Pondok Kyai Langgar

1. KH. Kholil

2. KH. Ahmad Tb. Dzajuli

1.H.Daman(Kp. Panyawungan)

2. H. Kharis (Kp. Galumpit)

3. H. Juhro (Kp. Kara)

4. H. Khosim (Kp Bojong Malati)

5. H. Fatah (Kp Panyawungan)

Selain kesadaran akan pentingnya jaringan, KH. Kholil juga memakai cara

perkawinan dengan pihak donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi. Selain untuk

mengikat kekeluargaan hal itu juga dilakukan atas kesadaran pentingnya ekonomi

dalam keberlangsungan pondok. Untuk kepentingan ekonomi, KH. Kholil juga

terus memperluas tanah hingga tercatat lebih dari 2 hektar tanah yang ia miliki.

Selain dari hasil pembelian secara pribadi, pihak keluarga pesantren juga

banyak mendapatkan tanah dari imbalan mengatur pembagian waris. Seperti yang

diterima oleh KH. Dzajuli dan KH. Syambas ketika membagikan waris keluarga

KH. Afandi.

Page 67: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

48  

Diagram. 3 Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil

Bani Affandi Bani Kholil

1

: Kyai Langgar

: Lurah (kecuali yang ditandai “1” Drs. Iin Z.A merupakan pejabat RW sekarang.)

 

Diagram. 4 Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil

Ket : Tidak seluruh anggota keluarga disertakan dan tidak berdasar senioritas: Kyai Luar Dearah

: Mantan Anggota DPRD

: Kyai Langgar

Bani Syarif Bani Kholil

Setelah jejaring di lokal sudah dirasa cukup kuat, KH. Kholil mencoba

untuk membuka jejaring dengan luar daerah, baik dengan pesantren yang sudah

berdiri maupun santri terpilih yang berpotensi mampu mendirikan pesantren.

Page 68: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

49  

Untuk merealisasikan hal itu, KH. Kholil masih memakai cara pernikahan.

Hampir seluruh anak perempuan KH. Kholil dinikahkan dengan kerabat pesantren

atau santri yang berpotensi dan mampu mendirikan pesantren. Seperti terlihat di

bawah ini:

Diagram. 5 Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren luar

Hj. St. Rofi’ah+KH. Kholil + Hj. St. Hasanah

Hj. Siti SholihahKH. Abdul Kholil(al-Ihsan-Cianjur)

Hj. St. FatimahKH. Ahmad Falah

(al-Falah-Sumedang)

Hj. St. MaemunahKH. Moch. Musa

(Banajar)

Hj. St. HafsohKH. Muhyidin

(Benteng-Ciamis)

Cat: Tidak seluruh keluarga dimasukan

Dalam perjalanannya, pondok pesantren pernah mengalami masa

kekosongan. Masa kekosongan ini diakibatkan oleh huru-hara Jawa Barat yang

dikenal dengan perang segitiga antara TNI, DI (TII), dan Belanda pada tahun

1946. Sekitar satu bulan, seluruh keluarga pesantren dan sebagian santri

diungsikan ke daerah Tanjung Laya di tempat KH. A. Basyari yang merupakan

adik KH. Kholil.

1.2. KH. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual

KH. Tb. Ahmad Dzajuli merupakan seorang ningrat dari Sukamiskin. Pada

saat ia menjadi seorang santri, KH. Kholil menjadikanya sebagai tangan kanan

untuk berbagai urusan pondok. Beliau dinikahkan dengan Nyimas H. Banasiah

putri sulung KH. Kholil. Setelah KH. Kholil wafat beliau naik menjadi kyai sepuh

pondok.

Page 69: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

50  

Beliau dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh sufistik yang penuh

kharisma. Banyak karomah dan kesalehan beliau yang disaksikan oleh masyarakat

dan menjadi cerita turun-temurun di masyarakat. Dalam masa kepemimpinannya

kondisi dan posisi pondok pesantren Nahdjussalam sudah cukup kokoh hingga

menjadikan beliau mengkonsentrasikan diri pada pembangunan spiritual. Jika

dilihat keberlangsungan pesantren pada masa KH. Kholil dan KH. Tb. Ahmad

Dzajuli, ini seperti strategi terbalik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang

menguatkan spiritual masyarakat di Mekah pada masa awal Islam dan

membangun jejaring di Madinah.

Beliau berhasil mempersatukan masyarakat Panyawungan dengan

masyarakat sekitar seperti kampung Bojong Malati, kampung Kara, dan kampung

Galumpit dengan sebuah tradisi pawai obor (dibahas di bawah) yang dilaksanakan

pada Maulid dan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Dan ini merupakan

peninggalan beliau yang paling penting di antara yang lainnya.

Pada masa kepemimpinannya, seiring dengan semakin banyaknya kader

pesantren, pesantren mempunyai pola baru dalam membina masyarakat. Meski

pada masa KH. Kholil telah terbangun jejaring langgar, beliau meneruskan usaha

KH. Kholil dalam membina masyarkat dengan menerjunkan kader pesantren ke

masyarkat. Adapun untuk hal itu penulis mengistilahkannya dengan ‘kyai

delegasi”. Kyai delegasi selain berfungsi sebagai pendidik masyarakat, ia juga

menjadi jembatan antara masyarakat, kyai langgar, dan pesantren.

Page 70: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

51  

Kyai Pondok Kyai Delegasi

1. KH. Ahmad Tb. Dzajuli

2. KH. Ma’sum Maki

3. KH. Endang Mahtum

1. KH. Syambas

Seperti dikatakan di atas, KH. Tb. Ahmad Dzajuli merupakan sosok ulama

sufistik

Satu rekaman sejarah penulis ketika masih kecil yang masih diingat,

adalah

                                                           

, namun istri beliau pernah menemukan sertifikat penghargaan dari

Masyumi tertulis tahun 1960 yang diberikan kepada beliau. Ini menjadi sebuah

kontradiksi dimana kebanyakan tipe pesantren salafy lebih memilih memfusikan

dan mengartikulasikan politiknya dengan NU, Pesantren Nahdjussalam justru

lebih memilih tetap mengikuti Masyumi. Padahal kita tahu bahwa penyebab NU

keluar dari Masyumi karena salah-satu faktornya Masyumi terlalu di dominasi

oleh kaum modernis yang bersifat progresif.

saat istri beliau ditanya oleh seorang keponakan beliau yang menjadi

anggota DPRD Kab. Bandung. H. Ayi Nu’man Ma’sum bertanya, “mengapa dulu

uwa3 lebih memilih Masyumi dari pada NU ?” H. Banasiah menjawab “saya dulu

pernah punya pertanyaan yang sama, namun beliau menjawab; “jika NU sedang

belajar merangkak, maka Masyumi sedang belajar berjalan”.4 Ini juga

menunjukan, meskipun KH. Tb. Ahmad Dzajuli seorang tokoh sufi, namun beliau

juga mengikuti dan tidak tertutup dengan aliran yang sifatnya progresif, walau

hanya sebagai partisipan dan tidak terlibat aktif dalam kepartaian.

 3 Panggilan untuk kakak dari orang tua  4 Untuk memastikan kembali, penulis mewawancarai bapak Iim A. Karim yang pada saat

itu menemani H. Ayi Nu’man Ma’sum (alm).  

Page 71: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

52  

1.3 Kyai Syambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik

ai

delegasi pada saat KH. Tb. Ahm

nia perpolitikan KH. Syambas terus malang-melintang. Ketika

pada tahun 1973 pem

ena meninggal di usia yang

relatif m

kalangan santri maupun masyarakat lebih populer dengan nama itu.

KH. Syambas sudah mulai eksis sebagai kyai pondok maupun ky

ad Dzajuli masih menjabat kyai sepuh. KH.

Syambas adalah satu-satunya kyai yang juga merupakan muballigh kondang Jawa

Barat. Semasa menjabat sebagai kyai delegasi, kyai Syambas sudah mulai aktif di

kepartai-an, beliau bergabung dengan Masyumi, Jabatan tertinggi yang pernah

beliau capai adalah sebagai Dewan Pembina Tingkat Kabupaten. Kemudian ketika

pada tahun 1960 keluar Kepres No. 200/1960 tentang pembekuan Masyumi, dan

orang-orang Masyumi mendirikan Parmusi, KH. Syambas pun masuk kedalam

partai baru tersebut dan masih menempati kedudukan yang sama seperti pada

masa Masyumi.

Dalam du

erintah menyempitkan partai kedalam tiga wadah, dan PPP

adalah wadah yang berunsurkan Islam, maka KH. Syambas pun ikut bergelut di

dalamnya. Pada peiode ini KH. Syambas sudah mulai ditemani oleh adik beliau

yaitu KH. Athoillah dalam aktivitas ke-partaiannya.

Massa kepemimpinananya yang singkat kar

uda, menjadikan tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap

kepesantrenan. Ketika pada tahun 1948 Pemerintah menginstruksikan untuk

memberikan nama formal pada setiap lembaga pasantren, KH. Syambas memberi

nama Nahdjussalam pada institusinya. Sebelum diberi nama, pesantren ini dikenal

dengan sebutan “Pesantren Panyawungan” bahkan hingga saat ini baik di

Page 72: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

53  

Pada saat beliau menjabat sebagai kyai sepuh, beliau dibantu oleh :

Kyai Pondok Kyai Delegasi

1. KH. Syambas

2. KH. Embun N.

3. KH. Endang Mahtum

1. KH. Athoillah

2. KH. Agus

h (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren

arakat dan kemampuan berorganisasi menjadikan

KH. Athoillah mempunyai jejaring yang luas dengan pihak pemerintahan dan

kepartai-an. kyai Atho juga merupakan aktivis PPP. Karir tertingginya yang

pernah beliau raih adalah Dewan

ana pesantren merapat maka di situ pula masyarakat memberi

suara. Namun persentuhan pesantren dengan politik vacum pasca reformasi.

Selain faktor usia KH. Athoillah, faktor

1.4. KH. Athoilla

Sepak terjang di masy

Pertimbangan tingkat Kabupaten. Kharisma

beliau dalam kepartai-an membuat banyak pihak dari PPP mendesak beliau untuk

mengkaderkan keluarga beliau untuk terjun sebagai politikus. Pada pemilu 1997

keponakan beliau H. Ayi Nu’man berhasil duduk sebagai anggota dewan tingkat

II.

Persentuhan pesantren dan politik sekaligus memberikan arah perpolitikan

masyarakat, dim

tidak ada kaderisasi juga menjadi faktor

utama. Gempuran arus informasi dan rasionalisasi dengan dimediai oleh

industrialisasi, percaturan politik masyarakat Panyawungan pun tidak lagi

menyandarkan referensi pada pesantren. Hal tersebut terbukti dari perolehan suara

pada pemilu 2009 kemarin.

Page 73: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

54  

Selain vacum politik, pesantren ini juga mengalami kemunduran kuantitas

jumlah santri dari rentang waktu sepuluh tahun terakhir. Pada masa keemasannya,

sekitar tahun 1980 jumlah santri di pesantren ini menembus angka 700 santri.5

Kini pesantren Nahdjussalam hanya memiliki 56 santri putra dan 13 santri putri.

Hal tersebut memang terjadi oleh beberapa faktor seperti merebaknya pendidikan

sekuler, minat masyarakat yang menaruh pada pesantren dan lain-lain. Sedangkan

untuk faktor internal pesantren sendiri dipengaruhi oleh semakin tuanya kyai

Athoillah, kyai pembantu pondok dan kyai delegasi yang meninggal mendahului

KH. Athoillah, dan rentang generasi yang terlampau jauh, serta konflik internal

keluarga seperti perebutan kekuasaan dan konflik lain yang disebabkan oleh

faktor ekonomi.

