YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
  • BUKU AJAR

    ANAK Edisi Kedua

    Penyunting

    Arwin AP Akib Zakiudin Munasir

    Nia Kurniati

  • lkatan Dokter Anak Indonesia Jakarta, 2008

    Perpustakaan Nasional : Katalog dalam Terbitan (KDT) BUKU AJAR Alergi-lmunologi Anak, edisi kedua, penyunting, Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati Jakarta: lkatan Dokter Anak Indonesia, 2007

    500 halaman 2,3crn

    ISBN 979-8421 -03-5

    1. Kedokteran-Alergi I. Akib, Arwin AP II. Munasir, Zakiudin Ill. Kurniati, Nia

    Seiring dengan penelitian terbaru dan meluasnya pengalaman klinisterdapat perubahan dalam ilrnu kedokteran, terutama dalam ha1 tatalaksana. Buku ini ditulis dengan sebenar-benarnya sesuai dengan perkernbangan ilmu kedokteran saat buku ditulis. Pembaca diharapkan selalu memperbaharui perkembangan ilmu, terutama dalarn obat terbaru, seperti dosis terbaru, metode pernberian dan durasi serta kontraindikasi.

    1 Penentuan dosis dan terapi yang tepat terhadap tiap individu menjadi tanggung jawab .masing-masing dokter dengan mengandalkan keilmuan dan pengalamannya. Penerbit dan penulis tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan pada seseorang atas penerbitan buku ini.

    Hak pengarang dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin Penyunting dan Penerbit

    llustrasi gambar kornputer : Sjawitri P Siregar, Ratih D Palupi, Mazdar Helrny

    Diterbitkan pertama kali tahun 1996

    Edisi 11, Cetakan Kedua ZOO8

    Penerbit : Balai Penerbit IDA1

  • SAM BUTAN KETUA PENGURUS PUSAT

    IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA

    Assalamualaikum wr. wb

    P uji dan syukur kanli panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat-Nya maka Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak ini dapat diterbitkan. Buku ini merupakan hasil karya anggota Unit Kerja Koordinasi Alergi-Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia dan diharapkan dapat dipakai sebagai acuan bidang alergi-imunologi anak di semua pusat pendidikan Dokter Spesialis Anak.

    Buku acuan untuk alergi-imunologi, terutama yang bersangkutan dengan ilmu kesehatan anak masih cukup sulit dan jarang didapat, apalagi dalam bahasa Indonesia. Dengan terbitnya buku ini yang berisi pengetahuan dasar imunologi serta berbagai kelainan klinis pada anak maka diharapkan para peserta program studi Ilmu Kesehatan Anak dapat lebih mudah memahami berbagai masalah di bidang alergi-imunologi yang dihadapi dalam menlenuhi objektif pendidikannya. Demikian pula bagi dokter sepesialis anak, serta untuk menambah khasanah ilmunya dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan serta meningkatkan kemampuan profesionalnya untuk menghadapi era globalisasi di masa yang akan dating.

    Akhirnya saya ingin menyampaikan penghargaan kepada para penulis yang telah bersusah payah memberikan pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga dalam buku ini, dan juga kepada para penyunting karena berkat ketekunan kerja inereka maka buku ini dapat diterbitkan.

    Harapan kami mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua

    Wassalamualaikum wr. wb. Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

    dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K), FACC,FESC

  • KATA PENGANTAR EDISI PERTAMA

    Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat yang telah dilimpahkan-Nya dalam membimbing kami menyelesaikan dan menerbitkan Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak ini.

    Buku ini diterbitkan dengan tujuan untuk menambah perbendaharaan buku ajar di bidang ilmu kesehatan anak pada umumnya dan bidang alergi-imunologi anak pada khususnya. Sasaran utama buku ini adalah Peserta Program Studi llmu Kesehatan Anak, tetapi dapat juga ia dipakai oleh dokter spesialis anak yang ingin memperluas wawasannya di bidang alergi-imunologi. Sejalan dengan kemajuan teknologi dalam bidang ilmu kedokteran pada akhir-akhir ini, pengetahuan di bidang alergi-imunologi pun maju dengan pesat, terutama mengenai dasar-dasar bidang ini. Karena itu buku ini membahas imunologi dasar, irnunitas dan imunopatologi, imunologi klinis, terapi dasar penyakit alergi, dan pemeriksaan penunjang.

    Para penulis adalah anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Alergi-Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada para penulis dan seluruh anggota UKK Alergi-lmunologi IDAI yang telah menyediakan waktu mereka yang sangat berharga untuk menyelesaikan buku ini.

    Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua

    Penyunting

  • KATA PENCANTAR EDlSl KEDUA

    Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat yang telah dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan dan menerbitkan Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak edisi kedua, cetakan kedua.

    Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak edisi kedua ini merupakan revisi terhadap edisi pertama dan terdapat beberapa tambahan ilmu mengenai alergi-imunologi anak. Hal ini penting dilakukan mengingat pesamya perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang alergi-imunologi.

    Para penulis pada buku edisi kedua ini adalah penulis pada buku edisi pertama ditambah para penulis baru yang semuanya adalah anggota Unit Keja Koordinasi (UKK) Alergi-Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Salah satu penyunting buku ajar ini yaitu Prof. dr. Corry S. Matondang, Sp.A(K) telah mendahului kita, sehingga digantikan oleh dua penyunting baru, yaitu dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K) dan dr. Nia Kumiati, Sp.A. Semoga jasa almarhumah mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Pada kesempatan ini kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penerbitan Buku Ajar Alergi-Imunologi edisi kedua ini. Edisi kedua ini dicetak ulang atas perrnintaan banyak pihak, karena cetakan pertama edisi kedua sudah habis terjual.

    Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam melakukan tatalaksana alergi-imunologi pada anak, yang pada saat ini dituntut untuk lebih profesional.

    Peny unting

  • DAFTAR PENULIS Ariyanto Harsono Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak FKUN/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

    Arwin Ali Purbaya Akib Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUImSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

    Budi Setiabudiawan. Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak FKUNPAD/RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung

    Cahya Dewi Satria Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

    Cony Siahaan Matondang Profesor Ilmu Kesehatan Anak FKUIJRSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

    Diantje Sondakh Takumangsang Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak FKUNSRAT/RSU Gunung Wenang Manado

    Esti Mulyaning Dadi Suyoko Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

    Harsoyo Notoatmojo Profesor Ilmu Kesehatan Anak FKUNDIP/RSU Dr. Karyadi Semarang

    Julius Roma Laboratoriunl Ilmu Kesehatan Anak FKUNHASMU Ujung Pandang Ujung Pandang Martani Widjajanti Rakun Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSAB Harapan Kita Jakarta

    Myrna Soepriadi Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak FKUNPADIRSU Dr. Hasan Sadikin Bandung

    Nia Kurniati Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

    Oscar Rahrnan Laboratoriuill Ilrnu Kesehatan Anak FKUNPADKSU Dr. Hasan Sadikin Bandung

    Sumadiono Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUGMKSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

    Sjawitri Pane Siregar Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

    Zakiudin Munasir Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

    Hendra Santoso Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak FKUNUD/RSU Sanglah Denpasar

  • DAFTAR SI NGKATAN

    AAS : Asam asetil salisilat Ab : Antibodi ADCC : Antibody dependent cell mediated cytotoxicity ADS : Antidiphtheria serum AIDS : Acquired immunodeficiency syndrome AMP : Adenosine monophosphate ANA : Antinuclear antibody ANF : Antinuclear factor APC : Antigen presenting cell ARA : American Rheumatic Association A N : Artritis rheumatoid juvenil AS1 : Air Susu Ibu ATS : Anti tetanus serum BAL : Bronchoalveolar lavage BCG : Bacil Calmette-Guerin BDP : Beclomethason dipropionate BSF : B cell stimulating factor C : Complement (Komplemen) CAMP : Cyclic adenosine monophosphae CD : Cluster of differentiation CD3 : Marker antigenik pada sel T yang berasosiasi dengan reseptor T CD4 : Marker antigenik sel T penolong/induksi (= OKT 4=T 4= Leu 3) CD8 : Marker antigenik sel T supresor/sitotoksik (=OKT 8=T 8= Leu 2) CDC : Center for Disease Control CFU : Colony forming unit (unit pembentuk koloni) CFU,GM : Colony forming unit granulocyte-macrophage (unit pembentuk koloni

    granulosit-makrofag) CFU-M : Colony forming unit macrophage (unit pembentuk koloni makrofag) CGMP : Cyclic guanosine monophosphate CH : Domain konstan rantai H CL : Domain konstan rantai L CMI : Cell mediated immunity (imunitas yang diperantai sel) Con A : Concanavalin A CPK : Creatine phosphokinase C W : C-reactive protein CSF : Colony stimulating factor (faktor stimulasi koloni) D A : Dermatitis atopik DH : Daerah diversitas gen rantai H immunoglobulin

    vii

  • DNA DNCB DQ DR EAR EBP ECF-A

    EDN EDP EI A EKG ELISA EPO Fab FAB Fc FcR FEF FEV 1

    FMLP FPB GALT G-CSF

    GM-CSF

    gP 120 HIV HLA HMP ICAM IFNa INFP IFNY Ig IL Ir gene JH

    : Deoxy ribonucleic acid : 2-4 dinitrochloro benzene : Alel kelas I1 MHC : Lokus D yang berhubungan dengan HLA manusia : Early asthmatic reaction (reaksi asma fase dini) : Eosinophilic basic protein (protein dasar eosinopil) : Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (faktor kemotaktik eosinofil

    anafilaksis) : Eosinophil derived neurotoxin (neurotoxin yang berasal dari eosinofil) : Eosinophil derived protein (protein yang berasal dari eosinofil) : Exercise induced asthma (asma yang diinduksi latihan) : Elektrokardiografi : Enzyme linked immunosorbent assay : Eosinophil peroksidase : Fragmen immunoglobulin pengikat antigen : Faktor aktivasi sel B : Fragmen immunoglobulin yang dapat dikristalkan : Reseptor Fc IgE : Forced expiratory flow (aliran paksa ekspirasi) : Flow expiratory volume in one second (volume aliran ekspirasi dalam

    satu detik) : Formyl methionyl leucocyte phenylalanine : Faktor pertumbuhan sel B : Gut associated lymphoid tissue : Granulocyte colony stimulating factor (faktor stimulasi koloni

    granulosit) : Granulocyte macrophage colony stimulating factor (faktor stimulasi

    koloni granulosit makrofag) : Glikoprotein dengan berat molekul 120 kd : Human Immunodeficiency virus : Human Leukocyte antigen : Hexose monophosphate : Intercellular adhesion molecule (molekul adhesi interselular) : Interferon alfa : Interferon beta : Interferon gama : Imonoglobulin : Interleukin : Immune response gene (gen respons imun) : Segmen penggabungan bagian variable dan diversitas rantai berat

