Top Banner

of 136

Youth Proactive Journal_Vol.002.pdf

Mar 09, 2016

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    i

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    ii

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    iii

    FOREWORD

    Di Indonesia, anak muda dikategorikan dalam rentang usia 16-30 tahun menurut pasal 1 ayat 1 UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Anak muda di Indonesia berjumlah lebih besar dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Peta kondisi anak muda Indonesia tersebut mengacu pada data statistik kepemudaan yang dimiliki Kementerian Pemuda dan Olahraga pada tahun 2010. Data tersebut menunjukkan bahwa besar jumlah anak muda di Indonesia dengan rentang usia 16-30 tahun berkisar 57,71 juta jiwa atau sekitar 25,04 persen dari seluruh populasi penduduk dengan besar proposisi jenis kelamin yang hampir sama.

    Pada tahun 2010 itu pula, Transparency International Indonesia (TII) mengembangkan upaya pelibatan generasi muda dalam gerakan antikorupsi. Sejumlah program dan kegiatan dilakukan oleh Youth Department TII. Salah satunya adalah mengajak pegiat-pegiat dalam gerakan dan generasi muda menulis untuk jurnal anak muda, Youth Proactive Journal (Jurnal YP).

    Jumlah anak muda yang tidak sedikit merupakan potensi besar. Meskipun jumlah tersebut tidak berarti banyak tanpa dampingan gerakan yang serius. Maulida Raviola, dalam tulisannya Menilik Organisasi

    Anak Muda Kontemporer di Indonesia dalam volume 2 YP Jurnal ini, menyoroti kemunculan ragam organisasi dan inisiatif anak muda pasca-reformasi. Menurutnya, kemunculan tersebut justru berbanding terbalik dengan minat mereka terhadap politik. Argumen tersebut diperkuat oleh gagasan dari Donny Ardyanto, salah satu pegiat senior yang mengawali karirnya di ICW pasca-reformasi. Donny dalam tulisannya Menantang Oligarki mengaitkan lesunya minat generasi muda terhadap politik diakibatkan oleh kooptasi elit dan oligark dalam demokrasi.

    Ancaman dan upaya pelemahan dari elit dan oligark terjadi secara sistematis sepanjang 2015. Kriminalisasi dialami oleh sejumlah pimpinan KPK. Alia Faridatus Solikha, yang juga relawan Youth Proactive, menuliskan Stop Kriminalisasi KPK: #SaveKPK, #SehatkanPolri. Tulisan tersebut ditulis dengan perspektif anak muda yang lebih menarik.

    Beberapa tulisan dari pegiat muda dengan sudut pandangnya anak muda juga ditulis oleh kawan-kawan dari sejumlah daerah. Hilmiah, relawan Youth Report Center (YRC) dari Lombok Barat memaparkan perspektifnya dalam menyikapi kasus kriminalisasi KPK dalam tulisannya Di mana Kita Saat KPK Dilemahkan. Tulisan reflektif lainnya dalam rubrik Mata Muda juga diwarnai oleh Yam Saroh dari Jombang, yang memberikan gagasan bagi pembaca muda untuk Bertindak Cerdas Melawan Kultur Kerja Korup.

    Selain beberapa tulisan yang disebutkan di atas, tulisan lainnya tidak kalah menarik untuk dibaca dalam Volume 2 Jurnal Youth Proactive. Harapan tinggi dari kami agar kultur menulis dalam gerakan dilakukan dan diteruskan oleh generasi muda. Besar rasa terima kasih dan penghargaan kami bagi para penulis dan pembaca yang apresiatif. Selamat membaca dan salam integritas!

    Lia TorianaPemred/ Program ManagerYouth Proactive Dept. TII

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    iv

    Transparency International merupakan organisasi non-profit global antikorupsi yang berbasis di Berlin, Jerman dan memiliki chapters di kurang lebih 100 negara lainnya, salah satunya Indonesia. Sejak berdiri pada tahun 2002, Transparency International Indonesia (TII) melahirkan beragam publikasi riset dan rekomendasi kebijakan. Beberapa publikasi riset TII yang sudah menjadi rujukan nasional adalah Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index), Survei Integritas Anak Muda (Youth Integrity Survey), dan Barometer Korupsi Global (Global Corruption Barometer).

    PROFIL

    Youth Proactive adalah sebuah inisiatif dan pendekatan untuk menjangkau dan melibatkan generasi muda dalam gerakan antikorupsi. Sejak tahun 2013, di bawah pengelolaan Youth Department TII, Youth Proactive didukung oleh 40 relawan aktif dari wilayah Jabodetabek.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    v

    iiiFOREWORD

    ivPROFIL

    vCONTENTS

    1HEADLINES

    2 STOP KRIMINALISASI KPK!9 MENANTANG OLIGARKI

    19PESTA DEMOKRASI ATAU PESTA PARA ELIT?: OBROLAN SEPUTAR PEMILU

    21 MERITOKRANIAN: GENERASI MUDA PELOPOR DEMOKRASI BERINTEGRITAS

    29 PILKADA TIDAK LANGSUNG,LANGKAH MUNDUR DEMOKRASI

    39PRO-KONTRA KEBIJAKAN: KRITIK PERSOALAN SEKITAR KITA

    CONTENTS41 POLEMIK BBM DAN STATOLATRI51SUBSIDI BBM: ANTARA SEKTOR EKONOMI DAN SOSIAL DI NUSANTARA

    65KUDA BESI IBUKOTA: DIPAKAI WARGA, DIHINDARI JAKARTA

    71KEBIJAKAN PELARANGAN PENGGUNAAN SEPEDA MOTOR, KEBIJAKAN MARAH-MARAH?

    79GERAKAN ANAK MUDA DULU DAN SEKARANG: SEBUAH TRAJEKTORI

    82MENILIK ORGANISASI ANAK MUDA KONTEMPORER DI INDONESIA

    90LEKUK GERAKAN ANAK MUDA

    97MATA MUDA: SUDUT PANDANGNYA ANAK MUDA

    98 DIMANA KITA, SAAT KPK DILEMAHKAN?

    102BERTINDAK CERDAS UNTUK MELAWAN KULTUR KERJA KORUP

    109NEGATIVE LEADERSHIP SEBAGAI UPAYA UNTUK MENGURANGI PEMIMPIN KORUP

    116 PHOTO GALLERY119 WRITERS BIO125 BEHIND THE JOURNAL

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    vi

    KORUPSI adalah penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. (Transparency International)

    Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index) merupakan indeks gabungan global yang dikeluarkan oleh Transparency International, untuk menggambarkan persepsi korupsi di sektor publik (pejabat publik dan politisi) dari sudut pandang pakar dan pebisnis, dengan rentang skor 0-100 (sangat korup-sangat bersih).

    >>>>>>>>>>>

    Skor dan peringkat Indonesia dalam 3 tahun terakhir ini:

    TAHUN

    2012

    2013

    2014

    118

    114

    117

    32

    32

    34

    SKOR PERINGKAT

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    vii

    Survei Persepsi Korupsi 2015 merupakan survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia di 11 kota di Indonesia, untuk menggambarkan daya saing dan hambatan berusaha, potensi korupsi dan integritas pelayanan publik, potensi suap dan integritas sektor bisnis, penilaian sistem integritas lokal, serta penilaian kinerja perekonomian daerah, dengan rentang skor 0-100 (sangat korup-sangat bersih). 11 kota yang diteliti merupakan kota yang memiliki kontribusi produk domestik bruto nasional terbesar di Indonesia.

    NEGARA SKOR PERINGKAT

    Banjarmasin

    Surabaya

    Semarang

    Pontianak

    Medan

    Jakarta Utara

    Manado

    Padang

    Makassar

    Pekanbaru

    Bandung

    68

    65

    60

    58

    57

    57

    55

    50

    48

    42

    39

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    11

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    viii

    Perbandingan skor dan peringkat Indonesia di tahun 2014 dengan beberapa negara ASEAN:

    NEGARA SKOR PERINGKAT

    Singapura

    Malaysia

    Filipina

    Thailand

    Indonesia

    Vietnam

    Kamboja

    Myanmar

    84

    52

    38

    38

    34

    31

    21

    21

    7

    50

    85

    85

    117

    119

    156

    156

    3 tipe fenomena dalam korupsi:

    Penyuapan (Bribery) merupakan perbuatan kriminal yang melibatkan sejumlah pemberian kepada seseorang, dengan maksud agar penerima pemberian tersebut mengubah perilakunya sehingga bertentangan dengan tugas dan tanggung jawabnya yang sesungguhnya

    Pemerasan (Extortion) merupakan penggunaan ancaman kekerasan atau penyampaian/penampilan informasi yang merusak guna membujuk seseorang agar mau bekerja sama dengan pihak pemberi ancaman/informasi

    Nepotisme (Nepotism) merupakan tindakan memilih keluarga atau teman (dalam hal pekerjaan) berdasarkan pertimbangan hubungan, bukan karena kemampuannya

    (Syed Hussein Alatas, 1983)

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    1

    HEADLINES

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    2

    Stop Kriminalisasi KPK!#SaveKPK, #SehatkanPolri1

    Alia Faridatus Solikha

    Harus diakui, Indonesia tengah menjadi negara dengan darurat korupsi dengan maraknya tindak pidana korupsi khususnya di kalangan abdi negara. Semenjak berdirinya Orde Baru pada 1965, berbagai bentuk tindakan pidana korupsi seakan menjamur dari berbagai lini. Korupsi, yang menurut UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dipahami sebagai tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim,

    1 Disampaikan dalam diskusi Ngobrol Pintar (NGOPI #5) Youth ProActive Transparency International Indonesia, Jakarta 6 Januari 2015. Kritik dan saran:[email protected]

    berbuat curang, melakukan penggelapan, dan menerima hadiah terkait tanggung jawab yang dijalani,2 ,seakan menjadi topik yang akrab ditemui di berbagai pemberitaan nasional Indonesia yang memperlihatkan bobroknya perilaku pejabat negara akhir-akhir ini. Mulai dari pejabat pemerintahan di tataran pusat, daerah, yang meluas dari kota hingga ke pelosok negeri, serta penguasa dari sektor swasta pun tak lepas dari tindakan korupsi.

    Era reformasi menjadi titik balik bagi bangsa ini dalam semangat melawan berbagai tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar setelah muncul lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas untuk memberantas korupsi. KPK menjadi lembaga yang mampu membangkitkan optimisme masyarakat mengenyahkan korupsi di negeri ini.

    2 Diana Napitupulu, KPK in Action, Raih Asa Sukses (Penebar Swaday Grup), Jakarta, 2010, hlm.9.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    3

    KPK berdiri berdasarkan UU No. 30/2002 dan berdiri secara independen serta bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK dengan sifatnya sebagai lembaga ad hoc, sewaktu-waktu dapat bubar. Pembubaran KPK akan terjadi jika kinerja dari Kepolisian dan Kejaksaan sudah dapat dipercaya, serta korupsi tidak lagi eksis di Indonesia.3

    Berdasarkan data yang dilansir oleh Transparency International Indonesia, di tahun 2014 skor Corruption Perception Index Indonesia berada di angka 34 atau naik dua digit dari skor tahun 2013 dengan besaran 32.4 Dengan hasil ini, kinerja pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia bersama lembaga penegak hukum ini patut diapresiasi. Namun patut disayangkan, terlepas dari prestasi yang meningkat dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, belakangan ini

    3 Ibid., hlm.47

    4 Wahyudi, Corruption Perceptions Index 2014 Perhatian: Indonesia Harus Lebih Serius Memberantas Korupsi diaksesdari

    persaingan tidak sehat antara KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya justru kian meruncing. Rivalitas antara kepolisian, kejaksaan dengan KPK semakin memanas dengan adanya berbagai temuan KPK atas tindakan korupsi yang dilakukan oleh para oknum kepolisian dan kejaksaan, sebagai mafia peradilan dan makelar kasus yang justru turut melemahkan penegakan hukum di negeri ini.

