8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Representasi Ilmu Kimia
Ilmu kimia adalah ilmu yang berkenaan dengan karakterisasi, komposisi
dan transformasi materi (Mortimer, 1979). Ilmu kimia merupakan ilmu yang
mempelajari sifat dan komposisi materi (yang tersusun oleh senyawa-senyawa)
serta perubahannya, bagaimana senyawa-senyawa itu bereaksi/berkombinasi
membentuk senyawa lain. Peneliti dan pendidik dalam kimia telah mengkaji
adanya tiga aspek dalam kimia, yaitu: makroskopik, mikroskopik, dan simbolik
(Gabel, Samuel dan Hunn, dalam Wu, Krajcik, Soloway, 2000). Level
pemahaman pada mata pelajaran kimia terdiri dari level makroskopik,
mikroskopik, dan simbolik (gambar 2.1).
Makroskopik
Sub-mikro (partikulat) Simbolik
Gambar 2.1 Tiga Tingkatan Pemahaman Kimia
(Johnstone dalam Gabel, 1999)
Representasi kimia pertama merupakan aspek makroskopik yang
menunjukkan fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
maupun yang dipelajari di laboratorium menjadi suatu bentuk makro yang bisa
9
diamati langsung (Wu, Krajcik, Soloway, 2000). Aspek mikroskopik merupakan
representasi yang kedua, yang memiliki tingkatan untuk menjelaskan aspek
makroskopik sehingga aspek makroskopik tersebut dapat dipahami. Pada
tingkatan mikroskopik ini lebih menekankan pada partikel dan sifatnya. Aspek
makroskopik dan mikroskopik memiliki keterkaitan satu sama lainnya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Hoffman dan Laszlo (1991) menyatakan bahwa:
“Chemistry is a mix of molecular engineering based on extrapolation from the
macroscopic to the microscopic, and a science, coming to grasp directly with the
microscopic”.
Representasi kimia yang terakhir yaitu simbol, tanda atau bahasa, serta
bentuk–bentuk lainnya yang digunakan untuk mengkomunikasikan hasil
pengamatan (Hoffman dan Laszlo, dalam Wu, 2000). Oleh karena atom tidak
dapat diamati menggunakan pancaindera, para ahli kimia menjelaskannya dengan
menggunakan lambang berupa angka, model, dan huruf.
Masalah yang menarik untuk diperhatikan tentang ilmu kimia adalah
meskipun ilmu kimia banyak memberikan manfaat dalam kehidupan manusia,
tetapi banyak fakta menunjukkan bahwa ilmu kimia dipandang ilmu yang sulit
dan tidak menarik untuk dipelajari.
B. Level Simbolik dalam Kimia
Johnstone menyatakan bahwa konsep IPA dan tiga level cara memahami
IPA menjadikan IPA sulit dipelajari. Ia juga mengatakan tiga level pemahaman ini
tidak hanya khas untuk kimia, tapi juga untuk biologi dan fisika. Hanya saja kimia
10
lebih sering menggunakan lambang matematik, rumus, dan persamaan untuk
memperlihatkan hubungan level makroskopik dan mikroskopik (Gabel, 1999).
Pemahaman level simbolik akan lebih mudah jika siswa telah menguasai
pemahaman level makroskopik dan mikroskopik. Hal ini disebabkan karena level
simbolik merupakan terjemahan dari pengalaman atau peristiwa yang teramati
pada eksperimen dan presentasi level mikroskopiknya ke dalam suatu simbol-
simbol, rumus-rumus dan perhitungan. Biasanya siswa akan merasa kesulitan jika
pemahaman level simbolik ini tidak ditunjang oleh kedua level tadi.
Pemahaman pada level simbolik dalam pelajaran kimia di sekolah
seringkali diabaikan. Banyak siswa yang mengalami kesulitan mempelajari level
pemahaman simbolik dan molekuler dalam kimia (Wu,2000).
C. Beberapa Dugaan Penyebab Kesulitan Belajar Kimia
Siswa dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar apabila siswa yang
bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu (Abin
Syamsudin, 2000:308).
Kesulitan belajar kimia diantaranya disebabkan karena:
1) Siswa tidak tahu bagaimana caranya belajar.
2) Siswa kurang menguasai matematika dasar.
3) Siswa kurang mempunyai kemampuan problem solving. Kemampuan
problem solving sangat diperlukan untuk mempelajari kimia (Wayre
Huang dalam Ashadi, 2006).
11
4) Pemakaian nama-nama unsur yang tidak konsisten dengan simbolnya.
