BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 URAIAN TANAMAN
2.1.1 Klasifikasi Tanaman (Steenis, 2008)
Regnum : Plantae
Divisi : Spermathophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Alpinia
Spesies : Alpinia galangal (L.)
2.1.2 Deskripsi Tanaman
Merupakan terna berumur panjang, tinggi sekitar 1-2 meter, bahkan dapat
mencapai 3,5 meter. Biasanya tumbuh dalam rumpun yang rapat. Umumnya
lengkuas ada dua macam, yaitu lengkuas merah dan lengkuas putih. Lengkuas
putih banyak digunakan sebagai rempah atau bumbu dapur, sedangkan yang
banyak digunakan sebagai obat adalah lengkuas merah. Pohon lengkuas putih
umumnya lebih tinggi dari pada lengkuas merah. Pohon lengkuas putih dapat
mencapai tinggi 3 meter, sedangkan pohon lengkuas merah umumnya hanya
sampai 1-1,5 meter. Berdasarkan ukuran rimpangnya, lengkuas juga dibedakan
menjadi dua varitas, yaitu yang berimpang besar dan kecil.
Rimpang lengkuas berukuran besar dan tebal, berdaging, berbentuk
silindris, diameter sekitar 2-4 cm, dan bercabang - cabang. Bagian luar berwarna
coklat agak kemerahan atau kuning kehijauan pucat, mempunyai sisik-sisik
berwarna putih atau kemerahan, keras mengkilap, sedangkan bagian dalamnya
berwarna putih. Daging rimpang yang sudah tua berserat kasar. Apabila
dikeringkan, rimpang berubah menjadi agak kehijauan, dan seratnya menjadi
keras dan liat. Untuk mendapatkan rimpang yang masih berserat halus, panen
harus dilakukan sebelum tanaman berumur lebih kurang 3 bulan. Rasanya tajam
pedas, menggigit, dan berbau harum karena kandungan minyak atsirinya.
Gambar. 1
Tanaman dan Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga L.)
(Anonim, 2012)
Lengkuas mudah diperbanyak dengan potongan rimpang yang bermata
atau bertunas. Juga dapat diperbanyak dengan pemisahan anakannya, atau dengan
biji. Tanaman ini mudah dibudidayakan tanpa perawatan khusus (Steenis , 2008).
2.1.3 Kandungan Kimia dan Khasiat
Lengkuas merupakan tanaman obat yang dapat bermanfaat sebagai
antifungi, yang memiliki kandungan 1% minyak atsiri berwarna kuning kehijauan
yang terutama terdiri dari metil-sinamat 48 %, sineol 20% - 30%, eugenol, kamfer
1 %, seskuiterpen, δ-pinen, galangin, dan lain-lain (Erna, 2005).
Eugenol dan 1-asetoksi clavikol asetat (ACA) yang terdapat pada rimpang
lengkuas (Alpinia galanga) dikenal memiliki efek sebagai antijamur. Salah satu
efek obat dari eugenol adalah sebagai antiseptik lokal. Senyawa lain yang juga
memiliki efek sebagai antijamur Candida albicans adalah diterpene. Senyawa ini
berhasil diisolasi dari biji lengkuas (Alpinia galanga) dan diidentifikasi sebagai
(E)-8 beta, 17-epoxylabd-12-ene-15, 16-dial. Penelitian lebih lanjut menunjukkan
bahwa diterpene bekerja dengan cara mengubah lipid membran dari Candida
albicans yang berakibat pada perubahan permeabilitas membrannya. Pelaksanaan
skrining ekstrak rimpang lengkuas yang dibuat pada konsentrasi 10% (b/v)
menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap Candida albicans (Silvana, 2006).
Selain itu rimpang juga mengandung resin yang disebut galangol, kristal
berwarna kuning yang disebut kaemferida dan galangin, kadinen,
heksabidrokadalen hidrat, kuersetin, amilum, beberapa senyawa flavonoid,
glikosida sterol dan lain-lain.
Menurut Harborne (1987), senyawa bioaktif dalam minyak atsiri dapat
berupa senyawa golongan terpenoid. Golongan ini diketahui sebagai penyusun 6
minyak atsiri yang utama pada tanaman. Terpenoid berasal dari molekul isoprena
(CH2=C(CH3)-CH=CH2) dan kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan
dua atau lebih satuan C5. Pemilahan senyawa golongan ini membagi terpenoid ke
dalam beberapa kelompok yaitu monoterpen (C10) dan seskuiterpen (C15) yang
mudah menguap, diterpen (C20) yang sukar menguap, sampai senyawa yang tidak
menguap yaitu triterpenoid (C30) dan sterol, serta pigmen karotenoid (C40).