    Menuju seratus hari pertama pemerintahan baru Joko Widodo dan Jusuf Kalla, rakyat Indonesia kembali dihadapkan dengan perseteruan antara KPK dan Polri (Cicak vs Buaya) yang ketiga kalinya setelah sebelumnya telah terjadi perseteruan Cicak vs Buaya Jilid I dan II.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    4

    Publik Indonesia semakin dibuat kaget atas hasil sidang paripurna DPR RI yang berlangsung pada Kamis (15/1) yang menyetujui usulan Presiden Jokowi untuk mengangkat Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri menggantikan (pol) Sutarman. Diketahui sebelumnya, KPK telah menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi berupa gratifikasi saat menjabat sebagai Kepala Biro Pengembangan Karier, Deputi SDM Polri.

    Apabila jabatan Kapolri diisi oleh orang yang tersangkut kasus korupsi, tentu membuka peluang untuk terjadi hal yang serupa dan korupsi pun akan semakin sulit untuk diberantas.

    Seakan memperlihatkan bentuk perlawanan, beberapa hari kemudian, Bambang Widjojanto salah satu pimpinan aktif KPK ditangkap paksa dan diberikan status tersangka oleh Bareskrim.

    Upaya politisasi lembaga penegak hukum menjadi polemik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

    Polemik ini dapat dilihat pada pencalonan tunggal Kapolri Budi Gunawan yang lebih dikarenakan pada adanya preferensi politik tertentu. Kontroversi in muncul karena pengangkatan calon pejabat penegak hukum lebih didasarkan kepentingan politis, dibandingkan aspek kompetensi dan kredibilitas. Hal ini tentu saja membuat rakyat kecewa dengan keberadaan institusi hukum di negeri ini. Banyak pihak yang mengingatkan Presiden Jokowi yang tidak melibatkan KPK untuk memastikan calon Kapolri yang bersih dan bebas dari tindak pidana korupsi. Namun entah mengapa, Presiden Jokowi seolah sangat yakin bahwa Budi Gunawan adalah calon Kapolri yang paling layak dan terbaik.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    5

    Penangkapan itu didasarkan pada pengaduan bekas anggota legislatif dari fraksi PDI-P, Sugianto Sabran, dengan tudingan mendalangi kesaksian palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin, Kalteng, 2010 silam. Upaya kriminalisasi KPK berlanjut pada jajaran KPK lainnya. Mulai dari Abraham Samad yang dilaporkan oleh Plt. Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto atas pertemuan Samad dengan petinggi partai PDI-P terkait pencalonannya sebagai Wakil Presiden 2014. Tak lama setelahnya, wakil ketua KPK Adnan Pandu yang dilaporkan atas kasus penguasaan perusahaan secara ilegal, dan Zulkarnaen yang juga diadukan ke Kepolisian terkait dugaan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada tahun 2008.5

    Rangkaian peristiwa ini memperlihatkan dengan jelas, bahwa ada upaya sistematis yang mengarah kepada kriminalisasi KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi dinilai hanya sebagai petugas partai yang mengakomodir keinginan partai politiknya, PDI-P untuk memilih Budi Gunawan sebagai Kapolri. Sulit untuk dinafikan,

    5 Rzn, Kronologi Cicak vs Buaya Jilid Tiga, diakses dari http://www.dw.de/kronologi-cicak-vs-buaya-jilid-tiga/a-18211420, pada tanggal 2 Februari 2015 pukul 11.03WIB

    saat ini kepentingan segelintir elit partai yang menyandera Presiden Jokowi telah berujung pada upaya pelemahan dan kriminalisasi KPK oleh Polri, yang secara nyata merupakan serangan balik atas tertundanya pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. DPR pun seakan turut memuluskan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri dengan meloloskannya saat proses fit and proper test.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    6

    Kasus ini menunjukkan lemahnya negara dalam konsistensinya memberantas korupsi. Terlihat pula lemahnya presiden dalam menjalankan amanatnya, yang juga merupakan janjinya, untuk melumpuhkan korupsi. Preseden ini semakin menyudutkan presiden dan mempertanyakan independensinya dalam penegakan hukum elit. Ini adalah titik kritis pemberantasan korupsi di Indonesia, dimana elit dan penegak hukum tak dapat melepaskan diri dari unsur politis dalam melaksanakan tugasnya.

    KPK yang hingga kini menjadi lembaga yang paling dipercaya rakyat memang harus dilindungi, tetapi apabila memang terbukti terdapat oknum-oknum KPK yang melakukan pelanggaran hukum, maka harus tetap diusut sampai tuntas. Berlaku pula pada oknum Kepolisian yang terindikasi korupsi, maka harus tetap menjalani proses hukum hingga tuntas.

    #SaveKPKMeskipun kini pimpinan-pimpinan KPK berada dalam situasi yang pelik, publik tentu tetap mengharapkan KPK menjadi lembaga independen yang kredibel dalam pemberantasan korupsi. KPK harus diselamatkan dari oknum-oknum yang berusaha melakukan kriminalisasi. KPK harus diteguhkan menjadi lembaga pemberantasan korupsi yang tidak terbawa arus politik. Kinerja KPK selama ini tidak dapat dipandang remeh. Bagaimanapun, KPK telah menyelamatkan trilyunan uang negara dari para koruptor. Walaupun begitu, fakta yang terjadi saat ini, pemerintah masih belum serius memperkuat KPK. Terbukti dari alokasi anggaran untuk KPK yang hanya 0.05% dari total anggaran negara. Seharusnya anggaran lembaga antikorupsi di sebuah negara mencapai 0.5% dari total APBN.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    7

    yang menekankan pada pembangunan integritas baik individu maupun organisasi, yang dibarengi tiga sektor strategis: hukum (kepolisian, kejaksaan, peradilan), politik (parlemen dan partai politik), serta bisnis (perizinan, bea cukai, dan ekspor-impor).7

    #SehatkanPolriKPK membutuhkan Presiden sebagai dirjen pemberantasan korupsi, juga Polri sebagai sekutu setia (Oppusunggu, 2015).8 Presiden juga harus menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi dengan melakukan pembenahan terhadap Polri. Presiden harus berani membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri dan segera mencari pengganti yang bermartabat dan bebas dari korupsi. KPK memang lembaga yang memiliki tugas utama untuk memberantas korupsi. Namun peran Polri juga sangat berpengaruh. Berdasarkan infografis yang dilansir dari Selasar.com.

    7 Pradipa P. Rasidi, CPI 2014: Lebih Serius Memberantas Korupsi, diakses dari http://youthproactive.com/cpi-2014-lebih-serius-memberantas-korupsi/, pada tanggal 2 Februari 2015 Pukul 11.36WIB

    8 Yu Un Oppusunggu, #SaveKPK?, diakses dari http://www.selasar.com/politik/savekpk, pada tanggal 1 Februari 2015pukul 10.12 WIB

    Bertrand de Speville, Mantan Komisioner di Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong mengatakan bahwa sangat tidak mungkin pemberantasan korupsi dengan hanya mengandalkan 750 staf, ditambah lagi gedung yang digunakan hanya dapat menampung 350 orang. Indonesia harus menginvestasikan lebih banyak sumber daya manusia dan keuangan apabila korupsi ini ingin di berantas habis.6

    Tak hanya itu, diperlukan pula komitmen Presiden dan koordinasi yang baik antarlembaga penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan maupun masyarakat dalam hal pemberantasan korupsi. KPK pun telah mengajukan konsep Sistem Integritas Nasional (SIN)

    6 KPK, Anggaran Ideal KPK 0,5% dari APBN, diakses dari http://kpk.go.id/id/nukpk/id/berita/berita-sub/534-anggaran-ideal-kpk-0-5-dari-apbn, pada tanggal 2 Februari 2015 pukul 11.35WIB

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    8

    Kepolisian Indonesia merupakan institusi yang dipersepsikan paling korup. Kepolisian Indonesia menempati skor teratas dengan persentase 91%, diikuti DPR 89% serta Pengadilan & Kejaksaan dan Parpol dengan persentase yang sama; yaitu 86%.

    Kepercayaan publik akan kembali apabila Polri serius dan konsekuen dalam menuntaskan semua perkara hukum yang melibatkan petinggi di dalam institusinya. Polri harus mampu membuktikan institusinya bebas dari kepentingan politik. Reformasi birokrasi menjadi harga mati bagi Polri agar menjadi lembaga yang kuat, profesional, dan bersih dari tindakan korupsi.

    Gambar Infografis Indeks Persepsi Korupsi Polisi Sumber: selasar.com, 20159

    Konflik antara KPK dan Polri adalah bukti bahwa institusi penegak hukum di Indonesia sedang dipertaruhkan. Presiden Joko Widodo sebagai pihak yang memiliki kewenangan terbesar atas kasus ini harus segera memetakan masalah yang berkembang, kemudian melakukan penyelesaian yang tak hanya bersifat normatif. Presiden harus tegas dan membebaskan institusi penegak hukum dari kepentingan elit tertentu. Presiden harus dapat menunjukkan kepada rakyat, komitmennya memberantas korupsi dan mengembalikan marwah penegakan hukum di Indonesia.

    9 Khas Selasar, KPK Versus POLRI? diakses dari http://www.selasar.com/khas-selasar/kpk-versus-polri pada tanggal 2 Februari 2015 pukul 13.09 WIB

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    9

    Undang-Undang yang mengatur tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung disahkan pada bulan Oktober 2004, dan untuk pertama kalinya pemilihan kepala daerah secara langsung ini diterapkan dalam pemilihan Bupati Kutai Kartanegara bulan Juni 2005. Artinya, rakyat Indonesia baru merasakan pengalaman pemilihan kepala daerah secara langsung di masing-masing wilayahnya tidak lebih dari 2 kali. Di sisi lain, pengalaman pemilihan kepala daerah oleh DPRD di era reformasi (1998-2004) juga baru 1-2 kali dialami di masing-masing daerah.

    Dengan pengalaman yang masih sangat terbatas tersebut sebenarnya menjadi terlalu dini untuk menilai sejauh mana pengaruh model pemilihan kepala daerah ini terhadap kemajuan demokrasi di Indonesia.

    1

    Jika kita hanya melihat berdasarkan hak warga negara untuk memilih pemimpinnya secara langsung, tentunya pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah sebuah kemunduran. Namun kemajuan serta kualitas demokrasi tidak bisa dinilai dan diukur semata-mata hanya dari pemberian hak pilih langsung tersebut.

    *) Penulis adalah peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi

    (P2D) dan juga menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi Partai Serikat Rakyat Independen, sebuah partai politik yang berusaha bebas dari oligarki namun gagal menjadi peserta Pemilu 2014.

    1 Meskipun sepanjang Orde Baru kepala daerah dipilih melalui DPRD, namun lebih tidak tepat apabila pengalaman tersebut digunakan sebagai perbandingan.

    Menantang OligarkiDonny Ardyanto*)

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    10

    Dari berbagai metode yang dilakukan untuk mengukur demokrasi (Indeks Demokrasi Indonesia

    2

    , Global Democracy Ranking

    3

    , Freedom in the World4

    , dll), mekanisme pemilihan kepala daerah hanya merupakan satu indikator dari puluhan indikator demokrasi. Jadi, selain terlalu dini dan sumir untuk melakukan semacam evaluasi terhadap perkembangan demokrasi Indonesia berdasarkan mekanisme pemilihan kepala daerah, ada aspek lain yang lebih relevan dalam memandang transisi demokrasi ini.

    Menurut Jeffrey Winters (2011), selain transisi dari kediktatoran ke demokrasi, ada transisi lain yang tidak kalah penting, yaitu transisi dari oligarki sultanistik yang dijinakkan oleh Suharto menjadi oligarki kekuasaan yang belum dijinakkan semenjak Suharto jatuh.

    5 Oligarki yang dijalankan oleh kamu oligark inilah yang menguasai perpolitikan Indonesia di era reformasi. Secara langsung maupun tidak langsung, mereka telah mendominasi lembaga-lembaga politik yang dibangun dengan tujuan awal untuk memperkuat demokrasi.

