13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Traumatic Brain Injury (TBI)
Traumatic Brain Injury (TBI) adalah cedera otak akut akibat energi
mekanik terhadap kepala dari kekuatan eksternal. Identifikasi klinis TBI meliputi
satu atau lebih kriteria berikut: bingung atau disorientasi, kehilangan kesadaran,
amnesia pasca trauma, atau abnormalitas neurologi lain (tanda fokal neurologis,
kejang, lesi intrakranial).
Klasifikasi Derajat Keparahan TBI berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS)
Berdasarkan derajat keparahannya dapat dibagi menjadi : Ringan dengan
GCS 13-15, durasi amnesia pasca trauma <24 jam; Sedang dengan GCS 9-12,
durasi amnesia pasca trauma 1- 6 hari; dan Berat dengan GCS 3-8, durasi amnesia
pasca trauma 7 hari atau lebih (Young dan Mcnaught, 2011).
Tanda dan Gejala TBI
Gejala TBI ringan dapat berupa sakit kepala; bingung; penglihatan kabur;
rasa berdengung di telinga; pengecapan berubah; lemah; perubahan pola tidur,
perilaku atau emosi; gangguan memori, konsentrasi, perhatian, maupun proses
pikir. Sedangkan pada TBI derajat sedang dan berat gejala tersebut tetap dapat
ditemukan, namun sakit kepala yang dirasakan bertambah berat atau menetap;
mual dan muntah berulang; kejang; dilatasi pupil; kelemahan ekstremitas; agitasi;
serta kejang (Naughton dkk., 2006).
14
Tipe - tipe Traumatic Brain Injury
1. Concussion yaitu cedera minor terhadap otak, penurunan kesadaran dengan
durasi yang sangat singkat pasca trauma kepala.
2. Fraktur depressed tulang kepala terjadi ketika bagian tulang kepala yang patah
atau retak menekan ke dalam jaringan otak.
3. Fraktur penetrating tulang kepala terjadi apabila terdapat benda yang
menembus tulang kepala (contoh: peluru) menyebabkan cedera lokal dan
terpisah pada jaringan otak.
4. Contusion, memar pada otak akibat fraktur tulang kepala. Kontusio dapat
berupa regio jaringan otak yang mengalami pembengkakan dan bercampur
darah yang berasal dari pembuluh darah yang rusak. Hal ini juga dapat
disebabkan oleh guncangan pada otak ke depan dan belakang (contrecoup
injury) yang sering terjadi saat kecelakaan lalu lintas.
5. Diffuse axonal injury atau shearing melibatkan kerusakan pada sel saraf dan
hilangnya hubungan antar neuron. Sehingga mampu menyebabkan kerusakan
seluruh komunikasi antar neuron di otak.
6. Hematoma, kerusakan pembuluh darah pada kepala. Tipe - tipe hematoma
yaitu (1) Epidural hematoma (EDH), perdarahan di antara tulang kepala dan
dura; (2) Subduralhematoma (SDH), perdarahan di antara dura dan membran
araknoid; dan (3) Intracerebral hematoma (ICH), perdarahan di dalam otak
(Beeker dkk., 2002).
15
2. 2 Decompressive Craniectomy dan Cranioplasty
Tujuan primer terapi adalah untuk mempertahankan aliran darah serebri
yang adekuat (diestimasi dari CPP = MAP-TIK, MAP = 1/3 tekanan sistolik + 2/3
tekanan diastolik) (Castillo dkk., 2008). Penghilangan operatif bagian kalvaria
untuk membentuk jendela pada atap tengkorak adalah intervensi yang paling
radikal untuk hipertensi intrakranial. DC telah digunakan untuk menangani
hipertensi kranial sekunder yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan
akibat trauma, infark cerebri, subarachnoid hemorrhage (SAH), maupun
perdarahan spontan. Edema otak pasca trauma yang menyebabkan hipertensi
intrakranial merupakan faktor prognosis terpenting pada pasien yang mengalami
cedera otak (Castillo dkk., 2008).
Edema otak malignan merupakan kondisi progresif serta edema cerebri
diffuse berat yang menyebabkan deteriorasi klinis yang cepat dan tidak respon
terhadap penanganan secara agresif. Hal ini sering dilihat pada pasien dengan
cedera kepala berat tipe III, aneurisma SAH, dan infark otak massif (Wani dkk.,
2009). Manifestasi klinis pasien ini yaitu sindrom hemisphere berat yakni
hemiplegi, deviasi mata dan kepala, dan penurunan kesadaran dalam 48 jam.
Pada CT Scan, kompresi ventrikel, obliterasi sisterna basalis, hilangnya pola
gyrus normal, dan diferensiasi materi alba dengan grasia yang buruk dapat
terlihat. Kematian terjadi akibat herniasi ketika TIK meningkat dan kapasitas
penyesuaian dengan pergeseran cairan dari cairan serebrospinalis dan
kompartemen vaskular telah mencapai maksimal (Wani dkk., 2009).
16
Peningkatan TIK sekunder sering ditemukan 3-10 hari setelah trauma,
disebabkan oleh pembentukan hematom yang tertunda (SDH dan traumatic
hemorrhage contusion) yang memerlukan evakuasi segera. Faktor lain yang
berkontribusi misalnya vasospasme cerebri, hipoventilasi, dan hiponatremi (Wani
dkk., 2009).
American Brain Trauma Foundation menyatakan untuk lesi intraparenkim
akibat trauma, tehnik dekompresif dipertimbangkan sebagai pilihan saat TIK
meningkat secara refraktori dan terdapat tanda radiologis (CT scan) herniasi
cerebri. DC bifrontal dipilih apabila lesi diffuse dan TIK meningkat secara
refraktori tanpa herniasi cerebri pada CT scan jika operasi dilakukan dalam 48
jam pertama. Namun, hasil ini masih kontroversi (Balan dkk., 2010). Di antara
banyak masalah yang timbul sebagai akibat TBI, hipertensi intrakranial (IHT)
merupakan penyebab utama komplikasi dan kematian. Salah satu upaya untuk
mengendalikan TIK pada pasien dengan TBI adalah dengan melakukan tindakan
DC (Alvis dkk., 2013). Studi yang sama pada anak menyebutkan DC pada anak
dengan TIK refraktori memberi hasil neurologis lebih baik, lama rawat lebih
singkat, TIK lebih terkontrol baik. Akan tetapi, karena keterbatasan jumlah
pasien yang diikutsertakan dalam studi ini, data ini masih belum signifikan secara
statistik (Balan dkk., 2010).
Pada 10-15% kasus hipertensi intrakranial disebabkan oleh CKB yang
dilaporkan tidak berespon terhadap pengobatan konvensional atau medikal. Pada
kasus ini, DC menawarkan kemampuan penanganan life-saving pengurangan
tekanan intrakranial. DC adalah standar pengobatan bedah untuk edema serebral
17
maligna dan herniasi otak yang terjadi karena infark serebri, perdarahan intra
kranial, dan CKB. Pasien dengan Skor GCS 8 ke bawah yang mempunyai lesi
yang luas pada gambaran CT Scan tanpa kontras adalah kandidat untuk evakuasi
surgical. Pembedahan harus dilakukan apabila status neurologis pasien memburuk
(Coralo dkk., 2015).
DC dilakukan untuk peningkatan TIK yang intractable setelah TBI atau
perdarahan. Walaupun sangat meningkatkan keuntungan/manfaat DC, namun
belum ada standar guidelines untuk melakukan DC. Banyak pilihan seperti hing
craniotomies dimana flap tulang di gantung di kranium, yang penting adalah
ukuran tulang yang dihilangkan. Kontroversi lainnya adalah tentang perlu dibuka
atau tidaknya duramater (Guresis dkk., 2011).
DC secara umum penting untuk pasien dengan peningkatan TIK yang
persisten dan adanya pergeseran garis tengah pada pasien TBI. DC adalah langkah
pertama dari dua langkah prosedur, dimana pasien yang selamat akan diperbaiki
defek tulangnya dengan tulang original atau implant prostetik. Risiko DC tidak
hanya terbatas pada operasi awal, tetapi juga bisa terjadi pada saat operasi
Cranioplasty yang kedua. Risiko saat cranioplasty seperti cedera pada kortek,
infeksi, CSF Fistula, Epidural hematoma atau Subdural hematoma, dan Intra
serebral hematoma. Hal ini disebabkan kesulitan pada saaat diseksi jaringan lunak
untuk mengekspos dan preparasi defek kranialnya. Dan signifikan berat pada
pasien dengan fibrosis atau perlengketan antara permukaan otak dengan galea
aponeuritika dan otot temporalis (Oladunjuve dkk., 2013).
18
2.2.1 Fisiologi Decompressive Craniectomy
Ilmuwan ternama, Monroe, menyatakan bahwa kranial merupakan ‘kotak
kaku’ yang diisi oleh ‘otak yang hampir tidak dapat dikompresi’ dan volume
totalnya cenderung tetap konstan (Farahvar dkk., 2012). Tulang kepala pada
dewasa normal menutupi total volume 1475 ml meliputi 1300 ml otak, 65 ml
cairan serebrospinal, dan 110 ml darah. Sehingga, setiap peningkatan volume
elemen-elemen dalam kranial (otak, darah, atau cairan serebrospinal), akan
menyebabkan peningkatan TIK pula. Terlebih lagi, apabila salah satu dari ketiga
elemen tersebut mengalami peningkatan volume, TIK terjadi dengan
mengorbankan volume kedua elemen lain. Ilmuwan lain, Kellie, mengkonfirmasi
pernyataan Monroe. Ketika otak mengalami cedera dan mulai mengembang atau
terdapat lesi seperti intracerebral hematom, terjadi kompensasi yang
mengorbankan volume darah dan cairan serebrospinal. Apabila otak secara
progresif membengkak atau ukuran lesi bertambah luas, mekanisme kompensasi
akan mengalami ‘kelelahan’, sehingga sedikit saja penambahan volume kranial
akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang lebih besar (Koerner
dan Brambrink, 2006; Sahuquillo dan Vilalta, 2006).