Sebagai contoh unsur besi (Iron) disimbolkan Fe (Ferrum), Emas (Gold)
disimbolkan Au (Aurum), Kalsium disimbolkan Ca, sedangkan simbol K
digunakan untuk kalium. Hal ini terjadi karena simbol-simbol unsur
memang tidak berasal dari bahasa Inggris.
5) Kekeliruan guru dalam usaha mengarahkan siswa agar tidak hanya
menghafal. Belajar memang tidak hanya menghafal, namun ada beberapa
bagian yang tidak ada cara lain kecuali menghafal. Nama-nama unsur
kimia harus dihafal, tanpa menghafalnya siswa tidak akan mengenalnya.
Namun pada faktanya di lapangan masih ada beberapa guru yang meminta
siswanya untuk tidak menghafal dan siswanya salah tangkap, terlanjur
salah paham bahwa belajar kimia tidak boleh menghafal (Jacob Anthony
Seiler, 2006).
Berdasarkan hasil penyelidikan Utomo dan Ruijter (1990) terhadap siswa
yang diberi soal, ternyata hanya sebagian kecil siswa yang dapat mengerjakannya
dengan baik, sebagian besar bahkan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Setelah
diberi petunjuk pun mereka masih juga tidak dapat menyelesaikan soal-soal
tersebut padahal guru menerangkan seluruh penyelesainnya. Siswa dapat mengerti
penjelasan guru, tetapi tetap tidak mampu untuk mengerjakan soal yang serupa itu
secara mandiri. Mereka hanya menonton seseorang memecahkan soal atau
menghafalkan contoh-contoh penyelesaian soal. Dengan demikian sasaran
pengajaran tidak tercapai dan inilah yang menyebabkan hasil ujian yang kurang
12
memuaskan. Berdasarkan penyelidikan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat
beberapa penyebab siswa tidak dapat memecahkan soal diantaranya :
1) Siswa kurang menganalisis soal yang dihadapinya.
Hal ini terjadi karena beberapa hal, siswa tidak membaca soal dengan
seksama, tidak menyadari apa yang diketahui, terlalu cepat memulai
dengan perhitungan, dan tidak mengetahui sebenarnya apa yang
ditanyakan.
2) Siswa tidak merencanakan jalan penyelesaian.
Hal ini disebabkan karena siswa tidak mulai dengan yang ditanyakan,
tidak mengetahui persamaan-persamaan yang terpenting, dan tidak
menghubungkan teori umum dengan soal khusus yang dihadapinya.
3) Siswa tidak menyelesaikan soal-soal secara terperinci
Siswa tidak menyelesaikan soal secara terperinci seperti mengabaikan
satuan-satuan yang dipakai dan siswa memulai perhitungan terlalu awal.
4) Siswa tidak menilai lagi kebenaran jawabannya.
Kebanyakan dari siswa yang mengerjakan soal tidak memeriksa lagi
apakah jawaban yang diperoleh itu betul, realistis, sesuai dengan yang
ditanyakan.
Selain itu, sebagaimana kita ketahui bahwa ilmu kimia berhubungan
dengan ilmu-ilmu lainnya termasuk matematika. Banyak siswa yang sering
melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal terutama yang berhubungan
dengan matematika. Ada beberapa faktor yang menyebabkan siswa melakukan
13
kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal matematika (Newman dalam
Mallongtarang, 2010) antara lain adalah sebagai berikut :
1) Reading error yaitu kesalahan membaca.
Siswa melakukan kesalahan dalam membaca kata-kata penting dalam
pertanyaaan atau siswa salah dalam membaca informasi utama, sehingga
siswa tidak menggunakan informasi tersebut untuk menyelesaikan soal.
2) Reading Comprehesion difficulty yaitu kesalahan memahami soal.
Siswa sebenarnya sudah dapat memahami soal, tetapi belum menangkap
informasi yang terkandung dalam pertanyaan, sehingga siswa tidak dapat
memproses lebih lanjut solusi dari permasalahan.
3) Transform error yaitu kesalahan transformasi.
Siswa gagal dalam memahami soal-soal untuk diubah ke dalam kalimat
matematika yang benar.
4) Weakness in process skill yaitu kesalahan dalam ketrampilan proses.
Siswa dalam menggunakan kaidah atau aturan sudah benar, tetapi
melakukan kesalahan dalam melakukan penghitungan atau komputasi.
5) Encoding error yaitu kesalahan dalam menggunakan notasi.
Dalam hal ini siswa melakukan kesalahan dalam menggunakan notasi yang
benar.