    2 Lihat http://www.idiproject.org/index.php/en/methodology dan Indeks Demokrasi Indonesia 2013 di Berita Resmi Statistik BPS No. 55/07/Th.XXVII, 04 Juli2014.

    3 http://democracyranking.org/?page_id=738

    4 http://www.freedomhouse.org/report/freedom-world-2014/methodology#.VDaUZvnLclR

    5 Jeffrey Winters, Oligark, Gramedia, 2011, hal.xix-xx.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    11

    APAKAH OLIGARK INI?

    Oligark adalah individu yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material, yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya. Sedangkan oligarki adalah politik pertahanan kekayaan dari kaumoligark.6

    Postur oligarki Indonesia tergambar dari fakta bahwa jumlah kekayaan dari 40 orang terkaya di Indonesia pada tahun 2010 merupakan 10,3% dari GDP, dengan rata-rata kekayaan mereka mencapai Rp 21,36 trilyun.7 Jika dibandingkan rata-rata kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia, Thailand, Malaysia dan Singapura, Indonesia berada di posisi paling tinggi.

    6 Jeffrey Winters, Oligark, Gramedia, 2011, hal.8-9.

    7 Data Forbes Magazine 2010 yang dirangkum oleh Winters. Bandingkan dengan rata-rata kekayaan penduduk Indonesia yang hanya Rp39,7juta(GlobalWealthReport2010).

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    12

    TABEL PERBANDINGAN KEKAYAAN 40 ORANG TERKAYA TAHUN 20108

    Dari tabel di atas terlihat bahwa 40 orang terkaya di Indonesia menguasai aset yang jumlahnya mencapai 10.3% dari GDP Indonesia.9 Sementara konsentrasi kekayaan di Indonesia lebih dari 3 kali lipat konsentrasi kekayaan Thailand, hampir 4 kali lipat Malaysia, dan 25 kali lipat dari konsentrasi kekayaan orang Singapura. Konsentrasi kekayaan ini, berbeda dengan indeks Gini yang menggambarkan kesenjangan ekonomi, menunjukkan bagaimana kesenjangan yang tinggi itu terkonsentrasi pada segelintir orang yang kemudian bisa dikategorikan sebagai oligark.

    8 Jeffrey Winters, Who will Tame the Oligarch, Inside Indonesia 104, Apr-Jun2011.

    9 Menurut Data Forbes 2013 (http://www.forbes.com/indonesia-billionaires/list/), total kekayaan 40 orang terkayaIndonesiameningkat26%padatahun2013menjadiUSD89,6milyar,danmasihmemilikiprosentaseyang sama (10,3%) terhadapGDP.

    indonesia

    Thailand

    Malaysia

    Singapore

    71.3

    36.5

    51.3

    45.7

    1.78

    0.91

    1.28

    1.14

    10.3

    11.7

    23.4

    21.0

    6.22

    1.95

    1.65

    0.25

    Total Wealth(US$ billions)

    Total Wealthas % of GDP

    Wealth Concentration

    Index

    AverageWealth(US$ billions)

    Source: Forbes magazine 2010 40 Richest reports for various Asian countries and authors calculations.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    13

    Source: Forbes magazine 2010 40 Richest reports for various Asian countries and authors calculations.INDEKS KONSENTRASI KEKAYAAN ORANG INDONESIA 201010

    10 Diambil dari materi presentasi Jeffrey Winters dalam Diskusi Ancaman Oligarki dan Masa Depan Politik Indonesia di SMI-Keadilan, Juni2011.

    Top 40

    Next 42.960

    Bottom 239.957.000(99.98% of pop)

    10.3

    14.7

    75.0

    823.850

    1.095

    1

    % GDPIndonesiansWealth Index

    per Orang

    Satu hal yang membedakan antara oligark Indonesia dengan kaum oligark dalam rumusan teori oligarki Winters adalah oligark Indonesia tidak menggunakan (apalagi mengupayakan) rule of law dalam mempertahankan/meningkatkan kekayaan mereka.

    Oligark Indonesia memanfaatkan absennya rule of law untuk, bukan semata-mata mempertahankan kekayaan, namun juga untuk mengakumulasi kekayaan yang lebih besar dengan cara yang melanggar hukum.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    14

    Menghadapi cara kasar kaum oligark, kita bisa berharap pada institusi penegakan hukum, khususnya KPK. Namun menghadapi oligarki yang menggunakan instrumen demokrasi dalam mempertahankan kepentingan privat mereka itulah yang menurut Winters menjadi problem penting bangsa ini. Uang dan kekayaan memang bisa menghasilkan kekuasaan, namun di Indonesia kemampuan itu menjadi berlipat ganda karena tidak adanya hambatan (berupa aturan, dll) bagi penggunaan uang untuk kepentingan kekuasaan.11

    Menurut Rahman Tolleng, konsolidasi kaum oligark pasca Orde Baru sudah membajak demokrasi yang dicita-citakan pada tahun 1998, dan membekukan masyarakat.12 Politik secara perlahan diambil alih dan dikuasai kembali oleh mereka, kali ini tanpa adanya lagi kediktatoran Suharto yang membatasi ruang gerak oligark. Arena pertarungan politik dibuat sedemikian rupa sehingga hanya dengan restu dan campur tangan mereka, politik bisa berjalan. Politik hanya bisa berjalan dengan biaya besar. Biaya besar ini bukan hanya dalam kerangka kontestasi di pemilu. Dari awal untuk bisa masuk dalam ruang kontestasi pemilu saja sebuah partai politik harus menyiapkan biaya minimal Rp 35-60 milyar.13 Itu belum termasuk biaya kampanye, sehingga juga belum menjamin parpol yang bersangkutan bisa memperoleh suara yang signifikan.

    11 Jeffrey Winters, Who will Tame the Oligarch, Inside Indonesia 104, Apr-Jun2011

    12 OrasiRahmanTollengdalamPeringatan40TahunMalari,15Januari2014,dibukukanolehIndemo.

    13 Berdasarkan perhitungan saya, kebutuhan minimal pembentukan Partai Politik (verifikasi Depkumham): Rp 35milyar. Biayakeikutsertaanpemilu(verifikasiKPU,rekrutmenanggotadll):Rp25milyar.Biayakampanye:

    Cara-cara yang biasa dilakukan kaum oligark dengan mempengaruhi perumusan kebijakan, seperti UU Penanaman Modal, UU Pajak, UU Minerba, UU Perseroan Terbatas, dll demi mempertahankan kekayaannya sudah merupakan sebuah bentuk penyalahgunaan kekuasaan, meskipun dengan cara yang bisa dikatakan halus dan canggih. Melalui UU dan kebijakan tersebut mereka berhasil mempertahankan kekayaan dengan perlindungan legal dari peraturan perundang-undangan. Ternyata cara itupun masih belum mencukupi bagi sebagian oligark Indonesia, sehingga kemudian cara-cara kasar pun dilakukan dengan mengambil proyek-proyek pembangunan untuk bisa dijalankan oleh perusahaan yang mereka miliki.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    15

    TABEL PERSYARATAN PARTAI POLITIK ERA REFORMASI

    Persyaratan Pembentukan Partai Politik- Jumlah Pendiri- Jumlah Kepengurusan Tk. Provinsi- Jumlah Kepengurusan Tk. Kab/Kota- Jumlah Kepengurusan Tk. Kecamatan

    Jumlah Partai Politik

    Persyaratan Parpol Ikut Pemilu- Jumlah Kepengurusan Tk. Provinsi- Jumlah Kepengurusan Tk. Kab/Kota- Jumlah Kepengurusan Tk. Kecamatan- Jumlah Anggota

    Jumlah Peserta Pemilu

    UU No.2/1999

    50000

    141

    UU No.3/199950%50%

    00

    48

    UU No.31/2002

    5050%50%25%

    187

    UU No.12/20132/32/3

    01000 atau

    1/100024

    UU No.2/2008

    5060%50%25%

    74

    UU No.10/20082/32/3

    01000 atau

    1/100038

    UU No.2/2011

    99100%75%50%

    34

    UU No.8/2012100%75%50%

    1000 atau 1/1000

    12

    1999 2004 2009 2014

    Akibat yang muncul di publik yang menggambarkan efek pembekuan oleh kaum oligark adalah ketidakberdayaan publik ketika berhadapan dengan partai politik yang mengabaikan ataupun mengkhianati aspirasi mereka. Penguasaan oligark terhadap partai politik membuat pemimpin partai tidak lagi melakukan leading, namun melakukan dominasi, dan peran mereka pun bersifat personal. Personalisasi dalam politik, yang juga kompatibel dengan individualisme oligark, kemudian dipadukan dengan populisme oleh sistem pemilihan langsung. Di satu sisi, publik dibuat seolah-olah sebagai demos yang kratos melalui direct-one-man-one-vote, padahal umur kratos mereka hanya sekejap ketika mereka berada di dalam bilik suara. Selebihnya, mereka tidak punya akses sama sekali terhadap kekuasaan. Jarak antara publik dengan

    partai diperlebar, baik atas hasil rekayasa oligark, maupun reaksi publik sendiri berdasarkan pengalaman traumatik mereka terhadap partai politik.

    Dalam hasil riset LSI yang dijadikan rujukan dalam tulisan Sdr. Iman Warih Waskito, dinyatakan bahwa penolakan publik terhadap pemilihan kepala daerah oleh DPRD dilandasi oleh adanya kekawatiran bahwa kepala daerah akan lebih mengutamakan kepentingan partai (dibanding kepentingan publik). Temuan itu juga harus dibaca sebagai adanya kesenjangan yang sangat besar antara kepentingan publik dengan kepentingan partai.Kesenjangan ini merupakan problem mendasar dari politik dan kepartaian Indonesia, di mana partai gagal merepresentasikan kepentingan publik.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    16

    Problem kegagalan fungsi representasi partai politik, dan ketidakpercayaan publik terhadap partai politik tidak ada kaitan langsung, dan tidak akan bisa diselesaikan melalui model pemilihan kepala daerah secara langsung. Akar dari kedua problem tersebut yaitu oligarki sekalipun, tidak bisa diselesaikan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Winter menegaskan bahwa penjinakan terhadap oligark tidak ada hubungannya dengan kebebasan ataupun partisipasi politik masyarakat.Penjinakan terhadap oligark hanya dapat dilakukan melalui rule of law, dan harus disadari bahwa demokrasi tidak selalu identik dengan rule of law. Indonesia adalah contoh demokrasi tanpa rule of law, sehingga disebut Winters sebagai criminal democracy; berbanding terbalik dengan Singapura yang dia sebut sebagai authoritarianlegalism.14

    14 Jeffrey Winters, Who will Tame the Oligarch, Inside Indonesia 104, Apr-Jun2011

    Kita berada dalam situasi dimana politik elektoral sudah diberlakukan, namun partai politik dikuasai oleh oligark sementara publik mengambil sikap anti terhadap (partai) politik. Dengan kesediaan untuk menjadi demos hanya sekejap dalam bilik suara, kecenderungan publik adalah berpolitik sebagai kumpulan gerombolan tanpa isi kepala. Padahal kita membutuhkan publik dengan kualitas demos yang permanen sehingga benar-benar bisa memegang kratos secara permanen pula. Institusi-institusi yang dianggap sebagai pilar demokrasi, terutama partai politik dan pers, sudah menjadi bagian dari oligarki yang alih-alih menjalankan fungsi pendidikan politik, malah menjejali publik dengan segala jenis survei dan kampanye personalisasi politik.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    17

    Pendalaman demokrasi membutuhkan peran aktif warga negara dalam politik. Peran aktif ini harus lebih dari sekedar aktif mengikuti isu politik di media massa atau media sosial, kemudian mengambil sikap (juga melalui media sosial) berdasarkan informasi-informasi dangkal yang diterima dari media massa. Politik harus mulai dipahami dan disikapi bukan berdasarkan figur ataupun hasil polling, namun berdasarkan gagasan dan platform dari aktor politik. Rekayasa politik diperlukan untuk mengubah pemahaman tersebut, dan mau tidak mau diawali dengan kesadaran bahwa segala hiruk pikuk politik yang terjadi selama ini tidak lain merupakan pertarungan antar oligark dalam memanfaatkan serta memperebutkan kendali atas institusi-institusi demokrasi.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    18

    Pemilihan kepala daerah secara langsung maupun melalui DPRD tidak berpengaruh terhadap fenomena oligarki politik. Bahkan pertarungan wacana mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah bisa jadi menguntungkan oligark karena masih jauh dari subtansi yang diperlukan untuk menjinakkan mereka. Menjinakkan oligark sangatlah sulit, namun jauh lebih sulit lagi untuk bisa menghancurkan mereka melalui pemecahan konsentrasi kekayaan. Meskipun sulit, namun cengeraman oligarki memang hanya bisa diatasi dengan aturan hukum (rule of law). Menurut Winters, hal itu harus dimulai dengan masyarakat mempunyai organisasi dan pemimpin di luar struktur yang dikuasai para oligark dan elit. Organisasi dan pemimpin politik inilah yang akan menjadi agen dan alat dalam menantang oligarki.

