YOU ARE DOWNLOADING DOCUMENT

Please tick the box to continue:

Transcript
  • AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF

    KEONG IPONG-IPONG (Fasciolaria salmo)

    AZWIN APRIANDI

    DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2011

  • RINGKASAN

    AZWIN APRIANDI. C34070081. Aktivitas Antioksidan dan Komponen

    Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo). Dibimbing oleh

    NURJANAH dan ASADATUN ABDULLAH.

    Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) merupakan salah satu jenis

    Gastropoda air laut. Sebagai Gastropoda air laut, sampai saat ini keong ipong-

    ipong hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Masyarakat meyakini bahwa

    keong ipong-ipong ini bermanfaat untuk meningkatkan stamina tubuh dan

    vitalitas. Akan tetapi fakta ilmiah yang mendukung manfaat dari keong tersebut

    belum ada. Sehingga perlu dilakukan pengkajian atau penelitian mengenai

    komponen bioaktif yang terkandung pada keong ipong-ipong, yang mungkin

    memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Pengkajian ini dilakukan sebagai salah

    satu langkah untuk mengetahui pamanfaatan keong ipong-ipong dimasa

    mendatang.

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, kandungan

    zat gizi (air, lemak, protein, abu dan abu tidak larut asam), aktivitas antioksidan

    dan komponen bioaktif yang terkandung dalam keong ipong-ipong. Pengujian

    yang digunakan meliputi analisis proksimat, uji kuantitatif aktivitas antioksidan

    dengan metode DPPH, dan uji fitokimia.

    Keong ipong-ipong pada penelitian ini berasal dari Desa Gebang, Kota

    Cirebon, Jawa Barat. Rendemen cangkang, isi dan jeroan keong ipong-ipong

    berturut-turut sebesar 69,69%, 22,08% dan 8,22%, sangat potensial dan ekonomis

    untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Keong ipong-ipong mengandung air sebesar

    73,07%, protein sebesar 18,28%, lemak sebesar 0,57%, abu sebesar 2,77%,

    abu tidak larut asam sebesar 0,15% dan karbohidrat sebesar 5,2%.

    Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas

    antioksidan yang terlihat dari nilai IC50 yang diperoleh. Nilai IC50 dari ekstrak

    kloroform daging dan jeroan sebesar 9210 ppm dan 2825 ppm, ekstrak etil asetat

    nya sebesar 6825 ppm dan 4600 ppm dan ekstrak metanolnya sebesar 1513,8 ppm

    dan 994,47 ppm. Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong ini

    mengandung 6 dari 9 komponen bioaktif yang diuji dengan metode fitokimia,

    antara lain alkaloid, steroid, karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino

    bebas. Komponen-komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak aktivitas

    fisiologis yang positif bagi kesehatan tubuh manusia. Salah satunya adalah

    kandungan steroid pada keong ipong-ipong. Hal ini membuktikan manfaat dari

    keong tersebut secara empiris yang dipercayai dapat meningkatkan stamina tubuh

    serta vitalitas.

  • AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF

    KEONG IPONG-IPONG (Fasciolaria salmo)

    AZWIN APRIANDI

    C34070081

    Skripsi

    Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan

    di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    Institut Pertanian Bogor

    DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2011

  • Judul : AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN

    BIOAKTIF KEONG IPONG-IPONG

    (Fasciolaria salmo)

    Nama : Azwin Apriandi

    NRP : C34070081

    Departemen : Teknologi Hasil Perairan

    Menyetujui,

    Dosen Pembimbing I Dosen Pemimbing II

    Dr. Ir. Nurjanah, MS Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M.

    NIP.1959 1013 1986 01 2 002 NIP. 1983 0405 2005 01 2 001

    Mengetahui,

    Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc

    NIP.19610410 198601 1 002

    Tanggal Lulus : 17 FEBRUARI 2011

  • PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul Aktivitas

    Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo)

    adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

    perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

    yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

    dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

    Bogor, September 2010

    Azwin Apriandi

    C34070081

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

    berkat, rahmat dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat meyelesaikan

    penyusunan skripsi ini dengan baik.

    Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar

    Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi

    hasil penelitian ini berjudul Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada

    Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo).

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

    membantu penulis selama penyusunan skripsi ini , terutama kepada:

    1. Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M. selaku

    dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan

    yang telah diberikan kepada penulis.

    2. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi

    Hasil Perairan.

    3. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi

    Departemen Teknologi Hasil Perairan, yang telah banyak membantu

    penulis selama proses penyusunan skripsi.

    4. Pak Haris Fadillah selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun,

    yang telah memberikan motivasi serta dukungannya kepada penulis.

    5. Keluarga terutama Bapak, ibu dan Adik yang telah memberikan semangat,

    materil dan doanya, serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

    ini.

    6. Novi Winarti yang telah memberi semangat dan motivasi kepada penulis

    selama menyelesaikan skripsi ini.

    7. Teman-teman THP 44, 43, 42 yang telah banyak memberikan masukan

    dan informasi-informasi penting pada penulis sehingga skripsi ini dapat

    terselesaikan.

    8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak

    dapat disebutkan satu persatu.

  • Penulis menyadari bahwa masih banyak banyak kekurangan dalam

    penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

    membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga

    tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

    Bogor, September 2010

    Azwin Apriandi

    C34070081

  • DAFTAR RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Kepulauan Riau pada tanggal

    2 April 1990 sebagai anak pertama dari dua bersaudara

    pasangan Darwin dan Azizah, S.Pd.I.

    Penulis memulai jenjang pendidikan formal di

    MI Baitul Mubin Alai Kecamatan Kundur (tahun 1995-

    2001), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya

    di MTsN Tanjungbatu Kundur (tahun 2001-2004),

    pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Kundur dan lulus pada

    tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis memperoleh Beasiswa Utusan Daerah

    (BUD) untuk melanjutkan pendidikan kuliah ke Institut Pertanian Bogor.

    Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi

    kemahasiswaan, seperti Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan sebagai

    anggota divisi peduli pangan. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata

    kuliah Biokimia Hasil Perairan 2009-2010 dan 2010-2011, asisten praktikum mata

    kuliah Biotoksikologi Hasil perairan 2010-2011, asisten mata kuliah Teknologi

    Pengolahan Hasil Perairan 2010-2011 dan koordinator asisten mata kuliah

    Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan 2010-2011

    Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan

    penelitian yang berjudul Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif

    Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo) di bawah bimbingan

    Dr. Ir. Nurjanah, MS. dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M.

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR ISI .. vii

    DAFTAR TABEL ..... ix

    DAFTAR GAMBAR x

    DAFTAR LAMPIRAN xi

    1 PENDAHULUAN..... 1

    1.1 LatarBelakang ..... 1

    1.2 Tujuan .. 2

    2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

    2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Ipong-ipong

    (Fasciolaria salmo). 3

    2.2 Antioksidan ............. 4 2.2.1 Fungsi antioksidan.. 5 2.2.2 Jenis-jenis antioksidan ....... 6 2.2.1.1 Antioksidan sintetik... 6 2.2.1.2 Antioksidan alami...... 7

    2.3 Uji Aktivitas Antioksidan ......... 8

    2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif...... 9

    2.5 Metabolit Sekunder....... 11

    2.6 Analisis Fitokimia..... 11 2.6.1 Alkaloid ..... 12 2.6.2 Steroid/triterpenoid ... 13 2.6.3 Flavonoid .. 14 2.6.4 Saponin . 14 2.6.5 Fenolhidrokuinon ..... 15 2.6.6 Karbohidrat ... 16 2.6.7 Gulapereduksi .. 16 2.6.8 Peptida .. 17 2.6.9 Asam amino ... 17

    3 METODOLOGI........ 19

    3.1 Waktu dan Tempat ....... 19

    3.2 Bahan dan Alat ............ 19

    3.3 Metode Penelitian .... 20 3.3.1 Pengambilan dan preparasi bahan baku............. 20 3.3.2 Analisis proksimat ......... 21

  • 1) Analisis kadar air (AOAC 2005) . 21 2) Analisis kadar abu (AOAC 2005) 21 3) Analisis kadar protein (AOAC 1980) .. 22 4) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) 22 5) Analisis kadar abu tidak larut asam menurut

    SNI 01-3836-2000 (BSN 2000) 23 3.3.3 Analisis antioksidan dengan metode DPPH........... 23

    1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988dalam

    Darusman et al.1995).. 23 2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958 dalam

