LAPORAN AKHIR
ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Oleh:
Achmad Suryana
Adang Agustian Rangga Ditya Yofa
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
2015
i
KATA PENGANTAR
Membesarnya dan terus meningkatnya anggaran subsidi pupuk dalam 10 tahun terakhir merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang menetapkan harga
pupuk yang dibeli petani tetap pada level murah, yang jauh lebih rendah harga keekonomiannya. Kebijakan pemerintah ini merupakan derivatif atau turunan dari
kebijakan yang menargetkan pemenuhan kebutuhan pangan seluruhnya dari produksi dalam negeri,atau swasembada, khususnya untuk komoditi padi, jagung, dan kedelai. Impor pangan menjadi the last resort, atau upaya terakhir yang terpaksa dilaksanakan apabila benar-benar sangat diperlukan. Sementara itu, walaupun pemerintah sudah banyak mengalokasikan anggaran untuk menyediakan
pupuk bersubsidi disertai dengan bebagai kebijakan terkait distribusi dan penyalurannya kepada petani agar dapat memenuhi prinsip enam tepat (jumlah, dosis, mutu, waktu, tempat, dan harga), namun isu kelangkaan pupuk dan harga
pupuk yang mahal di tingkat petani masih tetap ada di setiap awal musim tanam.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian melakukan Analisis Kebijakan (Anjak) Tinjauan Kritis Kebijakan Perpupukan Menunjang Ketahanan Pangan Nasional. Secara khusus kajian ini
bertujuan untuk: (1) Menghimpun data dan informasi tentang perkembangan kebijakan pemerintah terkait penyediaan dan penyaluran pupuk, yang meliputi peraturan menteri terkait topik ini, penganggaran subsidi pupuk, pengaturan dan
peran kelembagaan distribusi pupuk, dan upaya petani pangan dalam mendapatkan pupuk; (2) menganalisis kebijakan perpupukan untuk mendukung pencapaian
ketahanan pangan yang selama ini diterapkan untuk memperoleh lesson learned yang berharga bagi perumusan kebijakan selanjutnya; dan (3) Merumuskan
alternatif kebijakan perpupukan nasional yang dapat menjamin penyediaan pupuk di tingkat petani secara efisien dari sisi teknis dan ekonomis yang mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional.Pendalaman Kajian dilakukan di Provinsi
Jawa Barat dan Lampung.
Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada berbagai pihak
yang telah memberikan kontribusi dan dukungan/bantuan sehingga laporan akhir Anjak ini dapat diselesaikan. Secara khusus terima kasih disampaikan kepada aparat
pemerintah dan swasta/BUMN di pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten di Jawa Barat dan Lampung) terkait dengan peranan kebijakan dan implementasi perpupukan nasional. Dengan kekurangan dan kemampuan yang dimiliki para
peneliti untuk menyelesaikan kegiatan kajian ini, semoga hasil kajian yang disampaikan dalam laporan akhir ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Bogor, Desember 2015 Kepala Pusat
Dr. Handewi P. Saliem 19570604 198103 2 001
xi
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
1) Dalam usaha pertanian modern yang mengejar peningkatan produktivitas
secara terus menerus per satuan lahan, pupuk merupakan salah satu factor produksi penting dan esensial. Tanpa tambahan hara ke dalam tanah atau tanpa pemupukan, akan sangat sulit untuk memperoleh hasil per hektar yang
tinggi secara berkelanjutan. Itu pula salah satu ciri Revolusi Hijau yang memperkenalkan teknologi pupuk dan pemupukan kimiawi, serta
menyediakannya dengan harga murah atau disubsidi.
2) Pada beberapa tahun terakhir upaya peningkatan produktivitas tanaman
pangan melalui pemanfaatan pupuk kimiawi yang berlebihan banyak mendapatkan sorotan berbagai pihak, khususnya dari para ahli tanah, budidaya tanaman, dan lingkungan. Kritik lain muncul dari masyarakat terkait besarnya
anggaran belanja negara yang dialokasikan untuk subsidi pupuk.
3) Besarnya dan terus meningkatnya anggaran subsidi pupuk ini sebagai
konsekuensi kebijakan pemerintah yang menetapkan harga pupuk yang dibeli petani tetap pada level murah, yang jauh lebih rendah dari harga keekonomiannya. Kebijakan pemerintah ini merupakan derivatif atau turunan
dari kebijakan yang menargetkan pemenuhan kebutuhan pangan pokok seluruhnya dari produksi dalam negeri. Impor pangan pokok menjadi the last resort, atau upaya terakhir yang terpaksa dilaksanakan apabila benar-benar sangat diperlukan. Pendekatan ini disebut sebagai ketahanan pangan berbasis
kemandirian dan kedaulatan pangan.
4) Perhatian (concern) terhadap efektivitas kebijakan subsidi pupuk dari berbagai instansi pemerintah ternyata cukup tinggi. Beberapa hasil penelitian
menenggarai adanya ketidak efektifan dalam pelaksanaan kebijakan pemberian subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk jelas mempunyai dampak positif bagi
peningkatan produksi pangan, terutama padi/beras. Pencapaian ini memberikan sumbangan yang signifikan secara nasional pada pencapaian
ketahanan pangan, stabilitas ekonomi, dan ketahanan sebagai bangsa. Namun, kinerja negatif dari kebijakan ini juga teridentifikasi seperti pelaksanaan distribusi tidak efisien, pupuk sampai tidak tepat sasaran, dan terbangun
dualisme pasar yang dapat menciptakan moral hazzard.
5) Bebarapa pertanyaan terkait kebijakan perpupukan nasional akhir-akhir ini
semakin keras disuarakan oleh para ahli ekonomi dan ekonomi pertanian, dan menjadi wacana diskusi tingkat nasional, termasuk dari para pejabat tinggi pemerintah. Dalam konteks ini, adakah alternatif kebijakan penyediaan pupuk
bagi petani pangan yang lebih tepat sehingga pemanfaatan pupuk dalam sistem usahatani pangan menjadi lebih efisien, baik secara teknis maupun
ekonomis. Adakah kebijakan penyediaan pupuk kepada petani pangan yang lebih murah biayanya tetapi tetap dapat menjamin pencapaian ketahanan
pangan nasional berdasarkan prinsip kemandirian dan kedaulatan pangan? Untuk dapat menjawab pertanyaan kebijakan tersebut dengan baik, diperlukan informasi yang komprehensif tentang kebijakan ekonomi pupuk selama ini,
xii
yang mencakup rumusan kebijakan, sistem distribusi pupuk, volume dan biaya subsidi pupuk, dan praktek pemupukan oleh petani di lapangan. Hal itulah
yang mendorong perlunya dilakukan kegiatan Anjak ini.
6) Secara khusus Kajian ini bertujuan untuk: (1) Menghimpun data dan informasi
tentang perkembangan kebijakan pemerintah terkait penyediaan dan penyaluran pupuk, yang meliputi peraturan menteri terkait topik ini,
penganggaran subsidi pupuk, pengaturan dan peran kelembagaan distribusi pupuk, dan upaya petani pangan dalam mendapatkan pupuk; (2) menganalisis kebijakan perpupukan untuk mendukung pencapaian ketahanan pangan yang
selama ini diterapkan untuk memperoleh lesson learned yang berharga bagi perumusan kebijakan selanjutnya; dan (3) Merumuskan alternatif kebijakan
perpupukan nasional yang dapat menjamin penyediaan pupuk di tingkat petani secara efisien dari sisi teknis dan ekonomis yang mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional.
Hasil dan Pembahasan
Kebijakan Perencanaan Penyediaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi
7) Pemberian dosis pemupukan oleh petani mengalami perubahan selama rentang
waktu 15 tahun (2000-2014). Pada tahun 2000, sebagian besar petani menggunakan pupuk tunggal tanpa penggunaan pupuk majemuk, dengan penggunaan dosis pupuk urea yang sangat tinggi, melebihi dosis anjurannya.
Kondisi menjadi lebih baik pada tahun 2014, dimana petani sudah menggunakan pupuk majemuk NPK sehingga mengurangi dosis pupuk tunggal.
Perbaikan pemakaian pupuk ini juga berdampak positif pada efisiensi biaya pupuk pada usahatani padi. Dalam periode ini terjadi pengurangan proporsi
biaya pupuk terhadap total biaya usahatani padi dari 17,3% pada tahun 2000 menjadi 12,7% pada tahun 2014.
8) Usaha pertanian yang mendapat alokasi pupuk bersubsidi terdiri dari lima
subsektor yaitu subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan perikanan budidaya. Dari total luas lahan pertanian yang
mendapat alokasi pupuk bersubsidi, subsektor tanaman pangan dan perkebunan mendapatkan alokasi yang tertinggi. Proporsi luas lahan kedua
subsektor tersebut terhadap total luas lahan pertanian sekitar 91%. Besarnya proporsi luas lahan ini berdampak pada besarnya alokasi pupuk bersubsidi untuk kedua subsektor ini.
9) Dalam menyusun alokasi pupuk bersubsidi, data lapangan yang digunakan dalam proses penyusunan adalah Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok
(RDKK), sehingga penyusunan RDKK merupakan kewajiban yang harus dipenuhi kelompok tani calon penerima program pupuk bersubsidi (Permentan No 130 Tahun 2014 Bab 3 Pasal 8). Beberapa masalah yang sering timbul
dalam penyusunan RDKK diantaranya (1) penyusunan RDKK dan rekap RDKK di tingkat kabupaten/kota lebih lambat daripada penetapan alokasi pupuk
bersubsidi pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota; (2) tenaga pendamping penyusunan RDKK masih kurang berhasil mempengaruhi
kelompok tani agar RDKK yang disusun berdasarkan anjuran pupuk bersubsidi;
xiii
(3) masih ada kekurang tepatan perhitungan kebutuhan pupuk berdasarkan frekuensi tanam dimana sawah dengan frekuensi tanam tiga kali dalam
setahun hanya dihitung kebutuhan pupuk untuk dua kali tanam.
10) Perkembangan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi yang ditetapkan dalam
Permentan pada lima tahun terakhir mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,16% per tahun. Dari kelima jenis pupuk yang disubsidi, hanya jenis pupuk
urea yang mengalami penurunan jumlah alokasi dengan rata-rata penurunan sebesar 4,52% per tahun. Sementara itu produksi pupuk secara total yang diproduksi PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) secara umum dalam 5
tahun terakhir mengalami peningkatan 1,71% per tahun. Peningkatan produksi terjadi untuk jenis pupuk urea dan NPK, sedangkan jenis pupuk SP-36, ZA, dan
Organik mengalami perkembangan produksi yang menurun.
11) Pada tahun 2015 penyediaan pupuk bersubsidi sebesar 91,18% dialokasikan untuk provinsi-provinsi sentra produksi padi. Sebanyak 5.977.030 ton (62,62%)
untuk provinsi sentra produksi padi di Pulau Jawa, dan sebanyak 2.726.370 ton (28,56%) untuk provinsi sentra produksi padi di luar Pulau Jawa. Alokasi
penyediaan pupuk bersubsidi pada periode 2010-2014 selalu lebih rendah daripada usulan daerah berdasarkan rekapitulasi RDKK. Rata-rata alokasi
pupuk bersubsidi yang ditetapkan dalam Permentan hanya sekitar 65,25% dari usulan daerah tersebut. Sementara itu, tingkat realisasi penyerapan pupuk bersubsidi oleh petani rata-rata 88,64% per tahun.