    Oleh karena itu, jauh lebih penting untuk mendorong kewarganegaraan yang aktif dengan keterlibatan langsung warga negara di institusi-institusi demokrasi, dimulai dengan partai politik. Contoh pilihan sederhananya: Masuk partai politik yang sudah ada dan melawan oligarki dari dalam; atau Membuat partai politik baru yang terbebas dari kaum oligark.

    Agenda untuk melahirkan kewarganegaraan yang aktif memerlukan rakayasa melalui pendidikan. Pemilihan secara langsung tentunya juga bisa dianggap sebagai suatu bentuk pembelajaran politik, learning by doing. Asumsinya pengalaman adalah guru yang terbaik, publik akan belajar dari kesalahan maupun keberhasilan yang mereka peroleh ketika terlibat langsung dalam proses voting. Namun ada resiko ketika momentum belajar yang hanya sekali dalam lima tahun itu kalah cepat dengan proses pengambilalihan institusi demokrasi oleh kaum oligark, sehingga instrumen hukum yang merupakan alat utama untuk menjinakkan kaum oligark akan semakin sulit diciptakan dengan makin kuatnya cengkraman oligarki.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    19

    Pesta Demokrasi atau Pesta Para Elit?:

    Obrolan Seputar Pemilu

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    20

    Pemilihan Umum (Pemilu), yang merupakan syarat utama demokrasi, bukan sekedar arena untuk mengekpresikan kebebasan rakyat dalam memilih pemimpinnya; tetapi juga sebagai sarana untuk menilai kinerja pemimpin dan menghukumnya, jika kinerja dan kelakukannya buruk. (Rumahpemilu.org)

    Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak akan diadakan secara bertahap (dibagi menjadi 7 gelombang) mulai Desember 2015 hingga tahun 2027 dimana pada tahun 2027 tersebut Pilkada Serentak akan diadakan di setiap provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia, dan untuk seterusnya akan dilakukan kembali setiap 5 tahun sekali.

    Pilkada di Asia Tenggara

    Berbeda dengan Indonesia; Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, Brunei, dan Malaysia tidak menyelenggarakan Pilkada. Malaysia sempat menyelenggarakan tapi tidak dilanjutkan kembali setelah adanya konfrontasi dengan Indonesia pada tahun 1964. Di Malaysia, kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusat. Sedangkan di Vietnam, kepala daerah dipilih oleh badan legislatif.

    >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

    Mengapa Pilkada Serentak?

    Efisiensi anggaran

    Sebagai sarana untuk menggerakkan kader partai politik secara luas dan gencar

    Mencegah mobilisasi massa pemilih dari satu daerah ke daerah lain (misal: minggu ini mobilisasi massa di Banten, minggu berikutnya mobilisasi massa yang sama di Depok)

    Mencegah kutu loncat (gagal di satu wilayah, menyeberang ke wilayah lain) seperti Rieke Dyah Pitaloka (gagal di Jakarta dan Jawa Barat, jadi bakal calon di Depok) dan Andre Taulany (gagal di Tangerang Selatan, jadi bakal calon di Depok)

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    21

    Bicara kualitas manusia maka prinsipnya

    niscaya akan hadir era meritokrasi.

    -Anies Baswedan

    Meritokranian:

    Generasi Muda Pelopor DemokrasiBerintegritasApriliyati Eka Subekti

    Dalam hitungan minggu, sebagian daerah di Indonesia akan segera menggelar hajatan tertinggi demokrasi. Data KPU menunjukkan bahwa terdapat 9 provinsi dan260 kabupaten/kota yang serentak mengadakan pilkada pada 9 Desember 2015. Di sisi lain, keikutsertaan dalam memberikan hak suara pada pilkada ini, dipandang sebagai standard partisipasi masyarakat dalam pemenuhan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Perlu diketahui, sekitar 30 persen dari total pemilih di Indonesia merupakan generasi muda atau pemilih pemula. Para pemilih pemula tersebut merupakan basis utama swing voters yang cukup menentukan arah pengelolaan negara pada periode selanjutnya. Di sisi lain, para pemimpin dan pemangku kebijakan sudah sepatutnya dipilih berdasar kompetensi dan integritasnya.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    22

    PEMILIH PEMULA, ASET PEMILU

    Tak ayal, terbersit sedikit kekhawatiran akan kemampuan pemilih pemula dalam mengelola antusias menentukan sosok pemimpin yang tepat.Namun demikian, jika dimanfaatkan dengan baik, antusiasme tersebut justru dapat menjadi modal untuk mengawal penyelenggaraan pesta demokrasi, khusunya pilkada 2015. Sebetulnya, bagaimana kaum muda dapat ambil bagian mengawal penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia? Mampukah kaum muda menjadi generasi meritokranian yang melek politik? Tulisan ini akan memaparkannya lebih jauh.

    Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi demografi suatu negara sangat memengaruhi proporsi pemilih dalam pemilihan umum di negara tersebut. Bahkan, kondisi di atas turut berdampak pada output dari pemilihan itu sendiri. Keputusan pemilih akan menentukan apakah pemilihan umum dapat membawa perubahan, atau justru mengulang perilaku bobrok pejabat publik pemerintahan, penyelewengan kekuasaan berujung korupsi.

    Merunut penyelenggaraan pemilihan umum 2014, sebagian dari total pemilih di Indonesia merupakan generasi muda. Data Survei Pemilih Pemula Pada Pemerintah, Korupsi, dan Pemilu 2014 milik Transparency Indonesia(TI)

    menunjukkan bahwa 30 persen dari total pemilih di Indonesia adalah pemilih pemula (17-30 tahun). Sejatinya, rata-rata pemilih pemula di Indonesia mendapatkan kemudahan akses pendidikan politik dari berbagai media. Senada dengan hal tersebut, Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sonny Harry Harmadi pun menambahkan,bahwa dengan tingkat pendidikan dan akses informasi yang baik, mereka seharusnya cenderung melek politik. (Antusiasme Pemilih Muda- Kompas, 8 April 2014).

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    23

    Jika dilihat dari partisipasi politik, sebagian besar pemilih muda menyatakan akan menggunakan hak pilihnya. Survei TI pada tahun 2014 kembali menyebutkan bahwa, 77% pemilih pemula bersedia menggunakan hak suaranya dalam pemilihan presides (pilpres) 2014. Begitupun pada pemilihan legislative 2014, 63% pemilih pemula menyatakan bersedia memberikan hak suaranya.Fenomena ini menandakan masih terjaganya tingkat kepercayaan

    pemilih pemula terhadap kondisi politik yang tengah berjalan. Paling tidak, ada kepedulian politik yang terbersit di benak mereka. Namun, jika dilihat dari kesediaan menggali informasi politik, pemilih pemula cenderung minim minat. Nyatanya, 48% pemilih pemula mengaku jarang mencari informasi tentang pemilu, 33% pemilih menyatakan tidak pernah, dan sisanya mengaku sering mencari informasi.

    Apabila disandingkan, partisipasi politik dan informasi politik dapat ditarik benang merahnya. Partisipasi politik yang tidak didukung dengan kesediaan menggali informasi politik dapat memengaruhi pilihan politik. Alih-alih memanfaatkan hak pilih dengan tepat, justru malah ikut-ikutan karena tak tahu siapa yang hendak dipilih. Jelas, pemilih pemula masih menjadi basis kuat swing voters, pemilih yang masih dapat mengubah pilihan politiknya.

    Terbukti, 60% pemilih masih akan mengubah pilihan legislatifnya, sementara 35% akan mengubah pilihan capresnya kelak.

    Sejatinya, kondisi di atas mencerminkan suara pemilih pemula yang sulit untuk ditebak namun tak terlalu sulit untuk diarahkan. Tak sedikit sebagian kandidat yang memanfaatkan hal ini. Oleh karenanya, mereka menganggap pemilih pemula sebagai aset pemilu nan potensial yang dapat menjadi lumbung suara.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    24

    GENERASI MERITOKRANIAN

    Demokrasi merupakan sistem yang masih dipercaya masyarakat untuk menjalankan roda pemerintahan Indonesia saat ini. Bumi Bhineka Tunggal Ika pun masih meyakini bahwa sosok pemimpin idaman ialah mereka yang menerapkan demokrasi itu sendiri. Sejatinya, pemimpin yang demokrasi patut disaring dari integritas dan rekam jejak kompetensinya sebagai warga negara. Sistem demokrasi tak bisa turun ranjang layaknya aristokrasi.Sistem demokrasi jugatak boleh dikuasai dan disetir oleh kaum-kaum elit layaknya plutokrasi. Singkat kata, demokrasi menuntut diberlakukannya meritokrasi.

    Meritokrasi adalah sistem pemerintahan dimana para pemimpin dan pemangku kebijakannya dipilih berdasarkan integritas, keahlian, atau prestasinya. Istilah Meritokrasi sendiri dicetuskan oleh Michael Young dalam Rise of the Meritocracy pada tahun 1958. Meritokrasi merujuk sebuah sistem politik yang mengapresiasi integritas dan kompetensi seseorang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meritokrasi merupakan amunisi untuk melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Demokrasi yang diperkuat dengan meritokrasi dinilai mampu melepaskan negara ini dari cengkraman tikus-tikus berdasi.

    Merujuk pemaparan di atas, pilihan politik tiap pemilih lah yang sangat menentukan keberlangsungan demokrasi berbasis meritokrasi. Jika kesadaran politik tiap pemilih (khususnya pemilih pemula) telah mencapai titik kulminasi, tak sulit meweujudkan hal tersebut. Terlebih jika suara paraswing voters dapat digiring kearah yang tepat. Menyikapi hal ini, sudah saatnya generasi muda menjadi pelopor demokrasi berintegritas. Mengawal keberlangsungan pesta demokrasi negeri ini. Menjelma menjadi generasi meritokranian.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    25

    Generasi meritokranian adalah generasi yang mampu menaruh pilihan politik mereka pada sosok-sosok yang cakap dan bermoral Generasi meritokranian sadar betul akan pengaruh hak suara mereka demi keberlangsungan demokrasi bernafas meritokrasi. Dengan demikian, mereka akan mencari tahu betul siapa kandidat legislatif maupun pemimpin mereka dari berbagai media dan teknologi. Hal ini demi pilihan politik yang tepat, kandidat dengan kompetensi yang memadai dan berpedoman pada integritas. Alhasil, bermunculan sosok-sosok yang lebih dari sekadar pejabat publik, sosok negarawan yang mampu menjadi tauladan.

    Sejatinya, generasi meritokranian lah yang mampu mengawal keberlangsungan pemilihan umum di Indonesia. Antusiasme sebagai pemilih pemula dapat mendorong inisiatif politik yang berujung pada keyakinan mereka untuk menggunakan hak suara dengan tepat. Terlebih dengan kemudahan akses informasi yang didukung dengan tingkat pendidikan, pemilih pemula sudah sepantasnya cerdas bersikap. Dengan kecerdasan bersikap, generasi meritokranian diharap mampu menularkan kesadaran politiknya pada orang lain. Di sisi lain, hal tersebut juga mampu mendorong keberanian mereka untuk melawan penyimpangan politik yang terjadi. Paling tidak, mereka tak menjatuhkan pilihan pada kandidat yang terindikasi melakukan penyimpangan tersebut. Jika berbagai peran di atas betul-betul dijalankan, generasi meritokranian jelas menjadi katalisator utama demokrasi bermeritokrat.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    26

    SEKADAR PERLU ATAU PENTING?