6) Corelles error yaitu kesalahan karena kecerobohan atau kurang cermat.
14
D. Diagnosis Kesulitan Belajar
Diagnosis dan perbaikan belajar mempunyai peranan sangat penting
dalam membantu murid untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya.
Keberadaan program diagnosis dan perbaikan belajar sangat besar artinya bagi
siswa yang mempunyai kemampuan yang berbeda dari kemampuan umum teman-
temannya. Tanpa adanya program diagnosis dan perbaikan belajar, anak yang
kurang mampu akan selamanya tertinggal dari teman-temannya, dan anak yang
pintar mungkin akan menyalurkan kemampuannya yang berlebih ke hal-hal yang
negatif.
Menurut C. Ross dan Julian Stanley, langkah-langkah mendiagnosis
kesulitan belajar ada tiga tahap, yaitu :
1) Langkah-langkah diagnosis yang meliputi aktifitas, berupa
a.Identifikasi kasus
b.Lokalisasi jenis dan sifat kesulitan
c. Menemukan faktor penyebab baik secara internal maupun eksternal
2) Langkah prognosis yaitu suatu langkah untuk mengestimasi (mengukur),
memperkirakan apakah kesulitan tersebut dapat dibantu atau tidak.
3) Langkah Terapi yaitu langkah untuk menemukan berbagai alternatif
kemungkinan cara yang dapat ditempuh dalam rangka penyembuhan
kesulitan tersebut yang kegiatannya meliputi antara lain pengajaran
remedial, transfer atau referal.
Sasaran dari kegiatan diagnosis pada dasarnya ditujukan untuk memahami
karakteristik dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan. Dari
15
ketiga pola pendekatan di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pokok
prosedur dan teknik diagnosa kesulitan belajar adalah sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Adapun langkah-langkah mengidentifikasi siswa yang mengalami
kesulitan belajar adalah sebagai berikut:
• Menandai siswa dalam satu kelas atau dalam satu kelompok yang
diperkirakan mengalami kesulitan belajar baik bersifat umum maupun
khusus dalam bidang studi.
• Meneliti nilai ulangan yang tercantum dalam “record academic”
kemudian dibandingkan dengan nilai rata-rata kelas atau dengan
kriteria tingkat penguasaan minimal kompetensi yang dituntut.
• Menganalisis hasil ulangan dengan melihat sifat kesalahan yang
dibuat.
• Melakukan observasi pada saat siswa dalam kegiatan proses belajar
mengajar yaitu mengamati tingkah laku siswa dalam mengerjakan
tugas-tugas tertentu yang diberikan di dalam kelas, berusaha
mengetahui kebiasaan dan cara belajar siswa di rumah melalui check
list.
• Mendapatkan kesan atau pendapat dari guru lain terutama wali
kelas,dn guru pembimbing.
2) Mengalokasikan letaknya kesulitan atau permasalahannya, dengan cara
mendeteksi kesulitan belajar pada bidang studi tertentu. Dengan
membandingkan angka nilai prestasi siswa yang bersangkutan dari bidang
16
studi yang diikuti atau dengan angka nilai rata-rata dari setiap bidang studi.
Atau dengan melakukan analisis terhadap catatan mengenai proses belajar.
Hasil analisa empiris terhadap catatan keterlambatan penyelesaian tugas,
ketidakhadiran, kekurang aktifan dan kecenderungan berpartisipasi dalam
belajar
3) Melokalisasikan jenis faktor dan sifat yang menyebabkan mengalami
berbagai kesulitan.
4) Memperkirakan alternatif pertolongan. Menetapkan kemungkinan cara
mengatasinya baik yang bersifat mencegah (preventif) maupun
penyembuhan(kuratif).
E. Pola Pemecahan Masalah
Menurut George Polya (1887–1985), seorang matematikawan dari
Hongaria dalam bukunya yang berjudul “How to Solve It”, tahap-tahap dalam
pola pemecahan masalah menurut Polya yaitu:
1) Understand the Problem
Bacalah soal dengan baik sehingga kita melangkah ke arah yang tepat.
Pastikan bahwa kita memahami masalah yang harus diselesaikan.
• Bacalah soal dengan cermat.
• Perhatikan kalau perlu catat, angka dan syarat yang diasumsikan.
17
• Apa yang sebenarnya harus ditentukan? Apa yang tidak diketahui
(tapi relevan dengan soal).
• Buatlah gambar atau diagram untuk menyatukan informasi dan
membantu memvisualisasi masalah.
• Beri simbol pada kuantitas-kuantitas yang ada.