Sebagian besar terpenoid alam memiliki struktur siklik dan memiliki satu gugus
fungsi atau lebih (hidroksil, karbonil).
Harborne (1987) selanjutnya mengemukakan bahwa komponen bioaktif
lain yang ditemukan pada tanaman adalah senyawa fenolik. Senyawa ini memiliki
cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih hidroksil. Beberapa
senyawa aktif lengkuas yang bersifat anti jamur adalah dari golongan fenolik.
Adapun beberapa senyawa tersebut antara lain adalah galangin, kaemferol, dan
kuersetin yang berasal dari golongan flavonol. Sedangkan eugenol merupakan
salah satu senyawa aktif lengkuas yang berasal dari golongan fenil propanoid.
Penelitian yang lebih intensif menemukan bahwa rimpang lengkuas
mengandung zat-zat yang dapat menghambat enzim xanthin oksidase sehingga
bersifat sebagai antitumor, yaitu trans-p-kumari diasetat, transkoniferil diasetat,
asetoksi chavikol asetat, asetoksi eugenol setat, dan 4-hidroksi benzaidehida. Juga
mengandung suatu senyawa diarilheptanoid yang dinamakan 1-(4-hidroksifenil)-
7-fenilheptan-3,5-diol.
Buah lengkuas mengandung asetoksichavikol asetat dan asetoksieugenol
asetat yang bersifat anti radang dan antitumor, juga mengandung kariofilen
oksida, kario- filenol, kuersetin-3-metil eter, isoramnetin, kaemferida, galangin,
galangin-3-metil eter, ramnositrin, dan 7-hidroksi-3,5-dimetoksiflavon
(Yuharmen, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Morita dan Itokawa pada tahun 1988
menunjukan bahwa biji lengkuas mengandung senyawa-senyawa diterpen yang
bersifat sitotoksik dan antifungal, yaitu galanal A, galanal B, galanolakton, 12-
labdiena-15,16-dial, dan 17- epoksilabd-12-ena-15,16-dial (Erna, 2005).
2.2 METODE EKSTRAKSI MASERASI
Proses ekstraksi adalah penarikan atau penyarian zat-zat berkhasiat atau
zat-zat aktif yang diinginkan dari bahan tanaman obat, hewan dan beberapa jenis
ikan termasuk biota laut dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat
yang diinginkan akan larut (Ansel, 2008).
Zat-zat aktif terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda,
demikian pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode ektraksi dengan pelarut
tertentu dalam mengekstraksinya.
Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat
pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa
komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan
antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut.
Proses penyarian pada sel yang dindingnya masih utuh, zat aktif yang
terlarut pada cairan penyari untuk keluar dari sel, harus melewati dinding sel.
Peristiwa osmosis dan difusi berperan pada proses penyarian tersebut.
Pelarut organik Pelarut organik
+ Zat aktif
Gambar 2. Proses tersarinya zat aktif dalam tanaman
(Mustapa, 2012)
Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel
yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka
larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehinggga
terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.
Ada beberapa metode yang dipakai untuk ekstraksi yaitu metode maserasi,
perkolasi, refluks dan soxhletasi. Penelitian yang dilakukan oleh Handjani dan
Purwoko (2008), metode ekstraksi yang digunakan untuk rimpang lengkuas
adalah metode maserasi, dengan menggunakan pelarut etanol 70%.
Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi tergantung dari komponen yang
akan diisolasi. Salah satu sifat yang penting adalah polaritas suatu senyawa. Suatu
senyawa polar diekstraksi dengan menggunakan pelarut polar, demikian pula
untuk senyawa semi polar dan non polar. Derajat polaritas tergantung pada
besarnya tetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar pelarut
tersebut. Rangkaian proses ekstraksi meliputi persiapan bahan yang akan
diekstrak, kontak bahan dengan pelarut, pemisahan residu dengan filtrat dan
proses penghilangan pelarut dari ekstrak. Pemilihan proses ekstraksi juga
mempertimbangkan titik didih dari pelarut yang digunakan (Houghton dan
Raman, 1998).
Jokopriyambodo, dkk pada tahun 1999 menyatakan bahwa hasil ekstraksi
khususnya dari rimpang lengkuas dipengaruhi oleh jenis dan rasio pelarut, derajat
kehalusan simplisia serta teknik dan waktu ekstraksi. Ekstraksi dengan cara
perkolasi dan maserasi tidak menunjukkan perbedaan terhadap kadar ekstrak total
lengkuas sedangkan pelarut yang paling banyak menghasilkan ekstrak total adalah
pelarut etanol : air dengan perbandingan 7 : 3 v/v.
