YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

KONSEP DASAR ZAKAT

Pendahuluan

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang merupakan kewajiban agama

yang dibebankan atas harta kekayaan seseorang menurut aturan tertentu.

Zakat bukanlah pajak yang merupakan sumber pendapatan negara.

Karena itu, keduanya, harus dibedakan. Perkataan zakat disebutkan

dalam Al-Qur‟an 82 kali banyaknya dan selalu dirangkaikan dengan shalat

yang merupakan rukun Islam kedua. Ini menunjukkan pentingnya

lembaga zakat itu, setelah lembaga shalat yang merupakan sarana

komunikasi utama antara manusia dengan Allah. Zakat yang disebut Al-

Qur‟an setelah shalat, adalah sarana komunikasi utama antara manusia

dengan manusia lain dalam masyarakat. Karena itu lembaga zakat ini

sangat penting dalam menyusun kehidupan yang humanis dan harmonis.

Peranan zakat, baik zakat harta maupun zakat fitrah, dalam pemerataan

pendapatan akan lebih kentara kalau dihubungkan dan dilaksanakan

bersama dengan nilai instrumental lainnya yakni pelarangan riba.

Pengertian Zakat

Zakat adalah bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim

yang memenuhi syarat tertentu kepada orang-orang tertentu pula. Harta

yang dikeluarkan itu, akan membersihkan semua harta yang dizakati, dan

memelihara pertumbuhannya. Tentang zakat disebut dalam Al-Qur‟an,

antara lain dalam surah Al-Baqarah:43, Al-Baqarah:177, Al-Baqarah:277, Al-

Maidah:55, Maryam:13, Al-Hajj:41, Al-Mu‟minun:4, Ar-Ruum:39, Al-

Ahzab:33, Al-Muzzammil:20 dan Al-Bayyinah:5. Zakat merupakan rukun

Islam ketiga.

Jenis-jenis Zakat

Page 2: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Zakat dapat dibedakan antara lain:

1. Zakat mal atau zakat harta

Zakat mal atau zakat harta adalah bagian dari harta kekayaan seseorang

(juga badan hukum) yang wajib dikeluarkan untuk golongan orang-orang

tertentu dalam jumlah minimal tertentu pula. Kekayaan yang wajib

dikeluarkan zakatnya itu adalah:

a. emas, perak dan uang,

b. barang dagangan,

c. binatang ternak,

d. hasil bumi dan hasil laut serta hasil jasa seseorang,

e. barang tambang dan barang (hasil) temuan,

Masing-masing golongan harta kekayaan ini berbeda nisab yakni jumlah

minimum harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya, haul yaitu

jangka waktu yang ditentukan bila seseorang wajib mengeluarkan zakat

hartanya, dan qadar zakatnya yakni ukuran besarnya zakat yang harus

dikeluarkan.

2. Zakat fitrah

Zakat Fitrah adalah pengeluaran yang wajib dikeluarkan oleh setiap

muslim yang mempunyai kelebihan dari nafkah keluarga yang wajar

pada malam dan hari raya Idul Fitri. Banyaknya adalah 2,5kg atau 3,5 liter

beras yang dapat dibayar dengan uang seharga 3,5 liter beras itu. Beras

yang dikeluarkan untuk zakat fitrah harus sama kualitasnya dengan beras

yang dimakan orang bersangkutan sehari-hari. Seorang kepala keluarga,

selain memfitrahi dirinya sendiri wajib juga memfitrahi semua orang yang

menjadi tanggungannya, termasuk istri, anak-anak, orangtua bahkan

pembantu rumah tangganya. Pengeluaran zakat fitrah boleh dilakukan

Page 3: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

sejak permulaan bulan Ramadhan, namun yang paling utama adalah pada

malam Idul Fitri (akhir Ramadhan), selambat-lambatnya pagi 1 Syawal

sebelum shalat Idul Fitri dimulai. Fitrah yang dibayar setelah orang

melakukan shalat Idul Fitri, dianggap sebagai sedekah biasa, bukan zakat

fitrah lagi. Yang diutamakan menerima zakat fitrah adalah fakir-miskin (al-

Hadits)

Kedudukan Zakat Dalam Islam

Nabi SAW telah menegaskan di Madinah bahwa zakat itu wajib serta

telah menjelaskan kedudukannya dalam Islam, yaitu bahwa zakat adalah

salah satu rukun Islam yang utama, dipujinya orang yang melaksanakan

dan diancamnya orang yang tidak melaksanakannya dengan berbagai

upaya dan cara. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu „Umar

Radhiyallahu‟anhuma bahwa Nabi SAW bersabda:

Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Khottob

Radhiyallahu‟anhuma dia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW

bersabda: “Islam dibangun di atas lima perkara: Bersaksi bahwa tiada ilah

selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan

shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan.”

(hadits muttafaq „alaih)

Dalam hadits lain dapatlah anda baca misalnya peristiwa Jibril

mengajarkan agama kepada kaum Muslimin dengan cara mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang menarik kepada Rasulullah:

Dan berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”, Maka

bersabdalah Rasulullah SAW: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak

ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad

adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa

Ramadhan dan pergi haji jika mampu.“ (hadits muttafaq „alaih)

Page 4: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Shalat dan zakat saja dipandang sudah cukup menunjukan bahwa Tuhan

sangat memandang penting shalat dan zakat tersebut. Terutama

dipandang dari segi dakwah, shalat dan zakat saja sudah dipandang

cukup di samping syahadat, sesuai dengan firman Allah SWT:

“Jika mereka bertaubat, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat,

maka (berarti mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At-

Taubah: 11)

Berdasarkan beberapa ayat Al-Quran dan hadits diatas itu telah

jelaslah bagaimana sebenarnya kedudukan zakat dalam Islam. Al-Quran

telah mendeskripsikan zakat secara jelas dan gamblang. Tidak dapat

dipungkiri bahwa zakat merupakan kewajiban yang sifatnya simultan.

Bahkan kata zakat dalam Al-Quran selalu berdampingan dengan shalat.

Oleh karena itu, shalat dan puasa tidaklah cukup untuk membuktikan

kesaksian seorang manusia di hadapan Allah, tetapi perlu ada kesaksian

lain yang bisa dilihat dan dirasakan bagi sesama manusia. Sebagai amalan

yang mulia, zakat merupakan rangkaian panggilan Tuhan pada satu sisi,

dan panggilan dari rasa kepedulian dan kasih sayang terhadap sesamanya

pada sisi lain. Rasul mengatakan bahwa rukun Islam itu ada lima, yang

dimulai dengan syahadat, kedua shalat, dan ketiga zakat. Dengan

demikian zakat, di dalam sunnah dan begitu juga di dalam Qur‟an, adalah

dasar Islam yang ketiga, yang tanpa dasar ketiga itu bangunan Islam tidak

akan berdiri tegak dengan baik.

Hikmah Disyari’atkan Zakat

Hikmah zakat sangat banyak dan (diwajibkan) karena tingginya

kebutuhan oleh fakir miskin di kalangan Muslim. Diantara hikmah

disyari‟atkan zakat adalah sebagai berikut:

Page 5: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

1. Menguatkan rasa cinta kasih antara si kaya dan si miskin, karena telah

menjadi tabiat manusia yakni seseorang menunjukkan ketertarikan

kepada orang yang memperlakukan mereka dengan baik.

2. Membersihkan dan mensucikan jiwa dan menjauhkannya dari sifat

rakus dan tamak, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Al-Qur‟anul

Karim ketika Allah SWT berfirman: “Ambillah zakat dari harta mereka,

guna membersihkan dan mensucikan mereka.“ (QS. At-Taubah: 103)

3. Membiasakan kaum Muslimin terhadap perbuatan yang dermawan,

keramahan, empati terhadap mereka yang membutuhkan.

4. Akan meningkatkan dan membawa berkah bagi harta seseorang, dan

Allah menggantinya (harta yang disedekahkan diganti dengan yang

lebih baik) sebagaimana Allah SWT berfirman: “Katakanlah, “sungguh,

Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia

kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” Dan apa saja yang kamu infakkan,

Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang terbaik.” (QS.

Saba: 39) Dalam sebuah hadits yang shahih, Nabi bersabda (bahwa

Allah berfirman): “Wahai Bani Adam, bersedekahlah maka Kami (Allah)

akan mencukupkanmu.”

Peringatan Keras Terhadap Orang Yang Tidak Membayar Zakat

Peringatan keras diberikan kepada orang-orang yang tidak membayarkan

Zakat karena kekikiran demikian juga orang yang lalai dalam

menunaikannya. Allah SWT berfirman:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak

menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka,

(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan

emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi

mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka:

"Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka

Page 6: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS. At-

Taubah: 34-35)

Tiap jenis harta yang tidak dikeluarkan Zakatnya dipandang sebagai

simpanan yang dengannya seseorang akan diazab di hari kiamat. Ini

diisyaratkan di dalam hadits hadits shahih dimana Nabi SAW bersabda:

“Tidak ada seorang pun yang memiliki emas dan perak dan tidak

mengeluarkan (zakat) darinya kecuali pada hari kiamat akan dibuat

menjadi piringan dari api dan dicelupkan kedalam api neraka dan tubuh,

dahi dan punggungnya akan dibakar dengannya. Setiap kali piringan itu

dingin, maka dipanaskan kembali dia dibakar dengannya, dan Ini akan

berlangsung pada Hari Kiamat selama lima puluh tahun, sampai Allah

mengadili hambahamba-Nya.” (HR. Muslim)

Lebih jauh Nabi menyebutkan dalam hadits tersebut bahwa seseorang

yang memiliki unta, lembu dan domba dan tidak membayarkan Zakatnya

maka akan diadzab dengan ternaknya itu di Hari Kiamat. Telah

diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa yang Allah telah memberikan harta kepadanya dan tidak

mengeluarkan zakatnya, harta itu akan menjadi ular dengan kepala yang

bercahaya dengan dua tanda gelap diatas matanya, yang akan

mengelilinginya di Hari Kiamat dan menggigit pipinya seraya berkata,

“Akulah hartamu, akulah simapananmu.” Kemudian Nabi SAW

membaca firman Allah, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil

dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya

menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya

kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu

akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS. Al-Imran: 180)

Sumber Hukum Wajib Zakat

Page 7: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang menjadi dasar kewajiban untuk

menunaikan zakat.

1. QS. At-Taubah ayat 103

“Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan diri dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.

Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka

dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

2. QS. Al-Baqarah ayat 43

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku‟lah bersama orang-

orang yang ruku”.

3. QS. Al-Hajj ayat 78

“Maka dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakatdan berpegangteguhlah

kamu dengan tali Allah yang Dia merupakan Wali bagi kamu”.

4. QS. Ali 'Imran ayat 180

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah

berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan

itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka,

harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di

hari kiamat. Dan kepunyaan Allah lah segala warisan (yang ada) di langit

dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Syarat Seseorang Wajib Mengeluarkan Zakat

a. Islam

b. Merdeka

c. Berakal dan baligh

d. Memiliki nishab

Makna nishab di sini adalah ukuran atau batas terendah yang telah

ditetapkan oleh syar‟i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan

Page 8: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai

ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab

atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah:

“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.

Katakanlah: „Yang lebih dari keperluan.‟ Demikianlah Allah menerangkan

ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Qs. Al Baqarah: 219)

Makna al afwu (dalam ayat tersebut-red), adalah harta yang telah melebihi

kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran

kekayaan seseorang.

Syarat-Syarat Nishab

a. Harta tersebut di luar kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang,

seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang

dipergunakan untuk mata pencaharian.

b. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul)

terhitung dari hari kepemilikan nishab dengan dalil hadits Rasulullah

shallallahu „alaihi wa sallam yang artinya:

“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul

(satu tahun).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al

AlBani)

c. Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan.

Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen.

Demikian juga zakat harta karun (rikaz) yang diambil ketika

menemukannya.

Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak

diwajibkan zakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika

kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor,

Page 9: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab

tersebut.

Syarat Harta Wajib Zakat

1. Cukup Nishab dan Haul

Syarat-syarat harta seseorang yang dikenakan zakat adalah: Pertama,

pada harta-harta yang disyaratkan cukup nishab. Jika kurang dari

nishab pada harta-harta yang disyaratkan cukup nishab, maka tidak

dikenakan zakat.

Tentang hal mensyaratkan tersebut cukup pada beberapa macam harta

yang dikenakan zakat, telah ditunjukkan oleh beberapa hadits yang

akan diterangkan di tempatnya masing-masing. Demikian juga akan

diterangkan kadar zakatnya.

Kedua, jika harta tersebut telah cukup setahun dimiliki. Tetapi hal ini

hanya pada harta-harta yang disyaratkan haul. Tegasnya, harta-harta

yang cukup nishab tersebut hendaknya cukup pula setahun dimiliki.

Perhitungan cukup nishab tersebut, dihitung dari awal tahun hingga

akhir tahun.

2. Harta-harta yang disyaratkan haul (cukup setahun dimiliki nishabnya)

Harta-harta yang disyaratkan cukup setahun dimiliki nishabnya ialah:

a. Binatang ternak

b. Emas dan perak

c. Barang perniagaan (dagangan)

3. Harta-harta yang tidak disyaratkan haul.

Harta yang tidak disyaratkan cukup setahun ialah, pertama, barang

yang disimpan untuk makanan (tumbuh-tumbuhan dan buah-

buahan). Kedua, menurut jumhur ulama, barang logam yang baru

digali. Hal tersebut meng-i‟tibar-kan haul pada harta-harta yang belum

Page 10: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

cukup setahun dimiliki, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh

Ibnu Majah dari Aisyah ra:

“Tidak ada zakat terhadap sesuatu benda hingga cukup setahun

dimiliki, yakni cukup setahun dimiliki dengan cukup nishab.”

Al-Baihaqi mengatakan, pegangan kita dalam masalah ini adalah atsar-

atsar yang shahih dari Abu Bakar, Umar, Utsman dan dari beberapa

sahabat; dan itulah mazhab seluruh ulama di Madinah dan seluruh

kota Islam. Hadits ini walaupun bersanad dhaif, dikuatkan oleh atsar-

atsar ijma‟. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa tidak wajib zakat

atas seseorang yang belum setahun memiliki hartanya. Dikecualikan

anak-anak binatang yang diperoleh di tengah tahun dan keuntungan

perniagaan.

Seumpama kita memliki 30 ekor kambing, di akhir tahun kambing

itu menjadi 40, tambahan ini menjadi hasil dari peternakan yang 30

atau yang 10 ini anak-anak dari yang 30, maka wajiblah kita memberi

zakat kambing kita itu karena telah sampai nishab dengan peternakan

kambing itu sendiri. Tetapi jika yang 10 itu hasil dari satu pembelian

maka cukup setahun kita memilikinya dihitung dari yang membeli 10

itu. Kalau yang menyebabkan sampai nishab itu bukan dari jenis

barang yang sudah ada, maka bagi masing-masingnya ditetapkan

hukum tersendiri.

4. Harta-harta yang diperoleh di pertengahan tahun

An-Nawawi mengatakan dalam menerangkan mazhab asy-Syafi‟i

bahwa, Harta-harta yang diperoleh di pertengahan tahun yang

dinamai „mal mustafad‟, dengan jalan membeli, hibah, waqaf dan

sepertinya dan yang didapat bukan dari jenis harta yang telah ada,

tidaklah yang dikumpulkan yang diperoleh kepada harta yang telah

ada dalam menghitung tahun, hanya digabung dengan yang telah ada

dalam soal nishab.

Page 11: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Apabila seseorang memiliki ternak senishab, dan di tengah-tengah

tahun binatang itu beranak hingga sampai nishab yang kedua, maka

anak-anak binatang yang diperoleh di tengah-tengah tahun tersebut

digabungkan kepada induk-induknya dan dihitung. Apabila telah

sampai tahun induk-induk tersebut, maka zakatnya dikeluarkan dari

induknya, mengingat pesan Umar kepada „amilnya di Thaif, Sufyan

ibn „Abdillah Ats-Tsaqafi, yang diriwayatkan Malik:

“Hitunglah kepada mereka anak-anak binatang yang digembalakan

oleh penggembalanya.”

Jika induknya mati dan semua anaknya tetap hidup, maka

zakatnya apalbila sampai tahun induk dikeluarkan zakat terhadap

anak-anaknya. An-Nawawi juga mengatakan, “digabungkan nitaj

(anak peternakan) kepada induknya dan dikeluarkan zakat dengan

dua syarat. Pertama, nitaj diperanakkan sebelum cukup tahun

induknya.

Kedua, dibiakkan nitaj tersebut sesudah cukup nishab induknya.

Jika induknya kurang dari nishab, lalu ia beranak dan dengan anak

tersebut sampai nishabnya, maka mulai sampai nishab itu, dihitung

permulaan tahun.

Faedah menggabungkan anak kepada induk adalah jika anak-anak

tersebut sejumlah nishab. Kalau induknya sejumlah nishab dan anak-

anaknya setengah nishab umpamanya, maka tidak ada faedah apa-

apa; karena tidak dikenakan zakat pada binatang yang di antara

nishab.

Ibnu Qudamah mengatakan dalam menerangkan mazhab Ahmad,

harta-harta yang diperoleh di tengah-tengah tahun, menambah harta

yang ada di permulaan tahun, terdapat tiga macam.

Pertama, yang diperoleh itu hasil dari kesuburan harta yang telah ada,

seperti keuntungan perniagaan dan hasil perternakan. Maka harta

Page 12: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

yang demikian, wajib dikumpulkan tambahan kepada pokoknya,

yakni tahun penghasilan tambahan dihitung bersama tahun pokok.

Demikian pendapat kebanyakan ulama.

Kedua, yang didapat adalah bukan jenis harta yang telah ada, maka

masing-masingnya mempunyai hitungan sendiri-sendiri.

Ketiga, yang didapat dari jenis nishab yang telah ada yang telah terjadi

atasnya tahun zakat dengan suatu sebab lain, seperti seorang lelaki

mempunyai 40 ekor kambing yang telah berlalu setengah tahun, maka

ia membeli atau ia mempusakai 100 ekor kambing, maka tidaklah

wajib ia berikan zakat pada yang 100 ekor ini, ketika memberi zakat

yang 40 ekor. Zakat yang 100 ekor jatuh setelah cukup tahun setelah

setahun dimilikinya. Demikian menurut asy-Syafi‟i dan Ahmad.

Abu Hanifah mengatakan, mal mustafad tidak dizakati melainkan

apabila telah sampai tahunnya, terkecuali jika ia memliki harta yang

wajib pada zakat dari permulaan tahun. Maka jika diusahakan

penambahannya sesudah dari jenis yang telah ada sebelum cukup

tahun, wajib pada yang diusahakan itu dikeluarkan zakatnya, baik

benda itu emas, perak atau selainnya. Walhasil jika ia memiliki dari

awal tahun 40 ekor kambing, kemudian di tengah-tengah tahun ia beli

100 ekor lagi, hendaklah ia gabungkan yang 100 itu dengan yang 40

dan ia berikan zakat dari 140 ekor kambing.

Imam Malik mengatakan, ia memberi zakat pada binatang yang

diperoleh di tengah tahun sekaligus memberi zakat binatang yang

telah ada di permulaan tahun yang jumlahnya sampai senishab. Tetapi

jika yang diperoleh di tengah tahun bukan binatang, emas atau perak

umpamanya, maka tidaklah dicampurkan penghasilan yang di

pertengahan tahun itu dengan pendapatan yang telah ada di

permulaannya. Disamakan dengan binatang, komoditi dagang.

Page 13: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Ibnu Rusyd mengatakan, tentang laba harta, terdapat perselisihan

para ulama dalam hal menghitung tahunnya.

Asy-Syafi‟i mengatakan, tahunnya dihitung sejak dari hari

diperoleh baik harta yang telah ada, cukup nishab atau tidak.

Malik mengatakan, tahun laba, tahun pokok, baik pokok itu cukup

senishab atau tidak dan menjadi senishab dengan labanya.

Al-Auza‟i , Abu Hanifah, dan Abu Tsaur mengatakan, “Jika pokok

ada senishab, ia zakatkan laba serta memberi zakat pokok. Jika pokok

tidak sampai nishab, tidaklah dizakatkan labanya.

Tentang tahun fawaid harta yang diperoleh bukan sebagai laba dari

yang telah ada, seluruh ulama berpendapat bahwa, “apabila harta itu

kurang dari nishab dan diperoleh faedah yang bukan dari laba,

dicukupkan nishabnya dengan yang telah ada, dan mulai saat itu

dihitung tahun.

Sebagian ulama berselisih paham tentang apabila seseorang

memperoleh harta sedangkan ia memiliki senishab dari harta yang lain

yang telah sampai tahun.

Anak binatang yang lahir tengah tahun

Malik mengatakan, “Tahun anak kambing, tahun induknya.” Abu

Hanifah, asy-Syafi‟i, Abu Tsaur dan Ahmad mengatakan “anak-anak

kambing tahun indukny, jika induknya ada senishab.” Jika induknya

tidak senishab, maka dimulai ketika cukup senishan dimulai

perhitungan tahun.

An-Nawawi mengatakan bahwa menurut al-Hasan al-Bashri dan

an-Nakha‟i, “Tidak digabungkan anak-anak ternak kepada induk-

induknya, tetapi dihitung haulnya sejak dilahirkan.”

Menurut Abu Hanifah, “Digabungkan anak-anak binatang kepada

induknya, baik anak-anak itu dilahirkan oleh induk-induknya yang

telah ada, ataupun dibeli. Tahunnya mengikuti tahun induknya.”

Page 14: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Menurut Malik, “Kalau seseorang memiliki 20 ekor kambing dan

beranak pula, hendaklah dizakati ketika sampai tahun induknya.

Tetapi jika anak-anak itu ia beli, maka tidak digabungkan kepada

induk-induk yang telah ada.”

Dari Ahmad diperoleh dua pendapat. Pertama, sama dengan

pendapat Malik, sedangkan pendapat yang lain sama dengan

pendapat asy-Syafi‟i.

Ibnu Hazm mengatakan, “segala faedah yang diperoleh di tengah-

tengah tahun, baik binatang maupun yang lain dizakati bila sampai

tahunnya sendiri, bukan ketika sampai tahun yang telah ada dari

jenisnya.” Di antara para sahabat yang berpendapat sebagaimana

pendapat Ibnu Hazm ialah Abu Bakar dan Ibnu Umar.

Di antara sahabat yang menyuruh memberi zakat beserta zakat

yang telah ada adalah Ibnu Mas‟ud, Mu‟awiyah dan Umar ibn Abdil

Aziz dari Tabi‟in. Mereka tidak membeda-bedakan antara satu macam

harta dengan macam lainnya.

5. Harta Orang yang Meninggal di Pertengahan Tahun

Apabila seseorang meninggal di pertengahan tahun dan berpindah

hartanya kepada ahli warisnya, maka menurut mazhab jadid asy-

Syafi‟i, ahli waris tersebut menghitung tahun dari mulai ia menerima

harta.

6. Kurang Nishab di pertengahan tahun dan mengganti nishab dengan

nishab

Apabila harta kurang nishab di pertengahan tahun karena si pemilik

menjualnya, atau ia menukar dengan selain dari jenisnya, maka

putuslah tahunnya. Sesungguhnya penuhnya nishab disepanjang

tahun adalah syarat wajib zakat, terkecuali jika sehari dua hari kurang

dari setahun. Jika dimaksudkan dengan menjual atau menukar untuk

melepaskan diri dari zakat ketika telah cukup tahun, maka penjualan

Page 15: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

atau penukarannya tidak menggugurkan zakat. Hal ini sama dengan

seseorang yang mentalak istrinya dalam keadaan ia menghadapi maut

untuk menghilangkan hak istri dari pusaka. Demikian pendapat Ibnu

Qudamah.

An-Nawawi mengatakan, apabila kurang nishab sebelum cukup

tahun dengan jalan menjual atau menghibahkannya, putuslah

tahunnya. Jika salah seekor dari binatang beranak, atau kembali

kepadanya yang telah dijual, maka dimulai di awal tahun. Jika mati

seekor, beranak seekor, tidak diputuskan tahunnya.

Apabila seseorang menjual senishab dari harta yang diperlukan

tahun untuk mewajibkan zakatnya, kemudian ia membeli senishab

pula dari jenis yang dijual, seperti menjual unta dan membeli unta,

atau emas, maka menurut mazhab Malik dan Ahmad tidak putus

tahunnya.

Abu Hanifah mengatakan, “Tidak putus tahun terhadap emasdan

perak, dan tahun putus pada lainnya.” Asy-Syafi‟i mengatakan, “Pada

semuanya, tahunnya putus.”

Ibnu Qudamah mengatakan, “Demikian juga menukar dua puluh

dinar dengan dua ratus dirham, dan sebaliknya tidak putus

tahunnya.”

Waktu Dikeluarkannya Zakat

Menurut Sufyan ats-Tsauri, Ahmad, asy-Syafi‟i dalam pendapatnya yang

lama, dan salah satu riwayat Imam Malik menyatakan bahwa waktu

wajibnya adalah saat matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan

untuk zakat fitrah. Sedangkan Abu Hanifah, al-Laits, asy-Syafi‟i dalam

pendapatnya yang lama dan riwayat kedua dari Malik menyatakan

bahwa waktu wajibnya adalah ketika terbitnya fajar di hari raya. Dan

mayoritas ulama fiqih berpendapat bahwa boleh hukumnya

Page 16: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

menyegerakan pembayaran zakat fitrah ketika satu atau dua hari sebelum

hari raya.

Hadits no. 91 (Shahih) Ibnu „Umar berkata:

“Rasulullah saw memerintahkan kami agar zakat fitrah itu dibayarkan

sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”

Nafi‟ berkata, “Ibnu „Umar dahulu menunaikan zakat fitrah satu atau dua

hari sebelum hari raya.”

Para ulama berbeda pendapat jika zakat fitrah dibayarkan sebelum

itu. Menurut Abu Hanifah ra, boleh membayar zakat fitrah sebelum bulan

ramadhan. Asy-Syafi‟i ra berkata, “Boleh membayarnya di awal bulan.”

Malik ra berkata sekaligus merupakan pendapat yang masyhur dalam

mazhab Imam Ahmad, ”Boleh membayarnya ketika satu atau dua hari

sebelum hari raya.”

Saat mencapai haulnya (satu tahun) untuk zakat maal. Hadits no 20

(shahih). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-

Bukhari dari „Uqbah bin al-Harits ra. Ia berkata:

“Aku pernah melakukan shalat bersama nabi saw. Seusai salam, beliau

segera berdiri dan menemui sebagian istri beliau. Tidak berapa lama

kemudian beliau keluar lagi. Beliau melihat rona wajah para sahabat

berubah, karena merasa aneh dengan ketergesaan beliau. Maka beliau

bersabda, „Ketika aku sedang melakukan shalat, aku teringat tibr (emas)

yang ada pada kami. Aku tidak ingin benda tersebut ada pada kami

sampai sore atau malam hari, maka aku memerintahkan untuk membagi-

bagikannya.”

Ibnu Bathlal berkata, “Di antara makna yang dikandung oleh hadits ini,

kebaikan hendaknya segera dilaksanakan. Sebab, berbagai perusak akan

Page 17: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

selalu menghampirinya dan berbagai rintangan senantiasa

menghalanginya. Di samping itu, seseorang juga tidak pernah merasa

aman dari kematian. Karena itu, menunda kebaikan merupakan hal yang

tidak terpuji.”

Dibolehkan menyegerakan pembayaran zakat sebelum haulnya,

meskipun untuk masa dua tahun ke depan. Diriwayatkan dari az-Zuhri,

beliau memandang bahwa pembayaran zakat itu boleh disegerakan

sebelum haulnya. Al-Hasan juga pernah ditanya tentang seseorang yang

membayar zakatnya untuk masa tiga tahun mendatang, apa hal itu

dibolehkan? Beliau menjawab, “Hal itu sah (dibolehkan).”

Asy-Syaukani ra berkata, “Pendapat ini dipegang oleh asy-Syafi‟i,

Ahmad, Abu Hanifah, al-Hadi dan al-Qasim. Al-Mu-ayyid billah berkata,

„Bahkan ini yang lebih utama.‟ Sedangkan Malik, Rabi‟ah Sufyan ats-

Tsauri, Dawud, Abu „Ubaid bin al-Harits, dan an-Nashir dari kalangan

ahli bait berkata, „Hal ini tidak sah, hingga harta tersebut genap berusia

satu tahun.‟

Mereka berhujjah dengan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa

kewajiban zakat itu terkait dengan haul, sebagaimana yang telah

disebutkan. Tetapi hal ini sama sekali tidak dapat dijadikan hujjah untuk

menyanggah orang-orang yang berpendapat bolehnya menyegerakan

pembayaran zakat sebelum haulnya. Kewajiban zakat memang terkait

dengan haul. Ini sama sekali tidak diperdebatkan. Masalah yang menjadi

tema perdebatan adalah sah tidaknya menyegerakan pembayaran zakat

itu sebelum haulnya.” Sekian perkataan Imam Syaukani.

Ibnu Rusyd berkata, “Sebab timbulnya perbedaan pendapat ini adalah,

apakah zakat itu merupakan ibadah ataukah merupakan hak yang wajib

diberikan kepada orang-orang miskin? Orang-orang yang mengatakan

Page 18: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

bahwa zakat adalah ibadah dan menyerupakannya dengan shalat, maka

mereka tidak membolehkan mengeluarkan zakat seb elum haulnya.

Adapun orang-orang yang menyerupakannya dengan hak-hak yang wajib

dilakukan pada waktu tertentu, maka mereka membolehkan penyegeraan

pembayaran zakat sebelum tiba haulnya, dengan tujuan mencari nilai

tambah. Imam as-Syafi‟i menguatkan pendapatnya dengan hadits‟Ali ra:

“Sesungguhnya nabi saw menerima zakat al-„Abbas sebelum tiba masanya”.

Page 19: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

PERHITUNGAN ZAKAT MAAL

Zakat Emas dan Perak

Emas dan perak, dalam bentuk uang, emas serbuk, atau emas

batangan wajib dikeluarkan zakatnya, jika sudah sampai satu nishab dari

masing-masing jenis, sudah mencapai satu tahun dimiliki, si pemilik tidak

ada tanggungan hutang, dan sudah terpenuhi kebutuhan-kebutuhan

pokok.

Landasan/ Dalil-dalil Disyariatkannya Zakat Emas dan Perak

Ketahuilah bahwa emas dan perak mencakup segala sesuatu yang

terbuat dari keduanya, seperti uang logam, perhiasan, lempengan-

lempengan dari keduanya, dan sejenisnya. Emas dan perak disebut juga

dengan mata uang, karena kedua jenis logam inilah yang menjadi standar

uang internasioanal terutama emas. Kewajiban zakat atas emas dan perak

ini ditegaskan dalam Al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Ijma‟.

Para ulama sepakat tentang wajibnya zakat atas perhiasan emas dn

perak bila itu adalah perhiasan yang haram untuk dipakai (untuk laki-

laki), atau dipersiapkan untuk diperdagangkan atau sejenisnya.

Dalil diwajibkan zakat emas dan perak adalah berdasarkan firman

Allah SWT. Dalam Al-Qur‟an surat At-Taubah ayat 34-35:

ةالذهبيكنزونوالذين عميهايحمىيومأليم بعذاب فبشرهمالمهسبيلفيينفقونهاولوالفض

تكنزونكنتممافذوقوالنفسكمكنزتمماهذاوظهورهموجنوبهمجباههمبهافتكوىجهنمنارفي

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak

menafkahkannya dijalan Allah, maka beritahukanlah pada meraka (bahwa

mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan

perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka,

Page 20: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: inilah

harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah

sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.

Dari Abu Hurairah , Rasulullah SAW bersabda :

ا ل رب صادب ت ا ؤد ل فع ا إرا إل دق ما ت صفائخ ى صفذج اىقا اس ،

ا فأد ، اس ف عي ج ب جب خ با فن ج ش، ظ ا ذث أع بشدث مي ف إى ما

ق ذاس س ي فش ست ، أى ف خ ا سب ا اىجت، إى إ إ اىاس إى

“Siapa saja yang memiliki emas dan perak tapi tidak mengeluarkan

zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya dari

lempengan api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka jahannam, lalu

disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut.

Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya

pada hari dan ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian

ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka”.

Dari Amar Bin Syu‟aib dari bapak dari kakeknya, ia berkata :

شأة أ سسه أحج ا للا صي للا عي سي عا ف ىا اب ت اب خا ذ سنخا غيظخا

ىا فقاه رب ط ك قاه ل قاىج زا صماة أحع أسش سك أ س للا اب ت اى قا اس س اس

ا قاه ا فخيعخ إى فأى قخ للا صي اىب عي سي قاىج ا جو عض لل ىشسى

“Ada seorang wanita yang dating kepada Rasulullah bersama anak

wanitanya yang ditangannya terdapat dua gelang besar yang terbuat dari

emas. Maka Rasulullah bertanya kepadanya, “apakah engkau sudah

mengeluarkan zakat ini ?” dia menjawab “belum.” Rasulullah SAW.