• Kalau bisa nyatakan masalah dalam kata-kata sendiri.
2) Plan a Strategy for solving the problem
Setelah memahaminya, langkah berikutnya adalah menentukan bagaimana
menyelesaikannya. Ini adalah tahap tersulit, membutuhkan kreatiftas, dan
pengalaman.
• Ingat-ingat kembali mungkin kita pernah berhadapan dengan soal
yang mirip atau serupa sebelumnya.
• Susunlah strategi, kalau perlu buatlah diagram flow-chart, tertulis atau
secara mental.
• Kenali perangkat analitik dan komputasi yang diperlukan.
3) Execute your strategy, and revise it if necessary.
Setelah menentukan strateginya, maka kita melaksanakannya. Jika diperlukan
strategi bisa diubah.
• Laksanakan strategi secara bertahap dan perhatikan tiap langkah
sehingga kita tidak terperosok sehingga terjadi kesalahan.
• Lakukan perbaikan bila ternyata ada kesalahan. Lakukan revisi bila
ternyata strategi (hampir) mustahil dilaksanakan.
18
4) Check and interpret your result.
Umumnya kita berhenti pada langkah ke 3. Tetapi langkah terakhir ini tidak
kurang pentingnya.
• Setelah diperoleh hasil, jangan berhenti dulu.
• Periksa apakah satuan sesuai dan hasil/bilangan yang diperoleh,
masuk akal atau sesuai dengan perkiraan?
• Cek kembali perhitungan atau nalar, apakah hasil sesuai dengan
batasan asumsi?
F. Analisis Level Simbolik pada Materi Sifat Koligatif Larutan
1) Pengertian Sifat Koligatif Larutan
Kata koligatif berasal dari kata latin colligare yang berarti berkumpul
bersama.Sifat koligatif larutan hanya dipengaruhi oleh jumlah partikel zat terlarut
di dalam larutan, dan tidak bergantung pada jenis zat terlarut.
Sifat koligatif larutan meliputi penurunan tekanan uap (∆P), penurunan titik
beku (∆Tf), kenaikan titik didih (∆Tb), dan tekanan osmotik (π ).
2) Sifat Koligatif Larutan Nonelektrolit
a. Penurunan Tekanan Uap
Jika ke dalam suatu ruangan tertutup dimasukkan pelarut murni pada suhu
tertentu, sebagian pelarut akan menguap. Uap yang dihasilkan menimbulkan
tekanan tertentu yang disebut tekanan uap. Pada saat penguapan, sejumlah tertentu
partikel dalam cairan memiliki energi kinetik yang cukup untuk meninggalkan
permukaan. Partikel-partikel bergerak dari cairan ke ruang kosong di atas cairan.
19
Partikel-partikel dalam ruang di atas cairan segera membentuk fasa uap. Saat
konsentrasi partikel dalam fasa uap meningkat, beberapa partikel kembali ke fasa
cair, proses ini disebut pengembunan. Keadaan kesetimbangan tercapai ketika laju
penguapan sama dengan laju pengembunan. Tekanan pada saat kesetimbangan
tersebut terjadi dinamakan tekanan uap jenuh pelarut murni (P0).
Jika kedalam pelarut tersebut dimasukkan zat terlarut yang sukar menguap
hingga terbentuk larutan, maka tekanan yang ditimbulkan oleh uap jenuh pelarut
dari larutan dinamakan tekanan uap jenuh larutan (P).