Maserasi adalah salah satu metode ekstraksi atau penyarian zat aktif bahan
alam yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyari yang sesuai selama 3 hari pada temperatur kamar dan terlindung dari
cahaya. Cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan
larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di
luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh
cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut
berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di
dalam sel.
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif
yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak dan lain-
lain.
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara
maserasi adalah penyariannya lama dan penyariannya kurang sempurna.
Pada penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan,
diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia,
sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat konsentrasi
yang sekecil-kecilnya antara urutan di dalam sel dengan di luar sel (Voigt, 1995).
2.3 URAIAN UMUM KRIM
Krim adalah bentuk sediaan berupa cairan kental atau emulsi setengah
padat baik bertipe air dalam minyak (A/M) atau minyak dalam air (M/A) yang
mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar
yang sesuai (mengandung air tidak kurang dari 60%) yang dimaksudkan untuk
pemakaian luar. Krim biasanya digunakan sebagai emolien atau pemakaian obat
pada kulit. Krim tipe air dalam minyak mudah menjadi kering dan mudah rusak
(Anonim, 1978).
Formulasi krim yang ideal harus bersifat antara lain tidak toksik, tidak
mengiritasi, tidak menyebabkan alergi, tidak meninggalkan bekas, dan tidak
melukai. Krim dapat berfungsi sebagai :
1) Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk kulit
2) Sebagai pelumas pada kulit
3) Sebagai pelindung kulit untuk mencegah kontak permukaan kulit dengan
rangsang kulit
Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumnya berupa
surfaktan anion, kation atau nonion. Pemilihan zat pengemulsi krim harus
disesuaikan dengan jenis dan sifat krim yang dikehendaki. Untuk krim tipe
minyak dalam air (M/A) digunakan zat pengemulsi seperti trietanolamin stearat
dan golongan sorbitan, polisorbat, poliglikol, dan sabun. Untuk membuat krim
tipe air dalam minyak (A/M) digunakan zat pengemulsi seperti lemak bulu
domba, setil alkohol, setasium, stearil alkohol dan emulgida (Anonim, 1978).
2.3.1 Formulasi Krim
1. Asam Lemak dan Alkohol
Asam stearat digunakan dalam krim yang basisnya dapat dicuci dengan
air, sebagai zat pengemulsi untuk memperoleh konsistensi krim tertentu serta
untuk memperoleh efek yang tidak menyilaukan pada kulit. Jika sabun stearat
digunakan sebagai pengemulsi, maka umumnya kalium hidroksida atau
trietanolamin ditambahkan secukupnya agar bereaksi dengan 8 – 20 % asam
stearat. Asam lemak yang tidak bereaksi meningkatkan konsistensi krim. Krim ini
bersifat lunak dan menjadi mengkilap atau berkilau dan waktu penyimpanan,
disebabkan oleh adanya pembentukan kristal-kristal asam stearat. Krim yang
dibuat dengan natrium stearat mempunyai konsistensi yang jauh lebih keras.
Stearil alkohol dan setil alkohol (palmitil alkohol) digunakan sebagai
pembantu pengemulsi dan emolien di dalam krim. Dalam jumlah yang cukup,
stearil alkohol menghasilkan krim keras yang dapat diperlunak dengan setil
alkohol (Lachman, dkk, 2008).
2. Zat Pengemulsi
Sabun yang larut dalam air merupakan salah satu pengemulsi yang
pertama kali digunakan untuk emulsi minyak dalam air dari sediaan semipadat.
Kekentalan krim atau salep mencegah bergabungnya fase teremulsi dan
membantu menstabilkan emulsi tersebut. Penambahan zat-zat polar yang bersifat
lemak, seperti setil alkohol dan gliseril monostearat, cenderung menstabilkan
emulsi minyak dalam air dari sediaan semipadat. Lapisan tipis antar muka yang
terbentuk disekitar tetesan-tetesan fase terdispersi dalam sistem seperti itu yang
biasanya berupa padatan, membuat sediaan teremulsi menjadi lebih kaku. Ion-ion
polivalen, seperti magnesium, kalsium, dan aluminium, cenderung menstabilkan
emulsi air dalam minyak dengan membentuk ikatan silang dengan gugus-gugus
polar bahan-bahan lemak. Hampir semua sediaan krim semipadat dan salep
teremulsi memerlukan lebih dari satu zat pengemulsi. Kombinasi dari suatu zat
aktif permukaan dengan zat pembantu pengemulsi yang larut dalam minyak
disebut sistem pengemulsi campuran. Sabun trietanolamin stearat yang
dikombinasikan dengan setil alkohol merupakan contoh suatu pengemulsi
campuran untuk emulsi minyak dalam air (M/A). Malam tawon dan ion kalsium
bervalensi dua atau sejumlah kecil zat aktif permukaan yang larut didalam air
merupakan contoh pengemulsi campuran untuk emulsi air dalam minyak (A/M).
