LAPORAN AKHIR
TIM FORUM DIALOG HUKUM DAN NON HUKUM
KELOMPOK KERJA BIDANG HUKUM DAN TEKNOLOGI
Disusun Oleh Tim
Dibawah Pimpinan :
Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, S.H., LL.M.
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2005
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… i
DAFTAR ISI ......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………… 1
B. Maksud dan Tujuan .… …………………………………. 3
C. Ruang Lingkup Pembahasan ………………………….. 4
BAB II INVENTARISASI ISU-ISU AKTUAL DI BIDANG HUKUM
DAN TEKNOLOGI
A. Perkembangan Regulasi Indonesia yang Terkait Dengan
Teknologi Informasi & Cyber Crime ........................... 5
I. Ketentuan Hukum Positif (Existing Law) terkait
Cyber Crime..................................................... 6
II. Draft Regulasi terkait Cyber Crime yang Sedang
Dipersiapkan ................................................... 11
B. Teknologi Informasi Menembus Batas Ruang dan
Waktu ........................................................................ 27
C. Interpretasi Dan Implementasi Perjanjian-Perjanjian
Internasional Di Bidang Keantariksaan Serta Implikasinya
Bagi Upaya Perumusan Legislasi Nasional ................ 29
D. Efek Rumah Kaca ....................................................... 31
E. Pembajakan Hak Cipta Dan Mall-Mall Yang Ada Di
Indonesia Sebagai Tempat Penjualannya................... 34
F. Situs Web Instansi Pemerintah, Lembaga Legeslatif
dan Judikatif sebaga sarana Penyebarluasan dan
Layanan Informasi Hukum .......................................... 38
BAB III TEKNOLOGI INFORMASI MENEMBUS BATAS RUANG DAN
WAKTU
A. Telematika Dan Jaringan Telekomunikasi Global........ 43
B. Teknologi Informasi Sebagai Sasaran
dan Sarana Kejahatan ................................................ 47
C. Perkembangan Teknologi Informasi
di Beberapa Negara .................................................... 54
BAB IV INTERPRETASI DAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN -
PERJANJIAN INTERNASIONAL DI BIDANG KEANTARIKSAAN
SERTA IMPLIKASINYA BAGI UPAYA PERUMUSAN LEGISLASI
NASIONAL
A. Space Treaty 1967
I. Prinsip-prinsip Pokok......................................... 57
II. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi .. 59
III. Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional 61
B. Rescue Agreement 1968
I. Ketentuan Pokok …………………………………. 64
II. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi..... 66
III. Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional 67
C. Liability Convention
I. Ketentuan-ketentuan Pokok ……………………. 68
II. Interpretasi dan Implementasi ........................... 71
III. Implikasi terhadap Upaya Legislasi Nasional…. 73
D. Registration Convention
I. Ketentuan-ketentuan Pokok ……………………. 75
II. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi.... 76
III. Implikasi bagi Perumusan Legislasi Nasional ... 78
E. Moon Agreement 1979.................................................. 79
F. Perjanjian-perjanjian Internasional Terkait Lainnya....... 80
BAB V EFEK RUMAH KACA
A. Efek Rumah Kaca (Green House Efect)………………. 82
B. Pemanasan Global (Global Warming) ………………… 83
C. Gas-Gas Rumah Kaca ................................................ 85
D. Dampak Pemanasan Global ....................................... 88
E. Meminimalkan Dampak Pemanasan Global............... 92
F. Aspek Hukum Dalam Pemanasan Global.................. 95
BAB VI PEMBAJAKAN HAK CIPTA DAN MALL-MALL YANG ADA
DI INDONESIA SEBAGAI TEMPAT PENJUALANNYA
A. Sasarannya Mall-Mall Yang Ada Di Jabotabek............. 97
B. Pembajakan Hak Cipta Dan Penegakan Hukumnya... 100
C. Upaya Pengurangan Pembajakan ………………........ 103
BAB VII SITUS WEB INSTANSI PEMERINTAH, LEMBAGA LEGESLATIF
DAN JUDIKATIF SEBAGAI SARANA PENYEBARLUASAN DAN
LAYANAN INFORMASI HUKUM
A. Kebutuhan Sistem Informasi Hukum Nasional..................105
B. Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam
membangun Sistem Informasi Hukum Nasional.............. 107
C. Sistem Informasi Hukum Nasional Berbasis Jaringan
Internet berupa Portal Situs Web
bphn.go.id................................ ...................................... 113
D. Pendayagunaan Situs Web Instansi Pemerintah, Lembaga
Legislatif dan Judikatif sebagai Sarana Penyebarluasan dan
Layanan Informasi Hukum............................................. 124
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................. 127
B. Saran …………………………………………….............. 130
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 131
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai bagian dari proses peningkatan aktifitas sosial dalam
ekonomi, masyarakat dunia telah memasuki suatu masyarakat yang
berorientasi kepada informasi. Sistem informasi dan teknologinya telah
digunakan dibanyak sektor kehidupan, mulai dari perdagangan/bisnis
(Electronic – Comerce) pendidikan (electronic education), kesehatan
(telemedika), telekarya, transportasi, industri pariwisata, lingkungan
sampai ke sektor hiburan. Teknologi Informasi mencakup masalah sistem
yang mengumpulkan (Collect), menyimpan (save), memproses,
memproduksi dan mengirimkan informasi dari dan ke industri ataupun
masyarakat secara efektif dan cepat. Teknologi komputer baik perangkat
keras maupun perangkat lunak, jaringan komunikasi meluas dan teknologi
multimedia dimungkinkan menjadi tulang punggung di masyarakat abad
21 mendatang.
Namun demikian, selain keuntungan yang menjanjikan dan
teknologi khususnya teknologi informasi, teknologi ini juga memberikan
persoalan baru dalam tatanan kehidupan masyarakat, misalnya
pelanggaran HAKI, penipuan dalam perdagangan elektronik, perpajakan
dan sebagainya. Di Indonesia saat ini penggunaan teknologi informasi
telah sedemikian luas, namun demikian perangkat hukum/peraturan
perundang-undangan yang mengatur kegiatan ini belum mendukung
untuk mengimbangi ekses-ekses yang ditimbulkan akibat pemanfaatan
teknologi informasi ini. Dengan demikian terdapat kesenjangan antara
kemajuan teknologi dan rendahnya perangkat hukum positif, penegakan
hukum belum berjalan sebagaimana mestinya dalam mengatur
penyalahgunaan teknologi informasi. Untuk itu Badan Pembinaan Hukum
Nasional periode 2004 telah membahas keterkaitan antara hukum dan
teknologi, dengan membentuk kelompok kerja hukum dan teknologi,
lingkup pembahasan tahun lalu adalah :
- Pengaruh perkembangan teknologi informasi terhadap Sistem Hukum
Nasional;
- Cyber Law, dukungan mutlak bagi perkembangan Sistem Informasi
Nasional (SISFONAS) berbasis teknologi informasi dan komunikasi;
- Sistem Informasi Hukum Nasional menunjang kesiapan berlakunya
undang-undang kebebasan memperoleh informasi public;
- Kesiapan regulasi dalam mengantisipasi pembangunan dan
pengoperasian Badan Antariksa di Biak;
- Peningkatan Investasi dan Kreativitas Investor Nasional melindungi
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Internasional;
- Sistem Tanggungjawab dalam Penerbangan Sipil;
- Prospek Multimedia dan Industri Penyiaran;
- Hukum dan Teknologi (Nuklir).
Sebagai sebuah negara hukum, maka segala aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat harus dilandasi dan sejalan dengan aturan
hukum. Demikian pula sebaliknya sebagai perangkat acuan maka hukum
di Indonesia harus bisa memberikan koridor yang jelas dan terarah
sehingga berbagai aktivitas yang akan dilakukan oleh masyarakat dapat
dilakukan secara tertata dengan benar.
Dalam hal ini bahwa keberadaan hukum harus selalu bisa
beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang terjadi, sehingga
dengan demikian proses pembangunan masyarakat secara
berkesinambungan yang memang menjadi tujuan utama
diberlakukannya hukum di negeri ini akan dapat terlaksana dengan baik
serta bersifat dinamis mengikuti berbagai perubahan yang terjadi dalam
skala nasional maupun internasional.
B. Maksud dan Tujuan
Mengacu kepada latar belakang seperti tersebut diatas, maka
maksud dan tujuan pembahasan kelompok kerja hukum dan teknologi
adalah untuk memperoleh masukan-masukan pemikiran yang diperlukan
bagi peningkatan pembangunan hukum nasional melalui penyusunan
kebijakan pemerintah di bidang teknologi. Apakah itu kebijakan melalui
pembentukan pada peraturan perundang-undangan maupun kebijakan
lain.
C. Ruang Lingkup Pembahasan
Lingkup pembahasan dalam kegiatan tim mencakup isu-isu aktual
di bidang hukum dan teknologi antara lain sebagai berikut :
a. Inventarisasi isu-isu aktual di bidang hukum dan teknologi
b. Teknologi informasi menembus batas ruang dan waktu
c. Interpretasi dan implementasi perjanjian-perjanjian internasional di
bidang keantariksaan serta implikasinya bagi upaya perumusan
legislasi nasional
d. Efek rumah kaca
e. Pembajakan hak cipta dan mall-mall yang ada di indonesia
sebagai tempat penjualannya
f. Situs web instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif
sebagai sarana penyebarluasan dan layanan informasi hukum.
BAB II
INVENTARISASI ISU-ISU AKTUAL DI BIDANG
HUKUM DAN TEKNOLOGI
A. Perkembangan Regulasi Indonesia yang Terkait Dengan Teknologi
Informasi & Cyber Crime
Indonesia seperti halnya negara-negara lain di dunia memiliki
kepentingan yang sangat besar terhadap keberadaan regulasi di bidang
Cyber Crime. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (ICT)
yang sangat cepat telah mempengaruhi sistem hukum nasional secara
keseluruhan, karena kesulitan seringkali dihadapi jika kasus-kasus cyber
crime pendekatannya dilakukan melalui hukum konvensional.
Menghadapi persoalan ini Pemerintah Indonesia telah melakukan
berbagai langkah konkret berupa pembuatan regulasi baru yang terkait
dengan Cyber Crime. Langkah itu antara lain dalam bentuk disahkannya
Undang-undang tentang Terorisme yang didalamnya mengakui
keberadaan alat-alat bukti elektronik. Di samping itu terdapat pula
Undang-undang lainnya yang terkait masalah Cyber crime seperti UU
tentang Telekomunikasi, UU Tindak Pidana pencucian uang, disamping
juga sudah ada undang-undang tentang Hak Cipta yang mengatur
perlindungan software komputer dan menetapkan sanksi pidana bagi
pelanggarnya.
I Ketentuan Hukum Positif (Existing Law) terkait Cyber Crime
1. Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme
Pasal 27 Undang-undang ini mengatur masalah alat
bukti elektronik yang terkait dengan kegiatan terorisme.
Pada prinsipnya alat bukti elektronik diakui sebagai alat bukti
yang sah.
Alat Bukti Pemeriksaan Tindak Pidana Terorisme meliputi :
a. Alat Bukti sebagaimana dalam Hukum Acara Pidana
b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu
c. Data, Rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas atau yang terekam secara elektronik termasuk
tetapi tidak terbatas pada :
d. Tulisan suara atau gambar
e. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya
f. Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu membaca atau memahaminya
2. Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang.
Undang-undang ini juga mengatur alat bukti elektronik
yang diakui sebagai alat bukti yang sah dalam kasus tindak
pidana pencucian uang. Dalam pasal 38 UU No. 25/2003
alat bukti yang diakui selain yang dimaksud dalam Hukum
Acara Pidana juga termasuk didalamnya alat bukti lain
berupa Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang
serupa dengan itu dan dokumen lainnya termasuk data
elektronik.
3 Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Undang-undang ini mengatur masalah akses tidak
sah melalui sarana telekomunikasi berupa larangan
melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah atau
memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi dan atau
akses ke jasa telekomunikasi dan atau akses ke jaringan
telekomunikasi khusus, ancaman pidana atas perbuatan ini
adalah pidana penjara maksimal 6 tahun dan atau denda
maksimal Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
4. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Pemerintah Indonesia menekankan kembali
komitmennya yang menjunjung tinggi Hak Kekayaan
Intelektual (HKI). Pengakuan perlindungan terhadap HKI
istilah yang baku Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan
dasar bagi suatu Negara untuk dapat maju dalam era
masyarakat berbasis pengetahuan (Knowledge Society).
Penghargaan terhadap suatu inovasi akan menciptakan efek
multiplier dalam perkembangan peran dan kreativitas
komunitas intelektual suatu Negara. Hal ini juga merupakan
salah satu hal yang diungkapkan Presiden RI dalam
pertemuannya dengan Bill Gates di markas Microsoft di
Redmond, Amerika Serikat baru-baru ini. Di Indonesia
implementasi HKI di bidang program komputer merupakan
pengejawantahan dari UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta dan sesuai dengan komitmen Indonesia yang telah
meratifikasi kesepakatan WTO-TRIPS.
Sejalan dengan komitmen pemerintah secara umum
mengenai HKI, dalam konteks Information and
Communication Technology (ICT) pemerintah melalui
Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo)
akan menjadwalkan berbagai langkah koordinasi dengan
vendor maupun dengan pihak-pihak terkait dalam
mengimplementasikan HKI di Indonesia. Dalam konteks ICT
di Indonesia, penggunaan software (perangkat lunak)
bajakan merupakan tantangan paling besar, karena
mencakup operasi di berbagai aspek, termasuk dalam
operasi pemerintah maupun dunia usaha.
Menteri Komunikasi dan Informatika, memandang
bahwa seperti halnya Negara-negara berkembang lainnya,
merupakan tantangan besar bagi Indonesia dalam
mengimplementasikan HKI dalam penggunaan software
berlisensi, karena dalam satu sisi mahalnya harga lisensi
tersebut dibandingkan dengan GDP per kapita yang relatif
rendah. Di satu pihak pemerintah menargetkan penyebaran
ICT secara lebih merata, tingginya nilai software berlisensi
sering merupakan penghambat karena menjadikan biaya
investasi maupun biaya operasional tinggi sehingga sulit
terjangkau. Oleh karena itu diperlukan alternatif-alternatif
yang realistik yang harus disesuaikan dengan visi industri
ICT di Indonesia ke depan.
Khususnya mengenai penggunaan software Microsoft
di kantor pemerintah, sudah dilakukan pembicaraan antara
Microsoft dan pemerintah RI untuk mengatasi penggunaan
software bajakan. Sementara ini berbagai alternatif untuk
mengatasi masalah ini sudah dibicarakan namun belum ada
kesepakatan konkrit mengenai cara mengatasi
permasalahan yang ada. Sebagai langkah pertama dalam
kerjasama, akan dilakukan inventarisasi bersama yang
dikoordinasikan oleh Depkominfo bersama dengan
PT.Microsoft Indonesia untuk mengidentifikasi jumlah
komputer dan aplikasi yang digunakannya baik di instansi
pemerintah pusat maupun daerah. Pekerjaan besar ini
diharapkan dapat diselesaikan dalam waktu empat bulan ke
depan, sehingga dapat dipakai sebagai dasar untuk
menentukan strategi yang terbaik dalam mengatasi
penggunaan software bajakan khususnya di limgkungan
pemerintah. Perlu diketahui bahwa beberapa perguruan
tinggi saat ini telah memiliki Campus Agreement dengan
Microsoft.
5. Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen
Perusahaan
Pengakuan atas alat bukti elektronik meskipun
bersifat limitatif terbatas pada dokumen-dokumen
perusahaan diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1997
tentang Dokumen Perusahaan yang mengakui keberadaan
dokumen elektronik. Antara lain dinyatakan bahwa suatu
data yang originalnya adalah dalam bentuk elektronis atau
sejak semula dibuat atau diterima dalam sarana bukan
kertas dapat langsung dialihkan kedalam bentuk media
lainnya tanpa harus dibuat dahulu hasil cetaknya (hard-
copy).
Ditegaskan pula bahwa dokumen perusahaan adalah
data, catatan dan atau keterangan yang dibuat dan atau
diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan
kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain
maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat
dilihat, dibaca, atau didengar. Pasal 15 ayat (1) UU Nomor.
8 Tahun 1997 tentang dokumen perusahaan menyatakan
bahwa dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam
microfilm atau media lainnya dan atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti yang sah.
2. Draft Regulasi terkait Cyber Crime yang Sedang Dipersiapkan
Saat ini Pemerintah Indonesia juga sedang mengajukan
melalui Dewan Perwakilan Rakyat beberapa Undang-undang
terkait Cyber Crime dan regulasi Cyber Law pada umumnya.
1. RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Salah satu yang sudah final pembahasannya adalah
Rancangan Undang-undang tentang Informasi dan transaksi
elektronik yang di dalamnya mengatur keberadaan dokumen
elektronik sebagai alat bukti yang sah Ketentuan tentang alat
bukti terdapat dalam pasal 5 RUU ITE yang menyatakan
bahwa:
(1) Informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi
elektronik merupakan alat bukti dan memiliki akibat
hukum yang sah .
(2) Informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi
elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Di samping hal-hal tersebut RUU ITE juga mengatur tentang hal-hal yang merupakan perbuatan yang dilarang terkait dengan cyber crime yang terdapat dalam pasal 26 RUU ITE yang berbunyi sebagai berikut : a. Larangan menggunakan dan mengakses komputer
melawan hukum dengan apapun dengan maksud merusak, merubah, mengganti, memperoleh atau menghapus informasi
Secara prinsip, semua orang dilarang :
(1) Menggunakan atau mengakses komputer atau
sistem elektronik lainnya tanpa hak dengan
maksud merusak, mengganti, merubah,
memperoleh, atau menghapus informasi dari
komputer atau sistem elektronik lainnya.
(2) Menggunakan atau mengakses komputer atau
sistem komputer lainnya dengan maksud
memperoleh, mengubah, merusak atau
menghancurkan informasi negara, yang
berada pada statu dilindungi atau rahasia.
(3) Menggunakan atau mengakses komputer atau
sistem elektronik lainnya, tanpa hak dengan
maksud memperoleh, merubah, menghapus
atau merusak informasi keamanan negara
atau hubungan internasional yang dapat
menghasilkan ancaman atau kerusakan
potensial kepada negara dan juga subjek
hukum internasional lainnya1.
b. Larangan merusak Sistem Elektronik yang dilindungi Negara.
Setiap orang dilarang untuk melakukan
perbuatan melawan hukum yang dapat
mengakibatkan rusaknya program transmisi, informasi
atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara2.
1 Pasal 26 RUU ITE 2 Pasal 27 RUU ITE
c. Larangan mengakses komputer untuk memperoleh informasi yang dilindungi negara.
Setiap orang dilarang menggunakan atau
mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya
yang melampaui haknya, baik dari dalam negara atau
luar negara, untuk mengambil informasi dalam dari
komputer atau sistem elektronik lainnya yang
dilindungi oleh negara.3
d. Larangan menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik lainnya dengan segala cara atau yang melampaui kapasitasnya.
Setiap orang dilarang :
(1) menggunakan atau mengakses komputer atau
sistem elektronik lainnya yang dimiliki oleh
negara tanpa adanya otorisasi;
(2) menggunakan atau mengakses komputer atau
sistem elektronik lainnya tanpa atau otorisasi
sebelumnya atau yang melampaui batas
kewenangannya terhadap yang dilindungi oleh
negara, yang dapat merusak benda tersebut.
(3) menggunakan atau mengakses komputer atau
sistem elektronik lainnya tanpa atau otorisasi
3 Pasal 28 RUU ITE
sebelumnya atau yang melampaui batas
kewenangannya terhadap yang dilindugi secara
umum, yang dapat merusaknya.
(4) merusak atau mengakibatkan kekacauan
komputer atau sistem elektronik yang
digunakan oleh negara4.
e. Larangan mengakses komputer tanpa otorisasi dengan maksud memperoleh keuntungan atau informasi finansial dari lembaga perbankan atau lembaga finansial.
Setiap orang dilarang :
(1) Menggunakan atau mengakses komputer atau
sistem elektronik tanpa otorisasi atau melebihi
kewenangannya dengan maksud memperoleh
kekayaan atau informasi finansial dari Bank
Indonesia, atau informasi finansial dari Bank
Indonesia atau lembaga perbankan atau
lembaga finansial, perusahaan kartu kredit,
kartu pembayaran atau lainnya selain
informasi konsumen yang disimpan.
(2) Menggunakan atau mengakses komputer atau
sistem elektronik tanpa otorisasi dari
4 Pasal 29 RUU ITE
perusahaan kartu kredit, kartu permbayaran
lainnya, dalam transaksi elektronik untuk
memperkaya diri.5
f. Larangan Akses Melawan Hukum dalam Komputer yang Dilindungi tanpa adanya Otorisasi atau yang Melebihi Kewenangan
Setiap orang dilarang menggunakan atau
mengakses komputer atau sistem elektronik Bank
Indonesia tanpa adanya otorisasi atau yang melebihi
kewenangaan dengan maksud memperkaya diri atau
menggunakannya dengan perbuatan yang melawan
hukum.6
g. Larangan untuk mengambil keuntungan atau kode
akses (Menggunakan Password untuk Menjebol Komputer Lembaga atau Lembaga Lain yang dilindungi oleh Negara.)