Prosedur DC secara teoritis memiliki keuntungan. Hal ini berdasarkan
teori Monroe-Kellie, yaitu dengan memperluas ‘kotak kaku’ maka TIK dapat
diturunkan tanpa mengorbankan volume darah cerebral, serta mampu memberi
perfusi cerebral yang lebih baik. DC merepresentasikan dekompresi dura dan
kranial yang besar, sering berhubungan dengan pengangkatan lesi seperti SDH
atau traumatic intracerebral hematom (Wani dkk., 2009).
19
Nilai normal tekanan intrakranial bervariasi sesuai usia, pada orang
dewasa, TIK normal yaitu 10 – 15 mmHg, pada bayi matur 1,5 – 6 mmHg, dan
bisa menjadi subatmosphere pada bayi baru lahir. Ambang batas TIK bervariasi
mulai dari anak-anak, yang mampu mentoleransi nilai lebih besar saat sutura
masih terbuka, hingga dewasa. Batas toleransi TIK dan penurunan CPP bervariasi
dari 18-20 mmHg untuk SAH; 20-22 mmHg untuk malignant sylvian stroke; 25
mmHg untuk trauma; serta 30 mmHg untuk tumor dan hidrosefalus (Balan dkk.,
2010). Nilai TIK 20 – 30 mmHg menunjukkan hipertensi intrakranial ringan,
sedangkan TIK melebihi 40 mmHg yang menetap menunjukkan hipertensi
intrakranial berat dan mengancam nyawa yang membutuhkan penanganan segera
(Wani dkk., 2009).
Pada saat pengobatan medis tidak efektif, dekompresi memperluas ruangan
intrakranial, mencegah adanya peningkatan TIK lebih jauh maupun herniasi
cerebral. Untuk mencapai dekompresi sesungguhnya, sebagian besar penelitian
merekomendasikan diameter minimal 12 cm (menambah 86 ml volume). Volume
tambahan yang diperoleh dengan DC merupakan tambahan dari hiperventilasi (2
ml / mm penurunan pCO2); dan ventricular tap 20 – 30 ml tanpa resiko rebound
loop diuretic.
Mekanisme DC menurunkan TIK yaitu: menurunkan TIK dengan segera dan
permanen, menambah vektor ekspansi terhadap hemisfer serebri yang meredakan
herniasi otak, memungkinkan eksplorasi ruang subdural, penurunan TIK yang
lebih cepat dibanding penanganan medis bertahap lainnya seperti hipotermi,
20
barbiturat, osmotik diuretik, ventrikulostomi, hiperventilasi, serta salin hipertonik
untuk meminimalisir komplikasinya.
Gambar 2.1 Lingkungan normal kompartemen intrakranial (Honeybul, 2012)
Gambar 2.2 Hipertensi intrakranial terkompensasi parsial (Honeybul, 2012)
21
Gambar 2.3 Hipertensi intrakranial dekompensata (Honeybul, 2012)
2.2.2 Indikasi DC
Indikasi primer DC yaitu peningkatan TIK persisten yang tidak dapat
dikontrol dengan terapi lain (hiperventilasi, sedasi dalam, diuretik, atau
withdrawal cairan serebrospinalis). Berdasarkan beberapa penelitian , indikasi lain
DC dapat berupa: (Balan dkk., 2010).
1. Malignant sylvian stroke untuk pasien usia di bawah 60 tahun.
2. Profilaksis ketika berisiko tinggi menjadi TIK persisten.
3. Subdural hematom (SDH) yang berhubungan dengan kontusio yang besar.
4. Subarachnoid hemorrhage (SAH).
5. Meningitis berat.
6. Usia< 50 tahun.
7. Pembengkakan otak pada CT scan, unilateral maupun bilateral, dengan
deteriorasi klinis yang sesuai.
22
8. Tidak terdapat cedera otak primer yang fatal dengan gejala batang otak
ireversibel atau herniasi dengan gejala neurologis pons.
9. Hipertensi intrakranial refraktori (>30 mmHg).
10. Hipertensi intrakranial dengan deteriorasi status klinis (GCS 4 atau lebih,
midriasis), dan peningkatan indeks pulsasi dengan penurunan aliran diastolik
pada Transcranial Doppler Ultrasonography (TCD).
11. Intervensi bedah sebelum kerusakan batang otak ireversibel atau iskemia otak
general.
Penelitian lain di Eropa, Cochrane Database, menyebutkan indikasi DC
meliputi ICP 25 – 30 mmHg pada orang dewasa dan 24 mmHg selama lebih dari
30 menit pada anak-anak yang susah disembuhkan dengan terapi medis; CPP <60
mmHg; usia <50 tahun; midline shift >1 cm tanpa ada masa intrakranial
(Sahuquillo dan Arikan, 2006).
American Association of Neurological Surgeon merekomendasikan DC untuk
pasien dengan TBI apabila beberapa kriteria berikut terpenuhi:
1. Pembengkakan otak diffuse pada gambaran CT kranial
2. Dalam 48 jam setelah cedera
3. Tidak terdapat episode hipertensi intrakranial menetap (TIK >40 mmHg)
sebelum operasi
4. GCS >3 pada waktu kapan saja setelah cedera
5. Deteriorasi klinis sekunder
6. Perkembangan sindrom herniasi cerebri
23
Pasien dengan cedera batang otak primer yang fatal, GCS awal atau menetap 3,
dan pupil dilatasi bilateral, fixed bukan kandidat operasi (Wani dkk., 2009).
2.2.3 Tipe DC
Dekompresi subtemporal (unilateral dan bilateral) didesain agar
menurunkan tekanan dari lobus temporal untuk mencegah herniasi uncal,
Dekompresi serebelum adalah tindakan standar bedah saraf terhadap berbagai lesi
di fossa posterior (hemorrhage, tumor, infeksi, atau stroke). DC bifrontal terutama
berguna pada populasi pasien pediatri, prosedur ini dilakukan dimana posisi
pasien adalah supinasi, posisi Trendelenberg yang terbalik, insisi kulit bicoronal
dan otot temporalis direfleksikan ke inferior (Wani dkk., 2009).
Dekompresi bitemporal bertujuan mengurangi kompresi pada batang otak
secara bilateral. Pada hemikraniektomi bilateral, hanya pinggiran tulang yang
tetap di atas sinus sagitalis superior untuk menghindari ligasi falx dan sinus.
Setelah dura dibuka, dan mulai pada basis temporal, dura diperlebar dengan
menyambung fascia temporalis diikuti oleh penutupan kedap air dari dura dan
fascia graft. Bone flap lalu disimpan pada kondisi steril suhu -800C atau disimpan
di dinding abdomen dan reimplantasi (cranioplasty) dilakukan setelah 6 minggu
hingga 3 bulan. Semakin besar bone flap yang diangkat, semakin besar pula
menurunkan TIK (Skoglund dkk., 2006; Wani dkk., 2009).
Prosedur operasi
Terdapat dua jenis prosedur operasi utama DC yaitu 1) hemikraniektomi
dan 2) kraniektomi bilateral.
24
1) Hemikraniektomi. Reseksi pada salah satu hemisphere, meliputi fossa
temporalis sampai tulang zygomaticus, ke posterior sampai pada garis yang
menghubungkan tragus dengan asterion dan mengenai segmen horizontal tulang
kepala di area parietal superior. Apabila tersedia, kepala pasien sebaiknya
difiksasi pada pemegang kepala Mayfield dengan dua sekrup di area oksipital dan
satu di area frontal, mempertahankan aksis anteroposterior kepala paralel terhadap
dasar. Sedangkan bila Mayfield tidak tersedia, posisi supinasi lateral dapat
diterapkan untuk fiksasi kepala terhadap meja operasi tanpa reduksi lapang
operasi.
Insisi yang dilakukan sebaiknya menyediakan akses luas terhadap
keseluruhan hemikranium, dengan dua pilihan teknis umum. Pilihan pertama
analog dengan flap ‘tanda tanya’ (gambar 2.4) yang digunakan pada patologi
trauma tetapi lebih meluas ke posterior. Insisi dimulai pada level temporal lalu ke
superior agar melindungi suplai darah flap dari arteri temporalis superfisial. Otot
temporalis dipotong pada satu bidang, ditempelkan ke flap (beberapa lebih
menyukai menyelamatkan fascia temporalis untuk kepentingan duroplasti
nantinya). Keuntungan insisi ini yaitu kebanyakan ahli lebih terbiasa dengan
struktur anatomisnya namun, pada segmen posterior flap, suplai darah sedikit dan
menyebabkan beberapa komplikasi terutama nekrosis kulit atau wound
dehiscence. Jika secara tidak sengaja arteri temporalis superfisial terpotong ketika
memulai insisi dengan pilhan pertama ini, lakukan insisi yang kedua (gambar 2.5).
Durameter di insisi radial atau dengan pedikel pada arteri meningea media
dan duroplasti dengan periosteum, fascia otot, atau lebih cepat dengan substitusi
25
dura. Duramater tidak dibiarkan intak karena bersifat tidak elastis, mengurangi
tujuan operasi; serta tidak dibiarkan bebas karena akan lebih sulit mengetahui
diseksi pada cranioplasty.
Bone flap dipertahankan, dengan menyimpannya di abdominal fat dimana hal ini
memperpanjang operasi selama minimal satu jam.