    Hanani et al. 2005) . 26 3.3.4 Uji fitokimia (Harborne 1984) .. 27

    4 HASIL DAN PEMBAHASAN.... 30

    4.1 Karakteristik Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo) 30 4.1.1 Rendemen . 31 4.1.2 Komposisi kimia . 32

    1) Kadar air .. 33 2) Kadar lemak 34 3) Kadar protein .. 35 4) Kadar abu 35 5) Kadar abu tidak larut asam . 36 6) Kadar karbohidrat ... 37

    4.2 Ekstraksi Komponen Bioaktif pada Keong Ipong-Ipong .... 37

    4.2.1 Ekstrak kasar . 38 4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar . 40

    1) Alkaloid ... 41 2) Steroid . 43 3) Karbohidrat . 44 4) Gula pereduksi . 46 5) Peptida .. 46 6) Asam amino . 47

    4.3 Aktivitas Antioksidan .. 48

    5 KESIMPULAN DAN SARAN 56

    5.1 Kesimpulan .. 56

    5.2 Saran . 56

    DAFTAR PUSTAKA 57

    LAMPIRAN... 62

  • DAFTAR TABEL

    Nomor Teks Halaman

    1. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan operkulum keong ipong-ipong. 30

    2. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong ipong-ipong.. 40

    3. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT... 50

    4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)... 50

    5. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar jeroan keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)... 51

  • DAFTAR GAMBAR

    Nomor Teks Halaman

    1. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo).. 3

    2. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida 6

    3. Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine .. 9

    4. Struktur alkaloid ... 12

    5. Struktur steroid ..... 13

    6. Struktur umum saponin..... 15

    7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo).. 26

    8. Keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang Cirebon.. 30

    9. Rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan) keong ipong-ipong... 31

    10. Hasil uji proksimat keong ipong-ipong (n=2)..... 33

    11. Rendemen ekstrak kasar keong ipong-ipong ..... 38

    12. Garfik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya... 51

    13. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar daging keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya... 52

    14. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar jeroan keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya... 52

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Nomor Halaman

    1. Bentuk cangkang keong ipong-ipong. ........ 63

    2. Perhitungan rendemen keong ipong-ipong . 63

    3. Perhitungan analisis proksimat ....... 63

    4. Data ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong.. 65

    5. Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya ...... 66

    6. Perubahan warna yang mengindikasikan reaksi perdaman DPPH 68

    7. Perhitungan persen inhibisi dan IC50... 68

    8. Gambar hasil uji fitokimia ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong...... 70

    9. Gambar-gambar selama proses ekstraksi....... 71

  • 1 PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Semakin majunya zaman menyebabkan semakin tingginya tuntutan

    terhadap aktivitas dunia kerja. Kondisi ini akan memaksa masyarakat untuk

    berpindah kepada hal-hal yang bersifat instant termasuk pola makannya. Makanan

    instant dapat mengandung xenobiotik (pengawet, zat warna, penyedap rasa,

    pestisida, logam berat atau zat kimia lain) yang beresiko akumulasi jangka

    panjang. Xenobiotik dapat menjadi radikal bebas di dalam tubuh manusia.

    Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa reaktif, yang secara

    umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan

    di kulit terluarnya (winarsi 2007). Adanya radikal bebas di dalam tubuh manusia

    dapat menimbulkan berbagai penyakit yaitu serangan jantung, kanker, stroke,

    gagal ginjal, penuaan dini, dan penyakit kronik lainnya (Prasad et al. 2009;

    Saha et al. 2008). radikal bebas dapat ditangkal atau diredam dengan pemberian

    antioksidan atau dengan mengkonsumsi antioksidan (Salimi 2005; Halliwell 2007;

    Kubola & Siriamornpun 2008; Mohsen & Ammar 2009). Antioksidan adalah

    senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada

    radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam (Sunardi 2007).

    Konsumsi antioksidan dalam jumlah memadai dapat menurunkan resiko terkena

    penyakit degeneratif yaitu kardiovaskuler, kanker, aterosklerosis, dan lain-lain.

    Antioksidan terdapat secara alami dalam hampir semua bahan pangan, baik yang

    berasal dari daratan maupun perairan. Bahan pangan yang berasal dari perairan

    contohnya kelas Gastropoda, banyak mengandung komponen-komponen

    antioksidan. Adapun jenis-jenis Gastropoda yang telah diteliti dan mengandung

    antioksidan antara lain, Lobiger serradifalci dan Oxynoe olivacea (Cavas 2004)

    Viviparus ater (Campanella et al. 2005), lintah laut (Discodoris sp.) (Andriani

    2009; Nurjanah 2009), keong mata merah (Cerithedia obtusa) (Prabowo 2009),

    keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) (Susanto 2010), Keong papaya

    (Melo sp.) (Tias 2010), Lymnaea stagnalis (Vorontsova et al. 2010), adalagi jenis

    Pleuroploca trapezium (Anand et al. 2010). dan lain sebagainya. Selain

  • mengandung antioksidan, Gastropoda juga mengandung berbagai macam

    komponen bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Komponen-

    komponen biaoktif tersebut seperti jenis alkaloid, steroid, flavonoid, saponin,

    fenol hidrokuinon, dan lain sebagainya (Harborne 1987).

    Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) merupakan salah satu jenis

    Gastropoda air laut yang pemanfaatannya belum begitu banyak. Secara empiris

    keong ipong-ipong dipercayai dapat meningkatkan stamina tubuh serta vitalitas.

    Akan tetapi data-data ilmiah yang mendukung khasiat dari keong tersebut belum

    ada. Sehingga perlu dilakukan pengkajian mengenai komponen bioaktif yang

    terkandung di dalam tubuh keong ipong-ipong. Komponen-komponen bioaktif

    tersebut diharapkan memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Pengkajian ini

    bermanfaat untuk mengetahui pemanfaatan dari keong ipong-ipong dimasa yang

    akan datang.

    1.2 Tujuan

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, kandungan

    zat gizi (air, lemak, protein, abu, abu tidak larut asam, dan karbohidrat), aktivitas

    antioksidan dan komponen bioaktif yang terkandung dalam keong ipong-ipong

    (Fasciolaria salmo) dari Cirebon, Jawa Barat.

  • 2 TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

    Keong ipong-ipong merupakan salah satu spesies dari kelas Gastropoda,

    dan merupakan kelompok Moluska. Moluska merupakan filum yang paling

    berhasil menduduki berbagai habitat. Terdapat lebih dari 60.000 spesies hidup dan

    15.000 spesies fosil. Hidup sejak periode Cambrian, dan diduga sampai sekarang

    sedang puncak perkembangan evolusinya (Suwignyo et al. 2005). Berikut dapat

    kita lihat kalisifikasi toksonomis dari keong ipong-ipong menurut Dance (1977).

    Filum : Moluska

    Kelas : Gastropoda

    Ordo : Neogastropoda

    Famili : Fasciolariidae

    Genus : Fasciolaria

    Spesies : Fasciolaria salmo.

    Bentuk morfologi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 1.

    Gambar 1. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

    Moluska memiliki keragaman yang sangat besar, hal ini dapat dilihat dari struktur

    dan habitatnya. Komoditas ini menempati semua lingkungan laut, mulai dari tepi

    laut berbatu yang merupakan daerah deburan ombak sampai ke hydrothermal vent

    di laut dalam (Castro dan Huber 2007). Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

    merupakan salah satu spesies dari kelas gastropoda yang memiliki bentuk

    cangkang seperti kerucut dari tabung yang melingkar seperti konde (gelung,

  • worl). Puncak kerucut merupakan bagian yang tertua yang disebut apex, terdapat

    bulu-bulu kecil sekeliling cangkang dan memiliki warna kuning kehijauan.

    Cangkang dari keong terdiri dari 4 lapisan. Lapisan paling luar adalah

    periostrakum, yang merupakan lapisan tipis terdiri dari bahan protein seperti zat

    tanduk, disebut conchiolin atau conchin. Lapisan ini terdapat endapan pigmen

    beraneka warna, yang menjadikan banyak cangkang siput terutama spesies laut

    termasuk keong ipong-ipong ini yang memiliki warna sangat indah, kuning, hijau

    cemerlang dengan bercak-bercak merah atau garis-garis cerah. Periostrakum

    berfungsi untuk melindungi lapisan di bawahnya yang terdiri dari kalsium

    karbonat terhadap erosi. Lapisan kalsium karbonat terdiri dari 3 lapisan atau lebih,

    yang terluar adalah prismatik atau palisade, lapisan tengah atau lamella dan paling

    dalam adalah lapisan nacre atau hypostracum (Suwignyo et al. 2005).