Setiap orang dilarang:
(1) Menyebarkan, menukarkan, atau menggu-
nakan kode akses (password) atau informasi
yang serupa, untuk menjebol komputer atau
sistem elektronik dengan maksud mensalah
gunakan, yang dapat mempengaruhi sistem
5 Pasal 30 RUU ITE 6 Pasal 31 RUU ITE
elektronik Bank Indonesia, lembaga
perbangkan atau lembaga finanasial, dan
perdagangan domestik atau internasional.
(2) Menyebarkan, menukarkan atau menggunakan
kode akses atau password, atau informasi yang
serupa, yang dapat digunakan untuk menjebol
komputer atau sistem elektronik dengan
maksed mensalahgunakan komputer atau
sistem komputer yang dilindungi negara.7
h. Larangan dalam Hubungan Internasional yang Merusak Komputer yang Dilindungi Negara dibawah Jurisdiksi Indonesia.
Setiap orang dilarang untuk melakukan tindakan,
dalam konteks hubungan internasional, yang merusak
dengan maksud dengan Every person merusak komputer
atau sistem elektronik yang dilindungi dibawah jurisdiksi
Indonesia dan dapat diakses secara umum.8
7 Pasal 32 RUU ITE 8 Pasal 32 RUU ITE
i. Larangan untuk menggunakan dan mengakses secara
melawan hukum dengan segala cara dengan maksud
merusak, mengganti, merubah, memperoleh atau
menghapus informasi.
Pada prinsipnya setiap orang dilarang :
(1) Menggunakan atau mengakses komputer atau
sistem elektronik, tanpa hak dengan maksud
merusak, mengganti, merubah, memperoleh
atau menghapus informasi dari komputer atau
sistem elektronik lainnya.
(2) Menggunakan atau mengakses komputer atau
sistem komputer lainnya dengan segala cara
dengan maksud memperoleh, merubah,
merusak atau menghancurkan informasi
negara, dalam status dilindungi atau rahasia.
(3) Menggunakan atau mengakses komputer atau
sistem elektronik lainnya tanpa hak dengan
maksud memperoleh, merubah, menghapus
atau merusak informasi keamanan negara atau
hubungan internasional yang dapat menjadi
ancaman atau kerugian kepada negara atau
subjek hukum internasional lainnya.9
j. Larangan untuk Merusak Sistem Elektronik yang Dilindungi oleh Negara
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan
melawan hukum yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada transmisi program, informasi atau
sistem elektronik yang dilindungi oleh negara.10
k. Larangan untuk mengakses komputer untuk memperoleh informasi yang dilindungi Negara.
Setiap orang dilarang untuk menggunakan
atau mengakses komputer atau sistem elektronik
lainnya tanpa hak atau melebihi kewenangannya, baik
yang diberikan dari negara atau tidak, ntuk
memperoleh information didalam komputer atau
sistem elektronik yang dilindungi oleh negara.11
9 Pasal 26 RUU ITE 10 Pasal 27 RUU ITE
11 Pasal 28 RUU ITE
l. Larangan untuk Menggunakan atau Mengakses Komputer atau Sistem Elektronik lainnya dengan Segala Cara atau yang Melebihi Kewenangannya.
Setiap orang dilarang :
(1). Menggunakan atau mengakses komputer dan
atau sistem elektronik yang dimiliki dan
dilindungi oleh negara tanpa adanya otorisasi;
Menggunakan atau mengakses komputer dan
atau sistem elektronik tanpa otorisasi atau
melebihi kewenangannya yang dilindungi oleh
negara, yang dapat berakibat rusaknya
sesuatu.
(2). Menggunakan atau mengakses komputer dan
atau sistem elektronik tanpa adanya otorisasi
atau yang melebihi kewenangannya yang
dilindungi oleh publik yang dapat
mengakibatkannya kerusakan.
(3). Merusak atau mengakibatkan kekacauan
komputer atau sistem komputer yang
digunakan oleh negara.12
12 Pasal 29 RUU ITE
m. Larangan untuk mengakses Komputer tanpa otorisasi dengan maksud memperkaya diri atau memperoleh informasi finansial dari lembaga perbangkan atau lembaga finansial.
Setiap orang dilarang:
(1) Menggunakan atau mengakses komputer dan
atau sistem elektronik tanpa adanya otorisasi
atau yang melampaui bata denga maksud
meperkaya diri atau memperoleh informasi
finansial dari Bank Indonesia, atau lembaga
perbankan atau lembaga finansial, perusahaan
kartu kredit, kartu pembayaran atau informasi
konsumen lainnya.
(2) Menggunakan atau mengakses komputer dan
atau sistem elektronik tanpa otorisasi dari
perusahaan kartu kredit atau bentuk lainnya
kartu pembayaran dalam dalam transaksi
elektronik untuk memperoleh keuntungan.13
13 Pasal 30 RUU ITE
n. Larangan untuk Mengakses secara Melawan Hukum Komputer yang dilindungi tanpa Otorisasi atau yang melampaui Kewenangan
Setiap orang dilarang untuk menggunakan
atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik
bank Indonesia tanpa otorisasi atau yang melebihi
kewenangan dengan maksud untuk memperoleh
keuntungan atau menyalagunakannya.14
o. Larangan untuk mengambil keuntukngan Kode akses (Penggunaan Password untuk menjebol komputer Lembaga Monetary atau lembaga lainnya yang dilindungi oleh Negara.)
Setiap orang dilarang:
(1). Menyebarkan, menukarkan atau menggunakan
kode akses (password) or atau informasi
lainnya yang serupa, untuk digunakan dalam
menjebol komputer atau sistem elektronik
dengan maksed menyalahgunakan, yang
dapat mempengaruhi bank Indonesia, lembaga
perbankan atau finansial dan perdaganan
domestik dan asing.
14 Pasal 31 RUU ITE
(2) Menyebarkan menukarkan atau menggunakan
kode akses atau password, atau informasi
yang serupa yang dapat digunakan untuk
menjebol komputer atau sistem elektronik
dengan maksed menyalahgunakan komputer
atau sistem elektronik yang dilindungi oleh
negara.15
p. Larangan dalam Hubungan Internasional untuk merusak Komputer yang Dilindungi oleh Negara dibawah kewenangan Indonesia.
Setiap orang dilarang dalam konteks
hubungan internasional untuk merusak komputer atau
sistem elektronik yang dilindungi negara dibawah
jurisdiksi Indonesia dan dapat diakses secara
umum.16
15 Pasal 32 RUU ITE
16 Pasal 32 RUU ITE
2. RUU tentang Transfer Dana
Ketentuan tentang cyber crime juga terdapat dalam
RUU tentang transfer dana yang menyatakan sebagai
berikut :
Pasal 91 :
(1) Barang siapa yang dengan sengaja dan melawan
hukum menerbitkan/mengeluarkan Perintah
Transfer Dana dengan maksud mengambil dan atau
memindahkan seluruh atau sebagian Dana milik
orang lain, dipidana dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun dan paling
lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda sekurang-
kurangnya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima
belas milyar rupiah).
(2) Pengurus, pejabat, dan atau pegawai Bank yang
dengan sengaja dan melawan hukum menerbitkan/
mengeluarkan Perintah Transfer Dana dengan
maksud mengambil dan atau memindahkan seluruh
atau sebagian Dana milik orang lain, dipidana dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda
sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah) dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Pasal 92 :
Barang siapa yang dengan sengaja menerima dan atau
menampung baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain
suatu Dana yang diketahui atau sepatutnya harus diduga
berasal dari Perintah Transfer Dana yang dibuat secara
melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 4 (empat) tahun dan paling lama 9 (sembilan)
tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Pasal 93
(1) Barang siapa dengan sengaja mengubah,
menghilangkan, menghapus sebagian atau seluruh
informasi yang tercantum dalam Perintah Transfer
Dana, dengan maksud untuk mengakibatkan kerugian
Pengirim dan/atau Penerima yang berhak dan/atau
pihak lain dan atau untuk memperkaya diri sendiri
dan/atau pihak lain, dipidana dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan/atau denda sekurang-
kurangnya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas
milyar rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila dilakukan oleh pengurus, pejabat, dan atau
pegawai Bank, maka pidana yang ditentukan dalam
ayat (1) ditambah dengan sepertiganya.
Pasal 94 :
Barang siapa yang dengan sengaja dan melawan hukum
mengakses, mengambil, mengubah, menggunakan,
menggandakan, merusak, dan atau menghilangkan suatu
sistem informasi Transfer Dana, dipidana dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Pasal 95
Barang siapa yang dengan sengaja dan melawan hukum,
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dan atau
orang lain, menahan dan atau mengintersepsi pengiriman
Perintah Transfer Dana melalui komputer atau media
elektronik lainnya, dipidana dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
3. RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Di samping rancangan regulasi tersebut, saat ini
masalah Cyber Crime juga sedang dibahas dan diintegrasikan
ke dalam rancangan KUHP yang merupakan kodifikasi
hukum pidana nasional sebagai revisi dari KUHP yang dibuat
Pemerintah kolonial Belanda.
B. Teknologi Informasi Menembus Batas Ruang dan Waktu
Secara umum banyak orang yang tercengang dan kagum terhadap
perkembangan di dunia “cyberspace” beserta kecanggihan teknologi dan
aplikasinya, namun sangat jarang yang memberi perhatian memadai
terhadap masalah hukum dan kebijakan yang ditimbulkannya.
Perlindungan hak-hak pribadi (privacy right) dan arus informasi
lintas batas merupakan sisi dilematis yang dihadapi oleh masyarakat
informasi. Disatu pihak ingin dicapai kebebasan arus informasi (free flow
of information), sementara dilain pihak harus tetap menjamin perlindungan
terhadap hak-hak pribadi. Ciri-ciri intrinsik teknologi komputer dan sistem
yang dikembangkannya memungkinkan penyebaran informasi tersebut
menjangkau lintas batas negara (transborder).
Dalam hubungan ini aspek yang berkaitan dengan hukum perdata
meliputi masalah yurisdiksi penegakkan hukum serta pilihan hukum,
misalnya dalam kontrak-kontrak yang dilakukan secara elektronis (e-
transaction).
Masalah yurisdiksi menyangkut kewenangan instansi yang berhak
menyelesaikan sengketa yang (mungkin) timbul. Sedangkan masalah
pilihan hukum memberikan berbagai alternatif dalam hal para pihak tidak
mencantumkan ketentuan tentang hukum yang berlaku dalam transaksi
elektronis yang mereka lakukan. Sementara itu masalah penegakkan
hukum akan sangat memperhatikan berfungsinya perangkat hukum,
terutama masalah putusan asing, baik oleh badan peradilan asing
maupun lembaga arbitrase asing.
Agar terdapat jaminan penyebaran informasi lintas batas nasional
tidak merugikan berbagai pihak, maka beberapa negara tetap melakukan
pembatasan-pembatasan tertentu, seperti yang telah diterapkan oleh
Amerika Serikat, jerman dan Perancis. Beberapa instrumen internasional
yang berkaitan dengan pembatasan tersebut, antara lain : “Data
Protection Convention of the Council of Europe (1980)”, Council of Europe
Convention for the Protection Individuals with Regard to Automatic
Processing of Personal Data (1981)”, European Community Directive on
the Protection of Individuals with Regards to the Processing of Personal
Data on the Freemovementn of such data of 1995”.
Seorang futurolog Amerika Serikat , Alfin Toffler dalam bukunya
“Power Shift”17 sebagaimana juga dikemukakan dalam karyanya “The Third
Wave”, meramaikan penghujung abad 20 berkat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka pada awal abad millenium akan ditandai
oleh pesatnya teknologi informasi mampu membentuk suasana “Total
Information War”, yang sering disebut “battle of information and battle of
communication”. Perdebatan pro dan kontra tentang manfaat kegunaan
teknologi informasi yang banyak dibicarakan mempengaruhi aspek
kehidupan masyarakat, mencakup nilai-nilai moral, etika serta perilaku
ditengah perubahan paradigma bisnis di Indonesia.
17
Toffler, Alfin. “Power Shift”, A Bantam Book, USA, November 1990, hlm. 153
C. Interpretasi Dan Implementasi Perjanjian-Perjanjian Internasional Di Bidang Keantariksaan Serta Implikasinya Bagi Upaya Perumusan Legislasi Nasional
Sebagai negara yang mempunyai kepentingan dalam penerapan
dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keantariksaan untuk
memenuhi kebutuhan nasionalnya. Indonesia perlu mengembangkan
sistem hukum antariksa nasional. Melalui sistem hukum nasional yang
merupakan bagian dari sistem hukum nasional Indonesia, diharapkan
kegiatan keantariksaan dapat berlangsung dengan tertib, bermanfaat serta
mendorong kemajuan. Dalam pengembangan hukum antariksa nasional,
beberapa prinsip perlu diperhatikan, antara lain :
a. Didasarkan atas kepentingan nasional.
b. Tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum nasional yang
berlaku.
c. Tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
internasional, khususnya di bidang keantariksaan.
Sebagaimana diketahui, Indonesia telah meratifikasi 4 (empat) dari
5 (lima) perjanjian internasional di bidang keantariksaan, masing-masing:
“Space Treaty 1967”18,”Rescue Agreement 1968”19, “Liability Convention
1972”20, dan “Registration Convention 1975”21. Sementara “Moon
18
Diratifikasi dengan Undang-undang No.16 tahun 2002. 19
Diratifikasi dengan Keppres No.4 tahun 1999. 20
Diratifikasi dengan Keppres No.20 tahun 1996. 21
Diratifikasi dengan Keppres No.5 tahun 1997.
Agreement 1979” belum diratifikasi. Dengan meratifikasi, berarti ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian internasional tersebut
ditransformasi dari ketentuan hukum internasional menjadi bagian dari
hukum nasional. Konsekuensinya, setiap upaya legislasi nasional di bidang
keantariksaan harus memperhatikan dan tunduk kepada ketentuan-
ketentuan hukum internasional termaksud. Persoalannya, seiring dengan
perkembangan kegiatan keantariksaan maka intrepretasi dan implementasi
perjanjian-perjanjian internasional diantara berbagai negara dapat
bervariasi sesuai dengan kepentingan nasional masing-masing. Indonesia
pun akan menjadikan kepentingan nasionalnya sebagai dasar
pertimbangan bagi perumusan legislasi nasionalnya, khususnya dalam
perumusan RUU Keantariksaan
D. Efek Rumah Kaca
Teknologi adalah bentuk aplikasi dari ilmu pengetahuan dalam
mewujuddkan kesejahteraan umat manusia. Teknologi diciptakan agar
hidup manusia dipermudah, dan lebih produktif atau lebih efisien, yang
akhirnya manusia akan hidup lebih nyaman dan lebih sejahtera. Namun
belakangan ini teknologi ibarat pisau bermata dua, satu sisi teknologi
memang dapat mempermudah dan mensejahterakan umat manusia, namu
disisi yang lain teknologi mempunyai dampak yang negative terhadapap
kehidupan manusia. Dengan meningkatnya teknologi dan pemanfaatannya
bagi kehidupan umat manusia, justru manusia dihadapkan kepada
berbagai masalah, terutama adalah masalah kesehatan. Semua sektor
pembangunan dewasa ini mengalami peningkatan yang luar biasa berkat
kemajuan teknologi , tetapi ironisnya semua kemajuan teknologi di semua
sector pembngunan tersebut mempunyai dampak negative pada kesehatan
masyarakat.
Perkembangan teknologi pertanian seperti penggunaan pupuk
buatan dan penggunaan peptisida untuk pemberantasan hama, jelas akan
merugikan kesehatan. Perkembangan teknologi pangan seperti
pengawetan makanan, penggunaan kemasan makanan dari plastik dan
foam, penggunaan penyedap kakanan dan sebagainya juga merugikan
kesehatan. Perkembangan teknologi pertambangan dengan menggunakan
bahan-bahan kimia, limbahnya juga akan menggancam kesehatan
manusia, seperti kasus di Buyat beberapa waktu yang lalu. Di sektor
perhubungan, khususnya transportasi, dengan meningkanya peggunaan
kendaraan bermotor, maka emisi atau gas buangan kendaraan bermotor
tersebut akan mengganngu kesehatan masyarakat.
Baru-baru ini pemerintah, dalam hal ini Presiden RI mengeluarkan
Inpres (Instruksi Presiden) No. 10 Tahun 2005 berkaitan dengan
penghematan BBM (bahan bakar minyak) . Tetapi Inpres tersebut lebih
didorong oleh alasan ekonomi, dan tidak didasari oleh alasan yang lebih
bersifat global. Sebanarnya disamping alasan ekonomi dan politik,
penghematan bahan bakar minyak akan lebih berbobot lagi kalau dilandasi
pula alasan global, yakni adanya efek rumah kaca yang mengakibatkan
“global warming” (pemanasan bumi) sebagai dampak dari polusi udara (air
pollution). Dengan perkataan lain pemansan global atau efek rumah kaca
adalah merupakan salah satu dampak dari sektor pembangunan (teknologi
transportasi), khususnya asap kendaraan bermotor. Meskipun gas buangan
kendaraan bermotor atau teknologi transportasi ini bukan satu-satunya
penyebab efek rumah kaca atau pemanasan bumi, namun gas buangan
kendaraan motor di Indonesia saat ini mempunyai kontribusi yang cukup
besar dalam efek rumah kaca (nurhasanah [email protected])
Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 4 ayat 6
menyebutkan bahwa baku mutu lingkungan adalah batas atau kadar
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan
atau unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam suatu sumber daya
tertentu sebagai unsure lingkungan hidup. Udara adalah salah satu
lingkungan hidup kita, oleh sebab itu zat-zat atau gas-gas yang ada
didalamnya harus sesuai dengan baku mutu lingkungan seperti yang diatur
dalam Undang-Undang tersebut. Apabila melebih dari ambang batas yang
ditentukan akan terjadi polusi udara, dan menggangu kesehatanan
masyarakat.
Salah satu bentuk implementasi Undang-Undang No. 4/1982 ini
adalah Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
(KLH) No. 2 tahun 1988. tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu
Lingkungan. Didalam undang-undang ini telah ditetapkan baku mutu
lingkungan, termasuk gas buangan kendaraan bermotor (CO2), meskipun
masing-masing Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur bersama Badan
Meteorologi dan Geofisika setempat diberikan keleluasaan untuk
menetapkan baku mutu berdasarkan daerah masing-masing berdasarkan
pertimbangan kondisi setempat, sepanjang masih didalam batas ambien.
E. Pembajakan Hak Cipta Dan Mall-Mall Yang Ada Di Indonesia Sebagai Tempat Penjualannya
Pada tanggal 15 April Tahun 1994 Pemerintah Indonesia
menandatangani persetujuan akhir yang memuat hasil-hasil Perundingan
Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay Round of Multilateral
Trade Negotiation). Dan meratifikasi Persetjuan Pembentukan WTO
(Agreement Establishing the WTO) dengan Undang-undang No. 7 tahun
1994 pada tanggal 2 November 1994. Sebagai anggota WTO, Indonesia
harus menyesuaikan system HKI nasional dengan Perjanjian TRIPS.
Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-undang tentang Hak Cipta,
Paten dan Merek, Undang-undang tersebut pada saat itu belum sesuai
dengan standart minimal yang diharuskan pada Perjanjian TRIPS. Sebagai
Konsekuensinya, undang-undang tersebut telah direvisi dan diubah
dengan:
(1) Undang-undang No. 12/1997 Tentang Perubahan atas Undang-
undang No. 6/1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah
dengan Undang No. 7 Tahun 1987;
(2) Undang-undang No. 13 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 61 Tahun 1989;
(3) Undang-undang No. 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 19 Tahun 1992 Tentang Merek.
Sementara itu, untuk menyusun UU Hak Cipta yang sesuai dengan
Perjanjian TRIPS pada tahun 2002, UU Hak Cipta disahkan dengan UU
nomor 19 tentang Hak Cipta (menggantikan UU Hak Cipta Tahun 1982
sebagaimana telah diubah pada tahun 1987 dan Tahun 1992.
Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan tentang “Persyaratan Khusus
Sehubungan dengan Tindakan Pembatasan” sebagaimana diatur dalam
Bagian III, Bab 4 Perjanjian TRIPS, satu bab khusus telah ditambahkan
ditambahkan pada Undang-Undang Kepabeanan Tahun 1995 (UU No.
5/1995). Bab X dari Undang-undang tersbut terdiri dari ketentuan tentang
larangan dan pembatasan eksport-import dan pengawasan eksport-import
atas barang-barang hasil pelanggaran HKI (khususnya Hak Cipta).
Sanksi yang tegas untuk penggunaan/eksplorasi secara tidak sah atas
hak cipta adalah 7 tahun penjara dan denda Rp. 1.000.000.000 atau kira-
kira US$100.000.
