KEPANITERAAN KLINIK
STATUS OBSTETRIFAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDAJl. Arjuna Utara No. 6. Kebon Jeruk- Jakarta Barat
SMF OBSTETRI RS MARDI RAHAYU KUDUS
Nama : OnlyPricilia Tanda tangan
NIM : 11 2011 124
Dr pembimbing / penguji : Dr. FX. Widiarso,Sp.OG
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Ny. N.H Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 26 Tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : kawin (GIP0A0 ) Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMA
Alamat : Trengguli RT 01/05. Kecamatan
Wonosalam. Kabupaten Demak.
Masuk Rumah Sakit : 28 Oktober 2012
Pukul 20.00 WIB
Pulang : 31 Oktober 2012
Nama suami : Tn. M
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Trengguli RT 01/05. Kecamatan Wonosalam. Kabupaten Demak.
A NAMNESIS :
Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal : 29 Oktober 2012 ; Jam : 08:45 WIB
Keluhan utama :
Perut terasa keram pada seluruh lapang perut
Keluhan tambahan :
Tidak ada
Riwayat Penyakit Sekarang :1
2 bulan SMRS, Os mengetahui dirinya hamil dengan melakukan plano test. Lalu 3
hari kemudian, os mengeluh keluar darah berwarna merah seperti darah menstruasi
selama 4 hari. Os juga menambahkan perut terasa mulas dan nyeri pada perut kiri bagian
bawah.akhirnya os berobat ke dokter spesialis kandungan di Kendall dan dilakukan
pemeriksaan USG. Hasilnya tidak tampak janin dalam rahim, dan os diminta kontrol 2
minggu kemudian.
5 minggu SMRS, Os mengatakan masih keluar flek-flek berwarna coklat dan
masih terasa sakit pada perut kiri bagian bawah. Mual, muntah dan pusing disangkal
oleh os.
2 minggu SMRS, os mengaku pulang ke Demak dan periksa ke dokter spesialis
kandungan disana. Os juga menambahkan melakukan pemeriksaan USG ulang tetapi
hasilnya sama, yakni tidak tampak janin dalam rahim. Os juga mengatakan sudah tidak
keluar darah lagi tetapi perut masih terasa sakit.
3 hari SMRS, Os mengeluh perut kiri bagian bawahnya terasa keram dan nyeri.
Tetapi tidak ada darah yang keluar. Semakin hari nyeri dirsakan semakin hebat dan
keram pada seluruh lapang perut. Akhirnya os dibawa ke RS.Mardi Rahayu dan
dilakukan USG ulang karena dicurigai mengalami kehamilan diluar kandungan.
Hewan ternak pemeliharaan seperti kucing, anjung, burung, ayam, dan lain-lain
tidak ada dirumah OS ataupun di lingkungan tempat tinggalnya.
OS dan keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit jantung, hipertensi, hepatitis,
hipertiriod, dan diabetes mellitus. Rasa pusing, mual dan muntah ataupun keluhan lain
juga tidak dialami oleh OS.
Riwayat Haid
Menarche : 13 tahun
Siklus haid : 28 hari
Lamanya : 7 hari
Banyaknya : Banyak dan encer
Haid terakhir (HPHT) : 23 Agustus 2012
Taksiran partus (HPL) : 30 Mei 2013
Riwayat Perkawinan
2
Menikah 1 kali pada usia 26 tahun, selama 4 bulan.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Hamil saat ini
Riwayat Kontrasepsi (Keluarga Berencana)
( − ) Pil KB ( − ) Suntikan 3 bulan ( − ) IUD
( − ) Susuk KB ( − ) Lain-lain
Penyakit Dahulu
( − ) Cacar ( − ) Malaria ( − ) Batu ginjal/saluran kemih
( − ) Cacar air ( − ) Disentri ( − ) Burut ( hernia )
( − ) Difteri ( − ) Hepatitis ( − ) Batuk rejan
( - ) Tifus abdominalis ( − ) Wasir ( − ) Campak
( − ) Diabetes ( − ) Sifilis ( − ) Alergi
( − ) Tonsilitis ( − ) Gonore ( − ) Tumor
( − ) Hipertensi ( − ) Penyakit pembuluh ( − ) Demam rematik akut
( + ) Ulkus ventrikuli ( − ) Pendarahan otak ( − ) Pneumonia
( − ) Ulkus duodeni ( − ) Psikosis ( - ) Gastritis
( − ) Neurosis ( − ) Tuberkulosis ( − ) Batu empedu
Lain-lain : ( − ) Operasi ( − ) Kecelakaan
Riwayat keluarga
Hubungan Umur Jenis kelamin Keadaan
kesehatan
Penyebab
meninggal
Ayah 51 tahun Laki-laki Hidup -
Ibu 49 tahun Perempuan Hidup -
Suami 28 tahun Laki-Laki Hidup -
Anak 1 5 tahun Perempuan Hidup -
Ada kerabat yang menderita :3
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi - √
Asma - √
Tuberkulosis - √
HIV - √
Hepatitis B - √
Hepatitis C - √
Hipertensi - √
Cacat bawaan - √
Lain – lain - √
Riwayat Operasi
Tidak ada
A. PEMERIKSAAN JASMANI
I. Pemeriksaan umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Gizi : Baik
Tinggi badan : 158 cm
Berat badan : 58 kg
Tekanan darah : 110 / 60 mmHg
Nadi : 90 kali / menit
Suhu : 37 ⁰ C
Pernapasan : Suara Nafas vesikuler,
20 kali / menit, Jenis thoracoabdominal
Sianosis : Tidak ada
Edema umum : Tidak ada
Habitus : Piknikus
Cara berjalan : Baik
Mobilisasi : Aktif
Aspek kejiwaan4
Tingkah laku : tenang
Alam perasaan : biasa
Proses pikir : wajar
Kulit
Warna : sawo matang
Effloresensi : tidak ada
Jaringan parut : tidak ada
Pigmentasi : tidak ada
Pertumbuhan rambut : normal
Pembuluh darah : tidak menonjol dan melebar
Suhu raba : normal, kulit Lembab
Keringat : setempat yaitu di kepala dan leher
Turgor : baik
Lapisan lemak : tebal
Ikterus : tidak ada
Edema : tidak ada
Kepala : Normocephali, distribusi rambut merata, warna rambut hitam, rambut
tidak mudah dicabut.