    Keong ipong-ipong merupakan kelas Gastropoda yang hidup di laut.

    Gastropoda yang hidup di laut dapat dijumpai di berbagai jenis lingkungan dan

    bentuknya telah beradaptasi dengan lingkungannya tersebut (Nontji 1987). Di laut

    dalam gastropoda dapat hidup sampai pada kedalaman 5000 meter

    (Plaziat 1984). Barnes (1987) menyebutkan beberapa jenis dari gastropoda hidup

    menempel pada subtrat yang keras, akan tetapi ada juga yang hidup di subtrat

    seperti pasir dan lumpur. Gastropoda juga dapat hidup di zona litoral, daerah

    pasang surut dengan menempel pada terumbu karang, laut dalam maupun dangkal

    bahkan ada yang hidup di air tawar (Berry 1972). Dilingkungan laut gastropoda

    dapat ditemukan di daerah benthik, antara bebatuan dan pada subtrat lunak

    (lumpur).

    2.2 Antioksidan

    Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,

    membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen

    dan nitrogen reaktif (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Antioksidan mempunyai peran

    berupa penghambatan proses aterosklerosis, yaitu merupakan komplikasi dari

    penyakit diabetes mellitus yang sangat berperan untuk terjadinya penyakit jantung

    koroner (Musthafa et al. 2000). Rohman dan Riyanto (2005) menyatakan bahwa

    antioksidan adalah sebagai senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal bebas

    dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit karsinogenis, kardiovaskuler dan

  • penuaan. Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak memiliki sistem

    pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi paparan radikal

    berlebihan, maka tubuh akan membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari

    luar) (Wiji dan Sugrani 2009).

    2.2.1 Fungsi antioksidan

    Fungsi utama antioksidan yaitu dapat digunakan sebagi upaya untuk

    memperkecil tejadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil

    terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian

    dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam

    makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo dan

    Sunardi 2007). Antioksidan juga dapat menetralkan radikal bebas, seperti enzim

    SOD (Superosida Dismutase), gluthatione, dan katalase. Antioksidan dapat

    diperoleh dari asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E

    dan berkaroten serta senyawa fenolik (Prakasih 2001; Frei 1994; Trevor 1995

    diacu dalam Andayani et al. 2008). Musthafa dan Lawrence (2000) menambahkan

    bahwa antioksidan juga pada akhirnya berfungsi untuk menetralisir atau meredam

    dampak negatif dari radikal bebas.

    Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi.

    Fungsi utama antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan

    disingkat (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai

    antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat

    ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara

    turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding

    radikal bebas. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder, yaitu memperlambat laju

    autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai

    autooksidasi dengan pengubahan radikal bebas kebentuk lebih stabil

    (Gordon 1990).

    Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah dapat

    menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi. Penambahan tersebut dapat

    menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 2).

    Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif

    stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul

  • tertentu membentuk radikal bebas baru (Gordon 1990). Menurut

    Hamilton (1983), radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk

    produk non radikal dapat dilihat pada Gambar 2.

    Gambar 2. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal bebas (Sumber: Gordon 1990).

    Antioksidan juga dapat berperan dalam menekan prolifersi (perbanyakan)

    sel kanker, karena antioksidan berfungsi menutup jalur pembentukan sel ganas

    (blocking agent) (Trilaksani 2003). Selain itu antioksidan juga berperan sebagai

    agen antiaging yang melindungi kulit dari proses pengrusakan oleh paparan sinar

    matahari dan radikal bebas, yang dapat menimbulkan keriput dan penuaan pada

    kulit (Suryowinoto 2005).

    2.2.2 Jenis-jenis antioksidan

    Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya

    antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan

    yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami ( antioksidan

    hasil ekstraksi bahan alami).

    2.2.2.1 Antioksidan sintetik

    Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diizinkan penggunaan

    untuk makanan yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT),

    propil galat (PG), Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan

    tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk

    tujuan komersial (Buck 1991). Antioksidan BHA memiliki kemampuan

    antioksidan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari ketahanannya terhadap tahap-

    tahap pengelolaan maupun stabilitasnya pada produk akhir seperti lemak hewan

    yang digunakan dalam pemanggangan, akan tetapi BHA relatif tidak efektif jika

    ditambahkan pada minyak tanaman. Antioksidan BHA bersifat larut lemak dan

    tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih,

    bersifat volatil sehingga berguna untuk penambahan ke materi pengemas

    (Buck 1991; Coppen 1983).

    Inisiasi ; R* + AH --------------------------RH + A*

    Propagasi : ROO* + AH ------------------------- ROOH + A*

  • Antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, antioksidan ini akan

    memberi efek sinergis yang baik jika digunakan bersama antioksidan BHA.

    Antioksidan BHT berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara luas karena

    relatif murah. Antioksidan sintetik lainnya yaitu propil galat. Propil galat

    mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik

    cairnya 148C, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga

    kemampuan antioksidannya rendah. Selain itu, propil galat memiliki sifat

    berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta

    memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck 1991).

    Antioksidan TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak

    dan minyak, khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan

    antioksidan yang baik pada proses penggorengan tetapi rendah pada proses

    pembakaran. Jika antioksidan TBHQ digabungkan dengan antioksidan BHA,

    maka akan memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada proses

    pemanggangan dan akan memberikan manfaat yang lebih luas . antioksidan

    TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan

    cukup pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan

    Cu tetapi dapat berubah pink dengan adanya basa (Buck 1991).

    Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan hampir

    disetiap minyak tanaman. Akan tetapi saat ini tokoferol telah dapat diproduksi

    secara kimia. Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, larut

    dalam lipid karena rantai C panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari

    tokoferol belum diketahui, tetapi -tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E.

    Di dalam jaringan hidup, aktivitas antioksidan tokoferol cenderung

    ->->->-tokoferol, tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik

    ->->->-tokoferol (Belitz dan Grosch 1987). Urutan tersebut kadang bervariasi

    tergantung pada substrat dan kondisi-kondisi lain seperti suhu.

    2.2.2.2 Antioksidan Alami

    Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa

    antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa

    antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, senyawa

    antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan

  • sebagai bahan tambahan pangan (Pratt 1992). Menurut Pratt dan Hudson (1990),

    kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal

    dari tumbuhan.

    Menurut Pratt dan Hudson (1990) senyawa antioksidan alami umumnya

    adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan

    flavonoid,turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik

    polifungsional. Ditambahkan oleh Pratt (1992), golongan flavonoid yang memiliki

    aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan

    kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam

    klorogenat, dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah

    multifungsional dan dapat beraksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas,

    pengkelat logam, dan peredam terbentuknya singlet oksigen.

    2.3 Uji Aktivitas Antioksidan

    Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui

    melalui uji aktivitas antioksidan. Terdapat berbagai metode pengukuran aktivitas

    antioksidan. Pada prisipnya metode-metode tersebut digunakan untuk

    mengevaluasi adanya aktivitas penghambatan proses oksidasi oleh senyawa

    antioksidan yang terdapat dalam bahan pangan atau contoh ekstrak bahan alam

    (Setyaningsih 2003).

    Salah satu metode yang umum digunakan yaitu dengan menggunakan

    radikal bebas stabil diphenilpycrylhydrazil (DPPH). Metode ini, larutan DPPH

    yang berperan sebagai radikal bebas akan bereaksi dengan senyawa antioksidan,

    sehingga DPPH akan berubah menjadi diphenilpycrilhydrazine yang bersifat non-

    radikal yang tidak barbahaya sebagaimana dapat dilihat pada gambar 3. berikut.

    Meningkatnya jumlah diphenilpycrilhydrazine akan ditandai dengan berubahnya

    warna ungu pada larutan menjadi warna kuning pucat (Molyneux 2004).

    Gambar 3. Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine

  • Hasil dari metode DPPH umumnya dibuat dalam bentuk IC50 (Inhibitor

    Concentration 50), yang didefinisikan sebagai konsentrasi larutan substrat atau

    sampel yang akan menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin

    besar aktivitas antioksidan maka nilai IC50 akan semakin kecil.

    Molyneux (2004) menyatakan bahwa .Suatu senyawa antioksidan dinyatakan baik

    jika nilai IC50-nya semakin kecil.