Kebijakan Industri Pupuk dan Penganggaran Subsidi Pupuk
12) Sejarah PT PIHC, terbentang selama lebih dari lima dekade yang dapat terbagi menjadi dua fase utama. Fase pertama yang masih bernama PT Pupuk
Sriwidjaja adalah sebagai unit usaha yang berdiri sendiri dari kurun tahun 1959 hingga 1997. Fase kedua ditandai dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tanggal 7 Agustus 1997 yang menunjuk PT Pupuk Sriwidjaja
(Persero) sebagai induk perusahaan (Operating Holding). Adapun industri pupuk yang berada dibawah holding company, yaitu: (a) PT Petrokimia Gresik (PKG), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, ZA, SP-36/18, Phonska, DAP, NPK, ZK dan industri kimia lainnya serta pupuk organik; (b) PT Pupuk
Kujang (PKC), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik dan industri kimia lainnya; (c) PT Pupuk Kaltim (PKT), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik dan industri kimia lainnya; (d) PT
Pupuk Iskandar Muda (PIM), memproduksi dan memasarkan pupuk urea dan industri kimia lainnya; dan (e) PT Pupuk Sriwidjaja Palembang memproduksi
dan memasarkan pupuk urea dan industri kimia lainnya serta pupuk organik.
13) Berbagai peraturan kebijakan dalam pengembangan industri pupuk nasional telah diterbitkan terkait dengan pengaturan distribusi dan pengawasan pupuk,
HET pupuk dan alokasi penggunaan pupuk. Salah satu kebijakan pengembangan industri pupuk nasional tercantum dalam Instruksi Presiden RI
(Inpres) No 2 Tahun 2010 tentang Revitalisasi Industri Pupuk nasional. Langkah-langkah revitalisasi industri pupuk serta peningkatan daya saing
industri pupuk, melalui usaha: (a) Meningkatkan produksi pupuk an-organik,
xiv
organik dan hayati; (b) Memperluas sebaran produksi pupuk; (c) Mengembangkan keragaman jenis pupuk; (d) Menggunakan teknologi yang
ramah lingkungan; (e) Melakukan penghematan bahan baku dan energi; dan (f) Memperluas akses pasar, untuk memenuhi utamanya kebutuhan dalam
negeri pada sector pertanian, kehutanan, perikanan dan industri. Terkait dengan langkah revitalisasi industri pupuk tersebut, Kementerian Perindustrian
mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian No.141/M-IND/PER/12/2010 tentang Rencana Induk (Master Plan) Pengembangan Industri Pupuk Majemuk. Dalam peraturan ini diatur mengenai rencana nasional mengenai sasaran, arah,
strategi dan kebijakan pengembangan industri pupuk majemuk/NPK dalam mendukung program ketahanan pangan.
14) Mengenai distribusi pupuk, saat ini mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Permendag ini telah mengatur cukup
rinci sistem distribusi pupuk mulai dari pengadaan dan penyaluran, tugas dan tanggungjawab para fihak dalam rantai distribusi pupuk sejak dari produsen
pupuk, pemerintah, pelaku distribusi sampai pengecer, dan petani/kelompok tani. Permendag ini juga mengatur tentang pengawasan dan pelaporan.
15) Terkait dengan alokasi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dan penetapan harga eceran tertinggi (HET) telah dikeluarkan Permentan Nomor 130/ Permentan/ SR.130/11/2014 yang mengatur tentang Kebutuhan dan Harga
Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2015. Pada peraturan ini dijelaskan bahwa alokasi pupuk bersubsidi
dihitung sesuai dengan anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah
Provinsi, serta alokasi anggaran subsidi pupuk tahun 2015. Alokasi pupuk bersubsidi secara nasional tersebut dirinci menurut provinsi, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan. Selanjutnya, dirinci menurut kabupaten/kota
(ditetapkan dengan Peraturan Gubernur) dan menurut kecamatan (ditetapkan denganPeraturan Bupati/Walikota).
16) Untuk mengawasi pengadaan dan penyaluran pupuk yang memperoleh subsidi, pemerintah menetapkan pupuk bersubsidi sebagai barang dalam pengawasan,
sehingga pengawasannya mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang dalam Pengawasan. Dalam Peraturan Presiden ini pupuk bersubsidi
adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program
pemerintah di sektor pertanian.
17) Dalam rentang waktu 2005-2014, alokasi anggaran belanja subsidi cukup berfluktuasi, dan secara nominal sampai dengan APBN-P 2014 mengalami
peningkatan dari Rp 2,53 Triliun (2005) menjadi Rp 18,04 Triliun atau meningkat rata-rata sebesar 13,27 %/tahun.
18) Bila dilihat rasio subsidi pupuk terhadap total APBN, maka kisaran rasionya antara 0,47% sampai 1,77%. Pada kurun waktu 2005-2014, rasio nilai subsidi
pupuk terhadap APBN paling rendah terjadi pada tahun 2006, dan tertinggi pada tahun 2010. Secara keseluruhan pada periode tersebut rasionya masih
xv
menunjukkan peningkatan sebesar 4,28 %/tahun. Dengan peningkatan angka rasio tersebut menunjukan bahwa pemerintah tetap menilai kebijakan
penyediaan pupuk dengan harga yang disubsidi merupakan bagian dari upaya pencapaian swasembada pangan.
Kebijakan Distribusi dan Perdagangan Pupuk
19) Sistem distribusi pupuk bersubsidi di Indonesia selama ini diatur oleh Menteri Perdagangan. Pengaturan sistem distribusi pupuk dimaksudkan agar petani dapat memperoleh pupuk dengan azas enam tepat, yaitu : tempat, jenis,
waktu, jumlah, mutu, dan harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah satunya dapat dilihat dari adanya kesesuaian antara rencana
penyaluran dan realisasi. Kebijakan tentang penyaluran/distribusi pupuk untuk sektor pertanian di Indonesia saat ini telah diatur dengan Permendag No.15 tahun 2013. Pada peraturan tersebut dijelaskan bahwa PT PIHC mendapat
tugas dari pemerintah untuk pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. PT PIHC dapat menetapkan produsen sebagai
pelaksana pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dalam wilayah tanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di
provinsi/kabupaten/kota.
20) Kebutuhan pupuk bersubsidi dihitung berdasarkan dosis anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dikalikan luas usahatani para anggota kelompok tani .
RDKK yang disusun kelompok tani direkapitulasi secara berjenjang dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai tingkat nasional. Melalui
Permentan ditetapkan kebutuhan pupuk Bersubsidi yang dirinci menurut jenis, jumlah, subsektor, provinsi, dan sebaran bulanan. Kebutuhan Pupuk juga
dirinci lebih lanjut menurut kabupaten/kota, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan gubernur. Selanjutnya kebutuhan pupuk bersubsidi dirinci lebih lanjut menurut kecamatan, jenis,
jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan bupati/walikota.
21) Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memperbaiki sistem distribusi pupuk adalah sebagai berikut: (1) Harus dapat menjamin ketersediaan pupuk
di tingkat petani agar Program Peningkatan Ketahanan Pangan tidak terganggu; (2) Industri pupuk nasional harus tumbuh dengan baik dan menikmati keuntungan yang wajar sehingga secara berkesinambungan dapat
memasok kebutuhan pupuk dalam negeri; dan (3) Para distributor dan pengecer pupuk juga dapat menikmati keuntungan yang wajar dari tataniaga
ini. Pada penyaluran/distribusi pupuk untuk sektor pertanian juga perlu diatur mekanisme distribusi untuk menjamin ketersediaannya yaitu: (1) Rayonisasi wilayah pemasaran, (2) Penjualan pupuk mulai di tingkat kabupaten, (3)
Penetapan persyaratan distribusi dan penyaluran secara ketat.
22) Pada tahun 2014 penyediaan volume pupuk bersubsidi sebanyak 9.550.000
ton, dengan rincian: Urea sebanyak 4.100.000 ton, SP36 850.000 ton, ZA 1.050.000 ton, NPK 2.550.000 ton, dan Organik 1.000.000 ton. Adapun
realisasi penyalurannya sebanyak 8.994.847 ton atau 94,19% dari alokasi
xvi
penyediaan pupuk bersubsidi, dengan rincian: Urea sebanyak 4.057.187 ton, SP36 sebanyak 800.992 ton, ZA sebanyak 988.440 ton, NPK sebanyak
2.395.114 ton, dan Organik sebanyak 753.114 ton.
23) Volume penjualan pupuk urea dari produsen pupuk nasional berdasarkan
subsektornya menujukkan bahwa proporsi volume penjualan paling tinggi terjadi pada sektor pangan, meskipun kecenderungannya menurun dari tahun
2011 ke tahun 2014. Pada tahun 2011, volume penjualan pupuk urea dari PT PIHC sebesar 4.585 ribu ton (70,82%) kemudian menjadi 3.994 ribu ton (59,70%) pada tahun 2014. Dengan demikian bahwa penggunaan pupuk urea
untuk sector pangan masih menempati proporsi tertinggi dibandingkan dengan sector lainnya. Sebaliknya volume penjualan urea untuk tujuan ekspor
kecenderungannya meningkat dari 750 ribu ton (11,58%) pada tahun 2011 menjadi 1.108 ribu ton (16,56%) pada tahun 2014.
24) Untuk perdagangan pupuk secara komersial baik pupuk urea, NPK dan SP-36
terutama pada sektor perkebunan dan industri secara umum mengalami peningkatan signifikan. Harga pupuk di pasar non subsidi jauh lebih tinggi dan
perbedaannya semakin besar dibandingkan dengan harga subsidi. Sebagai contoh, harga jual pupuk urea pada tahun 2010 disektor perkebunan sebesar
Rp 2.630/kg dan di industri sebesar Rp 2.606/kg. Harga di kedua sektor tersebut terpaut sekitar Rp 1.000/kg lebih tinggi dibandingkan dengan harga urea subsidi yang hanya sebesar Rp 1.600/Kg. Selanjutnya pada tahun 2014,
harga jual pupuk urea di sektor perkebunan sebesar Rp 3.695/kg dan di industri sebesar Rp 3.664/kg. Harga dikedua sektor tersebut bahkan terpaut
sekitar Rp 2.000/kg lebih tinggi dibandingkan dengan harga urea subsidi yang hanya sebesar Rp 1.800/Kg.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
25) Dalam upaya pencapaian ketahanan pangan nasional berkelanjutan, pemberian
subsidi input (pupuk) untuk usahatani pangan pokok dinilai tetap penting. Melalui penggunaan pupuk secara enam tepat, dengan dosis hara berimbang,
serta penambahan bahan organik, akan meningkatkan produktivitas usahatani pangan. Komponen teknologi pemupukan yang dikombinasikan dengan
komponen teknologi lainnya dan rekayasan kelembagaan dapat mendorong peningkatan produktivitas yang tinggi, peningkatan produksi pangan, dan pencapaian ketahanan pangan.
26) Perbaikan penyusunan RDKK Pupuk Bersubsidi dan penyediaan pupuk bersubsidi sesuai dengan kebutuhan yang disusun berdasarkan RDKK menjadi
salah satu kunci utama dalam menghilangkan permasalahan kelangkaan pupuk bersubsidi yang selama ini selalu terjadi. Pada lokasi kajian di Jawa Barat dan Lampung, seringkali terdapat petani yang tidak tercantum pada RDKK, padahal
petani tersebut adalah petani pangan berskala kecil yang memerlukan pupuk bersubsidi. Disisi lain terdapat petani luas, yang memperoleh jatah pupuk
bersubsidi yang besar dengan cara memecah luas pengusahaan di bawah dua hektar dan di atas namakan petani lain. Selain itu, kelemahan distribusi dengan
mekanisme RDKK juga ditemukan bahwa kios yang ditunjuk dalam penjualan
xvii
pupuknya seringkali tidak mencatat atau menyesuaikan dengan nama yang tercantum. Kios adakalanya lebih mengutamakan bisnisnya, dimana pupuk
cepat terserap oleh petani.