Dahi : Turgor baik
Mata : Oedem palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik (-),pupil
isokor dengan diameter 3 mm, refleks cahaya (+)
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), deviasi septum (-), sekret (-), epistaksis (-).
Telinga : Normotia, serumen (-), sekret (-)
Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), pursed lips breathing (-), oral hygiene
baik, T1 – T1 tenang, faring hiperemis (-), atrofi papil lidah (-), hipertrofi
gusi (-)
Kelenjar getah bening
Submandibula : tidak ditemukan pembesaran
Supraklavikula : tidak ditemukan pembesaran
Lipat paha : tidak ditemukan pembesaran
5
Leher : tidak ditemukan pembesaran
Ketiak : tidak ditemukan pembesaran
Thorak
Inspeksi : Tampak thorak simetris dalam keadaan statis dan dinamis, retraksi sela iga
(-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), sela iga melebar (-), tulang costae dan sternum dalam
keadaan baik
Paru – paru
Inspeksi : Pernafasan simetris dalam keadaan dinamis.
Palpasi : Fremitus taktil simetris pada seluruh lapang paru. Nyeri tekan (-).
Perkusi
Anterior : Sonor pada seluruh lapang paru
Batas paru-hati setinggi IC VI pada linea midclavicula kanan.
Posterior : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi
Anterior : Suara nafas dasar vesikuler pada seluruh lapang paru, suara nafas
tambahan (-)
Posterior : Suara nafas dasar vesikuler pada seluruh lapang paru, suara nafas
tambahan (-)
Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba 1 cm medial dari linea midclavicula sinistra IC V
Perkusi Batas atas : Linea sternalis sinistra IC II
Pinggang jantung : Linea parasternalis sinistra IC III
Batas kiri : 1 cm medial dari linea midclavicula
sinistra IC V
Batas kanan : Linea sternalis dekstra IC V
Auskultasi Katup Mitral- IC 5 midklav kanan
6
Katup Aorta – IC 2 parasternal kanan
Katup Pulmonal – IC 2 parasternal kiri
Katup Trikuspid – IC 4 parasternal kanan
Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak membesar
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-)
Hati : Tidak teraba membesar
Limpa : Tidak teraba membesar
Ginjal : Ballotement (-), Nyeri ketok CVA (-)
Perkusi : Area traube tympani
Auskultasi : Bising usus ( + )
Ekstremitas
Luka : tidak ada
Varises : tidak ada
Edema : ( - )
Lain – lain : -
II. Pemeriksaan Ginekologi
Pemeriksaan Luar
Inspeksi :
Wajah : chloasma gravidarum (-)
Payudara : pembesara payudara (-), puting susu menonjol, cairan dari mammae (-)
Abdomen : pembesaran abdomen (-),
strie nigra (-),
strie livide (-),
strie albicans (-),
7
bekas operasi (-)
Palpasi : Tidak teraba pembesaran uterus
Terdapat nyeri tekan pada daerah suprapubik.
Pemeriksaan Dalam
Vaginal Toucher
Fluksus (+) , fluor (–)
V/U/V Tidak ada kelainan
Portio Licin dan terdapat nyeri goyang
Corpus uteri
Sebesar telur
ayam
Adneksa
parametrium
Teraba
massa
setengah padat
sebesar telor
ayam.
Cavum
dougles:
menonjol
B. Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin (28
Oktober 2012,
Jam 20:45)
8
Hemoglobin 8,9 g/dl (↓)
Leukosit 8,11 ribu
Eosinofil% 2,1 %
Basofil 0,1 %
Neutrofil segmen 61,6 %
Limfosit 32,1 %
Monosit 4,1 %
MCV 86,0 mikro m3
MCH 28,9 pg
MCHC 33,6 g/dl
Hematokrit 26,5 %
Trombosit 176 ribu
Eritrosit 3,08 juta
RDW 13,8 %
PDW 10,8 %
MPV 9,2 mikro m3
LED 20/30 mm/jam
Golongan darah/Rh A/+
USG Abdomen ( 28 Oktober 2012 )
Hasil pemeriksaan USG :
- Tampak vesika urinaria terisi cukup cairan
- Tampak uterus membesar 8 x 7 x 6 cm, tak tampak gestasional sack didalamnya
- Tampak gestasional sack pada adneksa kiri yang membesar
- Tampak banyak cairan intraabdominal
Kesan : Kehamilan Ektopik Tergangggu
9
C. RINGKASAN (RESUME)
OS wanita, GIP0A0 berumur 26 tahun, hamil 9 minggu, datang ke RS Mardi
Rahayu dengan keluhan perut terasa keram pada seluruh lapang perut sejak 3 hari
SMRS, dimana nyeri yang dirasakan semakin hari semakin hebat. Awalnya os
mengatakan mengetahui dirinya hamil sejak 2 bulan SMRS. Os juga menambahkan
adanya riwayat keluar darah seperti mens selama 4 hari setelah 3 hari melakukan plano
test. Os juga sudah memeriksakan dirinya ke dokter spesialis kandungan di Kendall dan
Demak dan telah dilakukan pemeriksaan USG dengan hasil tidak tampak janin didalam
uterusnya. Os juga megeluh sejak keluar darah pertama kali sampai saat ini sering
merasa sakit pada perut kiri bagian bawah. HPHT Os : 23 Agustus 2012 dengan HPL :
30 Mei 2012.
Riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus tidak ada pada OS maupun
keluarganya. Rasa pusing, ataupun keluhan lain juga tidak dialami oleh OS. Hewan
ternak pemeliharaan seperti kucing, anjung, burung, ayam, dan lain-lain tidak ada
dirumah OS ataupun di lingkungan tempat tinggalnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD Tekanan darah 110 / 60 mmHg, nadi 90
kali/menit suhu 37 ⁰ C, dan RR 20 kali/menit. Sedangkan pada pemeriksaan dalam
didapatkan nyeri goyang portio, teraba massa setengah padat sebesar telur ayam pada
adneksa parametrium dan cavum dauglasi (+) menonjol. Hasil USG menunjukkan bahwa
terjadi KET pada OS.
D. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja dan dasar diagnosis
Diagnosis kerja : GIP0A0 Umur 26 tahun, Hamil 9 minggu dengan Kehamilan Ektopik
Terganggu (KET)
Dasar diagnosis :
Plano test menunjukkan hasil positif
Terdapat nyeri tekan pada daerah suprapubik
Pada pemeriksaan dalam terdapat nyeri goyang portio, teraba massa setengah
padat pada adneksa parametrium dan cavum dauglasi (+) menonjol.