Kestabilan maksimum suatu emulsi terjadi bila terbentuk suatu antarmuka lapisan
tipis yang kompleks. Lapisan tipis seperti ini terbentuk jika suatu zat yang larut
didalam minyak ditambahkan dan bereaksi dengan surfaktan yang larut dalam air
pada antarmuka. Basis krim air dalam minyak (A/M) yang lunak dapat dibuat dari
ion kalsium sebagai zat pembantu pengemulsi. Basis tersebut dapat dibuat lebih
keras dengan mengurangi kandungan minyak mineralnya (Lachman, dkk, 2008).
3. Poliol
Propilen glikol, gliserin, sorbitol 70% dan polietilen glikol dengan berat
molekul yang lebih rendah digunakan sebagai bahan pelembab (humektan) di
dalam krim. Pilihan suatu pelembab tidak hanya berdasarkan laju perubahan
kelembaban, tetapi juga atas efeknya terhadap susunan dan viskositas sediaan.
Bahan-bahan ini mencegah krim menjadi kering, dan mencegah pembentukan
kerak bila krim dikemas didalam botol. Disamping itu, bahan-bahan ini juga
memperbaiki konsistensi dan mutu terhapusnya suatu krim jika digunakan pada
kulit, sehingga memungkinkan krim dapat menyebar tanpa digosok. Penambahan
kandungan pelembab menyebabkan sediaan lebih pekat.
Sorbitol 70% lebih higroskopis daripada gliserin dan digunakan pada
konsentrasi yang lebih rendah, umumya 3% sorbitol 70% sebanding dengan 10%
gliserin. Propilen glikol dan polietilen glikol kadang-kadang dikombinasi dengan
gliserin, karena kemampuan menyerap lembab oleh propilen glikol dan polietilen
glikol lebih rendah dibandingkan gliserin (Lachman, dkk, 2008).
3. Jenis Bahan Pembawa (Basis)
Bahan pembawa yang digunakan untuk sediaan farmasetik berbeda dengan
bahan pembawa yang digunakan untuk kosmetik, karena didalam kosmetik
adanya penetrasi kedalan kulit tidak diinginkan. Penetrasi atau perlindungan
diinginkan dalam suatu sediaan farmasetik semipadat, sedangkan efek kosmetik
atau penampilannya pada kulit tidak begitu penting. Suatu formulasi yang baik
dari sediaan farmasetik semipadat seharusnya efektif secara terapetis dan juga
menarik secara kosmetik, dengan upaya keras di bawah petunjuk dokter.
Sediaan terapetis yang termasuk dalam golongan sediaan semipadat adalah
produk-produk yang dimaksudkan untuk digunakan pada kulit. Kelarutan dan
stabilitas obat didalam basis, juga sifat luka pada kulit, menentukan pilihan dari
pembawa sediaan semipadat. The United States Pharmacopeia (USP) XX
memperkenalkan 4 golongan bahan pembawa salep (basis salep), yaitu :
a) Basis hidrokarbon, merupakan jenis pembawa yang bersifat hidrofilik (bersifat
lemak), contohnya petrolatum dan malam tawon.
b) Basis serap, dibentuk dengan penambahan zat-zat yang dapat bercampur
dengan hidrokarbon dan zat yang memiliki gugus polar seperti sulfat, hidroksi,
karboksil, dan lainnya. Contohnya lanolin.
c) Basis yang larut dalam air, contohnya polietilen glikol.
d) Basis yang dapat dicuci dengan air
Basis yang dapat dicuci dengan air adalah emulsi minyak dalam air (M/A),
yang dikenal sebagai krim. Basis vanishing cream termasuk dalam golongan ini.
Vanishing cream umumnya yaitu emulsi minyak dalam air, mengandung air
dalam persentase yang besar dan asam stearat (Ansel, 2008). Disebut vanishing
cream karena waktu krim ini digunakan dan digosokan pada kulit (setelah
pemakaian), hanya sedikit atau tidak terlihat bukti nyata tentang adanya krim yang
sebelumnya, karena air menguap meninggalkan sisa berupa selaput asam stearat
yang tipis (Lachman, dkk, 2008).
