YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Traumatic Brain Injury (TBI)

Traumatic Brain Injury (TBI) adalah cedera otak akut akibat energi

mekanik terhadap kepala dari kekuatan eksternal. Identifikasi klinis TBI meliputi

satu atau lebih kriteria berikut: bingung atau disorientasi, kehilangan kesadaran,

amnesia pasca trauma, atau abnormalitas neurologi lain (tanda fokal neurologis,

kejang, lesi intrakranial).

Klasifikasi Derajat Keparahan TBI berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS)

Berdasarkan derajat keparahannya dapat dibagi menjadi : Ringan dengan

GCS 13-15, durasi amnesia pasca trauma <24 jam; Sedang dengan GCS 9-12,

durasi amnesia pasca trauma 1- 6 hari; dan Berat dengan GCS 3-8, durasi amnesia

pasca trauma 7 hari atau lebih (Young dan Mcnaught, 2011).

Tanda dan Gejala TBI

Gejala TBI ringan dapat berupa sakit kepala; bingung; penglihatan kabur;

rasa berdengung di telinga; pengecapan berubah; lemah; perubahan pola tidur,

perilaku atau emosi; gangguan memori, konsentrasi, perhatian, maupun proses

pikir. Sedangkan pada TBI derajat sedang dan berat gejala tersebut tetap dapat

ditemukan, namun sakit kepala yang dirasakan bertambah berat atau menetap;

mual dan muntah berulang; kejang; dilatasi pupil; kelemahan ekstremitas; agitasi;

serta kejang (Naughton dkk., 2006).

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

14

Tipe - tipe Traumatic Brain Injury

1. Concussion yaitu cedera minor terhadap otak, penurunan kesadaran dengan

durasi yang sangat singkat pasca trauma kepala.

2. Fraktur depressed tulang kepala terjadi ketika bagian tulang kepala yang patah

atau retak menekan ke dalam jaringan otak.

3. Fraktur penetrating tulang kepala terjadi apabila terdapat benda yang

menembus tulang kepala (contoh: peluru) menyebabkan cedera lokal dan

terpisah pada jaringan otak.

4. Contusion, memar pada otak akibat fraktur tulang kepala. Kontusio dapat

berupa regio jaringan otak yang mengalami pembengkakan dan bercampur

darah yang berasal dari pembuluh darah yang rusak. Hal ini juga dapat

disebabkan oleh guncangan pada otak ke depan dan belakang (contrecoup

injury) yang sering terjadi saat kecelakaan lalu lintas.

5. Diffuse axonal injury atau shearing melibatkan kerusakan pada sel saraf dan

hilangnya hubungan antar neuron. Sehingga mampu menyebabkan kerusakan

seluruh komunikasi antar neuron di otak.

6. Hematoma, kerusakan pembuluh darah pada kepala. Tipe - tipe hematoma

yaitu (1) Epidural hematoma (EDH), perdarahan di antara tulang kepala dan

dura; (2) Subduralhematoma (SDH), perdarahan di antara dura dan membran

araknoid; dan (3) Intracerebral hematoma (ICH), perdarahan di dalam otak

(Beeker dkk., 2002).

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

15

2. 2 Decompressive Craniectomy dan Cranioplasty

Tujuan primer terapi adalah untuk mempertahankan aliran darah serebri

yang adekuat (diestimasi dari CPP = MAP-TIK, MAP = 1/3 tekanan sistolik + 2/3

tekanan diastolik) (Castillo dkk., 2008). Penghilangan operatif bagian kalvaria

untuk membentuk jendela pada atap tengkorak adalah intervensi yang paling

radikal untuk hipertensi intrakranial. DC telah digunakan untuk menangani

hipertensi kranial sekunder yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan

akibat trauma, infark cerebri, subarachnoid hemorrhage (SAH), maupun

perdarahan spontan. Edema otak pasca trauma yang menyebabkan hipertensi

intrakranial merupakan faktor prognosis terpenting pada pasien yang mengalami

cedera otak (Castillo dkk., 2008).

Edema otak malignan merupakan kondisi progresif serta edema cerebri

diffuse berat yang menyebabkan deteriorasi klinis yang cepat dan tidak respon

terhadap penanganan secara agresif. Hal ini sering dilihat pada pasien dengan

cedera kepala berat tipe III, aneurisma SAH, dan infark otak massif (Wani dkk.,

2009). Manifestasi klinis pasien ini yaitu sindrom hemisphere berat yakni

hemiplegi, deviasi mata dan kepala, dan penurunan kesadaran dalam 48 jam.

Pada CT Scan, kompresi ventrikel, obliterasi sisterna basalis, hilangnya pola

gyrus normal, dan diferensiasi materi alba dengan grasia yang buruk dapat

terlihat. Kematian terjadi akibat herniasi ketika TIK meningkat dan kapasitas

penyesuaian dengan pergeseran cairan dari cairan serebrospinalis dan

kompartemen vaskular telah mencapai maksimal (Wani dkk., 2009).

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

16

Peningkatan TIK sekunder sering ditemukan 3-10 hari setelah trauma,

disebabkan oleh pembentukan hematom yang tertunda (SDH dan traumatic

hemorrhage contusion) yang memerlukan evakuasi segera. Faktor lain yang

berkontribusi misalnya vasospasme cerebri, hipoventilasi, dan hiponatremi (Wani

dkk., 2009).

American Brain Trauma Foundation menyatakan untuk lesi intraparenkim

akibat trauma, tehnik dekompresif dipertimbangkan sebagai pilihan saat TIK

meningkat secara refraktori dan terdapat tanda radiologis (CT scan) herniasi

cerebri. DC bifrontal dipilih apabila lesi diffuse dan TIK meningkat secara

refraktori tanpa herniasi cerebri pada CT scan jika operasi dilakukan dalam 48

jam pertama. Namun, hasil ini masih kontroversi (Balan dkk., 2010). Di antara

banyak masalah yang timbul sebagai akibat TBI, hipertensi intrakranial (IHT)

merupakan penyebab utama komplikasi dan kematian. Salah satu upaya untuk

mengendalikan TIK pada pasien dengan TBI adalah dengan melakukan tindakan

DC (Alvis dkk., 2013). Studi yang sama pada anak menyebutkan DC pada anak

dengan TIK refraktori memberi hasil neurologis lebih baik, lama rawat lebih

singkat, TIK lebih terkontrol baik. Akan tetapi, karena keterbatasan jumlah

pasien yang diikutsertakan dalam studi ini, data ini masih belum signifikan secara

statistik (Balan dkk., 2010).

Pada 10-15% kasus hipertensi intrakranial disebabkan oleh CKB yang

dilaporkan tidak berespon terhadap pengobatan konvensional atau medikal. Pada

kasus ini, DC menawarkan kemampuan penanganan life-saving pengurangan

tekanan intrakranial. DC adalah standar pengobatan bedah untuk edema serebral

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

17

maligna dan herniasi otak yang terjadi karena infark serebri, perdarahan intra

kranial, dan CKB. Pasien dengan Skor GCS 8 ke bawah yang mempunyai lesi

yang luas pada gambaran CT Scan tanpa kontras adalah kandidat untuk evakuasi

surgical. Pembedahan harus dilakukan apabila status neurologis pasien memburuk

(Coralo dkk., 2015).

DC dilakukan untuk peningkatan TIK yang intractable setelah TBI atau

perdarahan. Walaupun sangat meningkatkan keuntungan/manfaat DC, namun

belum ada standar guidelines untuk melakukan DC. Banyak pilihan seperti hing

craniotomies dimana flap tulang di gantung di kranium, yang penting adalah

ukuran tulang yang dihilangkan. Kontroversi lainnya adalah tentang perlu dibuka

atau tidaknya duramater (Guresis dkk., 2011).

DC secara umum penting untuk pasien dengan peningkatan TIK yang

persisten dan adanya pergeseran garis tengah pada pasien TBI. DC adalah langkah

pertama dari dua langkah prosedur, dimana pasien yang selamat akan diperbaiki

defek tulangnya dengan tulang original atau implant prostetik. Risiko DC tidak

hanya terbatas pada operasi awal, tetapi juga bisa terjadi pada saat operasi

Cranioplasty yang kedua. Risiko saat cranioplasty seperti cedera pada kortek,

infeksi, CSF Fistula, Epidural hematoma atau Subdural hematoma, dan Intra

serebral hematoma. Hal ini disebabkan kesulitan pada saaat diseksi jaringan lunak

untuk mengekspos dan preparasi defek kranialnya. Dan signifikan berat pada

pasien dengan fibrosis atau perlengketan antara permukaan otak dengan galea

aponeuritika dan otot temporalis (Oladunjuve dkk., 2013).

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

18

2.2.1 Fisiologi Decompressive Craniectomy

Ilmuwan ternama, Monroe, menyatakan bahwa kranial merupakan ‘kotak

kaku’ yang diisi oleh ‘otak yang hampir tidak dapat dikompresi’ dan volume

totalnya cenderung tetap konstan (Farahvar dkk., 2012). Tulang kepala pada

dewasa normal menutupi total volume 1475 ml meliputi 1300 ml otak, 65 ml

cairan serebrospinal, dan 110 ml darah. Sehingga, setiap peningkatan volume

elemen-elemen dalam kranial (otak, darah, atau cairan serebrospinal), akan

menyebabkan peningkatan TIK pula. Terlebih lagi, apabila salah satu dari ketiga

elemen tersebut mengalami peningkatan volume, TIK terjadi dengan

mengorbankan volume kedua elemen lain. Ilmuwan lain, Kellie, mengkonfirmasi

pernyataan Monroe. Ketika otak mengalami cedera dan mulai mengembang atau

terdapat lesi seperti intracerebral hematom, terjadi kompensasi yang

mengorbankan volume darah dan cairan serebrospinal. Apabila otak secara

progresif membengkak atau ukuran lesi bertambah luas, mekanisme kompensasi

akan mengalami ‘kelelahan’, sehingga sedikit saja penambahan volume kranial

akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang lebih besar (Koerner

dan Brambrink, 2006; Sahuquillo dan Vilalta, 2006).