Gambar 2.4 Insisi berbentuk seperti ‘tanda tanya’ (Balan dkk., 2010).
Gambar 2.5 Insisi kedua (saat a.temporalis superficial tidak sengaja terpotong)
(Balan dkk., 2010).
25
dura. Duramater tidak dibiarkan intak karena bersifat tidak elastis, mengurangi
tujuan operasi; serta tidak dibiarkan bebas karena akan lebih sulit mengetahui
diseksi pada cranioplasty.
Bone flap dipertahankan, dengan menyimpannya di abdominal fat dimana hal ini
memperpanjang operasi selama minimal satu jam.
Gambar 2.4 Insisi berbentuk seperti ‘tanda tanya’ (Balan dkk., 2010).
Gambar 2.5 Insisi kedua (saat a.temporalis superficial tidak sengaja terpotong)
(Balan dkk., 2010).
25
dura. Duramater tidak dibiarkan intak karena bersifat tidak elastis, mengurangi
tujuan operasi; serta tidak dibiarkan bebas karena akan lebih sulit mengetahui
diseksi pada cranioplasty.
Bone flap dipertahankan, dengan menyimpannya di abdominal fat dimana hal ini
memperpanjang operasi selama minimal satu jam.
Gambar 2.4 Insisi berbentuk seperti ‘tanda tanya’ (Balan dkk., 2010).
Gambar 2.5 Insisi kedua (saat a.temporalis superficial tidak sengaja terpotong)
(Balan dkk., 2010).
26
Gambar 2.6 Sayatan kulit dan struktur neurovaskular Haemicraniectomy .Untuk
vaskularisasi yang memadai jarak B tidak boleh melebihi jarak A
(Timofeev dkk., 2012).
Gambar 2.7 Flap musculocutaneous dan garis kraniotomi di hemicraniectomy
decompressive (Timofeev dkk., 2012).
Gambar 2.8 Haemicraniectomy decompressive dan garis pembukaan dural
(Timofeev dkk., 2012).
27
2) Kraniektomi bilateral. Meliputi reseksi tulang pada kedua sisi
sementara tetap mempertahankan bone ridge 3 - 4 cm di atas sinus longitudinal
superior. Memposisikan pasien selama operasi lebih sulit dibandingkan dengan
tehnik pertama. Prosedur yang lebih jarang lagi dilakukan yaitu DC bifrontal,
dilakukan apabila terdapat edema serebri difus atau lesi kontusio bifrontal. Dura
diinsisi bilateral, mengarah ke sinus sagitalis, dengan duroplasti pada segmen
inferior (temporal).
Gambar 2.9 Kraniektomi Dekompresif Bifrontal (Balan dkk., 2010).
27
2) Kraniektomi bilateral. Meliputi reseksi tulang pada kedua sisi
sementara tetap mempertahankan bone ridge 3 - 4 cm di atas sinus longitudinal
superior. Memposisikan pasien selama operasi lebih sulit dibandingkan dengan
tehnik pertama. Prosedur yang lebih jarang lagi dilakukan yaitu DC bifrontal,
dilakukan apabila terdapat edema serebri difus atau lesi kontusio bifrontal. Dura
diinsisi bilateral, mengarah ke sinus sagitalis, dengan duroplasti pada segmen
inferior (temporal).
Gambar 2.9 Kraniektomi Dekompresif Bifrontal (Balan dkk., 2010).
27
2) Kraniektomi bilateral. Meliputi reseksi tulang pada kedua sisi
sementara tetap mempertahankan bone ridge 3 - 4 cm di atas sinus longitudinal
superior. Memposisikan pasien selama operasi lebih sulit dibandingkan dengan
tehnik pertama. Prosedur yang lebih jarang lagi dilakukan yaitu DC bifrontal,
dilakukan apabila terdapat edema serebri difus atau lesi kontusio bifrontal. Dura
diinsisi bilateral, mengarah ke sinus sagitalis, dengan duroplasti pada segmen
inferior (temporal).
Gambar 2.9 Kraniektomi Dekompresif Bifrontal (Balan dkk., 2010).
28
Gambar 2.10 Posisi pasien dan sayatan kulit garis di bifrontal craniectomy
decompressive (Timofeev dkk., 2012).
Gambar 2.11 Bicoronal myocutaneous dan flap periosteal dengan garis besarcraniectomy: A - flap periosteal terpisah dapat digunakan untuk menutupi sinusudara frontal jika terkena selama kraniotomi; B - garis kraniotomi pilihan untukmemungkinkan pengangkatan tulang yang lebih aman menjadi dua fragmen; C -
ekstensi subtemporal untuk dekompresi kutub temporal(Timofeev dkk., 2012).
29
Gambar 2.12 Bifrontal craniectomy dengan pilihan ekstensi subtemporal.Pembukaan dural berdasarkan sinus sagital (garis putus-putus) dengan
pemotongan sinus sagitalis di bagian anterior dengan falxotomy (garis merah)(Timofeev dkk., 2012).
Komplikasi DC
Komplikasi akut dapat berupa: kontusio hemorrhagic akibat penurunan TIK
ke nilai normal, perdarahan dari kapiler anterior (tekanan awal yang tinggi
menyebabkan hemostasis melalui kompresi); fongus cerebri, herniasi otak
(‘jamur’), akibat ukuran bone flap tidak cukup besar; hematom kontralateral.
Mekanisme sama dengan kontusio hemorrhagic yaitu perdarahan dari ‘bridging
vein’ atau fraktur tulang; wound dehiscence sering terjadi oleh karena tekanan
tinggi dari interior yang menyebabkan jahitan tegang dan fenomena iskemia atau
nekrosis akibat suplai darah yang rendah untuk flap. Komplikasi ini lebih sering
akibat secara tidak sengaja terjadi koagulasi arteri temporalis superfisial ketika
menyiapkan skin flap.
30
Komplikasi lanjut dapat terjadi: hidrosefalus pasca trauma. Obstruksi resorpsi
cairan serebrospinal oleh SAH dan modifikasi tekanan dan aliran cairan
serebrospinal oleh dekompresi. Hidrosefalus komunikan, kemungkinan besar
akibat blok mekanik atau inflamasi granulasi araknoid oleh debris pasca operasi;
infeksi akibat tirah baring yang terlalu lama, dengan posisi kepala hanya satu,
muncul dehiscence luka. Bahkan, setelah beberapa bulan, kadang muncul fistula
cairan serebrospinal maupun kolonisasi bakteri. Contoh: meningitis, abses cerebri;
sindrom trephined. Manifestasi berupa gejala fokal neurologis 3-6 bulan setelah
operasi awal, tanpa ada lesi pada CT maupun MRI (Balan dkk., 2010).
Komplikasi lain DC dapat berupa resorpsi bone flap oleh nekrosis aseptic;
efusi subdural kontralateral, umumnya 2 minggu setelah DC; subdural hygroma;
herniasi paradoksikal setelah pungsi lumbal; hipotensi pada anak selama
kraniotomi untuk trauma; serta kejang pascaoperasi.
2.2.4 Cranioplasty
Pada umumnya, indikasi dari cranioplasty adalah protektif dan kosmetik.
Pasien dengan defek cranial yang luas setelah DC seringkali mendapatkan
komplikasi termasuk sindroma sinking flap, sindroma trephined. Selain itu,
cranioplasty dilaporkan dapat menfasilitasi pemulihan neurologis dan untuk
meningkatkan aliran darah dan hidrodinamik cairan serebrospinal, dan aktifitas
metabolik setelah DC (Winkler dkk., 2000). Cranioplasty awal dapat
menyelesaikan masalah komplikasi herniasi paradoksal lambat tetapi tidak semua
pasien dapat menjadi kandidat prosedur ini, dan semua resiko dan indikasi harus
benar benar dipertimbangkan (Stiver, 2009). Selain itu cranioplasty juga
31
dikerjakan untuk memberikan perlindungan melawan berkembangnya sindrom
trepanasi (Coralo dkk., 2015). Akhir akhir ini indikasi dari cranioplasty berubah
dari hanya sekedar kosmetik dan protektif menjadi terapeutik (Tasiou dkk., 2014).
Salah satu indikasi cranioplasty adalah defek kranium yang luas, dalam praktek
sehari-hari, prosedur ini umumnya dilakukan 3-6 bulan setelah kraniektomi
karena risiko infeksi atau pembengkakan otak yang belum kunjung sembuh
(Tasiou dkk., 2014).
Tindakan DC dengan indikasi karena peningkatan TIK, mengharuskan
cranioplasty setelahnya. Waktu optimum untuk melakukan cranioplasty tetap
kontroversial (Stiver, 2009). Cranioplasty dilakukan pada dua kelompok.
Kelompok pertama dilakukan <2 bulan (segera) sedangkan kelompok kedua
dilakukan > 2 bulan (lambat) segera setelah DC, Flap tulang dibekukan dan
disimpan dalam keadaan steril (-80 C). Selama cranioplasty lapisan untuk
penggantian fragmen tulang didiseksi antara flap miokutaneus dan lapisan mirip
dura yang menyelubungi otak. Batas tulang yang mengelilingi lubang kraniektomi
dibiarkan terbuka. Flap tulang autolog difiksasi dengan plat titanium dan mur
(plate and screw). Otot temporalis didiseksi sebagai lapisan yang terpisah dan
difiksasi pada flap tulang.Semua pasien diberikan dosis tunggal antibiotika
intravena (Schuss dkk., 2012).
