YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
Page 1: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

LAPORAN AKHIR

ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Oleh:

Achmad Suryana

Adang Agustian Rangga Ditya Yofa

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

2015

Page 2: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

i

KATA PENGANTAR

Membesarnya dan terus meningkatnya anggaran subsidi pupuk dalam 10 tahun terakhir merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang menetapkan harga

pupuk yang dibeli petani tetap pada level murah, yang jauh lebih rendah harga keekonomiannya. Kebijakan pemerintah ini merupakan derivatif atau turunan dari

kebijakan yang menargetkan pemenuhan kebutuhan pangan seluruhnya dari produksi dalam negeri,atau swasembada, khususnya untuk komoditi padi, jagung, dan kedelai. Impor pangan menjadi “the last resort”, atau upaya terakhir yang

terpaksa dilaksanakan apabila benar-benar sangat diperlukan. Sementara itu, walaupun pemerintah sudah banyak mengalokasikan anggaran untuk menyediakan

pupuk bersubsidi disertai dengan bebagai kebijakan terkait distribusi dan penyalurannya kepada petani agar dapat memenuhi prinsip enam tepat (jumlah, dosis, mutu, waktu, tempat, dan harga), namun isu kelangkaan pupuk dan harga

pupuk yang mahal di tingkat petani masih tetap ada di setiap awal musim tanam.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian melakukan Analisis Kebijakan (Anjak) Tinjauan Kritis Kebijakan Perpupukan Menunjang Ketahanan Pangan Nasional. Secara khusus kajian ini

bertujuan untuk: (1) Menghimpun data dan informasi tentang perkembangan kebijakan pemerintah terkait penyediaan dan penyaluran pupuk, yang meliputi peraturan menteri terkait topik ini, penganggaran subsidi pupuk, pengaturan dan

peran kelembagaan distribusi pupuk, dan upaya petani pangan dalam mendapatkan pupuk; (2) menganalisis kebijakan perpupukan untuk mendukung pencapaian

ketahanan pangan yang selama ini diterapkan untuk memperoleh lesson learned yang berharga bagi perumusan kebijakan selanjutnya; dan (3) Merumuskan

alternatif kebijakan perpupukan nasional yang dapat menjamin penyediaan pupuk di tingkat petani secara efisien dari sisi teknis dan ekonomis yang mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional.Pendalaman Kajian dilakukan di Provinsi

Jawa Barat dan Lampung.

Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada berbagai pihak

yang telah memberikan kontribusi dan dukungan/bantuan sehingga laporan akhir Anjak ini dapat diselesaikan. Secara khusus terima kasih disampaikan kepada aparat

pemerintah dan swasta/BUMN di pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten di Jawa Barat dan Lampung) terkait dengan peranan kebijakan dan implementasi perpupukan nasional. Dengan kekurangan dan kemampuan yang dimiliki para

peneliti untuk menyelesaikan kegiatan kajian ini, semoga hasil kajian yang disampaikan dalam laporan akhir ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.

Bogor, Desember 2015 Kepala Pusat

Dr. Handewi P. Saliem 19570604 198103 2 001

Page 3: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xi

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pendahuluan

1) Dalam usaha pertanian modern yang mengejar peningkatan produktivitas

secara terus menerus per satuan lahan, pupuk merupakan salah satu factor produksi penting dan esensial. Tanpa tambahan hara ke dalam tanah atau tanpa pemupukan, akan sangat sulit untuk memperoleh hasil per hektar yang

tinggi secara berkelanjutan. Itu pula salah satu ciri Revolusi Hijau yang memperkenalkan teknologi pupuk dan pemupukan kimiawi, serta

menyediakannya dengan harga murah atau disubsidi.

2) Pada beberapa tahun terakhir upaya peningkatan produktivitas tanaman

pangan melalui pemanfaatan pupuk kimiawi yang berlebihan banyak mendapatkan sorotan berbagai pihak, khususnya dari para ahli tanah, budidaya tanaman, dan lingkungan. Kritik lain muncul dari masyarakat terkait besarnya

anggaran belanja negara yang dialokasikan untuk subsidi pupuk.

3) Besarnya dan terus meningkatnya anggaran subsidi pupuk ini sebagai

konsekuensi kebijakan pemerintah yang menetapkan harga pupuk yang dibeli petani tetap pada level murah, yang jauh lebih rendah dari harga keekonomiannya. Kebijakan pemerintah ini merupakan derivatif atau turunan

dari kebijakan yang menargetkan pemenuhan kebutuhan pangan pokok seluruhnya dari produksi dalam negeri. Impor pangan pokok menjadi “the last resort”, atau upaya terakhir yang terpaksa dilaksanakan apabila benar-benar sangat diperlukan. Pendekatan ini disebut sebagai ketahanan pangan berbasis

kemandirian dan kedaulatan pangan.

4) Perhatian (concern) terhadap efektivitas kebijakan subsidi pupuk dari berbagai instansi pemerintah ternyata cukup tinggi. Beberapa hasil penelitian

menenggarai adanya ketidak efektifan dalam pelaksanaan kebijakan pemberian subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk jelas mempunyai dampak positif bagi

peningkatan produksi pangan, terutama padi/beras. Pencapaian ini memberikan sumbangan yang signifikan secara nasional pada pencapaian

ketahanan pangan, stabilitas ekonomi, dan ketahanan sebagai bangsa. Namun, kinerja negatif dari kebijakan ini juga teridentifikasi seperti pelaksanaan distribusi tidak efisien, pupuk sampai tidak tepat sasaran, dan terbangun

dualisme pasar yang dapat menciptakan moral hazzard.

5) Bebarapa pertanyaan terkait kebijakan perpupukan nasional akhir-akhir ini

semakin keras disuarakan oleh para ahli ekonomi dan ekonomi pertanian, dan menjadi wacana diskusi tingkat nasional, termasuk dari para pejabat tinggi pemerintah. Dalam konteks ini, adakah alternatif kebijakan penyediaan pupuk

bagi petani pangan yang lebih tepat sehingga pemanfaatan pupuk dalam sistem usahatani pangan menjadi lebih efisien, baik secara teknis maupun

ekonomis. Adakah kebijakan penyediaan pupuk kepada petani pangan yang lebih murah biayanya tetapi tetap dapat menjamin pencapaian ketahanan

pangan nasional berdasarkan prinsip kemandirian dan kedaulatan pangan? Untuk dapat menjawab pertanyaan kebijakan tersebut dengan baik, diperlukan informasi yang komprehensif tentang kebijakan ekonomi pupuk selama ini,

Page 4: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xii

yang mencakup rumusan kebijakan, sistem distribusi pupuk, volume dan biaya subsidi pupuk, dan praktek pemupukan oleh petani di lapangan. Hal itulah

yang mendorong perlunya dilakukan kegiatan Anjak ini.

6) Secara khusus Kajian ini bertujuan untuk: (1) Menghimpun data dan informasi

tentang perkembangan kebijakan pemerintah terkait penyediaan dan penyaluran pupuk, yang meliputi peraturan menteri terkait topik ini,

penganggaran subsidi pupuk, pengaturan dan peran kelembagaan distribusi pupuk, dan upaya petani pangan dalam mendapatkan pupuk; (2) menganalisis kebijakan perpupukan untuk mendukung pencapaian ketahanan pangan yang

selama ini diterapkan untuk memperoleh lesson learned yang berharga bagi perumusan kebijakan selanjutnya; dan (3) Merumuskan alternatif kebijakan

perpupukan nasional yang dapat menjamin penyediaan pupuk di tingkat petani secara efisien dari sisi teknis dan ekonomis yang mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional.

Hasil dan Pembahasan

Kebijakan Perencanaan Penyediaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi

7) Pemberian dosis pemupukan oleh petani mengalami perubahan selama rentang

waktu 15 tahun (2000-2014). Pada tahun 2000, sebagian besar petani menggunakan pupuk tunggal tanpa penggunaan pupuk majemuk, dengan penggunaan dosis pupuk urea yang sangat tinggi, melebihi dosis anjurannya.

Kondisi menjadi lebih baik pada tahun 2014, dimana petani sudah menggunakan pupuk majemuk NPK sehingga mengurangi dosis pupuk tunggal.

Perbaikan pemakaian pupuk ini juga berdampak positif pada efisiensi biaya pupuk pada usahatani padi. Dalam periode ini terjadi pengurangan proporsi

biaya pupuk terhadap total biaya usahatani padi dari 17,3% pada tahun 2000 menjadi 12,7% pada tahun 2014.

8) Usaha pertanian yang mendapat alokasi pupuk bersubsidi terdiri dari lima

subsektor yaitu subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan perikanan budidaya. Dari total luas lahan pertanian yang

mendapat alokasi pupuk bersubsidi, subsektor tanaman pangan dan perkebunan mendapatkan alokasi yang tertinggi. Proporsi luas lahan kedua

subsektor tersebut terhadap total luas lahan pertanian sekitar 91%. Besarnya proporsi luas lahan ini berdampak pada besarnya alokasi pupuk bersubsidi untuk kedua subsektor ini.

9) Dalam menyusun alokasi pupuk bersubsidi, data lapangan yang digunakan dalam proses penyusunan adalah Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok

(RDKK), sehingga penyusunan RDKK merupakan kewajiban yang harus dipenuhi kelompok tani calon penerima program pupuk bersubsidi (Permentan No 130 Tahun 2014 Bab 3 Pasal 8). Beberapa masalah yang sering timbul

dalam penyusunan RDKK diantaranya (1) penyusunan RDKK dan rekap RDKK di tingkat kabupaten/kota lebih lambat daripada penetapan alokasi pupuk

bersubsidi pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota; (2) tenaga pendamping penyusunan RDKK masih kurang berhasil mempengaruhi

kelompok tani agar RDKK yang disusun berdasarkan anjuran pupuk bersubsidi;

Page 5: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xiii

(3) masih ada kekurang tepatan perhitungan kebutuhan pupuk berdasarkan frekuensi tanam dimana sawah dengan frekuensi tanam tiga kali dalam

setahun hanya dihitung kebutuhan pupuk untuk dua kali tanam.

10) Perkembangan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi yang ditetapkan dalam

Permentan pada lima tahun terakhir mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,16% per tahun. Dari kelima jenis pupuk yang disubsidi, hanya jenis pupuk

urea yang mengalami penurunan jumlah alokasi dengan rata-rata penurunan sebesar 4,52% per tahun. Sementara itu produksi pupuk secara total yang diproduksi PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) secara umum dalam 5

tahun terakhir mengalami peningkatan 1,71% per tahun. Peningkatan produksi terjadi untuk jenis pupuk urea dan NPK, sedangkan jenis pupuk SP-36, ZA, dan

Organik mengalami perkembangan produksi yang menurun.

11) Pada tahun 2015 penyediaan pupuk bersubsidi sebesar 91,18% dialokasikan untuk provinsi-provinsi sentra produksi padi. Sebanyak 5.977.030 ton (62,62%)

untuk provinsi sentra produksi padi di Pulau Jawa, dan sebanyak 2.726.370 ton (28,56%) untuk provinsi sentra produksi padi di luar Pulau Jawa. Alokasi

penyediaan pupuk bersubsidi pada periode 2010-2014 selalu lebih rendah daripada usulan daerah berdasarkan rekapitulasi RDKK. Rata-rata alokasi

pupuk bersubsidi yang ditetapkan dalam Permentan hanya sekitar 65,25% dari usulan daerah tersebut. Sementara itu, tingkat realisasi penyerapan pupuk bersubsidi oleh petani rata-rata 88,64% per tahun.

Kebijakan Industri Pupuk dan Penganggaran Subsidi Pupuk

12) Sejarah PT PIHC, terbentang selama lebih dari lima dekade yang dapat terbagi menjadi dua fase utama. Fase pertama yang masih bernama PT Pupuk

Sriwidjaja adalah sebagai unit usaha yang berdiri sendiri dari kurun tahun 1959 hingga 1997. Fase kedua ditandai dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tanggal 7 Agustus 1997 yang menunjuk PT Pupuk Sriwidjaja

(Persero) sebagai induk perusahaan (Operating Holding). Adapun industri pupuk yang berada dibawah holding company, yaitu: (a) PT Petrokimia Gresik

(PKG), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, ZA, SP-36/18, Phonska, DAP, NPK, ZK dan industri kimia lainnya serta pupuk organik; (b) PT Pupuk

Kujang (PKC), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik dan industri kimia lainnya; (c) PT Pupuk Kaltim (PKT), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik dan industri kimia lainnya; (d) PT

Pupuk Iskandar Muda (PIM), memproduksi dan memasarkan pupuk urea dan industri kimia lainnya; dan (e) PT Pupuk Sriwidjaja Palembang memproduksi

dan memasarkan pupuk urea dan industri kimia lainnya serta pupuk organik.

13) Berbagai peraturan kebijakan dalam pengembangan industri pupuk nasional telah diterbitkan terkait dengan pengaturan distribusi dan pengawasan pupuk,

HET pupuk dan alokasi penggunaan pupuk. Salah satu kebijakan pengembangan industri pupuk nasional tercantum dalam Instruksi Presiden RI

(Inpres) No 2 Tahun 2010 tentang Revitalisasi Industri Pupuk nasional. Langkah-langkah revitalisasi industri pupuk serta peningkatan daya saing

industri pupuk, melalui usaha: (a) Meningkatkan produksi pupuk an-organik,

Page 6: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xiv

organik dan hayati; (b) Memperluas sebaran produksi pupuk; (c) Mengembangkan keragaman jenis pupuk; (d) Menggunakan teknologi yang

ramah lingkungan; (e) Melakukan penghematan bahan baku dan energi; dan (f) Memperluas akses pasar, untuk memenuhi utamanya kebutuhan dalam

negeri pada sector pertanian, kehutanan, perikanan dan industri. Terkait dengan langkah revitalisasi industri pupuk tersebut, Kementerian Perindustrian

mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian No.141/M-IND/PER/12/2010 tentang Rencana Induk (Master Plan) Pengembangan Industri Pupuk Majemuk. Dalam peraturan ini diatur mengenai rencana nasional mengenai sasaran, arah,

strategi dan kebijakan pengembangan industri pupuk majemuk/NPK dalam mendukung program ketahanan pangan.

14) Mengenai distribusi pupuk, saat ini mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Permendag ini telah mengatur cukup

rinci sistem distribusi pupuk mulai dari pengadaan dan penyaluran, tugas dan tanggungjawab para fihak dalam rantai distribusi pupuk sejak dari produsen

pupuk, pemerintah, pelaku distribusi sampai pengecer, dan petani/kelompok tani. Permendag ini juga mengatur tentang pengawasan dan pelaporan.

15) Terkait dengan alokasi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dan penetapan harga eceran tertinggi (HET) telah dikeluarkan Permentan Nomor 130/ Permentan/ SR.130/11/2014 yang mengatur tentang Kebutuhan dan Harga

Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2015. Pada peraturan ini dijelaskan bahwa alokasi pupuk bersubsidi

dihitung sesuai dengan anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah

Provinsi, serta alokasi anggaran subsidi pupuk tahun 2015. Alokasi pupuk bersubsidi secara nasional tersebut dirinci menurut provinsi, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan. Selanjutnya, dirinci menurut kabupaten/kota

(ditetapkan dengan Peraturan Gubernur) dan menurut kecamatan (ditetapkan denganPeraturan Bupati/Walikota).

16) Untuk mengawasi pengadaan dan penyaluran pupuk yang memperoleh subsidi, pemerintah menetapkan pupuk bersubsidi sebagai barang dalam pengawasan,

sehingga pengawasannya mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang dalam Pengawasan. Dalam Peraturan Presiden ini pupuk bersubsidi

adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program

pemerintah di sektor pertanian.

17) Dalam rentang waktu 2005-2014, alokasi anggaran belanja subsidi cukup berfluktuasi, dan secara nominal sampai dengan APBN-P 2014 mengalami

peningkatan dari Rp 2,53 Triliun (2005) menjadi Rp 18,04 Triliun atau meningkat rata-rata sebesar 13,27 %/tahun.

18) Bila dilihat rasio subsidi pupuk terhadap total APBN, maka kisaran rasionya antara 0,47% sampai 1,77%. Pada kurun waktu 2005-2014, rasio nilai subsidi

pupuk terhadap APBN paling rendah terjadi pada tahun 2006, dan tertinggi pada tahun 2010. Secara keseluruhan pada periode tersebut rasionya masih

Page 7: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xv

menunjukkan peningkatan sebesar 4,28 %/tahun. Dengan peningkatan angka rasio tersebut menunjukan bahwa pemerintah tetap menilai kebijakan

penyediaan pupuk dengan harga yang disubsidi merupakan bagian dari upaya pencapaian swasembada pangan.

Kebijakan Distribusi dan Perdagangan Pupuk

19) Sistem distribusi pupuk bersubsidi di Indonesia selama ini diatur oleh Menteri Perdagangan. Pengaturan sistem distribusi pupuk dimaksudkan agar petani dapat memperoleh pupuk dengan azas enam tepat, yaitu : tempat, jenis,

waktu, jumlah, mutu, dan harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah satunya dapat dilihat dari adanya kesesuaian antara rencana

penyaluran dan realisasi. Kebijakan tentang penyaluran/distribusi pupuk untuk sektor pertanian di Indonesia saat ini telah diatur dengan Permendag No.15 tahun 2013. Pada peraturan tersebut dijelaskan bahwa PT PIHC mendapat

tugas dari pemerintah untuk pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. PT PIHC dapat menetapkan produsen sebagai

pelaksana pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dalam wilayah tanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di

provinsi/kabupaten/kota.

20) Kebutuhan pupuk bersubsidi dihitung berdasarkan dosis anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dikalikan luas usahatani para anggota kelompok tani .

RDKK yang disusun kelompok tani direkapitulasi secara berjenjang dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai tingkat nasional. Melalui

Permentan ditetapkan kebutuhan pupuk Bersubsidi yang dirinci menurut jenis, jumlah, subsektor, provinsi, dan sebaran bulanan. Kebutuhan Pupuk juga

dirinci lebih lanjut menurut kabupaten/kota, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan gubernur. Selanjutnya kebutuhan pupuk bersubsidi dirinci lebih lanjut menurut kecamatan, jenis,

jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan bupati/walikota.

21) Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memperbaiki sistem distribusi pupuk adalah sebagai berikut: (1) Harus dapat menjamin ketersediaan pupuk

di tingkat petani agar Program Peningkatan Ketahanan Pangan tidak terganggu; (2) Industri pupuk nasional harus tumbuh dengan baik dan menikmati keuntungan yang wajar sehingga secara berkesinambungan dapat

memasok kebutuhan pupuk dalam negeri; dan (3) Para distributor dan pengecer pupuk juga dapat menikmati keuntungan yang wajar dari tataniaga

ini. Pada penyaluran/distribusi pupuk untuk sektor pertanian juga perlu diatur mekanisme distribusi untuk menjamin ketersediaannya yaitu: (1) Rayonisasi wilayah pemasaran, (2) Penjualan pupuk mulai di tingkat kabupaten, (3)

Penetapan persyaratan distribusi dan penyaluran secara ketat.

22) Pada tahun 2014 penyediaan volume pupuk bersubsidi sebanyak 9.550.000

ton, dengan rincian: Urea sebanyak 4.100.000 ton, SP36 850.000 ton, ZA 1.050.000 ton, NPK 2.550.000 ton, dan Organik 1.000.000 ton. Adapun

realisasi penyalurannya sebanyak 8.994.847 ton atau 94,19% dari alokasi

Page 8: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xvi

penyediaan pupuk bersubsidi, dengan rincian: Urea sebanyak 4.057.187 ton, SP36 sebanyak 800.992 ton, ZA sebanyak 988.440 ton, NPK sebanyak

2.395.114 ton, dan Organik sebanyak 753.114 ton.

23) Volume penjualan pupuk urea dari produsen pupuk nasional berdasarkan

subsektornya menujukkan bahwa proporsi volume penjualan paling tinggi terjadi pada sektor pangan, meskipun kecenderungannya menurun dari tahun

2011 ke tahun 2014. Pada tahun 2011, volume penjualan pupuk urea dari PT PIHC sebesar 4.585 ribu ton (70,82%) kemudian menjadi 3.994 ribu ton (59,70%) pada tahun 2014. Dengan demikian bahwa penggunaan pupuk urea

untuk sector pangan masih menempati proporsi tertinggi dibandingkan dengan sector lainnya. Sebaliknya volume penjualan urea untuk tujuan ekspor

kecenderungannya meningkat dari 750 ribu ton (11,58%) pada tahun 2011 menjadi 1.108 ribu ton (16,56%) pada tahun 2014.

24) Untuk perdagangan pupuk secara komersial baik pupuk urea, NPK dan SP-36

terutama pada sektor perkebunan dan industri secara umum mengalami peningkatan signifikan. Harga pupuk di pasar non subsidi jauh lebih tinggi dan

perbedaannya semakin besar dibandingkan dengan harga subsidi. Sebagai contoh, harga jual pupuk urea pada tahun 2010 disektor perkebunan sebesar

Rp 2.630/kg dan di industri sebesar Rp 2.606/kg. Harga di kedua sektor tersebut terpaut sekitar Rp 1.000/kg lebih tinggi dibandingkan dengan harga urea subsidi yang hanya sebesar Rp 1.600/Kg. Selanjutnya pada tahun 2014,

harga jual pupuk urea di sektor perkebunan sebesar Rp 3.695/kg dan di industri sebesar Rp 3.664/kg. Harga dikedua sektor tersebut bahkan terpaut

sekitar Rp 2.000/kg lebih tinggi dibandingkan dengan harga urea subsidi yang hanya sebesar Rp 1.800/Kg.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

25) Dalam upaya pencapaian ketahanan pangan nasional berkelanjutan, pemberian

subsidi input (pupuk) untuk usahatani pangan pokok dinilai tetap penting. Melalui penggunaan pupuk secara enam tepat, dengan dosis hara berimbang,

serta penambahan bahan organik, akan meningkatkan produktivitas usahatani pangan. Komponen teknologi pemupukan yang dikombinasikan dengan

komponen teknologi lainnya dan rekayasan kelembagaan dapat mendorong peningkatan produktivitas yang tinggi, peningkatan produksi pangan, dan pencapaian ketahanan pangan.

26) Perbaikan penyusunan RDKK Pupuk Bersubsidi dan penyediaan pupuk bersubsidi sesuai dengan kebutuhan yang disusun berdasarkan RDKK menjadi

salah satu kunci utama dalam menghilangkan permasalahan kelangkaan pupuk bersubsidi yang selama ini selalu terjadi. Pada lokasi kajian di Jawa Barat dan Lampung, seringkali terdapat petani yang tidak tercantum pada RDKK, padahal

petani tersebut adalah petani pangan berskala kecil yang memerlukan pupuk bersubsidi. Disisi lain terdapat petani luas, yang memperoleh jatah pupuk

bersubsidi yang besar dengan cara memecah luas pengusahaan di bawah dua hektar dan di atas namakan petani lain. Selain itu, kelemahan distribusi dengan

mekanisme RDKK juga ditemukan bahwa kios yang ditunjuk dalam penjualan

Page 9: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xvii

pupuknya seringkali tidak mencatat atau menyesuaikan dengan nama yang tercantum. Kios adakalanya lebih mengutamakan bisnisnya, dimana pupuk

cepat terserap oleh petani.

27) Dari pengamatan dan diskusi di lapangan bersama petani dan aparat terkait

(Jawa Barat dan Lampung), dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam penyusunan RDKK pupuk bersubsidi ini, sebagai berikut:

a. Tidak semua petani menjadi anggota kelompok tani, sehingga kebutuhan para petani segmen ini tidak masuk dalam proses perencanaan kebutuhan pupuk yang tercantum dalam RDKK pupuk bersubsidi. Pada saat mereka

membutuhkan pupuk untuk usahataninya, kelompok petani ini akan kesulitan mendapatkan/ membeli pupuk dari pengecer resmi.

b. Tidak semua tanaman yang diusahakan petani dalam siklus satu tahun berjalan dimasukkan dalam RDKK pupuk bersubsidi, sementara itu di dalam Juklak Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi tidak ada rincian komoditas

prioritas yang dapat memperoleh pupuk bersubsidi. Kondisi ini menyebabkan petani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi untuk

persemaian ataupun untuk usahatani tanaman sela yang kebutuhan pupuknya tidak dimasukkan dalam RDKK karena petani tidak merencanakan

menanam tanaman tersebut satu tahun sebelumnya misalnya petani menanam tanaman tertentu biasanya tanaman semusim, karena melihat ada peluang pasar dalam jangka pendek.

c. Tidak ada pengaturan tentang petani yang berhak menerima pupuk bersubsidi berdasarkan penguasaan dan/atau pengusahaan seperti pemilik,

pemilik penggarap, penggarap, penyewa, penyewa penggarap yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Karena tidak ada pengaturan tersebut,

akibatnya di lapangan ditemukan kasus penggarap/penyewa kesulitan memperoleh pupuk karena yang terdaftar dalam RDKK di poktannya hanya anggota poktan yang berstatus pemilik lahan.

d. Batasan pemberian pupuk bersubsidi kepada petani dengan luas lahan maksimal dua hektare, di lapangan tidak operasional karena tidak diatur

lebih lanjut mengenai status kepemilikannya. Diperoleh informasi bahwa lahan lebih dari dua hektare yang dimiliki seorang petani dapat memperoleh

alokasi pupuk bersubsidi karena diusahakan oleh beberapa penggarap, dipecah-pecah lebih kecil dari dua hektare.

e. Sebagian RDKK yang disusun di tingkat poktan tidak akurat, baik secara

procedural ataupun akurasi data yang disajikan, akibatnya terdapat RDKK yang volume kebutuhan pupuknya lebih kecil atau lebih besar dari

kebutuhan riil atau tidak semua kebutuhan pupuk petani direncanakan berdasarkan/ sesuai dengan tanaman yang diusahakannya dalam siklus satu tahun.

f. Ditemukan kasus RDKK tidak sepenuhnya diacu oleh pemilik Kios Resmi dalam proses transaksi penjualan/ pembelian pupuk ke/oleh petani.

Dengan membandingkan pola distribusi komoditas bersubsidi, yaitu bantuan beras (Raskin) dan pupuk, dapat dirumuskan beberapa alternatif untuk sistem

distribusi pupuk bersubsidi dalam upaya meningkatkan efisiensi penyalurannya. Dua isu yang dapat dipertimbangkan untuk menyempurnakan sistem distribusi pupuk bersubsidi berdasarkan lesson learned dari distribusi Raskin adalah: (1)

Page 10: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xviii

BUMN yang ditugaskan diberi mandat untuk bertanggungjawab penuh (tidak dibagi dengan penyalur lain) atas penyaluran barang pemerintah bersubsidi

dimaksud dari gudang miliknya sampai di tingkat desa, dan (2) Pemda diberi tanggungjawab untuk menyalurkan barang pemerintah bersubsidi dimaksud

dari desa ke sasaran penerima, petani atau rumahtangga.

28) Dari telaahan di atas terdapat beberapa alternatif atau pilihan cara pemberian

insentif berproduksi langsung kepada petani baik berupa subsidi input (pupuk) atau subsidi harga output kepada petani, yaitu:

a. Subsidi input dalam bentuk pupuk langsung diberikan ke petani sebelum

masa tanam, seperti mekanisme pembagian Raskin oleh BULOG. Jumlah pupuk yang diberikan ke petani berdasarkan luas lahan garapan, komoditas

yang diusahakan, dan dosis pemupukan untuk setiap komoditas yang diusahakan.

b. Subsidi harga input dalam bentuk uang langsung diberikan kepada petani

sebelum masa tanam, seperti mekanisme bantuan langsung tunai (BLT). Jumlah uang subsidi yang diberikan kepada setiap petani sesuai dengan

luasan lahan usaha, jenis komoditas yang akan diusahakan, dosis pemupukan untuk setiap komoditas, dan besarnya subsidi per kg untuk

setiap jenis pupuk.

c. Subsidi harga input dalam bentuk uang langsung diberikan kepada petani setelah petani membeli pupuk dan memiliki bukti pembelian pupuk dari kios

pengecer resmi. Jumlah subsidi uang yang diberikan maksimal sesuai dengan yang tercatat di RDKK.

d. Subsidi harga output langsung diberikan kepada petani, yaitu penambahan sejumlah nilai rupiah tertentu untuk setiap kg produk pangan yang

diproduksi petani, baik yang dijual ke pasar maupun yang disimpan untuk cadangan pangannya. Besarnya tambahan penerimaan petani dari hasil usahataninya bergantung pada besarnya total produksi pangan nasional

yang disubsidi dan besarnya anggaran subsidi pupuk yang disediakan.

Keempat alternatif di atas akan efektif dilaksanakan apabila didukung basis

atau pangkalan data yang akurat yang menyajikan data pada tingkat petani/rumahtangga tani, khusunya informasi tentang identitas petani (nama,

domisili), luas lahan garapan, dan rencana jenis tanaman yang diusahakan. Khusus untuk subsidi harga output tambahan data yang diperlukan adalah mengenai hasil panen/ produksi pangan dari setiap petani yang jumlahnya lebih

dari 5 juta rumah tangga, untuk setiap komoditas yang ditanam.

29) Kelebihan alternatif kesatu layak diterapkan, namun sistem distribusinya dari

produsen sampai ke petani harus diperbaiki agar pupuk sampai ke petani memenuhi kaidah 6 tepat. Alternatif kedua layak diterapkan karena sudah ada contoh sistem ini diterapkan untuk program lain yaitu penyaluran BLT, namun

ada kekhawatiran petani tidak memanfaatkan sebagian atau seluruh uang subsidi ini untuk dibelikan pupuk sehingga sasaran program tidak tercapai.

Alternatif ketiga layak diterapkan dan petani dipastikan membeli pupuk, namun kemampuan petani membeli pupuk pada harga pasar tidak sama sehingga

dapat saja ada petani yang tidak membeli pupuk atau membeli pupuk lebih

Page 11: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xix

kecil dari dosis yang seharusnya. Alternatif keempat tidak layak diterapkan karena tambahan penerimaan petani (dari subsidi output) lebih kecil dari

tambahan biaya usahatani padi (beli pupuk). Kelebihannya, dengan subsidi harga output dalam bentuk uang, maka subsidi dapat langsung diterima petani.

Sekali lagi, kesemua alternatif tersebut menghendaki prasyarat perlu (necessary condition) bahkan mutlak harus tersedia data yang akurat di

tingkat petani untuk beberapa variabel dapat di update setiap tahun. Semenara itu jumlah keluarga petani dan persil lahan usahatani jumlahnya sangat banyak.