    Persentase yang besar membuat pemilih pemula menjadi sasaran empuk para kandidat dan partai politik. Dalam rangka mendekatkan diri dengan generasi muda, mereka pun menggunakan media sosial sebagai sarana kampanyenya. Strategi lain adalah dengan menggelar berbagai event yang digemari generasi muda. Mulai dari konser musik, flashmob, dan iklan yang menampilkan semangat kepemudaan. Hal ini ditempuh untuk membentuk stigma positif yang selanjutnya mengikat generasi muda dengan sang kandidat atau partai politik tertentu. Seirama dengan kondisi itu, Direktur Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LSKP) Sunarto Ciptoharjono pun turut menegaskan, bahwa partai politik membentuk preferensi pemilih muda dengan membentuk ikatan pertama dengan mereka.

    Kondisi di atas membuat suara pemilih muda cukup rentan diombang-ambing. Psikologis yang belum matang cenderung membuat generasi muda mudah dimanfaatkan oknum politik tertentu. Maka dari itu, kesadaran untuk menjadi bagian dari generasi meritokranian sangatlah penting. Yang perlu diingat, suara generasi muda turut menentukan masa depan pengelolaan negara kedepannya.

    Dengan menjadi generasi meritokranian, suara generasi muda tak mudah direbut dan dikelabui partai tertentu. Menjadi generasi meritokranian berarti menjadi generasi yang kritis, terutama terhadap isu korupsi yang membelit kaum senayan dan mungkin si kandidat pemimpin. Menjadi generasi meritokranian sama saja dengan membangun benteng pertahanan dari gelombang politik yang kian tak menentu. Menjadi generasi meritokranian berarti menjadi motor perubahan sosial.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    27

    TANGGUNG JAWAB BERSAMA

    Untuk membentuk generasi meritokranian, memang dibutuhkan pendidikan politik yang berkesinambungan. Cukupkah hanya pemerintah yang bertanggung jawab. Jelas, jawabannya tidak. Jika pada kenyataannya masih ada generasi apolitis, berarti pemerintah telah gagal dalam memberikan pendidikan politik pada warganya. Akan tetapi, disadari atau tidak, fungsi pendidikan politik nyata-nyata juga diemban oleh partai politik. Maka, apabila generasi muda hanya dimanfaatkan sebagai kantong suara bahkan hanya dijadikan objek politik semata, partai politik pun turut dinyatakan gagal menjalankan kewajiban edukasinya.

    Namun demikian, kesadaran politik sepatutnya harus dibangun sendiri oleh setiap insan muda di Indonesia. Jika generasi muda peduli akan bangsanya, pastilah ia peduli akan pemimpin yang memimpin bangsanya. Menjadi generasi meritokranian hanyalah bagian kecil dari sekian banyak kewajiban kaum muda kepada ibu pertiwi. Tantangan bangsa ini jauh lebih besar, perjalanan meneruskan perjuangan para founding fathers masih cukup panjang. Pertanyaannya, sudahkah kita menjadi bagian dari generasi meritokranian?

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    28

    BAHAN BACAAN

    Antusiasme Pemilih Muda kompas.com, Senin, 19 Oktober 2015

    (http://nasional.kompas.com/read/2014/04/08/1946582/Antusiasme.Pemilih.Muda)

    Demokrasi dengan Meritokrasi republika.co.id, 20 Oktober 2015(http://www.republika.co.id/berita/kolom/teh-anget/14/03/12/n29mza-demokrasi-dengan-meritokrasi)

    Melirik Generasi Apolitis yang Kian Kronis beritasatu.com, 21 Juni 2013

    (http://www.beritasatu.com/fokus/121100-melirik-generasi-apolitis-yang-kian-kronis.html)

    Pemilih Muda Penentu Kemenangan DW.com, 30 Maret 2014

    (http://www.dw.com/id/pemilih-muda-penentu-kemenangan/a-17527983)

    Transparency Indonesia, Survei Pemilih Pemula Pada Pemerintah, Korupsi, dan Pemilu 2014

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    29

    Salah satu pokok permasalahan kontroversial dari rancangan undang-undang tentang pemilihan kepala daerah (RUU Pilkada) adalah berhubungan dengan pilihan untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

    Dengan adanya ketentuan pilkada oleh DPRD menandakan adanya pencabutan terhadap hak pilih rakyat dalam memilih kepala daerah secara langsung. Beberapa fraksi di DPR menginginkan kembalinya mekanisme pemilihan kepala daerah secara perwakilan oleh DPRD. Ketentuan ini yang kemudian menjadi perdebatan dan perhatian serius bagi banyak kalangan.

    Pilkada Tidak Langsung,Langkah Mundur DemokrasiTiti Anggraini

    A. PEMILIHAN LANGSUNG

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    30

    Dikembalikannya pemilihan kepala daerah ke DPRD didasarkan pada beberapa alasan utama. Antara lain, pertama, terkait besarnya anggaran yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan Pemilukada. Berdasarkan hasil penelitian Fitra, anggaran Pemilukada pada tingkat kabupaten/kota untuk satu kali putaran berkisar antara Rp.5 Miliar - Rp.28 Miliar. Sementara pada tingkat provinsi anggaran Pemilukada membutuhkan dana antara Rp.60 Miliar - Rp.78 Miliar.

    Kedua, selain persoalan anggaran penyelenggaraan, tingginya ongkos politik Pemilukada juga menjadi argumentasi serius, sehingga mengambil keputusan untuk menarik hak pilih rakyat atas kepala daerah. Pemilukada langsung dianggap berkontribusi besar terhadap korupsi ditingkat lokal. Mekanisme langsung dikorelasikan dengan besarnya ongkos politik yang ditanggung kandidat, sehingga mendorong kepala daerah terpilih berperilaku koruptif. Rilis Kemendagri, hingga awal 2011 saja menunjukkan 17 gubernur, 135 bupati dan walikota tersangkut kasus korupsi. Namun memang permasalahan anggaran dan ongkos politik bukan satu-satunya argumentasi untuk menarik hak pilih rakyat dalam pemilu kepala daerah.

    Persoalan ketiga, pemilihan kepala daerah oleh DPRD digadang-gadang juga karena alasan maraknya konflik horizontal maupun kekerasan dalam pemilukada.

    Selain karena hal-hal di atas, masalah keempat, wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD dianggap tidak melanggar konstitusi. Ketentuan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 tidak secara eksplisit memerintahkan pemilihan secara langsung. Ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen kedua konstitusi ini menyebutkan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Perkataan dipilih secara demokratis ini bersifat sangat luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan langsung oleh rakyat ataupun DPRD seperti yang dipraktikkan pada periode sebelum tahun 2005.

    Pertanyaannya, benarkah mencabut hak pilih rakyat secara langsung atas pemilihan kepala daerah merupakan satu-satunya jalan untuk menjawab persoalan di atas? Menjawab pertanyaan itu maka perlu diuraikan akar persoalan, sehingga rekomendasi yang diambil tidak salah arah, seperti mencabut hak pilih rakyat dalam pemilihan kepala daerah.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    31

    Efisiensi dalam pelaksanaan pilkada tidak harus mengesampingkan nilai-nilai demokratis. Bagaimana mungkin tujuan utama demokrasi justru tereliminasi oleh permasalahan teknis seperti anggaran. Justru inilah tantangan yang harus dijawab pemerintah melalui agenda perubahan undang-undang pemerintahan daerah. Perubahan itu diharapkan mampu menciptakan desain baru, sehingga efisiensi anggaran pilkada dapat terwujud tanpa harus mengabaikan prinsip utama.

    Beberapa alternatif dapat dikembangkan, seperti penggabungan pilkada dalam satu waktu. Pilkada yang tersebar dalam beberapa daerah dan waktu yang berlainan, dilaksanakan secara serentak seperti Pemilu Presiden dan Legislatif.

    Mekanisme ini memungkinkan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, bekerja dalam satu waktu.

    Dengan desain ini, ke depan KPU hanya akan melaksanakan pemilu 2 kali, yakni Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional Nasional (lebih lanjut lihat bahasan tentang pengaturan waktu penyelenggaraan).

    Mekanisme ini sangat mungkin dilakukan jika pemerintah serius untuk menata desain pilkada yang efisien, tapi tetap demokratis. Dengan pelaksanaan pilkada serentak, efisiensi anggaran khususnya honorarium bagi penyelenggara dapat dihemat. Penelitian Fitra untuk Pemilukada Sumatera Barat 2010 misalnya, disebutkan bahwa penyelenggaraan Pemilukada serentak menjadi murah dibandingkan dengan provinsi lain disebabkan dua hal, yaitu Sumatera Barat menyelenggarakan Pemilukada serentak di lebih banyak kabupaten/kota, dan dalam struktur anggaran Provinsi Sumatera Barat tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pemilukada.

    B. PEMILUKADA MURAH DAN DEMOKRATIS

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    32

    C. PEMILUKADA POLITIK BIAYA TINGGI

    1. MEMBAJAK DEMOKRASI

    2. SOLUSI BIAYA TINGGI

    Fakta menunjukkan bahwa demokrasi di tingkat lokal dibajak oleh kepentingan modal dan kekuasaan. Praktik politik uang dan politisasi birokrasi mendominasi pelaksanaan Pemilukada Tahun 2010. Kedua bentuk kecurangan itu menjadi dasar bagi Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hasil Pemilukada, yang dipandang mengingkari nilai-nilai demokrasi. MK menyebutnya pelanggaran sistematis, terstruktur dan massif.

    Operasi pembajakan demokrasi melibatkan dana puluhan milyar rupiah. Hitung saja berdasarkan item pengeluaran dan gegap gempitanya kontestasi kandidat. Untuk biaya pencalonan (ongkos perahu politik), tim pemenangan, survei, atribut kampanye, sumbangan ke kantong pemilih, membeli suara, kampanye di media cetak dan elektronik, hingga menyiapkan saksi pada saat pemungutan suara. Mendagri pernah menyebut angka Rp. 60 hingga 100 miliar rupiah, Kompas (18/1).

    Perlu dicatat dan direnungkan dalam-dalam, sebenarnya dimanakah letak sumber biaya tinggi dalam Pemilukada? Minimal ada 4 (empat) sumber pengeluaran yang menyebabkan tingginya ongkos politik Pemilukada. Pertama, biaya perahu pencalonan kepala daerah. Sudah menjadi rahasia umum, kandidat harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli perahu politik. Lebih-lebih perahu politik partai non-kursi DPRD. Untuk mencapai batas pencalonan 15% suara, partai non-kursi harus berkoalisi dengan beberapa partai. Akibatnya, masing-masing memiliki posisi tawar sama kuat satu dengan lainnya. Artinya kandidat harus mengeluarkan ongkos lebih besar untuk seluruh partai pengusung.

    Angka yang fantastis dan tak sebanding dengan pendapatan resmi yang bakal diterima. Gubernur misalnya, hanya memperoleh gaji Rp. 8,6 juta/ bulan atau total Rp. 516 juta selama lima tahun menjabat. Lantas dari mana aktor-aktor demokrasi ini akan mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan? Inilah awal bangkrutnya negeri ini akibat ulah aktor demokrasi aji mumpung tersebut. Korupsi dan koalisi (bermufakat) jahat menjadi cara untuk mengeruk dan menguras habis tanpa sisa pundi-pundi kesejahteraan rakyat.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    33

    Ke depan, penataan mekanisme pencalonan oleh parpol perlu dipertegas. Parpol harus lebih terbuka dalam pencalonan, namun tidak sekedar formalitas belaka. Kompetisi yang melibatkan seluruh kader akan mengurangi praktik dagang calon oleh segelintir elit parpol. Khusus pencalonan oleh parpol non-kursi mestinya dihapuskan. Sehingga tak lagi muncul politik transaksional. Kalau ingin mengajukan calon, gunakan saja jalur independen (lebih lanjut lihat bahasan tentang metode pencalonan).