    H Immunoglobulin : Keluarga berencana

    viii

  • LAR LDH LED LES LFAI LPS LTB 4 LTC 4 LTD 4 LTE 4 M AF MBP MCAF

    MCSF

    MDP MGF MHC I MHC I1 MIF MPO MPS NADH NADPH NBT NCF NCFA

    NET NGF NK NSAID PAF PEFR PGDZ PGEZ PGFZ PH A PMN PRIST RANTES

    : Late asthnlatic reaction (reaksi asma fase lambat) : Lactic dehydrogenase : Laju endap darah : Lupus eritematosis sistemik : Limphocyte fuctional antigen 1 : Lipopolisakarida : Leukotrien B4 : Leukotrien C4 : Leukotrien D4 : Leukotrien L4 : Macrophage activating factor (faktor aktivasi makrofag) : Major basic protein : Monocyte chenlotactic activating factor (faktor aktivasi kemotaktik

    monosit) : Macrophage colony stimulating factor (faktor stimulasi koloni

    makrofag) : Muramil dipeptid : Macrophage growth factor (faktor pertumbuhan makrofag) : Kompleks hiitokompatibilitas mayor kelas I : Kompleks histokompatibilitas mayor kelas I1 : Macrophage inhibiting factor (faktor inhibisi makrofag) : Mieloperoksidase : Mononuclear phagocyte system (sistem fagosit mononuklear) : Nicotinamide adenine dinucleotide : Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate : Nitroblue tetrazolium : Neutrophil chemotactic factor (faktor kemotaktik neutrofil) : Neutrophil chemocactic of anaphylaxis (kemotaktik neutrofil pada

    anafilaksis) : Nekrolsis epidermolisis toksik : Nerve growth factor (faktor pertumbuhan saraf) : Natural killer : Non steroidal anti-inflammatory drugs (obat antiinflamasi nonsteroid) : Platelet activating factor (faktor aktivasi trombosit) : Peak expiratory flow rate (arus pincak ekspirasi) : Prostaglandin D2 : Prostaglandin E2 : Prostaglandin F2 : Phytohaemagglutinin : Polimorfonudear : Paper radio immunosorbent test : Regulated upon activation normal T expressed

  • RAST . RES RF RFC RNA SCF SCID

    SCOT SGFT SLN SS A SSB SSJ SRSA

    Tc TCR TD

    TD TCGF TGF Th TI TXA2 VH WHO

    :. Radio allergosorbent test : Reticuloendotheilial system (sistem retikuloendotel) : Rheumatoid factor (faktor rheumatoid) : Rosette forming cell (sel pembentuk roset) : Ribonucleic acid (asam ribonukleat) : Stem cell factor (faktor sel stem) : Severe combined immunodeficiency disease (penyakit defisiensi imun

    gabungan yang berat) : Serum glutamic-oxaloacetic transaminase : Serum glutamic-pyruvic transaminase : Sindrom lupus nefritis : Antibodi terhadap RNA pada sindrom Sjogren : Antibodi terhadap RNA pada sindrom Sjogren : Sindrom Stevens-Johnson : Slow reacting substance of anaphylaxis (substansi reaksi lambat pada

    anafilaksis) : T cytotoxic = sel limfosit T sitotosik : T Cell Receptor (Reseptor antigen sel Limfosit T) : T Delayed Hypersensitivity (Sel limfosit T yang berfungsi pada reaksi tipe

    lambat) : T dependent antigen = antigen yang berganrung sel T : T cell growth factor = IL2 (faktor pertumbuhan sel T) : Transforming growth factor (faktor ~ertumbuhan transformasi) : T helper = sel limfosit T penolong : T independent antigen = yang tidak bergantung sel T : Tromboksan A2 : Domain variable rantai H : World Health Organization (Organisasi Kesehatan Dunia)

  • DAFTAR IS1

    \

    Sambutan Ketua Pengurus Pusat IDA1 ................................................................ iii Kata Pengantar Edisi Pertama .............................................................................. iv Kata Pengantar Edisi Kedua ................................................................................. v Daftar Penulis ...................................................................................................... vi Daftar Singkatan .................................................................................................. viii Daftar Isi ............................................................................................................. xii Halaman foto berwarna ....................................................................................... xv

    BAGIAN I. IMUNOLOGI DASAR BAB 1. Sejarah Imunologi ................................................................. 3

    Cony S Matondang BAB 2. Perkembangan Sistem Imun .................................................. 7

    Cony S Matondang BAB 3. Respons Imun ....................................................................... 9

    Cony S Matondang BAB 4. Imunitas Non Spesifik .......................................................... 19

    Zakiudin Munasir, Nia Kumiati

    BAB 5. Sistem Komplemen ............................................................... 26 EM Dadi Suyoko

    BAB 6. Sistem Fagosit ....................................................................... 39 Sjawitri P Siregar

    BAB 7. Penangkapan dan Presentasi Antigen .......................................... 51 Zakiudin Munasir, Nia Kumiati

    BAB 8. Kompleks Histokompatibilitas Mayor ................................... 59 Arwin AP Akib

    BAB 9. hunitas Humoral ................................................................ 66 Sjawit~i P Siregar

    BAB 10. Imunitas Selular .................................................................... 78 Cowy S Matondang, Zakiudin Munasir

  • BAB 11. Imunologi Mukosa ................................................................ 94 Sumadiono

    BAGIAN II. IMUNITAS DAN IMUNOPATOLOGI BAB 12. Reaksi Hipersensitivitas ........................................................ 11 5

    Zakiudin Munasir, EM Dadi Suyoko

    BAB 13. Mekanisme Imun Penyakit Infeksi ........................................ 132 . G~~ S Matondang, Harsoyo Notoatmojo, Nia Kumiati

    ................................................... BAB 14. Aspek Imunologi Imunisasi 154 Cony S Matondang, Harsoyo Notoatmojo

    BAB 15. Autoimunitas ..................................................................... 160 Arwin AP Akib

    BAB 16. Irnunomodulasi ..................................................................... 176 Ariyanto Harsono

    .............................................. BAB 17. Aspek Imunologi Air Susu Ibu 189 Cony S Matondang, Zakiudin Munasir, Sumadiono

    BAGIAN Ill IMUNOLOGI KLlNlS ............................................................................ BAB 18. Anafilaksis 205

    Oscm Rachman, Myrna Soepriadi, Budi Setiabudiawan

    ........................................................... BAB 19. Urtikaria-Angioedema 224 COW S Matondang, Myrna Soepriyadi, Budi Setiabudiawan

    .................................................................. BAB 20. Dermatitis Atopik 234 Hendra Santosa

    BAB 21. Rinitis Alergik ....................................................................... 245 Zakiudin Munasir, Martani Widjajanti Rakun

    ...................................................................... BAB 22. Asma Bronkial 252 Hendra Santosa

    ...................... BAB 23. Penyakit Alergi pada Konyungtiva dai Kornea 266 Sjawitn P Siregar

    BAB 24. Alergi Makanan .................................................................... 269 Ariyanto Harsono

    BAB 25. Alergi Susu Sapi ..................................................................... 284 Zakiudin Munasir, Sjawitri P Siregar

    xii

  • ............................................................................ BAB 26. Alergi Obat 294 Arwin AP Akib, Diantje S Takumansang Sumadiono, Cahya Dewi Satria

    ..................................................... BAB 27. Sindrom Stevens. Johnson 307 Arwin AP Akib, Diantje S Takumansang

    BAB 28. Penyakit Defisiensi Imun ....................................................... 312 Arwin AP Akib, Iulius Roma, Nia Kumiati

    BAB 29. Artritis Reumatoid Juvenil .................................................... 332 Arwin AP Akib

    ................................................. BAB 30. Lupus Eritematosus Sistemik 345 Arwin AP Akib, Myma Soepriadi, Budi Setiabudinwan

    ................................................... BAB 3 1. Purpura Henoch-Schonlein 373 Cony S Matondang, Iuliw Roma

    BAB 32. Infeksi HIV pada Bayi dan Anak ........................................... 378 Cony S Matondang, Nia Kumiati

    BAGIAN IV. TERAPI DASAR PENYAKIT ALERGI BAB 33. Kontrol Lingkungan dan Makanan ........................................ 415

    Ariyanto Harsono

    BAB 34. Medikamentosa ................................................................. 419 EM Dadi Suyoko, Zakiudin Munasir

    BAB 35. Imunoterapi ..................................... .., ................. 436 EM Dadi Suyoko

    BAB 36. Pemeriksaan Penunjang Klinis .............................................. 443 1. UJI KULIT TERKADAP ALERGEN ............................... 443 Zakiudin Munasir

    2. UJI FUNGSI PARU .......................................................... 446 Zakiudin Munasir

    3. UJI PROVOKASI BRONKIAL ........................................ 448 Zakiudin Munasir

    4. UJI PROVOKASI OBAT ................................................. 45 1 Arwin AP Akib

    5. UJI PROVOKASI MAKANAN ........................................ 454 Ariy anto Harsono

    xiii

  • 6 . UJI ELUlINASI DAN PROVOKASI SUSU SAP1 ........... 459 Zakidin Munasir

    7 . UJI KULIT WELAMBAT ............................................. 461 EM Dadi Suyoko

    BAB 37 . Pemeriksaan Laboratorium .................................................... 463 Zakiudin Munasir

    PENJURUS .......................................................................................... 479 Lampiran .............................................................................................. 483

    xiv

  • BAGIAN I IMUNOLOGI DASAR

    Bagian ini mengemukakan sejarah imunologi, perkembangan sistem imun serta respons imun dan sistem kekebalan tubuh manusia. Pokok bahasan utama adalah tentang mekanisme kerja sistem imun spesifik dan nonspesifik yang merupakan keharusan untuk pemahaman masalah imunologi selanjutnya.

  • Sejara h Imunologi Corry S Matondang

    P ada mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari'respons tubuh, terutama respons kekebalan, terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546, Girolamo Fracastoro mengajukan teon kontagion yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi terdapat suatu zat yang dapat memindahkan penyakit tersebut dari satu

    . individu ke individu lain, tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada waktu itu belum dapat diidentifikasi.