Indonesia telah memenuhi ketentuan Pasal 10 Perjanjian TRIPS untuk
memberikan perlindungan atas program computer dan kompilasi data
sebagai karya sastra sebagaimana diatur dalam Konvensi Bern. Menurut
Pasal 12 UU Hak Cipta, program komputer dan kompilasi data termasuk
dalam lingkup perlindungan.
Pasal 2 (2) Undang-undang Hak Cipta menyatakan bahwa pencipta
atau pemegang hak cipta atas karya sinematografi dan program computer
memiliki hak untuk menyewakan sebagaimana diatur oleh Pasal 11
Perjanjian TRIPS.
Di samping memberikan perlindungan hingga 50 tahun setelah
pencipta meninggal dunia atas karya-karya konvensional seperti sastra,
karya seni musik (Pasal 29 UU Hak Cipta), Indonesia juga melindungi
semua karya termasuk piranti lunak (software) selama 50 tahun sejak
pertama kali diumumkan (Pasal 30), sebagaimana diatur oleh Pasal 12
Perjanjian TRIPS.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun
2002 yang mulai efektif tanggal 29 Juli Tahun 2003 maka perlu diadakan
sosialisasi kepada para pemiliki mall yang berada di Jabotabek tentang
pentingnya HaKI itu khususnya Hak Cipta bagi masyarakat Indonesia.
Pada saat ini pemerintah sedang berusaha untuk meningkatkan iklim
usaha yang sehat dan dinamis, sehingga mampu mendorong pelaku
ekonomi dapat lebih berkembang dan maju dan berkompetisi dalam era
globalisasi. Dalam menyadari Hak Kekayaan Intelektual merupakan salah
satu kunci pertimbangan dalam keputusan bisnis perlu mewujudkan iklim
yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya karya-karya intelektual di
masyarakat di seluruh Indonesia.
Dalam keadaan ekonomi yang cukup memprihatinkan sekarang ini,
investasi asing merupakan hal yang banyak diharapkan akan turut
membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Sistem HKI yang baik, dalam hal
ini mencakup perlindungan hokum yang lebih kuat dan akan berdampak
pada meningkatkan arus investasi modal asing ke Indonesia.
Permasalahan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
(1) Permasalahan HKI di Indonesia, pada dasarnya sama dengan
permasalahan HKI di negara-negara lain baik di negara maju maupun
dinegara-negara berkembang yang membedakan adalah jumlah dan
kualitas. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pembajakan
buku, kaset, CD music dan sebagainya dinegara majupun itu terjadi
akan tetapi jumlah pelanggarannya sangat sedikit, sedangkan di
Indonesia dikatagorikan sebagai negara ke tiga yang terbesar di dunia
yang melakukan pembajakan.
(2) Hal lain yang perlu dikemukan adalah efektitas penegakan hukum.
Walaupun terjadi pembajakan di luar negeri cukup banyak, mereka
memiliki system penegakan hukum yang amat baik, karena apabila
masyarakat melaporkan masalah pembajakan tersebut dapat segera
ditangani langsung oleh polis dan para penegak hukum lainnya, hal
tersebut biasanya terjadi di negara-negara maju.
(3) Isu lain berkaitan dilema pasar. Kebanyakan kita terbelenggu oleh
keengganan mengganti kebiasaan membeli barang bajakan dengan
membeli barang yang asli karena yang bajakan jauh lebih murah
dibanding yang asli. Sebagian kita mensejajarkan kedudukan antara
kaduanya sebagai persaingan antara dua produk yang kompetitif.
Padahal sudah jelas yang pertama illegal, yang kedua sah.
Keterbelengguan ini disebabkan oleh dibiarkannya peredaran produk
illegal untuk diperjual belikan secara bebas ditengah-tengah
masyarakat.
F. Situs web instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif
sebagai sarana penyebarluasan dan layanan informasi hukum.
Kebutuhan informasi hukum yang sangat mendesak seyogianya
dapat dipenuhi dan diakses secara mudah dan murah bagi yang
membutuhkannya serta dapat diandalkan dan tersaji secara tepat waktu.
Informasi Hukum yang jelas, akurat dan mutakhir dirasakan sangat urgen
bagi :
1. Perancangan dan pembahasan Amandemen Undang Undang Dasar
1945, Undang-undang dan lain-lain produk perundang-undangan baik
di Pusat maupun Daerah;
2. Penentuan Kebijakan Pemerintah : dari Presiden , Menteri, Gubernur,
Bupati/Walikota sampai ke Camat serta bagaimana kebijakan
Pemerintah Daerah (otonom) menggunakan limpahan kewenangan
dari Pemerintah Pusat.
3. Pemeriksaan dan investigasi oleh Polisi, Jaksa, Komisi
Pemberantasan Korupsi, Komisi Obudsman Nasional, komisi Judisial
dsb;
4. Penyusunan putusan pengadilan oleh Hakim Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, Mahkamah Militer, Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi serta berbagai Pengadilan Ad-Hoc yang
sekarang sedang berkembang;
5. Pelaksanaan tugas para Pengacara dan Pembela perkara di lembaga-
lembaga Bantuan Hukum termasuk penyusunan strategi pembelaan
(pleidooi) bagi kliennya;
6. Pelaksanaan tugas para Debitur dan Mediator di dalam perkara bisnis
dan atau ekonomi;
7. Pelaksanaan tugas para guru besar dan dosen Fakultas Hukum, agar
mutu pendidikan Sarjana Hukum Indonesia tetap up-to-date dengan
mengajarkan teori maupun hukum nasional dan internasional yang
paling mutakhir;
8. Pembinaan kesadaran hukum masyarakat, agar setiap warga negara
dan penduduk mengetahui apa yang merupakan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara;
9. Informasi Hukum yang paling mutakhir itu juga sangat penting bagi
para mahasiswa untuk dapat menyusun skripsi, tesis dan disertasinya
secara baik sehingga dapat meningkatkan kecerdasan bangsa;
10. Dan lain-lain.
Mengingat kebutuhan informasi hukum diatas sangat vital maka
keberadaan situs web pemerintah dalam rangka penerapan e-Government
dapat menjadi wahana atau sarana yang efektif dan efisien untuk
digunakan dalam rangka penyebarluasan produk hukum maupun produk
kebijakan masing-masing instansi baik eksekutif, legislatif maupun Judikatif.
Perkembangan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
sungguh sangat memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam
memperoleh informasi. Akses ke informasi pemerintahan termasuk
informasi hukum menjadi terbuka sangat lebar bagi siapa saja. Sehinga
dapat dikatakan ada demokratisasi dibidang akses publik terhadap
informasi hukum serta jalannya pemerintahan. Arus informasi hukum yang
tidak terhambat dan terbuka luas untuk berbagai kalangan ini, akan
meningkatkan kepastian hukum sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
publik terhadap aturan hukum dan tata pemerintahan. Hal ini dikarenakan
ketimpang tindihan dalam aturan serta kekeliruan penerapan hukum yang
berlaku dapat dihindari. Selanjutnya dengan kelancaran arus informasi
hukum ini maka ketimpangan antara yang memiliki akses informasi hukum
dengan yang tidak mempunyai akses dapat diminimalkan sehingga
perlakuan pemerintah terhadap masyarakat akan lebih adil dan konsisten,
sehingga ketegangan dan kecurigaan antara pemerintah dan masyarakat
dapat dihindari. Dengan adanya arus informasi hukum yang terbuka ini pula
dapat menekan perbuatan korupsi karena dengan tersedianya informasi
hukum yang lengkap dan tepat masyarakat dan kalangan luas dapat
memantau serta mengukur batasan-batasan kewenangan instansi
dilingkungan eksekutif, legislatif dan judikatif sehingga memudahkan
menuntut pertangung jawaban apabila terjadi penyimpangan-
penyimpangan atau pelanggaran-pelanggaran.
Permasalahan kemudian adalah bagaimana mendayagunakan
dengan optimal bahan-bahan hukum serta produk hukum dan produk
kebijakan berupa peraturan perundang-undangan beserta aturan
pelaksanaanya yang tersebar di berbagai instansi. Sampai dengan saat ini
berbagai kalangan seperti aparatur negara, penegak hukum, kalangan
akademisi dan berbagai profesi hukum lainnya serta masyarakat luas masih
beranggapan dan merasa belum memiliki akses yang baik dan memuaskan
untuk mendapatkan informasi mengenai produk hukum, peraturan
perundang-undangan dan bahan hukum lainnya dari berbagai instansi yang
berwenang. Dalam era transparansi, berbagai kalangan tersebut diatas
menghendaki adanya keterbukaan dan kebebasan untuk memperoleh
informasi hukum. Pihak birokrasi pada pemerintahan, lembaga legislatif dan
judikatif harus mampu memberikan layanan yang cepat, akurat dan tidak
berbelit-belit sehingga pencari informasi hukum terpenuhi kebutuhannya
secara memuaskan. Untuk itu diperlukan suatu Jaringan Informasi Hukum
yang dapat diandalkan dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan
Komunikasi sehingga dapat diakses dengan mudah dan murah dan tidak
terikat ruang dan waktu.
Berbagai upaya membangun Sistem Informasi Hukum Nasional
dengan memanfaatkan Teknologi Informasi telah dilakukan karena
didasarkan atas kenyataan bahwa dokumentasi dan informasi hukum masih
merupakan faktor yang lemah dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sebagai instansi di
bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia telah ditetapkan
sebagai Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 91 Tahun 1999. Sebagai Pusat
Jaringan, BPHN mengemban tugas untuk menyebarluasan peraturan
perundang-undangan dan bahan hukum lainnya serta mengembangan
otomasi data hukum. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut BPHN telah
berinisitif mengembangakan Aplikasi Sistem Informasi Hukum Nasional
(SisFoKumNas) berbasis jaringan internet untuk meningkatkan aksibilitas
layanan informasi hukum serta memperluas jangkauan penyebarannya
yang tidak terikat ruang dan waktu. Portal situs web BPHN ini dapat diakses
melalui alamat http://www.bphn.go.id. dan mempunyai fasilitas link dengan
beberapa portal situs web Pemerintah Pusat, portal situs web Pemerintah
Daerah serta portal situs web lembaga legislatif yaitu situs web Dewan
Perwakilan Rakyat dan portal situs web lebaga judikatif seperti portal situs
web Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
BAB III
TEKNOLOGI INFORMASI MENEMBUS BATAS RUANG DAN WAKTU
A. Telematika Dan Jaringan Telekomunikasi Global.
Globalisasi teknologi informasi mengantarkan hadirnya masyarakat
informasi sebagai kelanjutan dari strata masyarakat agraris dan
masyarakat industri. Teknologi telekomunikasi, komputer dan informasi
telah berkembang demikian canggihnya sehingga aplikasi yang
berhubungan dengan teknologi tersebut sudah menjadi kehidupan umat
manusia sehari-hari. Teknologi ini mengubah cara hidup kita. Berbagai
hambatan seperti batas ruang dan waktu yang semula menjadi kendala
sangat besar menjadi hilang atau berkurangdengan adanya jaringan
internet. Munculnya sejumlah kasus yang sangat fenomenal di dunia
internet telah mendorong dan mengukuhkan internet sebagai institusi
dalam arus utama (mainstream) budaya saat ini. Sejarah penemuan
teknologi internet bermula dari negara Amerika Serikat. Internet singkatan
dari Interconnection Networking, bisa diartikan a global network of
computer networks. Jaringan komputer berskala internasional yang dapat
membuat masing-masing komputer saling berkomunikasi. Istilah yang
digunakan untuk menyatakan sesuatu yang berhubungan dengan internet
disebut cyber atau siber. Sedangkan cyber crime, selanjutnya kita sebut
sebagai kejahatan siber. Pada Tahun 1969 Departemen Pertahanan
Amerika Serikat menemukan produk teknologi yang esensinya adalah
memadukan teknologi telekomunikasi dengan komputer yang dikenal
dengan nama ARPAnet yang merupakan kependekan dari Advanced
Research Project Agency Network. Berdasarkan perpaduan dua produk
ini, seseorang dapat menjual ide melalui “Request For Comment”
kemudian diakses oleh orang lain untuk memperoleh komentar. Pada
tahun 1970-an perpaduan teknologi ini yang dikenal dengan istilah
teknologi informasi (information technology) mulai dimanfaatkan untuk
keperluan non-militer oleh berbagai universitas.
Kegiatan teknologi informasi dapat dimanfaatkan sebagai sarana
untuk saling berkomunikasi, dimanfaatkan masyarakat untuk penyebaran
dan pencarian data serta dimanfaatkan pula untuk memberi pelayanan
dan transaksi bisnis. Teknologi Informasi (TI) atau Information Tec
hnology (IT)22 merupakan sub sistem dari sistem informasi yang lebih
berorientasi pada teknologinya.
Dalam sistem teknologi informasi yang digunakan adalah teknologi
komputer, teknologi komunikasi dan teknologi apapun yang dapat
22
Salah satu definisi Teknologi Informasi atau Information Technology, yang dikutip dari “ Information
Technology Training Package ICA 99” yang diterbitkan oleh Australian National Training Authority
(ANTA), disebutkan :
The Information Technology Industry is defined as the development application of computer and
communication – based tecnologies, for processing, precenting, and managing data and information.
This includes computer hardware and component manufacturing, computer software development
and various computer related service; together with communication equipment, component
manufacturing and service.
Industri Teknologi Informasi adalah merupakan pembangunan dan penggunaan komputer beserta
teknologi yang berbasis komunikasi untuk memproses, menampilkan dan mengatur data beserta
informasinya. Ini meliputi perangkat keras dan komponennya, pembangunan perangkat lunak dan
berbagai pelayanan yang berkaitan dengan komputer yang bersamaan juga dengan perangkat
kumonikasi.
memberikan nilai tambah untuk organisasi. Pesatnya kemajuan teknologi
komunikasi, media dan informatika atau disingkat teknologi telematika23
serta meluasnya perkembangan infrastruktur informasi global telah
merupakan pola dan cara kegiatan bisnis di bidang industri, perdagangan
dan pemerintahan. Terkait dengan keberadaan internet sebagai satu
jaringan telekomunikasi global (global telecommunication network) atau
sering juga disebut dengan jalan raya informasi (Information Super-
highway atau Digital highway), orang akan membayangkan terjadinya
konvergensi pasar dan konvergensi konsumen.
Dengan konvergensi dalam bidang perdagagangan telah
melahirkan model transaksi e-commerce. Pada perjalannya internet juga
telah melahirkan konsep baru dalam bidang-bidang yang lainnya, seperti
pendidikan (e-learning), pemerintahan (e-government), bisnis (e-
business), dan politik (e-democracy). Indonesia sebenarnya telah cukup
lama membangun dan memanfaatkan telematika, baik dalam pengolahan
data berbagai komputer maupun dalam penyelenggaraan layanan
telekomunikasi canggih. Namun hingga kini masih tertinggal, bahkan
tertinggal oleh negara tetangga kita Singapura dan Malaysia yang telah
memiliki cyber law masing-masing sejak tahun 1993 dan tahun 1997.
Dalam upaya pendayagunaan telematika, pemerintah telah mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Pengembangan dan
23
Chandra Yusuf, “ Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Hukum Pasar Modal”, Seminar
BPHN, Jakarta 20-21 Oktober 2003 dijelaskan bahwa telematika berasal dari kata “telematics” .yang
memiliki pengertian suatu campuran atau kombinasi dari telekomunikasi ( telecommunication) dan
menghitung (computing). Internet adalah salah satu contoh dari telematika, merupakan komunikasi
data antara sistem dan alat-alat.
Pendayagunaan Telematika di Indonesia. Dua tahun sebelumnya terdapat
Undang-undang Nomor 36 tahun 1999. Tentang Telekomunikasi sebagai
pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi
dan Keppres Nomor 50 Tahun 2000 Tentang Tim Koordinasi Telematika
Indonesia.
Perkembangan telekomunikasi yang pesat mendorong secara
simultan munculnya ekonomi global24 yang semakin luas. Telekomunikasi
akan melengkapi infrastuktur setiap industri dan perusahaan yang
bersaing dalam pasar global. Bisnis telekomunikasi berkembang berlipat
ganda ke arah proses interkonektivitas, dimana pemanfaatannya
dikombinasikan dengan telepon. Sarana media televisi, komputer dan
komponen elektronik menjadi kekuatan global yang bisa memberikan
dampak positif maupun negatif terhadap kehidupan umat manusia Oleh
karena itu diperlukan ekspektasi terhadap tinkah laku individual dalam
bentuk peraturan-peraturan baru atau norma-norma baru berupa code of
conduct secara universal ditengah berlangsungnya itikad tidak baik
dilakukan pihak-pihak yang mencari keuntungan dengan melawan hukum,
yang berarti melakukan pelanggaran dan kejahatan. Seperti halnya
kejahatan komputer yang merupakan kejahatan siber (cybercrime) telah
berkembang di Indonesia perlu ada pengaturannya, agar dapat mencebah
dampak negatif, mendorong dampak positif, sehingga terjadi kondisi
sosial yang harmonis.
24
Naisbitt, John “Global Paradox”, USA, 1994, menyebutkan ;” Telecommunication is the driving
forse that is simultaneously creating the huge global economy and making as parts smaller and more
powerful”, William morrow and Company, New York, hlm. 53
Memperhatikan kondisi serupa itu timbul gerakan masyarakat untuk
mengembangkan hukum, peraturan, norma tidak tertulis dan berbagai
upaya untuk memelihara harmoni sosial. Jika mengikuti kasus-kasus
kejahatan yang berbasis komputer dewasa ini (cyber crime/ computer
crime/ computer misuse/ computer abuse/ computer related crime)
dikaitkan dengan kriterian penggunaan hukum kejahatan tersebut
bukanlah merupakan kejahatan yang sederhana. Karena itu kejahatan
siber (cyber crime) bukan hanya persoalan yuridis belaka, sebab
didalamnya terkait beberapa unsur lainnya, seperti sikap pelaku yang
tidak bertanggung jawab, kecongkakan intelektual si pelaku, sikap tertutup
si korban, disamping lemahnya hukum dan pengawasan. Masalah
pengertian istilah “cyber crime” belum dikenal secara sistematis dalam
kepustakaan di Amerika Serikat sampai dengan tahun 1980-an dan baru
diakui sekitar tahun 1990-an yang secara khusus dimasukkan ke dalam
Black's Law Dictionary (2001).25
B. Teknologi Informasi Sebagai Sasaran dan Sarana Kejahatan
25
Dalam “Black Law Dictionary” (2001), dimasukkan pengertian istilah cybersquatting, the act of
reserving a domain name on the internet, esp. a name that would be associated with a company's
trademark and than seeking to profit by selling or licensing the name to the company that has an
interest in being identified with it. Cybertalking, the act of the threatening, harassing or annoying
someone through multiple e-mail messages, as trough the internet, esp. with the intent of placing the
recipient in fear that an illegal act or an injury will be inflicted on the recipient or member of the
recipient's family or household.
Di Indonesia sampai saat ini belum ada Undang-undang khusus
yang mengkriminalisasikan tipe kejahatan dengan menggunakan
teknologi komputer. Jika dalam beberapa kasus penggunaan komputer
untuk melakukan kejahatan tertentu telah dijatuhi pidana Pengadilan di
Indonesia, fakta tersebut bukan merupakan penerapan dari hukum
pidana, melainkan suatu analisis hukum yang “mempersamakan”
kejahatan dimaksud dengan kejahatan biasa yang telah diatur dalam
KUHP. Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan siber dapat meliputi
pertama, teknologi informasi sebagai sasaran kejahatan dan kedua,
teknologi informasi sebagai sarana untuk melakukan kejahatan.26
Sebagaimana disebutkan dalam “Convention on Cybercrime”
(2001), teknologi informasi sebagai sasaran kejahatan terbagi atas tiga
jenis kejahatn siber yaitu :
1. Offences against the confidentiality, integrity and avaibility of
computer data, meliputi : illegal access, illegal interception; data
interference; sistem interference; misuse devices.
2. Computer related offences, meliputi computer related forgery;
computer related fraud; offences related forgery; computer related
fraud; offences related to childpornography.
3. Offences related to infringement of copy right and related rights,
meliputi kejahatan terhadap hak kekayaan intelektual.
26
Romli Atmasasmita, disampaikan dalam “Seminar Teknologi Informasi “, kerjasama BPHN dan
Program Pasca Sarjana UNPAD, 20-21 Oktober 2003.
Sedangkan sasaran teknologi informasi sebagai sarana kejahatan,
khususnya dalam transaksi bisnis internasional telah menimbulkan akibat
hukum yang sangat merugikan, dan bahkan telah menimbulkan masalah
yurisdiksi hukum. Khusus mengenai prinsip yurisdiksi hukum pidana telah
diakui beberapa prinsip yurisdiksi, antara lain prinsip teritorialitas, prinsip
nasionalitas, baik nasionalitas pelaku maupun korban dan prinsip
universalitas.
