YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 2: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 3: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 4: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 5: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 6: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 7: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 8: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Gemuruh Jiwa Titisan Hawa

Mentari menampakkan senyumnya

Menyiratkan semburan cahaya

Kuning merekah indah

Menyemai kedamaian alam semesta

Desir pasir berayun pelan

Menyibak pantai yang gersang

Perahu menari-nari dengan lihai

Meronta, melawan desiran ombak

Apakah ombak akan menaklukkan perahu?

Atau perahu akan menaklukkan ombak?

Entahlah…

Setetes rindu pada kebebasan

Merekah kuat di dalam kalbu titisan hawa

Melambai-lambai pada jeritan kata

Semakin kuat, semakin dekat

Mari, mari sambut kebebasan

Kebebasan yang hakiki

Bukan dia yang hina

Bukan dia yang nista

Namun, dia yang mampu menari di atas ombak

Page 9: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Derai Mimpi Kartini

Kala langkah tak berkawan

Kala asa tak bertuan

Hati seakan mati

Redup tak berarti

Jengkal demi jengkal

Terasa sangat berat

Namun cita tak akan padam

Terpatri kuat, terkunci rapat

Mimpi pun membara

Menganga di setiap detik

Maju, bergerak, perlahan

Semilir membawa harapan

Goresan pena terukir mesra

Tetes demi tetes

Lembar demi lembar

Menari dalam relung imajinasi

Kini, ia menjadi cahaya dalam kegelapan

Menjadi pelita dalam kebodohan

Menopang asa dan cita

Mewangi di setiap hembusan nafas

Menebarkan cinta di setiap sudut negeri

Page 10: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Bak awan yang menghiasi birunya langit

Indah, sangat indah

Mimpi yang abadi

Sepanjang masa

* Alfi Muhimmatul

Page 11: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Kartini

Hentakan mulut berdengung

Merayap ke atas angin

Berterbangan menyelimuti

Gelapnya awan

Awan menangis sendu

Hujan hati bertatap saja

Jiwa merah muda merayap

Mengubah gelap hitam

Ke putih terang

Siapa?

Kartini,

Wanita pemberi inspirasi penghujung mati

* Uswa

Page 12: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Ibuku Ibu Kartini

Peluh keringat menetes pelan

Membasahi sisi dipelupuk hati

Duka lara tiada di rasa

Demi bahagianya sang buah hati

Ibuku Ibu Kartini

Menjaga kami tanpa rasa lelah

Ia bukan wanita perkasa

Tubuh ringkihnya dimakan umur

bertambah usia

Raut wajah goresan cerita

Mencerminkan kerapuhan jiwa

Keluh kesah tiada dirasa

Berjuang hidup demi belahan jiwa

Ibuku Ibu Kartini

Membesarkanku sepenuh hati

Sesosok kartini nyata

Menjagaku dengan derai keringat juga air

mata

Page 13: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Habis Gelap

Habis gelap terbitlah terang

Tak hentinya kami berucap syukur

Harum namamu bau semerbak

Menumbuhkan semangat dalam gejolak

Mengorbankan jiwa raga

Menghilangkan sekat antara kita

Demi terwujudnya emansipasi wanita

Kau tak ingin wanita dijajah pria

Wanita lemah tak berdaya

Tak mampu untuk melawan

Hanya pasrah merenung dalam jiwa

Apalagi hak yang diperjuangkan

Kini semua telah sirna

Karena jasamu wahai sang ksatria

Bekerja keras demi Indonesia

Memperjuangkan kesamaan jiwa

* Rizky

Page 14: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 15: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 16: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Tanganku yang Tak Sampai

Ingin aku buat beberapa rampai

Tentang kau yang ku cintai

Bukan alai

Tapi ini air yang meng-ambai

Sungguh yakin akan kau yang menguntai

Di dedaun pagi yang tak semampai

Andai…..

Aku bisa mencintai

Hanya kau yang aku sampai

Hai..

Sapa hangat sang dawai

Di antara ngarai dan belum terbukanya

tirai

Kau masih terlihat pasai

Hingga sapa sang dawai harus berulangkali

membelai

Sudah mulai

Iya, merdu dari kidung dawai

Tentang kasih tinggi yang se-mampai

Tetapi,

aku masih mencoba mendapak sunyi untuk

menggapai Sang derai

Namun,

aku hanyalah bangkai

Layaklah jika kau mengabai

Page 17: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Jika ada badai

Hilanglah kau Sang bisai

Dan aku lihat beberapa bagian bilai

saat aku beranikan diri membuka tirai

Dan begitulah aduhai

Tuhan punya cipta pada bonsai

Juga pada arombai di tepian pantai

Jika kau pandang aku sebagai masai

Biarlah masai ini terus me-lalai

Menjadi untai

Untai yang menjadi esai

Hingga akhirnya aku selesai

Sebuah rima yang aku pakai untuk mencintaimu saat kita

terlarai

Page 18: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Perempuan yang Berubah

Mengasur tidur tak terpancang cagak

Tangan mengepal, yang sudah mengapal

perjalanan rantau kemarau dibulan

April

Rebah marah atau hanya desah kesal

menggumam pada kebencian luka

Menata bata dari kata orang lain berbayar

harga :

"Kerja..."

Perempuan senja di hamparan sorga

Aku di sebalik neraka berusaha mengeja

Bukan pada harga yang jauh terjaga

Melainkan kotaKota renta usia yang haus

akan noda

Jika perempuanku telah berbeda

Tangannya akan semakin mengepal lama

Berotot nyata, pada kunangKunang yang juga

sama-sama suka senja

Pada tengkulak yang mencoba mencurangi

nelayan2 di kota

Mereka sama

Page 19: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Perempuanku,

Jika tanganmu semakin membatu

Air akan mengasuhmu lewat basuh lembut

kesabaran

Memberikan 3 menit bisu keterdiaman

Mengolah logika-logika lama

Mendulang lagi kenangan akan senja berdua

Lewat waktu yang serasa koma

Mencapai melankolia lama

Perempuanku,

Jika tanganmu tak lagi menyiku

Ada satu kalimat untukmu:

"Aku masih ingin bertemu"

Keinginan Menyentuh ragu dengan puisi, 2014

* Pranata

Page 20: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Banyak yang mengatakan

Banyak yang bilang

Banyak yang mengatakan

Banyak yang mengecam

Tentang dia

Dia sang anak adam

Banyak yang mengatakan,

Wanita suka menangis karena keadaan

Namun disibak sanalah wanita berjuang tuk

para pahlawan

Banyak yang mengatakan,

Wanita mudah pecah bag cermin hiasan

Disitulah ditemukan, kekuatan sang Ibunda

dalam berkorban

Page 21: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Banyak yang mengatakan,

Wanita lemah dan tak berpengetahuan

Itu dulu tuan,

Sebelum emansipasi datang

Banyak yang mengatakan,

Wanita hanya teman belakang dalam

kehidupan

Tapi, disinilah wanita bersinar dan tak

pernah terbenam

Diantara jutaan, 28 April 2014

Page 22: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Gadis Ayu

Gadis Ayu

Oksigen mahal itu bagimu

Pijatan jarum penghias tubuhmu yang kaku

Cairan plasma luruh, deras, seiring

mengguyurmu

Virus, sahabat setia dalam hidupmu

Gadis Ayu

Gumam itu tak bernada

Jeritanmu tertahan tanpa suara

Valium pembius rintihan merdu berdawai ria

Ranjang beroda mengantarkan ragamu ke

singgah sana

Gadis Ayu

Berbaring lemas nan sayu

Hidupmu tak ingin menghitung waktu

Senyum terlempar tanpa pandang bulu

Semangat hidup adalah perjuanganmu

Leukimia, rumah sakit, 2010

* Ulin

Page 23: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Ilustrasi :

Imam “3 Koma”

Page 24: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Ibu Kartini hingga

Ibu dan Aku

Kau baktikan sisa hidupmu tuk wanita

Indonesia

Hingga mereka mampu berkata

Kau turunkan kelihaian jemari dan tutur

katamu

Hingga mereka mampu berkarya

Kau limpahkan seluruh jiwa dan ragamu

Tuk perjuangkan martabat wanita di depan

bangsa

Selayaknya engkau kartini,

Ibuku pun menjadi wanitamu

Wanita yang berpegang teguh denganmu

Membimbingku menjadi wanita kartini

Memegang jemari ini tuk berani menapaki

tanah air

Menapakkan telapak ini tuk akhirnya

berdiri

Berdiri tuk melahirkan karya

Berdiri tuk menyuarakan semangatmu

Karna ku berdiri karna Ibu dan semangatmu

Page 25: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Salam Ku Untukmu Kartini

Gejolak jiwa yang dahulu tertindas,

membangkitkan raga hawa sesungguhnya

Perjuangkan makna hawa untuk dunia

Meski kau tlah menyatu dengan alam,

Namun tak pernah mati dalam jiwa perempuan

indonesia

wahai kartini semangat dan perjuanganmu

melekat pada wanita titisanmu

Aunganmu mampu membangkitkan jiwa ini

hingga Bangkit dan berdiri kokoh tuk dunia

Dan aku percaya,

wanita Kartini tak lagi tumbang oleh

hembusan Adam

Kusuarakan selalu Salamku Untukmu Kartini

* Tita

Page 26: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 27: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 28: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Kau Tak Dapat Ku Miliki

Seribu puisi yang kupunya,

Tak mampu menyaingi indah wajahmu,

Kau adalah keindahan,

Yang menghiasi duniaku,

Memandangmu,

Aku berharap waktu berhenti,

Menyentuhmu,

Seperti menyentuh sesuatu yang rapuh,

Tapi sangat berharga,

Kau adalah jejak,

Yang iringi langkahku,

Kau adalah detak,

Yang iringi jantungku,

Kau adalah air mata,

Yang iringi tangisku,

Karena kau kan selalu ada di hatiku

..................