Pada USG terdapat menunjukkan hasil KET (+)
Diagonisis diferensial dan dasar diagnosis diferensial
10
Diagnosis diferensial :
1. Infeksi pelvik.
2. Abortus iminens atau insipiens
3. Ruptur korpus luteum
4. Torsi kista ovarium
5. Appendisitis akut
6. Salpingitis akut
7. Mioma submukosa yang terpelintir
8. Ruptur pembuluh darah mesenterium
Pemeriksaan yang dianjurkan
Pemeriksaan urin dan Hb post operasi.
Rencana Pengelolaan:
a. Medika Mentosa:
Infus RL - D 5% 20 tetes permenit
Pengobatan post Operasi Laparatomi :
Bactesyn 2 x 1 gr IV
Tradyl 3 x 100 mg IV
Alenamin F 2 x 25 mg IV
Vit C 1 x 1 gr IV
Ketoprofen supp rectal 2 x 100 mg
Transfusi WB 2 kollf / 24 jam post op
b. Non Medica Mentosa :
Bed rest, tidur dengan bantal tinggi
c. Tindakan : Operasi KET
Operasi dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2012 pukul 23: 08 WIB.
Laporan Operasi :
- Insisi dinding abdomen pada linea mediana 2 jari diatas symphisis pubis kearah
pusat sepanjang 10 cm
- Insisi diperdalam lapis demi lapis hingga peritoneum terbuka
11
- Eksplorasi :
- Tampak darah pada peritoneum berwarna coklat kemerahan ±600 cc,
berasal dari rupture tuba graviditas kiri pars ampularis + rupture kista
ovarium kiri sebesar bola pingpong.
- Uterus bicornis asimetris
- Adneksa kanan dalam batas normal, perdarahan intraabdomen ±600 cc
- Dilakukan salphingo ooforektomi kiri.
- Control perdarahan.
- Membersihkan cavum abdomen dari darah
- Jahit peritoneum dengan plan plain catgut no 2.0 secara jelujur terkait
- Jahit otot dengan plain catgut no 2.0
- Jahit fasia dengan safil no 1.0
- Jahit subcutan dengan plain catgut no 2.0
- Jahit kulit dengan safil no 4.0 secara subkutikuler
- Tindakan selesai.
Prognosis :
Vitam : ad bonam
Fungsionam : ad bonam
Sanationam : ad malam
FOLLOW UP
Tanggal 29 Oktober 2012, Jam 08.00 WIB
S : OS merasa nyeri pada luka operasi, flatus (-)
12
O : Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : 36 ºC
Mata : Conjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-
Pulmo : Suara nafas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : BJ I & II regular, murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Supel, Nyeri tekan (+) pada sekitar luka operasi, Bising usus (+)
Normal
TFU : ½ pusat – symphisis
HIS : +
PPV : (+)
Urin Lengkap ( 29 Oktober 2012, Jam 06:41 WIB )
13
A : P0A1, 26 Tahun
Post salphingo
ooforektomi
sinistra hari ke-1
atas indikasi KET
dan ruptur kista
ovarii kiri
P : Terapi dilanjutkan
Mobilisasi
Check Hb post
Transfusi
14
Albumin Positif 1
Reduksi Negatif
Billirubin Negatif
Reaksi/pH 6,5
Urobilinogen Normal
Benda keton negatif
Nitrit negatif
Berat Jenis 1,025
Darah Samar Negatif
Leukosit Negatif
Vitamin C Positif 3
Epitel ren (sedimen) 0
Epitel sel 0-2
Erytrosit 6-8
Leukosit 6-8
Silinder 0
Parasit Negatif
Bakteri Negatif
Jamur Negatif
Kristal Negatif
Tanggal 30 Oktober 2012, Jam 08.00 WIB
S : Nyeri ditempat jahitan, sesak nafa (+), Flatus (+)
O : Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Frekuensi nafas : 24 x/menit
Suhu : 37,4 ºC
Mata : Conjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/-
Pulmo : Suara nafas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : BJ I & II regular, murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Supel, Nyeri tekan (+) pada sekitar luka operasi, Bising usus (+)
Normal
TFU : ½ pusat – symphisis
HIS : +
PPV : (+)
Hematologi ( 29 Oktober 2012, Jam 11:35 WIB)
A : P0A1, 26 Tahun
Post salphingo ooforektomi sinistra hari ke-2 atas indikasi KET dan ruptur kista ovarii
kiri
P : Secara Klinis keadaan pasien membaik
Lanjutkan terapi pengobatan
Pelepasan Infus
Pelepasan DC
Tanggal 31 Mei 2012, Jam 08.00 WIB
S : Keluhan (-)
O : Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
15
Hemoglobin 10,20 g/dl
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,6 º
ASI : (+)
Mata : Conjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/-
Pulmo : Suara nafas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : BJ I & II regular, murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Supel, Nyeri tekan (+) pada sekitar luka operasi, Bising usus (+)
Normal
TFU : ½ pusat – symphisis
HIS : +
PPV : +
Vesika urinaria : +
Ekstremitas : Udem -/-
A : P0A1, 26 Tahun
Post salphingo ooforektomi sinistra hari ke-2 atas indikasi KET dan ruptur kista ovarii
kiri
P : Secara Klinis keadaan pasien baik dan diijinkan pulang dengan
Lanjutkan terapi pengobatan :
Amoxicillin 500 mg + Clavulanic Acid 125 mg tablet PO (3 x 1 perhari)
Ketoprofen tablet 50 mg PO (2 x 1 perhari)
Ganti balutan
16
Tinjauan Pustaka :
Kehamilan Ektopik TergangguKehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang
bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat.
Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu.
Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang dapat dihadapi semua
dokter, karena sangat beragamnya gambaran klinik kehamilan ektopik terganggu itu. Tidak
jarang yang mengahadapi penderita adalah dokter umum atau dokter ahli lainnya, maka dari
itu, perlu diketahui oleh setiap dokter klinik kehamilan ektopik terganggu serta diagnosis
diferensialnya. Hal yang perlu diingat ialah, bahwa pada setiap wanita masa reproduksi
dengan gangguan atau keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah,
perlu dipikirkan kehamilan ektopik terganggu.