Prosedur DC secara teoritis memiliki keuntungan. Hal ini berdasarkan

teori Monroe-Kellie, yaitu dengan memperluas ‘kotak kaku’ maka TIK dapat

diturunkan tanpa mengorbankan volume darah cerebral, serta mampu memberi

perfusi cerebral yang lebih baik. DC merepresentasikan dekompresi dura dan

kranial yang besar, sering berhubungan dengan pengangkatan lesi seperti SDH

atau traumatic intracerebral hematom (Wani dkk., 2009).

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

19

Nilai normal tekanan intrakranial bervariasi sesuai usia, pada orang

dewasa, TIK normal yaitu 10 – 15 mmHg, pada bayi matur 1,5 – 6 mmHg, dan

bisa menjadi subatmosphere pada bayi baru lahir. Ambang batas TIK bervariasi

mulai dari anak-anak, yang mampu mentoleransi nilai lebih besar saat sutura

masih terbuka, hingga dewasa. Batas toleransi TIK dan penurunan CPP bervariasi

dari 18-20 mmHg untuk SAH; 20-22 mmHg untuk malignant sylvian stroke; 25

mmHg untuk trauma; serta 30 mmHg untuk tumor dan hidrosefalus (Balan dkk.,

2010). Nilai TIK 20 – 30 mmHg menunjukkan hipertensi intrakranial ringan,

sedangkan TIK melebihi 40 mmHg yang menetap menunjukkan hipertensi

intrakranial berat dan mengancam nyawa yang membutuhkan penanganan segera

(Wani dkk., 2009).

Pada saat pengobatan medis tidak efektif, dekompresi memperluas ruangan

intrakranial, mencegah adanya peningkatan TIK lebih jauh maupun herniasi

cerebral. Untuk mencapai dekompresi sesungguhnya, sebagian besar penelitian

merekomendasikan diameter minimal 12 cm (menambah 86 ml volume). Volume

tambahan yang diperoleh dengan DC merupakan tambahan dari hiperventilasi (2

ml / mm penurunan pCO2); dan ventricular tap 20 – 30 ml tanpa resiko rebound

loop diuretic.

Mekanisme DC menurunkan TIK yaitu: menurunkan TIK dengan segera dan

permanen, menambah vektor ekspansi terhadap hemisfer serebri yang meredakan

herniasi otak, memungkinkan eksplorasi ruang subdural, penurunan TIK yang

lebih cepat dibanding penanganan medis bertahap lainnya seperti hipotermi,

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

20

barbiturat, osmotik diuretik, ventrikulostomi, hiperventilasi, serta salin hipertonik

untuk meminimalisir komplikasinya.

Gambar 2.1 Lingkungan normal kompartemen intrakranial (Honeybul, 2012)

Gambar 2.2 Hipertensi intrakranial terkompensasi parsial (Honeybul, 2012)

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

21

Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (Honeybul, 2012)

2.2.2 Indikasi DC

Indikasi primer DC yaitu peningkatan TIK persisten yang tidak dapat

dikontrol dengan terapi lain (hiperventilasi, sedasi dalam, diuretik, atau

withdrawal cairan serebrospinalis). Berdasarkan beberapa penelitian , indikasi lain

DC dapat berupa: (Balan dkk., 2010).

1. Malignant sylvian stroke untuk pasien usia di bawah 60 tahun.

2. Profilaksis ketika berisiko tinggi menjadi TIK persisten.

3. Subdural hematom (SDH) yang berhubungan dengan kontusio yang besar.

4. Subarachnoid hemorrhage (SAH).

5. Meningitis berat.

6. Usia< 50 tahun.

7. Pembengkakan otak pada CT scan, unilateral maupun bilateral, dengan

deteriorasi klinis yang sesuai.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

22

8. Tidak terdapat cedera otak primer yang fatal dengan gejala batang otak

ireversibel atau herniasi dengan gejala neurologis pons.

9. Hipertensi intrakranial refraktori (>30 mmHg).

10. Hipertensi intrakranial dengan deteriorasi status klinis (GCS 4 atau lebih,

midriasis), dan peningkatan indeks pulsasi dengan penurunan aliran diastolik

pada Transcranial Doppler Ultrasonography (TCD).

11. Intervensi bedah sebelum kerusakan batang otak ireversibel atau iskemia otak

general.

Penelitian lain di Eropa, Cochrane Database, menyebutkan indikasi DC

meliputi ICP 25 – 30 mmHg pada orang dewasa dan 24 mmHg selama lebih dari

30 menit pada anak-anak yang susah disembuhkan dengan terapi medis; CPP <60

mmHg; usia <50 tahun; midline shift >1 cm tanpa ada masa intrakranial

(Sahuquillo dan Arikan, 2006).

American Association of Neurological Surgeon merekomendasikan DC untuk

pasien dengan TBI apabila beberapa kriteria berikut terpenuhi:

1. Pembengkakan otak diffuse pada gambaran CT kranial

2. Dalam 48 jam setelah cedera

3. Tidak terdapat episode hipertensi intrakranial menetap (TIK >40 mmHg)

sebelum operasi

4. GCS >3 pada waktu kapan saja setelah cedera

5. Deteriorasi klinis sekunder

6. Perkembangan sindrom herniasi cerebri

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

23

Pasien dengan cedera batang otak primer yang fatal, GCS awal atau menetap 3,

dan pupil dilatasi bilateral, fixed bukan kandidat operasi (Wani dkk., 2009).

2.2.3 Tipe DC

Dekompresi subtemporal (unilateral dan bilateral) didesain agar

menurunkan tekanan dari lobus temporal untuk mencegah herniasi uncal,

Dekompresi serebelum adalah tindakan standar bedah saraf terhadap berbagai lesi

di fossa posterior (hemorrhage, tumor, infeksi, atau stroke). DC bifrontal terutama

berguna pada populasi pasien pediatri, prosedur ini dilakukan dimana posisi

pasien adalah supinasi, posisi Trendelenberg yang terbalik, insisi kulit bicoronal

dan otot temporalis direfleksikan ke inferior (Wani dkk., 2009).

Dekompresi bitemporal bertujuan mengurangi kompresi pada batang otak

secara bilateral. Pada hemikraniektomi bilateral, hanya pinggiran tulang yang

tetap di atas sinus sagitalis superior untuk menghindari ligasi falx dan sinus.

Setelah dura dibuka, dan mulai pada basis temporal, dura diperlebar dengan

menyambung fascia temporalis diikuti oleh penutupan kedap air dari dura dan

fascia graft. Bone flap lalu disimpan pada kondisi steril suhu -800C atau disimpan

di dinding abdomen dan reimplantasi (cranioplasty) dilakukan setelah 6 minggu

hingga 3 bulan. Semakin besar bone flap yang diangkat, semakin besar pula

menurunkan TIK (Skoglund dkk., 2006; Wani dkk., 2009).

Prosedur operasi

Terdapat dua jenis prosedur operasi utama DC yaitu 1) hemikraniektomi

dan 2) kraniektomi bilateral.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

24

1) Hemikraniektomi. Reseksi pada salah satu hemisphere, meliputi fossa

temporalis sampai tulang zygomaticus, ke posterior sampai pada garis yang

menghubungkan tragus dengan asterion dan mengenai segmen horizontal tulang

kepala di area parietal superior. Apabila tersedia, kepala pasien sebaiknya

difiksasi pada pemegang kepala Mayfield dengan dua sekrup di area oksipital dan

satu di area frontal, mempertahankan aksis anteroposterior kepala paralel terhadap

dasar. Sedangkan bila Mayfield tidak tersedia, posisi supinasi lateral dapat

diterapkan untuk fiksasi kepala terhadap meja operasi tanpa reduksi lapang

operasi.

Insisi yang dilakukan sebaiknya menyediakan akses luas terhadap

keseluruhan hemikranium, dengan dua pilihan teknis umum. Pilihan pertama

analog dengan flap ‘tanda tanya’ (gambar 2.4) yang digunakan pada patologi

trauma tetapi lebih meluas ke posterior. Insisi dimulai pada level temporal lalu ke

superior agar melindungi suplai darah flap dari arteri temporalis superfisial. Otot

temporalis dipotong pada satu bidang, ditempelkan ke flap (beberapa lebih

menyukai menyelamatkan fascia temporalis untuk kepentingan duroplasti

nantinya). Keuntungan insisi ini yaitu kebanyakan ahli lebih terbiasa dengan

struktur anatomisnya namun, pada segmen posterior flap, suplai darah sedikit dan

menyebabkan beberapa komplikasi terutama nekrosis kulit atau wound

dehiscence. Jika secara tidak sengaja arteri temporalis superfisial terpotong ketika

memulai insisi dengan pilhan pertama ini, lakukan insisi yang kedua (gambar 2.5).

Durameter di insisi radial atau dengan pedikel pada arteri meningea media

dan duroplasti dengan periosteum, fascia otot, atau lebih cepat dengan substitusi

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

25

dura. Duramater tidak dibiarkan intak karena bersifat tidak elastis, mengurangi

tujuan operasi; serta tidak dibiarkan bebas karena akan lebih sulit mengetahui

diseksi pada cranioplasty.

Bone flap dipertahankan, dengan menyimpannya di abdominal fat dimana hal ini

memperpanjang operasi selama minimal satu jam.

Gambar 2.4 Insisi berbentuk seperti ‘tanda tanya’ (Balan dkk., 2010).