Infeksi graft cranioplasty tidak berhubungan dengan indikasi kraniektomi,
waktu atau interval dari cranioplasty, material graft, atau ukuran defek tulang,
tetapi secara signifikan berhubungan dengan reseksi otot temporal sebelumnya,
penumpukan cairan sub galeal preoperative, dan waktu operasi > 120 menit, dan
32
gangguan terhadap luka pasca operasi (Kim dkk., 2013). Pada prosedur DC otot
temporalis dan fascia menjadi faktor yang paling signifikan dalam membatasi
herniasi eksternal dari otak yang edema. Beberapa ahli bedah, melakukan DC dan
duraplasty yang ekstensif digabung dengan reseksi otot temporal dan fasia.
Reseksi otot temporalis pada DC menunjukkan dekompresi yang lebih luas dan
hasil yang lebih baik pada infark hemisfer maligna, dengan hasil yang cukup
merugikan yaitu disfungsi mastikasi minimal dan kosmetik. .Selain itu reseksi dari
otot temporal membutuhkan koagulasi arteri temporal anterior dan posterior yang
berasal dari arteri maksilaris interna dan arteri temporalis medialis yang berasal
dari arteri temporalis superfisialis.
Prinsip dasar dari cranioplasty adalah: memilih material yang sesuai untuk
jenis dan ukuran defek, material harus mempunyai tingkat infeksi yang rendah,
konduksi panas yang rendah, non magnetic, radiolusen, dapat diterima oleh
jaringan, kuat, dapat dibentuk dengan mudah, dan tidak mahal. Sebelum mencapai
penutupan tulang, batas tulang yang jelas harus didapatkan, SCALP harus
dipisahkan dari dura. Robekan dura harus segera ditutup secara tidak tembus air
(water tight). Tulang dan material cranioplasty harus menempel satu sama lain
secara maksimal. Untuk mencegah bergesernya cranioplasty, material tersebut
harus difiksasi ke tulang dengan plates yang sesuai.
2.3 Proses penyembuhan luka
Luka masih merupakan masalah klinik yang menantang dengan
komplikasi segera atau komplikasi lambat yang sering menyebabkan morbiditas
33
dan mortalitas. Dalam usaha untuk menurunkan beban akibat luka, dibutuhkan
usaha yang terfokus pada pengertian mengenai fisiologi penyembuhan dan
perawatan luka dengan pedekatan terapeutik yang baru dan perkembangan
teknologi untuk manajemen luka akut dan jangka panjang (Velnar dkk., 2009).
Pengaruh luka ini di seluruh dunia terhadap sosial dan ekonomi sangat
besar akibat banyaknya kejadian luka secara umum dan frekuensinya meningkat
pada populasi tua. Selain luka yang akut, juga terdapat banyak luka kronik, luka
yang sulit sembuh akibat penyakit dan abnormalitas yang secara langsung maupun
tidak langsung menimbulkan kerusakan termasuk arteri, vena, ulkus diabetik dan
ulkus dekubitus. Prevalensi dari luka kronik ini bertambah dengan meningkatnya
usia. Luka kronik ini diperkirakan mengenai 120 per 100.000 orang yang berusia
antara 45 – 65 tahun dan meningkat menjadi 800 per 100.000 orang berusia lebih
dari 75 tahun. Lebih lanjut, karena komplikasi yang menyertai luka akut, dimana
proses penyembuhan tidak terjadi sebagaimana mestinya, maka luka tersebut akan
menjadi luka kronik, dimana manajemennya menjadi sulit (Velnar dkk., 2009).
Penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks dan dinamik dengan
tergantung status kesehatan masing-masing individu. Pengetahuan mengenai
proses penyembuhan luka normal melalui fase hemostasis, inflamasi, granulasi,
dan maturasi memberikan kerangka untuk mengerti mengenai prinsip dasar dari
penyembuhan luka (Orsted dkk., 2011).
34
2.3.1 Luka dan Respon terhadap Luka
Luka per definisi adalah kerusakan atau gangguan pada struktur anatomi
normal dan fungsinya. Luka ini dapat bervariasi dari kerusakan pada intergitas
epithelial kulit atau mengenai struktur yang lebih dalam, meluas ke jaringan
subkutan dengan kerusakan pada struktur yang lain seperti tendon, otot, pembuluh
darah, saraf, parenkim, bahkan tulang (Velnar dkk., 2009).
Luka dapat berasal dari proses patologik yang berasal dari eksternal atau
internal. Luka dapat terjadi secara tidak sengaja atau sengaja atau sebagai hasil
dari proses penyakit. Proses seperti perdarahan, koagulasi, respon inflamasi akut
terhadap cedera, regenerasi, migrasi, dan proliferasi dari jaringan ikat dan sel
parenkim, sintesis matriks protein ekstraseluler, remodeling dari parenkim yang
baru, jaringan penghubung, dan deposisi kolagen (Velnar dkk., 2009).
Terdapat empat respon terhadap cedera (Gambar 2.13), yang pertama
adalah perbaikan normal (normal repair) dimana terdapat keseimbangan antara
pembentukan parut dan remodeling dari parut. Ini merupakan respon umum
terhadap cedera. Yang kedua adalah excessive healing dimana terdapat deposisi
jaringan ikat yang menyebabkan perubahan struktur dan akhirnya fungsinya
menghilang. Contoh dari excessive healing adalah fibrosis, striktur, adhesi, dan
kontraktur. Yang ketiga adalah deficient healing dimana deposisi dari matriks
jaringan ikat tidak cukup dan jaringan yang terbentuk tidak kuat sehingga mudah
rusak. Contoh dari deficient healing adalah luka kronis. Yang keempat adalah
regenerasi. Regenerasi merupakan proses elegan yang terjadi karena adanya
35
struktur dan fungsi yang hilang tetapi masih mempunyai kemampuan untuk
menggantikan struktur yang rusak tersebut dengan struktur dan fungsi yang
sesuai sebelum terjadinya cedera (Diegelmann dan Evan, 2004).
Gambar 2.13 Empat respon terhadap cedera (Diegelmann dan Evan, 2004).
2.3.2 Klasifikasi Luka
Luka dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Berdasarkan
waktu penyembuhannya luka dapat diklasifikasikan menjadi luka akut dan kronik
(Velnar dkk., 2009).
Luka Akut
Luka akut adalah luka yang membaik dengan sendirinya dan melalui
proses penyembuhan normal dengan hasil akhirnya restorasi dari fungsi dan
struktur anatomi normal. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan bervariasi
dari 5–10 hari atau dalam 30 hari. Luka akut dapat terjadi secara acquired karena
36
proses trauma atau karena prosedur operasi. Dapat hanya mengenai jaringan lunak
saja atau mungkin berhubungan dengan fraktur tulang (Velnar dkk., 2009).
Luka Kronik
Luka kronik adalah luka dimana proses penyembuhannya tidak mengikuti
tahapan-tahapan penyembuhan normal dan tidak sesuai waktunya. Luka disebut
kronik bila terjadi keterlambatan dalam proses penyembuhannya sampai 12
minggu. Proses penyembuhan lukanya inkomplit dan terganggu oleh berbagai
faktor yang menyebabkan pemanjangan satu lebih fase penyembuhan luka baik
fase hemostasis, inflamasi, proliferasi, atau remodeling. Faktor-faktor yang
mempengaruhi antara lain infeksi, hipoksia jaringan, nekrosis, eksudat, dan kadar
sitokin inflamasi yang berlebih. Luka kronik juga terjadi karena naturopatik,
tekanan, insufisiensi arterial dan vena, luka bakar, dan vaskulitis (Velnar dkk.,
2009).
Luka dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologinya, tingkat kontaminasi,
morfologi, komunikasi dengan organ solid atau berongga. Klasifikasi luka
berdasarkan fakor penyebabnya antara lain kontusio, abrasi, avulsi, laserasi, luka
potong, luka tusuk, kecelakaan, luka tembak, dan luka bakar. Berdasarkan tingkat
kontaminasinya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : luka aseptic (operasi
tulang dan sendi), luka kontaminasi (operasi abdominal dan paru), Luka septik
(abses, operasi usus, dll). Luka juga dapat dibedakan menjadi luka tertutup bila
jaringan yang mengalami trauma masih tertutup oleh lapisan kulit, atau terbuka
37
bila tidak ada kulit yang menutup sehingga jaringan di dalamnya tampak (Velnar
dkk., 2009; Young dan Mcnaught, 2011).
2.3.3 Penyebab Luka
Luka dapat disebabkan oleh beberapa penyebab baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja. Tabel 2.1 menunjukkan beberapa penyebab yang
dapat menimbulkan kerusakan jaringan (Orsted dkk., 2011).
Tabel 2.1. Berbagai penyebab kerusakan jaringan
(Sumber Orsted dkk., 2011)
38
2.3.4 Proses Penyembuhan Luka
Luka dan proses penyembuhan luka terjadi pada semua jaringan dan organ
di seluruh tubuh. Meskipun proses penyembuhan luka ini merupakan proses yang
berkesinambungan, namun proses ini dibagi menjadi beberapa fase. Penyembuhan
luka merupakan proses yang kompleks termasuk interaksi yang terkoordinasi
antara sistem imunologik dan sistem biologik (Velnar dkk., 2009).
Beberapa bagian dari luka mungkin berada pada tahapan penyembuhan
yang berbeda pada suatu waktu. Waktu dan interaksi antara komponen-komponen
proses penyembuhan luka berbeda antara proses yang akut dan kronik (Velnar
dkk., 2009).
Terdapat empat fase dari proses penyembuhan luka yaitu : Fase koagulasi dan
hemostasis, Fase inflamasi, Fase proliferasi, dan Fase remodeling (Velnar dkk.,
2009; Orsted dkk., 2011).