Hilangnya krim ini dari kulit dipermudah oleh emulsi minyak dalam air
yang terkandung didalamnya. Krim dapat digunakan pada kulit dengan luka yang
basah, karena bahan pembawa minyak didalam air cenderung untuk menyerap
cairan yang dikeluarkan oleh luka tersebut. Basis yang dapat dicuci dengan air
akan membentuk suatu lapisan tipis yang semipermeabel setelah air menguap
pada tempat yang digunakan. Tetapi emulsi air dalam minyak dari sediaan
semipadat cenderung membentuk suatu lapisan hidrofobik pada kulit.
Emulsi-emulsi dari sediaan semipadat telah dikenal dengan baik sebagai
campuran atau dispersi yang relatif stabil dari fase hidrofilik dengan fase lipofilik.
Fase yang didispersikan dalam bentuk butiran-butiran halus dikenal sebagai fase
diskontinu atau fase internal, lainnya adalah fase kontinu atau fase eksternal.
Pembawa jenis vanishing cream merupakan contoh yang mewakili emulsi minyak
dalam air. Sedangkan basis serap umumnya merupakan emulsi air dalam minyak
(Lachman, dkk, 2008).
4. Bahan Pengawet
Bahan pengawet kimia untuk sediaan semipadat seperti metilparaben,
propilparaben, senyawa amonium kuaterner (misalnya benzalkonium klorida),
asam borat dan garam fenilmerkuri ditambahkan pada sediaan semipadat untuk
mencegah kontaminasi, kemunduran, dan kerusakan oleh bakteri serta jamur,
karena sebagian besar komponen dalam sediaan ini dapat bertindak sebagai
substrat bagi mikroorganisme ini (Lachman, dkk, 2008). Bahan pengawet yang
sering digunakan umumnya metil paraben 0,12-0,18% dan propil paraben 0,02-
0,05% (Syamsuni, 2007).
Agar lebih stabil, disamping zat pengawet, ditambahkan antioksidan.
Antioksidan seperti butilhidroxyanisol (BHA), butilhidroxytoluen (BHT), α-
tokoferol dan propil galat ditambahkan pada sediaan semipadat jika akan terjadi
kerusakan akibat oksidasi. Banyak senyawa organik mudah mengalami
autoksidasi bila dipaparkan ke udara, dan lemak yang teremulsi terutama peka
terhadap serangan. Sistem antioksidan ditentukan oleh komponen-komponen
formulasi, dan pemilihan antioksidan tergantung pada beberapa faktor seperti
toksisitas, iritasi, potensi, tercampurkan, bau, perubahan warna, kelarutan, dan
kestabilan. Seringkali dua antioksidan digunakan karena kombinasi tersebut sering
memberikan efek sinergistik (Lachman, dkk, 2008).
2.3.2 Pembuatan Emulsi Sediaan Semipadat (Krim)
Waktu, temperatur dan kerja mekanik merupakan tiga variabel dalam
pembuatan emulsi sediaan semipadat. Ketiga faktor tersebut saling berhubungan,
dan harus dikontrol dengan hati-hati. Peralatan disediakan untuk pengontrolan
berbagai aspek pembuatan emulsi, seperti pengontrolan yang sempurna terhadap
temperatur, pengaturan waktu pengocokan, dan kecepatan pengadukan.
Pencampuran Fase – Fase. Biasanya fase-fase dicampur pada temperatur
70-720C, karena pada temperatur ini fase cair yang baik sekali dapat terjadi.
Temperatur pencampuran fase dapat diturunkan beberapa derajat jika titik leleh
fase lemak cukup rendah untuk mencegah kristalisasi atau pembekuan komponen-
komponen sebelum waktunya. Fase-fase dapat dicampur dengan salah satu dari
tiga cara berikut :
a. Pencampuran berbagai fase secara bersamaan
b. Penambahan fase diskontinu pada fase kontinu
c. Penambahan fase kontinu pada fase diskontinu
Metode pertama memerlukan pompa yang sebanding dan pengadukan
terus menerus. Metode emulsifikasi ini cocok untuk pelaksanaan terus menerus
atau pelaksanaan dengan batch atau skala yang besar.
Metode kedua dapat digunakan untuk sistem emulsi yang mempunyai fase
dispersi dengan volume rendah.
Metode ketiga lebih disukai untuk berbagai sistem emulsi, karena emulsi
mengalami inversi dari tipe emulsi selama penambahan fase kontinu, yang
mengakibatkan fase terdispersi lebih halus. Dispersi atau fase air dalam emulsi
M/A ditambahkan perlahan-lahan pada fase internal dengan pengadukan.
Konsentrasi awal dari air yang rendah dibandingkan dengan konsentrasi minyak
mengakibatkan pembentukan emulsi A/M (Lachman, dkk, 2008).