Lantas bersabda, “apakah engkau senang kalau nantinya Allah akan

memakaikan kepadamu pada hari kiamat dengan dua gelang dari api

neraka.” Wanita itupun melepas keduanya dan memberikannya kepada

Rasulullah seraya berkata, “keduanya untuk Allah dan RasulNya.”

Dari Abdullah bin Syadad bin Hadi, ia berkata :

Page 21: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

سي صي للا عي سسه للا فقاىج دخو عي سي صي للا عي ج اىب دخي ا عي عائشت ص

قاه ىل ا سسه للا أحض خ ا زا ا عائشت فقي ج صع سق فقاه فخخاث فشأ ف ذ

اىاس بل دس قاه ا شاء للا قي ج ل أ صماح أحؤد

“Kami masuk menemui Aisyah, istri Rasulullah SAW. Lalu beliau

berkata, “Rasulullah masuk menemuiku lalu beliau melihat ditanganku

beberapa cincin dari perak lalu beliau bertanya, “apakah ini wahai

Aisyah?” akupun menjawab, “saya memakainya demi berhias untukmu

wahai Rasulullah.” Lalu beliau bertanya lagi, “apakah sudah engkau

keluarkan zakatnya?” “belum”, jawabku. Rasulullah SAW. Lantas

bersabda, “cukuplah itu untuk memasukkanmu kedalam api neraka.”

Nishob Zakat Emas Yang Disepakati

Nishob zakat emas adalah 20 mistqol atau 20 dinar. Satu dinar

setara dengan 4,25 gram emas. Sehingga zakat nishob emas adalah 85

gram emas. Jika emas mencapai nishob ini atau lebih dari itu, maka wajib

dikeluarkan zakatnya. Jika kurang dari itu maka tidak ada zakat kecuali

seseorang ingin bersedekah sunnah.

Ketentuan zakat emas

a. Milik orang islam

b. Mencapai haul

c. Mencapi nishob, 85 gram emas

d. Besar zakatnya 2,5 %

Syarat wajib zakat emas

a. Telah mencapai nishob

b. Telah berputar selama 1 haul (tahun hijrah)

c. Harus berupa emas murni dan perak murni, bukan campuran. Jika

campuran, walaupun mencapai nishob, maka tidak ada kewajiban

zakatnya, sebab berat aslinya kurang dari itu.

Page 22: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Besar zakat emas adalah 2,5% atau 1/40 jika telah mencapai nishob.

Contohnya emas telah mencapai 85 gram, maka besaran zakat adalah

85/40 = 2,125 gram. Jiak timbangan emas adalah 100 gram, besaran zakat

adalah 100/40 = 2,5 gram.

Nishob Zakat Perak Yang disepakati

Nishob zakat perak adalah 200 dirham atau 5 uqiyah. Satu dirham

setara dengan 2,975 gram perak. Sehingga nishob zakat perak adalah 595

gram perak. Jika perak telah mencapai nishob ini atau lebih dari itu, maka

wajib dizakati. Jika kurang dari itu, tidak ada zakat kecuali jika seseorang

ingin bersedekah sunnah.

Besar zakat perak adalah 2,5% atau 1/40 jika telah mencapai

nishob. Contohnya 200 dirham, maka zakatnya adalah 200/40 = 5 dirham.

Jika timbangan perak adalah 595 gram, maka zakatnya adalah 595/40 =

14,875 gram perak.

Zakat Tijarah

Pengertian tijarah sebagaimana yang telah disebutkan bahwa kata

tijarah menunjukkan dua pengertian; pertama, aktifitas jual beli (dagang).

Kedua, komoditas (barang dagangan). Dalam konteks zakat, yang

dimaksud dengan zakat tijarah adalah zakat yang berkaitan dengan

komoditas bukan aktivitas. Zakat barang-barang dagangan, yaitu barang-

barang (harta) yang dipersiapkan untuk diperdagangkan. Dikarenakan

barang-barang tersebut tidak diam begitu saja lalu habis, dan

pedagangnya yang sebenarnya tidak menginginkan dzat barang itu

sendiri tetapi dia hanya menginginkan laba darinya, oleh sebab itu

diwajibkan atas zakat karena qimahnya (nilai barang), bukan sebab dzat

barang itu sendiri.

Page 23: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabiin dan generasi setelah

mereka, dari kalangan ahli fikih menegaskan, bahwa barang-barang yang

diperdagangkan wajib dizakati. Hal ini berdasarkan hadist dari riwayat

Abu Dawud dan Al-Baihaqi, dari Samurah bin Jundub RA. Dia berkata:

“Amma ba‟du, sesungguhnya Nabi SAW. Memerintahkan kami

mengeluarkan sedekah (zakat) dari apa yang kami siapkan untuk jual-

beli.”

Diriwayatkan dari Abu Amr bin Himas, dari ayahnya, dia berkata:

“saya menjual kulit dan anak panah, maka Umar bin Khattab RA. Berkata:

„keluarkan sedekah hartamu.‟ Aku menjawab: „wahai Amirul Mukminin,

itu hanya kulit.‟ Umar berkata: „hitunglah nilainya (dengan emas)

kemudian keluarkan sedekahnya.‟ Dikatakan dalam Al-Mughni: “kisah

dalam riwayat ini dikenal dan tidak ada yang mengingkarinya sehingga

menjadi ijma‟ (kesepakatan bersama).

1. Dasar/Dalil-Dalil Diwajibkannya Zakat Tijarah

Diwajibkannya zakat tijarah ditetapkan berdasarkan keterangan-

keterangan berikut:

Allah SWT. Berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman infaqkanlah sebagian dari hasil usaha kamu yang

baik…” QS. Al-Baqarah :267

Rasulullah SAW. Pernah mengutus petugas penarik zakat. Salah

seorang pedagang tidak membayar zakat yaitu Khalid bib Walid yang

berdangan alat-alat perang. Hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW.

Maka beliau bersabda:

“Adapun Khalid, maka sesungguhnya kamu hendak menganiayanya, sungguh ia

telah wafatkan baju-baju besi dan alat-alat perangnya dijalan Allah…” HR.

Bukhari

Page 24: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Samurah bin Jundab yang

mengatakan:

“Sesungguhnya Rasulullah SAW. Memerintah kita untuk mengeluarkan zakat

dari barang-barang yang kita sediakan untuk jual-beli.”

Riwayat Himas yang mengatakan:

“Aku lewat kepada Umar bin Khattab, sedang pada pundakku kulit-kulit yang

aku pikul. Umar bertanya: „sudahkah engkau keluarkan zakatnya wahai

Hammas? Aku menjawab, „wahai amirul mukminin, saya tidak mempunyai

barang dagangan selain yang ada pundakku ini dan beberapa kulit mentah yang

sedang disamak‟ maka Umar berkata, „itulah barang dagangan, letakkanlah! Lalu

aku meletakkan dihadapannya, lalu menghitungnya, lalu beliau dapatkan harta

itu telah wajib dikeluarkan zakatnya, lalu beliau mengambilnya…” HR. Asy-

Syafi‟i

Diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Barr dari Ibnu Umar yang

mengatakan:

“Setiap harta atau hamba sahaya atau binatang ternak yang diputarkan (sebagai

modal) untuk tijarah, maka wajib zakat.”

2. Syarat dan Ketentuan Zakat Tijarah

Yang perlu kita ketahui dalam hal zakat tijarah yaitu adanya

beberapa syarat dan ketentuan diantaranya:

a. Didalam hal kepemilikan barang harus dengan perbuatannya, yaitu

dengan pilihannya sendiri, maka dalam hal ini tidak termasuk darinya

dari penerimaan pemberian atau hadiah dan lain sebagainya yang

diluar kehendaknya.

b. Didalam memiliki barang dari awalnya sudah diniatkan untuk

diperdagangkan (karena niat ada hal yang terpenting didalam ajaran

Page 25: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

agama islam). Sehingga barang tersebut tidak termasuk bagi yang

membeli barang yang dari awal tidak niat ingin diperdagangkan lalu

setelah beberapa lama muncul niatan untuk diperdagangkan. Yang

seperti ini tidak wajib zakat menurut pendapat yang masyhur dari

beberapa mazhab.

c. Barang tersebut sudah mencapai nishob yaitu setara dengan harga 85

kg emas

d. Sudah berjalan satu haul (tahun)

e. Dikeluarkan 2,5% dari harta yang terkena wajib zakat

f. Bisa dikeluarkan dalam bentuk barang dan uang, tapi dikeluarkan

dalam bentuk uang, ini pendapat yang masyhur dari Imam Asy-Syafi‟I

dan Imam Ahmad, karena dinilai lebih bermanfaat bagi penerima

zakat.

Yang pertama kali adalah pastikan harta+modal dagangan kita

sudah mencapai nishob yaitu setara dengan nilai 85 gram emas. Misalkan

harga emas saat ini Rp 500.000/gram maka nishob minimal terkena zakat

adalah Rp 45.500.000. jika ternyata harta dagang kita sudah senilai nishab

maka catatlah tanggal dan tahunnya. Jika pada tanggal yang sama pada

tahun berikutnya harta tersebut tetap atau betambah nilainya, maka wajib

dikeluarkan zakat nya 2,5% setelah dipotong hutang.

Perlu diperhatikan didalam cara perhitungan zakat tijarah:

a. Piutang yang disyaratkan adalah piutang yang lancer, sedangkan

untuk piutang yang tidak lancar maka tidak termasuk didalamnya.

b. Bahwa bangunan, perabotan dan peralatan yang tidak disiapkan

untuk dijual tidak dimasukkan dalam perhitungan asset yang

dikeluarkan zakatnya.

Page 26: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

c. Zakat tijarah ini berlaku untuk beberapa jenis bidang usaha, baik yang

bergerak dibidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa,

dikelola secara individu maupun badan usaha seperti PT, CV,

Koperasi, dan lain sebagainya.

Page 27: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

ZAKAT NABATI (PERTANIAN)

Bumi dijadikan oleh Allah, diciptakan-Nya baik untuk tumbuh

tanaman dan ditanami, dan diberlakukan hukum-hukum-Nya yang

didalamnya terdapat nikmat-nikmat-Nya yang besar. Oleh karena itu

bumi merupakan sumber utama kehidupan dan kesejahteraan jasmaniah

manusia. Semua tanaman dan buah-buahan yang tumbuh di atas bumi ini

merupakan karunia dan hasil karya Allah, bukan hasil karya tangan kita.

Dialah yang sesungguhnya menumbuhkan. Oleh karena itu pantas

apabila Dia meminta kita agar berterimakasih atas nikmat yang telah

dikaruniakan-Nya kepada kita.

Firman Allah SWT:

فق ت ا انخبث ي ل ت نستى ا أخسجا ي طبات يا كسبتى فقا ي آيا أ ا انر أ

الزض ا نكى ي

ضا ف ت غ إل أ بآخر للا ا أ اعه د ح غ

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian

dari hasi lusahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami

keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang

buruk-buruk lalu kamu menafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri

tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata

terhadapnya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha

Terpuji.” (Qs. al-Baqarah: 267)

Menurut kesepakatan ulama, ada empat jenis tanaman yang wajib

dizakati, yaitu jagung, gandum, kurma dan anggur. Menurut sebagian

ulama, hanya empat jenis itu yang wajib dizakati. Ini yang dianut oleh

Ibnu Abi Laila, Syufyan Tsauri, dan Ibnul Mubarak. Sedangkan menurut

Page 28: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Malik dan Syafi‟i, yang wajib dizakati adalah segala hasil tanaman yang

dapat disimpan lama dan menjadi makanan pokok. Abu Hanifah

berpendapat bahwa semua tanaman wajib dizakati, kecual irumput, kayu

bakar dan bambu.

Perbedaan pendapat tersebut, yakni antara ulama yang

mewajibkan zakat pada tanaman tertentu dengan ulama yang

mewajibkan zakat pada segala tanaman yang menjad imakanan pokok,

disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda, yaitu apakah kewajiban

zakat tersebut karena wujud benda, atau karena cirri khas nilai gunanya.

Ulama yang memandang zakat tersebut diwajibkan berdasar

wujud bendanya berpendapa tbahwa yang wajib dizakati hanyalah

tanaman tertentu yang disebut dalam nash al-Qur‟an dan hadits.

Sedangkan ulama yang memandang zakat tersebut diwajibkan berdasar

nilai gunanya berpendapat bahwa bukan tanaman yang disebut dalam

nash itu saja yang dizakati, namun segala tanman yang menjadi tanaman

pokok.

Hasil-hasil Pertanian yang Wajib Dizakati

Bila zakat tanaman dan buah-buahan wajib berdasarkan Qur‟an,

hadits dan logika, sebagaimana ditegaskan para ulama, maka timbul

pertanyaan tentang hasil pertanian apa saja yang terkena kewajiban zakat

sebesar 10% atau 5% tersebut, semuanya ataukah sebagian saja, bila

sebagian apa yang termasuk kedalamnya, dan apa landasannya,

semuanya itu menjadi bahan diskusi yang hangat di antara ulama.

1. Ibnu Umar dan segolongan Ulama Salaf: Zakat Wajib atas Empat Jenis

Makanan

Page 29: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Ibnu Umar dan sebagian tabi‟in serta sebagian ulama sesudah

mereka berpendapat bahwa zakat hanya wajib atas dua jenis biji-

bijianya itu gandum (hintah) dan sejenis gandum lain (syair), dan dua

jenis buah-buahanya itu kurma dan anggur. Dengan alasan:

a. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni dari

sumber Umar bin Syu‟aib, dari ayahnya, dari kakeknya lagi,

bahwa“zakat pada zaman Rasulullah hanya atas gandum, bijigandum,

kurma, dan anggur.” Sedangkan Ibnu Majah menambahnya dengan

“jagung”.

b. Hadits yang diriwayatkan dari sumber Abu Burda dari sumber

Abu Musa dan Mu‟az. Bahwa rasulullah SAW mengirim mereka

berdua ke Yaman untuk mengajar penduduk di sana mengenai

agama, diantaranya merek adiperintahkan agar memungut zakat

hanya dari empat macam: gandum, bijigandum, kurma dan

anggur.

2. Malik dan Syafi‟i: Zakat atas Seluruh makanan dan yang Dapat

Disimpan

Malik dan Syafi‟i berpendapat bahwa zakat wajib atas segala

makanan yang dimakan dan disimpan, bijian dan buahan kering

seperti gandum, bijinya, jagung, padi, dan sejenisnya. Yang dimaksud

dengan makanan adalah sesuatu yang dijadikan makanan pokok oleh

manusia pada saat normal, bukan dalam masa luar biasa. Oleh karena

itu menurut madzhab Maliki dan madzhab Syafi‟i, pala, badam, kemiri,

kenari dan sejenisnya tidaklah wajib zakat, sekalipun dapat disimpan

karena tidak menjad imakanan pokok manusia. Begitu juga tidak wajib

zakat, jambu, delima, buah per, buah kayu, prem dan sejenisnya,

karena tidaklah kering dan disimpan.

Page 30: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

3. Pendapat Ahmad tentang Semua yang Kering. Tetap dan Ditimbang

Pendapat Ahmad beragam, yang terpenting dan terkenal adalah

seperti yang terdapat dalam al-Mughni. “Zakat wajib atas bijian dan

buahan yang memiliki sifat-sifat ditimbang, tetap dan kering yang

menjadi perhatian manusia bila tumbuh di tanahnya, berupa makanan

pokok seperti gandum, sebangsa gandum, sorgum, padi, jagung. Padi-

padian berupa kacang-kacangan seperti kacang tanah, miju-miju,

kacang polong hindi, dan kedele. Berupa bumbu-bumbuan seperti

jintan putih dan jemuju. Berupa biji-bijian seperti rami, mentimun, dan

kundur. Berupa bijian sayur seperti lada, bijikol, sejenis gandum,

turmus, bijian, dan semua biji-bijian. Termasuk juga buah-buahan

yang mempunyai sifat-sifat di atas, seperti kurma, anggur, aprikot,

buah badam, kenari hijau, dan buah bunduk. Tetapi semua buah-

buahan, seperti buah persik, buah per, jambu, dan apricot tidaklah

wajib zakat. Begitu juga berupa sayuran seperti mentimun, sepedas,

lobak dan wortel.

4. Abu Hanifah: Semua Hasil Tanaman

Abu Hanifah berpendapat bahwa semua hasil tanaman, landasan

yang dipakai oleh Abu Hanifah adalah sebagai berikut:

a. Prinsip umum firman Allah dalam surat al-Baqarah “… dan

tanaman-tanaman yang kami keluarkan untuk kalian” tanpa

membedakan apa dan di mana dikeluarkan.

b. Firman Allah SWT “Bayarlah haknya waktu memanennya!”

c. Sabda Rasulullah SAW “Yang diairi dari hujan zakatnya sepersepuluh,

sedangkan yang disirami zakatnya seperduapuluh,” tanpa membedakan

tanaman yang berbuah tetap dengan yang bukan, yang dimakan

Page 31: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

atau tidak dimakan, dan antara yang merupakan makanan pokok

atau bukan.

Nishab Wajib Zakat Nabati (Pertanian)

Fuqoha berpendapat bahwa kadar zakat yang wajib pada biji-bijian

adalah 10% untuk tanaman yang mendapa tpengairan dari langit

(tanaman tadah hujan), dan 5% untuk tanaman yang disirami dengan alat

siraman, karena ketentuan ini sudah jelas disebut dalam hadits shahih.

Jumhur ulama yang terdiri dari para sahabat, tabi‟in dan para

ulama sesudah mereka berpendapat bahwa tanaman dan buahan sama

sekali tidak wajib zakat sampai berjumlah lima beban unta (wasaq)

berdasarkan sabda Rasulullah SAW “Kurang dari 5 wasaq tidak wajib zakat”

Hadits ini disepakati adalah shahih.

Tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa tanaman dan buahan itu

sedikit maupun banyak wajib zakat. Berdasarkan keumuman pengertian

hadits, “Tanaman yang diairi oleh hujan zakatnya sepersepuluh” Hadits itu

adalah shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lain-lain. Oleh karena

tidak dipersyaratkan setahun, maka nishb dalam hal itu juga tidak

dipersyaratkan.

Ketentuan:

a. Nishab zakat pertanian adalah 653 kg beras

Ausaq jamak dari wasaq, 1 wasaq = 60 sha‟, sedangkan 1 sha‟ = 2,176

kg, maka 5 wasaq adalah 5 x 60 x 2,176 = 652,8 kg.

b. Kadarnya sebanyak 5% jika menggunakan irigasi dan 10% dengan

pengairan alami (tadah hujan)

c. Dikeluarkan ketika panen.

Page 32: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Perhitungan Zakat Nabati (Pertanian)

Contoh:

Bapak Abdullah adalah seorang petani, sawahnya yang berjumlah 2 Ha ia

Tanami padi. Selama pemeliharaan ia mengeluarkan biaya sebanyak

Rp500.000. Ketika panen hasilnya sebanyak 10 ton beras. Berapa zakat

yang harus dikeluarkan?

Jawab:

Ketentuan zakat hasil pertanian:

Nishab 653 kg beras

Tarif 5% (menggunakan irigasi)

Waktunya: ketika panen

Jadi zakatnya:

Hasil panen 10 ton = 10.000 kg (melebihi nishab)

10.000 x 5% = 500 kg

Jika dirupiahkan:

Jika harga jual beras adalah Rp8.000

Maka, 10.000 kg x Rp8.000 = Rp80.000.000

Rp80.000.000 x 5% = Rp4.000.000

Page 33: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

ZAKAT HEWAN (Ternak)

Dunia hewan amat luas dan banyak. Tetapi yang berguna bagi

manusia sedikit sekali. Yang paing berguna adalah binatang-binatang

yang oleh orang Arab disebut an‟am yaitu unta, sapi, kambing, dan biri-

biri. Binatang-binatang tersebut telah dianugerahkan Allah kepada

hamba-hambaNya dan manfaatnya banyak diterangkan dalam ayat-ayat

suci Al Qur‟an. Allah berfirman:

“Dan sesungguhnya binatang pun bagi kalian merupakan pelajaran.

Kami beri kalian minum dari apa yang ada dalam perutnya diantara

kotoran dan darah, susu murni dan enak bagi orang-orang yang

meminumnya.” (Q.S 16 : 66)

Syarat-Syarat

a. Sampai Nisab

Mencapai nishab, yaitu batas minimal yang jika harta sudah melebihi

batas itu, wajib mengeluarkan zakat; jika kurang dari itu, tidak wajib

zakat.

b. Telah dimiliki satu tahun

Dari Aisyah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulallah saw bersabda:

“Tidak wajib zakat pada harta sehingga ia telah melewati masa satu

tahun.” (HR at-Tirmidzi)

c. Digembalakan

d. Tidak dapat dipekerjakan

Hewan Ternak Yang Terkena Zakat

a. Unta

Page 34: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Unta meliputi unta „irab (unta Arab) yang berpunuk satu dan unta

bakhathi yang berpunuk dua. Nisab unta adalah 5 ekor, di bawah jumlah

itu peternak tidak wajib mengeluarkan Zakat atas ternak tersebut.

Nishab Jumlah yang dikeluarkan zakatnya

05 sampai 09 unta 1 ekor kambing

10 sampai 14 unta 2 ekor kambing

15 sampai 19 unta 3 ekor kambing

20 sampai 24 unta 4 ekor kambing

25 sampai 35 unta 1 ekor bintu makhadh (anak unta betina 1 tahun –

2 tahun)

36 sampai 45 unta 1 ekor bintu labun (anak unta jantan 2 tahun – 3

tahun)

46 sampai 60 unta 1 ekor huqqah (unta betina 3 tahun – 4 tahun)

61 sampai 75 unta 1 ekor jadz‟ah (unta betina 4 tahun – 5 tahun)

76 sampai 90 unta 2 ekor bintu labun

91 sampai 120 unta 2 ekor huqqah

b. Sapi

Sapi meliputi seluruh jenis sapi ternak dan kerbau. Ibnul Mundzir

telah menukil ijma‟ ulama dalam Al-Ijma‟ (no. 91) bahwa kerbau termasuk

jenis sapi yang terkena zakat. Syaikhul Islam menukilnya dari Ibnul

Mundzir t dalam Majmu‟ Fatawa (25/37).

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (2/373): “Kami tidak

mengetahui khilaf dalam hal ini.” Adapun sapi liar/banteng, tidak

dikenai zakat menurut Ibnu Qudamah beserta jumhur (mayoritas) ulama.

Hujjahnya, sapi liar/banteng tidak termasuk binatang ternak seperti

halnya binatang liar lainnya yang tidak terkena zakat.

Page 35: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Sapi dan kerbau baru wajib dizakatkan apabila pemilik memiliki

sedikitnya 30 ekor. Di bawah jumlah ini tidak wajib dizakatkan.

Nishab Jumlah yang dikeluarkan zakatnya

30-39 1 ekor sapi jantan/betina tabi'

40-59 1 ekor sapi jantan/betina musinnah'

60-69 ekor sapi 2 ekor anak sapi tabi‟

70-79ekor sapi 1 ekor tabi‟ dan 1 ekor musinnah

80-89 ekor sapi 2 ekor musinnah

90-99 ekor sapi 3 ekor tabi‟

100-109 ekor sapi 2 ekor tabi‟ dan 1 ekor musinnah

110-119 ekor sapi 2 ekor musinnah dan 1 ekor tabi'

120-129 ekor sapi 3 ekor musinnah atau 4 ekor tabi'

130-160 dst setiap 30 ekor, 1 tabi' dan setiap 40 ekor,

1 musinnah

Selanjutnya setiap jumlah itu bertambah 30 ekor, zakatnya

bertambah 1 ekor tabi'. Dan jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor,

zakatnya bertambah 1 ekor musinnah.

Keterangan :

tabi' : sapi berumur 1 tahun (masuk tahun ke-2)

musinnah : sapi berumur 2 tahun (masuk tahun ke-3)

c. Kambing/Domba

Kambing meliputi kambing biasa dan domba/biri-biri. Tidak ada

khilaf di kalangan fuqaha‟ bahwa kambing dan domba disatukan dalam

perhitungan nishab dan zakat. Demikian pula seluruh jenis sapi dan

kerbau yang beragam jenisnya disatukan dalam perhitungan nishab dan

Page 36: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

zakat. Juga seluruh jenis unta yang beragam jenisnya disatukan dalam

perhitungan nishab dan zakat.

Adapun yang berbeda jenis tidak disatukan antara satu dengan

yang lainnya dan tidak ada khilaf pula dalam hal ini. Maka kambing tidak

disatukan dengan sapi dan unta dalam perhitungan nishab dan zakat.

Kambing baru wajib dizakatkan apabila pemilik memiliki

sedikitnya 40 ekor kambing. Di bawah jumlah ini tidak wajib dizakatkan

Selanjutnya, setiap jumlah itu bertambah 100 ekor maka zakatnya

bertambah 1 ekor

Nishab Jumlah yang dikeluarkan zakatnya

40 sampai 120 ekor 1 ekor kambing

121 sampai 200 ekor 2 ekor kambing

201 sampai 299 ekor 3 ekor kambing

300 sampai 399 ekor 4 ekor kambing

400 sampai 499 ekor 5 ekor kambing

Page 37: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

ZAKAT RIKAZ (HARTA KARUN), BARANG MA’DAN (BARANG

TAMBANG)

Pengertian Rikaz dan Ma’dan

Ibnu Athir menyebut dalam an-Nihiya bahwa al-maadin berarti

tempat dari mana kekayaan bumi seperti emas, perak, tembaga dan lain-

lain keluar. Bentuk tunggalnya adalah ma‟dan.Tetapi arti dari ma‟dan

sesungguhnya adalah tempat yang diakaitkan pengertiannya dengan

kediaman, kemudain lebih populer dipakai untuk menujuk pengertian

benda-benda disana sini yang ditempatkan oleh Allah diatas bumi pada

waktu bumi diciptakan. sehingga pengertiannya kemudian berubah

kepada pengertian yang baru itu, tanpa alasan yang jelas.Kanz adalah

tempat tertimbunnya harta benda karena perbuatan manusia.

Rikaz mencakup keduanya (yakni ma‟dan dan kanz), karena kata

rakz berati „simpanan‟, tetapi yang dimaksud adalah maruz‟yang

disimpan‟, pengertian yang lebih luas dari pada yang menyimpan itu

hanya tuhan atau makhluk saja.Secara syari‟, rikaz berarti harta zaman

jahiliyah berasal dari non muslim yang terpendam yang diambil dengan

tidak sengaja tanpa bersusah diri untuk menggali, baik yang terpendam

berupa emas, perak atau harta lainnya

Dalil yang menyebutkan tentang rikaz dan tambang lainnya.

Diriwayatkan oleh Jama‟ah ahli hadist. Abu Hurairah, yang

menyatakan bahwa “rikaz itu dikeluarkan zakatnya seperlima bagian.”

Sudah merupakan kesepakatan para ulama bahwa benda-benda yang

disimpan didalam tanah adalah rikaz, karena benda-benda tersebut

terpendam di dalamnya.

Page 38: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Dan juga hadist dari Amru Ibnu Syu‟aib,” bahwa Rasulullah

pernah ditanya tentang luqtah, yang dijawab oleh Rasulullah bahwa, “

harta benda yang ditemukan dijalan umum atau didaerah pemukiman,

hendaklah diumumkan selama 1 tahun. Jika pemiliknya datang,

berikanlah dan jika tidak, ambilah sebagai milikmu. Dan harta yang

ditemukan bukan pada jalan umum atau bukan didaerah pemukiman,

maka dalam harta itu dan demikian pula pada rikaz ada seperlima bagian

yang harus dikeluarkan

Hukum rikaz dan barang tambang.

Kewajiban yang harus ditunaikan pada produksi barang tambang.

Ulama fiqh sepakat tentang adanya hak yang harus diambil dari produksi

barang tambang. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT : “Hai orang-

orang yang beriman! Belanjakanlah hasil usahamu yang baik-baik dan

sebagian daripada apa yang kami keluarkan dari bumi.” (QS:2:267)

Masa Penentuan Nishab.

Penentuan nishab barang tambang masih memiliki banyak

perbedaan pendapat oleh para ulama fiqh. Dikalangan Abu Hanifah dan

kawan-kawannya berpendapat bahwa barang tambang wajib zakat, baik

yang jumlahnya sedikit maupun banyak, atas dasar bahwa itu adalah

harta karun, berdasarkan hadist-hadist yang dipakai menjadi landasan

fikiran mereka karena harta seperti itu tidak dipersyaratkan bermasa

setahun. Olah karena itu logam mulia seperti harta karun tidak memiliki

nishab.

Sebaliknya Malik, Syafi‟i, Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa

nishab berlaku. Hal itu berdasarkan apabila nilai kekayaan yang

ditemukan sudah mencapai satu nisab uang. Mereka mengambil sebagai

Page 39: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

landasan fikiran hadist-hadist tentang nisab emas dan perak. Yang benar,

yang didukung oleh nash-nash, adalah bahwa harta karun mempunyai

ketentuan nishab, tetapi tidak perlu bermasa setahun atau tanpa haul.

Hal itu karena menurut Rafi‟i dari mazhab Syafi‟i, maksud nisab

diberlakukan supaya dapat diketahui jumlah kekayaan yang dapat tidak

dikenakan zakatnya dan masa setahun untuk diketahui apakah kekayaan

mengalami pertumbuhan atau tidak. Mengenai barang tambang jelas

bahwa mengalami pertumbuhan. Oleh karena itulah kita menilainya

mempunyai nishab, sama halnya dengan hasil tanaman dan buahan, yang

tidak diperhitungkan masa setahun.

Besar zakat Barang Tambang.

Mengenai besar zakat yang harus dikeluarkan, maka para ulam

fiqh berbeda pendapat. Abu hanifah dan kawan-kawannya berpendapat

harus dikeluarkan zakatnya 20%. Tetapi Ahmad dan Ishaqberpendapat

bahwa besar zakatnya adalah 2,5% berdasarkan qias dengan zakat uang.

Syafi‟i punya pendapat sama dengan pendapat-pendapat diatas adalah

mengambil 1/40 bagian.

Sebagian ahli fiqh berpendapat lain, dimana ia melihat kepada

tingkat usaha yang diusahakan dan biaya serta kesusahan dalam

memproduksi barang yang dihasilkan. Jika produksinya jauh lebih

banyak dari usaha dan biaya yang dikeluarkan, maka zakatnya 1/5

bagian. Sebaliknya bila hasilnya sedikit dibanding dengan usaha dan

biaya, maka zakatnya 1/40 bagian. Dan ini adalah pendapat Malik dan

Syafi‟i.

Pendapat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa besarnya jumlah

zakat akan bertambah bila tingkat kesusahan semakin sedikit, sebaliknya

Page 40: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

jumlah zakat akan berkurang kalau usaha dan biaya meningkat.

Perbedaan antara seperlima (20%) dengan seperempat puluh (2,5%)

bukanlah perbedaan yang kecil. Oleh karena itu tidaklah salah bila

ditetapkan sepersepuluh (10%) atau seperdua puluh (5%). Sesuai dengan

perbandinagn antar barang yang dihasilkan dengan biaya yang

dihabiskan.

Page 41: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

ZAKAT PROFESI, PERUSAHAAN DAN SAHAM

A. Zakat Profesi

Zakat profesi / kasb al-„amal (pendapatan kerja, gaji/upah dari

profesi tertentu) adalah pendapatan yang dieroleh dari kerja fisik maupun

otak yang dimanfaatkan orang lain sebagai imbalan atau upah.

Pendapatan yang termasuk dalam kategori zakat profesi dibagi

menjadi dua, yaitu:

1. Pendapatan dari hasil kerja pada suatu instansi, baik pemerintah

maupun swasta.

2. Pendapatan dari hasil kerja profesional pada bidang pendidikan,

keterampilan dan kejuruan tertentu.

Anggapan bahwa pendapatan kerja berupa gaji pegawai,upah

karyawan dan honor profesionalitas, semuanya terkena wajib zakat,

hal ini tertera pada surat Al-Baqarah: 267.

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)

sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa

yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu

Page 42: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,

padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan

memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha

Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al Baqarah: 267)

Ukuran Zakat Profesi

a. Untuk gaji, upah dan sejenisnya standar ditentukan dengan jumlah

pendapatan bersih yang diterima, bukan dengan pendapatan kotor.

b. Untuk hasil kerja bebas, standar ditentukan dengan pendapatan bersih

setelah dikurangi pengeluaran-pengeluaran saat pelaksanaan usaha,

semisal biaya sewa tempat, upah pembantu, biaya listrik dan lain-lain.