    Pada tahun 1798, Edward Jenner mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari infeksi variola secara alamiah, bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox). Sejak saat itu, mulai dipakailahvaksin cacas walaupun pada waktu itu belum diketahui bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi. Memang imunologi tidak akan maju bila tidak diiringi dengan kemajuan dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran. Dengan ditemukannya mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat dan mulai dapat ditelusuri penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru dimulai setelah Louis Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab penyakit infeksi dan dapat menlbiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman (gem theory) penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya vaksinrabies pada manusia tahun 1885. Hasil karya Pasteur ini kemudian merupakan dasar perkembangan vaksin selanjutnya dan merupakan pencapaian gemilang di bidang imunologi yang memberi dampak positif pada penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi pada anak.

    Pada tahun 1880, Robert Koch menemukan kuman penyebab penyakit tuberkulosis. Dalam rangka mencari vaksin terhadap tuberkulosis ini, ia mengamati adanya reaksi tuberkulin (1891) yang merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit terhadap kuman tuberkulosis. Reaksi tuberkulin ini kemudian oleh Mantoux (1908) dipakqi untuk mendiagnosis penyakit tuberkulosis pada anak. Imunologi mulai dipakai untuk menegakkan diagnosis penyakit pada anak. Vaksin terhadap tuberkulosis ditemukan pada tahun 1921 oleh Calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). .Kemudian diketahui bahwa tidak hanya mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan kekebalan, bahan yang tidak hidup pun dapat mengnduksi kekebalan.

    Setelah Roux dan Yersin menemukan toksin difteri pada tahun 1885, Von Behring dan Kitasato menemukan antitoksin difteri pada binatang (1890). Sejak itu dimulailah

    Sejarah lmunologi 3

  • pengobatan dengan serum kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam pengobatan penyakit infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini di kenludian hari berkembang menjadi pengobatan dengan imunoglobulin spesifik atau globulin gama yang diperoleh dari manusia.

    Dengan pemakaian serum kebal, muncullah secara klinis kelainan akibat pemberian serum ini. Dua orang dokter anak, Clemens von Pirquet dari Austria dan Bela Shick dari Hongaria melaporkan pada tahun 1905, bahwa anak yang mendapat suntikan serum kebal berasal dari kuda terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar, dan eritema yang dinamakan penyakit serum (serum sickness). Selain itu peneliti Perancis, Charles Richet dan Paul Portier (1901) menemukan bahwa reaksi kekebalan yang diharapkan timbul dengan menyuntikkan zat toksin pada anjing tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah keadaan sebaliknya yaitu kematian sehingga dinamakan dengan istilah anafilaksis (tanpa pencegahan). Mulailah irnunologi dilibatkan dalam reaksi lain dari kekebalan akibat pemberian toksin atau antitoksin. Clemens von Pirquet dari Austria (1906) memakai istilah reaksi alergi untuk reaksi imunologi ini. Pada tahun 1873 Charles Blackley mempelajari penyakit hay fewer, yaitu penyakit dengan gejala klinis konjungtivitis dan rinitis, serta melihat bahwa ada hubungan antara penyakit ini dengan serbuk sari (pollen). Oleh Wolf Eisner (1906) dan Meltzer (1910), penyakit ini dinamakan anafilaksis pada manusia (human anaphykzxu) .

    Pada tahun 1911-1914, Noon dan Freeman mencoba mengobati penyakit hay fever dengan cara terapi imun yaitu menyuntikkan serbuk sari subkutan sedikit demi sedikit. Dasamya pada waktu itu dianggap bahwa serbuk sari mengeluarkan toksin, dengan harapan agar terbentuk antitoksin netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih dipakai untuk mengobati penyakit alergi terhadap antigen tertentu yang dikenal dengan cara desensitisasi. Akan tetapi mekanisme yang sekarang dianut adalah berdasarkan pembentukan antibodi penghambat (blocking antibody).

    Dengan penemuan reaksi tuberkulin, Schloss (1912) dan von Pirquet (1915) melakukan uji gores (scratch test) pada kulit untuk diagnosis penyakit alergi pada anak. Talbot (1914), seorang dokter anak, dengan uji gores melihat adanya hu- bungan antara asma anak dengan telur. Cooke (1915) memodifikasi uji gores dengan uji intrakucan, dan melaporkan juga bahwa faktor keturunan memegang peranan pada penyakit alergi. Pada tahun 1913, Stiick juga memperkenalkan uji kulit untuk menentukan kepekaan seseorang terhadap kuman difteri, sehingga makin banyak fenomena imun diterapkan dalam uji diagnostik penyakit anak.

    Pada tahun 1923, CookedanCoca mengajukan konsep atopi (strange disease) terhadap sekumpulan penyakit alergi yang secara klinis mempunyai manifestasi sebagai hay fever, asma, dermatitis, dan mempunyai predisposisi diturunkan. Mulailah ilmu alergi-imunologi diterapkan dalam kelainan dan penelitian di bidang alergi klinis. Rackemann (1918) melihat bahwa sebagian besar asma pada anak mempunyai dasar alergi dan dinamakan asma tipe ekstrimik. Prausnitz dan Kustner (1921) menyatakan bahwa zat yang menimbulkan sensitisasi kulit pada uji kulit dapat ditransfer melalui serum penderita. Memang pada

    4 Buku Ajar Alergi lmunologi Anak

  • waktu itu i~lekanisnle alergi yarig tepat belum diketahui. Kini berkat penelitian yang telah dilakukan, proses selular dan molekular yang terjadi pada penyakit alergi dapat dijabarkan. Berbagai macam hentuk kelainan klinis berdasarkan reaksi alergi-imunologi makin banyak ditemukan, terutanla dengall bertambah banyaknya obat yang dipakai untuk pengobatan dan diagnosis penyakit.

    Dengan ditemukannya komplemen oleh Bordet (1894), uji diagnostik yang memakai fenomena i111un berkembang lagi dengan uji fiksasi komplemen (190 I), seperti pada penyakit sifilis. Pada tahun 1896, Widal secara in vitro mendemonstrasikan bahwa serum penderita denlam tifoid dapat mengaglutinasi basil tifoid.

    Setelah Landsteiner (1900) menemukan golongan darah ABO, dan disusul dengan golongan darah rhesus oleh Levine dan Stenson (1940) , maka kelainan klinis berdasarkan reaksi imun semakin dikenal. Pada masa itu, fenomena imun yang tejadi baru dapat dijabarkan denganistilah hunologi saja. Baru pada tahun 1939,141 tahunsetelah penemuan Jenner, Tiselius dan Kabat menemukan secara elektroforesis bahwa antibodi terletak dalam spektrum globulin gama yang kemudian dinamakan imunoglobulin (Ig). Dengan cara imunoelektroforesis diketahui bahwa imunoglobulin terdiri atas 5 kelas yang diberi nama IgA, IgG, IgM, IgD dan IgE (WHO, 1964), dan kemudian diketahui bahwa masing-masing kelas tersebut menlpunyai subkelas. Pada tahun 1959 Porter dan Edelman menemukan struktur imunoglobulin, dan tahun 1969 Edelman pertama kali melaporkan urutan asam amino molekul imunoglobulin yang lengkap. Reagin, yaitu faktor yang dianggap berperan pada penyakit alergi, baru ditemukan strukturnya oleh Kimishige dan Teneko Ishizaka pada tahun 1967 dan merupakan kelas imunoglobulin E (IgE). Sekarang banyak penelitian dilakukan mengenai regulasi sintesis IgE, dengan harapan dapat menerapkannya dalam mengendalikan penyakit atopi.

    Pada tahun 1883, Metchnikoff sebenamya telah mengatakan bahwa pertahanan tubuh tidak saja diperankan oleh faktor humoral, tetapi leukosit juga bkrpefan dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit baru dikenal fungsi fagositosisnya. Beliaulah yang menemukan sel makrofag. Sekarang kita mengetahui bahwa sel makrofag aktif berperan pada imunitas selular untuk eliminasi antigen. Baru pada tahun 1964, Cooper dan Good dari penelitiannya pada ayam menyatakan bahwa sistem limfosit terdiri atas 2 populasi, yaitu populasi yang perkembangannya bergantung'pada timus dan dinamakan limfosit T, serta populasi yang perkembangannya bergantung pada bursa fabriciw dan dinamakan limfosit B. Tetapi pada waktu itu belum dapat dibedakan antara limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berperan dalam hipersensitivitas lambat pada kulit dan penolakan jaringan, sedangkan limfosit B dalam produksi antibodi.

    Rranan mekanisme iinun pada reaksi penolakan jaringan sebenamya telah dilihat oleh Medawar dan Burnet pada tahun 1944. Medawar melihat bahwa pada hewan kembar dizigotik, jaringan kulit dari kembar yang satu dapat diterima oleh kembar yang lain. Pada tahun 1953, Medawar juga menemukan adanya toleransi imunologik didapat, dengan menlperkenalkan jaringan asing pada masa embrio. Kemudian Burnet menggambarkan konsep toleransi yang menyatakan bahwa transplantasi jaringan antara individu yang secara

    Sejarah lmunologi 5

  • genetik identik (singenik) akan diterima, sedangkan jaringan dari individu yang secara genetik tidak identik (alogenik) akan ditolak. Beliau juga mengajukan teori seleksi klon ( c h e ) pada respons tubuh terhadap antigen tertentu. Semuanya ini kemudian merupakan dasar untuk penatalaksanaan transplantasi jaringan.

    Bertambahnya kelainanimunologiksecara klinis terlihatsejakBruton pada tahun 1952 melaporkan seorang anak umur 8 tahun dengan infeksi berulang yang ternyata kemudian darahnya tidak mengandung globulin gama. Sejak itu makin bertambah laporan kelainan klinis yang berdasarkan adanya defisiensi imun primer. Bahkan sekarang kita menghadapi kelainan klinis dengan defisiensi imun tetapi yang bersifat sekunder akibat infeksi, penyakit atau kekurangan gizi yang diderita. Penyakit infeksi human immunodefuiency virus (HIV) yang merupakan penyakit pandemi yang sedang kita hadapi adalah salah satu contoh defisiensi imun sekunder akibat infeksi yang diderita.