Kyai Pondok Kyai Delegasi

1. KH. Athoillah

2. KH. Tb. Enjang Tamim

3. Ustad

1. KH. Agus

2. Ustadz. Tb. Cecep

3. Ustadz. Az. Tb. Bibin pep

A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pes

2.1 Tradisi Pesantren

Seperti kebanyakan pesantren salafy, pesantren Nahdjussalam tergolong

sebagai pesantren yang menamakan dirinya sebagai golongan ah-lusunnah wal-

jamaah. Kitab kuning adalah sumber referensi utama. Pesantren Nahdjussalam

                                                           

antren

 5 Wawancara pribadi dengan KH. Athoillah, Bandung, 15 April 2010 

Page 74: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

55  

memfokuskan pengajaranya terhadap ilmu alat (nahwu dan sharaf) atau tata

bahasa Arab. Na

6

melaksanakan selam

al-Barjanji

rang yang telah meninggal. Khoulan KH. Kholil

al terbesar yang diselenggarakan oleh pondok pesantren. Tidak jarang

                                                           

mun demikian pesantren ini juga tidak mengesampingkan ilmu

ke-islaman lain seperti tauhid, fiqh, dan syariah. Untuk tauhid pesantren

Nahdjussalam mengikuti madzhab sunni, segaimana dirumuskan oleh Abu Hasan

al Asyari. Adapun kitab yang dikaji adalah Tijan dan Majalis; Untuk Fiqh,

pesantren ini banyak dibentuk oleh kitab Safinah, Taqrib, dan I’anah; Dan

terakhir untuk syariah, pesantren ini banyak dibentuk Irsyad dan Riyadusholihin.

Pesantren ini hanya mentoleransi seni tarik suara dan kaligrafi. Selain dari

itu, apapun macamnya baik bersifat lokal maupun kearaban ditolak oleh pesantren

ini. untuk bermacam-macam kesenian seperti musik dan tarian baik sifatnya lokal

maupun ke-araban. Pesantren ini juga seperti kebanyakan pesantren lain

atan untuk bayi baru lahir yang di dalamnya ritualnya adalah

pembacaan doa-doa, pengajian , dan shalawat kepada Nabi SAW.

Sedang untuk ritual mendoakan orang yang meninggalz mereka menyebutnya

dengan istilah “tahlilan”, dengan atau tanpa acara makan-makan yang terpenting

dalam acara ini adalah ritus pembacaan dengan bahasa Arab yang intinya

menganggungkan Allah SWT.

Khoulan

Yang terpenting dari upacara semacam di atas untuk pesantren ini adalah

tradisi khoulan KH. Kholil. Khoulan adalah ritual tahunan yang disenggarakan

setiap tahun untuk mengingat o

adalah ritu

 6 Wawancara dengan ustadz Bagja, ustadz Cecep, dan ustad z Deden, Bandung , 07 Mei

2010 

Page 75: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

56  

untuk p

pesantren, para kyai psantren, para kyai langgar, dan masyarakat sekitar. Khoulan

juga m

g Kara, dan

Kampung Bojong Malati. Sejarah pawai obor bermula pada masa KH. Djajuli.

Djajuli selalu berputar mengelingi

kampun

                                                           

endanaan khoul ini memakan biaya lebih dari empat puluh juta rupiah dan

dalam penyelenggaraannya membutuhkan bentukan struktur organisasi yang

cukup lengkap. Sumber dana utama berasal dari usaha penyortiran limbah pabrik

milik keluarga pesantren.

Khoulan untuk pesanten Nahdjussalam telah melampaui batas-batas

definisi yang selama ini diberikan oleh para ahli. Khoulan untuk pesantren ini juga

memiliki fungsi sebagai medium pertemuan antara para alumni, keluarga

enjadi ajang sensus bani Kholil, pada khoulan terakhir yaitu khoulan yang

ke-62, jumlah keluarga bani kholil mencapai 1048 jiwa,7 ini merupakan angka

yang fantastis untuk keluarga yang baru menginjak empat generasi.

Pawai Obor

Pawai obor adalah salah satu icon pesantren dan masyarakat Dusun

Panyawungan yang melingkupi Kampung Panyawungan, Kampun

Setiap bulan Rajab dan Maulud dulu KH.

g dengan membawa obor kecil untuk mengajak masyarakat melaksnakan

perayaan Isra Mi’raj dan Maulid Nabi Muhamad SAW di mesjid jami.

Masyarakat kemudian mengikuti di belakang beliau dengan membaca sholawat.

Semakin beliau jauh mengelilingi kampung maka semakin banyak pula orang

yang megikuti beliau sampai akhirnya menuju masjid jami.

 7 Arsip ke-Pesantrenan 

Page 76: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

57  

Setelah beliau wafat tradisi ini diteruskan oleh masyarakat dan tetap

berjalan sampai sekarang. Adapun ritual dalam upacara ini adalah pembacaan

sholawat mengelilingi kampung dengan dipimpin oleh seorang ustadz. Di setiap

penghujung kam

g

yang m

ertanggung jawab atas pengadaan logistik.

                                                           

pung menurut arah mata angin, rombongan berhenti sejenak dan

membacakan ayat kursi dengan menghadap ke empat penjuru mata angin dan

diakhiri doa. Setelah selesai berkeliling kampung rombongan kembali ke mesjid

jami dan melaksanakan ritual Isra Mi’raj atau Maulidan sebagaimana lazimnya.

Dari acara ini penulis juga melihat stratifikasi kelas dan fungsi dalam hal

keagamaan. Setiap orang yang menduduki posisi dalam pelaksanaan acara adalah

simbol prestise yang dimiliki oleh masing-masing. Prestise tertinggi adalah oran

ember tausiah yang bisaanya di isi oleh kyai sepuh pesantren atau kader

yang dipersiapkan untuk mengganti dirinya. Posisi kedua ditempati oleh pengisi

tahlilan dan pembacaan doa yang bisaa di isi oleh kyai delegasi dari pesantren.

Yang ketiga adalah orang yang mengisi pembawa acara yang bisaanya di isi

pihak birokrasi. Dan yang terakhir adalah pemimpin pawai obor yang bisaanya

dipimpin oleh kyai langgar.

Setiap tahun acara ini selalu meriah dan besar hingga menelan dana lebih

dari dua puluh juta.8 Acara ini ditangani oleh PHBI dusun Panyawugan dan setiap

kampung secara bergantian b

 8 Data PHBI Tahun 2009 

Page 77: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

58  

2.2. Sistem Nilai Pesantren

Pesantren N hdjussalam mempunyai sebuah tata nilai tertulis yang berlaku

tanbih

a

buat santri. Sistem nilai itu dinamakan “ ” dan memuat enam belas poin di

bawah ini:

1. ergaul sopan santun dengan sesama santri;

2. enjaga bangunan dan pekarangan pondok dan mesjid;

3. Sholat berjamaah pada tiap waktu sholat;

4. emberi sorogan pada santri yang lebih kecil

ji tazwid pada malam Kamis dan sholawat pada malam Jumat;

7. Membangunkan santri yang tidur pada waktu sholat; terutama waktu

subuh;

8. Menghafal materi yang telah dikaji;

9. Tidak diperbolehkan mandi, nyuci, sholat diluar lingkungan pondok;

10. Dilarang pergi keluar lingkungan pondok kecuali ada kepentingan;

11. Dilarang menerima tamu yang tidak dikenal;

12. Menerima hukuman diusir apabila ketahuan pergi nonton;

13. Seluruh santri yang akan pulang, wajib lapor pada rois pondok;

14. Tidak boleh meminta-minta terhadap tetangga pondok;

15. Dilarang saling tukar pakaian; dan

16. Memenuhi kewajiban keuangan pondok.

B

Turut m

Kepada santri dewasa agar m

setiap bada magrib;

5. Ngaji balagan di waktu yang telah ditentukan;

6. Nga

Page 78: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

59  

Selain dari pada peraturan yang tertulis di atas pondok pesantren juga

menyadarkan pada sebuah

u yang baik”.

kyai saja yang bersifat aktif sedang

eluangkan

waktu

diagram

mempunyai tradisi oangtua terdahulu dengan

mahphudot “lestarikanlah nilai lama yang bagus dan carilah hal bar

Sistem pengajian di pondok pesantren ini bisa dikategorikan sebagai

sistem bandongan, yaitu sebuah transfer pengetahuan dari seorang kyai kepada

santri. Dalam pentransferan ilmu ini hanya

untuk santri bersifat pasif. Namun sebagian dari ustadz pesantren m

diluar pengajian untuk santri yang ingin menanyakan permasalahan dalam

pengajian.

Pesantren ini juga memiliki sebuah struktur organisasi seperti terlihat pada

berikut ini:

Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok

PengasuhKh.Athoillah

Rois AmUstd. Bagja

RoisM. Arif

RoisElis

WakilMimar

WakilYayang

SekertarisBadru

BendaharaOmay

Putra Putri

SeSek. KebersihanSek. HumasSek. Logistik

Sek. Pendidikan Sek. Kebersihan Sek. Logistik

k. Pendidikan

Hal yang membedakan pesantren ini dengan pesantren lainya adalah

komunitas keluarga pesantren yang masih utuh. Keutuhan keluarga besar

Page 79: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

60  

mempunyai konsekuensi pada kentalnya seniortas terutama yang didasarkan pada

garis nasabiah.

Dalam menurunkan tahta kyai sepuh pesantren, pesantren ini tidak

mengenal penurunan mutlak (diturankan pada anak). Bisaanya seorang kyai sepuh

mengkaderkan seseorang yang merupakan keturunan dari KH. Kholil yang

mempunyai kapabilitas untuk menempati kedudukan sebagi kyai sepuh.

Meskipun kewibawaan kyai sepuh adalah sentral dari kekuatan simbolis

yang d

us dilaksanakan seluruh keluarga pesantren termasuk kyai sepuh

sendiri

selain mempunyai sumber kewibawaan seorang kyai atau kekuatan simbolis juga

imiliki oleh pesantren, namun tidak berarti keputusan yang dibuat kyai

sepuh bersifat mutlak. Keluarga pesantren mempunyai forum pertemuan sebulan

sekali yang dinamakan “syahriahan”. Forum tersebut terkadang menghasilkan

putusan yang har

. Forum itu juga merupakan forum untuk membahas permasalahan yang

sedang dihadapi pesantren. Terkadang pertemuan bulanan tersebut hanya

membahas evaluasi dan introsfeksi kepesantrenan atau hanya sekedar silaturahmi

keluarga.

A.4. Ekonomi Pesantren

KH. Kholil selain merupakan ulama juga merupakan orang yang cerdik

dalam mensiasati materi seperti telah di uraikan di atas. Meskipun berasal dari

keluarga yang kurang mampu, namun KH. Kholil mampu menjadikan dirinya

sebagai seorang tuan tanah. Kepemilikan tanah pada masanya adalah sebagai

simbol kekuatan ekonomi dan tingkat status yang tinggi mengingat masyarakat

masih bersifat agraris. Ini juga merupakan faktor keberhasilan pesantren karena

Page 80: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

61  

kuat secara kapital terbukti dari banyaknya masyarakat sekitar yang menjadi

buruh tani pesantren atau petani dengan paro-paroan.

…sukur ayeuna urang bisa keneh nyieun imah, urang kudu nganuhunkeun ka kolot anu merjuangkeun urang jang nancebkeun pgolongan fuqoro ngan anjeuna mah mikiran urang anak incuna.

ingkar

Panya buruh.

Jika p ustru lebih

asyik egoaan

dari pihak keluarga untuk m

pesantren membuat koperasi kepesantrenan. Kopontren Nahdjussalam bergerak

                                                           

ancuh, lamun kudu dibejakeun mah, baheula kolot urang teh

Tah sabalikna, ayeuna urang rek kumaha mikiran anak incu urang anu sakieu lobana. Sing jadi fikiran.9

Pada rentang generasi anak kepemilkan tanah tidak lagi dibanggakan

karena terjadi pembagian terhadap anak-anak beliau yang jumlahnya cukup

banyak. Kepemilikan tanah terus-menerus terkikis karena banyak dari anak beliau

yang menjual tanahnya untuk dapat naik haji, faktor lain adalah banyaknya

keturunan yang mencapai 1048 jiwa pada saat sekarang dan tanpa mempunyai

kemampuan daya beli kembali.10

Meskipun pada saat sekarang banyak sekali industri yang berdiri di l

wungan, namun hampir tidak ada keluarga pesantren yang menjadi

agi tiba, saat buruh-buruh pabrik lalu-lalang, keluarga pesantren j

berkumpul dan menikmati kopi di pinggir kolam. Ada semacam k

enjadi buruh pabrik baik dengan alasan keagamaan

seperti susahnya mempertahankan diri dari gangguan dunia kerja untuk

mempertahankan atau menjalankan perintah agama atau karena alasan satatus.