Page 29: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Ibu Sahabat Pertamaku

Ibu,

Kau ajarkan aku tentang cinta,

Cinta pertama dalam hidupku,

Sejuta kasih kau suap di mulutku,

Kau adalah sosok sahabat tiada tara,

Pengorbananmu tak mampu ku ucap dengan

kata-kata,

Pahlawan pertama dalam nafasku,

Nyawaku terlindung berbalut cintamu,

Tiada tara,

Tiada kata,

Itulah pengorbananmu,

Ibuku,

Kaulah sahabat cintaku,

Mengalir kasih pertamaku,

Doaku kan selalu menyertaimu

* Azalia

Page 30: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Titik itu berhenti

koma itu berhenti sejenak,

Seru itu segera

dan tanya itu

.....

Apakah sudah Kau jawab

kapan akan kau gores pena (lagi)..?

Page 31: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Wanita dalam sosok

Sosok rapuh namun tak melepuh

Sosok indah namun tak merasa megah

Sosok pasrah namun tak berserah

Dan sosok teduh namun tak rusuh

Merasa semua semu

Mengalir tak berair

Merasa semua hampa

Mengembang dalam alunan tak bersua

Mungkinkah bertanya

Kepada ombak hati tak bertuan

Mungkinkah menyapa

Kepada rintihan tangis yang bergema

Meraih asa tanpa resah

Meraih angan tanpa desah

Menggenggam tangan dalam buaian

Menjadi hangat dalam dekapan

Inilah kisah tak usai

Dalam dunia warna

Ombang ambing gejolak wanita

Dalam rangkaian sinema

* Khikmah

Page 32: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Wanita perkasa

Senja,

Redup yang pankan mata

Di bawah ronanya

Tergeletak puluhan ribu nyawa

Menggentung tanpa arti

Menunggu,

Menyepi,

Membawa derita, memikul asa

Kudus, 04-04-2014

Page 33: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Andai Ku Terlahir Bukan Dari

Rahim Mu Ibu

Andai Ku Terlahir Bukan Dari Rahim Mu Ibu,

Kini ku bimbang bersamamu Apa aku harus

senang?

Aku tak bisa merasakannya Apa ku harus sedih?

Aku masih meragukannya

Andai waktu bisa ku putar kembali

Andai kau bukan Ibu yang melahirkan ku

Aku ingin mencobanya

Mencoba hidup dengan topangan kaki ku

Mencoba berjalan mengikuti hati ku

Aku ingin tahu,

Bagaimana aku hidup tanpa bayangmu ibu

Mata yang selalu mengitariku,

Rasa ingin tahu ku,

Selalu menujam dalam benak ku

* Rina

Page 34: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Talang cinta

Talang cinta Tuhan

Helai rambut hitam menikam

menatap senja di keheningan

Tiba saatnya

Talang Cinta dengan luruh dalam pendakian doa

Setelah dua ratus tujuh puluh hari bersemadhi

dalam hening jati diri

di detak jantung ibu

duh ibu,

Page 35: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Tuhan

cinta apa yang pernah alpa untukku

dekap kasih yang tak pernah lekang bagiku

tak ada keluh, tak ada kesah, dibalik matamu

yang senantiasa basah

dan angka - angka inflasi yg memusingkan tiap

kepala

hanya engkau yang selalu berkata

makanlah, ibu masih kenyang

pakailah, pakaian ibu masih bagus

tenanglah, akan ibu lakukan apa saja untukmu

ibu

bagimu cahaya surga

wakil Tuhan di dunia

di kakimu aku bersimpuh

menghantarkan bakti dan cinta

yang mungkin kelak ku alpa..

* Yudi

Page 36: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

sayang, bunga itu

aku tidak terima, bunga itu terambil orang

aku tidak rela, malam ini dapat kabar

kamu akan di ambil orang

kenapa itu?

aku pun tidak tahu, mau berkata apa

pilihan darimu, hakmu saja

aku tidak bisa bicara lama

lamunan malam ini pertanda hampa

bersiaplah menyantap kehidupanmu

Kudus, 22022014

Page 37: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Camar Biru

Camar, lihatlah itu

pergi dengan perlahan

berdesir suara lirihnya

sekejap berdendang, terdengar lamban

beserta geyuyup angin romantis

saling berhimpitan batang-batang

sungguh tidak terdengar

kicauan lembut

hanya daun pojok itu yang

mendengarnya,

itupun tak keras

namun kian sirna

camar datang dengan perempuan menangis

itupun sirna dalam lantunan angin

tak selang lama, camar kembali

dia hanya meninggalkan lima kata saja

"cinta tak selalu tepat waktunya"

masih ada jalan untuk melewati dan berdiam

diri

kudus, 13032014

* Ulum

Page 38: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

WANITA DI ZAMAN EDAN

Wanita di zaman edan

Ahlaknya serba kebablasan

Wanita di zaman edan

Moralnya serba tak kecukupan

Wanita di zaman edan

Kecanduan kosmetik oplosan

Wanita di zaman edan

Auratnya………Ahai!

sungguh menawan,

Bagi birahi yang kelaparan.

Wanita di zaman edan

“Lonte PK ayam kimcil cabecabean”

Di zaman edan,

Wanita edan!

Kudus, 15 April 2014

* Umam

Page 39: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Ilustrasi :

Imam “3 Koma”

Page 40: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 41: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 42: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK
Page 43: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Kejutan Mengerikan

Buah Tinta: Yuni Isnawati*

Aku terdiam dibalik kaca jendela.

Melihat beberapa kuncup bunga anggrek yang

sedang mekar. Hanya beberapa,tapi terlihat

sangat cantik. Warnanya yang putih cerah

berpadu dengan warna ungu yang membentuk

gradasi, seolah membawa pikiran ke dalam

suasana yang sedikit berbeda ketika

melihatnya meskipun hanya beberapa detik.

Aku berbalik arah, melihat suasana rumah

yang sepi. Bagi keluargaku, hari minggu

adalah bonus waktu untuk berlama-lama di

dalam selimut. Jadi tidak heran, jika di

hari minggu aku sering menikmati suasana

pagi tanpa aksi jahil adik adikku yang

sering membuat gaduh.

Aku berjalan pelan menuju meja makan.

Aku mengambil ponselku yang tergeletak di

meja makan. Sambil duduk di kursi, aku

Page 44: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

membuka pesan yang belum aku baca sejak

tadi malam karena tidak kuat menahan

kantuk.

Ada empat pesan dari kontak yang

sama. Aku namai kontak tersebut dengan

nama “Mas Hendra”. Hendra adalah kekasihku

sejak tiga bulan yang lalu. Kami adalah

teman yang sering satu kelas ketika

kuliah. Aku memang tertarik dengannya

sejak pertama kali aku melihatnya. Namun

waktu itu aku tidak berani berharap agar

bisa dekat dengannya. Karena aku sadar,

aku bukan wanita berparas cantik,

berpenampilan menarik, dan tidak pintar.

Aku mahasiswa biasa. Sungguh berbanding

terbalik jika dibandingkan dengan Hendra.

Dia adalah kakak tingkatku, dia dua tahun

lebih tua dariku. Dia mahasiswa semester 8

yang penampilannya sangat menarik.

Wajahnya tampan, senyumnya ramah, dan

banyak dikenal oleh mahasiswa kampus

Page 45: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

karena keaktifannya dalam beberapa

organisasi. Ya, bisa dibilang dia itu pria

idaman bagi banyak wanita. Jadi aku masih

tidak percaya, seorang lelaki yang dikenal

dengan banyak kelebihannya itu menyukai

wanita biasa sepertiku. Wanita pendiam

yang tidak memiliki popularitas.

Aku membaca pesan darinya satu per

satu. Terbayang sosoknya yang gagah itu

dalam benakku. Aku tersenyum, tersipu, dan

merasa sangat senang. Bukan hanya karena

pesan-pesannya yang selalu menaikkan detak

jantungku. Tapi semua memori akan

kejadian-kejadian kecil yang kami lalui.

***

Wajah beberapa mahasiswa tampak

sedikit mengerut karena teriknya matahari

yang membakar kulit. Aku duduk di salah

satu kursi di sudut ruangan berdinding

kaca. Sesekali aku melihat ke arah luar,

Page 46: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

mencari batang hidung mas Hendra. Aku

memasang senyum melihat dosen muda yang

melintas. Beliau adalah dosen kuliah kami

hari ini. Beliau memang disiplin. Saking

disiplinnya, beliau sering menunggu

mahasiswanya yang datang. Mungkin itu

salah satu sebab beliau bisa mencapai

kesuksesan di usia muda. Yaitu disiplin

dan bisa mengelola waktu dengan baik.

Aku kembali memasang senyum,

menyambut kedatangan mas Hendra yang

tampak semangat. Wajahnya terlihat segar,

seperti wangi parfum yang dia pakai hari

ini.

“Gimana tidurmu semalam?” ucapnya

membuka pembicaraan sembari duduk di

sebelahku.

“Nyenyak mas.”

Jawabku dengan senyum singkat.

Page 47: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“Maaf ya akhir-akhir ini aku agak

sibuk, soalnya lagi banyak urusan. Hari

ini aku kuliahnya juga cuma sebentar, mau

pamit sama pak Dani dulu” ujarnya, sambil

merapikan lengan baju panjangnya.

“Emm...memangnya mau pergi kemana

mas?”

“mas mau ke...”

“Eh Hendra, Widia. Kalian ngapain

mojok disitu? Ayo cepat masuk kelas.

Kuliah sudah dimulai tuh!” tegur Bowo

sambil menarik lengan Hendra menuju kelas.

Aneh, Bowo seperti sengaja memotong

obrolan kami. Ya sudahlah, mereka kan

teman karib. Mungkin Bowo tidak ingin

temannya itu terlalu lama mengabaikan

kelas kuliah yang sudah dimulai sejak

beberapa menit yang lalu.

***

Page 48: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Sejak hari itu, mas Hendra semakin

jarang menemuiku. Hanya pesan-pesan

singkat yang mengingatkanku untuk makan,

istirahat, mengerjakan tugas. Dia

membuatku merasa kehilangan.

Jika aku bertanya, “sebenarnya mas

Hendra sibuk apa?” Dia menjawab “Mas

sedang sibuk buat masa depan.” Lalu jika

aku bertanya, “Masa depan gimana

maksudnya?” Dia menjawab, ”Masa depan yang

mas inginkan.” Semua jawaban itu tidak

menjawab rasa penasaranku.

Aku masih bertanya-tanya, tapi aku

tidak ingin mencurigai mas Hendra. Mungkin

karena skripsinya yang sulit sehingga

menghabiskan banyak waktu dan pikiran.