    Kelainan klinis berdasarkan reaksi autoimun mulai banyak dikenal secara klinis. Dengan ditemukannya antibodi monoklonal pada tahun 1975 oleh George, Kohler dan Cesar Milstein, maka limfosit T dan limfosit B mulai dapat dibedakan melalui molekul pada permukaan membran sel yang dinamakan petanda permukaan. Selanjutnya dengan kemajuan di bidang biologi molekular, mekanisme pengenalan antigen yang sangat kompleks oleh sel limfosit mulai dapat terungkap. Dengan pengetahuan ini, reaksi imun yang te jadi pada patogenesis penyakit autoimun, termasuk juga penyakit infeksi, alergi, dan

    -penolakan jaringan dapat dijabarkan secara molekular. Kelainan klinis yang menunjukkan adanya defisiensi imun pun mulai dapat dijelaskan lebih terinci, sehingga penanganannya menjadi lebih tepat. Pengetahuan mekanisme respons imun yang terinci ini selain dapat dipakai untuk mendiagnosis penyakit alergi-imunologi, juga untuk mendiagnosis penyakit autoimun dan keganasan sehingga penangangan yang tepat dapat dilaksanakan. Pengobatan yang melibatkan regulasi sistem imun sekarang tidak hanya difokuskan pada regulasi ke bawah (dom regulation) seperti pada pemakaian kortikosteroid dan sitotoksik,'tetapi juga merespons imun dengan obat yang dapat memodifikasi respons biologik (biologic respome modifiers) seperti sitokin, antara lain interferon dan interleukin.

    DAFTAR PU STAKA 1. Bellanti A. Immunology 111. Philadelphia: WB Saunders Company, 1985. 2. Stites DP, Teer AI. Basic and clinical immunology. Nonvalk: Appleton & Lange, 1991.

    Buku Ajar Alergi lmunologi Anak

  • Bab 2 -

    Perkembangan Sistem Imun Corry S Matondang

    Evolusi perkembangan sistem imun dapat dianggap sebagai suatu sen respons adaptif terhadap lingkungan yang berubah-ubah dan potensial rawan. Evolusi perkembangan sistem imun yang ditinjau dari sudut keragaman berbagai macam spesies, dari spesies yang paling primitif sampai yang paling berkembang yaitu manusia, dinamakan filogeni sistem inlun. Pengaruh lingkungan yang rawan ini akan menimbulkan seleksi spesies yang paling dapat beradaptasi terhadap lingkungan untuk bertahan hidup. Proses adaptasi inilah yang merupakan dasar filogeni respons imun. . .

    Filogeni imunitas nonspesifik Bentuk paling prirnitif dari imunitas nonspesifik adalah fagositosis. Pada organisme uniselular fagositosis berperan sebagai fungsi nutritif, sedangkan pada organisme yang lebih tinggi fagositosis berperan sebagai fungsi pertahanan. Pada invertebrata yang lebih tinggi, sistem vaskular mulai terbentuk sehingga fagositosis tidak hanya dilakukan oleh yang terfiksasi tetapi juga oleh sel yang beredar dalam sirkulasi. Pada manusia misalnya, 3 dari 5 leukosit yang beredar, yaitu sel monosit, sel polimorfonuklear dan sel eosinofil berperan sebagai fagosit. Selain fagositosis, respons inflamasi juga merupakan pertahanan nonspesifik yang sudah terlihat pada invertebrata primitif. Dengan evolusi, bentuk pertahanan ini tetap dipertahankan dan ditambah dengan bentuk baru seperti sistem koagulasi, komplemen, amplifikasi biologik, bahkan dengan bentuk pertahanan spesifik.

    Filogeni imunitas spesifik Adanya sistem imun spesifik sudah terlihat pada vertebrata primitif, misalnya seperti pada hagfish. Pada vertebrata prirnitif ini sistem imunitas spesifik masih berbentuk sistem limfoid yang tersebar, sedangkan pada vertebrata yang tinggi sistem ini sudah merupakan struktur limfoid tersendiri. Pada vertebrata yang lebih rendah, antibodi yang dibentuk mempunyai berat molekul tinggi yang analog dengan imunoglobulin M pada vertebrata yang leblh tinggi. Imunitas selular juga sudah terlihat baik pada invertebrata maupun vertebrata yang dapat terlihat dari penolakan jaringan transplantasi, tetapi pada invertebrata belum

    Perkembangan Sistem lmun 7

  • terlihat adanya antibodi yang analog dengan irnunoglobulin. Semua vertebrata mempunyai antibodi, rnenolak jaringan transplantasi dan memperlihatkan memori imunologik. Pada manusia sistern imun sudah berkembang sedernikian rupa dengan berbagai macam subset sel limfoid dan lirnfokin yang dihasilkannya. Selarna evolusi terjadi spesialisasi sel yang berperan spesifik pada pertahanan tubuh dan spesialisasi ini didukung oleh lingkungan mikro ternpat sel pendahulu berada, rnisalnya timus dan bursafabricius pada burung.

    Urutan evolusi kelas irnunoglobulin paralel dengan proses pematangan pada individu. Pada vertebrata primitif terlihat antibodi yang analog dengan inlunoglobulin M, dan pada yang lebih tinggi tirnbul antibodi kedua yang analog dengan irnunoglobulin G, kernudian diikuti antibodi yang analog dengan IgA. Sedangkan pada manusia terdapat 5 kelas irnunoglobulin, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD dan IgE dengan masing-masing subkelasnya. Jadi lingkungan merupakan faktor yang penting dalarn filogeni sistem irnun, baik lingkungan makro rnaupun rnikro. Lingkungan mikro sangat penting pada perkembangan sistem imun spesifik. Respons imun yang berkernbang sempurna adalah respons irnun dengan spesifisitas dan rnemori imunologik.

    ONTOGENI SISTEM IMUN Ontogeni sistern irnun adalah proses perkembangan sistem imun ditinjau dari individu yang sedang berkernbang (jadi bukan spesies), dari sel pendahulu sampai menjadi sel rnatur. Pada manusia diperkirakan bahwa rnaturasi respons imun sudah dinzulai pada fetus pada kehamilan 2-3 bulan. Perkembangan ditujukan pada diferensiasi fungsi imunologik sel nonspesifik dan spesifik. Keduanya berasal dari populasi sel asal (stem cell) yaitu sel yang mernpunyai kesanggupan untuk bereplikasi dan berdiferensiasi rnenjadi sel rnatur. Sel asal pada ernbrio yang sedang berkembang terletak pada jaringan hematopoietik yolksac, pada keharnilan 6 minggu di hati, dan mulai usia keharnilan 2 bulan serta selanjutnya pada surnsum tulang. Pada keharnilan 3-5 bulan, lirnpa juga berperan sebagai jaringan hematopoietik. Setelah bayi lahir, surnsurn tulang rnerupakan satu-satunya organ hernatopoietik. Bila surnsurn tulang gagal, misalnya oleh karena suatu penyakit, nlaka hati dan lirnpa dapat berfungsi sebagai hernatopoiesis ekstramedular.

    Bergantung pada lingkungan rnikro maka sel akan berkembang melalui jalur hernatopoietik dan lirnfopoietik. Yang melalui jalur hematopoietik akan berkernbang menjadi sel eritrosit, granulosit, trombosit, dan rnonosit; sedangkan jalur limfopoietik menjadi sel limfosit. Jadi lingkungan rnikro penting pada ontogeni sistem irnun.

    Dengan mengetahui ontogeni sistem imun rnaka kita akan dapat menjelaskan patogenesis beberapa penyakit defisiensi irnun yang kita jurnpai di klinik, terutarna defisiensi imun kongenital.

    DAFTAR PUSTAKA 1. Bellanti A. Immunology 111. Philadelphia: WB Saunders Company, 1985. 2. Stites DP, Ten AI. Basic and clinical immunology, Nonvalk: Appleton & Lange 1991.

    8 Buku Ajar Alergi lrnunologi Anak

  • Respons lmun

    IMUNOGEN DAN ANTIGEN Imunogen adalah zat yang mempunyai kesanggupan untuk merangsang respons imun spesifik baik humoral, selular, ataupun keduanya, dan dapat bereaksi dengan produk respons imun tersebut. Imunogen terutama adalah protein dan polisakarida, sedangkan lipid lebih berperan sebagai hapten.

    Antigen adalah zat yang dapat bereaksi dengan produk respons imun spesifik, terutama antibodi. Oleh karena itu imunogen adalah antigen, tetapi tidak semua antigen adalah imunogen. Antigen yang bukan imunogen adalah antigen yang tidak lengkap, dinamakan juga hapten. Hapten adalah antigen yang mempunyai berat molekul rendah (< 10.000 Dalton), karena itu ia tidak dapat merangsang respons imun spesifik, tetapi dapat bereaksi dengan produk respons imun, misalnya antibodi. Ia baru dapat bersifat imunogenik bila bergabung dengan molekul lain yang dinamakan carrier seperti albumin globulin, atau polipeptida. Alergen adalah antigen yang dapat menginduksi terjadinya reaksi hipersensitivitas atau alergi. Alergen dapat berupa hapten, atau dapat pula imunogen.

    Deteminan antigen, disebut juga epitop, adalah bagian (daerah) antigen yang terpajan aktif dan dapat bereaksi dengan produk respons imun spesifik. Kebanyakan antigen yang kompleks mempunyai determinan antigen multipel pada permukaannya atau dinamakan juga multivalen, seperti sel darah merah, bakteri, virus, dan jaringan. Oleh karena itu dinamakan respons imun poliklonal.

    Derajat imunogenesitas suatu imunogen tergantung pada keasingan, berat molekul, dan sifat kompleks kimianya. Makin asing terhadap host, makin berat sifat imunogeniknya. Makin besar berat molekulnya dan makin kompleks sifat kimianya akan makin kuat pula sifat imunogeniknya.

    Antigen autolog adalah antigen yang berasal dari host sendiri. Antigen ini biasanya tidak akan merangsang respons imun host kembarannya. Antigen singenik adalah antigen yang berasal dari individu yang secara genetik identik, misalnya kembar monozigot. Antigen ini juga biasanya [idak menimbulkan respons imun pada host.

    Respon lrnun

  • Antigen alogenik, disebut juga antigen homolog, adalah antigen yang berasal dari individu lain dalam satu spesies. Antigen ini akan merangsang respons imun host. Antigen xenogenik adalah antigen yang berasal dari individu dengan spesies yang berbeda, misalnya dari monyet ke manusia. Antigen ini akan rnerangsang kuat respons imun host. Isoantigen adalah aloantigen yang ada pada kelompok anggota tertentu pada spesies yang sama, misalnya antigen A dan B dari golongan darah sel darah merah.