    Kedua, dana kampanye untuk politik pencitraan. Pemilukada langsung memang memberikan tantangan bagi demokrasi. Sistem demokrasi liberal, menuntut kandidat memiliki angka popularitas tinggi untuk memperoleh suara mayoritas.

    Tujuannya agar kepala daerah terpilih lebih dekat dengan pemilih. Namun persoalan muncul ketika partai politik dan kandidat tidak bekerja secara maksimal meraih suara. Cara-cara instan justru menjadi pilihan utama, pencitraan melalui media cetak, elektronik dan ruang-ruang publik lainya dengan hanya menampilkan gambar wajah semata. Pemilih diposisikan semata-mata sebagai komoditi politik. Disuguhkan iklan politik tanpa dapat mengenal lebih jauh kandidat. Konsekuensinya, kekuatan modal menjadi pendukung utama.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    34

    Ruang-ruang ini mesti ditata ulang dalam undang-undang yang mengatur Pemilukada. Negara harus menyediakan ruang kampanye yang sama bagi seluruh kandidat, misal media pemerintah. Jika tidak, masing-masing akan berlomba-lomba menguasai media. Artinya, modal besar harus disiapkan untuk itu. Kandidat dan parpol pengusung harus dipaksa menggunakan ruang kampanye publik yang relatif sempit. Konsekuensinya, mereka harus mengetuk hati rakyat dari pintu ke pintu.

    Ketiga, ongkos konsultasi dan survei pemenangan. Bisnis konsultan dan survei pemenangan memang menjanjikan. Terbukti semakin marak munculnya lembaga-lembaga survei yang kemudian digunakan kandidat untuk mengukur elektabilitas pencalonan. Tentunya tidak sedikit anggaran yang dikeluarkan untuk itu.

    Keempat, politik uang. Pemilukada langsung yang diharapkan dapat menekan angka politik uang ternyata belum berhasil sepenuhnya. Yang terjadi justru pemerataan praktik. Persoalan ini semakin akut ketika mekanisme penegakan hukum tidak didesain secara tegas. Batasan waktu misalnya, sangat tidak mungkin dalam waktu tiga hari politik uang dapat ditangani. Karena itu,

    masa daluwarsa penanganan politik uang mesti diperpanjang. Selama kandidat terpilih menjabat, maka sepanjang itu dugaan politik uang dapat diproses. Mekanisme sanksi pun mesti diperberat. Dengan membuat kategori bentuk politik uang, maka kepala dan wakil kepala daerah terpilih yang terbukti melakukan politik uang dapat diturunkan dari jabatannya (lebih lanjut lihat bahasan tentang pengaturan politik uang dan dana kampanye).

    Merubah sistem Pemilukada langsung dan mengembalikan kepada DPRD bukan solusi tepat. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak serta merta dapat memotong biaya perahu pencalonan dan praktik transaksional di tubuh partai politik. Pemilihan oleh DPRD juga tak kan menghilangkan politik uang. Kejadiannya akan sama, hanya memindahkan ke ruang yang lebih sempit dan tentunya menguntungkan segelintir elit.

    Solusinya, perbaiki sistem sehingga memaksa kandidat dan partai berkeringat memperoleh dukungan rakyat. Penyusunan Undang-Undang Pemilihan Kepala Dearah merupakan momentum tepat mengkonsolidasikan demokrasi di tingkat lokal. Carut marutnya Pemilukada adalah buah transisi rezim Pemilukada. Sekarang saatnya menuai hasil dengan penataan yang baik, bukan mundur pada rezim pemerintah daerah.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    35

    Argumentasi maraknya konflik horizontal atau kekerasan dalam Pemilukada sebagai alasan mengalihkan pemilihan langsung kepala daerah ke DPRD ini sayangnya tidak disertai dengan data yang kuat tentang masifnya hal itu terjadi. Sebab tahun 2010 diselenggarakan setidaknya 244 Pemilukada, kalau terjadi kekerasan hanya di 10-20 daerah (misalnya Mojokerto, Toraja, Humbang Hasundutan, Sumbawa) tidak lantas melegitimasi bahwa Pemilukada identik dengan kekerasan. Justru pembinaan politik yang jadi tanggung jawab pemerintah daerah dan partai politik lah yang harus ditata dengan lebih baik lagi.

    Bahkan International Crisis Group (ICG) mencatat jumlah kekerasan yang terjadi dalam 200-an Pemilukada selama kurun tahun 2010 lalu hanya 10 persen saja. Dari ketiga kasus kekerasan Pemilukada yang diteliti ICG (di Mojokerto, Tana Toraja, dan Toli-Toli), semua dipicu oleh suatu peristiwa yang terjadi di luar dugaan. ICG mencatat memang, terdapat pula beberapa faktor lain yang muncul di semua kasus itu, antara lain petahana (incumbent) yang dianggap korup tapi berusaha memperpanjang kekuasaannya dengan mencalonkan diri lagi atau lewat orang pilihannya; calon yang terlalu percaya diri bahwa ia bisa menang dan mengubah status

    D. KONFLIK HORIZONTAL PEMILUKADA

    quo; pendukung calon yang memiliki harapan berlebihan dan bertindak di luar kendali; penyelenggara pemilu yang dianggap berpihak ke petahana atau kandidat pilihannya dan gagal mensosialisasikan informasi penting; serta polisi yang tak siap menghadapi kekerasan massal atau aksi penyerangan yang terkoordinasi.

    Sehingga tidak relevan dan terbantahkan secara faktual adanya argumentasi bahwa kekerasan horizontal dalam pemilihan kepala daerah (secara langsung) salah satunya disebabkan oleh mekanisme pemilihan secara langsung.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    36

    E. KONSTITUSIONALITAS PILKADA LANGSUNG

    Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 menyatakan, Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pengaturan Pasal 18 merupakan perubahan ke II dari Konstitusi (tahun 2000). Landasan pemikiran yang melatarbelakangi dapat dilihat dalam Buku Kedua Jilid 3 C Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I (Sidang Tahunan 2000) yang dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 2000. Di dalam Risalah Rapat Ke-36 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR halaman 255 yang merupakan pokok pandangan Fraksi PPP menyatakan sebagai berikut:

    7. Gubernur , Bupati dan Wali Kota dipilih secara langsung oleh rakyat, yang secara langsung oleh rakyat yang selanjutnya diatur oleh UU, hal ini sejalan dengan keinginan kita untuk Presiden juga dipilih secara langsung,

    1. ORIGINAL INTENS MAKNA DEMOKRATIS

    kemudian dalam halaman 273 menyebutkan alasannya yaitu,

    Keempat, karena Presiden itu dipilih langsung maka, pada pemerintahan daerahpun Gubernur, Bupati dan Walikota itu dipilih langsung oleh rakyat. Undang-undangnya dan tata caranya nanti akan kita atur. Dengan undang-undang nanti akan terkait dengan undang undang otonomi daerah itu sendiri.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    37

    Konstitusi memang tidak secara eksplisit menyebutkan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum, seperti halnya presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPRD, dan anggota DPD. Pasal 18 ayat (4) hanya mengisyaratkan adanya pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis. Makna demokratis inilah yang kemudian dijadikan argumentasi bahwa tidak ada larangan gubernur atau bupati/walikota (keduanya atau salah satunya) dipilih DPRD.

    Logika ini tidaklah benar karena bagaimana mungkin ketentuan yang sama dimaknai berbeda. Menurut Jimly Asshiddiqie (Pengantar Hukum Tata Negara Jilid I), ketentuan pasal dalam konstitusi haruslah dimaknai sejalan dan tidak boleh saling bertentangan. Jika bupati dan walikota dipilih secara langsung, itu juga berlaku terhadap pemilihan kepala daerah. Dan, sebaliknya, jika kata demokratis dimaknai dengan pemilihan oleh DPRD, maka bupati dan wali kota pun harus mendapat perlakuan yang sama.

    Jika demikian, di manakah dapat ditemukan pemaknaan yang tepat atas klausul demokratis? Mendasarkan pada pendapat Jimly, maka dapat dipastikan bahwa pemaknaan demokratis adalah pemilihan secara langsung oleh rakyat.

    2. DEMOKRATISASI PEMILUKADA LANGSUNG

    Karena itu, makna demokratis sejalan dengan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, yakni pemilihan langsung oleh rakyat bagi presiden dan wakil presiden. Karena ketentuan dalam konstitusi satu dengan lainnya harmonis, maka kata demokratis dalam pemilihan kepala daerah kurang lebih adalah sama dengan ketentuan pemilu presiden dan wakil presiden.

    Bukti harmonisasi konstitusi terlihat dalam pemaknaan pemilihan anggota DPR dan DPD. Walaupun Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan pemilihan secara langsung, namun tidak ada yang membantah mekanisme pemilihan umum (pemilu) legislatif. Bahkan, konstitusi tidak sedikit pun mencantumkan kata demokratis di dalamnya. Ketentuan itu hanya menyebutkan, anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilihan umum.

    Penafsiran atas makna demokratis dapat juga dilihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian pasal 214 huruf a, b, dan c UU 10/2008. Dalam putusan itu, MK memberikan tafsir tentang kedaulatan rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yaitu kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Ini merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar. Itu tidak hanya memberi warna dan semangat pada konstitusi dalam membentuk pemerintahan, namun juga dipandang sebagai sifat dari seluruh undang-undang di bidang politik.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    38

    Dengan demikian latar belakang pemikiran dan maksud tujuan pembentuk pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah, Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis adalah sama dengan pemilihan yang dilakukan terhadap Presiden.

    Penafsiran terhadap makna demokratis juga dapat dilihat dari lahirnya ketentuan tentang pemilihan umum dalam konstitusi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tentang Pemilihan umum merupakan perubahan ke III (Tahun 2001). Ketentuan Pasal 22E ayat (1) menyatakan bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Kemudian ayat (2) menyatakan bahwa Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan pelaksana pemilu diatur dalam ayat (5) yang menyatakan bahwa Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

    Dengan demikian, karena perubahan Pasal 18 UUD 1945 merupakan perubahan ke II, sedangkan Pasal 22E UUD 1945 merupakan perubahan III, maka secara hukum dimaknai bahwa pelaksanaan Pasal 18 khususnya dalam pemilihan kepala daerah harus merujuk pada Pasal 22E. Logika hukumnya, jika Pasal 18 dianggap bertentangan dengan pasal 22E, maka dapat dipastikan dalam perubahan ke III rumusan yang terdapat dalam Pasal 18 akan dirubah dan disesuaikan dengan pasal 22E.

    Berdasarkan uraian itu, maka pengertian dipilih secara demokratis harus ditafsirkan sama dengan tata cara pemilihan yang dilakukan terhadap Presiden seperti yang tercantum dalam BAB VIIB tentang Pemilihan Umum pasal 22E UUD 1945. Oleh karena itu tidaklah bertentangan dengan kehendak pembentuk UUD 1945 jika dinyatakan Pemilihan Kepala Daerah termasuk dalam pengertian Pemilihan Umum sehingga asas dan pelaksanaan Pemilukada dan Pemilu Presiden adalah sama, yaitu secara langsung oleh rakyat.

    PENUTUP

    Menyikapi berbagai fenomena yang ada, DPR semestinya lebih berkonsentrasi pada perbaikan substansi aturan yang bisa menjamin kualitas Pemilukada, memilih sistem pemilu yang efisien (misalnya usulan pemilu serentak dan Pemilukada satu putaran saja), menekan maraknya politik uang dengan membuat aturan penegakan hukum yang jelas/

    tidak multitafsir dan disertai sanksi yang tegas, serta pengaturan dana kampanye yang tidak hanya formalitas. Ketimbang mengambil langkah mundur untuk menyelenggarakan pilkada oleh DPRD.