Mengingat semakin kompleksnya permasalahan terhadap perlunya
penerapan hukum untuk menghadapi kejahatan siber, maka diperlukan
hukum pidana khusus siber atau cybercrime law27 yang dirasakan sangat
mendesak kehadirannya di negara kita. Di dalam Konvensi Cybercrime
(2001) yang diadopsi oleh Council of Europe telah ada ketentuan
mengenai yurisdiksi hukum pidana yang selama ini telah diakui dalam
hukum pidana yang berlaku di seluruh negara.
Sampai saat ini belum ada satu lembaga internasional yang
memiliki wewenang untuk memutuskan yurisdiksi negara yang berwenang
menuntut dan mengadili kasus dimaksud. Namun demikian prinsip umum
hukum internasional sudah mengakui bahwa pilihan yurisdiksi hukum
pidana terhadap kejahatan siber yang bersifat transnasional merupakan
wewenang negara locus delicti, dilihat dari sisi nasionalitas pelaku atau
korban atau tempat dimana sarana teknologi komputer digunakan.
Demikian juga telah diterima prinsip yurisdiksi yang bersifat opsional/
27
Dalam “Black Law Dictionary”. (2001), hlm. 392 disebutkan : Cyberlaw, the field of law dealing
with computers and the internet, including such issuess as intellectual – property rights, freedom of
expression and free access to information.
bahwa negara lain yang telah dirugikan karena kejahatan transnasional
tersebut dapat mengajukan klaim yurisdiksi yang sama.
Teknologi komputer telah mengubah budaya manusia dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bainbridge mengatakan bahwa
: Computer Technology is having an ever-growing impact upon society
and the way that society conducts its affairs. Computer have permeated
almost every profesional, commercial and industrial activity and many
organizations would find it difficult, if not impossible, to function without
relying heavily on computer.28
Teknologi berkembang seiring dengan kebutuhan manusia untuk
memudahkan hidup manusia dari waktu sebelumnya. Pemanfaatan
telematika dalam berbagai bidang kehidupan manusia, seperti pendidikan,
pertukaran informasi, hiburan, perdagangan dan sebagainya bukan saja
telah mengakibatkan segala urusan menjadi mudah, tetapi juga
melahirkan sejumlah permasalahan termasuk masalah hukum. Dalam
perdagangan secara elektronik (e-commerce) misalnya, muncul persoalan
hukum berkaitan dengan perlindungan data pribadi para konsumen (the
protection of privacy right of consumen).
Informasi mengenai transaksi secara elektronik (on-line system)
atau e- commerce membutuhkan adanya perlindungan hukum yang
memadai terhadap upaya orang atau pihak-pihak yang berusaha
mengakses secara ilegal. Jenis perlindungan ini meliputi beberapa aspek
28
Bainbridge, David, “Introduction to Computer Law”, Pearson Education Limited, Great Britain,
2000, hlm.1.
yang disebut CIANA 3, yaitu : Confidentiality, Integrity, Authorization, Non-
repudiation, Availibility, Authenticity dan Auditability. Seluruh aspek
tersebut dirangkum dalam sebuah sistem yang dinamakan Cryptosystem
yang terdiri atas dua sistem yakni, symetric cryptosystem atau secret key
cryptosystem dan asymetric cryptosystem atau public key cryptosystem29.
Teknologi informasi atau information technology (IT) telah
menghasilkan berbagai jenis dan peluang baru dan telah menciptakan
karir baru dalam pekerjaan manusia. Transaksi-transaksi bisnis makin
banyak dilangsungkan secara elektronik, suatu perubahan dari “paper
transaction”, menjadi “electronic transaction”. E-commerce memerlukan
sistem pengamanan yang dapat melindungi pihak-pihak yang
bertransaksi.
Amerika Serikat memainkan peran utama dalam revolusi informasi,
menyadari ketergantungan mereka pada IT yang telah membuka
ancaman baru terhadap ekonomi, keamanan masyarakat (public safety)
dan pengamanan nasional (national security). Sehubungan dengan itu
pada tanggal 22 Mei 1999, Presiden Amerika Serikat telah
menandatangani Presidential Decision Directive 63 (PDD 63) on Critical
Infrastructure Protection. Di dalam Keputusan Presiden Amerika Serikat
tersebut ditegaskan sistem pengamanan terhadap komunikasi elektronik
memberikan perlindungan perbuatan-perbuatan yang dapat berupa :
29
Makalah “Cyber Law : Antisipasi Hukum Terhadap Transaksi Bisnis Melalui Cyber Network”,
Seminar Pusat Studi Hukum dan Kemasyarakatan (PSHK) Medan, 30 Januari 2001.
1. Pengubahan, penambahan atau perusakan oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab terhadap data dan informasi, baik selama proses
transmisi oleh pengirim kepada penerima maupun selama dalam
penyimpanan.
2. Perbuatan pihak yang tidak bertanggung jawab dalam usaha
memperoleh informasi yang dirahasiakan , baik secara langsung dari
penyimpanan, maupun ketika ditransmisikan oleh pengirim kepada
penerima (upaya penyadapan).
Sehubungan dengan itu, sistem pengamanan komunikasi
elektronik harus mengakomodasikan kebutuhan pengamanan CIANA 3.
Indonesia mempersiapkan RUU tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, karena menyadari perkembangan teknologi telah
mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
Didalam RUU tersebut, antara lain memuat substansi tentang
tanda tangan elektronik (electronic signature) atau digital signature.
Signature yang dimaksudkan disini bukan merupakan digitalizes image of
handwritten signature”, bukan tanda tangan yang dibutuhkan oleh
seseorang dengan tangannya di atas dokumen-dokumen, antara lain
dokumen-dokumen kertas seperti yang lazim dilakukan. Digital signature
diperoleh dengan terlebih dahulu menciptakan suatu message digest atau
hash, yaitu mathematical summary dokumen yang akan dikirimkan melalui
dunia siber (cyberspace). Fungsi suatu digital signature sama dengan
fungsi sidik jari seseorang. Digital signature merupakan alat untuk
mengidentifikasi suatu pesan yang dikirimkan.30 Digital signature
bertujuan untuk dapat dijadikan alat bukti kuat secara hukum bahwa isi
pesan yang telah dikirimkan oleh pengirim itu disetujui oleh pengirimnya
dan bukan dikirimkan oleh orang lain.
Pada tanggal 1 Oktober 2000 Amerika Serikat telah mengeluarkan
suatu Undng-undang yang mengatur mengenai digital signature atau
electronic signature, disebut sebgai “Electronic Signature in Global and
International Commerce Act”, Singapura mengatur digital signature
mendahului Amerika Serikat dengan menerbitkan Electronic Transaction
Act Number 25 of 1998, tanggal 10 juli 1998, Dalam RUU tentang
Informasi dan Transaksi Elekronik di Indonesia disebutkan bahwa tanda
tangan elektronik adalah Informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki
hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain
yang ditujukan oleh pihak yang bersangkutan untuk menunjukkan
identitas dan status subyek hukum. Sedangkan transaksi elektronik
adalah hubungan hukum yang dilakukan melalui komputer, jaringan
komputer atau media elektronik lainnya31. Dari kedua definisi tersebut titik
berat diletakkan pada pentingnya status subyek hukum dan hubungan
hukumnya.
30
Drew, Grady N. “Using Set For Secure Electronic Commerce”, Prentice Hall PTR, 1999, hlm. 40. 31
Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Departemen Komunikasi dan Informatika, 2004.
C. Perkembangan Teknologi Informasi di Beberapa Negara
Perspektif internasional dari “information superhighways” telah
menjadi agenda nasional beberapa negara, antara lain Amerika Serikat,
Canada, Uni Eropa, Jepang, Republik Korea, Singapore dan Malaysia.32
Sejak tahun 1993 Amerika Serikat mengembangkan “National
Information Infrastructure” atau NII terdiri dari 4 komponen pokok yaitu :
“owner of the highways”, “the makers of the information appliances”, “ the
information providers” dan “information costumer”, Visi dari
pengembangan NII adalah membuat Amerika Serikat sebagai pemimpin
dunia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta melayani kebutuhan
informasi bagi bangsa Amerika dengan harga terjangkau.
� Canada, tahun 1994 melalui “The Information Highway Advisory
Council” (IHAC), bertujuan menciptakan lapangan kerja melalui
inovasi dan investasi dengan memperluas dan menyempurnakan
infrastruktur informasi, menegakkan kedaulatan nasional dan
identitas kultural bangsa serta menjamin pelayanan umum
(universal service) dengan harga yang wajar.
� Uni Eropa, mengembangkan “EU Action Plan For The Information
Society” pelaksanaannya melalui “the European Council For
Telecoms”.
� Jepang, melalui Dewan Telekomunikasi pada tahun 1993 telah
melakukan studi mengenai “Info Communication Infrastructure” 32
Munir, Abu Bakar, Cyber Law, Policies and Challenges , Butter worts Asia Tahun, Malaysia, 1999.
yang bertujuan akhir untuk mendukung transisi ke arah “Intellectual
Creative Society”.
� Republik Korea, mempunyai visi dan misi untuk mengembangkan
“Korea Information Infrastructure” (KII), bertujuan memperluas dan
memajukan infrastruktur informasi nasional yang terdiri dari jaringan
komunikasi komputer, “data base” dan terminal multi media.
� Singapura, pada tahun 1993 melalui “The Singapore National
Computer Board” (NCB) telanh mengembangkan “IT 2000 Master
Plan”, bertujuan merubah Singapura menjadikan “Intellegent Island”
dimana penggunaan IT merupakan bagian dari seluruh kehidupan
masyarakat, baik di tempat kerja, di rumah, di tempat bermain dan
lain-lain. Pada tahun 2010 Singapura berambisi sebagai negara
pertama di dunia yang memiliki “an advanced nationwide
information infrastructure”.
� Malaysia, memasuki tahun 2004 telah menambah 3 (tiga)
perangkat Undang-undang lagi di bidang siber (cyber laws), yaitu
the Electronic Government Act, the Electronic transactions Act dan
the Personal Data Protection Act. Sebelumnya Malaysia telah
memiliki undang-undang: the Digital Signatture Act 1997, the
Computer Crimes Act 1997, the Copyright (Amendment) Act 1997
dan the Communications and Multimedia Act 1998.
� Indonesia, melalui instruksi Presiden RI Nomor 6 Tahun 2001,
Tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di
Indonesia, antara lain bertujuan memfasilitasi masyarakat untuk
turut serta dalam pengembangan dan pendayagunaan
telekomunikasi, media dan informatika (Telematika).33
Sambil menunggu kehadiran “cyber law” di Indonesia beberapa
aspek yang mendesak untuk diatur sebagai jaminan kepastian hukum yaitu
perlunya pengaturan “secure transaction”, “public key infrastructure”,
“registration authority”, “electronic payment” dan “sertification authority”.
BAB IV
INTERPRETASI DAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN-PERJANJIAN
INTERNASIONAL DI BIDANG KEANTARIKSAAN SERTA IMPLIKASINYA
BAGI UPAYA PERUMUSAN LEGISLASI NASIONAL
33
Inpres Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Pengembangan dan Pemberdayagunaan Telematika di
Indonesia.
A. Space Treaty 1967
I. Prinsip-prinsip Pokok
Sebagai “Magna Charta” Bagi kegiatan keantariksaan.
“Space Treaty 1967” memuat prinsip-prinsip pokok bagi kegiatan
keantariksaan, yang mencakup :
a. Prinsip kebebasan dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan
penggunaan antariksa secara non-diskriminatif (“freedom of
exploration and use on a non-discriminators basis”) untuk
kepentingan dan manfaat semua bangsa34.
b. Prinsip larangan penundukan nasional (“not subject national
appropriation”) atas antariksa, termasuk bulan dan benda-
benda langit lainnya35.
c. Prinsip berlakunya Ketentuan-ketentuan Hukum
Internasional termasuk Piagam PBB bagi kegiatan
keantariksaan36.
d. Prinsip Larangan penempatan dan percobaan senjata nuklir
dan senjata perusak masal serta perbentengan di antariksa37
e. Prinsip kewajiban pertolongan terhadap astronaut sebagai
duta kemanusiaan (“envoys of mankind”) serta
pengembalian terhadap astronaut dan benda-benda
34
Lihat Pasal I Space Treaty 1967. 35
Ibid. Pasal II 36
Ibid. Pasal III 37
Ibid. Pasal IV
antariksa yang melakukan pendaratan darurat, kecelekaan
atau dalam keadaan “distress”38.
f. Prinsip tanggung jawab negara (“state responsibility”) bagi
“national activities” dengan melaksanakan “authorization and
continuing supervision”. serta kewajiban memberikan ganti
rugi internasional (“international liability”) atas akibat yang
ditimbulkan oleh kegiatan benda-benda antariksa39.
g. Prinsip pelaksanaan yurisdiksi dan pengendalian atas benda
antariksa oleh negara pendaftar dari suatu benda
antariksa40.
h. Prinsip perlindungan dan pelestarian lingkungan melalui
“international consultation”41.
i. Prinsip kerjasama internasional42.
Mengingat prinsip-prinsip di atas bersifat universal, maka tak
heran jika sampai dengan tanggal 1 Januari 2003 jumlah negara
yang telah meratifikasi Space Treaty 1967 berjumlah 98 (sembilan
puluh delapan) negara. bahkan negara-negara yang belum
meratifikasinya dalam prakteknya menghormati dan melaksanakan
prinsip-prinsip “Space Treaty 1967”. Dengan demikian dapat
38
Ibid. Pasal V 39
Ibid. Pasal VI dan VII 40
Ibid. Pasal VIII 41
Ibid. Pasal IX 42
Ibid. Pasal XI
dikatakan “Space Treaty 1967” bukan hanya sekedar “treaty
contract”, tetapi merupakan “law making treaty”.
2. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi
Meskipun bersifat universal, akan tetapi banyak negara dan
para ahli yang menginterpretasikan serta mengimplementasikan
secara berbeda prinsip-prinsip di atas. Beberapa contoh mengenai
perbedaan interpretasi dan implementasi tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut :
a. Pengertian “province of mankind” apakah sama dengan
“common heritage of mankind”, meskipun keduanya
merupakan kawasan “beyond national territory”, namun
penafsirannya yang berbeda dapat mengakibatkan
implementasi yang berbeda pula;
b. Mengenai status antariksa sebagai “province of mankind”
dan “common heritage of mankind”. ada yang
menafsirkannya sebagai “common interesr”, sementara yang
lain memahaminya sebagai “common ownership”;
c. Mengenai konsep “non-appropriation”, AS berpendapat
bahwa hanya terbatas pada pengertian tidak tunduk kepada
“kedaulatan nasional”, akan tetapi kepemilikan pribadi
(“private ownership”) dimungkinkan, di mana hal itu dapat
diatur pada hukum nasional masing-masing. Sementara itu
beberapa negara lain (mis: Italy, Perancis, Belanda)
berpendapat bahwa “non-appropriation” tidak hanya berlaku
terhadap negara, tetapi juga berlaku bagi badan hukum
lainnya;
d. Mengenai pengertian “peaceful” meskipun dari rumusan
“Space Treaty 1967” sesuai dengan penafsiran AS yaitu
“partial demilitarization” (sepanjang tidak agresif), namun
negara lain (mis. Iran) masih mempertanyakan, terutama
dikaitkan dengan penafsiran Uni Sovyet (dulu), yang
memahami “peaceful” sebagai “non-military”;
e. Masih banyak negara yang belum/tidak memahami adanya
perbedaan konsepsi antara “state responsibility” dan
“international liability” dalam konteks kegiatan keantariksaan,
dimana “state responsibility” merupakan bentuk “tanggung
jawab umum” sedangkan “international liability” merupakan
salah satu bentuk konsekuensinya yaitu berupa kewajiban
untuk membayar ganti rugi;
f. Menyangkut kewajiban untuk melakukan “international
consultation”, masih terdapat penafsiran yang berbeda,
terutama dalam hal permintaan konsultasi dilakukan oleh
negara yang secara potensial akan menghadapi dampak dari
kegiatan keantariksaan yang dilakukan oleh negara lain.
Apabila langkah konsultasi tersebut gagal, tetap tidak ada
kewajiban bagi negara yang melakukan kegiatan untuk
menghentikan kegiatannya;
g. Tidak jelasnya kriteria tentang kualifikasi dari “space crew”
yang dapat dikategorikan sebagai “astronaut” yang notabene
adalah “envoys of mankind”. Hal ini penting mengingat di
masa depan akan semakin banyak personil yang dikirim ke
antariksa (termasuk sebagai “tourist”), yang tidak semuanya
layak diperlakukan sebagai “envoys of mankind”.
h. Tidak adanya kejelasan mengenai negara mana yang
dimaksud dengan “appropriate state”, apakah “launching
state”, “state of registry” ataukah negara yang memberikan
lisensi bagi suatu kegiatan keantariksaan;
i. Masih perlunya redefinisi terhadap beberapa istilah dan
pengertian seperti : “space activities”, “space objects”,
“launching State”, “national activities”, dan lain-lain.
3. Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional
Perbedaan interpretasi dan implementasi prinsip-prinsip
Space Treaty tentu saja membawa implikasi bagi upaya
perumusan legislasi nasional, khususnya yang akan dituangkan
dalam RUU Keantariksaan. Oleh karena itu maka perkembangan
tersebut perlu dicermati dan sekaligus dapat diambil sikap sebelum
diinkorporasikan ke dalam RUU Keantariksaan. Untuk itu
parameter yang dapat digunakan adalah kepentingan nasional
Indonesia, khususnya dalam konteks kegiatan keantariksaan.
Beberapa contoh mengenai sikap yang dapat diambil adalah
sebagai berikut :
a. Perlu penetapan status antariksa sebagai “province of mankind”
dan “common heritage of mankind” yang tidak tunduk pada
kedaulatan nasional;
b. Mengenai status antariksa sebagai “province of mankind” dan
“common heritage of mankind” kiranya secara prinsip terlebih
dahulu dipahami sebagai “common ownership” sebelum ada
rejim khusus yang menjabarkannya, hal ini diperlukan untuk
mencegah pemanfaatan oleh negara-negara maju dengan
semata-mata berdasarkan prinsip “first come, first served” dan
hanya didasarkan atas kemampuan ilmiah dan teknis;
c. Mengenai penerapan prinsip “non-appropriation” juga harus
diartikan bukan hanya tidak tunduk kepada kedaulatan
nasional, tetapi juga tidak dapat dimiliki oleh privat sepanjang
tidak berdasarkan atas rejim internasional yang berlaku;
d. Mengenai pengertian “peaceful”,perlu ditetapkan beberapa
parameter hukum dan teknis serta diterapkannya sistem
verifikasi untuk menjamin pemanfaatan antariksa untuk
maksud-maksud damai;
e. Mengenai pengertian “launching state” perlu dilakukan
redefinisi dalam konteks kemungkinan partisipasi swasta bagi
kegiatan keantariksaan, misalnya dengan mengintrodusir istilah
“launching authority”. Disamping itu perlu diperhatikan pula
modus peluncuran baru seperti “air launch” dan “sea launch”
yang dapat berpengaruh pada batasan “launching state”.
f. Sebagai suatu negara yang disatu sisi aktif di bidang
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi keantariksaan
serta pada sisi lain menjadi “potential victims” bagi kegiatan
keantariksaan, maka Indonesia perlu memperhatikan
penafsiran tentang “international consultation” dari sudut
pandang pengamanan kepentingan nasional.
g. Mengingat eratnya kaitan antara pendaftaran, yurisdiksi dan
pengendalian atas benda antariksa dengan masalah “state
responsibility” dan “International liability”, maka masalah ini
harus terus didalami, termasuk dalam hal kegiatan
keantariksaan dilakukan oleh badan hukum bukan negara.
h. Dan lain-lain.
B. Rescue Agreement 1968
I. Ketentuan Pokok
“Rescue Agreement” merupakan penjabaran dari ketentuan
pasal V “Space Treaty 1967” yang menyatakan bahwa astronaut
adalah duta kemanusiaan (“envoys of mankind”) sebagai
konsekuensinya, perjanjian ini meletakkan kewajiban bagi negara
lain untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna
memberikan pertolongan bagi astronaut yang melakukan
pendaratan darurat (“emergency landing”), mengalami kecelakaan
atau dalam keadaan “distress”, serta mengembalikan benda
antariksanya kepada negara peluncur.
Perjanjian yang terdiri dari 10 Pasal ini memuat prinsip-
prinsip sebagai berikut :
a. Kewajiban negara anggota untuk menyampaikan
pemberitahuan, baik kepada pihak peluncur (“launching
authority”) maupun Sekretaris Jenderal PBB atas tiap
informasin atau penemuan menyangkut astronaut yang
mengalami kecelakaan, melakukan pendaratan darurat atau
dalam keadaan “distress” pada wilayah yurisdiksi negara
lainnya43.
b. Kewajiban negara anggota untuk segera mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelamatkan dan
memberikan bantuan yang diperlukan serta melaporkan atas
langkah-langkah yang diperlukan tersebut baik kepada
negara peluncur maupun Sekretaris Jenderal PBB.