Untuk mempertahankan ke-eksklusiva-nya maka pada tahun 1998 pondok

 9 Diambil dari pidato KH. Athohillah pada suatu selamatan rumah baru. Bandung, 03 Mei

2010 10 Sensus Bani Kholil Ke 62 Tahun 2009 

Page 81: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

62  

dalam usaha simpan pinjam. Namun karena kurangnya SDM yang mumpuni,

koperasi tersebut dari mulai pendirianya tidak pernah berjalan lancar, bahkan

hanya m

membiayai Khoul KH. Kholil. Kini nasib kopontren pun tidak jelas secara

institus

11

ai subkulturnya sendiri, ini bukan berarti pesantren bukanlah merupakan

bagian integral dari masyarakat. Bahkan dalam situasi dan momen tertentu

                                                           

enyisakan perselisihan keluarga dan hutang yang cukup besar. Setelah

dalam usaha simpan pinjam menemui jalan buntu, akhirnya usaha yang sifatnya

komunal tersebut beralih pada usaha pengelolaan limbah pabrik atau lebih dikenal

dengan istilah “majun”. Namun lagi-lagi usaha ini juga tidak membuahkan hasil

yang memuaskan meskipun sudah beberapa kali restrukturasi. Dalam

perjalananya usaha ini juga tidak mampu menyerap tenaga kerja dari pihak

keluarga. Konstitusi yang disepakati dari hasil usaha ini adalah bertujuan untuk

i.

Secara perorangan, keluarga pesantren tidak mempunyai usaha dan kerja

tetap. Namun kebanyakan yang mereka geluti adalah bertani, dagang,

pemanfaatan limbah pabrik, dan sebagaian kecil ternak. Namun yang paling

menyedihkan untuk kenyataan ekonomi keluarga pesantren adalah data dari

BAZIS Kampung Panyawungan yang menempatkan RT. 02 sebagai jumlah fakir

miskin tertinggi yakni 30 KK. Dari 64 KK, dan hanya 19 KK saja yang bukan

merupakan keluarga pesantren.

A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat 

Seperti disinggung terdahulu, bahwa Pesantren Nahdjussalam merupakan

bentuk pesantren yang sifatnya inklusif dengan masyarakat. Meskipun pesantren

mempuny

  Panyawungan tahun 2009 11 Data diambil dari LPJ BAZIS kampung

Page 82: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

63  

pesantr

Warga Dalam Membangun Mesjid

ntuk lingkungan Cileunyi sendiri, hampir seluruh

pesantren di lingkungan tersebut merupakan alumni Pesantren Nahdjussalam.

Seperti dapat di lihat

1. KH. Sudja’i, pendiri Pondok Pesantren al-Jawami kampung Al-Jawami;

2. KH. Azid, pendiri Pondok Pesantren Bustanul Wildan kampung Tanjakan

Sari;

3. KH. Endang, pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Muta’alimin kampung

Cikalang;

en tidak segan mempersilahkan orang luar untuk ikut mengurus pesantren.

Seperti dalam pembangunan pelebaran mesjid yang baru-baru ini terjadi,

pesantren menunjuk Bapak Iin yang merupakan orang luar pesantren untuk

mengetuai pembangunan, selain beliau juga banyak unsur-unsur masyarakat lain

yang terlibat dalam struktur.

Gambar 2. Antusiasme

Pesantren Nahdjussalam merupakan pesantren tertua di wilayah tersebut,

pesantren ini telah melahirkan banyak ulama-ulama ternama di Jawa Barat

maupun di luar Jawa Barat. U

di bawah ini:

Page 83: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

64  

4. KH. Abdurahman, pendiri Pondok Pesantren al-Mubarak; dan

5. KH. Abdul Qadir, pendiri Pondok Pesantren al-Mardiyah kampung

Cibagbagan.

Selain menelurkan kyai-kyai yang berhasil mendirikan pondok, pesantren

ini juga banyak menelurkan kyai-kyai langgar. Hampir seluruh kyai langgar yang

ada di Kampung Panyawungan juga merupakan alumni pesantren, meski mereka

juga sempat mencari ilmu di tempat lain. Hubungan kyai pesantren dengan kyai

langgar

si

reboan” yang bertempat di komplek pesantren.

dari pesantren lain. Selain “reboan”

yai langgar

emang untuk mensuplai pengetahuan kyai langgar

yang berfungsi sebagai pengayom umat.

di sekitar kampung Panyawungan, kampung Kara, kampung Bojong

Malati dan kampung Galumpit, hampir seluruhnya keturunan dari kyai langgar

yang menjabat pada masa KH. Kholil. Selain mempunyai hubungan keilmuan,

antara pesantren dan kyai langgar juga memiliki hubungan kekerabatan (lihat

diagram 4 dan 5).

Dalam mengayomi masyarakat, selain dengan membentuk kyai delega

yang disinggung di atas, pesantren ini juga mengadakan pengajian rutin yang

dilaksankan setiap hari rabu “

Meskipun pengajian ini sifatnya umum, namun kebanyakan dari jemaat yang

hadir merupakan kyai langgar dan kyai

pesantren ini juga mengadakan pengajian yang hanya diikuti oleh k

yang bisaa disebut “kemisan’ pengajian ini terbatas untuk kyai langgar karena

bahasan dan kitab yang dikaji m

Sedangkan untuk menjaga hubungan dengan alumni selain event khoulan

yang menjadi medium silaturahmi, peantren juga mnegadakan pengajian khusus

Page 84: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

65  

di bulan puasa. Kalangan pesantren biasa memanggilnya dengan “pasaran”.

Pasaran adalah pengajian yang mengkaji satu atau dua kitab dan tamat selama

bulan puasa. Para alumni yang belum maupun telah berkeluarga sering memadati

pondok untuk pengajian pasaran ini.

A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa

Untuk melihat lebih terperinci hubungan pesantren dengan birokrasi desa

ada baiknya m

dari KH. Sudja’i sesepuh pesantren al –

Jawami santri KH. Kholil);

8.

9. KH. Imang 1994-2002 (anak KH. Sudja’i santri KH. Kholil);

Seperti telah dikatakan terdahulu bahwa pendirian pondok pesantren

panyawungan tidak lepas dari dukungan pe

                                                           

elihat lebih dulu daftar kepala desa cileunyi wetan di bawah ini:

1. Abah Ante 1809 – 1849;

2. Bapak Aspan 1809 – 1879;

3. Bapak Karta Praja 1879 – 1884;

4. Bapak H. Manan 1984 – 1914;

5. Rdn. Ahmad Djakarta 1914 – 1942 (masa pendirian pesantren);

6. Bapak H. Abdul Hamid 1942 – 1971 (adik KH. Kholil);

7. KH. Rhmat 1972 – 1983 (mantu

Bapak H. E. Djaenudin 1983-1994 (menantu KH. Afandi _opular pondok

pesantren Nahdjussalam);

10. Bapak Iwan M. Fallah S. sos 2002-2007 (cucu KH. Afandi); dan

11. Bapak Zaky Salman Raliby 2007-sekarang (cucu KH. Sudja’i)12

merintah desa yang pada saat itu

 12 Monografi Desa Cileunyi Wetan 2009 

Page 85: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

66  

dijabat

tuk

ngan pemerintahan, tentu jasa beliau besar sekali

endapat pengawasan serius dari pihak

an separatis perjuangan kemerdekaan.

enjaga hubungan baik dengan Rdn.

mid untuk

lengser, maka H.

i dan eksisnya sebuah pesantren

Hamid adalah masa yang dianggap oleh

gai pelayan

masa

dukungan pesantren.                                                            

oleh Rdn. Atmadjadikarta, maka kajian pun di mulai pada saat beliau

menjabat. Dalam masa-masa awal pesantren berdiri, beliau adalah fasilitas un

berbagai akses yang berkaitan de

mengingat kelembagaan pesantren m

kolonial karena dianggap banyak melahirk

KH. Kholil selain terus m

Atmadjadikarta beliau juga mengkaderkan adiknya Bapak H. Abdul Ha

mempelajari dunia birokrasi. Setelah Rdn. Atmadjadikarta

Abdul Hamid naik menggantikan beliau. Hal ini menunjukan bahwa KH. Kholil

mempunyai kesadaran penuh bahwa berdir

membutuhkan penyangga-penyangga lain seperti ekonomi dan birokrasi. Masa

kepemimpinan bapak H. Abdul

masyarakat sebagai masa keemasan dimana pemerintah seba

masyarakat dan kebersamaan masyarakat benar-benar terasa.13

Ada yang menarik dalam pergantian kepala desa Cileunyi wetan setelah

Rdn. Ahmad Djakarta. Seperti dapat kita lihat di atas, kepala desa selalu

datang dari dua kampung, yaitu kampung Panyawungan dan kampung Al-Jawami

─hingga telah menjadi mitos di masyarakat─. Dari kampung Al-Jawami kepala

desa selalu dating dari keluarga pesantren. Sedangkan untuk kampung

Panyawungan setelah . H. Abdul Hamid tidak ada lagi keluarga pesantren yang

menjadi kepala desa. Kepala desa justru selalu datang dari Bani Afandi yang

merupakan pendukung pesantren. Namun itu pun tidak terlepas dari peran dan

 din , Bandung , 03 Maret 2010  13 Wawancara pribadi dengan H.E. Djaenu

Page 86: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

67  

Dulu ketika ingin menaikan H. E. Djaenudin menjadi KADES, saya

Dulu peran pesantren tidak hanya berada pada tata-taran simbo

kecamatan selama berhari-hari …

dan kawan lain dari keluarga pesantren menjadi garda depan.

atau dukungan,l tapi juga aksi. Bahkan kami rela menginap di

B.1. Sejarah Kampung Panyawungan

Ada dua versi yang beredar di masyarakat tentang penamaan kampung

Panyawungan. Versi pertama menyebutkan, penamaan “panyawungan” ini berasal

dari kata “panyambungan” yang artinya arena adu. Menurut masyarakat sekitar,

dahulu kampung tersebut merupakan tegal arena sabung ayam dan adu domba.

Namun berkat penyebaran ilmu agama oleh KH. Kholil, segala bentuk

kemaksiatan di kampung tersebut dapat diberantas. Oleh karena itu kemudian

masyarakat menamakan kampung tersebut dengan nama “panyawungan”.

edua menyatakan, nama “panyawungan” di ambil dari kata

“panyaung” yang artinya tempat berteduh. Konon menurut masyarakat sekitar,

dahulu untuk

bertedu

              

14

Hal ini juga menunjukan bahwa pesantren memiliki empat media yang

dikemukakan Parson yaitu komitmen, kekuatan, pemanfaatan, dan pengaruh

dalam berinteraksi sehingga memberikan timbal-balik baik kedalam maupun

keluar pesantren.

B. KONDISI GEORAFIS DAN DEMOGRAFI KAMPUNG PANYAWUNGAN

Sedang versi k

pernah ada penyebar Islam sekelas wali yang membuat gubuk

h di ujung barat kampung.

                                              14 Wawancara pribadi dengan bapak Drs. Dudung, mantan sekretaris pesantren, Bandung,

tanggal 01 Mei 2010 (sudah melalui proses transkrip) 

Page 87: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

68  

Meskipun ada dua versi yang beredar, namun di masyarakat lebih populer

dengan versi yang pertama. Selain dari kedekatan bunyi, hal itu juga diperkuat

oleh data yang menytakan, bahwa sebelum dinamakan “Panyawungan”, telah ada

nama terdahulu yaitu “Tarik Kolot” kemudian menjadi “Lembur Panjang” sampai

15

Gambar 3 : Peta Desa Cileunyi Wetan

                                                           

akhirnya menjadi “Panyawungan” .