27) Dari pengamatan dan diskusi di lapangan bersama petani dan aparat terkait
(Jawa Barat dan Lampung), dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam penyusunan RDKK pupuk bersubsidi ini, sebagai berikut:
a. Tidak semua petani menjadi anggota kelompok tani, sehingga kebutuhan para petani segmen ini tidak masuk dalam proses perencanaan kebutuhan pupuk yang tercantum dalam RDKK pupuk bersubsidi. Pada saat mereka
membutuhkan pupuk untuk usahataninya, kelompok petani ini akan kesulitan mendapatkan/ membeli pupuk dari pengecer resmi.
b. Tidak semua tanaman yang diusahakan petani dalam siklus satu tahun berjalan dimasukkan dalam RDKK pupuk bersubsidi, sementara itu di dalam Juklak Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi tidak ada rincian komoditas
prioritas yang dapat memperoleh pupuk bersubsidi. Kondisi ini menyebabkan petani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi untuk
persemaian ataupun untuk usahatani tanaman sela yang kebutuhan pupuknya tidak dimasukkan dalam RDKK karena petani tidak merencanakan
menanam tanaman tersebut satu tahun sebelumnya misalnya petani menanam tanaman tertentu biasanya tanaman semusim, karena melihat ada peluang pasar dalam jangka pendek.
c. Tidak ada pengaturan tentang petani yang berhak menerima pupuk bersubsidi berdasarkan penguasaan dan/atau pengusahaan seperti pemilik,
pemilik penggarap, penggarap, penyewa, penyewa penggarap yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Karena tidak ada pengaturan tersebut,
akibatnya di lapangan ditemukan kasus penggarap/penyewa kesulitan memperoleh pupuk karena yang terdaftar dalam RDKK di poktannya hanya anggota poktan yang berstatus pemilik lahan.
d. Batasan pemberian pupuk bersubsidi kepada petani dengan luas lahan maksimal dua hektare, di lapangan tidak operasional karena tidak diatur
lebih lanjut mengenai status kepemilikannya. Diperoleh informasi bahwa lahan lebih dari dua hektare yang dimiliki seorang petani dapat memperoleh
alokasi pupuk bersubsidi karena diusahakan oleh beberapa penggarap, dipecah-pecah lebih kecil dari dua hektare.
e. Sebagian RDKK yang disusun di tingkat poktan tidak akurat, baik secara
procedural ataupun akurasi data yang disajikan, akibatnya terdapat RDKK yang volume kebutuhan pupuknya lebih kecil atau lebih besar dari
kebutuhan riil atau tidak semua kebutuhan pupuk petani direncanakan berdasarkan/ sesuai dengan tanaman yang diusahakannya dalam siklus satu tahun.
f. Ditemukan kasus RDKK tidak sepenuhnya diacu oleh pemilik Kios Resmi dalam proses transaksi penjualan/ pembelian pupuk ke/oleh petani.
Dengan membandingkan pola distribusi komoditas bersubsidi, yaitu bantuan beras (Raskin) dan pupuk, dapat dirumuskan beberapa alternatif untuk sistem
distribusi pupuk bersubsidi dalam upaya meningkatkan efisiensi penyalurannya. Dua isu yang dapat dipertimbangkan untuk menyempurnakan sistem distribusi pupuk bersubsidi berdasarkan lesson learned dari distribusi Raskin adalah: (1)
xviii
BUMN yang ditugaskan diberi mandat untuk bertanggungjawab penuh (tidak dibagi dengan penyalur lain) atas penyaluran barang pemerintah bersubsidi
dimaksud dari gudang miliknya sampai di tingkat desa, dan (2) Pemda diberi tanggungjawab untuk menyalurkan barang pemerintah bersubsidi dimaksud
dari desa ke sasaran penerima, petani atau rumahtangga.
28) Dari telaahan di atas terdapat beberapa alternatif atau pilihan cara pemberian
insentif berproduksi langsung kepada petani baik berupa subsidi input (pupuk) atau subsidi harga output kepada petani, yaitu:
a. Subsidi input dalam bentuk pupuk langsung diberikan ke petani sebelum
masa tanam, seperti mekanisme pembagian Raskin oleh BULOG. Jumlah pupuk yang diberikan ke petani berdasarkan luas lahan garapan, komoditas
yang diusahakan, dan dosis pemupukan untuk setiap komoditas yang diusahakan.
b. Subsidi harga input dalam bentuk uang langsung diberikan kepada petani
sebelum masa tanam, seperti mekanisme bantuan langsung tunai (BLT). Jumlah uang subsidi yang diberikan kepada setiap petani sesuai dengan
luasan lahan usaha, jenis komoditas yang akan diusahakan, dosis pemupukan untuk setiap komoditas, dan besarnya subsidi per kg untuk
setiap jenis pupuk.
c. Subsidi harga input dalam bentuk uang langsung diberikan kepada petani setelah petani membeli pupuk dan memiliki bukti pembelian pupuk dari kios
pengecer resmi. Jumlah subsidi uang yang diberikan maksimal sesuai dengan yang tercatat di RDKK.
d. Subsidi harga output langsung diberikan kepada petani, yaitu penambahan sejumlah nilai rupiah tertentu untuk setiap kg produk pangan yang
diproduksi petani, baik yang dijual ke pasar maupun yang disimpan untuk cadangan pangannya. Besarnya tambahan penerimaan petani dari hasil usahataninya bergantung pada besarnya total produksi pangan nasional
yang disubsidi dan besarnya anggaran subsidi pupuk yang disediakan.
Keempat alternatif di atas akan efektif dilaksanakan apabila didukung basis
atau pangkalan data yang akurat yang menyajikan data pada tingkat petani/rumahtangga tani, khusunya informasi tentang identitas petani (nama,
domisili), luas lahan garapan, dan rencana jenis tanaman yang diusahakan. Khusus untuk subsidi harga output tambahan data yang diperlukan adalah mengenai hasil panen/ produksi pangan dari setiap petani yang jumlahnya lebih
dari 5 juta rumah tangga, untuk setiap komoditas yang ditanam.
29) Kelebihan alternatif kesatu layak diterapkan, namun sistem distribusinya dari
produsen sampai ke petani harus diperbaiki agar pupuk sampai ke petani memenuhi kaidah 6 tepat. Alternatif kedua layak diterapkan karena sudah ada contoh sistem ini diterapkan untuk program lain yaitu penyaluran BLT, namun
ada kekhawatiran petani tidak memanfaatkan sebagian atau seluruh uang subsidi ini untuk dibelikan pupuk sehingga sasaran program tidak tercapai.
Alternatif ketiga layak diterapkan dan petani dipastikan membeli pupuk, namun kemampuan petani membeli pupuk pada harga pasar tidak sama sehingga
dapat saja ada petani yang tidak membeli pupuk atau membeli pupuk lebih
xix
kecil dari dosis yang seharusnya. Alternatif keempat tidak layak diterapkan karena tambahan penerimaan petani (dari subsidi output) lebih kecil dari
tambahan biaya usahatani padi (beli pupuk). Kelebihannya, dengan subsidi harga output dalam bentuk uang, maka subsidi dapat langsung diterima petani.
Sekali lagi, kesemua alternatif tersebut menghendaki prasyarat perlu (necessary condition) bahkan mutlak harus tersedia data yang akurat di tingkat petani untuk beberapa variabel dapat di update setiap tahun. Semenara itu jumlah keluarga petani dan persil lahan usahatani jumlahnya sangat banyak.
xx
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
EXECUTIVE SUMMARY ......................................................................... ii
RINGKASAN EKSEKUTIF ....................................................................... xi
DAFTAR ISI ......................................................................................... xx
DAFTAR TABEL .................................................................................... xxii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xxiv
I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2. Tujuan dan Manfaat Anjak ..................................................... 4
II. METODOLOGI .............................................................................. 6
2.1. Lokasi Penelitian ................................................................... 6 2.2. Sumber dan Jenis Data.......................................................... 6
2.3. Metode Analisis ..................................................................... 6
III. KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PUPUK PADA USAHATANI PANGAN ........................................................... 7
3.1. Dosis Pemupukan dan Proporsi Biaya Pupuk pada Usahatani Padi ..................................................................................... 7 3.2. Usaha Pertanian yang Mendapat Alokasi Pupuk Bersubsidi....... 9
3.3. Proses Penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok ..... 11 3.3.1. Kewajiban Penyusunan RDKK ...................................... 11
3.3.2. Jadwal Penyusunan RDKK ........................................... 12 3.3.3. Permasalahan Seputar Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi ................................................................... 13
3.4. Penyediaan Pupuk Bersubsidi ................................................. 15 3.4.1. Tingkat Nasional ......................................................... 15
3.4.2. Tingkat Provinsi .......................................................... 18 3.5. Kebutuhan, Usulan, Alokasi, Penyediaan dan Realisasi Pupuk
Bersubsidi ............................................................................. 20 3.5.1. Kebutuhan, Usulan, dan Alokasi Pupuk Bersubsidi ......... 20 3.5.2. Perkembangan Usulan, Alokasi, Penyediaan dan Realisasi
Pupuk Bersubsidi ........................................................ 22 3.5.3. Alokasi dan Realisasi Pupuk Bersubsidi Menurut Provinsi 25
IV. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PUPUK DAN PENGANGGARAN
SUBSIDI PUPUK ........................................................................... 27 4.1. Sejarah Pengembangan Industri Pupuk Urea dan Lainnya ....... 27
xxi
4.1.1. Periode Fase Pertama.................................................. 27 4.1.2. Periode Fase Kedua ..................................................... 29
4.2. Keragaan Industri Pupuk Saat ini ........................................... 30 4.3. Berbagai Peraturan Kebijakan dalam Pengembangan Industri
Pupuk Nasional ..................................................................... 33 4.4. Analisis Biaya Produksi dan Komponen Pembentuk Biaya HPP
(Harga Pokok Produksi) ......................................................... 35 4.5. Besaran Subsidi Pupuk dan Rasionya Terhadap Anggaran Nasional ............................................................................... 40
V. DISTRIBUSI DAN PERDAGANGAN PUPUK ....................................... 42
5.1. Kebijakan Distribusi dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi ............. 42 5.2. Kebijakan Ekspor-Impor Pupuk .............................................. 55 5.3. Posisi RDKK dalam Penyaluran Pupuk Terhadap Petani ............ 57
5.4. Perkembangan HPP Gabah, HET Pupuk Bersubsidi dan Harga Paritas Pupuk Internasional ................................................... 60
5.5. Mekanisme Pengawasan Pelaksanaan Subsidi ......................... 62 5.6. Perdagangan Pupuk non Subsidi di Pasar Domestik ................. 63
VI. ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN NASIONAL .............................. 65
6.1. Perencanaan Kebutuhan Pupuk Bersubsidi .............................. 65
6.2. Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi ............................................. 68 6.3. Mekanisme penyaluran subsidi pupuk ..................................... 74