    2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif

    Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak

    digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan

    baku. Ekstraksi dapat diartikan sebagai suatu proses penarikan komponen yang

    diinginkan dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga

    komponen yang diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Winarno et al. (1973),

    menambahkan ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa

    zat menjadi komponen-komponen yang terpisah. Proses ekstraksi bertujuan untuk

    mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung

    komponen-komponen aktif.

    Selama proses ekstraksi terdapat gaya yang bekerja akibat adanya

    perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan ekstraksi di luar

    sel. Bahan pelarut yang mengalir ke dalam ruang sel akan menyebabkan

    protoplasma membengkak dan bahan yang terkandung di dalam sel akan terlarut

    sesuai dengan kelarutannya (Voight 1994).

    Menurut Ansel (1989) dan Winarno et al. 1973, ekstraksi dapat dilakukan

    dengan dua cara yaitu aqueus phase dan organic phase. Cara aqueus phase

    dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase dilakukan

    dengan menggunakan pelarut organik. Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi

    dapat berlangsung bila terdapat kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa

    yang diekstrak dengan senyawa pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut

    yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi

    antara zat telarut dengan pelarut. Senyawa polar akan larut pada pelarut polar

    juga, begitu juga sebaliknya.

    Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah

    kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (seperti gugus OH, COOH,

  • dan lain sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut

    adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk

    diuapkan, dan harga (Harborne 1987). Harborne (1987) mengelompokkan metode

    ekstraksi menjadi dua, yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi

    sederhana terdiri atas:

    a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara meredam sampel dalam

    pelarut dengan atau tanpa pengadukan;

    b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;

    c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perklorasi digunakan untuk

    melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut;

    d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

    Ekstraksi khusus terdiri atas:

    a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk

    melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;

    b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana

    sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang

    berlawanan;

    c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang

    menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz

    2.5 Metabolit Sekunder

    Metabolit sekunder adalah suatu zat yang dibiosintesis terutama dari

    banyak metabolit-metabolit primer seperti asam amino, asetol koenzim-A, asam

    mevalonat, dan zat antara (Intermediate) dari alur shikimat (Shikimic acid)

    (Herbert 1995). Metabolit sekunder sangat bervariasi jumlah dan jenisnya dari

    setiap organisme. Beberapa dari senyawa tersebut telah diisolasi sebagian

    diantaranya memberikan efek fisiologis dan farmakologis yang lebih dikenal

    sebagai senyawa kimia aktif (Copriady et al. 2005).

    Makhluk hidup dapat menghasilkan bahan organik sekunder (metabolit

    sekunder) atau bahan alami melalui reaksi sekunder dari bahan organik primer

    (karbohidrat, lemak, protein). Bahan organik sekunder (metabolit sekunder) ini

    umumnya merupakan hasil akhir dari suatu proses metabolisme. Bahan ini

  • berperan juga pada proses fisiologi. Bahan organik sekunder itu dapat dibagi

    menjadi tiga kelompok besar yaitu : fenolik, alkaloid dan terpenoid, tetapi pigmen

    dan porfirin juga termasuk di dalamnya (Purwanti 2009).

    Zat metabolit sekunder memiliki banyak jenis, adapun jenis dari metabolit

    sekunder yang dapat kita ketahui antara lain kumarin (Copriandy et al. 2005),

    azadirachtin, salanin, meliatriol, nimbin (Samsudin 2008). Pemanfaatan dari zat

    metabolit sekunder sangat banyak.Metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai

    antioksidan, antibiotik, antikanker, antikoagulan darah, menghambat efek

    karsinogenik (Copriandy et al. 2005), selain itu metabolit sekunder juga dapat

    dimanfaatkan sebagai antiagen pengendali hama yang ramah lingkungan

    (Samsudin 2008).

    2.6 Analisis Fitokimia

    Analisis fitokimia adalah analisis yang mencangkup pada aneka ragam

    senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu

    mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya,

    penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya (Harborne 1987). Senyawa

    fitokimia bukanlah zat gizi , namun kehadirannya dalam tubuh dapat membuat

    tubuh lebih sehat, lebih kuat dan lebih bugar (Astawan dan Kasih 2008). Alasan

    melakukan analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif

    penyebab efek racun atau efek bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar

    bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987).

    2.6.1 Alkaloid

    Alkaloid pada umumnya mencangkup senyawa bersifat basa yang

    mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai

    bagian dari sistem siklik (Harborne 1987). Sirait (2007) menyatakan alkaloid

    adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk

    berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid biasanya tanpa warna,

    seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit

    yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Alkaloid merupakan

    turunan yang paling umum dari asam amino. Secara kimia, alkaloid merupakan

    suatu golongan heterogen. Secara fisik, alkaloid dipisahkan dari kandungan

  • tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai Kristal

    hidroklorida atau pikrat (Harborne 1987).

    Senyawa alkaloid dikelompokkan menjadi tiga antara lain, alkaloid

    sesungguhnya, protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah

    racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologis yang luas, hampir tanpa

    terkecuali bersifat basa, umumnya mengandung nitrogen dalam cincin

    heterosiklik, diturunkan dari asam amino, dan biasanya terdapat ditanaman

    sebagai garam asam organik. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif

    sederhana dimana di dalam nitrogen asam amino tidak terdapat cincin

    heterosiklik, dan diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat

    basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino, dan biasanya

    senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo 1996). Berikut struktur kimia dari

    alkaloid pada Gambar 4.

    Gambar 4. Struktur alkaloid (Sumber: Pulatova dan Khazanovich 1962)

    2.6.2 Steroid/Triterpenoid

    Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

    satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,

    yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa

    alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna,

    berbentuk Kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif (Harborne 1987).

    Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen

    sebenarnya, steroid, saponin, dan glokisida jantung (cardiac glycoside). Beberapa

    triterpen dikenal dengan rasanya, terutama rasa pahit (Sirait 2007).

    Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat

    diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, sehingga

    golongan senyawa ini cenderung tidak larut air (Wilson dan Gisvold 1982).

  • Adapun contohnya seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D.

    Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu

    lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan

    dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Hasil penelitian Silva et al. (2002)

    menunjukkan bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun Agave attenuata

    memiliki aktivitas anti-inflamasi, walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek

    hemolitik yang tidak diinginkan. Komponen steroid dapat meningkatkan aktivitas

    hemolitik karena steroid memiliki afinitas lebih tinggi dari kolesterol pada

    membran eritrosit. Struktur dari steroid dapat dilihat pada Gambar 5.

    Gambar 5. Struktur steroid (Sumber: Shaddack 2005)

    2.6.3 Flavonoid

    Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua

    inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki

    karakteristik bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B

    biasanya 4-,3,4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo 1996). Senyawa ini

    dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah

    ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol,

    oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak

    (Harborne 1987).

    Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu

    menunjukkan pita swrapan kuat pada daerah spectrum UV dan spectrum tampak.

    Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan

    aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-

  • mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sekitar

    sepuluh kelas flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon,

    glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon dan isoflavon (Harborne 1987)

    Flavonoid pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja

    antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson 1995). Adapun

    fungsi flavonoid dalam kehidupan manusia yaitu sebagai stimulant pada jantung,

    hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi berkerja

    sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait 2007).

    2.6.4 Saponin

    Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam

    lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula

    pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam

    air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat

    (Winarno 1997). Selain itu saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang

    menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering

    menyebabkan heomolisis sel darah merah (Robinson 1995). Sifatnya sebagai

    senyawa aktif permukaan disebabkan adanya kombinasi antara aglikon lipofilik

    dengan gula yang bersifat hidrofilik (Houghton dan Raman 1998). Banyak

    saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum

    ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap sewaktu

    mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti

    terpercaya akan adanaya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin

    karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Struktur saponin secara umum

    disajikan pada Gambat 6.

    Gambar 6. Struktur umum saponin (Sumber: Yamasaki 1999)

  • 2.6.5 Fenol Hidrokuinon

    Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan

    mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua

    gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar, selain itu

    juga terdapat fenol monosiklik sedarhana, fenilpropanoi, dan kuinon fenolik

    (Harborne 1987).

    Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti

    kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang

    berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan

    identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon,

    naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama

    biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo

    dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol

    tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Dengan demikian diperlukan

    hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987).

    Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit

    dalam air, tetapi umunya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan

    terdeteksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi

    yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa

    tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara.

    Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksidasi ulang

    dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut diudara (Harborne 1987).

    Antioksidan yang termasuk dalam golonhan ini biasanya mempunyai

    intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak bewarna dan banyak

    digunakan karena tidak beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian

    besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan

    sintesis, serta banyak digunakan dalam lemak atau bahan pangan berlemak.

    Beberapa contoh yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon gossypol,

    pyrogallol, catechol resorsinol dan eugenoli (Ketaren 1986).

    2.6.6 Karbohidrat

    Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan

    yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, klorofil tanaman

  • dengan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon dioksida (CO2)

    yang berasal dari udara dan air dari tanah. Proses fotosintesis menghasilkan

    karbohidrat sederhana glukosa dan oksigen yang dilepas di udara

    (Almatsier 2006).

    Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida,

    serta polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari

    lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10

    monosakarida, dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri

    lebih dari 10 monomer monosakarida (Winarno 2008). Karbohidrat mempunyai

    peran penting untuk mencegah pemecahan protein tubuh yang berlebihan,

    timbulnya ketosis, kehilangan mineral dan berguna untuk metabolisme lemak dan

    protein dalam tubuh (Budiyanto 2002).

    2.6.7 Gula pereduksi

    Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya

    gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada

    glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak

    mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat,

    sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus

    glukosanya (Winarno 2008).

    Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan

    Benedict dan Fehling (reduksi Cu2+

    menjadi Cu+) dan peraksi Tollens (reduksi

    Ag+

    menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk

    mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes

    (Pine et al. 1988) .

    Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida

    disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul

    karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat

    maupun analisis kuantitatif. Pereaksi Benedict berupa larutan yang mengandung

    kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion

    Cu2+

    menjadi Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O. adanya natrium

    karbohidrat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah.

    Endapan yang terbentuk dapat bewarna hijau, kuning atau merah bata. Warna

  • endapan ini tergantung pada konsentrasi karbohidrat yang diperiksa

    (Poedjiadi 1994).

    2.6.8 Peptida

    Dua asam amino berikatan melalui suatu ikatan peptide (-CONH-) dengan

    melepas sebuah molekul air. Reaksi keseimbangan ini cenderung untuk berjalan

    ke arah hidrolisis daripada sintesis. Pembentukan ikatan tersebut memerlukan

    banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis tidak memerlukan energi. Gugus

    karboksil suatu asam amino berkaitan dengan gugus amino dari molekul asam

    amino lain menghasilkan suatu dipeptida dengan melepaskan molekul air

    (Winarno 2008).

    2.6.9 Asam amino

    Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim akan

    dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah

    gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hydrogen dan gugus R yang

    terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon , serta gugus R

    merupakan rantai cabang. Semua asam amino berkonfigurasi dan mempunyai

    konfigurasi L kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam

    amino L yang merupakan komponen protein (Winarno 2008).

    Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, pI) berada dalam bentuk

    ion dipolar atau disebut juga ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugus

    amino mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi.

    Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH yang

    rendah misalnya pada pH 1.0 gugus karboksilatnya tidak terdisosiasi, sedang

    gugus aminonya menjadi ion. Pada pH tinggi misalnya pada pH 11.0 karboksilnya

    terdisosiasi sedang gugusan aminonya tidak (Winarno 1997).

    Ninhidrin adalah pereaksi yang digunakan secara luas untuk mengukur

    asam amino secara kuantitatif. Pereaksi itu bereaksi dengan hampir semua asam

    amino, menghasilkan senyawa bewarna lembayung (prolina memberikan warna

    kuning) (Pine et al. 1988).

  • 3 METODOLOGI

    3.1. Waktu dan Tempat

    Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2009 sampai April 2010.

    Sampel diambil di Desa Gebang, kota Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Proses

    preparasi sampel dan penghitungan rendemen dilakukan di Laboratorium

    Karakteristik Bahan Baku, analisis aktivitas antioksidan, pengukuran kadar abu

    dan abu tidak larut asam dan fitokimia dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi

    Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan

    Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kadar air, protein dan lemak

    dilaksanakan di Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, Pusat

    Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Proses evaporasi ekstrak

    dilakukan di Laboratorium Penelitian 1, Departemen Biokimia, Fakultas

    Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Identifikasi keong dilakukan di

    laboratorium Biologi Mikro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,

    Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

    3.2. Bahan dan Alat

    Bahan utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah keong ipong-

    ipong (Fasciolaria salmo). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis

    proksimat meliputi akuades, kjeltab jenis selenium, larutan H2SO4 p.a. pekat,

    asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl

    red (1:2) berwarna merah muda, larutan HCl 0.1 N, pelarut lemak (n-heksana p.a),

    larutan HCl 10%, larutan AgNO3 0.10 N, dan akuades. Bahan-bahan yang

    dibutuhkan untuk uji aktivitas antioksidan, yaitu ekstrak keong ipong-ipong,

    kristal 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), metanol, antioksidan sintetik BHT

    (Butylated Hydroxytoluena) sebagai pembanding dan es. Bahan-bahan yang

    dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner, pereaksi Meyer,

    pereaksi Dragendroff (uji alkaloid), kloroform, anhidra asetat, asam sulfat pekat

    (uji steroid), serbuk magnesium, amil alkohol (uji flavonoid), air panas, larutan

    HCl 2 N (uji saponin), etanol 70%, larutan FeCl3 5% (uji fenol hidrokuinon),

    peraksi Molisch, asam sulfat pekat (uji Molisch), pereaksi Benedict (uji Benedict),

    pereaksi Biuret (uji Biuret), dan larutan Ninhidrin 0.1% (uji Ninhidrin). Alat-alat

  • yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi pisau, sudip, cawan porselen,

    timbangan digital, aluminium foil, gegep, desikator, oven, kompor listrik, tanur

    pengabuan, kertas saring Whatman bebas abu dan bebas lemak, kapas bebas

    lemak, labu lemak, tabung Soxhlet, penangas air, labu Kjeldahl, destilator, labu

    Erlenmeyer, buret, pipet volumetrik, pipet mikro, gelas ukur, grinder,

    homogenizer, sentrifuse, vacuum evaporator, corong terpisah, botol vial, gelas

    piala, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800, pipet tetes,

    tabung reaksi, vortex, sendok plastik dan gelas piala.

    3.3. Metode Penelitian

    Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan pengambilan

    sampel, tahapan perhitungan rendeman, tahap analisis kimia keong ipong-ipong

    berupa analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu, dan abu tidak larut

    asam), tahap pembuatan ekstrak kasar keong ipong-ipong, uji kuantitatif aktivitas

    antioksidan dan uji fitokimia

    3.3.1. Pengambilan dan preparasi bahan baku

    Pengambilan sampel keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) dilakukan di

    pantai kota Cirebon, provinsi Jawa Barat . Pengambilan sampel dilakukan dengan

    mengambil keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) pada subtrat lumpur yang

    ditempati keong tersebut. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) tersebut

    kemudian dimasukan dalam wadah berisi air laut perairan tempat hidupnya. Hal

    ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup keong ipong-ipong selama

    proses transportasi ke laboratorium karakteristik bahan baku di Institut Pertanian

    Bogor. Setelah sampel diperoleh, dilakukan penentuan ukuran dan berat rata-rata

    dari 30 ekor keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) secara acak. Kemudian

    sampel dihitung rendemennya (cangkang dan daging) dengan rumus:

    Daging-daging keong ipong-ipong yang telah dipisahkan dari

    cangkangnya, dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan daging

    dalam bentuk segar yang akan diuji kadar air, abu, lemak, protein, dan abu larut

    asam. Bagian kedua merupakan daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

    Rendemen (%) = (Bobot contoh (g)/Bobot total (g)) x 100%

  • dan jeroan yang akan dikeringkan dan nantinya akan diekstrak untuk diuji

    aktivitas antioksidannya dan fitokimia.

    3.3.2. Analisis proksimat (AOAC 2005)

    Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk

    memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar

    air, abu, lemak, protein dan abu larut asam.

    1) Analisis kadar air (AOAC 2005)

    Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah

    mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam.

    Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan

    dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali

    hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan

    tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau

    hingga beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut

    dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya

    ditimbang kembali.

    Perhitungan kadar air :

    % Kadar air = B - C x 100%

    B - A

    Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)

    B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)

    C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)

    2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

    Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu

    105 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang

    hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke

    dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak

    berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu

    600 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.