Adanya zat terlarut yang sukar menguap akan mempersulit gerak partikel
pelarut untuk meninggalkan fasa cairnya dibandingkan tanpa keberadaan partikel
zat terlarut. Hal ini menyebabkan, pada suhu yang sama, tekanan uap larutan lebih
kecil dibandingkan dengan tekanan uap pelarut murninya, artinya pada peristiwa
ini terjadi penurunan tekanan uap. Model mikroskopik penguapan air dan
penguapan pada larutan urea terlihat pada gambar 2.2 dan gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.2. Model Mikroskopik Penguapan Air
20
P = Po
. Xp
Gambar 2.3. Model Mikroskopik Penguapan pada Larutan urea
Tabel 2.1. Penurunan Tekanan Uap Jenuh (∆∆∆∆P) Teoritis Berbagai Jenis
Larutan Nonelektrolit dalam Air pada 20oC*)
Zat terlarut
Fraksi
mol zat
terlarut
Tekanan uap
jenuh larutan
Penurunan
tekanan uap
jenuh
Air murni - 17,54 mmHg -
Glikol 0,01 17,36 mmHg 0,18 mmHg
Glikol 0,02 17,18 mmHg 0,36 mmHg
Urea 0,01 17,36 mmHg 0,18 mmHg
Urea 0,02 17,18 mmHg 0,36 mmHg
*) Purba (2007) dan Mulyono (2002)
Berdasarkan percobaan yang dilakukan Raoult, secara simbolik tekanan
uap jenuh larutan dapat dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan:
P : tekanan uap jenuh larutan
Po : tekanan uap jenuh pelarut murni
Xp : fraksi mol zat pelarut
Persamaan tersebut mempunyai arti: tekanan uap jenuh larutan sama
dengan fraksi mol pelarut dikalikan dengan tekanan uap jenuh pelarut murninya,
ini biasa disebut sebagai hukum Raoult. Hukum ini hanya berlaku untuk zat
terlarutnya yang sukar menguap (nonvo
Selisih antara tekanan uap jenuh pelarut murni dengan tekanan uap jenuh
larutan, disebut penurunan tekanan uap jenuh (
dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan:
∆P : penurunan tekanan uap jenuh
Xt : fraksi mol zat terlarut
Fraksi mol menyatakan perbandingan banyaknya mol suatu zat yang ada
dalam campuran tersebut. Untuk menentukan fraksi
simbolik dapat dirumuskan sebagai berikut:
∆P = Po – P
= Po – ( P
o.Xp )
= Po – (P
o ( 1-Xt ))
= Po – (P
o – (P
o .Xt
= Po – P
o + ( P
o . X
∆P = Po . Xt
atau
P : tekanan uap jenuh larutan
: tekanan uap jenuh pelarut murni
: fraksi mol zat pelarut
Persamaan tersebut mempunyai arti: tekanan uap jenuh larutan sama
dengan fraksi mol pelarut dikalikan dengan tekanan uap jenuh pelarut murninya,
biasa disebut sebagai hukum Raoult. Hukum ini hanya berlaku untuk zat
terlarutnya yang sukar menguap (nonvolatile).
Selisih antara tekanan uap jenuh pelarut murni dengan tekanan uap jenuh
larutan, disebut penurunan tekanan uap jenuh (∆P). secara simbolik dapat
dirumuskan sebagai berikut:
P : penurunan tekanan uap jenuh (atm)
: fraksi mol zat terlarut
Fraksi mol menyatakan perbandingan banyaknya mol suatu zat yang ada
dalam campuran tersebut. Untuk menentukan fraksi mol suatu larutan,
simbolik dapat dirumuskan sebagai berikut:
21
))
t))
Xt)
Persamaan tersebut mempunyai arti: tekanan uap jenuh larutan sama
dengan fraksi mol pelarut dikalikan dengan tekanan uap jenuh pelarut murninya,
biasa disebut sebagai hukum Raoult. Hukum ini hanya berlaku untuk zat
Selisih antara tekanan uap jenuh pelarut murni dengan tekanan uap jenuh
secara simbolik dapat
Fraksi mol menyatakan perbandingan banyaknya mol suatu zat yang ada
suatu larutan, secara
22
Keterangan :
Xt : fraksi mol zat terlarut
nt : jumlah mol zat terlarut (mol)
Xp : fraksi mol zat pelarut
np : jumlah mol pelarut (mol)
b. Penurunan Titik Beku
Perubahan dari cair menjadi padat disebut pembekuan. Titik beku suatu
cairan adalah suhu pada saat laju pembentukan fasa cair dan pembentukan fasa
padat berada dalam kesetimbangan. Untuk membeku suatu cairan melepaskan
energi sedangkan untuk mencair suatu padatan menyerap energi. Pada gambar 2.4,
ditunjukkan keadaan kesetimbangan pada saat tercapainya titik beku air Es.
Gambar 2.4. Model Mikroskopik Titik Beku Air Es
Titik beku air murni pada tekanan 1 atm adalah 0 oC. Jika ke dalam air
tersebut dimasukkan zat terlarut yang sukar menguap sehingga membentuk
larutan, kemudian didinginkan ternyata pada suhu 0 oC larutan tersebut belum
membeku. Hal ini disebabkan karena partikel zat terlarut merupakan gangguan
bagi partikel pelarut untuk saling berdekatan dan menyusun fasa padat yang
23
teratur, supaya jarak partikel semakin dekat dan bisa menyusun fasa padat yang
teratur, diperlukan penurunan suhu. Ketika suhu diturunkan maka akan terjadi
kesetimbangan kembali antara jumlah partikel pelarut yang membentuk fasa cair
dengan pelarut yang membentuk fasa padat.