Definisi
Kehamilan ektopik terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar
endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik
karena kehamilan pada pars interstisialis tuba dan kanalis seviks masih termasuk dalam
uterus, tetapi jelas bersifat ektopik.1
Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi
pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan
divertikel pada uterus. Berdasarkan implantasi hasil konsepsi pada tuba, terdapat kehamilan
17
pars interstisialis tuba, kehamilan pars ismika tuba, kehamilan pars ampularis tuba, dan
kehamilan infundibulum tuba.
Kehamilan di luar tuba ialah kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan
servikal, dan kehamilan adominal yang bisa primer atau sekunder.
Kehamilan intrauterine dapat ditemukan bersamaan dengan kehamilan ekstrauterin.
Dalam hal ini dibedakan dua jenis, yaitu combined ectopic pregnancy dimana kehamilan
intaruterin terdapat pada waktu yang sama dengan kehamilan ekstrauterin dan compound
ectopic pregnancy yang merupakan kehamilan intrauterin pada wanita dengan kehamilan
ekstrauterin lebih dahulu dengan janin sudah mati dan menjadi litopedion.1
Epidemiologi
Angka kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran
hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Pada tahun 1980-an, kehamilan
ektopik menjadi komplikasi yang serius dari kehamilan, terhitung sebesar 11% kematian
maternal terjadi di Amerika Serikat. Sekurangnya 95% implantasi ektrauterin terjadi di tuba
fallopi. Di tuba sendiri, tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian berturut-
turut pada pars ismika, infundibulum dan fimbria dan pars intersisialis dapat terkena.
Implantasi yang terjadi di ovarium, serviks atau cavum peritonealis jarang ditemukan.2
Frekuensi kehamilan ektopik yang sebenarnya sukar ditentukan. Gejala kehamilan
ektopik terganggu yang dini tidak selalu jelas, sehingga tidak dibuat diagnosisnya. Tidak 18
semua kehamilan ektopik berakhir dengan abortus dalam tuba atau rupture tuba. Sebagian
hasil konsepsi mati dan pada umur muda kemudian diresorbsi. Pada hal yang terakhir ini
penderita hanya mengeluh haidnya terlambat untuk beberapa hari.
Pemakaian antibiotika dapat meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. Antibiotika
dapat mempertahankan terbukanya tuba yang mengalami infeksi. Tetapi perlekatan
menyebabkan pergerakan silia dan peristaltis tuba terganggu dan menghambat perjalanan
ovum yang dibuahi dari ampula ke rahim, sehingga implantasi terjadi pada tuba.
Kontrasepsi juga dapat mempengaruhi frekuensi kehamilan ektopik terhadap jumlah
kelahiran di rumah sakit atau masyarakat. Banyak wanita dalam masa reproduksi tanpa factor
predisposisi untuk kehamilan ektopik membatasi kelahiran dengan kontrasepsi, sehingga
jumlah kelahiran turun, dan frekuensi kehamilan ektopik terhadap kelahiran secara relative
meningkat. Selain itu IUD dapat mencegah secara efektif kehamilan intrauterin, tetapi tidak
mempengaruhi kejadian kehamilan ektopik.2
Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karena secara patofisiologi
mudah dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak pembuahan sampai nidasi. Bila
nidasi terjadi di luar kavum uteri atau di luar endometrium, maka terjadilah kehamilan
ektopik. Dengan demikian, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam
nidasi embrio ke endometrium menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Faktor-faktor yang
disebutkan adalah sebagai berikut:3
Faktor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba menyempit
atau buntu. Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang berkelok-
kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi dengan baik. Juga
pada keadaan pascaoperasi rekanalisasi tuba dapat merupakan predisposisi terjadinya
kehamilan ektopik. Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba atau
divertikel saluran tuba yang bersifat kongenital. Adanya tumor di sekitar saluran tuba,
misalnya mioma uteri atau tumor ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan
patensi tuba, juga dapat menjadi etiologi kehamilan ektopik.
1. Faktor dalam lumen tuba :
- endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping, sehingga lumen
tuba menyempit atau membentuk kantong buntu
19
- pada hipoplasia uteri lumen tuba sempit dan berlekuk – lekuk dan hal ini
sering disertai gangguan fungsi silia endosalping
- operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi sebab
lumen tuba menyempit
2. Faktor pada dinding tuba :
- endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam
tuba
- divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur
yang dibuahi di tempat itu
3. Faktor di luar dinding tuba :
- perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat
perjalanan telur
- tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba
Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan
tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di
saluran tuba.
Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral,
dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga kemungkinan
terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesteron dapat mengakibatkan
gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat menyebabkan terjadinya
ektopik.
Faktor lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakai IUD di mana proses peradangan yang
dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya
20
kehamilan ektopik. Faktor umum penderita yang sudah menua dan faktor perokok juga
sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik.3
Patologi
Integritas embrio, sebagai suatu pertumbuhan dari satu zygot menjadi struktur
blastokis yang berlekuk, yang dilindungi oleh zona pelusida. Membran glikoprotein yang
tebal ini mencegah terjadinya adhesi prematur antara embrio dan endosalping. Blastokis
harus keluar dari zona pelusida sebelum terjadi implantasi. Normalnya, proses pengeraman
blastokis terjadi di kavum uteri, biasanya terjadi dalam 7 hari setelah ovulasi dan fertilisasi.
Jika transportasi ovum terhambat, proses pengeraman terjadi di tuba falopi. Penyebab
gangguan transportasi ovum yang telah dikenal yaitu penyakit pada tuba, seperti salpingitis
kronis atau adhesi perituba. Salpingitis dapat memperburuk mekanisme transportasi ovum
melalui proses rusaknya myosalping dari dinding tuba dan melalui kerusakan pada
endosalping, yang akan mengurangi jumlah silia tuba.2
Perubahan pada siklus endokrin yang mempengaruhi tuba falopii dapat menyebabkan
aberasi dalam transportasi ovum, yang akan membawa pada proses pengeraman dan
implantasi blastokis di tuba. Steroid ovarium yang berperan menonjol adalah estradiol (E2)
dan progesteron (P4), kedua hormon ini berpengaruh kuat pada tuba falopii, mempengaruhi
setiap aspek pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi. Respon kuantitatif dan kualitatif dari tuba
terhadap hormon lain seperti katekolamin dan prostaglandin, juga berubah terhadap kadar
hormon steroid dalam darah yang ditolerir, perubahan siklik pada struktur tuba dan fungsinya
dipengaruhi oleh hormon steroid ovarium ini, yang bekerja melalui reseptor sitoplasmik
spesifik yang secara kimiawi sama dengan reseptor yang ditemukan pada bagian lain dari
traktus genitalia.