 15 Wawancara bersama beberapa tokoh masyarakat di rumah ustadz Dede Abdul Kholik,

Bandung , tanggal 03 Maret 2010 

Page 88: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

69  

B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat

Kampung Panyawungan merupakan bagian administratif Desa Cileunyi

Wetan Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung – Propinsi Jawa Barat. Atau

berada pada titik 6° 57’0.92” LS dan 107° 44’ 8.51”BT. Ketinggian kampung

Panyawungan berada pada 663 meter dpal.  Kampung Panyawungan terletak di

bagian selatan desa dan masuk wilayah dusun satu bersama kampung Jajaway,

kampung Kara, kampung Bojong Malati, kampung Sindang Wargi, dan Perum

Abdi Negara. Letaknya sekitar 2 km dari pintu tol Cileunyi yang merupakan jalur

penting dalam perhubungan karena menjadi persimpangan arah Jakarta, Bandung,

Garut, dan Cirebon. Kampung Panyawungan memiliki luas wilayah ± 98 Ha, dan

terdiri dari 9 RT. Batas administratif di sebelah utara kampung Andir, di sebelah

timur berbatasan dengan Perumahan Abdi Negara, di sebelah barat berbatasan

dengan kampung Galumpit, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kampung

Kara.16

              

                                              16 Wawancara pribadi dengan bapak Drs. Iin Zainal Abidin, Bandung ,18 April 2010 

Page 89: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

70  

Gambar 4: Lokasi Kampung Panyawungan (dengan tanda merah) Dari

Jumlah penduduk kampung Panyawungan sebanyak 1820 jiwa yang terdiri

dari 521 KK. Sedangkan jumlah Keluarga Miskin (Gakin) 200 KK dengan

persentase 38,38% dari jumlah keluarga yang ada.

Google Maps

17

Pembukaan jalur tol Cileunyi memudahkan akses perhubungan lintas

kabupaten dan propinsi. Pembukaan jalur ini pula yang mengawali pembangunan

industri di daerah panyawungan. Daerahnya yang landai dan ketersedian tanah

pesawahan yang mudah untuk dirubah menjadi kapling, menjadikan kampung ini

pilihan tepat untuk mendirikan bangunan besar semacam industri.

Seperti dapat kita lihat pada gambar, kampung Panyawungan ditunjukan

oleh angka tiga. Dalam gambar di atas, kampung Panyawungan menjadi sentral

relokasi industri besar. Pembangunan industri di kampung tersebut hampir

memakan seluruh areal pesawahan dan bahkan ada industri ─sedang dalam

proses─ didirikan di tengah padat penduduk. Kini tercatat ada 13 industri yang

berdiri di atas tanah kampung tersebut.

1. PT. Catur Kartika Jaya, be

2. PUSLITBANG Pemukiman, institusi pemerintah yang bergerak dalam

konstruksi.

                                                           

Secara ekologis kampung Panyawungan merupakan daerah pesawahan

yang landai. Gunung Manglayang di sebelah utara kampung menjadi sumber

pengairan pesawahan dan kolam di kampung tersebut.

rgerak di bidang textile;

 17 Buku Cacah Jiwa Kampung Panyawungan 2008-2009 

Page 90: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

71  

3.

6.

9. PT. Ikafood, bergerak di bidang konsumsi pangan;

10.

ebut tentu saja

berdam

an Di Kampung Panyawungan

No Nama Pemilik Lokasi RT Jumlah Pintu

PT. Shinko Toyobo Gistex, bergerak di bidang textile;

4. PT. Agro, bergerak di bidang agronomi;

5. PT. Gistex, bergerak di bidang textile;

PT. Derma International, bergerak di bidang textile;

7. PT. Dutalfa, bergerak di bidang pengolahan plastik;

8. PT. Polyfilatex, bergerak di bidang textile;

PT. Sayap Mas Utama, gudang produk Wings;

11. CV. Sariwangi, bergerak di bidang pangan;

12. Unilever, gudang distribusi; dan

13. PT. GAS, bergerak di bidang agronomi (tahap pembangunan).

Dengan banyaknya pembangunan industri di kampung ters

pak pada tingkat urbanisasi. Tingkat urbanisasi di wilayah kampung

Panyawungan juga dipengruhi oleh jaraknya yang dekat ± 4 km dengan kota

pendidikan Jatinangor Kabupaten Sumedang yang telah bermetamorfosis menjadi

kota modern dengan segala infrastruktur publik yang memadai.

Tabel.1 Daftar Nama Pemilik Kontrak

1 Ny. Eneng 01 5 Pintu 2 Bapak Iin 01 7 Pintu 3 Bapak Aton 01 25 Pintu 4 Bapak Ending 01 15 Pintu 5 Ibu Dedeh 01 3 Pintu 6 Bapak Herman 02 5 Pintu 7 Hj. Onah 02 3 Pintu 8 Hj. Sobroh 02 20 Pintu 9 Hj. Edod 02 3 Pintu 10 Bapak Didin 03 5 Pintu 11 6 Pintu Bapak Ending 03

Page 91: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

72  

12 Bapak Nasihin 04 3 Pintu 13 Bapak Ubed 04 6 Pintu 14 H. Dadan 04 5 Pintu 15 Ibu Nyai 04 5 Pintu 16 Bapak Useng 05 4 Pintu 17 Bapak Ayi 05 3 Pintu 18 Bapak Saprudin 06 5 Pintu 19 Bapak Sobur 07 4 Pintu 20 H. Aceng 07 7 Pintu 21 H. Oping 08 20 Pintu 22 Bapak Darmin 08 9 Pintu

Secara infrastruktur kampung Panyawungan dapat disejajarkan dengan

ng ada di

kampu

Poliklinik : 1 Buah

Posyandu : 1 Buah

TK : 1 Buah

SD : 1 Buah

SLTP : 1 Buah

Futsal : 1 Buah

Warnet : 3 Buah

Wisma : 1 Buah

Yayasan : 3 Buah

LBH : 1 Buah

B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk

es ampung Panyawungan banyak berdiri industri, namun

ternyata tidak lebih dari 10 % saja penduduk yang bekerja sebagai buruh industri.

Mayoritas penduduk bekerja sebagai pedangang 30%, petani 30%, buruh kasar

20%, PNS 5% dan sebagaian kecil berprofesi sebagai tukang ojek, penjahit, dan

professional. Ironis lagi, kampung Panyawungan m punyai angkapengangguran

yang tinggi yaitu 131 orang di hitung dari jumlah penduduk usia produktif.18

                                

kampung atau perumahan yang telah maju. Infrastruktur publik ya

ng ini antara lain:

M kipun di k

em

                                u a Kampung Panyawungan 2008-218 B ku Cacah Jiw 009 

Page 92: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

73  

Keh i penduduk kampung Panyawungan bisa dikategorikan

sebagai penduduk dengan kemampuan ekonomi lemah. Selain keluarga

miskin di sebutkan di atas, hal ini diperkuat oleh data Prilaku Hidup Bersih dan

Sehat (PHBS) yang mengacu pada kemampuan konsumsi penduduk, Banyak

penduduk yang tidak sanggup memenuhi konsumsi sayur dan buah. Namun

begitu,

ulasi harta kekayaan yang dimiliki.

uduk setempat yang abrik, selain

disebabkan oleh tingginya tingkat urbanisasi, eh rendahnya

tingkat pendidikan penduduk sehingga tidak me untuk masuk

indu , hal menggembiraka eningkatnya

pendidikan penduduk. Jika pada data cacah ji oleh lulusan

SD .

Tipologi Pendidikan Pendidik

idupan ekonom

jumlah

menurut pengamatan penulis sebagian kecil penduduk mempunyai

kekayaan di atas rata-rata di lihat dari kemampuan membangun rumah yang

tergolong megah dan akum

Terbatasnya pend menjadi buruh p

juga disebakan ol

mpunyai kualifikasi

stri. Meski demikian n adalah semakin m

wa 2004 didominasi

, pada cacah jiwa tahun 2008 sudah didominasi oleh SLTP

Tabel. 2

Jenjang Pendidikan Jumlah Orang

1. SD

2. SLTP

3. SLTA

4. D3

26,1%

50,5%

17,7%

1,6%

5. S1 3,8%

Kondisi kesenjangan antara penduduk lokal dan pendatang seringkali

menjad duk asli, pendatang, dan i pemicu hubungan disharmonis antara pendu

Page 93: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

74  

pelaku industri. Fakta tentang hal tersebut, misalnya demontrasi terhadap PT.

Shinko Toyobo Gistex (1997) yang dilatarbelakangi oleh kecemburuan

masyarakat sekitar terhadap pendatang yang lebih banyak mendominasi lapangan

pekerjaan, kesurupan masal yang terjadi di PT. Derma Internasional dan PT.

Gistek (2003) bisa jadi merupakan bentuk provokasi masyarakat yang mempunyai

stigma negatif terhadap industri, terakhir konflik antara penduduk kampung

Panyawungan dan penduduk Bum

19

Suasana perkampungan atau komu slim lebih terasa kental di waktu

menjelang senja. entara

perempuan dengan rok nya. Setelah adzan maghrib pengajian kecil

(langgar di Jawa) uda dan mu a talaran dari salah satu

kitab Nahwu nyaring terdengar dari puluhan santri jid Jami’ yang terletak di

kompleks pesantren.

Meskipun di kam yawungan terdapat Pondok Pesantren, namun

pengajian langgar terdapat di setiap Rukun Tetangga (RT). Selain mengajar anak-

anak d

i Cipacing Permai (2006) dilatarbelakangi oleh

perebutan lahan industri.

B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk

Setelah sekitar dua kilometer dari gerbang tol Cileunyi menyusuri industri-

industri yang berjejer di kiri-kanan jalan menuju kampung Panyawungan, barulah

kita dapat melihat perkampungan besar dengan penduduk yang sangat padat.

nitas mu

Tua-muda; laki-laki dengan sarung dan kopiah, sem

dan jilbab

dipenuhi dengan m di. Suar

di mas

pung Pan

an remaja, sebagian langgar juga menyelenggarakan pengajian rutin

                                                            19 Wawancara pribadi dengan bapak Drs. Iin Zainal Abidin, Bandung, 18 April 2010 

Page 94: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

75  

mingguan buat para orang tua seperti “seninan” di langgar ustadz. Aceng dan

“kemisan” di langgar ustadz Uki.

langgar dan kyai pondok (diagram 2 dan 3). Ini tentu sebuah hal yang

menguntungkan dalam membina umat.

Uniknya lagi di kampung ini terdapat kekerabatan yang kuat antara kyai

Tabel. 3 Daftar Langgar

Langgar Pimpinan RT Pengajian Rutin

1. KH. Uun Fanhur

2. Ustadz. Aceng

3. Ustadz. Apep

4. Ustadz. Ma’mun

5. Ustadz. Aseng

6. Ustadz. Uki

7. Ustadz. Adin

8. Ustadz. Dede

9.

01

02

04

05

06

07

07

08

“Seninan” (khusus ibu-ibu)

“Juamatan” (pengajian umum)

“kemisan” (Karang Taruna)

“kemisan” (khusus bapak-bapak)

KH. Ukho

10. Ustadz. Endang

09 ─

Meskipun arus industrialisasi dan pembangunan sektor modern

membayangi perjalanan kampung ini, namun bagi masyarakat kampung

Panyawungan agama tidak saja merupakan ranah personal sesorang, masyarakat

juga mengangkat kegamaaan ke dalam ranah publik. Adanya kepanitian seperti

Page 95: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

76  

Panitia

 

Hari Besar Islam (PHBI) adalah salah satu contohnya, bahkan beberapa

tahun silam pernah terjadi pengusiran warga non-muslim yang tinggal di kampung

ini.

Page 96: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

76  

BAB IV

PERUBAHAN BUDAYA POLITIK PADA MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUGAN

A. Artikulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi

Jika mengaitkan keberadaan Pesanten Nahdujussalam dengan pendirinya

yaitu KH. Kholil, maka keberadaannya di kampung Panyawungan merupakan

pendatang. Mula-mula KH. Kholil hanya berinteraksi dengan para santrinya dan

sebagian kecil masyarakat. Namun interaksinya dengan masyarakat yang terjalin

baik dan mampu menjaring para tokoh masyarakat yang berpengaruh seperti KH.

Syarif dan KH. Afandi menjadikan KH. Kholil sebagai tokoh kharismatik di

wilayah Cileunyi.

Kemudian setelah jejaring lokal kuat, KH. Kholil juga mampu

memperluas jaringannya dengan pihak pesantren luar. Hal ini tentu saja sangat

menguntungkan bagi eksistensi pesantren. Peralihan dari pemimpin pondok

menjadi pemimpin sosial baru terlihat pada saat kepemimpinan KH. Dzajuli

dimana keturunan KH. Kholil mempunyai peranan sosial yang sangat besar di

masyarakat. Bahkan seperti disinggung di atas, pada saat ini lah pesantren

mempunyai pola kyai delegasi.