Gambar 2.5 Insisi kedua (saat a.temporalis superficial tidak sengaja terpotong)

(Balan dkk., 2010).

25

dura. Duramater tidak dibiarkan intak karena bersifat tidak elastis, mengurangi

tujuan operasi; serta tidak dibiarkan bebas karena akan lebih sulit mengetahui

diseksi pada cranioplasty.

Bone flap dipertahankan, dengan menyimpannya di abdominal fat dimana hal ini

memperpanjang operasi selama minimal satu jam.

Gambar 2.4 Insisi berbentuk seperti ‘tanda tanya’ (Balan dkk., 2010).

Gambar 2.5 Insisi kedua (saat a.temporalis superficial tidak sengaja terpotong)

(Balan dkk., 2010).

25

dura. Duramater tidak dibiarkan intak karena bersifat tidak elastis, mengurangi

tujuan operasi; serta tidak dibiarkan bebas karena akan lebih sulit mengetahui

diseksi pada cranioplasty.

Bone flap dipertahankan, dengan menyimpannya di abdominal fat dimana hal ini

memperpanjang operasi selama minimal satu jam.

Gambar 2.4 Insisi berbentuk seperti ‘tanda tanya’ (Balan dkk., 2010).

Gambar 2.5 Insisi kedua (saat a.temporalis superficial tidak sengaja terpotong)

(Balan dkk., 2010).

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

26

Gambar 2.6 Sayatan kulit dan struktur neurovaskular Haemicraniectomy .Untuk

vaskularisasi yang memadai jarak B tidak boleh melebihi jarak A

(Timofeev dkk., 2012).

Gambar 2.7 Flap musculocutaneous dan garis kraniotomi di hemicraniectomy

decompressive (Timofeev dkk., 2012).

Gambar 2.8 Haemicraniectomy decompressive dan garis pembukaan dural

(Timofeev dkk., 2012).

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

27

2) Kraniektomi bilateral. Meliputi reseksi tulang pada kedua sisi

sementara tetap mempertahankan bone ridge 3 - 4 cm di atas sinus longitudinal

superior. Memposisikan pasien selama operasi lebih sulit dibandingkan dengan

tehnik pertama. Prosedur yang lebih jarang lagi dilakukan yaitu DC bifrontal,

dilakukan apabila terdapat edema serebri difus atau lesi kontusio bifrontal. Dura

diinsisi bilateral, mengarah ke sinus sagitalis, dengan duroplasti pada segmen

inferior (temporal).

Gambar 2.9 Kraniektomi Dekompresif Bifrontal (Balan dkk., 2010).

27

2) Kraniektomi bilateral. Meliputi reseksi tulang pada kedua sisi

sementara tetap mempertahankan bone ridge 3 - 4 cm di atas sinus longitudinal

superior. Memposisikan pasien selama operasi lebih sulit dibandingkan dengan

tehnik pertama. Prosedur yang lebih jarang lagi dilakukan yaitu DC bifrontal,

dilakukan apabila terdapat edema serebri difus atau lesi kontusio bifrontal. Dura

diinsisi bilateral, mengarah ke sinus sagitalis, dengan duroplasti pada segmen

inferior (temporal).

Gambar 2.9 Kraniektomi Dekompresif Bifrontal (Balan dkk., 2010).

27

2) Kraniektomi bilateral. Meliputi reseksi tulang pada kedua sisi

sementara tetap mempertahankan bone ridge 3 - 4 cm di atas sinus longitudinal

superior. Memposisikan pasien selama operasi lebih sulit dibandingkan dengan

tehnik pertama. Prosedur yang lebih jarang lagi dilakukan yaitu DC bifrontal,

dilakukan apabila terdapat edema serebri difus atau lesi kontusio bifrontal. Dura

diinsisi bilateral, mengarah ke sinus sagitalis, dengan duroplasti pada segmen

inferior (temporal).

Gambar 2.9 Kraniektomi Dekompresif Bifrontal (Balan dkk., 2010).

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

28

Gambar 2.10 Posisi pasien dan sayatan kulit garis di bifrontal craniectomy

decompressive (Timofeev dkk., 2012).

Gambar 2.11 Bicoronal myocutaneous dan flap periosteal dengan garis besarcraniectomy: A - flap periosteal terpisah dapat digunakan untuk menutupi sinusudara frontal jika terkena selama kraniotomi; B - garis kraniotomi pilihan untukmemungkinkan pengangkatan tulang yang lebih aman menjadi dua fragmen; C -

ekstensi subtemporal untuk dekompresi kutub temporal(Timofeev dkk., 2012).

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

29

Gambar 2.12 Bifrontal craniectomy dengan pilihan ekstensi subtemporal.Pembukaan dural berdasarkan sinus sagital (garis putus-putus) dengan

pemotongan sinus sagitalis di bagian anterior dengan falxotomy (garis merah)(Timofeev dkk., 2012).

Komplikasi DC

Komplikasi akut dapat berupa: kontusio hemorrhagic akibat penurunan TIK

ke nilai normal, perdarahan dari kapiler anterior (tekanan awal yang tinggi

menyebabkan hemostasis melalui kompresi); fongus cerebri, herniasi otak

(‘jamur’), akibat ukuran bone flap tidak cukup besar; hematom kontralateral.

Mekanisme sama dengan kontusio hemorrhagic yaitu perdarahan dari ‘bridging

vein’ atau fraktur tulang; wound dehiscence sering terjadi oleh karena tekanan

tinggi dari interior yang menyebabkan jahitan tegang dan fenomena iskemia atau

nekrosis akibat suplai darah yang rendah untuk flap. Komplikasi ini lebih sering

akibat secara tidak sengaja terjadi koagulasi arteri temporalis superfisial ketika

menyiapkan skin flap.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

30

Komplikasi lanjut dapat terjadi: hidrosefalus pasca trauma. Obstruksi resorpsi

cairan serebrospinal oleh SAH dan modifikasi tekanan dan aliran cairan

serebrospinal oleh dekompresi. Hidrosefalus komunikan, kemungkinan besar

akibat blok mekanik atau inflamasi granulasi araknoid oleh debris pasca operasi;

infeksi akibat tirah baring yang terlalu lama, dengan posisi kepala hanya satu,

muncul dehiscence luka. Bahkan, setelah beberapa bulan, kadang muncul fistula

cairan serebrospinal maupun kolonisasi bakteri. Contoh: meningitis, abses cerebri;

sindrom trephined. Manifestasi berupa gejala fokal neurologis 3-6 bulan setelah

operasi awal, tanpa ada lesi pada CT maupun MRI (Balan dkk., 2010).

Komplikasi lain DC dapat berupa resorpsi bone flap oleh nekrosis aseptic;

efusi subdural kontralateral, umumnya 2 minggu setelah DC; subdural hygroma;

herniasi paradoksikal setelah pungsi lumbal; hipotensi pada anak selama

kraniotomi untuk trauma; serta kejang pascaoperasi.

2.2.4 Cranioplasty

Pada umumnya, indikasi dari cranioplasty adalah protektif dan kosmetik.

Pasien dengan defek cranial yang luas setelah DC seringkali mendapatkan

komplikasi termasuk sindroma sinking flap, sindroma trephined. Selain itu,

cranioplasty dilaporkan dapat menfasilitasi pemulihan neurologis dan untuk

meningkatkan aliran darah dan hidrodinamik cairan serebrospinal, dan aktifitas

metabolik setelah DC (Winkler dkk., 2000). Cranioplasty awal dapat

menyelesaikan masalah komplikasi herniasi paradoksal lambat tetapi tidak semua

pasien dapat menjadi kandidat prosedur ini, dan semua resiko dan indikasi harus

benar benar dipertimbangkan (Stiver, 2009). Selain itu cranioplasty juga

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

31

dikerjakan untuk memberikan perlindungan melawan berkembangnya sindrom

trepanasi (Coralo dkk., 2015). Akhir akhir ini indikasi dari cranioplasty berubah

dari hanya sekedar kosmetik dan protektif menjadi terapeutik (Tasiou dkk., 2014).

Salah satu indikasi cranioplasty adalah defek kranium yang luas, dalam praktek

sehari-hari, prosedur ini umumnya dilakukan 3-6 bulan setelah kraniektomi

karena risiko infeksi atau pembengkakan otak yang belum kunjung sembuh

(Tasiou dkk., 2014).

Tindakan DC dengan indikasi karena peningkatan TIK, mengharuskan

cranioplasty setelahnya. Waktu optimum untuk melakukan cranioplasty tetap

kontroversial (Stiver, 2009). Cranioplasty dilakukan pada dua kelompok.

Kelompok pertama dilakukan <2 bulan (segera) sedangkan kelompok kedua

dilakukan > 2 bulan (lambat) segera setelah DC, Flap tulang dibekukan dan

disimpan dalam keadaan steril (-80 C). Selama cranioplasty lapisan untuk

penggantian fragmen tulang didiseksi antara flap miokutaneus dan lapisan mirip

dura yang menyelubungi otak. Batas tulang yang mengelilingi lubang kraniektomi

dibiarkan terbuka. Flap tulang autolog difiksasi dengan plat titanium dan mur

(plate and screw). Otot temporalis didiseksi sebagai lapisan yang terpisah dan

difiksasi pada flap tulang.Semua pasien diberikan dosis tunggal antibiotika

intravena (Schuss dkk., 2012).

Infeksi graft cranioplasty tidak berhubungan dengan indikasi kraniektomi,

waktu atau interval dari cranioplasty, material graft, atau ukuran defek tulang,

tetapi secara signifikan berhubungan dengan reseksi otot temporal sebelumnya,

penumpukan cairan sub galeal preoperative, dan waktu operasi > 120 menit, dan

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

32

gangguan terhadap luka pasca operasi (Kim dkk., 2013). Pada prosedur DC otot

temporalis dan fascia menjadi faktor yang paling signifikan dalam membatasi

herniasi eksternal dari otak yang edema. Beberapa ahli bedah, melakukan DC dan

duraplasty yang ekstensif digabung dengan reseksi otot temporal dan fasia.