Nisab Zakat Profesi

Nisab dan nilai zakat profesi adalah 5 wasaq atau 520 kg beras atau

653 kg gabah kering x harga beras per kg yang berlaku saat pengeluaran

zakat. Zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dari total pendappatan.

Presentase Volume Zakat Profesi

a. Untuk zakat pendapatan aktif, menerima gaji bulanan (gaji tiap

bulan x 12, jika sudah mencapai nisab, maka dikeluarkan 2,5%

untuk zakat pada akhir masa haul)

b. Untuk zakat pendapatan pasif dari hasil kerja profesi persentase

zakat yang dikeluarkan adalah 10% dari hasil totl pendapatan kotor

atau 5% dari pendapatan bersih setelah dipotong pengeluaran

untuk kebutuhan primer dan operasional.

B. Zakat Perusahaan

Kewajiban zakat perusahaan dipahami dari sejumlah nash umum

yang berkaitan dengan zakat , seperti : “ wahai sekalian orang-orang yang

Page 43: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah ) sebagian dari hasil usahamu yang

baik-baik”. Juga firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 267 dan surat

At-Taubah: 103.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.

Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.

dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (At Taubah: 103)

Pengertian Dan Ruang Lingkup Zakat Perusahaan

Al-Qaradhawi menyebutnya dengan istilah al-mustaqallat, yaitu

harta benda yang tidak diperdagangkan, akan tetapi diusahakan atau

dikembangkan oleh para pemiliknya dengan dipersewakan atau dijual

hasil produksinya, benda hartanya tetap akan tetapi manfaatnya yang

berkembang.

Para ulama kontemporer menganalogikan zakat perusahaan

kepada katagori zakat komoditas perdagangan, bila dilihat dari aspek

legal dan ekonomi (entitas) aktivitas sebuah perusahaan, padaumumnya

berporos kepada kegiatan perdagangan. Dengan demikian, setiap

perusahaan dibidang barang (hasil industri/pabrikasi) maupun jasa dapat

menjadi wajib zakat.

Nisab Dan Persentase

Page 44: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Nisab dan persentase zakat perusahaan dinalogikan dengan aset

wajib zakat katagori komoditas perdagangan, yaitu senilai nisabemas dan

perak yaitu 85 gram emas sedangkan presentase volumenya adalah 2,5%

dari aset wajib zakat yang dimiliki perusahaan selama masa haul.

Cara Menghitung Zakat Perusahaan

Pola perhitungan zakat perusahaan didasarkan pada laporan

keuangan (neraca) perusahaan, yaitu ktiva lancar dikurangi dengan

kewajiban lancar (metode aset netto). Metode ini biasanya disebut oleh

ulama dengan metode syariah. Namun, sehubungan dengan banyaknya

perbedaan dalam fotmat perhitungan serta elemen yang menjadi laporan

keuangan, maka tentu cara berhitung tarif zakat akan banyak perbedaan

antara ulama satu dengan ulama yang lainnya, atau satu akuntan dengan

akuntan lainnya.

Menurut Husein Sahata (1997) memaparkan adanya ikhtilaf atau

perbedaan dalam menganalogikan kewajiban zakat hasil industri

perusahaan , sebagai berikut:

a. Kelompok pertama menganalogikannya dengan zakat pertanian dan

perkebunan karena pabrik adalah meupakan aset tetap. Oleh karena

itu islam telah menetapkan zakat bagi aset tetap yang berkembang,

maka asset dari pabrik tersebut bedasarkan qyas diambil dari

pendapatan bersih (net income) proyek-proyek industri setelah

dikurangi dengan beban dan pengeluaran lainnya dari pendapatan

total. Maka presentase zakatnya 10% dari pendapatan bersih atau10%

dari laba bersih.

b. Kelompok kedua dianalogikan dengan zakat musytaghilat, dan wajib

dikeluarkan zakat nya dari net return ketika telah mencapai nisab dan

haul. Volumezakatnya adalah 2,5% dari laba bersih.

Page 45: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

c. Kelompok ketiga menganalogikannya dengan zakat komoditas

perdagangan dengan tidak memasukan asset tetap ketika menghitung

sumber zakat. Dalam hal ini, zakat diwajibkan pada modal bersih yang

diputar ditambah net return dan mal al mustafad jika telah mencapai

nisab dan haul. Besar zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5%

Selain itu, karena yang perlu diperhatikandalam perhitungan zakat

perusahaan adalah pentingnya melakukan koreksi atas nilai aktiva lancar

dengan kewajiban jangka pendek yang kemudian disesuaikan dengan

ketentuan syariah, seperti koreksi atas pendapatan bunga dan pendapatan

haram serta shubhat lainnya.

Tahapan Cara Menghitung Zakat Perusahaan

1. Menentukan aset wajib zakat

Sofyan Safri Harahap (2001), memaparkan adanya dua metode cara

berhitung zakat perusahaan menurut AAOIFI, yaitu :

a. Metode aktiva bersih

Menjumlahkan aset wajib zakat : kas, piutang bersih (total piutang

dikurangi utang ragu-ragu), aktiva yang diperdagangkan

(persediaan/surat berharga/real estate), pembiayaan (mudharabah,

musyarakah, dan lain-lain)

Mengurangi aset wajib zakat dengan : utang lancar,modal investasi tak

terbatas, pernyertaan minoritas,penyertaan pemerintah, penyertaan

lembaga sosial, endowment, dan lembaga non profit.

b. Metode net invested funds

Page 46: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Menjumlahkan aset wajib zakat : modal disetor (tambahan

modal),cadangan, cadangan yang tidak dikurangi aktiva , laba ditahan,

laba bersih, dan utang jangka panjang.

Mengurangi aset wajib zakat dengan : aktiva tetap, investasi yang tidak

diperdagangkan dan kerugian.

2. Menilai aset wajib zakat

a. Metode aktiva bersih

Metode aktiva bersih Dasar penilaian

a Aktiva :

Kas dan setara kas

Piutang bersih

Pembiayaan

- Musyarakah - Mudharabah

Aktiva yang diperdagangkan

- Persediaan - Surat berharga - Real estate

Nilai kas atau setara kas

b Utang :

Utang lancar

Wesel bayar

Utang lain-lain

Modal investasi tak terbatas

Penyertaan dari pemerintah, endawment, lembaga sosial, organisasi

Nilai buku

Page 47: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

non profit

Penyertaan minoritas

b. Metode net invested funds

Metode invested funds Dasar penilaian

Aktiva yang diperdagangkan :

- Gedung yang disewakan

- Lain-lain

Aktiva Bersih

Cadangan yang tidak dikurangkan darii

aktiva

Utang lancar dan wesel bayar

Modal pemilik :

- Tambahan modal

- Cadangan

- Laba ditahan

- Laba bersih

Nilai Buku

3. Menghitung aset wajib zakat

a. Model aktiva bersih

[ (kas dan setara kas + piutang bersih + pembiayaan + aktiva yang

diperdagangkan) – (utang lancar + modal investasi tak terbatas +

penyertaan minoritas + penyertaan dari pemerintah + endawment

+ lembaga sosial + organisasi non profit) ] x 2,5%

Page 48: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

b. Model net invested fund

[ (tambahan modal + cadangan + cadangan yang bukan dikurangkan

dari aktiva + laba ditahan + laba bersih + utang jangka pannjang) –

(aktiva tetap + investasi yang tidak diperdagangkan + kerugian) ] x

2,5%

Cara Menghitung Zakat Perusahaan

Contoh Perusahaan PT Maju Terus :

Kas Rp 6.050.000.000

Bank (Rp 19.200.000.000 – Rp 70.000.000 (bunga)) = Rp 19.130.000.000

Piutang usaha Rp 30.000.000.000

Persediaan Rp 90.000.000.000

Jumlah Rp 145.180.000.000

Kewajiban yang mengurangi harta kena zakat:

Utang usaha Rp 30.500.000.000

Bank (Rp 19.200.000.000- Rp 70.000.000 (bunga)) = Rp 19.130.000.000

Utang gaji Rp 2.100.000.000

Pendapatan diterima dimuka Rp 1.000.000.000

Jumlah Rp 33.600.000.000

Selisih Rp 111.580.000.000

Nisbah 85 gr emas, diasumsikan per gram Rp 400.000 = Rp 34.000.000

Page 49: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Zakat : 2,5% x Rp 111.580.000.000 = Rp 2.789.500.000

Berdasarkan simulasi tersebut, PT Maju Terus wajib menunaikan zakat

perusahaan karena melebihi nisab.

C. Zakat Saham

Terdapat dua pendapat ilmuwan sekarang tentang zakat saham:

1. Pendapat pertama

Memandang saham berdasarkan jenis perusahaan yang

mengeluarkannya, apakah perusahaan itu perusahaan industri,

perdagangan atau campuran dari keduanya.

Bila perusahaan tersebut merupakan perusahaan industri murni,

seperti hotel, iklan, angkutan darat dan laut, kereta api, penerbangan, dan

sebagainya, maka saham-sahamnya tidaklah wajib zakat. Hal ini karena

harga saham-saham tersebut terletak pada alat-alat, perlengkapan,

gedung dan lain-lainnya yang berfungsi seperti itu. Tetapi keuntungan

disatukan kedalam kekayaan pemilik-pemilik saham tersebut dan

zakatnya dikeluarkan sebagai zakat kekayaan (artinya bila ia dengan

kekayaan-keyaan lain bermasa setahun dan cukup senisab).

Bila perusahaan itu merupakan perusahaan dagang murni seperti

perusahaan yang menjual hasil-hasil industri, atau perusahaan industri

dan dagang seperti perusahaan yang membeli dan mengimpor bahan-

bahan mentah kemudian mengelolanya dan kemudian menjualnya, maka

saham-saham perusahaan tersebut wajib zakat.

Kriteria wajib zakat atas saham-saham perusahaan adalah bahwa

perusahaan-perusahaan itu harus melakukan kegiatan dagang baik juga

melakukan kegiatan industri atau tidak. Saham itu dihitung berdasarkan

harga sekarang dengan pemotongan (khashm) harga gedung, alat-alat,

Page 50: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

dan peralatan yang dimiliki perusahaan. Seluruh nilai gedung dan alat-

alat tersebut dinilai sekitar lebih kurang seperempat harga seluruh

kekayaan, kemudian dipotong dari jumlah seluruh saham, kemudian baru

zakat dikeluarkan dari sisanya.

2. Pendapat kedua

Tidak memandang saham sesuai dengan jenis perusahaannya, yang

berakibat saham satu perusahaan berbeda dari saham perusahaan jenis

lain, tetapi memandang saham itu satu jenis dan memberinya satu hukum

pula tanpa melihat perusahaan apa yang menerbitkannya.

Ulama-ulama besar seperti Abu Zahra, Abdur Rahman Hasan dan

Khalaf, berpendapat bahwa saham adalah kekayaan yang

diperjualbelikan, karena pemiliknya memperjualbelikan dengan menjual

dan membelinya dan dari pekerjaannya itu pemilik memperoleh

keuntungan persis seperti pedagang dengan barang dagangannya, karena

harga yang sebenarnya yang berlaku di pasar berbeda dari harag yang

tertulis dalam kegiatan jual beli tersebut. Berdasarkan pandangan itu,

maka saham termasuk kedalam kategori barang dagang dan termasuk

objek zakat seperti kekayaan-kekayaan dagang lain dan dinilai sama

dengan barang dagang.

Hal itu berarti bahwa zakat dipungut tiap dipenghujung tahun

sebesar 2,5% dari nilai saham-saham, sesuai dengan harga pasar pada saat

itu dan setelah ditambah dengan keuntungan, dengan syarat pokok dan

keuntungannya itu cukup senisab atau atau ditambah dengan dari

sumber lain. Hal itu setelah dikeluarkannya biaya kebutuhan sehari-hari,

kemudian baru dikeluarkan zakat dari sisanya.

Page 51: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

DISTRIBUSI ZAKAT

A. Golongan Penerima Zakat (Mustahik)

Zakat, infak dan sedekah ialah sesuatu yang diberikan orang

sebagai hak Allah SWT., kepada yang berhak menerima. Menurut

Sulaiman A. Asqar (1985: 57) dalam menunaikan ibadah zakat dan infak,

harta yang dikeluarkan untuk berzakat dan berinfak dari harta yang baik,

terpilih dan tertentu. Khusus untuk zakat, ketentuan penerima dana zakat

sudah ditentukan kepada kategori delapan asnaf sebagaimana dalam

firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk

orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu‟allaf

yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang,

untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai

sesuatu ketetapan yang diwajibkanAllah; dan Allah Maha Mengetahuai lagi

Maha Bijaksana”. (QS. At-Attaubah: 60)

Pengertian Masharif zakat

Masharif adalah bentuk plural dalam Bahasa Arab yang berarti

wadah, tempat keluar/ pengeluaran, bentuk tunggal yaitu mashraf.

Masharif zakat adalah seorang muslim dalam golongan tertentu yang

menjadi wadah pengeluaran zakat. Sama halnya dengan asnaf yang sering

kita sebut sebagai golongan penerima zakat. Maka, dibawah inilah

termasuk delapan golongan asnaf yanga menerima zakat, yakni:

1. Fakir

Individu yang sangat memebutuhkan, dalam satu waktu tidak

mampu memenuhi atau menutup kebutuhannya, seperti seseorang yang

butuh makan dan minum sehari tiga kali namun ia tidak mampu

Page 52: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

mendapatkannya, kecuali hanya sekali. Di bawah ini ada beberapa kriteria

seseorang yang tergolong fakir:

a. Tua Renta

b. Cacat fisik

c. Cacat mental

d. Tidak malas

e. Tidak boros

2. Miskin

Individu yang sangat membutuhkan namun hanya mampu

memenuhi sebagian kebutuhannya. Pada hakikatnya miskin mampu

bekerja secara maksimal, namun penghasilan tidak mencukupi lantaran

beban yang sangat banyak. Dengan demikian ia termasuk yang berhak

menerima zakat selama ia memenuhi kriteria:

a. Tidak malas

b. Menjaga kehormatan

c. Tidak boros

Menurut Abu Yusuf bin Ibnu Qasim mengenai fakir tidak lepas

dengan golongan miskin, Karena Hal ini yang umum bisa dikaitkan

dengan kemiskinan dan tingkat kesejahteraan khususnya di Indonesia.

Secara umum para ulama mahzab untuk fakir dan miskin tidak jauh beda

indikator ketidakmampuan secara materi untuk memenuhi kebutuhannya

atau indikator kemampuan mencari nafkah (usaha), di mana dari hasil

usaha tersebut belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan

demikian indikator utama yang ditekankan oleh para imam mahzab

adalah yakni golongan miskin: a) ketidakmampuan pemenuhan

kebutuhan materi b) ketidakmampuan mencari nafkah, dan c) dikaitkan

Page 53: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

penghasilan yng tidak mencukupi. Sedangkan golongan fakir dikaitkan

dengan kenihilan materi materi.

3. Amil

Panitia penerima zakatdari muzakki(pembayar zakat) dan

penyalur zakat kepada mustahik( penerima zakat). Semua orang muslim

yang telah baligh dan mampu serta terlibat dalam pengelolaan zakat, baik

penghimpunan, pemeliharaan, pendistribusian, terkait administrasi,

manajemen atau yang terjun langsung di lapangan sebagai kolektor atau

distributor zakat. Dengan adanya amil ini, Allah memberi bagian 12,5 %

atau 1/8 dari harta yang terkumpul, agar harta zakat tidak melakukan

penyelewengan dalam bekerja dan dapat dikerjakan secara maksimal

sesuai dengan ketentuan. Beberapa kriteria pengelola zakat yang harus

diperhatikan:

a. Memiliki fisik yang kuat dan sehat

b. Memiliki keahlian yang berhubungan dengan manajeman zakat

c. Siap bekerjakeras

d. Tidak menerima imbalan dalam bentuk hadiah atau lainnya dari

para muzakki (pembayar zakat)

Dalam kriteria di atas hal yang bekaitan dengan gender tidak ada

batasannya. Hal ini terbukti para fuqaha membenarkan wanita untuk

menjadi saksi dalam urusan finansial. Khalifahb Umar bin Khattab pernah

mengangkat seorang wanita bernama Syifa untuk menjadi pengawas /

nazhir finansial pasar. Selain itu, menjadi amil zakat harus memiliki sifat

amanah, transparan dan proesional. Amil zakat dalam menjalani tugasnya

harus memahami hal-hal sebagai berikut:

a. Memahami seluk beluk zakat

Page 54: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

b. Menjaga nama baik pekerjannya

c. Menjauhi syubhat

4. Muallaf

Mereka yang baru mengenal dan memeluk Islam diharapkan tetap

bertahan dengan akidah keislamannya. Ada beberapa kriteria yang

dijadikan standar, yaitu:

a. Seseorang yang sudah dekat dengan ajaran Islam dan masyarakat

muslim dan diharapkan dengan zakat ia menjadi pemeluknya,

keluarga dan teman-temannya.

b. Seseorang yang baru masuk Islam dan belum mengetahui ajaran-

ajaran atau hukum-hukum Islam dan perlu dikenalkan dengan

umat Islam.

c. Masyarakat Muslim di daerah minus agar tidak trerpengaruh

ajaran nonmuslim

5. Riqab

Seseorang yang dijanjikan oleh tuannya akan dimerdekakan atau

bisa dikenal dengan sebutan budak. Menurut jumhur ulama ialah

perjanjian seseorang muslim (budak belian) untuk bekerja dan mengabdi

pada majikannya, di mana pengabdian tersebut dapat dibebaskan bila si

budak belian dapat memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah uang,

namun si budak belian tersebut tidak memiliki kecukupan materi untuk

membayar tebusan atas dirinya tersebut. Oleh karena itu, sangat

dianjurkan untuk memberikan zakat kepada orang itu agar dapat

memerdekakan diri mereka sendiri. Namun di zaman sekarng tidak lagi

ditemui perbudakan yang legal, sehimgga dalam hal ini hanya sekedarnya

saja.

Page 55: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

6. Ghorimin

Orang yang terlilit utang. Al - gharimin berasal dari kata ghariim

yang artinya orang yang berutang, asal pengertian gharm menurut Bahasa

ialah tetap, dengan makna ini utang bersifat tetap .Kriteria Al-Gharimin

yang dapat disimpulkan ialah:

a. Beban utang atau denda yang ditanggung adalah kebutuhan

primer seseorang dan tanggungannya seperti anak dan istri.

b. Beban utang atau denda yang ditanggung menyangkut

kepentingan primer umat, baik fisik ataupun nonfisik

c. Terbukti tidak mampu melunasinya dengan biaya sendiri.

7. Sabilillah

Segala sesuatu hanya untuk kepentingan Islam. Mereka yang

melakukan seluruh potensi pribadinya, baik waktu, harta, tenaga, pikiran,

bahkan jiwa raga untuk mencari ridha Allah SWT. dengan manfaat

kolektif bagi umat Islam. Pada sejumlah ayat Al- Qur‟an arti dari kata

fiisabilillah sangat berdekatan dengan pemahaman jihad di jalan Allah.

Adapun kriteria yang dapat disimpulkan yaitu:

a. Melakukan usaha maksimal dalam bidangnya

b. Pekerjaan yang dilakukan atas dasar motivasi kepentingan Islam

bukan kepentingan pribadi

c. Tidak memiliki atau terputus dana untuk pekerjaan tersebut

d. Manfaat konkret akan kembali kepada masyarakat banyak , bukan

untuk pribadinya saja.

8. Ibnu sabil

Orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Menurut jumhur

ulama adalah kiasan untuk musafir (perantau), yaitu orang ynag

Page 56: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah lainnya. Dalalm Al-

Qur‟an diilustrasikan sebagai bentuk aktivitas yang sangat penting,

karena Islam senantiasa menganjurkan untuk melakukan perjalanan dan

berpergian dengan beragam motivasi yang ditunjukkan Al-Qur‟an yakni;

berpergian mencari rezeki (QS. 67:15, 70:20), perjalanan mencari ilmu,

memerhatiakn dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam

semesta (QS. 29:20, 3:137, 22:46), perjalanan untung berperang dan

berjuang di jalan Allah (QS. 9:41-42, 9:121), Perjalanan pergi haji ke

baitullah al-haram (QS. 3:97, 22:27-28). Kriterianya adalah ;

a. Tidak membawa bekal ataupun kehabisan bekal di tengah jalan

b. Motivasi perjalanan atau berpergian sangat mulia dan bukan

maksiat

B. Orang Yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Selain delapan orang yang menerima zakat, maka terdapat pula

orang yang tidak berhak menerima zakat. Yaitu, ahlul bait, orang kaya,

orang kafir, wajib zakat, orang fasik atau ahli bid‟ah, budak dan anak

yatim kaya.

1. Ahlul Bait

Ahlul bait atau keluarga Rasulullah SAW dilarang menerima zakat

sedikit pun. Sesuai dengan hadits dibawah;

ساراىاط أ ا إ ذ ذ ه بغ ذقتلح اىص إ

Artinya:

Page 57: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

“Sesungguhnya zakat tidak boleh diberikan kepada keluarga Muhammad

SAW, zakat adalah kotoran manusia.” (HR. Muslim 1072, An-Nasai

2609)

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

ساراىا أ ا ذقت،إ اىص ز إ سي للاعي صي ذ ذ ه ل ذ ذ ،ى الحذو إ ط،

Artinya:

“Zakat adalah kotoran harta manusia, tidak halal bagi Muhammad, tidak

pula untuk keluarga Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam.” (HR.

Abu Daud 2985)

2. Orang Kaya

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

خسب ن لىق ، فاىغ لدع

Artinya:

“Tidak ada hak zakat untuk orang kaya, maupun orang yang masih kuat

bekerja.” (HR. Nasa‟i 2598, Abu Daud 1633, dan dishahihkan Al-Albani).

Adapun orang kaya yang diperbolehkan menerima zakat apabila

termasuk dalam daftar 8 golongan penerima zakat yaitu Amil, muallaf,

orang yang berperang, orang yang terlilit utang karena mendamaikan dua

orang yang sengketa, dan Ibnu Sabil yang memiliki harta di kampungnya.

Ibnu Qudamah mengatakan,

اب اىغاسإلصالحراثاىب، اىغاص، اىؤىفقيب، اىعاو، عاىغخست؛ أخز

اىسبواىزىاىساسفبيذ

Artinya:

Page 58: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

“Orang yang berhak menerima zakat meskipun kaya, ada lima: Amil,

muallaf, orang yang berperang, orang yang kelilit utang karena

mendamaikan sengketa, dan Ibnu Sabil yang memiliki harta di

kampungnya.” (Al-Mughni, 6/486).

3. Orang Kafir

عيف حشد ائ أغ خز حؤ اى فأ صذقت اف خشضعي للا أ ي قفأع شائ

Artinya:

“Ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat

harta mereka. Diambilkan dari orang kaya mereka dan dikembalikan

kepada orang miskin mereka.” (HR. Bukhari 1395 & Muslim 19)

Yang dimaksud „mereka‟ pada hadis di atas adalah masyarakat

Yaman yang telah masuk islam.

Meninggalkan shalat termasuk orang kafir karena orang yang

asalnya muslim, kemudian dia melakukan pembatal islam. Seperti

meninggalkan shalat atau melakukan praktek perdukunan, ilmu kebal,

atau penyembah kuburan. Mereka tidak berhak mendapatkan zakat,

meskipun dia orang miskin.

Dikecualikan dari aturan ini adalah orang kafir muallaf. Orang

kafir yang tertarik masuk islam, dan diharapkan bisa masuk islam setelah

menerima zakat. (Al-Mausu‟ah Al-Fiqhiyah, 23/325).

4. Wajib Zakat

Maksud dari wajib zakat ialah setiap orang yang wajib dinafkahi

oleh muzakki. Seperti istri, anak dan orang tua. Karena zakat kepada anak

atau orang tua yang tidak mampu, atau kepada orang yang wajib dia

Page 59: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

nafkahi, akan menggugurkan kebutuhan nafkah mereka. Sehingga ada

sebagian manfaat zakat yang kembali kepada Muzakki.

5. Orang Fasik Atau Ahli Bid’ah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu, Rasulullah shallallahu

„alaihi wa sallam menceritakan kasus zakat yang pernah dialami orang

muzakki yang soleh, Ada seseorang mengatakan, “malam ini aku akan

membayar zakat.” Dia keluar rumah dengan membawa harta zakatnya.

Kemudian dia berikan kepada wanita pelacur (karena tidak tahu). Pagi

harinya, masyarakat membicarakan peristiwa tadi malam dimana

terdapat zakat yang diberikan kepada wanita pelacur. Orang inipun

bergumam: “Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Zakatku jatuh ke tangan

pelacur.”

Maka si muzakki tersebut membayar zakat kembali. Ternyata

malam itu dia memberikan zakatnya kepada orang kaya. Pagi harinya,

masyarakat membicarakan peristiwa tadi malam dimana terdapat, zakat

yang diberikan kepada orang kaya. Orang inipun bergumam, “Ya Allah,

segala puji bagi-Mu. Zakatku jatuh ke tangan orang kaya.”

Dan si muzakki tersebut membayar zakat kembali. Pada malam itu

pula, dia serahkan zakatnya kepada pencuri. Pagi harinya, masyarakat

membicarakan kembali bahwa, tadi malam terdapat zakat yang diberikan

kepada pencuri. Orang inipun bergumam, “Ya Allah, segala puji bagi-Mu.

Zakatku jatuh ke tangan pelacur, orang kaya, dan pencuri…” (HR.

Bukhari 1421 dan Muslim 1022).

Maksud dari ucapan muzakki, “Ya Allah, segala puji bagi-Mu”

adalah si muzakki tersebut telah salah sasaran, karena zakatnya jatuh ke

tangan orang yang tidak berhak. Maka segala puji bagi Allah, dimana

Page 60: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

kejadian itu semata karena kehendak Allah artinya bukan kehendak si

muzakki tersebut. Karena semua kehendak Allah itu baik. (Fathul Bari,

Syarh Shahih Bukhari, 3/290). Hadis ini menunjukkan bahwa orang fasik,

seperti pencuri atau pelacur.

Imam Maliki menegaskan, zakat tidak boleh diberikan kepada ahli

maksiat, jika muzakki memiliki dugaan kuat, zakat itu akan mereka

gunakan untuk melakukan maksiat. Jika dia berikan kepada ahli maksiat

untuk mendukung kemaksiatannya, zakatnya tidak sah. Namun jika

diberikan untuk selain tujuan itu, boleh dan sah. (Al-Mausu‟ah Al-

Fiqhiyah, 23/328).

Syaikhul Islam menjelaskan, “Selayaknya bagi seseorang untuk

menempatkan zakatnya pada orang yang berhak menerima zakat, baik

orang fakir, miskin, orang yang kelilit utang, atau lainnya, yang agamanya

baik, mengikuti syariah. Karena orang yang terang-terangan melakukan

bid‟ah atau perbuatan maksiat, dia berhak mendapatkan hukuman

dengan diboikot atau hukuman lainnya. Sehingga, bagaimana mungkin

dia dibantu (dengan zakat).” (Majmu‟ Fatawa, 25/87).

Sementara sebagian Hanafiyah membolehkan memberi zakat

kepada ahli bid‟ah, selama dia termasuk 8 golongan yang berhak

menerima zakat. Dengan syarat, bid‟ahnya tidak sampai menyebabkan

dia keluar dari islam. (Hasyiyah Ibn Abidin, 2/388).

Namun yang selayaknya kita dahulukan adalah penerima zakat

yang baik, yang menjaga agamanya, bukan ahli bid‟ah atau maksiat.

Sehingga harta yang kita berikan, akan membantunya untuk melakukan

ketaatan. Sebagaimana yang disarankan oleh Rasulullah shallallahu „alaihi

wa sallam,

Page 61: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

حق لإل غعا مو لأ ا، ؤ إل لحصادب

Artinya:

“Jangan miliki teman dekat, kecuali seorang mukmin, dan jangan sampai

makan makananmu, kecuali orang yang bertaqwa.” (HR. Ahmad 11337,

Abu Daud 4832, Turmudzi 2395, dan sanadnya dinilai Hasan oleh

Syuaib Al-Arnauth).

6. Budak

Dalam hukum fikih, budak seutuhnya milik tuannya. Sehingga

yang dilakukan budak, harus atas izin tuannya. Termasuk harta yang

dimiliki budak, harta ini menjadi milik tuannya. Misal, seorang budak

diberi suatu benda oleh orang lain, benda ini menjadi milik tuannya.

Sehingga, ketika dia mendapat zakat, sejatinya zakat ini diberikan kepada

tuannya. Sementara zakat tidak boleh diberikan kepada orang yang

mampu.

Yang dikecualikan dalam hal ini adalah budak mukatab. Budak

mukatab adalah budak yang melakukan perjanjian dengan tuannya untuk

menebus dirinya jika dia sanggup membayar sejumlah uang. Misal, budak

A dijanjikan tuannya, jika sanggup membayar 5 juta, dia bebas. Budak

semacam ini berhak mendapatkan zakat.

7. Anak Yatim Kaya

Di surat At-Taubah ayat 60, Allah telah menyebutkan 8 golongan

yang berhak menerima zakat. Dari delapan orang itu, tidak disebutkan

anak yatim. Artinya, yatim bukan kriteria orang yang berhak menerima

zakat. Kecuali jika yatim ini adalah orang miskin, karena tidak memiliki

warisan. Akantetapi anak yatim berhak menerima santunan dari selain

zakat seperti infak atau sedekah.

Page 62: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Hal ini sesuai dengan Majmu‟ Fatawa Ibnu Utsaimin yang

menerangkan, “Wajib kita ketahui bahwa zakat sebenarnya bukanlah

untuk anak yatim. Zakat itu disalurkan untuk fakir miskin dan ashnaf

(golongan) penerima zakat lainnya. Anak yatim bisa saja kayak karena

ayahnya meninggalkan harta yang banyak untuknya. Bisa jadi ia punya

pemasukan rutin dari dhoman al ijtima‟I atau dari pemasukan lainnya yang

mencukupi. Oleh karenanya, kami katakana bahwa wajib bagi wali yatim

untuk tidak menerima zakat ketika yatim tadi sudah hidup

berkecukupan. Adapun sedekah, maka itu sah-sah saja (disunnahkan)

diberikan pada yatim walau ia kaya.”

C. Manajemen Distribusi Zakat

Prinsip zakat dalam tatanan sosial ekonomi adalah memberikan

kepada pihak yang membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup

selama beberapa waktu dan bahkan selama hidupnya. Dalam konteks ini

zakat dimanfaatkan untuk mengembangkan perekonomian melalui

keterampilan yang menghasilkan. Oleh karena itu prinsip zakat

memberikan solusi untuk mengentaskan kemiskinan, pemborosan dan

penumpukan harta, serta permasalahan sosial ekonomi lainnya. Dengan

demikian dalam hal pendistribusiannya harus memperhatikan beberapa

aspek, sehingga prinsip zakat dapat terpenuhi.

Ketentuan Distribusi

Landasan yuridis yang menjadi pedoman pengelolaan zakat di

Indonesia adalah UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang

merupakan pembaharuan UU No.38 Tahun 1999. Pada bagian kedua

disebutkan bahwa distribusi zakat dilakukan dengan skala prioritas

Page 63: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.

Kemudian pada bab III pasal 27 ayat 1 tentang pendayagunaan dijelaskan

bahwa zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka

penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat, yang kemudian

bahwa hal tersebut dapat dilakukan apabila kebutuhan dasar para

mustahik telah terpenuhi.

Dalam hal pembagian atau distribusi zakat, para ulama berbeda

bendapat. Ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendaat

bahwa distribusi zakat sudah sah apabila diserahkan kepada salah satu

atau beberapa golongan ashnaf (mustahiq),namun disunahkan untuk

mendistribusikan kepada delapan golongan ashnaf yang berhak

menerima. Sedangkan ulama madzhab Syafi‟i berpendapat bahwa zakat

dimiliki oleh semua kelompok dengan hak yang sama, sehingga harus

dibagi secara merata diantara delapan golongan ashnaf (mustahiq).

