YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript

Latar Belakang OAINS ( Obat Anti Inflamasi Non Steroid ) merupakan obat yang banyak digunakan dalam berbagai penyakit yang melibatkan proses inflamasi. Selain sebagai anti inflamasi, OAINS juga memiliki efek antipiretik, anti platelet dan analgesik. pasien lanjut usia telah terjadi perubahan fisiologi yang terkait dengan perubahan farmakokinetik maupun perubahan farmakodinamik. Perubahan tersebut akan mempengaruhi bioavaibilitas dan respon obat Penyakit kronik yang umumnya diderita oleh pasien lanjut usia antara lain artritis, tekanan darah tinggi, penyakit jantung dan diabetes Masalah medik yang kompleks (complex medicine) yang umum dijumpai pada pasien usia lanjut menyebabkan golongan usia ini rentan terhadap timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan obat (drug related problems). Diantara jenis-jenis DRP yang paling sering dialami oleh pasien lansia salah satunya adalah interaksi obat kerena pasien lansia lebih berkemungkinan untuk memperoleh terapi berbagai macam obat dan sering kali memiliki gangguan fungsi hati dan ginjal (4). Penggunaan OAINS memiliki beberapa resiko efek samping dan OAINS juga dapat memberikan interaksi yang tidak menguntungkan dengan obat lain. Dan resiko tersebut akan semakin besar bila digunakan pada pasien lansia. Dalam penanganan penyakit osteoartritis, Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan belum mempunyai standar pelayanan medik yang disepakati bersama sehingga belum terdapat dalam standar pelayanan medis. Oleh karena itu, evaluasi penggunaan OAINS perlu dilakukan untuk melihat ketepatan penggunaannya sebagai terapi osteoarthritis Perumusan Masalah 1. Apakah penggunaan OAINS ( Obat Anti Inflamasi Non Steroid ) sudah tepat berdasarkan standar penggunaan OAINS pada lansia yang disusun berdasarkan literatur pustaka ?

2. Apakah terjadi DPR pada pasien lanjut usia ? 3. Apakah ada potensi interaksi obat pada penggunaan OAINS ( Obat Anti Inflamasi Non Steroid ) untuk pasien lanjut usia ?

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui ketepatan penggunaan OAINS berdasarkan standar penggunaan OAINS pada lansia yang disusun berdasarkan literatur pustaka. 2. Mengidentifikasi DPR pada pasien lanjut usia di instalasi Rawat Jalan RSUP Persahabatan. 3. Mengetahui gambaran pengobatan pada pasien lanjut usia di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.

Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada dokter, farmasis dan tenaga kesehatan lainnya dalam upaya menurunkan resiko dan potensi interaksi penggunaan OAINS pada pasien lanjut usia sehingga dapat meningkatan mutu pelayanan rumah sakit.

Tinjauan Pustaka Lansia Menurut Undang- Undang No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut adalah seseorang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih (13). a. Perubahan- perubahan pada lanjut usia yang berkaitan dengan pemakaian obat (14). 1) Perubahan farmakokinetik a) Absorpsi Penundaan pengosongan lambung, reduksi sekresi asam lambung dan aliran darah jaringan, semuanya secara teoritis berpengaruh

pada absorbsi. Tetapi pada kenyataannya, perubahan-perubahan yang terkait dengan usia ini tidak berpengaruh secara bermakna terhadap bioavailabitas total obat yang diabsorpsi. b) Distribusi Faktor-faktor yang menentukan distribusi obat termasuk komposisi tubuh, ikatan plasma protein dan aliran darah organ. (1) Komposisi tubuh Total air dalam tubuh dan massa tubuh tanpa lemak mengalami penurunan dengan bertambahnya usia sehingga menyebabkan penurunan volume distribusi obat yang larut air. Akibatnya , konsentrasi obat tersebut dalam plasma akan meningkat, sebagai contohnya adalah digoksin dan simetidin. Sebaliknya, peningkatan total lemak dalam tubuh akan mengakibatkan meningkatnya volume distribusi obat yang larut lemak. Selanjutnya konsentrasi obat dalam plasma akan turun, tetapi lama kerja obat akan diperpanjang, contohnya adalah obat golongan benzodiazepin seperti diazepam. (2) Ikatan protein plasma Jumlah albumin plasma berkurang dengan bertambahnya usia. Obat-obat yang bersifat asam ( contoh : simetidin, warfarin ) berikatan dengan protein tersebut, sehingga konsentrasi obatobat tersebut dalam keadaan bebas akan meningakat pada pasien lanjut usia. (3) Aliran darah organ Perubahan aliran darah organ akan mengakibatkan penurunan perfusi pada anggota gerak, hati, otot jantung dan otak. Perfusi menurun sampai 45 % pada pasien lanjut usia jika di bandingkan dengan pasien usia 25 tahun.