Page 12: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xx

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................... i

EXECUTIVE SUMMARY ......................................................................... ii

RINGKASAN EKSEKUTIF ....................................................................... xi

DAFTAR ISI ......................................................................................... xx

DAFTAR TABEL .................................................................................... xxii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xxiv

I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1

1.2. Tujuan dan Manfaat Anjak ..................................................... 4

II. METODOLOGI .............................................................................. 6

2.1. Lokasi Penelitian ................................................................... 6 2.2. Sumber dan Jenis Data.......................................................... 6

2.3. Metode Analisis ..................................................................... 6

III. KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PUPUK PADA USAHATANI PANGAN ........................................................... 7

3.1. Dosis Pemupukan dan Proporsi Biaya Pupuk pada Usahatani Padi ..................................................................................... 7 3.2. Usaha Pertanian yang Mendapat Alokasi Pupuk Bersubsidi....... 9

3.3. Proses Penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok ..... 11 3.3.1. Kewajiban Penyusunan RDKK ...................................... 11

3.3.2. Jadwal Penyusunan RDKK ........................................... 12 3.3.3. Permasalahan Seputar Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi ................................................................... 13

3.4. Penyediaan Pupuk Bersubsidi ................................................. 15 3.4.1. Tingkat Nasional ......................................................... 15

3.4.2. Tingkat Provinsi .......................................................... 18 3.5. Kebutuhan, Usulan, Alokasi, Penyediaan dan Realisasi Pupuk

Bersubsidi ............................................................................. 20 3.5.1. Kebutuhan, Usulan, dan Alokasi Pupuk Bersubsidi ......... 20 3.5.2. Perkembangan Usulan, Alokasi, Penyediaan dan Realisasi

Pupuk Bersubsidi ........................................................ 22 3.5.3. Alokasi dan Realisasi Pupuk Bersubsidi Menurut Provinsi 25

IV. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PUPUK DAN PENGANGGARAN

SUBSIDI PUPUK ........................................................................... 27 4.1. Sejarah Pengembangan Industri Pupuk Urea dan Lainnya ....... 27

Page 13: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xxi

4.1.1. Periode Fase Pertama.................................................. 27 4.1.2. Periode Fase Kedua ..................................................... 29

4.2. Keragaan Industri Pupuk Saat ini ........................................... 30 4.3. Berbagai Peraturan Kebijakan dalam Pengembangan Industri

Pupuk Nasional ..................................................................... 33 4.4. Analisis Biaya Produksi dan Komponen Pembentuk Biaya HPP

(Harga Pokok Produksi) ......................................................... 35 4.5. Besaran Subsidi Pupuk dan Rasionya Terhadap Anggaran Nasional ............................................................................... 40

V. DISTRIBUSI DAN PERDAGANGAN PUPUK ....................................... 42

5.1. Kebijakan Distribusi dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi ............. 42 5.2. Kebijakan Ekspor-Impor Pupuk .............................................. 55 5.3. Posisi RDKK dalam Penyaluran Pupuk Terhadap Petani ............ 57

5.4. Perkembangan HPP Gabah, HET Pupuk Bersubsidi dan Harga Paritas Pupuk Internasional ................................................... 60

5.5. Mekanisme Pengawasan Pelaksanaan Subsidi ......................... 62 5.6. Perdagangan Pupuk non Subsidi di Pasar Domestik ................. 63

VI. ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN NASIONAL .............................. 65

6.1. Perencanaan Kebutuhan Pupuk Bersubsidi .............................. 65

6.2. Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi ............................................. 68 6.3. Mekanisme penyaluran subsidi pupuk ..................................... 74

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ...................................... 80

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 87

Page 14: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xxii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Produksi Padi, Dosis dan Biaya Pupuk pada Usahatani Padi, 2000 dan 2014 ............................................................................................ 8

2. Luas Lahan dan Alokasi Dosis Pupuk Bersubsidi Sub Sektor Pertanian,

2015 ............................................................................................ 10

3. Perkembangan Alokasi dan Produksi Pupuk Bersubsidi Tahun

2011-2014 ................................................................................... 16 4. Alokasi Produksi PT. PIHC untuk Pupuk Bersubsidi Tahun 2011

dan 2014 ..................................................................................... 17

5. Alokasi Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Provinsi Tahun 2015 ............ 19

6. Alokasi Penyediaan dan Realisasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2014 ............................... 26

7. Perkembangan Produksi Pupuk di Indonesia, 2010-2014 (Ton) ....... 31

8. Kapasitas Produksi Pupuk PT PIHC menurut Produsen dan Jenis Pupuk di Indonesia, 2014 (ton/tahun) ...................................................... 32

9. Volume Penjualan Pupuk Urea PT. PIHC Berdasarkan Sub Sektor di

Indonesia, 2011 dan 2014............................................................. 33

10. Alokasi Pupuk Non-Urea Produksi PT. PIHC untuk Pupuk Bersubsidi di

Indonesia, 2011 dan 2014............................................................. 33

11. Biaya Pokok Produksi Pupuk Urea/Kg di Beberapa Pabrik Pupuk di

Indonesia, Tahun 2011 dan 2014 .................................................. 36

12. Biaya Pokok Produksi SP-36, ZA, dan NPK di PT. PIHC, 2011 dan 2014 37

13. Biaya Produksi (Harga Pokok produksi) Urea dan Proporsi Biaya Gas Bumi Pupuk Produk Anak Perusahaan PT. PIHC di Indonesia, 2011 dan 2014 ..................................................................................... 38

14. Biaya produksi Plus 10% Margin Keuntungan Pupuk Urea Produksi

Anak Perusahaan PT. PIHC dan Besaran Subsidi yang Ditanggung Pemerintah per Kg di Beberapa Pabrik Pupuk di Indonesia, 2011 dan

2014 ............................................................................................ 38

15. Volume dan Pendapatan dari Penjualan Pupuk PT. PIHC, 2007-2014 39

Page 15: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xxiii

16. Proporsi Pendapatan dari PSO terhadap Total Pendapatan PT. PIHC, 2010-2014 (Rp Triliun) .................................................................. 39

17. Perkembangan Subsidi Pupuk dan Subsidi Pangan di Indonesia,

2005-2015 ................................................................................... 41

18. Alokasi Pupuk Menurut Jenis Pupuk dan Per Sub Sektor di Indonesia, 2015 ............................................................................................ 50

19. Kapasitas dan Waktu Tempuh Penyaluran Pupuk Bersubsidi dari Gudang Lini II ke ke Gudang Lini III di Indonesia, 2015 ................. 54

20. Perkembangan Konsumsi, Ekspor dan Impor Urea serta ZA di Indonesia, 2005-2012 ................................................................... 56

21. Perkembangan HPP gabah, HET Pupuk dan rasionya di Indonesia,

2007-2015 ................................................................................... 61

22. Harga Jual di Pasar Komersial Pupuk Urea, NPK, dan SP-36 Produksi PT. PIHC berdasarkan Sub Sektor Ekonomi, Pasar di Indonesia, 2011-

2014 (Rp/Kg) ............................................................................... 64

Page 16: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

xxiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Perbandingan Kebutuhan Teknis, Usulan Daerah, dan Alokasi Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Sub Sektor Tahun 2015 ............................. 22

2. Kinerja Penyaluran Pupuk PSO di Indonesia, 2010-2014 ................. 24

3. Mekanisme Distribusi Pupuk Bersubsidi di Indonesia, 2011.............. 43

4. Mekanisme Usulan, Alokasi dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Indonesia, 2011 ........................................................................... 45

5. Penyaluran Pupuk Bersubsidi dari Lini-I Sampai Petani di Indonesia, 2011 ............................................................................................ 45

6. Sarana Distribusi Pupuk Di Indonesia, 2015 (PIHC, 2015) ............... 49

7. Alokasi dan Realisasi Penyaluran Pupuk Secara Total di Indonesia, 2014 ............................................................................................ 51

8. Perkembangan Rasio HPP Gabah terhadap HET Pupuk di Indonesia,

2008-2015 ................................................................................... 62

9. Skema Mekanisme Pengawasan Penyaluran Pupuk dan Pestisida di Indonesia, 2011 ........................................................................... 63

Page 17: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam usaha pertanian modern yang mengejar peningkatan produktivitas

secara terus menerus per satuan lahan, pupuk merupakan salah satu factor produksi

yang sangat penting atau esensial.Tanpa tambahan hara ke dalam tanah atau tanpa

pemupukan, sangat sulit untuk memperoleh hasil per hektare yang tinggi secara

berkelanjutan.

Upaya peningkatan produksi pangan khususnya padi melalui penerapan

intensifikasi teknologi di Indonesia sudah dimulai lebih awal dari program Bimas.

Pada Desember 1949 Pemerintah menggabungkan Rencana Kasimo dan Rencana

Wisaksono menjadi Rencana Kesejahteraan Istimewa, yang salah satu komponennya

mengembangkan usaha pertanian yang lebih sistematis. Salah satu komponen

teknologi yang diterapkan dalam intensifgikasi usaha pertanian adalah penambahan

hara kimiawi ke lahan usahatani padi, khususnya pupuk fosfat dan nitrogen (Hafsah

dan Sudaryanto, 2003).

Pada tahun 1958 Pemeritah mencanangkan program intensifikasi usahatani

dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memanfaatkan potensi

lahan, daya, dan dana yang tersedia. Program ini disebut Padi Sentra. Pada Prorgam

ini diperkenalkan teknologi Panca Usahatani, yang salah satunya adalah penyediaan

dan penggunaan pupuk yang cukup. Program inilah yang selanjutnya bergulir jadi

Program Bimas dan berbagai variannya. Program ini pula seringkali disebut Revolusi

Hijau (Green Revolution) karena berhasil meningkatkan produksi padi dengan

pertumbuhan yang cukup tingi, tidak saja di Indoenesia tetapi di berbagai negara

Asia. Pendekatan ini membawa hasil meningkatkan ketersediaan pangan secara

global. Di Indonesia Revolusi Hijau berhasil meningkatkan produktivitas dan produksi

padi meningkat pesat cukup cepat, dan puncaknya mencapai swasembada beras di

tahun 1984.

Beberapa tahun terakhir upaya peningkatan produktivitas tanaman pangan

melalui pemanfaatan pupuk kimiawi mendapat sorotan berbagai fihak, khususnya

dari para ahli tanah, budidaya tanaman, dan lingkungan. Kritik utama terkait dengan

pemanfaatan pupuk dengan dosis berlebihan dan dilakukan secara terus-menerus.

Page 18: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

2

Kritik lain muncul dari masyarakat terkait besarnya anggaran belanja negara yang

dialokasikan untuk subsidi pupuk. Misalnya, selama lima tahun terakhir anggaran

subsidi pupuk naik terus yang jumlahnya sudah berada di atas 15 trilyun rupiah

setiap tahun dan pada tahun 2015 dianggarkan sebesar 35,7 triliun rupiah, termasuk

untuk pendanaan kurang bayar subsidi pupuk kepada produsen pupuk untuk

beberapa tahun sebelumnya.

Besarnya dan terus meningkatnya anggaran subsidi pupuk ini sebagai

konsekuensi kebijakan pemerintah yang menetapkan harga pupuk yang dibeli petani

tetap pada level murah, yang jauh lebih rendah dari harga pasar atau harga

keekonomiannya. Kebijakan pemerintah ini merupakan derivatif atau turunan dari

kebijakan yang menargetkan pemenuhan kebutuhan pangan seluruhnya dari

produksi dalam negeri. Impor pangan menjadi “the last resort”, atau upaya terakhir

yang terpaksa dilaksanakan apabila benar-benar sangat diperlukan. Pendekatan ini

disebut sebagai ketahanan pangan berbasis kemandirian dan kedaulatan pangan

(Suryana, 2013).

Industri pupuk di Indonesia, khususnya pupuk Urea dikuasai Badan Usaha

Milik Negra (BUMN). Sejak tahun 2011 BUMN-BUMN produsen pupuk dihimpun

dalam suatu Holding Company (Perusahaan Induk) bernama PT Pupuk Indonesia

Holding Company (PIHC). BUMN ini melaporkan (angka sementara) produksi pupuk

pada tahun 2014 sebagai berikut: pupuk Urea sebanyak 6,74 juta ton, ZA sebanyak

816 ribu ton, NPK sebesar 2,72 juta ton, SP-36 sebesar 400 ribu ton, dan pupuk

organik mencapai 580 ribu ton. Dari jumlah tersebut sebagian besar dialokasikan

untu kebutuhan pupuk bersubsidi, yaitu sekitar 60% Urea dan lerbih dari 85% non-

Urea dengan jumlah sekitar 9,5 juta ton (Pupuk Indonesia Holding Company, 2015).

Walaupun Pemerintah sudah banyak mengalokasikan anggaran untuk

menyediakan pupuk bersubsidi disertai dengan bebagai kebijakan terkait distribusi

dan penyalurannya kepada petani agar dapat memenuhi prinsip enam tepat (jumlah,

dosis, mutu, waktu, tempat, dan harga), namun isu kelangkaan pupuk dan harga

pupuk yang mahal di tingkat petani masih tetap ada di setiap awal musim tanam.

Kejadian ini sudah berlangsung lama seperti dilaporkan dalam hasil Analisis

Kebijakan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian tahun 2014 (Kariyasa,

Mardianto, dan Maulana, 2004; dan Susila, 2010).

Page 19: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

3

Permasalahan ini muncul bukan hanya dari sebab yang sederhana, misalnya

karena ketidak-beresan sistem distribusi, tetapi terkait juga dengan keseimbangan

antara penyediaan pupuk bersubsidi dan permintaan pupuk dari petani pangan,

dampak kebijakan disparitas harga yang terlalu lebar, dan ketidak tepatan dosis

pemupukan oleh petani. Selain itu, besarnya moral hazard dari sebagian pelaku

usaha pupuk, penyusunan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) yang tidak

akurat dan lemahnya pengawasan pupuk di lapangan juga dapat memperbesar

permasalahan tersebut. Permasalahan perpupukan ini terus berlanjut dari tahun ke

tahun sampai sekarang, seperti yang selalu dilaporkan di media masa.

Perhatian (concern) terhadap efektivitas kebijakan subsidi pupuk dari

berbagai instansi pemerintah ternyata sangat tinggi, seperti tercermin dari berbagai

laporan kajian tiga instansi (Bappenas, 2011, Badan Kebijakan Fiskal, 2010; dan

Badan Pemeriksa Keuangan, 2008). Ketiga laporan tersebut menenggarai adanya

ketidak efektifan dalam pelaksanaan kebijakan pemberian subsidi pupuk. Kajian

semacam ini masih diperlukan, baik untuk up-dating informasi maupun untuk

menelaah aspek tertentu secara lebih fokus.

Kebijakan subsidi pupuk jelas mempunyai dampak positif bagi peningkatan

produksi pangan, terutama padi/beras. Pencapaian ini memberikan sumbangan yang

signifikan secara nasional pada pencapaian ketahanan pangan, stabilitas ekonomi,

dan ketahanan sebagai bangsa. Namun, penilaian negatif terhadap konsep dan

pelaksanaan kebijakan ini juga muncul, seperti pelaksanaan distribusi tidak efisien,

pupuk tidak sampai tidak sampai kepada sasaran yang tepat, dan terbangun

dualisme pasar (Susila, 2010) yang dapat menciptakan moral hazzard.

Besaran subsidi pupuk per kg dihitung dari harga pokok produksi (HPP) plus

margin keuntungan (10%) dikurangi harga pupuk yang dibayar petani. Karena harga

bahan baku (gas) meningkat terus dan ditetapkan dalam dolar Amerika Serikat

(USA), serta volume kebutuhan pupuk untuk pangan meningkat dari tahun ketahun,

maka jumlah anggaran subsidi pupuk terus meningkat pula.

Beberapa permasalahan yang perlu didalami dapat tercermin dari kalimat

pertanyaan bertikut: (1) Sampai kapan kebijakan pupuk seperti sekarang ini cocok

diterapkan dalam pembangunan pangan nasional?; (2) Adakah alternatif kebijakan

penyediaan pupuk bagi petani pangan yang lebih tepat sehingga pemanfaatan

Page 20: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

4

pupuk dalam sistem usahatani pangan menjadi lebih efisien, baik secara teknis

maupun ekonomis?; dan (3) Adakah kebijakan penyediaan pupuk kepada petani

pangan yang lebih murah biayanya tetapi tetap dapat menjamin pencapaian

ketahanan pangan nasional berdasarkan prinsip kemandirian dan kedaulatan

pangan?

Pertanyaan yang menyoal kebijakan perpupukan di atasi semakin keras

disuarakan oleh para ahli ekonomi dan ekonomi pertanian, dan menjadi wacana

diskusi tingkat nasional, termasuk dari para pejabat tinggi pemerintah. Dalam

RAPBN 2016 yang disampaikan Presiden RI Joko Widodo dalam Sidang Paripurna

DPR RI tanggal 14 Agustus 2015, tercantum anggaran subsidi pupuk sebesar 30,062

triliun rupiah. Namun yang menarik Presien Joko Widodo dalam twitter tanggal 15

Agustus 2015 menulis”subsidi pupuk dan benih banyak diselewengkan. Akan kita

ubah menjadi subsidi produk akhir harga beli pemerintah ke petani.”

Untuk dapat menjawab pertanyaan kebijakan tersebut dengan baik,

diperlukan informasi yang komprehensif tentang konsep dan implementasi kebijakan

perpupukan, khususnya mengenai: (1) perencanaan kebutuhan dan pemenuhan

kebutuhan pupuk bersubsidi, mulai dari tingkat petani sampai Pemerintah di pusat;

(2) arah pengembangan industri pupuk nasional termasuk kebijakan

pembiayaan/pengganggaran subsidi pupuk; dan (3) distribusi dan perdagangan

pupuk dalam negeri, termasuk penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sampai

di petani, serta upaya petani mendapatkan pupuk.

Tujuan dan Manfaat Anjak

Tujuan umum Anjak ini adalah menghimpun dan menganalisis data dan

informasi tentang kebijakan perpupukan nasioanal, khususnya dalam perencanaan,

pengembangan industri,dan distribusi serta perdagangan pupuk bagi petani pangan

dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional.

Secara khusus Anjak ini bertujuan:

1. Menganalisis kebijakan dan perencanaan kebutuhan dan pemenuhan

kebutuhan pupuk bersubsidi, mulai dari tingkat petani sampai pemerintah di

pusat.

Page 21: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

5

2. Menganalisis kebijakan pengembangan industri pupuk nasional termasuk

kebijakan pembiayaan/pengganggaran subsidi pupuk.

3. Menganalisis kebijakan distribusi dan perdagangan pupuk dalam negeri,

termasuk penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sampai di petani,

serta upaya petani mendapatkan pupuk.

4. Merumuskan alternatif kebijakan perpupukan nasional yang dapat menjamin

penyediaan pupuk di tingkat petani secara efisien dari sisi teknis dan

ekonomis yang mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional.

Hasil kajian diharapkan bermanfaat bagi para pemangku kepentingan untuk

lebih memahami permasalahan perpupukan secara komprehensif. Dengan

tersedianya data, informasi, dan hasil analisis tentang perpupukan diharapkan

penentu kebijakan dapat merumuskan kebijakan perpupukan yang lebih baik, yang

dapat meningkatkan produktivitas usahatani dan produksi pangan secara efisien.

Dampak yang diharapkan dari Anjak ini, apabila hasilnya dimanfaatkan

sebagai referensi dalam perumusan kebijakan, adalah tertatanya sistem distribusi

pupuk sampai ke petani dengan lebih efisien, terjadinya efisiensi dalam alokasi

anggaran dan belanja negara untuk subsidi pupuk, membaiknya penerapan

pemupukan pada usahatani pangan, meningkatnya produksi pangan secara efisien,

dan meningkatnya pencapaian ketahanan pangan nasional berbasis kemandirian dan

kedaulatan pangan.

Page 22: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

6

II.METODOLOGI

2.1. Lokasi Penelitian

Lingkup pembahasan kajian ini bersifat nasional. Untuk pendalaman mengenai

dampak kebijakan perlu dilakukan verifikasi di lapangan, khususnya mengenai

sistem distribusi, persepsi petani/kelompok tani atas kebijakan perpupukan nasional,

dan realisasi pemanfaatan pupuk di lapangan oleh petani. Untuk itu dilakukan

pendalaman kegiatan Anjak di lokasi kajian Provinsi Jawa Barat dan Lampung.

2.2. Sumber dan Jenis Data

Sumber data untuk lingkup nasional berupa data sekunder dikumpulkan dari

berbagai instansi pemerintah di Jakarta diantaranya Kementerian BUMN,

Perdagangan, Pertanian, BPS, serta ke BUMN pupuk. Data sekunder juga diperoleh

melalui penelusuran dokumen berupa jurnal/laporan/tesis/disertasi berbentuk hard

copy maupun elektronik. Selain pengumpulan data sekunder, juga dilakukan

pengumpulan data primer melalui wawancara dengan aparat pertanian tingkat

provinsi/kabupaten dan gapoktan/ petani padi sawah.

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi dokumen-dokumen terkait kebijakan

perpupukan dan informasi serta data mengenai sistem produksi dan pengadaan

pupuk bersubsidi, sistem distribusi atau penyaluran pupuk bersubsidi, serta pola

pemupukan yang dilaksanakan petani. Sementara itu, jenis data primer yang

dikumpulkan adalah pendapat pemangku kepentingan perpupukan di provinsi dan

kabupaten terpilih mengenai kebijakan perpupukan yang selama ini diberlakukan

dan respons petani atas penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi.

2.3. Metode Analisis

Anjak ini menggunakan metoda analisis kuantitatif dan deskriptif kualitatif.

Analisis kuantitatif dilakukan melalui penghitungan tingkat pertumbuhan/

peningkatan dari data series waktu dan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel

analisis. Selain itu juga dilakukan analisis deskriptif kualitatif atas data yang disajikan

baik yang bersumber dari instansi maupun dari lokasi kajian. Dari keseluruhan

analisis diharapkan dapat dirumuskan alternatif kebijakan perpupukan yang

komprehensif serta lebih efisien mencapai sasaran kebijakan.

Page 23: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

7

BAB III. KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PUPUK PADA USAHATANI PANGAN

Kebutuhan pangan semakin bertambah seiring dengan peningkatan jumlah

penduduk. Peningkatan jumlah penduduk juga berdampak pada semakin

berkurangnya lahan pertanian akibat terkonversi menjadi pemukiman dan kawasan

industri. Di sisi lain lahan dan air merupakan faktor penting dalam produksi pangan

dan sering kali menjadi faktor pembatas dalam peningkatan produktivitas, sehingga

peningkatan produktivitas harus ditopang dengan cara lain yaitu melalui

implementasi teknologi usahatani. Salah satu teknologi usahatani yang penting

adalah teknologi pemupukan.

Pupuk merupakan salah satu input dalam usahatani yang sangat penting.

Ketiadaan pupuk dalam usahatani bahkan dapat berakibat input yang lainnya

menjadi kurang optimal. Hadi (2007) menyatakan bahwa pupuk merupakan salah

satu input sangat esensial dalam proses produksi pertanian. Tanpa pupuk,

penggunaan input lainnya seperti benih unggul, air dan tenaga kerja hanya akan

memberikan manfaat marjinal sehingga produktivitas pertanian dan pendapatan

petani akan rendah.

Peran pupuk yang sangat besar dalam peningkatan produksi dan

produktivitas, mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran subsidi pupuk

setiap tahunnya. Selain itu pemerintah juga berharap melalui kebijakan subsidi

pupuk ini dapat meningkatkan adopsi tekonologi pemupukan dengan penerapan

pupuk berimbang spesifik lokasi (Darwis, 2013). Pertanyaannya, bagaimana

pemerintah merencanakan kebijakan alokasi pupuk bersubsidi, dan apakah

memenuhi kebutuhan pupuk yang diinginkan petani? Lebih jauh lagi bagaimana

petani merencanakan kebutuhan pupuknya, serta apakah penggunaannya sudah

sesuai dengan dosis anjuran atau hanya berdasarkan pengalaman?

3.1. Dosis Pemupukan dan Proporsi Biaya Pupuk Pada Usahatani Padi

Dosis pemupukan merupakan formulasi yang dilakukan petani dalam

memberikan tambahan berbagai hara pada lahan usahatani. Jenis, besaran, dan

cara penggunaan pupuk mencerminkan tingkat aplikasi teknologi dalam usahatani

Page 24: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

8

(Sumaryanto, 2004). Pada usahatani padi, meskipun terdapat dosis pemupukan

anjuran, namun sebagian besar petani menetapkan dosis pemupukan atas dasar

pengalamannya melakukan usahatani (Susilowati, et. al, 2010). Berdasarkan hal

tersebut, sering kali dosis pemupukan yang digunakan petani sangat tinggi dan

cenderung berlebihan atau tidak menambah hara pada lahan usahataninya secara

seimbang.

Tabel 1. Produksi Padi, Dosis dan Biaya Pupuk pada Usahatani Padi, 2000 dan 2014

Uraian 2000 2014

Nilai Proporsi Nilai Proporsi

Produksi (Kg/Ha) 5.650 - 6.170 -

Dosis Pemupukan (Kg/Ha)

Urea 360,1 56,5 187,2 13,6

ZA 117,7 18,5 - -

TSP 63,8 10,0 - -

SP-36 39,5 6,2 163,1 11,9

KCl 35,7 5,6 107,3 7,8

NPK - - 169,6 12,3

Organik 20,2 3,2 593,8 43,2

Lainnya - - 154,2 11,2

Biaya Pupuk (.0000 Rp/Ha)

Urea 374,8 8,7 349,8 2,4

ZA 122,5 2,8 - -

TSP 102,2 2,4 - -

SP-36 63,2 1,5 371,8 2,5

KCl 68,5 1,6 225,3 1,5

NPK - - 377,5 2,5

Organik 12,8 0,3 316,5 2,1

Lainnya - - 251,1 1,7

Total Biaya Pupuk (.000 Rp/Ha) 744 1.892

Total Biaya Usahatani (.000 Rp/Ha) 4.335,3 14.804,2

% Biaya Pupuk/Usahatani 17,3 12,8

Sumber: Sumaryanto (2004) dan Badan Ketahanan Pangan (2015) Keterangan: Biaya terdiri dari Biaya Benih, Pupuk, Obat-obatan, Tenaga Kerja, Sewa Lahan,

Sewa Traktor, dan Biaya Lainnya namun tidak termasuk Biaya Bank

Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa pupuk urea merupakan jenis pupuk

yang paling banyak digunakan dalam usahatani padi. Pada tahun 2000, penggunaan

pupuk N (yaitu Urea dan ZA) bahkan sudah berlebihan. Penggunaan pupuk yang

berlebihan ini akan mengakibatkan inefisiensi penggunaan input dan pada jangka

panjang akan mengakibatkan degradasi sumberdaya (Sumaryanto, 2004). Tingginya

Page 25: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

9

penggunaan pupuk N juga disebabkan saat itu petani belum menggunakan pupuk

majemuk.

Lima belas tahun kemudian, pada tahun 2014 pemupukan yang diterapkan

petani sudah menggunakan pupuk majemuk sehingga penggunaan pupuk tunggal

berkurang. Namun begitu, jika dibandingkan dengan rekomendasi pupuk anjuran

yang dikeluarkan kementerian pertanian melalui Permentan No 40 tahun 2007

diketahui bahwa penggunaan pupuk tunggal juga masih berlebih. Pada lahan sawah

yang menggunakan pupuk mejemuk (NPK) sebesar 150 kg/ha maka penggunaan

urea sebesar 200 kg/ha, KCl 75 kg/ha, dan tanpa pupuk SP-36. Dengan demikian

pada tahun 2014, dosis pemupukan yang berlebihan adalah penggunaan pupuk SP-

36.

Proporsi pengeluaran petani untuk biaya pupuk pada tahun 2014 lebih kecil

dibandingkan pada tahun 2000. Pada tahun 2014 total proporsi biaya pupuk

terhadap total biaya usahatani sebesar 12,8%, berkurang sekitar 4,5% dibandingkan

tahun 2000 (17,3%). Pada tahun 2000 penggunaan pupuk urea sangat dominan

sehingga proporsi biaya urea terhadap biaya total sangat tinggi (8,7%) jika

dibandingkan jenis pupuk lain (0,3-2,8%). Sedangkan pada tahun 2014 penggunaan

pupuk lebih merata sehingga proporsi biaya pupuk terhadap total biaya berkisar

antara 1,5-2,5%.

Penggunaan pupuk yang lebih mendekati dosis anjuran berdampak pada

peningkatan produksi. Pada tahun 2014 terjadi peningkatan produksi padi sebesar

520 kg/ha atau sekitar 9,2% dibandingkan tahun 2000. Jika dosis anjuran

penggunaan pupuk diterapkan dengan baik berdasarkan Permentan 40 tahun 2007,

diperkirakan dapat meningkatkan produksi sebesar 2.500 kg/ha sampai 3.500 kg/ha.

3.2. Usaha Pertanian yang Mendapat Alokasi Pupuk Bersubsidi

Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi nasional mengacu kepada Peraturan

Menteri Pertanian (Permentan) tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi

Pupuk Bersubsidi yang diterbitkan setiap tahun. Perkembangan lima tahun terakhir,

pupuk bersubsidi dialokasikan untuk lima subsektor pertanian dan perikanan. Kelima

subsektor tersebut adalah subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,

peternakan, dan perikanan budidaya.

Page 26: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

10

Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa subsektor tanaman pangan memiliki

luas lahan terbesar dalam alokasi pupuk bersubsidi. Proporsi luas lahan subsektor

tanaman pangan terhadap total luas lahan yang mendapat alokasi pupuk bersubsidi

sebesar 49,88%, jumlah ini sedikit lebih besar dibandingkan subsektor perkebunan

yaitu sebesar 41,58%. Dengan demikian, alokasi dan dosis pemupukan subsektor

tanaman pangan dan subsektor perkebunan juga merupakan yang tertinggi

dibandingkan subsektor lainnya.

Tabel 2. Luas Lahan dan Alokasi Dosis Pupuk Bersubsidi Subsektor Pertanian, 2015

Subsektor Luas Lahan Usaha (Ha)

Urea SP-36 ZA NPK Organik

Alokasi (Ton)

Dosis (Kg/Ha)

Alokasi (Ton)

Dosis (Kg/Ha)

Alokasi (Ton)

Dosis (Kg/Ha)

Alokasi (Ton)

Dosis (Kg/Ha)

Alokasi (Ton)

Dosis (Kg/Ha)

Tanaman Pangan

20.140.000 3.071.382 153 567.317 28 713.097 35 1.857.441 92 721.512 36

Hortikultura 2.050.000 181.378 88 45.961 22 61.191 30 165.344 81 53.991 26

Perkebunan 16.790.000 677.705 40 197.985 12 264.473 16 509.338 30 134.097 8

Peternakan 380.000 76.789 202 12.888 34 11.239 30 17.877 47 90.400 238

Perikanan Budidaya

1.020.000 92.746 91 25.849 25 - - - - - -

JUMLAH 40.380.000 4.100.000 102 850.000 21 1.050.000 26 2.550.000 63 1.000.000 25

Sumber: Permentan No. 130 Tahun 2014 dan PT. PIHC (2015), diolah

Alokasi dosis pemupukan seperti disajikan pada Tabel 2, dihitung dari

pembagian antara alokasi pupuk bersubsidi dengan luas lahan usaha pertanian

menurut subsektor. Dosis pemupukan yang terbaik adalah dosis pemupukan yang

spesifik lokasi dan spesifik varietas. Kebutuhan dan efisiensi dosis pemupukan harus

mempertimbangkan tiga faktor yang sangat berkaitan yaitu: (a) ketersediaan hara

dalam tanah, termasuk pasokan melalui air irigasi dan sumber lainnya, (b)

kebutuhan hara tanaman, dan (c) target hasil yang ingin dicapai (Permentan No 40

Tahun 2007).