Besarnya peran sosial yang dimiliki oleh keturunan KH. Kholil,

menjadikan para praktisi politik tertarik untuk menjalin hubungan dengan

pesantren. Ini dibuktikan oleh penghargaan yang diberikan oleh Masyumi kepada

KH. Dzajuli pada tahun 1960. Tentu itu dilalakukan dengan kesadaran bahwa

ulama adalah sosok yang mampu memobilisasi massa. Persentuhan pesantren dan

Page 97: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

77  

politik be

pesantren

pemimpin

Be

ketika ula

dari pemim

Nahdjussa

memisahk

dengan ke

yang may

dimengert

posisi pe

berpengar

erlanjut den

mempunya

n kelompok.

KH. Ath

ertolak bela

ama masuk

mpin sosial

alam. Mesk

kan peran s

eaktifan be

yoritas pen

ti pula deng

enasihat (p

ruh).

                    1 L

                      ih, Kuntowijo

ngan aktifn

ai peran ga

.

hoillah dan B

akang deng

dalam poli

ke pemimp

ki KH. Sy

sosial keaga

eliau menga

nduduknya

gan posisi k

posisi yan

                  oyo, Muslim T

nya KH. S

anda, yaitu

GamBapak Dedi

gan pandang

itik, maka i

pin kelompo

yambas akti

amaan deng

ajar di maj

merupaka

kyai dalam p

ng gamang

Tanpa Mesjid,

Syambas di

sebagai pe

mbar 5. ing Ishak (C

gan Kuntow

ia akan me

ok. Hal itu t

if di Masy

gan peran

jelis-majelis

an simpatis

partai yang

g untuk t

h. 37

i Masyumi

emimpin so

Calon Bupat

wijoyo yan

engalami pe

tidak berlak

yumi, namu

politik. Ha

s ta’lim ka

san PKI.1

banyak me

tidak men

. Di sini p

sial dan se

ti Bandung)

ng menyebu

enyusutan p

ku bagi Pesa

un beliau

al itu dibuk

ampung Jaj

Hal itu

enempati se

nyebutkan

peran

ebagai

)

utkan,

peran,

antren

dapat

ktikan

jaway

dapat

ebagai

tidak

Page 98: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

78  

Persentuhan pesantren dengan politik terus berlangsung. Ketika pada tahun

1960 keluar Kepres No. 200/1960 tentang pembekuan Masyumi, dan orang-orang

Masyumi mendirikan Parmusi, KH. Syambas pun masuk ke dalam partai baru

tersebut.2 Kemudian ketika pada tahun 1973 pemerintah menyempitkan partai

kedalam tiga wadah, dan PPP adalah wadah yang berunsurkan Islam, maka KH.

Syambas dan KH. Athoillah pun ikut bergelut di dalamnya.

Persentuhan pesantren dengan politik mengalami penurunan setelah Era

Reformasi. KH. Athoillah melepaskan dirinya dari segala urusan kepartaian. Ini

berpengaruh besar pada warna perpolitikan masyarakat kampung Panyawungan.

Namun begitu, pada pemilu 1999, PPP masih mendominasi suara pemilih. Tetapi

sudah mulai muncul warna lain dalam memilih meskipun masih dalam warna

partai bernuansa Islam seperti PAN, PBB, dan PKB.3

Lamanya persentuhan pesantren dengan politik ─terutama dengan PPP─

mengakibatkan melekatnya citra bahwa Pesantren Nahdjussalam tetap merupakan

simpatisan partai berlogo Ka’bah. Hingga pada pemilu 2004 pesantren menjadi

pendukung utama Hj. Adjeng Ratna Suminar M. Sc calon anggota DPR yang

diusung oleh PPP. Namun meski pesantren menjadi pendukung utama

pensuksesan calon disebut, KH. Athoillah tidak turut aktif dalam usaha

pendulangan suara. Yang banyak berperan aktif dalam pendualangan suara adalah

keponakan beliau yaitu ustadz Tubagus Nihayatujen dan bapak Ateng.4

                                                            2 Ibid, h. 53 3 Wawancara dengan bapak Iin yang saat itu menjabat sebagai ketua TPS kampung

Panyawungan 4 Pada saat euporia Pemilu 2004, penulis berada dilingkungan pesantren dan berstatus

sebagai santri

Page 99: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

79  

Dukungan pesantren terhadap calon perempuan menuai pro dan kontra di

masyarakat. Ini dapat dimengerti karena pesantren mempunyai pandangan sendiri

mengenai kepemimpinan perempuan. Namun begitu, dengan segala aktifitas

pendulangan suara yang dilakukan oleh ustadz Tubagus Nihayatujen dan bapak

Ateng dengan menyandarkan diri pada pesantren, Hj. Adjeng Ratna Suminar M.

Sc mendapat suara mutlak di kampung Panyawungan.5

Pada pemilu 2009, Pesantren Nahdjussalam hanya mendudukan posisinya

sebagai pemilih. Pesantren tidak lagi berpihak pada satu partai dan satu calon pun.

Padahal banyak calon yang berusaha mendekati pesantren untuk memanfaatkan

kekuatan yang dimilikinya dalam rangka memobilisasi massa.

…Politik kiwari geus jauh beda jeung politik 30 taun ka tukang. Matak aringgis mun nenjo politik kiwari. Geus ayeuna mah urang balik deui kana guna urang sebagai pesantren.6

(…Politik sekarang sudah berbeda dengan politik 30 tahun yang lalu. Melihat politik sekarang membuat kita takut. Sudahlah, orang pesantren kembali pada jalur pesantren sebagimana mestinya).

Pengunduran pesantren dari dunia perpolitikan juga didasari oleh

kesadaran bahwa masyarakat telah dewasa dalam menentukan pilihanya dengan

adanya dukungan sarana informasi abad sekarang yang tidak ada pada jaman

dahulu. Seperti tergambar dalam kutipan di bawah ini.

Masyarakat ayeuna geus beda jeung masyarakat baheula. Radio, TV, koran, jeung sajabana geus mere kanyaho kana politik.7

(Masyarakat sekarang sudah berbeda dengan masa lalu. Radio, TV, koran, dan lain-lain sudah member informasi tentang politik).

                                                            5 Wawancara dengan bapak. Iin yang saat itu menjabat sebagai ketua TPS kampung

Panyawungan, Bandung 02 Mei 2010 6 Petikan tausiah KH. Athoillah pada acara selamatan kelahiran cucu beliau, Bandung 04

Mei 2009 7 Wawancara dengan KH. Athoillah 15 April 2010

Page 100: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

80  

Vacumnya pesantren dari perpolitikan bukan saja berpengaruh pada

variasi masyarakat dalam memilih, tetapi juga memunculkan aktor-aktor politik di

luar pesantren, seperti kemunculan ustadz Dede Abdul Kholik dan bapak Iwan M.

Fallah. Perpolitikan kampung Panyawungan tidak lagi seragam. Hal ini

dibuktikan oleh hasil perolehan suara dimana partai-partai bernuansa Islam harus

membagi suara dengan partai-partai berhaluan lain, bahkan ada warga seperti

bapak Amas yang bergabung dengan Gerindra.8

B. Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren: Antara Pemberdayaan dan Jaminan Keberlangsungan Industri.

Pondok pesantren Nahdjussalam, selalu dijadikan panutan dalam

berprilaku oleh masyarakat. Pondok ini dengan segala kekuatan yang dimilikinya

bahkan mampu meredam konflik berdarah antara penduduk kampung

Panyawungan dan Bumi Cipacing Permai pada pertengahan 2006. Kasus terbaru

adalah konflik sengketa tanah Perumahan Mutiara Cileunyi yang melibatakan

tindakan pengerahan massa hingga berujung pada konflik antara masyarakat

kampung Panyawungan dan kampung Galumpit. Peran pesantren dalam

mendudukan masalah tersebut justru lebih kuat daripada peran polisi dan pejabat

desa sekalipun.

Dalam kasus yang saat ini masih berlangsung, yaitu pendirian PT. Global

Agro Semesta. Pemilik perusahaan yang di mediatori oleh Yayasan Lingkar Santri

Nusantara (YALISAN) dan Yayasan Madani lebih memiih mendatangi pesantren

                                                            8 Kesulitan mendapatkan akses data akurat menyebabkan penulis hanya mengandalakan

wawancara dari para mantan ketua TPS yang ada di kampung Panyawungan. Wawancara dilakuakan dengan bapak. Iin, ustadz Cecep, dan bapak. Dudung, Bandung, 01-02 Mei 2010.

Page 101: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

81  

dalam berkonsultasi pendirian pabriknya yang berlokasi di tengah padat penduduk

dan tepat di muka gerbang pesantren (lihat h. 92).

Besarnya pengaruh pesantren tersebut menjadikan pihak industri selalu

menjalin hubungan baik dengan pihak pesantren. Selain dari bantuan yang

sifatnya pembangunan, industri juga memberi beberapa keistimewaan yang

diberikan pada pesantren. Bagi pihak industri tentu hal itu dilakukan sebagai

jaminan sosial untuk keberlangsungan produksi mereka.

Beberapa keistimewaan yang diberikan pihak industri terhadap pesantren

di antaranya: kewenangan untuk mengelola limbah textile dari PT. STG dan PT.

Poliyfilatex. Penyedia bahan baku bagi PT. Ika Food dan PT. Global Agro

Semesta. Namun tidak semua usaha tersebut dapat dikelola dengan baik oleh

pesantren. Saat ini hanya pengelolaan limbah dari PT. STG saja yang masih

berjalan. Banyaknya fasilitas yang diberikan terhadap pesantren berupa hak usaha

tersebut berdampak ke dalam maupun ke luar pesantren.

Dampak positif yang dirasakan oleh pesantren terbukanya sumber

keuangan, terbukanya lapangan pekerjaan, peningkatan kesejahteraan keluarga

pesantren dan pemasukan kas pesantren. Namun selain dampak positif

sebagaimana disebut, usaha komunal yang dijalani oleh keluarga pesantren ini

juga berdampak pada perpecahan keluarga pesantren akibat adanya ketimpangan

ekonomi antara keluarga. Selain itu juga banyak kyai-kyai pondok yang terjebak

Page 102: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

82  

dalam rutinitas bisnis yang tidak jarang meninggalkan tugasnya sebagai tenaga

pengajar di pondok.9

Kesemberawutan manajemen pondok yang belum siap dalam mengelola

usaha, menjadikan usaha yang sifatnya komunal ini telah beberapakali berganti

pimpinan, namun dalam perjalannnya tidak ada satu pimpinan pun yang berhasil

membawa usaha ini pada kemajuan.

Gambar 6. Aktivitas Di Penyortiran Limbah

Sedangkan dampak yang dirasakan dari luar adalah adanya sentimen dari

sebagian masyarakat yang menganggap pesantren memonopoli sumber daya yang

seharusnya dikelola oleh masyarakat. Sentimen masyarakat semacam itu bahkan

pernah membuat jalinan pesantren dan masyarakat kurang harmonis.

Beberapa pertemuan yang membahas tentang hak pengolahan limbah

industri berhasil memisahkan antara masyarakat yang pro terhadap pesantren dan

                                                            9 Menurut hasil observasi, penulis melihat ada pem-blok-an antara keluarga pesantren

yaitu blok utara yang merupakan keturunan Hj. Khotimah dan blok selatan yang merupakan keturunan dari KH. Athoillah dan KH. E. Najmudin. Sedangkan sisanya bersifat netral.

Page 103: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

83  

masyarakat yang pro terhadap Karang Taruna yang pada waktu itu dipimpin oleh

bapak Ade Zakaria. Kondisi masyarakat yang terpecah hampir saja membuat

marah para preman yang mendukung pesantren, kemarahan para preman tersebut

dapat diredam oleh musyawarah keluarga pesantren yang dilaksanakan pada

tanggal 21 Januari yang bertempat di komplek pesantren.10

Akhirnya pada pertemuan yang mempertemukan antara pesantren dan

Karang Taruna yang yang dilaksanakan pada tanggal 6 Februari 2005 di rumah

bapak Emuh, pesantren melepaskan hak pengelolaan limbah PT. Polyfilatex

kepada masyarakat.

C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa

Bagi penduduk desa, jabatan kepala desa merupakan jabatan terhormat,

memiliki banyak kekuasaan, dan dapat mendatangkan kekayaan. Itu mengapa

jabatan ini selalu menarik untuk diperebutkan oleh para elit dan para

pendukungnya yang ingin mendapatkan keuntungan tertentu dari calon yang

dijagokannya kelak jika menang.