Gambar 2.14 Fase penyembuhan luka (Nabavian dan Garner, 2002)
39
2.3.4.1 Fase Koagulasi dan Hemostasis
Respon awal terhadap cedera adalah untuk mencapai hemostasis melalui
vasokonstriksi dan aktivasi dari mekanisme clotting. Proses ini bertujuan untuk
menjaga sistem vaskular tetap intak sehingga fungsi dari organ vital tidak
terganggu meskipun mengalami cedera. Tujuan yang kedua merupakan tujuan
jangka panjang dimana akan dihasilkan matriks untuk penempelan sel yang
diperlukan pada fase selanjutnya dari penyembuhan. Proses ini dimulai segera
setelah terjadinya cedera (Nabavian dan Garner, 2002; Velnar dkk., 2009).
Pembentukan bekuan darah (clotting) mempunyai dua peranan yaitu untuk
memperbaiki intergritas vaskular dan untuk memulai proses penyembuhan luka.
Perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan pembentukan bekuan (clot) fibrin
merupakan langkah awal dalam pembentukan matriks ekstraselular. Dalam
kaitannya dengan proses hemostasis, thrombin dan fibrin berkontribusi dalam
proses penyembuhan luka. Trombin berkontribusi terhadap peningkatan
permeabilitas vaskular dan memfasilitasi migrasi dari mediator inflamasi. Selain
itu juga berperan pada epitelisasi dan angiogenesis (Nabavian dan Garner, 2002).
Fibronektin merupakan bahan utama untuk pembentukan matriks
ekstraselular yang terdeposit selama 24 jam setelah cedera. Fibronektin
menyebabkan adhesi dan migrasi dari sel inflamasi dan epithelial. Fibroblas, sel
endothelial, dan otot polos vaskular dapat mensekresi, mengikat, dan mengubah
fibronektin menjadi fibril pada matriks ekstraselular. Hubungan antara fibronektin
dengan bekuan fibrin menyebabkan adhesi fibroblas dan migrasi ke matriks
40
selular. Fibronektin berperan sebagai ligand untuk platelet integrin yang berperan
terhadap adhesi platelet dan agregasi platelet (Nabavian dan Garner, 2002).
Terdapat tiga mekanisme dalam pembentukan bekuan (clot) yaitu melalui
jalur intrinsik, ekstrinsik, melalui peranan dari platelet. Jalur intrinsic (Contact
Activation Pathway) dari kaskade pembekuan dimulai ketika adanya kerusakan
endothelial menyebabkan jaringan sub-endotelial akan terpapar darah, hal ini akan
mengaktifkan faktor XII (faktor Hageman). Aktifnya faktor XII ini akan
menyebabkan aktifnya kaskade pembekuan dengan hasil akhirnya adalah aktivasi
dari faktor X yang mengubah prototrombin menjadi thrombin yang kemudian
menyababkan perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan membentuk sumbatan
fibrin (fibrin plug) (Young dan Mcnaught , 2011).
Jalur ekstrinsik (Tissue Factor Pathway) dari kaskade pembekuan
dimulai ketika kerusakan endothelial menyebabkan faktor jaringan terpapar
terhadap sirkulasi darah. Hal ini menyebabkan aktivasi faktor VII dan kemudian
hasil akhirnya adalah aktivasi dari thrombin (Young dan Mcnaught , 2011).
Platelet merupakan modulator awal dari proses penyembuhan luka. Adanya
kolagen pada pembuluh darah yang terluka dan dermis menstimulasi agregasi
platelet dan degranulasi. Platelet berikatan dengan kolagen ekstravaskular dan
melepaskan Adenosin Diphospate (ADP), dimana hal ini akan menstimulasi
agregasi platelet lebih lanjut sehingga akan menghentikan perdarahan untuk
sementara. Agregasi platelet menyebabkan pelepasan sitokin dan faktor
pertumbuhan yang akan meregulasi kaskade penyembuhan. Lebih dari 300
molekul sudah diisolasi dari platelet yang aktif, dimana molekul-molekul tersebut
41
mempengaruhi dan memodulasi fungsi dari platelet, leukosit dan sel endothelial.
Cara kerja dari platelet-derived molecule dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah
(Nabavian, 2002, Young dan Mcnaught , 2011).
Tabel 2.2 Faktor-faktor Pertumbuhan pada proses penyembuhan luka
(Sumber (Young dan Mcnaught, 2011).
42
2.3.4.2 Fase Inflamasi
Secara klinis, fase inflamasi ini ditandai dengan adanya eritema,
pembengkakan, dan rasa hangat serta nyeri. Tanda inflamasi ini sering dikenal
dengan “rubor et tumor cum calore et dolore”. Fase ini berlangsung sampai 4 hari
setelah terjadinya cedera. Tujuan dari fase inflamasi ini adalah untuk memberikan
perlindungan imun terhadap invasi dari mikroorganisme sehingga tidak terjadi
infeksi pada luka (Velnar dkk., 2009; Orsted dkk., 2011; Young dan Mcnaught,
2011).
Fase inflamasi ini dibagi menjadi dua fase yaitu fase inflamatori awal dan
fase inflamatori lanjut (Velnar dkk., 2009). Fase inflamatori awal dimulai pada
akhir fase koagulasi dan segera setelah fase koagulasi selesai. Pada fase ini akan
terjadi aktivasi dari kaskade komplemen dan menginisiasi molekul yang
menyebabkan infiltrasi neutrofil ke tempat luka. Neutrofil ini akan tertarik ke
tempat terjadinya luka dalam waktu 24-36 jam setelah cedera. Migrasi dari
neutrofil dimediasi oleh berbagai mekanisme sinyal kimiawi termasuk kaskade
komplemen, aktivasi inteleukin, dan Transforming Growth Factor-β (TGF-β).
Proses ini dinamakan kemotaksis (Velnar dkk., 2009; Young dan Mcnaught,
2011).
Neutrofil ini mempunyai tiga mekanisme untuk menghancurkan debris dan
bakteri. Pertama, neutrophil secara langsung memakan dan menghancurkan
partikel asing. Proses ini dinamakan fagositosis. Kedua, neutrophil akan
mengalami degranulasi dan mengeluarkan berbagai substansi toksik (laktoferin,
43
protease, neutrophil elastase, dan cathepsin) dimana substansi ini akan
menghancurkan bakteri dan jaringan yang mati. Neutrofil juga memproduksi
kromatin dan protease yang akan menangkap dan membunuh bakteri di ruang
ekstraselular. Aktifitas neutrophil ini akan menghasilkan radikal bebas oksigen
dimana radikal bebas oksigen ini merupakan bakterisidal. Kombinasi antara
radikal bebas oksigen dengan klorin akan mensterilkan luka (Young dan
Mcnaught, 2011).
Aktifitas neutrophil akan berubah dalam beberapa hari, setelah bakteri
kontaminan sudah dihancurkan. Agar proses penyembuhan luka terus berlanjut,
maka neutrophil harus segera dieliminasi. Neutrofil akan mengalami proses
apoptosis yang kemudian akan difagositosis oleh makrofag (Velnar dkk., 2009;
Young dan Mcnaught, 2011).
Fase inflamatori lanjut terjadi 48-72 jam setelah cedera, dimana akan
dikeluarkan makrofag dan proses fagositosis terus berlanjut. Makrofag ini akan
menuju luka karena adanya agen-agen kemoatraktif termasuk faktor pembekuan,
komplemen, sitokin seperti PDGF, TGF-β, leukotriene B4, platelet factor IV,
elastin, produk pemecahan kolagen. Hal ini akan menstimulasi angiogenesis dan
pembentukan jaringan granulasi. Sel-sel yang berperan pada proses penyembuhan
luka dapat dilihat pada tabel 2.3 (Velnar dkk., 2009; Young dan Mcnaught,
2011).
44
Tabel 2.3 Sel yang berperan pada penyembuhan luka
(Sumber Young, dan Mcnaught 2011)
Sel terakhir yang menuju ke tempat luka adalah limfosit. Limfosit akan
menuju ke tempat luka 72 jam setelah cedera. Migrasi dari limfosit ini
dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1), komplemen, dan produk pemecahan Ig-G.
IL-1 ini mempunyai peran penting dalam regulasi kolagenase yang dibutuhkan
45
untuk remodeling kolagen, produksi dari komponen matriks ekstraselular, dan
degradasinya (Velnar dkk., 2009).
2.3.4.3 Fase Proliferasi
Fase proliferasi dimulai sekitar hari keempat setelah terjadinya luka dan
biasanya berlangsung sampai 21 hari pada luka akut, tergantung dari ukuran luka
dan status kesehatan penderita. Fase ini dimulai setelah hemostasis telah tercapai,
respon inflamasi telah seimbang, dan luka telah bebas dari debris. Pada fase ini
terjadi migrasi dari fibroblas dan pembentukan matriks ekstraselular yang baru.
Proses yang kompleks ini terdiri dari angiogenesis, pembentukan jaringan
granulasi, deposisi dari kolagen, epitelisasi dan retraksi luka, dimana proses
tersebut merupakan proses yang berkesinambungan (Velnar dkk., 2009; Orsted
dkk., 2011; Young dan Mcnaught, 2011).
Angiogenesis dan pembentukan jaringan granulasi
Angiogenesis dimulai sejak terbentuknya bekuan hemostatik oleh TGF-β
yang dihasilkan oleh platelet, platelet-derived growth factor (PDGF), dan
fibroblas growth factor (PGF). Vasculear endothelial growth factor (VEGF)
dihasilkan sebagai respon terhadap hipoksia, dimana kombinasi dari VEGF
dengan sitokin akan menginduksi sel endothelial untuk membentuk
neovaskularisasi dan memperbaiki pembuluh darah yang rusak (Young dan
Mcnaught, 2011).