Anjuran dosis pemupukan berimbang yang spesifik lokasi untuk komoditas

padi sawah mengacu pada Permentan No. 40 Tahun 2007. Pada permentan tersebut

memuat rekomendasi pemupukan untuk 21 provinsi penghasil padi nasional utama

yang di rinci menurut kabupaten dan kecamatan. Gambaran berikut ini dijelaskan

rekomendasi dosis pemupukan di empat kabupaten/kota contoh, yaitu Kabupaten

Lampung Tengah, Kotamadya Metro, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Karawang.

Rekomendasi dosis pemupukan di Kabupaten Lampung Tengah adalah 250

Kg/Ha Urea, 67 Kg/Ha SP-36, dan 60 Kg/Ha KCl jika tanpa menggunakan pupuk

Page 27: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

11

organik. Namun jika menggunakan pupuk organik sebanyak 2 ton/ha, maka dosis

pemupukan sebanyak 225 Kg/Ha Urea, 17 Kg/Ha SP-36, dan 40 Kg/Ha KCl.

Rekomendasi dosis pemupukan untuk Kotamadya Metro adalah 250 Kg/Ha Urea, 50

Kg/Ha SP-36, dan 100 Kg/Ha KCl jika tanpa menggunakan pupuk organik. Jika

menggunakan pupuk organik sebanyak 2 ton/Ha, rekomendasi dosis pemupukan

menjadi 225 Kg/Ha Urea dan 80 Kg/Ha KCl.

Sementara itu, di Kabupaten Cianjur dan Karawang dosis pemupukan untuk

urea lebih banyak dibandingkan Kabupaten Lampung Tengah dan Kotamadya Metro.

Rekomendasi dosis pemupukan di Kabupaten Cianjur adalah 300 Kg/Ha Urea, 74

Kg/Ha SP-36, dan 60 Kg/Ha KCl jika tanpa menggunakan pupuk organik. Namun jika

menggunakan pupuk organik sebanyak 2 ton/ha, maka dosis pemupukan sebanyak

275 Kg/Ha Urea, 24 Kg/Ha SP-36, dan 40 Kg/Ha KCl. Rekomendasi dosis pemupukan

untuk Kabupaten Karawang adalah 300 Kg/Ha Urea, 72 Kg/Ha SP-36, dan 82 Kg/Ha

KCl jika tanpa menggunakan pupuk organik. Jika menggunakan pupuk organik

sebanyak 2 ton/Ha, rekomendasi dosis pemupukan menjadi 275 Kg/Ha Urea, 23

Kg/Ha SP-36, dan 62 Kg/Ha KCl.

Berdasarkan rekomendasi dosis pemupukan di empat kabupaten/kota contoh

penelitian, diketahui bahwa alokasi dosis pemupukan yang bersumber dari pupuk

bersubsidi seperti telah diuraikan pada Tabel 2, dinilai kurang untuk ke empat

kabupaten/kota tersebut, jika hanya menggunakan pupuk tunggal. Selain itu, alokasi

pupuk organik juga kurang, padahal penggunaan pupuk organik merupakan salah

satu solusi untuk mengatasi degradasi lahan pertanian akibat penerapan revolusi

hijau tahun 1960-an (Mayrowani, 2012). Dengan demikian, di empat kabupaten/kota

tersebut, petani harus menggunakan dan terbiasa menggunakan pupuk mejemuk

NPK sebagai kompensasi dari pupuk tunggal yang dialokasikan lebih rendah dari

dosis anjuran pemupukan berimbang.

3.3. Proses Penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK)

3.3.1. Kewajiban Penyusunan RDKK

Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) harus disusun oleh kelompok

tani sebagai acuan dalam penerimaan pupuk bersubsidi. Selain itu penyusunan

Page 28: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

12

RDKK oleh kelompok tani juga merupakan amanah dari Peraturan Menteri Pertanian

tentang alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi. Berdasrkan Permentan No 130 Tahun

2014 Bab 3 Pasal 8 dijelaskan bahwa dinas yang membidani pertanian

kabupaten/kota bersama kelembagaan penyuluhan tingkat kabupaten/kota wajib

melaksanakan pembinaan kepada petani, petambak dan/atau kelompoktani dalam

penyusunan RDKK sesuai luas areal usahatani dan/atau kemampuan penyerapan

pupuk bersubsidi di tingkat petani, petambak dan/atau kelompoktani di wilayahnya.

Berdasarkan Permentan tersebut juga dapat diketahui bahwa dasar dalam

penyusunan RDKK adalah luas areal usahatani dan/atau kemampuan penyerapan

pupuk bersubsidi di tingkat petani. Pasal ini mengakibatkan penyusunan RDKK

menjadi fleksibel, yaitu dasar penyusunan RDKK tidak dibatasi hanya pada luas areal

usahatani yang dimiliki tapi juga kemampuan petani dalam melakukan penyerapan

alokasi pupuk bersubsidi. Namun penyerapan alokasi pupuk bersubsidi oleh petani

tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan finansialnya. Lebih dari itu, hal utama

yang sering menentukan serapan pupuk bersubsidi adalah kebiasaan penggunaan

dalam pemupukan atau pemahaman petani tentang pemupukan.

Berdasarkan diskusi dengan aparat yang bertugas mendampingi kelompok

tani dalam penyusunan RDKK di Kabupaten Karawang diketahui bahwa serapan

pupuk bersubsidi jenis NPK di tingkat pengecer (lini IV) sering kali tidak sesuai

target. Menurutnya kondisi ini disebabkan karena petani biasa menggunakan pupuk

Urea dan petani memiliki persepsi bahwa pupuk NPK bukan merupakan substitusi

dari pupuk Urea. Akibatnya, pemberian pupuk NPK tidak selalu diikuti petani dengan

mengurangi penggunaan pupuk Urea. Kenyataannya petani tetap membeli lebih

banyak pupuk Urea (bahkan membeli pupuk non subsidi jika alokasi pupuk

bersubsidi dirasa kurang) dan membeli pupuk NPK dengan volume di bawah alokasi

yang sudah ditetapkan dalam RDKK.

3.3.2. Jadwal Penyusunan RDKK

Ketepatan dalam penyusunan RDKK menjadi titik awal keberhasilan

perencanaan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi. Tepat dalam hal ini harus

mencakup aspek jumlah yang mengacu kepada anjuran dosis pupuk berimbang dan

aspek ketepatan waktu dalam penyusunan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi.

Page 29: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

13

Sebagaimana amanah dari Permentan No 130/2014 bahwa perhitungan kebutuhan

pupuk bersubsidi nasional mempertimbangkan usulan kebutuhan yang diajukan oleh

kepala dinas provinsi, yang merupakan hasil rekapitulasi RDKK yang disampaikan

oleh dinas kabupaten/kota.

Berdasarkan Permentan No 130/2014 Bab 3 tentang Peruntukan dan

Kebutuhan Pupuk Bersubsidi diketahui tentang tahapan penetapan alokasi

kebutuhan pupuk bersubsidi. Penetapan alokasi pupuk bersubsidi dilakukan

berjenjang dimulai dengan penetapan peraturan tentang alokasi pupuk bersubsidi

nasional untuk tahun depan oleh Menteri Pertanian. Penetapan ini diterbitkan pada

akhir bulan November tahun berjalan. Di dalam Permentan tersebut diatur tentang

alokasi penyediaan pupuk bersubsidi untuk masing-masing provinsi. Selanjutnya

Gubernur di setiap provinsi menetapkan peraturan tentang alokasi kebutuhan pupuk

bersubsidi untuk masing-masing kabupaten/kota, yang dikeluarkan pada

pertengahan Desember tahun berjalan dan terakhir bupati/kota menetapkan

peraturan tentang alokasi pupuk bersubsidi untuk masing-masing kecamatan pada

akhir bulan Desember tahun berjalan.

Permasalahan perencanaan kebutuhan pupuk bersubsidi sering timbul akibat

tahapan penetapan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi tidak didukung dengan

akurasi data kebutuhan yang bersumber dari tingkat kelompok tani. Seharusnya

RDKK yang disusun oleh kelompok tani dan direkapitulasi secara berjenjang dari

tingkat kabupaten/kota hingga nasional menjadi basis utama penyusunan alokasi

kebutuhan pupuk bersubsidi. Namun faktanya rekapitulasi RDKK di tingkat

kabupaten/kota selalu telat dan baru selesai pada bulan Januari tahun pelaksanaan.

Kondisi tersebut terjadi pada kasus Kabupaten Karawang sehingga mengakibatkan

terjadinya senjang jumlah alokasi pupuk bersubsidi antara yang ditetapkan oleh

Menteri Pertanian hingga bupati/walikota dengan RDKK yang direkap di tingkat

kabupaten/kota. Sering kali jumlah kebutuhan pupuk bersubsidi yang direkap

ditingkat kabupaten/kota lebih besar daripada yang ditetapkan oleh bupati/walikota.

3.3.3. Permasalahan Seputar Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi

Beberapa faktor penting dalam perencanaan kebutuhan pupuk sangat

mempengaruhi kualitas RDKK yang disusun. Menurut Darwis dan Saptana (2010)

Page 30: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

14

perencanaan kebutuhan pupuk dipengaruhi oleh harga pupuk, luas areal tanam, dan

dosis pemupukan. Pada pembahasan RDKK di level kelompok tani, yang sering

menjadi perbedaan pendapat antara anggota kelompok tani dengan tenaga

pendamping adalah terkait dosis pemupukan dimana petani sering kali berlebihan

dalam menetapkan dosis pemupukan dibandingkan dengan anjuran pupuk

berimbang. Berdasarkan diskusi dengan pimpinan Dinas Pertanian Kabupaten

Karawang dan Kota Metro diketahui bahwa kondisi ini akibat dari lemahnya tenaga

pendamping penyusun RDKK dalam memberikan arahan dan pendampingan kepada

petani tentang dosisi pemupukan berimbang. Selain itu, lemahnya petugas dinas

kabupaten/kota dalam memperhitungkan intensitas tanam juga memperburuk

kualitas perencanaan kebutuhan pupuk bersubsidi. Petugas sering kali

menyamaratakan kebutuhan pupuk bersubsidi untuk lahan sawah yang memiliki

intensitas tanam dua kali dalam setahun dengan yang memiliki intensitas tanam tiga

kali dalam setahun.

Lambatnya penetapan RDKK di tingkat petani yang mengakibatkan telatnya

rekapitulasi RDKK di tingkat kabupaten/kota, dosis pemupukan yang berlebihan yang

digunakan dalam penyusunan RDKK, dan lemahnya petugas pendamping dalam

memperhitungkan kebutuhan pupuk, mengakibatkan kekurangan pupuk di tingkat

pengecer. Kekurangan pupuk bersubsidi di tingkat pengecer direspon oleh pedagang

pengecer dengan meminta tambahan pupuk kepada distributor. Tambahan pupuk

diberikan oleh distributor dari jatah pupuk pada bulan-bulan mendatang. Situasi ini

jika terakumulasi pada beberapa bulan, ditambah dengan proses realokasi pupuk

antar kabupaten yang tidak sederhana, maka sangat berpotensi terjadinya

kelangkaan pupuk di akhir tahun.

Dengan permasalahan-permasalahan yang kompleks tersebut, solusi yang

bisa dilakukan adalah memperbaiki kualitas RDKK baik dalam hal jumlah yang

dibutuhkan maupun waktu penyusunan. Dinas kabupaten/kota perlu memperkuat

petugas pendamping kelompok tani dengan ilmu dan wawasan yang cukup

mengingat fakta yang ada terungkap dari diskusi di tingkat kabupaten bahwa

petugas yang ada sebagian besar bukan berasal dari latar pendidikan pertanian.

Diharapkan dengan ilmu dan wawasan yang cukup tertutama tentang aspek

Page 31: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

15

budidaya dan usahatani diharapkan petugas lebih mampu dalam mengarahkan

petani dalam menentukan jumlah pupuk yang dibutuhkan.

Pada aspek waktu penyusunan, penetapan rekap RDKK di tingkat

kabupaten/kota perlu dipercepat agar RDKK bisa menjadi dasar dalam penentuan

alokasi pupuk bersubsidi. Sebagaimana kasus di Kota Metro, dimana penyusunan

RDKK untuk tahun anggaran 2016 sudah mulai disusun pada bulan Januari 2015.

Tergetnya pada tingkat kelompok tani RDKK sudah selesai disusun pada bulan

Januari 2015, lalu rekap di tingkat kecamatan maksimal bulan Maret 2015, dan

rekap di kabupaten maksimal bulan April 2015. Dengan demikian, ketika Keputusan

Gubernur terkait alokasi pupuk bersubsidi untuk setiap kabupaten/kota telah

ditetapkan, maka RDKK yang telah direkap di tingkat kabupaten/kota dapat menjadi

dasar dalam penetapan keputusan bupati/walikota untuk alokasi pupuk bersubsidi

per kecamatan.

3.4. Penyediaan Pupuk Bersubsidi

3.4.1. Tingkat Nasional

Pupuk merupakan barang yang mendapat pengawasan pada proses

pengadaan dan penyalurannya. Sebagai upaya pemerintah dalam peningkatan

produksi pangan, maka pupuk mendapatkan subsidi harga untuk kebutuhan

kelompok tani dan atau petani. Jenis pupuk yang mendapatkan subsidi harga

meliputi Urea, SP-36, ZA, NPK, dan pupuk Organik (Peraturan Menteri Perdagangan

No 15 Tahun 2013).

Perkembangan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi pada lima tahun terakhir

dapat dilihat pada Tabel 3. Total alokasi pupuk bersubsidi pada lima tahun terakhir

berfluktuasi dengan trend yang meningkat rata-rata sebesar 0,16% per tahun. Jenis

pupuk yang mengalami peningkatan alokasi signifikan adalah pupuk organik dengan

rata-rata peningkatan alokasi sebesar 10,61% per tahun. Sedangkan jenis pupuk

yang memiliki trend menurun adalah pupuk urea dengan penurunan rata-rata

sebesar 4,52% per tahun. Jenis pupuk lainnya seperti NPK, ZA, dan SP-36 juga

berfluktuasi dengan trend meningkat masing-masing sebesar 3,05%; 5,71%; dan

4,86%.

Page 32: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

16

Tabel 3. Perkembangan Alokasi dan Produksi Pupuk Bersubsidi Tahun 2011-2014

Jenis Pupuk 2011 2012 2013 2014 20151) Rata-Rata

Pertumbuhan (%)

Alokasi (.000 Ton)2)

Urea 5.100 5.100 3.860 4.100 4.100 (4,52)

NPK 2.350 2.594 2.131 2.550 2.550 3,05

SP-36 750 1.000 805 850 850 4,86

ZA 850 1.000 1.075 1.050 1.050 5,71

Organik 704 835 739 1.000 1.000 10,61

Total 9.754 10.529 8.610 9.550 9.550 0,16

Produksi (.000 Ton)3)

Urea 6.474 6.907 6.698 6.690 7.118 2,49

NPK 2.125 2.894 2.528 2.810 2.894 9,42

SP-36 723 522 518 799 500 -2,94

ZA 963 812 827 1.011 790 -3,36

Organik 386 762 788 754 - -0,87

Total 10.671 11.897 11.359 12.064 11.302 1,71

Proporsi Produksi/Alokasi (%)

Urea 127 135 174 163 174

NPK 90 112 119 110 113

SP-36 96 52 64 94 59

ZA 113 81 77 96 75

Organik 55 91 107 75 -

Total 109 113 132 126 118 Sumber: 1) Rencana RKAP PT. PIHC 2) Permentan No. 22 Tahun 2011, 87 Tahun 2011, 123 Tahun 2013, 103 Tahun 2014, dan 130 Tahun 2014 3) Produksi PT. PIHC

Berdasarkan perkembangan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi tersebut

dapat diketahui arah kebijakan perpupukan yang dijalankan pemerintah. Paling tidak

terdapat dua hal penting yang dapat dijelaskan dari perkembangan tersebut.

Pertama, pemerintah menginginkan petani lebih banyak menggunakan pupuk

organik sebagai upaya untuk mengkonservasi lahan pertanian. Kedua, pemerintah

ingin mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk tunggal terutama pupuk

urea dan mengkompensasinya dengan pupuk majemuk NPK.

Berdasarkan Permendag No 15/2013 diketahui bahwa proses pengadaan dan

penyaluran pupuk bersubsidi ditugaskan kepada penyedia tunggal, dalam hal ini

adalah PT. Pupuk Indonesia (Persero) atau Pupuk Indonesia Holding Company

(PIHC). Perkembangan produksi pupuk PIHC dapat dilihat pada Tabel 3. Secara

umum perkembangan total produksi pupuk berfluktuasi selama lima tahun terakhir

Page 33: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

17

dengan tren meningkat rata-rata sebesar 1,71% per tahun. Trend meningkat juga

ditunjukkan oleh perkembangan produksi pupuk urea, dan NPK yaitu masing-masing

sebesar 2,49% dan 9,42%. Trend perkembangan NPK yang meningkat tinggi

menggambarkan respon PIHC terhadap peningkatan alokasi kebutuhan NPK.

Berdasarkan Tabel 3 juga dapat diketahui bahwa proporsi produksi dan

alokasi untuk pupuk bersubsidi untuk beberapa jenis pupuk dibawah 100%, artinya

produksi pupuk masih lebih sedikit dibandingkan alokasi kebutuhan pupuk yang

diharapkan. Pupuk ZA merupakan jenis pupuk yang proporsinya terus menurun

setiap tahun. Sedangkan pupuk SP-36 dan pupuk organik proporsinya berfluktuasi

pada lima tahun terakhir. Perkembangan proporsi yang baik ditunjukkan jenis pupuk

urea dan NPK dimana terjadi peningkatan setiap tahunnya dengan tingkat proporsi

di atas 100%. Kedua pupuk urea dan NPK ini selain dialokasikan untuk kebutuhan

pupuk bersubsidi PIHC juga dipasarkan ke perusahaan perkebunan, industri, dan

ekspor.

Alokasi produksi pupuk untuk program pupuk bersubsidi dapat dilihat pada

Tabel 4. Pada tahun 2014, dengan total produksi sebesar 6.690 ribu ton pupuk urea,

pemerintah menetapkan kebutuhan untuk program pupuk bersubsidi sebesar 3.994

ribu ton (59,7%). Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan alokasi

kebutuhan pupuk bersubsidi berdasarkan RDKK yang disusun daerah. Kondisi yang

sama juga terjadi pada jenis pupuk lainnya dimana alokasi produksi pupuk untuk

pupuk bersubsidi yang ditetapkan Permentan lebih rendah dari kapasitas produksi

PIHC.

Tabel 4. Alokasi Produksi PT. PIHC untuk Pupuk Bersubsidi Tahun 2011 dan 2014

Pupuk

2011 2014

Volume Produksi

(.000 Ton)

Alokasi PSO Volume Produksi

(.000 Ton)

Alokasi PSO

Volume (.000 Ton)

Proporsi (%)

Volume (.000 Ton)

Proporsi (%)

Urea 6.474 4.585 70,82 6.690 3.994 59,7

NPK 2.125 1.762 82,92 2.810 2.374 84,48

SP-36 723 721 99,72 799 796 99,62

ZA 963 943 97,92 1.011 972 96,14

Organik 386 375 97,15 754 754 100 Sumber: PT. PIHC

Page 34: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

18

Jumlah alokasi produksi pupuk yang ditetapkan pemerintah untuk program

pupuk bersubsidi lebih kecil dari RDKK yang disusun daerah secara berjenjang juga

terjadi sejak lima tahun yang lalu. Pada tahun 2011, alokasi produksi untuk pupuk

urea hanya sebesar 4.585 ton dari total kebutuhan sebesar 5.100 ton. Kondisi yang

sama juga terjadi pada jenis pupuk NPK, SP-36, dan pupuk organik dimana alokasi

produksi pupuk untuk program pupuk bersubsidi hanya meliputi berturut-turut

sebesar 74,98%; 96,13%; dan 53,27% dari total alokasi kebutuhan pupuk

bersubsidi.

3.4.2. Tingkat Provinsi

Alokasi penyediaan pupuk bersubsidi ditetapkan berjenjang dari mulai tingkat

nasional sampai dengan kecamatan. Pada tingkat nasional, kebutuhan pupuk

bersubsidi ditetapkan setiap tahun melalui Peraturan Menteri Pertanian yang dirinci

menjadi kebutuhan per provinsi. Sedangkan pada tingkat provinsi, kebutuhan pupuk

bersubsidi ditetapkan dengan keputusan gubernur yang dirinci menjadi kebutuhan

per kabupaten/kota. Begitupun untuk pada tingkat kabupaten/kota dimana alokasi

kebutuhan pupuk bersubsidi per kecamatan ditetapkan dengan keputusan

bupati/walikota.

Pada tahun 2015 total alokasi penyediaan pupuk bersubsidi nasional sebesar

9.544.780 ton. Jumlah tersebut dirinci menjadi sebesar 4.098.000 ton untuk pupuk

urea, 849.670 ton pupuk SP-36, 1.049.610 ton pupuk ZA, 2.548.000 ton pupuk NPK,

dan 999.500 ton pupuk organik. Secara lebih rinci alokasi penyediaan pupuk

bersubsidi per Provinsi tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 5.

Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi terutama diperuntukkan bagi provinsi

sentra produksi padi. Sebagian besar sentra produksi padi berada provinsi-provinsi di

Pulau Jawa. Total alokasi pupuk bersubsidi untuk provinsi di Pulau Jawa (kecuali DKI

Jakarta) sebesar 5.977.030 ton atau sebesar 62,62% dari total alokasi kebutuhan

pupuk bersubsidi.

Di provinsi sentra produksi padi di luar Pulau Jawa, total alokasi kebutuhan

pupuk bersubsidi untuk Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung,

Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat adalah sebesar 1.992.900 ton atau

sebesar 20,88% dari total alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi. Pada sentra produksi

Page 35: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

19

padi urutan berikutnya, yaitu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat,

Bali, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat adalah sebesar 733.470 ton atau

sebesar 7,68% dari total alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi.

Tabel 5. Alokasi Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2015

Provinsi Jenis Pupuk (Ton)

Total Urea SP-36 ZA NPK Organik

ACEH 71.000 21.000 11.000 50.000 21.400 174.400

SUMUT 164.000 48.050 52.000 135.000 35.000 434.050

SUMBAR 70.000 25.500 21.000 61.000 23.000 200.500

JAMBI 26.000 18.800 8.100 50.000 8.180 111.080

RIAU 37.000 14.000 12.000 53.000 10.000 126.000

BENGKULU 22.000 8.000 6.100 32.500 7.000 75.600

SUMSEL 161.700 40.000 9.000 114.550 21.200 346.450

BABEL 18.000 4.000 2.500 19.000 6.000 49.500

LAMPUNG 250.000 46.000 21.100 141.000 26.000 484.100

KEPRI 100 50 50 200 100 500

DKI 300 90 40 150 100 680

BANTEN 62.000 22.000 2.100 28.000 8.000 122.100

JABAR 583.200 150.000 71.000 331.600 59.000 1.194.800

DIY 40.000 4.350 9.320 25.000 14.500 93.170

JATENG 830.000 164.000 232.300 427.000 258.000 1.911.300

JATIM 1.052.460 163.000 471.200 599.000 370.000 2.655.660

BALI 45.000 2.500 8.500 23.300 25.000 104.300

KALBAR 35.500 14.000 5.500 74.900 23.000 152.900

KALTENG 18.000 5.000 2.200 27.300 4.000 56.500

KALSEL 40.870 7.500 2.500 43.000 7.500 101.370

KALTIM 21.000 5.500 3.500 28.200 2.000 60.200

SULUT 19.000 4.700 600 13.000 1.900 39.200

GORONTALO 18.000 1.500 900 18.300 1.500 40.200

SULTENG 30.000 4.000 11.000 29.700 3.800 78.500

SULTRA 26.800 7.830 4.700 17.000 6.500 62.830

SULSEL 248.400 40.000 52.400 118.000 34.000 492.800

SULBAR 27.000 2.500 7.100 16.700 1.500 54.800

NTB 145.000 17.000 17.000 45.000 11.500 235.500

NTT 24.000 5.000 2.960 11.000 5.000 47.960

MALUKU 3.500 500 480 4.000 1.000 9.480

PAPUA 6.300 2.700 700 8.000 2.500 20.200

MALUT 670 200 500 2.000 1.000 4.370

PAPBAR 1.200 400 260 1.600 320 3.780

TOTAL 4.098.000 849.670 1.049.610 2.548.000 999.500 9.544.780 Sumber: Permentan No 130 Tahun 2014 Keterangan: - Pulau Jawa: Seluruh Provinsi di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta - Luar Pulau Jawa 1: Sentra Produksi Padi yaitu Provinsi Sumut, Sumsel, Lampung, Sulsel, NTB - Luar Pulau Jawa 2: NAD, Sumbar, Bali, Kalsel, Kalbar

Page 36: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

20

Total alokasi penyediaan pupuk bersubsidi untuk provinsi sentra produksi padi

adalah sebesar 8.703.400 ton atau sebesar 91,18%. Sisanya sebanyak 841.380 ton

atau sebesar 8,82% dari total kebutuhan pupuk bersubsid tersebar di 11 provinsi

lainnya. Mengacu kepada Nawa Cita yang di rencanakan Presiden Joko Widodo

dimana direncanakan 1 juta hektar lahan sawah baru pada rentang waktu 2015-

2019, maka perencanaan alokasi penyediaan pupuk bersubsidi juga harus

mempertimbangkan rencana perluasan tersebut. Pada tahun 2016 akan dilakukan

perluasan 200.000 hektar lahan sawah baru di wilayah Indonesia bagian timur

seperti di Kabupaten Kepulauan Aru dan Kabupaten Merauke (Biro Perencanaan

Kementan, 2015), karenanya alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2016 harus

memperhatikan wilayah-wilayah tersebut.

3.5. Kebutuhan, Usulan, Alokasi, Penyediaan dan Realisasi Pupuk Bersubsidi

3.5.1. Kebutuhan, Usulan, dan Alokasi Pupuk Bersubsidi

Pupuk bersubsidi diperuntukan bagi petani yang memiliki luasan lahan kurang

dari dua hektar. Secara nasional petani dengan kategori tersebut berjumlah 26,14

juta petani yang sebagian besar tergabung dalam kelompok tani. Jumlah kelompok

tani yang mengajukan RDKK dan berhak menerima pupuk bersubsidi adalah 318.396

kelompok. Meskipun petani dipersyaratkan untuk tergabung ke dalam kelompok,

fakta di lapangan masih ada petani yang tidak mau bergabung dengan kelompok

tani. Kasus di Kota Metro petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani juga

menginginkan untuk membeli pupuk bersubsidi ketika pupuk non subsidi sulit

didapat. Dengan demikian, bergabungnya petani dalam kelompok tani selain

menguntungkan petani dalam hal subsidi harga, juga lebih menjamin petani dalam

mendapatkan pupuk.

Petani dengan luasan lahan kurang dari dua hektar terbagi ke dalam lima

subsektor pertanian yang mendapat jatah alokasi pupuk bersubsidi. Kelima

subsektor tersebut adalah subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,

peternakan, dan perikanan budidaya. Semua jenis komoditas yang diusahakan

petani yang tergabung ke dalam lima subsektor tersebut berhak mendapatkan

pupuk bersubsidi dengan syarat petani yang bersangkutan tergabung ke dalam

kelompok dan mengajukan RDKK. Dengan demikian, kebutuhan potensial pupuk

Page 37: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

21

bersubsidi dapat dihitung dengan mengetahui luasan lahan dari masing-masing

subsektor tersebut.

Total luas lahan petani subsektor tanaman pangan adalah 20,14 juta hektare,

artinya secara teknis kebutuhan pupuk bersubsidi dapat dihitung dari perkalian luas

tersebut dengan dosis pemupukan anjuran. Dengan demikian, kebutuhan teknis

pupuk bersubsidi untuk subsektor tanaman pangan sebanyak 18,27 juta ton.

Begitupun selanjutnya untuk menghitung kebutuhan teknis pupuk bersubsidi pada

subsektor lainnya. Subsektor hortikultura dengan total luas lahan 2,05 juta hektare

maka kebutuhan teknisnya adalah 5,87 juta ton, kebutuhan teknis subsektor

perkebunan dengan luasan 16,79 juta hektare sebanyak 14,97 juta ton, kebutuhan

teknis subsektor peternakan 0,06 juta ton dengan luas 0,38 juta hektare, dan

kebutuhan teknis subsektor perikanan budidaya sebanyak 2,01 juta ton dengan luas

1,02 juta hektare.

Secara umum kebutuhan teknis pupuk bersubsidi lebih tinggi daripada usulan

daerah, dan usulan daerah lebih tinggi daripada alokasi yang ditetapkan dalam

Permentan. Kebutuhan pupuk bersubsidi yang diusulkan daerah merupakan rekap

RDKK yang disusun berjenjang dari mulai tingkat kelompok tani hingga provinsi.

Proporsi total usulan daerah terhadap total kebutuhan teknis sebesar 32,01%,

sedangkan proporsi total alokasi Permentan terhadap total kebutuhan teknis sebesar

23,14%. Artinya RDKK yang menjadi patokan dalam perencanaan kebutuhan pupuk

masih kurang mempertimbangkan unsur teknis seperti kondisi kesuburan tanah dan

unsur hara tanah. Lebih dari itu alokasi Permentan masih jauh dari harapan untuk

dapat memenuhi usulan daerah apalagi kebutuhan teknis.

Proporsi usulan daerah terhadap kebutuhan teknis untuk empat subsektor

(kecuali subsektor peternakan) lebih rendah dari 50%, dan angkanya menjadi lebih

kecil lagi jika dibuat proporsi berdasarkan alokasi Permentan terhadap kebutuhan

teknis yaitu dibawah 40%. Sebaliknya proporsi usulan daerah terhadap kebutuhan

teknis untuk subsektor peternakan sekitar 250%, dan menjadi lebih besar ketika

dibuat proporsi alokasi permentan terhadap kebutuhan teknis yaitu 433%. Meskipun

alokasi Permentan pada subsektor peternakan sangat tinggi dibandingkan kebutuhan

teknisnya, namun jumlah yang dialokasikan untuk subsektor peternakan jauh lebih

sedikit dibandingkan subsektor lainnya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa

Page 38: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

22

alokasi pupuk bersubsidi belum sepenuhnya mempertimbangkan usulan daerah

apalagi kebutuhan teknisnya, dan nampaknya disusun hanya berdasarkan proporsi

luas areal saja.