Pada telaah terhadap data-data penelitian yang ada, Jansen menyimpulkan bahwa
hormon steroid ovarium mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui perubahan-perubahan
pada aktivitas adrenergik dan kepekaan, melalui perubahan-perubahan dalam sintesis
prostagladin, degradasi dan kepekaan, dan melalui pengaruh langsung pada myosalping.
Peningkatan aktivitas kontraksi dipercayai merupakan proses mediasi E2, dimana P4
diperkirakan mempunyai pengaruh tersembunyi pada otot-otot tuba. Karena itu, perubahan
siklik dalam kadar hormon membawa kepada peningkatan tonus ismika saat terjadi ovulasi
dan selama 1-2 hari berikutnya. Ini adalah periode dimana ovum tertahan di ampula dan
tertunda untuk memasuki isthmus. Pengaruh P4 menjadi berkembang pada awal fase luteal,
transportasi ovum ditingkatkan melalui mekanisme siliar, dan pergerakan blastokis menuju
21
ke dalam kavum uteri, dimana implantasi normal yang seharusnya terjadi. Perubahan utama
dari kadar E2 dan P4 preovulasi diharapkan akan memisahkan mekanisme transportasi ovum
kompleks dan berpotensi menunda transit ovum. Sebagai contoh, insiden yang tinggi dari
kehamilan tuba dilaporkan terjadi selama hiperstimulasi ovarium oleh gonadotropin eksogen
dan selama pemberian progesteron dosis rendah. Progesteron eksogen, yang dihantarkan
melalui oral atau melalui alat kontrasepsi dalam rahim, dapat mengurangi resistensi tuba
falopii terhadap implantasi ektopik melalui berbagai mekanisme. Silia akan menghilang dan
myosalping boleh jadi tidak bergerak.2
Gangguan hormonal primer yang terjadi selama hiperstimulasi oleh ovarium masih
belum jelas. Kadar E2 sirkulasi yang tinggi mungkin berperan. Kemungkinan, kadar yang
meningkat bercampur dengan peningkatan P4 atau pengaruh-pengaruhnya pada tuba, karena
itu melemahkan transpor ovum.3
Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya sama
dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner.
Pada yang pertama telur berimplantasi pada sisi atau ujung jonjot endosalping.
Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati
secara dini kemudian diresorbsi. Pada nidasi secara interkolumner telur bernidasi antara 2
jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba
oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena
pembentukan desidua di tuba tidak sempurna malahan kadang - kadang tidak tampak,
dengan mudah vili korialis menembus endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot – otot
tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya
bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya dinding tuba, dan
banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.2
Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum graviditatis
dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek ; endometrium dapat berubah pula menjadi
desidua. Dapat ditemukan pula perubahan – perubahan pada endometrium yang disebut
fenomena Arias – Stella. Sel epitel membesar dengan intinya hipertrofik, hiperkromatik,
lobuler dan berbentuk tak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubang – lubang atau berbusa, dan
kadang – kadang ditemukan mitosis. Perubahan tersebut hanya ditemukan pada sebagian
kehamilan ektopik.
Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian
dikeluarkan berkeping – keping, tetapi kadang – kadang dilepaskan secara utuh. Perdarahan
22
yang dijumpai pada kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus dan disebabkan oleh
pelepasan desidua yang degeneratif.
Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan. Karena tuba
bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin bertumbuh secara utuh
seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6
sampai 10 minggu.
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa – apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari.
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh – pembuluh darah oleh vili
korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari dinding
tersebut bersama – sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi
sebagian atau seluruhnya, tergantung pada derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan
menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian
didorong oleh darah ke arah ostium tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam tuba
tergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus ke lumen tuba lebih sering terjadi
pada kehamilan pars ampularis, sedangkan penembusan dinding tuba oleh vili korialis ke
arah peritonium biasanya terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan ini disebabkan
karena lumen pars ampularis lebih luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah
pertumbuhan hasil konsepsi dibandingkan dengan bagian ismus dengan lumen sempit.
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan
terus berlangsung, dari sedikit – sedikit oleh darah, sehingga berubah menjadi mola
kruenta. Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru –
biruan (hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium
tuba. Darah ini akan berkumpul di kavum Douglas dan ajan membentuk hematokel
retrouterina.
23
3. Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada
kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis terjadi pada kehamilan yang
lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah penembusan vili korialis ke
dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritonium. Ruptur dapat terjadi secara spontan,
atau karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan
terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang – kadang sedikit, kadang – kadang
banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka
terjadi pula perdarahan dalam lumen tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut
melalui ostium tuba abdominale.
Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi.
Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena
tekanan darah dalam tuba. Kadang – kadang ruptur terjadi di arah ligamentum latum dan
terbentuk hematoma intraligamenter antara 2 lapisan ligamentum itu. Jika janin hidup
terus, terjadi kehamilan intraligamenter.
Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila
robekan tuba kecil, perdarahan terjadi pada hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Bila
penderita dioperasi dan tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung pada
kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin matu dan masih kecil, dapat
diresorbsi seluruhnya ; bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion. Janin yang
dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan
plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga akan
terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin,
plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya ke
sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul, dan usus.2
24
Diagnosa dan gejala – gejala klinik
1. Anamnesis : terjadi amenorea, yaitu haid terlambat mulai beberapa hari sampai
beberapa bulan atau hanya haid yang tidak teratur. Kadang – kadang dijumpai keluhan
hamil muda dan gejala hamil lainnya
2. Bila terjadi kehamilan ektopik terganggu (KET) :
- Pada abortus tuba keluhan dan gejala kemungkinan tidak begitu berat, hanya
rasa sakit di perut dan perdarahan pervaginam. Hal ini dapat dikacaukan denga
abortus biasa
- Bila tejadi ruptur tuba, maka gejala akan lebih hebat dan dapat membahayakan
jiwa si ibu
3. Perasaan nyeri dan sakit yang tiba – tiba di perut, seperti diiris dengan pisau dan
disertai muntah dan bisa jatuh pingsan
4. Tanda - tanda akut abdomen : nyeri tekan yang hebat (defiance musculair),
muntah, gelisah, pucat, anemis, nadi kecil dan halus, tensi rendah atau tidak terukur
(syok)
5. Nyeri bahu : karena perangsangan diafragma
6. Tanda cullen : sekitar pusat atau linea alba kelihatan biru hitam dan lebam
7. Pada pemeriksaan ginekologik (periksa dalam) terdapat :
- Adanya nyeri ayun : dengan menggerakkan porsio dan serviks ibu akan
merasa sakit yang sangat
- Douglas crise : rasa nyeri hebat pada penekanan cavum douglasi
- Kavum Douglasi teraba menonjol karena terkumpulnya darah, begitu pula
teraba masa retrouterin (masa pevis)
8. Pervaginam keluar desidual cast
9. Pada palpasi perut dan pada perkusi : ada tanda – tanda perdarahan intra
abdominal (shifting dullness)
10. Pemeriksaan lab :
- Pemeriksaan hemoglobin seri setiap 1 jam menunjukkan penurunan kadar Hb
- Adanya lekositosis
11. Kuldosentesis (Douglas pungsi)
- Untuk mengetahui adakah darah dalam kavum Douglasi
25
- Bila keluar darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku atau
hanya berupa bekuan – bekuan kecil di atas kain kasa maka hal ini dikatakan positif
(fibrinasi) dan menunjukkan adanya hematoma retrouterina
- Bila darah segar berwarna merah dan dalam beberapa menit membeku ; hasil
negatif karena darah ini berasal dari arteri atau vena yang kena tusuk
12. Dengan cara diagnostik laparoskopik
13. Dengan cara USG1,3
Diagnosis diferensial
1. Infeksi pelvik.
2. Abortus iminens atau insipiens
3. Ruptur korpus luteum
4. Torsi kista ovarium
5. Apendisitis akut
6. Salpingitis akut
7. Mioma submukosa yang terpelintir
8. Ruptur pembuluh darah mesenterium
Penatalaksanaan
1. Penderita yang disangka KET harus dirawat inap di rumah sakit untuk
penanggulangannya
2. Bila ibu dalam keadaan syok, perbaiki keadaan umumnya dengan pemberian cairan
secukupnya dan tranfusi darah
3. Setelah diagnosa jelas atau sangat disangka KET, dan keadaan umum baik atau
lumayan, segera lakukan laparotomi untuk menghilangkan sumber perdarahan : dicari,
diklem, dan dieksisi sebersih mungkin (salpingektomi), kemudian diikat sebaik – baiknya
4. Sisa – sisa darah dikeluarkan dan dibersihkan sedapat mungkin supaya penyembuhan
lebih cepat
5. Berikan antibiotika yang cukup dan obat anti inflamasi3
Komplikasi yang mungkin terjadi
26
1. Pada pengobatan konservatif, yaitu bila ruptur tuba telah lama berlangsung (4 – 6
minggu), terjadi perdarahan ulang (reccurent bleeding). Ini merupakan indikasi operasi
2. Infeksi
3. Sub ileus karena massa pelvis
4. Sterilitas3
Prognosis
Kematian karena KET cenderung turun dengan diagnosis dini dan fasilitas yang cukup.
VARIAN-VARIAN KEHAMILAN EKTOPIK
Kehamilan Abdominal
Mortalitas akibat kehamilan abdominal tujuh kali lebih tinggi daripada kehamilan
tuba, dan 90 kali lebih tinggi daripada kehamila intrauterin. Morbiditas maternal dapat
disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), emboli
paru atau terbentuknya fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada kehamilan
abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding tuba secara bertahap membuat
perlekatan baru dengan jaringan serosa di sekitarnya, namun juga mempertahankan
perlekatannya dengan tuba. Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba plasenta mengadakan
implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga abdomen. Kehamilan abdominal
dapat juga terjadi akibat ruptur bekas insisi seksio sesaria, dan pada kasus ini kehamilan
27
berlanjut di balik plika vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks
kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut, meskipun tidak
patognomonis, harus segera membuat kita berpikir akan suatu kehamilan abdominal:
1. tidak tampaknya dinding uterus antara kandung kemih dengan janin,
2. plasenta terletak di luar uterus,
3. bagian-bagian janin dekat dengan dinding abdomen ibu,
4. letak janin abnormal, dan
5. tidak ada cairan amnion antara plasenta dan janin. MRI dan CT-scan dapat memberikan
visualisasi yang jauh lebih baik daripada USG.3
Kehamilan abdominal ada 2 macam:
Kehamilan abdominal primer, dimana telur dari awal mengadakan
implantasi dalam rongga perut.
Kehamilan abdominal sekunder, yang asalnya kehamilan tuba dan
setelah ruptur baru menjadi kehamilan abdominal.
Kebanyakan kehamilan abdominal adalah kehamilan abdominal sekunder, maka
biasanya placenta terdapat pada daerah tuba, permukaan belakang rahim dan ligamentum
latum. Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal mencapai umur cukup bulan, hal ini
jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati sebelum tercapai maturitas (bulan ke-5 atau
ke-6) karena pengambilan makanan kurang sempurna. Juga janin yang sampai cukup bulan,
prognosanya kurang baik . banyak yang mati setelah dilahirkan dan juga dikatakan bahwa
banyak yang mati setelah dilahirkan dan juga dikatakan bahwa banyak kelainan kongenital di
antara janin-janin yang tumbuh extrauterine. Nasib janin yang mati intra-abdominal sebagai
berikut:1
a. Dapat terjadi pernanahan sehingga kantong kehamilan menjadi abses yang dapat pecah
melalui dinding perut atau ke dalam usus atau kandung kemcing.
b. Pengapuran (kalsifikasi): anak yang mati mengapur, menjadi keras karena endapan-
endapan garam kapur hingga berubah menjadi anak batu (lithopedion)
c. Perlemakan: janin berubah menjadi zat kuning seperti minyak kental (adipocere)28
Gejala: 1
- Segala tanda-tanda kehamilan ada tapi pada kehamilan abdominal biasanya pasien lebih
menderita, karena perangsangan peritoneum, misalnya mual, muntah , obstipasi atau diare
dan nyeri perut.