Sistem Distribusi Zakat

1. Prosedur alokasi zakat yang mencerminkan pengendalian yang

memadai sebagai indikator prakter yang adil

2. Sistem seleksi mustahiq dan penetapan kadar zakatyang dialokasikan

kepada kelompok mustahiq

3. Sistem informasi muzakki dan mustahiq

4. Sistem pelaporan dan dokumentasi yang memadai

Prioritas Distribusi Dana Zakat

ؤ ان ن للا آيا انر را انب اتبع ى نهر نى اناس بئبسا أ إ ي

Page 64: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

“Sesungguhnya manusia yang lebih diutamakan terhadap Ibrahim adalah

mereka yang menjadi pengikutnya dan juga nabi yang datang ini

(Muhammad) serta orang yang beriman kepadanya. Dan Allah swt

menjadi wali bagi orang-orang yang beriman itu.” (Ali imran:68)

Mereka itu adalah:

a. Orang sholeh/adil

Yaitu mereka yang termasuk golongan penerima zakat yang

dikenal kebaikannya lebih banyak dari pada keburukannya baik laki-laki

atau perempuan. Nabi saw bersabda, “harta yang baik akan menjadi

manfaat ditangan orang yang sholeh.”

b. Orang yang punya ikatan keluarga dengan muzakki selain orang tua

atau anak kandung.

Yaitu saudara/i ayah atau ibu, anak paman atau bibi, anak

saudara/i. Nabi saw bersabda, “zakat/sedekah yang engkau berikan

kepada familimu akan berbuah dua pahala yaitu pahala sedekah itu

sendiri dan pahala shilah (merekat kekeluargaan).”

ي انق ذ ال عهى حب آتى ان سبى

“Kebaikan itu adalah………..memberikan harta yang dicintainya kepada

keluarga dekat/family………” (al-baqorah:177)

أو حفصة ع ع ع ثا اب ثا خاند قال حد عبد العهى قال حد د ب ائح ع أخبسا يح انس ا سه

عهى ذي صدقة سك دقة عهى ان انص سهى قال إ عه صهى للا انب عايسع ب حى اثتا انس

صهة صدقة

“Substansinya : nabi saw bersabda : sesungguhnya sedekah kepada si

miskin (non keluarga) berpahala sedekah saja namun sedekah kepada si

miskin dari keluarga berpahala sedekah dan shilah.”

Page 65: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

c. Suami

Seorang suami yang memiliki kriteria penerima zakat hendaknya

dirpioritaskan untuk mendapat dana zakat dari istrinya. Namun sebagian

ulama mengikat hal ini dengan beberapa ikatan, imam malik menyatakan

bahwa suami yang menerima zakat dari istrinya tidak boleh

menggunakannya untuk menafkahi istri tersebut.

d. Para pecinta ilmu (ulama dan murid)

Mereka yang mencintai ilmu adalah orang yang selalu haus akan

ilmu pengetahuan, atau orang yang tunduk terhadap ilmu pengetahuan,

atau orang yang selalu bertindak dan bersikap berdasarkan ilmu

pengatahuan. Jika orang yang mencintai ilmu itu memiliki kriteria

penerima zakat maka mereka haruslah diprioritaskan untuk mendapat

dana zakat.

س أن النباب ا ترك إ ل عه انر عه ي انر م ست قم

Keterangan ;

Allah swt mengajarkan manusia untuk selalu memprioritaskan golongan berilmu

pengetahuan dalam segala hal/urusan. (az-zumar : 9)

Optimalisasi Distribusi Zakat

1. Distribusi konsumtif: tradisional dan kreatif

Konsumtif tradisional yaitu zakat yang diberikan kepada mustahiq

dengan secara langsung untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, seperti

pembagian zakat fitra berupa beras dan uang kepada fakir miskin setiap

idul fitri atau pembagian zakat mal secara langsung oleh para muzakki

kepada mustahiq yang sangat membutuhkan karena ketiadaan pangan

Page 66: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

atau karena mengalami musibah. Pola ini merupakan program jangka

pendek dalam mengatasi permasalahan umat. Konsumtif kreatif

(Fakhruddin, 2008 :314).

Pendistrubusian zakat secara konsumtif kreatif adalah zakat yang

diwujudkan dalam bentuk barang konsumtif dan digunakan untuk

membantu orang miskin dalam mengatasi permaslahan sosial dan

ekonomi yang dihadapinya. Bantuan tersebut antara lain berupa alat-alat

sekolah dan beasiswa untuk pelajar dan lain sebagainya.

2. Distribusi produktif: tradisional dan kreatif

Zakat produktif adalah zakat yang diberikan kepada mustahik

sebagai modal untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi, yaitu untuk

menumbuhkembangkan tingkat ekonomi dan potensi produktifitas

mustahik. (Qadir, 1998 : 46 dalam Devi Hidayah Fajar S. Syaban, 2008,

“Pendayagunaan Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam”).

Produktif tradisional merupakan zakat yang diberikan dalam

bentuk barang-barang produktif, dimana dengan menggunakan barang-

barang tersebut para mustahiq dapat menciptakan suatu usaha.

Sedangkan produktif kreatif adalah zakat yang diwujudkan dalam

bentuk pemberian modal bergulir, baik untuk permodalan proyek social

maupun investasi dana zakat.

Menurut Dr. Umer Chapra, zakat mempunyai dampak positif

dalam meningkatkan ketersediaan dana bagi investasi sebab pembayaran

zakat pada kekayaan dan harta yang tersimpan akan mendorong para

pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari kekayaan mereka,

sehingga mampu membayar zakat tanpa mengurangi kekayaannya.

Adapun langkah-langkah pendistribusian zakat produktif tersebut

sebagai berikut:

Page 67: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

1. Pendataan yang akurat

2. Pengelompokan peserta ke dalam kelompok kecil

3. Pemberian pelatihan dasar

4. Pemberian dana, dana diberikan setelah materi tercapai, dan peserta

dirasa telah dapat menerima materi dengan baik.

Page 68: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT (LPZ)

Urgensi Lembaga Pengelola Zakat

Jika kita lihat dari sejarahnya, zakat merupakan suatu ibadah yang

telah ada dan dicontohkan pada masa nabi. Di dalam rukun islam yang ke

empat ini banyak sekali kemaslahatan jika setiap orang sadar akan

pentingnya berzakat. Tujuan dari adanya zakat tidak lain adalah untuk

meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan

kemiskinan., sehingga di dalam zakat banyak sekali kemaslahatan yang

sifatnya sosial. Zakat pun dapat menjadi komponen dalam pembangunan

suatu bangsa. Dan apabila kita lihat potensi zakat yang ada di Indonesia

sangatlah besar, dikarenakan mayoritas masyarakat Indonesia adalah

muslim dan potensi zakat khusus baznas pusat pada tahun 2014 saja

mencapai 40%, dan baznas menargetkan penerimaan zakat di tahun 2015

bisa mencapai 4,22 T. Namun, apakah dengan jumlah masyarakat muslim

yang banyak juga diimbagi dengan pengelolaan zakat yang professional

dan tepat sasaran. Maka dari itu perlulah suatu lembaga yang dapat

mengelola dana zakat yang ada di Indonesia. Sejak tahun 1999, zakat

secara resmi masuk kedalam ranah hukum positif di Indonesia dengan

keluarnya Undang-Undang RI No. 38 tahun1999 tentang Pengelolaan

Zakat. Kemudian direvisi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 23

tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat resmi diundangkan dan masuk

dalam Lembaran Negera Republik Indonesia bernomor 115 setelah

ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal

25 November 2011.

Mengingat peran organisasi pengelola zakat sangat penting, pada

zaman Rasulullah Saw. dikenal sebuah lembaga yang disebut Baitul Mal.

Page 69: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Lembaga ini memiliki tugas mengelola keuangan negara mulai dari

mengidentifikasi, menghimpun, memungut, mengembangkan,

memelihara, hingga menyalurkannya. Sumber pemasukannya berasal dari

dana zakat, infaq, kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak yang dikenakan bagi

non-muslim), ghanimah (harta rampasan perang) dan lain-lain.

Sedangkan penggunaannya untuk asnaf mustah}iq (yang berhak

menerima) yang telah ditentukan, untuk kepentingan dakwah,

pendidikan, pertahanan, kesejahteraan sosial dan lain sebagainya. Untuk

kasus di Indonesia, yang secara demoggrafi penduduknya mayoritas

umat Islam. Potensi zakat sangat besar harus diimbangi

dengan pengelolaan zakat yang professional pula. Sehingga, zakat

tersalurkan kepada mustahik tidak bersifat konsumtif atau sesaat.

Pengelolaan zakat yang profesional, diharapkan pendistribusiannya

lebih produktif. Pemberian pinjaman modal, misalnya dalam rangka

peningkatan perekonomian masyarakat.

Di Indonesia, saat ini ada organisasi atau lembaga pengelola zakat.

Keberadaan organisasi tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 23

tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Pengelolaan zakat dilakukan oleh

badan yang dibentuk pemerintah atau lembaga yang didirikan oleh

masyarakat. Adapun lembaga pengelolaan zakat tersebut adalah Badan

Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit

Pengumpul Zakat (UPZ). Semua pegiat zakat berharap, dengan adanya

undang-undang ini ada perbaikan dari semua sektor. Bukan hanya

perbaikan segi kelembagaan, tapi dari segi kesadaran masyarakat dalam

menyalurkan zakat melalui lembaga juga meningkat. Dengan demikian

penghimpunan zakat oleh pengelola zakat juga bertambah sehingga

bermanfaat bagi masyarakat miskin. Dengan melihat Islam muncul

sebagai sistem nilai yang mewarnai perilaku ekonomi masyarakat,

Page 70: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

eksistensi zakat memiliki potensi strategis yang layak dikembangkan

menjadi salah satu instrumen pemerataan pendapatan di Indonesia.

Namun selama ini potensi zakat di Indonesia belum dikembangkan secara

optimal dan belum dikelola secara profesional. Hal ini disebabkan belum

efektifnya lembaga zakat yang menyangkut aspek pengumpulan

administrasi, pendistribusian, monitoring serta evaluasinya. Dengan kata

lain, sistem organsisasi dan manajemen pengelolaan zakat hingga kini

dinilai masih bertaraf klasikal, bersifat konsumtif dan terkesan inefisiensi,

sehingga kurang berdampak sosial yang berarti. Karenanya, peran

pemerintah dalam mengatasi masalah zakat tersebut sangat penting

keberadaanya, baik melalui Lembaga Amil Zakat di pusat maupun di

daerah agar diharapkan pengelolaan zakat dapat optimal.

Persyaratan LPZ

Di dalam undang – undang, yang dimaksud pengelolaan zakat

adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam

pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Dan

pengelolaan zakat di Indonesia di kelola oleh BAZNAS (Badan Amil

Zakat Nasional) yang dibentuk oleh pemerintah dan ada pula LAZ yang

di prakarsai oleh masyarakat. Persyaratan Lembaga Pengelolaan Zakat.

Yusuf al Qaradhawi dalam bukunya Fiqh Zakat, menyatakan bahwa

seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus

memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Beragama Islam

Zakat adalah salah satu urusan utama kaum mislim yang termasuk

rukun Islam (rukun Islam ketiga), karena itu sudah saatnya apabila

urusan penting kaum muslimin ini diurus oleh sesama muslim.

Page 71: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

2. Mukallaf

yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap

menerima tanggung jawab mengurus urusan umat.

3. Memiliki sifat amanah atau jujur

Sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan

umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya

melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini memang patut dan

layak dipercaya. Serta keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk

transparasi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggung

jawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan dengan

ketentuan syariat Islamiyyah.

4. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat

Mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat

kepada masyarakat. Dengan pengetahuan tentang zakat yang relative

memadai, para amil zakat diharapkan terbebas dari kesalahan dan

kekeliruan yang diakibatkan dari kebodohannya pada masalah zakat

tersebut.

5. Amanah dan Jujur

Memiliki kemampuan untuk melakukan tugas dengan sebaik-

baiknya. Amana dan jujur merupakan syarat yang sangat penting, akan

tetapi juga harus ditunjang oleh kemampuan dalam melakukan tugas.

Perpaduan antara amanah dan kemampuan inilah yang akan

menghasilkan kinerja yang optimal.

6. Sungguh-sungguh

Page 72: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Hemat penulis, adalah kesungguhan amil zakat dalam

melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang

full-time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak tidak

pula sambilan (tidak cekatan / hanya menunggu bola).

Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai anggota BAZNAS

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 paling sedikit harus:

a. warga negara Indonesia

b. beragama Islam

c. bertakwa kepada Allah SWT

d. berakhlak mulia

e. berusia minimal 40 (empat puluh) tahun

f. sehat jasmani dan rohani

g. tidak menjadi anggota partai politik

h. memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat

i. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan

yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

Prinsip-Prinsip Lembaga Pengelolaan Zakat

Dalam pengelolaan baik zakat, infaq dan shadaqoh terdapat

beberapa prinsip yang harus diikuti dan ditaati agar pengelola dapat

berhasil guna sesuai dengan yang diharapkan, prinsip-prinsip tersebut

adalah prinsip keterbukaan, suka rela, keterpaduan, profisionalisme, dan

kemandirian.

Page 73: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Prinsip keterbukaan artinya dalam pengelolaan hendaknya

dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum. Hal ini

perlu dilakukan agar dapat dipercaya oleh umat.

Prinsip kedua yaitu sukarela berarti bahwa dalam pemungutan dan

pengumpulan hendaknya senantiasa berdasarkan prinsip suka rela dari

umat Islam yang menyerahkan dan tidak boleh ada unsur pemaksaan

atau cara-cara yang dapat dianggap sebagai suatu pemaksaan. Dan harus

lebih diarahkan kepada motivasi yang bertujuan memberikan kesadaran

kepada umat islam agar membayar kewajibannya.

Prinsip ketiga yaitu keterpaduan artinya sebagai organisasi yang

berasal dari swadaya masyarakat dalam menjalankan tugas dan fungsinya

meski dilaksanakan secara terpadu diantara komponen-komponennya.

Prinsip keempat yaitu profesionalisme bahwa dalam pengelolaan

harus dilakukan oleh mereka yang ahli dibidangnya, baik dalam

administrasi, keuangan dan lain sebagainya dan juga dituntut memiliki

kesungguhan dan rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya dan

akan lebih sempurna apabila dibarengi dengan sifat amanah.

Prinsip terakhir adalah kemandirian, sebenarnya merupakan

kelanjutan dari prinsip profesionalisme, yang diharapkan mampu menjadi

lembaga swadaya masyarakat yang mandiri dan mampu melaksanakan

tugas dan fungsinya tanpa perlu menunggu bantuan dari pihak lain.

Persyaratan LAZ

Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang

ditunjuk oleh Menteri. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya

diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:

Page 74: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola

bidang pendidikan, dakwah, dan social

b. berbentuk lembaga berbadan hukum

c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS

d. memiliki pengawas syariat

e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk

melaksanakan kegiatannya

f. bersifat nirlaba

g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi

kesejahteraan umat

h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.

Tugas dan Fungsi Lembaga pengelolaan Zakat

Sebagaimana termuat dalam pasal 8 UU Nomor 38 Tahun 1999

tugas pokok lembaga pengelola Zakat adalah mengumpulkan,

mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan

agama. Sedangkan fungsinya sebagaimana termuat dalam Keputusan

Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 29 Tahun 1991

/ 47 Tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan

Shadaqoh. Pasal 6 bahwa fungsi utamanya telah sebagai wadah pengelola,

penerima, pengumpulan, penyaluran dan pendayaguna zakat, infaq dan

shadaqoh dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai

wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional serta sebagai

pembinaan dan pengembangan swadaya masyarakat.

Page 75: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Petunjuk teknis pengelolaan zakat yang dikeluarkan oleh institus

Managemen Zakat (2001) dikemukakan susunan organisasi lembaga

pengelolaan zakat seperti Badan Amil Zakat sebagai berikut:

1. Badan Amil Zakat terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi

Pengawas dan Badan Pelaksana.

2. Dewan Pertimbangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

meliputi unsur ketua, sekreteris dan anggota.

3. Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi unsur

ketua, sekretaris dan anggota.

4. Badan pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

unsur ketua, sekretris, bagian keuangan, bagian pengumpulan,

bagian pendistribusian dan pendayagunaan.

5. Anggota pengurus Badan Amil Zakat terdiri atas unsur masyarakat

dan unsur pemerintah. Unsur pemerintah terdiri atas unsur ulama,

kaum cendekia, tokoh masyarakat, tenaga profesional dan lembaga

pendidikan yang terkait.

Fungsi dan tugas pokok pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) antara

lain:

1. Dewan Pertimbangan

a. Fungsi

Memberikan pertimbangan, fatwa, saran, dan rekomendasi

kepada badan pelaksana dan komisi pengawas dalam

pengelolaan Badan amil Zakat, meliputi aspek syari‟ah dan

aspek manajerial.

Page 76: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

b. Tugas Pokok

1) Memberikan garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat

2) Mengesahkan rencana kerja dari Badan Pelaksana dan

Komisi Pengawas.

3) Mengeluarkan fatwa syari‟ah baik diminta atupun tidak

berkaitan hukum zakat yang wajib diikuti oleh pengurus

Badan Amil Zakat.

4) Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada

Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas baik diminta

maupun tidak diminta.

5) Memberikan persetujuan atas laporan tahunan hasil kerja

Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas.

6) Menunjuk akuntan publik.

2. Komisi Pengawas

a. Fungsi

Sebagai pengawas internal lembaga atas operasional kegiatan

yang dilaksanakan Badan Pelaksana.

b. Tugas Pokok

1) Pengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan.

2) Mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah

ditetapkan Dewan Pertimbangan.

Page 77: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

3) Mengawasi oprasional kegiatan yang dilaksanakan Badan

Pelaksana, yang mencakup pengumpulan, pendistribusian

dan pendaya gunaan.

4) Melakukan pemeriksaan oprasional dan pemeriksaan

syari‟ah.

c. Badan Pelaksana

1) Fungsi

Sebagai pelaksana pengelolaan zakat.

2) Tugas Pokok

1) Membuat rencana kerja.

2) Melaksanakan oprasional pengelolaan zakat sesuai

rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan

kebijakan yang telah ditetapkan.

3) Menyusun laporan tahunan.

4) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada

pemerintah.

5) Bertindak dan bertanggungjawab untuk dan atas nama

Badan Amil Zakat ke dalam maupun ke luar.

Salah satu tugas penting lain dari lembaga pengelolaan zakat

adalah melakukan sosialisasi tentang zakat kepada masyarakat secar

terus-menerus dan berkesinambungan, melalui berbagai forum dan

media, seperti khutbah jum‟at, media ta‟lim, seminar, diskusi dan

lokakarya, melalui surat kabar, majalah, radio, internet maupun televisi.

Dengan sosialisasi yang baik dan optimal diharapkan masyarakat

Page 78: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

muzakki akan semakin sadar untuk membayar zakat melalui lembaga

zakat yang kuat, aman dan tepercaya.

Tugas dan fungsi lembaga pengelolaan zakat berdasarkan Undang-

undang nomor 23 tahun 2011 yaitu:

1. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas

pengelolaan zakat secara nasional

2. Dan ada beberapa fungsi dari BAZNAS yaitu:

a. Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan

zakat

b. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan

zakat

c. Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan

zakat dan

d. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan

zakat

Page 79: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

MAWARIS (FARAIDH)

Pengertian Waris (Faraidh)

Al-miirats dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari

kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah

„berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain',atau dari suatu

kaum kepada kaum lain.

Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal

yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta

benda. Ayat-ayat Al-Qur'an Fiqih Mawaris banyak menegaskan hal ini,

demikian pula sabda Rasulullah saw. Di antaranya Allah berfirman:"Dan

Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16),"...Dan Kami adalah yang

mewarisinya." (al-Qashash: 58). Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi

saw:'Ulama adalah ahli waris para nabi'.

Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenalpara

ulama ialah : berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal

kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu

berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal

secara syar'i.

Ilmu Faraidh

1. Pegertian ilmu faraidh

Setiap manusia pasti mengalami peristiwa kelahiran dan akan

mengalami kematian. Peristiwa kelahiran seseorang, tentunya akan

menimbulkan akibat-akibat hukum, seperti timbulnya hubungan hukum

dengan masyarakat sekitarnya, dan timbulnya hal dan kewajiban pada

dirinya. Dalam hal kematian seseorang pada prinsipnya segala kewajiban

Page 80: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

perorangannya tidak beralih pada pihak lain. Adapun yang menyangkut

harta kekayaan dari yang meninggal tersebut beralih kepada pihak yang

masih hidup yaitu kepada orang-prang yang telah ditetapkan sebagai

pihak penerimanya.

Proses peralihan harta kekayaan dari yang meninggal kepada yang

masih hidup inilah yang diatur oleh hukum waris atau ilmu faraidh

(suparman usman, 19900:48) atau juga disebut fiqh mawaris.

Lafaz al-faraidh sebagai jamak dari sebagai jamak dari lafaz

faridhah oleh ulama, faradhiyun diartikan sebagai makna dengan lafaz

mafrudah yakni bagian yang telah dipastikan atau yang ditentukan

kadarnya.

Lafaz al-mawaris merupan jamak dari lafaz mirat maksutnya

adalah harta peninggalan yang ditinggalkan oleh simati dan diwarisi oleh

yang lainnya (ahli waris) (hasanain muhammad makhluf,1958:9).

Para ahli faraidh banyak yang memberiakan definisi tentang ilmu

mawaris diantaranya ada Muhammad al Syarbimy mendefinisikan ilmu

faraidh sebagai berikut: ilmu fiqih yang berkaitan dengan pewarisan

pengeliuran tentang cara perhitungan yang dapat menyelesaikan

pewarisan tersebut dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib.

Faraid adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang bermakna sesuatu

yang diwajibkan, atau pembagian yang telah ditentukan sesuai dengan

kadarnya masing-masing. Ilmu faraidh adalah ilmu yang mempelajari

tentang perhitungan dan tata cara pembagian harta warisan untuk setiap

ahli waris berdasarkan syariat Islam.

Page 81: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Menurut Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, definisi ilmu al-

faraidh yang paling tepat adalah apa yang disebutkan Ad-Dardir dalam

Asy-Syarhul Kabir (juz 4, hal. 406), bahwa ilmu al-faraidh adalah: “Ilmu

yang dengannya dapat diketahui siapa yang berhak mewarisi dengan

(rincian) jatah warisnya masing-masing dan diketahui pula siapa yang

tidak berhak mewarisi.” (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits

Al-Faradhiyyah, hal. 11)

2. Keutamaan Belajar Ilmu Faraidh

Ilmu faraidh merupakan salah satu disiplin ilmu di dalam Islam

yang sangat utama untuk dipelajari. Dengan menguasai ilmu faraidh,

maka Insya Allah kitadapat mencegah perselisihan-perselisihan dalam

pembagian harta warisan, sehingga orang yang mempelajarinya Insya

Allah akan mempunyai kedudukan yang tinggi dan mendapatkan pahala

yang besar disisi Allah swt.

Silahkan dibaca dan perhatikan ayat-ayat mengenai waris di dalam

Al-Qur‟an, terutama ayat 11, 12 dan 176 padasurat an-Nisaa‟. Allah swt

sedemikian detail dalam menjelaskan bagian warisan untuk setiap

ahliwaris, yaitu dari seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga,

sepertiga, seperenam, dan seterusnya berikut dengan kondisi-kondisinya

yang mungkin terjadi.

Di bawah ini adalah beberapa hadits Nabi saw. Yang menjelaskan

beberapa keutamaan dan anjuran untuk mempelajari dan mengajarkan

ilmu faraidh:

a. Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata bahwa Nabi saw. bersabda,

"Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu

Page 82: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. yang

dilaksanakan, dan ilmu faraidh." (HR Ibnu Majah)

b. Ibnu Mas'ud r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Pelajarilah ilmu

faraidh serta ajarkanlah kepada orang-orang, karena aku adalah orang yang

akan direnggut (wafat), sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akan

tampak, sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan,

mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup meleraikan

(menyelesaikan perselisihan pembagian hak waris) mereka." (HR Imam

Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim)

c. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Pelajarilah ilmu

faraidh serta ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu

faraidh setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan

diangkat dari umatku." (HR IbnuMajahdan ad-Darquthni)

d. Dalam riwayat lain disebutkan, "Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia

termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah yang

pertama kali akan dicabut dari umatku." (HR Ibnu Majah, al-Hakim, dan

Baihaqi)

Karena pentingnya ilmu faraidh, para ulama sangat

memperhatikan ilmu ini, sehingga mereka seringkali menghabiskan

sebagian waktu mereka untuk menelaah, mengajarkan, menuliskan

kaidah-kaidah ilmu faraidh, serta mengarang beberapa buku tentang

faraidh. Mereka melakukan hal ini karena anjuran Rasulullah saw. diatas.

Umar bin Khattab telah berkata, "Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia

sesungguhnya termasuk bagian dari agama kalian." Kemudian Amirul

Mu'minin berkata lagi, "Jika kalian berbicara, bicaralah dengan ilmu faraidh,

dan jika kalian bermain-main, bermain-mainlah dengan satu lemparan.

"Kemudian Amirul Mu'minin berkata kembali, "Pelajarilah ilmu faraidh,

ilmunahwu, dan ilmu hadits sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur‟an."

Page 83: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Ibnu Abbas ra. berkomentar tentang ayat Al-Qur‟an yang berbunyi,

“...Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah

diperintahkan Allah, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan

yang besar.” (Al-Anfaal - 73), menurut beliau makna ayat diatas adalah jika

kita tidak melaksanakan pembagian harta waris sesuai yang

diperintahkan Allah swt. kepada kita, niscaya akan terjadi kekacauan di

muka bumi dan kerusakan yang besar.

Abu Musa al-Asy‟ari ra. berkata, "Perumpamaan orang yang membaca

Al-Qur‟an dan tidak cakap (pandai) di dalam ilmu faraidh, adalah seperti mantel

yang tidak bertudung kepala."

Demikianlah, ilmu faraidh merupakan pengetahuan dan kajian

para sahabat dan orang-orang shaleh dahulu, sehingga menjadi jelas

bahwasanya ilmu faraidh termasuk ilmu yang mulia dan perkara-perkara

yang penting di mana sandaran utama ilmu ini ialah dari Al-Qur‟an dan

sunnah Rasul-Nya

3. Pokok Bahasan Ilmu Al-Faraidh

Pokok bahasan ilmu al-faraidh adalah pembagian harta waris yang

ditinggalkan si mayit kepada ahli warisnya, sesuai bimbingan Allah l dan

Rasul-Nya n. Demikian pula mendudukkan siapa yang berhak

mendapatkan harta waris dan siapa yang tidak berhak mendapatkannya

dari keluarga si mayit, serta memproses penghitungannya agar dapat

diketahui jatah/bagian dari masing-masing ahli waris tersebut. (Lihat Al-

Khulashah Fi „Ilmil Faraidh karya Nashir bin Muhammad Al-Ghamidi,

hal. 21)

4. Tujuan Ilmu Al-Faraidh

Page 84: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Tujuan ilmu al-faraidh adalah menyampaikan segenap hak waris

kepada yang berhak mendapatkannya. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah

Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 9, Tashilul Faraidh, hal. 11 dan Al-

Khulashah Fi Ilmil Faraidh hal. 22 dan 26). Untuk mengetahui bahagian

atau habuan yang bakal diperolehi oleh setiap ahli waris dari harta

peninggalan si mati atau harta pusaka.

Waris, Hibah dan Wasiat

Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam

beberapa halnya, yaitu waris, hibah dan wasiat. Ketiganya memiliki

kemiripan sehingga kita seringkali kesulitan saat membedakannya. Tetapi

akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel seperti berikut ini.

WARIS HIBAH WASIAT

Waktu Setelah wafat Sebelum wafat Setelah wafat

Penerima Ahli waris Ahli waris & bukan ahli

waris

Bukan ahli

waris

Nilai Sesuai

Faraidh

Bebas Maksimal 1/3

Hukum Wajib Sunnah Sunnah

1. Waktu

Dari segi waktu, harta waris tidak dibagi-bagi kepadapara ahli

warisnya, juga tidak ditentukan berapa besar masing-masing bagian,

kecuali setelah pemiliknya (muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata

lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta itu meninggal

dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki harta itu.

Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya dilakukan

saat pemiliknya masih hidup. Bedanya, kalau hibah harta itu langsung

Page 85: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

diserahkan saat itu juga, tidak menunggu sampai pemiliknya meninggal

dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh pemilik harta pada saat masih

hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat dia

meninggal dunia.

2. Penerima

Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat

di dalam daftar ahli waris dan tidak terkena hijab hirman. Tentunya juga

yang statusnya tidak gugur. Sedangkan washiyat justru diharamkan bila

diberikan kepada ahli waris. Penerima washiyat harus seorang yang

bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris Fiqih Mawaris

sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya

menerima lewat jalur washiat.

Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli

waris dan bukan ahli waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja.

3. Nilai

Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan

besarannya, yaitu sebagaimana ditetapkan didalam ilmu faraidh.Ada

ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya,seperti 1/2, 1/3, 1/4,

1/6, 1/8 hingga 2/3.Ada juga para ahli waris dengan status menerima

ashabah, yaitu menerima warisan berupa sisa harta dari yang telah

diambil oleh para ashabul furudh.

Dan ada juga yang menerima lewat jalur furudh dan ashabah

sekaligus.Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan

maksimal hanya 1/3 dari nilai total harta peninggalan. Walau pun itu

merupakan pesan atau wasiat dari almarhum sebagai pemilik harta,

namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk membela kepentingan ahli

Page 86: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan hal yang

diharamkan. Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3,maka

kelebihannya itu harus dibatalkan.

Sumber Hukum Dan Hukum Mempelajari Ilmu Al-Faraidh

1. Sumber Hukum

Sumber sumber hukum yang dijadikan dasar dalam pembagian

warisan :

a. Al-quran

Al-quran menjelaskan ketentuan-ketentuan pembagian warisan secara

jelas.

b. Al-sunnah

Hadis yang menjadi pembagian warisan lain: bagikan harta warisan di

antara ahli waris menurut kitabullah.( H.R Bukhari dan muslim).

c. Ijma‟ dan ijtihad

Adapun Al-Qur‟an, maka sebagaimana termaktub dalam Surah

An-Nisa‟ ayat 11, 12, dan 176. Allah swt. berfirman:

“Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian harta waris untuk)

anak-anak kalian. Yaitu: bagian (jatah) seorang anak lelaki sama dengan

bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya

perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga (2/3) dari harta

yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia

memperoleh setengah harta (1/2), dan untuk kedua orangtua (ibu bapak),

bagi masing-masingnya seperenam (1/6) dari harta yang ditinggalkan,

jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal

tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka

ibunya mendapat sepertiga (1/3); jika yang meninggal itu mempunyai

Page 87: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam (1/6). (Pembagian-

pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau

(dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orangtua dan anak-anak

kalian, maka kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih

dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagi

kalian (para suami) setengah (1/2) dari harta yang ditinggalkan oleh istri-

istri kalian, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri kalian itu

mempunyai anak, maka kalian mendapat seperempat (1/4) dari harta yang

ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)

sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat (1/4) harta

yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian

mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan (1/8) dari

harta yang kalian tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kalian buat

atau (dan) sesudah dibayar utang-utang kalian. Jika seseorang mati, baik

lelaki maupun perempuan yang tidak meninggalkan bapak dan tidak

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara lelaki (seibu saja)

atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing

dari kedua jenis saudara itu seperenam (1/6) harta. Tetapi jika saudara-

saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang

sepertiga (1/3) itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau

sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli

waris). (Allah l menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang

benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha

Penyantun.” (An-Nisa‟: 11-12)

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: „Allah

memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seseorang

meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara perempuan,

maka bagi saudaranya yang perempuan itu setengah dari harta yang

Page 88: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

ditinggalkannya, dan saudaranya yang lelaki mewarisi (seluruh harta

saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara

perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta

yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu

terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang

saudara lelaki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah

menerangkan (hukum ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat, dan

Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa‟: 176)

Sedangkan Sunnah Rasulullah n, maka sebagaimana sabda beliau:

رمش أى ذقا ىسجو ل ابق ياف اى فشائطبأ

“Berikanlah bagian/jatah waris yang Allah tentukan (1/2, 1/3, ¼, 1/6, 1/8,

2/3) kepada para pemiliknya, sedangkan apa yang tersisa adalah untuk

ahli waris lelaki yang paling kuat (berhak).” (HR. Al-Bukhari, no. 6733,

dari sahabat Abdullah bin Abbas)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‟di t berkata: “Ayat-

ayat tersebut (An-Nisa‟: 11-12, pen.) dan ayat terakhir dari surat An-Nisa‟

merupakan ayat-ayat yang mengandung sistem waris Islam.

Sesungguhnya ayat-ayat tersebut dan hadits Abdullah bin Abbas c yang

terdapat dalam Shahih Al-Bukhari:

رمش ىسجو ل ابق ياف أى ذقااى فشائطبأ

“Berikanlah bagian/jatah waris yang Allah tentukan (1/2, 1/3, ¼, 1/6, 1/8,

2/3) kepada para pemiliknya, sedangkan apa yang tersisa untuk ahli waris

lelaki yang paling kuat (berhak).”