Gambar 1. Perbandingan Kebutuhan Teknis, Usulan Daerah, dan Alokasi Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Subsektor Tahun 2015

Sumber: PT. PIHC (2015)

3.5.2. Perkembangan Usulan, Alokasi, Penyediaan dan Realisasi Pupuk

Bersubsidi

Keberhasilan program pupuk bersubsidi bergantung kepada tiga faktor

penting yang berkaitan, yaitu penyusunan RDKK, penyaluran/realisasi, dan

pengawasan. Kebutuhan pupuk bersubsidi dihitung sesuai dengan anjuran

pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan

yang diajukan oleh dinas pertanian provinsi ke pemerintah pusat, dalam hal ini

Kementerian Pertanian. Kebutuhan pupuk bersubsidi dirinci menurut jenis, jumlah,

sub sektor, provinsi, dan sebaran bulanan. Kebutuhan pupuk juga dirinci lebih lanjut

menurut kabupaten/kota, jenis, jumlah, sub sektor, dan sebaran bulanan yang

ditetapkan melalui peraturan gubernur. Selanjutnya kebutuhan pupuk bersubsidi

SEKTOR YANG MEMPEROLEH ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI

Tanaman Pangan

Perikanan Budidaya

Peternakan Perkebunan Hortikultura

Luas 20,14 juta ha Kebutuhan Teknis:

18,27 jt ton Usulan Daerah:

9,05 jt ton Alokasi Permentan:

6,7 jt ton

Luas 1,02 juta ha Kebutuhan Teknis:

2,01 jt ton Usulan Daerah:

0,34 jt ton Alokasi Permentan:

0,18 jt ton

Luas 0,38 juta ha Kebutuhan Teknis:

0,06 jt ton Usulan Daerah:

0,15 jt ton Alokasi Permentan:

0,26 jt ton

Luas 16,79 juta ha Kebutuhan Teknis:

14,97 jt ton Usulan Daerah:

2,78 jt ton Alokasi Permentan:

1,7 jt ton

Luas 2,05 juta ha Kebutuhan Teknis:

5,87 jt ton Usulan Daerah:

0,86 jt ton Alokasi Permentan:

0,69 jt ton

TOTAL

Kebutuhan Teknis = 41,14 jt ton Usulan Daerah = 13,18 jt ton

Alokasi Permentan = 9,55 jt ton

318.396 Kelompok Tani

26,14 juta Petani

Memiliki Lahan

Maksimal 2 Ha

Page 39: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

23

dirinci lebih lanjut menurut kecamatan, jenis, jumlah, sub sektor, dan sebaran

bulanan yang ditetapkan melalui peraturan bupati/walikota. Kebutuhan pupuk

bersubsidi mempertimbangkan rekapitulasis RDKK yang disusun oleh Kepala Dinas

Pertanian kabupaten/kota dan diketahui Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) kabupaten/kota setempat.

Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pupuk bersubsidi, maka gubernur

dan bupati/walikota dapat melakukan penyesuaian berdasarkan lokasi, jenis, jumlah

dan waktu kebutuhan pupuk yang menjadi prioritas di wilayah masing-masing. Dinas

pertanian kabupaten/kota bersama kelembagaan penyuluhan tingkat

kabupaten/kota wajib melaksanakan pembinaan kepada petani, petambak dan/atau

kelompok tani dalam penyusunan RDKK sesuai luas areal usahatani dan/atau

kemampuan penyerapan pupuk besubsidi di tingkat petani, petambak dan/atau

kelompoktani di wilayahnya.

Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sampai ke petani/petambak

dan/atau kelompok tani melalui penyalur di lini IV dilakukan sesuai dengan

ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pengadaan dan Penyaluran

Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor

pertanian oleh penyalur di lini IV ke petani/petambak dan/atau kelompok tani diatur

sebagai berikut: (1) Penyaluran pupuk bersubsidi oleh penyalur di lini iv ke

petani/petambak dan/atau kelompok tani dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

Peraturan Menteri Perdagangan tersebut dan dibuktikan dengan catatan dan/atau

nota pembelian kepada petani/petambak dan/atau kelompok tani; (2) Penyaluran

pupuk bersubsidi tersebut memperhatikan kebutuhan petani/petambak dan/atau

kelompok tani dan alokasi di masing-masing wilayah; (3) Untuk kelancaran

penyaluran pupuk bersubsidi di lini IV ke petani/petambak dan/atau kelompok tani,

maka dinas pertanian provinsi dan kabupaten/kota berkoordinasi dengan

kelembagaan penyuluhan tingkat provinsi dan kabupaten/kota guna melakukan

pendataan RDKK di wilayahnya, sebagai dasar pertimbangan dalam pengalokasian

pupuk bersubsidi; (4) Optimalisasi pemanfaatan pupuk bersubsidi di tingkat petani,

petambak dan/atau kelompok tani dilakukan melalui pendampingan penerapan

pemupukan berimbang spesifik lokasi oleh Penyuluh; (5) Pengawasan penyaluran

pupuk bersubsidi di lini IV ke petani/petambakdan/atau kelompok tani dilakukan

Page 40: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

24

oleh petugas pengawas yang ditunjuk sebagai satu kesatuan dari Komisi

Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) di kabupaten/kota.

Membandingkan antara aspek realisasi dengan usulan dan alokasi penyediaan

dapat menunjukkan bagaimana kinerja program pupuk bersubsidi dalam memenuhi

kebutuhan pupuk petani. Secara umum perkembangan alokasi dan realisasi pupuk

bersubsidi selama lima tahun terakhir berfultuatif dengan trend meningkat rata-rata

sebesar 0,88% dan 4,78% per tahun. Sebaliknya perkembangan usulan daerah

berfluktuatif dengan trend menurun rata-rata sebesar 7,88% per tahun. Secara rinci

usulan, alokasi, dan realisasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kinerja Penyaluran Pupuk PSO di Indonesia, 2010-2014

Sumber: PT. PIHC (2015)

Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa senjang atau perbedaan volume

terjadi bukan hanya antara usulan daerah dan alokasi yang ditetapkan dalam

permentan, namun juga terjadi antara alokasi dan realisasi. Proporsi realisasi

dengan alokasi pupuk bersubsidi dalam lima tahun terakhir rata-rata sebesar

88,64%. Kondisi terbaik terjadi pada tahun 2014 dimana proporsi realisasi terhadap

alokasi sebesar 93,05%, sedangkan kondisi terburuk terjadi pada tahun 2010, yaitu

proporsi realisasi terhadap alokasi sebesar 78,13. Sementara itu pada tahun 2013

realisasi penyaluran pupuk bersubsidi melebihi dari alokasi yang ditetapkan dalam

Permentan dengan proporsi 102,38%.

Pada umumnya produsen pupuk (PIHC) menyatakan pupuk tersedia sesuai

atau bahkan melebihi alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi, sehingga kurangnya

penyaluran ini disebabkan permintaan/penebusan pupuk bersubsidi oleh petani yang

Page 41: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

25

lebih rendah. Hal ini dapat terjadi karena ketidak sesuaian antara penyediaan dan

kebutuhan berdasarkan lokasi, waktu, dan daya beli petani.

3.5.3. Alokasi dan Realisasi Pupuk Bersubsidi Menurut Provinsi

Realiasai penyaluran pupuk bersubsidi pada tahun 2014 secara rinci menurut

provinsi dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel tersebut diketahui bahwa

kinerja realisasi penyerapan pupuk bersubsidi cukup baik dimana sebagian besar

provinsi memiliki tingkat realisasi di atas 90%. Provinsi dengan tingkat realisasi

tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Timur, Gorontalo, dan Jawa Timur dimana

tingkat realisasinya masing-masing sebesar 99,31%, 99,23%, dan 98,21%;

sedangkan provinsi dengan tingkat realisasi yang rendah adalah Provinsi Kepulauan

Riau dan Papua Barat, dengan tingkat realisasi masing-masing sebesar 46,28% dan

65,63%. Selain itu, terdapat provinsi yang tingkat realisasinya melebihi alokasi yaitu

Provinsi Papua sebesar 100,42%.

Di provinsi sentra produksi padi di Pulau Jawa (semua provinsi kecuali DKI

Jakarta) rata-rata tingkat realisasi sebesar 92,36%. Di provinsi sentra produksi padi

di luar Pulau Jawa (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan,

Nusa Tenggara Barat, Aceh, Sumatera Barat, Bali, Kalimantan Barat, dan Kalimantan

Selatan) rata-rata tingkat realisasinya lebih rendah yaitu 88,05%. Sedangkan

realisasi pada provinsi non sentra produksi padi sebesar 86,85%. Berdasarkan

tingkat realisasi menurut provinsi di tahun 2014, maka kinerja realisasi pupuk

bersubsidi dianggap sudah cukup baik.

Page 42: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

26

Tabel 6. Alokasi Penyediaan dan Realisasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2014

No Provinsi Alokasi (Ton) Realisasi (Ton) Realisasi/Alokasi (%)

1 NAD 167.000 144.136 86,31

2 Sumatera Utara 429.500 386.171 89,91

3 Sumatera Barat 190.000 163.796 86,21

4 Jambi 107.300 97.652 91,01

5 Riau 125.500 109.277 87,07

6 Bengkulu 74.000 66.716 90,16

7 Sumatera Selatan 343.070 280.088 81,64

8 Bangka Belitung 45.500 42.682 93,81

9 Lampung 473.000 439.929 93,01

10 Kepulauan Riau 430 199 46,28

11 DKI Jakarta 435 324 74,48

12 Banten 122.200 111.284 91,07

13 Jawa Barat 1.172.350 1.095.867 93,48

14 DIY 94.350 82.631 87,58

15 Jawa Tengah 1.914.640 1.751.189 91,46

16 Jawa Timur 2.675.110 2.627.312 98,21

17 Bali 102.450 85.232 83,19

18 Kalimantan Barat 164.500 149.664 90,98

19 Kalimantan Tengah 62.600 57.097 91,21

20 Kalimantan Selatan 98.600 78.826 79,95

21 Kalimantan Timur 57.500 57.102 99,31

22 Sulawesi Utara 40.300 35.643 88,44

23 Gorontalo 41.440 41.119 99,23

24 Sulawesi Tengah 81.200 75.093 92,48

25 Sulawesi Tenggara 52.500 50.421 96,04

26 Sulawesi Selatan 539.970 500.804 92,75

27 Sulawesi Barat 54.010 52.444 97,10

28 Nusa Tenggara Barat 222.640 214.958 96,55

29 Nusa Tenggara Timur 60.500 52.096 86,11

30 Maluku 8.840 6.943 78,54

31 Papua 19.000 19.079 100,42

32 Maluku Utara 4.200 3.608 85,90

33 Papua Barat 5.400 3.544 65,63

Total 9.550.035 8.882.926 93,01 Sumber: PT. PIHC (2015)

Page 43: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

27

IV. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PUPUK DAN PENGANGGARAN SUBSIDI PUPUK

4.1. Sejarah Pengembangan Industri Pupuk Urea dan Lainnya

Sejarah PT Pupuk Indonesia (Persero) atau seringkali disebut PT Pupuk

Indonesia Holding Company disingkat PIHC, terbentang selama lebih dari lima

dekade yang dapat terbagi menjadi dua fase utama. Fase pertama yang masih

bernama PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) adalah sebagai unit usaha yang berdiri sendiri

dari kurun tahun 1959 hingga 1997. Fase kedua ditandai dengan lahirnya Peraturan

Pemerintah (PP) nomor 28 tanggal 7 Agustus 1997 yang menunjuk PT Pupuk

Sriwidjaja (Persero) sebagai induk perusahaan (Operating Holding).

4.1.1. Periode Fase Pertama

PT Pusri resmi didirikan berdasarkan Akta Notaris Nomor 177 tanggal 24

Desember 1959 dan diumumkan dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia

Nomor 46 tanggal 7 Juni 1960. Perusahaan yang memiliki kantor pusat dan pusat

produksi berkedudukan di Palembang, Sumatera Selatan, merupakan produsen

pupuk urea pertama di Indonesia. PT Pusri telah mengalami dua kali perubahan

bentuk badan usaha. Perubahan pertama berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

20 tahun 1964 yang mengubah statusnya dari Perseroan Terbatas (PT) menjadi

Perusahaan Negara (PN). Perubahan kedua terjadi berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 20 tahun 1969 dan dengan Akte Notaris pada bulan Januari

1970, statusnya dikembalikan sebagai PT.

Pada periode fase pertama ini, PT Pusri merupakan pelopor produsen pupuk

urea di Indonesia yang memulai operasional usaha dengan tujuan utama untuk

melaksanakan dan menunjang kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang

ekonomi dan pembangunan nasional, khususnya di industri pupuk dan kimia lainnya.

Selain sebagai produsen pupuk nasional, Pusri juga mengemban tugas dalam

melaksanakan usaha perdagangan, pemberian jasa dan usaha lain yang berkaitan

dengan industri pupuk. Pusri bertanggung jawab dalam melaksanakan distribusi dan

pemasaran pupuk bersubsidi kepada petani sebagai bentuk pelaksanaan Public

Service Obligation (PSO) untuk mendukung program pangan nasional dengan

memprioritaskan produksi dan pendistribusian pupuk bagi petani di seluruh wilayah

Page 44: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

28

Indonesia. Penjualan pupuk urea non subsidi sebagai pemenuhan kebutuhan pupuk

sektor perkebunan, industri maupun ekspor menjadi bagian kegiatan perusahaan

yang lainnya di luar tanggung jawab pelaksanaan Public Service Obligation (PSO).

Sebagai perusahaan yang bertanggung jawab atas kelangsungan industri

pupuk nasional, Pusri telah mengalami berbagai perubahan dalam manajemen dan

wewenang yang sangat berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Sejarah panjang

mengenai dinamika perusahaan ini digambarkan dalam rincian perkembangannya

sebagai berikut:

1) Tanggal 14 Agustus 1961 merupakan tonggak penting sejarah berdirinya

Pusri, karena pada saat itu dimulai pembangunan pabrik pupuk pertama kali yang

dikenal dengan Pabrik Pusri I.

2) Pada Tahun 1963, Pabrik Pusri I mulai berproduksi dengan kapasitas

terpasang sebesar 100.000 ton urea dan 59.400 ton amoniak per tahun.

3) Tanggal 4 Juli 1964, Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh menekan tombol

tanda diresmikannya penyelesaian Pabrik Pusri I didampingi Direktur Utama Pusri Ir.

Salmon Mustafa.

4) Seiring dengan kebutuhan pupuk yang terus meningkat, maka selama

periode 1972-1977, perusahaan telah membangun tiga pabrik Urea lagi, yaitu Pusri

II, Pusri III, dan Pusri IV. Pabrik Pusri II memiliki kapasitas terpasang 380.000 ton

per tahun, dan pada tahun 1992 dilakukan optimalisasi pabrik menjadi 552.000 ton

per tahun. Pusri III yang dibangun pada 1976 dengan kapasitas terpasang sebesar

570.000 ton per tahun, dan pabrik urea Pusri IV dibangun pada tahun 1977 dengan

kapasitas terpasang yang sama.

5) Mulai tahun 1979, Pusri diberi tugas oleh pemerintah melaksanakan

distribusi dan pemasaran pupuk bersubsidi kepada petani sebagai bentuk

pelaksanaan PSO untuk mendukung program pangan nasional dengan

memprioritaskan produksi dan pendistribusian pupuk bagi petani di seluruh wilayah

Indonesia.

6) Pada Tahun 1993 dilakukan pembangunan Pabrik Pusri IB berkapasitas

570.000 ton per tahun, sebagai upaya peremajaan dan peningkatan kapasitas

produksi pabrik dan untuk menggantikan pabrik Pusri I yang dihentikan operasinya

karena usia dan tingkat efisiensi yang menurun.

Page 45: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

29

4.1.2. Periode Fase Kedua

Tonggak perubahan besar dalam industri pupuk nasional dimulai pada tahun

1997, yaitu seiring dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tanggal 7

Agustus 1997 yang menunjuk PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) sebagai induk

perusahaan (Operating Holding). Adapun perkembangan pada fase kedua hingga

saat ini diuraikan sebagai berikut:

1) Pada tahun 1997, Pusri ditunjuk sebagai induk perusahaan yang

membawahi empat BUMN yang bergerak di bidang industri pupuk dan petrokimia,

yaitu PT Petrokimia Gresik (PKG), PT Pupuk Kujang Cikampek (PKC), PT Pupuk

Kaltim (PKT) dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) serta satu BUMN yang bergerak di

bidang engineering, procurement & construction (EPC), yaitu PT Rekayasa Industri.

Berdasarkan aspek permodalannya, PT Pusri juga mengalami perubahan seiring

perkembangan industri pupuk di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 28 tanggal 7 Agustus 1997 ditetapkan bahwa seluruh saham pemerintah

pada industri pupuk PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk

Kalimantan Timur Tbk., dan PT Petrokimia Gresik sebesar Rp. 1.829.290 juta

dialihkan kepemilikannya kepada PT Pusri.

2) Pada tahun 1998, anak perusahaan Pusri bertambah satu BUMN lagi, yaitu

PT Mega Eltra yang bergerak di bidang perdagangan.

3) Pada tahun 2010 dilakukan Pemisahan (spin off) dari Pusri (holding)

kepada PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (sebagai anak perusahaan) dan pengalihan

hak dan kewajiban PT Pusri (Persero) kepada PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (PSP)

sebagaimana tertuang dalam RUPS-LB tanggal 24 Desember 2010 yang berlaku

efektif 1 Januari 2011.

4) Tahun 2011 merupakan awal pelaksanaan restrukturisasi industri pupuk

nasional dengan menerapkan pola koordinasi strategis holding yang baru maka

diharapkan terjadi peningkatan sinergi, efisiensi dan produktivitas seluruh

perusahaan anggota holding, dibawah kendali induk PT Pusri (holding). Sejak

tanggal 18 April 2012, Menteri BUMN meresmikan PT Pupuk Indonesia Holding

Company (PIHC) sebagai nama induk perusahaan pupuk yang baru, menggantikan

nama PT Pusri (Persero).

Page 46: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

30

5) PT PIHC merupakan produsen pupuk terbesar di Asia dengan total aset

pada tahun 2014 sebesar Rp. 75,9 triliun dan total kapasitas produksi pupuk

mencapai 12,6 juta ton per-tahun. Dalam mengemban tugas mendukung ketahanan

pangan nasional, PT PIHC dan 10 (sepuluh) anak perusahaannya merupakan

produsen pupuk terbesar di Asia yang terdiri dari pupuk urea, NPK, ZK, ZA, dan SP-

36 dengan yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Saat ini PT

Pupuk Indonesia memiliki fasilitas pendukung antara lain berupa pelabuhan dan

sarananya, kapal angkutan, pergudangan, unit pengantungan pupuk dan

perbengkelan yang memperlancar proses produksi dan distribusi pupuk. Kegiatan

operasional PIHC Group bergerak di bidang industri pupuk, petrokimia dan

agrokimia, steam (uap panas) dan listrik, pengangkutan dan distribusi, perdagangan

serta EPC (Engineering, Procurement and Construction).

6) Selain lima anak perusahaan di bidang pupuk dan dua anak perusahaan di

bidang enginnering dan perdagangan; pada tahun 2015 Pusri menambah tiga anak

perusahaan yang baru dibentuk, yaitu PT Pupuk Indonesia Logistik (PILog) bergerak

di bidang logistik, PT Pupuk Indonesia Energi (PIE) bergerak dalam bidang steam

dan listrik, dan PT Pupuk Indonesia Pangan (PIP) bergerak di bidang sistem

agribisnis pangan.

4.2. Keragaan Industri Pupuk Saat ini

Seperti telah diuraikan di atas bahwa industri pupuk yang berada di bawah

holding company, yaitu: (a) PT Petrokimia Gresik, memproduksi dan memasarkan

pupuk urea, ZA, SP-36/18, Phonska, DAP, NPK, ZK dan industri kimia lainnya serta

pupuk organik; (b) PT Pupuk Kujang, memproduksi dan memasarkan pupuk urea,

NPK, organik dan industri kimia lainnya; (c) PT Pupuk Kalimantan Timur,

memproduksi dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik dan industri kimia lainnya;

(d) PT Pupuk Iskandar Muda, memproduksi dan memasarkan pupuk urea dan

industri kimia lainnya; dan (e) PT Pupuk Sriwidjaja Palembang memproduksi dan

memasarkan pupuk urea dan industri kimia lainnya serta pupuk organik.

Berdasarkan data PIHC (2015), selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2010-

2014) produksi pupuk meningkat sekitar 3,87 %/tahun, yaitu dari 10,31 juta ton

Page 47: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

31

(2010) menjadi 12,06 juta ton (2014) (Tabel 7). Adapun jenis pupuk yang dihasilkan

mencakup pupuk: urea, SP36, ZA, NPK dan ZK, dan organik.

Tabel 7. Perkembangan Produksi Pupuk di Indonesia, 2010-2014 (Ton)

Tahun Produksi Pupuk (Ton)

2010 10.309.251

2011 10.582.349

2012 11.926.412

2013 11.439.125

2014 12.062.000

r (%/thn) 3,87 Sumber: PIHC (2015).

Bila dirunut lagi berdasarkan produsen pupuk, lokasi dan kapasitas

produksinya menunjukan bahwa satu produsen pupuk dapat memproduksi lebih dari

satu jenis pupuk dengan kapasitas produksi yang berbeda antar produsennya. Untuk

pupuk urea, pada tahun 2014 dihasilkan oleh produsen pupuk: PT. Petrokimia

Gresik, PT. Pupuk Kujang Cikampek, PT. Pupuk Kalimantan Timur, PT. Pupuk

Iskandar Muda, dan PT. Pupuk Sriwijaya Palembang dengan total kapasitas produksi

mencapai 7,98 juta ton. Untuk Pupuk SP36, ZA dan ZK pada tahun 2014 hanya

diproduksi oleh PT. Petrokimia Gresik dengan kapasitas produksinya masing-masing

sebesar 500 ribu ton, 650 ribu ton dan 10 ribu ton. Selanjutnya untuk pupuk NPK,

pada tahun yang sama dihasilkan oleh PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kujang

Cikampek, dan PT. Pupuk Kalimantan Timur dengan total kapasitas produksinya

mencapai 4,07 juta ton (Tabel 8).

Sementara itu, bila dianalisis volume penjualan pupuk urea dari produsen

pupuk nasional berdasarkan subsektornya menujukkan bahwa proporsi volume

penjualan paling tinggi selalu berada pada sektor pangan, meskipun

kecenderungannya menurun dari tahun 2011 ke tahun 2014. Pada tahun 2011,

volume penjualan pupuk Urea dari PT PIHC sebesar 4.585 ribu ton (70,82%)

kemudian menjadi 3.994 ribu ton (59,70%) pada tahun 2014. Dengan demikian

penggunaan pupuk urea untuk sektor pangan masih menempati proporsi tertinggi

dibandingkan dengan sektor lainnya. Sebaliknya volume penjualan Urea untuk

Page 48: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

32

tujuan ekspor kecenderungannya meningkat dari 750 ribu ton (11,58%) pada tahun

2011 menjadi 1.108 ribu ton (16,56%) pada tahun 2014 (Tabel 9).

Tabel 8. Kapasitas Produksi Pupuk PT PIHC menurut Produsen dan Jenis Pupuk di Indonesia, 2014 (ton/tahun)

Jenis

Pupuk Produsen Lokasi

Kapasitas Produksi

(Ton/Tahun)

Urea

PT. Petrokimia Gresik Gresik, Jawa Timur 460.000

PT. Pupuk Kujang Cikampek, Jawa Barat 1.140.000

PT. Pupuk Kalimantan Timur Bontang, Kalimantan Timur 2.980.000

PT. Pupuk Iskandar Muda Lhokseumawe, NAD 1.140.000

PT. Pupuk Sriwijaya Palembang

Palembang, Sumatera Selatan 2.262.000

Total Kapasitas Urea 7.982.000

SP-36 PT. Petrokimia Gresik Gresik, Jawa Timur 500.000

ZA PT. Petrokimia Gresik Gresik, Jawa Timur 650.000

NPK

PT. Petrokimia Gresik Gresik, Jawa Timur 2.620.000

PT. Pupuk Kujang Cikampek, Jawa Barat 100.000

PT. Pupuk Kalimantan Timur Bontang, Kalimantan Timur 200.000

Total Kapasitas NPK 4.070.000

ZK PT. Petrokimia Gresik Gresik, Jawa Timur 10.000

Total Kapasitas Produksi PT. PIHC 12.062.000

Sumber: PT. PIHC (2015)

Untuk alokasi pupuk non Urea bersubsidi yang diproduksi PT PIHC

menunjukkan bahwa volume pupuk majemuk NPK dan organik mengalami

peningkatan. Untuk pupuk NPK pada tahun 2011 dari total volume produksi 2.125

ribu ton dialokasikan untuk PSO pangan sebesar 1.762 ribu ton, kemudian pada

tahun 2014 total volume produksinya yang meningkat menjadi 2.810 ribu ton, dan

yang dialokasikan untuk PSO pangan sebesar 2.374 ribu ton. Selanjutnya untuk

pupuk organik pada tahun 2011 dari total volume produksi 386 ribu ton

dialokasikan untuk PSO pangan sebesar 375 ribu ton, kemudian pada tahun 2014

total volume produksinya yang meningkat hampir dua kali lipat menjadi 754 ribu

ton, dan seluruhnya dialokasikan untuk PSO pangan (Tabel 10).

Page 49: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

33

Tabel 9. Volume Penjualan Pupuk Urea PT. PIHC Berdasarkan Subsektor di

Indonesia, 2011 dan 2014

Subsektor

2011 2014

Volume (000 Ton) Proporsi

(%)

Volume (000 Ton) Proporsi

(%)

Total 6.474 100,00 6.690 100.00

Pangan/PSO 4.585 70,82 3.994 59,70

Perkebunan 640 9,89 992 14,83

Industri 499 7,71 596 8,91

Ekspor 750 11,58 1.108 16,56 Sumber: PT. PIHC (2015).

Tabel 10. Alokasi Pupuk Non-Urea Produksi PT. PIHC untuk Pupuk Bersubsidi di

Indonesia, 2011 dan 2014

Pupuk

2011 2014

Volume

Produksi (000 Ton)

Alokasi PSO Volume

Produksi (000 Ton)

Alokasi PSO

Volume (000 Ton)

Proporsi (%)

Volume (000 Ton)

Proporsi (%)

NPK 2.125 1.762 82,92 2.810 2.374 84,48

SP-36 723 721 99,72 799 796 99,62

ZA 963 943 97,92 1.011 972 96,14

Organik 386 375 97,15 754 754 100,00 Sumber: PT. PIHC (2015).

4.3. Berbagai Peraturan Kebijakan dalam Pengembangan Industri Pupuk Nasional

Berbagai peraturan kebijakan dalam pengembangan industri pupuk nasional

yang dianalisis dalam konteks ini mencakup kebijakan dalam hal industri pupuk

nasional, distribusi dan pengawasan pupuk, HET pupuk dan alokasi penggunaan

pupuk. Terkait dengan peraturan kebijakan industri pupuk nasional, pemerintah

telah menerbitkan Instruksi Presiden RI (Inpres) No 2 Tahun 2010 tentang

Revitalisasi Industri Pupuk Nasional. Langkah-langkah revitalisasi industri pupuk

serta peningkatan daya saing industri pupuk, melalui usaha: (a) Meningkatkan

produksi pupuk an-organik, organik dan hayati; (b) Memperluas sebaran produksi

pupuk; (c) Mengembangkan keragaman jenis pupuk; (d) Menggunakan teknologi

yang ramah lingkungan; (e) Melakukan penghematan bahan baku dan energi; dan

(f) Memperluas akses pasar, untuk memenuhi utamanya kebutuhan dalam negeri

pada sektor pertanian, kehutanan, perikanan dan industri.

Page 50: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

34

Terkait dengan langkah revitalisasi industri pupuk tersebut, Kementerian

Perindustrian mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian No.141/M-

IND/PER/12/2010 tentang Rencana Induk (Master Plan) Pengembangan Industri

Pupuk Majemuk. Dalam Permenrin ini diatur rencana nasional mengenai sasaran,

arah, strategi dan kebijakan pengembangan industri pupuk majemuk/NPK dalam

mendukung program ketahanan pangan. Pupuk majemuk yang dimaksud

merupakan pupuk yang mengandung lebih dari satu jenis unsur hara makro dalam

hal ini mengandung unsur nitrogen, phospahate dan kalium.

Selanjutnya mengenai distribusi pupuk, saat ini mengacu pada Peraturan

Menteri Perdagangan No. 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan

Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Permendag ini mengatur cukup

rinci sistem distribusi pupuk bermula dari pengadaan dan penyaluran, tugas dan

tanggungjawab para pihak yang terkait dengan distribusi mulai dari produsen pupuk,

pemerintah, pelaku distribusi sampai pengecer, dan petani/kelompok tani.

Permendag ini juga mengatur tentang pengawasan dan pelaporan. Bila pengaturan

dalam Permendag tersebut dijalankan dengan seksama, semestinya pupuk dapat

sampai ke petani sesuai dengan prinsip enam tepat. Berdasarkan Permendag ini

definisi prinsip enam tepat adalah prinsip pengadaan dan penyaluran pupuk

bersubsidi yang meliputi tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu.

Namun demikian masih cukup sering dilaporkan terjadinya keterlambatan sampainya

pupuk di tempat petani ataupun harga yang dibeli petani lebih besar dari HET,

terutama pada puncak musim tanam, ataupun moral hazard berupa perembesan ke

sektor non pangan dan non subsidi.

Pada tahun 2014, terkait dengan alokasi pupuk bersubsidi untuk sektor

pertanian dan HET juga telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pertanian

Nomor130/Permentan/SR.130/11/2014 yang mengatur tentang Kebutuhan dan

Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun

Anggaran 2015. Pada Permentan ini dijelaskan bahwa alokasi pupuk bersubsidi

dihitung sesuai dengan anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan

mempertimbangkan usulan kebutuhan yang diajukan oleh pemerintah daerah

provinsi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, serta alokasi anggaran subsidi

pupuk tahun 2015. Alokasi pupuk bersubsidi secara nasional tersebut dirinci menurut

Page 51: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

35

provinsi, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan. Selanjutnya, dirinci menurut

kabupaten/kota (ditetapkan dengan peraturan gubernur) dan menurut kecamatan

(ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota). Berdasarkan Permentan 130/2014,

kebijakan alokasi pupuk ditetapkan berdasarkan jenis pupuk yang digunakan dan

subsektor. Untuk subsektor tanaman pangan alokasi pupuk tahun 2015 adalah

sebagai berikut: (a) Urea: 3,07 juta ton, (b) SP36 567,32 ribu ton, (c) ZA: 713,10

juta ton, (d) NPK: 1,86 juta ton, dan (e) Pupuk Organik: 721,51 ribu ton. Dengan

demikian alokasi pupuk subsidi yang paling besar masih jenis pupuk Urea, kemudian

di susul oleh pupuk NPK, oraganik dan ZA.