Stabilitas krim akan rusak jika campurannya terganggu oleh perubahan
suhu dan perubahan komposisi (adanya penambahan salah satu fase secara
berlebihan). Pengenceran krim hanya dapat dilakukan jika sesuai pengenceran
yang cocok, yang harus dilakukan dengan teknik aseptis. Krim yang sudah
diencerkan harus digunakan dalam waktu 1 (satu) bulan.
Cara pembuatan krim yaitu bagian lemak dilebur diatas tangas air
kemudian ditambahkan bagian airnya dengan zat pengemulsi, aduk sampai terjadi
suatu campuran yang berbentuk krim (Syamsuni, 2007).
2.3.3 Penyimpanan dan Pengemasan Krim
Krim dikemas dan disimpan dengan cara yang sama dengan salep. Krim
biasanya dikemas baik dalam botol atau dalam tube, botol dapat dibuat dari gelas
tidak berwarna, warna hijau, amber atau biru atau buran dan porselen putih. Botol
plastik juga dapat digunakan.Wadah dari gelas buram dan berwarna berguna
untuk krim yang mengandung obat yang peka terhadap cahaya. Tube krim lebih
sering yaitu ukuran 5-30 g.
Botol krim dapat diisi dalam skala kecil oleh seorang ahli farmasi dengan
mengemas sejumlah krim yang sudah ditimbang kedalam botol dengan memakai
spatula yang fleksibel dan menekannya ke bawah, sejajar melalui tepi botol guna
menghindari kemungkinan terperangkapnya udara di dalam botol. Ide mengemas
krim dalam botol ialah untuk menghasilkan tingkat permukaan salep yang cukup
tinggi mendekati bagian atas botol, tapi tidak begitu tinggi sampai tutupnya kena
apabila ditutup botolnya. Beberapa ahli farmasi dengan keterampilannya
menggunakan spatula menempatkan lingkaran ditengah-tengah pemakaian krim.
Krim yang dibuat dengan cara melebur dapat dituangkan langsung kedalam botol
krim untuk dibekukan dalam botol. Krim ini biasanya tampak sebagai hasil akhir
yang bagus. Pembuatan krim dalam skala besar, bertekanan, pengisi mendiring
sejumlah tertentu dari krim masuk kedalam botol.
Tube umumnya diisi dengan bertekanan alat pengisi dari bagian ujung
belakang yang terbuka (ujung yang berlawanan dari ujung tutup) dari tube yang
kemudian ditutup dengan segel. Krim yang dibuat dengan cara peleburan dapat
dituangkan langsung kedalam tube. Pada skala kecil seperti yang dibuat
mendadak, pengisian dari tube salep oleh ahli farmasi di apotek, tube dapat diisi
dengan cara :
1) Krim yang telah dibuat digulung diatas kertas perkamen menjadi bentuk
silinder, diameter silinder sedikit lebih kecil dari tube supaya dapat diisikan
dengan panjang kertas yang lebih dari silinder
2) Dengan tutup dari tube dilepas supaya udara keluar, silinder dari krim dengan
kertas dimasukan kedalam bagian ujung bawah tube yang terbuka
3) Potongan kertas yang meliputi salep dipegang oleh satu tangan sedang lainnya
menekan dengan spatula yang berat kearah tutup tube sampai tube tadi penuh
dan sambil menarik perlahan-lahan kertas krim tadi dilepaskan, ratakan
permukaan krim dengan spatula, kurang lebih ½ inci dari ujung bawah.
4) Bagian bawah yang disisakan lipatan 2 x 1/8 inci dan dibuat dari ujung bawah
tube yang dipipihkan, ditekan.jepit penyegel tepat diatas lipatan untuk
menjamin bahwa sudah betul-betul tertutup. Penjepitan dapat digunakan
dengan tang tangan atau dengan mesin lipat (crimper) yang dijalankan dengan
tangan atau kaki.
Krim dalam tube lebih luas pemakaiannya daripada botol, disebabkan
lebih mudah dan menyenangkan digunakan oleh pasien dan tidak mudah
menimbulkan keracunan. Pengisian dalam tube juga mengurangi terkena udara
dan menghindari kontaminasi dari mikroba yang potensial, oleh karena itu akan
lebih stabil dan dapat tahan lama pada pemakaian dibandingkan dengan krim
dalam botol.
Kebanyakan krim harus disimpan pada temperature dibawah 300C untuk
mencegah melembek apalagi dasar krimnya bersifat dapat mencair (Ansel, 2008).
2.4 KULIT
Kulit merupakan suatu organ besar yang berlapis-lapis, dimana pada orang
dewasa beratnya kira-kira delapan pon, tidak termasuk lemak. Kulit menutupi
permukaan lebih dari 20.000 cm2 dan mempunyai bermacam-macam fungsi dan
kegunaan. Kulit berfungsi sebagai pembatas terhadap serangan fisika dan kimia.