Mencakup mayoritas bahkan semua hukum waris sebagaimana

yang akan anda lihat nanti, kecuali jatah waris nenek. Akan tetapi telah

Page 89: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

ditetapkan dalam beberapa kitab Sunan dari sahabat Al-Mughirah bin

Syu‟bah dan Muhammad bin Maslamah c bahwa Nabi n telah memberi

nenek jatah waris 1/6 (seperenam), seiring dengan adanya ijma‟ ulama

dalam masalah tersebut.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 132)

Hal serupa dinyatakan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-

Utsaimin t dalam Tashilul Faraidh (hal. 6) dan Asy-Syaikh Shalih bin

Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil

Mabahits Al-Faradhiyyah (hal. 8). Hanya saja dalam pernyataan Asy-

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‟di t terdapat penyebutan ijma‟

yang juga merupakan dasar pijakan dalam masalah waris.

2. Hukum Mempelajari Ilmu Al-Faraid

Hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah. Jika sebagian dari

umat ini ada yang mempelajarinya, maka gugurlah dosa (kewajiban) bagi

yang lainnya. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-

Faradhiyyah, hal. 9, Tashilul Faraidh, hal. 11 dan Al-Khulashah Fi Ilmil

Faraidh hal. 22 dan 26).

Dari buku Fiqih Mawaris Hukum kewarisan Islam oleh Prof. Dr. H.

Suparman Usman, S.H., dkk mengatakan bahwa, mengenai tirkah ini

Fatchurrahman (1981: 36-37) mengemukakan bahwa apa-apa yang

ditinggalkan tersebut harus diartikan secara luas, tercakup didalamnya :

a. Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya

benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati

yang menjadi tanggungan orang lain, diyah-wajibah (denda wajib) yang

dibayarkan kepadanya oleh si pembunuh yang melakukan

pembunuhan karena hilap, uang pengganti qisas lantaran tindakan

Page 90: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

pembunuhan yang diampuni atau lantaran yang melakukan

pembunuhan adalah ayahnya sendiri dan lain sebagainya.

b. Hak-hak kebendaan, seperti hak monopoli untuk mendayagunakan

dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum,

irigasi pertanian dan perkebunan, dan lain sebagainya.

c. Hak-hak yang bukan kebendaan seperti hak khiyar, hak suf‟ah, yakni

hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota serikat atau

tetangga atas tanah, pekarangan atau lain sebagainya yang dijual oleh

anggota serikat yang lain atau tetangganya, hak memanfaatkan barang

yang diwasiatkan dan lain sebagainya.

d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti

benda-benda yang sedang digadaikan oleh si mati, barang-barang

yang telah di beli oleh si mati suatu hidup yang harganya sudah di

bayar tetapi barangnya belum diterima, barang-barang yang dijadikan

mas kawin istrinya yang belum diserahkan sampai ia mati dan lain

sebagainya.

Pengertian tirkah diatas merupakan pendapat para Imam madzhab,

selain Imam Hanafi. Hal ini sebagaimana dikemukakan Sayid Sabiq

(1998:425)

اى ذا افعت اىش اىنت ذاى ع اء س ق دق اه ا ج اخ شماى ع وج بيتحش

اىت . ش غ أ اىت ق أماجاى ذق

Page 91: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

“Dan ia (tirkah), menurut malikiyah, syafi‟iyah, dan hanabilah, mencakup

segala apa yang ditinggalkan oleh si mati dari seluruh harta dan hak, baik

hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan.”

Rukun Dan Syarat Pewarisan

1. Rukun Pewarisan

a. Ahli waris (warits), yaitu orang yang memiliki hubungan dengan si

mayyit dengan salah satu sebab-sebab pewarisan.

b. Pewaris (muwarrits) ,yaitu orang yang mati secaea hakiki atau secara

hukum. Orang yang mati secara hukum misalnya orang hilang yang

ditetapkan kematiannya.

c. Warisan (mauruts) yang dinamakan juga dengan tarikah atau mirats

yaitu harta atau hak yang berpindah dari si pewaris kepada ahli waris

(sayid sabiq,1972:426). Sedangkan harta yang bukan milik pewaris,

tentu saja tidak boleh diwariskan. Misalnya, harta bersama milik

suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua

terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana

yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris.

Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena bukan

termasuk harta warisan.

2. Syarat Pewarisan

Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk

sebuah pewarisan. Bilamana salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak

terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Dalam pewarisan disyaratkan 3

hal berikut ini:

Page 92: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

a. Kematian pewaris secara hakiki, secara hukum atau secara asumtif.

Kematian secara hukum misalnya, qadhi menetapkan kematian orang

yang hilang sehingga ketetapan ini menjadikannya seperti orang yang

mati secara hakiki. Dan kematian asumtif misalnya, seseorang

menyerang seorang perempuan hamil dengan pukulan hingga

janinnya gugur dalam keadaan mati, lalu diasumsikan bahwa janin

ini pernah hidup meskipun itu tidak dapat dibuktikan.

b. Kehidupan ahli waris setelah kematian pewaris, meskipun secara

hukum, seperti kandungan. Kandungan dianggap hidup secara

hukum karena bisa jadi ruh belum ditiupkan ke dalamnya. Jika

kehidupan ahli waris setelah kematian pewaris tidak diketahui,

misalnya pada orang-orang yang tenggelam, orang-orang yang

terbakar, atau orang-orang yang tertimpa bangunan, maka tidak ada

pewarisan diantara mereka seandainya sebagian dari mereka mewarisi

sebagian yang lain. Harta masing-masing dari mereka dibagikan

kepada ahli waris mereka yang masih hidup.

c. Tidak ada salah satu dari hal-hal yang menghalangi pewarisan, seperti

yang akan disebutkan dibawah ini.

Sebab-Sebab Dan Yang Menghalangi Warisan

1. Sebab-sebab pewarisan

Pewarisan merupakan pengalihan hak dan kewajiban dari orang

yang meninggal kepada ahli warisnya dalam memiliki dan memanfaatkan

harta peninggalan. Pewarisan tersebut baru menjadi manakalah ada sebab

sebab yang mengikat pewaris dengan ahli warisnya. Adapun sebab-sebab

tersebut adalah:

a. Nasab haqiqi, berdasarkan firman Allah swt.,

Page 93: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

“... Orang orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya

lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut

Kitab Allah...” (al-Anfal (8): 75)

Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak,

saudara, paman, dan seterusnya. Seorang anak yang tidak pernah tinggal

dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya

bila sang ayah meninggal dunia. Demikian juga dengan kasus dimana

seorang kakek yang telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga

semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang wanita

dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan

sama besar dengan anak-anak si kakeklainnya.

b. Nasab secara hukum, berdasarkan sabda Rasulullah saw.,

“Wala‟ adalah kekerabatan seperti kekeraabatan nasab.”

Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi

dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan

pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang

yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan

(ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak

berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai

manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak

mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki

ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena

adanya tali pernikahan.

Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku

lagi sistem perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir

ini nyaris tidak lagi terjadi.

c. Pernikahan yang sah, berdasarkan firman Allah swt.,

Page 94: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

“Dan bagianmu (suami-istri) adalah seperdua dari harta yang

ditinggalkan oleh istri-istrimu...” (an-Nisa (4): 12)

Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-

laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim

(bersanggama) antar keduanya. Tapi berbeda dengan urusan mahram,

yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan

mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan,

tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu

tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa

bila mertuanya meninggal dunia.

Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak

memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggal

serumah. Adapun pernikahan yang batilatau rusak, tidak bisa menjadi

sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali

dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara

suami dan istri.

2. Penghalang warisan

Orang yang dihalang dari warisan adalah orang yang padanya

terpenuhi sebab-sebab pewarisan, tetapi dia memiliki salah satu sifat yang

mencabut haknya untuk mendapatkan warisan. Hal-hal yang dapar

menggugurkan atau menghilangkan hak seseorang tersebut adalah:

a. Perbudakan, baik sempurna maupun tidak sempurna.

b. Pembunuhan secara sengaja yang diharamkan. Jika ahli waris

membunuh pewarisnya secara dzalim maka disepakati bahwa dia

tidak mewarisinya. Abu Hurairah Radhiyallahu „anhu berkata,

Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

Page 95: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

“Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris” [Hadits Riwayat Tirmidzi

3/288, Ibnu Majah 2/883, Hadits Shahih Lihat Al-Irwa‟, hal. 1672]

Adapun selain pembunuhan secara sengaja, para ulama

memperselisihkannya. Asy-Syafi‟i berpendapat bahwa setiap

pembunuhan menghalangi dari warisan, meskipun dilakukan oleh

anak kecil atau orang gila, dan meskipun dilakukan dengan alasan

yang hak, seperti hadd dan kisas. Sementara itu, para ulama mazhab

Maliki berpendapat bahwa pembunuhan yang menghalangi dari

warisan adalah pembunuhan secara sengaja yang dzalim, baik

langsung maupun tidak langsung. Undang-undang menganut

pendapat ini pada pasal 5 darinya. Redaksinya adalah “Di antara hal-

hal yang menghalangi pewarisan adalah pembunuhan secara sengaja,

baik pembunuuh adalah pelaku asli, sekutu, maupun saksi dusta yang

kesaksiannya menyebabkan penetapan hukuman mati dan

pelaksanaannya, juka pembunuhan ini tanpa alasan yang hak dan

tanpa uzur, sedangkan pembunuh telah berakal dan telah mencapai

usia 15 tahun. Di antara yang dianggap sebagai uzur adalah

digunakannya hak pembelaan diri yang sah.”

c. Perbedaan agama. Orang muslim tidak mewarisi orang kafir. Dan

orang kafir tidak mewarisi orang muslim. Usamah bin Zaid

mariwayatkan bahwa Nabii saw bersabda:

,

“Orang muslim tidak mewarisi orang kafir. Dan orang kafir tidak

mewarisi orang islam.”

Page 96: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Sementara itu dikisahkan dari Mu‟adz, Muawiyah, Ibnu Musayyab,

Masruq, dan an-Nakha‟i bahwa orang muslim mewarisi orang kafir

dan tidak sebaliknya, sebagaimana laki-laki muslim boleh menikahi

perempuan kafir dan laki-laki kafir tidak boleh menikahi perempuan

muslim.

Adapun orang-orang non muslim, sebagian dari mereka mewarisi

sebagian yang lain karena mereka semuanya dianggap sebagai

pemeluk satu agama.

d. Perbedaan negeri atau tanah air. Yang dimaksud dengan perbedaan

negeri adalah perbedan kewarganegaraan. Perbedaan negeri tidak

menjadi penghalang bagi kaum muslimin untuk saling mewarisi.

Orang muslim mewarisi orang muslim lainnya, meskipun negeri-

negerinya saling berjauhan. Adapun perbedaan negeri diantara orang-

orang non muslim, masih diperselisihkan apakah jadi penghalang bagi

mereka untuk salig mewarisi atau tidak. Jumhur ulama berpendapat

bahwa ia tidak menghalangi orang-orang non muslim untuk saling

mewarisi, sebagaimana tidak menghalangi orang muslim untuk saling

mewarisi.

Penulis al-Mughni berkata, “Qiyas mazhab, menurut saya adalah

bahwa para pemeluk satu agama saling mewarisi, meskipun negeri

mereka berbeda-beda. Keumuman nash-nash mengharuskan

pewarisan diantara mereka, sehingga keumuman nash-nash ini harus

diamalkan.”

Undang-undang telah menganut pendapat ini. Yaitu, jika undang-

undang negara asing melarang pemberian warisan kepada selain

negaranya. Undang-undang melarang pemberian warisan kepada warga

Page 97: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

asing semacam ini. Dengan demikian, undang-undang telah

memperlakukan dengan perlakuan yang serupa dalam warisan. Pada

pasal 6 dari Undang-Undang disebutkan, “Perbedaan negeri tidak

menghalangi pewarisan diantara orang-orang non muslim, kecuali jika

undang-undang negara asing melarang pemberian warisan kepada warga

negara lain.”

Istilah-istilah dalam ilmu waris

Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas, dimana

istilah itu seringkali tidak sama dengan istilah yang umum. Berikut ini

kami uraikan beberapa istilah yang akan seringkali muncul dalam mata

kuliah ini.

a. Tarikah

Tarikah, kadang dibaca tirkah, adalah segala sesuatu yang

ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada

prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal

dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan

dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok

hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang

berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya

pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).

b. Fardh

Fardh adalah bagian harta yang didapat oleh seorang ahli waris

yang telah ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma'

ulama. Fardh itu adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3.1/4, 1/6, 1/8

dan 2/3.Harta yang dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai

bilangan fardh. Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya

Page 98: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta suaminya, apabila

suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4 bagian bila suaminya

tidak punya keturunan.

c. Ashhabul Furudh.

Ashabul furudh sesuai dengan namanya,berarti adalah orang-

orangnya, yaitu orang-orang yang mendapat waris secara fardh. Mereka

adalah ahli waris yang punya bagian yang pasti dari warisan yang

diterimanya. Contoh ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah

danlainnya.

Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, tapi

tergantung keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal mati

suaminya sudah dipastikan besarharta yang akan diterimanya, yaitu 1/4

atau 1/8. Seandainya suaminya punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari

harta suami.Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat1/4 dari

harta suami. Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya,sudah

dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu1/2 atau 1/4,

tergantung keberadaan anak dari istri. Seandainya istri punya anak, maka

suami mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri tidak punya anak,

suamimendapat 1/2 dari harta istri. Tapi intinya, ashabul furudh adalah

para ahli waris yang sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta

muwarristnya.

d. Ashabah

Istilah ashabaha berposisi sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta

yang diterima oleh ahli waris, yang besarnya belum diketahui secara

pasti. Karena harta itu hanyalah sisa dari apa yang telah diambil

sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi ashhabul-furudh. Besarnya bisa

Page 99: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

nol persen hingga seratus persen. Tergantung seberapa banyak harta yang

diambil oleh ahli waris ashhabul furudh.Kalau jumlah mereka banyak,

maka bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka sedikit,

biasanya ashahabnya menjadi besar.

Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris ashabah

dari ayahnya yang meninggal dunia. Ibunya adalah ahli waris dari

ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta suaminya. Sedangkan anak

tersebut mendapat waris sebagai ashabah, atau sisa dari apa yang sudah

diambil ibunya, yaitu1 – 1/8 = 7/8.

e. Sahm

Sahm adalah istilah untuk menyebut bagian harta yang diberikan

kepada setiap ahli waris yang berasal dari asal masalah. Atau disebut juga

jumlah kepala mereka.

f. Nasab

Nasab adalah hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke

atasnya seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya. Hubugnan

ke atas ini disebut abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah

(keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak dari anaknya

(cucu) dan seterusnya. Hubungan ini disebut bunuwwah.

g. Al-Far'u

Istilah bila kita temukan di dalam ilmu waris, maksudnya adalah

anak laki-laki atau anak perempuan dari almarhum yang akan dibagi

hartanya. Termasuk juga anak dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun

perempuan.Biladisebut Al-far'ul-warists maksudnya adalah anak laki-laki

dan anak perempuan, atau ahli waris anak-anak tersebut kebawahnya.

Page 100: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

h. Al-Ashl

Yang dimaksud dengan istilah al-ashl adalah ayah kandung dan

ibu kandung, juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari ayah

kandung (kakek).Dan kakek atau nenek yang merupakan ayah dan

ibunya ayah ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.

Page 101: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

PEMBAGIAN WARISAN

Pembagian Waris Menurut Al-Qur'an

Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam,

yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga

(2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Kini mari kita kenali

pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul

furudh dengan bagian yang berhak ia terima.

Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta

waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan

empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami,

anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara

kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti

berikut:

1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan,

dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak

laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari

suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya adalah firman Allah:

"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang

ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak

mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)

2. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta

peninggalan pewaris, dengan dua syarat:

a. Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan

tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).

Page 102: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

b. Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah

firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang,

maka ia mendapat separo harta warisan yang ada". Bila kedua

persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris

tidak mendapat bagian setengah.

3. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian

separo, dengan tiga syarat:

a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki

dari keturunan anak laki-laki).

b. Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan

anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).

c. Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak

laki-laki.

Dalilnya sama saja dengan dalil bagian anak perempuan (sama

dengan nomor 2). Sebab cucu perempuan dari keturunan anak laki-

laki sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila anak

kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi

auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan anak,

dan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.

4. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta

warisan, dengan tiga syarat:

a. Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.

b. Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).

c. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula

mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun

keturunan perempuan. Dalilnya adalah firman Allah berikut:

Page 103: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:

'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang

meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai

saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu

seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176)

5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta

warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:

a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.

b. Apabila ia hanya seorang diri.

c. Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.

d. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak,

baik anak laki-laki maupun perempuan.

Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah

menjadi kesepakatan ulama.

Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat

Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4)

dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri.

Rinciannya sebagai berikut:

1. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta

peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri

mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya,

baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari

suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:

"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat

Page 104: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

seperempat dari harta yang ditinggalkannya." (an-Nisa': 12)

2. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta

peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak

mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya

ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman

Allah berikut:

"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika

kamu tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)

Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para

penuntut ilmu-- tentang bagian istri. Yang dimaksud dengan "istri

mendapat seperempat" adalah bagi seluruh istri yang dinikahi seorang

suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang

suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap

mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini

berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata

lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'.

Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang

istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan.

Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan

Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian

seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan

mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila

suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari

rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah

SWT, "... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh

seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang

Page 105: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)

Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga

Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan

sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki

ataupun perempuan) yang seibu.

Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:

1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak

laki-laki.

2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki

maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun

seibu. Dalilnya adalah firman Allah:

"... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia

diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..."

(an-Nisa': 11)

Juga firman-Nya:

"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka

ibunya mendapat seperenam..." (an-Nisa': 11)

Catatan:

Lafazh ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris)

tidak berarti harus bermakna 'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang

masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini

bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam bahasa bentuk jamak terkadang

Page 106: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

digunakan dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalam istilah shalat

jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagai

imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan

kebenaran hal ini adalah firman Allah berikut:

"Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu

berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) " (at-Tahrim: 4)

Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua

orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai

berikut:

1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun

perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakak.

2. Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.

Adapun dalilnya adalah firman Allah:

"... Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak

meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai

seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan

(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu

seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,

maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)

Catatan :

Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam

ayat tersebut adalah 'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan

hukum yang berkaitan dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan

sekandung dalam akhir surat an-Nisa'. Juga menjelaskan hukum yang

berkaitan dengan bagian saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam

Page 107: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat bahwa yang dimaksud

dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dan

saudara perempuan seibu.

Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni

tentang firman "fahum syurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam

yang sepertiga). Kata bersekutu menunjukkan kebersamaan. Yakni,

mereka harus membagi sama di antara saudara laki-laki dan perempuan

seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus memperoleh bagian yang

lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian saudara laki-laki

dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah

sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun

perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan bagian para saudara laki-

laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini bagian saudara

laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.

Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam

Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian

seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli

(bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki,

(5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan

perempuan seibu.

1. Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris

mempunyai anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan. Dalilnya

firman Allah yang artinya, "... Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi

masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang

meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11)

Page 108: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

2. Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam

(1/6) bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau

cucu laki-laki dari keturunan anak --dengan syarat ayah pewaris tidak

ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek akan

menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan

yang akan saya rinci dalam bab tersendiri.

3. Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang

ditinggalkan pewaris, dengan dua syarat:

a. Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu

laki-laki keturunan anak laki-laki.

b. Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik

saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah,

ataupun seibu. Dalilnya firman Allah (artinya):

"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka

ibunya mendapat seperenam ..." (an-Nisa': 11).

4. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih

akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila yang meninggal

(pewaris) mempunyai satu anak perempuan. Dalam keadaan

demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah

(1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris

mendapat seperenam (1/6), sebagai pelengkap dua per tiga (2/3).

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam

sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya tentang masalah

warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan,

cucu perempuan dari keturunan anak laki-lakinya, dan saudara

perempuan. Abu Musa kemudian menjawab: "Bagi anak

perempuan mendapat bagian separo (1/2), dan yang setengah

sisanya menjadi bagian saudara perempuan." Merasa kurang puas

Page 109: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu

Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan

seperti apa yang pernah diputuskan Rasulullah saw., bagi anak

perempuan separo (1/2) harta peninggalan pewaris, dan bagi cucu

perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian

seperenam (1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi

bagian saudara perempuan pewaris."Mendengar jawaban Ibnu

Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari dan

memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata:

"Janganlah sekali-kali kalian menanyaiku selama sang alim ada di

tengah-tengah kalian."

Catatan :

Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan

bagian seperenam (1/6) dengan syarat bila pewaris tidak mempunyai

anak laki-laki. Sebab bila ada anak laki-laki, maka anak tersebut

menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu, pewaris juga tidak

mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika lebih

dari satu orang, anak-anak perempuan itu berhak mendapat bagian

dua per tiga (2/3), dan sekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak

waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris.

5. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat

bagian seperenam (1/6), apabila pewaris mempunyai seorang

saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama denga

keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan

dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal

dunia dan meninggalkan saudara perempuan sekandung dan

saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara perempuan

Page 110: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna

dari dua per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung

memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali

seperenam (1/6) yang memang merupakan hak saudara

perempuan seayah.

6. Saudara laki-laki atau perempuan seibu akan mendapat bagian

masing-masing seperenam (1/6) bila mewarisi sendirian. Dalilnya

adalah firman Allah (artinya) "jika seseorang mati baik laki-laki

maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki

(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka

bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta".

Dan persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai pokok

(yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-laki

atau perempuan).

7. Nenek asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris

tidak lagi mempunyai ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu

hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah maupun ibu), yang jelas

seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal ini

berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih

dan ijma' seluruh sahabat.

Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seorang nenek datang

kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak warisnya.

Abu Bakar menjawab: "Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-

Qur'an maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku

menanyakannya kepada para sahabat Rasulullah saw." Kemudian

al-Mughirah bin Syu'bah mengatakan kepada Abu Bakar: "Suatu

ketika aku pernah menjumpai Rasulullah saw. memberikan hak

Page 111: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan al-

Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan

memberinya seperenam (1/6). Wallahu a'lam.

Definisi 'Ashabah

Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari

pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat

bapak-- menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa Arab banyak

digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat.

Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan, di

antaranya dalam firman Allah berikut:

"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami

golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-

orang yang merugi.'" (Yusuf: 14)

Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini

disebabkan mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian

'ashabah dari segi bahasa.Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah

para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di

dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Sebagai contoh, anak laki-

laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki

dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah).

Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.

Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid

ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris

tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah

ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.

Page 112: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Dalil Hak Waris Para 'Ashabah

Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan

waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an

yang dimaksud ialah (artinya): "dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-

masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu

mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia

diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa':

11).

Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan

bapak) masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris

mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka

seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua. Ayat

tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai

anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut

tidak menjelaskan berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa

sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah.

Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah. Dalil

Al-Qur'an yang lainnya ialah (artinya), "jika seorang meninggal dunia, dan ia

tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi

saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan

saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia

tidak mempunyai anak." (an-Nisa': 176).

Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun,

yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan

bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak

mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha"

memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah

Page 113: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

makna 'ashabah. Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang

disabdakan Rasulullah saw., "Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada

yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. "

(HR Bukhari)

Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar

memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa,

hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari

'ashabah.Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang

digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul",

sedangkan kata "rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini

dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai

menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab,

bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan

menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah

rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata

"dzakar".

Macam-macam 'Ashabah

'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan

'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini

disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik

budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya

apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.Sedangkan 'ashabah

nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak

tercampur unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena

yang lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama

dengan yang lain).

Page 114: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Catatan :

Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa

diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil ghair atau ma'al ghair), maka

yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.

'Ashabah bin nafs

'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris

tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:

1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai

cucu, cicit, dan seterusnya.

2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya

dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan

seterusnya.

3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara

laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki,

anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah

ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah,

termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun

saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan

mereka termasuk ashhabul furudh.

4. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung

maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.

Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai

urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah

ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.

Page 115: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Hukum 'Ashabah bin nafs

Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat

arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah

satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang

meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada.

Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul

furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan

kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul

furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak

mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan

suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah. Sang

suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat

bagian setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan

ashhabul furudh telah menghabiskannya.Adapun bila para 'ashabah bin

nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya (pengunggulannya)

sebagai berikut:

Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa

'ashabah bin nafsih, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah

anak lebih didahulukan dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil

seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa harta waris

setelah dibagikan kepada ashhabul furudh bagian masing-masing.

Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki

dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak

ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah,

dan saudara kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah

adalah anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah

Page 116: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

yang lain. Sedangkan ayah termasuk ashhabul furudh dikarenakan

mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki. Sementara itu, saudara

kandung laki-laki tidak mendapatkan waris dikarenakan arahnya lebih

jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara kandung laki-laki maupun

saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya, insya

Allah akan saya paparkan pada bab tersendiri.

Kedua: Pentarjihan secara Derajat

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa

orang 'ashabah bi nafsihi, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka

pentarjihannya dengan melihat derajat mereka, siapakah di antara mereka

yang paling dekat derajatnya kepada pewaris. Sebagai misal, seseorang

wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Dalam

hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak, sedangkan

cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada

pewaris dibandingkan cucu laki-laki.Contoh lain, bila seseorang wafat

dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara

kandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih

dekat kedudukannya dari pada anak saudara kandung. Keadaan seperti

ini disebut pentarjihan menurut derajat kedekatannya dengan pewaris.

Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan

Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak

'ashabah bi nafsihi yang sama dalam arah dan derajatnya, maka

pentarjihannya dengan melihat manakah di antara mereka yang paling

kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara kandung

lebih kuat daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripada paman

Page 117: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat daripada anak dari saudara

seayah, dan seterusnya.

Catatan:

Perlu untuk digarisbawahi dalam hal pentarjihan dari segi kuatnya

kekerabatan di sini, bahwa kaidah tersebut hanya dipakai untuk selain

dua arah, yakni arah anak dan arah bapak. Artinya, pentarjihan menurut

kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arah saudara dan arah

paman.

Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?

Satu pertanyaan yang sangat wajar dan mesti diketahui jawaban

serta hikmah di dalamnya. Sebab, keduanya memiliki posisi sederajat dari

segi kedekatan nasab pada seseorang, ayah sebagai pokok dan anak

merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini sebaiknya garis anak tidak

didahulukan daripada garis ayah. Namun demikian, ada dua landasan

mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasan pertama berupa dalil

Al-Qur'an, sedangkan yang kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya (artinya)

"dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari

harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak." (an-

Nisa: 11).

Dalam ayat tersebut Allah SWT menjadikan ayah sebagai ashhabul

furudh bila pewaris mempunyai anak, sedangkan bagian anak tidak

disebutkan. Dengan demikian, jelaslah bahwa anak akan mendapatkan

seluruh sisa harta peninggalan pewaris, setelah masing-masing dari

ashhabul furudh telah mendapatkan bagiannya. Hal ini sekaligus

menunjukkan bahwa garis anak lebih didahulukan daripada garis bapak.

Sedangkan secara aqli, manusia pada umumnya merasa khawatir

Page 118: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

terhadap anak (keturunannya), baik dalam hal keselamatannya maupun

kehidupan masa depannya. Oleh sebab itu, orang tua berusaha bekerja

keras untuk memperoleh harta dan berhemat dalam membelanjakannya,

semuanya demi kesejahteraan keturunannya. Bahkan, tidak sedikit orang

tua yang bersikap bakhil, sangat kikir dalam membelanjakan hartanya,

demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat tepat apa yang

disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-waladu

mabkhalah majbanah" (anak dapat membuat seseorang berlaku bakhil

dan pengecut).

Makna hadits tersebut sangat jelas bahwa orang tua menjadi kikir --

bahkan pengecut-- karena sangat khawatir terhadap masa depan anaknya.

Karena itu mereka tidak segan-segan menimbun harta dan kekayaan demi

menyenangkan keturunan pada masa mendatang. Tidak sedikit orang tua

yang menjadi pengecut hanya disebabkan menjaga kemaslahatan

keturunannya pada hari depannya. Dengan demikian, mereka takut

berhadapan dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu

kemudahan jalan rezekinya. Inilah alasan bahwa hati seseorang

cenderung lebih dekat kepada anaknya dibandingkan kepada ayahnya.

Wallahu a'lam.

Catatan :

Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa 'ashabah bi nafsihi harus

dari kalangan laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita

pemerdeka budak. Jika demikian berarti wanita tersebut sebagai 'ashabah

bi nafsihi, bila budak yang dibebaskannya tidak mempunyai keturunan

(kerabat).

Page 119: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya

'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris

yang kesemuanya wanita:

1. Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan

saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).

2. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila

berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki

pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik

sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.

3. Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama

saudara kandung laki-laki.

4. Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan

dengan saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua

kali lipat bagian perempuan.

Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi

'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa

persyaratan berikut: Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashhabul

furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh, maka tidak akan

menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh, anak perempuan dari

saudara laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan adanya

saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan

demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul

furudh.

Kedua: laki-laki yang menjadi 'ashabah (penguat) harus yang

sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat menjadi pen-ta'shih

(penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak sederajat

Page 120: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib

(penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan

saudara laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung

perempuan disebabkan tidak sederajat.

Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuat dengan ahli

waris perempuan shahibul fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak

dapat men-ta'shih saudara kandung perempuan. Sebab saudara kandung

perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki seayah.

Catatan :

Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat bagian setengah

(1/2) jika sendirian, ia berhak mendapatkan bagian dua per tiga (2/3) bila

menerima bersama saudara perempuannya, dan akan menjadi 'ashabah

bila mempunyai saudara laki-laki. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat

ahli waris dari kalangan wanita yang saya sebutkan (yakni anak

perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung

perempuan, dan saudara perempuan seayah).

Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi

Dalil bagi hak waris para 'ashabah bi ghairih adalah firman Allah

(artinya): "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak

perempuan" (an-Nisa': 11). Dan juga berlandaskan firman-Nya (artinya):

"dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan

perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua

orang saudara perempuan" (an-Nisa': 176).

Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan"

dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara kandung

Page 121: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

perempuan dan yang seayah. Mereka berpendapat bahwa kata ikhwatan

tidak mencakup saudara laki-laki atau perempuan yang seibu, disebabkan

hak waris mereka berdasarkan fardh (termasuk ashhabul furudh) bukan

sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris mereka pun antara laki-laki dan

perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya): "maka mereka

bersekutu dalam yang sepertiga itu" (an-Nisa': 12).

Sebab Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi

Adapun sebab penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena hak

'ashabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan

mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya 'ashabah lain

('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara

laki-laki seayah mereka. Bila para 'ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka

keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.

'Ashabah ma'al Ghair

'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para saudara kandung

perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi

bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-

laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan

seayah bila berbarengan dengan anak perempuan --atau cucu perempuan

keturunan anak laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis

'ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al

ghair.

Satu hal yang perlu diketahui dalam masalah ini, seperti yang

ditegaskan dalam kitab Hasyiyatul Bajuri (hlm. 108): "Adapun saudara

perempuan (kandung dan seayah) menjadi 'ashabah jika berbarengan

dengan anak perempuan adalah agar bagian saudara perempuan terkena

Page 122: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidak terkena

pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara perempuan

secara fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian

anak perempuan akan berkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah

mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan, karena itu dijadikanlah

saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah sebagai

'ashabah agar terkena pengurangan."

Dalil 'Ashabah ma'al Ghair

Yang menjadi landasan bagi hak waris 'ashabah ma'al ghair adalah

hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya, bahwa Abu

Musa al-Asy'ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu

perempuan keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan (sekandung

atau seayah). Abu Musa menjawab: "Bagian anak perempuan separo, dan

bagian saudara perempuan separo." Penanya itu lalu pergi

menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Aku akan

memvonis seperti apa yang diajarkan Rasulullah saw., bagian anak

perempuan setengah (1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak

laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3),

sedangkan sisanya menjadi hak saudara perempuan kandung atau

seayah."

Penanya itu pun kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan

menceritakan apa yang telah diputuskan Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa

berkata: "Janganlah kalian menanyakannya kepadaku selama sang alim

(Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian."Dari penjelasan Ibnu Mas'ud dapat

disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi bersama-sama

dengan anak perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal

Page 123: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

ini berarti saudara kandung perempuan atau saudara perempuan seayah

sebagai 'ashabah ma'al ghair.