Pupuk merupakan komoditi yang sangat penting dalam usaha mencapai

ketahanan pangan nasional dan pemerintah telah memberikan subsidi dalam rangka

pengadaan dan penyalurannya. Guna mengawasi pengadaan dan penyaluran pupuk

yang memperoleh subsidi, maka pemerintah menetapkan pupuk bersubsidi sebagai

barang dalam pengawasan, melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang dalam

Pengawasan. Dalam Perpres ini yang dimaksudkan pupuk Bersubsidi adalah pupuk

yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk

kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah di sektor

pertanian. Dalam konteks ini, pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mencakup pengadaan dan penyaluran, termasuk jenis, jumlah, mutu, wilayah

pemasaran dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi, serta waktu pengadaan dan

penyaluran.

4.4. Analisis Biaya Produksi dan Komponen Pembentuk Biaya HPP (Harga Pokok Produksi)

Berdasarkan data PT PIHC (2015), diketahui bahwa harga pokok produksi

(HPP) pupuk Urea tahun 2011 dan 2014 menunjukkan kecenderungan meningkat,

yaitu dari Rp 2.470/Kg menjadi Rp 3.601/kg. Besarnya nilai subsidi/kg Urea semakin

tinggi, karena HPP yang terus meningkat dan harga yang dibayar petani tidak

dinaikkan/naik sedikit. Pada tahun 2011, dengan harga beli petani Rp 1.600/kg,

subsidi Urea/kg sebesar Rp 870/Kg atau 35,2% dari HPP. Pada tahun 2014 subsidi

tersebut sebesar Rp 1.801/Kg atau 50% dari HPP.

Page 52: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

36

Bila dianalisis lebih lanjut, biaya pokok Urea dari setiap pabrik yang

menghasilkan pada tahun 2011 tampak bahwa Urea yang dihasilkan oleh PT. Pupuk

Iskandar Muda (PIM) memiliki biaya yang paling tinggi yaitu Rp 3.636/Kg, dan biaya

terendah dihasilkan oleh PT Pusri Palembang yaitu sebesar Rp 1.618/Kg. Dengan

demikian kisaran persentase biaya pokok terhadap harga Urea subsidi antara 1,1%

sampai 56%. Pada tahun 2014, biaya pokok Urea dari setiap pabrik mengalami

peningkatan dan biaya pokok Urea yang dihasilkan oleh PT. PIM tetap memiliki biaya

yang paling tinggi yaitu Rp 5.990/Kg, sedangkan biaya terendah dihasilkan oleh PT

Pupuk Kujang yaitu sebesar Rp 2.842/Kg. Dengan demikian kisaran persentase biaya

pokok terhadap harga Urea subsidi antara 36,7% sampai 69,9%.

Tabel 11. Biaya Pokok Produksi Pupuk Urea/Kg di Beberapa Pabrik Pupuk di Indonesia,

Tahun 2011 dan 2014.

Pabrik 2011 2014

HPP (Rp/Kg)

% Subsidi terhadap HPP

HPP (Rp/Kg)

% Subsidi terhadap HPP

PT. PIHC (Rata-Rata) 2.470 35,2 3.601 50,0

PT. Pusri Palembang 1.618 1,1 2.905 38,0

PT. Petrokimia Gresik 2.607 38,6 3.314 45,7

PT. Pupuk Kujang 2.114 24,3 2.842 36,7

PT. Pupuk Kalimantan

Timur 2.375 32,6 2.952 39,0

PT. Iskandar Muda 3.636 56,0 5.990 69,9

Sumber: PT. PIHC (2015) Keterangan: Harga Subsidi 2011 = Rp 1.600/Kg; 2014 = Rp 1.800/Kg

Untuk pupuk lainnya yaitu SP36, rata-rata biaya pokok produksi dari kurun

2011-2014 juga meningkat yaitu dari Rp 2.856/Kg menjadi Rp 3.479/kg. Hal yang

sama untuk pupuk ZA juga meningkat dari Rp 1.679/kg (2011) menjadi Rp 2.217/Kg

(2014), dan untuk pupuk NPK (ponska dan kujang), meningkat dari Rp 6.673/kg

(2011) menjadi Rp 8.531/kg (2014). Bila dilihat persentase biaya pokok per jenis

pupuk terhadap harga subsidinya, maka terlihat bahwa harga pupuk NPK baik pada

tahun 2011 maupun tahun 2012 memiliki rata-rata persentase yang tinggi yaitu

sebesar 65,5% pada tahun 2011 dan 73% pada tahun 2014 (Tabel 12).

Page 53: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

37

Tabel 12. Biaya Pokok Produksi SP-36, ZA, dan NPK di PT. PIHC, 2011 dan 2014

Jenis Pupuk 2011 2014

HPP

(Rp/Kg)

% Subsidi

terhadap HPP

HPP

(Rp/Kg)

% Subsidi

terhadap HPP

SP-36 2.856 30,0 3.479 42,5

ZA 1.679 16,6 2.217 36,9

NPK 6.673 65,5 8.531 73,0

- Ponska 3.521 34,7 4.102 43,9

- Kujang 3.152 27,0 4.429 48,1

Sumber: PT. PIHC(2015)

Keterangan: Harga Subsidi 2011 dan 2014 untuk SP-36 = Rp 2.000/Kg, ZA = Rp 1.400/Kg, dan NPK = Rp 2.300/Kg

Bila dianalisis berdasarkan komponen penyusun biaya pokok produksi Urea,

diketahui biaya gas bumi sebagai bahan baku memiliki persentase yang sangat besar

terhadap pembentukan biaya pokok produksi (Tabel 13). Proporsi biaya gas bumi

terhadap biaya pokok juga menunjukkan kenaikan dari tahun 2011-2014. Pada

tahun 2011, biaya gas bumi dalam pembentukan biaya pokok produksi tertinggi

terdapat pada pabrik PT. Petrokimia Gresik yaitu Rp 2.188/kg (83,93%). Namun

biaya gas bumi terendah terdapat pada pabrik urea PT. Pusri Palembang yaitu Rp

1.127/kg dengan proporsi terhadap biaya pokok produksi sebesar 69,65%,

sedangkan biaya produksi yang proporsinya terendah terhadap biaya pokok produksi

adalah pada Urea yang dihasilkan oleh PT. Pupuk Iskandar Muda yaitu sebesar

51,49%. Selanjutnya pada tahun 2014, biaya gas bumi dalam pembentukan biaya

pokok produksi tertinggi terdapat pada pabrik PT. Pupuk Iskandar Muda yaitu Rp

3.789/kg (63,26%), sedangkan biaya produksi yang proporsinya tertinggi terhadap

biaya pokok produksi adalah pada Urea yang dihasilkan oleh PT. Pusri Palembang

sebesar 83,51%.Untuk biaya gas bumi terendah terdapat pada pabrik urea PT.

Pupuk Kalimantan Timur yaitu Rp 1.865/kg (63,18%) (Tabel 13).

Page 54: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

38

Tabel 13. Biaya Produksi (Harga Pokok produksi) Urea dan Proporsi Biaya Gas Bumi Pupuk Produk Anak Perusahaan PT. PIHC di Indonesia, 2011 dan 2014.

Pabrik Total Biaya (Rp/Kg)

Biaya Gas Bumi

(Rp/Kg) Proporsi (%)

2011 2014 2011 2014 2011 2014

PT. Pusri Palembang 1.618 2.905 1.127 2.426 69,65 83,51

PT. Petrokimia Gresik 2.607 3.314 2.188 2.649 83,93 79,93

PT. Pupuk Kujang 2.114 2.842 1.140 2.236 53,93 78,68

PT. Pupuk Kalimantan Timur 2.375 2.952 1.560 1.865 65,68 63,18

PT. Iskandar Muda 3.636 5.990 1.872 3.789 51,49 63,26 Sumber: PT. PIHC ((2015, diolah).

Biaya produksi seperti telah diuraikan di atas ditambah dengan besaran marjin

sekitar 10 persen disajikan pada Tabel 14. Adapun besaran subsidi pupuk (Rp/kg)

yang ditanggung pemerintah untuk pupuk Urea tampaknya bervariasi diantara

pabrik pupuk dilingkup Holding PT Pupuk Indonesia. Pada tahun 2011, subsidi pupuk

yang ditanggung pemerintah paling tinggi sebesar Rp 2.400/Kg (60%) atas Urea

yang dihasilkan dari pabrik PT PIM, dan terendah sebesar Rp 180/Kg (10,10%) atas

pupuk Urea yang dihasilkan oleh PT Pusri. Besaran subsidi pupuk tersebut

tergantung dari subsidi gas dari pemerintah bagi pabrik-pabrik penghasil pupuk.

Pada tahun 2014, subsidi pupuk yang ditanggung pemerintah paling tinggi sebesar

Rp 4.789/Kg (72,68%) atas Urea yang dihasilkan oleh PIM, dan terendah sebesar Rp

3.126/Kg (42,42%) atas pupuk Urea yang dihasilkan oleh PT Pupuk Kujang.

Tabel 14. Biaya produksi Plus 10% Margin Keuntungan Pupuk Urea Produksi Anak

Perusahaan PT. PIHC dan Besaran Subsidi yang Ditanggung Pemerintah per Kg

di Beberapa Pabrik Pupuk di Indonesia, 2011 dan 2014

Pabrik

Biaya Produksi +

Margin 10% P (Rp.)

Besaran Subsidi

Rp. % terhadap HPP

+ Marjin

2011 2014 2011 2014 2011 2014

PT. Pusri Palembang 1.780 3.196 180 1.396 10,10 43,67

PT. Petrokimia Gresik 2.868 3.645 1.268 1.845 44,21 50,62

PT. Pupuk Kujang 2.325 3.126 725 1.326 31,19 42,42

PT. Pupuk Kalimantan

Timur 2.613 3.247 1.013 1.447 38,76 44,57

PT. Iskandar Muda 4.000 6.589 2.400 4.789 60,00 72,68 Sumber: PT. PIHC (2015, diolah)

Lebih jauh, bila dianalisis atas volume dan pendapatan yang dihasilkan dari

penjualan pupuk seperti disajikan pada Tabel 15, maka dapat diketahui bahwa

Page 55: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

39

volume penjualan pupuk dari PIHC terus meningkat dan pendapatan total dari

penjualan pupuk pun juga meningkat. Volume total penjualan pupuk tahun 2007

sebesar 8,9 juta ton dengan raihan pendapatan sebesar Rp 17,81 triliun kemudian

pada tahun 2010, volume total penjualan pupuk meningkat menjadi 10,05 juta ton

dengan pendapatan total yang diraih sebesar Rp 27,36 triliun, dan pada tahun 2014,

volume total penjualan pupuk meningkat menjadi 12,21 juta ton dengan pendapatan

total yang diraih meningkat pesat menjadi Rp 48,91 triliun. Pendapatan yang diraih

dari penjualan pupuk PT. Pupuk Indonesia bersumber dari penjualan melalui pasar

komersial (harga pasar) dan pasar subsidi (mekanisme subsidi). Bila dilihat rasio

pendapatan atas pasar subsidi terhadap pendapatan total, tampaknya mengalami

tren yang menurun dalam tiga tahun terakhir yaitu dari 2011-2014 dengan rasio

73,9% pada 2011 menjadi 73,64% pada 2014. Lebih lanjut rincian proporsi

pendapatan PT. pupuk Indonesia khususnya dari PSO terhadap total pendapatan

disajikan pada Tabel 16.

Tabel 15. Volume dan Pendapatan dari Penjualan Pupuk PT. PIHC, 2007-2014

Tahun Volume

Penjualan

(000 Ton)

Pendapatan Komersil

(Rp Miliar)

Pendapatan Subsidi

(Rp Miliar)

Pendapatan Total

(Rp Miliar)

Rasio Pendapatan Subsidi/ Total Pendapatan (%)

2007 8.922 5.382 12.429 17.811 69,78

2008 8.558 7.171 22.063 29.234 75,47

2009 9.967 6.041 23.242 29.283 79,37

2010 10.053 7.720 19.637 27.357 71,78

2011 10.825 8.950 25.343 34.293 73,90

2012 11.733 11.703 31.873 43.576 73,14

2013 12.013 12.302 33.779 46.081 73,30

2014 12.207 12.890 36.018 48.908 73,64

Sumber: PT. PIHC (2015)

Tabel 16. Proporsi Pendapatan dari PSO terhadap Total Pendapatan PT. PIHC, 2010-2014

(Rp Triliun)

Pendapatan 2010 2011 2012 2013 2014

Nilai % Nilai % Nilai % Nilai % Nilai %

PSO 19,64 60,10 25,34 62,15 31,87 62,17 33,78 59,98 36,01 55,73

Non PSO Pupuk 7,72 23,62 8,95 21,95 11,70 22,82 12,30 21,84 12,89 19,95

Non PSO Lainnya 5,32 16,28 6,48 15,89 7,69 15,00 10,24 18,18 15,72 24,33

Total 32,68 100 40,77 100 51,26 100 56,32 100 64,62 100

Sumber: PT. PIHC (2015)

Page 56: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

40

4.5. Besaran Subsidi Pupuk dan Rasionya Terhadap Anggaran Nasional

Dalam rentang waktu 2005-2014, realisasi anggaran belanja subsidi cukup

berfluktuasi dan secara nominal mengalami peningkatan dari Rp 2,53 triliun (2005)

menjadi Rp 18,04 triliun (2014) atau meningkat rata-rata sebesar 13,27 %/tahun.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (2014) alokasi anggaran belanja subsidi

tahun 2014 merupakan implementasi fungsi pelayanan umum, terutama

diperuntukkan bagi pembayaran berbagai jenis subsidi yang merupakan bagian dari

upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas perekonomian, sekaligus memberikan

perlindungan kepada masyarakat.

Berdasarkan berbagai kebijakan tersebut, maka alokasi anggaran subsidi

pemerintah secara keseluruhan dalam tahun 2014 direncanakan mencapai Rp 336,2

triliun. Jumlah tersebut menurun Rp 11,9 triliun bila dibandingkan dengan pagu

belanja subsidi yang ditetapkan dalam APBN-P tahun 2013 sebesar Rp 348,1 triliun.

Sebagian besar dari alokasi anggaran belanja subsidi dalam tahun 2014 tersebut

direncanakan disalurkan untuk subsidi energi (Rp 284,7 triliun), yaitu subsidi BBM,

BBN, LPG tabung 3 kg, dan LGV sebesar Rp 194,9triliun, dan subsidi listrik sebesar

Rp 89,8 triliun. Sementara itu, anggaran untuk subsidi nonenergi Rp 51,6 triliun,

yang meliputi: (1) subsidi pangan sebesar Rp 18,8 triliun; (2) subsidi pupuk sebesar

Rp 21,0 triliun; (3) subsidi benih sebesar Rp 1,6 triliun; (4) subsidi angkutan dan

informasi publik sebesar Rp 2,2 triliun; (5) subsidi bunga kredit program sebesar Rp

3,2 triliun; dan (6) subsidi pajak sebesar Rp 4,7 triliun

Selanjutnya pada tahun 2015 anggaran subsidi pupuk yang diusulkan pada

APBN-P tahun 2015 Rp 39 triliun, terdiri dari subsidi pupuk sebesar Rp 28,2 Triliun,

pelunasan kurang bayar TA 2012 sebesar Rp 3,6 Triliun (sudah dibayarkan per

Februari 2015) dan Pelunasan kurang bayar TA 2013 sebesar Rp 7,2 Triliun (sudah

dibayarkan 3,5 Triliun per Februari 2015) (Republika co.id, 2015).

Page 57: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

41

Tabel 17. Perkembangan Subsidi Pupuk dan Subsidi Pangan di Indonesia, 2005-2015.

Tahun Subsidi Pupuk (Rp

Trilun)

Subsidi Pangan

(Rp Triliun)

APBN (Rp

Triliun)

Rasio subsidi

Pupuk terhadap APBN

2005 2,53 6,40 509,63 0,50

2006 3,17 5,30 667,13 0,48

2007 6,26 6,60 757,65 0,83

2008 15,18 12,10 985,73 1,54

2009 18,33 13,00 937,38 1,96

2010 18,41 15,20 1.042,12 1,77

2011 16,35 16,50 1.295,00 1,26

2012 13,96 19,10 1.491,41 0,94

2013 17,93 21,50 1.650,56 1,09

2014 18,04 18,80 1.876,87 0,96

r (%/thn) 13,27 13,65 12,91 4,28

Sumber: Indikator Ekonomi BPS (2005-2015).

Bila dilihat rasio subsidi pupuk terhadap total APBN, maka kisaran rasionya

antara 0,48-1,77. Pada kurun waktu 2005-2014, rasio nilai subsidi pupuk terhadap

APBN paling rendah terjadi pada tahun 2006, dan tertinggi pada tahun 2010. Secara

keseluruhan pada periode tersebut rasionya masih menunjukkan peningkatan

sebesar 4,28 %/tahun. Dengan peningkatan angka rasio tersebut menunjukan

bahwa perhatian pemerintah terhadap subsidi pupuk masih tinggi. Dalam konteks

manfaat dan upaya mempertahankan swasembada pangan nasional, maka

pemerintah diharapkan masih tetap mempertahankan kebijakan subsidi khususnya

subsidi non energi karena subsidi ini masih diperlukan terutama oleh masyarakat

tani kecil dengan tingkat pendapatan yang rendah dan juga memiliki daya beli

rendah. Kebijakan subsidi non-energi selain fokus pada subsidi pupuk, juga subsidi

pangan, pertanian (benih dan sarana pertanian lainnya) dan subsidi untuk

mengurangi beban masyarakat miskin, dan membantu usaha kelompok kecil dan

menengah.

Page 58: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

42

V. DISTRIBUSI DAN PERDAGANGAN PUPUK

5.1. Kebijakan Distribusi dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi

Sistem distribusi pupuk bersubsidi di Indonesia selama ini diatur melalui

Keputusan Menteri Perdagangan, dengan sasaran agar petani dapat memperoleh

pupuk dengan enam azas tepat, yaitu : tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan

harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah satunya dapat dilihat

dari adanya kesesuaian antara rencana penyaluran dan realisasi.

Kebijakan tentang penyaluran/distribusi pupuk untuk sektor pertanian di

Indonesia saat ini telah diatur oleh Permendag Nomor 15 tahun 2013. Pada

Permendag tersebut dijelaskan bahwa PIHC mendapat tugas dari pemerintah dalam

hal pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. PT PIHC

dapat menetapkan produsen sebagai pelaksana pengadaan dan penyaluran pupuk

bersubsidi dalam wilayah tanggung jawab pegadaan dan penyaluran pupuk

bersubsidi di provinsi/kabupaten/kota.

Produsen dapat menunjuk distributor sebagai pelaksana penyaluran pupuk

bersubsidi dengan wilayah tanggung jawab di tingkat provinsi/kabupaten/kota/

kecamatan/desa tertentu. Adapun persyaratan distributor adalah: (a) bergerak

dalam bidang usaha perdagangan umum, (b) memiliki kantor dan pengurus yang

aktif menjalankan usaha perdagangan di tempat kedudukannya, (c) memenuhi

syarat-syarat umum untuk melakukan kegiatan perdagangan, (d) memiliki dan/atau

menguasai sarana gudang dan alat transportasi yang menjamin kelancaran

penyaluran pupuk bersubsidi di wilayah tanggung jawabnya, (e) mempunyai

jaringan distribusi yang dibuktikan dengan memiliki paling sedikit 2 pengecer di

setiap kecamatan dan/atau desa di wilayah tanggung jawabnya, (f) rekomendasi

dari dinas kabupaten/kota setempat yang membidangi perdagangan untuk

penunjukan distributor baru, dan (g) memiliki permodalan yang cukup sesuai

ketentuan yang disyaratkan oleh produsen.

Page 59: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

43

Gambar 3. Mekanisme Distribusi Pupuk Bersubsidi di Indonesia, 2011 Sumber: Direktorat Sarana Produksi Pertanian, 2011

Proses penyaluran pupuk bersubsidi diawali dengan usulan dari kelompok

tani. Kelompok tani membuat usulan kebutuhan pupuk para petani anggotanya yang

dituangkan dalam RDKK. Dokumen RDKK dari kelompok tani dikumpulkan kolektif ke

Cabang Dinas Pertanian Kecamatan setempat setelah dicermati bersama oleh

Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Kepala Desa. Camat selaku kepala wilayah

kecamatan juga mencermati usulan kebutuhan pupuk dari para kelompok tani

seluruh kecamatan. RDKK tersebut juga dikirimkan kepada penyalur (kios) atau

gapoktan yang bertindak sebagai pengecer resmi (Lini-IV), dan selanjutnya

rekapitulasi usulan kebutuhan pupuk tersebut dikirimkan kepada distributor (Lini-

III). Rekapitulasi kebutuhan pupuk yang telah disusun per kecamatan dikirimkan

kepada dinas pertanian kabupaten/kota, dan selanjutnya secara berjenjang

diserahkan kepada dinas pertanian provinsi dan Kementerian Pertanian.

Sesuai dengan Permentan Nomor 130/Permentan/SR.130/11/2014 yang

mengatur tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi

Page 60: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

44

untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2015, dijelaskan bahwa alokasi pupuk

bersubsidi dihitung sesuai dengan anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi

dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan yang diajukan oleh pemerintah

daerah provinsi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, serta alokasi anggaran

subsidi pupuk tahun 2015. Alokasi pupuk bersubsidi secara nasional tersebut dirinci

menurut provinsi, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan. Selanjutnya, dirinci

menurut kabupaten/kota (ditetapkan dengan peraturan gubernur paling lambat pada

awal bulan Maret 2015) dan menurut kecamatan (ditetapkan dengan peraturan

bupati/walikota paling lambat akhir Maret 2015).

Adapun sistem penyaluran pupuk terdiri dari usulan, alokasi dan penyaluran

pupuk bersubsidi, yang secara lengkap dijelaskan di dalam Gambar 3. Tahap

selanjutnya adalah pendistribusian pupuk bersubsidi, dimana dari Gambar 4, dapat

diambil dan disederhanakan sebagaimana ditunjukkan di dalam Gambar 5. Pupuk

diproduksi oleh perusahaan di Lini-I, yaitu lokasi gudang pupuk di wilayah pabrik

dari masing-masing produsen atau di wilayah pelabuhan tujuan untuk pupuk impor.

Dari Lini-I, pupuk dikirim ke lokasi gudang produsen di wilayah ibukota provinsi dan

atau Unit Pengantongan Pupuk (UPP) atau di luar pelabuhan (Lini-II).

Page 61: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

45

Gambar 4. Mekanisme Usulan, Alokasi dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Indonesia, 2011

Sumber: Direktorat Sarana Produksi, 2011

Gambar 5. Penyaluran Pupuk Bersubsidi dari Lini-I Sampai Petani di Indonesia, 2011 Sumber: Direktorat Sarana Produksi, 2011

Setelah pupuk dikemas di dalam kantong, kemudian dikirim ke lokasi gudang

produsen dan/atau distributor di wilayah kabupaten/kota yang ditunjuk atau

ditetapkan oleh produsen (Lini-III). Distributor adalah perusahaan perseorangan

atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau tidak, yang ditunjuk oleh

Perbub/perwali

Page 62: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

46

produsen pupuk untuk melakukan pembelian, penyimpanan, penyaluran, dan

penjualan pupuk bersubsidi dalam partai besar diwilayah tanggungjawabnya. Dari

distributor, pupuk kemudian dijual kepada petani dan/atau kelompok tani melalui

pengecer resmi yang ditunjuk (Lini-IV). Pengecer resmi adalah perseorangan,

kelompok tani, dan badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau tidak,

yang berkedudukan di Kecamatan dan/atau desa yang ditunjuk oleh distributor

dengan kegiatan pokok melakukan penjualan pupuk bersubsidi di wilayah

tanggungjawabnya secara langsung kepada Petani dan/atau Kelompok Tani.

Untuk menjamin agar pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk sesuai dengan

ketentuan yang ada, maka terdapat beberapa prinsip dan ketentuan dasar di dalam

pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang harus dipenuhi, yaitu sebagai

berikut: (1) Produsen pupuk wajib mengutamakan pengadaan pupuk bersubsidi

untuk pemenuhan kebutuhan sektor pertanian dalam negeri. Produsen wajib

melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di wilayah tanggung

jawabnya berdasarkan rencana kebutuhan dalam Permentan dan peraturan

pelaksanaannya dari gubernur/bupati/walikota; (2) Tanggungjawab dalam

pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dilaksanakan sesuai dengan

prinsip/azas enam tepat yaitu tepat dalam jenis, jumlah, tempat, waktu, mutu dan

harga.

Tanggungjawab tersebut dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tugas dan

kewajiban masing-masing, yaitu: (1) Produsen pupuk wajib melaksanakan

pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai dengan peruntukannya dari Lini-

I sampai dengan Lini-III di wilayah tanggungjawabnya; (2) Distributor wajib

melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai dengan peruntukannya dari Lini-

III sampai dengan Lini-IV diwilayah tanggung jawabnya; dan (3) Pengecer wajib

melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani dan/atau kelompok tani

di Lini-IV di wilayah tanggungjawabnya berdasarkan RDKK yang jumlahnya sesuai

dengan peraturan Gubernur dan Bupati/Walikota.

Terkait dengan harga pupuk bersubsidi, berlaku ketentuan bahwa: (1)

Produsen pupuk wajib menyalurkan pupuk bersubsidi kepada Distributor di Gudang

Lini-III dengan hargatebus yang memperhitungkan HET; (2) Distributor

menyalurkan pupuk kepada Pengecer (Lini-IV) dengan harga tebus yang

Page 63: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

47

memperhitungkan HET dan melaksanakan pengangkutan sampai dengan gudang

Pengecer; dan (3) Pengecer wajib menyalurkan pupuk kepada petani/kelompok tani

di gudang Lini-IV berdasarkan RDKK dengan harga yang tidak melampaui HET.

Dalam melaksanakan pengangkutan pupuk bersubsidi, distributor wajib

menggunakan sarana angkutan yang terdaftar khusus sebagai angkutan pupuk

bersubsidi. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyelundupan dan

penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi. Terkait dengan stok pupuk minimal,

Produsen pupuk wajib menjamin persediaan minimal pupuk di Lini-III untuk

kebutuhan selama dua minggu ke depan sesuai dengan rencana kebutuhan yang

ditetapkan Menteri Pertanian. Kecuali untuk puncak musim tanam (November

sampai dengan Januari), persediaan minimal untuk kebutuhan tiga minggu ke

depan.

Distributor dan pengecer dilarang memperjual belikan pupuk bersubsidi di luar

peruntukannya dan/atau di luar wilayah tanggungjawabnya. Pihak lain selain

produsen, distributor dan pengecer resmi dilarang memperjualbelikan pupuk

bersubsidi dengan maksud dan tujuan apapun. Apabila terjadi peningkatan

kebutuhan pupuk bersubsidi di wilayah kabupaten/kota, produsen dapat menambah

alokasi kebutuhan sebesar maksimal 20% dari alokasi wilayah yang bersangkutan,

sepanjang tidak melebih alokasi kebutuhan pupuk secara nasional dari produsen

yang bersangkutan. Pelaksanaan alokasi kebutuhan tersebut dilaporkan kepada

Dirjen Tanaman Pangan, gubernur dan bupati/walikota setempat.

Apabila penyaluran pupuk bersubsidi oleh distributor dan/atau pengecer tidak

berjalan lancar, produsen wajib melakukan penyaluran langsung kepada petani

dan/atau kelompoktani di Lini-IV setelah berkoordinasi dengan bupati/walikota

setempat (cq. kepala dinas pertanian). Apabila pengecer tidak dapat melaksanakan

penyaluran pupuk bersubsidi, maka distributor (dengan berkoordinasi dengan kepala

dinas kabupaten/kota yang membidangi pertanian setempat) untuk jangka waktu

tertentu dapat melakukan penyaluran pupuk bersubsidi langsung kepada petani

dan/atau kelompok tani di wilayah tanggungjawabnya berdasarkan RDKK dengan

harga tidak melampaui HET.

Dalam rangka program khusus pertanian, produsen dapat menunjuk distributor

untukmelakukan penjualan langsung kepada petani dan/atau kelompok tani yang

Page 64: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

48

mengikuti program tersebut. Selanjutnya, untuk tetap menjamin agar pupuk

bersubsidi tersedia bagi petani, maka apabila terjadi kekurangan alokasi kebutuhan

pupuk bersubsidi di wilayah provinsi dan kabupaten/kota, maka dapat dipenuhi

melalui realokasi antar wilayah, waktu dan subsektor sebagai berikut: (1) Realokasi

antar provinsi ditetapkan lebih lanjut oleh Kementerian Pertanian, realokasi antar

kabupaten/kota ditetapkan oleh gubernur, dan realokasi antar kecamatan ditetapkan

oleh bupati/walikota. Untuk memenuhi kebutuhan petani, realokasi tersebut dapat

dilaksanakan terlebih dahulu sebelum penetapan dari gubernur dan/atau

bupati/walikota berdasarkan rekomendasi dari dinas pertanian setempat; (2) Apabila

alokasi pupuk bersubsidi di suatu provinsi, kabupaten/kota, kecamatan pada bulan

berjalan tidak mencukupi, produsen dapat menyalurkan alokasi pupuk bersubsididi

wilayah bersangkutan dari sisa alokasi bulan-bulan sebelumnya dan/atau dari

alokasibulan berikutnya sepanjang tidak melampaui alokasi 1 (satu) tahun.

Dalam rangka efisiensi penyaluran pupuk bersubsidi, produsen pupuk selama

ini telah berupaya menekan biaya sampai ke tingkat petani melalui terobosan baru

untuk meningkatkan pelayanan kepada petani dalam pengadaan pupuk bersubsidi

yaitu pengembangan kios pupuk lengkap (KPL) di seluruh wilayah Indonesia.

Terhitung mulaidari 1 Desember 2010, semua kios resmi menjual pupuk lengkap dan

tidak ada lagi yang hanya menjual satu jenis pupuk saja, sehingga semua jenis

pupuk tersedia lengkap di tiap kios. PT PIHC sebagai holding company membentuk

KPL sebanyak 52.112 unit di seluruh wilayah Indonesia untuk mewujudkan sinergi

antar anak perusahaan sehingga dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan tertib

administrasi perusahaan. Dengan adanya KPL, petani cukup datang di satu kios

untuk memenuhi seluruh kebutuhan pupuknya sehingga biaya transportasi dan

waktu untuk mencari pupuk bisa dihemat. Selain mengupayakan adanya kemudahan

dan memotong jalur birokrasi penebusan pupuk, produsen pupuk juga memberikan

kemungkinan bagi distributor (Lini-III) untuk menebus pupuk kapan saja.