Reseksi otot temporalis pada DC menunjukkan dekompresi yang lebih luas dan

hasil yang lebih baik pada infark hemisfer maligna, dengan hasil yang cukup

merugikan yaitu disfungsi mastikasi minimal dan kosmetik. .Selain itu reseksi dari

otot temporal membutuhkan koagulasi arteri temporal anterior dan posterior yang

berasal dari arteri maksilaris interna dan arteri temporalis medialis yang berasal

dari arteri temporalis superfisialis.

Prinsip dasar dari cranioplasty adalah: memilih material yang sesuai untuk

jenis dan ukuran defek, material harus mempunyai tingkat infeksi yang rendah,

konduksi panas yang rendah, non magnetic, radiolusen, dapat diterima oleh

jaringan, kuat, dapat dibentuk dengan mudah, dan tidak mahal. Sebelum mencapai

penutupan tulang, batas tulang yang jelas harus didapatkan, SCALP harus

dipisahkan dari dura. Robekan dura harus segera ditutup secara tidak tembus air

(water tight). Tulang dan material cranioplasty harus menempel satu sama lain

secara maksimal. Untuk mencegah bergesernya cranioplasty, material tersebut

harus difiksasi ke tulang dengan plates yang sesuai.

2.3 Proses penyembuhan luka

Luka masih merupakan masalah klinik yang menantang dengan

komplikasi segera atau komplikasi lambat yang sering menyebabkan morbiditas

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

33

dan mortalitas. Dalam usaha untuk menurunkan beban akibat luka, dibutuhkan

usaha yang terfokus pada pengertian mengenai fisiologi penyembuhan dan

perawatan luka dengan pedekatan terapeutik yang baru dan perkembangan

teknologi untuk manajemen luka akut dan jangka panjang (Velnar dkk., 2009).

Pengaruh luka ini di seluruh dunia terhadap sosial dan ekonomi sangat

besar akibat banyaknya kejadian luka secara umum dan frekuensinya meningkat

pada populasi tua. Selain luka yang akut, juga terdapat banyak luka kronik, luka

yang sulit sembuh akibat penyakit dan abnormalitas yang secara langsung maupun

tidak langsung menimbulkan kerusakan termasuk arteri, vena, ulkus diabetik dan

ulkus dekubitus. Prevalensi dari luka kronik ini bertambah dengan meningkatnya

usia. Luka kronik ini diperkirakan mengenai 120 per 100.000 orang yang berusia

antara 45 – 65 tahun dan meningkat menjadi 800 per 100.000 orang berusia lebih

dari 75 tahun. Lebih lanjut, karena komplikasi yang menyertai luka akut, dimana

proses penyembuhan tidak terjadi sebagaimana mestinya, maka luka tersebut akan

menjadi luka kronik, dimana manajemennya menjadi sulit (Velnar dkk., 2009).

Penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks dan dinamik dengan

tergantung status kesehatan masing-masing individu. Pengetahuan mengenai

proses penyembuhan luka normal melalui fase hemostasis, inflamasi, granulasi,

dan maturasi memberikan kerangka untuk mengerti mengenai prinsip dasar dari

penyembuhan luka (Orsted dkk., 2011).

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

34

2.3.1 Luka dan Respon terhadap Luka

Luka per definisi adalah kerusakan atau gangguan pada struktur anatomi

normal dan fungsinya. Luka ini dapat bervariasi dari kerusakan pada intergitas

epithelial kulit atau mengenai struktur yang lebih dalam, meluas ke jaringan

subkutan dengan kerusakan pada struktur yang lain seperti tendon, otot, pembuluh

darah, saraf, parenkim, bahkan tulang (Velnar dkk., 2009).

Luka dapat berasal dari proses patologik yang berasal dari eksternal atau

internal. Luka dapat terjadi secara tidak sengaja atau sengaja atau sebagai hasil

dari proses penyakit. Proses seperti perdarahan, koagulasi, respon inflamasi akut

terhadap cedera, regenerasi, migrasi, dan proliferasi dari jaringan ikat dan sel

parenkim, sintesis matriks protein ekstraseluler, remodeling dari parenkim yang

baru, jaringan penghubung, dan deposisi kolagen (Velnar dkk., 2009).

Terdapat empat respon terhadap cedera (Gambar 2.13), yang pertama

adalah perbaikan normal (normal repair) dimana terdapat keseimbangan antara

pembentukan parut dan remodeling dari parut. Ini merupakan respon umum

terhadap cedera. Yang kedua adalah excessive healing dimana terdapat deposisi

jaringan ikat yang menyebabkan perubahan struktur dan akhirnya fungsinya

menghilang. Contoh dari excessive healing adalah fibrosis, striktur, adhesi, dan

kontraktur. Yang ketiga adalah deficient healing dimana deposisi dari matriks

jaringan ikat tidak cukup dan jaringan yang terbentuk tidak kuat sehingga mudah

rusak. Contoh dari deficient healing adalah luka kronis. Yang keempat adalah

regenerasi. Regenerasi merupakan proses elegan yang terjadi karena adanya

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

35

struktur dan fungsi yang hilang tetapi masih mempunyai kemampuan untuk

menggantikan struktur yang rusak tersebut dengan struktur dan fungsi yang

sesuai sebelum terjadinya cedera (Diegelmann dan Evan, 2004).

Gambar 2.13 Empat respon terhadap cedera (Diegelmann dan Evan, 2004).

2.3.2 Klasifikasi Luka

Luka dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Berdasarkan

waktu penyembuhannya luka dapat diklasifikasikan menjadi luka akut dan kronik

(Velnar dkk., 2009).

Luka Akut

Luka akut adalah luka yang membaik dengan sendirinya dan melalui

proses penyembuhan normal dengan hasil akhirnya restorasi dari fungsi dan

struktur anatomi normal. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan bervariasi

dari 5–10 hari atau dalam 30 hari. Luka akut dapat terjadi secara acquired karena

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

36

proses trauma atau karena prosedur operasi. Dapat hanya mengenai jaringan lunak

saja atau mungkin berhubungan dengan fraktur tulang (Velnar dkk., 2009).

Luka Kronik

Luka kronik adalah luka dimana proses penyembuhannya tidak mengikuti

tahapan-tahapan penyembuhan normal dan tidak sesuai waktunya. Luka disebut

kronik bila terjadi keterlambatan dalam proses penyembuhannya sampai 12

minggu. Proses penyembuhan lukanya inkomplit dan terganggu oleh berbagai

faktor yang menyebabkan pemanjangan satu lebih fase penyembuhan luka baik

fase hemostasis, inflamasi, proliferasi, atau remodeling. Faktor-faktor yang

mempengaruhi antara lain infeksi, hipoksia jaringan, nekrosis, eksudat, dan kadar

sitokin inflamasi yang berlebih. Luka kronik juga terjadi karena naturopatik,

tekanan, insufisiensi arterial dan vena, luka bakar, dan vaskulitis (Velnar dkk.,

2009).

Luka dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologinya, tingkat kontaminasi,

morfologi, komunikasi dengan organ solid atau berongga. Klasifikasi luka

berdasarkan fakor penyebabnya antara lain kontusio, abrasi, avulsi, laserasi, luka

potong, luka tusuk, kecelakaan, luka tembak, dan luka bakar. Berdasarkan tingkat

kontaminasinya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : luka aseptic (operasi

tulang dan sendi), luka kontaminasi (operasi abdominal dan paru), Luka septik

(abses, operasi usus, dll). Luka juga dapat dibedakan menjadi luka tertutup bila

jaringan yang mengalami trauma masih tertutup oleh lapisan kulit, atau terbuka

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

37

bila tidak ada kulit yang menutup sehingga jaringan di dalamnya tampak (Velnar

dkk., 2009; Young dan Mcnaught, 2011).

2.3.3 Penyebab Luka

Luka dapat disebabkan oleh beberapa penyebab baik yang disengaja

maupun yang tidak disengaja. Tabel 2.1 menunjukkan beberapa penyebab yang

dapat menimbulkan kerusakan jaringan (Orsted dkk., 2011).

Tabel 2.1. Berbagai penyebab kerusakan jaringan

(Sumber Orsted dkk., 2011)

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

38

2.3.4 Proses Penyembuhan Luka

Luka dan proses penyembuhan luka terjadi pada semua jaringan dan organ

di seluruh tubuh. Meskipun proses penyembuhan luka ini merupakan proses yang

berkesinambungan, namun proses ini dibagi menjadi beberapa fase. Penyembuhan

luka merupakan proses yang kompleks termasuk interaksi yang terkoordinasi

antara sistem imunologik dan sistem biologik (Velnar dkk., 2009).

Beberapa bagian dari luka mungkin berada pada tahapan penyembuhan

yang berbeda pada suatu waktu. Waktu dan interaksi antara komponen-komponen

proses penyembuhan luka berbeda antara proses yang akut dan kronik (Velnar

dkk., 2009).

Terdapat empat fase dari proses penyembuhan luka yaitu : Fase koagulasi dan

hemostasis, Fase inflamasi, Fase proliferasi, dan Fase remodeling (Velnar dkk.,

2009; Orsted dkk., 2011).