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ...................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 87
xxii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Produksi Padi, Dosis dan Biaya Pupuk pada Usahatani Padi, 2000 dan 2014 ............................................................................................ 8
2. Luas Lahan dan Alokasi Dosis Pupuk Bersubsidi Sub Sektor Pertanian,
2015 ............................................................................................ 10
3. Perkembangan Alokasi dan Produksi Pupuk Bersubsidi Tahun
2011-2014 ................................................................................... 16 4. Alokasi Produksi PT. PIHC untuk Pupuk Bersubsidi Tahun 2011
dan 2014 ..................................................................................... 17
5. Alokasi Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Provinsi Tahun 2015 ............ 19
6. Alokasi Penyediaan dan Realisasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2014 ............................... 26
7. Perkembangan Produksi Pupuk di Indonesia, 2010-2014 (Ton) ....... 31
8. Kapasitas Produksi Pupuk PT PIHC menurut Produsen dan Jenis Pupuk di Indonesia, 2014 (ton/tahun) ...................................................... 32
9. Volume Penjualan Pupuk Urea PT. PIHC Berdasarkan Sub Sektor di
Indonesia, 2011 dan 2014............................................................. 33
10. Alokasi Pupuk Non-Urea Produksi PT. PIHC untuk Pupuk Bersubsidi di
Indonesia, 2011 dan 2014............................................................. 33
11. Biaya Pokok Produksi Pupuk Urea/Kg di Beberapa Pabrik Pupuk di
Indonesia, Tahun 2011 dan 2014 .................................................. 36
12. Biaya Pokok Produksi SP-36, ZA, dan NPK di PT. PIHC, 2011 dan 2014 37
13. Biaya Produksi (Harga Pokok produksi) Urea dan Proporsi Biaya Gas Bumi Pupuk Produk Anak Perusahaan PT. PIHC di Indonesia, 2011 dan 2014 ..................................................................................... 38
14. Biaya produksi Plus 10% Margin Keuntungan Pupuk Urea Produksi
Anak Perusahaan PT. PIHC dan Besaran Subsidi yang Ditanggung Pemerintah per Kg di Beberapa Pabrik Pupuk di Indonesia, 2011 dan
2014 ............................................................................................ 38
15. Volume dan Pendapatan dari Penjualan Pupuk PT. PIHC, 2007-2014 39
xxiii
16. Proporsi Pendapatan dari PSO terhadap Total Pendapatan PT. PIHC, 2010-2014 (Rp Triliun) .................................................................. 39
17. Perkembangan Subsidi Pupuk dan Subsidi Pangan di Indonesia,
2005-2015 ................................................................................... 41
18. Alokasi Pupuk Menurut Jenis Pupuk dan Per Sub Sektor di Indonesia, 2015 ............................................................................................ 50
19. Kapasitas dan Waktu Tempuh Penyaluran Pupuk Bersubsidi dari Gudang Lini II ke ke Gudang Lini III di Indonesia, 2015 ................. 54
20. Perkembangan Konsumsi, Ekspor dan Impor Urea serta ZA di Indonesia, 2005-2012 ................................................................... 56
21. Perkembangan HPP gabah, HET Pupuk dan rasionya di Indonesia,
2007-2015 ................................................................................... 61
22. Harga Jual di Pasar Komersial Pupuk Urea, NPK, dan SP-36 Produksi PT. PIHC berdasarkan Sub Sektor Ekonomi, Pasar di Indonesia, 2011-
2014 (Rp/Kg) ............................................................................... 64
xxiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Perbandingan Kebutuhan Teknis, Usulan Daerah, dan Alokasi Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Sub Sektor Tahun 2015 ............................. 22
2. Kinerja Penyaluran Pupuk PSO di Indonesia, 2010-2014 ................. 24
3. Mekanisme Distribusi Pupuk Bersubsidi di Indonesia, 2011.............. 43
4. Mekanisme Usulan, Alokasi dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Indonesia, 2011 ........................................................................... 45
5. Penyaluran Pupuk Bersubsidi dari Lini-I Sampai Petani di Indonesia, 2011 ............................................................................................ 45
6. Sarana Distribusi Pupuk Di Indonesia, 2015 (PIHC, 2015) ............... 49
7. Alokasi dan Realisasi Penyaluran Pupuk Secara Total di Indonesia, 2014 ............................................................................................ 51
8. Perkembangan Rasio HPP Gabah terhadap HET Pupuk di Indonesia,
2008-2015 ................................................................................... 62
9. Skema Mekanisme Pengawasan Penyaluran Pupuk dan Pestisida di Indonesia, 2011 ........................................................................... 63
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam usaha pertanian modern yang mengejar peningkatan produktivitas
secara terus menerus per satuan lahan, pupuk merupakan salah satu factor produksi
yang sangat penting atau esensial.Tanpa tambahan hara ke dalam tanah atau tanpa
pemupukan, sangat sulit untuk memperoleh hasil per hektare yang tinggi secara
berkelanjutan.
Upaya peningkatan produksi pangan khususnya padi melalui penerapan
intensifikasi teknologi di Indonesia sudah dimulai lebih awal dari program Bimas.
Pada Desember 1949 Pemerintah menggabungkan Rencana Kasimo dan Rencana
Wisaksono menjadi Rencana Kesejahteraan Istimewa, yang salah satu komponennya
mengembangkan usaha pertanian yang lebih sistematis. Salah satu komponen
teknologi yang diterapkan dalam intensifgikasi usaha pertanian adalah penambahan
hara kimiawi ke lahan usahatani padi, khususnya pupuk fosfat dan nitrogen (Hafsah
dan Sudaryanto, 2003).
Pada tahun 1958 Pemeritah mencanangkan program intensifikasi usahatani
dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memanfaatkan potensi
lahan, daya, dan dana yang tersedia. Program ini disebut Padi Sentra. Pada Prorgam
ini diperkenalkan teknologi Panca Usahatani, yang salah satunya adalah penyediaan
dan penggunaan pupuk yang cukup. Program inilah yang selanjutnya bergulir jadi
Program Bimas dan berbagai variannya. Program ini pula seringkali disebut Revolusi
Hijau (Green Revolution) karena berhasil meningkatkan produksi padi dengan
pertumbuhan yang cukup tingi, tidak saja di Indoenesia tetapi di berbagai negara
Asia. Pendekatan ini membawa hasil meningkatkan ketersediaan pangan secara
global. Di Indonesia Revolusi Hijau berhasil meningkatkan produktivitas dan produksi
padi meningkat pesat cukup cepat, dan puncaknya mencapai swasembada beras di
tahun 1984.
Beberapa tahun terakhir upaya peningkatan produktivitas tanaman pangan
melalui pemanfaatan pupuk kimiawi mendapat sorotan berbagai fihak, khususnya
dari para ahli tanah, budidaya tanaman, dan lingkungan. Kritik utama terkait dengan
pemanfaatan pupuk dengan dosis berlebihan dan dilakukan secara terus-menerus.
2
Kritik lain muncul dari masyarakat terkait besarnya anggaran belanja negara yang
dialokasikan untuk subsidi pupuk. Misalnya, selama lima tahun terakhir anggaran
subsidi pupuk naik terus yang jumlahnya sudah berada di atas 15 trilyun rupiah
setiap tahun dan pada tahun 2015 dianggarkan sebesar 35,7 triliun rupiah, termasuk
untuk pendanaan kurang bayar subsidi pupuk kepada produsen pupuk untuk
beberapa tahun sebelumnya.
Besarnya dan terus meningkatnya anggaran subsidi pupuk ini sebagai
konsekuensi kebijakan pemerintah yang menetapkan harga pupuk yang dibeli petani
tetap pada level murah, yang jauh lebih rendah dari harga pasar atau harga
keekonomiannya. Kebijakan pemerintah ini merupakan derivatif atau turunan dari
kebijakan yang menargetkan pemenuhan kebutuhan pangan seluruhnya dari
produksi dalam negeri. Impor pangan menjadi the last resort, atau upaya terakhir
yang terpaksa dilaksanakan apabila benar-benar sangat diperlukan. Pendekatan ini
disebut sebagai ketahanan pangan berbasis kemandirian dan kedaulatan pangan
(Suryana, 2013).
Industri pupuk di Indonesia, khususnya pupuk Urea dikuasai Badan Usaha
Milik Negra (BUMN). Sejak tahun 2011 BUMN-BUMN produsen pupuk dihimpun
dalam suatu Holding Company (Perusahaan Induk) bernama PT Pupuk Indonesia
Holding Company (PIHC). BUMN ini melaporkan (angka sementara) produksi pupuk
pada tahun 2014 sebagai berikut: pupuk Urea sebanyak 6,74 juta ton, ZA sebanyak
816 ribu ton, NPK sebesar 2,72 juta ton, SP-36 sebesar 400 ribu ton, dan pupuk
organik mencapai 580 ribu ton. Dari jumlah tersebut sebagian besar dialokasikan
untu kebutuhan pupuk bersubsidi, yaitu sekitar 60% Urea dan lerbih dari 85% non-
Urea dengan jumlah sekitar 9,5 juta ton (Pupuk Indonesia Holding Company, 2015).
Walaupun Pemerintah sudah banyak mengalokasikan anggaran untuk
menyediakan pupuk bersubsidi disertai dengan bebagai kebijakan terkait distribusi
dan penyalurannya kepada petani agar dapat memenuhi prinsip enam tepat (jumlah,
dosis, mutu, waktu, tempat, dan harga), namun isu kelangkaan pupuk dan harga
pupuk yang mahal di tingkat petani masih tetap ada di setiap awal musim tanam.
Kejadian ini sudah berlangsung lama seperti dilaporkan dalam hasil Analisis
Kebijakan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian tahun 2014 (Kariyasa,
Mardianto, dan Maulana, 2004; dan Susila, 2010).
3
Permasalahan ini muncul bukan hanya dari sebab yang sederhana, misalnya
karena ketidak-beresan sistem distribusi, tetapi terkait juga dengan keseimbangan
antara penyediaan pupuk bersubsidi dan permintaan pupuk dari petani pangan,
dampak kebijakan disparitas harga yang terlalu lebar, dan ketidak tepatan dosis
pemupukan oleh petani. Selain itu, besarnya moral hazard dari sebagian pelaku
usaha pupuk, penyusunan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) yang tidak
akurat dan lemahnya pengawasan pupuk di lapangan juga dapat memperbesar
permasalahan tersebut. Permasalahan perpupukan ini terus berlanjut dari tahun ke
tahun sampai sekarang, seperti yang selalu dilaporkan di media masa.
Perhatian (concern) terhadap efektivitas kebijakan subsidi pupuk dari
berbagai instansi pemerintah ternyata sangat tinggi, seperti tercermin dari berbagai
laporan kajian tiga instansi (Bappenas, 2011, Badan Kebijakan Fiskal, 2010; dan
Badan Pemeriksa Keuangan, 2008). Ketiga laporan tersebut menenggarai adanya
ketidak efektifan dalam pelaksanaan kebijakan pemberian subsidi pupuk. Kajian
semacam ini masih diperlukan, baik untuk up-dating informasi maupun untuk
menelaah aspek tertentu secara lebih fokus.
Kebijakan subsidi pupuk jelas mempunyai dampak positif bagi peningkatan
produksi pangan, terutama padi/beras. Pencapaian ini memberikan sumbangan yang
signifikan secara nasional pada pencapaian ketahanan pangan, stabilitas ekonomi,
dan ketahanan sebagai bangsa. Namun, penilaian negatif terhadap konsep dan
pelaksanaan kebijakan ini juga muncul, seperti pelaksanaan distribusi tidak efisien,
pupuk tidak sampai tidak sampai kepada sasaran yang tepat, dan terbangun
dualisme pasar (Susila, 2010) yang dapat menciptakan moral hazzard.