Gambar 2.5. Model Mikroskopik Titik Beku Larutan Urea
Di negara yang memiliki musim dingin, suhu udara dapat mencapai di
bawah titik beku normal air, sehingga diperlukan zat yang dapat menurunkan titik
beku air dalam radiator mobil yang disebut “zat anti beku”.
Penurunan titik beku, secara simbolik dapat dirumuskan sebagai berikut:
∆Tf = Tf 0
- Tf
Keterangan:
Tf : Titik beku larutan (0C)
T f 0
: Titik beku pelarut (0C)
∆Tf : Penurunan titik beku (0C)
dimana
∆Tf = m Kf
24
keterangan:
∆Tf : penurunan titik beku (oC)
m : molalitas larutan (mol/kg)
Kf : tetapan penurunan titik beku molal (oC/m)
Di bawah ini, terdapat beberapa data tetapan penurunan titik beku molal
pelarut murni (Kf).
Tabel 2.2. Data Tetapan Penurunan Titik Beku Molal dari Beberapa
pelarut*)
Pelarut Titik beku/oC Kf/(oC m-1)
Air, (H2O) 0,00 1,86
Benzene, (C6H6) 5,50 5,12
Etanol, (C2H6O) -144,60 1,99
Kloroform, (CHCl3) -63,50 4,68
*)Sunarya (2003)
c. Kenaikan Titik Didih
Tekanan uap suatu zat cair akan meningkat bila suhu dinaikkan sampai zat
itu mendidih. Suatu zat cair dikatakan mendidih bila tekanan uapnya sama dengan
tekanan udara di atas cairan (tekanan udara luar).
Jika ke dalam cairan pelarut murni dilarutkan zat yang sukar menguap
maka tekanan uap larutan yang terbentuk akan lebih rendah dari tekanan uap
25
pelarut murni, hal ini terjadi karena adanya partikel zat terlarut menyulitkan
partikel-partikel pelarut untuk meninggalkan larutannya, akibatnya pada suhu
yang sama tekanan uap larutan lebih rendah dari tekanan uap pelarut murni.
Sebagai contoh air murni yang ditampilkan dengan model mikroskopik
seperti molekul air gambar 2.6 pada 100 oC mempunyai tekanan uap 1 atm
sedangkan air yang mengandung zat-zat terlarut mempunyai tekanan uap < 1 atm.
Sebagai akibatnya bila tekanan udara 1 atm maka air murni sudah mendidih
sedangkan air yang mengandung zat terlarut belum mendidih. Dengan demikian,
larutan akan mendidih pada suhu lebih tinggi dari suhu didih pelarut murni.
Gejala ini yang disebut sebagai kenaikan titik didih.
Gambar 2.6. Model Mikroskopik Titik Didih Pelarut
Gambar 2.7. Model Mikroskopik Titik Didih Larutan
26
Pada gambar 2.7 memperlihatkan model zat-zat partikel terlarut
menyulitkan partikel-partikel pelarut untuk meninggalkan larutannya, akibatnya
pada suhu yang sama tekanan uap larutan lebih rendah dari tekanan uap pelarut.
Gambar 2.8. Diagram PT air dan larutan (Silberberg, 2006)
Pada gambar 2.8, diperlihatkan kurva tekanan uap air dan tekanan uap
larutan yang mengandung zat terlarut yang sukar menguap. Pada suhu tertentu,
tekanan uap larutan akan lebih rendah daripada pelarut murninya yaitu air. Selain
itu tekanan uap larutan akan mencapai 1 atm pada temperatur yang lebih tinggi
daripada tekanan uap pelarut murni. Dengan kata lain, titik didih larutan akan
lebih tinggi daripada pelarut murninya. Jumlah kenaikan titik didih pada diagram
dinyatakan dengan tanda ∆Tb.