Iya, aku harus percaya sama mas Hendra.

Aku harus bisa mengerti dia disaat dia

sibuk seperti ini.

Page 49: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Aku menghela nafas. Menyusul ketiga

temanku yang berjalan menuju kantin.

Mereka adalah Ana, Dina dan Ulya. Kami

duduk berhadapan di meja persegi panjang

yang siap menjadi lahan untuk santapan

kami. Kami adalah teman sejak ospek.

Pertemanan kami tidak terlalu dekat, hanya

sekadar teman biasa yang sering makan

bersama di kantin.

“ini ya, yang namanya Widia?”Suara

wanita menghentikan gurauan kami.

Kami memandangi wanita cantik itu.

Wanita itu berdiri tepat di hadapanku,

bersama kedua temannya.

“iya. Aku Widia. Kamu siapa?” kataku

sambil menatap mata lentiknya yang terbuka

lebar.

“Gue Ratna.” Jawabnya dengan nada

ketus.

Page 50: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Wajahnya menyiratkan kebencian. Meski

begitu wajahnya tetap cantik dengan

pulasan make up tipis. Tubuhnya tinggi dan

ramping. Sangat apik dengan balutan dress

warna biru yang membuat kulitnya terlihat

cerah. Tapi sayang, dia kurang tahu sopan

santun. Sehingga mengurangi aura

kecantikannya yang elok.

“Kayaknya aku gak kenal sama kamu

Ratna. Ada apa ya?” tanyaku lagi.

“Tidak ada apa-apa. Cuma mau

memberikan ini.” katanya sambil

menyodorkan amplop berwarna coklat.

Aku menerimanya dengan wajah yang

masih bertanya-tanya. Menatap wajah gadis

cantik itu lekat-lekat. Antara terpesona

dan heran. Gadis itu lantas melangkah

pergi di susul dengan kedua temannya.

Melenggak lenggok hingga membuat beberapa

lelaki tercekat melihatnya. Suara hak

Page 51: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

sepatunya perlahan menghilang, membuatku

berhenti memandangi gadis cantik itu.

Aku teringat dengan amplop yang ada

di tanganku. Aku membukanya dengan rasa

penasaran. Aku mengambil 2 lembaran foto

di dalamnya. Memandangi dua orang yang ada

di foto-foto itu.

Aku terbelalak. Aku masih tidak

percaya. Foto mas Hendra yang sedang asyik

bersantap di sebuah kedai bersama wanita

tadi. Apakah ini jawaban dari pertanyaanku

selama ini? Apakah yang aku khawatirkan

selama ini memang terjadi? Apa benar, mas

Hendra tega membohongiku dengan cara

seperti ini?

Aku tidak menghiraukan komentar

teman-temanku yang terdengar histeris

melihat dua lembar foto itu. Pikiranku

melayang jauh. Apakah mungkin mas Hendra

Page 52: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

mempunyai hubungan khusus dengan wanita

tadi?

Aku beranjak pergi meninggalkan

teman-temanku, mencari tempat untuk

menenangkan diri.

***

Aku termenung di atas kasur. Sudah

dua hari aku menghabiskan waktu di kamar.

Aku memutar-mutar HP yang sengaja aku

matikan. Aku sengaja menghindar, sengaja

diam dan membiarkan Hendra berpikir

sendiri mengapa aku begini. Wanita lebih

suka bila pasanganny mampu menebak apa

yang ada dalam pikiran wanita, meskipun si

wanita tahu bahwa hal itu menyulitkan

pasangannya.

“Tok tok tok tok, kak tolong bukakan

pintunya. Tolong kak, bukakan pintunya.”

Suara kurcaci-kurcaci itu membuatku tidak

Page 53: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

tahan, dan memaksaku untuk membuka pintu

kamarku. Dengan malas aku membukanya.

”Ha” teriakku refleks melihat dua

orang dengan wajah tertutup kain hitam

berada di depan daun pintu bersama kedua

adikku.

“waaa” teriakku lagi ketika mereka

dengan cepat menarik lenganku dan

membawaku keluar rumah dan masuk mobil.

Aku berteriak, namun kedua orang itu

berusaha menutup mulutku dengan tangan

kanannya. Tidak salah lagi, aku diculik!

Lalu adikku, Mama, Papa. Bagaimana dengan

mereka?

Aku menenggerakkan seluruh badanku

dengan sekuat tenaga. Aku berusaha untuk

lepas dari tangan-tangan mereka tapi tidak

berhasil. Sepertinya tangan yang menutup

mulutku ini adalah tangan seorang wanita.

Terlihat dari kukunya yang di cat dengan

Page 54: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

apik dan cantik. Aku memegang tangannya

yang halus, memandangi wajahnya yang

tertutup kain hitam, hanya kedua matanya

yang terlihat.

Tidak lama setelah itu, mobil

berhenti. Salah satu dari mereka menutup

mataku dengan kain. Tangan yang bercat

kuku cantik memegangi tanganku. Aku hanya

pasrah karena mulai kelelahan, melangkah

pelan dituntun dua orang tadi. Pikiranku

panik, bercampur aduk. Akan dibawa kemana

aku ini?

Aku hanya diam ketika mereka

memaksaku duduk di sebuah kursi. Mereka

melepaskan kedua tangannya. Ini adalah

kesempatan untukku lari dari sisni. Ya!

Secepatnya!

Dengan cepat aku membuka penutup mata

dan segera bangkit dan berlari. Aku

memandang sekeliling. Tempat apa ini? Aku

Page 55: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

memutar arah pandanganku. Dari sudut kiri,

sudut kanan, dan sisi atas ruangan ini.

Ini bukan layaknya gudang atau rumah

kosong tempat orang menyandera korbannya.

Suasana yang asri dan damai dengan alunan

musik balada yang perlahan memperlambat

detak jantungku.

Aku masih tidak mengerti. Tepat di

atas meja mungil berbentuk bundar terdapat

rangkaian bunga yang sangat cantik dan

tiga lilin yang menyala.

“Sayang…”

Suara yang amat aku kenal, diikuti

dengan suara langkah kaki yang mantap. Aku

menoleh, mencari asal suara itu. Astaga!

Mas Hendra.

“Ma mas...Mas Hendra?”

Aku terkejut melihat wajah penuh

senyum itu. Penampilannya sangat rapi

dengan tatanan rambutnya yang kelimis.

Page 56: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“hehe..kaget ya?”

“a..apa ini maksudnya? Kenapa...”

Aku sedikit gugup dan malu karena

menyadari penampilanku yang sangat

berantakan. Aku hanya diam menunduk

menunggu jawaban. Hanya menurut saja

ketika aku di tuntun untuk duduk di sebuah

kursi tepat di depan meja bundar. Aku

memandangi penampilannya yang kali ini

sangat mempesonaku. Dia duduk di depanku,

dan kami bertatapan tepat di antara meja

mungil yang berhiaskan lilin-lilin cantik.

“Sayang, mungkin ini terlalu cepat

untuk sayang. Atau mungkin sayang masih

ragu, tentang keseriusanku untuk

menjadikanmu pendampingku. Beberapa hari

ini mungkin sayang mencurigaiku dan ingin

meninggalkanku. Mungkin sayang

menganggapku tidak peduli dengan

kelanjutan hubungan kita. Tapi, ada satu

Page 57: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

hal yang harus aku katakan, dan kali ini

sayang harus percaya.”

Jantungku berdebar. Lebih kencang

jika dibandingkan dengan tragedi

penculikan yang aku alami beberapa menit

yang lalu. Dia berdiri, melangkah dan

berhenti tepat di depanku. Tangannya

meraih tanganku yang gemetaran, lalu

menunuduk dan menjatuhkan lutut kirinya di

lantai. Kedua bola mata kami saling

berdekatan, lalu dengan perlahan dan hati-

hati dia katakan.

“Sayangku Widia. Maukah kamu menjadi

istriku?”

Aku tak dapat mengeluarkan suara. Ini

seperti mimpi. Memoriku mengarah pada

wanita cantik itu. Kedai ini. Astaga!

Tidak salah lagi, ini kedai tempat mas

Hendra terlihat mesra dengan wanita itu.

Aku mencari kedua penculik yang ternyata

Page 58: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

masih berdiri di belakangku. Aku

terbelalak menyaksikan wajah mereka yang

telah menanggalkan penutupnya.

“Ratna, Bo..Bowo?”

Aku setengah berteriak. Sungguh tak

percaya dengan semua ini. Mereka tersenyum

melihatku yang terbelalak tak menyangka

semua ini adalah rencana mereka.

“Iya, aku Ratna. Aku sepupunya

Hendra. Aku yang punya kedai ini. Jadi

beberapa hari lalu kami sering ketemuan

untuk persiapin drama ini. Hehehe.” ucap

Ratna dengan wajah yang tersenyum ramah,

sangat berbeda dengan raut wajahnya saat

kami bertemu beberapa hari yang lalu.

Aku menitikkan air mata. Mungkin ini

yang disebut menangis bahagia. Aku tak

kuasa mengucapkan apapun selain memeluk

mas Hendra. Aku tidak ingin sedikit pun

jauh darinya.

Page 59: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“Iya, aku mau mas” jawabku kemudian,

dengan penuh kemantapan.

*Mahasiswa Sistem Informasi UMK

Bulan tidak pernah membenci matahari.

Begitupun matahari, ia tidak pernah membenci

bulan.

Mereka Saling memiliki, melengkapi, dan bersinergi.

Page 60: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Terimakasih Ibu

Buah Tinta: Alfi Muhimmatul Fauziyyah*

Mentari yang bersinar terang di ufuk

timur memberikan semangat untukku. Hari

ini adalah hari pertama aku sekolah. Aku

punya teman baru, guru baru, dan

lingkungan baru. Aku merasa senang, tapi

aku takut jika teman-teman mengejekku. Aku

berbeda dengan mereka. Kaki kiriku tidak

bisa digunakan untuk berjalan. Aku pincang

sejak lahir. Untuk berjalan aku harus

menggunakan tongkat.

“Zaza, ayo sayang masuk ke dalam kelas”

kata Ibuku.

“I…iya bu,” aku mencium tangan Ibu dan

bergegas masuk ke dalam kelas.