    Antigen heterofil, dinamakan juga antigen heterogenetik, adalah antigen yang didapat pada spesies berbeda, misalnya antigen yang ada pada permukaan sel darah merah biri-biri dengan antigen yang ada pada pem~ukaan virus Epstein-Barr, atau antigen yang ada pada spiroketa penyebab sifilis dengan antigen yang ada pada otot jantung sapi. Jadi seseorang yang terinfeksi virus Epstein-Barr akan membentuk antibodi yang secara in vitro akan bereaksi dengan sel darah merah biri-bin, demikian pula seseorang yang terinfeksi spiroketa sifilis akan membentuk antibodi yang secara in vitro bereaksi dengan sel otot jantung sapi.

    Mitogen adalah zat yang dapat merangsang sel lilnfosit untuk berproliferasi, tecapi bukan melalui reseptor antigen melainkan melalui reseptor mitogen. Contoh mitogen ialah phytohaemaglutinin (PHA), concanavalin A (con-A) yang terutama merupakan nlitogen sel T, sedangkan pokeweed merupakan mitogen sel B.

    Superantigen adalah antigen yang merangsang sel T melalui ikatan dengan kompleks peptida TCR-MHC APC (reseptor antigen sel T-nlolekul MHC kelas I1 pada sel yang mempresentasikan antigen) pada rantai p TCR dan bagian molekul MHC kelas 11, jadi bukan pada bagian ikatan reseptor antigen normal (konvensional) atau reseptor mitogen (lihat Gambar 3-1).

    \ MHCkelasII TCR 1 ~ 1

    .' / pep- - 4 -

    Superantigen Garnbar 3-1. lkatan superantigen dengan kompleks peptida TCR-MHC kelas II.

    (Dikutip dengan rnodifikasi dari Sigal LH dan Ron Y, 1994)

    10 Buku Ajar Alergl Imunolog~ Anak

    -- - .- - -- - -.

  • Tolerogen adalah antigen yang menginduksi toleransi, contohnya antigen din (self antigen). Idiotip adalah determinan antigenik dari bagian variabel antibodi yaitu bagian antibodi yang berikatan dengan antigen.

    MEKANISME PERTAHANAN TUBUH Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.

    Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu.

    Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.

    Mekanisme Pertahanan Non Spesifik Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjamya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.

    Permukaan tubuh, mukosa dan kulit Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertanla terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan pelbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.

    Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.

    Komplemen dan makrofag Jalur alternatif komplenlen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung

  • sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel monosit dari polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.

    Protein fase akut Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein (CRP) merupakan salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi CRP juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen.

    Sel 'natural killer' (NK) dan interferon Sel NK adalah sel yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor. Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat menghambat replikasi virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.

    IVlekanisme Pertahanan Spesifik Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi rnikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat.

    Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakanligannia (pasangannya) . Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen.

    Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen (APC = antigenpresmtingcell = makrofag) sel limfosit T dansel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada inzunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan nlemproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxiciq (ADCC).

    lmunitas selular Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel

    12 Buku Ajar Alergi lmunologi Anak

  • pluripotensial yang pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum tulang. Dalam ~erkembangann~a sel pluripotensial yang akan menjadi limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur. .

    Di dalanl timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada pernlukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada permukaan membran ini dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dandapat dideteksi oleh antibodi nlonoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya cluster of differentiation. Secara garis besar, linlfosit T yang meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer (limfosic T matur) terdiri atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T 4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).

    Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakail reseptor antigen pada permukaan sel Iimfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.

    Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T memori dan limfosit T efektor. Limfosit T memori terdiri atas limfosit CD4 memori dan limfosit CD8 memori. Sedangkan limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis sel target, dan limfosit T CD4 efekror yang akan mengaktivasi makrofag, sel B dan sel lainnya.

    Pajanan antigen pada sel T Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T &pendent antigen), artinya antigen akan mengaktifian sel inlunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel T h melalui zat yang dilepaskan oleh sel T h aktif. T D adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T independent antigen) adalah antigen yang strukturnya sederhana dan berulangulang, biasanya bermolekul besar.

    Limfosit T h umumnya baru mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC (major histocompatibility complex) kelas I1 yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membran sel makrofag. Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama molekul kelas I1 MHC kepada sel T h sehingga terjadi ikatan antara TCR dengan antigen. Ikatan tersebut terjadi sede~nikian rupa dan menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga terjadi transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel T h aktif dan sel T h memori. Sel T h aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal antigen dan mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Tc memori dan sel Tc aktif yang melisis sel target yang telah dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I (lihat Gambar 3-2).

  • MHC keles l atsu l

    Permukaan sel T sel target/APC

    -, MHC keles

    I Permukaan I

    Garnbar 3-2. Ppngepalan antigen rnelalui asosiasi dengan rnolekul MHC kelas I dan kelas II pada sel T. (Dikutip dengan rnodifikasi dari Sigal LH dan Ron Y. 1994)

    Limfokin Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor Fc dan C3Bpadapermukaan makrofagsehingga mempermudahnlelihatantigenyang telah berikatan dengan antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain itu limfokin merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit oksigen yang bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, parasit, dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya penghancuran antigen oleh makrofag.

    Aktivitas lain untuk eliminasi antigen Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk melepaskan faktor fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran dapat dibatasi.

    Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.

    lmunitas humoral Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.

    Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkernbangannya pada mamalia dipengaruhi oleh lingkungan bursa fabriciw dan pada manusia oleh lingkungan hati,

    14 Buku Ajar Alergi lmunologi Anak

  • sumsum tulang dan lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam perkembangan ini terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan reseptor antigen pada permu kaan membran. Pada sel B ini reseptor antigenmerupakan imunoglobulin permukaan (surjuce inrmunoglobulin). Pada mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada perkenlbangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga semua sel B matur mempunyai reseptor antigen tertentu.

    Pajanan antigen pada sel B Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan selTh (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Selain iru, antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.

    Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena lnakrofag selain mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi komplemen.

    Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular mediated cyrotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen.

    Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektlf dan berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.

    Regulasi Respons lmun Setelah antigen dapat dieliminasi, agar tidak terjadi aktivasi sistem imun yang tak terkendali, maka diperlukan adanya regulasi respons imun. Ada 3 macam mekanisme tubuh untuk meregulasi respons imun yang sudah terjadi.

    Respon lmun

  • Regulasi oleh antibodi yang terbentuk Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi selanjutnya. Pada waktu kadar antibodi masih rendah, pada tahap respons permulaan, antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang rnempunyai kapasitas memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk merupakan faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi karena antibodi yang terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen, sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi terhadap antigen atau berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan juga berafinitas tinggi.

    Adanya efek antibodi tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip antibodi. Umumnya IgM mempunyai tendensi untuk meningkatkan produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering bersifat supresif. Di samping itu, pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen masih lebih besar daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah kompleks Ag-Ab terfiksasi pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat dipresentasikan pada sel Th yang kemudian merangsang sel B membentuk antibodi. Jadi pada permulaan terjadi peningkatan jumlah maupun afinitas antibodi. Tetapi bila antibodi sudah ada dalam konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai jumlah cukup untuk menetralkan antigen yang ada, antibodi akan menjadi umpan balik negatif agar tidak dibentuk antibodi lebih lanjut. Hal ini terjacli karena dengan terikatnya bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen maka reseptor antigen pada sel B tidak akan terangsang lagi oleh epitop antigen tersebut, sehingga tidak terjadi aktivasi dan priming sel B terhambat (lihat Gambar 3-3).

    Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan umpan balik negatif melalui bagian Fc-nya. Sel B selain mempunyai reseptor antigen juga mempunyai reseptor Fc. Dengan terikatnya antibodi pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat

    Hambatan determinan b antigen

    @ i

    Gambar 3-3. Regulasi sel B yang bergantung pada bagian F(ab)Z antibodi (Dikutip dengan modifikasi dari Roitt, 1985)

    Buku Ajar Alergi lmunologi Anak

  • pada reseptor antigen pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya gabungan silang antara reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak terjadi aktivasi sel B (lihat Gambar 3-4). Tidak adanya bridging antara suatu reseptor antigen dengan reseptor antigen lainnya pada sel B mengakibatkan tidak terjadinya enzim, sehingga sel B tidak terangsang untuk mengalami transformasi blast, berproliferasi dan berdiferensiasi, dan akibatnya pembentukan antibodi makin lama makin berkurang.

    Regulasi idiotip spesifik Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin bertambah. Pada kadar tertentu, idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini sebenarnya belum jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. Tetapi fakta memang membuktikan adanya limfosit yang dapat mengenal dan bereaksi dengan idiotip antibodi, karena ada limfosit yang mempunyai reseptor untuk idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk juga mempunyai idiotip hingga akan merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan seterusnya.

    Pada binatang adanya anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase respons imun mulai menurun. Anti-idiotip yang terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan internal image dari antigen asal. Tetapi adanya antibodi anti-idiotip ini pada respons imun yang normal tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi terhadap antigen asal. Terbencuknya anti-idiotip berturut-turut mengakibatkan jumlah antibodi makin lama makin berkurang. Dapat dipersamakan seperti bat" yang jatuh ke dalam air dan menimbulkan gelembung air yang makin lama makin menghilang. Regulasi

    Gambar 3-4. Regulasi sel B yang bergantung pada bagian Fc antibodi. (Dikutip dengan modifikasi dari Roitt, 1985)

    Respon lmun

  • melalui pembentukan anti-idiotip adalah regulasi untuk menurunkan respons imun (down regulation) yang dikenal sebagai jaringan imunoregulator dari Jerne (1974).

    Regulasi oleh sel T supresor (Ts) Dalam tubuh kita terdapat limfosit yang dapat meregulasi limfosit lainnya untuk meningkatkan fungsinya yang dinamakan sel T helper (Th = CD4). Selain itu terdapat juga limfosit yang menekan respons imun yang te qadi secara spesifik yang dinamakan sel T supresor (Ts = CD8). Sel Ts dapat juga diaktifkan pada respons imun normal dengan tujuan mencegah respons imun yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts melakukan tugasnya belumlah jelas, tetapi secara in vitro dapat diketahui bahwa pada aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan menekan respons imun yang sedang berlangsung.

    Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang merangsang respons imun itu sendiri. Antigen merangsang CD4 yang 2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor supresi antigen spesifik yang akan merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh antigen yang mengadakan bndging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya, seperti sel B dan sel Th, sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3) oleh sel B atau sel T h yang mempunyai reseptor idiorip dari idiotip sel Ts, sehingga sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th.