    Kadar abu ditentukan dengan rumus:

    % Kadar abu = C - A x 100%

    B - A

  • Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (gram)

    B = Berat cawan dengan sampel (gram)

    C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

    3) Analisis kadar protein (AOAC 1980)

    Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap

    yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan

    metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian

    dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium

    dan 3 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410oC selama kurang lebih

    1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu

    Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%, kemudian dilakukan

    proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam

    labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2% dan

    2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda.

    Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka

    proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi

    perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko

    dianalisis seperti contoh.

    Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

    % N = (ml HCl ml blanko) x N HCl x 14,007 x 100% Mg contoh x faktor koreksi alat *

    *) Faktor koreksi alat = 2,5

    % Kadar protein = % N x faktor konversi *

    *) Faktor Konversi = 6,25

    4) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

    Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada

    kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya

    dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus

    dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan

    disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam

    ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (benzena).

    Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu

  • lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi

    pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak

    kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven

    pada suhu 105oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya

    konstan (W3).

    Perhitungan kadar lemak daging keong ipong-ipong:

    % Kadar lemak = (W3- W2) x 100%

    W3 Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)

    W2 = Berat labu lemak kosong (gram)

    W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

    5) Analisis Abu kadar abu tidak larut asam menurut SNI-01-3836-2000

    (BSN 2000)

    Larutkan abu bekas pengukuran kadar abu total dengan penembahan

    25 ml HCl 10%. Didihkan selama 5 menit, saring larutan dengan kertas saring

    bebas abu dan cuci dengan air suling sampai bebas klorida. Kemudian keringkan

    kertas saring dalam pengering listrik (oven), setelah dikeringkan kertas saring

    dimasukkan di dalam cawan porselin yang sudah diketahui berat tetapnya

    kemudian abukan dalam tanur listrik pada suhu 600C. Setelah dilakukan

    pengabuan sampel didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang

    beratnya dan diukur kadar abu tidak larut asam dengan rumus:

    Kadar abu tidak larut asam = Berat abu (g) x 100%

    Berat sampel awal (g)

    3.3.3. Analisis antioksidan dengan Metode DPPH

    1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988)

    Pada tahap ini ada beberapa langkah, yaitu persiapan sampel dan ekstraksi

    bahan aktif. Pada tahap persiapan sampel, daging keong ipong-ipong dan jeroan

    yang telah diambil dari perairan pantai kota Cirebon,segera dikeringkan dengan

    panas matahari selama 3 hari. Tujuan dari proses pengeringan ini adalah untuk

    mengurangi kadar air dalam bahan. Kadar air yang rendah menunjukkan bahwa

    air bebas dalam bahan berada dalam jumlah yang rendah, sehingga proses

    pembusukan, hidrolisis komponen bioaktif dan oksidasi dalam sampel selama

    dilakukan maserasi dapat dihindari. Apabila kadar air bebas dihilangkan, maka aw

  • akan turun hingga 0,80 (batas maksimal) sehingga pertumbuhan mikroba dapat

    dikurangi dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak, seperti hidrolisis atau

    oksidasi lemak dapat dihindari. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat

    dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimia

    (Winarno 2008).

    Kadar air yang berkurang dalam sampel juga sangat berguna saat

    dilakukan proses evavorasi. Ketika proses ekstraksi dilakukan pada sampel basah,

    air akan bermigrasi dari bahan ke dalam lingkungan (pelarut) dalam jumlah yang

    cukup banyak. Air yang memiliki titik didih lebih tinggi dari pelarut, akan sangat

    sukar dan lama dipisahkan dari ekstrak dengan menggunakan pemanasan suhu

    rendah (sesuai dengan titik didih pelarut). Apabila pemanansan dilakukan dengan

    menggunakan suhu tinggi, yaitu suhu 100 C pada tekanan udara 1 atm, maka

    komponen bioaktif yang memiliki sifat antioksidan dikhawatirkan dapat rusak

    oleh panas. Sampel yang kering diduga akan menyumbangkan air dalam jumlah

    yang kecil pada larutan ekstrak.

    Isi cangkang keong ipong-ipong (daging dan jeroan) yang telah kering

    tersebut kemudian dihaluskan dengan blender, sehingga didapat tekstur yang

    halus. Ukuran sampel yang lebih kecil (bubuk/tepung) diharapkan dapat

    memperluas permukaan bahan yang dapat berkontak langsung dengan pelarut,

    sehingga proses ekstraksi komponen bioaktif dapat berjalan dengan maksimal.

    Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bahan aktif. Metode ekstraksi yang

    digunakan adalah metode ekstraksi bertingkat (Quinn 1988). Metode ini

    digunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu kloroform

    p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a (polar). Ketiga pelarut

    ini dipilih karena memiliki titik didih yang lebih rendah dari titik didih air,

    sehingga dapat mudah diuapkan saat proses vacuum evavorasi (500 mmHg,

    50 C). pada tekanan udara 1 atm (760 mmHg), kloroform memiliki titik didih

    sebesar 61 C , metanol sebesar 65 C dan etil asetat 77 C. palarut etanol tidak

    dipilih untuk menggantikan pelarut metanol (polar) karena titik didihnya jauh

    lebih tinggi dibandingkan metanol, yaitu 78 C (Lehninger 1988).

    Prabowo (2009) menyatakan, kekurangan dari proses ekstraksi bertingkat

    adalah rendemen ekstrak yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan proses

  • ekstraksi tunggal. Proses ekstraksi bertingkat ini justru dipilih karena penelitian

    ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang

    terdapat dalam keong ipong-ipong berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi

    bertingkat ini diharapkan dapat memisahkan komponen bioaktif dalam sampel

    yang sama berdasarkan tingkat kepolarannya, tanpa harus komponen bioaktif

    tersebut terlarut pada pelarut lain yang bukan merupakan pelarutnya. Hal ini

    diduga dapat terjadi pada proses ekstraksi tunggal menggunakan metanol.

    Metanol merupakan pelarut polar yang juga dapat melarutkan komponen non

    polar dan semi polar di dalamnya. Hal yang tidak diinginkan tersebut dapat

    dihindari dengan melakukan proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan

    ekstraksi menggunakan pelarut non polar (kloroform p.a) terlebih dahulu,

    dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil asetat p.a.) dan terakhir menggunakan

    pelarut polar (metanol p.a.).

    Sampel sebanyak 25 g yang telah dihancurkan, dimaserasi dengan pelarut

    kloroform p.a. sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan

    menggunakan orbital shaker 8 rpm. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian

    disaring dengan kertas saring Whatman 42 sehingga didapat filtrat dan residu.

    Residu yang dihasilkan selanjutnya dimaserasi dengan etil asetat p.a. 100 ml

    selama 48 jam dengan diberikan goyangan dengan orbital shaker 8 rpm,

    sedangkan filtrat ekstrak kloroform yang diperoleh dievavorasi hingga pelarut

    memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada

    suhu 50 C.

    Hasil proses maserasi ke-2 selanjutnya disaring dengan kertas

    Whatman 42. Residu yang dihasilkan dilarutkan dengan metanol p.a. sebanyak

    100 ml dan dimaserasi selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan

    orbital shaker 8 rpm. Filtrat ekstrak etil asetat yang diperoleh dievaporasi

    sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum

    evavorator pada suhu 50 C.

    Hasil maserasi ke-3 dengan pelarut metanol, disaring dengan kertas saring

    Whatman 42. Filtrat ekstrak metanol yang diperoleh dievavorasi sehingga semua

    pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu

    50 C, sedangkan residu yang tersisa dibuang. Proses ini akan menghasilkan

  • ekstrak kloroform, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol yang kental. Proses

    ekstraksi bertingkat ini ditunjukkan pada Gambar 8.

    Gambar 7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong

    (Fasciolaria salmo) (Sumber: Quinn 1988)

    2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958)

    Ekstrak kasar keong ipong-ipong dari hasil ekstraksi bertingkat

    menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), pelarut etil asetat p.a. (semi

    polar), dan pelarut metanol p.a. (polar), dilarutkan dalam metanol p.a. dengan

    konsentrasi 200, 400, 600 dan 800 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan

    sebagai pembanding dan kontrol positif, dibuat dengan cara dilarutkan dalam

    25 gr Sampel

    Maserasi dengan kloroform

    selama 48 jam

    Penyaringan

    Residu

    Maserasi dengan etil

    asetat selama 48 jam

    Penyaringan

    Evaporasi

    Ekstrak kloroform

    Maserasi dengan

    metanol selama 48 jam

    Residu

    Penyaringan

    Residu

    Filtrat

    Filtrat Evaporasi

    Ekstrak etil asetat

    Filtrat Evaporasi

    Ekstrak metanol

  • pelarut metanol p.a. dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Larutan DPPH yang

    akan digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol

    dengan konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan

    dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari.