Catatan :

Sangat penting untuk diketahui bersama bahwa bila seorang

saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah ma'al ghair, maka ia

menjadi seperti saudara kandung laki-laki sehingga dapat menghalangi

hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang perempuan.

Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang di bawah mereka,

seperti anak keturunan saudara (keponakan), paman kandung ataupun

yang seayah. Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi

'ashabah ma'al ghair ketika mewarisi bersama anak perempuan pewaris,

maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki seayah hingga menjadi

penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya. Untuk lebih

menjelaskan masalah tersebut saya sertakan contoh seperti berikut:

Contoh Pertama :

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara

perempuan, dan saudara laki-laki seayah, maka pembagiannya adalah

sebagai berikut:

Pokok masalahnya dari 2

Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Anak perempuan ½ 1

Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al

ghair

½ 1

Page 124: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Saudara laki-laki seayah Gugur 0

Keterangan:

Bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya

merupakan bagian saudara kandung perempuan disebabkan ia menjadi

'ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya seperti saudara kandung laki-

laki. Sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena saudara

kandung perempuan menjadi 'ashabah.

Contoh Kedua:

Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu

perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang saudara kandung

perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti

dalam tabel berikut:

Pokok masalahnya dari 4

Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Suami ¼ 1

Cucu perempuan ½ 2

Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair 1

Saudara laki-laki seayah Mahjub 0

Keterangan:

Page 125: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris mempunyai

cabang ahli warisnya. Sedangkan cucu perempuan keturunan anak laki-

laki mendapat bagian setengah secara fardh, kemudian sisanya yaitu

seperempat-- menjadi hak dua saudara kandung perempuan pewaris

sebagai 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah

gugur karena adanya dua saudara kandung.

Contoh Ketiga:

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak

perempuan, saudara perempuan seayah, dan anak laki-laki saudara laki-

laki (kemenakan). Pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 3

Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Dua anak perempuan 2/3 2

Saudara perempuan seayah 'ashabah ma'al ghair 1

Anak saudara laki-laki Mahjub 0

Keterangan:

Dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk

saudara perempuan seayah disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair.

Sedangkan anak saudara laki-laki ter-mahjub oleh saudara perempuan

seayah.

Page 126: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Contoh Keempat:

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan,

cucu perempuan keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara

perempuan seayah, dan paman kandung (saudara dari ayah kandung).

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 6

Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Anak perempuan ½ 3

Cucu perempuan 1/6 1

Ibu 1/6 1

Saudara perempuan seayah 'ashabah ma'al ghair 1

Keterangan:

Anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu

perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam bagian sebagai

penyempurna dua per tiga, dan ibu mendapatkan seperenam. Sedangkan

sisanya untuk saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair,

karena kekuatannya seperti saudara laki-laki seayah sehingga ia

menggugurkan paman kandung. Begitulah seterusnya.

Catatan:

Page 127: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli

waris bila pewaris mempunyai anak perempuan. Bahkan anak

perempuan pewaris menjadi penggugur hak.

Cara Mempermudah Menentukan Pembagian Ahli Waris:

Page 128: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

A. Hijab

Hijab secara harfiyah berarti penutup atau penghalang, dalam mawarits.

Istilah hijab digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang jauh hubungan

kekerabatanya, baik kadang-kadang atau seterusnya terhalang oleh ahli waris yang

lebih dekat. Orang yang menghalangi disebut hijab, dan orang yang terhalang

disebut mahjub.

Diantara ashabu i-furudh ( ahli waris), ada yang tidak termasuk pada

katagori hijab maupun mahjub, artinya tidak dapat menghalangi orang lain atau

terhalangi dari menerima waris, yaitu suami dan istri. Selain dari itu, ada yang

masuk kategori hajib tidak masuk mahjub, yaitu anak laki-laki, anak perempuan,

ayah dan ibu, karena ahli waris ini hanya dapat menghalangi orang lain dan tidak

pernah ada yang menghalanginya.

Macam-Macam Hijab

Hijab terdiri dari 2 macam, yakni:

1. Hajb bi washfin (dengan sifat)

Adalah ahli waris yang terhalang mendapat warisan karna adanya salah

satu penghalang yang telah di singgung, yaitu penghambaan, pembunuhan,

dan perbedaan agama. Jenis ini mungkin terjadi pada semua ahli waris. msing-

masing ahli waris mungkin menjadi budak, pembunuh, atau berbeda agama

dengan si mayit. Keberadaan ahli waris yang terhalang dengan hajb washfin

ini di anggap tidak ada. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menghalangi ahli

waris lain dan juga tidak membuat ahli waris mendapatkan ashabah.

2. Hajb bi syakhsin (dengan seseorang)

Adalah sebagian ahli waris terhalang mendapatkan waris karena adanya

ahli waris lain.

a. Hajb hirmaan

Adalah ahli waris yang terhalang hingga tidak mendapat harta warisan

sama sekali. Penghalang jenis ini mungkin terjadi pada setiap ahli waris

kecuali 6 ahli waris yang memiliki garis keturunan langsung dengan si

Page 129: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

mayit tanpa ada perantara: ibu, ayah, anak laki-laki dan perempuan serta

suami dan istri

b. Hajb nuqshaan

Adalah karena ada penghalang, ahli waris yang terhalang mendapat

sebagian harta warisan, seandainya penghalang tersebut tidak ada niscaya

ia akan mendapatkan bagian yang lebih banyak. Penghalang jenis ini

mungkin terjadi pada setiap ahli waris tanpa terkecuali.

Ahli waris yang gugur (terhalang mendapat warisan) karena adanya

seorang ahli waris lain, dia tidak akan menggugurkan ahli waris yang lain

dengan hajb hirmaan, tetapi mungkin saja dengan hajb nuqshaan. Contoh

saudara-saudara laki-laki dapat mengugurkan ibu dengan hajb nuqhsan

sehingga bagian ibu turun menjadi 1/6, walaupun mereka sendiri tidak

akan mendapat warisan sama sekali kalau ayah si mayit masih ada.

B. Ta’shiil

Ta’shiil adalah bilangan terkecil yang dijadikan sumber bagian dalam

masalah tanpa ada bilangan pecahan. Tash’hiil adalah bilangan terkecil yang

mungkin dibagikan kepada ahliwaris tanpa ada bilangan pecahan.

Asal masalah adalah bilangan terkecil yang di jadikan sumber bagian

dalam masalah tanpa adda bilangan pecahan. Apabila ahli waris adalah yang

mendapatkan bagian ‘ashabah karena nasab (‘ashabah nasabiyah), maka asal

masalahnya di sesuaikan dengan jumlah mereka. Dengan ketentuan laki-laki

dihitung 2 dan perempuan di hitung 1.

Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris dua

orang anak laki laki dan dua anak perempuan, maka asal masalah adalah 6, sebab

laki-laki di kali 2 dan perempuan dikali 1.

Beberapa ahli waris mendapat ashabah wala (ashabah sababiyah), apabila

dalam hak kepemilikan mereka seimbang, maka asal masalah di sesuaikan dari

jumlah mereka. Namun jika berbeda, maka asal masalah adalah bilangan terkecil

Page 130: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

yang dapat di bagikan sesuai dengan hak kepemilikan terhadap orang yang di

merdekakan.

Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris 2 orang

yang dulu memerdekakanya, dimana masing masing memiliki hak kepemilikan

separuh, maka asal masalahnya adalah , masing-masing mendapat 1 bagian.

Jika salah seorang mereka memiliki hak kepemilikan hanya ¼-nya, maka

asal masalah diambil dari dari bilangan 4. Dengan demikian ia mendapat 1 bagian

dan selebihnya untuk rekanya yang mendapat warisan.

Apabila ahli waris adalah yang mendapat bagian fardh, maka asal masalah

di ambil dari bilangan terkecil yang bisa dibagi dengan bilangan fardh mereka

tanpa pecah.

Jika bagian fardh tersebut hanya satu jenis, atau terdiri dari dua atau lebih

dan jenisnya 1, maka asal masalah diambil dari bilangan terkecil yang dapat di

bagi dengan jumlah bagian yang di peroleh. Namun apabila bilangan fardh terdiri

dari 2 atau lebih dan tidak sejenis, maka asal masalah di ambil dari bilangan

terkecil yang dapat di bagi oleh bagian yang mereka peroleh.

Menurut pendapat yang masyhur, asal masalah untuk ahli waris yang

mendapat bagian fardh ada tujuh: 2,3,4,6,8,12, dan 24

Asal masalah 2

Untuk semua masalah yang di dalamnya terdapat bilangan fardh ½ seperti asal

masalah untuk suami dan paman. Atau yang masing-masing mendapat ½ seperti

suami dan saudara perempuan bukan seibu.

Asal masalah 3

Semua masalah yang di dalamnya terdapat bilangan fardh 1/3 seperti ibu dan

paman. Atau 2/3 seperti dua orang perempuan dan paman. Atau 2/3,1/3 seperti

dua orang saudara perempuan yang bukan seibu dan dua orang saudara

perempuan seibu.

Page 131: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Asal masalah 4

Semua masalah yang didalamnya terdapat bilangan fardh ¼ seperti suami dan

anak laki-laki, atau ¼ dan ½ seperti suami, anak perempuan dan paman.

Asal masalah 6

Semua masalah yang di dalamnya terdapat bilangan fardh 1/6, seperti ibu dan

anak laki-laki.

Atau 1/6, 1/6 seperti ibu, saudara laki-lakiseibu dan saudara kandung laki-laki.

Atau 1/6, 1/6, 1/6 seperti ibu, ayah, anak perempuan dan putri anak laki-laki.

Atau 1/6, 1/3 seperti ibu, saudara laki-laki seibu dan paman.

Atau 1/6, 1/2 seperti ibu, anak perempuan dan paman.

Atau 1/6, 2/3 seperti ibu, dua orang anak perempuan dan paman.

Atau ½, 1/3 seperti suami, ibu dan paman.

Atau ½, 2/3 seperti suami, dua orang saudara kandung laki-laki dan paman.

Asal masalah 8

Setiap masalah yang di dalamnya terdapat bilangan fardh 1/8 seperti istri dan anak

laki-laki, atau 1/8 dan ½ seperti istri, anak perempuan dan paman.

Asal masalah 12

Setiap masalah yang di dalamnya terdapat bilangan fardh 1/4 ,1/6 seperti suami,

ibu dan anak laki-laki. Atau ¼, 1/3 seperti istri, ibu, paman. Atau ¼, 2/3 seperti

istri, dua orang saudara kandung perempuan dan paman.

Asal masalah 24

Setiap masalah yang di dalamnya terdapat bilangan 1/8 dan 1/6 seperti istri, ibu,

dan anak laki-laki.Atau 1/8 dan 2/3 seperti istri, dua orang anak perempuan dan

paman.

C. Tashih

Page 132: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan

menurut ulama ilmu faraid berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian

setiap ahli waris tanpa pecahan dalam pembagiannya.

Apabila pokok masalah harta waris dalam suatu pembagian waris cocok

(sesuai) dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu

menggunakan cara-cara yang berbelit dan memusingkan. Namun, bila harta waris

tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap ahli waris, atau

jumlah bagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal

ini memerlukan pentashihan pokok masalahnya.

Agar kita dapat memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok

masalah, maka kita harus mengetahui nisbah-nya (koneksi) dengan keempat

istilah perhitungan, yaitu:

1. At-tamaatsul (kemiripan/kesamaan),

At-Tamaatsul dalam bahasa Arab berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'.

Sedangkan menurut ulama faraid berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang

satu tidak lebih banyak atau lebih sedikit dari yang lain. Misalnya, angka tiga

(3) berarti sama dengan tiga (5), dan lima (5) sama dengan lima (5), dan

seterusnya.

2. At-tadaakhul (saling terkait/saling bercampur),

At-Tadaakhul dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk',

lawan kata dari "keluar". Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian

angka yang besar oleh angka yang lebih kecil, sehingga dari pembagian itu

tidak ada lagi angka atau jumlah yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8)

dengan angka empat (4), angka delapan belas (18) dengan angka enam (6),

angka dua puluh tujuh (27) dengan angka sembilan (9).

3. At-tawaafuq (saling bertautan)

At-Tawaafuq dalam bahasa Arab berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah

ilmu faraid ialah setiap dua angka yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga

menurut mereka di antara kedua bilangan itu ada tadaakhul. Misalnya, angka

delapan (8) dengan enam (6) keduanya dapat dibagi oleh angka dua (2).

Page 133: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Angka duabelas (12) dengan angka tigapuluh (30) sama-sama dapat dibagi

oleh angka enam (6). Angka delapan (8) dengan duapuluh (20) sama-sama

dapat dibagi oleh angka empat (4), demikian seterusnya.

4. At-tabaayun (berbeda/saling berjauhan).

At-Tabaayun dalam bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau

saling berbeda. Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap

bilangan yang satu dengan lainnya tidak dapat membagi, dan tidak pula dapat

dibagi oleh bilangan lain (ketiga). Misalnya angka tujuh (7) dengan angka

empat (4), angka delapan (8) dengan sebelas (11), angka lima (5) dengan

angka sembilan (9).

Untuk mengetahui secara tepat pengertian tabaayun, dapat dibandingkan

pengertiannya dengan istilah lainnya. Apabila angka yang besar dibagi angka

yang lebih kecil, maka kedua bilangan itu tadaakhul. Apabila angka yang besar

tidak dapat dibagi angka yang kecil tetapi dibagi angka yang lain maka kedua

bilangan itu ada tawaafuq. Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh

bilangan lain, maka disebut tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu sama,

maka di antara kedua bilangan tersebut adalahmutamaatsilan.

Penghitungan dan Pentashihan

Mengetahui pokok masalah merupakan suatu keharusan dalam mengkaji

ilmu faraid. Hal ini bertujuan agar dapat mengetahui secara pasti bagian setiap

ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau

melebihkan hak masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan

ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk

mengetahui pokok masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana

dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui

pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima

kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-

angka pecahan).

Page 134: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui

siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, harus mengetahui apakah ahli waris yang ada

semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh,

atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.

Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok

masalahnya dihitung per kepala, jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya,

seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok

masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara

kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.

Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan,

maka satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu

kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali

bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.

Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-

laki dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain,

bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka

pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.

Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul

furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat

dan meninggalkan seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok

masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara

kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa

bila ahli waris semuanya sama, misalnya masing-masing berhak mendapat

seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak

sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat

(1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan,

begitu seterusnya.

Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari

banyak bagian yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah,

Page 135: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

seperenam, dan sebagainya, yang harus dilakukan adalah mengalikan dan

mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka

yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah (saling berpadu), atau

yang mutabaayinah (saling berbeda).

Untuk memperjelas masalah ini, dapat dilihat kaidah yang telah diterapkan

oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah

untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib

fardhyang mempunyai bagian berbeda-beda.

Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi 2 (dua) bagian:

1. Bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).

2. Bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja

(yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling

besar.Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah

(1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).

Contoh lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib

fardh setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) atau hanya

seperempat dengan seperdelapan, maka pokok masalahnya dari delapan (8).

Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib

fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan

seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga

merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka

penyebut yang terbesar.

Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur

antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua

(2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok

masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:

Page 136: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

a. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) yang merupakan

kelompok pertama bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau

semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).

b. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan

kelompok pertama bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah

satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).

c. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan

kelompok pertama bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah

satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).

Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, dapat dilihat dalam beberapa

contoh berikut ini: Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki

seibu, ibu, dan paman kandung.

Maka pembagiannya sebagai berikut:

Suami mendapat setengah (1/2), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6),

ibu sepertiga (1/3), sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa

yang ada setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak

tersisa, maka ia tidak berhak menerima harta waris.

Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama

(yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan

kelompok kedua. Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh

tersebut dari enam.

Pokok masalah dari enam (6)

Suami setengah (1/2) 3

Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6) 1

Ibu sepertiga (1/3) 2

Paman kandung, sebagai 'ashabah 0

Page 137: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Contoh lain:

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu,

dan seorang saudara laki-laki kandung.

Maka pembagiannya seperti berikut:

Bagian istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki

seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.

Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) yang

termasuk kelompok pertama dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka

berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut

merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan

tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu).

Pokok masalah dari dua belas (12)

Istri seperempat (1/4)) 3

Ibu seperenam (1/6) 2

Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) 4

Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya) 3

Contoh lain:

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan

keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki.

Maka pembagiannya sebagai berikut:

Istri mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), cucu

perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai

penyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6).Sedangkan

Page 138: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta

waris bila ternyata masih tersisa.

Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8)

sebagai kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua.

Maka berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah

empat (24).

Pokok masalah dari 24

Bagian istri seperdelapan (1/8) berarti 3

Bagian anak perempuan setengah (1/2) berarti 12

Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6) berarti 4

Bagian ibu seperenam (1/6) berarti 4

Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa)

1

Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul

sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2

x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 =

24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan

delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi,

kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah

seterusnya.

Cara Mentashih Pokok Masalah

Setelah diketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul,attadaakhul, at-

tawaafuq, dan at-tabaayun, maka yang perlu diketahui adalah kapan kita dapat

atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,

Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima

permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti

(maksudnya tanpa pecahan). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan

Page 139: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan

keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap

ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan

satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka

mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-

Din al-Islam.

Cara pentashihan yang biasa dilakukan oleh para ulama faraid adalah

seperti berikut:

Langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per

kepalanya. Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah

bagian setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang

sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih

sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada jumlah pokok masalahnya sudah

habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat bagian maka kita harus melihat

apakah ada kecocokan di antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian

antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak

berhak mendapat bagian sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara

mengalikan jumlah per kepala dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-

kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4,

maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu).

Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per

kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari

perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut

"pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid.

Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-

'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut

dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan

setiap bagian pada pokok masalah.

Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah:

Page 140: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga

cucu perempuan keturunan anak laki-laki.

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua per

tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan

sang ibu juga seperenam (1/6) berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu

perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena

anak pewaris lebih dari dua orang).

Dalam contoh tersebut dapat dilihat jumlah anak perempuan ada empat

(4), dan bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi

memerlukan pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan

kepada mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-

pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak

menerima satu bagian.

Contoh lain yang at-tamaatsul.

Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu, dan empat

saudara kandung perempuan.

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh (7).

Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudara

perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat

saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4)

bagian.

Bila kita perhatikan dari contoh tersbut, dapat dilihat bahwa pokok

masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai

dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian,

maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan

Page 141: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian

pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan

demikian, bahwa dari contoh masalah tersebut cenderung (ber nisbat) pada at-

tamaatsul.

Contoh masalah yang at-tawaafuq:

Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman

kandung.

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga

(2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan

sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah.

Dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak

perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2).Angka dua

itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us

sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni

angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah.

Contoh lain:

Seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan,

dan dua orang saudara laki-laki seibu.

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9).

Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam

saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian

kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian.

Dalam contoh di atas ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima

para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2).

Page 142: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita

kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9),

berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan

pokok masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami

mendapat sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat

dua belas bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 +

12 + 6 = 27).

Contoh lain:

Seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan

dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki.

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak

perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan

anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara

kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi.

3

12 36

Suami ¼ 3 9

Anak perempuan ½ 6 18

Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 2 6

Saudara kandung laki-laki ('ashabah) 1 3

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat antara bagian cucu perempuan

keturunan anak laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3)

ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok

masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah hasil

pentashihan.

Page 143: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Contoh lain:

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan

saudara kandung laki-laki.

Maka bagian masing-masing seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3,

kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh

1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara

kandung laki-laki mahjub(terhalang).

5

24 27 135

Istri 1/8 3 15

Lima anak perempuan 2/3 16 80

Ayah 1/6 4 20

Ibu 1/6 4 20

Saudara kandung laki-laki (mahjub) - -

Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa bagian kelima anak perempuan

tidak bisa dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya

ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah di-

'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135. Angka

itu merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang

dinamakan juz'us sahm.

Contoh lain:

Seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua

orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu.

Page 144: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan

mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung

laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub.

28

24 672

3 istri bagiannya 1/8 3 84

7 anak perempuan 2/3 16 448

2 orang nenek 1/6 4 112

saudara kandung laki-laki ('ashabah) 1 28

Saudara laki-lah seibu (mahjub - -

Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa bagian anak perempuan (16)

dengan jumlah per kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga

dengan bagian keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per

kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah dari

contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan

jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut

(yakni 28) merupakanjuz'us sahm. Kemudian juz'us sahm tersebut kita kalikan

dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya itulah yang menjadi pokok

masalah setelah pentashihan.

Pembagian Harta Peninggalan

At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis

kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah.

Semua peninggalan itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris yang ada sesuai

dengan hak bagian yang harus mereka terima.

Page 145: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada

beberapa cara yang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan

ulama faraid ada dua dalam hal yang berkenaan dengan harta yang dapat

ditransfer.

Cara pertama: harus ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita

kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan

bagian masing-masing ahli waris.

Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara

menyeluruh. Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli

waris dengan jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi

dengan angka pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan

bagian dari masing-masing ahli waris.

Contoh Cara Pertama:

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu.

Sedangkan harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti

berikut:

Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian,

anak perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian,

sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.

Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris

yang ada (480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah

harga per bagian.

Jadi, bagian istri 3 bagian x 20 dinar = 60 dinar

Anak perempuan 12 bagian x 20 dinar = 240 dinar

Ibu 4 bagian x 20 dinar = 80 dinar

Ayah 5 bagian x 20 dinar = 100 dinar

Total = 480 dinar

Page 146: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Contoh lain:

Seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung perempuan, ibu,

suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta waris yang ada

sebanyak 960 dinar.

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24. Cucu

perempuan mendapatkan 1/2 yang berarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4 yang

berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh 1/6 yang berarti 4 bagian. Sedangkan

sisanya (dua bagian) untuk dua saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah

ma'al ghair.

2

12 24

24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 6 12

Suami ¼ 1/4 3 6

Ibu 1/6 1/6 2 4

2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair) 1 2

Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing

ahli waris:

Jadi, Cucu pr. keturunan anak laki-laki 12 x 40 dinar = 480 dinar

Suami 6 x 40 dinar = 240 dinar

Ibu 4 x 40 dinar = 160 dinar

Dua saudara kandung perempuan 2 x 40 dinar = 80 dinar

Total = 960 dinar

Contoh lain:

Page 147: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua anak laki-

laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta peninggalannya

3.000 dinar.

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi 12. Sang ayah

mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan

sisanya dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuan bagian laki-laki dua

kali lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4 bagian (masing-

masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian (masing-

masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub.

2

6 12

Empat anak perempuan

4 4

Dua anak laki-laki

3 4

Ayah 1/6 1 2

Ibu 1/6 1 2

Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub) - -

Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar

Jadi, bagian 4 anak perempuan 4 x 250 dinar = 1.000 dinar

2 anak laki-laki 4 x 250 dinar = 1.000 dinar

Ibu 2 x 250 dinar = 500 dinar

Ayah 2 x 250 dinar = 500 dinar

Total = 3.000 dinar

Contoh lain:

Page 148: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan,

dua saudara laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya

9.900 dinar.

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9.

Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara kandung perempuan 1/2 berarti 3, dua

saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti 2, sedangan nenek mendapat 1/6

berarti satu (1).

6 9

Suami ½

3

Saudara kandung perempuan ½

3

Saudara laki-laki seibu 1/3

2

Nenek 1/6

1

Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar

Jadi, Suami 3 X 1.100 dinar = 3.300 dinar

Saudara perempuan kandung 3 X 1.100 dinar = 3.300 dinar

Dua saudara laki-laki seibu 2 X 1.100 dinar = 2.200 dinar

Nenek 1 X 1.100 dinar = 2.200 dinar

Total = 9.000 dinar

Contoh lain:

Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan,

3 cucu perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan

anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar,

Maka pembagiannya seperti berikut:

Page 149: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami

mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan

dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian).

Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga

mereka tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan

kepada ashhabul furudh.

12 13

Suami 1/4 3

Ibu 1/6 2

Dua anak perempuan 2/3 8

Tiga cucu perempuan

Dua cucu perempuan 'ashabah -

Jadi, Suami 3 x 585:13 dinar = 135 dinar

Ibu 2 x 585:13 dinar = 90 dinar

Dua anak perempuan 8 x 585:13 dinar = 360 dinar

Total = 585 dinar

Contoh lain:

Seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu perempuan

keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya berjumlah 240

dinar.

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 12 kemudian ditashih menjadi 24. Cucu

perempuan keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu

mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4 (berarti 6 bagian),

dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.

Page 150: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

12 24

Cucu pr. ket. anak laki-laki 1/2 6 12

Ibu 1/6 2 4

Suami 1/4 3 6

Jadi, Cucu pr. ket. anak laki-laki 12 x 240:24 dinar = 120 dinar

Ibu 4 x 240:24 dinar = 40 dinar

Suami 6 x 240:24 dinar = 60 dinar

Dua saudara kandung ('ashabah) 2 x 240:24 dinar = 20 dinar

Total = 240 dinar

Contoh lain:

Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan,

saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu perempuan

keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar.

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 6. Ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu

perempuan ½ (berarti 3 bagian) dan

sisanya dua (2) bagian menjadi hak kedua saudara perempuan kandung

sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli waris yang lain ter- mahjub.

6

Ibu 1/6 1

Cucu pr. ket. anak laki-laki 1/2 3

Dua saudara kandung pr. ('ashabah)

2

Saudara perempuan seayah,

Dua saudara laki-laki seayah (mahjub) -

Page 151: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Masalah Dinariyah ash-Shughra

Ada 2 (dua) masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni

istilah ad-dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra.

Ad-dinariyah ash-shughra memiliki pengertian seluruh ahli warisnya

terdiri atas kaum wanita, dan setiap ahli waris hanya menerima satu dinar.

Contoh masalahnya:

Seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2) orang

nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara perempuan

seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar.

Adapun pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 17. Tiga orang

istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6

(berarti 2 bagian), kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti

8 bagian), sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti

4 bagian). Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli

warisnya pun 17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka

kasus seperti ini disebut ad-dinariyah ash-shughra.

12 17

Ke-3 istri 1/4 3 masing-masing 1 bagian = 1 dinar

Kedua nenek 1/6 2 masing-masing 1 bagian = 1 dinar

Ke-8 sdr. pr. seayah 2/3 8 masing-masing 1 bagian = 1 dinar

Ke-4 sdr. pr. seibu 1/3 4 masing-masing 1 bagian = 1 dinar

Masalah Dinariyah al-Kubra

Page 152: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli

waris yang ada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari

'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya

mendapatkan bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar,

dan sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan

ulama faraid disebut ad-dinariyah al-kubra.

Contoh masalah ini sebagai berikut:

Seseorang wafat meninggalkan istri, ibu, dua anak perempuan, dua belas

saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara kandung perempuan. Sedangkan

harta peninggalannya 600 dinar.

Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi 600. Istri

mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), kedua

anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1) bagian

merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung

perempuan sebagai 'ashabah.

Jadi, bagian Istri 3 x 600:24 dinar = 75 dinar

Ibu 4 x 600:24 dinar = 100 dinar

Kedua anak perempuan 16 x 600:24 dinar = 400 dinar

Total = 575 dinar

Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung

perempuan mendapat sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan

bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan demikian, yang 24

dinar dibagikan kepada ke-12 saudara kandung laki-laki dan masing-masing

mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1) dinar bagian saudara kandung

perempuan.

Page 153: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

25

24 600

Istri 1/8 3 75

Ibu 1/6 4 100

Kedua anak perempuan 2/3 16 100

12 saudara kandung laki-laki

1 saudara kandung perempuan ('ashabah)

1

24

1

Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi

Syuraih (seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih

memvonis dengan memberikan hak saudara kandung perempuan pewaris hanya

satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada Imam

Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya,

mengurangi hak warisnya hingga memberinya satu dinar dari peninggalan

saudaranya yang 600 dinar itu.

Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang

berhak menerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali

bin Abi Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan

istri, dua anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian

engkau?" Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu

tidak lebih dan tidak kurang."

Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut

bahwa hakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang

diajukannya.

Page 154: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

‘AUL, RADD dan MASALAH KONTEMPORER

Defini ‘Aul

Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya

bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-

Nya, "... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-

Nisa': 3)

Al-'aul juga bermakna naik atau meluap. Dikatakan 'alaa al-ma'u

idzaa irtafa'a yang artinya air yang naik meluap. Al-'aul bisa juga berarti

bertambah, seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti

berat timbangannya.Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu

bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli

waris.

Terjadinya masalah aul apabila terjadi angka pembilang lebih besar

dari angka penyebut (mislanya 8/6), sedangkan biasanya harta selalu

dibagi dengan penyebutnya, namun apabila hal ini dilakukan akan terjadi

kesenjangan pendapatan, dan menimbulkan persoalan yaitu siapa yang

lebih diutamakan dari para ahli waris tersebut.

Apabila ahli waris terdiri atas dzul faraa-idh dan dzul qarabat

maka harta peninggalan akan habis terbagi pada pembagian pertama

yaitu dengan cara dzul faraa-idh mendapat bagiannya masing-masing

dan sisanya untuk dzul qarabat. Demikian pula jika ahli waris hanya

terdiri atas dzul qarabat maka harta akan habis pada pembagian pertama.

Tetapi jika ahli waris hanya terdiri dari dzul faraa-idh maka ada dua

kemungkinan yaitu pada pembagian pertama harta akan habis sedangkan

pada pembagian ke dua akan terdapat sisa harta. Dalam penerima waris

itu semuanya adalah dzul faraaidh dapat pula terjadi ketekoran.

Page 155: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Ketekoran ini berupa hasil pembagian pertama lebih dari 1 (satu). Hal ini

diselesaikan dengan pengurangan bagian masing-masing ahli waris tadi

secara berimbang. Pengurangan secara berimbang ini disebut „aul.

Contoh masalah aul yaitu apabila ahli waris terdiri dari suami

(1/2), seorang saudara perempuan kandung (1/2) dan seorang saudara

perempuan ibu (1/6) maka tidak dibenarkan penyisihannya saudara

perempuan seibu dengan alasan harta warisan telah habis terbagi kepada

suami dan saudara perempuan kandung. Kasus ini disebut masalah aul

Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan

Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga

diantaranya dapat di 'aul kan sedangkan yang empat tidak dapat. Ketiga

pokok masalah yang dapat di aul kan adalah enam (6), dua belas (12), dan

dua puluh empat (24), sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di aul

kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).

Sebagai contoh: seorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu

pembagiannya: ibu mendapatkan sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya

menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga (3) jadi ibu

mendapatkan satu bagian dan ayah mendapatkan dua bagian. Pokok

masalah dalam contoh tidak dapat di aulkan, sebab pokok masalahnya

cocok atau tepat dengan bagian para asbhabul furudh.

Angka-angka pokok yang dapat diaul kan ialah enam (6), dua belas

(12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu

masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal,

angka enam (6) hanya dapat di aul kan sehingga angka sepuluh (10),

yakni dapat naik menjadi 7, 8, 9 atau 10. Lebih dari angka itu tidak bisa.

Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.

Page 156: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan

hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih dari

itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di aul kan tiga kali

saja.

Sedangkan pokok masalah 24 hanya dapat di aul kan kepada 27

saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid ysng memang masyur

dikalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".

Contoh „Aul Pokok Masalah Enam (6)

Contoh : seorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung

perempuan dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai

berikut: pokok masalah dari enam (6). Bagian suami setengah (½) berarti

tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga,

sedangakan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu

bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok

masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikan menjadi 7.

Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok

masalahnya.

Contoh „Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)

Pokok masalah dua belas hanya dapat di‟aul kan tiga kali saja, yaitu

menjadi tiga belas (13) lima belas (15) atau tujuh belas (17). Berikut ini

saya berikan contoh-contohnya:

1. Seorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara

kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok

masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti

tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian

dua orang saudara perempuan dua pertiga (2/3) berarti delapan

Page 157: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

bagian. Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi

pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan

menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian

yang ada.

2. Seorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara

kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan

seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai

berikut: pokok masalah 12. Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga,

ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara kandung

perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian,

sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) sebagai

penyempurnaan dua pertiga berarti dua bagian, dan bagian saudara

perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian. Jumlah

bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima

belas bagian. Karena itu pokok masalahnya di aul kan menjadi lima

belas (15).

3. Seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek,

delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara

perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok

masalahnya dua belas. Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (¼)

berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah (1/6) yang

berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah (2/3)-

nya berarti delapan bagian dan bagian keempat saudara perempuan

seibu 1/3 yang berarti empat bagian.Karena itu pokok masalahnya di

aul kan menjadi tujuh belas (17).

Contoh „aul dua puluh empat (24)

Page 158: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Pokok masalah dua puluh empat hanya dapat di „aulkan menjadi

angka dua puluh tujuh. Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam

kasus yang oleh ulama‟ faraidh dikenal dengan masalah al-mimbariyah.

Dinamakan al-mimbariyah karena perkara tersebut diajukan kepada Ali

bin Abi Tholib sewaktu masih berada di atas mimbar dan langsung

memutuskannya sewaktu masih di atas mimbar..

Pembagian asal masalah menurut ‘aul dan tidak ‘aul

Jika bagian – bagian ahli waris ditinjau berdasarkan asal

masalahnya, maka ia tidak terlepas dari tiga kemungkinan :

1. Pertama: jumlahnya lebih besar dari asal masalah. Hal ini dinamakan

al – „aul.

2. Kedua : jumlahnya kurang dari asal masalah. Hal ini dinamakan an-

naqsh

3. Ketiga : jumlah bilangan fardh sama dengan jumlah asal masala.

Hal ini yang dinamakan al-„adl

Bilangan asal masalah yang tujuh (2,3,4,6,8,12 dan 24), jika ditinjau

dari sisi „aul, naqsh dan „adl terbagi keempat macam :

1. Asal masalah yang senantiasa naqsh (kurang). Yaitu asal masalah 4

dan 8

2. Asal masalah terkadang naqsh dan terkadang „adl namun tidak pernah

„aul. Yaitu masalah 2 dan 3

3. Asal masalah naqsh atau „aul namun tidak pernah „adl. Yakni asal

masalah 12 dan 24

4. Asal masalah naqsh, „adl dan „aul. Yakni asal masalah 6. Asal masalah

6 „aul menjadi 7,8,9,dan 10

Page 159: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Contohnya : seorang wanita meninggal dunia dengan

meninggalkan ahli waris suami dan dua orang saudara kandung

perempuan, maka asal masalah 6: untuk suami ½ yang berarti mendapat 3

dan untuk dua orang saudara kandung perempuan 2/3 yang berarti 4

bagian, sehingga asal masalah harus di-„aul-kan ke bilangan 7.

Apabila bersama mereka ada ibu, maka untuk ibu 1/6 yang berarti

mendapat 1 bagian. Dengan demikian asal masalah di‟aulkan ke bilangan

8.

Apabila bersama mereka ada saudara laki-laki seibu, maka

untuknya 1/6 yang berarti mendapat 1 bagian. Dengan demikian asal

masalah di-„aul-kan ke bilangan 9.

Ahli waris Fardh Asal

masalah

KPK dari 2

dan 3 = 6

Karena

jumlah

bagian = 7,

maka „aul ke-

7

Jika harta

warisan Rp.

14.000.000

1). Suami ½ ½ x 6 = 3

bagian

Memperoleh

3/7 harta

3/7 x

14.000.000 =

Rp. 6.000.000

2). Saudara

kandung

perempuan

3). Saudara

kandung

perempuan

2/3 2/3 x 6 = 4

bagian

Memperoleh

4/7 harta

untuk berdua

4/7 x

14.000.000 =

Rp. 8.000.000

(masing –

masing

saudara Rp.

4.000.000)

Jumlah bagian 7 bagian 7/7 Rp. 14.000.000

Page 160: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Tabel 1

contoh masalah ‘aul

Apabila bersama mereka ada saudara laki – laki seibu yang lain,

maka untuk dua saudara laki – laki seibu 1/3, yang berarti asal masalah

harus di-„aul-kan ke bilangan 10. Asal masalah 6 jika di-„aul-kan ke 10

disebut ummul furuukh karena „aul-nya terlalu banyak.

Asal masalah 12 „aul menjadi 13,15,17 dan tidak akan pernah „aul

ke bilangan genap

Contohnya :

Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris 3

orang istri, 8 orang saudara yang tidak seibu, dan 2 orang nenek, maka

asal masalah 12. Untuk para istri ¼ berarti mendapat 3 bagian dan masing

– masing istri mendapat 1 bagian. Untuk saudara perempuan yang tidak

seibu mendapat 2/3, berarti mendapat 8 bagian dan masing – masing

mendapat 1 bagian. Untuk 2 orang nenek 1/6 berarti mendapat 2 bagian

dan masing – masing mendapat 1 bagian. Dengan demikian masalah „aul

ke 13.

Definisi Radd

Ar-radd artinya kembali atau berpaling seperti yang terdapat

dalam surat Al-Kahfi ayat 64 yang artinya, “Musa berkata: "Itulah (tempat)

yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”

Menurut istilah ar-radd adalah berkurangnya pokok masalah dan

bertambahnya jumlah bagian ashhabul furudh. Terjadinya masalah radd

apabila pembilang lebih kecil daripada penyebut dan merupakan

kebalikan dari masalah aul. Aul pada dasarnya kurangnya yang akan

dibagi, sedangkan pada radd ada kelebihan setelah diadakan pembagian.

Page 161: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila

terwujud tiga syarat sebagai berikut :

1. Adanya ashhabulfurudh

2. Tidak adanya ashabah

3. Ada sisa harta waris

Adapun Ayah dan Kakek, meskipun keduanya termasuk ahli waris

ashhâbl al-furûdl dalam beberapa keadaan tertentu, mereka berdua tidak

berhak menerima radd, karena menurut beliau apabila dalam pembagian

harta warisan terdapat ayah atau kakek, maka tidak mungkin terjadi radd,

karena keduanya bagi beliau akan menjadi ashabah dan berhak

mengambil seluruh sisa harta warisan.

Sedangkan alasan suami atau istri tidak berhak mendapatkan sisa

harta, karena kekerabatan mereka bukan didasarkan pada hubungan

nasab, melainkan hubungan sababiyah, yakni semata-mata karena sebab

perkawinan yang dapat terputus karena kematian. Sejalan dengan itu

Amir Syarifuddin juga membenarkan pendapat Ali Ash Shabuni dengan

memberikan alasan bahwa adanya radd tersebut adalah karena adanya

hubungan rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannya disebabkan

hukum dan bukan karena hubungan rahim.

Ada dua ulama berpendapat tentang radd yaitu kelompok pertama

yang mengatakan tidak ada radd, setelah ashabul furud mengambil

bagiannya dan tidak ada ashabah maka sisa harta diberikan kepada Baitul

mal. Kelompok kedua yang mengatakan bahwa harta dikembalikan

kepada ashabul furud selain suami istri sesuai dengan presentase bagian-

bagian mereka.

Page 162: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Ahli waris yang berhak mendapat ar-radd yaitu semua

ashhabulfurudh kecuali suami dan istri. Suami dan istri tidak berhak

karena kekerabatan keduanya bukan karena nasab tetapi karena adanya

ikatan tali pernikahan. Ashhabulfurudh yang berhak menerima ar-radd

hanya delapan orang yaitu anak perempuan, cucu perempuan keturunan

anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah,

ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, dan

saudara laki-laki seibu. Dalam keadaan bagaimana pun, bila dalam

pembagian hak waris terdapat salah satunya ayah atau kakek tidak

mungkin ada ar-radd karena keduanya akan menerima waris sebagai

ashhabah.

Ar-radd mempunyai empat macam yang mempunyai cara atau

hukum masing-masing yaitu :

1. Adanya pemilik bagian yang sama, tanpa suami atau istri.

Dalam kondisi seperti ini, harta peninggalan dapat langsung

dibagikan secara merata kepada seluruh ahli waris berdasarkan jumlah

mereka. Dengan demikian, pembagian harta peninggalan dapat

diselesaikan dengan cara yang mudah dalam tempo yang singkat.

Semisal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak

perempuan, maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris.

Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya

mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing

sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari

bagian yang sama.

2. Adanya pemilik bagian yang berbeda, tanpa suami atau istri.

Dalam kondisi seperti ini, harta dibagi berdasarkan jumlah bagian

para ahli waris, bukan didasarkan pada jumlah mereka. Semisal,

Page 163: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan (1/2) dan

seorang cucu perempuan dari anak laki-laki (1/6). Maka pokok

masalahnya adalah empat (4) berdasarkan jumlah bagian kedua ahli waris

tersebut. Asal masalah yang semulanya 6 diubah atau diganti dengan

hasil penjumlahan yaitu 4.

3. Adanya pemilik bagian yang sama, dengan adanya suami atau istri.

Dalam keadaan seperti itu, sesuai kaidah, maka pokok masalahnya

ialah angka penyebut dari bagian orang yang tidak menerima radd.

Sesudah dibagikan kepada orang tersebut, sisanya baru dibagikan kepada

ahli waris lain sesuai dengan jumlah mereka.

Semisal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak

perempuan. Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan

sisanya (3/4) dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah

kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan

seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan

bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara rata. Didalam

permasalahan seperti ini asal masalah diambil dari yang tidak menerima

radd yaitu suami atau istri sedangkan yang lain dianggap ashabah (sisa).

Kemudian jumlah penerima radd dikali dengan asal masalah.

4. Adanya pemilik bagian yang berbeda, dengan adanya suami atau istri.

Kaidah pemecahannya dari masalah ini adalah dengan menetapkan

menjadi dua masalah. Masalah pertama dalam susunan ahli warisnya

tanpa ada suami/istri, sedangkan masalah kedua dalam susunan ahli

warisnya ada suami/istri. Masing-masing diletakkan tersendiri, kemudian

kedua asal masalah dibandingkan dengan salah satu dari tiga

perbandingan yaitu tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan

tabaayun (perbedaan).

Page 164: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang

saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:

Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari tiga

(yakni dari jumlah bagian yang ada). Bagian nenek seperenam (1/6)

berarti satu bagian. Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga

(1/3) = 2 bagian.

Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:

Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib

fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri. Bagian istri seperempat

(1/4) berarti memperoleh satu bagian. Sisanya, yakni tiga bagian,

merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.

Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang

sama antara bagian nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu,

yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam

kedua ilustrasi.

Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4),

maka sisa harta waris tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan

tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi

memerlukan tashih (pengalian), dan cukuplah kita jadikan ilustrasi

masalah kedua itu sebagai pokok masalah.

Aul dan Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam

Cara-cara „aul dan radd yang dikehendaki pasal 192 dan 193

tampaknya merupakan jalan keluar terbaik dalam penyelesaian terhadap

dua kasus tersebut. Apakah pembilangnya yang harus dinaikkan sesuai

Page 165: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

penyebutnya (faridhah al „ailah), ataukah sebaliknya diturunkan (faridhah

al qashirah) supaya pembilang dan penyebutnya bersesuaian (faridhah al

„adilah).

Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam dengan memperhatikan

pasal 192 bahwa ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut,

maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Dan

dalam pasal 193 bahwa ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta

dalam masalah radd adalah semua ahli waris ash-hab al-furudl tanpa

terkecuali, termasuk suami atau istri.

Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam Pasal 193 bahwa :

"Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris

Dzawi al-furûdl menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil

daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah , maka

pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai

dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara

berimbang di antara mereka”.

Dengan demikian dalam pembagian harta waris andaikata terjadi

sisa harta setelah diambil ahli waris ash-hab al-furudl dan tidak ada ahli

waris aashabah, Kompilasi Hukum Islam memberikan sisa lebih tersebut

kepada semua ahli waris ash-hab al-furudl tanpa terkecuali termasuk

dalam hal ini suami atau istri. Karena dalam masalah 'aul mereka berdua

juga terkena pengurangan, maka sebagai konsekuensinya suami atau istri

dalam masalah radd juga mendapat tambahan. Ini sebagai konsekuensi,

apabila terjadi masalah 'aul bagian masing-masing ahli waris termasuk

suami atau istri yang ahli waris sababiyah dikurangi.

Page 166: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Sikap tegas yang ditempuh Kompilasi Hukum Islam dalam

masalah ini lebih mengedepankan kemaslahatannya, tidak lain agar

dalam menyelesaikan pembagian harta waris tidak menimbulkan

keraguan bagi pihak-pihak yang mempedomaninya. Adapun ayah dan

kakek keatas, dengan memperhatikan Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam

bahwa:

"Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan

anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".

Dengan demikian jika kita melihat pasal di atas tentang ayah dan

kakek ke atas, Kompilasi Hukum Islam juga memberi sisa lebih dalam

masalah radd, karena tidak terdapat bagian sisa atau ashabah terhadap

mereka berdua.

Persamaan dan Perbedaan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam

Mengenai Aul dan Radd

Memperhatikan dari kedua pendapat diatas, adapun persamaan

mengenai aul yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka

penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka

pembilang. Sedangkan persamaan radd yaitu tentang ahli waris yang

berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd terjadi pada delapan

ahli waris ash-hâb al-furûdl, yaitu : anak perempuan, cucu perempuan

keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara

perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara

perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu.

Dalam masalah aul tidak ada perbedaan sedangkan dalam masalah

radd ada perbedaan yaitu dalam kompilasi Hukum Islam ahli waris

suami, istri, ayah dan kakek keatas berhak mendapat radd.

Page 167: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Masalah Umariyatain

Masalah umariyatain adalah dua masalah pembagian hukum

warisan yang berkenaan dengan bagian ibu. Masalah ini diberi nama

umariyatain karena Khalifah Umar bin Khaththab -ع للا adalah -سظ

orang pertama yang memutuskan perkara ini dan disepakati oleh jumhur

sahabat Nabi -صيللاعيسي- dan juga para imam madzhab fiqh.

Masalah umariyatain ini tentang bagian ibu yang mendapat 1/3 dari

sisa bagian bersama ayah. Permasalahan ini hanya terjadi dalam dua

keadaan saja. Dua keadaan tersebut adalah sebagai berikut :

Keadaan 1:

Apabila istri meninggal dunia, meninggalkan suami, ayah dan ibu,

maka perhitungan warisannya adalah sebagai berikut :

Ahli waris Bagian Asal masalah = 6

1. Suami ½ 3

2. Ayah Ashobah 2

3. Ibu 1/3 1

Dalam hal ini, bagian ibu 1 didapat dari 1/3 dari hasil ashobah

bersama ayah. Hasil ashobah (sisa pembagian hasil waris, red) bersama

ayah jumlahnya 3. Maka 1/3 dari 3 adalah 1.

Keadaan 2 :

Apabila suami meninggal dunia dan meninggalkan istri, ayah dan

ibu. Maka perhitungan warisannya adalah sebagai berikut :

Page 168: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Ahli waris Bagian Asal masalah = 4

1. Istri ¼ 1

2. Ayah Ashobah 2

3. Ibu

1/3 dari

ashobah

bersama ayah

1

Dalam hal ini, bagian ibu 1 didapat dari 1/3 ashobah bersama ayah.

Hasil ashobah bersama ayah jumlahnya 3. Maka 1/3 dari 3 adalah 1.

Penetapan hukum bagian waris untuk ibu dalam dua kondisi

tersebut didasarkan pada firman Allah ta‟ala :

اىثيث﴾)اىساء: افل سثأب ىذ ى ن ى (11فئ

Artinya : “…jika tidak memiliki anak maka yang mewarisinya adalah

kedua orang tuanya dan ibunya mendapat sepertiga..” (An Nisaa : 11).

Page 169: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

KONSEP DASAR WAKAF

Pengertian Wakaf

Menurut bahasa Arab (literal), kata “al-waqaf” bermakna “Al-habsu”

(menahan). Bentuk mutaradif (sinonim) dari kata “waqaf” adalah tasbiis

dan tasbiil. Sedangkan menurut syariat, “al-waqaf” adalah menahan

benda yang menjadi milik pewaqaf dan menyedekahkan kemanfaatannya

di jalan Allah. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad, Wakaf adalah

menahan benda agar tidak bisa dimiliki, dan agar manfaatnya bisa di

sedekahkan. Oleh karena itu, kepemilikan benda tersebut beralih pada

kepemilikan Allah.

Menurut ulama Syafi‟iyah, waqaf dalam kotek syariah adalah

menahan harta yang mungkin bisa di manfaatkan selama bendanya masih

langgeng (awet) dengan cara memutskan hak kepemilikan atas harta

tersebut, dan dialihkan untuk kepentingan-kepentingan yang dibolehkan.

Perkataan Waqf, yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia,

berasal dari kata kerja bahasa arab waqafa yang berarti menghentikan,

berdiam di tempat atau menahan sesuatu. Pengertian menghentikan ini

(kalau) di hubungkan dengan ilmu baca al-Qur‟an (ilmu tajwid) adalah

tatacara menyebut huruf-hurufnya, dari mana dimulai dan dimana harus

berhenti. Wakaf dalam pengertian ilmu tajwid ini mengandung makna

menghentikan bacaan, baik seterusnya maupun untuk mengambil nafas

sementara. Menurut aturannya seorang pembaca tidak boleh berhenti di

pertengahan sukuk kata, harus pada akhir kata di penghujung ayat agar

bacaannya sempurna. Pengertian wakaf dalam makna berdiam ditempat,

dikaitkan dengan wukuf yakni berdiam di Arafah pada tanggal 9

Page 170: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Zulhijjah ketika menunaikan ibadah haji. Tanpa wukuf di Arafah tidak

ada haji bagi seseorang.

Pengertian menahan (sesuatu) dihubungkan dengan harta

kekayaan, itulah yang di maksud dengan wakaf dalam uraian ini. Wakaf

adalah menahan suatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan

ajaran Islam.

Landasan Hukum Waqaf

Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan

konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fisabilillah,

maka dasa yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep

wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang

menjelaskan tentang infaq fisabilillah, diantara ayat-ayat tersebut antara

lain:

“hay orang-orang yang beriman, Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian

dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang kami

keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah 2:267).

“perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang

menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih

yang enumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah

melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki, dan Allah

maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah 2:261)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk

menginfakan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan

kbaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan

Page 171: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

pahala yang berlipat ganda yang akan di peroleh orang yang

menginfakan hartanya di jalan Allah.

Selain dari ayat-ayat di atas yang mendorong manusia berbat baik

untuk kebaikan orang lain dengan membelanjakan (menyedekahkan)

hartanya tersebut di atas, menurut hadist Nabi yang diriwayatkan oleh

Muslim berasal dari Abu Hurairah, seorang manusia yang meninggal

dunia akan berhenti semua pahala amal perbuatannya, kecuali pahala tiga

amalan yaitu 1). Pahala amal Shadaqah jariyah (sedekah yang pahalanya

tetap mengalir) yang diberikan selama ia hidup, 2) pahala ilmu yang

bermanfaat (bagi orang lain) yang di ajarkannya selama hayatnya, dan 3)

doa anak (amal) saleh yakni anak yang membalas guna orangtuanya dan

mendoakan ayah ibunya kendatipun orangtuanya itu telah tiada bersama

dia di dunia ini. Para ahli sependapat bahwa yang di maksud dengan

(pahala) Sahadaqah jariyah dalam hadist itu adalah (pahala) wakaf yang

di berikannya dikala seseorang masih hidup (A.A. basyir, 1977:7).

Syarat Wakaf

1. Diwakafkan untuk selama-lamanya, tidak terbatas waktu tertentu

(disebut takbid).

2. Tunai tanpa menggantungkan pada suatu peristiwa di masa yang akan

datang. Misalnya, “Saya wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih

besar dari usaha yang akan datang”. Hal ini disebut tanjiz

3. Jelas mauquf alaih nya (orang yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki

barang yang diwakafkan (mauquf) itu

Rukun Wakaf

1. Orang yang berwakaf (wakif), syaratnya;

Page 172: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

a. kehendak sendiri

b. berhak berbuat baik walaupun non Islam

2. Sesuatu (harta) yang diwakafkan (mauquf), syartanya;

a. barang yang dimilki dapat dipindahkan dan tetap zaknya,

berfaedah saat diberikan maupun dikemudian hari

b. milki sendiri walaupun hanya sebagian yang diwakafkan atau

musya (bercampur dan tidak dapat dipindahkan dengan bagian

yang lain

3. Tempat berwakaf (yang berhaka menerima hasil wakaf itu), yakni

orang yang memilki sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah.

4. Akad, misalnya: “Saya wakafkan ini kepada masjid, sekolah orang

yang tidak mampu dan sebagainya” tidak perlu qabul (jawab) kecuali

yang bersifat pribadi (bukan bersifat umum).

Macam- Macam Wakaf

Dilihat dari penggunaan dan pemanfaatan benda wakaf terbagi

dua macam yaitu:

1. Wakaf Ahli (Wakaf Dzurri)

Wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial

dalam lingkungan keluarga / famili , lingkungan kerabat sendiri.

2. Wakaf Khairi

Wakaf yang tujuan peruntukkannya sejak semula ditujukan untuk

kepentingan orang umum (orang banyak), dalam penggunaan yang

mubah (tidak dilarang Tuhan) serta dimaksudkan untuk mendapatkan

keridhaan Allah SWT. Seperti Masjid, Mushola, Madrasah, Pondok

Pesantren, Perguruan Tinggi Agama, Kuburan, dan, lain-lain.

Page 173: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Wakaf umum inilah yang benar-benar dapat dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat serta sejalan dengan perintah agama yang

secara tegas menganjurkan untuk menafkahkan sebagian kekayaan

umat Islam untuk kepentingan umum yang lebih besar dan

mempunyai nilal pahala jariyah yang tinggi. Artinya meskipun si

Wakif telah meninggal dunia, la akan tetap menerima pahala wakaf,

sepanjang benda yang diwakafkan tersebut tetap dipergunakan untuk

kepentingan umum.

Syarat Sah Wakaf

1. Hendaknya orang yang mewakafkan adalah pemilik sah harta tersebut

2. Barang yang diwakafkan dapat dimanfaatkan

3. Barang yang diwakafkan tetap ada dan tidak habis walaupun telah

dimanfaatkan.

4. Hendaknya mewakafkan sesuatu di jalan Alloh untuk selama-

lamanya.

5. Hendaknya pemilik harta tidak memberi syarat dalam wakafnya

dengan syarat yang menyelisihi sahnya wakaf atau membatalkan

wakaf tersebut.

Misalnya, apabila seseorang mengatakan: “Aku wakafkan rumahku

untuk fakir miskin dengan syarat setelah berlalu setahun rumah itu kembali

menjadi milikku” maka wakaf tersebut tidak sah dikarenakan adanya syarat

yang membatalkan wakaf itu sendiri, sedangkan pemilik wakaf tidak

boleh menjual atau memiliki kembali harta yang telah diwakafkan.

Sebab-Sebab Bolehnya Menjual Harta Wakaf Khusus

Page 174: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

a. Bila wakaf tersebut sudah tidak lagi memberikan manfaat sesuai

dengan tujuan pewakafannya, misalnya pohon yang sudah layu yang

tak mungkin berbuah lagi

b. Benda wakaf tersebut dalam keadaan rusak, misalnya kebun yang

minim hasilnya. Kalau masih bisa menyuburkannya maka tidak di

jual. Tetapi bila hal itu tidaak mungkin dilakukan, maka barang wakaf

tersebut boleh di jual dengan syarat harus di ganti dengan harga hasil

penjualan tersebut, dengan yang baru yang menggantikan posisinya

c. Apabila pewakaf mensyaratkan bahwa bila para penerima wakaf

bersengketa, atau barang wakaf tersebut sedikit hasilnya, hendaknya

barang wakaf tersebut dijual saja.

d. Apabila dimungkinkan dengan menjual barang wakaf yang rusak

dapat memperbaiki bagian lainnya dari harga penjualan tersebut,

maka boleh dijual.

Page 175: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

WAKAF TUNAI DAN WAKAF PRODUKTIF

Sejarah Wakaf Tunai

Praktik wakaf telah dikenal sejak awal Islam. Bahkan masyarakat

sebelum Islam telah mempraktikkan sejenis wakaf, tapi dengan nama lain,

bukan wakaf. Karena praktik sejenis wakaf telah ada di masyarakat

sebelum Islam, tidak terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai

kelanjutan dari praktik masyarakat sebelum Islam. Sedang wakaf tunai

mulai di kenal pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir. Pada masa dinasti

Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf sangat menggembirakan. Pada

masa ini, wakaf tidak hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tapi juga

benda bergerak semisal wakaf tunai. Tahun 1178 M/572 H, dalam rangka

menyejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni, Salahuddin

Al-Ayyuby menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari

Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada

penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandar itu membayar bea

cukai dalam bentuk barang atau uang? Namun lazimnya bea cukai

dibayar dengan menggunakan uang. Uang hasil pembayaran bea cukai itu

dikumpulkan dan diwakafkan kepada para fuqaha‟ (juris Islam) dan para

keturunannya.

Selain memanfaatkan wakaf untuk kesejahteraan masyarakat

seperti para ulama, dinasti Ayyubiyah juga memanfaatkan wakaf untuk

kepentingan politiknya dan misi alirannya, yaitu mazhab Sunni dan

mempertahankan kekuasaannya. Dinasti Ayyubiyah juga menjadikan

harta milik negara yang berada di baitul maal sebagai modal untuk

diwakafkan demi pengembangan madzhab Sunni untuk menggantikan

mazhab Syi‟ah yang dibawa dinasti sebelumnya, dinasti Fathimiyah.

Salahuddin Al-Ayyuby juga banyak mewakafkan lahan milik negara

Page 176: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah)

untuk pengembangan madrasah mazhab Asy-Syafi‟i, madrasah mazhab

Maliki, dan mazhab Hanafi dengan dana melalui model mewakafkan

kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab

Syafi‟i dan kuburan Imam Syafi‟i dengan cara mewakafkan kebun

pertanian dan pulau al-Fil.

Mewakafkan harta milik negara seperti yang dilakukan Salahuddin

Al-Ayyubi boleh. Penguasa sebelum Salahuddin, Nuruddin Asy-Syhaid

mewakafkan harta milik negara. Nuruddin mewakafkan harta milik

negara, karena ada fatwa yang dikeluarkan oleh ulama pada masa itu,

Ibnu „Ishrun dan didukung oleh ulama lainnya, bahwa mewakafkan harta

milik negara hukumnya boleh (jawaz). Argumentasi kebolehannya ialah

untuk memelihara dan menjaga kekayaan negara.

Dinasti Mamluk juga mengembangkan wakaf dengan pesatnya.

Apa saja boleh diwakafkan dengan syarat dapat diambil manfaatnya.

Tetapi yang banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian

dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat

belajar. Juga, pada masa dinasti Mamluk terdapat hamba sahaya (budak)

yang diwakafkan untuk merawat lembag-lembaga agama. misalnya

mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini

dilakukan pertama kali oleh penguasa dinasti Usmani ketika

menaklukkan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk

merawat masjid. Dinasti Mamluk memanfaatkan wakaf sebagaimana

tujuan wakaf, yaitu wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf

umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan

mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Wakaf yang

digunakan untuk lebih menyemarakkan syi‟ar Islam adalah wakaf untuk

sarana di Haramain, Mekkah dan Madinah seperti kain Ka‟bah (kiswatul

Page 177: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

ka‟bah). Raja Shaleh bin al-Nasir misalnya membeli desa Bisus lalu

diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka‟bah setiap tahunnya dan

mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun

sekali.

Dinasti Mamluk telah merasa bahwa wakaf telah menjadi tulang

punggung dalam roda ekonominya, karena itu mereka memberi perhatin

khusus terhadap wakaf. Bahkan mereka mengeluarkan kebijakan dengan

mensahkan Undang-undang Wakaf. Undang-undang Wakaf pada dinasti

Mamluk dimulai sejak Raja Al-Dzahir Bibers Al-Bandaq (1260-1277

M/658-676 H), dimana dengan Undang-undang tersebut Raja Al-Dzahir

memilih hakim untuk mengurusi wakaf dari masing-masing empat

mazhab Sunni. Pada masa kekuasaan Al-Dzahir, perwakafan dibagi

menjadi tiga kategori: pendapatan negara dari hasil wakaf yang diberikan

oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf yang

membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan

masyarakat umum.

Penyebarluasan peraturan perwakafan semakin intensif dan

semakin mudah dilakukan oleh kerajaan Turki Usmani. Hal ini terjadi

karena kerajaan Turki Usmani mampu memperluas wilayah

kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah

negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih dinasti Usmani ini secara

otomatis mempermudah dipraktikkannya Syariat Islam, misalnya

peraturan tentang perwakafan. Di antara undangundang yang

dikeluarkan pada masa dinasti Usmani ialah peraturan tentang

pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19

Jumadil Akhir tahun 1280 H. Undang-undang tersebut mengatur tentang

pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya

Page 178: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi

wakaf dari sisi administratif dan perundangundangan.

Tahun 1287 H juga dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan

tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Usmani dan tanah-

tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang

tersebut di negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan

dipraktikkan hingga kini. Wakaf terus dilaksanakan di negara-negara

Islam hingga sekarang, tidak terkecuali Indonesia. Hal ini tampak dari

kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam itu telah

diterima (diresepsi) menjadi hokum adat bangsa Indonesia sendiri. Dan

juga di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda

bergerak atau benda tidak bergerak. Di negara-negara Islam lainnya,

wakaf mendapat perhatian yang serius, sehingga wakaf menjadi amal

social yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat umum.

Wakaf akan terus mengalami perkembangan dengan berbagai inovasi

yang signifikan seiring dengan perubahan zaman, semisal bentuk wakaf

tunai, wakaf HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) dan lain-lain. Indonesia

juga menaruh perhatian yang serius terhadap wakaf. Hal ini tampak

dengan diajukannya Rancangan Undang-undang Wakaf (RUU) yang

sudah ditandatangani presiden Megawati Sukarnoputri dan segera

diundangkan dalam waktu dekat sebagai upaya pengintegrasian terhadap

beberapa peraturan perundang-undangan wakaf yang terpisah.

Sejarah Wakaf Produktif

Suatu ketika Umar bin Khatab mendapatkan sebidang tanah di

Khaibar. Beliau ingin memanfaatkan tanah tersebut sebaik-baiknya. Umar

berkonsultasi kepada Rasulullah SAW “ya Rasulullah, saya mendapatkan

sebidang tanak di Khaibar, apa yang engkau perintahkan kepadaku?”

Rasulullah menjawab pertanyaan Umar, “Bila kamu suka kamu tahan

Page 179: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

(pokoknya).” Kemudian Umar mengelola (nazhir) tanah tersebut. hasil

pengelola tanah tersebut, disedekahkan Umar kepada orang-orang fakir,

kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Pengelola

(nazhir) tanah tersebut juga berhak makan dari hasilnya. Namun tanah

tersebut tidak dijual, tidak diwariskan dan juga tidak dihibahkan.

Kemudian Abu Thalhah mengikuti langkah Umar dengan

mewakafkan kebun kesayangannya yang terkenal subur. Kualitas sahabat

Nabi yang selalu Fastabiqul Khoirots menjadikan wakaf membudaya.

Mereka berlomba mewakafkan harta mereka. Lalu wakaf pun dilakukan

oleh Abu Bakar, Utsman, Ali dan Mua‟dz bin jabal mewakafkan

rumahnya yang popular di sebut Dar Al-Anshara‟. Kemudian wakaf

disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan

Aisyah istri Rasulullah SAW. Praktek wakaf semakin luas pada masa

dinasti Umayyah dan dinasti Abasiyah, umat Islam berduyun-duyun

melaksanakan wakaf. Pemanfaatannya pun semakin luas. tidak hanya

untuk fakir miskin, tetapi juga menjadi modal membangun lembaga

pendidikan, perpustakaan dan sebagainya. Bahkan wakaf juga mampu

membayar gaji para guru, staff hingga beasiswa untuk para siswa dan

mahasiswa. Peranan wakaf semakin dirasakan.

Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy seorang hakim Mesir pada masa

khalifah hisyam bin Abdul Malik tertarik dengan pengembangan lebih

luas lagi. Taubah bin Ghar membentuk lembaga wakaf tersendiri dibawah

pengawasan hakim. Berdirilah lembaga wakaf teradministrasi pertama di

Mesir. Lembaga wakaf teradministrasi yang didirikan oleh taubah bin

Ghar bukan hanya yang pertama di Mesir namun juga menjadi yang

pertama di dunia Islam. Hakim Taubah bin Ghar juga mendirikan

lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di

bawah Departemen Kehakiman. Lembaga wakaf tersebut mampu dikelola

dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang

Page 180: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

membutuhkan. Umat merasakan manfaatnya. Pada masa dinasti

Abasiyyah lembaga wakaf disebut “Shodr Al-Wuquuf”yang mengurus

administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Pada masa

Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, perkembangan wakaf cukup

menggembirakan, kesadaran terhadap wakaf semakin marak. Pada masa

Shalahuddin hampir semua tanah-tanah pertanian di Mesir menjadi harta

wakaf. Dikelola oleh Negara dan menjadi milik Negara (Baitul Mal)

Definisi Wakaf Tunai

Wakaf tunai (Bash Wakaf / Waqf Al-Nuqud) di Indonesia baru

mendapat dukungan Majelis Ulama Indonesia pada tahu 2002 dengan

Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Wakaf

Uang. Dalam Fatwa Majelis Ulama tersebut dijelaskan definisi dari wakaf

uang itu sendiri, yaitu wakaf yang dilakkukan seseorang, kelompok

orang, lembaga atau badan hokum dalam bentuk uang tunai. Termasuk

ke dalam pengertian uang tersebut adalah surat-surat berharga. Definisi

lain tentang wakaf tunai yaitu berwakaf dengan menggunakan uang tunai

uang dikumpul di dalam satu tabung amanah di bawah pengurusan nazir

yang diamanahkan untuk mengurus wakaf ini bagu tujuan kebajikan dan

manfaat ummah.