Disamping itu mendorong pihak peluncur dan negara
43
Lihat Rescue Agreement, Pasal 1
anggota bekerjasama bagi upaya penyelamatan yang
efektif44.
c. Kewajiban negara anggota yang terdekat dengan lokasi
kejadian di laut lepas di luar wilayahnya untuk segera
memberikan bantuan dan melakukan operasi penyelamatan
serta melaporkannya, baik kepada pihak peluncur maupun
kepada Sekretaris Jenderal PBB45.
d. Kewajiban negara anggota untuk mengembalikan astronaut
dan/atau benda-benda antariksa kepada pihak peluncur46.
e. Kewajiban pihak peluncur untuk membiayai segala kegiatan
negara yang memberikan bantuan dan mengembalikan baik
astronaut maupun benda antariksanya47.
f. Pihak peluncur (“launching authority”) diartikan sebagai baik
negara yang bertanggung jawab atas peluncuran maupun
organisasi internasional yang bertanggungjawab atas
peluncuran48.
2. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi
Secara ideal ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
“Rescue Agreement” tidak menimbulkan persoalan karena
menonjolkan aspek kemanusiaan, akan tetapi dalam
44
Ibid. Pasal 2. 45
Ibid. Pasal 3. 46
Ibid. Pasal 4. 47
Ibid. Pasal 5 ayat 5. 48
Ibid. Pasal 6.
pelaksanaannya dapat memunculkan persoalan-persoalan praktis
yang perlu dipecahkan, seperti:
a. Dikaitkan dengan perkembangan keantariksaan yang
mungkin menyertakan personil seperti “payload specialist”,
“researcher”, “scientist”, dan bahkan “military personnel”,
termasuk keikutsertaan “space tourist”, apakah mereka
semua dapat dikategorikan sebagai “astronaut” yang adalah
merupakan “envoys of mankind”? jika tidak, apakah
parameter yang dapat digunakan untuk membedakannya?
b. Apakah negara anggota tetap wajib memberikan bantuan
kepada astronaut negara lain yang melakukan misi militer
(mis. mata-mata) yang tidak bersahabat kepada negaranya?
c. Bagaimana mekanisme penegakan hukum yang dapat
dilakukan terhadap negara yang tidak memberikan bantuan
sesuai kewajiban dalam “Rescue Agreement”?
d. Mengapa istilah “launching authority” hanya berlaku bagi
negara dan organisasi internasional? Bagaimana bila pihak
peluncur adalah perusahaan swasta, apakah dapat
diklasifikasikan sebagai “launching authority”?
e. Mengingat “Rescue Agreement” merupakan perjanjian yang
relatif lama, apakah tepat waktu untuk melakukan
amademen terhadap ketentuan-ketentuan yang dipandang
sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi ?
3. Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional
Dengan mendasarkan kepada masih adanya beberapa
persoalan yang berkaitan dengan interpretasi dan implementasi
“Rescue Agreement”, maka dalam rangka mengintegrasikan
ketentuan-ketentuan “Rescue Agreement” ke dalam RUU
Keantariksaan harus dilakukan dengan memperhatikan dan
mengantisipasi perkembangan yang terjadi dengan tetap bersandar
kepada kepentingan nasional.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh mencakup namun
tidak terbatas pada:
a. Menata aspek kelembagaan yang terkait dengan koordinasi
pelaksanaan tindakan penyelamatan dan pengembalian
terhadap astronaut dan benda antariksa yang melakukan
pendaratan darurat, mengalami kecelakaan atau dalam
keadaan “distress”.
b. Mengaktualisasikan pengertian “astronaut” dengan
perkembangan yang ada dengan merumuskan parameter
objektif mengenai kualifikasi “astronaut”.
c. Terhadap kegiatan yang nyata-nyata bersifat “tidak
bersahabat” dan bertentangan dengan prinsip “peaceful uses
of outer space”, kewajiban dalam “Rescue Agreement” dapat
dinyatakan tidak berlaku.
d. Mengembangkan pengertian “launching authority” agar juga
mencakup kegiatan keantariksaan yang dilakukan oleh
badan hukum swasta dan bahkan individu.
C. Liability Convention
1. Ketentuan-ketentuan Pokok
Liability Convention merupakan perjanjian yang
menjabarkan ketentuan pasal VI dan VII “Space Treaty 1967”.
Perjanjian ini disebut “victims-oriented” karena di desain untuk
melindungi kepentingan negara/pihak ketiga yang tidak ikut serta
melakukan kegiatan keantariksaan tetapi menjadi “potential victims”
dari kegiatan keantariksaan. Inti dari perjanjian ini adalah memuat
prosedur dan mekanisme ganti rugi internasional atas kerugian
yang diakibatkan kegiatan benda-benda antariksa
Perjanjian yang terdiri dari 28 (dua puluh delapan) pasal ini
memuat ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut :
a. Pengertian-pengertian pokok seperti kerugian (“damage”),
peluncuran (“launching”). Negara peluncur (“launching
state”), benda antariksa (“space object”)49.
b. Prinsip pertanggungjawaban yang bersifat absolute
(“absolute liability”) dalam hal kerugian terjadi pada
permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang
dalam penerbangan50. Sementara itu bagi kerugian yang
terjadi di antariksa pertanggungjawabannya didasarkan atas
unsur kesalahan (“liability based on fault”)51.
c. Pihak yang bertanggungjawab atas kerugian yang
diakibatkan oleh benda-benda antariksa adalah negara
peluncur (“launching state”) yang meliputi negara yang
benar-benar meluncurkan. Negara yang membiayai
peluncuran; Negara yang menyediakan wilayah atau
fasilitasnya untuk peluncuran; Negara yang menyediakan
wilayah atau fasilitasnya untuk kepentingan peluncuran52.
Dalam hal dilakukan peluncuran bersama, maka
pertanggungjawaban nya bersifat bersama-sama dan
tanggung renteng53.
d. Pihak yang dapat mengajukan tuntutan ganti rugi adalah
negara yang tidak termasuk dalam pengertian negara
49
Lihat Liability Convention 1972, Pasal 1. 50
Ibid. Pasal II. 51
Ibid. Pasal III. 52
Ibid. Pasal I ( C ). 53
Ibid. Pasal IV dan V.
peluncur yang mewakili baik kepentingan negara maupun
badan hukum dan badan pribadi yang menderita kerugian
akibat kegiatan benda-benda antariksa54.
e. Tata cara pengajuan tuntutan ganti rugi pada instansi
pertama dilakukan melalui jalur diplomatik (“diplomatic
chanel”)55. Jika gagal dapat dibentuk “claim commission”56
atas kesepakatan negara korban dengan negara peluncur57.
Gugatan juga dapat dilakukan melalui pengadilan-pengadilan
administrasi atau badan-badan pemerintah terkait pada
negara peluncur.
f. Penetapan jumlah ganti rugi harus didasarkan atas prinsip-
prinsip hukum internasional serta prinsip keadilan untuk
memulihkan keadaan korban seperti sebelumnya58.
g. Dalam hal terjadinya “large scale danger” sebagai akibat dari
kegiatan benda antariksa yang dapat membahayakan
kehidupan manusia dan lingkungannya. Negara peluncur
wajib memberikan bantuan kepada negara korban dalam
melakukan “search and recovery and clean-up operation” jika
diminta oleh negara korban59.
54
Ibid. Pasal VIII, 55
Ibid. Pasal IX. 56
Ibid. Pasal XIV. 57
Ibid. Pasal XV dan XVI. 58
Ibid. Pasal XII. 59
Ibid. Pasal XXI.
h. Perjanjian ini juga berlaku bagi organisasi-organisasi
internasional yang menyatakan manerima hak-hak dan
kewajiban sebagaimana diatur dalam perjanjian ini60.
II. Interpretasi dan Implementasi
Selama berlakunya “Liability Convention” terdapat suatu
kasus internasional yang menonjol yaitu kasus jatuhnya satelit ex-
Uni Sovyet “Cosmos 954” di wilayah Kanada pada tahun 1978. Dari
“diplomatic communication” yang dilakukan antara Kanada dan Uni
Sovyet, terdapat perbedaan penafsiran mengenai beberapa isu,
yaitu:
a. Dalam hal jatuhnya benda antariksa yang mengandung
ancaman yang sangat besar (“large scale danger”) Uni Soyet
menafsirkan bahwa yang berhak menentukan bantuan dalam
melakukan kegiatan “search and recovery and clean-up
operation” adalah negara peluncur, sementara Kanada
berpendapat bahwa hal tersebut merupakan hak negara
korban.
b. Sebagai konsekuensi dari penafsiran tersebut, Uni Sovyet
berpendapat bahwa negaranya tidak bertanggung jawab
atas biaya tindakan “search and recovery and clean-up
operation” yang dilakukan oleh Kanada bekerjasama dengan
Amerika Serikat. Artinya kerugian yang dapat dimintakan 60
Ibid. Pasal XXII.
kompensasinya (“recoverable damages”) tidak termasuk
biaya “search and recovery and clean-up operation”, tetapi
hanya terbatas pada kerugian yang bersifat fisik (“physical
damages”) dan langsung (“direct damages”) saja.
Di luar kasus di atas, masih dapat diamati adanya beberapa
kelemahan pada “Liability Convention”, antara lain :
a. Pengertian “launching state” apabila mengacu pada
pengertian dalam konvensi dapat menimbulkan posisi yang
“unfair” khususnya bagi negara yang hanya “menyewakan”
wilayah atau fasilitasnya untuk kepentingan peluncuran,
sementara kontribusinya untuk menimbulkan kerugian
adalah minimal. Hal yang sama juga dirasakan oleh negara
yang melakukan “procurement” sepanjang mereka tidak
secara aktif terlibat dalam kegiatan peluncuran.
b. Karena perjanjian ini yang bersifat “government to
government”, maka jaminan atas proses ganti rugi yang
cepat, efektif dan layak bagi kepentingan korban kurang
terpenuhi. Disamping itu perjanjian ini kurang mampu
mengakomodasikan secara memuaskan kenyataan
meningkatnya peran swasta dalam kegiatan keantariksaan
beserta segenap implikasinya.
3. Implikasi terhadap Upaya Legislasi Nasional
Dalam perumusan RUU keantariksaan, khususnya
ketentuan yang mengatur tentang tata cara dan mekanisme
penyelesaian tuntutan ganti rugi, ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam “Liability Convention” dapat diinkorporasikan,
termasuk dalam pengembangan sistem ganti rugi yang bersifat
nasional (domestik) dari kegiatan keantariksaan di mana Indonesia
adalah termasuk negara peluncur yang menimbulkan kerugian
terhadap jiwa dan harta benda warganegara atau badan hukum
Indonesia. Sejalan dengan itu, perlu adanya penataan sistem
koordinasi nasional untuk menghadapi jatuhnya benda-benda
antariksa di wilayah Indonesia. Koordinasi tersebut mencakup
aspek-aspek kelembagaan, aparatur, kesiapan teknologi maupun
pendanaan. Mengingat adanya beberapa kekurangan/kelemahan
pada “Liability Convention” maka perlu didalami kemungkinan
mengajukan usulan perubahan terhadap ketentuan “Liability
Convention” untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman
dan perkembangan teknologi. Usulan perubahan tersebut dapat
mencakup substansi seperti :
a. Perluasan kerugian yang dapat diganti (“recoverable damages”)
agar tidak terbatas kepada kerugian fisik dan langsung saja
(“physical and direct damages”).
b. Jika mungkin sistem dan mekanisme pertanggungjawaban
dalam “Liability Convention” dapat diperluas hingga mencakup
pula tanggungjawab pihak peluncur swasta dan mekanisme
penyelesaiannya dipersingkat untuk menjamin ganti rugi bagi
korban secara cepat, efektif dan layak.
c. Keputusan “claim commission” dapat diusulkan bersifat “final
and binding”.
d. Rumusan kerjasama internasional dalam hal terjadinya “large
scale danger” agar lebih jelas dan tidak menimbulkan
interpretasi ganda.
e. Mengenai pembagian beban tanggungjawab diantara sesama
negara peluncur dalam suatu peluncuran bersama (“joint
launching”), selayaknya negara yang benar-benar
meluncurkanlah yang paling bertanggung jawab karena secara
teknis kontribusi bagi timbulnya kegagalan paling besar berada
pada mereka.
D. Registration Convention
1. Ketentuan-ketentuan Pokok
Konvensi tentang pendaftaran atas benda/objek yang
diluncurkan ke antariksa atau yang dikenal dengan “Registration
Convention” merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal VIII
“Space Treaty 1967”. Perjanjian yang terdiri dari 12 Pasal ini
mengatur hal-hal, seperti:
a. Beberapa pengertian pokok seperti “launching state”, “space
objects” dan “state of registry”61.
b. Kewajiban negara peluncur untuk mendaftarkan objek yang
diluncurkan ke antariksa dalam suatu sistem pendaftaran yang
terpelihara serta melaporkan pendaftaran tersebut kepada
Sekretaris Jenderal PBB62.
c. Dalam suatu peluncuran bersama (“joint launching”) para pihak
wajib menetapkan pihak yang harus melakukan pendaftaran63.
d. Sekretaris Jenderal PBB wajib memelihara catatan pendaftaran
atas benda-benda yang diluncurkan ke antariksa, termasuk
segala informasi yang melengkapinya. Informasi yang ada
dalam catatan pendaftaran tersebut bersifat terbuka untuk
diakses penuh64.
e. Informasi-informasi apa yang harus disampaikan oleh negara
pendaftar, seperti : nama negara peluncur; tanda-tanda dan
nomor registrasi; tanggal dan wilayah atau lokasi peluncuran;
parameter dasar orbit yang meliputi “nodal period”; “apogee”
dan “perigee”; fungsi umum dari benda antariksa yang
61
Lihat Registration Convention, Pasal I. 62
Ibid. Pasal II ayat 1. 63
Ibid. ayat 2. 64
Ibid. Pasal III.
bersangkutan; informasi lain yang diperlukan yang disampaikan
secara berkala; dan informasi dalam hal benda antariksa
tersebut sudah tidak berfungsi65.
f. Kerjasama untuk memberikan bantuan dalam mengidentifikasi
benda antariksa yang menimbulkan kerugian66.
g. Berlakunya perjanjian ini bagi intergovermental organization
(IGO) yang menyatakan menerima hak-hak dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan konvensi67.
2. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi
Dalam upaya perumusan ketentuan mengenai sistem
registrasi nasional bagi kegiatan keantariksaan, harus diperhatikan
interpretasi dan implementasi negara-negara lain terhadap
“Registration Convention” yang dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Kenyataan bahwa hanya 10 negara dan 2 intergovernmental
organization (“IGO's) yang melaporkan pendaftaran atas benda-
benda antariksanya sesuai dengan “Registration Convention”,
bahkan 5 diantaranya bukan negara pihak dari “Registration
Convention” dan mendaftarkan benda antariksanya atas dasar
Resolusi Majelis Umum PBB No. 1721 Tahun 1961.
65
Ibid. Pasal IV. 66
Ibid. Pasal VI. 67
Ibid. Pasal VII.
b. Bahwa tanda-tanda pendaftaran (“registration markings”) bukan
merupakan kewajiban atas dasar “Registration Convention”, hal
ini dapat menimbulkan kesulitan dalam melakukan identifikasi.
c. Bahwa negara-negara pada umumnya tidak mendaftarkan
benda-benda antariksa yang diluncurkan untuk misi militer atau
yang tergolong dalam “sensitive satellite”.
d. Sejauh ini tidak ada mekanisme penegakan hukum bagi isu
“non-compliance” terhadap “Registration Convention”.
e. Untuk menghindari “double registration” pemerintah AS
menetapkan untuk tidak mendaftarkan satelit asing.
f. Perkembangan komersialisasi dan privatisasi kegiatan
keantariksaan ternyata tidak terakomodasikan secara
memuaskan oleh “Registration Convention” jika tidak dilakukan
penafsiran yang fleksibel terhadap ketentuan-ketentuannya.
3. Implikasi bagi Perumusan Legislasi Nasional
Dengan memperhatikan kewajiban-kewajiban internasional
Indonesia atas dasar “Registration Convention” serta kepentingan
nasional dan dengan mempertimbangkan interpretasi dan
implementasinya oleh berbagai negara maka perumusan legislasi
nasional akan mengarah kepada :
a. Pengembangan sistem pendaftaran nasional bagi kegiatan
keantariksaan untuk kepentingan identifikasi bagi setiap benda
antariksa Indonesia dan melaporkannya sesuai dengan
mekanisme “Registration Convention”;
b. Pelaksanaan “jurisdiction” and “control” atas benda antariksa
yang didaftarkan di Indonesia;
c. Pengaturan mengenai pengalihan pendaftaran dalam hal
terjadinya pengalihan hak kepemilikan (“Transfer of ownership”)
atas benda antariksa;
d. Pengaturan mengenai penunjukan negara yang melakukan
pendaftaran dalam hal dilakukan kegiatan-kegiatan peluncuran
bersama antar negara;
e. Penetapan lembaga yang bertugas melaksanakan sistem
pendaftaran nasonal.
E. Moon Agreement 1979
Meskipun Indonesia belum meratifikasi “Moon Agreement”, namun
beberapa ketentuan dari “Moon Agreement” ini patut diperhatikan dalam
perumusan RUU Keantariksaan. Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi :
1. Adanya upaya untuk mengembangkan suatu rejim internasional
dalam rangka eksploitasi sumber daya di bulan68 sebagai “Common
Heritage of Mankind” (CHM).
2. Penjabaran CHM dalam suatu rejim internasional nantinya akan
memberikan kejelasan mengenai penafsiran prinsip “non-
appropriation”.
3. Adanya pernyataan bahwa kegiatan di bulan dan benda-benda
langit lainnya “exclusively for peaceful”.
Sikap negara-negara terhadap “Moon Agreement” dapat
digambarkan sebagai berikut :
1. Hanya 10 negara yang telah meratifikasi “Moon Agreement”;
2. Amerika Serikat tidak meratifikasi “Moon Agreement” dengan
alasan bahwa ketentuan Pasal XI “Moon Agreement” sangat
kontroversial karena penafsiran CHM sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal tersebut merupakan disinsentif bagi
pembangunan. Disamping itu penerapan ketentuan menyangkut
“orderly development” dan “equitable sharing” dapat dianggap
sebagai pengenaan pajak yang hanya menguntungkan negara-
negara yang tidak mempertaruhkan risiko (negara-negara
68
Lihat Pasal XI ayat 5 Moon Agreement 1979
berkembang). Ditambahkan bahwa“Moon Agreement” merupakan
suatu moratorium bagi eksploitasi sumber daya di bulan69.
3. Dalam perkembangan terakhir bahkan Amerika Serikat dan
Australia mengusulkan agar pengaturan eksploitasi sumber daya di
bulan dikembalikan kepada hukum nasional masing-masing,
pendapat mana antara lain ditentang oleh Italy, Belanda dan
Kanada70.
Dari segi kepentingan Indonesia pada saat ini belum ada urgensi
untuk meratifikasi “Moon Agreement”, namun penjabaran CHM perlu terus
dipelajari dan didalami.
F. Perjanjian-perjanjian Internasional Terkait Lainnya
Di luar perjanjian-perjanjian internasional yang secara khusus
mengatur kegiatan keantariksaan, terdapat beberapa perjanjian
internasional terkait yang perlu diperhatikan dalam perumusan RUU
Keantariksaan, antara lain:
1. ITU Constitution and Convention 199271 beserta Administrative
Regulations sepanjang menyangkut masalah keantariksaan.
69
Lihat Glenn Harland Reynolds, “The Moon Treaty Prospect for the Future”, Space Policy, May 1995,
halaman 117. Lihat juga Martin Mentor, “Commercial Space Activities Under the Moon Treaty”,
Prosiding IISL, Colloqium, 1980, halaman 37. 70
Perdebatan ini berkembang pada UN/Korea Workshop on Space Law, Daejeon, Korea, 3-6
Nopember 2003. 71
Telah diratifikasi dengan Keppres No.18 Tahun 1996.
2. Treaty Banning Nuclear Weapons Test on the Surface of the Earth,
In the Atmosphere, or in Outer Space of 1963.
3. The Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons of 1968.
4. Kesepakatan kelompok negara-negara maju tentang “Missile
Technology Control Regime”(MCTR).
BAB V
EFEK RUMAH KACA
A. Efek Rumah Kaca (Green House Efect)
Pada awalnya istilah efek rumah kaca atau “green house effect” ini
digunakan berdasarkan pengalaman para petani didaerah beriklim atau
berhawa dingin yang menanam sayur-sayuran dan biji-bijian di dalam
rumah kaca. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa pada waktu siang
hari, pada cuaca cerah meskipun tanpa alat pemanas suhu, didalam
ruangan rumah kaca suhu lebih tinggi dari pada suhu di luarnya. Hal ini
terjadi karena sinar mata hari yang menembus kaca dipantulkan kembali
oleh tanaman/tanah di dalam ruangan rumah kaca sebagai radiasi infra
merah yang berupa panas. Sinar yang dipantulkan tidak dapat keluar
ruangan rumah kaca sehingga udara di dalam rumah kaca suhunya naik
dan panas sebagi akibat dari udara yang terperangkap di dalam ruangan
rumah kaca dan tidak tercampur dengan udara di luar rumah kaca.