    Maka, DPR, berpihaklah kepada suara rakyat. Mari perkuat perjalanan demokratisasi Indonesia dan tinggalkan semangat tambal sulam berwajah kepentingan sementara. Karena rakyat akan selalu mengawal suaranya.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    39

    Pro-Kontra Kebijakan:

    Kritik Persoalan Sekitar Kita

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    40

    Pembatasan Waktu dan Tempat Berunjuk RasaPergub No. 228 Tahun 2015 menetapkan bahwa kiat-kiat penyampaian aspirasi di ruang publik harus dibatasi dan dilakukan dengan tidak mengganggu ketertiban umum. Pergub ini membatasi unjuk rasa hanya boleh dilakukan pada pukul 06.00-18.00 WIB, dilarang membakar ban dan dilarang bersuara lebih dari volume 60 db, dan tak boleh menekan orang lain atau pemerintah. Tempat berunjuk rasa juga dibatasi dalam Pergub ini, yakni Parkir Timur Senayan untuk unjuk rasa isu nasional, Alun-alun DPR dan MPR RI untuk unjuk rasa isu DPR, dan Silang Selatan Monumen Nasional untuk unjuk rasa terkait isu DKI Jakarta. Rasionalisasi Pergub ini menurut Ahok adalah untuk mencegah macet dan ketertiban.

    Pembatasan Sepeda Motor di Jalan ProtokolPergub DKI No. 195 tahun 2014 tentang pembatasan lalu lintas sepeda motor di jalan-jalan protokol di DKI. Salah satu alasan yang disebut sebagai dasar rencana itu adalah sepeda motor dinilai sebagai penyebab kesemrawutan lalu lintas di DKI. Sebagai kompensasi, disediakan bus tingkat gratis dan kantong-kantong parkir sekalipun tarifnya diserahkan kepada pengelola.

    Pemberian Izin Reklamasi Teluk JakartaKeputusan Gubernur DKI No. 2238 Tahun 2014, Keputusan Gubernur DKI No. 2268 Tahun 2015 dan Keputusan Gubernur DKI No. 2269 Tahun 2015, memberikan izin kepada developer untuk membangun pulau di teluk Jakarta. PT Agung Podomoro Land, PT Jakarta Propertindo, PT Jaladri Kartika Pakci bersiap membangun pulau yang akan difungsikan sebagai perumahan elit dan pusat perbelanjaan. Agung Podomoro Land berencana menjual kawasan perumahan dengan harga mulai Rp 3 miliar sampai Rp 6 miliar, sementara rumah toko seharga Rp 7 miliar hingga Rp 9 miliar.

    3TOP

    Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Keluaran Ahok yang Mengundang Polemik

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    41

    Polemik BBM dan Statolatri1Hizkia Yosie Polimpung

    1 Untuk disampaikan pada forum diskusi Ngobrol Pintar #3, Polemik Kenaikan Harga BBM: Kebijakan Pro-Rakyat?, Youth Proactive, Transparency International, 19 Desember 2014. Saran dan kritik: [email protected]

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    42

    CNN : [...] Banyak artis menyerukan penolakannya terhadap perang AS di Irak. Anda juga?

    Britney Spears : Sejujurnya, saya pikir kita sebaiknya percaya saja pada presiden kita dalam setiap keputusan yang diambilnya dan juga ikut saja mendukungnya. Yah, percayakan saja apa yang akan terjadi padanya.

    CNN : Anda mempercayai presiden ini? Britney Spears : Ya, tentu saja.CNN : Bagus. Lalu menurut anda apakah ia akan menang lagi di

    pemilihan berikutnya?Britney Spears : Wah, saya tidak tahu. Saya tidak tahu-manahu.1

    1 Britney Spears, Britney Spears: Trust our president in every decision, CNN, 3 September 2003, diakses dari http://www.cnn.com/2003/SHOWBIZ/Music/09/03/cnna.spears.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    43

    Tidak ada kata lain untuk menggambarkan sikap Britney Spears di atas selain sebentuk negara-sentrisme yang disebut Antonio Gramsci sebagai statolatri (statolatry).2 Secara etimologis, statolatri merupakan kombinasi antara state dan idolatry, antara negara dan pemujaan. Secara historis, istilah ini muncul pertama kali dalam Doctrine of Fascism karya Giovanni Gentile pada 1931 sebagai karakteristik dasar fasisme, khususnya fasisme Italia. Tak lama berselang, Paus Pius XI mengkritiknya sebagai sebuah pemujaan pagan atas negara.3 Gramsci memahaminya lebih jauh. Lebih dari sekadar pemujaan fetistik kepada negara, statolatri merupakan suatu efek kekuasaan yang hegemonik. Hegemoni merupakan suatu perluasan jangkauan kekuasaan, dalam hal ini negara, ke bidang-bidang yang sebelumnya tidak

    2 Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks,peny. dan penterj., Q. Hoaredan G.N. Smith (NY: International Publishers), hal 268-9. Lihat juga diskusi kritisnya pada Perry Anderson,The Antinomies of Antonio Gramsci.New Left Review, 26 (Nov-Dec 1976).

    3 Lihat Emilio Gentile, New idols: Catholocism in the face of fascist totalitarianism, Journal of Modern Italian Studies, 11(2) (June 2006), hal. 143-170.

    dijangkaunya. Jadi, apabila jangkauan konvensional negara adalah kepatuhan politik rakyatnya, maka hegemoni memperluas jangkauan tersebut ke arah yang lebih nir-politis. Melalui hegemoni, ikatan antara negara dan rakyatnya menjadi lebih intim; pemimpin negara akan mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah negara yang integral [menyatu dengan rakyatnya, pen.].4 Tidaklah berlebihan sekiranya Gramsci mengatakan bahwa dengan hegemoni, negara berusaha melembagakan suatu kultus terhadap Mahawujud (Supreme Being) yang tampak sebagai usaha untuk menciptakan sebuah identitas di antara negara dan masyarakat sipil.5

    Efek statolatri ini cukup untuk membuat Britney Spears yang mungkin karena tidak begitu mengikuti perkembangan berita mengenai penjelajahan imperialistik negaranya, dengan mudah

    4 Gramsci, Selections, hal. 271.

    5 Ibid.,hal. 170 cat. 71. Penekanan dari saya.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    44

    mengatakan percaya saja pada presiden. Ya, mungkin Britney terlalu sibuk syuting, menyanyi dan menggarap album baru; sibuk meniti karirnya yang saat itu sedang menanjak. Kepercayaannya kepada presiden di sini belum tentu tulus. Malahan, menurut saya, ini adalah bentuk lepas tanggung-jawab Britney terhadap pemerintahannya, terhadap kebijakan presidenya. Lagi, Britney terlalu sibuk dengan aktivitas kelas menengahnya sehingga tidak punya cukup waktu untuk secara serius dan kritis, dan bukan sekedar retoris dan asal-asalan, mendukungpresidennya.

    Uniknya, posisi Britney Spears yang demikian ini yang sering saya dengar, baca dan jumpai di mereka-mereka yang mendukung kebijakan kenaikan harga BBM 18 November 2014 silam. Bagaimana tidak, rata-rata argumen pro-BBM adalah seperti ini:

    Kalau ditanya pengaruh apa tidak di hidup saya, ya pasti pengaruhlah. Tapi, kalau hanya memandang dari sisi merugikan rakyat itu kurang etis.Kita perlu berpikir jauh sebelum menghakimi kalau pemerintah itu salah.Karena, pasti ada alasan kenapa subsidi dihentikan. Saya sendiri yakin, orang-orang yang diberi mandat Tuhan untuk memimpin negeri ini pasti sudah memikirkan dengan matang tentang keputusan kenaikan BBM dengan resiko mereka akan dihujat. Lagipula, kenaikan BBM ini kan, sudah yang kesekian kali,

    Sangat tepat untuk menaikkan harga BBM. Dana subsidinya bisa dialihkan ke kebutuhan yang lain seperti pemenuhan infrastruktur, pendidikan, serta kesehatan. Daripada dibakar setiap hari dan subsidi itu tidak tepat sasaran, lebih baik memang dinaikkan.

    Bahkan, tidak jarang ungkapan-ungkapan itu cenderung sangat kasar dan menjadi sangat personalsemata-mata karena presiden kesayangannya diserang.Misalnya, beli rokok 16.000 sanggup, tapi BBM naik 2000 saja protes!Lainnya, memangnya kalau Prabowo jadi presiden, BBM nggak akan naik? Banyak infografis dikerahkan untuk memvisualisasikan betapa besarnya keuntungan yang didapat seandainya BBM subsidi dicabut dan direalokasikan ke sektor-sektor yang lebih produktif ketimbang sektor konsumtif seolah-olah konsumsi BBM oleh masyarakat itu hanya untuk sekedar konvoi, kebut-kebutan, gagah-gagahan di jalan.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    45

    Bagi kebanyakan orang (76 juta pengguna motor, dibandingkan 10 juta mobil), konsumsi BBM diperlukan untuk transportasi keperluan pekerjaannya sehari-hari. Bahkan, untuk keperluan-keperluan yang sifatnya esensial bagi dimungkinkannya aktivitas produksi (beli makan, ke pasar, sekolah, antar anak, rekreasi, dst.)

    Secara umum, argumennya tipikal: pemborosan, neraca (transaksi berjalan) defisit, salah sasaran, dan pengalihan ke sektor produktif dan infrastruktur. Argumen ini sebenarnya ujung pangkalnya adalah dari pemerintah, lalu kemudian direproduksi dalam bentuk-bentuknya yang amat beragam: mulai status di facebook, kicauan di twitter, percakapan di ruang publik maupun privat, infografis, tulisan-tulisan di blog, di koran, dst. Forum Kaskus pun menghimpun data infografis yang menarik terkait ini.6 Serta-merta, mereka yang tadinya tidak-tahu menahu mengenai BBM, seketika langsung mampu berbicara nyaring dan lancar dalam memberi pembenaran kenaikan BBM. Yah, setidaknya ini yang sering saya jumpai, dengar dan diajak ngomong sehari-hari.

    Apakah salah? Tentu saja tidak. Mencari landasan bagi preferensi kita bukanlah sesuatu yang salah. Namun menjadi bermasalah, amat bermasalah, saat itu hanya sekedar untuk menopang kepercayaan buta kita kepada negara dan presiden kita. Menjadi lebih bermasalah lagi jika itu dikarenakan kemalasan kita untuk menggali lebih jauh, melihat secara cermat duduk permasalahannya, dan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan lebih masak ketimbang menerima mentah-mentah segala informasi. Kepercayaan buta akan menjadikan kita selektif dalam menerima dan mencari informasi kita hanya mencari informasi yang menyenangkan hati kita saja, to make us feel good. Dan, puncak permasalahan ini semua ada pada: sirnanya partisipasi dan kontrol demokratis terhadap pemerintah.

    6 Soal Kenaikan BBM, Jangan Emosi Dulu Gan, Kaskus, http://kaskushootthreads.blogspot.com/2014/11/soal-kenaikan-bbm-jangan-emosi-dulu-gan.html#

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    46

    Kelas menengah, saya masih yakin, adalah kunci dari demokrasi.Adalah kelas menengah yang mampu berpikir kritis, obyektif dan tidak menerima begitu saja apapun yang dilakukan dan dikatakan pemerintah. Adalah kelas menengah yang mampu menopang proses demokratis di suatu negara republik. Lalu apa jadinya sebuah negara yang kelas menengahnya besar (ingat, bonus demografi memberikan Indonesia 70% angkatan kerja yang sebagian besar tentunya adalah kelas menengah)? Tidak lain adalah negara yang totaliter. Namun, berbeda dengan negara-negara totaliter yang kita pelajari di buku-buku sejarah, kali ini adalah negara totaliter berwajah demokratis.Mengapa?Karena totalitarianisme ini disetujui oleh masyarakatnya. Dengan tidak memberikan kritisisme dan malah menerima begitu saja apa yang

    disampaikan pemerintah, maka sama saja kelas menengah ini menanggalkan tugas demokratisnya dan menyangkal peran partisipatif demokratisnya.