Besaran subsidi pupuk per kg dihitung dari harga pokok produksi (HPP) plus
margin keuntungan (10%) dikurangi harga pupuk yang dibayar petani. Karena harga
bahan baku (gas) meningkat terus dan ditetapkan dalam dolar Amerika Serikat
(USA), serta volume kebutuhan pupuk untuk pangan meningkat dari tahun ketahun,
maka jumlah anggaran subsidi pupuk terus meningkat pula.
Beberapa permasalahan yang perlu didalami dapat tercermin dari kalimat
pertanyaan bertikut: (1) Sampai kapan kebijakan pupuk seperti sekarang ini cocok
diterapkan dalam pembangunan pangan nasional?; (2) Adakah alternatif kebijakan
penyediaan pupuk bagi petani pangan yang lebih tepat sehingga pemanfaatan
4
pupuk dalam sistem usahatani pangan menjadi lebih efisien, baik secara teknis
maupun ekonomis?; dan (3) Adakah kebijakan penyediaan pupuk kepada petani
pangan yang lebih murah biayanya tetapi tetap dapat menjamin pencapaian
ketahanan pangan nasional berdasarkan prinsip kemandirian dan kedaulatan
pangan?
Pertanyaan yang menyoal kebijakan perpupukan di atasi semakin keras
disuarakan oleh para ahli ekonomi dan ekonomi pertanian, dan menjadi wacana
diskusi tingkat nasional, termasuk dari para pejabat tinggi pemerintah. Dalam
RAPBN 2016 yang disampaikan Presiden RI Joko Widodo dalam Sidang Paripurna
DPR RI tanggal 14 Agustus 2015, tercantum anggaran subsidi pupuk sebesar 30,062
triliun rupiah. Namun yang menarik Presien Joko Widodo dalam twitter tanggal 15
Agustus 2015 menulissubsidi pupuk dan benih banyak diselewengkan. Akan kita
ubah menjadi subsidi produk akhir harga beli pemerintah ke petani.
Untuk dapat menjawab pertanyaan kebijakan tersebut dengan baik,
diperlukan informasi yang komprehensif tentang konsep dan implementasi kebijakan
perpupukan, khususnya mengenai: (1) perencanaan kebutuhan dan pemenuhan
kebutuhan pupuk bersubsidi, mulai dari tingkat petani sampai Pemerintah di pusat;
(2) arah pengembangan industri pupuk nasional termasuk kebijakan
pembiayaan/pengganggaran subsidi pupuk; dan (3) distribusi dan perdagangan
pupuk dalam negeri, termasuk penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sampai
di petani, serta upaya petani mendapatkan pupuk.
Tujuan dan Manfaat Anjak
Tujuan umum Anjak ini adalah menghimpun dan menganalisis data dan
informasi tentang kebijakan perpupukan nasioanal, khususnya dalam perencanaan,
pengembangan industri,dan distribusi serta perdagangan pupuk bagi petani pangan
dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional.
Secara khusus Anjak ini bertujuan:
1. Menganalisis kebijakan dan perencanaan kebutuhan dan pemenuhan
kebutuhan pupuk bersubsidi, mulai dari tingkat petani sampai pemerintah di
pusat.
5
2. Menganalisis kebijakan pengembangan industri pupuk nasional termasuk
kebijakan pembiayaan/pengganggaran subsidi pupuk.
3. Menganalisis kebijakan distribusi dan perdagangan pupuk dalam negeri,
termasuk penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sampai di petani,
serta upaya petani mendapatkan pupuk.
4. Merumuskan alternatif kebijakan perpupukan nasional yang dapat menjamin
penyediaan pupuk di tingkat petani secara efisien dari sisi teknis dan
ekonomis yang mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional.
Hasil kajian diharapkan bermanfaat bagi para pemangku kepentingan untuk
lebih memahami permasalahan perpupukan secara komprehensif. Dengan
tersedianya data, informasi, dan hasil analisis tentang perpupukan diharapkan
penentu kebijakan dapat merumuskan kebijakan perpupukan yang lebih baik, yang
dapat meningkatkan produktivitas usahatani dan produksi pangan secara efisien.
Dampak yang diharapkan dari Anjak ini, apabila hasilnya dimanfaatkan
sebagai referensi dalam perumusan kebijakan, adalah tertatanya sistem distribusi
pupuk sampai ke petani dengan lebih efisien, terjadinya efisiensi dalam alokasi
anggaran dan belanja negara untuk subsidi pupuk, membaiknya penerapan
pemupukan pada usahatani pangan, meningkatnya produksi pangan secara efisien,
dan meningkatnya pencapaian ketahanan pangan nasional berbasis kemandirian dan
kedaulatan pangan.
6
II.METODOLOGI
2.1. Lokasi Penelitian
Lingkup pembahasan kajian ini bersifat nasional. Untuk pendalaman mengenai
dampak kebijakan perlu dilakukan verifikasi di lapangan, khususnya mengenai
sistem distribusi, persepsi petani/kelompok tani atas kebijakan perpupukan nasional,
dan realisasi pemanfaatan pupuk di lapangan oleh petani. Untuk itu dilakukan
pendalaman kegiatan Anjak di lokasi kajian Provinsi Jawa Barat dan Lampung.
2.2. Sumber dan Jenis Data
Sumber data untuk lingkup nasional berupa data sekunder dikumpulkan dari
berbagai instansi pemerintah di Jakarta diantaranya Kementerian BUMN,
Perdagangan, Pertanian, BPS, serta ke BUMN pupuk. Data sekunder juga diperoleh
melalui penelusuran dokumen berupa jurnal/laporan/tesis/disertasi berbentuk hard
copy maupun elektronik. Selain pengumpulan data sekunder, juga dilakukan
pengumpulan data primer melalui wawancara dengan aparat pertanian tingkat
provinsi/kabupaten dan gapoktan/ petani padi sawah.
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi dokumen-dokumen terkait kebijakan
perpupukan dan informasi serta data mengenai sistem produksi dan pengadaan
pupuk bersubsidi, sistem distribusi atau penyaluran pupuk bersubsidi, serta pola
pemupukan yang dilaksanakan petani. Sementara itu, jenis data primer yang
dikumpulkan adalah pendapat pemangku kepentingan perpupukan di provinsi dan
kabupaten terpilih mengenai kebijakan perpupukan yang selama ini diberlakukan
dan respons petani atas penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi.
2.3. Metode Analisis
Anjak ini menggunakan metoda analisis kuantitatif dan deskriptif kualitatif.
Analisis kuantitatif dilakukan melalui penghitungan tingkat pertumbuhan/
peningkatan dari data series waktu dan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel
analisis. Selain itu juga dilakukan analisis deskriptif kualitatif atas data yang disajikan
baik yang bersumber dari instansi maupun dari lokasi kajian. Dari keseluruhan
analisis diharapkan dapat dirumuskan alternatif kebijakan perpupukan yang
komprehensif serta lebih efisien mencapai sasaran kebijakan.
7
BAB III. KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PUPUK PADA USAHATANI PANGAN
Kebutuhan pangan semakin bertambah seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk. Peningkatan jumlah penduduk juga berdampak pada semakin
berkurangnya lahan pertanian akibat terkonversi menjadi pemukiman dan kawasan
industri. Di sisi lain lahan dan air merupakan faktor penting dalam produksi pangan
dan sering kali menjadi faktor pembatas dalam peningkatan produktivitas, sehingga
peningkatan produktivitas harus ditopang dengan cara lain yaitu melalui
implementasi teknologi usahatani. Salah satu teknologi usahatani yang penting
adalah teknologi pemupukan.
Pupuk merupakan salah satu input dalam usahatani yang sangat penting.
Ketiadaan pupuk dalam usahatani bahkan dapat berakibat input yang lainnya
menjadi kurang optimal. Hadi (2007) menyatakan bahwa pupuk merupakan salah
satu input sangat esensial dalam proses produksi pertanian. Tanpa pupuk,
penggunaan input lainnya seperti benih unggul, air dan tenaga kerja hanya akan
memberikan manfaat marjinal sehingga produktivitas pertanian dan pendapatan
petani akan rendah.
Peran pupuk yang sangat besar dalam peningkatan produksi dan
produktivitas, mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran subsidi pupuk
setiap tahunnya. Selain itu pemerintah juga berharap melalui kebijakan subsidi
pupuk ini dapat meningkatkan adopsi tekonologi pemupukan dengan penerapan
pupuk berimbang spesifik lokasi (Darwis, 2013). Pertanyaannya, bagaimana
pemerintah merencanakan kebijakan alokasi pupuk bersubsidi, dan apakah
memenuhi kebutuhan pupuk yang diinginkan petani? Lebih jauh lagi bagaimana
petani merencanakan kebutuhan pupuknya, serta apakah penggunaannya sudah
sesuai dengan dosis anjuran atau hanya berdasarkan pengalaman?
3.1. Dosis Pemupukan dan Proporsi Biaya Pupuk Pada Usahatani Padi
Dosis pemupukan merupakan formulasi yang dilakukan petani dalam
memberikan tambahan berbagai hara pada lahan usahatani. Jenis, besaran, dan
cara penggunaan pupuk mencerminkan tingkat aplikasi teknologi dalam usahatani
8
(Sumaryanto, 2004). Pada usahatani padi, meskipun terdapat dosis pemupukan
anjuran, namun sebagian besar petani menetapkan dosis pemupukan atas dasar
pengalamannya melakukan usahatani (Susilowati, et. al, 2010). Berdasarkan hal
tersebut, sering kali dosis pemupukan yang digunakan petani sangat tinggi dan
cenderung berlebihan atau tidak menambah hara pada lahan usahataninya secara
seimbang.
Tabel 1. Produksi Padi, Dosis dan Biaya Pupuk pada Usahatani Padi, 2000 dan 2014
Uraian 2000 2014
Nilai Proporsi Nilai Proporsi
Produksi (Kg/Ha) 5.650 - 6.170 -
Dosis Pemupukan (Kg/Ha)
Urea 360,1 56,5 187,2 13,6
ZA 117,7 18,5 - -
TSP 63,8 10,0 - -
SP-36 39,5 6,2 163,1 11,9
KCl 35,7 5,6 107,3 7,8
NPK - - 169,6 12,3
Organik 20,2 3,2 593,8 43,2
Lainnya - - 154,2 11,2
Biaya Pupuk (.0000 Rp/Ha)
Urea 374,8 8,7 349,8 2,4
ZA 122,5 2,8 - -
TSP 102,2 2,4 - -
SP-36 63,2 1,5 371,8 2,5
KCl 68,5 1,6 225,3 1,5
NPK - - 377,5 2,5
Organik 12,8 0,3 316,5 2,1
Lainnya - - 251,1 1,7
Total Biaya Pupuk (.000 Rp/Ha) 744 1.892
Total Biaya Usahatani (.000 Rp/Ha) 4.335,3 14.804,2
% Biaya Pupuk/Usahatani 17,3 12,8
Sumber: Sumaryanto (2004) dan Badan Ketahanan Pangan (2015) Keterangan: Biaya terdiri dari Biaya Benih, Pupuk, Obat-obatan, Tenaga Kerja, Sewa Lahan,
Sewa Traktor, dan Biaya Lainnya namun tidak termasuk Biaya Bank
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa pupuk urea merupakan jenis pupuk
yang paling banyak digunakan dalam usahatani padi. Pada tahun 2000, penggunaan
pupuk N (yaitu Urea dan ZA) bahkan sudah berlebihan. Penggunaan pupuk yang
berlebihan ini akan mengakibatkan inefisiensi penggunaan input dan pada jangka
panjang akan mengakibatkan degradasi sumberdaya (Sumaryanto, 2004). Tingginya
9
penggunaan pupuk N juga disebabkan saat itu petani belum menggunakan pupuk
majemuk.