Besarnya kenaikan titik didih larutan (∆Tb) berbanding lurus dengan
molalitas larutan dan besarnya kenaikan titik didih larutan relatif terhadap jenis
∆Tb
pelarut murni. Secara simbolik
berikut:
Keterangan:
∆Tb : kenaikan titik didih (
m : molalitas (mol/Kg)
Kb : tetapan kenaikan titik didih molal (
Tabel 2.3. Daftar Tetapan Kenaikan Titik Didih Molal Beberapa Pelarut
Pelarut
Air
Etanol
Benzena
Kloroform
Karbon tetraklorida
*) Mulyono (2002)
Molalitas (m) menyatakan banyaknya zat terlarut dalam setiap 1000 gram
pelarut. Untuk menentukan molalitas (m) suatu larutan
dirumuskan sebagai berikut:
= m . Kb
Secara simbolik kenaikan titik didih (∆Tb) dirumuskan sebagai
: kenaikan titik didih (oC)
m : molalitas (mol/Kg)
: tetapan kenaikan titik didih molal (oC/m)
. Daftar Tetapan Kenaikan Titik Didih Molal Beberapa Pelarut
pada 1 atm*)
Pelarut Titik Didih (oC) Kb
100,0
78,4
80,1
Kloroform 64,2
Karbon tetraklorida 76,8
Molalitas (m) menyatakan banyaknya zat terlarut dalam setiap 1000 gram
Untuk menentukan molalitas (m) suatu larutan, secara simbolik dapat
dirumuskan sebagai berikut:
27
) dirumuskan sebagai
. Daftar Tetapan Kenaikan Titik Didih Molal Beberapa Pelarut
b (oC m-1)
0,52
1,22
2,53
3,63
5,03
Molalitas (m) menyatakan banyaknya zat terlarut dalam setiap 1000 gram
, secara simbolik dapat
28
Keterangan:
m : molalitas(mol/Kg)
g : massa zat terlarut (gram)
Mr : massa molekul relatif
P : massa pelarut (gram)
d. Tekanan Osmotik
Peristiwa osmotik adalah perpindahan partikel-partikel pelarut melalui
membran semipermeabel secara netto dari pelarut ke larutan atau dari larutan
konsentrasi rendah (encer) menuju larutan konsentrasi tinggi (pekat). Membran
semipermeabel adalah selaput yang dapat dilalui oleh partikel-partikel pelarut
tetapi tidak dapat dilalui oleh zat terlarut (menahan zat terlarut).
Beberapa contoh osmotik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari misalnya:
ketimun yang ditempatkan dalam larutan garam akan kehilangan airnya akibat
osmotik sehingga terjadi pengerutan.
Pada gambar 2.9. terdapat gambaran sebelum terjadi peristiwa osmotik,
ketika berlangsung peristiwa osmotik, dan setelah terjadi tekanan osmotik beserta
model mikroskopik yang terjadi di dalamnya.
29
Gambar 2.9. Model Mikroskopik Sebelum Terjadi Peristiwa Osmotik
Larutan Gula
Gambar 2.10. Model Mikroskopik Ketika Berlangsung Peristiwa Osmotik
Larutan Gula
30
Gambar 2.11. Model Mikroskopik Setelah Terjadi Tekanan Osmotik
Larutan Gula
Berdasarkan gambar 2.11, percobaan dilakukan dengan menggunakan
sebuah gelas kimia yang berisi aquades dan kemudian dimasukkan corong yang
telah diisi dengan larutan gula x M serta diberikan membran semipermeabel untuk
memisahkan larutan gula dengan air. Membran semipermeabel hanya dapat dilalui
oleh molekul air. Jumlah molekul air yang pindah dari larutan gula lebih kecil
dibandingkan jumlah molekul air yang pindah ke larutan gula. Oleh karena itu,
volume larutan menjadi lebih besar dan konsentrasinya menjadi lebih kecil.
Akibat adanya kenaikan volume larutan, maka ada tekanan yang akan
menekan molekul air untuk keluar dari larutan melalui membran. Tekanan pada
larutan berbanding lurus dengan tinggi cairan, h. Pada saat kesetimbangan,
molekul air yang ditekan keluar dari larutan sama dengan molekul air yang
masuk. Tekanan pada saat kesetimbangan ini dinamakan tekanan osmotik (π),
yang diartikan sebagai tekanan yang diperlukan untuk menjaga perpindahan
molekul air dari pelarut menuju larutan.
31
Harga tekanan osmotik berbeda untuk setiap konsentrasi. Hal ini terlihat
pada tabel 2.4.berikut ini.
Tabel 2.4.Data Percobaan Tekanan Osmotik larutan gula pada berbagai
konsentrasi*)
Volume (mL) Larutan
mengandung 1 gram sukrosa Tekanan osmotik (atm)
100 0,70
50 1,34
36,5 2,0
25 2,74
16,7 4,04
*) Purba (2000).
Pada tahun 1887, J.H. Van’t Hoff menemukan hubungan tekanan osmotik larutan
encer sesuai dengan persamaan ideal.
keterangan:
Π : tekanan osmotik (atm)
M : molaritas (mol/L)
R : tetapan gas (0,082 L.atm/mol.L
T : suhu mutlak (K)
C. Sifat Koligatif Larutan Elektrolit
Berdasarkan hasil pengamatan, sifat koligatif larutan nonelektrolit berbeda
dengan sifat koligatif larutan elektrolit. Apabila glukosa (non elektrolit) dilarutkan
Π = MRT
32
ke dalam air, maka glukosa akan terurai membentuk molekul-molekul glukosa.