Gambar 2.14 Fase penyembuhan luka (Nabavian dan Garner, 2002)

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

39

2.3.4.1 Fase Koagulasi dan Hemostasis

Respon awal terhadap cedera adalah untuk mencapai hemostasis melalui

vasokonstriksi dan aktivasi dari mekanisme clotting. Proses ini bertujuan untuk

menjaga sistem vaskular tetap intak sehingga fungsi dari organ vital tidak

terganggu meskipun mengalami cedera. Tujuan yang kedua merupakan tujuan

jangka panjang dimana akan dihasilkan matriks untuk penempelan sel yang

diperlukan pada fase selanjutnya dari penyembuhan. Proses ini dimulai segera

setelah terjadinya cedera (Nabavian dan Garner, 2002; Velnar dkk., 2009).

Pembentukan bekuan darah (clotting) mempunyai dua peranan yaitu untuk

memperbaiki intergritas vaskular dan untuk memulai proses penyembuhan luka.

Perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan pembentukan bekuan (clot) fibrin

merupakan langkah awal dalam pembentukan matriks ekstraselular. Dalam

kaitannya dengan proses hemostasis, thrombin dan fibrin berkontribusi dalam

proses penyembuhan luka. Trombin berkontribusi terhadap peningkatan

permeabilitas vaskular dan memfasilitasi migrasi dari mediator inflamasi. Selain

itu juga berperan pada epitelisasi dan angiogenesis (Nabavian dan Garner, 2002).

Fibronektin merupakan bahan utama untuk pembentukan matriks

ekstraselular yang terdeposit selama 24 jam setelah cedera. Fibronektin

menyebabkan adhesi dan migrasi dari sel inflamasi dan epithelial. Fibroblas, sel

endothelial, dan otot polos vaskular dapat mensekresi, mengikat, dan mengubah

fibronektin menjadi fibril pada matriks ekstraselular. Hubungan antara fibronektin

dengan bekuan fibrin menyebabkan adhesi fibroblas dan migrasi ke matriks

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

40

selular. Fibronektin berperan sebagai ligand untuk platelet integrin yang berperan

terhadap adhesi platelet dan agregasi platelet (Nabavian dan Garner, 2002).

Terdapat tiga mekanisme dalam pembentukan bekuan (clot) yaitu melalui

jalur intrinsik, ekstrinsik, melalui peranan dari platelet. Jalur intrinsic (Contact

Activation Pathway) dari kaskade pembekuan dimulai ketika adanya kerusakan

endothelial menyebabkan jaringan sub-endotelial akan terpapar darah, hal ini akan

mengaktifkan faktor XII (faktor Hageman). Aktifnya faktor XII ini akan

menyebabkan aktifnya kaskade pembekuan dengan hasil akhirnya adalah aktivasi

dari faktor X yang mengubah prototrombin menjadi thrombin yang kemudian

menyababkan perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan membentuk sumbatan

fibrin (fibrin plug) (Young dan Mcnaught , 2011).

Jalur ekstrinsik (Tissue Factor Pathway) dari kaskade pembekuan

dimulai ketika kerusakan endothelial menyebabkan faktor jaringan terpapar

terhadap sirkulasi darah. Hal ini menyebabkan aktivasi faktor VII dan kemudian

hasil akhirnya adalah aktivasi dari thrombin (Young dan Mcnaught , 2011).

Platelet merupakan modulator awal dari proses penyembuhan luka. Adanya

kolagen pada pembuluh darah yang terluka dan dermis menstimulasi agregasi

platelet dan degranulasi. Platelet berikatan dengan kolagen ekstravaskular dan

melepaskan Adenosin Diphospate (ADP), dimana hal ini akan menstimulasi

agregasi platelet lebih lanjut sehingga akan menghentikan perdarahan untuk

sementara. Agregasi platelet menyebabkan pelepasan sitokin dan faktor

pertumbuhan yang akan meregulasi kaskade penyembuhan. Lebih dari 300

molekul sudah diisolasi dari platelet yang aktif, dimana molekul-molekul tersebut

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

41

mempengaruhi dan memodulasi fungsi dari platelet, leukosit dan sel endothelial.

Cara kerja dari platelet-derived molecule dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah

(Nabavian, 2002, Young dan Mcnaught , 2011).

Tabel 2.2 Faktor-faktor Pertumbuhan pada proses penyembuhan luka

(Sumber (Young dan Mcnaught, 2011).

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

42

2.3.4.2 Fase Inflamasi

Secara klinis, fase inflamasi ini ditandai dengan adanya eritema,

pembengkakan, dan rasa hangat serta nyeri. Tanda inflamasi ini sering dikenal

dengan “rubor et tumor cum calore et dolore”. Fase ini berlangsung sampai 4 hari

setelah terjadinya cedera. Tujuan dari fase inflamasi ini adalah untuk memberikan

perlindungan imun terhadap invasi dari mikroorganisme sehingga tidak terjadi

infeksi pada luka (Velnar dkk., 2009; Orsted dkk., 2011; Young dan Mcnaught,

2011).

Fase inflamasi ini dibagi menjadi dua fase yaitu fase inflamatori awal dan

fase inflamatori lanjut (Velnar dkk., 2009). Fase inflamatori awal dimulai pada

akhir fase koagulasi dan segera setelah fase koagulasi selesai. Pada fase ini akan

terjadi aktivasi dari kaskade komplemen dan menginisiasi molekul yang

menyebabkan infiltrasi neutrofil ke tempat luka. Neutrofil ini akan tertarik ke

tempat terjadinya luka dalam waktu 24-36 jam setelah cedera. Migrasi dari

neutrofil dimediasi oleh berbagai mekanisme sinyal kimiawi termasuk kaskade

komplemen, aktivasi inteleukin, dan Transforming Growth Factor-β (TGF-β).

Proses ini dinamakan kemotaksis (Velnar dkk., 2009; Young dan Mcnaught,

2011).

Neutrofil ini mempunyai tiga mekanisme untuk menghancurkan debris dan

bakteri. Pertama, neutrophil secara langsung memakan dan menghancurkan

partikel asing. Proses ini dinamakan fagositosis. Kedua, neutrophil akan

mengalami degranulasi dan mengeluarkan berbagai substansi toksik (laktoferin,

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

43

protease, neutrophil elastase, dan cathepsin) dimana substansi ini akan

menghancurkan bakteri dan jaringan yang mati. Neutrofil juga memproduksi

kromatin dan protease yang akan menangkap dan membunuh bakteri di ruang

ekstraselular. Aktifitas neutrophil ini akan menghasilkan radikal bebas oksigen

dimana radikal bebas oksigen ini merupakan bakterisidal. Kombinasi antara

radikal bebas oksigen dengan klorin akan mensterilkan luka (Young dan

Mcnaught, 2011).

Aktifitas neutrophil akan berubah dalam beberapa hari, setelah bakteri

kontaminan sudah dihancurkan. Agar proses penyembuhan luka terus berlanjut,

maka neutrophil harus segera dieliminasi. Neutrofil akan mengalami proses

apoptosis yang kemudian akan difagositosis oleh makrofag (Velnar dkk., 2009;

Young dan Mcnaught, 2011).

Fase inflamatori lanjut terjadi 48-72 jam setelah cedera, dimana akan

dikeluarkan makrofag dan proses fagositosis terus berlanjut. Makrofag ini akan

menuju luka karena adanya agen-agen kemoatraktif termasuk faktor pembekuan,

komplemen, sitokin seperti PDGF, TGF-β, leukotriene B4, platelet factor IV,

elastin, produk pemecahan kolagen. Hal ini akan menstimulasi angiogenesis dan

pembentukan jaringan granulasi. Sel-sel yang berperan pada proses penyembuhan

luka dapat dilihat pada tabel 2.3 (Velnar dkk., 2009; Young dan Mcnaught,

2011).

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

44

Tabel 2.3 Sel yang berperan pada penyembuhan luka

(Sumber Young, dan Mcnaught 2011)

Sel terakhir yang menuju ke tempat luka adalah limfosit. Limfosit akan

menuju ke tempat luka 72 jam setelah cedera. Migrasi dari limfosit ini

dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1), komplemen, dan produk pemecahan Ig-G.

IL-1 ini mempunyai peran penting dalam regulasi kolagenase yang dibutuhkan

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

45

untuk remodeling kolagen, produksi dari komponen matriks ekstraselular, dan

degradasinya (Velnar dkk., 2009).

2.3.4.3 Fase Proliferasi

Fase proliferasi dimulai sekitar hari keempat setelah terjadinya luka dan

biasanya berlangsung sampai 21 hari pada luka akut, tergantung dari ukuran luka

dan status kesehatan penderita. Fase ini dimulai setelah hemostasis telah tercapai,

respon inflamasi telah seimbang, dan luka telah bebas dari debris. Pada fase ini

terjadi migrasi dari fibroblas dan pembentukan matriks ekstraselular yang baru.

Proses yang kompleks ini terdiri dari angiogenesis, pembentukan jaringan

granulasi, deposisi dari kolagen, epitelisasi dan retraksi luka, dimana proses

tersebut merupakan proses yang berkesinambungan (Velnar dkk., 2009; Orsted

dkk., 2011; Young dan Mcnaught, 2011).

Angiogenesis dan pembentukan jaringan granulasi

Angiogenesis dimulai sejak terbentuknya bekuan hemostatik oleh TGF-β

yang dihasilkan oleh platelet, platelet-derived growth factor (PDGF), dan

fibroblas growth factor (PGF). Vasculear endothelial growth factor (VEGF)

dihasilkan sebagai respon terhadap hipoksia, dimana kombinasi dari VEGF

dengan sitokin akan menginduksi sel endothelial untuk membentuk

neovaskularisasi dan memperbaiki pembuluh darah yang rusak (Young dan

Mcnaught, 2011).