Akibatnya suhu di dalam ruangan rumah kaca lebih tinggi dari pada suhu
diluarnya. Oleh sebab itu selanjutnya dikenal sebagai “efek rumah kaca”.
Efek rumah kaca ini juga dapat terjadi di dalam mobil yang di parkir
ditempat yang panas, dalam keadaan jendela tertutup, akibatnya suhu
didalam mobil akan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu diluar.
Dalam keadaan yang normal, sinar mata hari masuk menembus
atmosfer dan diabsorbsi oleh permukaan bumi. Kemudian panas atau
sinar mata hari ini siap dipantulkan kembali, yang diemisikan atau dibuang
oleh permukaan bumi sebagai radiasi infra merah ke atmosfer. Tetapi
pada kasus rumah kaca, radiasi infra merah ini tidak dapat keluar ke
atmosfer seperti pada pada saat radiasi atau sinar mata hari masuk.
Radiasi infra merah ini terperangkap oleh beberapa gas, sehingga
menimbulkan reaksi atau efek rumah kaca. Secara rinci terjadinya efek
rumah kaca di atmosfer dapat dijelaskan sebagai berikut. Pancaran sinar
mata hari yang sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan oleh
berbagai gas di atmosfer) sebagian dipantulkan dan sebagian lain diserap
oleh bumi. Bagian yang diserap akan dipancarkan lagi oleh bumi sebagai
radiasi infra merah yang panas. Radiasi infra merah tersebut di atmosfer
akan diserap oleh gas-gas rumah kaca seperti uap air (H2O) dan Carbon
dioksida (CO2) sehingga tidak terlepas ke luar angkasa dan
menyebabkan panas terperangkap dan akhirnya mengakibatkan
peningkatan suhu lapisan trospofer dan bumi, maka terjadilah efek
rumah kaca di bumi (Meivena dan Arnelly, 2004)
B. Pemanasan Global (Global Warming)
Akibat atau efek yang sangat serius rumah kaca adalah apa yang
disebut pemanasan global atau pemanasan bumi (global warming).
Menurut Sri Tjahjani Budi Utami (Utami,2003) pemanasan global adalah
sebuah fenomena ketika energi yang berasal dari radiasi matahari diserap
oleh permukaan bumi dan dilepas kembali sebagai energi infra merah
yang tidak dapat menembus keluar angkasa karena terhambat atau
terperangkap oleh berbagai macam gas rumah kaca yang ada diatmosfer.
Pemanasan global terjadi karena kenaikan suhu permukaan bumi yang
disebabkan oleh peningkatan emisi CO2 dan gas-gas lain yang dikenal
sebagai gas-gas rumah kaca (GRK) yang meliputi bumi dan
memerangkap panas. Kenaikan suhu ini merubah iklim, menyebabkan
berubahnya pola cuaca yang dapat menimbulkan peningkatan curah
hujan yang tidak biasa, semakin ganasnya angin dan badai bahkan
terjadinya bencana alam.
Secara umum dapat dikatakan, bawa pemanasan global
merupakan peristiwa meningkatnya suhu rata-rata bumi yang diakibatkan
oleh meningkatnya penggunaan teknologi dan aktivitas manusia sehingga
menyebakan meningkatnya gas-gas rumah kaca. Beberapa factor yang
yang menyebabkan meningkatnya gas rumah kaca, antara lain sebagai
berikut: (Messmer, Maja: 1998).
1. Konsumsi bahan bakar fosil ( minyak tanah, gas, dan batu bara)
pada industri, transportasi, pembangkit tenaga listrik, dan
penggunaan pada rumah tangga dan perkantoran.
2. Kebakaran dan penggundulan hutan: menurut Bank Dunia, laju
kerusakan hutan di Indonesia tahun 1990 sampai dengan tahun
2004 adalah sebesar 2 – 2,2 juta ha per tahun. Sedangkan
kebakaran hutan pada periode yang sama telah melahap 22,7 ha
per tahun.
3. Kegiatan pertanian dan peternakan yang mengeluarkan emisi
antara lain CO2 dan N2O dan CH4.
4. Sampah: Kegiatan manusia selalu menghasilkan sampah, baik
sampah organic maupun sampah non organic. Sampah di
Indonesia, terutama di kota-kota besar, bukan saja menimbulkan
masalah tempat pembuangannya saja, melainkan juga dampak
sampah tersebut. Karena sampah mempunyai kontribusi yang
besar terhadap pemansan global, diperkirakan 1 ton sampah padat
akan menghasilkan sekitar 50 kg gas metan atau metana. Oleh
sebab itu makin besar jumlah volume sampah, makin besar
menghasilkan gas metan ke atmosfer, dan makin besar
menimbulkan efek rumah kaca atau pemanasan global.
Volume sampah di Indonesia makin lama makin meningkat seiring
dengan kemajuan teknologi dan pertambahan penduduk. Apabila pada
tahun 1990 setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah 0,5 kg per
orang per hari, maka pada tahun 2003 meningkat menjadi 1,0 kg sampah
per orang/hari. Pada tahun 2010 nanti di perkirkan setiap penduduk
Indonesia akan menghasilkan sampah 2,1 kg per hari.
C. Gas-Gas Rumah Kaca
Seperti telah disebutkan diatas bahwa pemanasan global adalah
merupakan efek rumah kaca. Efek rumah kaca ini terjadi karena adanya
gas-gas yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca, yang disebut
gas-gas rumah kaca (GRK), antara lain:
([email protected]/Kegerahan ddi Rumah Kaca)
1. Karbon Dioksida (CO2):
Karbon dioksida adalah gas rumah kaca terpenting
penyebab pemanasan global. Sumbangan utama manusia
terhadap meningkatnya jumlah CO2 di atmosfer berasal dari hasil
pembakaran utamanya dari kendaraan bermotor, juga pembakaran
yang dilakukan oleh pabrik, dan rumah tangga. Akhir-akhir ini
dengan sering terjadinya kebakaran, terutama kebakaran hutan
akan menambah kontribusi CO2 dalam atmosfer, yang berarti
meningkatnya efek rumah kaca atau pemanasan global.
2. Uap air (H2O):
Uap air bersifat tidak terlihat dan harus dibedakan dari awan
dan kabut yang terjadi ketika uap membentuk butir-butir aiar. Uap
aiar juga merupakan penyumbang besar efek rumah kaca. Jumlah
uap air dalam atmosfer berada di luar kendali manusia dan
dipengaruhi oleh suhu global. Jika bumi menjadi lebih hangat,
jumlah uap air di atmosfer akan meningkat karena naiknya laju
penguapan, dan selanjutnya akan meningkatkan efek rumah kaca,
serta makin mendorong pemanasan global.
3. Metana atau metan (CH4):
Metana adalah gas rumah kaca lain yang terdapat secara
alami, yang dihasilkan oleh jenis-jenis mikroorginsme tertentu
menguraikan bahan organic pada kondisi tanpa udara (anaerob).
Gas ini juga dihasilkan secara alami pada saat pembusukan
biomassa di rawa-rawa sehingga disebut juga gas rawa. Metana
mudah terbakar, dan mengahsilkan karbon dioksida sebagai hasil
sampingan. Jumlah metana yang terbesar yang disumbangkan ke
atmosfer sehingga mempengaruhi efek rumah kaca adalah
pembuangan sampah. Disamping itu makin meningkatnya jumla
ternak kerbau, sapi dan sejenisnya merupakan sumber lain yang
bararti dalam mengahsilkan metana. Pada gilirannya juga akan
meningkatkan kontribusinya terhadap efek rumah kaca.
4. Ozon:
Ozon adalah gas rumah kaca yang terdapat secara alami di
atmosfer (troposfer, stratosfer). Di troposfer, ozon merupakan zat
pencemar hasil sampingan yang terbentuk ketika sinar mata hari
bereaksi dengan gas buangan kendaraan bermotor. Ozon pada
troposfer dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan.
5. Dinitrogen Oksida (N2O):
N2O adalah juga gas rumah kaca yang terdapat secara
alami, namun tidak banyak diketahui secara rinci tentang asal gas
ini di dalam atmosfer. Diduga sumber utamanya merupakan hasil
kegiatan mikroorginisme dalam tanah. Pemakaian pupuk nitrogen
dapat meningkatkan jumlah gas ini dalam atmosfer. Dinitrogen
oksida juga dihasilkan dalam skala kecil oleh pembakaran bahan
bakar dari fosil (minyak bumi, batu bara, dan gas bumi).
6. Cloroflurocarbon (CFC):
CFC adalah sekelompok gas buatan, dan mempunyai sifat-
sifat tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan amat stabil sehingga
dapat digunakan dalam berbagai peralatan. CFC yang paling
banyak digunakan mempunyai nama dagang “Freon”. Freon
digunakan dalam proses mengembangkan busa di dalam peralatan
pendingin ruangan dan lemari es.
D. Dampak Pemanasan Global
Pemanasan global, yang diperkirakan telah dimulai puluhan tahun
yang lalu mempunyai berbagai dampak terhadap bumi kita, antara lain
sebagai berikut: (http.pkrtn.go.id/gobal warning/bambang/doc)
1. Iklim mulai tidak stabil:
Pemanasan global dapat menyebabkan kenaikan
permukaan air laut akibat pencairan di kutub, perubahan pola
angin , meningkatnya badai atmosfer, bertambahnya populasi
dan jenis organisme penyebab penyakit yang berdampak pada
kesehatan masyarakat. Disamping itu, pemanasan global dapat
menyebabkan perubahan pola curah hujan dan siklus hidrologi.
Seperti kita rasakan pada saat ini, pada bulan Juli yang
seharusnya sudah berada dalam musim panas (kering), tetapi
curah hujan masih tinggi, bahkan di beberapa daerah termasuk
Jakarta masih terjadi banjir. Disamping itu dengan tidak stabilnya
musim ini juga berdampak kepada meningkatnya penyebaran
penyangkit seperti demam berdarah (Kompas, 20 Agustus 2005).
Peningkatan gas-gas rumah kaca dalam atmosfer
sebenarnya sudah berlangsung lama, dengan bukti-bukti antara
lain sebagai berikut:
2. Mencairnya es di kutub:
Seperti telah diketaui bahwa es yang menyelimuti
permukaan bumi di kedua kutub bumi telah berkurang 10 % sejak
tahun 1960. Sementara ketebalan es di kutub utara telah berkurang
42% dalam 40 tahun terakhir. Kalau hal ini tidak dikendalikan,
maka pada tahun 2500 nanti maka kedua kutub bumi kita sudah
tidak akan diselimuti oleh es lagi. (http.pkrtn.go.id/gobal
warning/bambang/doc.
Pergeseran musim nampaknya juga sudah terjadi di
beberap belahan bumi kita, termasuk di Indonesia. Di Indonesia,
terasa bahwa batas antara musim hujan dan musim panas sudah
tidak jelas lagi. Pada musim panas curah hujan masih tinggi,
intensitas hujan pada musim hujan dan musim kemarau hampir
tidak ada bedanya. Iklim dan curah hujan yang tidak teratur ini
akan menyebabkan gangguan pola tanam pada petani, dan
akhirnya akan mengganggu produksi bahan pangan., terutama
beras dan makanan pokok lainnya (Kompas 13 Juli 2005).
3. Peningkatan permukaan air laut:
Berbagai studi tentang perubahan ilkim memperlihatkan
telah terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 1 – 2 meter
dalam 100 tahun terakhir ini. Menurut IPCC (Inter governmental
Climate Change) pada tahun 2030 nanti permukaan air laut akan
bertambah antara 8 – 29 cm dari permukaan air laut saat ini.
4. Dampak social ekonomi dan politik:
Tahun 2000, Indonesia telah mengalami 33 kejadian banjir,
kebakaran hutan, dan 6 bencana angin topan. Hal ini semua
membawa kerugian sebesar kurang lebih $150 milyard dan 690
nyawa hilang (Kompas 7 Maret 2003). Bencana ini menimbulkan
dampak social sepereti perubahan mata pencaharian pendduduk,
terutama di daerah pertanian akibat perubahan iklim yang
menyebabkan kurangnya masa panen. Sehingga menyebabkan
para petani mencari mata pencaharian lain yang tidak tergantung
pada iklim, sehingga tejadi urbanisasi besar-besaran.
Kebakaran hutan tahun 1997 telah menghabiskan biaya
kesehatan lebih dari Rp.1,2 trilyun, dan hilangnya hari kerja
penduduk sebanyak 2,5 juta hari. Sementara itu akibat kebakaran
hutan tersebut diperkirakan mengakibatkan kerugian ekonomi
sebesar US$9,3 milyar (Bappenas, 2000). Sedangkan dampak
politik yang terjadi berupa hilangnya batas-batas Negara atau
berkurangnya pulau-pulau kecil akibat kenaikan permukaan air laut.
Banyak pulau-pulau kecil yang hilang karena naiknya permukaan
air laut. Dengan naiknya permukaan air laut juga menyebabkan
mundurnya garis pantai di sebagian besar wilayah Indonesia.
Akibatnya bila ditarik garis batas 12 mil laut dari garis pantai, maka
sudah barang tentu wilayah Indonesia akan berkurang.
5. Sumber daya air:
Perubahan suhu akibat perubahan iklim menyebabkan
perubahan curah hujan serta menyebabkan pergeseran vegetasi
didaerah hulu sungai, sehingga akan mempengaruhi ketersediaan
air dan limpasan permukaan air tanah. Secara umum di Indonesia,
diperkirakan pada tahun 2080 akan terdapat 2 – 3,5 milyard
penduduk yang akan mengalami kekurangan air, akibat menurunya
persediaan air tanah.
6. Kesehatan masyarakat.
Transmisi beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi
eleh factor iklim dan suhu. Parasit dan vector penyakit sangat peka
terhadap factor-faktor iklim, khususnya suhu dan kelembaban
udara. Penyakit-penyakit tropis yang ditularkan melalui vector
seperti malaria, demam berdarah, filariasis (kaki gajah) akan makin
meningkat, bukan hanya di Negara yang beriklim tropis, tapi juga di
Negara-gara sub tropis, bahkan di Negara yang bermusim dingin.
Di Indonesi penyakit penyakit tersebut yang semula terjadi daerah
dataran rendah, mungkin pada waktu yang akan datang akan dapat
menyebar didaerah pegunungan yang berhawa dingin, namun
karena pemanasan global berubah menjadi bersuhu panas.
E. Meminimalkan Dampak Pemanasan Global
Seperti telah disebutkan diatas, bahwa pemanasan global ini terjadi
karena efek rumah kaca. Pada gilirannya efek rumah kaca terjadi karena
meningkatnya gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi akibat dari
meningkatnya teknologi dan kegiatan manusia. Akibat yang fatal dari
pemanasan global adalah terancamnya kehidupan dibumi ini, termasuk
manusia. Oleh sebab itu harus segera dilakukan upaya-upaya untuk
meminimalkan dampak pemanasan global tersebut, antara lain:
1. Konservasi dan efisiensi energi:
Penghematan energi, bukan semata-mata untuk alasan
ekonomi seperti Kepres No. 10/2005, tetapi seyogyanya juga untuk
alasan konservasi energi. Potensi terbesar untuk penghematan
energi adalah di dunia industri, dimana sebagian besar energi
dikonsumsi. Penghematan energi yang lain adalah di sector
transportasi dan rumah tangga, baik dalam penggunaan listrik
maupun bahan bakar lainnya.
2. Eliminasi CFC:
Eliminasi CFC sangat diperlukan karena gas-gas tersebut
dapat menyumbangkan 20 % dari efek rumah kaca pada tahun
2030. Oleh karena itu harus segera diambil tindakan guna
penghapusan penggunaan CFC secara menyeluruh. Penggantian
“Freon” dengan gas lain dalam system atau peralatan pendingin
udara adalah perlu segera dilakukan.
3. Menukar bahan bakar:
Emisi GRK dari penggunaan bahan bakar fosil (minyak
bumi) yang bervariasi atau menggantinya denagan bakar dari
bahan baku tumbuh-tumbuhan atau biogas. Untuk produksi jumlah
panas atau listrik yang sama, gas alam menghasilkan CO2 40%
lebih rendah dibandingkan dengan batu bara, dan sekitar 25% lebih
rendah dari pada minyak. Sehingga dengan menukar sumber
bahan bakar dari minyak bumi ke gas alam dan biogas dapat
mengurangi emesi CO2.
4. Teknologi energi yang dapat diperbaharui (renewable):
Upaya mengurangi emisi GRK dapat dilakukan dengan
mengembangkan suatu teknologi yang dapat menekan emisi
penyebab efek rumah kaca, seperti PLTA, pemanas air dengan
tenaga mata hari, penggunaan tenaga angin dikonversi menjadi
listrik maupun penagkapan metana dari tempat sampah dan
kotoran manusai atau heawan mejadi energi atau listrik.
5. Reboisasi kehutanan:
Untuk menyerap 10% emisi CO2 yang ada di atmosfer saat
ini dapat dilakukan dengan tanaman areal seluas Zambia atau Turki
sendangkan untuk menyerap semua emisi tahunan diperlukan
menanam seluar Australia. (http.pkrtn.go.id/global
warning/bambang/doc.)
F. Aspek Hukum Dalam Pemanasan Global
Pada bulan Desember tahun 1997, di Kyoto, Jepang diadakan
Konferensi ke 3 Perubahan Iklim oleh “The United Nations Framework
Cooperation on Climate Change” (UNFCCC). Dalam konferensi tersebut
disepakati adanya program “Clean Development Mecanism” atau CDM
dalam rangka mengahadapi fenomena pemansan bumi atau pemanasan
global (global warming). Selanjutnya kesepakatan ini disebut “Protokol
Kyoto”, yang intinya semua negara maju akan mengurangi tingkat emisi
gas buangan atau gas yang menimbulkan gas-gas rumah kaca (green
house gases), antara lain CO2, CH4, HFCS, minimal 5,5% dari emisi
tahun 1990. Sampai dengan tahun 2001 dari 84 negara yang telah
menanda tangani Protocol Kyoto tersebut baru 33 negara yang telah
meratifkasinya.
Meskipun Indonesia bukan Negara maju, dan belum diwajibkan
untuk meratifikasi Protokol Kyoto tersebut, namun seyogyanya sudah
mulai menyiapkan perangkat hukumnya. Sebab Indonesia terdiri dari
banyak pulau dan mempunyai banyak hutan, yang rentan terhadap
dampak pemanasan bumi ini. Alangkah baiknya kalau Inpres No. 10 tahun
2005 yang baru dikeluarkan oleh presiden tentang hemat energi ini
ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang.
Konsiderans produk hokum itupun tidak hanya semata-mata factor
ekonomi, melainkan juga karena pertimbangan faktor lingkungan hidup
yang bersih atau bebas emisi gas rumah kaca.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang
tentang pengelolaan lingkungan hidup, yakni PP.No. 4/1982. Tujuan
dikelurkannya UU tersebut adalah tercapainya keselarasan hubungan
antara manusia dengan lingkungannya, dan terkendalinya pemanfaatan
sumber daya secara bijaksana. Untuk pelaksanaan UU tersebut baru
dikeluarkan 3 Peraturan Pemerintah (PP), yakni PP. No. 29/1986 tentang
Analisis Dampak Lingkungan, PP.No. 20/1990 tentang pengendalian
pencemaran air, dan PP. No. 35/1991 tetang sungai. Sedangkan PP
tentang pengendalian pencemaran udara belum ada. Oleh sebab itu
sebagai partisipasi terhadap pengurangan pemanasan global sebagai
efek rumah kaca di Indonesia, dan sekali gus mertifikasi Protokol Kyoto,
seyogyanya segera mengeluarkan PP tentang pengendalian pencemaran
udara mengacu pada UU No. 4 tahun 1982.
BAB VI
PEMBAJAKAN HAK CIPTA DAN MALL-MALL YANG ADA
DI INDONESIA SEBAGAI TEMPAT PENJUALANNYA
A. Sasarannya Mall-Mall Yang Ada Di Jabotabek
Pada saat ini seperti diketahui bersama masalah pembajakan,
dalam hal ini kami memfokuskan kepada pembajakan di bidang industri
video, melihat semakin parah dan bahkan ada kecendrungan meningkat.
Contohnya tempat-tempat pembajakan yang dahulu misalnya hanya
dikenal di daerah glodok atau mangga dua akan tetapi sekarang
pembajakan tersebut berdasarkan survey sudah merambah ke pertokoan,
mall dan retailer besar sebagai contoh seperti di Pondok Indah mall, Hero,
Matarhari, ITC, Ratu Plaza, Mall Ambasador dll.
Dampak Pembajakan
Seperti diuraikan diatas jelas membawa beberapa dampak baik
bagi penerimaan negara melalui pajak maupun terhadap idustri video
secara keseluruhan.