- Pada kehamilan abdominal sekunder mungkin pasien pernah mengalami sakit perut yang
hebat disertai pusing atau pingsan ialah waktu terjadinya ruptur tuba.
- Tidak ada kontraksi Braxton Hicks
- Pergerakan anak dirasakan nyeri oleh ibu
- Bagian anak lebih mudah teraba karena hanya terpisah oleh dinding perut
- Kalau sudah ada his dapat terjadi pembukaan ± sebesar 1 jari dan tidak menjadi lebih
besar; kalau kita masukan jari kita ke dalam cavum uteri maka ternyata uterus kosong.
Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran hidup sebesar 10-25%,
namun angka malformasi kongenital pada bayi ekstrauterin cukup tinggi akibat
oligohidramnios, dan hanya 50%-nya dapat bertahan hidup lebih dari satu minggu. Kelainan
kongenital yang ditemukan umumnya berupa abnormalitas wajah, kranium dan ekstremitas.
Kehamilan abdominal pula memberikan ancaman-ancaman kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab
itu, terminasi sedini mungkin sangat dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar untuk
diresorbsi dapat mengalami proses supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak janin
yang sangat dekat dengan traktus gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin dan
berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami supurasi, terbentuk abses,
dan abses tersebut dapat ruptur sehingga terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat
merusak organ-organ ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah dilaporkan, janin
yang mati mengalami proses mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap dalam rongga
abdomen selama lebih dari 15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat berisiko
tinggi. Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan ketidakmampuan tempat
implantasi plasenta untuk mengadakan vasokonstriksi seperti miometrium. Sebelum operasi,
cairan resusitasi dan darah harus tersedia, dan pada pasien harus terpasang minimal dua jalur
intravena yang cukup besar. Pengangkatan plasenta membawa masalah tersendiri pula.
Plasenta boleh diangkat hanya jika pembuluh darah yang mendarahi implantasi plasenta
tersebut dapat diidentifikasi dan diligasi. Karena hal tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan, 29
dan lepasnya plasenta sering mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya plasenta
ditinggalkan in situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta yang lepas sebagian terpaksa dijahit
kembali karena perdarahan tidak dapat dihentikan dengan berbagai macam manuver
hemostasis. Dengan ditinggalkan in situ, plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4
bulan. Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis, pembentukan
abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar plasenta, serta preeklamsia persisten.
Regresi plasenta dimonitor dengan pencitraan ultrasonografi dan pengukuran kadar β-hCG
serum. Pemberian methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta tidak dianjurkan,
karena degradasi jaringan plasenta yang terlalu cepat akan menyebabkan akumulasi jaringan
nekrotik, yang selanjutnya dapat mengakibatkan sepsis. Embolisasi per angiografi arteri-
arteri yang mendarahi tempat implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang baik.1,3
Kehamilan Ovarium
Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Pada tahun 1878, Spiegelberg
merumuskan criteria diagnosis kehamilan ovarium: 1) tuba pada sisi ipsilateral harus utuh, 2)
kantong gestasi harus menempati posisi ovarium, 3) ovarium dan uterus harus berhubungan
melalui ligamentum ovarii, dan 4) jaringan ovarium harus ditemukan dalam dinding kantong
gestasi. Secara umum faktor risiko kehamilan ovarium sama dengan faktor risiko kehamilan
tuba. Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya
akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal.
Manifestasi klinik kehamilan ovarium menyerupai manifestasi klinik kehamilan tuba atau
perdarahan korpus luteum. Umumnya kehamilan ovarium pada awalnya dicurigai sebagai
kista korpus luteum atau perdarahan korpus luteum. Kehamilan ovarium terganggu ditangani
dengan pembedahan yang sering kali mencakup ooforektomi. Bila hasil konsepsi masih kecil,
maka reseksi parsial ovarium masih mungkin dilakukan. Methotrexate dapat pula digunakan
untuk terminasi kehamilan ovarium yang belum terganggu.4
Kehamilan Serviks
Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang cukup jarang.
Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa kemungkinan telah diajukan. Burg
mengatakan bahwa kehamilan serviks disebabkan transpor zigot yang terlalu cepat, yang
disertai oleh belum siapnya endometrium untuk implantasi. Dikatakan pula bahwa
30
instrumentasi dan kuretase mengakibatkan kerusakan endometrium sehingga endometrium
tidak lagi menjadi tempat nidasi yang baik. Sebuah pengamatan pada 5 kasus kehamilan
serviks mengindikasikan adanya hubungan antara kehamilan serviks dengan kuretase
traumatik dan penggunaan IUD pada sindroma Asherman. Hubungan serupa juga tercermin
pada fakta bahwa Jepang, di mana angka kuretase juga tinggi, memiliki angka kehamilan
serviks yang tertinggi di antara negara-negara lain. Kehamilan serviks juga berhubungan
dengan fertilisasi in-vitro dan transfer embrio. Pada kehamilan serviks, endoserviks tererosi
oleh trofoblas dan kehamilan berkembang dalam jaringan fibrosa dinding serviks. Lamanya
kehamilan tergantung pada tempat nidasi. Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis servikalis,
semakin besar kemungkinan janin dapat tumbuh dan semakin besar pula tendensi perdarahan
hebat. Perdarahan per vaginam tanpa rasa sakit dijumpai pada 90% kasus, dan sepertiganya
mengalami perdarahan hebat. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu.