(4) Eliminasi Metabolisme hati dan ekskresi ginjal adalah mekanisme penting kerjanya. (1) Metabolisme hati Oleh karena itu, adanya penurunan metabolisme hati di sini akan meningkatkan bioavaibilitas sistemik obat. Terdapat reduksi massa hati sebanyak 35% mulai usia 30 sampai dengan 90 tahun, sehingga menurunkan kapasitas metabolisme intrinsik hati pada pasien lanjut usia. Keadaan tersebut bersama-sama dengan penurunan aliran darah hati, menjadi penyebab utama dalam peningkatan bioavabilitas obat yang mengalami metabolisme lintas pertama. Sebagai contoh adalah efek hipotensif dari nifedipin yang meningkat secara bermakna pada pasien lanjut usia. (2) Eliminasi ginjal Penurunan darah ginjal, ukuran organ, filtrasi glomerulus dan fungsi tubular, semuanya merupakan perubahan yang terjadi dengan tingkat yang berbeda pada lanjut usia. Kecepatan fitrasi glomerolus menurun sekitar 1% per tahun dimulai pada usia 40 tahun. Perubahan- perubahan tersebut mengakibatkan beberapa obat dieliminasi lebih lambat pada lanjut usia, seperti pengaruhnya pada fungsi ginjal. yang terlibat dalam pemindahan obat dari tempat

2) Perubahan farmakodinamik a) Penurunan homeostatik Kemampuan pengaturan yang memadai dan tepat mengenai keadaan fisiologi tubuh sangat diperlukan dalam homeostatis. Endokrin, tranmisi neuromuskuler dan respon organ, semuanya kemampuan dalam menjaga keseimbangan

akan menurun dengan bertambahnya usia, yang berakibat pada ketidakmampuan untuk menjaga keseimbangan homeostatik. b) Pengaturan temperatur Hipotermia yang tidak diharapkan dapat terjadi pada pasien lanjut usia yang mendapat beberapa macam obat. Yang terlibat adalah obat-obatan yang menyebabkan sedasi, gangguan kepekaan subjektif terhadap temperatur, penurunan aktivitas otot dan vasodilatasi. Obat-obat yang dimaksudkan disini termasuk benzodiazepin, opiod, alkohol dan antidepresan trisiklik. c) Fungsi usus dan kandung kemih Konstipasi sering muncul pada lanjut usia sebagai akibat penurunan motilitas gastrointestinal. d) Pengaturan tekanan darah Pada pasien lanjut usia terdapat penumpukan reflek takikardia yang terlihat normal pada pasien dewasa muda ketika berdiri. Oleh karena itu hipotensi postural merupakan masalah yang sering terjadi pada lanjut usia. Hal ini mengakibatkan obat-obat dengan efek antihipertensi cenderung memperparah masalah ini. e) Keseimbangan cairan Pada lanjut usia terjadi penurunan kemampuan untuk

mengekskresi kelebihan air. Obat-obat yang dapat mengakibatkan retensi cairan, seperti kostikosteroid dan Anti Inflamasi Non Steroid (AINS), dapat menyebabkan masalah bagi pasien lanjut usia. f) Fungsi kognitif Sistem saraf pusat mengalami sejumlah perubahan struktur kimiawi saraf dengan bertambahnya usia. Aktivitas enzim kolin asetetiltransferase menurun pada lanjut usia dan hal ini mengindikasikan penurunan transmisi kolinergik. Transmisi ini sangat berkaitan dengan fungsi kognitif normal. Obat-obat seperti antikolinergik, hipnotik dan penghambat adrenoseptor beta dapat

memperburuk efek tersebut sehingga menimbulkan kebingungan pada pasien lanjut usia. g) Perubahan pada reseptor-reseptor spesifik dan tempat sasaran. Sebagian besar otak akan memberikan efek setelah berikatan dengan reseptor yang spesifik. Perubahan densitas reseptor atau afinitas molekul obat pada reseptor akan merubah responnya terhadap obat. Gangguan aktivitas enzim atau perubahan respon jaringan sasaran itu sendiri juga dapat menyebabkan perubahan respon terhadap obat.

b. Prinsip pengobatan pada lanjut usia Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pemakaian atau pemberian obat pada pasien lanjut usia, yaitu : 1) Hindari terapi obat yang tidak diperlukan Perlu dicermati adanya kemungkinan alternatif terapi tanpa

penggunaan obat. Sebagai contoh, pada hipertensi ringan mungkin dapat diberikan petunjuk tentang pola hidup sehat terlebih dahulu, misalnya berhenti merokok. 2) Kualitas hidup Tujuan pemberian obat pada pada pasien usia lanjut, yaitu untuk memperpanjang harapan hidup. Walaupun demikian, tanggung jawab untuk memperbaiki kualitas hidup pasien tetap ada. Sebagai contoh, seorang wanita lanjut usia dengan osteoporosis dipinggulnya, akan paling baik diatasi dengan operasi pinggul daripada terapi jangka panjang dengan obat AINS ( anti inflamasi nin steroid ) dan resiko efek sampingnya (14) 3) Mengobati penyebab bukan sekedar gejala Ketika seorang pasien lanjut usia menunjukan suatu gejala, sangatlah penting mencari penyebabnya. Merupakan tindakan yang tidak tepat jika hanya mengobati gejalanya mungkin menutupi masalah