Lima belas tahun kemudian, pada tahun 2014 pemupukan yang diterapkan
petani sudah menggunakan pupuk majemuk sehingga penggunaan pupuk tunggal
berkurang. Namun begitu, jika dibandingkan dengan rekomendasi pupuk anjuran
yang dikeluarkan kementerian pertanian melalui Permentan No 40 tahun 2007
diketahui bahwa penggunaan pupuk tunggal juga masih berlebih. Pada lahan sawah
yang menggunakan pupuk mejemuk (NPK) sebesar 150 kg/ha maka penggunaan
urea sebesar 200 kg/ha, KCl 75 kg/ha, dan tanpa pupuk SP-36. Dengan demikian
pada tahun 2014, dosis pemupukan yang berlebihan adalah penggunaan pupuk SP-
36.
Proporsi pengeluaran petani untuk biaya pupuk pada tahun 2014 lebih kecil
dibandingkan pada tahun 2000. Pada tahun 2014 total proporsi biaya pupuk
terhadap total biaya usahatani sebesar 12,8%, berkurang sekitar 4,5% dibandingkan
tahun 2000 (17,3%). Pada tahun 2000 penggunaan pupuk urea sangat dominan
sehingga proporsi biaya urea terhadap biaya total sangat tinggi (8,7%) jika
dibandingkan jenis pupuk lain (0,3-2,8%). Sedangkan pada tahun 2014 penggunaan
pupuk lebih merata sehingga proporsi biaya pupuk terhadap total biaya berkisar
antara 1,5-2,5%.
Penggunaan pupuk yang lebih mendekati dosis anjuran berdampak pada
peningkatan produksi. Pada tahun 2014 terjadi peningkatan produksi padi sebesar
520 kg/ha atau sekitar 9,2% dibandingkan tahun 2000. Jika dosis anjuran
penggunaan pupuk diterapkan dengan baik berdasarkan Permentan 40 tahun 2007,
diperkirakan dapat meningkatkan produksi sebesar 2.500 kg/ha sampai 3.500 kg/ha.
3.2. Usaha Pertanian yang Mendapat Alokasi Pupuk Bersubsidi
Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi nasional mengacu kepada Peraturan
Menteri Pertanian (Permentan) tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi
Pupuk Bersubsidi yang diterbitkan setiap tahun. Perkembangan lima tahun terakhir,
pupuk bersubsidi dialokasikan untuk lima subsektor pertanian dan perikanan. Kelima
subsektor tersebut adalah subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
peternakan, dan perikanan budidaya.
10
Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa subsektor tanaman pangan memiliki
luas lahan terbesar dalam alokasi pupuk bersubsidi. Proporsi luas lahan subsektor
tanaman pangan terhadap total luas lahan yang mendapat alokasi pupuk bersubsidi
sebesar 49,88%, jumlah ini sedikit lebih besar dibandingkan subsektor perkebunan
yaitu sebesar 41,58%. Dengan demikian, alokasi dan dosis pemupukan subsektor
tanaman pangan dan subsektor perkebunan juga merupakan yang tertinggi
dibandingkan subsektor lainnya.
Tabel 2. Luas Lahan dan Alokasi Dosis Pupuk Bersubsidi Subsektor Pertanian, 2015
Subsektor Luas Lahan Usaha (Ha)
Urea SP-36 ZA NPK Organik
Alokasi (Ton)
Dosis (Kg/Ha)
Alokasi (Ton)
Dosis (Kg/Ha)
Alokasi (Ton)
Dosis (Kg/Ha)
Alokasi (Ton)
Dosis (Kg/Ha)
Alokasi (Ton)
Dosis (Kg/Ha)
Tanaman Pangan
20.140.000 3.071.382 153 567.317 28 713.097 35 1.857.441 92 721.512 36
Hortikultura 2.050.000 181.378 88 45.961 22 61.191 30 165.344 81 53.991 26
Perkebunan 16.790.000 677.705 40 197.985 12 264.473 16 509.338 30 134.097 8
Peternakan 380.000 76.789 202 12.888 34 11.239 30 17.877 47 90.400 238
Perikanan Budidaya
1.020.000 92.746 91 25.849 25 - - - - - -
JUMLAH 40.380.000 4.100.000 102 850.000 21 1.050.000 26 2.550.000 63 1.000.000 25
Sumber: Permentan No. 130 Tahun 2014 dan PT. PIHC (2015), diolah
Alokasi dosis pemupukan seperti disajikan pada Tabel 2, dihitung dari
pembagian antara alokasi pupuk bersubsidi dengan luas lahan usaha pertanian
menurut subsektor. Dosis pemupukan yang terbaik adalah dosis pemupukan yang
spesifik lokasi dan spesifik varietas. Kebutuhan dan efisiensi dosis pemupukan harus
mempertimbangkan tiga faktor yang sangat berkaitan yaitu: (a) ketersediaan hara
dalam tanah, termasuk pasokan melalui air irigasi dan sumber lainnya, (b)
kebutuhan hara tanaman, dan (c) target hasil yang ingin dicapai (Permentan No 40
Tahun 2007).
Anjuran dosis pemupukan berimbang yang spesifik lokasi untuk komoditas
padi sawah mengacu pada Permentan No. 40 Tahun 2007. Pada permentan tersebut
memuat rekomendasi pemupukan untuk 21 provinsi penghasil padi nasional utama
yang di rinci menurut kabupaten dan kecamatan. Gambaran berikut ini dijelaskan
rekomendasi dosis pemupukan di empat kabupaten/kota contoh, yaitu Kabupaten
Lampung Tengah, Kotamadya Metro, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Karawang.
Rekomendasi dosis pemupukan di Kabupaten Lampung Tengah adalah 250
Kg/Ha Urea, 67 Kg/Ha SP-36, dan 60 Kg/Ha KCl jika tanpa menggunakan pupuk
11
organik. Namun jika menggunakan pupuk organik sebanyak 2 ton/ha, maka dosis
pemupukan sebanyak 225 Kg/Ha Urea, 17 Kg/Ha SP-36, dan 40 Kg/Ha KCl.
Rekomendasi dosis pemupukan untuk Kotamadya Metro adalah 250 Kg/Ha Urea, 50
Kg/Ha SP-36, dan 100 Kg/Ha KCl jika tanpa menggunakan pupuk organik. Jika
menggunakan pupuk organik sebanyak 2 ton/Ha, rekomendasi dosis pemupukan
menjadi 225 Kg/Ha Urea dan 80 Kg/Ha KCl.
Sementara itu, di Kabupaten Cianjur dan Karawang dosis pemupukan untuk
urea lebih banyak dibandingkan Kabupaten Lampung Tengah dan Kotamadya Metro.
Rekomendasi dosis pemupukan di Kabupaten Cianjur adalah 300 Kg/Ha Urea, 74
Kg/Ha SP-36, dan 60 Kg/Ha KCl jika tanpa menggunakan pupuk organik. Namun jika
menggunakan pupuk organik sebanyak 2 ton/ha, maka dosis pemupukan sebanyak
275 Kg/Ha Urea, 24 Kg/Ha SP-36, dan 40 Kg/Ha KCl. Rekomendasi dosis pemupukan
untuk Kabupaten Karawang adalah 300 Kg/Ha Urea, 72 Kg/Ha SP-36, dan 82 Kg/Ha
KCl jika tanpa menggunakan pupuk organik. Jika menggunakan pupuk organik
sebanyak 2 ton/Ha, rekomendasi dosis pemupukan menjadi 275 Kg/Ha Urea, 23
Kg/Ha SP-36, dan 62 Kg/Ha KCl.
Berdasarkan rekomendasi dosis pemupukan di empat kabupaten/kota contoh
penelitian, diketahui bahwa alokasi dosis pemupukan yang bersumber dari pupuk
bersubsidi seperti telah diuraikan pada Tabel 2, dinilai kurang untuk ke empat
kabupaten/kota tersebut, jika hanya menggunakan pupuk tunggal. Selain itu, alokasi
pupuk organik juga kurang, padahal penggunaan pupuk organik merupakan salah
satu solusi untuk mengatasi degradasi lahan pertanian akibat penerapan revolusi
hijau tahun 1960-an (Mayrowani, 2012). Dengan demikian, di empat kabupaten/kota
tersebut, petani harus menggunakan dan terbiasa menggunakan pupuk mejemuk
NPK sebagai kompensasi dari pupuk tunggal yang dialokasikan lebih rendah dari
dosis anjuran pemupukan berimbang.
3.3. Proses Penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK)
3.3.1. Kewajiban Penyusunan RDKK
Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) harus disusun oleh kelompok
tani sebagai acuan dalam penerimaan pupuk bersubsidi. Selain itu penyusunan
12
RDKK oleh kelompok tani juga merupakan amanah dari Peraturan Menteri Pertanian
tentang alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi. Berdasrkan Permentan No 130 Tahun
2014 Bab 3 Pasal 8 dijelaskan bahwa dinas yang membidani pertanian
kabupaten/kota bersama kelembagaan penyuluhan tingkat kabupaten/kota wajib
melaksanakan pembinaan kepada petani, petambak dan/atau kelompoktani dalam
penyusunan RDKK sesuai luas areal usahatani dan/atau kemampuan penyerapan
pupuk bersubsidi di tingkat petani, petambak dan/atau kelompoktani di wilayahnya.
Berdasarkan Permentan tersebut juga dapat diketahui bahwa dasar dalam
penyusunan RDKK adalah luas areal usahatani dan/atau kemampuan penyerapan
pupuk bersubsidi di tingkat petani. Pasal ini mengakibatkan penyusunan RDKK
menjadi fleksibel, yaitu dasar penyusunan RDKK tidak dibatasi hanya pada luas areal
usahatani yang dimiliki tapi juga kemampuan petani dalam melakukan penyerapan
alokasi pupuk bersubsidi. Namun penyerapan alokasi pupuk bersubsidi oleh petani
tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan finansialnya. Lebih dari itu, hal utama
yang sering menentukan serapan pupuk bersubsidi adalah kebiasaan penggunaan
dalam pemupukan atau pemahaman petani tentang pemupukan.
Berdasarkan diskusi dengan aparat yang bertugas mendampingi kelompok
tani dalam penyusunan RDKK di Kabupaten Karawang diketahui bahwa serapan
pupuk bersubsidi jenis NPK di tingkat pengecer (lini IV) sering kali tidak sesuai
target. Menurutnya kondisi ini disebabkan karena petani biasa menggunakan pupuk
Urea dan petani memiliki persepsi bahwa pupuk NPK bukan merupakan substitusi
dari pupuk Urea. Akibatnya, pemberian pupuk NPK tidak selalu diikuti petani dengan
mengurangi penggunaan pupuk Urea. Kenyataannya petani tetap membeli lebih
banyak pupuk Urea (bahkan membeli pupuk non subsidi jika alokasi pupuk
bersubsidi dirasa kurang) dan membeli pupuk NPK dengan volume di bawah alokasi
yang sudah ditetapkan dalam RDKK.