Ada empat tahapan dari proses neovaskularisasi tersebut antara lain : (I)

produksi protease oleh sel endothelial, (II) kemotaksis, (III) proliferasi, (IV)

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

46

remodeling dan diferensiasi. PGF dan VEGF mempunyai peranan sentral dalam

memodulasi keempat proses tahapan tersebut (Velnar dkk., 2009).

Setelah proses angiogenesis tersebut selesai, maka akan terbentuk

pembuluh darah kapiler yang kaya akan vaskularisasi yang didapat dari pembuluh

darah yang normal. Pada awalnya kapiler yang dibentuk masih rapuh dan bersifat

permeabel sehingga mudah menimbulkan edema jaringan dan kemudian dibentuk

jaringan granulasi (Young dan Mcnaught, 2011).

Migrasi fibroblas dan sintesis kolagen

Fibroblas di jaringan sekitar akan mengalami proliferasi yang diakibatkan

oleh cedera. Fibroblas ini kemudian akan mengalami migrasi ke dalam luka.

Proses ini distimulasi oleh TGF-β dan PDGF yang dihasilkan oleh sel-sel

inflamasi dan platelet. Pada hari yang ketiga, luka akan banyak mengandung

fibroblas dan kemudian akan membentuk matriks protein hyaluronan, fibronectin,

proteoglikan, serta tipe1 dan tipe3 dari procollagen sehingga dihasilkan jaringan

fibrous yang berwarna merah muda dan mengandung pembuluh darah yang

kemudian akan terbentuk jaringan granulasi. Setelah matriks yang terbentuk sudah

cukup, maka fibroblas akan mengalami perubahan fenotipe menjadi miofibroblas

dan mempunyai pseudopodia. Adanya pseudopodia ini memudahkan miofibroblas

untuk berhubungan dengan protein fibronectin dan kolagen yang ada disekitarnya

dan membantu dalam kontraksi luka. Kolagen yang disintesis oleh fibroblas

merupakan komponen utama untuk penguatan jaringan (Velnar dkk., 2009; Young

dan Mcnaught, 2011).

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

47

Epitelisasi

Sel epitel melakukan migrasi dari sisi luka ke dalam luka dalam waktu

yang cepat (beberapa jam) sampai semua luka tertutup oleh sel epitel dan

kemudian berikatan dengan matriks yang ada di bawahnya. Proses epithelial-

mesenchymal transition (EMT) akan menambah motilitas sel epitel untuk migrasi

ke permukaan luka. Proses epitelisasi ini selesai dalam waktu 24 jam pada luka

yang menutup secara primer (Young dan Mcnaught, 2011).

Retraksi Luka

Luka mulai mengalami kontraksi dalam waktu tujuh hari setelah cedera

terjadi. Proses ini dimediasi oleh fibroblas. Interaksi antara aktin dan myosin akan

menarik sel saling mendekat dan mengurangi area yang diperlukan untuk

penyembuhan. Rerata kecepatan kontaksinya tergantung banyak faktor termasuk

ukuran luka, dimana luka yang berbentuk linear akan berkontraksi lebih cepat

sedangkan luka yang berbentuk sirkular lebih lambat. Gangguan pada proses ini

akan menimbulkan deformitas dan terjadi kontraktur (Young dan Mcnaught,

2011).

2.3.4.4 Fase Remodeling

Ini merupakan fase terakhir dari penyembuhan luka. Fase ini dapat

berlangsung sampai dua tahun atau lebih. Pada fase ini akan dihasilkan epitelium

yang baru dan maturasi dari jaringan parut. Fase ini bertujuan untuk

mempertahankan keseimbangan antara degradasi dan sintesis sehingga dihasilkan

penyembuhan yang normal. Meskipun demikian, luka tidak akan pernah mencapai

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

48

keadaan jaringan yang sama seperti sebelumnya, rerata dalam tiga bulan hanya

50% saja dari keadaan sebelumnya dan hanya 80% dalam waktu yang lebih lama

(Velnar dkk., 2009; Young dan Mcnaught, 2011).

Setelah luka sembuh, fibroblas dan makrofag akan mengalami apoptosis

kemudian pertumbuhan kapiler berhenti, aliran darah ke area luka dan aktifitas

metabolik akan menurun. Hasil akhirnya adalah jaringan parut matur yang

awalnya berwarna merah menjadi merah muda kemudian menjadi kelabu

(Velnardkk., 2009; Young dan Mcnaught, 2011).

Tabel 2.4 Empat fase penyembuhan luka

(Sumber Orsted dkk., 2011)

2.3.5 Jalur Sistem Signal TGF-β

Pelepasan TGF-β1 pada fase awal proses penyembuhan luka dengan cepat

merekrut sel inflamasi ke daerah luka, kemudian terlibat dalam umpan balik

negatif melalui pelepasan superoxide dari makrofag. Selain itu TGF-β1

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

49

meningkatkan kemampuan angiogenetik sel progenitor endotelial untuk

memfasilitasi suplai darah ke lokasi cedera dan menstimulasi kontraksi fibroblas

untuk memungkinkan penutupan luka. TGF-β2 serupa dengan TGF-β1 dalam

perekrutan fibroblas dan sel imun dari sirkulasi dan tepi luka ke area luka. TGF-

β2 diperlukan untuk ekspresi dan pengaturan kolagen dan komponen ECM

lainnya selama proses penyembuhan luka. Sementara TGF-β3 memiliki peranan

yang berbeda dalam proses penyembuhan luka bila dibandingkan dengan TGF-β1

dan 2. TGF-β3 memiliki efek antagonis terhadap TGF-β1 dalam pembentukan

jaringan parut (Pakyari dkk., 2013).

Jalur TGF-β mempunyai fungsi yang berbeda beda terhadap kehidupan

sel karena jalur ini dapat mengaktifkan Bone Morphogenetic Protein (BMP),

aktivin, dan inhibin yang efeknya berbeda beda. Pada hewan mamalia, TGF-β1

merupakan TGF yang paling banyak ditemukan dan karena itu TGF inilah yang

umum disebut TGF-β. TGF-β1 merupakan protein homodimer yang dihasilkan

oleh berbagai jenis sel seperti platelet, endotel, limfosit, dan makrofag. TGF

disintesis sebagai prekursor protein yang inaktif yang kemudian diaktifkan

melalui proses proteolisis oleh enzim proteolitik. TGF- β yang aktif berikatan

dengan reseptornya pada permukaan sel. Reseptor TGF-β mempunyai aktifitas

enzim serine/threonin kinase yang memicu fosforilasi faktor transkripsi yang

dikenal dengan nama Smads yang terdiri atas beberapa bentuk ( Smad 1, 2, 3, 5,

dan 8). Smad yang terfosforilasi kemudian membentuk heterodimer dengan Smad

4 yang memasuki inti sel dan berikatan dengan DNA pada regio promoter dari

beberapa gen. Ikatan ini kemudian memicu aktivasi dan hambatan proses

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

50

transkripsi berbagai gen. Efek dari transkripsi tersebut sering berlawanan satu

sama lainnya bergantung pada jaringan, sel dan jenis kerusakan sel akibat luka.

Karena berbagai efeknya yang berbeda beda dan seringkali berlawanan ini, TGF-β

disebuit efek pleiotropik (Astawa, 2016).

TGF-β merupakan faktor penghambat pertumbuhan pada kebanyakan sel

epitel dengan cara menghambat siklus sel. Penghambatan siklus sel dilakukan

dengan memicu ekspresi penghambat siklus seperti Cip/Kip dan INK4/ARF.

Namun efek TGF-β pada sel mesenkim bergantung pada kondisi lingkungan sel.

Pada sel fibroblas, TGF-β memicu proliferasi dengan mengaktifkan CTGF. Efek

inilah yang sering memicu fibrosis pada organ yang mengalami proses inflamasi

kronis seperti ginjal dan hati (Astawa, 2016).

Molekul TGF-β terdiri atas tiga isoform (TGF-β1, β2, dan β3) yang

disandi oleh tiga gen yang berbeda. TGF-β1 merupakan isoform yang paling

banyak ditemukan dan hampir diekspresikan oleh semua jenis sel dalam bentuk

kompleks laten besar yang inaktif yang tidak dapat berikatan dengan reseptornya

pada permukaan sel target. Untuk dapat menjadi aktif, kompleks laten besar dari

TGF-β harus diubah menjadi aktif. Molekul yang dapat mengaktifkan TGF-β

adalah protease plasmin, metalloproteinase-2 (MMP-2) dan MMP-9.

Thrombospondin -1 (TSP-1) merupakan salah satu aktivator kunci dari TGF-β

dengan menguraikan interaksi nonkovalen dari latency-associated peptide (LAP)

dan molekul TGF-β dalam kompleks laten besar. ROS juga dapat menginduksi

aktivasi TGF-β (Astawa, 2016).

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

51

Gambar 2.15 Sistem signal TGF-β yang tergantung dan tidak tergantung pada

protein Smad (Astawa, 2016).

TGF-β menstransduksi signal setelah berikatan reseptornya pada

membrane sel. Reseptor TGF-β merupakan gabungan dari 2 tipe reseptor

transmembran serine/threonin yaitu TGF receptor (TGFR) tipe 1 dan tipe 2.

Ikatan tersebut memicu aktivasi reseptor yang kemudian meneruskan signal

melalui protein Smad ke inti sel. Ikatan TGF-β dengan reseptornya memicu

autofosforilasi dan aktivasi domain intrasel dari reseptor Activin-receptor-like

kinase (ALK)5 dan ALK1. Selain melalui protein Smad, TGF-β juga

mengaktifkan sistem signal yang lain, yaitu extracellular signal-regulated kinase

(ERK), c-Jun-N-terminal kinase (JNK), TGF-β-activated kinase (TAK1), Abelson

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

52

nonreceptor tyrosine kinase (c-Abl) dan p38 mitogen-activated protein kinase

(MAPK).