“Ibu, Zaza masuk ke kelas dulu ya.”

“Iya sayang, belajar yang rajin ya,” ucap

Ibu sampil mencium keningku.

Page 61: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Aku duduk di bangku paling depan

dekat dengan meja guru. Kuperhatikan

teman-teman dikelasku, mereka tidak ada

yang cacat seperti aku. Mereka mempunyai

dua kaki yang utuh. Mereka mempunyai fisik

yang sempurna. Rasa takutku muncul

kembali, aku takut jika teman-teman

mengejekku karena aku cacat.

Dari luar kelas terlihat perempuan

muda berparas cantik sedang berjalan

menuju ke dalam kelas. Dia adalah guru

kelasku.

“Selamat pagi anak-anak.” ucap bu

guru ketika masuk ke dalam kelas.

“Selamat pagi bu guru,” ucap semua siswa.

“Anak-anak, Ibu ucapkan selamat

datang di SD Harapan Bangsa. Kalian adalah

siswa terpilih dari ratusan siswa yang

mendaftar di sekolah ini. Jadi, tepuk

tangan untuk kalian semua.”

Page 62: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Semua siswa tampak gembira seraya

bertepuk tangan.

“Selanjutnya, Ibu akan memperkenalkan

diri Ibu. Semua sudah siap mendengarkan bu

guru?”

“Yaaa bu.” jawab siswa serempak.

“Baiklah, perkenalkan nama Ibu adalah

Ana Silvia, anak-anak bisa memanggil bu

guru dengan panggilan bu Ana. Nah,

sekarang giliran anak-anak yang berkenalan

dengan teman sebangku masing-masing ya,

sebutkan nama lengkap kalian!” pinta bu

Ana.

Aku pun berkenalan dengan teman

sebangkuku.

“Hai namamu siapa? Aku Zaza Citra

Putri, biasa dipanggil Zaza”, ucapku

sambil tersenyum.

Page 63: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“Namaku Ila Saskia”, jawab Ila dengan

memalingkan muka.

Aku sangat sedih karena Ila membalas

dengan muka masam di wajahnya. Kenapa Ila

seperti itu? Apa karena aku cacat, jadi

dia tidak mau berteman denganku. Tapi aku

kan tidak pernah minta dilahirkan dengan

keadaan seperti ini. kenapa semua terasa

tidak adil.

“Hai, namamu siapa?’ tiba-tiba

terdengar suara anak laki-laki yang duduk

di bangku nomor dua, tepat di belakang

bangkuku. Aku menoleh kebelakang,

“Hai, namaku Zaza Citra Putri, namamu

siapa?”

“Aku Fahmi Najib, senang berkenalan

denganmu.” ucap Fahmi sambil tersenyum.

“Iya, aku juga senang berkenalan dengamu,

tapi kamu tidak malu berteman denganku?”

kataku.

Page 64: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“Aku senang berteman dengan siapa saja,

termasuk denganmu. Mulai sekarang kita

berteman ya?” kata Fahmi.

“Iya, aku mau berteman baik denganmu.”

jawabku dengan tersenyum.

***

Bel pulang sekolah berbunyi, aku

menghampiri ibu yang sudah menungguku di

gerbang sekolah. Sesampai di rumah, Ibu

bertanya kepadaku.

“Za, hari pertama masuk sekolah pasti

menyenangkan ya?”

“Iya bu, hari ini aku berkenalan

dengan bu guru dan teman-teman. Ada

temanku yang sangat baik bu, namanya

Fahmi. Dia tidak malu berteman dengan

Zaza, padahal Zaza anak yang cacat.”

“Eh, anak Ibu tidak boleh berkata seperti

itu, setiap manusia yang diciptakan Allah

Page 65: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

memiliki kekurangan dan kelebihan Zaza.

Zaza harus bersyukur karena diberi Allah

kecerdasan, diberi dua mata yang bisa

melihat, dua tangan, dan diberi kesehatan.

Itu semua adalah karunia Allah. Jangan

karena Zaza cacat, Zaza jadi rendah diri.

Allah tidak suka dengan orang yang rendah

diri. Ibu sayang sama Zaza. Walaupun Zaza

cacat, Ibu akan tetap menyayangi Zaza,

karena Zaza adalah anak ibu yang paling

baik.” Mendengar kata-kata Ibu, aku tidak

sedih lagi. Aku berusaha menerima

keadaanku dengan ikhlas.

***

Sudah satu bulan aku bersekolah,

namun tidak banyak yang mau berteman

denganku. Hanya Fahmi yang mau berteman

baik denganku. Karena apalagi kalau bukan

karena aku cacat. Aku memang berbeda

dengan teman-temanku. Seperti pagi ini,

Page 66: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

ketika jam olahraga aku hanya bisa melihat

teman-teman dari jendela kelas.

Bel masuk kelas berdering. Bu Ana

masuk ke dalam kelas dengan membawa

brosur. Aku penasaran dengan isi brosur

yang dibawa Bu Ana.

“Anak-anak, Ibu membawa brosur yang

berisi pengumuman penting. Dengarkan baik-

baik ya. Dinas Pendidikan Kabupaten akan

menyelenggarakan lomba menyanyi tingkat

SD. Minggu depan sekolah kita akan

mengadakan tes seleksi untuk memilih satu

siswa yang akan mewakili sekolah dalam

lomba tersebut. Ibu harap salah satu

diantara kalian bisa mewakili sekolah kita

untuk berpartisipasi dalam lomba

tersebut.”

Mendengar pengumuman itu, aku senang.

Aku ingin mengikuti lomba menyanyi itu.

Page 67: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Tapi, aku ragu. Aku menunduk dan

memandangi kakiku.

Sampai di rumah, aku bercerita kepada

ibu.

“Bu, tadi bu Ana mengumumkan kalau

akan diadakan lomba menyanyi tingkat SD

se-Kabupaten. Zaza ingin ikut bu, tapi

Zaza takut kalau orang-orang mengejek Zaza

karena Zaza cacat.”

“Lho...lho...lho...Zaza kok bilang

begitu? Kan Ibu selalu bilang, Zaza itu

sama dengan yang lainnya. Apalagi suara

Zaza kan sangat merdu, jadi Zaza pasti

bisa. Dan pastinya ibu akan selalu

mendukungmu.” Kata ibu lalu memelukku.

“Terimaksih bu, Zaza janji akan

mengikuti tes seleksi itu. Zaza akan

berusaha menyanyi dengan baik.” ucapku.

Tes seleksi pun dilaksanakan.

Pesertanya banyak sekali. Tidak hanya dari

Page 68: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

kelas satu, tetapi mulai kelas satu hingga

kelas enam pun mengikuti tes seleksi ini.

Kini, giliran aku menyanyi. Dengan tenang

aku pun membawakan sebuah lagu yang sudah

aku siapkan dari rumah. Tanpa kuduga,

akhirnya pihak sekolah mengumumkan kalau

yang akan mewakili sekolah untuk mengikuti

lomba menyanyi adalah aku. Bahagianya

diriku. Sejak hari itu, aku berjanji akan

latihan setiap hari di rumah.

***

Hari perlombaan itu tiba. Setelah

berlatih selama dua minggu, kini aku

berada dalam panggung lomba.

“Kita saksikan penampilan Zaza Citra

Putri dari SD Harapan Bangsa.” kata

pembawa acara memintaku naik panggung.

Pandanganku menyapu seluruh ruangan.

Aku melihat ibu, Bu Ana, guru-guru dan

Page 69: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

teman-teman di baris penonton sambil

menyemangatiku.

“Aku akan menyanyikan sebuah lagu

dari Hadad Alwi dan Farhan yang berjudul

Ibu, lagu ini aku persembahkan untuk Ibuku

tercinta.” ucapku sebelum menyanyi.

IBU

Bersinar kau bagai cahaya yang selalu

beriku penerangan

Selembut sutra kasihmu kan selalu rasa

dalam suka dan duka

Kaulah Ibuku

Cinta kasihku

Terimakasihku tak kan pernah terhenti

Kau bagai matahari yang selalu bersinar

Sinari hidupku dengan kehangatanmu

Bagaikan embun kau sejukkan, hati ini

dengan kasih sayangmu

Page 70: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Betapa kau sangat berarti dan bagiku kau

tak kan pernah terganti

Kaulah Ibuku

Cinta kasihku

Terimakasihku tak kan pernah terhenti

Kau bagai matahari yang selalu bersinar

Sinari hidupku dengan kehangatanmu

Kaulah Ibuku

Cinta kasihku

Pengorbananmu sungguh sangat berarti

Kaulah Ibuku

Cinta kasihku

Terimakasihku tak kan pernah terhenti

Kau bagai matahari yang selalu bersinar

Sinari hidupku dengan kehangatanmu

Aku mendengar sorak sorai tepuk

tangan dari penonton ketika aku selesai

menyanyi. Aku meneteskan air mata. Ibu

Page 71: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

yang melihatku juga meneteskan air mata.

Dalam hati aku berkata “Terimakasih Ibu,

Engkau yang selalu memberikan semangat

kepadaku, kasih sayangmu begitu besar

kepadaku.”

Kini tiba saatnya, panitia

mengumumkan pemenang lomba. Jantungku

berdegup kencang. Napasku seperti

meloncat-loncat tak karuan. Dari atas

panggung, juri membawa selembar kertas

yang berisi nama pemenang.

“Juara I lomba menyanyi dimenangkan

oleh Zaza Citra Putri dari SD Harapan

bangsa” kata juri dengan keras.

“Zaza, kamu menang. Kamu juara 1

Zaza.” Ucap ibu sambil memelukku. Aku

tidak percaya.

“Terimakasih ya Allah, Engkau telah

memberikan karunia yang begitu besar

Page 72: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

padaku.” Ucapku sambil meneteskan air

mata. Aku sangat senang sekali.

Aku sekarang sadar, aku tidak boleh

rendah diri. Fisikku memang berbeda dengan

teman-teman lainnya. Tapi aku juga bisa

berprestasi. Sama seperti yang diucapkan

oleh Ibu. Terimakasih Ibu, selama ini

selalu menguatkanku.