Ada empat tahapan dari proses neovaskularisasi tersebut antara lain : (I)
produksi protease oleh sel endothelial, (II) kemotaksis, (III) proliferasi, (IV)
46
remodeling dan diferensiasi. PGF dan VEGF mempunyai peranan sentral dalam
memodulasi keempat proses tahapan tersebut (Velnar dkk., 2009).
Setelah proses angiogenesis tersebut selesai, maka akan terbentuk
pembuluh darah kapiler yang kaya akan vaskularisasi yang didapat dari pembuluh
darah yang normal. Pada awalnya kapiler yang dibentuk masih rapuh dan bersifat
permeabel sehingga mudah menimbulkan edema jaringan dan kemudian dibentuk
jaringan granulasi (Young dan Mcnaught, 2011).
Migrasi fibroblas dan sintesis kolagen
Fibroblas di jaringan sekitar akan mengalami proliferasi yang diakibatkan
oleh cedera. Fibroblas ini kemudian akan mengalami migrasi ke dalam luka.
Proses ini distimulasi oleh TGF-β dan PDGF yang dihasilkan oleh sel-sel
inflamasi dan platelet. Pada hari yang ketiga, luka akan banyak mengandung
fibroblas dan kemudian akan membentuk matriks protein hyaluronan, fibronectin,
proteoglikan, serta tipe1 dan tipe3 dari procollagen sehingga dihasilkan jaringan
fibrous yang berwarna merah muda dan mengandung pembuluh darah yang
kemudian akan terbentuk jaringan granulasi. Setelah matriks yang terbentuk sudah
cukup, maka fibroblas akan mengalami perubahan fenotipe menjadi miofibroblas
dan mempunyai pseudopodia. Adanya pseudopodia ini memudahkan miofibroblas
untuk berhubungan dengan protein fibronectin dan kolagen yang ada disekitarnya
dan membantu dalam kontraksi luka. Kolagen yang disintesis oleh fibroblas
merupakan komponen utama untuk penguatan jaringan (Velnar dkk., 2009; Young
dan Mcnaught, 2011).
47
Epitelisasi
Sel epitel melakukan migrasi dari sisi luka ke dalam luka dalam waktu
yang cepat (beberapa jam) sampai semua luka tertutup oleh sel epitel dan
kemudian berikatan dengan matriks yang ada di bawahnya. Proses epithelial-
mesenchymal transition (EMT) akan menambah motilitas sel epitel untuk migrasi
ke permukaan luka. Proses epitelisasi ini selesai dalam waktu 24 jam pada luka
yang menutup secara primer (Young dan Mcnaught, 2011).
Retraksi Luka
Luka mulai mengalami kontraksi dalam waktu tujuh hari setelah cedera
terjadi. Proses ini dimediasi oleh fibroblas. Interaksi antara aktin dan myosin akan
menarik sel saling mendekat dan mengurangi area yang diperlukan untuk
penyembuhan. Rerata kecepatan kontaksinya tergantung banyak faktor termasuk
ukuran luka, dimana luka yang berbentuk linear akan berkontraksi lebih cepat
sedangkan luka yang berbentuk sirkular lebih lambat. Gangguan pada proses ini
akan menimbulkan deformitas dan terjadi kontraktur (Young dan Mcnaught,
2011).
2.3.4.4 Fase Remodeling
Ini merupakan fase terakhir dari penyembuhan luka. Fase ini dapat
berlangsung sampai dua tahun atau lebih. Pada fase ini akan dihasilkan epitelium
yang baru dan maturasi dari jaringan parut. Fase ini bertujuan untuk
mempertahankan keseimbangan antara degradasi dan sintesis sehingga dihasilkan
penyembuhan yang normal. Meskipun demikian, luka tidak akan pernah mencapai
48
keadaan jaringan yang sama seperti sebelumnya, rerata dalam tiga bulan hanya
50% saja dari keadaan sebelumnya dan hanya 80% dalam waktu yang lebih lama
(Velnar dkk., 2009; Young dan Mcnaught, 2011).
Setelah luka sembuh, fibroblas dan makrofag akan mengalami apoptosis
kemudian pertumbuhan kapiler berhenti, aliran darah ke area luka dan aktifitas
metabolik akan menurun. Hasil akhirnya adalah jaringan parut matur yang
awalnya berwarna merah menjadi merah muda kemudian menjadi kelabu
(Velnardkk., 2009; Young dan Mcnaught, 2011).
Tabel 2.4 Empat fase penyembuhan luka
(Sumber Orsted dkk., 2011)
2.3.5 Jalur Sistem Signal TGF-β
Pelepasan TGF-β1 pada fase awal proses penyembuhan luka dengan cepat
merekrut sel inflamasi ke daerah luka, kemudian terlibat dalam umpan balik
negatif melalui pelepasan superoxide dari makrofag. Selain itu TGF-β1
49
meningkatkan kemampuan angiogenetik sel progenitor endotelial untuk
memfasilitasi suplai darah ke lokasi cedera dan menstimulasi kontraksi fibroblas
untuk memungkinkan penutupan luka. TGF-β2 serupa dengan TGF-β1 dalam
perekrutan fibroblas dan sel imun dari sirkulasi dan tepi luka ke area luka. TGF-
β2 diperlukan untuk ekspresi dan pengaturan kolagen dan komponen ECM
lainnya selama proses penyembuhan luka. Sementara TGF-β3 memiliki peranan
yang berbeda dalam proses penyembuhan luka bila dibandingkan dengan TGF-β1
dan 2. TGF-β3 memiliki efek antagonis terhadap TGF-β1 dalam pembentukan
jaringan parut (Pakyari dkk., 2013).
Jalur TGF-β mempunyai fungsi yang berbeda beda terhadap kehidupan
sel karena jalur ini dapat mengaktifkan Bone Morphogenetic Protein (BMP),
aktivin, dan inhibin yang efeknya berbeda beda. Pada hewan mamalia, TGF-β1
merupakan TGF yang paling banyak ditemukan dan karena itu TGF inilah yang
umum disebut TGF-β. TGF-β1 merupakan protein homodimer yang dihasilkan
oleh berbagai jenis sel seperti platelet, endotel, limfosit, dan makrofag. TGF
disintesis sebagai prekursor protein yang inaktif yang kemudian diaktifkan
melalui proses proteolisis oleh enzim proteolitik. TGF- β yang aktif berikatan
dengan reseptornya pada permukaan sel. Reseptor TGF-β mempunyai aktifitas
enzim serine/threonin kinase yang memicu fosforilasi faktor transkripsi yang
dikenal dengan nama Smads yang terdiri atas beberapa bentuk ( Smad 1, 2, 3, 5,
dan 8). Smad yang terfosforilasi kemudian membentuk heterodimer dengan Smad
4 yang memasuki inti sel dan berikatan dengan DNA pada regio promoter dari
beberapa gen. Ikatan ini kemudian memicu aktivasi dan hambatan proses
50
transkripsi berbagai gen. Efek dari transkripsi tersebut sering berlawanan satu
sama lainnya bergantung pada jaringan, sel dan jenis kerusakan sel akibat luka.
Karena berbagai efeknya yang berbeda beda dan seringkali berlawanan ini, TGF-β
disebuit efek pleiotropik (Astawa, 2016).
TGF-β merupakan faktor penghambat pertumbuhan pada kebanyakan sel
epitel dengan cara menghambat siklus sel. Penghambatan siklus sel dilakukan
dengan memicu ekspresi penghambat siklus seperti Cip/Kip dan INK4/ARF.
Namun efek TGF-β pada sel mesenkim bergantung pada kondisi lingkungan sel.
Pada sel fibroblas, TGF-β memicu proliferasi dengan mengaktifkan CTGF. Efek
inilah yang sering memicu fibrosis pada organ yang mengalami proses inflamasi
kronis seperti ginjal dan hati (Astawa, 2016).
Molekul TGF-β terdiri atas tiga isoform (TGF-β1, β2, dan β3) yang
disandi oleh tiga gen yang berbeda. TGF-β1 merupakan isoform yang paling
banyak ditemukan dan hampir diekspresikan oleh semua jenis sel dalam bentuk
kompleks laten besar yang inaktif yang tidak dapat berikatan dengan reseptornya
pada permukaan sel target. Untuk dapat menjadi aktif, kompleks laten besar dari
TGF-β harus diubah menjadi aktif. Molekul yang dapat mengaktifkan TGF-β
adalah protease plasmin, metalloproteinase-2 (MMP-2) dan MMP-9.
Thrombospondin -1 (TSP-1) merupakan salah satu aktivator kunci dari TGF-β
dengan menguraikan interaksi nonkovalen dari latency-associated peptide (LAP)
dan molekul TGF-β dalam kompleks laten besar. ROS juga dapat menginduksi
aktivasi TGF-β (Astawa, 2016).
51
Gambar 2.15 Sistem signal TGF-β yang tergantung dan tidak tergantung pada
protein Smad (Astawa, 2016).
TGF-β menstransduksi signal setelah berikatan reseptornya pada
membrane sel. Reseptor TGF-β merupakan gabungan dari 2 tipe reseptor
transmembran serine/threonin yaitu TGF receptor (TGFR) tipe 1 dan tipe 2.
Ikatan tersebut memicu aktivasi reseptor yang kemudian meneruskan signal
melalui protein Smad ke inti sel. Ikatan TGF-β dengan reseptornya memicu
autofosforilasi dan aktivasi domain intrasel dari reseptor Activin-receptor-like
kinase (ALK)5 dan ALK1. Selain melalui protein Smad, TGF-β juga
mengaktifkan sistem signal yang lain, yaitu extracellular signal-regulated kinase
(ERK), c-Jun-N-terminal kinase (JNK), TGF-β-activated kinase (TAK1), Abelson
52
nonreceptor tyrosine kinase (c-Abl) dan p38 mitogen-activated protein kinase
(MAPK).