TGF-β yang berikatan dengan reseptor serine/threonine kinase (tipe 1 dan

2) pada membrane sel memicu transfosforilasi segmen GS dari reseptor tipe I oleh

tipe II. Reseptor II yang teraktivasi memfosforilasi Smad tertentu. Smad yang

teraktivasi membentuk kompleks dengan Smad 4 dan kompleks tersebut

bermigrasi ke inti sel untuk mengatur transkripsi gen target. Protein Smad lainnya,

yaitu Smad 6 dan 7, menghambat proses sistem signal TGF-β. Selain itu, system

signal TGF-β lainnya yang tidak tergantung pada protein Smad mengaktifkan

protein extracellular signal regulated kinase (ERK), JNK, p38 mitogen-activated

protein kinase (p38-MAPK), Protein Phospatase 2A (PPA2) dan RHO-associated

protein kinase (RhoA) (Astawa, 2016).

Selama fase proliferatif berlangsung, TGF-ß yang dilepaskan oleh platelet,

makrofag dan limfosit T merupakan sinyal yang sangat penting. TGF-ß diyakini

sebagai regulator fungsi fibroblas pada host. TGF-β merupakan kelompok sitokin

pluripoten yang terdiri dari tiga isoform meliputi TGF-β1, TGF-β2, TGF-β3.

Ketiga isoform ini disekresikan dalam bentuk laten dan diaktivasi melalui

proteolisis untuk melepas TGF-β matur. TGF-β bekerja secara autokrin dan

parakrin yang kemudian berikatan dengan reseptor pada membran sel. Reseptor

TGF-β terdiri dari dua glikoprotein transmembran yang terpisah bernama TGF-

1RI dan TGF-jRII; suatu reseptor tirosin kinase. Fosforilasi reseptor memicu jalur

pensinyalan yang melibatkan protein Smads. Target akhir dari kaskade ini adalah

ekspresi gen target. Modulasi ekspresi gen target, menimbulkan tiga efek penting

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

53

dalam deposisi matriks ekstraseluler. Pertama, meningkatkan transkripsi gen

kolagen, proteoglikan dan fibronektin sehingga meningkatkan produksi protein

matriks. Pada saat yang sama TGF-ß menekan sekresi protease yang bertanggung

jawab dalam degradasi matriks, serta menstimulasi protease inhibitor; inhibitor

jaringan untuk metaloprotease. Ekspresi TGF-ß mengalami penurunan selama fase

remodeling (Xiao-Jing dkk., 2006; Penn, 2012).

2.4 Berbagai Macam Jenis Mesh

Penggunaan mesh menjadi sangat penting dalam memperbaiki semua

hernia inguinal, ventral atau insisional. Tingkat kekambuhan secara konsisten

lebih rendah dengan penggunaan mesh dan berbagai jenis mesh telah

dikembangkan untuk tujuan tersebut. Prostesis yang digunakan untuk perbaikan

hernia dapat berupa bahan yang tidak dapat diserap, komposit (kombinasi dari

serat yang dapat diserap dan tidak dapat diserap) atau berupa barrier yang mudah

diserap atau yang tidak dapat diserap.

Tiga bahan prostesis dan berbagai kombinasi yang paling sering

digunakan saat ini untuk memperbaiki hernia adalah polypropylene, polyester dan

ePTFE.

1. Polypropylene mesh paling banyak digunakan selama 20 tahun terakhir karena

stabilitas, kekuatan, inertensi dan kualitas penanganannya. Sudah teruji waktu.

Mesh ini terbuat dari serat polypropylene yang tersusun dalam jaringan dengan

pori-pori dengan ukuran yang berbeda. Produk ini berbeda dengan produsen yang

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

54

berbeda mengenai ukuran bahan monofilamen, ukuran pori-pori, ketebalan,

kelenturan dan susutnya. Mereka dikenal sebagai Marlex (Davol Inc, Cranston,

AS), PROLENE (Johnson dan Johnson, India), PROLENE Soft (Johnson dan

Johnson, India) dan Surgipro - multifilament (Tyco Healthcare, USA). Mesh

monofilamen lebih disukai karena cenderung tidak menimbulkan infeksi.

2. Polyester Mesh (Dacron, MERSILENE [Johnson dan Johnson, India]) tidak

terlalu populer dengan ahli bedah laparoskopi meskipun mereka banyak

digunakan di Prancis dan digunakan untuk perbaikan hernia dengan teknik

Stoppa.

3. Jaring PTFE halus, lembut dan kuat. Mereka memungkinkan pertumbuhan

jaringan yang baik tetapi harganya lebih mahal.

Dua jenis pertama mesh nonabsorbable ideal digunakan di mana mereka

tidak bersentuhan dengan viscera perut, yaitu untuk laparoskopi hernia inguinalis

yaitu transabdominal preperitoneal (TAPP) repair dan totally extraperitoneal

(TEP) repair. Meskipun beberapa ahli bedah menggunakannya sebagai

penempatan intra-abdomen untuk memperbaiki hernia ventral dan insisi, hal ini

tidak dianjurkan karena laporan literatur tentang komplikasi adhesi usus, obstruksi

usus, fistulisasi dan erosi ke dalam kulit perut bahkan setelah bertahun-tahun.

Kemajuan teknologi terbaru kini telah menyediakan bahan buatan yang mencegah

adhesi usus (Doctor, 2006).

2.4.1 Mesh Komposit Ringan tanpa barrier (Lightweight composite meshes

without barrier)

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

55

VYPRO II dan ULTRAPRO (Johnson dan Johnson, India) adalah mesh

yang dirancang khusus untuk memperkuat jaringan lemah untuk memperbaiki

hernia inguinalis terbuka dan juga pada laparaskopi TAPP atau TEP. Mereka

terdiri dari filamen tipis VICRYL dan PROLENE (Johnson dan Johnson, India)

atau MONOCRYL (Johnson dan Johnson, India) dan PROLENE (Johnson dan

Johnson, India). Filamen ini dipelintir bersama dan kemudian dirajut untuk

membentuk struktur mesh yang dibutuhkan. Mereka sebagian dapat diserap

karena mereka memiliki 50% VICRYL atau MONOCRYL. Mereka memiliki

makropor, ukuran pori 4,5 mm dan ini menginduksi jaringan yang lebih baik dari

jaringan serat kolagen tiga dimensi yang kuat. Konstruksi ini menghasilkan

hampir 70% pengurangan benda asing yang ditanamkan dan menghasilkan 'scar-

mesh' yang bertentangan dengan 'scar-plate'. Mesh ini cukup memberi kekuatan

pada jaringan dan memungkinkan mobilitas optimal ke dinding perut.

Gambar 2. 16 Ukuran pori dan jaringan parut pada mesh komposit

ringan (Doctor, 2006).

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

56

Perbaikan hernia ventral dan insisional saat ini dilakukan dengan operasi

akses minimal daripada teknik terbuka konvensional. Untuk mencapai perbaikan

ini, penempatan mesh intraperitoneal membutuhkan bahan yang memiliki

pertumbuhan tinggi ke arah dinding perut dan nonadhesiveness di sisi lain untuk

mencegah adhesi usus.

Dalam upaya untuk menghindari atau meminimalkan kemungkinan efek

merugikan dari mesh makroporous bila ditempatkan intraperitoneal, mesh

komposit dengan barrier yang dapat diserap dan tidak dapat diserap direkayasa.

Dalam semua mesh komposit ini, lapisan yang menghadap rongga perut mencegah

adhesi dengan usus sementara lapisan yang bersentuhan dengan dinding perut

mendorong jaringan tinggi dalam pertumbuhan berupa polyester, polypropylene

atau ePTFE (Doctor, 2006).

2.4.2 Mesh Komposit dengan barrier yang diserap (Absorbable barrier

composite meshes)

Sepramesh Biosurgical composite (Genzyme Biosurgery, Cambridge,

USA) adalah biomaterial prostetik komponen ganda yang terdiri dari

polypropylene makroporous di satu sisi, dengan membran bioreabsorbable

nonimunogenik natrium hyaluronate dan karboksimetil selulosa di sisi lain.

Seprafilm dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap pembentukan

adhesi intra-abdomen selama periode kritis remesotelisasi selama minggu pertama

pasca operasi. Barrier yang diserap berubah menjadi gel dalam 48 jam, tetap tetap

berada di jala selama 7 hari dan dibersihkan dari tubuh dalam 28 hari. Bahan

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

57

antiadhesive ini membentuk barrier fisik pada permukaan yang rusak untuk

mencegah penempelan atau mengurangi viskositas antara jaringan sekitarnya.

Barrer fisik harus member kesempatan jaringan yang luka untuk sembuh secara

terpisah satu sama lain. Selain itu, natrium hyaluronate dan karboksimetil selulosa

adalah polisakarida anionik yang membentuk membran yang bermuatan negatif,

properti molekuler yang mendorong pemisahan jaringan selama penyembuhan.

Komposit Parietex (Sofradim, Perancis) terdiri dari mesh polyester

multifilamen dengan lapisan atelocollagen tipe I yang dimurnikan dan dioksidasi

yang dilapisi oleh film antiadhesi polietilen glikol dan gliserol. Polietilen glikol

adalah hidrogel yang menurunkan kemampuan penempelan jaringan dan gliserol

adalah lipid hidrofobik. Lapisan kolagen berfungsi untuk meningkatkan

pertumbuhan kolagen dengan meningkatkan hidrofilisitas mesh polyester dan

menurunkan reaksi jaringan fibrosa pada material 'asing' (mesh). Film kolagen,

polietilen glikol dan gliserol diserap dalam 3 minggu. Mesh parientene composite

terdiri dari barrer antiadhesive yang sama namun dilapisi dengan polypropylene.