Gubug Impian, 31 Januari 2014

*Mahasiswa PGSD

Page 73: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Ilustrasi :

Imam “3 Koma”

Page 74: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Rembulan Surga untuk Mama

Buah Tinta: Khikmah Khusnia*

Senja hari ini pancarkan energi yang

maha dahsyat untukku. Kicauan burung pipit

yang meramaikan halaman, mengingatkanku

dimasa kecil yang sering bermain kejar-

kejaran bersama teman-teman. Teman-teman

memanggilku Alya. Gadis berkulit putih

bersih dengan lesung pipi dan rambut

berponi miring.

“Hai Al” suara Dila memecah lamuanku.

“yuk ke mall” ajak Dila.

“Males ah. Mendingan baca novel di

rumah” jawabku singkat.

“Emm, ya sudah, kita ngobrol saja

ya,” ucap Dila.

Aku pun mengangguk pelan.

Page 75: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Setelah ngobrol banyak tentang masa

kecil kita, akhirnya Dila pamit pulang.

Terdengar suara Mama batuk-batuk di

ruang tengah. Sedangkan dik Zahra asyik

main game di ruang belajar. Ayah,

merantau di Kalimantan dan sudah lima

tahun tidak pulang.

Suara adzan mulai menghiasi waktu

magrib. Aku, Mama, dan dik Zahra sholat

berjama’ah di mushola. Kami baru dua bulan

menjadi muallaf. Kami sekeluarga

memutuskan untuk berpindah keyakinan

setelah memperoleh pengalaman spiritual.

Semenjak itu, kami mulai mendalami agama

islam. Tak mudah menjalani hidup di

lingkungan keluarga yang sebagian besar

beragama non muslim. Apalagi semenjak

keluarga kami berpindah keyakinan. Mereka

menilai kami sesat, dan itu cukup

menyakitkan bagi kami.

Page 76: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

###

Aku menghampiri Mama yang sedang

membaca koran di ruang tengah.

“Ma, jika aku pergi menuntut ilmu ke

luar negeri, apa Mama mengizinkan?”

Tanyaku pada Mama.

“Apa? Ke luar negeri? Mama tidak akan

mengizinkan kamu pergi. Yang Mama punya di

dunia ini cuma kamu dan Zahra. Papa sudah

pergi, apa kamu juga tega meninggalkan

Mama?” Pertanyaan Mama membuatku semakin

kalah rayuan.

“Tapi Ma, aku bisa menuntut ilmu dan

berkarier lebih leluasa. Aku akan buktikan

pada Mama kalau aku bisa sukses” Ucapku.

“Kalau hanya kuliah, Mama bisa

membiayai kamu. Kamu tidak perlu kuliah ke

luar negeri untuk mendapatkan beasiswa“

jelas Mama.

Page 77: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Kali ini Mama teguh pada

pendiriannya. Tekadku sudah bulat. Aku

harus tetap pergi keluar negeri untuk

menggapai cita-citaku. Aku berpikir

realistis hidup dari penghasilan berjualan

di warung kopi itu sama sekali tidak

menjanjikan. Beasiswa ini adalah

kesempatan emasku untuk menuntut ilmu dan

berkarier agar aku bisa meringankan beban

Mama.

####

Tante Risma tiba-tiba datang dan

memaki-maki Mama.

“Kalian sebaiknya pergi dari rumah

ini. Mana sertifikat rumah ini! Sudah

bertahun-tahun hutang, tapi tidak

dibayar!” kata tante Risma.

Bagai disambar petir di siang hari,

kemarahan tante Risma membuat hatiku

sangat rapuh. Aku tidak tahu apa yang

Page 78: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

terjadi hingga tante Risma akan menyita

rumah Mama. Sebanyak itukah hutang Mama

hingga Mama harus menyerahkan rumah pada

tante Risma.

Mama tak berkutik. Mama hanya bisa

menangis. Aku tahu bagaimana perasaan

Mama. Aku bisa membaca kesedihan di wajah

Mama. Mama yang aku kenal, adalah sosok

wanita yang tidak banyak bicara. Mama

lebih suka diam dan menyembunyikan

kesedihannya dalam hati.

“Tante, Alya mohon, beri kami waktu

tiga hari saja. Alya janji akan

mengembalikan uang tante,” Pintaku pada

tante Risma.Tante Risma hanya memalingkan

muka dan tidak bicara sedikitpun. Akhirnya

tante Risma pulang dengan wajah kesal.

“Sebenarnya apa yang terjadi ma?”

Tanyaku sedikit mengintrogasi Mama.

Page 79: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“Mama terpaksa berhutang kepada tante

Risma untuk menebus obat Zahra saat dia

opname di rumah sakit” Jelas Mama.

Mama menangis, air matanya tumpah.

Sejujurnya aku rapuh melihat Mama seperti

ini. Tapi aku tidak boleh ikut menangis.

Aku tidak ingin Mama bertambah sedih.

“Ma, Alya mohon, izinkan Alya pergi

ke luar negeri untuk menuntut ilmu Ma.

Alya janji, Alya akan jaga diri. Alya juga

akan berkarier disana. Alya ingin meraih

cita-cita Alya. Alya tidak ingin Mama

terus-terusan dihina mereka. Alya akan

buktikan kalau Alya jauh lebih sukses dari

mereka. Ma, Alya mohon, izinkan Alya

pergi. Alya janji tidak akan menjadi

beban Mama lagi. Jika Alya sukses, Alya

akan membiayai kuliah dik Zahra.” Aku

memohon dan bersimpuh di kaki Mama sambil

terisak-isak. Mama memegang erat tanganku

dan menghapus air mata yang membasahi

Page 80: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

pipiku. Mama terdiam. Aku tahu, Mama sudah

mulai tak kuasa menghalangi niatku pergi.

Mama mulai merangkai kata.

“Pergilah nak, kamu berhak meraih

cita-citamu. Jaga dirimu ya nak. Semoga

kelak kamu bisa sukses disana.” ucap mama.

####

Pasporku sudah siap. Dua hari lagi

aku akan meninggalkan Indonesia. Aku tahu

perasaan Mama. Mama pasti sangat sedih

melepas kepergianku. Tapi ini adalah

pilihan. Pilihan untuk masa depan keluarga

kami.

“Ma, Alya berangkat ya. Doakan Alya”

pintaku pada Mama.

Lagi-lagi Mama meneteskan air mata.

Mama memelukku dengan pelukan yang sangat

erat. Dik Zahra meraih tanganku. Aku tak

henti-hentinya meneteskan air mata.

Rasanya meninggalkan orang-orang terkasih

Page 81: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

adalah siksaan berat. Tapi ini harus aku

lakukan untuk masa depan keluarga kami.

####

Aku bersyukur. Aku sudah tiba di

Jerman. Aku mulai kuliah disalah satu

universitas negeri disana. Nilaiku selalu

cumlaude. Waktu berputar sangat cepat.

Aktivitasku tidak hanya kuliah, aku juga

bekerjasama di media cetak terkemuka di

Jerman sebagai redaktur. Semenjak di

Jerman, aku mulai tekun mempelajari dunia

jurnalistik. Yang menjadi kebanggaanku

disini, buku-buku terbitan Indonesia

sangat memikat warga Jerman terutama

novel-novel remaja. Kecintaanku pada dunia

jurnalistik berawal dari kegiatan

favoritku membaca banyak buku. Aku

memiliki inspiring word “Tanganku akan

lepuh dimakan zaman, namun karyaku akan

tetap bersinar dan abadi sepanjang zaman”.

Page 82: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Itulah inpiring word yang membuatku

terus berkarya.

Aku tak pernah absen mengirim email untuk

Mama. Seminggu, hampir tiga kali aku

mengirim email untuk Mama. Menanyakan

kabar Mama, kesehatan Mama, perkembangan

warung kopi Mama, kabar dik Zahra, dan

masih banyak lagi. Aku juga sering

mengirimkan uang bulanan untuk Mama. Agar

Mama bisa tetap bertahan hidup dan

membiayai sekolah dik Zahra di Indonesia.

####

Hari ini aku wisuda. Aku diwisuda

tanpa kehadiran Mama. Rasanya

kebahagiaanku sedikit musnah tanpa

kehadiran Mama disisiku. Rasanya iri,

melihat teman-teman mendapat rangkaian

bunga dan ucapan selamat dari orang-orang

terkasih. Sedangkan aku tak ada yang

memperhatikan.

Page 83: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“Dear, don’t be sad. Be happy, I’m

beside you” kata Fahmi padaku.

Fahmi itu teman sejati untuk

menumpahkan segala keluh kesahku selama

aku di Jerman. Dia juga dari Indonesia.

Tetapi dia jauh lebih beruntung daripada

aku. Karena dia kaya raya. Namun dia tak

pernah membangga-banggakan kekayaan yang

dimilikinnya. Dia sangat baik padaku.

####

Aku masih menetap di Jerman. Aku

menjadi asisten dosen disini dan

mendapatkan beasiswa S2. Jadi, aku tidak

akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Tak

hanya itu, sekarang aku mulai menata hidup

lebih religius. Aku memutuskan untuk

behijab. Hidayah untuk berhijab telah

memelukku. Aku sadar bahwa menutup aurat

adalah kewajiban bagi muslim maupun

muslimah.

Page 84: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Ini adalah persembahan terindah untuk

Mama. Mama pantas untuk menerima kado

terindah ini. Ya, aku memberangkatkan Mama

haji. Aku ingin membuat Mama bahagia.

Membahagiakan wanita yang melahirkanku,

merawatku, membesarkanku dengan cinta dan

kasih yang sangat tulus, mengirimkan doa-

doa yang sangat berpengaruh dalam hidupku

sehingga aku bisa sukses.

####

“Doakan Mama nak, hari ini Mama akan

berangkat ke tanah suci. Terima kasih ya

nak. Mama akan selalu mencintaimu” kata

Mama saat aku menelpon beliau.

Aku sangat bahagia dan terharu. Aku

turut merasakan kebahagiaan Mama. Sejak

dulu, Mama ingin sekali berangkat haji.

Karena faktor biaya, Mama selalu menghapus

niatnya itu.

####

Page 85: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Dik Zahra sudah semester tujuh. Aku

pun sudah sukses di Jerman. Aku memutuskan

untuk kembali ke Indonesia.

“Mbak, cepat pulang, Mama sakit” Dik

Zahra menelponku dengan nada cemas.