Beberapa bahan seperti ion nikel, gas mostar, serta minyak damar dari Rhus
toksikodendron, umumnya dikenal sebagai racun ivy, dapat menembus pembatas
tersebut, sedangkan umumnya zat-zat lain tidak dapat. Kulit berfungsi sebagai
termostat dalam mempertahankan suhu tubuh, melindungi tubuh dari serangan
mikroorganisme, sinar ultraviolet, dan beberapa pula dalam mengatur tekanan
darah.
Gambar 3. Penampang Kulit
(Anonim, 2009)
Secara anatomi, kulit terdiri dari banyak lapisan jaringan, tetapi pada
umumnya kulit dibagi dalam tiga lapisan jaringan : epidermis, dermis, dan lapisan
lemak di bawah kulit. Lapisan terluar adalah stratum korneum atau lapisan tanduk
yang terdiri dari sel-sel padat, mati, dan sel-sel keratin yang berlapis-lapis dengan
kerapatan 1,55. Karena sifat alami dari stratum korneum ini, maka nilai koefisien
difusi dalam jaringan ini seribu kali (bahkan lebih) lebih kecil dari jaringan kulit
lainnya, sehingga menghasilkan daya tahan yang lebih tinggi dan umumnya tidak
dapat ditembus.
Dibawah stratum korneum terdapat lapisan-lapisan metabolik aktif dari
epidermis.Lapisan basal atau lapisan germinal terletak tepat di atas dermis. Sel-sel
epidermis memulai gerakan mitotiknya menuju ke permukaan, sel-sel memipih
dan menyusut untuk kemudian mati secara perlahan-lahan karena kekurangan
oksigen dan makanan (Lachman,dkk, 2008).
2.5 URAIAN UMUM FUNGI
Dalam sistematika organisme hidup, jamur ditempatkan dalam kelas
tersendiri, tidak ditempatkan sebagai kelas tumbuhan dan juga kelas hewani.
Fungi adalah mikroorganisme heterotrofik. Mereka memerlukan senyawa organik
untuk nutrisinya.
Sebagian besar jamur adalah saprofilik dan lainnya bersifat parasit.
Bersifat saprofilik artinya jamur di alam berperan sebagai pengurai bahan organik,
yang bermanfaat untuk peragian makanan dan juga produksi antibiotika. Bersifat
parasit artinya fungi dapat menyerbu inang yang hidup lalu tumbuh dengan subur
sebagai parasit. Sebagai parasit, mereka menimbulkan penyakit pada tumbuhan,
hewan, dan manusia.
Fungi bereproduksi dengan berbagai cara, meliputi penguncupan,
pembelahan atau sporulasi. Spora dapat dihasilkan secara seksual atau aseksual
dan dapat dikelilingi oleh tubuh buah. Fungi dapat tumbuh dalam lingkungan
yang tidak menguntungkan bagi kebanyakan mikroorganisme lain, yang meliputi
adanya asam dan konsentrasi gula yang tinggi (Pelczar dan Chan, 2008).
2.6 URAIAN UMUM ANTIFUNGI
Antifungi atau antimikotika adalah senyawa yang digunakan untuk
mengobati infeksi jamur. Dari segi terapeutik, infeksi jamur pada manusia
dibedakan atas 2, yaitu infeksi sistemik dan infeksi topikal (dermatofit dan
mukokutan). Infeksi topikal dermatofit ini biasa disebut dermatofitosis.
Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofit
yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum
kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan. Dermatifitosis ini disebabkan
oleh Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton.
(a) (b) (c)
Gambar. 4
Jamur Penyebab Infeksi Kulit
(a) Microsporum, (b) Trichophyton, (c) Epidermophyton
(Anonim 2009)
Infeksi jamur dermatofit terjadi pada tempat yang sedikit menerima aliran
darah, seperti kuku, kulit, dan rambut. Hal ini menyebabkan distribusi obat ke
daerah itu sangat sulit jika diberikan secara sistemik. Jamur membelah atau
berkembang biak lebih lambat dibandingkan bakteri, padahal peristiwa membelah
merupakan saat yang tepat bagi antimikroba untuk membunuh fungi. Terjadi atau
tidaknya infeksi jamur, sangat ditentukan oleh peran hospest mengingat banyak
infeksi jamur bersifat oportunistik. Artinya, akan terjadi lagi infeksi jika daya
tahan tubuh melemah, misalnya infeksi Candida albican yang menyebabkan
keputihan.
Mengingat tempat infeksi jamur di daerah yang vaskularisasinya (aliran
darah) sangat rendah, maka pemberian obat secara topikal sangat penting. Dengan
demikian sangat penting adanya antifungi lokal maupun antifungi sistemik.