    Saat kelas menengah yang kritis dan progresif ini berlaku demikian, maka kita saksikan bersama-sama kelompok-kelompok penekan yang cenderung rasis, sektarian, dan primordial bermunculan.Tidak segan-segana pula mereka menggunakan kekerasan.Sementara kelas menengah? Sibuk meniti karir. Ya, nampaknya, benar yang ditemukan oleh Rana Foroohar bahwa kelas menengah di negara-negara yang sedang berkembang(Indonesia salah satunya), dicirikan dengan egoisme tinggi, individualis, dan yang paling mencengangkan: permisif terhadap pemerintah yang otoriter7. 7 Rana Foroohar, An Unstable and Less Liberal Global Middle Class, Newsweek (13 Maret 2010), URL: http://www.newsweek.com/unstable-and-less-liberal-global-middle-class-69469.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    47

    Selama suplai Frappucino Starbucks mereka aman, maka pemerintah yang totaliter pun mereka terima. Tapi begitu harga parkir mobil mereka naik, misalnya, protes dan kicauan di media-sosial akan segera bermunculan. Tapi tetap saja, waktu fitnes mereka lebih berharga ketimbang waktu untuk konfrontasi politik kongkrit.Semoga saja Foroohar terlalu membesar-besarkan.Tapi apabila sebaliknya yang terjadisaya mulai memikirkan untuk jadi astronot Inter-stellar.

    Kembali ke persoalan argumen pro-BBM.Saya kira tidak begitu susah untuk mencari anti-tesis yang serius akan kebijakan kenaikan BBM. Misalnya, dengan mensimulasikan perhitungan, ditemukan bahwa ternyata telah terdapat 95,95 triliun selisih antara subsidi sesungguhnya dan subsidi sebagaimana diasumsikan di APBN. Subsidi untuk BBM (Premium, Solar dan Minyak Tanah), sebagaimana diketahui bersama, Rp 194,6 triliun. Sementara jika mengikuti perhitungan Edy Burmansyah dari Martapura Institute seturut formulasi berdasa harga pasar (market price-based) di Perpres 71/2005 yang dirincikan melalui Permenkeu No.65/PMK.02/2012, subsidi sesungguhnya yang ditanggung pemerintah sebesar

    Rp 135,94 triliun. Selisihnya adalah Rp 58,66 triliun ini berdasar harga sebelum pajak. Jika menghitung pajaknya, barulah angka Rp 95,95 trilun tadi dicapai.8 Artinya, sebenarnya, tanpa perlu menaikkan harga BBM, pemerintah bisa melakukan penghematan. Dengan uang sebesar itu, bisa sekiranya untuk mendanai sebagian besar janji-janji Jokowi di kampanyenya, tanpa menyusahkan masyarakat konstituen BBM bersubsidi. Sementara pemerintah mulai serius memberantas mafia migas tentunya ini adalah kebijakan yang SANGAT POPULER, bukan?

    8 Lihat perhitungan Edy Burmansyah, Menghemat tanpa Menaikkan: Simulasi Perhitungan BBM, 3 bagian, IndoProgress, 18 November 2014. URL: http://indoprogress.com/2014/11/menghemat-tanpa-menaikkan-simulasi-perhitungan-bbm-bagian-1/

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    48

    Lalu, terkait sektor-sektor produktif yang konon menjadi alasan dan pos kemana dana subsidi BBM akan dialihkan. Riset dari Dodi Mantra, dkk., dari Purusha Research Cooperative, misalkan, menemukan bahwa sektor-sektor produktif ini sebenarnya adalah sinonim dari sektor-sektor eksploitatif terhadap buruh dan tani. Belum lagi kenyataan bahwa sektor-sektor ini strukturnya bercorak oligopoli. Lebih dari keseluruhan subsektor industri manufaktur Indonesia dikuasai tidak lebih dari 4 perusahaan di masing-masing subsektornya.9

    Figure 1. Corak Oligopoli Industri Manufaktur (ket. CR 4 adalah pengonsentrasian pasar oleh 4 perusahaan teratas)

    Kenyataan lain yang ditemukan Dodi adalah bagaimana industri-industri tersebut didominasi oleh industri pengolahan dan pertanian, dengan corak padat SDA, padat SDM, dan padat SDM unskilled. Diketahui bersama pula bahwa pada industri-industri inilah terjadi pengerukan sumber alam besar-besaran (merusak

    9 Dodi Mantra, Demi Sektor Produktif: Kenaikan Harga BBM dan Normalisasi atas yang Eksploitatif sebagai yangProduktif, Jurnal IndoProgress, 2015 [segera terbit]

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    49

    Dukungan tidak lantas berarti kita mencari-cari pembenaran atas apa yang dilakukan presiden pilihan kita. Sebaliknya, dukungan politik selalu memiliki sifat yang strategis dan kritis. Strategis dalam artian kita percaya bahwa sang presiden memiliki capaian visioner, dan krtis dalam artian kita turut membantunya dalam merealisasikan dan menapaki jalur dalam merealisasikan visi tersebut.

    ekologi, dst.), dan dimana kesejahteraan dan kepastian-kerja pekerja adalah hal yang langka. Dengan kata lain, hendak dikatakan Dodi, bahwa sama-sekali absen dalam kebijakan Jokowi, bahkan sedari pembayangannya di dokumen Visi-Misi, akan suatu transformasi dalam Dua argumen ini setidaknya adalah argumen yang mungkin ditemukan oleh kelas menengah seperti kita hanya dengan berselanjar dan utak-atik keyword saja di Google. Syaratnya, tentu saja bahwa kita tidak mengidap statolatri, atau setidaknya, masih ada ruang rasional dan kritis di kepala kita dari efek statolatri ini. Menjadi kritis adalah tuntutan historis bagi kelas menengah di alam demokrasi. Indonesia, sebagai negara demokratis, hanya bisa menjadi negara yang kuat saat kelas menengahnya punya semangat kritisisme terhadap pemerintah, sekalipun yang duduk di pemerintahan itu adalah pilihannya.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    50

    ***

    Britney Spears, belakangan mengakui bahwa Saya selalu bernyanyi tentang hubungan antara orang dengan sistem ekonomi yang mengatur kehidupannya, seperti contohnya eksplorasi saya akan rayuan kekuatan modal di lagu Gimme More.10 Bahkan, secara terang-terangan pula diakui bahwa lagu Work B*tch terinspirasi dari teori yang menyatakan bahwa adalah buruh yang sebenarnya memiliki seluruh hasil kerja teori tersebut tak lain adalah teori nilai kerja Marx. Serius terhadap klaim Britney ini, malahan ada seorang pendengarnya yang

    10 Britney Spears espouses Marxist theory of labour as value, The Daily Mash, 14 Oktober 2013. URL: http://www.thedailymash.co.uk/news/arts-entertainment/80353-2013101480353.

    menyamakan struktur lagu Circus dengan struktur pembahasan buku Communist Manifesto Marx!11 Ada-ada saja. Tapi, setidaknya kita bisa lihat bagaimana Britney Spears bisa mencoba mulai peduli dengan permasalahan sosial, berusaha serius memahami dando something dengan berangkat dari kondisinya, dari posisinya, dari profesinya. [HYP]

    11 Work Bitch Is Britneys Least Marxist Song, Exhale: The Britney Spears Forum, 7 Agustus 2014. URL: http://www.breatheheavy.com/exhale/index.php?/topic/624280-work-bitch-is-britneys-least-marxist-song/

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    51

    Jakarta dibarat, meriah, diapit oleh 3 provinsi dan Sulawesi Selatan di timur, dengan pantai Losari sebagai tempat yang wajib dikunjungi ketika mendaratkan kaki di ujung selatan pulau Sulawesi.Keduanya sama-sama provinsi metropolitan mewakili barat dan timur Indonesia, Jakarta sebagai pusat pemerintahan yang juga menikmati reputasinya sebagai ibu kota pesta pora di Indonesia. Sementara, Sulawesi Selatan gemerlap ditimpa angin mamirinya dan mulai bangkit dengan pembangunan

    yang dirancang pemerintah dan para pebisnis. Namun awan kegelisahan masih menyelimuti kedua provinsi itu.Sulawesi Selatan masih mengejar ketertinggalannya, Jakarta berdiri di baris terdepan sebagai kota dengan ratusan mall di dalamnya, Makassar sebagai pusat kota di Sulawesi Selatan masih terbengkalai dengan proyek busway-nya, jalurnya sudah ada, terminalnya pun sudah dibangun namun entah mengapa sampai sekarang belum terealisasikan pelaksanaannya.

    Subsidi BBM:

    Antara Sektor Ekonomi

    dan Sosial di NusantaraFadhil Fadhli

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    52

    Dalam persoalan ekonomi dan budaya, perbedaan mendalam yang terjadi di kedua wilayah tersebut mulai terlihat. Jakarta memiliki produk domestik regional bruto (PDRB) hampir tujuh kali lipat PDRB yang dimiliki oleh Sulawesi Selatan tahun 2013. Terang saja demikian, Jakarta selain kota pemerintahan juga tumbuh sebagai pusat bisnis di Indonesia, sedangkan Sulawesi Selatan masih bertumpu pada sektor pertanian sebagai penunjang tertinggi PDRB-nya.

    Kenaikan PDRB terjadi di kedua kota tersebut, hampir setiap tahun mengalami kenaikan, baik itu ketika Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tetap diangka 32

    pada tahun 2012 dan 2013 dan naik ke 34 pada tahun 2014 di ketiga tahun tersebut tetap terjadi kenaikan PDRB.

    Indeks Persepsi Korupsi adalah survey yang dilakukan oleh Transparency International dengan mengurutkan negara-negara didunia berdasarkan persepsi (anggapan) publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis. Meskipun tidak ada hubungan langsung antara Indeks Persepsi Korupsi dengan meningkatkatnya PDRB suatu daerah, namun pada saat yang bersamaan kedua hal tersebut memberikan sedikit gambaran bahwa ketika anggapan masyarakat Indonesia terhadap korupsi

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    53

    masih sama atau tetap di angka 32, PDRB tetap meningkat pada tahun 2012 dan 2013 di Jakarta dan Sulawesi Selatan, serta pada tahun 2014 dimana angka persepsi korupsi Indonesia diangka 34, PDRB di kedua daerah tersebut juga tetap meningkat, atau dengan kata lain persepsi masyarakat tentang korupsi tidak memberikan dampak pada produktivitas masyarakat.Subsidi BBM terancam dikurangi dengan alasan agar sebagian dari subsidi tersebut dialihkan kesektor lain, dan realisasinya terjadi pada tahun 2014, benar saja subsidi dikurangi sehingga terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium di seluruh kota di Nusantara, namun ada yang menarik, menarik untuk dipaparkan, sebelum terjadi pengurangan subsidi BBM, PDB Indonesia meningkat, dan sesudah pengurangan subsidi BBM direalisasikan, PDB Indonesia pun tetap meningkat. Apakah besaran subsidi BBM tidak berpengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi (PDB) Indonesia?

    Jakarta dengan PDRB yang meningkat setiap tahun, dan memimpin kota lain dengan jumlah PDRB-nya, Sulawesi Selatan pun memimpin Indonesia Timur dengan jumlah PDRB-nya yang lebih besar jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia Timur, di kedua tempat tersebut masyarakat masih bersenang-senang dengan BBM bersubsidi, sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat jika pengguna BBM bersubsudi di Indonesia dinikmati oleh hampir semua kalangan, mulai dari tukang ojek, pegawai kantor, PNS, bahkan di beberapa kasus ada beberapa mobil mewah yang juga masih menggunakan BBM bersubsidi, jadi wajar saja jika kenyataannya kita masih bersenang-senang dengan hal itu.

  • Jurnal Youth Proactive Vol.2

    54

    Ketika pemerintah (berencana) mengurangi jumlah subsidi BBM, terjadi pergerakan pemuda terutama mahasiswa melakukan demo menolak kenaikan harga BBM diberbagai tempat, dengan alasan kenaikan harga BBM akan mempengaruhi sektor yang lain,