Aku pun segera menuju Indonesia.

Tangisku pecah kala aku memadang

rumah mungilku dipenuhi tetangga yang

membaca surat yasin. Tampak tante Risma

membawa dua keranjang bunga segar, dan pak

dhe Toni memegang keranda jenazah.

Ternyata, wanita yang ada dibalik

keranda jenazah itu adalah wanita yang

sangat aku rindukan, wanita yang sangat

aku cintai, wanita yang selalu membelaiku

dengan kasih sayang, dan wanita yang

berpengaruh dalam kesuksesanku. Kenapa

kedatanganku harus dibayar dengan

kepergian Mama?

Jika boleh aku ingin bertanya kepada Allah

Page 86: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Kenapa menjemput Mama secepat ini?

Aku bahkan belum mampu mengeja kenangan,

tapi Mama sudah pergi.

Aku hanya bisa menangis di makam

Mama. Sulit melepas kepergian Mama. Aku

yakin, Mama berada ditempatNYA yang paling

indah.

Aku hanya bisa memandang rembulan

yang memancarkan sinar terangnya tiap

malam. Aku pernah ingat perkataan Mama

sewaktu aku masih kelas tiga SD.

“Lihatlah rembulan itu sayang, disana

ada bidadari yang cantik jelita” ucap

Mama.

“Pasti bidadari itu tidak kalah

cantik dengan Mama” Jawabku kala itu.

Memandang rembulan itu sebetulnya

belum cukup melepas kerinduanku pada Mama.

Page 87: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Setiap malam, aku memandang rembuan dan

berkata, “Aku merindukanmu Ma, aku

mencintai Mama.”

Semoga Mama bahagia di rembulan

surga, karena rembulan surga itu hanya

untuk Mama. Mama yang paling aku cinta.

“Mama itu ibarat lautan tanpa tepi, gunung

tanpa kerucut, kerinduan tanpa batas,

cinta tanpa lelah, kasih tanpa celah“

Rumah Sastra, 28 Maret 2014

*Mahasiswa PGSD Semester 4

Page 88: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Bagaimanapun,Dia Adalah

Anakku

Buah Tinta: Rina Noviana*

Sore itu, langit tampak marah padanya.

Dia tetap duduk manis menanti belas kasih,

terus saja meratapi nasib buruknya.

Hidupnya bagaikan runtuhan angan yang

pernah bergelayut dalam pikirannya. Ia

habiskan masa hidupnya dari belas kasih

pemuda-pemudi yang lalu lalang

dihadapannya. Setiap hari recehan uang ia

kumpulkan di kotak kue usang. Warnanya

sudah menguning, sebagian sudah berubah

coklat dengan bau yang cukup menyengat.

Hidupnya tampak mengenaskan ketika ia

harus menerima kenyataan. Anak laki-

lakinya pergi darinya. Badrun nama

anaknya, anak laki-laki yang tak tau diri.

Page 89: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Setiap malam dia pulang dengan tubuh yang

sempoyongan. Matanya buta oleh nikmat

dunia yang selalu menggerogoti tubuhnya.

“Darimana saja kau nak?” tanyanya

sambil memegang lengannya.

“Awas kau, tua renta busuk.” ucapnya

sembari mendorong ibunya ke lantai.

Dia pun akhirnnya tersungkur ke

lantai, kepalanya terbentur meja yang

lancip, cairan deras mengalir dari

pelipisnya.

Melihat ibunya terkapar di lantai,

Badrun pun hanya bisa nyengir kecut sambil

terus mengumpat. Dia merasa kesenangannya

terusik.

***

Lasih adalah wanita yang membuatnya

seperti itu. Dia adalah penari jaipongan

Page 90: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

di desa Sukamenak. Dialah sang idola para

lelaki. Goyangannya yang aduhai membuat

para lelaki tergila-gila padanya. Badrun

kecewa pada Lasih karena melihat Lasih

kencan dengan juragan Muji. Kemudian ia

lampiaskan kemarahannya dengan menenggap

miras.

Semenjak saat itu kelakuan Badrun

menjadi berangas dan tak terkendali. Tanpa

pikir panjang dia kerap kali memukuli

ibunya. Tubuh renta sang ibu tak kuasa

menahannya. Kerap kali ia harus terkapar

tak berdaya.

Selang satu bulan dari malam itu,

Badrun mengulangi perbuatannnya. Dia ketuk

triplek yang menutupi rumahnya dengan

kuatnya. Sampai akhirnya pintu itu lepas

dari engsel yang menopangnya. Badrun pun

mencari ibunya. Namun ibunya tak kunjung

ia temukan.

Page 91: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

***

Terseok-seok ia berjalan menjauh dari

rumah. Tubuh rentanya kini sudah tak lagi

bisa menerima perlakuan buruk anaknya. Dia

pergi menjauh, menjauh untuk selamanya.

Dia berjalan entah kemana, yang terpenting

ia tak bertemu dengan Badrun.

Andai saja Badrun menemukannya,

habislah hidupnya. Badrun yang tak kunjung

menemukannya akhirnya mengamuk dan

membanting semua barang yang berada di

rumah. Akhirnya ia sampai ke dapur dan

mengambil benda mungil itu.

Benda yang berwarna putih itu siap

mengoyak semua isi perut sang ibu. Badrun

keluar dengan menggenggam pisau yang

sangat tajam.

Dia berlari kencang mencari tubuh tua

yang tak berdaya. Tubuh yang bertahun-

tahun merawatnya kini menghilang dari

Page 92: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

tatapannya. sampai tengah malam ia mencari

dan hasilnya pun tetap sama, ia tak

menemukannya juga.

Karena bingung mau melakukan apa, ia

menemui Lasih di kontrakannya. Lasih hidup

sendiri, dia janda yang mempunyai anak

satu, namun kecantikannya tak pernah

memudar meskipun sudah memiliki seorang

anak.

Dengan membabi buta Badrun merangsek

masuk kedalam kontrakan Lasih. Lasih yang

sedang asyik menonton TV kaget dan

langsung menatapnya. Tatapannya penuh

dengan tanda tanya.

“Apa yang ingin ia lakukan disini?”

itulah pertanyaan yang langsung muncul

dalam benakn Lasih.

***

Melihat Lasih yang berdiri mematung,

ia pun akhirnya menghampirinya. Setelah

Page 93: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

tubuhnya lurus berdiri dihadapan Lasih, ia

ayunkan pisau yang sedari tadi ia

sembunyikan di balik punggungnya.

Lasihpun tumbang, mulutnya

memuncratkan darah segar, bercaknya

terhempas ke tubuh Badrun. Kaos hijau yang

melekat ditubuhnya kini berwarna merah

terang. Melihat pujaan hatinya terkapar

tak berdaya, badrun berteriak kencang.

Menangis, dan terus menangis sambil

memeluk tubuh Lasih. Dia tak percaya

dengan apa yang dilakukannya. Orang yang

ia sayang kini mati digenggamannya.

Pisau yang sedari tadi tertancap di

perut Lasih ia cabut. Tanpa berpikir

panjang akhirnya ia pun melakukan hal yang

sama pada dirinya. Ia tancapkan sendiri

pisau itu tepat di dadanya, tepat di

jantungnya.

Page 94: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Kini kontrakan Lasih bagaikan lautan

darah, disana tergeletak dua tubuh yang

tak bernyawa.

***

Anak kecil itu keluar dari kamar

mandi. Ia histeris melihat tubuh ibunya

yang berdarah. Seketika itu ia menjerit,

tetangga yang mendengar jeritan itu

langsung berdatangan ke kontrakan Lasih.

Mereka tak percaya dengan apa yang sedang

mereka lihat. Lasih dan Badrun sudah

menjadi mayat.

Berita kematian Badrun pun akhirnya

sampai ke telinnga ibunnya. Ia pun

akhirnya kembali ke desa, niatnya ia

urungkan.

Dilihatnya tubuh anaknya yang

tergeletak di atas papan di dalam rumah.

Sontak ia pun berlari menghampirinya. Ia

Page 95: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

ciumi jenazah anaknya. Tak henti-hentinya

ia menangisi kepergianya.

Putra Lasih yang masih kecil kini ia

yang harus merawatnya. Itulah yang bisa ia

lakukan atas perbuatan anaknya. Lasih tak

mempunyai saudara, ia anak tunggal, mau

tak mau dialah yang harus merawatnya.

Dengan uang hasil mengemisnya, ia kini

menghidupi seorang anak mungil yang

hidupnya bertumpu padanya.

*Mahasiswa Teknik Informatika

Page 96: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Ilustrasi :

Rayhan Taufik

Page 97: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Namaku Kartini

Buah Tinta: Dessy Trianasari*

Namanya Kartini, ia adalah anak

perempuan satu-satunya di keluarganya.

Kartini tulang punggung keluarga, ia anak

sulung. Walaupun hanya lulusan SMA, ia

anak yang sangat cerdas. Kartini tidak

punya biaya untuk meneruskan ke perguruan

tinggi. Tapi ia bertekad untuk menjadikan

adiknya orang yang sukses. Kartini ingin

adiknya belajar sampai lulus perguruan

tinggi.

Kartini memang bukan orang kaya, ia

hanya pembuat dodol. Orang tuanya sering

sakit-sakitan. Hanya ia yang menjadi

andalan keluarga untuk menopang biaya

sehari-hari.

Page 98: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“Kartini, ayah dan ibu merasa bukan

orang tua yang baik untukmu dan adikmu

Firman.” kata Ayah Kartini.

“Tidak Ayah. Kartini tahu keadaan

ayah dan ibu sekarang. Kalian sering

sakit-sakitan. Kartini bisa membiayai

keluarga kita kok yah. Ayah tenang saja

ya,” kata Kartini.

Ayahnya tersenyum mendengar perkataan

Kartini. Ayahnya mendoakan agar Kartini

sukses dalam bisnisnya membuat dodol.

Setiap pagi, ia bangun pukul 3 pagi

untuk meracik dodol. Terkadang ibunya juga

membantu dalam meracik dodol. Dalam

membuat dodol, yang paling berat adalah

saat mengaduk dodol agar adonannya matang

dan kental. Setelah matang, dodol

dituangkan ke dalam baskom dan ditunggu

hingga dingin. lalu dicetak kecil-kecil

dan dibungkus pada kertas seperti permen.