    Larutan ekstrak dan larutan antioksidan pembanding BHT yang telah

    dibuat, masing-masing diambil 4.5 ml dan direaksikan dengan 500 l larutan

    DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan telah diberi label. Campuran

    tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit dan diukur

    absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800

    pada panjang gelombang 517 nm. Absorbansi dari larutan blanko juga diukur

    untuk melakukan perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan

    mereaksikan 4,5 ml pelarut metanol dengan 500 l larutan DPPH 1 mM dalam

    tabung reaksi. Larutan blanko ini dibuat hanya satu kali ulangan saja. Setelah itu,

    aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding

    BHT dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai

    berikut:

    % inhibisi = (A blanko A sampel) x 100% A blanko

    Nilai konsentrasi sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT)

    dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan

    regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan

    y = a + bx, digunakan untuk mencari nilai IC50 (inhibitor concentration 50%) dari

    masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang

    akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan

    sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT) yang dibutuhkan untuk

    mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%.

    3.3.4. Uji fitokimia (Harborne 1984)

    Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen-

    komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar keong ipong-ipong yang

    memiliki aktivitas antioksidan tertinggi. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, uji

  • steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict,

    Biuret dan Ninhidrin. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1984).

    a. Alkaloid

    Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2N

    kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff,

    pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan

    pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan

    pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.

    Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 HgCl2 dengan

    0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml

    dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan

    cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,5 gram iodin dan 2 gram

    kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml

    dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat

    dengan cara 0,8 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan

    40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium

    iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan

    dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi

    ini berwarna jingga.

    b. Steroid/ triterpenoid

    Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi

    yang kering. Lalu, ke dalamnya ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes

    asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali

    kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif.

    c. Flavonoid

    Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil

    alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama)

    dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah,

    kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.

  • d. Saponin (uji busa)

    Saponin dapat dideteksi denan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil

    selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan

    adanya saponin.

    e. Fenol Hidrokuinon (pereaksi FeCl3)

    Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan

    yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan

    FeCl3 5%. Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya

    senyawa fenol dalam bahan.

    f. Uji Molisch

    Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 ml

    asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya

    karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan

    cairan.

    g. Uji Benedict

    Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi

    Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Terbentuknya

    warna hijau, kuning, atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula

    pereduksi.

    h. Uji Biuret

    Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi Biuret.

    Campuran dikocok dengan seksama. Terbentuknya larutan berwarna ungu

    menunjukkan hasil uji positif adanya peptida.

    i. Uji Ninhidrin

    Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan Ninhidrin

    0,1 %. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya

    larutan berwarna biru menunjukkan reaksi positif terhadap adanya asam amino.

  • 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Karakteristik Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

    Bentuk morfologi keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa

    Gebang, Cirebon, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 8.

    Gambar 8. Keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang Cirebon

    Sampel keong ipong-ipong yang didapat, dilakukan preparasi untuk

    mengeluarkan isi cangkang (daging dan jeroan), serta memisahkan dari

    operkulum yang masih menempel. Bentuk cangkang, isi cangkang (daging dan

    jeroan) kemudian diamati karakteristik fisiknya. Hasil pengamatan karakteristik

    fisik cangkang, operkulum dan isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada

    Tabel 1. Bentuk cangkang dapat dilihat pada Lampiran 1.

    Tabel 1. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan

    operkulum keong ipong-ipong

    Karakteristik Fisik Cangkang Isi Cangkang Operkulum

    Warna

    Coklat

    kekuningan,

    berbulu halus

    Daging: krem

    Jeroan :

    hijau, hitam,

    putih (Saluran

    dan kelenjar

    pencernaan).

    Putih krem

    (gonad)

    Coklat cerah

    Tekstur Keras

    Daging: kenyal

    Jeroan: lunak

    dan mudah

    hancur bila

    ditekan.

    Tipis, lembut dan

    mudah dipatahkan.

  • Keong ipong-ipong yang digunakan dalam penelitian ini memiliki warna

    cangkang coklat kekuningan dan terdapat bulu-bulu halus. Komponen penyusun

    cangkang keong ipong-ipong adalah kalsium karbonat. Isi cangkang keong ipong-

    ipong dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian daging dan jeroan. Bagian dari

    daging bewarna krem dan teksturnya kenyal, sedangkan bagian jeroannya yaitu

    ada yang bewarna hijau, hitam, putih yang merupakan bagian saluran dan kelenjar

    pencernaan, sedangkan yang bewarna putih krem merupakan bagian gonad.

    Bagian jeroan ini bersifat lunak dan mudah hancur bila ditekan. Operkulum

    keong-ipong bewarna coklat cerah, tipis, lembut dan mudah dipatahkan.

    Proses karakteristik ini dilakukan guna mengetahui sifat dari bahan baku

    yang digunakan. Sifat bahan baku ini tidak terbatas pada sifat fisik saja, tetapi

    juga sifat kimia. Hal ini dikarenakan sifat fisik maupun kimia dari bahan baku

    yang digunakan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakteristik fisik

    keong ipong-ipong yang digunakan dalam penelitian ini telah diamati dan

    dijelaskan di atas, sehingga perlu dilakukan pengukuran rendemen dan analisis

    kandungan gizi keong ipong-ipong dengan uji proksimat.

    4.1.1 Rendemen

    Rendemen adalah persentase perbandingan antara berat bagian bahan yang

    dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Nilai rendeman digunakan untuk

    mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi nilai

    rendemennya, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga

    pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif.

    Perhitungan rendemen cangkang, isi cangkang (daging dan jeroan) dapat

    dilihat di lampiran 2. Nilai rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan

    jeroan) keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 9.

    Gambar 9. Rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan) keong

    ipong-ipong

  • Rendemen cangkang lebih dari setengah berat keong ipong-ipong utuh,

    yaitu sebesar 69,69%. Hal ini menunjukkan bahwa cangkang keong ipong-ipong

    berpotensial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai sumber kalsium.

    Suwignyo et al. (2005) menyatakan cangkang gastropoda tersusun atas kalsium

    karbonat. Lapisan kalsium karbonat yang terdapat pada cangkang terdiri dari

    3 lapisan antara lain perismatik, lamella dan nacre.

    Rendemen isi cangkang (daging dan jeroan) sebesar 30% yang terdiri dari

    22,08% dari daging dan 8,22% dari jeroan. Selain cangkang, isi cangkang keong

    ipong-ipong juga berpotensi untuk dimanfaatkan dengan jumlahnya yang berkisar

    30% tersebut. Pemanfaatannya bisa berupa dijadikan lauk pauk sebagai sumber

    protein hewani dan asam amino. Protein dan asam-asam amino berfungsi sebagai

    zat pembangun pada tubuh manusia serta membantu dalam proses metabolisme

    tubuh manusia (Winarno 2008).

    Hasil perhitungan pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa cangkang, isi

    cangkang (daging dan jeroan) memiliki rendemen masing-masing sebesar

    69,69%, 22,08% dan 8,22%. Apabila ketiga nilai rendemen tersebut dijumlahkan,

    maka jumlahnya tidak mencapai 100%. Hal ini diduga sisa berat yang hilang

    selama proses preparasi merupakan berat air yang terkurung dalam cangkang dan

    tidak terikat di dalam jaringan. Air ini terbuang ketika isi cangkang dikeluarkan

    dan ditiriskan terlebih dahulu sebelum ditimbang. Persentasi air yang hilang ini

    sekitar 0,01%. Air ini terperangkap dalam cangkang saat operkulum menutup

    rapat lubang aperture.