Dalam perkembangannya, berdasarkan data PT. PIHC (2015) bahwa jumlah

distributor pupuk yang ada di Indonesia saat ini berjumlah 2.350 distributor, dan

jumlah kios yang dapat melayani kebutuhan pupuk petani sebanyak 50.178 kios.

Berbagai sarana angkutan dan pergudangan juga sangat menunjang distribusi

pupuk mulai dari level pabrik hingga sampai ke level petani. Berdasarkan data PIHC

Page 65: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

49

(2015) tersebut diketahui bahwa total kapasitas gudang pupuk nasional saat ini

mencapai 3.267.780 ton, dan dengan rician kapasitas gudang per Lininya sebagai

berikut: Total kapasitas gudang Lini I : 491.100 ton total kapasitas gudang Lini II :

428.400 ton, dan total kapasitas gudang Lini III : 2.348.280 ton. Berikut pada

Gambar 6. disajikan lengkap mengenai sarana distribusi pupuk di Indonesia.

Gambar 6. Sarana Distribusi Pupuk Di Indonesia, 2015 (PIHC, 2015)

Page 66: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

50

Menurut Rachman (2009) bahwa kebijakan distribusi pupuk masih terdapat

kelemahan baik yang bersifat teknis, manajemen dan regulasi. Oleh karena itu,

perbaikan atas kelemahan yang ada diharapkan akan menjamin ketersedian pupuk

di tingkat pengguna/petani dengan waktu, dosis dan sesuai HET yang ditetapkan.

Berdasarkan Permentan No. 130/2014, diketahui alokasi pupuk dilakukan

berdasarkan jenis pupuk yang digunakan dan subsektor. Untuk subsektor tanaman

pangan alokasi pupuk tahun 2015 adalah sebagai berikut: (a) Urea: 3,07 juta ton,

(b) SP36 567,32 ribu ton, (c) ZA: 713,10 juta ton, (d) NPK: 1,86 juta ton, dan (e)

Pupuk Organik: 721,51 ribu ton. Dengan demikian alokasi pupuk subsidi yang paling

besar masih jenis pupuk Urea, kemudian di susul oleh pupuk NPK, oraganik dan ZA

(Tabel 18).

Tabel 18. Alokasi Pupuk Menurut Jenis Pupuk dan Per Subsektor di Indonesia, 2015.

Subsektor Jenis Pupuk (Ton)

Urea SP36 ZA NPK Organik

1. Tanaman Pangan 3.071.382 567.317 713.097 1.857.441 721.512

2. Hortikultura 181.378 45.961 61.191 165.344 53.991

3. Perkebunan 677.705 197.985 264.473 509.338 134.097

4. Peternakan 76.789 12.888 11.239 17.877 90.401

5. Perikanan Budidaya 92.746 25.849 -

Jumlah 4.100.000 850.000 1.050.000 2.550.000 1.000.001

Sumber: Permentan 130/2014.

Berdasarkan Permentan No 130/2014 diketahui besarnya alokasi volume pupuk

bersubsidi tahun 2015 sebanyak 9.550.000 ton, dengan rincian yaitu: (1) Urea

sebanyak 4.100.000 ton, (2) SP36 sebanyak 850.000 ton, (3) ZA sebanyak

1.050.000 ton, (4) NPK sebanyak 2.550.000 ton, dan (4) Organik sebanyak

1.000.000 ton. Adapun realisasi penyalurannya sebanyak 8.994.847 ton, dengan

rincian yaitu: (1) Urea sebanyak 4.057.187 ton, (2) SP36 sebanyak 800.992 ton, (3)

ZA sebanyak 988.440 ton, (4) NPK sebanyak 2.395.114 ton, dan (4) Organik

sebanyak 753.114 ton.

Selanjutnya alokasi di tingkat provinsi sesuai keputusan gubernur dan di

tingkat kabupaten/kota sesuai dengan keputusan bupati/walikota. Keputusan

gubernur yang telah terbit pada Semester I 2014 sejumlah 33 provinsi (100%) dan

Page 67: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

51

keputusan bupati/walikota sejumlah 435 kabupaten/kota (89,5%) sesuai Permentan

No. 122/Permentan/SR.130/11/2013, dan Revisi Alokasi PSO terbit bulan Agustus

2014 melalui Permentan No. 103/2014. Selanjutnya keputusan gubernur yang telah

terbit pada Semester II 2014 sejumlah 31 (94%) dan keputusan bupati/walikota

sejumlah 164 (34%) sesuai Permentan No. 103/Permentan/SR.130/8/2014.

Pada lokasi kajian yaitu: (1) Provinsi Jawa Barat total alokasi pupuk sebanyak

1.172.350 ton dan realisasinya sebanyak 1.095.867 ton (93%), serta (2) Provinsi

Lampung total alokasi pupuk sebanyak 473.000 ton dan realisasinya sebanyak

439.929 ton (93%). Secara lengkap alokasi dan realisasi penyaluran pupuk secara

total di Indonesia disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Alokasi dan Realisasi Penyaluran Pupuk Secara Total di Indonesia, 2014

Sumber: PIHC, 2015

Page 68: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

52

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun tataniaga pupuk

yang berkeadilan adalah sebagai berikut: (1) Harus dapat menjamin ketersediaan

pupuk di tingkat petani agar program peningkatan ketahanan pangan tidak

terganggu; (2) Industri pupuk nasional harus tumbuh dengan baik dan menikmati

keuntungan yang wajar sehingga secara berkesinambungan dapat memasok

kebutuhan pupuk dalam negeri; dan (3) Para distributor dan pengecer pupuk juga

dapat menikmati keuntungan yang wajar dari peran yang seimbang.

Sesuai ketentuan dalam tentang penyaluran/distribusi pupuk untuk sektor

pertanian yang mana saat ini telah diatur oleh Permendag No.15 tahun 2013, diatur

mekanisme distribusi untuk menjamin ketersediaannya seperti berikut:

1. Rayonisasi wilayah pemasaran

Bertujuan untuk meningkatkan efisiensi distribusi pupuk, juga untuk

pengamanan pengadaan pupuk. Atas dasar ini, pembagian wilayah dan tanggung

jawab adalah sebagai berikut: (i) PT. Pusri (Aceh, Sumbar, Sumut, Riau, Jambi,

Sumsel, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, sebagian Jabar, Jateng, DIY, sebagian

Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Sulut, Sultra, Sulteng, Sulsel,

Maluku dan Irja), (ii) PT. Pupuk Kujang Cikampek (Jabar), (iii) PT Petrokimia Gresik

(Jatim), (iv) PT. Pupuk Kaltim (Jatim, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Sulsel) dan (v) PT.

Pupuk Iskandar Muda (Aceh, Sumut dan Riau).

2. Penjualan pupuk mulai di tingkat kabupaten

Pemberlakuan penjualan pupuk mulai dari kabupaten. Selain dimaksudkan

untuk mendekatkan dengan konsumen, dengan adanya pengaturan ini, baik unit

niaga PT Pusri maupun distributor yang ditunjuk oleh produsen diharuskan menjual

pupuk Urea pada pengecer atau konsumen mulai di lini III. Khusus untuk PTPN dan

Perkebunan Besar Swasta, pengadaan pupuk dapat dilakukan langsung dari

produsen maupun unit niaga PT Pusri melalui mekanisme yang berlaku.

3. Penetapan persyaratan distribusi dan penyaluran secara ketat

Dalam konteks ini ditetapkan dua pola yaitu pola umum & pola distribusi.

Dalam pola umum produsen pupuk Urea harus menjual melalui distributor

kabupaten. Unit niaga anak perusahaan PT PIHC dan distributor yang ditunjuk

produsen menyediakan pupuk sampai pada Lini III dan menjual melalui pengecer

yang terdiri dari koperasi swasta dan, Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Dalam

Page 69: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

53

ketentuan rayonisasi distribusi, setiap produsen ditugaskan melakukan pemerataan

dan percepatan distribusi dan bertanggung jawab atas setiap daerah kewajibannya.

Kebutuhan Urea untuk subsektor tanaman pangan utamanya dijual oleh/melalui unit

niaga anak perusahaan PT PIHC. Kebutuhan Urea untuk subsektor tanaman pangan

di sekitar pabrik dan subsektor perkebunan dijual sendiri oleh masing-masing

produsen melalui distributornya. Produsen yang menjual Urea untuk sektor

pertanian mewajibkan distributornya menjual pupuk SP 36 dan ZA produksi PT

Petrokimia Gresik, sebagai upaya untuk mengaplikasikan pemupukan berimbang.

Seperti telah diuraikan di atas bahwa sistem distribusi pupuk bersubsidi yang

berlaku saat ini mengacu pada Permendag No. 15/2013 dan sebagian dalam

Permentan No.82/2013 dan No. 130/2014. Permendag ini telah mengatur cukup

rinci sistem distribusi pupuk bermula dari pengadaan dan penyaluran (Bab II), tugas

dan tanggungjawab para fihak yang terkait dengan distribusi mulai dari produsen

pupuk, pemerintah, pelaku distribusi sampai pengecer, dan petani/kelompok tani.

Permendag ini juga mengatur tentang pengawasan dan pelaporan. Bab IV laporan

ini membahas aspek distribusi pupuk bersubsidi secara seksama. Sementara itu

kedua Permentan tersebut di atas mengatur tentang HET dan penyaluran pupuk

bersubsidi dari lini IV sampai ke petani.

Bila pengaturan dalam Permendag dan Permentan tersebut dijalankan dengan

seksama, semestinya pupuk dapat dampai ke petani sesuai dengan prinsip enam

tepat. Berdasarkan Permendag ini definisi prinsip enam tepat adalah prinsip

pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang meliputi tepat jenis, jumlah,

harga, tempat, waktu, dan mutu. Namun demikian masih cukup sering dilaporkan

terjadinya keterlambatan sampainya pupuk di tempat petani ataupun harga yang

dibeli petani lebih besar dari HET, terutama pada puncak musim tanam, ataupun

moral hazard berupa perembesan ke sektor non pangan dan non subsidi. Kejadian

ini dapat disebabkan antara lain oleh: (1) persoalan teknis pada saat perencanaan,

yaitu penyediaan pupuk bersubsidi tingkat nasional yang dituangkan dalam

Permentan volumenya jauh lebih rendah dari kebutuhan yang diusulkan oleh

pemerintah daerah yang berasal dari rekapitulasi RDKK; (2) moral hazard pada

berbagai tingkatan rantai pasok pupuk bersubsidi, karena adanya niat tidak amanah

dan dirangsang oleh adanya spread (perbedaan harga) yang cukup besar (lebih dari

Page 70: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

54

50%) antara harga pupuk bersubsidi dan harga pupuk non subsidi yang diperjual-

belikan di pasar; (3) fungsi pengawasan kurang berfungsi dengan baik, banyak

Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) propinsi dan kabupaten/kota yang tidak

berfungsi optimum karena kurangnya anggaran untuk melakukan aktivitas

pengawasan, selain itu tim adhock seperti ini yang anggotanya terdiri dari wakil

berbagai instansi seringkali tidak bekerja efektif; dan (4) persoalan teknis karena

cuaca buruk, prasarana distribusi rusak, lokasi lahan pertanian jaraknya jauh, dan

petani membeli dalam jumlah kurang dari satu karung pupuk.

Tabel 19. Kapasitas dan Waktu Tempuh Penyaluran Pupuk Bersubsidi dari Gudang Lini II ke

ke Gudang Lini III di Indonesia, 2015.

Nama Lini II /

DC

Kapasitas

(Ton) Provinsi yang dicover

Waktu tempuh ke

Gudang Lini III

Medan 94.000 Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau 3 - 48 Jam

Padang 40.000 Sumatera Barat, Jambi 3 - 12 Jam

Lampung 40.000 Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi 3 - 72 Jam

Cigading 40.000 Banten, Jawa Barat 3 - 24 Jam

Serang 10.000 Banten 3 - 12 Jam

Semarang 10.000 Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah 3 - 48 Jam

Cilacap 14.000 Jawa Tengah, DI Yogyakarta 3 - 12 Jam

Surabaya 100.000 Jawa Timur, Maluku, Papua, Papua Barat 3 - 72 Jam

Banyuwangi 43.500 Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur

3 - 72 Jam

Makassar 150.000 Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah,

Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku Utara

3 - 72 Jam

Lembar, NTB 6.000 Nusa Tenggara Barat 3 - 12 Jam

Jumlah 547.500 Sumber: PT. PIHC (2015)

Berdasarkan data PIHC (2015) bahwa penyaluran pupuk dari Lini II (gudang

Pabrik Pupuk) ke Lini III (gudang di kabupaten) memerlukan waktu yang cukup

lama. Lamanya perjalanan pupuk dari Lini II ke Lini III tergantung kapasitas pupuk

yang disalurkan dan kondisi sarana-prasarana dalam penyaluran pupuk. Berdasarkan

Tabel 19, dari total 11 Gudang Pabrik Pupuk di Lini II dengan jumlah provinsi yang

dicover hingga gudang Lini III memerlukan waktu berkisar antara 3-12 jam s/d

hingga 3-72 jam. Beberapa Lini II seperti Lampung, Surabaya dan Makasar (dengan

provinsi yang masing-masing dicakupnya) dengan masing-masing kapasitas 40.000

Page 71: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

55

ton, 100.000 ton dan 150.000 ton memerlukan waktu tempuh dengan rentang yang

cukup panjang antara 3-72 jam. Adapun untuk waktu penyaluran yang cukup cepat

terdapat pada Lini II Serang (mencakup Banten, dengan kapasitas 10.000 ton)

dengan waktu penyaluran hingga Lini III antara 3-12 jam dan Lini II Lembar NTB

(meliputi NTB, dengan kapasitas 6.000 ton) dengan waktu penyaluran hingga Lini III

juga antara 3-12 jam.

5.2. Kebijakan Ekspor-Impor Pupuk

Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang bernilai penting dalam

budidaya pertanian. Berbagai kebijakan dalam pendistribusian pupuk telah

dikeluarkan pemerintah selama ini. Kebijakan tersebut mempengaruhi kinerja

ekonomi pupuk yang meliputi produksi,ketersediaan, tingkat harga dan tingkat

penggunaan oleh petani. Kebijakan yang terkait dengan industri pupuk yaitu:

penghapusan perbedaan harga pupuk untuk subsektor tanaman pangan dan untuk

subsektor perkebunan, penghapusan subsidi pupuk secara bertahap setidak-tidaknya

dalam 3 tahun, menghilangkan monopoli distribusi dan membuka peluang bagi

distributor pendatang baru, membiarkan terjadinya kompetisi yang sehat antar

produsen pupuk, dan penghapusan kuota ekspor dan pengontrolan impor pupuk.

Sesuai Permendag 15/2013 pada pasal 6 disebutkan bahwa : (1) Apabila

pengadaan pupuk bersubsidi dari produsen dalam negeri tidak mencukupi, maka

dapat dilakukan impor, (2) Impor pupuk bersubsidi yang dimaksud pada ayat

sebelumnya hanya dilakukan oleh produsen importir, (3) Impor pupuk non subsidi

dilakukan oleh importir pupuk terdaftar, (4) Besarnya jumlah dan alokasi pupuk

impor serta penunjukan importir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3)

ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri setelah mendapat

rekomendasi dari Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan.

Sementara untuk ekspor pupuk non subsidi telah diatur berdasarkan

Permendag 48/2012 yang khusus mengatur ekspor pupuk urea non subsidi. Adapun

alasan pengaturan adalah mengingat pupuk Urea bersubsidi termasuk barang yang

diawasi ekspornya, tidak boleh diekspor dan hanya diperuntukkan konsumsi di

dalam negeri yaitu : petani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat,

Page 72: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

56

peternakan dan perikanan budidaya serta untuk hijauan makanan ternak, dan tidak

ada satu pihak pun yang diperbolehkan mengekspor pupuk Urea bersubsidi. Hal ini

sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (2) Permendag : 48/M-DAG/PER/7/2012

tentang Ketentuan Ekspor Pupuk Urea Non Subsidi. Dampak lain yang merugikan

petani dalam negeri adalah dapat mengakibatkan terjadinya kelangkaan pupuk di

dalam negeri.

Berdasarkan data FAO (2014) bahwa selain mengekspor Urea dan ZA,

Indonesia juga telah melakukan impor baik Urea maupun ZA. Ekspor Urea dan ZA

antar tahunnya berfluktuasi, namun trendnya selama kurun waktu 2005-2012

meningkat tajam masing-masing sebesar 14,78 dan 37,33 %/tahun. Pada tahun

2012, ekspor Urea paling tinggi dibanding tahun sebelumnya yakni mencapai 1,098

juta ton, dan untuk ZA ekspornya relatif hampir sama dengan tahun sebelumnya

yaitu sekitar 10,05 ribu ton. Sementara impornya, kecenderungannya juga

meningkat tajam sekitar 44,19 %/tahun untuk urea dan 17,52 %/tahun untuk ZA.

Tabel 20. Perkembangan Konsumsi, Ekspor dan Impor Urea serta ZA di Indonesia,

2005-2012.

Konsumsi (ton) Ekspor (ton) Impor (ton)

Tahun Urea ZA Urea ZA Urea ZA

2005 4.842.537 651.986 673.360 1.040 8.937 172.146

2006 4.851.876 684.101 42.146 1.304 1.110 279.413

2007 4.900.693 730.681 692.747 211 1.794 242.223

2008 5.133.220 773.668 190.935 2.122 9.989 438.633

2009 5.411.462 935.828 504.192 2.906 31.552 338.395

2010 5.131.287 731.044 889.264 - 39.072 268.451

2011 5.245.493 962.970 778.319 11.491 53.992 503.392

2012 5.119.133 1.049.898 1.098.418 10.049 145.872 820.346

r (%/thn) 1,14 6,34 14,78 37,33 44,19 17,52

Sumber: FAO.org (2014).

Bila dilihat dari aspek konsumsi pupuk, dapat diketahui bahwa konsumsi

pupuk Urea untuk pertanian secara umum diatas 5 juta ton per tahunnya sejak

tahun 2008. Adapun laju peningkatan konsumsi urea selama kurun waktu 2005-2012

sekitar 1,14 %/tahun. Sementara untuk konsumsi pupuk ZA kecenderungannya

dalam kurun waktu tersebut meningkat pesat sekitar 6,34 5%/tahun, yaitu dari

651,99 ribu ton pada tahun 2005 menjadi 1,05 juta ton pada tahun 2012.

Page 73: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

57

5.3. Posisi RDKK dalam Penyaluran Pupuk Terhadap Petani

Pada penyaluran pupuk, kegiatan perencanaan awal merupakan aktivitas

penting agar proses distribusi pupuk dapat sesuai target/tepat sasaran (petani) dan

tepat waktu. Proses tersebut yaitu dimulai dari penyusunan rencana di tingkat

kelompotani (Poktan) melalui penyusunan RDKK pupuk bersubsidi, lalu secara

berjenjang dihimpun dan dikonsolidasikan di tingkat gabungan kelompoktani

(Gapoktan) oleh penyuluh diketahui kepala desa di tingkat desa, mantri tani di

tingkat kecamatan, dinas lingkup pertanian terkait tingkat kabupaten di kabupaten/

kota, dinas lingkup pertanian tingkat provinsi, dan akhirnya disampaikan ke

Kemenerian Pertanian, dalam hal ini yang bertanggungjawab adalah Direktorat

Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) untuk tingkat nasional.

Selanjutnya hasil dari prores perencanaan yang berjenjang dan panjang ini,

yaitu berupa kebutuhan pupuk bersubsidi untuk masing-masing subsektor tanaman

pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan tambak serta menurut masing-

masing jenjang wilayah pemerintahan. Namun demikian, hasil dari proses

perencanaan tersebut ternyata hanya dimanfaatkan sebagai angka indikatif

kebutuhan pupuk bersubsidi. Jumlah dan alokasi pupuk ke subsektor dan provinsi

dan kabupaten/ kota ternyata lebih ditentukan oleh ketersediaan anggaran dan

besarnya subsidi pupuk per kg menurut jenis pupuk. Sebagai contoh untuk tahun

2015, kebutuhan pupuk berdasarkan usulan daerah yang dihimpun dari usulan

Poktan melalui RDKK pupuk bersubsidi sebesar 13,18 juta ton, namun pemerintah

hanya menyediakan pupuk bersubsidi sebesar 9,55 juta ton, yang berarti terdapat

potensi defisit sebesar 3,63 juta ton atau 27,54%.

Melalui pencermatan angka tersebut, segera dapat dipahami akan terjadi

permasalahan kelangkaan pupuk di lapangan seperti hampir setiap musim tanam

dikeluhkan petani, karena penyediaan pupuk bersubsidi jauh lebih rendah dari

kebutuhannya. Hal ini merupakan permasalahan pertama yang menjadi kelemahan

dalam perencanaan penyediaan pupuk bersubsidi ditinjau dari keseimbangan neraca

kebutuhan dan penyediaan pupuk bersubsidi.

Permasalahan lainnya adalah dalam hal perencanaan yaitu terdapatnya

kelemahan dalam penyusunan RDKK. Pedoman Penyusunan RDKK dalam

Permentan No. 82/2013 dan Permentan No. 130/Permentan/SR.130/11/2014 telah

Page 74: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

58

dijabarkan dalam Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi yang

dikeluarkan Direktorat Pupuk dan Pestisida, Ditjen PSP Januari 2015 sudah cukup

rinci.

Pada Pedoman tersebut diatur hal-hal pokok, antara lain, RDKK pupuk

bersubsisi: (i) merupakan rencana kebutuhan pupuk bersubsidi Poktan selama satu

tahun, (ii) diperuntukan bagi petani yang mengusahakan lahan dengan total luasan

maksimal dua hektare setiap musim tanam per keluarga, (iii) hanya diberikan

kepada petani yang tergabung dalam Poktan, (iv) untuk meningkatkan efisiensi

penggunaan pupuk, harus disusun sesuai kebutuhan riil petani, dan (v) merupakan

hasil musyawarah dari Poktan. Hasil rekapitulasi digunakan sebagai: (a) dasar

usulan kebutuhan pupuk bersubsidi tingkpat nasional tahun berikutnya dan (b) alat

pesanan pupuk bersubsidi kepada penyalur/pengecer resmi.

Beradasarkan pengamatan dan diskusi di lapangan bersama petani dan aparat

terkait di lokasi kajian Provinsi Jawa Barat dan Lampung, dapat diidentifikasi

beberapa permasalahan dalam penyusunan RDKK pupuk bersubsidi ini, sebagai

berikut:

1) Tidak semua petani menjadi anggota kelompk tani, sehingga kebutuhan

para petani segmen ini tidak masuk dalam proses perencanaan kebutuhan

pupuk yang tercantum dalam RDKK pupuk bersubsidi. Pada saat mereka

membutuhkan pupuk untuk usahataninya, kelompok petani ini akan

kesulitan mendapatkan/ membeli pupuk dari pengecer resmi.

2) Tidak semua tanaman yang diusahakan petani dalam siklus satu tahun

berjalan dimasukkan dalam RDKK pupuk bersubsidi, sementara itu di dalam

Juklak Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi tidak ada rincian komoditas

yang dapat memperoleh pupuk bersubsidi. Kondisi ini menyebabkan petani

kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi untuk persemaian dan untuk

usahatani tanaman sela yang kebutuhan pupuknya tidak dimasukkan

dalam RDKK karena petani tidak merencanakan menanam tanaman

tersebut satu tahun sebelumnya (Misalnya petani tergerak menanam

karena melihat ada peluang pasar dalam jangka pendek).

3) Tidak ada pengaturan tentang petani yang berhak menerima pupuk

bersubsidi berdasarkan penguasaan dan/atau pengusahaan seperti

Page 75: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

59

pemilik, pemilik penggarap, penggarap, penyewa, penyewa penggarap

yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Dalam Permentan No.

82/2013 tidak ada pengaturan tentang ini, hanya disebutkan "diberikan

kepada petani dengan luas lahan maksimal...", dalam Permentan No.

130/2014 hanya dirumuskan "diperuntukan bagi petani yang

mengusahakan lahan maksimal....", dan dalam Juklak Penyusunan RDKK

2014 sama sekali tidak mencantumkan pengaturan mengenai hal ini.

Karena tidak ada pengaturan tersebut, akibatnya di lapangan ditemukan

kasus penggarap/penyewa kesulitan memperoleh pupuk karena yang

terdaftar dalam RDKK di Poktannya hanya anggota Poktan yang berstatus

pemilik lahan.

4) Batasan pemberian pupuk bersubsidi kepada petani dengan luas lahan

maksimal dua hektar, di lapangan tidak operasional karena tidak diatur

lebih lanjut mengenai satus kepemilikannya. Diperoleh informasi bahwa

lahan lebih dari dua hektar yang dimiliki seorang petani dapat memperoleh

alokasi pupuk bersubsidi karena diusahakan oleh beberapa penggarap,

dipecah-pecah lebih kecil dari dua hektar.

5) Sebagian RDKK yang disusun di tingkat Poktan tidak akurat, baik secara

prosedural ataupun akurasi data yang disajikan, akibatnya terdapat RDKK

yang volume kebutuhan pupuknya lebih kecil atau lebih besar dari

kebutuhan riil atau tidak semua kebutuhan pupuk petani direncanakan

berdasarkan/ sesuai dengan tanaman yang diusahakannya dalam siklus

satu tahun.

6) Ditemukan kasus RDKK tidak sepenuhnya diacu oleh pemilik Kios Resmi

dalam proses transaksi penjualan/ pembelian pupuk ke/oleh petani.

Perbaikan menyusunan RDKK Pupuk Bersubsidi dan penyediaan pupuk

bersubsidi sesuai dengan kebutuhan yang disusun berdasarkan RDKK menjadi salah

satu kunci utama dalam menghilangkan permasalahan kelangkaan pupuk bersubsidi

yang selama ini selalu terjadi.

Pada lokasi kajian di Jawa Barat dan Lampung, seringkali terdapat petani yang

tidak tercantum pada RDKK. Padahal petani tersebut adalah petani pangan berskala

Page 76: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

60

kecil yang memerlukan pupuk bersubsidi. Disisi lain terdapat petani petani luas, yang

memperoleh jatah pupuk bersubsidi yang besar. Karena untuk memperoleh pupuk

bersubsidi diluar yang namanya tidak tercantum pada RDKK tidak diperbolehkan,

maka adakalanya petani kecil harus berkongsi dengan petani lainnya untuk

memperoleh pupuk bersubsidi.

Selain itu, kelemahan distribusi dengan mekanisme RDKK juga ditemukan

bahwa kios yang ditunjuk dalam penjualan pupuknya seringkali tidak mencatat atau

menyesuaikan dengan nama yang tercantum. Kios adakalanya lebih mengutamakan

bisnisnya, dimana pupuk cepat terserap oleh petani. Sehingga peluang moral hazard

dapat memungkinkan terjadi.

5.4. Perkembangan HPP Gabah, HET Pupuk Bersubsidi dan Harga Paritas

Pupuk Internasional

Penetapan harga dasar gabah dapat dianalisis kaitannya dengan harga eceran

pupuk atau sebaliknya, yang mengacu pada tujuan untuk menjamin adanya

keuntungan yang layak dengan tetap mempertimbangkan ketersediaan anggaran

belanja pemerintah untuk subsidi. Pergerakan harga gabah/beras yang terkendali

disertai kebijakan tarif impor beras merupakan bentuk keberpihakan pemerintah

terhadap petani domestik dari tekanan harga beras impor, serta kepedulian

pemerintah bagi sebagian besar masyarakat konsumen yang memiliki daya beli

sangat terbatas.

Demikian pula kebijakan distribusi beras bersubsidi bagi rakyat miskin (Raskin)

merupakan salah satu bentuk keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat

berpenghasilan rendah, termasuk petani berlahan sempit dan buruh tani. Kebijakan

stabilisasi harga melalui operasi pasar khusus (OPK) bila harga beras meningkat

tajam secara implisit menyebabkan akselerasi harganya relatif kurang setara dengan

pergerakan harga-harga input produksinya, seperti pupuk dan pestisida.

Bila dilihat perkembangan HPP gabah ternyata perkembangannya relatif

lambat, yaitu pada tahun 2007 seharga Rp 2.000/kg dan hampir sepuluh tahun

berikutnya naik menjadi Rp 3.700/Kg atau meningkat rata-rata sekitar 7,39

%/tahun. Peningkatan HPP yang rendah, tampaknya agar mengimbangi lambatnya

kenaikan HET pupuk bersubsidi yaitu untuk pupuk urea dari tahun 2007 seharga Rp

Page 77: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

61

1.200/Kg menjadi Rp 1.800 (meningkat 5,92 %/tahun). Hal yang sama untuk

kenaikan HET pupuk TSP sebesar 5,14 %/tahun yaitu dari Rp 1.550/Kg pada tahun

2007 menjadi Rp 2.200/Kg pada tahun 2015, serta pada pupuk ZA kenaikan HETnya

sebesar 4,09 %/tahun yaitu dari Rp 1.050/Kg pada tahun 2007 menjadi Rp 1.400/Kg

pada tahun 2015.

Bila dipandang dari sisi rasio harga patokan pembelian pemerintah (HPP)

gabah terhadap HET pupuk bersubsidi, yaitu: (1) Rasio HPP gabah terhadap urea

masih sedikit meningkat (1,30 %/tahun) selama kurun waktu 2007-2015, (2) Pada

periode yang sama, rasio HPP gabah terhadap pupuk TSP/SP peningkatannya relatif

lebih tinggi dibandingkan terhadap rasio HPP gabah dengan HET urea, dan rasio HPP

gabah terhadap pupuk ZA peningkatannya relatif lebih tinggi dibandingkan terhadap

rasio HPP gabah dengan HET TSP/SP. Adapun Gambaran lengkap perkembangan

harga dan rasionya disajikan pada Tabel 21 dan Gambar 8.

Tabel 21. Perkembangan HPP gabah, HET Pupuk dan rasionya di Indonesia, 2007-2015.

Tahun HPP gabah HET (Rp/Kg) Rasio

(Rp/kg) Urea TSP ZA HPP thd Urea

HPP thd TSP/SP

HPP thd ZA

2007 2.000 1.200 1.550 1.050 1,67 1,29 1,90

2008 2.200 1.200 1.550 1.050 1,83 1,42 2,10

2009 2.400 1.200 1.550 1.050 2,00 1,55 2,29

2010 2.640 1.600 2.000 1.400 1,65 1,32 1,89

2011 2.640 1.800 2.200 1.400 1,47 1,20 1,89

2012 3.300 1.800 2.200 1.400 1,83 1,50 2,36

2013 3.300 1.800 2.200 1.400 1,83 1,50 2,36

2014 3.300 1.800 2.200 1.400 1,83 1,50 2,36

2015 3.700 1.800 2.200 1.400 2,06 1,68 2,64

r(%/tahun) 7,39 5,92 5,14 4,09 1,30 2,19 3,30

Sumber: BPS (2015), dan Kementan (2015)

Page 78: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

62

Gambar 8. Perkembangan Rasio HPP Gabah terhadap HET Pupuk di Indonesia, 2008-2015.