Page 99: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Seperti itulah yang dilakukan Kartini

dalam membuat dodol setiap harinya.

Setelah dodol siap, ia memasarkan ke toko-

toko langganannya. Ada sepuluh toko

langganannya. Setiap harinya ia mengayuh

sepeda berkilo-kilo meter untuk

mengantarkan dodol ke toko-toko

langganannya.

“Bu, ini dodolnya, 50 bungkus ya bu.

Dodol yang kemarin masih atau sudah habis

bu?” kata Kartini.

“Dodol yang kemarin sudah habis mbak,

ini uang hasil penjualannya, Rp 34.000,00.

Saya sudah ambil upah saya,” kata si

pemilik toko.

“Ya bu, terimakasih,” kata Kartini.

Setelah itu Kartini langsung pergi

menuju toko-toko selanjutnya. Selain

dipasarkan, ia juga menjualnya sendiri

keliling kampungnya. Setiap harinya ia

Page 100: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

bisa menjual 30 bungkus dodol. Biasanya ia

sampai di rumah pukul 5 sore.

Setelah sampai rumah ia mandi dan

memasak untuk keluarganya. Setelah memasak

ia mencuci baju dan membimbing adiknya

belajar yang sekarang duduk di bangku SMP

kelas VIII. Ia baru benar-benar istirahat

pukul 11 malam. Padahal ia harus bangun

kembali pukul 3 pagi.

Ia melakukannya dengan senang hati,

tanpa mengeluh sedikitpun. Terkadang ia

merasa iri dengan teman-temannya yang bisa

kuliah di perguruan tinggi. Ia ingin

seperti teman-temannya. Tapi ia harus

memenuhi biaya sehari-hari keluarganya. Ia

selalu berdoa agar suatu saat ia juga bisa

kuliah seperti teman-temannya. Ia berpesan

kepada adiknya agar adiknya belajar lebih

keras lagi. Karena Kartini ingin adiknya

menjadi sarjana dan sukses dikemudian

hari.

Page 101: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“Firman, kamu harus rajin belajar ya.

Kamu tidak perlu memikirkan kakak, kakak

bisa menopang biaya sehari-hari kita,”

kata Kartini.

“Firman janji kak, Firman akan

memenuhi keinginan kakak. Firman sayang

kakak, ayah dan ibu,” kata Firman sambil

memeluk kakaknya.

Firman anak yang cerdas seperti

kakaknya. Ia sering mendapat peringkat

satu di sekolahnya. Bahkan ia mendapatkan

beasiswa dari sekolahnya karena mendapat

peringkat satu. Kartini bangga sekali

punya adik seperti Firman. Ia akan

melakukan apapun demi kesuksesan adiknya

kelak. Walaupun ia hanya lulusan SMA, tapi

ia berharap adiknya bisa lulus sampai

perguruan tinggi dan mempunyai pekerjaan

yang mapan.

Page 102: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“Firman, kalau kamu nanti jadi orang

yang sukses, jangan sombong ya. Ingatlah

perjuangan kakak dan orang tua kita untuk

menyekolahkan kamu,” pesan Kartini.

“Insyaallah kak, semoga aku bisa

memenuhi amanat kakak,” kata Firman.

“Amin” jawab Kartini.

Tak terasa malam semakin larut.

Waktunya mereka untuk tidur karena besok

pagi mereka harus melakukan rutinitas

masing-masing. Ketika mereka beranjak

tidur terdengarlah suara ibunya yang

sedang batuk-batuk di kamarnya. Saat itu

ayahnya sedang sholat di ruangan dekat

dapur. Merekapun menemui ibu mereka.

Betapa kagetnya mereka saat melihat tangan

ibunya penuh dengan darah. Ternyata ibunya

terjangkit penyakit TBC.

Page 103: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“Ibu, mengapa tidak bilang sama

Kartini kalau ibu terkena TBC? Kita ke

rumah sakit ya bu?” ajak Kartini.

“Nak, ibu tidak apa-apa. Ibu sudah

berobat ke mantri ujung jalan nak.

Sebentar lagi pasti sembuh”, jawab Ibu

Kartini.

“Tidak bu, Ibu harus ke rumah sakit.

Biar dokter yang akan memeriksa ibu,” kata

Kartini.

“Nak, sudahlah. Ibu tidak mau

merepotkan kamu. Nanti uangmu habis untuk

perawatan ibu nak. Ibu tidak apa-apa.”

jawab Ibu Kartini.

“Kali ini ibu harus menuruti

permintaan Kartini ya. Kartini bisa

mencari uang bu. Tabungan Kartini masih

cukup jika digunakan untuk berobat ke

rumah sakit,” kata Kartini dengan nada

memaksa.

Page 104: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Karena Kartini memaksa. Akhirnya

ibunya mau dibawa ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, ibunya

langsung ditangani oleh dokter spesialis

penyakit dalam. Semenjak ibunya di rumah

sakit, Kartini harus bolak balik ke rumah

sakit bersama ayahnya. Sedangkan adiknya

di rumah sendiri.

“Firman, kamu di rumah ya. Biar kakak

dan ayah yang pergi ke rumah sakit,” pesan

Kartini.

“Iya kak. Hati-hati dijalan ya,” kata

Firman sambil mencium tangan Ayah dan

Kartini.

Firman berharap ibunya lekas sembuh,

agar ia bisa berkumpul bersama ibunya

kembali.

Semakin hari kondisi ibu semakin

parah. Sehingga dokter harus menanganinya

secara intensif. Segala usaha telah dokter

Page 105: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

lakukan, namun tuhan berkehendak lain. Ibu

Kartini meninggal dunia.

“Pak, saya sudah berusaha semaksimal

mungkin. Tapi maaf pak saya tidak bisa

menyelamatkan nyawa ibu”, kata sang

dokter.

“Apa dok, tidak mungkin. Tolong dok,

dokter pasti salah. Istri saya pasti bisa

tertolong. Saya akan bayar berapapun agar

istri saya sembuh dok,” pinta Ayah

Kartini.

“Tapi maaf pak, saya sudah berusaha

semaksimal mungkin. Tapi Tuhan berkata

lain. Bapak dan anak-anak harus ikhlas,”

kata sang dokter.

Kartini berusaha menenangkan hati

Ayahnya. Setelah ayahnya tenang, Kartini

segera mengurusi makam sang ibu. Kartini

tidak menyangka bahwa ibunya akan

meninggal secepat itu. Kartini dan Ayahnya

Page 106: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

pulang untuk menyiapkan liang lahat untuk

sang ibu. Sesampainya di rumah betapa

kagetnya Firman setelah mendengar bahwa

ibunya meninggal.

“Firman, kamu yang tabah ya nak. Ibu

sudah tenang di alam sana. Ibu sudah

terbebas dari penyakit TBC nya,” kata ayah

Kartini.

“Apa yah, tidak mungkin. Aku ingin

melihat ibu, mana ibu yah?” kata Firman

sambil menangis.

“Firman, jasad ibumu masih di rumah

sakit. Nanti setelah dimandikan, ibu

dibawa pulang ke rumah. Kamu yang sabar

Firman. Buat ibu tersenyum di alam sana,”

kata Kartini sambil memeluk adik

tercintanya.

Setelah almarhumah ibu sampai di

rumah, Firman langsung memeluk tubuhnya.

Firman tak kuasa menahan tangis.

Page 107: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“Firman, kamu harus ikhlas ya, agar

ibu tenang di alam sana,” kata kartini.

“iya kak, Firman akan ikhlas kak.”

Jawab firman dengan nada sedih.

Banyak sekali yang melayat di

rumahnya saat itu. Tamu pun semakin banyak

yang datang silih berganti. Hingga ibunya

dimasukkan ke liang lahat pun masih banyak

yang melayat di rumahnya.

Keluarga Kartini melakukan tahlilan

selama tujuh hari. Setelah acara tahlilan

selesai, Kartini baru merasa kesepian

karena ditinggal ibunnya. Ia melihat album

foto saat ia masih kecil, ia digendong

sang ibu. Kartini mencium foto-foto sang

ibu sambil menangis. Betapa berharganya

sang ibu di mata Kartini. Tapi ia tak

boleh larut dalam kesedihan. Ia harus

bangkit mewujudkan cita-citanya

Page 108: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

menyekolahkan sang adik hingga lulus

perguruan tinggi.

Keesokan harinya, seperti biasa ia

bangun pukul 3 pagi untuk membuat dodol.

Ayahnya pun ikut membantu Kartini

menyiapkan bahan-bahan buat dodol. Setelah

dodol siap dipasarkan. Ayahnya ikut

membantu mengantarkan dodol ke toko-toko

langganannya.

Tiga tahun sudah Kartini berbisnis

dodol. Hingga pada akhirnya ia dan ayahnya

membuat toko sendiri di depan rumahnya.

Semakin lama penjualan dodol Kartini

semakin berkembang pesat. Hingga pada

akhirnya ia membuat cabang di luar kota.

Cabang itu dikelola oleh saudara sepupunya

bernama Tuti.

Dari bisnis yang berkembang pesat

tersebut, ia bisa menyekolahkan Firman

hingga lulus Perguruan tinggi. Firman

Page 109: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

lulus dengan predikat cumlaude di jurusan

dokter anak. Firman bekerja di rumah sakit

besar di jakarta. Selain itu, Kartini bisa

membeli rumah elit, mobil mewah hingga ia

bisa melanjutkan perguruan tinggi.

Walaupun umurnya tak semuda teman-temannya

tapi ia percaya diri. Baginya untuk

mendapatkan ilmu tidak ada kata terlambat.

Kartini akhirnya lulus dengan nilai

memuaskan. Ia menjadi sarjana ekonomi.

Sekarang kehidupan keluarga Kartini benar-

benar berubah. Ia berharap ibunya senang

melihat kesuksesan Kartini sekarang. Dalam

hidup memang butuh perjuangan untuk

mewujudkan impian. Begitu juga dengan

kartini. Mimpinya menjadi kenyataan. Ia

bisa kuliah dan sukses.