Peran pemimpin sosial pesantren yang besar seperti disinggung di atas,

dengan sendirinya mempunyai kekuatan untuk konsensus penduduk seperti dalam

momentum pemilihan kepala desa. Hal itu dibuktikan oleh para kepala desa paska

Raden Atmajadikarta yang datang dari elit pesantren al-Jawami dan elit

Panyawungan yang mempunyai hubungan kekerabatan dan emosional dengan

pesantren Nahdjussalam.

                                                            10 Selain pada waktu itu penulis mengikuti sendiri pertemuan tersebut, data juga didapat

dari wawancara dengan ustadz. Cecep yang pada saat itu merupakan Ketua KOPONTREN Nahdjussalam

Page 104: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

84  

Sulit diketahui penyebabnya, entah itu semacam bargaining politik atau

semata hanya untuk menjaga keharmonisan antara pesantren al-Jawami dan

pesantren Nahdjussalam, setiap kali Panyawungan mempunyai calon, maka al-

Jawami tidak memiliki calon, begitu pula sebaliknya.11

Namun dalam kancah perebutan kepala desa, ternyata ada unsur lain yang

mampu memobilisasi massa di luar pesantren. unsur tersebut tidak lain adalah

modal yang harus dikeluarkan oleh calon kepala desa untuk membiayai masa

kampanye. Modal yang yang harus dikeluarkan dalam kampanye angkanya

mencapai puluhan juta rupiah.12

Masuknya peran modal dalam pemilihan kepala desa, menjadikan siapa

saja calon yang ingin menang untuk mendekati baik individu maupun intitusi

untuk mendukungnya atau setidaknya tidak memberikan modal pada lawan

politiknya.

Semenjak pembangunan industri di wilayah Panyawungan pada tahun

1984-an, industri sebagai institusi yang memiliki modal dan kepentingan masuk

mewarnai politik desa. Masuknya industri dalam perpolitikan desa memang

mudah dimengerti menimbang banyak kepentingan industri yang harus melewati

kewenangan kepala desa.13

                                                            11 Sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat Desa Cileunyi Wetan 12 Wawancara dengan bapak Iwan M. Fallah (mantan Kades 2002-2007), Ia

menghabiskan dana sampai 40 jt Rupiah untuk kelancaran kampanyenya. 13 Kepala desa banyak menikmati aset yang ada di daeranhya, seperti carik yaitu bagian

keuntungan dari hasil jual-beli tanah, jual beli ternak besar, besarnya persentase tergantung dari kesepakatan masyarakat sebelum pemilihan diadakan. Sedangkan untuk pemungutan pajak, pemerintah desa mendapatkan insentif sebesar 2,5% dari jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan dari penduduknya. Itu hanya yang diketahuinya saja, belum lagi hal-hal seperti perijinan-perijinan, terutama perijinan usaha. (Iwan M. Fallah).

Page 105: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

85  

Pengaruh modal tersebut terbukti pada pemilihan kepala desa tahun 2002

dimana bapak Iwan Miftahul Fallah menang tipis dari pesaing terdekatnya yaitu

H. Martin yang dikabarkan dekat dengan pihak Industri. Walau tidak ada data

yang dapat ditelusuri namun menurut ingatan bapak Iwan, ia hanya lebih 31 suara

dari lawannya.14

Industri yang menyebabkan urbanisasi juga berperan dalam pemecahan

suara mengingat banyaknya pendatang yang mempunyai hak untuk memilih.

Perilaku dan orientasi pendatang tentu berbeda dengan penduduk asli yang masih

terikat seperti oleh rasa primordial, adat-istiadat, dan pemakaian terhadap

pesantren sebagai pemimpin sosial. Bagi mereka, pemimpin dipilih berdasarkan

kualitas individu yang bersifat sporadis dan bukan lagi berdasar pada geneologis

dan segmental.15

Industri juga mempengaruhi perjalanan roda pemerintahan desa. Masih

menurut bapak Iwan, aparatur pemerintah desa tidak bisa bertindak apa-apa ketika

masyarakat mengeluhkan limbah industri yang mencemari perairan dan

lingkungan masyarakat.

Jika kita menekan industri dan mengadukannya secara hukum, maka siapa yang akan menanggung akibatnya. Siapa yang akan bertanggung jawab dengan pengangguran. Sedang untuk STG saja terserap lebih dari 5000 tenaga kerja.16

Bukan itu saja, ketika masyarakat mengeluhkan jalanan desa yang rusak

akibat lalu-lalangnya mobil berat industri. Pihak industri melimpahkan

                                                            14 Wawancara dengan bapak Iwan Miftahul Fallah, Bandung 03 Maret 2010 15 Menurut bapak Iwan, pecahnya suara beliau di Kp. Panyawungan dan Perum Abdi

Negara kemungkinan berasal dari suara pendatang yang displit oleh peran bapak Ending yang merupakan makelar tanah dan tangan kanan H. Martin

16Wawancara dengan Karang Taruna, Bandung 05 Juni 2010

Page 106: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

86  

permasalahannya tersebut pada pemerintah desa dengan dalih mereka membayar

pajak yang sangat besar. Dan desa tidak mampu berbuat apa-apa untuk

memperbaiki jalanannya sendiri.17

D. ARENA KERJA SAMA DAN KONFLIK YANG SEDANG TERJADI DI MASYARAKAT KP. PANYAWUNGAN

D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul: Aliansi Kepentingan Antar Elit yang Sudah Mapan

Berangkat dari analisis terhadap latar belakang geneologis para anggota

Komite Pembentukan Cileunyi Kidul, hampir seluruh elit anggota berasal dari

keturunan KH. Afandi dan elit lain yang mempunyai kekerabatan dengan rumpun

KH. Afandi. Dalam perjalananya, selain menjadi orang-orang kaya di kampung

Panyawungan, keluarga besar KH. Afandi juga lama terlibat dan berkecimbung

dalam persaingan memperebutkan posisi dan kekuatan politik desa. Yang menarik

di Desa Cileunyi Wetan.

Banyaknya keturunan KH. Afandi yang menjadi elit baik di tingkat RW,

desa, dan kabupaten; dapat dipastikan dalam keluarga KH. Afandi melekat unsur-

unsur kuat yang mempengaruhi politik. Unsur-unsur kuat yang melekat pada

keluarga KH. Afandi yang penulis temukan di antaranya unsur kekuasaan, status

sosial, dan kekayaan. Sedang untuk kekuatan simbolis, para elit dari rumpun KH.

Afandi menyandarkan dirinya pada pondok pesantren. Kuatnya hubungan

emosional antara rumpun KH. Afandi dan pesantren selain terjalin dari hubungan

kekerabatan dan donatur, juga terbangun dari timbal-balik hubungan sosial antar

keduanya.

                                                            17 Walau tidak ada bukti kuat, tulisan itu penulis ambil dari pernyataan bapak Iin yang

menuduh aparatur desa banyak memakan uang cincai dari industri hingga tidak mampu berbuat apa-apa.   

Page 107: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

87  

Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul pertama kali digagas pada

pertengahan 2009 oleh beberapa tokoh masyarakat kampung Panyawungan, di

antaranya: Drs. Iin Zainal Abidin (ketua RW. 03 kampung Panyawungan), Iwan

Miftahul Fallah S. sos (mantan Kepala Desa), dan Dede Abdul Kholik (ketua

Karang Taruna dan ketua Yayasan Lingkar Santri Nusantara).

Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul dilatarbelakangi oleh luasnya

wilayah administratif Desa Cileunyi Wetan. Menurut bapak Iin, jika merujuk pada

luas wilayah dan jumlah kepadatan penduduk, maka sudah sepantasnya Desa

Cileunyi Wetan diadakan pemekaran.

Pemekaran Desa Cileunyi Kidul ini sudah sepantasnya dilakukan. Jika melihat pada sejarah pemekaran Desa Cileunyi yang terbagi menjadi Desa Cileunyi Wetan dan Desa Cileunyi Kulon pada tahun 1978, pemekaran menjadi Desa Cileunyi Kidul lebih pantas melihat dari luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemandirian peduduk18

Namun selain alasan di atas, ternyata ada alasan lain yang

melatarbelakangi Pembentukan Komite Desa Cileunyi Kidul. Seperti dalam

kutipan di bawah ini.

Aset terbesar untuk pemasukan Desa Cileunyi Wetan didapat dari wilayah Kp. Panyawungan dengan adanya industri-industri yang berdiri di wilayah kita. Sedang apa yang kita terima, jalanan desa yang rusak menuju daerah kita akibat mobil-mobil berat industri. Desa tidak berani mendesak pihak industri. Ini dapat dimengerti menimbang besarnya pemasukan yang mereka terima dari pihak industri. Bayangkan jika kita bisa menerima Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang jumlahnya mencapai ratusan juta yang diterima oleh Yayasan Saepul Ulum (elit al-Jawami), padahal seyogyanya itu merupakan hak kita yang merasakan langsung pahit-manisnya industri.19

                                                            18 Kutipan dari bapak Iin pada sebuah dialog dengan bapak Ruly (Keua RW. 23 Perum

Abdi Negara), Bandung, 19 Desember 2009, sebagaimana dituturkan oleh bapak Deni sekertaris Karang Taruna

19 Kutipan wawancara mendalam dengan ustadz Dede Abdul Kholik, Bandung, 20 Mei 2010

Page 108: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

88  

Para penggagas disebut di atas, terus menyebarkan gagasannya kepada

para tokoh masyarakat di lingkungan kampung Panyawungan. Setelah gagasannya

mendapatkan respon positif dari masyarakat kampung Panyawungan, barulah

mereka menyebarkan gagasan ke wilayah sekitar yang direncanakan masuk dalam

wilayah Desa Cileunyi Kidul. Adapun wilayah yang direncanakan adalah sebagai

berikut:

• RW. 01 kampung Jajaway;

• RW. 02 kampung Kara;

• RW. 03 kampung Panyawungan;

• RW. 04 kampung Pasir Tukul;

• RW. 16 kampung Andir;

• RW. 17 kampung Bojong Malati;

• RW. 18 kampung Sindang Wargi; dan

• RW. 23 PERUM Abdi Negara.

Gagasan tersebut cepat menyebar setelah mendapatkan respon positif dari

Karang Taruna dan pesantren. Karang Taruna mempunyai peranan untuk persuasi

masyarakat bawah, sedang untuk persuasi masyarakat atas serta industri,

merupakan tugas para penggagas yang memang mempunyai jejaring luas.

Bargaining dengan industri menempati posisi yang sangat penting menimbang

posisinya yang sanggup memberi pengaruh dalam permasalahan dana.20

                                                            20 wawancara mendalam dengan ustadz Dede Abdul Kholik, Bandung, 20 Mei 2010

 

Page 109: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

89  

Setelah melakukan persuasi yang cukup panjang akhirnya gagasan tersebut

berbentuk menjadi komite setelah pertemuan di rumah bapak Ruly pada tanggal

20 Desember 2009 dengan pembentukan struktur sebagai berikut:

Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul

PenasihatKH. Uun fanhur

KetuaDrs. Iin Z . Abidin

wakilIwan M. Fallah

Sekretaris Bpk. Ruly

Dede A. Kholik

Hum asBpk. Om anBpk. Awo

AnggotaBpk. SobirinBpk. DedeBpk. Am ad

DerinBpk. Am as

kembali pada landasan analisis yang telah disinggung di atas, hubungan

kekerabatan yang terlihat dalam struktur di atas dapat ditelusuri dalam diagram di

bawah ini.

Page 110: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

90  

Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elit Komite Cileunyi Kidul

Ket:

1. KH. Kholil2. Bpk. H. Abdul Hamid (mantan Kades)3. KH. Athoillah4. Bpk. Oman, Prn.5. KH. Afandi6. KH. Uun Fanhur

7. Drs, Iin Zainal A. (RW)8. Bpk. Awo (ketua Yayasan Madani)9. Bpk. Iwan (mantan Kades)10. Bpk. E. Djaenudin (mantan Kades)11. Bpk. Dede (ketua YAPEMPA)12. Ustd. Dede A. Kholik (ketua Karang Taruna)

Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul dalam perjalanannya menemui

kebuntuaan. Kebuntuan tersebut selain disebabkan oleh kebersikukuhan aparatur

Desa Cileunyi Wetan yang tidak mau melepas wilayahnya, juga disebabkan oleh

konflik internal komite yang akan dibahas di bawah ini.