1. Kerugian Negara
a. Berdasarkan asumsi dan data-data diatas jelas terlihat
kontribusi:
• Dari produk legal sebenarnya juga cukup besar
dimana kalau kita ambil asumsi rata-rata pajak yang
dibebankan melalui stiker PPN adalah Rp 1000 – Rp
3000 maka kontribusi produk legal melalui pajak
adalah sebesar 7,5 milyar – 22,5 milyar rupiah
pertahunnya (dengan kondisi 10% produk legal di
pasar), yang sebetulnya kontribusi tersebut dapat
ditingkatkan apabila pembajakakan dapat diatasi atau
paling tidak dikurangi.
• Dengan asumsi 90% berupa produk bajakan,
perkiraan minimal adalah sebanyak 68,4 juta keeping
berupa produk bajakan dimana kerugian pajak negara
ditaksir berkisar � 200 milyar pertahunnya.
b. Perlu diingat Indonesia telah meratifikasi persetujuan
pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement
Establishing the World Trade Organization) melalui Undang-
undang No. 7 tahun 1994 pada tanggal 2 Nopember 1994
(Lembaran Negara RI tahun 1994 no. 57). Dimana salah
satu bagian dari Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia Agreement Establishing the World
Trade Organization) adalah aspek-aspek dagang Hak
Kekayaan Intelektual (Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights/TRIPs), dan berdasarkan data dari IIPA
Indonesia masuk dalam daftar Priority Watch List, dimana
apabila keadaan pembajakan seperti saat ini masih terus
dibiarkan maka terdapat kemungkinan yang sangat besar
Indonesia dapat dikenakan sanksi.
c. Pengaruh terhadap perubahan budaya diantaranya:
• Matisurinya Industri Perfilman dalam negeri,
perkembangan industri film local sangat lamban
disbanding negara-negara lain.
• Banyaknya kejahatan misalnya baik violence /
kekerasan, kejahatan seksual disebabkan karena film
tidak disensor melalui Lembaga sensor.
• Sangatlah menyedihkan apabila pembajakan telah
menjadi budaya yang dapat diterima oleh masyarakat
atau telah dianggap sebagai sesuatu yang tidak
melanggar hukum.
2. Kerugian Dari Industri Video
Berdasarkan data dan asumsi tersebut dan kekayaan yang
terjadi dilapangan industri video mengalami beberapa kerugian
yang cukup besar, diantaranya:
a. Penurunan penjualan yang cukup tajan dari tahun ke tahun
yang sangat mengancam matinya industri video legal di
Indonesia dalam waktu dekat.
b. Belum lagi beban pajak yang dikenakan terhadap produk
legal sangatlah berat karena seperti yang kami ketahui
dilapangan para pembajak menjual hasil bajakan dengan
harga relative sama dengan beban pajak yang harus
dipenuhi oleh produk legal (baik DVD maupun VCD).
B. Pembajakan Hak Cipta Dan Penegakan Hukumnya
Selanjutnya Direktorat Jenderal HKI Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia, berdasarkan Tim Kepres No. 189 telah pula
melakukan koordinasi dengan Departemen terkait seperti : Mabes POLRI,
Kejaksaan Agung, Ditjen. Bea Cukai, Mahkamah Agung, Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, berbabagai asosiasi di bidang Hak Cipta
seperti: MPA (Motion Picture Association), ASIRI (Asosiasi Industri
Rekaman Indonesia), ASPILUKI (Asosiasi Piranti Lunak Komputer
Indonesia), YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia), ASIREVI (Asosiasi
Importir Rekaman Video Indonesia), PAPPRI (Persatuan Artis Pencipta
Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia), IKAPI (Ikatan Penerbit
Indonesia), dan lain-lain. Beberapa langkah prioritas yang disepakati akan
lebih ditingkatkan penanganannya antara lain adalah:
1. Gerakan menanggulangi pembajakan HKI khususnya Hak Cipta
secara menyeluruh terutama antara lain : optical disk yang terdiri
dari film, musik, dalam bentuk CD/VCD, DVD dan program
computer.
2. Mengupayakan pelarangan impor mesin bekas untuk pembuatan
optical disk.
3. Mengupayakan untuk membatasi import biji plastik sebagai bahan
baku produksi optikal disk.
4. Malakukan pengawasan terhadap pabrik-pabrik yang telah
mendapat izin dengan memperhatikan apakah produk-produk
tersebut telah mendapat izin dari licensor, termasuk produk-produk
bajakan.
5. Dilaksanakannya sanksi berupa pencabutan izin operasional
apabila diketahui terdapat pelanggaran Hak Cipta dan memberikan
sanksi pidana terhadap pelaku berdasarkan ketentuan Undang-
undang hak Cipta baik hukuman kurungan maupun denda.
Berikut ini Pelanggaran Hak Cipta dari tahun 1998 s/d 2003
(Kerjasama antara Ditjen. HKI, ASIREVI dan Pihak Kepolisian)
NO Tanggal Bekerjasama Sasaran Operasi VCD yang disita
1 13 Feb 98 Polda Metro Jaya Toko Mince, Mangga Dua 909 pcs VCD ilegal
2 25 Sep 98 Polda Metro Jaya Toko Milik Susuan, Ahui, A cing, Mangga Dua
+ 2.411 VCD ilegal
3 15 Sep 99 Mabes Polri Mobil angkut VCD & CV. Pura Angkasa
+ 22.930 pcs VCD illegal
4 8 Dec 99 Mabes Polri Toko Manna & Toko III No. 5 Mangga dua
2.000 pcd & 14 doos VCD illegal
5 4 May 00 Polres Jakbar Mall Citraland, di toko Disc 88 & Toko studio
3.910 pcs VCD illegal
6 13 May 00 Polres Jakbar Toko-toko didepan Harco Glodok
300.000 pcs VCD illegal
7 24 Jul 00 Tipiter Mabes Polri Petak 9, Jl. Kemenangan Gg. II, Glodok – Jakbar
160.571 pcs VCD illegal
8 5 Okt 00 Polda Metro jaya Mangga Dua Mall Lt. Dasar & Lt. 1
5.000 pcs VCD illegal
9 5 Feb 01 Polres Jakbar Pabrik PT. Multi Cakara di Kapuk
Software komputer
10 25 Apr 02 Polda Metro Jaya Toko di Mangga Dua Mall 604 VCD illegal
11 21 May 03 Mabes Polri 2 toko di Lt. 2 Mangga Dua Mall
5 Karung dan 651 VCD illegal
12 6 Jun 03 Mabes Polri 2 toko di Mangga Dua Mall 1.270 pcs VCD
illegal.
C. UPAYA PENGURANGAN PEMBAJAKAN
Adapun upaya untuk mengurangi pembajakan ialah memberikan
sistem perundang-undangan HKI Indonesia sendiri dapat dikatakan sudah
cukup kuat untuk dapat memberi perlindungan hukum kepada karya–
karya intelektual bangsa sendiri dan pihak asing. Akan tetapi tidak dapat
disangka pula bahwa penegakan hukum masih lemah. Beberapa alasan
dapat dikemukakan mengenai lemahnya penegakan hukum tersebut,
diantaranya :
1. Kurangnya pemahaman akan HKI dan perbedaan pandangan serta
persepsi akan HKI. Ini tidak terjadi hanya dikalangan penagak
hukum (Polisi, Jaksa, Bea Cukai, Hakim) akan tetapi juga
dikalangan bisnis.
2. Kurangnya koordinasi antara penegak hukum untuk menerapkan
penegakan hukum.
3. Penegakan hukum seringkali bertentangan dengan suasana social.
Pelanggar hukum sering kali adalah rakyat dari kalangan “bawah”
atau kurang berpendidikan.
4. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menambah berat biaya-
biaya dalam rangka operasi penegakan hukum.
5. Kurangnya kesadaran masyarakat sendiri untuk menghormati Hak
Kekayaan Intelektual milik orang lain
6. Terbatasnya tenaga ahli utamanya pada sector pemerintah dan
juga swasta untuk menangani Hak Kekayaan Intelektual.
7. Kesulitan penegakan hukum di Indonesia dengan luas wilayah dan
penduduk yang sangat banyak (sekitar 200 juta penduduk) amat
tidak sebanding dengan jumlah penegak hukum yang ada.
8. Memberikan penyuluhan bagi para pemilik mall yang ada di
Jabotabek untuk tidak memberikan tempat kepada penjual ataupun
pengecer penjual VCD bajakan baik itu berupa CD lagu atau pun
VCD atau DVD serta CD software computer yang dulu sangat
marak di lihat di mall yang ada di sekitar Jabotabek ini.
9. Memberikan sanksi yang berat serta denda yang tinggi bagi penjual
serta pengganda CD, VCD bajakan dan juga kepada pembeli
barang bajakan juga dikenakan sanksi yang berat untuk dapat
memberikan rasa takut kepada para pembeli barang bajakan serta
kepada pembajaknya juga.
BAB VII
SITUS WEB INSTANSI PEMERINTAH, LEMBAGA LEGISLATIF DAN
JUDIKATIF SEBAGAI SARANA PENYEBARLUASAN DAN PELAYANAN
INFORMASI HUKUM
A. Kebutuhan Sistem Informasi Hukum Nasional
Berbagai kegiatan pembangunan hukum, seperti penyelenggaraan
pemerintahan negara memerlukan pengambilan keputusan oleh pimpinan
eksekutif sampai ke eselon empat. Begitu pula instansi yang secara
langsung berhadapan dengan masyarakat yang mengemban tugas
pelayanan memerlukan informasi dan data hukum yang lengkap, cepat
dan akurat untuk dapat mengambil keputusan yang sebaik-baiknya di
dalam setiap kasus yang memerlukan keputusan dan izin dari instansi
Pemerintah (Pusat maupun Daerah/Otonom).
Demikian pula lembaga legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
memerlukan informasi hukum dan data yang lengkap dalam proses
penyusunan peraturan perundang-undangan (legislation). Dibidang
judikatif, para hakim, jaksa dan polisi tidak mungkin dapat memutus
perkara atau menuntut seseorang ke Pengadilan dengan dakwaan atau
tntutan yang tepat, apabila sebelumnya mereka tidak dilengkapi dengan
peraturan hukum dan ilmu hukum yang paling mutakhir karena keadaan
hukum di Indonesia sudah jauh berbeda, termasuk juga susunan dan
struktur organisasi badan-badan peradilan serta Hukum Acaranya.
Dalam era globalisasi ini bahkan setiap penegak hukum, pengacara
dan dosen/guru besar pun harus terus mengikuti perkembangan-
perkembangan hukum yang baru, baik di negerinya sendiri, di luar negeri,
maupun perkembangan baru di berbagai bidang Hukum Internasional. Hal
ini hanya akan berhasil, apabila setiap insan yang berkecimpung di bidang
hukum (termasuk para pejabat negara dan pemerintah) dapat
memperoleh data dan informasi hukum yang paling mutakhir, sistematis
dan lengkap (komplit) dengan cara yang cepat, mudah dan murah, dan
pada saat ia membutuhkan informasi hukum itu. Oleh sebab itu maka
kehadiran suatu Sistim Informasi Hukum Nasional adalah sangat penting
untuk memajukan dan memperbaiki keadaan hukum di Indonesia.
Kebutuhan Sistem Informasi Hukum yang beroperasi secara
Nasional dengan memelihara komunikasi `dua arah` yaitu mengirimkan
pesan dari instansi Pemerintah/Negara atau masyarakat ke Jaringan
Informasi Hukum dan sebaliknya mengirimkan informasi dari Jaringan
Informasi Hukum ke instansi Pemerintah/Negara dan/atau masyarakat
adalah dirasakan sangat mendesak dalam era informasi ini terlebih lagi
untuk mengantisipasi berlakunya Undang-undang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik dalam waktu dekat ini, yang sekarang RUU
nya masih dalam taraf pembahasan oleh Pansus DPR72. Apabila RUU
tersebut telah disahkan menjadi Undang-undang maka Pemerintah
berkewajiban dan semakin dituntut untuk dapat menyajikan pelayanan
72
http://www.parlemen.net, diakses pada tanggal 15 Oktober 2005
informasi hukum secara mudah, murah, cepat dan tepat waktu.
`Mudah`dalam arti prosedur untuk mendapatkan informasi publik tidak
berbelit-belit dan mudah dilakukan. Sedangkan pengertian `Informasi
Publik` merujuk pada semua jenis informasi yang dihasilkan atau dikelola
lembaga publik termasuk informasi hukum, peraturan perundang-
undangan dan bahan hukum lainnya serta putusan pengadilan yang
penting. Sementara yang dimaksudkan lembaga publik meliputi seluruh
lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif dan pengawasan publik baik di
tingkat pusat maupun daerah. Termasuk juga organisasi non pemerintah,
Lembaga Swadaya Masyarakat atau swasta yang menggunakan dana
pemerintah atau yang mempunyai perjanjian kerja dengan pemerintah
untuk menjalankan fungsi pelayanan publik.
B. Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Membangun Sistem
Informasi Hukum Nasional
Membangun sebuah Sistem Informasi Hukum tentunya tidak
terlepas dari komponen-komponen dasar yang menjadi pilar berdirinya
sistem itu sendiri yang meliputi komponen-komponen seperti infrastruktur
(berbasis teknologi), konten(data), organisasi dan Sumber Daya Manusia,
yang akan berhubungan dengan manajemen sistem informasi hukum.
Definisi Teknologi Informasi
Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang
berhubungan dengan pengolahan data menjadi informasi dan proses
penyaluran data/informasi tersebut dalam batas-batas ruang dan waktu.73
Definisi kata `informasi` secara internasional telah disepakati sebagai
hasil dari pengolahan data` yang secara prinsip mempunyai nilai lebih
dibandingkan dengan data mentah.74 Teknologi Informasi yang
berkembang dipertengahan tahun 80-an ini merupakan pengembangan
teknologi komputer yang dipadukan dengan teknologi telekomunikasi dan
muatan informasi.
Teknologi komputer dan teknologi telekomunikasi bersinergi
dengan Sistem Informasi menjadi Teknologi Informasi yang kita kenal
sekarang ini dan menjadi faktor pendorong utama implementasi teknologi
dalam seluruh kegiatan manusia terutama proses penyebaran informasi
secara masal dan mendunia. Perkembangan teknologi informasi dan
konvergensi media komunikasi telah mengubah kegiatan manusia yang
sebelumnya dilakukan secara manual kemudian bergeser dengan
menggantungkan pada kecanggihan sistem komputer, sistem jaringan
komputer maupun sistem datanya yang antara lain sangat menonjol
adalah penggunaan internet dalam pengelolaan informasi.
Metode penyebarluasan hukum
73
Teknologi Informasi Pilar Bangsa Indonesia Bangkit, Kominfo 2003 74
Ibid hal 3
Fungsi Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH)
yang diemban oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
sebagaimana diamanatkan oleh Keppres No 91 tahun 1999 tentang
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional adalah antara lain :
• Merumuskan kebijakan pengembangan dan pelayanan JDIH;
• Sebagai pusat rujukan informasi dan dokumentasi hukum nasional;
• Pengumpul dan penyebarluasan bahan dokumentasi dan informasi
hukum kepada para Anggota Jaringan yang meliputi berbagai
instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif baik dalam
bentuk salinan, abstraksi, panduan penemuan kembali, maupun
bentuk lainnya;
• Pembinaan tenaga pengelola dokumentasi dan informasi hukum
• Pembinaan kerjasama antara Anggota Jaringan;
• Evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan JDIH Nasional;
• Pelayanan informasi dan dokumentasi hukum nasional kepada
masyarakat.
Untuk memenuhi fungsi tersebut diatas perlu dibangun suatu
sistem yang dapat memenuhi paling tidak 3 (tiga) kebutuhan utama
sebagai berikut :
1. Pemenuhan kebutuhan informasi hukum khususnya bagi lembaga
eksekutif, legislatif, yudikatif, penegak hukum dan profesi hukum
lainnya serta masyarakat luas pada umumnya. Sehingga informasi
dapat diakses dengan mudah cepat dan akurat.
2. Penyediaan sarana koordinasi bagi Anggota Jaringan untuk
perumusan kebijakan, pengembangan dan pelayanan JDIH,
pembinaan tenaga pengelola, penyebaran bahan dokumentasi
dan informasi antar anggota, serta proses evaluasi berkala.
Koordinasi diperlukan mengingat hal ini sangat mempengaruhi
kadar dan kualitas yang informasi yang dihasilkan. Informasi harus
bersifat komprihensif yang hanya bisa dicapai apabila semua
komponen yang terlibat dalam penyediaan informasi dapat
merumuskannya secara terkoordinir.
3. Menjadikan JDIH sebagai pusat data informasi hukum yang
nantinya akan menjadi pusat rujukan utama untuk dokumentasi
dan informasi hukum.
Untuk memenuhi ke tiga kebutuhan utama tersebut diatas satu
langkah mendasar yang paling sesuai dilakukan adalah melakukan
digitalisasi data yang selanjutnya dengan menggunakan beberapa
perangkat lunak pemrosesan dapat dilakukan lebih lanjut guna
menghasilan data hukum terstruktur secara elektronik dalam membangun
database.
Konfigurasi JDIH on-line
Selanjutnya dalam konteks pengembangan JDIH sebagai sarana
pendayagunaan bersama perturan perundang-undangan dan bahan
hukum lainnya, maka data base produk hukum pemerintah Pusat dan
Daerah merupakan aset yang harus terus di pupuk dan dikembangkan
baik kuaalitas maupun kuantitasnya. Oleh karenanya kelengkapan semua
produk hukum baik di Pusat dan Daerah yang memenuhi standar
pengelolaan data elektronik menjadi sangat krusial mengingat
kelengkapan dokumentasi produk hukum akan menghasilkan informasi
hukum yang berkualitas. Sehingga diharapkan baik Pusat maupun
Anggota Jaringan dapat melengkapi dan membangun basis data
elektronik dengan format pangkalan data yang seragam dan format
komunikasi standar yang pada gilirannya dapat mewujudkan Sistem
Informasi Hukum Nasional yang terpadu dan handal sehingga dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan informasi hukum yang
mudah diakses.
Sementara itu dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang terjadi
dilapangan antara lain :
1. Tersebarnya lokasi fisik database produk hukum dengan berbagai
sistem yang pernah ada di Indonesia dimana masing-masing sistem
membentuk sistem hukum dan infrastruktur tersendiri.
2. Tersebarnya anggota-anggota jaringan dengan cakupan berskala
nasional dimana unit kerja yang melaksanakan tugas dalam bidang
hukum dan peraturan perundang-undangan dari berbagai daerah
yang harus melakukan koordinasi. Dengan keadaan seperti ini, maka
diperlukan suatu infrastruktur yang bisa memberikan kemudahan
bagi para anggota JDIH untuk berkomunikasi satu sama lain.
3. Tempat akses informasi hukum, sejalan dengan fungsi JDIH sebagai
penyedia informasi hukum kepada masyarakat, maka tempat akses
yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperoleh
informasi hukum akan memegang peranan penting dari proses
penyebaran informasi hukum.
Untuk memenuhi ketiga kebutuhan tersebut, Infrastruktur yang paling
sesuai adalah mengimplementasikan sistem JDIH dengan memanfaatkan
penyebaran jaringan Internet yang berkembang sangat pesat di Indonesia
pada saat ini yang diimplementasikan dalam bentuk portal situs web baik
yang diselenggarakan oleh instansi Pemerintah, lembaga Legeslatif dan
Judikatif dalam rangka penyebarluasan dan layanan informasi hukum.
Namun harus pula dipertimbangkan kesiapan sistem tersebut untuk diakses
publik apabila menggelar sistem melalui Internet. Satu hal yang penting
pada suatu sistem yang bersifat publik adalah masalah yang berkaitan
dengan masalah keamanan data dan informasi.
C. Sistem Informasi Hukum Nasional Berbasis Jaringan Internet Berupa
Portal Situs Web bphn.go.id
Dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai Pusat Jaringan
Dokumentasi dan informasi Hukum yang mengemban tugas pembinaan,
pengembangan, pengumpulan, pengolahan dan penyebarluasan peraturan
perundang-undangan dan bahan hukum lainnya serta pengembangan
otomasi data hukum sebagaimana diamanatkan oleh Keppres 91/1999
tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional, maka
diperlukan infrastruktur Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum yang
handal. Diharapkan pula infrastuktur tersebut dapat beroperasi optimal dan
berskala Nasional bahkan Regional maupun Internasional.
untuk mewujudkan infrastruktur tersebut BPHN telah memanfaatkan
Teknologi Informasi berbasis web/jaringan internet dengan pemasangan
jaringan intranet dilingkungan lokal BPHN dan pemasangan jaringan
ekstranet dan internet serta pembangunan aplikasi yang terintegrasi
dengan data yang terpusat pada sistem yang dinamakan Sistem Informasi
Hukum Nasional (SisFoKum Nas). Sistem ini akan berjalan dengan
menggunakan jaringan intranet yang telah dibangun di BPHN yang
selanjutnya dikoneksikan ke setiap Anggota Jaringan (JDIH) yang meliputi
berbagai instansi Pemerintah, lembaga Legeslatif dan Judikatif serta publik
(Nasional/ Internasional) melalui jaringan internet yang terhubung pada
salah satu penyedia jasa internet/ISP (Internet Service Provider)
Sistem Informasi Hukum BPHN dibangun pula berdasarkan misi yang
diemban BPHN dalam membangun sistem e-government di bidang hukum,
sehingga dapat diakses oleh lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif dan
profesi hukum lainnya serta masyrakat luas pada umumnya melalui
pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. Pelaksanaan
e-government adalah sebagai upaya pemerintah dalam menggunakan
Teknologi Informasi (baik telepon, fax, komputer, internet) dalam
meningkatkan kinerjanya terutama dalam hubungannya dengan
masyarakat, dunia usaha maupun lembaga terkait menunju good
governance, yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan
mengedepankan transparansi, akuntabilitas serta melibatkan peran
masyrakat dalam perumusan suatu kebijakan publik termasuk peraturan
perundang-undangan.