3.3.2. Jadwal Penyusunan RDKK
Ketepatan dalam penyusunan RDKK menjadi titik awal keberhasilan
perencanaan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi. Tepat dalam hal ini harus
mencakup aspek jumlah yang mengacu kepada anjuran dosis pupuk berimbang dan
aspek ketepatan waktu dalam penyusunan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi.
13
Sebagaimana amanah dari Permentan No 130/2014 bahwa perhitungan kebutuhan
pupuk bersubsidi nasional mempertimbangkan usulan kebutuhan yang diajukan oleh
kepala dinas provinsi, yang merupakan hasil rekapitulasi RDKK yang disampaikan
oleh dinas kabupaten/kota.
Berdasarkan Permentan No 130/2014 Bab 3 tentang Peruntukan dan
Kebutuhan Pupuk Bersubsidi diketahui tentang tahapan penetapan alokasi
kebutuhan pupuk bersubsidi. Penetapan alokasi pupuk bersubsidi dilakukan
berjenjang dimulai dengan penetapan peraturan tentang alokasi pupuk bersubsidi
nasional untuk tahun depan oleh Menteri Pertanian. Penetapan ini diterbitkan pada
akhir bulan November tahun berjalan. Di dalam Permentan tersebut diatur tentang
alokasi penyediaan pupuk bersubsidi untuk masing-masing provinsi. Selanjutnya
Gubernur di setiap provinsi menetapkan peraturan tentang alokasi kebutuhan pupuk
bersubsidi untuk masing-masing kabupaten/kota, yang dikeluarkan pada
pertengahan Desember tahun berjalan dan terakhir bupati/kota menetapkan
peraturan tentang alokasi pupuk bersubsidi untuk masing-masing kecamatan pada
akhir bulan Desember tahun berjalan.
Permasalahan perencanaan kebutuhan pupuk bersubsidi sering timbul akibat
tahapan penetapan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi tidak didukung dengan
akurasi data kebutuhan yang bersumber dari tingkat kelompok tani. Seharusnya
RDKK yang disusun oleh kelompok tani dan direkapitulasi secara berjenjang dari
tingkat kabupaten/kota hingga nasional menjadi basis utama penyusunan alokasi
kebutuhan pupuk bersubsidi. Namun faktanya rekapitulasi RDKK di tingkat
kabupaten/kota selalu telat dan baru selesai pada bulan Januari tahun pelaksanaan.
Kondisi tersebut terjadi pada kasus Kabupaten Karawang sehingga mengakibatkan
terjadinya senjang jumlah alokasi pupuk bersubsidi antara yang ditetapkan oleh
Menteri Pertanian hingga bupati/walikota dengan RDKK yang direkap di tingkat
kabupaten/kota. Sering kali jumlah kebutuhan pupuk bersubsidi yang direkap
ditingkat kabupaten/kota lebih besar daripada yang ditetapkan oleh bupati/walikota.
3.3.3. Permasalahan Seputar Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi
Beberapa faktor penting dalam perencanaan kebutuhan pupuk sangat
mempengaruhi kualitas RDKK yang disusun. Menurut Darwis dan Saptana (2010)
14
perencanaan kebutuhan pupuk dipengaruhi oleh harga pupuk, luas areal tanam, dan
dosis pemupukan. Pada pembahasan RDKK di level kelompok tani, yang sering
menjadi perbedaan pendapat antara anggota kelompok tani dengan tenaga
pendamping adalah terkait dosis pemupukan dimana petani sering kali berlebihan
dalam menetapkan dosis pemupukan dibandingkan dengan anjuran pupuk
berimbang. Berdasarkan diskusi dengan pimpinan Dinas Pertanian Kabupaten
Karawang dan Kota Metro diketahui bahwa kondisi ini akibat dari lemahnya tenaga
pendamping penyusun RDKK dalam memberikan arahan dan pendampingan kepada
petani tentang dosisi pemupukan berimbang. Selain itu, lemahnya petugas dinas
kabupaten/kota dalam memperhitungkan intensitas tanam juga memperburuk
kualitas perencanaan kebutuhan pupuk bersubsidi. Petugas sering kali
menyamaratakan kebutuhan pupuk bersubsidi untuk lahan sawah yang memiliki
intensitas tanam dua kali dalam setahun dengan yang memiliki intensitas tanam tiga
kali dalam setahun.
Lambatnya penetapan RDKK di tingkat petani yang mengakibatkan telatnya
rekapitulasi RDKK di tingkat kabupaten/kota, dosis pemupukan yang berlebihan yang
digunakan dalam penyusunan RDKK, dan lemahnya petugas pendamping dalam
memperhitungkan kebutuhan pupuk, mengakibatkan kekurangan pupuk di tingkat
pengecer. Kekurangan pupuk bersubsidi di tingkat pengecer direspon oleh pedagang
pengecer dengan meminta tambahan pupuk kepada distributor. Tambahan pupuk
diberikan oleh distributor dari jatah pupuk pada bulan-bulan mendatang. Situasi ini
jika terakumulasi pada beberapa bulan, ditambah dengan proses realokasi pupuk
antar kabupaten yang tidak sederhana, maka sangat berpotensi terjadinya
kelangkaan pupuk di akhir tahun.
Dengan permasalahan-permasalahan yang kompleks tersebut, solusi yang
bisa dilakukan adalah memperbaiki kualitas RDKK baik dalam hal jumlah yang
dibutuhkan maupun waktu penyusunan. Dinas kabupaten/kota perlu memperkuat
petugas pendamping kelompok tani dengan ilmu dan wawasan yang cukup
mengingat fakta yang ada terungkap dari diskusi di tingkat kabupaten bahwa
petugas yang ada sebagian besar bukan berasal dari latar pendidikan pertanian.
Diharapkan dengan ilmu dan wawasan yang cukup tertutama tentang aspek
15
budidaya dan usahatani diharapkan petugas lebih mampu dalam mengarahkan
petani dalam menentukan jumlah pupuk yang dibutuhkan.
Pada aspek waktu penyusunan, penetapan rekap RDKK di tingkat
kabupaten/kota perlu dipercepat agar RDKK bisa menjadi dasar dalam penentuan
alokasi pupuk bersubsidi. Sebagaimana kasus di Kota Metro, dimana penyusunan
RDKK untuk tahun anggaran 2016 sudah mulai disusun pada bulan Januari 2015.
Tergetnya pada tingkat kelompok tani RDKK sudah selesai disusun pada bulan
Januari 2015, lalu rekap di tingkat kecamatan maksimal bulan Maret 2015, dan
rekap di kabupaten maksimal bulan April 2015. Dengan demikian, ketika Keputusan
Gubernur terkait alokasi pupuk bersubsidi untuk setiap kabupaten/kota telah
ditetapkan, maka RDKK yang telah direkap di tingkat kabupaten/kota dapat menjadi
dasar dalam penetapan keputusan bupati/walikota untuk alokasi pupuk bersubsidi
per kecamatan.
3.4. Penyediaan Pupuk Bersubsidi
3.4.1. Tingkat Nasional
Pupuk merupakan barang yang mendapat pengawasan pada proses
pengadaan dan penyalurannya. Sebagai upaya pemerintah dalam peningkatan
produksi pangan, maka pupuk mendapatkan subsidi harga untuk kebutuhan
kelompok tani dan atau petani. Jenis pupuk yang mendapatkan subsidi harga
meliputi Urea, SP-36, ZA, NPK, dan pupuk Organik (Peraturan Menteri Perdagangan
No 15 Tahun 2013).
Perkembangan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi pada lima tahun terakhir
dapat dilihat pada Tabel 3. Total alokasi pupuk bersubsidi pada lima tahun terakhir
berfluktuasi dengan trend yang meningkat rata-rata sebesar 0,16% per tahun. Jenis
pupuk yang mengalami peningkatan alokasi signifikan adalah pupuk organik dengan
rata-rata peningkatan alokasi sebesar 10,61% per tahun. Sedangkan jenis pupuk
yang memiliki trend menurun adalah pupuk urea dengan penurunan rata-rata
sebesar 4,52% per tahun. Jenis pupuk lainnya seperti NPK, ZA, dan SP-36 juga
berfluktuasi dengan trend meningkat masing-masing sebesar 3,05%; 5,71%; dan
4,86%.
16
Tabel 3. Perkembangan Alokasi dan Produksi Pupuk Bersubsidi Tahun 2011-2014
Jenis Pupuk 2011 2012 2013 2014 20151) Rata-Rata
Pertumbuhan (%)
Alokasi (.000 Ton)2)
Urea 5.100 5.100 3.860 4.100 4.100 (4,52)
NPK 2.350 2.594 2.131 2.550 2.550 3,05
SP-36 750 1.000 805 850 850 4,86
ZA 850 1.000 1.075 1.050 1.050 5,71
Organik 704 835 739 1.000 1.000 10,61
Total 9.754 10.529 8.610 9.550 9.550 0,16
Produksi (.000 Ton)3)
Urea 6.474 6.907 6.698 6.690 7.118 2,49
NPK 2.125 2.894 2.528 2.810 2.894 9,42
SP-36 723 522 518 799 500 -2,94
ZA 963 812 827 1.011 790 -3,36
Organik 386 762 788 754 - -0,87
Total 10.671 11.897 11.359 12.064 11.302 1,71
Proporsi Produksi/Alokasi (%)
Urea 127 135 174 163 174
NPK 90 112 119 110 113
SP-36 96 52 64 94 59
ZA 113 81 77 96 75
Organik 55 91 107 75 -
Total 109 113 132 126 118 Sumber: 1) Rencana RKAP PT. PIHC 2) Permentan No. 22 Tahun 2011, 87 Tahun 2011, 123 Tahun 2013, 103 Tahun 2014, dan 130 Tahun 2014 3) Produksi PT. PIHC
Berdasarkan perkembangan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi tersebut
dapat diketahui arah kebijakan perpupukan yang dijalankan pemerintah. Paling tidak
terdapat dua hal penting yang dapat dijelaskan dari perkembangan tersebut.
Pertama, pemerintah menginginkan petani lebih banyak menggunakan pupuk
organik sebagai upaya untuk mengkonservasi lahan pertanian. Kedua, pemerintah
ingin mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk tunggal terutama pupuk
urea dan mengkompensasinya dengan pupuk majemuk NPK.
Berdasarkan Permendag No 15/2013 diketahui bahwa proses pengadaan dan
penyaluran pupuk bersubsidi ditugaskan kepada penyedia tunggal, dalam hal ini
adalah PT. Pupuk Indonesia (Persero) atau Pupuk Indonesia Holding Company
(PIHC). Perkembangan produksi pupuk PIHC dapat dilihat pada Tabel 3. Secara
umum perkembangan total produksi pupuk berfluktuasi selama lima tahun terakhir
17
dengan tren meningkat rata-rata sebesar 1,71% per tahun. Trend meningkat juga
ditunjukkan oleh perkembangan produksi pupuk urea, dan NPK yaitu masing-masing
sebesar 2,49% dan 9,42%. Trend perkembangan NPK yang meningkat tinggi
menggambarkan respon PIHC terhadap peningkatan alokasi kebutuhan NPK.
Berdasarkan Tabel 3 juga dapat diketahui bahwa proporsi produksi dan
alokasi untuk pupuk bersubsidi untuk beberapa jenis pupuk dibawah 100%, artinya
produksi pupuk masih lebih sedikit dibandingkan alokasi kebutuhan pupuk yang
diharapkan. Pupuk ZA merupakan jenis pupuk yang proporsinya terus menurun
setiap tahun. Sedangkan pupuk SP-36 dan pupuk organik proporsinya berfluktuasi
pada lima tahun terakhir. Perkembangan proporsi yang baik ditunjukkan jenis pupuk
urea dan NPK dimana terjadi peningkatan setiap tahunnya dengan tingkat proporsi
di atas 100%. Kedua pupuk urea dan NPK ini selain dialokasikan untuk kebutuhan
pupuk bersubsidi PIHC juga dipasarkan ke perusahaan perkebunan, industri, dan
ekspor.