5.5. Mekanisme Pengawasan Pelaksanaan Subsidi

Karena pupuk bersubsidi merupakan komoditas yang berada di dalam

pengawasan, maka pemerintah telah menyiapkan berbagai mekanisme pengawasan

untuk menekan penyimpangan, baik dari sisi penganggaran maupun pelaksanaan di

lapangan. Mekanisme pengawasan diperlihatkan pada Gambar 9. Pada sisi

pelaksanaan di lapangan, dalam rangka pengawasan distribusi pupuk, produsen

wajib melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap penyediaan dan

penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini-I sampai dengan Lini-IV sebagaimana diatur

dalam Permendag tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk

Sektor Pertanian.

Sementara itu, pengawasan terhadap penyaluran, penggunaan dan harga pupuk

bersubsidi dilakukan oleh KP3. Komisi pengawasan ini adalah wadah koordinasi

instansi lintas sektor yang dibentuk dengan Keputusan gubernur/bupati/walikota

untuk melakukan pengawasan terhadap penyaluran, penggunan dan harga pupuk

bersubsidi di wilayah provinsi/kabupaten/kota. KP3 kabupaten/kota dalam

melaksanakan tugasnya dibantu oleh penyuluh pertanian. Mekanisme penyampaian

laporan pengawasan, sebagaimana diatur dalam Permentan Nomor 06 Tahun 2011,

adalah sebagai berikut: (1) KP3 di kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan

Page 79: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

63

pemantauan dan pengawasan pupuk bersubsidi di wilayah kerjanya kepada

bupati/walikota; (2) Bupati/walikota menyampaikan laporan hasil pemantauan dan

pengawasan pupuk bersubsidi kepada gubernur; (3) KP3 di provinsi wajib

menyampaikan laporan hasil pemantauan dan pengawasan pupuk bersubsidi kepada

gubernur; dan (4) Gubernur menyampaikan laporan hasil pemantauan dan

pengawasan pupuk bersubsidi kepada Menteri Pertanian, melalui Direktur Jenderal

PSP.

Gambar 9. Skema Mekanisme Pengawasan Penyaluran Pupuk dan Pestisida di Indonesia, 2011. (Sumber: Direktorat Sarana Produksi, 2011)

5.6 Perdagangan Pupuk non Subsidi di Pasar Domestik

Lebih lanjut untuk perdagangan pasar pupuk komersial baik pupuk Urea, NPK

dan SP-36 terutama pada sektor perkebunan dan industri secara umum mengalami

Page 80: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

64

peningkatan signifikan (Tabel 22). Pada pupuk urea, harga jual pupuk urea pada

tahun 2010 disektor perkebunan sebesar Rp 2.630/kg dan di industri sebesar Rp

2.606/kg. Harga dikedua sektor tersebut terpaut Rp 1.000/kg lebih tinggi

dibandingkan dengan harga urea subsidi yang hanya sebesar Rp 1.600/Kg.

Selanjutnya Pada tahun 2014, harga jual pupuk urea disektor perkebunan sebesar

Rp 3.695/kg dan di industri sebesar Rp 3.664/kg. Harga dikedua sektor tersebut

bahkan terpaut sekitar Rp 2.000/kg lebih tinggi dibandingkan dengan harga urea

subsidi yang hanya sebesar Rp 1.800/Kg.

Selanjutnya pada perdagangan komersial pupuk SP-36, dimana harga jual

pupuk SP-36 pada tahun 2010 disektor perkebunan sebesar Rp 3.186/kg dan di

industri sebesar Rp 3.136/kg. Harga dikedua sektor tersebut juga terpaut Rp

1.000/kg lebih tinggi dibandingkan dengan harga SP-36 subsidi yang hanya sebesar

Rp 2.000/Kg. Selanjutnya Pada tahun 2014, harga jual pupuk SP-36 disektor

perkebunan sebesar Rp 4.062/kg dan di industri sebesar Rp 3.818/kg. Harga

dikedua sektor tersebut bahkan terpaut sekitar Rp 2.000/kg lebih tinggi

dibandingkan dengan harga SP-36 subsidi yang mencapai Rp 2.800/Kg. Secara

lengkap untuk pupuk NPK dan gambaran rinciannya disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22. Harga Jual di Pasar Komersial Pupuk Urea, NPK, dan SP-36 Produksi PT. PIHC

berdasarkan Subsektor Ekonomi, Pasar di Indonesia 2011-2014 (Rp/Kg)

Jenis

Pupuk Uraian 2010 2011 2012 2013 2014

Rata-Rata

Pertumbuhan (%)

Urea

Harga Subsidi 1.600 1.600 1.800 1.800 1.800 3,13

PSO 1.186 1.341 1.486 1.482 1.465 5,62

Perkebunan 2.630 3.697 4.174 4.041 3.695 10,43

Industri 2.606 3.702 4.136 3.607 3.664 10,64

Ekspor 2.814 4.065 4.160 3.700 3.847 9,93

NPK

Harga Subsidi 2.300 2.300 2.300 2.300 2.300 -

PSO 1.787 1.935 1.923 1.889 1.902 1,65

Perkebunan 4.117 4.282 4.656 4.255 4.120 0,24

Industri - - - - - -

Ekspor 2.828 3.853 4.154 3.625 3.762 8,78

SP-36

Harga Subsidi 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 -

PSO 1.563 1.667 1.655 1.621 1.626 1,05

Perkebunan 3.186 4.539 4.000 1.806 4.062 25,16

Industri 3.136 3.549 3,800 2.093 3.818 -12,31

Ekspor - - - - - - Sumber: PT. PIHC (2015)

Page 81: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

65

VI. ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN NASIONAL

Pupuk dan pemupukan menupakan salah satu unsur penting dalam

pembangunan pertanian, khususnya yang berkaitan dengan upaya peningkatan

produksi pangan. Namun demikian, yang sering muncul ke permukaan dan menjadi

topik debat publik serta seringkali dikaitkan dengan isu politik adalah kebijakan

subsidi pupuk yang anggarannya meningkat dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2015

subsidi pupuk dianggarkan sebesar lebih dari Rp 36 triliun rupiah (termasuk untuk

membayar tunggakan tahun-tahun sebelumnya) dengan sasaran penyaluran volume

pupuk bersubsidi sebesar 9,55 juta ton. Isu sosial ekonomi lainnya yang juga

akhirnya menjadi isu politik adalah terkait dengan ‘kelangkaan pupuk pada puncak

musim tanam’ yang sering diwartakan media masa.

Selain kedua isu di atas, banyak permasalahan terkait pupuk dan pemupukan,

namun dalam Anjak ini hanya akan dibahas tiga hal terkait dengan isu yang

disebutkan di atas, yaitu: (1) perencanaan kebutuhan pupuk bersubdisi, (2) sistem

distribusi pupuk bersubsidi, dan (3) mekanisme penyaluran anggraran pembiayaan

subsidi pupuk.

6.1. Perencanaan Kebutuhan Pupuk Bersubsidi.

Seperti dibahas dalam Bab III, perencanaan kebutuhan pupuk diatur dalam

Peraruran Menteri Pertanian. Untuk saat ini (2015) pengaturan mengenai hal

tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor

82/Permentan/OT.140/8/2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompoktani dan

Gabungan Kelompoktani (Permentan No. 82/2013), khususnya Lampiran II yang

mengatur tentang Pedoman Penyusunan Rencana Definitif Kelompktani dan

Rencana Definitif Kebutuhan Kelompktani (RDK dan RDKK).

Proses perencanaan tersebut diatur dengan rinci mulai dari penyusunan di

tingkat kelompotani (Poktan) melalui penyusunan RDKK pupuk bersubsidi, lalu

secara berjenjang dihimpun dan dikonsolidasikan di tingkat gabungan kelompoktani

(Gapoktan) oleh penyuluh diketahui kepala desa di tingkat desa, mantri tani di

tingkat kecamatan, dinas lingkup pertanian terkait tingkat kabupaten di kabupaten/

kota, dinas lingkup pertanian tingkat provinsi di provinsi, dan akhirnya disampaikan

Page 82: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

66

ke Kemenerian Pertanian, dalam hal ini yang bertanggungjawab adalah Direktorat

Jenderal PSP untuk tingkat nasional.

Hasil dari prores perencanaan yang berjenjang dan panjang ini dalam berupa

kebutuhan pupuk bersubsidi untuk masing-masing subsektor tanaman pangan,

perkebunan, peternakan, dan perikanan tambak serta menurut masing-masing

jenjang wilayah pemerintahan. Namun demikian, hasil dari proses perencanaan

tersebut ternyata hanya dimanfaatkan sebagai angka indikatif kebutuhan pupuk

bersubsidi. Jumlah dan alokasi pupuk ke subsektor dan provinsi serta kabupaten/

kota ternyata lebih ditentukan oleh ketersediaan anggaran dan besarnya subsidi

pupuk per kg menurut jenis pupuk. Sebagai contoh untuk tahun 2015, kebutuhan

pupuk berdasarkan usulan daerah yang dihimpun dari usulan Poktan melalui RDKK

pupuk bersubsidi sebesar 13,18 juta ton, namun pemerintah hanya menyediakan

pupuk bersubsidi sebesar 9,55 juta ton, yang berarti terdapat potensi defisit sebesar

3,63 juta ton atau 27,54% (Gambar 2).

Dengan mempelajari angka ini saja, segera dapat dipahami bila terjadi

permasalahan kelangkaan pupuk di lapangan seperti hampir setiap musim tanam

dikeluhkan petani, karena penyediaan pupuk bersubsidi jauh lebih rendah dari

kebutuhannya. Hal ini merupakan permasalahan utama yang menjadi kelemahan

dalam perencanaan penyediaan pupuk bersubsidi ditinjau dari keseimbangan neraca

kebutuhan dan penyediaan pupuk bersubsidi.

Permasalahan kedua dalam aspek perencanaan adalah adanya kelemahan

dalam penyusunan RDKK. Pedoman Penyusunan RDKK dalam Permentan No.

82/2013 dan Permentan No. 130/Permentan/SR.130/11/2014 tentang Kebutuhan

dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun

Anggaran 2015 (Permentan No. 130/2014), telah dijabarkan dalam bentuk Petunjuk

Pelaksanaan Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi yang dikeluarkan Direktorat Pupuk

dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Januari 2015 sudah cukup

rinci.

Dalam Pedoman tersebut diatur hal-hal pokok, antara lain, RDKK pupuk

bersubsisi: (i) merupakan rencana kebutuhan pupuk bersubsidi poktan selama satu

tahun, (ii) diperuntukan bagi petani yang mengusahakan lahan dengan total luasan

maksimal dua hektare setiap musim tanam per keluarga, (iii) hanya diberikan

Page 83: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

67

kepada petani yang tergabung dalam poktan, (iv) untuk meningkatkan efisiensi

penggunaan pupuk, harus disusun sesuai kebutuhan riil petani, dan (v) merupakan

hasil musyawarah dari poktan. Hasil rekapitulasi digunakan sebagai: (a) dasar

usulan kebutuhan pupuk bersubsidi tingkat nasional tahun berikutnya dan (b) alat

pesanan pupuk bersubsidi kepada penyalur/pengecer resmi.

Dari pengamatan dan diskusi di lapangan bersama petani dan aparat terkait

(Jawa Barat dan Lampung), dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam

penyusunan RDKK pupuk bersubsidi ini, sebagai berikut:

i. Tidak semua petani menjadi anggota kelompok tani, sehingga kebutuhan

para petani segmen ini tidak masuk dalam proses perencanaan kebutuhan

pupuk yang tercantum dalam RDKK pupuk bersubsidi. Pada saat mereka

membutuhkan pupuk untuk usahataninya, kelompok petani ini akan

kesulitan mendapatkan/ membeli pupuk dari pengecer resmi.

ii. Tidak semua tanaman yang diusahakan petani dalam siklus satu tahun

berjalan dimasukkan dalam RDKK pupuk bersubsidi, sementara itu di

dalam Juklak Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi tidak ada rincian

komoditas prioritas yang dapat memperoleh pupuk bersubsidi. Kondisi ini

menyebabkan petani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi untuk

persemaian ataupun untuk usahatani tanaman sela yang kebutuhan

pupuknya tidak dimasukkan dalam RDKK karena petani tidak

merencanakan menanam tanaman tersebut satu tahun sebelumnya

misalnya petani menanam tanaman tertentu biasanya tanaman semusim,

karena melihat ada peluang pasar dalam jangka pendek.

iii. Tidak ada pengaturan tentang petani yang berhak menerima pupuk

bersubsidi berdasarkan penguasaan dan/atau pengusahaan seperti

pemilik, pemilik penggarap, penggarap, penyewa, penyewa penggarap

yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Dalam Permentan No.

82/2013 tidak ada pengaturan tentang ini, hanya disebutkan "diberikan

kepada petani dengan luas lahan maksimal...", dalam Permentan No.

130/2014 hanya dirumuskan "diperuntukan bagi petani yang

mengusahakan lahan maksimal....", dan dalam Juklak Penyusunan RDKK

2014 sama sekali tidak mencantumkan pengaturan mengenai hal ini.

Page 84: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

68

Karena tidak ada pengaturan tersebut, akibatnya di lapangan ditemukan

kasus penggarap/penyewa kesulitan memperoleh pupuk karena yang

terdaftar dalam RDKK di poktannya hanya anggota poktan yang berstatus

pemilik lahan.

iv. Batasan pemberian pupuk bersubsidi kepada petani dengan luas lahan

maksimal dua hektare, di lapangan tidak operasional karena tidak diatur

lebih lanjut mengenai status kepemilikannya. Diperoleh informasi bahwa

lahan lebih dari dua hektare yang dimiliki seorang petani dapat

memperoleh alokasi pupuk bersubsidi karena diusahakan oleh beberapa

penggarap, dipecah-pecah lebih kecil dari dua hektare.

v. Sebagian RDKK yang disusun di tingkat poktan tidak akurat, baik secara

procedural ataupun akurasi data yang disajikan, akibatnya terdapat RDKK

yang volume kebutuhan pupuknya lebih kecil atau lebih besar dari

kebutuhan riil atau tidak semua kebutuhan pupuk petani direncanakan

berdasarkan/ sesuai dengan tanaman yang diusahakannya dalam siklus

satu tahun.

vi. Ditemukan kasus RDKK tidak sepenuhnya diacu oleh pemilik Kios Resmi

dalam proses transaksi penjualan/ pembelian pupuk ke/oleh petani.

Perbaikan penyusunan RDKK pupuk bersubsidi dan penyediaan pupuk bersubsidi

sesuai dengan kebutuhan yang disusun berdasarkan RDKK menjadi salah satu kunci

utama dalam menghilangkan permasalahan kelangkaan pupuk bersubsidi yang

selama ini selalu terjadi.

6.2. Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi

Sistem distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini mengacu pada

Peraturan Menteri Perdagangan No. 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan

Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian (Permendag No. 15/2013) dan

sebagian dalam Permentan No.82/2013 dan No. 130/2014. Permendag ini telah

mengatur cukup rinci sistem distribusi pupuk bermula dari pengadaan dan

penyaluran (Bab II), tugas dan tanggungjawab para pihak yang terkait dengan

distribusi mulai dari produsen pupuk, pemerintah, pelaku distribusi sampai pengecer,

Page 85: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

69

dan petani/kelompok tani. Permendag ini juga mengatur tentang pengawasan dan

pelaporan. Bab IV laporan ini membahas aspek distribusi pupuk bersubsidi secara

seksama. Sementara itu kedua Permentan tersebut di atas mengatur tentang harga

eceran tertinggi (HET) dan penyaluran pupuk bersubsidi dari lini IV sampai ke

petani.

Bila pengaturan dalam Permendag dan Permentan tersebut dijalankan dengan

seksama, semestinya pupuk dapat dampai ke petani sesuai dengan prinsip enam

tepat. Berdasarkan Permendag ini definisi prinsip enam tepat adalah prinsip

pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang meliputi tepat jenis, jumlah,

harga, tempat, waktu, dan mutu. Namun demikian masih cukup sering dilaporkan

terjadinya keterlambatan sampainya pupuk di tempat petani ataupun harga yang

dibeli petani lebih besar dari HET, terutama pada puncak musim tanam, ataupun

moral hazard berupa perembesan ke sektor non pangan dan non subsidi. Kejadian

ini dapat disebabkan antara lain oleh:

a. persoalan teknis pada saat perencanaan, yaitu penyediaan pupuk bersubsidi

tingkat nasional yang dituangkan dalam Permentan volumenya jauh lebih

rendah dari kebutuhan yang diusulkan oleh pemerintah daerah yang berasal

dari rekapitulasi RDKK;

b. moral hazard pada berbagai tingkatan rantai pasok pupuk bersubsidi, karena

adanya niat tidak amanah dan dirangsang oleh adanya spread (perbedaan)

harga yang cukup besar (lebih dari 50%) antara harga pupuk bersubsidi dan

harga pupuk non subsidi yang diperjual-belikan di pasar;

c. fungsi pengawasan kurang berfungsi dengan baik, banyak Komisi Pengawas

Pupuk dan Pestisida (KP3) provinsi dan kabupaten/kota yang tidak berfungsi

optimum karena kurangnya anggaran untuk melakukan aktivitas pengawasan,

selain itu tim adhock seperti ini yang anggotanya terdiri dari berbagai instansi

seringkali tidak bekerja efektif; dan

d. persoalan teknis karena cuaca buruk, prasarana distribusi rusak, lokasi lahan

pertanian jaraknya jauh, dan petani membeli dalam jumlah kurang dari satu

karung pupuk.

Page 86: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

70

Kebijakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang diatur oleh dua

kementerian seperti tersebut di atas, diantaranya adalah

1. Penetapan volume penyediaan pupuk bersubsidi dan harga eceran tertinggi

(Diatur Menteri Pertanian).

Menteri Pertanian menetapkan pagu volume penyediaan dan harga eceran

tertinggi (HET) pupuk bersubsidi. Dalam Permentan No. 82/2013

penyediaan pupuk dirinci menurut jenis, jumlah, subsektor penerima subsidi

(tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan), provinsi dan

kabupaten/kota, dan sebaran bulanan. Harga pupuk bersubsidi per kg yang

dibayarkan petani di pengecer resmi: Pupuk NPK = Rp. 2.300, pupuk SP-36 =

Rp.2.300, pupuk Urea = Rp.1.800, pupuk ZA = Rp.1.400, dan pupuk organik

Rp.500.

2. Pengaturan usulan, alokasi distribusi pupuk (Diatur Menteri Pertanian dan Menteri

Perdagangan).

a. RDKK disusun oleh kelompoktani berdasarkan musyawarah dan direkapitulasi

secara berjenjang ke tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota,

provinsi dan sampai tingkat nasional di bawah koordinasi Direktorat Jenderal

PSP, Kementerian Pertanian.

b. Menteri Pertanian menetapkan alokasi pupuk bersubsidi menurut jenis pupuk,

subsektor, dan provinsi.

c. Menteri Perdagangan menugaskan PT PIHC melakasanakan pengadaan dan

penyaluran pupuk bersubsidi yang diperuntukan bagi kelompok tani dan/atau

petani.

d. Gubernur dan bupati/walikota menetapkan peraturan pelaksanaan penyaluran

pupuk bersubsidi untuk wilayah wewenangnya.

e. PIHC dan anak-anak perusahaannya (produsen pupuk) bertanggungjawab

atas pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang diperuntukan bagi

kelompoktani dan/atau petani secara nasional dan masing-masing wilayah

tanggungjawabnya dari Lini I sampai Lini IV.

Page 87: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

71

f. Distributor bertanggungjawab atas penyaluran pupuk bersubsidi di wilayah

tanggungjawabnya dari Lini III sampai Lini IV.

g. Pengecer bertanggungjawab atas kelancaran penyaluran pupuk bersubsidi ke

kelompoktani/petani di lokasi kios pengecer berdasarkan RDKK.

Secara skematis proses usulan, alokasi, dan distribusi ini disajikan dalam Gambar 5.

3. Pemantauan dan Pengawasan (Diatur Menteri Perdagangan).

a. PIHC dan anak-anak perusahaannya (produsen pupuk) melakukan

pemantauan dan pengawasan pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk

bersubsidi di tingkat nasional dan wilayah tanggungjawabnya; [serta

melakukan pengawalan terhadap penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini IV ke

petani dan/atau Poktan (tambahan dari Menteri Pertanian)];

b. Tim Pengawas Pupuk Bersubsidi Tingkat Pusat melakukan pemantauan dan

pengawasan pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari

Lini I sampai Lini IV;

c. Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) provinsi ditetapkan oleh

Gubernur bertugas melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan

pengadaan, penyaluran dan penggunaan pupuk bersubsidi dari Lini I sampai

Lini IV di wilayah kerjanya;

d. KP3 kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota bertugas melakukan

pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penyaluran dan penggunaan [dan

harga (tambahan dari Menteri Pertanian)] pupuk bersubsidi di wilayah

kerjanya; [KP3 kabupaten/kota dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh

penyuluh (tambahan dari Menteri Pertanian)];

e. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri dapat melakukan pengawasan

langsung atas pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di

wilayah kerjanya;

f. Kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota bidang perdagangan melakukan

pengawasan pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan ketersediaan di

wilayah kerjanya.

Secara skematis mekanisme pemantauan dan pengawasan disajikan dalam

Gambar 9.

Page 88: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

72

Untuk perbandingan dan guna mengambil pelajaran dari sistem yang digunakan,

berikut ini disampaikan pengaturan pengadaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi

kelompok masyarakat berpendapatan rendah (Raskin). Kebijakan pengelolaan

Raskin dituangkan dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan

Rakyat No. 54 Tahun 2014 tentang Pedoman Umum Raskin Tahun 2015. Beberapa

butir penting dalam pengaturan tersebut antara lain:

1.Penetapan pagu penerima, jumlah beras, dan harga beli Raskin.

a. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat menetapkan pagu

penerima Raskin nasional dan provinsi. Pada tahun 2015 kegiatan Raskin

nasional adalah: sasaran penerima sebanyak 15.530.896 rumah tangga

miskin dan rentan miskin, masing-masing keluarga mendapat 15 kg/ bulan

atau 180 kg/tahun, harga tebus raksin/kg Rp.1600 di titik distribusi.

b. Gubernur menetapkan pagu raskin kabupaten/kota. Pemerintah provinsi

dapat membuat kebijakan unuk menambah pagu raskin asalkan dengan

didanai APBD.

c. Bupati/walikota menetapkan pagu Raskin kecamatan dan desa/kelurahan.

Pemerintah kabupaten/kota dapat membuat kebijakan untuk menambah pagu

raskin dengan didanai APBD.

2.Tanggungjawab distribusi Raskin.

a. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat bertanggungjawab atas

pelaksanaan Program Raskin Nasional dan membentuk Tim Koordinasi

Raskin Pusat.

b. Gubernur, bupati/walikota, dan camat bertanggungjawab atas

pelaksanaan program Raskin di wilayahnya dan membentuk Tim

Koordinasi Raskin provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan

c. Kepala desa/lurah bertanggungjawab atas pelaksanaan program Raskin di

wilayahnya dan membentuk Pelaksana Distribusi Raskin di wilayahnya.

d. Perum BULOG mempunyai tugas dan tanggungjawab melaksanakan

penyaluran Raskin sampai titik distribusi (TD). Pengertian TD adalah

Page 89: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

73

fasilitas publik sebagai tempat penyerahan Raskin kepada Pelaksana

Distribusi Raskin (PDR) di desa/kelurahan.

e. Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota bertanggungjawab atas

penyaluran raskin dari TD ke titik bagi (TB). Pengertian TB adalah fasilitas

publik di desa/kelurahan yang ditetapkan sebagai tempat penyerahan

Raskin dari PDR di desa kepada rumahtangga penerima.

3.Pengawasan.

Pengawasan pelaksanaan penyaluran Raskin dilaksanakan oleh Badan

Pemeriksa Keuangan dan Pembayaran (BPKP), Inspektorat K/L terkait dan

daerah.

Dibuat Unit Pengaduan di bawah koordinasi Tim Raskin Pusat yang

dikoordinasikan Menteri Dalam Negeri.

Kedua pengaturan atau mekanisme pendistribusian bantuan pemerintah kepada

masyarakat seperti diringkaskan di atas (pupuk bersubsidi dan beras bersubsidi),

dapat dibandingkan beberapa hal yang esensial sebagai berikut.

1. Jumlah pupuk bersubsidi dan Raskin tingkat nasional sama ditentukan oleh

pemerintah pusat, dalam hal ini menteri yang berwewenang di bidangnya.

2. PIHC betanggungjawab atas penyaluran pupuk bersubdisi dari Lini I (gudang

PIHC) sampai Lini II dan III (gudang distributor), dan distributor bersama

PIHC bertanggungjawab penuh atas penyaluran dari dari Lini III ke Lini IV

(kios di desa atau kecamatan); sementara itu penyaluran Raskin dari gudang

Bulog sampai Titik Distribusi (di desa) menjadi tanggungjawab penuh

BULOG..

3. Pengaturan penyaluran barang bersubsidi dari tingkat kecamatan dan/atau

desa ke target penerima (petani atau rakyat miskin) berbeda. PIHC ditugasi

juga melakukan pengawalan terhadap penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini

IV ke petani (penugasan dari Kementerian Pertanian), sementara BULOG

tidak dilibatkan secara langsung dalam penyaluran Raskin dari TD ke TB dan

selanjutnya ke keluarga sasaran penerima Raskin. Tanggungjawab tersebut

berada di Pemda, dalam hal ini kepala desa/lurah.

Page 90: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

74

4. Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sama-sama dilibatkan dalam

perencanaan alokasi kebutuhan pupuk dan Raskin. Namun demikian, untuk

kasus pupuk bersubsidi pemda hanya berperan dalam pengawasan melalui

KP3., sedangkan unutk penyaluran Raskin, pemda diberi tanggungjawab

besar, utamanya dalam penyampaian Raskin sampai sasaran keluarga

penerima. Kepala pemerintahan terbawah kepala desa/lurah membentuk Tim

Pelaksana Distribusi Raskin yang bertugas menyalurkan Raskin ke sasaran

penerima tersebut.

Berdasarkan pembandingan tersebut dapat dirumuskan beberapa alternatif

untuk sistem distribusi pupuk bersubsidi dalam upaya meningkatkan efisiensi

penyalurannya. Dua isu yang dapat dipertimbangkan untuk menyempurnakan sistem

distribusi pupuk bersubsidi berdasarkan lesson learned dari distribusi Raskin adalah:

(1) BUMN yang ditugaskan diberi mandat untuk bertanggungjawab penuh (tidak

dibagi dengan penyalur lain) atas penyaluran barang pemerintah bersubsidi

dimaksud dari gudang miliknya sampai di tingkat desa, dan (2) Pemda diberi

tanggungjawab untuk menyalurkan barang pemerintah bersubsidi dimaksud dari

desa ke sasaran penerima, petani atau rumahtangga.

6.3. Mekanisme penyaluran subsidi pupuk

Pemerintah menganggarkan subsidi bagi petani kecil (luas lahan sama atau

lebih kecil dari 2,0 hektare) agar dapat membeli pupuk untuk usahataninya dengan

harga yang terjangkau. Tujuan kebijakan ini adalah untuk memberikan insentif

berproduksi bagi petani dan meningkatkan kemampuan finansial petani membeli

sarana produksi yang esensial dengan jumlah yang cukup sesuai rekomenasi.

Pemupukan yang berimbang, tepat waktu, dan tepat dosis diyakini dapat

meningkatkan produksi tanaman/hektare sesuai dengan atau mendekati potensinya.

Mekanisme penetapan besarnya subsidi untuk pupuk setiap tahun dimulai

ketika Kementerian Pertanian menetapkan sasaran produksi, perkiraan rencana luas

tanam beberapa komoditas pangan penting, sasaran luas tanam dan hasil/ha

beberapa komoditas pangan tersebut; perkiraan harga pokok produksi (HPP) pupuk

bersubsidi yaitu Urea, NPK, SP-36, ZA, dan organik; dan harga eceran tertinggi

Page 91: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

75

(HET) untuk masing-masing jenis pupuk bersubsidi. Dari ketiga variabel tersebut

dapat dihitung perkiraan besaran anggaran yang perlu dialokasikan untuk subdidi

pupuk.

Perkiraan kebutuhan anggaran subsidi untuk pupuk usulan Kementerian

Pertanian dibahas dalam rapat tingkat menteri dipimpin Menteri Koordinator Bidang

Perekonomian yang dihadiri para menteri terkait (utamanya Menteri-Menteri

Pertanian, Keuangan, Perindustrian, Perdagangan, BUMN). Menteri Keuangan akan

mengkaji secara seksama angka usulan besaran subsidi ini. Setelah disepakati,

dengan atau tanpa perubahan dari angka usulan Kementerian Pertanian, besaran

angka kesepakatan tersebut menjadi rancangan anggaran pemerintah yang

selanjutnya akan dibahas, disesuaikan, dan disetujui dalam Rapat Kerja Komisi IV

(bidang pertanian) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Menteri Pertanian, di

Komisi VI DPR dan di Badan Anggaran DPR dengan menteri-menteri terkait. Setelah

menjadi bagian dari APBN, pelaksanaan pengelolaanya dilakukan oleh unit kerja di

Kementerian Pertanian, yaitu di Ditjen PSP . Besaran anggaran subsidi untuk pupuk

ini selalu meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan peningkatan sasaran

produksi serta luas tanam, perubahan HPP dan HET, seperti telah disajikan dalam

Bab IV.

Subsidi pupuk dengan sasaran penerima petani kecil dimaksudkan terutama

untuk meningkatkan produksi pangan yang kebutuhannya setiap tahun terus

meningkat dalam rangka mencapai ketahanan pangan berkelanjutan. Sejak

diimplementasikannya kebijakan ini, pelaksanaan penyaluran subsidi pupuk tidak

langsung diberikan ke petani dalam bentuk uang, namun dalam bentuk ketersediaan

pupuk yang cukup di kios pengecer resmi di tingkat desa/kecamatan dengan harga

yang lebih rendah dari harga keekonomian ataupun harga pasar.