Misi lain yang merupakan penjabaran dari tugas pokok dan fungsi
BPHN telah pula tercakup dalam sistem ini yang meliputi : perencanaan
pembuatan peraturan perundang-undangn melalui Program Legislasi
Nasional. Kegiatan penelitian, pengkajian hukum dan penyusunan Naskah
Akademis dalam rangka penggantian peraturan perundang-undangan yang
sudah tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan RI. Penyuluhan hukum
untuk meningkatkan kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat.
Mengoptimalkan kerjasama dengan lembaga baik dalam maupun luar
negeri serta peningkatan Sumber Daya Manusia terutama dalam
penguasaan Teknologi Informasi.
Penggunaan Teknologi Informasi berbasis Jaringan Internet ini
memungkinkan sistem yang interaktif (dua arah) sehingga dapat
memfasilitasi peran serta dan partisipasi masyarakat seluas-luasnya,
terutama dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sejak
tahap pra legislasi yang diawali dengan perencanaan hukum, penelitian,
pengkajian dan penyusunan Naskah Akademis yang menjadi materi
muatan suatu RUU menuju tahap legislasi yaitu pembahasan RUU di DPR
untuk disepakati dan diundangkan yang kemudian disebarluaskan dan
disosialisasikan yang pada akhirnaya tahap paska legislasi yaitu analisa
evaluasi apakah suatu peraturan undang-undang masih sesuai dengan
kebutuhan masyarakatbpada masa kini.
Dengan demikian jelaslah merujuk kepada pemberlakuan hukum yang
harus memenuhi aspek sosiologis, keterlibatan masyarakat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan sejak awal sekaligus dapat
menjadi sarana sosialisai sebelum peraturan itu diberlakukan. Sehingga
diharapkan hukum yang akan dihasilkan akan lebih responsif karena betul-
betul lahir dari kebutuhan masyarakat dan dapat memenuhi rasa keadilan.
Jadi hukum tidak semata-mata dirumuskan oleh segelintir elite yang ahirnya
hanya menjadi wacana yang tidak berkembang di masyarakat yang
kandangkala baru diundangkan harus dicabut karena sudah tidak sesuai
dengan perkembengan masyarakat.
Secara teknis Sistim Informasi Hukum di BPHN meliputi antara lain :
Komponen dasar sistem dalam jaringan data dan informasi hukum
nasional
Sistem informasi yang dibangun merupakan hasil konvergensi dari
tiga komponen teknologi informasi mencakup unsur telekomunikasi,
komputer dan konten (data/Informasi) ini mensyaratkan adanya kegiatan
pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis dan proses
penyebarluasan informasi75.Model yang dibangun dalam sistem informasi
yang menjadi basis Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional
berorientasi interaksi antar komponen masyarakat hukum untuk tujuan
peningkatan kualitas pengetahuan hukum dan membantu proses
pengambilan keputusan.
75
Prof. Efraim Turban, R Kelly Rainer Jr and Richard E Potter dalam
Introduction to Information Technology, John Willey and Son, Inc 2003.
Sistem ini akan merangkum kegiatan output, input penyebarluasan ke
anggota dalam sistem atau keluar sistem. Dalam proses ini diperlukan juga
mekanisme feedback yang dapat mengontrol semua proses operasi. Untuk
penyebarluasan hukum dibuat proses pemilahan antara data, informasi dan
pengetahuan yang didefinisikan secara tepat yang diinstalisasikan dalam
Kerangka JDIH.
Komponen dasar pembentuk Sistem Informasi Hukum BPHN ini
mencakup 6 (enam) katagori yaitu :
1. Pengadaan Hardware meliputi perangkat dari setting processor,
monitor, keyboard, printer, scanner dan komponen hardware lain
yang mampu menunjang proses penerimaan data dan informasi,
perangkat yang membantu pemrosesan data, informasi dan
pengetahuan, serta perangkat yang mampu menampilkan
(display) data, informasi dan pengetahuan hukum.
2. Pengadaan software pendukung. Software sesungguhnya
merupakan aplikasi berupa seperangkat program komputer yang
dibuat khusus untuk menangani pemrosesan data yang
dilakukan hardware. Dan program khusus untuk komunikasi
antara pengelola JDIH.
3. Pengadaan Database. Diperlukan sebuah definisi yang sangat
jelas tentang proses organisasi data. Bagaimana korelasi antar
file yang berhubungan. Bagaimana sebuah data ditampilkan.
Bagaimana hubungan penyimpanan antar data dan proses
penterjemahan hubungan antar data.
4. Pengadaan Jaringan bagaimana pembuatan koneksi atau
hubungan antar node sistem yang dibangun bagaimana proses
sharing informasi antar komponen sistem yang ada di dalam
jaringan.
5. Pembuatan prosedur operasi dalam sistem. Penyusunan
strategi, kebijakan, metode dan aturan di dalam implementasi
sistem informasi.
6. Analisis persiapan Sumber Daya Manusia yang merupakan
komponen yang paling penting meliputi antara lain siapa saja
yang akan menjalankan sistem informasi, siapa yang akan
masuk menjadi katagori pemakai saja (user) dan bagaimana
cara user ini dilayani oleh Sumber Daya Manusia yang ada.
Pembangunan Jaringan
Pembanguna Jaringan komputer meliputi pembangunan jaringan
Local Area Network (LAN) maupun Wide Area Network (WAN) untuk
menunjang operasional semua aplikasi JDIH. Pembangunan LAN akan
mempermudah sharing penggunaan komputer, file system maupun printer.
Selain itu dengan LAN akan memudahkan implementasi Sistem Informasi
Hukum yang berbentuk Client/Server maupun Web-based. Sedangkan
WAN diperlukan untuk menghubungkan Pusat dengan Anggota Jaringan.
Sebagai ujicoba untuk menjamin beroperasinya Sistem Informasi JDIH
telah ditempatkan terminal kerja di 2 (dua) Anggota Jaringan yaitu Biro
Hukum Pemerintah Daerah Provinsi DI Yogyakarta dan Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman dan HAM DKI Jakarta.
Pembangunan jaringan Sistem Informasi Hukum di BPHN meliputi :
A. Perangkat Keras :
1. Web Server dan Database Sever serta fungsi Firewall
• 2xIntel Xeon Prosesor 2Ghz, Memory 4 GB ECC DDR
SDRRAM, 4 x 146 GB HDD SCSI Hot Swap, FDD
3.5``, Redudant Power Suplay;
• Switch 4-ports untuk monitor, keyboard, dan mouse;
• 13 (tigabelas) Workstation Intel Pentium 4 Processor 2
Ghz, Memory 256 MB DDR DIMM, 40 GB HDD 48 X
CD-ROM Drive, FDD 3.5`` monitor, keyboard, mouse.
2 terminal ditempatkan di Biro Hukum Pemda Prov DI
Yogyakarta dan KanWil DepKehHam DKI Jakarta;.
• 3 (tiga) buah Scanner, A4, USB 2,0, 2400 dpi, 48 bit
• 1 (satu) set perangkat infrastruktur ADSL;
• 2 (dua) buah modem External 56 Kbps (ditempatkan
di 2 Anggota Jaringan diatas)
1. Aplication Server
2. Rack.
B. Perangkat Lunak
• Web Server : Red Hat LINUX dan PHP
• Mailserver :
• Anti Virus Mail
• Proxy
• Database : MySQL
• Implementasi Firewall
• Implementasi ADSL
• Aplikasi Client/Server (SisFoKumNas) berbasis web dengan
fungsi utama memberikan fasilitas pengolahan data secara
terpadu dalam rangka melakukan kegiatan pengoperasian
sistem sehari-hari.
Pembangunan aplikasi
Pembangunan model layanan informasi berbentuk portal yang
digabung dengan halaman situs berisi informasi hukum dan dapat
menampilkan data yang mutakhir, cepat aksesnya, mudah pemeliharaanya
dan dapat dengan mudah dikembangkan serta diintegrasikan dengan
aplikasi lainya.
Pengembanga SDM berbasis Kompetensi dan kebutuhan Tenaga Ahli
Hal lain yang cukup krusial yang harus diperhatikan dalam
pengembangan Sistem Dokumentasi dan Informasi hukum adalah
dukungan Sumber Daya Manusia berbasis Teknologi Informasi (TI).
Sedangkan tenaga ahli yang dibutuhkan terdiri dari beberapa kelompk
pekerja seperti Sistem Analys, Programer, Teknisi Jaringan dll
Substansi dan Materi yang Dikumpulkan (Dan Merupakan Koleksi
yang menjadi aset) Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum
Nasional
Dalam mencapai tujuan agar menjadi institusi terdepan dan
terpercaya dalam penyediaan data dan informasi hukum, BPHN secara
tertib dan berkelanjutan berupaya untuk dapat mengumpulkan, melengkapi
dan mengolah peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya,
antara lain meliputi:
I. Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari:
1. Undang Undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPRS/MPR RI
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
5. Peraturan Pemerintah
6. Peraturan Presiden/Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Serta produk hukum lainnya, seperti:
8. Undang-undang Darurat
9. Penetapan Presiden
10. Peraturan Presiden
11. Instruksi Presiden
12. Peraturan Menteri
13. Keputusan Menteri
14. Peraturan Gubernur
15. Keputusan Gubernur
16. Peraturan Bupati/Walikota
17. Keputusan Bupati/Walikota
18. Yurisprudensi
19. Traktat
Nomor urut 12 s.d. 17 tidak lengkap, dalam arti tidak semua
Departemen, Pemerintah Daerah, maupun Instansi yang
menerbitkannya mengirim secara kontinyu produk hukum
dimaksud.
2. Bahan Hukum lainnya, :
1. Buku-buku Hukum langka produk Hindia Belanda.
2. Buku terbitan dalam dan luar negeri.
3. Buku-buku terbitan hasil kegiatan BPHN;
4. Hasil-hasil Penelitian Hukum;
5. Hasil-hasil Pengkajian Hukum;
6. Hasil-hasil Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan;
7. Hasil-hasil Naskah Akademis;
8. Hasil-hasil Pembahasan Rencana Legislasi Nasional;
9. Hasil-hasil Penulisan Ilmiah Bidang Hukum;
10. Makalah-makalah ilmiah bahan Seminar Pembangunan Hukum
Nasional;
11. Hasil-hasil Seminar;
12. Direktori Tesis (termasuk sebagian bahan fisiknya), Disertasi;
13. Hasil-hasil Evaluasi, Orientasi, Forum diskusi, Pertemuan
Berkala, Rakorwil dan Rakornas JDI Hukum.
D. Pendayagunaan Situs Web Instansi Pemerintah, Lembaga Legislatif
dan Judikatif Sebagai Sarana Penyebarluasan dan Layanan
Informasi Hukum
Dalam konteks pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi
Hukum sebagai sarana pendayagunaan bersama peraturan perundang-
undangan dan bahan hukum lainnya, kelengkapan semua produk hukum yang
dikeluarkan oleh instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif baik di
Pusat dan Daerah yang memenuhi standar pengelolaan data elektronik menjadi
sangat krusial mengingat kelengkapan dokumentasi produk hukum akan
menghasilkan informasi hukum yang berkualitas.
Diharapkan instansi Pemerintah, lembaga Legeslatif dan Judikatif baik di
Pusat maupun Daerah dapat membangun simpul-simpul informasi berupa basis
data elektronik dengan format pangkalan data yang seragam dan format
komunikasi standar yang pada gilirannya dapat mewujudkan Sistem Informasi
Hukum Nasional yang terpadu, berbasis jaringan internet yang handal yang
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan informasi hukum yang
mudah diakses.
Agar sistem ini dapat beroperasi optimal dan berdaya guna maka
koordinasii antara instansi Pemerintah, lembaga Legeslatif dan Judikatif menjadi
sangat penting dalam hal pendayagunaan bersama dokumentasi peraturan
perundang-undangan dan bahan hukum lainnya sebagaimana telah ada
wadahnya yaitu Keppres No. 91/99 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi
Hukum Nasional. Komunikasi interaktif melalui portal dengan cara tanya jawab
secara on-line, pembentukan milis, masih terus diupayakan.
Ujicoba beroperasinya portal situs bphn.go.id secara nasional telah
dilaksanakan pada bulan Juli 2005 dengan menempatkan terminal kerja
(komputer, modem, scanner) di 2 (dua) Anggota Jaringan yang selama ini telah
mengikuti pelatihan (Pemda DI Yogyakarta dan Kanwil Dep Hukum dan HAM
DKI Jakarta.
Pengelola JDIH di Pemerintah Prov Yogyakarta menginput data Perda
yang dimilikinya secara jarak jauh (remote) ke server BPHN yang selanjutnya
disebarluaskan melalui portal situs bphn.go.id.
Mengingat keterbatasan dana APBN tidak mungkin menempatan terminal
kerja di semua instansi Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif yang
berjumlah ratusan dan pula adanya keterbatasan daya tapung server. Oleh
karenanya telah diupayakan suatu bentuk koordinasi antara instansi Pemerintah,
lembaga Legislatif dan Judikatif dengan melakukan ‘link’ ke situs web dimaksud
yang telah mengoperasikan dan menempatkan produk peraturan yang
dihasilkannya di situs webnya masing-masing ke portal situs bphn.go.id.
Sehingga fungsi BPHN sebagai pusat rujukan penyajian dokumentasi dan
informasi hukum lainnya masih bisa dilaksanakan.
Kegiatan pengolahan, penyajian dan penyebarluasan peraturan
perundang-undangan dan bahan hukum melalui jaringan internet ini dapat
meningkatkan aksesibilitas penyampaian informasi dan jangkauan penyebaran
yang lebih luas bahkan dapat diakses secara internasional. Dan yang terlebih
penting lagi dapat meningkatkan interaksi dan partisipasi masyarakat dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan
hukum dapat memenuhi rasa keadilan dan kebutuhan masyarakat.
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Meskipun Undang-undang yang secara khusus mengatur Cyber
crime belum disahkan, tetapi ketentuan tentang Cyber crime
termasuk pengakuan alat bukti elektronik yang bersifat spesifik dan
sektoral telah ada dalam hukum positif Indonesia.
2. Perlunya peningkatan SDM penegak hukum dalam menangani
kasus-kasus Cyber Crime, oleh karena itu pelatihan tentang Cyber
Crime untuk Hakim, Jaksa, Polisi dan pihak-pihak terkait termasuk
kalangan perguruan Tinggi perlu terus dikembangkan dan menjadi
perhatian negara-negara maju untuk kerjasama pelaksanaannya,
sehingga penanganan dan penegakkan hukumnya dapat lebih
optimal.
3. Perkembangan Teknologi Informasi yang telah menembus batas
ruang dan waktu tanpa dibarengi dengan perkembangan hukum
yang memadai akan melahirkan penyalahgunaan yang
menyesatkan.
4. Perkembangan Telematika telah mengantarkan transaksi kegiatan,
termasuk transaksi bisnis makin banyak dilakukan secara elektronik,
suatu perubahan dari “paper transaction”, menjadi “electronic
transaction”.
5. Dalam rangka perumusan legislasi nasional di bidang keantariksaan,
maka ketentuan-ketentuan dan perjanjian-perjanjian internasional di
bidang keantariksaan serta perjanjian-perjanjian internasional terkait
lainnya dimana Indonesia merupakan negara pihak (“contracting
parties”) sedapat mungkin diintegrasikan.
6. Upaya pengintegrasian tersebut dilakukan dengan memperhatikan
dinamika kepentingan nasional serta perkembangan pada lingkup
internasional menyangkut interpretasi dan implementasinya oleh
berbagai negara.
7. Terhadap perjanjian-perjanjian internasional lainnya di mana
Indonesia bukan menjadi negara pihak, maka ketentuan-ketentuan
yang relevan akan diperhatikan sepanjang sesuai dengan
kepentingan nasional.
8. Sistem HKI akan melindungi para pencipta dalam menghasilkan
karya-karya intelektual tanpa merasa takut bahwa karya-karya
mereka akan ditiru, dibajak atau dipakai oleh orang yang tidak
berhak. Segala usaha yang telah dikeluarkan dalam mencipta suatu
kreasi akan menghasilkan suatu “reward” yang sepadan dan akan
menambah keinginan untuk terus berkreasi yang pada akhirnya akan
semakin memajukan masyarakat secara umum untuk menikmati
hasil-hasil karya intelektual tersebut.
9. Keberadaan Situs web Pemerintah, lembaga Legislatif dan Judikatif
merupakan sarana yang efisien dan effektif dalam penyebarluasan
dan layanan informasi hukum.
10. Dalam rangka pemberdayaan bersama informasi hukum berbagai
instansi baik eksekutif, legeslatif maupun Judikatif dapat
membangun simpul-simpul informasi berupa basis data elektronik
dengan format pangkalan data yang seragam dan format komunikasi
standar yang terhubung dengan portal situs web bphn.go.id
sehingga pada giliranya dapat mewujudkan Sistem Informasi Hukum
Nasional yang terpadu, berbasis jaringan internet yang dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan informasi hukum
yang mudah diakses.
11. Portal situs web bphn.go.id merupakan sarana pemberdayaan
pengetahuan hukum untuk berbagai kalangan yang membutuhkan
informasi hukum berupa peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, kepustakaan hukum berupa buku-buku, hasil
penelitian/pengkajian hukum, Naskah Akademis, Analisa dan
Evaluasi peraturan-perundang-undangan, hasil pembahasan produk
legislasi Nasional, proceding Pertemuan Ilmiah, hasil
12. pembahasan jaringan dokumentasi dan informasi hukum dll.
B. Saran
1. Perlu dilakukan pembaharuan hukum pidana dan hukum acara
pidana agar dapat memberi ruang gerak yang cukup kepada
penegak hukum dalam menyidik, menuntut dan memeriksa
kejahatan-kejahatan penyalahgunaan teknologi informasi
(information technology).
2. Rancangan Undang-undang (RUU) Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik harus segera diproses menjadi Undang-undang agar lebih
dapat memberikan kepastian hukum dalam mengahadapi
perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat dengan segala
akibat yang ditimbulkannya.
3. kajian terhadap hukum dan teknologi perlu terus dilakukan
mengingat perkembangan teknnologi begitu pesat. Dengan demikian
kajian-kajian yang sifatnya spesifik di bidang hukum dan teknologi
perlu terus ditindak lanjuti.
DAFTAR PUSTAKA
http.bkrtn. bappenas.go.id/globalwarming/bambang/doc.
[email protected]/Konsumsi Energi, Emisi, dan Pemanasan
Global.
Messmer Maja, dipl.Natw.ETH, Erika Stutz, dipl.Chem.HTL. Atmosfer dan PemanasanGlobal. Indah Off set Malang, Malang:1998.
Meivina, Arnely, dkk. Bumi Makin Panas, Ancman Perubahn Iklim di
Indonesia, Jakarta: 2004. M Utami, Sri Tjahyani Budi, Modul Mata Pencenaran Udara dan Kesehatan,
FKM-UI, Depok: 2003. http:[email protected]/Kegerahan di Rumah Kaca.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: 1982.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1986, tentang Analisis
Dampak Lingkungan Beserta Penjelasnnya, Jakarta: 1986. Undang-undang nomor 19 tahun 2003 tentang Hak Cipta.
GATT on TRIPs Agreement
Daftar pelanggaran Hak Cipta yang disidik di Ditjen. Hak Cipta.
Gregory Churchill,J.D., Pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH), Makalah Pertemuan Berkala Pelaksanaan JDI Hukum, BPHN, Pontianak 24-27 Juli 2005. Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, SH, Manajemen Pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional Menuju Good Governance, BPHN Departemen Hukum dan HAM, 2004. Prof. Dr. Wahyono Darmabrata, S.H, M.H, Prospek Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di Indonesa menyongsong globalisasi Informasi, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 2004. Cahyana Ahmadjayadi, Peran Teknologi Informasi dalam penyebarluasan Informasi Hukum di Indonesia, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 2004. Tim Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika Indonesia,Penerapan SIMDK dan Telematika Bidang Hukum, Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman dan HAM, 2004. Teknologi Informasi Pilar Bangsa Indonesia Bangkit, Kominfo 2003.