    DAFTAR PUSTAKA 1. Bellanti A. Immunology 111. Philadelphia: WB Saunders Company, 1985. 2. Abbase AK, Lichtman. Cellular and Molekular Immunology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier

    Saunders, 2095. 3. Roitt I, Brostoff J, Male D. Immunology. Edisi Ke-6. Edinburg; Mosby, 2001. 4. Cruse JM, Lewis RE. Atlas of Immunology. USA. CRC-Springer Verlag. 1999.

    Buku Ajar Alergi lrnunologi Anak

  • Imunitas Non Spesifi k Zakiudin Munasir, Nia Kurniati

    S emua organisme nlultiselular (termasuk tumbuhan, invertebrata, dan vertebrata) memiliki mekanisme intrinsik sebagai pertahanan terhadap mikroorganisme. Mekanisme pertahanan ini disebut sebagai imunitas non spesifik (disebut juga imunitas alamiah) dan bersifat selalu siap untuk mengenali dan mengeliminasi mikroba. Imunitas non spesifik tidak bereaksi terhadap bahan-bahan non mikroba. Imunitas non spesifik berbeda dengan imunitas spesifik yang harus distimulasi dan beradaptasi terlebih dahulu sebelum menjadi efektif untuk melawan mikroba.

    Imunitas non spesifik merupakan mekanisme pertahanan yang kuat dan bekerja sebelum imunitas spesifik teraktivasi. Mekanisme ini juga memberikan instruksi terhadap imunitas spesifik untuk berespons terhadap berbagai jenis mikroba secara efektif. Sebaliknya, imunitas spesifik juga seringkali menggunakan mekanisme imunitas non spesifik untuk menghancurkan mikroba. Jadi, terdapat hubungan timbal balik antara kedua mekanisme ini.

    PENGEIVALAN IbllKROBA OLEH SISTEM IMUN NON SPESlFlK Komponen imunitas non spesifik dapat mengenali struktur tertentu (epitop) pada mikroba (bakteri, virus, dan jamur). Struktur tersebut dirniliki oleh berbagai jenis rnikroba, namun tidak terdapat pada sel pejamu. Contohnya, fagosit mempunyai reseptor terhadap lipopolisakarida (LPS) bakteri, dan LPS ini tidak diproduksi oleh sel mamalia. Epitop pada mikroba yang dikenali oleh imunitas non spesifik merupakan struktv yang penting bagi kelangsungan hidup dan infektifitas mikroba tersebut. Sebaliknya, mikroba dapat menghindar dari imunitas spesifik dengan cara mutasi antigen yang tidak mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup mikroba. Reseptor lain pada fagosit dapat mengenali residu manosa terminal pada glikoprotein. Glikoproteiri dari bakteri banyak yang mempunyai manosa terminal, namun tidak demikian halnya pada susunan glikoprotein mamalia yang berakhir dengan sialic acid atau N-acetylgalactosamine. Molekul pada mikroba yang merupakan target imunitas non spesifik ini disebut sebagai rnokcuh patterns, sedangkan reseptor pada komponen imunitas non spesifik yang mengenali struktur ini disebut pattern recognition receptors.

    lmunitas Non Spesifik

  • Perbedaan antara imunitas non spesifik dan spesifik adalah imunitas non spesifik berespons dengan cara yang sama pada paparan berikutnya dengan mikroba, sedangkan imunitas spesifik akan berespons lebih efisien karena adanya memori imunologik.

    Komponen imunitas non spesifik Sistem imun non spesifik terdiri dari epitel (sebagai barrier terhadap infeksi), sel-sel dalam sirkulasi dan jaringan, serta beberapa protein plasma.

    1. Barrier epitel Tempat masuknya mikroba yaitu kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran pernapasan diliidungi oleh epitel yang berfungsi sebagai barrier fisik dan kimiawi terhadap infeksi. Sel epitel memproduksi antibodi peptida yang dapat membunuh bakteri. Selain itu, epitel juga mengandung limfosit intraepitelial yang mirip dengan sel T namun hanya mempunyai reseptor antigen yang terbatas jenisnya. Limfosit intraepitelial dapat mengenali lipid atau struktur lain pada mikroba. Spesifisitas dan fungsi limfosit ini masih belum jelas.

    2. Sistern fagosit Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan monosit, sel darah yang dapat datang ke tempat infeksi kemudian mengenali mikroba intraselular dan memakannya (intracellukn killing). Sistem fagosit dibahas dalam bab tersendiri (Bab 6).

    3. Sel Na turd Killer (N K) Sel natural kilkr (NK) adalah suatu limfosit yang berespons terhadap mikroba intraselular dengan cara membunuh sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin untuk mengaktivasi makrofag yaitu IFN-y. Sel NK bequmlah 10% dari total limfosit di darah dan organ limfoid perifer. Sel NK mengandung banyak granula sitoplasma dan mempunyai penanda permukaan (surfnce murker) yang khas. Sel ini tidak mengekspresikan imunoglobulin atau reseptor sel T. Sel NK dapat mengenali sel pejamu yang sudah berubah akibat terinfeksi mikroba. Mekaaisme pengenalan ini belum sepenuhnya diketahui. Sel NK mempunyai berbagai reseptor untuk molekul sel pejamu (host cell), sebagian reseptor akan mengaktivasi sel NK dan sebagian yang lain menghambatnya. Reseptor pengaktivasi bertugas untuk mengenali molekul di permukaan sel pejamu yang terinfeksi virus, serta mengenali fagosit yang mengandung virus dan bakteri. Reseptor pengaktivasi sel NK yang lain bertugas untuk mengenali molekul permukaan sel pejamu yang normal (tidak terinfeksi). Secara teoritis keadaan ini menunjukkan bahwa sel NK membunuh sel normal, akan tetapi ha1 ini jarang terjadi karena sel NK juga mempunyai reseptor inhibisi yang akan mengenali sel normal kemudian menghambat aktivasi sel NK. Reseptor inhibisi ini spesifik terhadap berbagai ale1 dari molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I.

    Terdapat 3 golongan reseptor inhibisi sel NK yaitu killer immunoglo~in-like receptor (KIR), immunoglobulin like-transcripts serta reseptor yang mengandung protein CD94 dan

    20 Buku Ajar Alergi lmunologi Anak

  • subunit lectin yang disebut NKG2. Reseptor KIR mempunyai struktur yang homolog dengan imunoglobulin. Kedua jenis reseptor inhibisi ini mengandung domams structural motifs di sitoplasmanya yang dinamakan immunoreceptor tyrosine-based inhibitory motif (ITIM) yang akan mengalami fosforilasi ke residu tirosin ketika reseptor berikatan dengan MHC kelas I, kemudian lTIM tersebut mengaktivasi protein dalam sitoplasma yaitu tyrosine phosphatase. Fosfatase ini akan menghilangkan fosfat dari residu tirosin dalam molekul sinyal (signaling molecules), akibatnya aktivasi sel NK terhambat. Oleh sebab itu, kenka reseptor inhibisi sel NK bertemu dengan MHC, sel NK nlenjadi tidak aktif.

    Berbagai virus mempunyai mekanisme untuk menghambat ekspresi MHC kelas I pada sel yang terinfeksi, sehingga virus tersebut terhindar dari pemusnahan oleh sel T sitotoksik CD8+. Jika ha1 ini terjadi, reseptor inhibisi sel NK tidak teraktivasi sehingga sel NK akan membunuh sel yang terinfeksi virus. Kemampuan sel NK untuk mengatasi infeksi ditingkatkan oleh sitokin yang diproduksi makrofag, diantaranya interleukin-12 (IL-12). Sel NK juga mengekspresikan reseptor untuk fragmen Fc dari berbagai antibodi IgG. Guna reseptor ini adalah untuk berikatan dengan sel yang telah diselubungi antibodi (antibody- mediated humoral immunity).

    Setelah sel NK teraktivasi, sel ini bekerja dengan 2 cara. Pertama, protein dalam granula sitoplasma sel NK dilepaskan menuju sel yang terinfeksi, yang mengakibatkan timbulnya lubang di membran plasma sel terinfeksi dan menyebabkan apoptosis. Mekanisme sitolitik oleh sel NK serupa dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T sitotoksik. Hasil

    Gambar 4-1. Hubungan makrofag dan sel NK. (Dikutip dengan modifikasi dari Sompayrac L, 2003)

    lmunitas Non Spesifik

  • akhir dari'reaksi ini adalah sel NK membunuh sel pejamu yang terinfeksi. Cara kerja yang kedua yaitu sel NK mensintesis dan mensekresi interferon-y (1FN.y) yang akan mengaktivasi makrofag. Sel NK dan makrofag bekerja sama dalam memusnahkan mikroba intraselular: makrofag memakan mikroba dan mensekresi IL-12, kemudian IL-12 mengaktivasi sel NK untuk mensekresi IFN-y, dan IFN-y akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba yang sudah dimakan tersebut (lihat Gambar 4-1).

    Tubuh menggunakan sel T sitotoksik untuk mengenali antigen virus yang ditunjukkan oleh MHC, virus menghambat ekspresi MHC, dan sel NK akan berespons pada keadaan dimana tidak ada MHC. Pihak mana yang lebih unggul akan menentukan hasil akhir dari infeksi.

    4. Sistem komplemen Sistem komplemen merupakan sekumpulan protein dalam sirkulasi yang penting dalam pertahanan terhadap mikroba. Banyak protein komplemen merupakan enzim proteolitik. Aktivasi komplemen membutuhkan aktivasi bertahap enzim-enzim ini yang dinamakan enzymatic cascade.

    Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu jalur alternatif, jalur klasik, dan jalur lektin. Jdur altematif dipicu ketika protein komplemen diaktivasi di permukaan mikroba dan tidak dapat dikontrol karena mikroba tidak mempunyai protein pengatur komplemen (protein ini terdapat pada sel host). Jalur ini merupakan komponen imunitas non spesifik. Jalur.klasik dipicu setelah antibodi berikatan dengan mikroba atau antigen lain. Jalur ini merupakan komponen humoral pada imunitas spesifik. Jalur lektin teraktivasi ketika suatu protein plasma yaitu lektin pengikat manosa (mannose-binding lectin) berikatan dengan manosa di permukaan mikroba. Lektin tersebut akan mengaktivasi protein pada jalur klasik, tetapi karena aktivasinya tidak membutuhkan antibodi maka jalur lektin dianggap sebagai bagian dari imunitas non spesifik. Ketiga jalur aktivasi komplemen di atas berbeda pada cara dimulainya, tetapi tahap selanjutnya dan hasil akhirnya adalah sama.