Anggaran subsidi pupuk disalurkan ke BUMN produsen pupuk yang ditunjuk

melaksanakan PSO, yaitu PIHC beserta anak-anak perusahaannya. Dalam satu tahun

dilakukan beberapa kali pembayaran kepada BUMN oleh pengelola APBN subsidi

pupuk di Ditjen PSP sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Jumlah yang dibayarkan

tiap term bergantung pada jumlah pupuk tersalur sampai kepada petani berdasarkan

laporan dan hasil verifikasi dikalikan dengan perkiraan besaran subsidi untuk setiap

kg pupuk. Perkiraan besaran subsidi pupuk/kg dihitung dari selisih perkiraan HPP

Page 92: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

76

(diambil dari HPP audited Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dua tahun sebelumnya)

dikurangi HET.

Diawal tahun berikutnya, BPK mengaudit laporan dari PIHC atas jumlah

penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani dan besaran HPP untuk masing-masing

pupuk dari setiap anak perusahaan PIHC. Hasil audit BPK yang telah disepakati

BUMN pupuk akan menjadi acuan bagi pemerintah mengenai besarnya subsidi

pupuk yang harus dikeluarkan pada tahun pemeriksaan. Dari hasil audit ini akan

diperoleh gambaran situasi pembayaran dari pemerintah ke PIHC berupa kurang

bayar atau lebih bayar, tergantung dari besaran alokasi anggaran tahun tersebut

dan realisasinya bersadarkan audit BPK. Selama 10 tahun terakhir kejadian kurang

bayar lebih sering terjadi.

Diskusi publik yang sering muncul terkait pemberian subsidi pupuk kepada

petani melalui BUMN menyatakan kebijakan ini dinilai tidak tepat, antara lain karena

pupuk bersubsidi sebagian tidak sampai ke petani akibat moral hazard pada

beberapa simpul dalam proses distribusi. Hilal (2015) menginventarisasi berbagai

penyelewengan pupuk berdasarkan berita di media masa dan online terjadi pada

semester pertama 2015 di Rokan Hulu dan Idragiri Hilir, Riau; Bayuwangi dan

Jember Jawa Timur; Bengalon, Kalimantan Timur; dan Bantul, Yogyakarta. Menteri

Keuangan dan Ketua Komisi IV DPR-RI juga menyampaikan perhatiannya atas

permasalahan adanya ketidak-tepatan penerima atau pemanfaat subsidi pupuk ini.

(Jefriando, 2015 dan Republika co.id, 2015).

Berdasarkan kajian-kajian tersebut dan juga analisis Tim Anjak di lapangan,

pada umumnya ketidak-tepatan penerima pupuk bersubsidi terjadi dalam bentuk

seperti: (i) pupuk merembes ke sektor perkebunan besar (ini diakibatkan karena

diparitas harga subsidi dan harga pasar yang sangat besar), (ii) pupuk

diselundupkan ke luar negeri (pada kondisi harga di luar negeri lebih mahal), (iii)

pupuk ditimbun oleh seseorang atau badan usaha, (iv) RDKK pupuk bersubsidi tidak

akurat, termasuk adanya kelompok tani atau badan usaha fiktif, (v) pupuk tidak

tersedia cukup pada saat petani memerlukan, dan (vi) pupuk dimanfaatkan petani

tidak sesuai dosis.

Menghadapi kenyataan seperti ini, pemerintah saat ini sedang mengkaji

kemungkinan pemberian subsidi untuk pupuk langsung kepada petani. Rencana ini

Page 93: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

77

ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo melalui twitter beliau tanggal 18 Agustus

2015: ”Subsidi pupuk dan benih banyak diselewengkan. Akan kita ubah menjadi

subsidi akhir harga beli ke petani.” Namun, pemerintah diingatkan oleh politisi dan

tokoh tani diantaranya Algozali (Siregar, 2015) dan Sastraatmaja (Maulana dan

Ardhia, 2015) untuk mempertimbangkan berbagai hal yang sensitif bagi kehidupan

petani sebelum memutuskan perubahan kebijakan subsidi pupuk ini.

Berdasarkan telaahan di atas terdapat beberapa alternatif atau pilihan cara

pemberian insentif berproduksi langsung kepada petani baik berupa subsidi input

(pupuk) atau subsidi harga output kepada petani, yaitu:

1. Subsidi input dalam bentuk pupuk langsung diberikan ke petani sebelum

masa tanam, seperti mekanisme pembagian Raskin oleh BULOG. Jumlah

pupuk yang diberikan ke petani berdasarkan luas lahan garapan, komoditas

yang diusahakan, dan dosis pemupukan untuk setiap komoditas yang

diusahakan.

2. Subsidi harga input dalam bentuk uang langsung diberikan kepada petani

sebelum masa tanam, seperti mekanisme bantuan langsung tunai (BLT).

Jumlah uang subsidi yang diberikan kepada setiap petani sesuai dengan

luasan lahan usaha, jenis komoditas yang akan diusahakan, dosis pemupukan

untuk setiap komoditas, dan besarnya subsidi per kguntuk setiap jenis pupuk.

3. Subsidi harga input dalam benuk uang langsung diberikan kepada petani

yang memiliki bukti pembelian pupuk dari kios pengecer resmi. Jumlah

subsidi uang yang diberikan maksimal sesuai dengan yang tercatat di RDKK.

4. Subsidi harga output langsung diberikan kepada petani sesuai produksi padi

yang dihasilkan dari lahan usahatani, yaitu penambahan sejumlah nilai rupiah

tertentu untuk setiap kg produk pangan yang diproduksi petani, baik yang

dijual ke pasar maupun yang disimpan untuk cadangan pangannya. Besarnya

tambahan penerimaan petani dari hasil usahataninya bergantung pada

besarnya total produksi pangan nasional yang disubsidi dan besarnya

anggaran subsidi pupuk yag disediakan.

Untuk alternatif butir (4), berdasarkan kajian PSEKP (2015), dengan

menggunakan angka perencanaan 2015; bila seluruh anggaran subsidi pupuk untuk

Page 94: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

78

tamanan pangan sebesar Rp. 20,51 milyar (72,6% dari total alokasi anggaran

subsidi pupuk) dibagikan kepada petani padi dan sasaran produksi 73,44 juta ton

gabah kering giling (GKG) tercapai, maka petani akan memperoleh tambahan

pendapatan untuk setiap kg GKG yang diproduksinya sebesar Rp.231,10. Lebih

lanjut kajian tersebut menyajikan hasil perhitungan manfaat yang diterima petani

dengan dilepaskannya harga pupuk ke mekanisme pasar dan subsidinya diberikan

langsung melalui output dalam bentuk gabah GKG. Ternyata petani harus

mengeluarkan biaya pupuk yang lebih besar (untuk usahatani padi musim hujan per

hektare, sebesar Rp. 1,33 juta) daripada penerimaan kompensasi uang senilai

output (Rp.1,05 juta). Gambaran ini given teknologi usahatani termasuk pemupukan

yang diterapkan petani tetap.

Keempat alternatif di atas akan efektif dilaksanakan apabila didukung basis

atau pangkalan data yang akurat yang menyajikan data pada tingkat

petani/rumahtangga tani, khusunya informasi tentang identitas petani (nama,

domisili), luas lahan garapan, dan rencana jenis tanaman yang diusahakan. Khusus

untuk subsidi harga output tambahan data yang diperlukan adalah mengenai hasil

panen/ produksi pangan dari setiap petani yang jumlahnya lebih dari 5 juta rumah

tangga, untuk setiap komoditas yang ditanam.

Kementerian Pertanian pada tahun 2010 pernah melakukan uji coba

pemberian subsidi pupuk langusung kepada petani. Salah satu kesimpulannya

adalah ditemukan bebagai permasalahan dan kendala yang harus dibenahi terlebih

dahulu sebelum subsidi langsung ini diterapkan (Hadi, dkk., 2011), sehingga

penerapannya secara masal belum dilakukan.

Kelebihan alternatif kesatu layak diterapkan, namun sistem distribusinya dari

produsen sampai ke petani harus diperbaiki agar pupuk sampai ke petani memenuhi

kaidah 6 tepat. Alternatif kedua layak diterapkan karena sudah ada contoh sistem ini

diterapkan untuk program lain yaitu penyaluran BLT, namun ada kekhawatiran

petani tidak memanfaatkan sebagian atau seluruh uang subsidi ini untuk dibelikan

pupuk sehingga sasaran program tidak tercapai. Alternatif ketiga layak diterapkan

dan petani dipastikan membeli pupuk, namun kemampuan petani membeli pupuk

pada harga pasar tidak sama sehingga dapat saja ada petani yang tidak membeli

pupuk atau membeli pupuk lebih kecil dari dosis yang seharusnya. Alternatif

Page 95: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

79

keempat tidak layak diterapkan karena tambahan penerimaan petani (dari subsidi

output) lebih kecil dari tambahan biaya usahatani padi (beli pupuk). Kelebihannya,

dengan subsidi harga output dalam bentuk uang, maka subsidi dapat langsung

diterima petani.

Sekali lagi, kesemua alternatif tersebut menghendaki prasyarat perlu

(necessary condition) bahkan mutlak harus tersedia data yang akurat di tingkat

petani untuk beberapa variabel dapat di update setiap tahun. Semenara itu jumlah

keluarga petani dan persil lahan usahatani jumlahnya sangat banyak.

Page 96: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

80

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1) Kebijakan subsidi pupuk jelas mempunyai dampak positif bagi peningkatan

produksi pangan, terutama padi/beras. Pencapaian ini memberikan sumbangan

yang signifikan secara nasional pada pencapaian ketahanan pangan, stabilitas

ekonomi, dan ketahanan sebagai bangsa. Namun, kinerja negatif dari kebijakan

ini juga teridentifikasi seperti pelaksanaan distribusi tidak efisien, penyaluran

pupuk tidak tepat sasaran, dan terbangun dualisme pasar yang dapat

menciptakan moral hazzard.

2) Berbagai peraturan kebijakan dalam pengembangan industri pupuk nasional

yang dianalisis dalam konteks ini mencakup kebijakan dalam hal industri pupuk

nasional, distribusi dan pengawasan pupuk, HET pupuk dan alokasi

penggunaan pupuk. Terkait dengan peraturan kebijakan industri pupuk

nasional, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden RI (Inpres) No 2

Tahun 2010 (2/2010) tentang Revitalisasi Industri Pupuk nasional. Langkah-

langkah revitalisasi industri pupuk serta peningkatan daya saing industri pupuk,

melalui usaha: (a) Meningkatkan produksi pupuk an-organik, organik dan

hayati; (b) Memperluas sebaran produksi pupuk; (c) Mengembangkan

keragaman jenis pupuk; (d) Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan;

(e) Melakukan penghematan bahan baku dan energi; dan (f) Memperluas akses

pasar, untuk memenuhi utamanya kebutuhan dalam negeri pada sektor

pertanian, kehutanan, perikanan dan industri.

3) Mengenai distribusi pupuk, saat ini mengacu pada Peraturan Menteri

Perdagangan No. 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran

Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Permendag ini telah mengatur cukup

rinci sistem distribusi pupuk bermula dari pengadaan dan penyaluran, tugas

dan tanggungjawab para fihak yang terkait dengan distribusi mulai dari

produsen pupuk, pemerintah, pelaku distribusi sampai pengecer, dan

petani/kelompok tani. Permendag ini juga mengatur tentang pengawasan dan

pelaporan.

4) Terkait dengan alokasi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dan HET juga

telah dikeluarkan Permentan Nomor 130/ Permentan/ SR.130/11/2014 yang

Page 97: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

81

mengatur tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk

Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2015. Pada peraturan ini

dijelaskan bahwa alokasi pupuk bersubsidi dihitung sesuai dengan anjuran

pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan mempertimbangkan usulan

kebutuhan yang diajukan oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya, serta alokasi anggaran subsidi pupuk tahun 2015.

Alokasi pupuk bersubsidi secara nasional tersebut dirinci menurut provinsi,

jenis, jumlah, sub sektor, dan sebaranbulanan. Selanjutnya, dirinci menurut

kabupaten/kota (ditetapkan dengan peraturan gubernur) dan menurut

kecamatan (ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota).

5) Selama kurun waktu 2005-2014, realisasi anggaran belanja subsidi cukup

berfluktuasi, dengan tren meningkat dari Rp 2,53 Triliun (2005) menjadi Rp

18,04 Triliun atau meningkat rata-rata sebesar 13,27 %/tahun. Bila dilihat rasio

subsidi pupuk terhadap total APBN, maka kisaran rasionya antara 0,475-1,767.

Secara keseluruhan pada periode tersebut rasionya masih menunjukkan

peningkatan sebesar 4,282 %/tahun. Dengan peningkatan angka rasio tersebut

menunjukan bahwa perhatian pemerintah terhadap subsidi pupuk masih tinggi.

6) Kebutuhan pupuk bersubsidi dihitung sesuai dengan anjuran pemupukan

berimbang spesifik lokasi dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan yang

diajukan oleh dinas pertanian provinsi ke pemerintah pusat dalam hal ini

Kementerian Pertanian. Kebutuhan Pupuk Bersubsidi dirinci menurut jenis,

jumlah, sub sektor, provinsi, dan sebaran bulanan. Kebutuhan Pupuk juga

dirinci lebih lanjut menurut kabupaten/kota, jenis, jumlah, sub sektor, dan

sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan gubernur. Selanjutnya

kebutuhan pupuk bersubsidi dirinci lebih lanjut menurut kecamatan, jenis,

jumlah, sub sektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan

bupati/walikota.

7) Proses penyaluran pupuk bersubsidi diawali dengan usulan dari kelompok tani.

Kelompok tani membuat usulan kebutuhan pupuk para petani anggotanya yang

dituangkan dalam RDKK (Rencana Kebutuhan Definitif Kelompok). RDKK

tersebut dari kelompok tani dikumpulkan kolektif ke cabang dinas pertanian

kecamatan setempat setelah dicermati bersama oleh penyuluh pertanian

Page 98: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

82

lapangan (PPL) dan kepala desa. Camat selaku kepala wilayah kecamatan juga

mencermati usulan kebutuhan pupuk dari para kelompok tani seluruh

kecamatan. RDKK tersebut juga dikirimkan kepada penyalur (kios) atau

gapoktan yang bertindak sebagai pengecer resmi (Lini-IV), dan selanjutnya

rekapitulasi usulan kebutuhan pupuk tersebut dikirimkan kepada distributor

(Lini-III). Rekapitulasi kebutuhan pupuk yang telah disusun per kecamatan

dikirimkan kepada dinas pertanian kabupaten/kota, dan selanjutnya secara

berjenjang diserahkan kepada dinas pertanian provinsi dan Kementerian

Pertanian.

8) Dalam konteks manfaat dan upaya mempertahankan swasembada pangan

nasional, maka pemerintah diharapkan masih tetap mempertahankan kebijakan

subsidi pupuk. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memperbaiki

sistemdistribusi pupuk yang berkeadilan adalah sebagai berikut: (1) Harus

dapat menjamin ketersediaan pupuk di tingkat petani agar Program

Peningkatan Ketahanan Pangan tidak terganggu; (2) Industri pupuk nasional

harus tumbuh dengan baik dan menikmati keuntungan yang wajar sehingga

secara berkesinambungan dapat memasok kebutuhan pupuk dalam negeri; dan

(3) Para distributor dan pengecer pupuk juga dapat menikmati keuntungan

yang wajar dari tataniaga ini.

9) Perbaikan penyusunan RDKK pupuk bersubsidi dan penyediaan pupuk

bersubsidi sesuai dengan kebutuhan yang disusun berdasarkan RDKK menjadi

salah satu kunci utama dalam menghilangkan permasalahan kelangkaan pupuk

bersubsidi yang selama ini selalu terjadi. Pada lokasi kajian di Jawa Barat dan

Lampung, seringkali terdapat petani yang tidak tercantum pada RDKK. Padahal

petani tersebut adalah petani pangan berskala kecil yang memerlukan pupuk

bersubsidi. Disisi lain terdapat petani petani luas, yang memperoleh jatah

pupuk bersubsidi yang besar. Karena untuk memperoleh pupuk bersubsidi

diluar yang namanya tidak tercantum pada RDKK tidak diperbolehkan, maka

adakalanya petani kecil harus berkongsi dengan petani lainnya untuk

memperoleh pupuk bersubsidi. Selain itu, kelemahan distribusi dengan

mekanisme RDKK juga ditemukan bahwa kios yang ditunjuk dalam penjualan

pupuknya seringkali tidak mencatat atau menyesuaikan dengan nama yang

Page 99: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

83

tercantum. Kios adakalanya lebih mengutamakan bisnisnya, dimana pupuk

cepat terserap oleh petani.

10) Dari pengamatan dan diskusi di lapangan bersama petani dan aparat terkait

(Jawa Barat dan Lampung), dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam

penyusunan RDKK pupuk bersubsidi ini, sebagai berikut:

a. Tidak semua petani menjadi anggota kelompok tani, sehingga kebutuhan

para petani segmen ini tidak masuk dalam proses perencanaan kebutuhan

pupuk yang tercantum dalam RDKK pupuk bersubsidi. Pada saat mereka

membutuhkan pupuk untuk usahataninya, kelompok petani ini akan

kesulitan mendapatkan/ membeli pupuk dari pengecer resmi.

b. Tidak semua tanaman yang diusahakan petani dalam siklus satu tahun

berjalan dimasukkan dalam RDKK pupuk bersubsidi, sementara itu di dalam

Juklak Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi tidak ada rincian komoditas

prioritas yang dapat memperoleh pupuk bersubsidi. Kondisi ini

menyebabkan petani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi untuk

persemaian ataupun untuk usahatani tanaman sela yang kebutuhan

pupuknya tidak dimasukkan dalam RDKK karena petani tidak merencanakan

menanam tanaman tersebut satu tahun sebelumnya misalnya petani

menanam tanaman tertentu biasanya tanaman semusim, karena melihat

ada peluang pasar dalam jangka pendek.

c. Tidak ada pengaturan tentang petani yang berhak menerima pupuk

bersubsidi berdasarkan penguasaan dan/atau pengusahaan seperti pemilik,

pemilik penggarap, penggarap, penyewa, penyewa penggarap yang berhak

mendapatkan pupuk bersubsidi. Dalam Permentan No. 82/2013 dan No.

130/2014 tidak ada pengaturan tentang ini. Juklak Penyusunan RDKK 2014

sama sekali tidak mencantumkan pengaturan mengenai hal ini. Karena tidak

ada pengaturan tersebut, akibatnya di lapangan ditemukan kasus

penggarap/penyewa kesulitan memperoleh pupuk karena yang terdaftar

dalam RDKK di poktannya hanya anggota poktan yang berstatus pemilik

lahan.

d. Batasan pemberian pupuk bersubsidi kepada petani dengan luas lahan

maksimal dua hektare, di lapangan tidak operasional karena tidak diatur

Page 100: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

84

lebih lanjut mengenai status kepemilikannya. Diperoleh informasi bahwa

lahan lebih dari dua hektare yang dimiliki seorang petani dapat memperoleh

alokasi pupuk bersubsidi karena diusahakan oleh beberapa penggarap,

dipecah-pecah lebih kecil dari dua hektare.

e. Sebagian RDKK yang disusun di tingkat poktan tidak akurat, baik secara

procedural ataupun akurasi data yang disajikan, akibatnya terdapat RDKK

yang volume kebutuhan pupuknya lebih kecil atau lebih besar dari

kebutuhan riil atau tidak semua kebutuhan pupuk petani direncanakan

berdasarkan/ sesuai dengan tanaman yang diusahakannya dalam siklus satu

tahun.

f. Ditemukan kasus RDKK tidak sepenuhnya diacu oleh pemilik Kios Resmi

dalam proses transaksi penjualan/ pembelian pupuk ke/oleh petani.

11) Dari pembandingan ini dapat dirumuskan beberapa alternatif untuk sistem

distribusi pupuk bersubsidi dalam upaya meningkatkan efisiensi penyalurannya.

Dua isu yang dapat dipertimbangkan untuk menyempurnakan sistem distribusi

pupuk bersubsidi berdasarkan lesson learned dari distribusi Raskin adalah: (1)

BUMN yang ditugaskan diberi mandat untuk bertanggungjawab penuh (tidak

dibagi dengan penyalur lain) atas penyaluran barang pemerintah bersubsidi

dimaksud dari gudang miliknya sampai di tingkat desa, dan (2) Pemda diberi

tanggungjawab untuk menyalurkan barang pemerintah bersubsidi dimaksud dari

desa ke sasaran penerima, petani atau rumahtangga.

12) Berdasarkan telaahan di atas terdapat beberapa alternatif atau pilihan cara

pemberian insentif berproduksi langsung kepada petani baik berupa subsidi

input (pupuk) atau subsidi harga output kepada petani, yaitu:

a. Subsidi input dalam bentuk pupuk langsung diberikan ke petani sebelum

masa tanam, seperti mekanisme pembagian Raskin oleh BULOG. Jumlah

pupuk yang diberikan ke petani berdasarkan luas lahan garapan, komoditas

yang diusahakan, dan dosis pemupukan untuk setiap komoditas yang

diusahakan.

b. Subsidi harga input dalam bentuk uang langsung diberikan kepada petani

sebelum masa tanam, seperti mekanisme bantuan langsung tunai (BLT).

Jumlah uang subsidi yang diberikan kepada setiap petani sesuai dengan

Page 101: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

85

luasan lahan usaha, jenis komoditas yang akan diusahakan, dosis

pemupukan untuk setiap komoditas, dan besarnya subsidi per kguntuk

setiap jenis pupuk.

c. Subsidi harga input dalam benuk uang langsung diberikan kepada petani

yang memiliki bukti pembelian pupuk dari kios pengecer resmi. Jumlah

subsidi uang yang diberikan maksimal sesuai dengan yang tercatat di RDKK.

d. Subsidi harga output langsung diberikan kepada petani sesuai produksi padi

yang dihasilkan dari lahan usahatani, yaitu penambahan sejumlah nilai

rupiah tertentu untuk setiap kg produk pangan yang diproduksi petani, baik

yang dijual ke pasar maupun yang disimpan untuk cadangan pangannya.

Besarnya tambahan penerimaan petani dari hasil usahataninya bergantung

pada besarnya total produksi pangan nasional yang disubsidi dan besarnya

anggaran subsidi pupuk yag disediakan.

13) Keempat alternatif di atas akan efektif dilaksanakan apabila didukung basis

atau pangkalan data yang akurat yang menyajikan data pada tingkat

petani/rumahtangga tani, khusunya informasi tentang identitas petani (nama,

domisili), luas lahan garapan, dan rencana jenis tanaman yang diusahakan.

Khusus untuk subsidi harga output tambahan data yang diperlukan adalah

mengenai hasil panen/ produksi pangan dari setiap petani yang jumlahnya

lebih dari 5 juta rumah tangga, untuk setiap komoditas yang ditanam.

14) Kelebihan alternatif kesatu layak diterapkan, namun sistem distribusinya dari

produsen sampai ke petani harus diperbaiki agar pupuk sampai ke petani

memenuhi kaidah 6 tepat. Alternatif kedua layak diterapkan karena sudah ada

contoh sistem ini diterapkan untuk program lain yaitu penyaluran BLT, namun

ada kekhawatiran petani tidak memanfaatkan sebagian atau seluruh uang

subsidi ini untuk dibelikan pupuk sehingga sasaran program tidak tercapai.

Alternatif ketiga layak diterapkan dan petani dipastikan membeli pupuk, namun

kemampuan petani membeli pupuk pada harga pasar tidak sama sehingga

dapat saja ada petani yang tidak membeli pupuk atau membeli pupuk lebih

kecil dari dosis yang seharusnya. Alternatif keempat tidak layak diterapkan

karena tambahan penerimaan petani (dari subsidi output) lebih kecil dari

tambahan biaya usahatani padi (beli pupuk). Kelebihannya, dengan subsidi

Page 102: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

86

harga output dalam bentuk uang, maka subsidi dapat langsung diterima petani.

Sekali lagi, kesemua alternatif tersebut menghendaki prasyarat perlu

(necessary condition) bahkan mutlak harus tersedia data yang akurat di

tingkat petani untuk beberapa variabel dapat di update setiap tahun. Semenara

itu jumlah keluarga petani dan persil lahan usahatani jumlahnya sangat banyak.

Page 103: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

87

DAFTAR PUSTAKA

Badan Kebijakan Fiskal. 2010. Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan

Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung. Tim

Kajian Kebijakan Harga dan Subsidi Pangan dan Pertanian.

http://www.fiskal.depkeu.go.id/ 2010/adoku/PKAPBN. Diunduh 30 April

2015.

Badan Ketahanan Pangan. 2015. Kebijakan HPP Gabah dan Beras yang Lebih

Menguntungkan dan Melindungi Petani. Policy Brief. Badan Ketahanan

Pangan. Jakarta.

Bagian Analisa dan Pemeriksaan BPK dan Pengawasan DPD. 2013. Analisis atas Hasil

Audit BPK Subsidi Pupuk dan Benih: Bukan Masalah Administrasi tapi

Kelemahan dalam Kebijakan. Bekerja sama dengan tenaga konsultan

Hendri Saparini. http://www.dpr.go.id/dokumen/bpkdpd.Analisis. 30 April

2015.

Bappenas. 2011. Laporan Kajian Strategis Kebijakan Subsidi Pertanian yang Efektif,

Efisien, dan Brkeadialan. Jakarta.

BPS. 2005-2015. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Darwis, V dan Saptana. 2010. Rekonstruksi Kelembagaan dan Uji Teknologi

Pemupukan: Kebijakan Strategis Mengatasi Kelangkaan Pupuk. Analisis

Kebijakan Pertanian 8(2): 167-186

Darwis, V dan Supriyati. 2013. Subsidi Pupuk: Kebijakan, Pelaksanaan, dan

Optimalisasi Pemanfaatannya. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 11 (1):

45-60

Direktorat Sarana Produksi Pertanian. 2011. Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi. Dit.

Sarana Produksi Pertanian, Ditjen PSP. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Hadi, P.U., D.K. Swastika, F.B.M. Dabukke, N.K. Agustin, M. Siregar, D. Hidayat, dan

M. Maulana. 2007. Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di

Indonesia 2007 – 2012. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Page 104: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

88

Hadi, P.U. M. Rachmat, A.G\H. Susilowati, dan Supriyati, 2011. Peospek dan Kendala

Subsidi Pupuk Langsung ke Petani (Studi Kasus di kabupaten Karawang

tahun 2010. Sinar Tani, Edisi 5-11 Oktober 2011, No. 3425 Tahun XLI.

Hafsah, M.J. and T. Sudaryanto. 2003. Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek

Pengemangannya. Dalam F. Kasryo, E. Pasandaran, dan A.M.Fagi (eds)

EKONOMI PADI DAN BERAS INDONESIA. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, departe,en Pertanian. Jakarta. Hlm.17-29.

Hilal, S. 2015. Solusi Efektivitas Subsidi Pupuk. http://rimbanusantara.com. 20 Mei

2015

Jefriando, M. 2015. Subsidi pupuk 30 T tak tepat sasaran, distribusi akan dirombak.

http://finance.detik.com. 28 Mei 2015.

Kariyasa, K., S. Mardianto, dan M, Maulana. 2004. Analisis Kelangkaan Pupuk dan

Usulan Tingkat Subsidi serta Perbaikan Sistem Pendistribusian Pupuk di

Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Kementerian Keuangan. 2014. Dasar-Dasar Praktek penyusunan APBN di Indonesia

Edisi II. Ditjen Anggaran kementerian Keuangan, Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2007. Peraturan Menteri Pertanian No.

40/Permentan/OT.140/4/2007. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2014. Peraturan Menteri Pertanian No.

130/Permentan/OT.140/4/2007. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Kepala Biro Perencanaan. 2015. Rekonfirmasi Kegiatan dan Anggaran Kementan TA

2016. Workshop Evaluasi Percepatan Serapan Anggaran 2015 serta

Rekonfirmasi Kegiatan dan Anggaran 2016. Kementerian Pertanian.

Bandung.

Maulana, A.G. dan H. Ardhia. 2015. Biar petani tak bergejolak, pencabutan subsidi

pupuk perlu bertahap. http://industri.bisnis.com. 16 Junni 2015.

Mayrowani, H. 2012. Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia. Forum Agro

Ekonomi Vol. 30 No. 2 Desember 2012. Pusat Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian

Page 105: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

89

PSEKP, 2015. Policy Brief Pengalihan sunsidi input ke subsidi output. Bogor. 9 hlm.

Tidak dipublikasikan.

PT. Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC). 2014. Kinerja Konsolidasi PT Pupuk

Indonesia (Persero) Desember dan s.d. Desember 2014. Jakarta.

___________________________________.2015a. Data Produksi, Distribusi,

Perdagangan, Subsidi, Pendapatan dan Harga Pupuk di indonesia.

Jakarta.

___________________________________.2015b. Presentasi PT Pupuk Indonesia

(Persero) ke DPR. Jakarta, 19 Januari 2015. PT Pupuk Indonesia. Jakarta.

Rachman, B. 2009. Kebijakan Subsidi Pupuk: Tinjauan Terhadap Aspek Teknis,

manajemen dan Regulasi. Jurnal Analisis kebijakan Pertanian, Vol. 7 No.

2, Juni 2009: 131-146.

Republica.co.id. 2015. DPR ingatkan peperintah hati-hati ubah mekanisme subsidi

petani. http://www.republika.co.id. 3 Agustus 2015.

Republika co.id. 2015. Kementan Didesak Segera Tuntaskan Masalah Subsidi Pupuk.

23 April 2015. Di Unduh 5 Mei 2015.

Siregar, Z. 2015. Jokowi haru pertimbangkan dengan matang sebelum alihkan

subsudi benih dan pupuk. http://rmol.co. 19 Agustus 2015.

Sumaryanto. 2004. Usahatani dan Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi: Studi

Kasus di Persawahan DAS Brantas. Bunga Rampai pada Buku Ekonomi

Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Kementerian Pertanian. Jakarta

Suryana, A. 2013. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Disampaikan dalam Kuliah Umum Mahasiswa Sarjana dan Pasca Sarjana

Jurusan Agribisnis IPB.14 Desember 2013. Bogor.

Susila, W.R. 2010. Kebijakan Subsidi Pupuk: Ditinjau Kembali. Jurnal Litbang

Pertanian, No 29(2).

Susilowati, S.H, B. Hutabarat, M. Rachmat, A. Purwoto, Sugiarto, Supriyati, Supadi,

A.K. Zakaria, B. Winarso, H. Supriyadi, T.B. Purwantini, R. Elizabeth, D.

Hidayat, T. Nurasa, C. Muslim, M. Maulana, M. Iqbal, R. Aldilah. 2010.

Page 106: ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_15.pdf · LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN

90

Laporan Teknis Indikator Pembangunan Pertanian dan Perdesaan:

Karakteristik Sosial Ekonomi Petani dan Usahatani Padi. Pusat Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

www.fertilizer.org/statistics. 2015. Fertilizer Data. 5 September 2015.

www. FAO.org. 2014. Data Konsumsi, ekspor dan Impor Pupuk di Indonesia. FAO. 5

September 2015.


Related Documents