D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna: Tarik Menarik Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan Pragmatis.

Karang Taruna kampung Panyawungan yang vacum sekitar tahun 2005

sampai dengan 2008 kembali aktif pada awal tahun 2009 di bawah kepemimpinan

ustadz Dede Abdul Kholik. Walau di usianya yang masih dini, peran karang

taruna dalam pemberdayaan dan pengembangan generasi muda dapat dikatakan

berhasil . Di bawah kepemimpinan kharismatis ustadz Dede, anak muda tidak

hanya digiring ke arah berdaya cipta tetapi juga mampu digiring ke arah

Page 111: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

91  

keagamaan. Dari keberhasilannya, organisasi tersebut mendapat sambutan hangat

baik dari pihak ke-RW-an maupun dari masyarakat luas.

Banyak agenda-agenda publik yang diselesaikan dari hasil kerjasama

antara ke-RW-an dan karang taruna. Kemesraan ke-RW-an dan karang taruna

terjalin terutama pada saat bekerja untuk Komite Pembentukan Cileunyi Kidul

seperti telah disinggung di atas. Namun seiring perjalanannya, peran Karang

Taruna semakin jauh menembus pemberdayaan tenaga kerja, bargaining usaha

dan lain-lain. Kepopuleran Karang Taruna bahkan mampu melangkahi

kepupuleran ke-RW-an yang merupakan mitra masyarakat dalam bernegara.

Benih-benih konflik antara Karang Taruna dan ke-RW-an mulai tampak

ketika kasus sengketa tanah yang menimpa Perum Mutiara Cileunyi yang menjadi

bagian RT kampung Panyawungan. Ke-Rw-an bersikukuh ingin mengambil jalur

hukum untuk menggugat bapak Idris yang telah memenangkan gugatannya

terhadap pihak develover, sedangkan Karang Taruna mengajak jalur dialog

dengan bapak Idris yang sudah berkali-kali diputus menang oleh pengadilan untuk

meringankan beban debitor perumahan. Dalam permasalahan tersebut ternyata

opini dan ajakan Karang Taruna lah yang diikuti oleh masyarakat Perum Mutiara

Cileunyi (RT. 09).

Perpecahan atau konflik antar ke-RW-an dan Karang Taruna semakin

memanas ketika datangnya PT. Global Agro Semesta yang ingin mendirikan

pabrik pengembangan mikroba untuk keperluan agro bisnis. Rencananya, PT.

GAS akan mendirikan pabriknya di wilayah RT. 01 yang merupakan areal padat

Page 112: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

92  

penduduk. Lahan yang rencananya akan digunakan adalah lahan bekas pabrik

kerupuk atas hak milik Hj. Maskanah yang merupakan anak KH. Affandi.

Pada saat itu, pemilik PT. GAS yaitu bapak Roky meminta kepada Ustadz

Dede Abdul Kholik yang merupakan ketua Yayasan Lingkar Santri Nusantara dan

ketua Karang Taruna untuk mensukseskan programnya.

Kemudian ustadz Dede Abdul Kholik meminta kepada Karang Taruna dan

Yayasan Madani di bawah pimpinan Bapak Awo untuk turut serta dalam

memediatori PT. GAS dan masyarakat. Kesadaran akan pentingnya posisi

pesantren di masyarakat, maka pada tanggal 12 Februari 2010, jajaran direksi PT.

GAS yang ditemani oleh karang taruna bersilaturahmi ke pesantren. Pada saat

mereka bersilaturahmi, sesepuh pesantren yaitu KH. Athoillah sedang berada di

luar kota. Kemudian rombongan memutuskan untuk berziarah ke makam KH.

Kholil.

Entah bagaimana kebenarannya, konon pada saat berziarah kubur, bapak

Roky yang dikabarkan mu’alaf oleh masyarakat mengalami semacam ektase.

Beliau meminta kepada ustadz Dede Abdul Kholik untuk mengantarkanya ke

sebelah utara dari perkomplekan pondok yang merupakan tempat pembuangan

sampah dengan keadaan yang sangat kumuh. Ia menyayangkan keberadaan TPS

tersebut yang mengganggu keasrian infrastruktur pondok.

Esok harinya, rombongan kembali datang ke pesantren dan bertemu

dengan sesepuh pondok. Selain untuk meminta ijin mendirikan pabrik, bapak

Roky juga menawarkan banyak sekali bantuan dan kerjasama dengan pihak

pesantren. Salah-satu bantuan yang akan diberikan terhadap pesantren adalah

Page 113: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

93  

kesiapan b

selesai.

DeNg

(sauru

Per

Taruna un

Ro

merupakan

mendatang

hal-nya d

pabrik PT

penduduk

bapak Roky

ewek mah tgan lamun ja

aya tidak musan pemeri

rnyataan K

ntuk dapat m

Bap

ombongan

n pimpinan

gi bapak Iin

engan pesa

T. GAS den

serta berde

                    21 U

Taruna dan

                      Ucapan KH. Akeluarga pesa

y untuk mem

teu bisa ngang kaalusa

mempunyai intah, namu

KH. Athoilla

mensukseska

ak Roky (T

PT. GAS

n yayasan

n untuk men

antren, piha

ngan alasan

ekatan deng

                  Athoillah yanantren. Observ

mbangun T

gijinan, da an mah sok

kewenangaun bila itu un

ah tersebut

an program

GamTengah) Ber

dan Kara

Madani s

ngurus perij

ak RW bes

pabrik ters

an pesantre

g dikutip olehvasi di Bumi S

TPS segera s

anu kararidido’akeun

an untuk mntuk kebaik

segera men

mnya.

mbar 7. sama Tokoh

ang Taruna

sekaligus a

inan pemba

erta jajaran

sebut berdir

n.

h ustadz DedeSeuweu Putu,

setelah bang

tumah urusn…21

memberikankan saya tur

njadi kekua

h Ulama Se

a serta bap

adik kandu

angunan pab

nya menola

ri di atas li

e pada sebuahBandung 02 M

gunan pabr

san pamare

n ijin, itu arut mendoak

atan bagi K

etempat

pak Awo

ung bapak

brik. Namun

ak pembang

ingkungan

iknya

entah.

adalah kan).

arang

yang

RW,

n lain

gunan

padat

h pertemuan KMei 2010

Karang

Page 114: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

94  

Beberapa kali Karang Taruna dan yayasan madani mencoba melobi pihak

ke-RW-an untuk memberikan ijin mendirikan pabrik. Salah-satu usaha yang

dilakukan adalah dengan mencoba mendudukan permasalahan secara bersama-

sama yang diadakan di rumah makan Sukahati pada tanggal 20 Februari. Dalam

pertemuan rencananya akan dihadiri oleh pihak PT. GAS, Karang Taruna, Aparat

Desa, ke-RW-an, pihak Pesantren, dan tokoh masyarakat.

Namun pertemuan itu pun mengalami jalan buntu akibat pihak ke-RW-an

tidak mendatangi pertemuan tersebut dan itu adalah tanda bahwa pihak ke-RW-an

bersikukuh dengan pendiriannya. Namun setelah pertemuan tersebut, dengan

sepengetahuan dari desa, bangunan pabrik pun mulai didirikan.

Karang Taruna melanjutkan aksi penggalangan dukungan dari masyarakat

dengan cara meminta tandatangan dari masyarkat sebagai bentuk dukungan untuk

didirikannya pabrik, penggalangan tanda tangan ini dilakukan oleh ustadz Aim

Salim yang merupakan kerabat pesantren. Sementara Karang Taruna giat

mengadakan penggalangan dukungan, pihak ke-RW-an menguatkan barisannya

dan mendekati orang-orang yang memiliki pengaruh seperti ustadz-ustadz langgar

yang ada di kampung Panyawungan. Pihak ke-RW-an pun merapatkan diri dengan

para muhibbin atau simpatisan pesantren yang khawatir aktivitas pesantren akan

terganggu dengan hadirnya pabrik tersebut.

Persaingan galangan masa antara Karang Taruna dan RW terus bergulir

hingga pada tataran perang propaganda untuk membentuk opini publik. Untuk

menguatkan propagandanya masing-masing kubu selalu mengaitkan atau

Page 115: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

95  

mengklaim nama pesantren. Masyarakat terbelah menjadi kubu Karang Taruna ,

kubu RW, dan sebagian kecil bersikap netral.

Mengetahui bahwa jabatan RW telah habis dan telah ada dua surat

himbauan untuk segera mengadakan pemilihan RW dari pihak desa pada akhir

Desember 2009 dan akhir Januari 2010. Karang Taruna maju setingkat ke arah

aksi provokasi dengan membuat panitia pemilihan RW. Panitia pemilihan RW

baru semakin gencar diketengahkan pada masyakarakat terlebih setelah

mengetahui telah ada surat himbauan untuk yang ketiga kalinya. Namun dengan

kronologis seperti itu, pihak RW justru menuduh bahwa Karang Taruna dan PT.

GAS me-interpensi pihak desa untuk menjatuhkan dirinya.22 Bagi pendukung RW

tindakan Karang Taruna adalah tindakan mengkudeta bapak Iin.

Konflik tersebut terus meningkat hingga pada kontak fisik antara

pendukung Karang Taruna dan pendukung ke-RW-an. Bapak Ayi yang

merupakan pendukung Karang Taruna dan ketua panitia pemilihan RW bentukan

Karang Taruna di pukul oleh ustadz Ma’mun yang merupakan pendukung ke-

RW-an. Sebaliknya, Karang Taruna memukuli bapak Asep yang di tuduh

menyebarkan isu bahwa ustadz Dede mendapatkan uang suap dari bapak Idris

sebesar 200 juta Rupiah.

Konflik yang tidak terkontrol mengakibatkan keresahan pada masyarakat

dan menuntut peran pesantren sebagai pemimpin sosial untuk dapat meredam

                                                            22 Bapak Iin Zainal Abidin telah 30 tahun menjabat sebagai ketua RW.03 kampung

Panyawungan. Jabatanya diterima setelah KH. Athoillah mengundurkan diri dari Ketua RW pada tahun 1979. Jabatan RW pernah diserahkan pada bapak Aceng pada tahun 1994 namun entah bagaima, setelah beberapa bulan jabatan itu kembali diambil oleh bapak Iin. Pengalihan jabatan juga terjadi pada tahun 2008 pada bapak Ade Zakaria, namun kembali diambil alih oleh bapak Iin. Sebelum kasus konfllik antara ke-RW-an dan karang taruna mencuat, sebenarnya bapak Iin sudah mengkaderkan ustadz Cecep untuk menggantikan jabatannya.

Page 116: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

96  

konflik yang terus memanas. Rupanya konflik ini pun membuat khawatir baik dari

pihak Karang Taruna dan pihak ke-RW-an, namun keduanya masih bersikukuh

untuk terus bertahan dengan pendiriannya masing-masing.

Pada tanggal 25 Mei 2010, pihak ke-RW-an mendatangi KH. Athoillah

untuk meminta dukungan moril dan membahas tentang konflik yang sedang

terjadi di masyarakat. Bapak Iin siap untuk mengundurkan diri apabila ia di minta

oleh KH. Athoillah untuk mundur, hal itu tentu tidak akan dilakukan oleh KH.

Athoillah menimbang posisinya dan konflik yang akan pesantren terima jika KH.

Athoillah melakukan hal itu. Permintaan bapak Iin yang meminta KH. Athoillah

untuk bersuara dalam penolakan pendirian pabrik juga tidak mungkin dilakukan

oleh KH. Athoillah mengingat dana besar yang telah dikeluarkan oleh PT. GAS.

Pihak pesantren yang semula terlihat agak condong terhadap pihak Karang

Taruna, menarik dan mengganti statmennya.