TGF-β yang berikatan dengan reseptor serine/threonine kinase (tipe 1 dan
2) pada membrane sel memicu transfosforilasi segmen GS dari reseptor tipe I oleh
tipe II. Reseptor II yang teraktivasi memfosforilasi Smad tertentu. Smad yang
teraktivasi membentuk kompleks dengan Smad 4 dan kompleks tersebut
bermigrasi ke inti sel untuk mengatur transkripsi gen target. Protein Smad lainnya,
yaitu Smad 6 dan 7, menghambat proses sistem signal TGF-β. Selain itu, system
signal TGF-β lainnya yang tidak tergantung pada protein Smad mengaktifkan
protein extracellular signal regulated kinase (ERK), JNK, p38 mitogen-activated
protein kinase (p38-MAPK), Protein Phospatase 2A (PPA2) dan RHO-associated
protein kinase (RhoA) (Astawa, 2016).
Selama fase proliferatif berlangsung, TGF-ß yang dilepaskan oleh platelet,
makrofag dan limfosit T merupakan sinyal yang sangat penting. TGF-ß diyakini
sebagai regulator fungsi fibroblas pada host. TGF-β merupakan kelompok sitokin
pluripoten yang terdiri dari tiga isoform meliputi TGF-β1, TGF-β2, TGF-β3.
Ketiga isoform ini disekresikan dalam bentuk laten dan diaktivasi melalui
proteolisis untuk melepas TGF-β matur. TGF-β bekerja secara autokrin dan
parakrin yang kemudian berikatan dengan reseptor pada membran sel. Reseptor
TGF-β terdiri dari dua glikoprotein transmembran yang terpisah bernama TGF-
1RI dan TGF-jRII; suatu reseptor tirosin kinase. Fosforilasi reseptor memicu jalur
pensinyalan yang melibatkan protein Smads. Target akhir dari kaskade ini adalah
ekspresi gen target. Modulasi ekspresi gen target, menimbulkan tiga efek penting
53
dalam deposisi matriks ekstraseluler. Pertama, meningkatkan transkripsi gen
kolagen, proteoglikan dan fibronektin sehingga meningkatkan produksi protein
matriks. Pada saat yang sama TGF-ß menekan sekresi protease yang bertanggung
jawab dalam degradasi matriks, serta menstimulasi protease inhibitor; inhibitor
jaringan untuk metaloprotease. Ekspresi TGF-ß mengalami penurunan selama fase
remodeling (Xiao-Jing dkk., 2006; Penn, 2012).
2.4 Berbagai Macam Jenis Mesh
Penggunaan mesh menjadi sangat penting dalam memperbaiki semua
hernia inguinal, ventral atau insisional. Tingkat kekambuhan secara konsisten
lebih rendah dengan penggunaan mesh dan berbagai jenis mesh telah
dikembangkan untuk tujuan tersebut. Prostesis yang digunakan untuk perbaikan
hernia dapat berupa bahan yang tidak dapat diserap, komposit (kombinasi dari
serat yang dapat diserap dan tidak dapat diserap) atau berupa barrier yang mudah
diserap atau yang tidak dapat diserap.
Tiga bahan prostesis dan berbagai kombinasi yang paling sering
digunakan saat ini untuk memperbaiki hernia adalah polypropylene, polyester dan
ePTFE.
1. Polypropylene mesh paling banyak digunakan selama 20 tahun terakhir karena
stabilitas, kekuatan, inertensi dan kualitas penanganannya. Sudah teruji waktu.
Mesh ini terbuat dari serat polypropylene yang tersusun dalam jaringan dengan
pori-pori dengan ukuran yang berbeda. Produk ini berbeda dengan produsen yang
54
berbeda mengenai ukuran bahan monofilamen, ukuran pori-pori, ketebalan,
kelenturan dan susutnya. Mereka dikenal sebagai Marlex (Davol Inc, Cranston,
AS), PROLENE (Johnson dan Johnson, India), PROLENE Soft (Johnson dan
Johnson, India) dan Surgipro - multifilament (Tyco Healthcare, USA). Mesh
monofilamen lebih disukai karena cenderung tidak menimbulkan infeksi.
2. Polyester Mesh (Dacron, MERSILENE [Johnson dan Johnson, India]) tidak
terlalu populer dengan ahli bedah laparoskopi meskipun mereka banyak
digunakan di Prancis dan digunakan untuk perbaikan hernia dengan teknik
Stoppa.
3. Jaring PTFE halus, lembut dan kuat. Mereka memungkinkan pertumbuhan
jaringan yang baik tetapi harganya lebih mahal.
Dua jenis pertama mesh nonabsorbable ideal digunakan di mana mereka
tidak bersentuhan dengan viscera perut, yaitu untuk laparoskopi hernia inguinalis
yaitu transabdominal preperitoneal (TAPP) repair dan totally extraperitoneal
(TEP) repair. Meskipun beberapa ahli bedah menggunakannya sebagai
penempatan intra-abdomen untuk memperbaiki hernia ventral dan insisi, hal ini
tidak dianjurkan karena laporan literatur tentang komplikasi adhesi usus, obstruksi
usus, fistulisasi dan erosi ke dalam kulit perut bahkan setelah bertahun-tahun.
Kemajuan teknologi terbaru kini telah menyediakan bahan buatan yang mencegah
adhesi usus (Doctor, 2006).
2.4.1 Mesh Komposit Ringan tanpa barrier (Lightweight composite meshes
without barrier)
55
VYPRO II dan ULTRAPRO (Johnson dan Johnson, India) adalah mesh
yang dirancang khusus untuk memperkuat jaringan lemah untuk memperbaiki
hernia inguinalis terbuka dan juga pada laparaskopi TAPP atau TEP. Mereka
terdiri dari filamen tipis VICRYL dan PROLENE (Johnson dan Johnson, India)
atau MONOCRYL (Johnson dan Johnson, India) dan PROLENE (Johnson dan
Johnson, India). Filamen ini dipelintir bersama dan kemudian dirajut untuk
membentuk struktur mesh yang dibutuhkan. Mereka sebagian dapat diserap
karena mereka memiliki 50% VICRYL atau MONOCRYL. Mereka memiliki
makropor, ukuran pori 4,5 mm dan ini menginduksi jaringan yang lebih baik dari
jaringan serat kolagen tiga dimensi yang kuat. Konstruksi ini menghasilkan
hampir 70% pengurangan benda asing yang ditanamkan dan menghasilkan 'scar-
mesh' yang bertentangan dengan 'scar-plate'. Mesh ini cukup memberi kekuatan
pada jaringan dan memungkinkan mobilitas optimal ke dinding perut.
Gambar 2. 16 Ukuran pori dan jaringan parut pada mesh komposit
ringan (Doctor, 2006).
56
Perbaikan hernia ventral dan insisional saat ini dilakukan dengan operasi
akses minimal daripada teknik terbuka konvensional. Untuk mencapai perbaikan
ini, penempatan mesh intraperitoneal membutuhkan bahan yang memiliki
pertumbuhan tinggi ke arah dinding perut dan nonadhesiveness di sisi lain untuk
mencegah adhesi usus.
Dalam upaya untuk menghindari atau meminimalkan kemungkinan efek
merugikan dari mesh makroporous bila ditempatkan intraperitoneal, mesh
komposit dengan barrier yang dapat diserap dan tidak dapat diserap direkayasa.
Dalam semua mesh komposit ini, lapisan yang menghadap rongga perut mencegah
adhesi dengan usus sementara lapisan yang bersentuhan dengan dinding perut
mendorong jaringan tinggi dalam pertumbuhan berupa polyester, polypropylene
atau ePTFE (Doctor, 2006).
2.4.2 Mesh Komposit dengan barrier yang diserap (Absorbable barrier
composite meshes)
Sepramesh Biosurgical composite (Genzyme Biosurgery, Cambridge,
USA) adalah biomaterial prostetik komponen ganda yang terdiri dari
polypropylene makroporous di satu sisi, dengan membran bioreabsorbable
nonimunogenik natrium hyaluronate dan karboksimetil selulosa di sisi lain.
Seprafilm dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap pembentukan
adhesi intra-abdomen selama periode kritis remesotelisasi selama minggu pertama
pasca operasi. Barrier yang diserap berubah menjadi gel dalam 48 jam, tetap tetap
berada di jala selama 7 hari dan dibersihkan dari tubuh dalam 28 hari. Bahan
57
antiadhesive ini membentuk barrier fisik pada permukaan yang rusak untuk
mencegah penempelan atau mengurangi viskositas antara jaringan sekitarnya.
Barrer fisik harus member kesempatan jaringan yang luka untuk sembuh secara
terpisah satu sama lain. Selain itu, natrium hyaluronate dan karboksimetil selulosa
adalah polisakarida anionik yang membentuk membran yang bermuatan negatif,
properti molekuler yang mendorong pemisahan jaringan selama penyembuhan.
Komposit Parietex (Sofradim, Perancis) terdiri dari mesh polyester
multifilamen dengan lapisan atelocollagen tipe I yang dimurnikan dan dioksidasi
yang dilapisi oleh film antiadhesi polietilen glikol dan gliserol. Polietilen glikol
adalah hidrogel yang menurunkan kemampuan penempelan jaringan dan gliserol
adalah lipid hidrofobik. Lapisan kolagen berfungsi untuk meningkatkan
pertumbuhan kolagen dengan meningkatkan hidrofilisitas mesh polyester dan
menurunkan reaksi jaringan fibrosa pada material 'asing' (mesh). Film kolagen,
polietilen glikol dan gliserol diserap dalam 3 minggu. Mesh parientene composite
terdiri dari barrer antiadhesive yang sama namun dilapisi dengan polypropylene.