    4.1.2 Komposisi kimia

    Kandungan gizi pada isi cangkang keong ipong-ipong dapat diketahui

    dengan melakukan analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan untuk

    memperoleh data tentang komposisi kimia dalam suatu bahan. Komposisi kimia

    tersebut diantaranya kandungan air, protein, lemak, abu, abu tidak larut asam dan

    karbohidrat. Kadar karbohidrat dalam keong ipong-ipong diperoleh melalui

    perhitungan by difference. Selain analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu

    dan karbohidrat), pengujian abu tidak larut asam juga dilakukan. Pengujian abu

    tidak larut asam pada keong ipong-ipong dilandasi karena keong ipong-ipong

    merupakan golongan Gastropoda yang hidup di perairan laut berlumpur dan

  • menempel pada substrat. Keong ipong-ipong di duga mengandung abu tidak larut

    asam yang berasal dari mineral-mineral dalam lumpur yang ikut masuk ke dalam

    saluran pencernaannya, ketika keong ipong-ipong sedang melakukan aktivitas

    makan. Hasil analisis proksimat isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat

    pada Gambar 10 dan cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3.

    Gambar 10. Hasil uji proksimat keong ipong-ipong (n=2)

    1) Kadar air

    Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan.

    Kadar air merupakan karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena

    air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan.

    Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan

    pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang

    dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan

    pangan yang dapat mempercepat pembusukan (Winarno 2008). Hasil pengukuran

    kadar air menunjukkan bahwa keong ipong-ipong memiliki kadar air yang cukup

    tinggi, yaitu sebesar 73,07%.

  • Prinsip anlisis kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

    megukur berat air yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan

    dengan bantuan panas. Air yang teruapkan ini merupakan air tipe III

    (Winarno 2008). Air tipe III ini biasa disebut air bebas dan merupakan air yang

    hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler,

    serat dan lain sebagainya. Air ini dapat dimanfaatkan unutk pertumbuhan mikorba

    dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi (Winarno 2008). Tingginya air tipe III ini

    pada keong ipong-ipong, dapat menyebabkan keong ipong-ipong mudah sekali

    mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak ditangani dengan benar.

    Hal ini karena air tipe ini dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan

    juga reaksi kimiawi dalam jaringan yang diduga melibatkan enzim, salah satunya

    enzim protease seperti katepsin.

    2) Kadar lemak

    Analisis kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak yang

    terkandung pada isi cangkang keong ipong-ipong. Lemak merupakan komponen

    yang larut dalam pelarut organik seperti heksan, eter dan kloroform. Menurut

    Poedjiadi (1994), lemak hewan umumnya berupa padatan pada suhu ruang,

    sedangkan lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Lemak dapat

    dikatakan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan

    karbohidrat dan protein. Hal ini dikarenakan 1 gram lemak dapat menghasilkan

    9 kkal, dimana nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang

    dihasilkan oleh 1 gram protein dan karbohidrat, yaitu 4 kkal. Lemak juga dapat

    digunakan sebagai sumber asam lemak esensial dan vitamin (A, D, E dan K)

    (Winarno 2008; Belitz et al. 2009).

    Hasil pengujian menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung

    lemak dalam kadar yang cukup rendah, yaitu hanya sebesar 0,57%. kadar lemak

    yang rendah dapat disebabkan karena kandungan air keong ipong-ipong sangat

    tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak akan turun secara

    drastis. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa kadar air

    umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak (Yunizal et al. 1998).

    Hubungan tersebut mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila kadar

    air yang terkandung di dalam bahan cukup tinggi.

  • Kandungan lemak keong ipong-ipong ini lebih rendah daripada kandungan

    lemak pada daging keong air laut lainnya dari Genus Cerithidea, yaitu sebesar

    2,55% (Prabowo 2009). Perbedaan ini dapat terjadi karena pengaruh beberapa

    faktor, yaitu umur, hbitat, ukuran dan tingkat kematangan gonad.

    3) Protein

    Pengukuran protein pada bahan pangan digunakan untuk mengetahui

    kemampuan bahan pangan sebagai sumber protein atau tidak. Protein merupakan

    makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida.

    Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, serta berperan sebagai zat

    pembangun dan pengatur. Protein merupakan sumber asam amino yang

    mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun

    karbohidrat. Molekul protein juga mengandung unsur logam seperti besi dan

    tembaga (Winarno 2008).

    Protein merupakan komponen terbesar setelah air pada sebagian besar

    jaringan tubuh (Winarno 2008). Hal ini terbukti dari hasi anlisis proksimat keong

    ipong-ipong yang disajikan pada Gambar 10. Nilai kadar protein keong ipong-

    ipong merupakan nilai terbesar kedua setelah air. Komponen lemak, abu, abu

    tidak larut asam dan karbohidrat memiliki jumlah yang lebih kecil dibandingkan

    dengan protein.

    Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa keong ipong-pong

    memiliki protein dalam jumlah yang tinggi, yaitu sebesar 18,28%. jumlah ini jauh

    lebih tinggi jika dibandingkan dengan keong air laut lainnya seperti dari Genus

    Cerithidea yang mengandung protein sebesar 9,85% (Prabowo 2009). Variasi ini

    dapat disebabkan oleh bebrapa faktor, yaitu hbitat, umur, makanan yang dicerna,

    laju metabolisme, laju pergerakan dan tingkat kematangan gonad.

    4) Kadar abu

    Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral

    yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan

    organik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga

    dikenal sebagi zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-

    bahan organik akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah

    disebut sebagai kadar abu (Winarno 2008).

  • Hasil pengujian kadar abu total menunjukakan bahwa keong ipong-ipong

    mengandung kadar abu sebesar 2,77%, ini jauh lebih rendah dari kadar abu yang

    terkandung dalam Genus Cerithidea yaitu sebesar 5,73% (Prabowo 2009). Tinggi

    rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan hbitat dan lingkungan

    hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan

    mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya.

    Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda

    dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan

    memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan.

    5) Kadar abu tidak larut asam

    Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam,

    yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak

    larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau

    logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam

    juga dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan

    dalam proses pengolahan suatu produk (Basmal et al. 2003).

    Hasil pengujian kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa keong

    ipong-ipong mengandung residu abu tidak larut asam sebesar 0,15%. Nilai kadar

    abu yang diperoleh pada penelitian ini masih di bawah 1%, seperti yang

    disyaratkan oleh Food Chemical Codex (1991) untuk produk kappa-karaginan

    food grade. Kadar abu tidak larut asam ini diduga berasal dari material-material

    abu tidak larut asam yang terdapat di perairan tempat keong ipong-ipong hidup,

    seperti pasir, lumpur, silika dan batu. Mineral tidak larut asam ini ikut masuk ke

    dalam saluran pencernaan keong ipong-ipong ketika keong ipong-ipong sedang

    melakukan aktivitas makan, kemudian mengendap di dalamnya karena tidak dapat

    dieksresikan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian-penelitian terdahulu yang

    dilakukan oleh Adriyanti (2009) dan Nurjanah (2009) pada lintah laut

    (Discodoris ap.) yang juga termasuk dalam kelas Gastropoda dan hidup

    menempel pada substrat dasar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

    lintah laut yang telah dibuang jeroannya memiliki kadar abu tidak larut asam yang

    lebih rendah dari pada lintah laut yang tidak dibuang jeroannya, sehingga dapat

    disimpulkan bahwa tempat tertimbunnya material tidak larut asam dalam tubuh

  • Gastropoda adalah pada bagian jeroannya. Nurjanah (2009) menambahkan bahwa

    komponen abu tidak larut asam ini dapat merusak kinerja organ ginjal jika

    dikonsumsi dalam jumlah yang besar.

    6) Kadar karbohidrat

    Karbohidrat merupakan komponen organik yang paling banyak tersebar di

    permukaan bumi. Karbohidrat sangat berperan dalam metabolisme hewan dan

    tumbuhan. Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi dasar dan paling banyak

    digunakan sebagai sumber energi utama. Energi yang disumbangkan dari

    karbohidrat sebesar 4 kkal (Belitz et al. 2009). Karbohidrat juga mempunyai

    peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, seperti rasa,

    warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 2008).

    Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference

    menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung karbohidrat sebesar 5,2%.

    Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini merupakan metode

    penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar, dimana serat kasar

    juga terhitung sebagai karbohidrat (Winarno 2008). Kadar karbohidrat yang

    terhitung ini diduga berupa glikogen dan serat kasar. Hal ini dikarenakan

    karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen

    (Winarno 2008).

    4.2 Ekstrak Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong

    Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak

    digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan

    baku. Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari

    suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga komponen yang

    diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Winarno et al. (1973), menambahkan

    ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi

    komponen-komponen yang terpisah. Proses ekstraksi bertujuan untuk

    mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung

    komponen-komponen aktif. Proses


Related Documents