PROCEED Surgical Mesh (Johnson dan Johnson, India) adalah mesh

steril berlapis, tipis, fleksibel terdiri dari lapisan oxidized regenerated cellulose

(ORC); dan PROLENE soft mesh, mesh polypropylene nonabsorbable yang

dienkapsulasi oleh polimer polydioxanne. Sisi polypropylene dari produk tersebut

memungkinkan pertumbuhan jaringan, sedangkan sisi ORC menyediakan lapisan

bioresorbable yang secara fisik memisahkan mesh polypropylene dari permukaan

jaringan dan organ yang mendasar selama periode penyembuhan luka untuk

meminimalkan keterikatan jaringan pada mesh. Polydioxanone memberikan

Page 46: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

58

ikatan pada lapisan ORC. Mesh ini memiliki konstruksi mesh makroporous

ringan, risiko minimal sisa benda asing, memungkinkan cairan mengalir dengan

mudah dan tidak mengandung bakteri (Doctor, 2006).

Gambar 2. 17 Lapisan “Multilayered structure” pada PROCEED surgical mesh

(Doctor, 2006).

2.4.3 Mesh Komposit dengan barrier yang tidak diserap (Nonabsorbable

barrier composite meshes)

Bard composix mesh (Davol Inc, Cranston, USA) adalah kombinasi

polypropylene yang memiliki lapisan tipis ePTFE di satu sisi untuk mencegah

adhesi usus. Introduksi melalui port laparoskopi sulit dilakukan karena tidak bisa

memampatkan mesh dan karenanya membutuhkan port yang lebih besar (12 mm)

untuk introduksi.

Material Gore-Tex Dual mesh (W. L. Gore, USA) memiliki dua

permukaan; satu sangat halus (micropores 3 mm) dan yang lainnya kasar

(micropores sekitar 22 mm). Ini dirancang untuk ditanamkan dengan permukaan

halus terhadap organ viseral - jaringan yang tidak memerlukan adhesi minimal

Page 47: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

59

atau minimal - dan permukaan lainnya yang sesuai dengan penggabungan jaringan

yang diinginkan. Dual mesh hadir dalam dua pilihan: pertama adalah lembaran

padat dan yang lainnya berlubang untuk memungkinkan penggabungan jaringan

lebih besar. Sebuah inovasi baru saat ini adalah penggabungan perak dan

klorheksidin ke dalam ePTFE. Hal ini menghasilkan tindakan antimikroba yang

signifikan (Doctor, 2006).

Penggunaan barrier baru yang mudah diserap dan tidak dapat diserap

pada mesh komposit mengurangi kejadian adhesi dan komplikasi terkait adhesi

telah dievaluasi pada model hewan dan beberapa studi klinis telah dilaporkan.

Insiden adhesi berkurang untuk semua mesh dengan barrier dibandingkan dengan

mesh polyester macroporous.

Perkembangan biomaterial prostetik baru dengan penambahan barrier

yang dapat diserap dan tidak dapat diserap untuk pencegahan adhesi setelah

penempatan mesh intra-abdomen selama perbaikan hernia terbuka dan

laparoskopi merupakan kemajuan signifikan dalam pengelolaan hernia ventral dan

insisional. Tindak lanjut jangka panjang sangat diharapkan untuk menentukan

apakah Komposit Sepramesh, Komposit Parietex, Komposit Parientene,

PROCEED, Bard Composix dan Gore-Tex Dual mesh akan mengurangi kejadian

komplikasi terkait mesh dibandingkan dengan mesh macroporus nonbarrier

(Doctor, 2006).

Page 48: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

60

2.5 Penggunaan Anti Adhesi Barrier pada tindakan DC

Penggunaan Polytetrafluoroethylene (PTPE) pada pasien dengan DC

untuk mencegah epidural fibrosis. Dari 52 pasien DC sejak tahun 1998, 23 pasien

dilakukan pemasangan PTPE di antara duramater dan galea tanpa dijahit. Pada

saat Cranioplasty, tidak ditemukan adhesi formasi/ perlengketan pada semua 23

pasien. Cranioplasty dilakukan antara 34-130 hari, rata-rata 70 hari. Pada 29

pasien tanpa PTPE saat diseksi hati-hati didapatkan rata-rata waktu operasi 79,66

±18,9 menit, jumlah darah 92,41±37 ml. 2 kasus mengalami cedera dura saat

diseksi. Pada 23 pasien dengan PTPE, Cranioplasty lebih mudah karena adanya

PTPE memudahkan memisahkan jaringan subkutis dari duramater dan tidak ada

perlengketan. Lama operasi 60,43±24,3 menit, dengan jumlah darah 58,04±27,8

ml. tidak ada cedera pada duramater. Perbedaan lama operasi dan jumlah darah

diantara kedua grup berbeda bermakna. (Vakis dkk., 2006).

Seperti diketahui masalah selama Cranioplasty setelah DC adalah

terjadinya perlengketan/adhesi antara jaringan lunak terutama duramater dengan

otot temporal dan galea. Perlengketan / formasi adhesi ini dapat menimbulkan

masalah sulitnya diseksi /memisahkan jaringan sehingga waktu operasi lebih lama

dan resiko perforasi duramater menjadi lebih besar. Selain itu pada adhesi lebih

banyak jaringan lunak yang ditinggalkan di bawah flap tulang, menyebabkan

jaringan yang menutup flap tulang kurang jaringan sehingga kosmetik kurang

baik. Untuk mencegah atau mengurangi fibrosis berbagai metode sudah

digunakan seperti PTPE atau non absorbable membrane yang lain untuk berbagai

macam operasi seperti operasi spinal dan cardiovaskuler.

Page 49: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

61

Selain PTPE, digunakan silicon sheet, dari 16 pasien yang dilakukan, tidak

ada hematoma, 1 mengalami infeksi, 2 hidrosefalus. Keuntungan anti adhesi

adalah: mengurangi diseksi saat reoperasi, resiko cedera parenkim berkurang

sehingga menurunkan resiko kejang, menurunkan kerusakan otot dan

neurovascular supply, meningkatkan hasil kosmetik dan menurunkan nyeri pasca

operasi, mengurangi waktu operasi, mengurangi biaya dan menurunkan

komplikasi. Kekurangnannya adalah: infeksi pasca operasi (Bulters dkk., 2010).

Otot, flap galea kontak langsung dengan duramater atau implant atau

kortek, dimana mudah terjadi adhesi. Pada saat cranioplasty, otot temporal

dipisahkan dari duramater, kadang-kadang sangat sulit dan perlu waktu lama,

resiko terjadi efusi cairan CSF dengan potensial terjadi komplikasi pasca operasi.

Bermacam material dicoba untuk mengurangi adhesi antara flap otot-galea dengan

duramater. Disini digunakan collagen matrix (Duragen). Hasilnya: pada saat

cranioplasty 27% (4 pasien) mengalami komplikasi robekan duramater dan

kebocoran CSF pada 2 pasien (13%) dimana setelah 1 minggu kebocoran

menghilang. Pada grup kontrol didapatkan robekan duramater pada 8 pasien

(67%) dengan kebocoran CSF sebanyak 7 pasien (58%), setelah 1 minggu

subgaleal CSF 33% (4 pasien) yang menghilang setelah 8 minggu (Horaczek dkk.,

2008).

Penggunaan Seprafilm untuk substitusi duramater dan anti adhesi barrier

untuk mencegah perlengketan operasi Cranioplasty. Presentasi 3 kasus, ini

merupakan laporan pertama kali penggunaan Seprafilm untuk prosedur kranial

dalam bahasa Inggris. Seprafilm adalah modifikasi kimia Sodium Hyaluronate

Page 50: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 (T BI) Traumatic Brain Injury (T ... · Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (H oneybul, 2012) 2.2.2 Indikasi DC Indikasi primer DC yaitu peningkatan

62

dengan Carboxymethylcellulose; sebagai absorbable adhesion barrier untuk

mengurangi risiko adhesi pada operasi abdominopelvic. Seprafilm lebih baik

daripada Gorotex (Mumert dkk., 2012).

Kegunaan silicone sheet/elastomere untuk mencegah fibrosis epidural

pada DC dengan mengevaluasi formasi adhesi, lama operasi, dan jumlah

perdarahan saat cranioplasty. DC standar berhubungan dengan adhesi duramater

pada operasi cranioplasty berikutnya, waktu operasi lebih lama, kehilangan darah

lebih banyak dan cedera pada duramater. Untuk mencegah komplikasi ini,

beberapa tehnik telah dicoba, contohnya penggunaan PTPE dural substitusi untuk

mencegah adhesi duramater pada cranioplasty setelah DC pada pembengkakan

otak pertama kali dilakukan oleh Kawaguci dkk pada 10 pasien SAH karena

aneurysma ruptur dengan hasil yang baik (Lee dkk., 2007).

Penggunaan artificial dural untuk mencegah peridural fibrosis, diteliti

oleh Huang, 2011 fokus pada Neuropatch (B Braun) suatu non absorbable

substitusi dura yang sering digunakan oleh Bedah Saraf. Sebagai kesimpulan,

penggunaan Neuro-Patch sebagai bahan anti adhesi pada DC untuk TBI tidak

meningkatkan kejadian infeksi local lapangan operasi dan komplikasi

hidrodinamik setelah kraniektomi atau cranioplasty. Namun, hematoma ekstra

aksial setelah kraniektomi lebih sering pada penderita Neuro-Patch. Meskipun

Neuro-Patch efisien dalam memfasilitasi cranioplasty berikutnya, sangat penting

untuk meminimalkan kehilangan darah, menghentikan perdarahan, dan gunakan

saluran pembuangan (drain) pada DC untuk mencegah morbiditas hemoragik

(Huang dkk., 2011).


Related Documents