sebenarnya yang lebih serius. Seorang pasien dapat menunjukan gejala

gangguan pencernaan tetapi ternyata menderita tukak lambung. Mengobati pasien ini dengan antasida jelas tidak tepat dan potensial menimbulkan bahaya penyakit yang lebih serius tidak diobati. Penyebab gejala tersebut harus diketahui terlebih dahulu, kemudian pengobatan diberikan secara tepat. 4) Riwayat pengobatan Riwayat pengobatan pasien akan sangat membantu dalam seleksi obat, data riwayat pengobatan ini dapat digunakan untuk mengetahui adanya alergi atau toleransi terhadap obat tertentu pada pasien. 5) Titrasi dosis Perubahan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lanjut usia biasanya menjadi sebab penggunaan dosis yang lebih rendah untuk memperoleh efek terapeutik yang dikehendaki kemudian jika diperlukan dapat ditingkatkan secara bertahap dosis atau frekuensi pemberiannya. 6) Penyakit medis yang bersamaan Pasien lanjut usia sering kali menderita lebih dari satu kondisi medis. Hal ini dapat mengakibatkan kontra indikasi atau perlunya perhatian khusus terhadap obat-obat tertentu. Gangguan fungsi ginjal dan difungsi hati merupakan kondisi-kondisi yang sering muncul pada pasien lanjut usia sehingga diperlukan perhatian khusus dalam pemilihan terapi obat. 7) Pemilihan obat dan bentuk sediaan obat Jika telah diputuskan untuk melakukan terapi obat, selanjutnya sangatlah penting untuk memastikan bahwa obat yang terpilih adalah obat yang paling tepat. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah efek samping yang mungkin terjadi dan kondisi medis pasien pada saat itu. Juga termasuk pertimbangan bentuk sediaan yang akan digunakan. Pasien lanjut usia sering kali lebih tepat untuk mendapat sirup, suspensi atau tablet terlarut. Untuk menelan tablet atau kapsul yang

besar sering kali menimbulkan kesulitan atau kecemasan tersendiri yang nantinya dapat mengurangi tingkat kepatuhan (14).

Drug Related Problems Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien atau diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki. DRP ada dua yaitu DRP aktual dan potensial. Keduanya memiliki perbedaan, tetapi pada kenyataannya problem yang muncul tidak selalu terjadi dengan segera dalam prakteknya. DRP aktual adalah suatu masalah yang telah terjadi dan farmasis wajib mengambil tindakan untuk memeperbaikinya. Sedangkan DRP potensial adalah suatu kemungkinan besar kira-kira terjadi pada pasien karena resiko yang sedang berkembang jika farmasis tidak turun tangan (4). Jenis- jenis DRPs : 1. Indikasi yang tidak diterapi yaitu membutuhkan obat tetapi tidak menerimanya misalnya pada kondisi baru membutuhkan terapi obat, kronis membutuhkan kelanjutan terapi obat atau kondisi yang membutuhkan kombinasi obat. 2. Obat tanpa indikasi, misalnya pemakaian multiple drug yang seharusnya cukup dengan single drug therapy. 3. Pilihan obat tidak tepat, pasien mempunyai obat sesuai indikasi tetapi pasien mengambil obat yang salah. 4. Dosis sub terapi, misalnya dosis dan interval tidak cukup atau konsentrasi obat dibawah therapeutic range. 5. Gagal mendapat obat, pasien tidak mendapat obat karena alasan ekonomi, psikologi, atau sosiologi. 6. Dosis berlebih atau dosis toksik, misalnya dosis dan interval terlalu tinggi atau konsentrasi obat diatas therapeutic range. 7. Reaksi obat yang merugikan, misalnya reaksi alergi. 8. Interaksi obat, ada interaksi obat-obat atau obat-makanan yang terjadi atau potensial terjadi (15).

Anti Inflamasi 1. OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid ) a. Definisi OAINS OAINS adalah kelompok obat yang menghambat enzim siklooksigenase, menghasilkan penurunan sintesis prostaglandin dan prekursor tromboksan, memiliki kerja analgesik, antipiretik, antiplatelet dan anti inflamasi (9). b. Mekanisme OAINS Mekanisme kerja utama Obat Anti Inflamasi Non Steroid ( OAINS ) adalah menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambat aktivitas enzim siklooksigenase. Enzim siklooksigenase adalah enzim yang mengkatalisis asam arakidonat menjadi prostaglandin dan leukotrien. Asam arakidonat dihasilkan dari membran fosfolipid sebagai respon terhadap rangsangan inflamasi (10). Terdapat 2 jenis enzim siklooksigenase yaitu siklooksigenase-1 ( COX-1 ) dan siklooksigenase-2 ( COX-2 ). 1) Enzim COX-1 adalah enzim yang terlibat dalam produksi prostaglandin gastroprotektif untuk mendorong aliran darah di gastrik dan menghasilkan bikarbonat. COX-1 berada secara terus menerus di mukosa gastrik, sel vaskular endothelial, platelet, sehingga prostaglandin hasil dari COX-1 juga berpartisipasi dalam hemostatis dan aliran darah di ginjal 2) Enzim COX-2 tidak selalu ada didalam jaringan, tetapi akan muncul bila dirangsang oleh mediator inflamasi, cedera/luka setempat, sitokin, interleukin dan interferon. Blokade COX-1 ( terjadi dengan OAINS non spesifik) tidak diharapkan karena mengakibatkan tukak lambung dan meningkatkan resiko pendarahan karena adanya hambatan agregasi platelet.

Artritis 1. Osteoartritis (OA); merupakan penyakit sendi degeneratif dimana terjadi kerusakan rawan sendi (kartilago), menimbulkan rasa sakit yang hebat dan hilangnya kemampuan gerak.