Selintas wakaf tunai ini tampak seperti instrumen keuangan Islam

lainnya yaitu zakat, infaq, sedekah (ZIS). Namun terdapat perbedaan

yaitu berbeda dari segi penerimanya, ZIS bias saja berhak dibagi-bagikan

langsung dana pokoknya kepada pihak yang berhak. Sementara pada

wakaf uang,uang pokoknya akan diinvestasikan terus-menerus, sehingga

umat memiliki dana yang selalu ada dan insya Allah bertambah terus

seiring dengan bertambahnyajumalh wakif yang beramal, baru kemudian

keuntungan investasi dari pokok itulah yang akan mendanai kebutuhan

rakyt miskin. Oleh karena itu instrument wakaf tunai dapat melengkapi

Page 181: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

ZIS sebagai instrument penggalagan dana masyarakat. Secara umumna

wakaf tunai ini dilaksanakan untuk mengumpulkan dana dari kalangan

umat islam yang kemudiannya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan

pembangunan ummah.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf tunai.

Imam Al-Bukhari (wafat tahun 2526 H) mengungkapkan bahwa Iman Az-

Zuhri (wafat tahun 124 H) berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata

uang yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah

dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal usaha (dagang),

kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Wahbah Az-

Zuhaili juga mengungkapkan bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf

tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-„Urfi, karena sudah

banyak dilakukan masyarakat. Mazhab Hanafi memang berpendapat

bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan „urf (adat kebiasaan)

mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan

berdasarkan nash (teks). Dasar argumentasi mazhab Hanafi adalah hadis

yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas‟ud, r.a:

“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan

Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka

dalam pandangan Allah pun buruk”.

Cara melakukan wakaf tunai (mewakafkan uang), menurut

mazhab Hanafi, ialah dengan menjadikannya modal usaha dengan cara

mudharabah atau mubadha‟ah. Sedang keuntungannya disedekahkan

kepada pihak wakaf.

Page 182: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf tunai yang dikatakan

merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang

berlaku di wilayah Romawi, sedangkan di negeri lain wakaf tunai bukan

merupakan kebiasaan. Karena itu Ibn Abidin berpandangan bahwa wakaf

tunai tidak boleh atau tidak sah. Yang juga berpandangan bahwa wakaf

tunai tidak boleh adalah mazhab Syafi‟i. Menurut Al-Bakri, mazhab Syafi‟i

tidak membolehkan wakaf tunai, karena dirham dan dinar (baca: uang)

akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya.

Perbedaan pendapat di atas, bahwa alasan boleh dan tidak

bolehnya wakaf tunai berkisar pada wujud uang. Apakah wujud uang itu

setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula, terpelihara,

dan dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama? Namun

kalau melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang

sekarang, sangat mungkin untuk melaksanakan wakaf tunai. Misalnya

uang yang diwakafkan itu dijadikan modal usaha seperti yang dikatakan

oleh mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam wujud saham di

perusahaan yang bonafide atau didepositokan di perbankan Syari‟ah, dan

keuntunganya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Wakaf tunai yang

diinvestasikan dalam wujud saham atau deposito, wujud atau lebih

tepatnya nilai uang tetap terpelihara dan menghasilkan keuntungan

dalam jangka waktu yang lama.

Definisi Wakaf produktif

Pada dasarnya wakaf itu produktif dalam arti harus menghasilkan

karena wakaf dapat memenuhi tujuannya jika telah menghasilkan,

dimana hasilnya dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya (mauquf

alaih). Tentu wakaf ini adalah wakaf produktif dalam arti mendatangkan

aspek ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Ironinya, di Indonesia

banyak pemahaman masyarakat yang mengasumsikan wakaf adalah

Page 183: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

lahan yang tidak produktif bahkan lahan mati yang perlu biaya dari

masyarakat seperti kuburan, masjid dan lain sebagainya.

Wakaf produktif adalah sebuah skema pengelolaan donasi wkaf

dari umat, yaitu dengan memproduktifkan donasi tersebut, hingga

mampu menghasilkan surplus yang berkelanjutan. Donasi wakaf dapat

berupa benda bergerak, seperti uang dan logam mulia, maupun benda

tidak bergerak seperti, tanah dan bangunan. Surplus wakaf produktif

inilah yang menjadi sumber dana abadi bagi pembiayaan kebutuhan

umat, seperti pembiayaan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang

berkualitas. Selain itu wakaf produktif dapat didefinisikan pula dengan

wakaf harta yang digunakan untuk kepentingan produksi, baik di bidang

pertanian, perindustrian, perdagangan dan jasa yang manfaatnya bukan

pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih hasil

pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak

sesuai dengan tujuan wakaf. Disini, wakaf produktif diolah untuk dapat

menghasilkan barang atau jasa kemudian dijual dan hasilnya

dipergunakan sesuai dengan tujuan wakaf.

Dasar Hukum Wakaf

Pada dasarnya wakaf itu produktif dalam arti harus menghasilkan

karena wakaf dapat memenuhi tujuannya jika menghasikan dimana

hasilnya dapat dimanfaatkan sesuai dengan (mauquf laih). Sama halnya

dengan wakaf tanah, dasar wakaf uang tentunya juga adalah Al-Qur‟an,

Hadis, dan Ijma‟ ulama (bandingan Abdul Ghofur Anshori, 2005: 91).

Dasar Hukum wakaf uang juga bersumber pada Al-Quran yaitu:

1. Al-Quran Surah Ali Imran ayat; 92

Page 184: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)

sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai. Dan

apasasaja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah

mengetahuuinya”

2. Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat: 262

“Perumpaan (nafkah yang dikeluakan oleh) orang yang menafkahkan

hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang

menumbuhkan tujuhbutir, pada tiap-tiap butir: seratus biji, Allah

melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah

Maha Luas karunia-Nya lagi MahaMengetahui. Orang yang

menafkahkan hartanya dijalan Allah, kemudian mereka menggiringinapa

yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan

dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala

disisi Tuhan mereka. Tidak kekhawatirkan terhadap mereka dan tidak

(pula) mereka bersedih hati.”

Kemudian Hadis yang dipakai sebagai dasar hukum wakaf uang

yang juga menjadi rujukan Majelis Ulama Indonesia dalam memfatwakan

wakaf uang, yaitu:

1. Hadis Riwayat Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa‟I dan Abu Daud

diriwayatkan dari Abu Hurairah ra,bahwa Rasulullah saw. Bersabda:

“Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal

perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu

pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak sholeh yang

mendoakannya.”

2. Hadist Riwayat Al Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa‟I

diriwayakan dari Ibnu Umar ra, bahwa Umar bin al Khattab ra,

memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi

Page 185: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

saw., untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata

“Wahai Rasulullah! Saya memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah

saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, apa

perintah Engkau (kepadaku) mengenainya/” Nabi saw., menjawab: “Jika mau,

kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.

Ibnu Umar berkata, “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut,

(dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak

dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya

kepada fugara, kerabat riqab (hamba sahaya, orang tertindas),

sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak erdosa atas orang yang

mengelolanya untuk memamakn diri (hasil) tanah itu secara ma‟ruf

(wajar) dan member makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya

sebagai hak milik.

Rawi berkata, “Saya menceritakan kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata

„ghaira muta‟tstsilin malan (tanpa menyimpannya sebagai harta hak

milik”.

Dikemukakan pula oleh berbagai pendapat para ulama yang

menjadai rujukan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam

memfatwakan wakaf uang tersebut, yaitu.

a. Pendapat Imam Al-Zuhri (wafat 124 H) bahwa mewakafkan dinar

hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagao

modal usaha, kemudian keuntungannya disalurkan pada

mauquf‟alaih.

b. Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi membolehkan wakaf uang

dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar istihsan bi al-„urfi,

berdasarkan atsar Abdullah bin Mas‟ud ra., bahwa “apa yang

Page 186: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandanagan Allah

adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin,

maka buruk juga dalam pandangan Allah”.

c. Pendapat sebagian ulama mazhab ulama Imam Asy-Syafi‟I, dimana

„Abu Tsyar meriwayatkan dari Imam Asy-Syafi‟I tentang kebolehan

wakaf dinar dan dirham (uang).

Sebelum memfatwakan wakaf uang, MUI juga mempertimbangkan

hal-hal tersebut:

a. Bahwa bagi mayoritas umat Islam di Indonesia, pengertian wakaf yang

diketahui, antara lain, yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan

tanpa lenyap badanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum

terhadap benda tersebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak

haram) yang ada (Al-Ramli dalam Nihayah Al-Muhtaj ila Syarth Al-

Minhaj; Al-Khatib Al-Syarbaini dalam Mughni al-Muhtaj).

b. Bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan

kemashlahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain;

c. Bahwa oleh karena itu, Komisi fatwaMUI memandang perlu

menetapkan mengenai fatwa tentang hukum wakaf uang untuk

dijadikan pedoman oleh masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan di atas dengan merujuk kepada dasar

hukum dan pendapat para ulama diatas serta memperhatikan pandangan

dan pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada tanggal 23 Maret 2002,

antara lain tentang perlunya dilakukan peninjauan dan

(openyempurnaan) definisi wakaf yang telah umum diketahui, dengan

memperhatikan maksud antara lain riwayat dari Ibnu Umar ra., Komisi

Fatwa MUI pada tanggal 28 Shafar 1423 H yang bertetapan 11 Mei 2002,

Page 187: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

memfatwakan , bahwa wakaf uang hukum nya jawaz (boleh) dan hanya

boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara

syar‟I serta nilai pokok uang tersebut harus dijamin kelestariannya, tidak

boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. M. A. Mannan

pendiri Social Investmen Bank Ltd (SIBL) yang berjudul Structural

Adjustments and Islamic Voluntary Sector with Special Reference to

Wakaf in Bangladesh yang dipublikasikan oleh Islamic Development

Bank, Jeddah, tahun 1995 menyatakan, bahwa wakaf uang dikenal dengan

dalam Islam sebagai ditemukan di era Ottoman dan Mesir. Sementara

Negara Turky memiliki suatu sejarah yang cukup panjang dalam

pengelolaan wakaf uang (Abdul Ghofur Anshori,2005; 94)

Rukun dan Syarat Wakaf Uang

Pada dasarnya rukun dan syarat wakaf uang adalah sama dengan

rukun dan syarat wakaff tanah. Adapun rukun wakaf uang, yaitu :

a. Ada orang yang berwakaf (wakif);

b. Ada harta yang diwakafkan (mauwuf)‟

c. Ada tempat kemana diwakafkan harta itu/tujuan wakaf (mauquf

„alaih) atau peruntukan harta benda wakaf;

d. Ada akad/pernyataan wakaf (shighat) atau ikrar wakaf (bandingkan

Abdul Ghofur Anshori, 2005; 94)

Masing-masing rukun ini mempunyai syarat-syarat tertentu yang

haus dipenuhi, sperti syarat yang pertama, yaitu wakif, harus merdeka,

berakal sehat,dewasa, idak dilarang melakukan tindakan hokum seperti

tidak berad dibawah pengampunan karena boron atau lalai, rukun ke-dua

adalah harta yang diwakafkan harus merupakan benda tetap karena

Page 188: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

bersipat selamanya, namun menurut golongan maliiyah dan syiah

imamiyah, boleh wakaf benda yang tidak tetap karena menurut mereka

boleh wakaf dengan jangka waktu tertentu.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 terdapat tambahan

unsur atau rukun wakaf, yaitu

1. Ada orang yang menerima harta yang diwakafkan dari wakif sebagai

pengelola wakaf

2. Ada jangka waktu wakaf tertentu (waktu tertentu)

Rukun wakaf (unsur-unsur wakaf) tersebut harus memenuhi

syaratnya masing-masing sebagaimana pada wakaf tanah. Adapun yang

menjadi syarat umum sahnya wakaf uang adalah:

1. Wakaf harus kekal (abadi) dan terus menerus;

2. Wakaf harus dilakukan secara tunai, tanpa digantungkan kepada akad

terjadinya sesuatu peristiwa dimasa yang akan datang, sebagi

pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik seketika setelah makif

menyatakan berwakaf

3. Tujuan wakaf harus jelas, maksudnya hendaklah wakaf itu disebutkan

dengan terang kepada siapa diwakafkan;

4. Wakaf merupakan hal yang harus dilaksanakan tanpa syarat boleh

khiyar, artinya tidak boleh membatalkan atau melangsungkan wakaf

yang telah dinyatakan sebab pernyataan wakaf berlaku tunai dan

untuk selamanya (Abdul Ghofur,2005; 95)

Perlakuan Terhadap Harta Wakaf

Ada 2 perlakuan terhadap harta wakaf, yaitu : Ibdal adalah

Menjual barang wakaf untuk membeli barang lain sebagai gantinya

Page 189: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

(penukaran).Sedangkan Istibdal adalah Menjadikan barang lain sebagai

pengganti barang wakaf asli yang telah dijual (penggantian). Beberapa

pendapat yang menjelaskan tentang boleh atau tidaknya melakukan Ibdal

dan Istibdal:

Madzhab Hanafiyah

Menurut Madzhab Hanafiyah, Istibdal barang wakaf itu hukumnya

boleh ,karena dua alasan :

1. Karena ada syarat dari wakif, seperti ketika dia berikrar wakaf

mengatakan : “saya mewakafkan tanah saya ini dengan syarat

sewaktu-waktu saya atau orang yang mewakili sya dapat menukarnya

denga tanah lain sebagai penggantinya”. Syarat wakif ini sangat

menentukan dalam penukaran wakaf, baik jenis barang wakaf atau

tempatnya. Sebagai contoh, jika wakif memberi syarat : “saya berikrar

wakaf tanah pertanian ini, dengan syarat saya atau orang yang

mewakili saya dapat menukar wakaf ini dengan tanah pertanian lain,

atau dengan atau dengan bangunan di desa ini sebagai penggantinya”.

Maka dalam pelaksanaan Istibdal, tidak boleh tanah pertanian wakaf

tersebut diganti dengan tanah bangunan. Juga tidak boleh

menukarnya dengan bangunan yang berada di desa lain, karena hal itu

menyimpang dari syariat.

2. Karena keadaan darurat atau karena maslahah, seperti tanah wakaf

yang tidak dapat ditanami (sabkhah), dan tidak dapat memberi hasil

dan manfaat apa-apa sehingga “mauquf alaih” tidak menerima

manfaat hasilnya, atau hasilnya menyusut tidak cukup untuk biaya

perawatan dan pengelolaanya, maka pemerintah/hakim boleh

menukarnya dengan tanah atau barang wakaf lain sebagai

penggantinya, meskipun ada syarat atau tidak ada syarat dari si wakif.

Page 190: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Demikian pula halnya apabila wakaf itu berua rumah atau took

yang dindingnya sudah rapuh dan bangunan itu sudah doyong hampir

roboh, atau sebagian bangunan tersebut sudah rusak sehingga tidak dapat

lagi diambil manfaatnya, sedangkan wakaf itu tidak mempunyai dana lain

untuk merenovasinya, dan tidak ada orang yang bersedia menyewa

bangunan wakaf tersebut dalam waktu yang lama dengan membayar

sewanya lebih dulu, sehingga dapat digunakan untuk merenovasinya.

Maka pemerintah/hakim boleh menukar dengan barang lain sebagai

ganti barang wakaf tersebut.

Ada beberapa penjelasan para ulama Hanafiyah tentang beberapa

perkara yang masih berkaitan dengan istibdal, antara lain:

1. Wakif mensyaratkan istibdal (penggantian) terhadap dirinya sendiri

atau beserta orang lain.

Setelah penggantian yang pertama, wakif tidak diperbolehkan

mengganti barang wakaf untuk yang kedua kalinya, karena masa

berlaku syarat isdtibdal yang ditentukannya sudah habis. Kecuali

jika ia menyatakan bahwa haknya melakukan istibdal bisa

dilakukan berulang-ulang.

Jika wakif berkata: “Saya mewakafkan tanah ini dengan syarat di

suatu hari saya berhak untuk menjual tanah ini guna membeli

tanah yang baru lagi,” kemudian ia tidak berkata apa-apa lagi,

maka menurut qiyas wakafnya dianggap batal. Hal ini disebabkan

wakif tidak tidak menyatakan maksud hatinya untuk

menjadikantanah kedua sebagai pengganti wakaf tanah yang

pertama. Berbeda dengan konsep qiyas, istihsan menganggap

praktik ini boleh dan sah dengan dasar bahwa selama tanah yang

pertama dikhususkan untuk wakaf. Sehingga harga yang

Page 191: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

didapatkan dari penjualannya pun seolah-olah menggantikan

kedudukannya sebagai wakaf. Jika uang tersebut dibelikan tanah

lagi, maka otomatis menjadi tanah wakaf sesuai syarat-syarat pada

wakaf tanah yang pertama.

Jika wakif mensyaratkan penggantian dengan tanah, maka ia tidak

berhak menggantinya dengan rumah. Demikian juga sebaliknya,

karena ia tidak memiliki hak penggantian syarat. Jika tidak

menentukan dengan apa penggantinya, maka bebas dengan harta

bergerak apapun. Jika ia membatasinya dengan suatu wilayah,

maka tidak boleh keluar dari wilayah tersebut.

Jika wakif mensyaratkan penggantian untuk orang lain beserta

dirinya, maka wakif berhak melakukan penggantian itu sendirian.

Tetapi, tidak demikian bagi orang lain yang ditentukannya

tersebut, karena wakiflah yang memasukannya dalam syarat itu.

Jika ia mensyaratkan penggantian dalam wakaf, lalu ia menjualnya

dan menghibahkan harganya, maka hibah tersebut sah, tapi ia

harus mengganti harganya. Ini menurut pendapat Abu Hanifah.

Sedangkan Abu Yusuf menyatakan bahwa hibah tersebut tidak sah.

Jika wakif mensyaratkan hak istibdal bagi dirinya, lalu ia menjual

tanah wakaf, namun tanah itu kembali kepadanya karena adanya

faskh (pembatalan/penarikan kembali), maka ia boleh menjualnya

lagi untuk kedua kalinya, karena penjualan pertama dianggap

tidak pernah ada. Akan tetapi, apabila kembalinya tanah itu karena

adanya akad baru, maka ia tidak boleh menjualnya. Sebab hal itu

dianggap sebagai pembelian baru dan tanahnya kembali menjadi

tanah wakaf.

Page 192: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Jika seseorang berwakaf dan mensyaratkan untuk istibdal kepada

dirinya, maka hanya ia sendirilah yang berhak melakukan istibdal.

Bila ia berwasiat kepada orang lain bahwa ia punya hak istibdal,

maka orang tersebut tidak berhak melakukan istibdal, kecuali bila

si wakif mensyaratkannya ketika masih hidup.

Jika dalam permulaan akadnya wakif berkata: “Si Fulan berhak

menjual barang wakaf dan atau menggantinya,” namun di akhir

akad ia berkata: “Si Fulan tidak berhak menjual barang wakaf,”

maka Fulan tidak boleh menjualnya, sebab wakif telah menarik

kembali perkataan pertama dan membatalkannya dengan

perkataan yang kedua, yaitu bahwa Fulanb tidak berhak

menjualnya.

2. Wakif diam dan tidak mensyaratkan istibdal, sedangkan barang

wakaf itu lama-kelamaan menjadi kurang produktif, bahkan

hasilnya tidak dapat menutup biaya pengelolaannya.

Mayoritas ulama Hanafiyah memperbolehkan praktik istibdal

(penggantian). Ibn Abidin mengatakan: “Menurut pendapat yang

paling benar, istibdal seperti itu dapat disahkan atas kebijakan hakim

dengan adanya maslahat yang terkandung di dalamnya.”

Qadhikhan mengatakan: “Apabila wakif tidak mensyaratkan

istibdal kepada siapapun, maka yang berhak melakukan mengganti

barang wakaf hanyalah hakim[3] dengan berpijak pada kemaslahatan

bersama.”

Pengarang kitab Al-Dzakhirah menyatakan: “Diriwayatkan dari Ali

bin Abi Thalib, beliau mewakafkan rumah untuk Hasan dan Husein.

Lalu ketika berangkat menuju Shiffin beliau berkata: „Andai rumah

Page 193: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

mereka itu dijual dan hasilnya dibagikan, tentunya akan lebih

bermanfaat.‟”

Hadist (atsar) inilah yang menjadi sandaran hukum mayoritas

fuqaha Hanafiyah. Meski begitu, masih ada sebagian ulama yang

berpendapat lain dan melarang penggantian barang wakaf selama

tidak disyaratkan oleh wakif dalam akadnya, seperti Hilal, Al-Nasafi

dan Al-Sarkhasi. Syekh Imam Zahiruddin dan Qadhikhan pernah

berfatwa memperbolehkannya, namun fatwa itu dicabut kembali.

3. Wakif tidak menyinggung syarat istibdal, sementara kondisi barang

masih dapat dimanfaatkan, namun di sisi lain ada barang yang lebih

baik dan menjanjikan.

Ibn Abidin mensinyalir adanya silang pendapat di kalangan

Hanafiyah. Dalam hal ini pendapat yang paling sahih- barang

wakaf tidak boleh diganti. Ibn Najm menjelaskan, perbedaan pendapat

dalam kategori ini hanya menyangkut barang wakaf yang berbentuk

tanah, yaitu apabila tanah tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi.

Hukum ini tidak berlaku pada barang wakaf berbrntuk rumah yang

salah satu bagian sisinya telah rusak, sedangkan sisi lainnya masih

dapat dimanfaatkan. Dalam kondisi ini, semua ulama menfatwakan

pelarangan istibdal.

Wakif berhak mensyaratkan atau tidak mensyaratkan istibdal. Jika

wakif mensyaratkan istibdal sebagai langkah antisipasi rusak atau

menurunnya produktivitas barang wakaf, maka semua ulama

menetapkan konsensus tentang sahnya istibdal.

Konsensus ini tidak berlaku apabila ternyata syarat istibdal yang

diucapkan wakif berlaku jika seandainya barang yang diwakafkan

Page 194: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

masih dalam keadaan baik. Ini menyalahi aturan karena aturan asal

yang wajib kita pegang adalah membiarkan barang wakaf –seperti

adanya- tanpa boleh menggantinya, kecuali bila ada yang

mengizinkan penggantiannya. Yaitu syarat dan dharurah, sementara

dalam hal ini kita tidak menemukan adanya indikasi darurat.

Madzhab Malikiyah

Madzab Malikiyah melarang terjadinya Istibdal dalam dua hal:

1. Apabila barang wakaf itu berupa masjid. Dalam hal melarang Istibdal,

masjid ini terjadi kesamaan antara imam-imam madzhab: Imam Abu

Hanifah bin Nu‟ man. Imam Malik bin Anas, dan Imam Muhammad

bin Idris As-Syafi‟i, kecuali Imam Ahmad bin Hambal yang

membolehkan menukar masjid dengan tanah lain yang dipakai untuk

membangun masjid.

2. Apabila barang wakaf itu berupa tanah yang menghasilkan, maka

tidak boleh menjualnya atau menukarnya, kecuali karena ada

dharurah (darurat), seperti untuk perluasan masjid, atau untuk jalan

umum yang dibutuhkan masyarakat atau untuk kuburan sebab hal

tersebut merupakan kemaslahatan umum (al-mashalih al-„ aammah).

Karena apabila barang wakaf tersebut tidak dapat ditukar atau dijual

untuk memnuhi kemaslahatan umum tadi, maka masyarakat akan

mengalami kesulitan, padahal mempermudah ibadah bagi masyarkat

atau lalulintas mereka, atau memudahkan menguburkan mayat-mayat

adalah suatu hal yang wajib.

Keterangan dari kitab at-Taaj wal Iklil, yang dikutip oleh Abu

Zahroh mengatakan “Tidak dilarang menjual rumah yang diwakafkan

atau barang lainnya, dan pemerintah (as-Sulthan) boleh memaksa

penduduk untuk menjualnya, apabila memang diperlukan untuk

Page 195: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

keperluan masjidnya (yang digunakan untuk sholat Jum‟ah), demikian

juga halnya jika dibutuhkan perluasan jalan.

Ibnu Rusyd berpendapat, bahwa apabila tanah wakaf itu sudah

tidak memberikan hasil dan tidak mampu membangunnya kembali atau

menyewakannya, maka tidak dilarang menukarnya dengan tanah lain

(yang menghasilkan) sebagai penggantinya. Namun penukaran tersebut

harus mendapat persetujuan pemerintah (al-Qadli) setelah jelas alasannya

dan harus dicatat dan ada saksi.

Adapun Istibdal barang wakaf yang bergerak (waqfu al-manqul)

menurut madzhab Malikiyah hukumnya boleh, sebab kalau Istibdal

dalam hal ini (waqfu al manqul) dilarang, dapat menimbulkan kerusakan.

Karena itu mereka menetapkan bahwa apabila wakaf itu berupa hewan

yang sudah tidak berdaya, lemah atau sakit-sakitan, atau pakaiannya

yang lapuk, maka boleh dijual dan dari hasil penjualan itu dibelikan

barang lain sebagai penggantinya. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa

ia mengatakan : “Hewan wakaf untuk sabilillah yang sudah tidak

berdaya/lemah, sehingga tidak kuat lagi untuk perang, maka dijual saja

dan hasil penjualannya itu dibelikan kuda yang bias memberi manfaat” .

Madzhab Syafi’iyah

Madzhab Syafi‟iyah tidak jauh berbeda pendapatnya dengan

madzhab Malikiyah yakni bersikap mempersempit/mempersulit

terhadap bolehnya Istibdal, demi menjaga kelestarian barang wakaf,

apalagi banyak kasus-kasus Istibdal di Mesir pada masa Imam As-Syafi‟I

berada di sana yang disalahgunakan oleh penguasa (Amir) dan pejabat

hokum (Qadli) seperti yang diceritakan Abu Zahrah di muka.

Mazhab Hanabilah

Page 196: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Dipandang sebagai madzhab yang banyak memberikan

kelonggaran dan kemudahan terhadap Istibdal wakaf, meskipun pada

dasarnya tidak berbeda jauh dari tia madzhab yang lain yaitu sedapat

mungkin mempertahankan (istibqa‟) keberadaan barang wakaf tetap

seperti semula, mengikuti prinsip dasar wakaf yakni “habsul Ashli”.

Namun apabila terjadi perubahan kondisibarang wakaf itu seperti

hilangnya kedayagunaan dan kemanfaatannya atau ada situasi darurat

yang menimpa barang wakaf.

Diantara empat madzhab tersebut, disamping ada perbedaan-

perbedaannya, juga ada persamaan-persamaannya, antara lain :

1. Sedapat mungkin barang wakaf harus dijaga kelestariaannya dan

dilindungi keberadaannya.

2. Penukaran atau penjualan barang wakaf hanya dibolehkan apabila ada

alasan darurat atau untuk mempertahankan manfaatnya.

3. Penukaran (al-Istibdal) maupun penjualan (al-bai‟) barang wakaf harus

dilakukan oleh pemerintah (qadli atau hakim), paling tidak seizin

pemerintah.

4. Hasil penukaran maupun penjualan barang wakaf harus diwujudkan

menjadi barang wakaf penggantinya.

Di Indonesia pun terdapat pembaharuan terhadap paham tentang

wakaf yang diatur dalam peraturan pemerintah dalam pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Adapun perlakuan

pembaharuan paham yang selama ini sudah dan sedang dilakukan oleh

para pihak yang berkepentingan dengan wakaf adalah : Pertama,

sertifikasi tanah wakaf. Upaya sertifikasi tanah wakaf terhadap tanah-

tanah wakaf yang belum memiliki sertifikasi adalah bentuk pembaharuan

paham di lingkungan masyarakat muslim di Indonesia, bahwa wakaf

Page 197: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

adalah sah jika dilakukan secara lisan tanpa dikatakan secara resmi

kepada administrasi pemerintahan. Fenomena yang banyak terjadi

sebelum UU No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 28 Tahun 1977 hingga lahirnya

UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf adalah perbuatan wakaf yang

dilakukan hanya dengan faktor kepercayaan kepada salah satu tokoh

agama yang diangkat sebagai Nazhir. Dengan adanya praktek wakaf

secara tradisional menimbulkan masalah-masalah baru, seperti hilangnya

benda-benda wakaf, dijadikan rebutan oleh para ahli waris Nazhir, obyek

persengketaan para pihak yang berkepentingan, ketidakjelasan status

benda wakaf sehingga mengakibatkan tidak dikelola secara baik. Untuk

itu pula, sertifikasi tanah-tanah atau benda wakaf lainnya merupakan

upaya memperbaharui paradigma baru dalam pelaksanaan perwakafan di

Indonesia.

Kedua, pertukaran benda wakaf. Ditegaskan pada UU No. 41

Tahun 2004 tentang Wakaf Bab IV Pasal 41 sebenarnya memberikan

legalitas terhadap tukar menukar benda wakaf setelah terlebih dahulu

meminta izin dari Menteri Agama RI dengan dua alasan, yaitu karena

tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan demi kepentingan umum.

Ketiga, pola seleksi yang dilakukan oleh para Nazhir wakaf atas

pertimbangan manfaat. Memang sistim yang diterapkan oleh para Nazhir

wakaf di Indonesia tidak seluruhnya menggunakan pola penyeleksian

secara ketat agar benda-benda yang ingin diwakafkan oleh masyarakat

dapat memberi manfaat secara maksimal. Namun, ada perkembanga yang

positif yang dilakukan oleh lembaga wakaf seperti Pesantren Modern

Gontor.

Keempat, system ikrar yang dilakukan oleh para calon wakif

diarahkan kepada bentuk ikrar wakaf untuk umum, tanpa penyebutan

Page 198: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

yang bersifat khusus, seperti selama ini terjadi di Pesantren Gontor

misalnya, tidak diperkenankan bentuk ikrar wakaf dengan penyebutan

peruntukkan wakaf secara khusus (tertentu) oleh para calon wakif.

Karena bentuk penyebutan yang disebutkan wakf akan sangat

memberatkan oleh pihak pengelola (Nazhir) dalam pemberdayaan secara

maksimal.

Kelima, perluasan benda yang diwakafkan (mauquf bih). Saat ini

sedang berkembang dan sudah dipraktekkan oleh sebagian lembaga

islam terhadap wacana wakaf benda bergerak, seperti uang (cash waqf),

saham atau surat-surat berharga lainnya seperti yang diatur dalam

undang-undang wakaf.

Dalam Bab VI pasal 49 tentang penukaran harta benda wakaf yang

berisi :

1. Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang

kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan

BWI.

2. Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk

kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang

(RUTR) berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan

dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah

b. Harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar

wakaf

Page 199: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

c. Pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung

dan mendesak.

3. Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin

pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika:

a. Harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti

kepemilikan sah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan

b. Nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya

sama dengan harta benda wakaf semula.

4. Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan

rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur:

a. Pemerintah daerah kabupaten/kota

b. Kantor pertanahan kabupaten/kota

c. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota

d. kantor Departemen Agama kabupaten/kota

e. Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.

Kemudian dilanjutkan pasal 50 yang berisi tentang nilai manfaat

harta benda penukar sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (3)

huruf b dihitung sebagai berikut:

a. Harta benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

sekurang-kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf

b. Harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah

untuk dikembangkan.

Page 200: Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf

Dan aturan dalam penukaran terhadap harta benda wakaf yang

akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut :

a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri

melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan

menjelaskan alasan perubahan status/tukar menukar tersebut;

b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada

Kantor Departemen Agama kabupaten/kota;

c. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota setelah

menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan

dan maksud seperti dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya

bupati/walikota setempat membuat Surat Keputusan;

d. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota meneruskan

permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penilaian dari tim

kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi dan

selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri; dan

e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar

ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh

Nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk

pendaftaran lebih lanjut.


Related Documents