Alokasi produksi pupuk untuk program pupuk bersubsidi dapat dilihat pada
Tabel 4. Pada tahun 2014, dengan total produksi sebesar 6.690 ribu ton pupuk urea,
pemerintah menetapkan kebutuhan untuk program pupuk bersubsidi sebesar 3.994
ribu ton (59,7%). Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan alokasi
kebutuhan pupuk bersubsidi berdasarkan RDKK yang disusun daerah. Kondisi yang
sama juga terjadi pada jenis pupuk lainnya dimana alokasi produksi pupuk untuk
pupuk bersubsidi yang ditetapkan Permentan lebih rendah dari kapasitas produksi
PIHC.
Tabel 4. Alokasi Produksi PT. PIHC untuk Pupuk Bersubsidi Tahun 2011 dan 2014
Pupuk
2011 2014
Volume Produksi
(.000 Ton)
Alokasi PSO Volume Produksi
(.000 Ton)
Alokasi PSO
Volume (.000 Ton)
Proporsi (%)
Volume (.000 Ton)
Proporsi (%)
Urea 6.474 4.585 70,82 6.690 3.994 59,7
NPK 2.125 1.762 82,92 2.810 2.374 84,48
SP-36 723 721 99,72 799 796 99,62
ZA 963 943 97,92 1.011 972 96,14
Organik 386 375 97,15 754 754 100 Sumber: PT. PIHC
18
Jumlah alokasi produksi pupuk yang ditetapkan pemerintah untuk program
pupuk bersubsidi lebih kecil dari RDKK yang disusun daerah secara berjenjang juga
terjadi sejak lima tahun yang lalu. Pada tahun 2011, alokasi produksi untuk pupuk
urea hanya sebesar 4.585 ton dari total kebutuhan sebesar 5.100 ton. Kondisi yang
sama juga terjadi pada jenis pupuk NPK, SP-36, dan pupuk organik dimana alokasi
produksi pupuk untuk program pupuk bersubsidi hanya meliputi berturut-turut
sebesar 74,98%; 96,13%; dan 53,27% dari total alokasi kebutuhan pupuk
bersubsidi.
3.4.2. Tingkat Provinsi
Alokasi penyediaan pupuk bersubsidi ditetapkan berjenjang dari mulai tingkat
nasional sampai dengan kecamatan. Pada tingkat nasional, kebutuhan pupuk
bersubsidi ditetapkan setiap tahun melalui Peraturan Menteri Pertanian yang dirinci
menjadi kebutuhan per provinsi. Sedangkan pada tingkat provinsi, kebutuhan pupuk
bersubsidi ditetapkan dengan keputusan gubernur yang dirinci menjadi kebutuhan
per kabupaten/kota. Begitupun untuk pada tingkat kabupaten/kota dimana alokasi
kebutuhan pupuk bersubsidi per kecamatan ditetapkan dengan keputusan
bupati/walikota.
Pada tahun 2015 total alokasi penyediaan pupuk bersubsidi nasional sebesar
9.544.780 ton. Jumlah tersebut dirinci menjadi sebesar 4.098.000 ton untuk pupuk
urea, 849.670 ton pupuk SP-36, 1.049.610 ton pupuk ZA, 2.548.000 ton pupuk NPK,
dan 999.500 ton pupuk organik. Secara lebih rinci alokasi penyediaan pupuk
bersubsidi per Provinsi tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 5.
Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi terutama diperuntukkan bagi provinsi
sentra produksi padi. Sebagian besar sentra produksi padi berada provinsi-provinsi di
Pulau Jawa. Total alokasi pupuk bersubsidi untuk provinsi di Pulau Jawa (kecuali DKI
Jakarta) sebesar 5.977.030 ton atau sebesar 62,62% dari total alokasi kebutuhan
pupuk bersubsidi.
Di provinsi sentra produksi padi di luar Pulau Jawa, total alokasi kebutuhan
pupuk bersubsidi untuk Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung,
Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat adalah sebesar 1.992.900 ton atau
sebesar 20,88% dari total alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi. Pada sentra produksi
19
padi urutan berikutnya, yaitu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat,
Bali, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat adalah sebesar 733.470 ton atau
sebesar 7,68% dari total alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi.
Tabel 5. Alokasi Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2015
Provinsi Jenis Pupuk (Ton)
Total Urea SP-36 ZA NPK Organik
ACEH 71.000 21.000 11.000 50.000 21.400 174.400
SUMUT 164.000 48.050 52.000 135.000 35.000 434.050
SUMBAR 70.000 25.500 21.000 61.000 23.000 200.500
JAMBI 26.000 18.800 8.100 50.000 8.180 111.080
RIAU 37.000 14.000 12.000 53.000 10.000 126.000
BENGKULU 22.000 8.000 6.100 32.500 7.000 75.600
SUMSEL 161.700 40.000 9.000 114.550 21.200 346.450
BABEL 18.000 4.000 2.500 19.000 6.000 49.500
LAMPUNG 250.000 46.000 21.100 141.000 26.000 484.100
KEPRI 100 50 50 200 100 500
DKI 300 90 40 150 100 680
BANTEN 62.000 22.000 2.100 28.000 8.000 122.100
JABAR 583.200 150.000 71.000 331.600 59.000 1.194.800
DIY 40.000 4.350 9.320 25.000 14.500 93.170
JATENG 830.000 164.000 232.300 427.000 258.000 1.911.300
JATIM 1.052.460 163.000 471.200 599.000 370.000 2.655.660
BALI 45.000 2.500 8.500 23.300 25.000 104.300
KALBAR 35.500 14.000 5.500 74.900 23.000 152.900
KALTENG 18.000 5.000 2.200 27.300 4.000 56.500
KALSEL 40.870 7.500 2.500 43.000 7.500 101.370
KALTIM 21.000 5.500 3.500 28.200 2.000 60.200
SULUT 19.000 4.700 600 13.000 1.900 39.200
GORONTALO 18.000 1.500 900 18.300 1.500 40.200
SULTENG 30.000 4.000 11.000 29.700 3.800 78.500
SULTRA 26.800 7.830 4.700 17.000 6.500 62.830
SULSEL 248.400 40.000 52.400 118.000 34.000 492.800
SULBAR 27.000 2.500 7.100 16.700 1.500 54.800
NTB 145.000 17.000 17.000 45.000 11.500 235.500
NTT 24.000 5.000 2.960 11.000 5.000 47.960
MALUKU 3.500 500 480 4.000 1.000 9.480
PAPUA 6.300 2.700 700 8.000 2.500 20.200
MALUT 670 200 500 2.000 1.000 4.370
PAPBAR 1.200 400 260 1.600 320 3.780
TOTAL 4.098.000 849.670 1.049.610 2.548.000 999.500 9.544.780 Sumber: Permentan No 130 Tahun 2014 Keterangan: - Pulau Jawa: Seluruh Provinsi di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta - Luar Pulau Jawa 1: Sentra Produksi Padi yaitu Provinsi Sumut, Sumsel, Lampung, Sulsel, NTB - Luar Pulau Jawa 2: NAD, Sumbar, Bali, Kalsel, Kalbar
20
Total alokasi penyediaan pupuk bersubsidi untuk provinsi sentra produksi padi
adalah sebesar 8.703.400 ton atau sebesar 91,18%. Sisanya sebanyak 841.380 ton
atau sebesar 8,82% dari total kebutuhan pupuk bersubsid tersebar di 11 provinsi
lainnya. Mengacu kepada Nawa Cita yang di rencanakan Presiden Joko Widodo
dimana direncanakan 1 juta hektar lahan sawah baru pada rentang waktu 2015-
2019, maka perencanaan alokasi penyediaan pupuk bersubsidi juga harus
mempertimbangkan rencana perluasan tersebut. Pada tahun 2016 akan dilakukan
perluasan 200.000 hektar lahan sawah baru di wilayah Indonesia bagian timur
seperti di Kabupaten Kepulauan Aru dan Kabupaten Merauke (Biro Perencanaan
Kementan, 2015), karenanya alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2016 harus
memperhatikan wilayah-wilayah tersebut.
3.5. Kebutuhan, Usulan, Alokasi, Penyediaan dan Realisasi Pupuk Bersubsidi
3.5.1. Kebutuhan, Usulan, dan Alokasi Pupuk Bersubsidi
Pupuk bersubsidi diperuntukan bagi petani yang memiliki luasan lahan kurang
dari dua hektar. Secara nasional petani dengan kategori tersebut berjumlah 26,14
juta petani yang sebagian besar tergabung dalam kelompok tani. Jumlah kelompok
tani yang mengajukan RDKK dan berhak menerima pupuk bersubsidi adalah 318.396
kelompok. Meskipun petani dipersyaratkan untuk tergabung ke dalam kelompok,
fakta di lapangan masih ada petani yang tidak mau bergabung dengan kelompok
tani. Kasus di Kota Metro petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani juga
menginginkan untuk membeli pupuk bersubsidi ketika pupuk non subsidi sulit
didapat. Dengan demikian, bergabungnya petani dalam kelompok tani selain
menguntungkan petani dalam hal subsidi harga, juga lebih menjamin petani dalam
mendapatkan pupuk.
Petani dengan luasan lahan kurang dari dua hektar terbagi ke dalam lima
subsektor pertanian yang mendapat jatah alokasi pupuk bersubsidi. Kelima
subsektor tersebut adalah subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
peternakan, dan perikanan budidaya. Semua jenis komoditas yang diusahakan
petani yang tergabung ke dalam lima subsektor tersebut berhak mendapatkan
pupuk bersubsidi dengan syarat petani yang bersangkutan tergabung ke dalam
kelompok dan mengajukan RDKK. Dengan demikian, kebutuhan potensial pupuk
21
bersubsidi dapat dihitung dengan mengetahui luasan lahan dari masing-masing
subsektor tersebut.
Total luas lahan petani subsektor tanaman pangan adalah 20,14 juta hektare,
artinya secara teknis kebutuhan pupuk bersubsidi dapat dihitung dari perkalian luas
tersebut dengan dosis pemupukan anjuran. Dengan demikian, kebutuhan teknis
pupuk bersubsidi untuk subsektor tanaman pangan sebanyak 18,27 juta ton.
Begitupun selanjutnya untuk menghitung kebutuhan teknis pupuk bersubsidi pada
subsektor lainnya. Subsektor hortikultura dengan total luas lahan 2,05 juta hektare
maka kebutuhan teknisnya adalah 5,87 juta ton, kebutuhan teknis subsektor
perkebunan dengan luasan 16,79 juta hektare sebanyak 14,97 juta ton, kebutuhan
teknis subsektor peternakan 0,06 juta ton dengan luas 0,38 juta hektare, dan
kebutuhan teknis subsektor perikanan budidaya sebanyak 2,01 juta ton dengan luas
1,02 juta hektare.
Secara umum kebutuhan teknis pupuk bersubsidi lebih tinggi daripada usulan
daerah, dan usulan daerah lebih tinggi daripada alokasi yang ditetapkan dalam
Permentan. Kebutuhan pupuk bersubsidi yang diusulkan daerah merupakan rekap
RDKK yang disusun berjenjang dari mulai tingkat kelompok tani hingga pr