Istilah antifungi mempunyai dua pengertian yaitu fungisidal dan
fungistatik. Fungisidal didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat
membunuh fungi sedangkan fungistatik dapat menghambat pertumbuhan fungi
tanpa mematikannya. Antifungi dapat diklasifikasikan berdasarkan cara kerjanya
ataupun struktur kimianya. Aktivitas kerja dari antifungi yaitu dengan beberapa
cara, antara lain :
1) Pengaruh terhadap dinding sel
2) Pengaruh terhadap membran sel
3) Pengaruh terhadap enzim
4) Pengaruh terhadap sintesis protein dan asam nukleat (Priyanto, 2008)
2.7 URAIAN BAHAN
1) Asam Stearat (Kibbe, 2009)
Nama Resmi : Stearic Acid
Titik Lebur : 69-700C
Range : Creams 1-20%
Rumus Molekul : C18H36O2
Rumus Struktur :
Pemerian : Keras, berwarna putih atau sedikit kekuningan,
agak mengkilap dan berupa padatan kristal atau
serbuk putih (atau putih kekuningan). Sedikit
berbau dan berasa.
Kelarutan : Larut dalam benzena, karbon tetraklorida,
kloroform dan eter; larut dalam etanol (95%),
heksana,dan propilenglikol, praktis tidak larut
dalam air.
Kegunaan : Sebagai basis dan emulgator
2) Trietanolamin (Kibbe, 2009)
Nama Resmi : Triethanolamine
Titik Lebur : 20-210C
Range : Emulgator 2-4 %
Rumus Molekul : C6H15NO3
Rumus Struktur :
Pemerian : Cairan kental yang jernih, tidak berwarna hingga
berwarna kuning pucat yang memiliki sedikit bau
ammoniak.
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air dan alkohol dan larut
dalam kloroform, 1 bagian dalam 63 bagian etil
eter, 1 bagian dalam 24 bagian benzen.
Kegunaan : Sebagai pengalkalis dan pengemulsi
3) α-tokoferol (Kibbe, 2009)
Nama Resmi : Alpha Tocopherol (BP)
Sinonim : Vitamin E
Titik Lebur : 2.5-3.580C
Range : 0.001-0.05%
Rumus Molekul : C29H50O2
Rumus Struktur :
Pemerian : Minyak kental praktis tidak berbau, jernih, tidak
berwarna, kuning, kuning-kecoklatan, atau
kuning keabuan.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam alkohol,
dapat bercampur dengan aseton, kloroform, eter
dan minyak tumbuhan.
Kegunaan : Sebagai antioksidan
4) Gliserin (Kibbe, 2009)
Nama Resmi : Glycerin
Titik Lebur : 17,80C
Range : Humektan ≤ 30
Rumus Molekul : C3H8O3
Rumus Struktur :
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, kental, praktis
tidak berbau, sedikit rasa tajam mirip
propilenglikol.
Kelarutan : Bercampur dengan aseton, kloroform, etanol
(95%), air; larut dalam 1 dalam 6 bagian eter;
tidak bercampur dengan minyak mineral ringan
atau minyak-minyak lemak, tetapi akan
melarutkan beberapa minyak essensial.
Kegunaan : Sebagai humektan (pelembut)
5) Metyl Paraben (Kibbe, 2009)
Nama Resmi : Methyl Hydroxybenzoate
Sinonim : Nipagin
Titik Lebur : 1260C
Range : Cream 0,12-0,18 %
Rumus Molekul : C8H8O3
Rumus Struktur :
Pemerian : Serbuk kristal yang tidak berwarna atau putih,
bau khas yang lemah.
Kelarutan : 1 gram larut dalam 400 ml air, dan 20 ml air
mendidih, 3 ml alkohol, 10 ml eter. Larut dalam
gliserin, minyak dan lemak-lemak.
Kegunaan : Sebagai pengawet
6) Propil Paraben (Kibbe, 2009)
Nama Resmi : Propyl Hydroxybenzoate
Sinonim : Nipasol
Titik Lebur : 960C
Range : Cream 0,02-0,18 %
Rumus Molekul : C10H12O3
Rumus Struktur :
Pemerian : Kristal tidak berwarna atau serbuk putih, tidak
berbau, tidak berasa.
Kelarutan : Satu gram larut dalam 2500 ml air, 1,5 ml
alcohol atau 3 ml eter.
Kegunaan : Sebagai pengawet
7) Air Suling (Kibbe, 2009)
Nama Resmi : Aquadest
Rumus Molekul : H2O
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna
Kegunaan : Sebagai pelarut dan fase air