Hipotesis 1. Penggunaan OAINS pada pasien osteoartritis lanjut usia ( obat anti inflamasi non steroid ) di Rumah Sakit Umum Pusat ( RSUP ) Persahabatan sudah sesuai dengan standar penggunaan yang disusun berdasarkan literatur pustaka. 2. Terdapat DRPs pada pasien lanjut usia di instalasi rawat jalan RSUP Persahabatan. 3. Penggunaan OAINS pada pasien osteoartritis lanjut usia (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan terdapat potensi interaksi obat.

HASIL PENELITINAN DAN PEMBAHASAN 1. Demografi Pasien a. Berdasarkan jenis Kelamin, penjamin biaya dan alamat Hasil pengamatan seperti yang tertera pada lampiran.Tabel V.1. Demografi pasien Berdasarkan Jenis kelamin, Penjamin biaya dan Alamat

No. 1.

Demografi pasien Jenis kelamin 1. Perempuan 2. Laki-laki Total

Jumlah 27 17 44 33 7 2 1 1 44 38 3 2 1

% 61,36 38,64 100 75 15,90 4,54 2,27 2,27 100 86,36 6,82 4,54 2,27 100

2.

Penjamin biaya 1. Askes 2. Umum 3. Gakin 4. Askes + KPKK 5. KPKK Total Alamat 1. 2. 3. 4.

3.

Jakarta Timur Jakarta Pusat Bekasi Jakarta Utara

Total 44 Keterangan : % = Presentase dihitung terhadap total pasien lanjut usia

Evaluasi

ini

bertujuan

untuk

mengetahui

demografi

pasien

osteoartritis lanjut usia yang mendapat terapi OAINS. Hal ini menunjukan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis. Hormon estrogen mempengaruhi penyakit inflamasi dengan merubah pergantian sel, metabolisme dan pelepasan sitokin. Hilangnya estrogen pada wanita menopouse dapat menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis yang bermakna pada fungsi tubuh termasuk gelisah, letih dan ansietas (3). Pada penelitian ini ditemukan lebih banyak pasien dengan penjamin biaya askes yaitu 75 %. Biaya pengobatan dengan askes akan relatif lebih ringan karena biaya pengobatannya sebagian ditanggung oleh asuransi, selain itu pasien juga diberikan resep obat generik sehingga dapat menurunkan biaya pengobatan. Penjamin biaya umum adalah pasien yang biaya pengobatannya ditanggung sendiri. Pasien dengan penjamin biaya gakin merupakan pasien tidak mampu. Pada pasien lanjut usia yang menderita osteoartritis akan mengalami nyeri pada persendian sehingga akan membuat keterbatasan gerak dari pasien. Keterbatasan gerak tersebut menyebabkan pasien lebih memilih rumah sakit yang berdekatan dengan rumah mereka supaya mudah dijangkau. A. Jumlah obat yang digunakan dalam satu resep dan Evaluasi DRPTabel V. 2. Jumlah obat yang digunakan dalam satu resepNo. 1. 2. 3. 4. 5. Jumlah Obat dalam satu resep 2 3 4 5 6 Total Jumlah Pasien 7 8 15 7 7 44 % 15,91 18,18 34,09 15,91 15,91 100

Keterangan : % : Presentase dihitung terhadap jumlah pasien lanjut usia

Dengan masalah medik yang kompleks (complex medicine) yang umum dijumpai pada pasien usia lanjut menyebabkan golongan usia ini rentan terhadap timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan obat (drug related problems) (4).

Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada pasien lanjut usia rawat jalan di Poli Saraf RSUP Persahabatan. Dari tabel V.3. menunjukan bahwa terdapat indikasi yang tidak diterapi sebanyak 2 pasien, dosis sub terapi sebanyak 21 pasien dan terjadi interaksi obat sebanyak 28 pasien. Dalam kasus Drug Related Problems (DRPs) dosis sub terapi pada pasien lanjut usia dapat disebabkan karena terjadi penurunan fungsi organ seperti organ hati atau ginjal dan adanya terapi kombinasi obat sehingga diperlukan penyesuaian dosis untuk meminimalkan efek samping obat dan mencegah terakumulasinya obat di dalam tubuh. Pada kasus kombinasi antara parasetamol dengan ibuprofen dapat dibenarkan dengan maksud untuk mengurangi efek samping obat. Kombinasi klasik ( diklofenak, ibuprofen ) dengan parasetamol akan meningkatkan efek masing- masing obat yaitu dapat meningkatkan efek analgetik (26). Parasetamol menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin, namun hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi yang terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada kondisi ini oksidasi parasetamol juga tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi. Hal ini menyebabkan parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada tempat inflamasi dan substansinya tidak terakumulasi di jaringan yang rusak, namun konsentrasinya relatif tinggi di sistem saraf pusat. Parasetamol merupakan penghambat prostaglandin yang lemah di perifer, hanya menghambat prostaglandin di sistem saraf pusat (27). Sedangkan OAINS lainnya seperti ibuprofen merupakan agen yang bekerja secara perifer. Kombinasi analgesik dengan cara kerja yang berbeda akan menghasilkan efek analgetik yang lebih efektif dalam penanganan nyeri.