PROCEED Surgical Mesh (Johnson dan Johnson, India) adalah mesh
steril berlapis, tipis, fleksibel terdiri dari lapisan oxidized regenerated cellulose
(ORC); dan PROLENE soft mesh, mesh polypropylene nonabsorbable yang
dienkapsulasi oleh polimer polydioxanne. Sisi polypropylene dari produk tersebut
memungkinkan pertumbuhan jaringan, sedangkan sisi ORC menyediakan lapisan
bioresorbable yang secara fisik memisahkan mesh polypropylene dari permukaan
jaringan dan organ yang mendasar selama periode penyembuhan luka untuk
meminimalkan keterikatan jaringan pada mesh. Polydioxanone memberikan
58
ikatan pada lapisan ORC. Mesh ini memiliki konstruksi mesh makroporous
ringan, risiko minimal sisa benda asing, memungkinkan cairan mengalir dengan
mudah dan tidak mengandung bakteri (Doctor, 2006).
Gambar 2. 17 Lapisan “Multilayered structure” pada PROCEED surgical mesh
(Doctor, 2006).
2.4.3 Mesh Komposit dengan barrier yang tidak diserap (Nonabsorbable
barrier composite meshes)
Bard composix mesh (Davol Inc, Cranston, USA) adalah kombinasi
polypropylene yang memiliki lapisan tipis ePTFE di satu sisi untuk mencegah
adhesi usus. Introduksi melalui port laparoskopi sulit dilakukan karena tidak bisa
memampatkan mesh dan karenanya membutuhkan port yang lebih besar (12 mm)
untuk introduksi.
Material Gore-Tex Dual mesh (W. L. Gore, USA) memiliki dua
permukaan; satu sangat halus (micropores 3 mm) dan yang lainnya kasar
(micropores sekitar 22 mm). Ini dirancang untuk ditanamkan dengan permukaan
halus terhadap organ viseral - jaringan yang tidak memerlukan adhesi minimal
59
atau minimal - dan permukaan lainnya yang sesuai dengan penggabungan jaringan
yang diinginkan. Dual mesh hadir dalam dua pilihan: pertama adalah lembaran
padat dan yang lainnya berlubang untuk memungkinkan penggabungan jaringan
lebih besar. Sebuah inovasi baru saat ini adalah penggabungan perak dan
klorheksidin ke dalam ePTFE. Hal ini menghasilkan tindakan antimikroba yang
signifikan (Doctor, 2006).
Penggunaan barrier baru yang mudah diserap dan tidak dapat diserap
pada mesh komposit mengurangi kejadian adhesi dan komplikasi terkait adhesi
telah dievaluasi pada model hewan dan beberapa studi klinis telah dilaporkan.
Insiden adhesi berkurang untuk semua mesh dengan barrier dibandingkan dengan
mesh polyester macroporous.
Perkembangan biomaterial prostetik baru dengan penambahan barrier
yang dapat diserap dan tidak dapat diserap untuk pencegahan adhesi setelah
penempatan mesh intra-abdomen selama perbaikan hernia terbuka dan
laparoskopi merupakan kemajuan signifikan dalam pengelolaan hernia ventral dan
insisional. Tindak lanjut jangka panjang sangat diharapkan untuk menentukan
apakah Komposit Sepramesh, Komposit Parietex, Komposit Parientene,
PROCEED, Bard Composix dan Gore-Tex Dual mesh akan mengurangi kejadian
komplikasi terkait mesh dibandingkan dengan mesh macroporus nonbarrier
(Doctor, 2006).
60
2.5 Penggunaan Anti Adhesi Barrier pada tindakan DC
Penggunaan Polytetrafluoroethylene (PTPE) pada pasien dengan DC
untuk mencegah epidural fibrosis. Dari 52 pasien DC sejak tahun 1998, 23 pasien
dilakukan pemasangan PTPE di antara duramater dan galea tanpa dijahit. Pada
saat Cranioplasty, tidak ditemukan adhesi formasi/ perlengketan pada semua 23
pasien. Cranioplasty dilakukan antara 34-130 hari, rata-rata 70 hari. Pada 29
pasien tanpa PTPE saat diseksi hati-hati didapatkan rata-rata waktu operasi 79,66
±18,9 menit, jumlah darah 92,41±37 ml. 2 kasus mengalami cedera dura saat
diseksi. Pada 23 pasien dengan PTPE, Cranioplasty lebih mudah karena adanya
PTPE memudahkan memisahkan jaringan subkutis dari duramater dan tidak ada
perlengketan. Lama operasi 60,43±24,3 menit, dengan jumlah darah 58,04±27,8
ml. tidak ada cedera pada duramater. Perbedaan lama operasi dan jumlah darah
diantara kedua grup berbeda bermakna. (Vakis dkk., 2006).
Seperti diketahui masalah selama Cranioplasty setelah DC adalah
terjadinya perlengketan/adhesi antara jaringan lunak terutama duramater dengan
otot temporal dan galea. Perlengketan / formasi adhesi ini dapat menimbulkan
masalah sulitnya diseksi /memisahkan jaringan sehingga waktu operasi lebih lama
dan resiko perforasi duramater menjadi lebih besar. Selain itu pada adhesi lebih
banyak jaringan lunak yang ditinggalkan di bawah flap tulang, menyebabkan
jaringan yang menutup flap tulang kurang jaringan sehingga kosmetik kurang
baik. Untuk mencegah atau mengurangi fibrosis berbagai metode sudah
digunakan seperti PTPE atau non absorbable membrane yang lain untuk berbagai
macam operasi seperti operasi spinal dan cardiovaskuler.
61
Selain PTPE, digunakan silicon sheet, dari 16 pasien yang dilakukan, tidak
ada hematoma, 1 mengalami infeksi, 2 hidrosefalus. Keuntungan anti adhesi
adalah: mengurangi diseksi saat reoperasi, resiko cedera parenkim berkurang
sehingga menurunkan resiko kejang, menurunkan kerusakan otot dan
neurovascular supply, meningkatkan hasil kosmetik dan menurunkan nyeri pasca
operasi, mengurangi waktu operasi, mengurangi biaya dan menurunkan
komplikasi. Kekurangnannya adalah: infeksi pasca operasi (Bulters dkk., 2010).
Otot, flap galea kontak langsung dengan duramater atau implant atau
kortek, dimana mudah terjadi adhesi. Pada saat cranioplasty, otot temporal
dipisahkan dari duramater, kadang-kadang sangat sulit dan perlu waktu lama,
resiko terjadi efusi cairan CSF dengan potensial terjadi komplikasi pasca operasi.
Bermacam material dicoba untuk mengurangi adhesi antara flap otot-galea dengan
duramater. Disini digunakan collagen matrix (Duragen). Hasilnya: pada saat
cranioplasty 27% (4 pasien) mengalami komplikasi robekan duramater dan
kebocoran CSF pada 2 pasien (13%) dimana setelah 1 minggu kebocoran
menghilang. Pada grup kontrol didapatkan robekan duramater pada 8 pasien
(67%) dengan kebocoran CSF sebanyak 7 pasien (58%), setelah 1 minggu
subgaleal CSF 33% (4 pasien) yang menghilang setelah 8 minggu (Horaczek dkk.,
2008).
Penggunaan Seprafilm untuk substitusi duramater dan anti adhesi barrier
untuk mencegah perlengketan operasi Cranioplasty. Presentasi 3 kasus, ini
merupakan laporan pertama kali penggunaan Seprafilm untuk prosedur kranial
dalam bahasa Inggris. Seprafilm adalah modifikasi kimia Sodium Hyaluronate
62
dengan Carboxymethylcellulose; sebagai absorbable adhesion barrier untuk
mengurangi risiko adhesi pada operasi abdominopelvic. Seprafilm lebih baik
daripada Gorotex (Mumert dkk., 2012).
Kegunaan silicone sheet/elastomere untuk mencegah fibrosis epidural
pada DC dengan mengevaluasi formasi adhesi, lama operasi, dan jumlah
perdarahan saat cranioplasty. DC standar berhubungan dengan adhesi duramater
pada operasi cranioplasty berikutnya, waktu operasi lebih lama, kehilangan darah
lebih banyak dan cedera pada duramater. Untuk mencegah komplikasi ini,
beberapa tehnik telah dicoba, contohnya penggunaan PTPE dural substitusi untuk
mencegah adhesi duramater pada cranioplasty setelah DC pada pembengkakan
otak pertama kali dilakukan oleh Kawaguci dkk pada 10 pasien SAH karena
aneurysma ruptur dengan hasil yang baik (Lee dkk., 2007).
Penggunaan artificial dural untuk mencegah peridural fibrosis, diteliti
oleh Huang, 2011 fokus pada Neuropatch (B Braun) suatu non absorbable
substitusi dura yang sering digunakan oleh Bedah Saraf. Sebagai kesimpulan,
penggunaan Neuro-Patch sebagai bahan anti adhesi pada DC untuk TBI tidak
meningkatkan kejadian infeksi local lapangan operasi dan komplikasi
hidrodinamik setelah kraniektomi atau cranioplasty. Namun, hematoma ekstra
aksial setelah kraniektomi lebih sering pada penderita Neuro-Patch. Meskipun
Neuro-Patch efisien dalam memfasilitasi cranioplasty berikutnya, sangat penting
untuk meminimalkan kehilangan darah, menghentikan perdarahan, dan gunakan
saluran pembuangan (drain) pada DC untuk mencegah morbiditas hemoragik
(Huang dkk., 2011).