Bagi pihak pesantren jika pabrik itu harus ada dan maslahat bagi umat, maka kami bersukur. Dan jika pabrik itu tidak ada untuk kemaslahatan umat, bagi kami tidak mengapa23

Pihak ke-RW-an beserta masyarakat yang pro merencakan demo pada

tanggal 27 Mei 2010 bertepatan dengan hari peresmian PT. GAS. Namun demo

itu tidak jadi dilaksanakan mengingat KH. Athoillah menghadiri peresmian

tersebut dan banyak ulama ternama dari daerah Jawa Barat yang menghadiri

peresmian tersebut. Rencana demo ternyata bukan hanya dimiliki oleh pihak ke-

RW-an, pihak Karang Taruna juga hendak melaksanakan demo terhadap bapak Iin

                                                            23 Statmen KH. Athoillah pada saat pihak ke-RW-an datang untuk meminta dukungan,

observasi rumah KH. Athoillah, Bandung 25 Mei 2010

Page 117: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

97  

yang mereka nilai otoriter, pihak Karang Taruna menganggap apa saja yang tidak

berkenaan dengan RW selalu dilabeli oknum.

Gambar 8. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta

Untuk mengakhiri konflik tersebut akhirnya pihak desa turun tangan. Desa

memfasilitasi pertemuan antara ke-RW-an dan Karang Taruna. Dalam pertemuan

itu diputuskan bahwa PT. GAS berada di bawah pengawasan pihak ke-RW-an.

Selain itu masyarakat juga telah mulai menyadari bahwa konflik antara ke-

RW-an dan Karang Taruna adalah konflik keluarga yang dibawa ke arena

masyarakat. Hingga penulis meninggalkan tempat penelitian konflik ini belum

menemui akhir.

Page 118: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

99  

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Pusat perhatian dalam studi ini adalah keadaan budaya politik masyarakat

kampung Panyawungan (daerah yang bisa dikatakan sub-urban) yang dipengaruhi

oleh tatanan yang telah mapan yaitu kepemimpinan pesantren dan industrialisasi

atau sektor modern yang masuk ke wilayah tersebut.

Keberadaan pesantren Nahdjussalam ternyata tidak sesederhana seperti

yang banyak peneliti temukan. Pesantren Nahdjussalam mempunyai hubungan

fungsional dengan masyarakat sekitarnya seperti dalam pendidikan agama,

kegiatan sosial, kegiatan ekonomi, hingga kegiatan politik.

Masyarakat kampung Panyawungan masih loyal terhadap ikatan

primordial dan kekeluargaan. Masyarakat juga menjadikan pesantren sebagai

lembaga kharismatis yang petunjuknya masih dipakai oleh sebagian besar

masyarakat.

Industri dengan sektor modernya telah mengubah masyarakat kampung

Panyawungan seperti dari masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada

pertanian menjadi buruh industri, mobilisasi masyarakat, interaksi dengan

masyarakat pendatang, dan kuantitas informasi. Elemen-elemen disebut

berpengaruh pada struktur dan fungsi sosial masyarakat.

Pesantren yang telah mempunyai peran sebagai pemimpin kelompok atau

politik justru melepaskan perannya dan lebih memilih mengambil peran sosial.

Page 119: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

100  

Kesadaran pesantren akan perubahan yang terjadi di masyarakat menjadikan

pesantren harus menerima apa yang menurutnya berharga, walau itu harus dibayar

oleh harga mahal seperti pelepasan tradisi dan kekuasaan. Namun begitu,

keberadaan pesantren yang tidak lagi absolut masih dijadikan simbol pemersatu

oleh masyarakat.

Keberadaan ustadz Dede dan bapak Iin menunjukan perubahan dari tipe

rekrutmen geneologis menjadi segmental. Namun jika melihat peran ustad Dede

sebagai pemimpin keagamaan, itu sudah menunjukan adanya pola sporadis dalam

kemunculan seorang pemimpin, dalam arti pemimpin keagamaan tidak lagi datang

dari keturunan pesantren saja, tetapi pemimpin keagamaan sudah mulai dilihat

dari kualitas intelektual individu.

Konflik antara ke-RW-an dan Karang Taruna seperti telah digambarkan,

menunjukan adanya perubahan orientasi masyarakat dari romantis ke pragmatis.

Konflik tersebut juga menggambarkan melemahnya ikatan primordial oleh

kepentingan tujuan.

Masyarakat kampung Panyawungan sudah bukan lagi masyarakat yang

hanya turut pada ketentuan normatif semata, tapi mereka sudah mulai

mempertimbangkan asas fungsional. Adanya konflik dan terbaginya masyarakat

ke dalam kubu yang berlawanan adalah indikasi untuk hal itu. Walupun konflik

dan persekongkolan yang terjadi dimotori oleh aktor-aktor yang melibatkan

massa, namun itu menunjukan perubahan-perubahan yang terjadi pada “kaum

elit” baik dalam posisi sebagai subjek maupun objek transformasi, pada akhirnya

Page 120: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

101  

juga berimplikasi pada proses transformasi “bawah” masyarakat dan

lingkungannya.

Setelah mencoba merumuskan masyarakat Panyawungan dengan teori-

teori yang telah ada, maka penulis mempunyai kesimpulan bahwa masyarakat

Panyawungan mempunyai kompleksitas tertentu untuk dimasukan kedalam

kategori masyarakat pra-industri, masyarakat semi-industri, dan masyarakat

industri. Dengan tidak bermaksud mereduksi tingkah-laku manusia maka penulis

menyebut masyarakat Panyawungan adalah masyarakat “peralihan” mengingat

semua ciri-ciri tipe masyarakat disebut berlaku pada masyarakat Panyawungan.

B. REKOMENDASI

1. Untuk masyarakat pesantren yang telah berani membuka diri, bukan berarti

berhenti dalam menginterpretasi dan aksi untuk terus eksis dalam aktivitas

Dakwah Islamiyah untuk keharmonisan umat. Seba jika tidak, maka

pesantren dikemudian hari hanya akan menjadi objek dari perubahan.

2. Untuk masyarakat Panyawungan, sebenarnya telah mempunyai modal adat,

tradisi, nilai-nilai yang unik dan ditambah dengan kesadaran akan suatu

perubahan, tentu dapat dijadikan modal untuk mengarahkan masyarakat

kedalam bentuk yang lebih baik yang mengacu pada konsep masyarakat

madani dengan bangunan sistem-sitem yang berlaku dan telah diterima oleh

masyarakat.

3. Untuk penelitian lanjutan khususnya bagi jurusan Komunikasi Penyiaran

Islam (KPI) dapat merumuskan penelitian untuk melihat lebih spesifik pada

bentuk komunikasi pesantren.

Page 121: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

102  

4. Bagi para peneliti, banyak sekali fenomena yang dapat kita temukan di

lingkungan masyarakat sub-urban semisal Panyawungan. Salah satu yang

penulis temukan adalah permasalahan tenaga kerja yang kebanyakan

meyedot tenaga perempuan hingga penulis melihat semacam adanya

pertukaran peran dalam keluarga. Ini tentu akan berimplikasi pada kehidupan

keluarga dan perilaku masyarakat.

Page 122: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ambari, Hasan Muarif, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial

di Banten, Makalah Simposium Nasional dan Kongres Pemuda Al-

Khairiyah se Indonesia , Serang 1992.

Benda, Harry J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya, 1983.

Campbell, Tom, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman, Jakarta :

Kanisius, 1994.

Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai,

Jakarta : LP3ES, 1985.

Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Kiyai dalam Masyarakat Jawa, Jakarta :

Pustaka jaya, 1981

Hardiman, F. Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik

dan Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta : Kanisius,

1993.

Hasanah, Umdatul, “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam

Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon” (Penelitian Block Grant

IAIN Banten, 2008).

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: interpretasi untuk aksi, Bandung : Mizan, 1991.

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid, Bandung: Mizan, 2001

Kweit, Mary Grisez, Konsep dan Metode Analisa Politik Penerjemah Ratnawati,

Jakarta; Bina Aksara, 1986.

Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta :

Paramadina, 1997.

Page 123: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Madjid, Nurkholis, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, Bandung : Mizan,

1987.

Noor, Mahpuddin, Potret Dunia Pesantren, Bandung : Humaniora, 2006.

Parker, S.R, dkk., The Socilogy Of Industri Penerjemah G. Kartasapoetra ttp :

Bina Aksara, 1985.

Parsons, Talcot and American Sosiologi, sebagaimana dikutip Nurkholis Madjid,

Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan) 1987.

Parsons, Talcot, On The Theori if Sosial Interactions Media, sebagaimana dikutip

Ivan Alhadar, “Tradisi dan Tantangan Kebudayaan Urban Industri “ dalam

Manfred Oepen dan Wolfgang Kacher (ed) Dinamika Pesantren, (Jakarta :

P3M), 1987

Rahardia, Trubus, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan

Pendekatanya, Jakarta: Trisakti, 2006.

Safirani, Amalinda, Dari Negara Ke Coca-Cola: Merintis Kajian Budaya dalam

Ilmu Politik di Indonesia, Newsletter KUNCI No. 3, November 1999

Saridjo, Marwan, dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta : Dharma

Bhakti, 1979.

Soekanto, Soerjono, Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat,

Jakarta : Rajawali, 1983.

Suprayogo, Imam dan Tobroni, metodologi penelitian sosial Agama, Bandung:

PT. Remaja Rosda Karya.

Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT

Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, jilid 4.

Uswah, “Agama dan Politik : Studi Kasus Pada Dewan Pimpinan Pusat (DPP)

Partai Amanat Nasioanal”, Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat,

Universitas Islam Negri Jakarta , 2007.

Page 124: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Wahid, Abdurahman, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial ?,” dalam

Hiroko Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, Jakarta: P3M, 1987.

Yacub, H.M, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, Bandung :

Angkasa, 1985.

WEBSITE

Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal

17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php

WAWANCARA

Wawancara Pribadi dengan Ustadz. Bibin, Bandung, 15 April 2010

Wawancara Pribadi dengan KH. Athoillah, Bandung, 15 April 2010

Wawancara bapak Iim A. Karim

Wawancara dengan Ustadz Bagja, Ustadz Cecep, dan Ustadz Deden, Bandung, 07

Mei 2010

Wawancara dengan Bapak Iin yang saat itu menjabat sebagai ketua TPS kampung

Panyawungan, Bandung 02 Mei 2010

Wawancara Pribadi dengan H.E. Djaenudin, Bandung, 03 Maret 2010

Wawancara Pribadi dengan Drs. Dudung, Bandung, 01 Mei 2010.

Wawancara Bersama Beberapa Tokoh Masyarakat Di Rumah Ustadz Dede Abdul

Kholik, Bandung, 03 Maret 2010

Wawancara Pribadi dengan bapak Drs. Iin Zainal Abidin, Bandung, 18 April 2010

Wawancara dengan bapak Iwan Miftahul Fallah, Bandung, 03 Maret 2010

Wawancara dengan Karang Taruna, Bandung 05 Juni 2010

Page 125: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Wawancara dengan Ustadz. Dede Abdul Kholik, Bandung, 20 Mei 2010 

Wawancara dilakuakan dengan Bapak. Iin, Ustadz Cecep, dan Bapak. Dudung,

Bandung, 01-02 Mei 2010.

Page 126: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Kesibukan Jalan Panyawungan Pagi Hari

Dua Petak Sawah Di Antara Industri-Industri

Page 127: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Mesjid Dan Halaman Pondok Pesantren Nahdjussalam

Page 128: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o
Page 129: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

LAMPIRAN FOTO-FOTO

Jalanan menuju kampung Panyawungan Peresmian PT. Global Agro Semesta

Penulis saat mengumpulkan data bersama warga Ustadz Dede Abdul Kholik (kanan) dan Anggota Karang tarauna

Page 130: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

gdf

Bapak

Desak

Drs. Iin Zai

kan Warga P

inal Abdin (

Pada Saat Kh

(Ketua RW

houl

Waw

wancara denk

Pengajian P

ngan KH. Atkyai langgar

thoillah dann para

Para Kyai LaAthoil

anggar Di KHllah

H.

Page 131: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

S

Ke-RW-a

yahriyahan K

an Sesaat SeKH. Athoill

Keluarga Pe

ebelum Bertelah

esantren

emu

Peng

Pen

gajian Anak--Anak Di Laaggar

ngajian Santrri Di Pondokk

Page 132: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Pondok Putri Anggota Karang Taruna dan Keluarga Pesantren

Halaman Pesantren Pengajian Ibu-Ibu oleh Kyai Delegasi

Page 133: G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Perumahan Mutiara Cileunyi RT. 09 Kumpulan Keluarga Pesantren dengan Para Ustadz Langgar

 


Related Documents