Page 110: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Ada Di Ketika Kau

Tanya Mana

Buah Tinta: Pranata Wahyu*

Seorang wanita datang padaku sambil

membawa buah-buahan segar di keranjang

menjalin yang terbuat dari bambu berwarna

coklat tua kehitam-hitaman. Ia membawa

buah yang tampak segar dan berbagai macam

jenisnya. Keranjang itu dihias dengan pita

yang cantik, dibuat melengkung di beberapa

bagian sudutnya. Pita merah itu mengikat

erat pada plastik yang tembus pandang

bergambar bunga-bunga yang menyelimuti

keranjang kecil berbentuk oval, dengan

gagang melengkung di atasnya.

Baru kali ini aku melihat wanita itu

membawanya sambil berdandan rapi di

Page 111: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

depanku. Ia tampak mengenakan Saree1

berwarna merah. Kepala berambut panjang

yang tergerai ke samping dan berkenakan

anting kecil pada kedua telinganya yang

menambah manis penampilannya.

Sehari-hari biasanya aku tak pernah

melihatnya seperti ini. Ia tampak berubah

sekarang, menjelma bak seorang puteri dari

negeri Gandhi2 yang sedang salah jalan

karena tersesat. Atau mungkin memang ia

sedang ingin menunjukkan sisi cantik dari

seorang wanita yang selama ini aku kenal

sebagai perempuan tomboy. Perempuan yang

11Saree ialah jenis kain yang dipakai wanita di

negara India, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka.

Sari adalah pakaian yang terdiri dari helaian kain

yang tidak dijahit, variasinya beragam dengan

panjang 4-9 meter yang dipakaikan di badan dengan

bermacam-macam gaya. Jenis yang paling umum adalah

sari yang dililitkan di pinggang, dengan ujungnya

yang disangkutkan dari bahu ke punggung belakang. 2Negeri Gandhi yang di maksud adalah Negeri India

yang mana tempat Mohandas Karamchand Gandhi lahir

pada tanggal 2 Oktober 1869 di Porbandar, Gujarat,

India.Ia adalah seorang aktivis yang memperjuangkan

kemerdekaan India dan juga menentang segala macam

bentuk kekerasan (ahimsa).

Page 112: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

sehari-harinya memakai celana rombeng di

bagian dengkul dan kaos oblong yang kerap

menyertainya kemanapun ia pergi.

Ia berjalan semakin mendekatiku, aku

tampak bingung, apa yang harus aku

lakukan. Sepertinya ia memang berusaha

menuju kearahku. Pelan tapi pasti ia akan

sampai di depanku. Nafasku semakin

melambat dan detak jantungku semakin

kencang mengetuk. Aku memang merasakan hal

yang beda sejak awal, aku tidak bisa

mengendalikan aliran darah ini untuk

berjalan seperti biasa. Yah, biasanya aku

tak dapat merasakan sendiri desir darah

yang mengalir disekujur nadi ini. kali ini

lain.

“hei” sapanya.

“waoww” jawabku kaget dengan terkagum

saat pandanganku yang sudah terkonsentrasi

buyar oleh sapanya yang lembut.

Page 113: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

“ini” Ia sambil menyodorkan parcel

itu kepadaku dengan badan agak menunduk.

Selendang Saree-nya yang melingkar di

leher tampak sedikit melorot, begitu pula

rambutnya yang panjang mengayun kebawah

mengikuti arah gravitasi bumi. Mengayun

perlahan. Perlahan pula nafasku

menghembus.

Sepertinya aku disihirnya, aku

mengulurkan tangan begitu saja untuk

menerima hadiah darinya. Walau aku tak

tahu apa maksud darinya membawakanku

sebingkis parcel yang tak biasa ia lakukan

sebelumnya.

Uluran tanganku perlahan menyentuh

tangannya yang masih terasa kasar, tapi

aku acuhkan itu, karena ia bisa

menutupinya dengan wangi tubuhnya yang

semerbak keseluruh ruangan.

Page 114: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Terakhir kali aku ingat bagaimana ia

menyentuh tangan ini. Aku menepis uluran

tangannya untuk membantuku bangun saat aku

tersandung di sebuah selokan kecil. Aku

tampik bantuan itu dengan kasar. Aku

mengira laki-laki tak perlu bantuan wanita

untuk urusan apapun. Laki-laki harus bisa

semuanya sendiri termasuk mencuci piring

jika perlu pembuktian.

Memang aku sedang disihir. Aku tak

ingat lagi ketika ia tawarkan parcel itu

di depanku. Ini berarti ia berikan dengan

ikhlas, ia tak takut tanganku menampik

niat baiknya lagi untuk kedua kalinya.

Mungkin ia sudah berpikir puluhan kali

sebelum benar-benar datang kerumah ini.

Atau aku yang terlalu kagum pada

sosok wanita yang memberikan warna yang

berbeda selepas senja tadi. Ia dapat

mengubah cara pandangku pada sosok wanita

lain di dunia ini yang selama ini aku

Page 115: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

kenal angkuh. Penuh teka-teki dan hanya

inginkan sebagian kemewahan dunia ketika

mendekati laki-laki yang diinginkannya.

“Silahkan duduk”

Aku hampir saja lupa untuk menjamu

tamuku yang satu ini.

“Apa aku terlihat pantas untuk datang

kesini?” ucapnya dengan senyum manis pada

bibir yang tipis memerah miliknya.

Aku terdiam sejenak. Mencoba tidak

tergesa-gesa untuk menjawabnya, mungkin ia

masih punya terusan untuk kalimat yang aku

kira belum selesai itu.

Hening sesaat.

“kau tampak cantik, dan rumah ini

juga cantik, kalian cocok jika berpadu”

Aku berusaha tidak menegaskan bahwa

aku sangat menyukainya malam ini, berusaha

menutupi perasaanku. Tapi, aku juga tidak

Page 116: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

berbakat untuk menjadi pembohong dalam

urusan hati.

Seiring bulan yang perlahan naik,

pembicaraan kami semakin menjadi, semakin

hangat dan membawa pada suasana purnama

yang benderang.

Kalimat demi kalimat saling-silang

berganti, kadang aku yang menjawab

pertanyaannya tetapi kadang pula aku takut

untuk menjawabnya karena ia mencoba

menanyakan tentang kisah memalukanku waktu

buku-bukuku bertebaran pada peristiwa di

sebalik got.

Aku merasa nampak sebagai pecundang,

yang berjalan saja masih terjatuh. Aku

seperti anak kecil. Aku tak mau

mengingatnya lagi. Tapi, ia seakan-akan

pandai memancingku kearah sana. Ia

berhasil mendapati setiap kenangan yang

mulai terbuka seiring pembicaraan ini.

Page 117: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Aku bisa melihat cahaya purnama masuk

menyingkap wajahnya yang sebagian tak

terlihat karena pekatnya ruangan rumah

ini. Memang aku suka suasana remang untuk

mengobrol, dimana aku bisa menyembunyikan

mimik rupaku yang akan terlihat jujur jika

beberapa lampu menyala. Dalam ruangan

seperti ini pula aku bisa merasakan tenang

jika sudah berpasangan dengan secangkir

kopi hitam pada cangkir yang putih

bertuliskan Delft3.

“Mana tanda lahirmu?”

Percakapan kami sampai pada masa

kanak-kanak yang sering membincangkan

tanda lahir masing-masing. Ia mulai

menanyakan dimana letak tanda lahir yang

pernah aku ceritakan waktu kami masih

berteman di bangku Sekolah Dasar.

“Hemm, ternyata kau masih ingat ya?”

3Delftware adalah produk gerabah buatan Belanda

pada abad ke-16

Page 118: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Aku memiliki tanda lahir

Di sini, di punggungku, tanda lahir

berwarna abu-abu yang dulu sering kau

ejek.

Memang dulu tanda lahirku sering

menjadi bahan ejekan bagi Sarah yang

mengira tanda lahirku seperti bekas

kerokan yang lama tak hilang. Dasar,

geramku dalam hati.

***

Kami sudah sama-sama dewasa.

Menginjak umur 25 tahun bukanlah waktu

yang singkat untuk belajar tentang

kehidupan. Sudah lama pula aku tak

melihatnya, mungkin tahunan sudah ia pergi

dari kampung ini. yah, sejak ia meneruskan

kuliahnya keluar kota dan aku masih tetap

disini untuk menjaga rumah tua yang memang

sangat aku suka.

Page 119: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Sesekali Sarah tanpak meminum

kopinya, perlahan menyerutup kopi itu, ia

tampak menikmati kopi buatanku. Memang aku

terbiasa membuat kopi. Tapi, aku tak

terbiasa membuatkan kopi untuk orang lain.

Seperti malam ini, aku membuatkan

secangkir kopi untuk tamu yang lama tak

bersua denganku. Sedikit keder sebenarnya

menyuguhkan kopi ini, aku tak yakin ia

terbiasa menikmati kopi hitam yang lahir

dari tanah di kaki Gunung Dzouta di desa

ini.

Tapi setidaknya, dalam seduhan kopi

itu aku memasukkan kenangan antara aku dan

dia. Beberapa kisah yang bisa menambah

manis ketika Ia minum kopi itu dengan

perlahan.

Seiring purnama yang memuncak,

berjalan pula waktu yang berputar

terbalik. Perlahan pula aku melihat

wajahnya yang mulai tersingkap cahaya

Page 120: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

bulan yang teduh masuk dari jendela rumah

yang lupa aku kunci karena ia keburu

datang saat senja tadi.

Wajah di balik gaun Saree merah yang

membuat aku terpukau. Berpadu dengan

beberapa perhiasan yang mengalung di leher

yang kadang-kadang berkerlip saat cahaya

purnama jatuh tepat mengenainya, begitu

pula sebuah permata yang menjulai dari

atas rambutnya yang terbelah menuju tepat

pada keningnya. Ia bisa membiusku,

menjadikan tubuhku kaku sesaat. Keanggunan

dalam tutur katanya serta selendang yang

ia kerudungkan untuk menutupi rambutnya

yang tergerai menyempurnakan Minggu malam

Nyepi4 di Tahun Sembilan Belas Dua Puluh

Tiga(1923)Saka.

4Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan

setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada

hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai

Page 121: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

*Nama Pena bagi laki-laki yang menyusun kata.

merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di

pusat samudera yang membawa intisari amerta air

hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci

terhadap mereka

Page 122: Buku Antologi Sastra Mahasiswa UMK

Related Documents