    Protein komplemen yang teraktivasi berfungsi sebagai enzim proteolitik untuk memecah protein komplemen lainnya. Bagian terpenting dari komplemen adalah C3 yang akan dipecah oleh enzim proteolitik pada awal reaksi complement cascade menjadi C3a dan C3b. Fragmen C3b akan berikatan dengan mikroba dan mengaktivasi reaksi selanjutnya.

    Sistem komplemen mempunyai 3 fungsi sebagai mekanisme pertahanan. Pertama, C3b menyelubungi mikroba sehingga mempermudah mikroba berikatan dengan fagosit (melalui reseptor C3b pada fagosit). Kedua, hasil pemecahan komplemen bersifat kemoatraktan untuk neutrofil dan monosit, serta menyebabkan inflamasi di tempat aktivasi komplemen. Ketiga, tahap akhir dari aktivasi komplemen berupa pembentukan membrane attack complex (MAC) yaitu kompleks protein polimerik yang dapat menembus membran sel mikroba, lalu membentuk lubang-lubang sehingga air dan ion akan masuk dan mengakibatkan kematian mikroba. Sistem komplemen dibahas lebih lanjut pada Bab 5.

    Buku Ajar Alergi lmunologi Anak

  • 5. Sitokin pada imunitas non spesifik Sebagai respons terhadap mikroba, makrofag dan sel lainnya mensekresi sitokin untuk memperantarai reaksi selular pada imunitas non spesifik. Sitokin merupakan protein yang mudah larut (solubk protein), yang berfungsi untuk komunikasi antar leukosit dan antara leukosit dengan sel lainnya. Sebagian besar dari sitokin itu disebut sebagai interleukin dengan alasan molekul tersebut diproduksi oleh leukosit dan bekerja pada leukosit (namun definisi ini terlalu sederhana karena sitokin juga diproduksi dan bekerja pada sel lainnya). Pada imunitas non spesifik, sumber utama sitokin adalah makrofag yang teraktivasi oleh mikroba. Terikatnya LPS ke reseptomya di makrofag merupakan rangsangan kuat untuk mensekresi sitokin. Sitokin juga diproduksi pada imunitas selular dengan sumber utamanya adalah sel T helper (TH).

    Sitokin diproduksi dalam jumlah kecil sebagai respons terhadap stimulus ekstemal (misalnya mikroba). Sitokin ini kemudian berikatan dengan reseptor di sel target. Sebagian besar sitokin bekerja pada sel yang memproduksinya (autokrin) atau pada sel di sekitamya (parakrin). Pada respons imun nonspesifik, banyak makrofag akan teraktivasi dan mensekresi sejumlah besar sitokin yang dapat bekerja jauh dari tempat sekresinya (endokrin).

    Sitokin pada imunitas non spesifik mempunyai bermacam-macam fungsi, misalnya TNE IL- 1 dan kemokin berperan dalam penarikan neutrofil dan monosit ke tempat infeksi. Pada konsentrasi tinggi, TNF menimbulkan trombosis dan menurunkan tekanan darah sebagai akibat dari kontraktilitas miokardium yang berkurang dan vasodiiatas'i. Infeksi bakteri Gram negatifyang hebat dan luas dapat menyebabkan syok septik. Manifestasi klinis dan patologis dari syok septik disebabkan oleh kadar TNF yang sangat tinggi yang diproduksi oleh makrofag sebagai respons terhadap LPS bakteri. Makrofag juga memproduksi IL12 sebagai respons terhadap LPS dan mikroba yang difagosit. Peran IL 12 adalah mengaktivasi sel NK yang akan menghasilkan IFN-y. Pada infeksi virus, makrofag dan sel yang terinfeksi memproduksi interferon (IFN) tipe I. Interferon ini menghambat replikasi virus dan mencegah penyebaran infeksi ke sel yang belum terkena.

    6. Protein plasma lainnya pada imunitas non spesifik Berbagai protein plasma diperlukan untuk membantu komplemen pada pertahanan melawan infeksi. Mannose-binding lectin (MBL) di plasma bekerja dengan cara mengenali karbohidrat pada glikoprotein pemukaan mikroba dan menyelubungi mikroba untuk mempermudah fagositosis, atau mengaktivasi komplemen melalui jalur lectin. Protein MBL ini termasuk dalam golongan protein collectin yang homolog dengan kolagen serta mempunyai bagian pengikat karbohidrat (lectin). Surfaktan hi paru-paru juga tergolong dalam collectin dan berfungsi melindungi saluran napas dari infeksi. C-reactive protein (CRP) terikat ke fosforilkolin di mikroba dan menyelubungi mikroba tersebut untuk difagosit (melalui reseptor CRP pada makrofag). Kadar berbagai protein plasma ini akan meningkat cepat pada infeksi. Hal ini disebut sebagai respons fase akut (acute phase response).

    Cara kerja respons imun non spesifik dapat bervariasi tergantung dari jenis rnikroba. Bakteri ekstraselular dan jamur dimusnahkan oleh fagosit, sistem komplemen, dan protein

    lmunitas Non Spesifik 23

  • Gambar 4-2. Aktivasi sel T oleh APC. (Dikutip dengan modifikasi dari Sompayrac, 2003)

    fase akut. Sedangkan pertahanan terhadap bakteri intraselular dan virus diperantarai oleh fagosit dan sel NK, serta sitokin sebagai sarana penghubung fagosit dan sel NK.

    PENGHINDARAN MIKROBA DARl IMUNITAS NON SPESIFIK Mikroba patogen dapat mengubah din menjadi resisten terhadap imunitas non spesifik sehingga dapat memasuki sel pejamu. Beberapa bakteri intraselular tidak dapat didestruksi di dalam fagosit. Lysteria monocytogenes menghasilkan suatu protein yang membuamya lepas dari vesikel fagosit dan masuk ke sitoplasma sel fagosit. Dinding sel Mycobacterium mengandung suatu lipid yang akan menghambat penggabungan fagosom dengan lisosom. Berbagai mikroba lain mempunyai dinding sel yang tahan terhadap komplemen. Mekanisme ini digunakan juga oleh mikroba untuk melawan mekanisme efektor pada imunitas selular dan humoral.

    PERAN IMUNITAS NON SPESIFIK DALAM MENSTlMULASl RESPONS IMUN SPESIFIK Selain mekanisme di atas, imunitas non spesifik berfungsi juga untuk menstimulasi imunitas spesifik. Respons imun non spesifik menghasilkan suatu molekul yang bersama-sama dengan antigen akan mengaktivasi limfosit T dan B. Aktivasi limfosit yang spesifik terhadap suatu antigen membutuhkan 2 sinyal; sinyal pertama adalah antigen itu sendiri, sedangkan pada mikroba, respons imun non spesifik terhadap mikroba, dan sel pejamu yang rusak akibat mikroba merupakan sinyal kedua. Adanya "sinyal kedua" ini memastikan bahwa limfosit hanya berespons terhadap agen infeksius, dan tidak berespons terhadap bahan-bahan non mikroba. Pada vaksinasi, respons imun spesifik dapat dirangsang oleh antigen, tanpa adanya mikroba. Dalam ha1 ini, pemberian antigen harus disertai dengan bahan tertentu yang disebut adjuvant. Adjuvant akan merangsang respons imun non spesifik seperti halnya mikroba. Sebagian besar adjuvant yang poten merupakan produk dari mikroba.

    24 Buku Ajar Alergi lmunologi Anak

  • Gambar 4-3. Sekresi 11-12 oleh makrofag. (Dikutip dengan rnodifikasi dari Sompayrac, 2003)

    Mikroba dan IFN-y yang dihasilkan oleh sel NK akan merangsang sel dendrit dan makrofag untuk memproduksi 2 jenis "sinyal kedua" pengaktivasi limfosit T. Pertama, sel dendrit dan makrofag mengekspresikan petanda permukaan yang disebut ko-stimulator. Ko- stimulator ini berikatan dengan reseptor pada sel T naif, kemudian bersama-sama dengan mekanisme pengenalan antigen akan mengaktivasi sel T (lihat Gambar 4-2). Kedua, sel dendrit dan makrofag mensekresi IL-12. Interleukin ini merangsang diferensiasi sel T naif menjadi sel efektor pada imunitas selular (lihat Gambar 4-3).

    Mikroba di dalam tarah mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur altematif. Pada aktivasi komplemen, diproduksi C3d yang akan berikatan dengan mikroba. Pada saat limfosit B mengenali antigen mikroba melalui reseptornya, sel B juga mengenali C3d yang terikat pada mikroba melalui reseptor terhadap C3d. Kombinasi pengenalan ini rnengakibatkan diferensiasi sel B menjadi sel plasma. Dalam ha1 ini, produk komplemen berfungsi sebagai "sinyal kedua" pada respons irnun humoral.

    Contoh-contoh di atas menunjukkan pentingnya "sinyal kedua" karena sinyal ini tidak hanya rnenstimulasi imunitas spesifik namun juga mengatur respons yang akan timbul. Jenis mikroba yang berbeda-beda akan merangsang respons imun non spesifik yang berbeda- beda pula, yang kemudian akan merangsang respons imun spesifik yang paling sesuai untuk mengatasi jenis mikroba tersebut.

    lmunitas Non Spesifik

  • Bab 5 -

    Sistem Komplemen EM Dadi Suyoko

    K omplemen yang biasanya disingkat dengan C adalah suatu faktor berupa protein yang terdapat di dalam serum. Seperti namanya, complement berarti tambahan. Faktor ini perlu ditambahkan dalam reaksi antigen dan antibodi, agar terjadi lisis antigen. Sistem komplemen adalah suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks protein yang satu dengan lainnya sangat berbeda. Pada kedaan normal komplemen beredar di sirkulasi. darah dalam keadaan tidak aktif, yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua jalur yang tidak tergantung satu dengan yang lain, disebut jalur klasik dan jalur alternatif.

    Aktivasi sistem komplemen menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan berbagai substansi biologik aktif yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi sistem komplemen tersebut selain bermanfaat bagi pertahanan tubuh, sebaliknya juga dapat membahayakan bahkan mengakibatkan kematian, hingga efeknya disebut seperti pisau bermata dua. Bila aktivasi komplemen akibat endapan kompleks antigen- antibodi pada jaringan berlangsung terus-menerus, akan terjadi kerusakan jaringan dan dapat menimbulkan penyakit.

    Makalah ini ditulis dengan tujuan agar pengertian mengenai komplemen dapat lebih dihayati, baik dalam fungsinya sebagai salah satu mekanisme pertahanan tubuh, maupun keterlihatannya dalam berbagai penyakit.