Selain itu, dosis masing-masing komponen pada kombinasi analgesik yang bekerja sentral dan di perifer juga lebih rendah bila dibandingkan dengan pemberian monoterapi sehingga efek samping obat dapat dikurangi. Penggunaan OAINS Berdasarkan 1. Jenis dan Mekanisme kerjaTabel V.5. penggunaan OAINS berdasarkan jenis dan mekanisme kerjaNo. Jenis OAINS 1. Inhibitor COX Nonselektif 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Natrium diklofenak Parasetamol Meloksikam Ibuprofen Asetosal Asam mefenamat Piroksikam 26 10 9 8 7 1 1 0 62 41,94 16,13 14,52 12,90 11,29 1,61 1,61 0 100 Jumlah %

2. Inhibitor COX-2 Selektif Total

Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui jenis OAINS yang digunakan pada pasien osteoartritis lanjut usia rawat jalan di Poli Saraf RSUP Persahabatan. Pada tabel V.5. menunjukan bahwa 44 pasien lanjut usia, semuanya menggunakan OAINS golongan non selektif dan tidak ada pasien yang menggunakan OAINS golongan selektif COX-2. Hal ini berhubungan dengan resiko efek samping OAINS golongan selektif COX2 yang cenderung lebih berat dan menyerang sistem kardiovaskular (6). Pada pasien lanjut usia yang umumnya memiliki riwayat penyakit sebelumnya seperti hipertensi, penyakit jantung serta adanya penurunan fungsi organ yang dialami pasien sehingga membuat penggunaan OAINS selektif COX-2 menjadi lebih beresiko. Pada tabel V.5. menunjukan bahwa natrium diklofenak adalah OAINS yang paling banyak penggunaannya yaitu sebanyak 26 kasus (41,94%). Natrium diklofenak banyak digunakan untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang pada osteoartritis dan rhematoid artritis. Natrium

diklofenak diabsorbsi dengan cepat dan sempurna setelah pemberian oral, konsentrasi puncak dalam plasma tercapai dalam 2 sampai 3 jam. waktu paruhnya dalam plasma 1-3 jam dan obat ini dimetabolisme di hati dengan ekskresi obat yang utuh melalui ginjal kurang dari 1 % (10).Obat dengan waktu paruh pendek seperti natrium diklofenak dan ibuprofen dianjurkan pada pasien lanjut usia untuk mengurangi resiko terjadinya akumulasi Obat Anti Inflamasi Non Steroid di dalam tubuh pasien terkait dengan penurunan fungsi organ yang dialami pasien lanjut usia. Sedangkan Obat Anti Inflamasi Non Steroid dengan waktu paruh panjang seperti piroksikam dengan T nya adalah 50 jam, maka akan mudah terjadinya akumulasi OAINS didalam tubuh bila OAINS tersebut diberikan sering dari waktu paruhnya. Akumulasi obat di dalam tubuh khususnya untuk pasien lanjut usia akan menimbulkan makin mudahnya terjadi efek toksik. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan OAINS seperti gangguan saluran cerna, gangguan fungsi hati atau ginjal dan gangguan pada sistem kardiovaskular. Selama pengobatan jangka panjang dengan OAINS perlu dilakukan pemantauan teratur fungsi hati dan ginjal sebagai langkah pencegahan peningkatan resiko efek samping OAINS terutama untuk pasien lanjut usia dan pasien dengan riwayat jantung, hipertensi dan gangguan hati atau ginjal. Berdasarkan tabel V.5. didapatkan penggunaan parasetamol sebanyak 10 kasus ( 16,13 %). Parasetamol mempunyai efek analgesik, antipiretik dan efek anti inflamasi yang sangat lemah (10). Karena efek anti inflamasi dari parasetamol yang sangat lemah maka parasetamol tidak digunakan sebagai antirematik. Namun ada kalanya parasetamol dikombinasikan dengan OAINS untuk meningkatkan khasiat

analgetiknya, khasiat analgetik parasetamol akan meningkat bila dikombinasikan dengan OAINS diklofenak. Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna, konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Penurunan dosis parasetamol yang terjadi pada kasus ini dapat disebabkan

karena penurunan fungsi organ pasien lansia atau adanya terapi kombinasi obat. Efek analgetik dari parasetamol sering dimanfaatkan untuk mengatasi nyeri ringan. The American Pain Society (APS)

merekomendasikan bahwa parasetamol merupakan drug of choice untuk nyeri ringan pada pasien osteoartritis (28). Efek samping yang ringan dari parasetamol membuat obat ini aman digunakam untuk pasien yang memiliki resiko tinggi seperti pada pasien lanjut usia dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati. Berdasarkan tabel V.5. didapatkan penggunaan meloksikam sebanyak 9 kasus (14,52 %). OAINS dari golongan asam enolat ini memiliki efek anti inflamasi, analgetik dan antipiretik. Proses penghambatan oleh meloksikam lebih selektif pada COX-2 daripada COX-1. Penghambatan COX-2 menentukan efek terapi OAINS sedang penghambat COX-1 menunjukan efek samping pada lambung dan ginjal. Meloksikam diserap relatif lambat yang mempunyai waktu paruh serum sampai 20 jam dan dikonversi mejandi metabolit tidak aktif (10,11). Untuk penderita gangguan fungsi ginjal stadium akhir (dengan dialisa), dosis meloksikam tidak boleh melebihi 7,5 mg/hari. Sedangkan pada pasien yang mengalami gangguan ginjal ringan atau sedang yaitu pasien dengan bersihan kreatinin lebih besar dari 25 mg/menit) tidak diperlukan penurunan dosis. Di RSUP Persahabatan penggunaan Ibuprofen ditemukan sebanyak 8 kasus (12,90 %). Ibuprofen memiliki efek analgetik dengan daya anti inflamasinya sama seperti aspirin tetapi efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan aspirin. Ibuprofen ini sering digunakan untuk mengatasi nyeri sedang pada osteoartritis. Berdasarkan tabel V.5. didapatkan penggunaan asetosal sebanyak 7 kasus (11,29 %). Asetosal memiliki efek anti inflamsi, analgetik, antipiretik dan antiplatelet. Pada kasus ini asetosal yang digunakan adalah asetosal dengan dosis rendah yaitu 80 mg sehari. Asetosal pada dosis rendah banyak digunakan untuk profilaksis trombosis koroner dan serebral (10). Asetosal dosis rendah ini

biasanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat jantung atau stroke seperti pada pasien no.4 yang mempunyai riwayat hipertensi dan jantung, pasien no.5 memeiliki riwayat pasca stroke. Pada pasien osteoartritis yang memiliki riwayat jantung atau stroke umumnya dokter akan memberikan kombinasi OAINS dengan asetosal dosis rendah.

2. Penulisan Generik dan Non GenerikTabel V. 6. Penggunaan OAINS Berdasarkan penulisan Generik dan Non Generik

No. 1. 2.

OAINS Generik Non Generik Total

Jumlah 55 7 62

% 88,71 11,29 100

Keterangan : % = Persentase dihitung terhadap jumlah total kasus

Dari tabel diatas terlihat bahwa persentase jumlah pasien yang mendapat terapi Obat Anti Inflamasi Non Steroid generik sebesar 88,71 %. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan OAINS di RSUP Persahabatan telah memenuhi Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No.HK.02.02/-MENKES/068/I/2010

tentang kewajiban menuliskan dan atau menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah (29) B. Studi Penggunaan OAINS berdasarkan Frekuensi PemberianTabel V. 7. Penggunaan OAINS Berdasarkan frekuensi pemberian No. 1. 2. 3. 4. Frekuensi Pemberian 1 kali 2 kali 3 kali Bila perlu Total Jumlah 16 23 11 3 53 % 30,19 43,40 20,75 5,66 100

Keterangan : % = Persentase dihitung terhadap jumlah total kasus

Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi pemberian Obat Anti Inflamasi Non Steroid pada pasien lanjut usia di Poli Saraf RSUP Persahabatan. Dalam penggunaan OAINS berdasarkan frekuensi pemberian memperhatikan T dari OAINS tersebut khususnya bila digunakan untuk pasien lanjut usia. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko penumpukan OAINS didalam tubuh pasien, karena pada pasien lansia telah meng alami penurunan fungsi organ yang akan mempengaruhi proses farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Frekuensi pemberian OAINS yang bervariasi terjadi karena indikasi OAINS yang cukup luas yaitu sebagai analgetik, antipiretik, anti inflamasi dan antiplatelet. Indikasi yang luas tersebut menyebabkan frekuensi pemberian OAINS menjadi lebih fleksibel. Obat Anti Inflamasi Non Steroid juga dapat digunakan atau dihentikan sesuai keadaan yang dialami pasien, namun semakin sering penggunaan OAINS akan meningkatkan resiko efek samping yang ditimbulkan.

C. Studi Penggunaan OAINS Berdasarkan DosisTabel V. 8. Studi Penggunaan OAINS Berdasarkan Dosis Cara Pemberian Dosis Tepat Dosis Kurang Total Jumlah 23 21 44 % 52,27 47,73 100

Keterangan : % = Persentase dihitung terhadap jumlah total kasus

Berdasarkan tabel V.8. pasien yang mendapat dosis tepat yaitu sebanyak kasus (52,27%) dan pasien yang mendapat dosis kurang sebanyak kasus (47,73%). Pemberian dosis tepat pada pasien khususnya untuk pasien lanjut usia sangatlah penting karena pada pasien lanjut usia telah mengalami penurunan fungsi organ yang penting dalam proses farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Kelebihan dosis pada pasien lanjut usia sangat

beresiko

mengingat

penurunuan

fungsi organ yang

dialami

dapat

menyebabkan mudahnya obat terakumulasi didalam tubuh pasien sehingga menimbulkan efek toksik. Pada tabel V.8. Pasien yang mendapat dosis kurang sebanyak kasus (47,73%). Pemberian dosis kurang pada pasien lanjut usia dapat disebabkan karena terjadi penurunan fungsi organ seperti organ hati atau ginjal dan adanya terapi kombinasi obat sehingga diperlukan penyesuaian dosis untuk meminimalkan efek samping obat dan mencegah terakumulasinya obat di dalam tubuh. Dari 21 pasien yang mendapat dosis kurang, terdapat 7 pasien mendapat kombinasi antara parasetamol dan ibuprofen. Kombinasi klasik ( diklofenak, ibuprofen ) dengan parasetamol akan menigkatkan efek analgetik dari masing-masing obat (26).Kombinasi analgesik dengan cara kerja yang berbeda akan menghasilkan efek analgetik yang lebih efektif dalam penanganan nyeri. Selain itu, dosis masing-masing komponen pada kombinasi analgesik yang bekerja sentral dan di perifer juga lebih rendah bila dibandingkan dengan pemberian monoterapi sehingga efek samping obat dapat dikurangi (27). Pemberian dosis kurang pada kasus ini dapat dibenarkan dengan maksud untuk menghindari efek samping dari kombinasi tersebut. D. Penggunaan OAINS berdasarkan kasus kombinasi dengan obat lainTabel V. 9. Penggunaan OAINS berdasarkan kasus kombinasi dengan obat lain No. 1. 2. 3. 4. 5. Golongan obat Vitamin neurotropik Antiulserasi Ansiolitik Antihipertensi Analgetik antiinflamasi non AINS 6. 7. 8. 9. Ankonvulsan Antiepileptik Antiparkinson Antidiabet Total 3 2 2 2 103 2,91 1,94 1,94 1,94 100 Jumlah kasus 27 19 18 16 14 % 26,21 18,45 17,47 15,53 13,59