Dengan kata lain, bila satu mol glukosa dilarutkan ke dalam air akan terdapat satu
mol molekul glukosa dalam larutan tersebut.
C6H12O6 (s) H2O (l) C6H12O6 (aq)
Berbeda halnya bila satu mol garam dapur (elektrolit) dilarutkan le dalam
air. Garam tersebut akan terurai menjadi ion Na+ dan ion Cl –
NaCl H2O (l) Na+ (aq) + Cl – (aq)
Jika satu mol garam dapur dilarutkan ke dalam air akan terdapat satu mol
ion Na+ dan satu mol ion Cl- atau terbentuk dua mol ion garam dalam larutan
tersebut. Sehingga untuk larutan elektrolit sifat koligatifnya tergantung dari
jumlah partikel yang terbentuk. Zat elektrolit dapat terionisasi dalam larutan
sehingga menghasilkan jumlah partikel lebih banyak daripada zat nonelektrolit.
Dengan demikian, sifat koligatif elektrolit lebih besar bila dibandingkan sifat
koligatif nonelektrolit.
A B
Gambar 2.12. Model Mikroskopik Larutan non Elektrolit (A) dan
Larutan Elektrolit (B)
C6H12O6 H2O Na+ Cl
-
33
Hubungan antara jumlah mol zat terlarut dan jumlah mol ion yang terdapat
dalam larutan telah dipelajari oleh Van’t Hoff, hasilnya dinyatakan dengan factor
van’t hoff yang dilambangkan dengan (i). Hubungan harga i dengan derajat
ionisasi adalah sebagai berikut:
i = 1+ (n-1) α
keterangan:
i : factor van’t Hoff
α : derajat ionisasi elektrolit
n : jumlah ion yang dihasilkan
adapun rumus derajat ionisasi (α) elektrolit adalah sebagai berikut:
� �jumlah mol terioniasi
jumlah mol mula � mula
Adanya faktor Van’t Hoff ini, membedakan harga sifat koligatif antara
larutan elektrolit dengan nonelektrolit. Perbedaan rumus perhitungan sifat
koligatif larutan elektrolit dengan larutan nonelektrolit dapat dilihat pada tabel
2.5.
Tabel 2.5. Rumus Sifat Koligatif Larutan Non Elektrolit dan Elektrolit
Sifat koligatif Nonelektrolit Elektrolit
Penurunan tekanan uap (∆P) ∆P = Po. Xt ∆P = Po . Xt . i
Kenaikan titik didih (∆Tb) ∆Tb = m . Kb ∆Tb = m . Kb . i
Penurunan titik beku (∆Tf) ∆Tf = m . Kf ∆Tf = m. Kf . i
Tekanan osmotik (Π) Π = M . R . T Π = M . R. T . i
34
Berdasarkan materi di atas, maka sub konsep-sub konsep tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 2.6. Matriks Level Simbolik Materi Sifat Koligatif Larutan
Label
Konsep Level Simbolik
Penurunan
tekanan uap
Keterangan:
∆P = penurunan tekanan uap jenuh (atm)
Xt = fraksi mol zat terlarut
Kenaikan
titik didih
Keterangan:
∆Tb = kenaikan titik didih (oC)
m = molalitas (mol/Kg)
Kb = tetapan kenaikan titik didih molal (oC/m)
Penurunan
titik beku
Keterangan:
∆Tf = penurunan titik beku (oC)
m = molalitas (mol/Kg)
Kf = tetapan penurunan titik beku molal (oC/m)
∆Tf = m.Kf
∆Tb = m.Kb
∆P = Po . Xt
∆P = Po - P
Label
Konsep
Tekanan
osmotic
Keterangan
π
M = molaritas (mol/L)
R = tetapan gas (0,082 L atm/mol
T = suhu mutlak (K)
Sifat koligatif
larutan
elektrolit
Rumus sifat koligatif larutan elektrolit
Level Simbolik
Keterangan :
= tekanan osmotik (atm)
M = molaritas (mol/L)
R = tetapan gas (0,082 L atm/mol K)
T = suhu mutlak (K)
Rumus sifat koligatif larutan elektrolit
• Penurunan tekanan uap
• Kenaikan titik didih
• Penurunan titik beku
• Tekanan osmotik
π = MRT
35