Prinsip dasar penanganan kehamilan serviks, seperti kehamilan ektopik lainnya, adalah
evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu, umumnya hasil
konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase. Namun evakuasi hasil konsepsi pada
kehamilan serviks sering kali mengakibatkan perdarahan hebat karena serviks mengandung
sedikit jaringan otot dan tidak mampu berkontraksi seperti miometrium. Bila perdarahan
tidak terkontrol, sering kali histerektomi harus dilakukan. Hal ini menjadi dilema, terutama
bila pasien ingin mempertahankan kemampuan reproduksinya. Beberapa metode-metode
nonradikal yang digunakan sebagai alternatif histerektomi antara lain pemasangan kateter
Foley, ligasi arteri hipogastrika dan cabang desendens arteri uterina, embolisasi arteri dan
terapi medis. Kateter Foley dipasang pada kanalis servikalis segera setelah kuretase, dan
balon kateter segera dikembangkan untuk mengkompresi sumber perdarahan. Selanjutnya
vagina ditampon dengan kasa. Beberapa pakar mengusulkan penjahitan serviks pada jam 3
dan 9 untuk tujuan hemostasis (hemostatic suture) sebelum dilakukan kuretase. Embolisasi
angiografik arteri uterina adalah teknik yang belakangan ini dikembangkan dan memberikan
hasil yang baik, seperti pada sebuah laporan kasus kehamilan serviks di Italia24. Sebelum
kuretase dilakukan, arteri uterina diembolisasi dengan fibrin, gel atau kolagen dengan
bantuan angiografi. Pada kasus tersebut, perdarahan yang terjadi saat dan setelah kuretase
tidak signifikan. Seperti pada kehamilan tuba, methotrexate pun digunakan untuk terminasi
kehamilan serviks. Methotrexate adalah modalitas terapeutik yang pertama kali digunakan
setelah diagnosis kehamilan serviks ditegakkan. Namun pada umumnya methotrexate hanya
31
memberikan hasil yang baik bila usia gestasi belum melewati 12 minggu. Methotrexate dapat
diberikan secara intramuskular, intraarterial maupun intraamnion.4,5
Kehamilan Ektopik Heterotipik5,6,7
Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan kehamilan intrauterin.
Kehamilan heterotipik ini sangat langka. Hingga satu dekade yang lalu insidens kehamilan
heterotipik adalah 1 dalam 30,000 kehamilan, namun dikatakan bahwa insidensnya sekarang
telah meningkat menjadi 1 dalam 7000, bahkan 1 dalam 900 kehamilan, berkat
perkembangan teknik-teknik reproduksi. Kemungkinan kehamilan heterotipik harus
dipikirkan pada kasus-kasus sebagai berikut: 1) assisted reproduction technique, 2) bila hCG
tetap tinggi atau meningkat setelah dilakukan kuretase pada abortus, 3) bila tinggi fundus
uteri melampaui tingginya yang sesuai dengan usia gestasi, 4) bila terdapat lebih dari 2
korpus luteum, 5) bila terdeteksi pada USG adanya kehamilan ektra- dan intrauterin.
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi
kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari
penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan
kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya
penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan
penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi
baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant
management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% pasien dengan
kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar β-hCG. Pada penatalaksanaan
ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar β-hCG yang stabil atau cenderung turun
diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat
menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan-
keadaan berikut: 1) kehamilan ektopik dengan kadar β-hCG yang menurun, 2) kehamilan
tuba, 3) tidak ada perdarahan intraabdominal atau ruptur, dan 4) diameter massa ektopik tidak
32
melebihi 3.5 cm. Sumber lain menyebutkan bahwa kadar β-hCG awal harus kurang dari 1000
mIU/mL, dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa
penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.
Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan
dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-
syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada
aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas,
harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan
pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada
kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang
normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini
akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis.
Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan,
termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak
sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate
diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan
tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada
umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis
dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal. Harus diketahui pula bahwa terapi
methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan
angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi
berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi
medis, pengulangan terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan
menjalani pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu
diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin menjalani pembedahan.
Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang.
33
Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi,
antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang.
Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate yang disebutkan dalam literatur
antara lain kadar β-hCG, progesterone, aktivitas jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi
dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber
lain bahwa hanya kadar β-hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk memantau
keberhasilan terapi, pemeriksaan -hCG serial dibutuhkan. Pada hari-hari pertama setelah
dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen yang
diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan
hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik
nonsteroidal. Β-hCG umumnya tidak terdeteksi lagidalam 14-21 hari setelah pemberian
methotrexate. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada
pencitraan ultrasonografi akibat edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai
kegagalan terapi. Setelah terapi berhasil, kadar β-hCG masih perlu diawasi setiap minggunya
hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis
tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang
diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7.
Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan
dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi
methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba
dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal. Methotrexate dapat pula diberikan
melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate
dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang
belum terganggu.
Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari
berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi
methotrexate sebelumnya.
Larutan Glukosa Hiperosmolar
34
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi
medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-kawan melaporkan
keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba.
Namun pada umumnya injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan
dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang
digunakan.
Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba
yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik
terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin.
Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu
pembedahan konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di
mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal
sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di
atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke
dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.
Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang
berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini
dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan
antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan
dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan
elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per
sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per
laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu.
Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi
methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama
daripada durasi pembedahan pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani
35
masa rawat inap yang lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini
lebih rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka
kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda secara
bermakna.
Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada
salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada
perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara
salpingostomi dan salpingotomi.
Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang
sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi.
Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini:
1. kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu),
2. pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif,
3. terjadi kegagalan sterilisasi,
4. telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya,
5. pasien meminta dilakukan sterilisasi,
6. perdarahan berlanjut pascasalpingotomi,
7. kehamilan tuba berulang,
8. kehamilan heterotopik, dan
9. massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada
kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada
salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan
36
lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering
kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada
salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan
kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi,
sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari
mesosalping.
Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae
tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat
aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya.
Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak
dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bagian obstetri dan ginekologi fakultas kedokteran
Universitas Padjadjaran. Bandung: Eleman. 1983.
2. Epidemiologi dan Patofisiologi KET. Diunduh dari www.unsri.ac.id. 18 Juli 2012.
3. Wiknosastro H. Kehamilan ektopik. Editor Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachmihadhi
T, dalam Ilmu Kebidanan edisi kedua, cetakan keempat, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta, 2005, 323 – 328
4. Wiknosastro H. Kehamilan ektopik. Editor Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachmihadhi
T, dalam Ilmu Kandungan edisi kedua, cetakan keempat, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta, 2005, 323 – 328
5. Hauth. C. John, dkk: Kehamilan ektopik, Obstetri Williams, Ed 21, vol 2, 982 – 1013,
2006
6. Mochtar. R, Lutan. D. Kelainan letak kehamilan (kehamilan ektopik) : Sinopsis Obstetri
edisi kedua hal 226 – 237, 1998
7. Manuaba I.B.G, Manuaba I.B. Chandranita. Kehamilan ektopik : Pengantar Kuliah
Obstetri, hal 106-120, 2007
37