Keterangan : % = Persentase dihitung terhadap jumlah total kasus

Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan OAINS bersamaan kombinasi dengan obat lain. Dari tabel V.9. menunjukan bahwa kombinasi yang terbanyak yaitu dengan vitamin neurotropik sebanyak 27 kasus, antiulserasi 19 kasus, ansiolitik 18 kasus, antihipertensi 16 kasus dan analgetik antiinflamasi non AINS sebanyak 14 kasus. Vitamin Neurotropik atau vitamin B1, B6 dan B12 akan membantu metabolisme karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi dan memelihara fungsi syaraf, serta meredakan pegal, kram dan kesemutan sehingga sangat berguna bagi pasien lanjut usia. Proses penuaan pada lansia akan menyebabkan peningkatan pH gastrointestinal karena terjadi reduksi asam lambung. Obat gastrointestinal ini selain untuk menghambat sekresi asam lambung juga berfungsi untuk melindungi mukosa lambung dari obat-obat yang dapat mengiritasi lambung. Obat antihipertensi banyak digunakan pada pasien lansia karena terdapat beberapa faktor yang menyebabkan lansia sangat rentan terhadap terjadinya hipertensi. Fakor yang berperan terjadinya hipertensi pada lansia yaitu peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium, terjadi penurunan kadar renin karena menurunnya jumlah nefron akibat proses menua dan penurunan elastisitas pembuluh darah perifer sehingga meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer yang pada akhirnya akan menyebabkan hipertensi sistolik saja (4). Obat golongan analgetik antinflamasi non AINS seperti glukosamin juga banyak digunakan pada pasien lansia khususnya penderita osteoartritis. Glukosamin yang merupakan bahan yang dihasilkan oleh tubuh, yang terdapat dalam sendi yang merupakan bahan utama untuk regenerasi tulang rawan. Produksi dari glukosamin ini dapat menurun seiring dengan penambahan usia. Dan itulah yang merupakan penyebab terjadinya penipisan pada tulang rawan di persendian. Glukosamin berfungsi untuk merangsang pembentukan jaringan sendi sehingga memperkuat tulang rawan sendi (30).

E. Kasus potensi terjadinya interaksi OAINS dengan OAINS lainTabel V.10. Penggunaan OAINS berdasarkan kasus kombinasi dengan OAINS lain No. 1. 2. 3. Kombinasi Parasetamol + ibuprofen Natrium diklofenak + Asetosal Parasetamol + ibuprofen + Natrium diklofenak 4. Parasetamol + Natrium diklofenak Jumalah Efek Sinergis Sinergis Sinergis Jumlah kasus 6 5 1 % 46,15 38,46 7,69

Sinergis

1 13

7,69 100

Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui terapi kombinasi OAINS dengan OAINS lain. Penggunaan kombinasi OAINS harus

mempertimbangkan beberapa hal yaitu efek yang dihasilkan dari kombinasi tersebut. Dari tabel V.10. menunjukan bahwa kombinasi parasetamol dengan ibuprofen sebanyak 6 kasus. Kombinasi natrium diklofenak dengan asetosal sebanyak 5 kasus. Kombinasi parasetamol, ibuprofen dan natrium dikofenak terdapat 1 kasus dan kombinasi parasetamol dengan natrium diklofenak terdapat 1 kasus. Semua potensi interaksi ini memiliki efek yang sinergis, yaitu efek obat pertama bertambah oleh adanya obat kedua. Rendahnya insiden efek samping dari parasetamol menyebabkan parasetamol menjadi obat pilihan pertama untuk meredakan nyeri ringan. Dan untuk nyeri sedang dengan inflamasi, parasetamol sering dikombinasikan dengan OAINS lain seperti ibuprofen dan natrium diklofenak. Kombinasi antara parasetamol dengan ibuprofen atau natrium diklofenak merupakan suatu kombinasi klasik yang sering diresepkan. Kombinasi ini akan meningkatkan efek masing- masing obat yaitu dapat meningkatkan efek analgesiknya. Kombinasi klasik ( diklofenak, ibuprofen ) dengan parasetamol akan menigkatkan efek masing- masing obat yaitu dapat meningkatkan efek analgetik (26). Parasetamol menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin, namun hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada

kondisi ini oksidasi parasetamol juga tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi. Hal ini menyebabkan parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada tempat inflamasi, dan substansinya tidak terakumulasi di jaringan yang rusak, namun konsentrasinya relatif tinggi di sistem saraf pusat. Parasetamol merupakan penghambat prostaglandin yang lemah di perifer, hanya menghambat prostaglandin di sistem saraf pusat (27). Sedangkan OAINS lainnya seperti ibuprofen dan natrium merupakan agen yang bekerja secara perifer. Kombinasi analgesik dengan cara kerja yang berbeda akan menghasilkan efek analgetik yang lebih efektif dalam penanganan nyeri. Selain itu, dosis masing-masing komponen pada kombinasi analgesik yang bekerja sentral dan di perifer juga lebih rendah bila dibandingkan dengan pemberian monoterapi sehingga efek samping obat dapat dikurangi (27). Bila kombinasi ini ingin digunakan maka perlu dilakukan penyesuaian dosis dari masing-masing obat. Dari tabel V.10. terdapat 1 kasus kombinasi parasetamol, ibuprofen dan natrium diklofenak. Ibuprofen dengan natrium diklofenak, keduanya bekerja secara perifer dengan menghambat enzim siklooksigenase. Natrium diklofenak sebaiknya tidak dikombinasikan dengan ibuprofen karena mereka memiliki mekanisme kerja di tempat yang sama dan bila dikombinasikan maka akan meningkatkan efek samping obat. Kombinasi 2 OAINS harus dihindari tetapi apabila diperlukan kombinasi sebaiknya OAINS dikombinasikan dengan OAINS yang memiliki efek samping obat yang rendah dan memiliki mekanisme kerja yang berbeda seperti kombinasi dengan parasetamol. Dari tabel V.10. menunjukan bahwa kombinasi antara natrium diklofenak denga asetosal sebanyak 5 kasus. Kombinasi natrium diklofenak dengan asetosal umum digunakan khususnya untuk pasien yang menderita artritis dan penyakit kardiovaskuler. Dosis harian 75-125 mg asetosal direkomendasikan untuk pasien yang berisiko tinggi penyakit kardiovaskular (31). Interaksi antara asetosal dengan natrium diklofenak dapat

mempengaruhi efek antiplatelet dari asetosal dan juga bisa mengakibatkan peningkatan kejadian pendarahan gastrointestinal. Oleh karena itu untuk

mengurangi resiko efek samping yang ditimbulkan yaitu menggunakan dosis efektif terendah dari asetosal sebagai antiplatelet dan menggunakan obat gastroproktektif seperti proton pump inhibitor.

F. Kasus Potensi Terjadinya Interaksi OAINS dengan obat lainTabel V. 11. Kasus Potensi Terjadinya Interaksi OAINS dengan obat lain No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Interaksi Natrium diklofenak Diazepam Natrium diklofenak Ranitidin Ibuprofen Ranitidin Parasetamol Fenitoin Asetosal Lisinopril Asetosal - Bisoprolol Total Keterangan : % = Persentase dihitung terhadap jumlah total kasus Jenis Interaksi Farmakokinetik Farmakokinetik Farmakokinetik Farmakokinetik Farmakodinamik Farmakodinamik Jumlah 5 9 1 1 2 2 20 % 25 45 5 5 10 10 100

Evaluasi ini bertujuan untuk megetahui potensi terjadinya interaksi OAINS dengan obat lain yang diberikan secara bersamaan selama terapi. Berdasarkan tabel V.11. Didapatkan kasus potensi terjadinya interaksi sebanyak 12 kasus. Penjelasannya sebagai berikut : 1. Berdasarkan tabel V.11. Interaksi natrium diklofenak dengan diazepam sebanyak 5 kasus (25%), interaksi ini merupakan interaksi farmakokinetik. Diazepam dapat meningkatkan AUC natrium diklofenak sebesar 60% sedangkan kliren dikurangin sebesar 3 6%. Manajemen yang perlu dilakukan yaitu memperhatikan waktu pemberian diazepam (24). 2. Potensi terjadinya interaksi natrium diklofenak dengan ranitidin sebanyak 9 kasus (45 %) dan interaksi ibuprofen dengan ranitidin sebanyak 1 kasus. Ranitidin merupakan penghambat reseptor H2. Kombinasi antara OAINS dengan obat penghambat reseptor H2 tidak menimbulkan interaksi yang merugikan tetapi interaksi antara kedua obat ini dapat memberikan efek yang menguntungkan. Antagonis

reseptor H2 adalah suatu kelompok yang dapat melindungi mukosa lambung sehingga kombinasinya dengan OAINS dapat mengurangi efek iritasi yang ditimbulkan dari OAINS (24,25). 3. Potensi interaksi parasetamol dengan fenitoin terdapat 1 kasus (5 %). Interaksi ini merupakan interaksi farmakokinetik yang terjadi pada proses metabolime. Efek terapeutik dari parasetamol dapat menurun dengan adanya terapi bersama fenitoin. Fenitoin menghambat enzim hepatik mikrosomal yang dapat meningkatkan metabolisme

parasetamol. Resiko hepatotoksik parasetamol sangat besar pada dosis besar atau overdosis jika digunakan bersamaan fenitoin. Maka penting dilakukannya monitoring konsentrasi plasma dan penyesuaian dosis (25). 4. Pada tabel V.11. menunjukan interaksi antara asetoal dengan lisinopril terdapat 2 kasus ( 10 %) dan interaksi asetosal dengan bisoprolol terdapat 2 kasus (5%). Kedua interaksi ini merupakan jenis interaksi farmakodinamik. Interaksi antara asetosal dengan lisinopril atau bisoprolol dapat mengurangi efek hipotensif dan vasodilatasi dari kedua agen antihipertensi ini dengan mekanisme menghambat sintesis prostaglandin. Manajemen yang perlu dilakukan yaitu selalu memonitoring tekanan darah pasien (25).