    KONlPONElV KOMPLEMEN Unsur pokok sisrem komplemen diwujudkan oleh sekumpulan komponen protein yang terdapat di dalam serum. Protein-protein ini dapat dibagi menjadi protein fungsional yang menggambarkan elemen dari berbagai jalur, dan protein pengatur yang menunjukkan fungsi pengendalian.

    Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel hepatosit, dan juga oleh sel fagosit mononuklear yang berada dalam sirkulasi darah. Komplemen C 1 juga dapat di sintesis oleh sel epitel lain di luar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel fagosit mononuklear terutama akan disintesis di tempat dan waktu terjadinya aktivasi.

    Sebagian dari komponen protein komplemen diberi nama dengan huruf C: CLq, Clr, CIS, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9 berurutan sesuai dengan urutan penemuan unit tersebut, bukan menurut cara kerjanya

    26 Buku Ajar Alergi lmunologi Anak

  • Tabel 5-1. Berbagai protein dalarn sistern komplernen

    (Dikutip dari Bellanti, 1985)

    Komponen C3 mernpunyai fungsi sangat penting pada aktivasi komplemen, baik melalui jalur klasik maupun jalur altematif. Konsentrasi C3 jauh lebih besar dibandingkan dengan fraksi lainnya, ha1 ini menempatkan C3 pada kedudukan yang penting dalam pengukuran kadar komplernen di dalam serum. Penurunan kadar C3 di dalam serum dapat dianggap menggambarkan keadaan konsentrasi komplemen yang menurun. Juga penurunan kadar C3 saja dapat dipakai sebagai gambaran adanya aktivasi pada sistem komplemen.

    AKTlVASl KOM PLEMEN Sistern kolnplelnek dapat diaktifkan melalui dua jalur, yaitu jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi tersebut melalui suatu proses enzimatik yang te jadi secara berantai, berarti produk yang timbul pada satu reaksi akan rnerupakan enzim untuk reaksi berikutnya. Caranya ialal~ dengan mepaskan sebagian atau mengubah bangunan kompleks protein tersebut (pro enzim) yang tidak aktif rnenjadi bentuk aktif (enzim). Satu molekul enzim yang aktif mampu mengakibatkan banyak molekul komplernen berikutnya. Cara keija semacam ini disebut the one hit theory.

    Sistern Komplemen 2 7

  • Secara garis besar aktivasi komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif terdiri atas tiga mekanisme, a) pengenalan dan pencetusan, b) penguatan (amplifikasi), dan c) pengakhiran ke rja berantai dan terjadinya lisis serta penghancuran mernbran sel (mekanisme terakhir ini seringkali juga disebut kompleks serangan membran) (lihat Gambar 5-1) .

    Aktivasi jalur klasik dicetuskan dengan berikatannya C1 dan kompleks antigen- antibodi, sedangkan aktivasi jalur altematif dimulai dengan adanya ikatan antara C3b dengan berbagai zat aktivator seperti dinding sel bakteri. Kedua jalur bertemu dan memacu terbentuknya jalur serangan membran yang akan mengkibatkan lisisinya dinding sel antigen (lihat Gambar 5-2).

    Aktivasi komplemen jalur klasik Seperti telah disebutkan diatas, aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau disebut pula jalur intrinsik, dibagi menjadi 3 tahap.

    Tahap pengenalan dan pencetusan Pada tahap ini te qadi aktivasi C1. Komponen C1 terdiri atas tiga subunit, Clq, C l r dan Cls. Perubahan sterik antibodi oleh antigen memungkinkan C l q untuk melekat pada fragmen Fc antibodi tersebut. Perlekatan ini membuat C l q menjadi aktif yang selanjutnya merubah proenzim C l r menjadi enzim yang aktif. Enzim Cls dari bentuk pro-esterase kemudian

    Sarongan membran I I I I I I , I I

    + - Reaksl Moklmla

    - - -, ALtlvltas anzlm

    Gambar 5-1. Skema aktivasi komplernen. (Dikutip dengan modifikasi dari JA Bellanti, 1985)

    Buku Ajar Alergi lmunologi Anak

  • I JALUR KUSlK 1 JMUR ALTERNATlF 1

    Gambar 5-2. Perbandingan antara jalur klasik dan jalur alternatif. (Dikutip dengan modifikasi dari IM Roitt. 1988)

    diaktiflcan menjadi bentuk esterase yang aktif. Clq, C l r dan Cls dalam bentuk aktif ini oleh pengaruh ion Ca++ akan bereaksi menjadi satu unit Clqrs.

    . .

    Komponen Clq rnempunyai afinitas untuk reseptor dua kelas antibodi, yaitu IgG dan IgM. Kemarnpuan imunoglobulin untuk mengikat komplemen juga sangat bewanasi, IgM akan mengikat komplernen secara lebih efektif daripada IgG karena hanya diperlukan 1 rnolekul IgM dibandingkan dengan 2 molekul IgG

    Tahap penguatan (amplifikasi) Tahap ini ditandai oleh aktivasi C4, C2, dan C3. Clqrs esterase mampu bereaksi dan mengaktifkan dua komponen komplemen berikunya, yaitu C4 danC2. Produk yang dihasilkan dari pemecahan komponen kornplemen, yang lebih besar dan melekat pada dinding sel diberi randa b dan yang lebih kecil yang berada dalarn sirkulasi diberi tanda a. Clqrs mengaktivasi C4 dan menguraikan C4 menjadi fragmen C4a dan C4b. Fragrnen C4b yang aktif akan melekat pada reseptor yang ada pada permukaan membran sel yang telah disensitisasiatau dilekati oleh antibodi, sedangkan fragmen C4a yang tidak aktif bebas bergerak di sekeliling sel atau dalam larutan yang mengandung sel yang telah disensitisasi tersebut. C4b akan berikatan dengan C2 rnembentuk C4b2, dan selanjumya Clqrs akan mengaktdcan C2 yang telah berikatan dalam bentuk C4b2 menjadi C4b2b dan C2a. C4b2b bersama dengan ion Mg++ membentuk konlpleks yang disebut C3 konvertase (terdapat perubahan nomenklatur, pada kepustakaan lama C3 konvertase masih disebut C4b2a). C3 konvertase akan memecah C3 menjadi C3a dan C3b. Fragmen C3bakan melekat pada reseptor yang ada pada permukaan membran sel dan membenti~k fragmen C4b2b3b yang disebut C3 peptidase atau C5 konvertase, sedangkan C3a bebas ~nenrupakan fragmen yang mempunyai aktivitas biologk. C5 konvertase ini akan bekerja mengaktifkan komplemen berikutnya.

    Sistem Komplemen

  • Tahap serangan membran Tahap ini merupakan pengakhiran kerja berantai dan terjadi lisis serta penghancuran membran sel (aktivasi C5, C6, C7, C8dan C9). C3 peptidase atau disebut juga C5 konvertase (C4b2b3b), akan memecah C5 menjadi C5a dan C5b. Fragmen C5b inilah yang merupakan titik tolak penghancuran serta lisis membran sel, sedangkan C5a bersama dengan C4a dan C3a berada bebas di dalam serum. Fragrnen C5b akan mengaktivasi C6 dan C7 membentuk C567 yang kemudian melekat pada permukaan membran sel. Tiap kompleks C567 akan mengikat 1 molekul C8, yang kemudian mengikat lagi 6 molekul C9. Dengan melekatnya komponen-komponen tersebut pada permukaan membran sel akan terbentuk saluran- saluran pada lapisan fosfolipid permukaan membran sel sehingga terjadi lisis osmotik.

    Aktivasi komplemen jalur alternatif Aktivasi jalur altematif atau disebut pula jalur properdin, terjadi tanpa melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1 ,C4 dan C2) dan juga tidak memerlukan antibodi IgG dan IgM.

    Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3 diaktiflcan terus menerus dalam jumlah yang sedikit baik melalui reaksi dengan HZ02 ataupun dengan sisa enzim proteolitik yang terdapat sedikit di dalam plasma. Komplemen C3 dipecah menjadi fragmen C3a dan C3b. Fragmen C3b bersama dengan ion Mg++ dan faktor B membentuk C3bB. Fragmen C3bB diaktifkan oleh faktor D menjadi C3bBb yang aktif (C3 konvertase) (Lihat Gambar 5-2). Pada keadaan normal reaksi ini bejalan terus dalam jumlah kecil sehingga tidak terjadi aktivasi komplemen selanjutnya. Lagi pula C3b dapat diinaktivasi oleh faktor H dan faktor I menjadi iC3b, dan selanjutnya dengan pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini dapat dilarutkan dalam plasma (lihat Gambar 5-3 ) .

    Tetapi bila padasuatu saat ada bahan atau zat yangdapat mengikat danmelindungiC3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya menjadi banyak, maka C3b yang terbentuk dari pemecahan C3 menjadi banyak pula, dan terjadilah aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau zat tersebut dapat berupa mikroorganisme, polisakarida (endotoksin, zimosan), dan bisa ular. Aktivasi komplemen melalui cara ini dinamakan aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang tidak dapat mengaktivasi jalur klasik misalnya IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif.

    Jalur altematif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel sasaran. Dengan menempelnya C3b pada permukaan sel sasaran tersebut, maka aktivasi jalur altematif dimulai; enzim pada permukaan C3Bb akan lebih diaktitkan, untuk selanjutnya akan mengaktifkan C3 dalam jumlah yang besar dan akan menghasilkan C3a dan C3b dalam jumlah yang besar pula. Pada reaksi awal ini suatu protein lain, properdin dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh karena itu seringkali jalur ini juga disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh proses aktivasi ini C3b akan terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H dan faktor I.

    Buku Ajar Alergi lmunologi Anak

  • Gambar 5-3. Antisipari jalur alternatif rnekanisme kontrol oleh faktor H dan I. (Dikutip dengan modifikasi dari IM Roitt, 1988)

    Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran aktivasi C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan pada permukaan membran sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b yang berada pada permukaan membran sel dan selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi selanjutnya seperti yang terjadi pada jalur altematif (kompleks serangan membran).

    Reseptor fragmen komplemen Banyak aktivitas dari sistem komplemen yang diperantarai dengan terikatnya fragmen komplemen pada reseptor spesifik yang terdapat pada permukaan beberapa jenis sel. Reseptor spesifik ini dapat dibagi dalam 3 jenis fungsi, (a) reseptor untuk fragmen C3 pada permukaan membran sel saat terjadi proses aktivasi, (b) reseptor untuk


Related Documents