Top Banner
YAN Daryono
50

Yan Daryono

Mar 14, 2016

Download

Documents

Denni N JA

kstslog painting
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Yan Daryono

YAN Daryono

Page 2: Yan Daryono
Page 3: Yan Daryono

Pengarah:Ken Zuraidah Rendra

Kurator:DR. Merwan Yusuf

Koordinator:Dani

Keuangan:Wulansari Dewi, S.IP., Widya

Humas & Publikasi:Teguh Santosa, Dandhy Dwi Laksono, Denni N Ja

Pengisi Acara:Saguero (Mariam Supraba Rendra & Chayo)

Pembantu Umum:Barong, Rachman, Basri, Tatang, Zaki

Fotografer:Syahrul (Kontributor Reuters)

Dokumentasi Video:Drs. Regianto H Rahmat

Pelaksana Penyelenggara:Bengkel Teater Rendra

Page 4: Yan Daryono

Dilahirkan di Jakarta –20 Januari 1957– anak sulung dari empat bersaudara buah per­

kawinan R.Soedarjono bin Wreksomindojo dengan Ida Meiharty binti Datuk Abbas

Rajo Nan Sati.

Mulai melukis sejak masa SD, yakni ketika menjadi siswa SD Budi Mulia – Van Lith di Jl. Gunung

Sahari – Jakarta Pusat. Pada tahun 1969, saat duduk di bangku SD kelas V pernah mendapat peng­

hargaan Juara Utama dalam lomba menggambar tingkat SD se­DKI Jakarta.

Pada tahun 1974 bergabung dengan Bengkel Pelukis Jakarta di TIM – Jakarta. Mengikuti kegiatan

pameran bersama di Ruang Pameran Taman Ismail Marzuki, pameran berdua di Balai Budaya dan

sebagainya.

Yan Daryono

Page 5: Yan Daryono

Tahun 1977, mendapat penghargaan Sutradara Terbaik III dan Penata Artistik Terbaik III dalam

Festival Drama Mahasiswa se­DKI Jakarta bersama Akademi Ilmu Perbankan PERBANAS Jakarta.

Tahun 1978 kembali mendapat penghargaan Sutradara Terbaik I dan Penata Artistik Terbaik I

dalam Festival Drama Mahasiswa se­DKI Jakarta bersama Akademi Ilmu Perbankan PERBANAS

Jakarta.

Tahun 1979 mendirikan grup Teater Gothra Athidira bersama Chairul Tanjung yang kini menjadi

CEO PARAGRUP, pemilik BANK MEGA, TRANS TV dll. Monang Pakpahan yang kini ikut

memimpin majalah INVESTOR, Chandra Mulia yang kini menjadi bos ZEUS GRUP di bidang

property dll. Menyelenggarakan pementasan bersama pembacaan puisi WS Rendra di Aula Univ

Trisakti – Jakarta.

Tahun 1980 menekuni bidang tulis menulis. Beberapa karya puisi, cerpen dan essay, pernah dimuat

di berbagai media ibukota, di antaranya majalah sastra Horison. Pada tahun yang sama, buku

kumpulan puisinya: Monumen Revolusi diterbitkan oleh penerbit CV Aneka – Semarang, Jawa

Tengah. Kemudian novelnya: Gema Cinta di SMA diterbitkan oleh Up. Kresno – Jakarta.

Pada tahun 1982 bergabung dengan Himpungan Pengarang Indonesia AKSARA bersama Titie

Said, Titik WS, Saut Poltak Tambunan, Kurnia Usman, Elanda Rosi DS, Korie Layun Rampan, La

Rose, NH Dini, Maria A Sardjono, Gerson Poyk dll. Selanjutnya ­ sejak tahun 1983 – menekuni

karir jurnalistik bergabung dengan majalah Famili, Swa Sembada, majalan Indonesiaku dll. Tahun

Page 6: Yan Daryono

1984 mendapat penghargaan jurnalistik hadiah ADINEGORO Bidang Metropolitan untuk lipu­

tannya yang berjudul: Bongkaran Neraka Ber wajah Surga dimuat oleh majalah Famili.

Tahun 1987 menjadi penulis skenario drama/sinetron di TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Tahun 1989

mendirikan rumah produksi dengan nama SELF PRODUCTION memproduksi program tele­

visi, video dokumenter, iklan komersil, iklan layanan masyarakat, video klip dan menjadi penang­

gungjawab percobaan siaran langsung dari Jakarta ke Born – Jerman Barat dalam rangka uji satelit

IMMARSAT II.

Tahun 1994 menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Umum MANDALA di Bandung, dan

terakhir tahun 2007 menjadi Pimpinan Stasiun TV Lokal di Bandung. Tahun 2008 bukunya

yang berjudul: Biografi R.Dewi Sartika dan Meniti Jembatan Emas diterbitkan oleh PT. Grafitri

Budi Utami – Bandung, diluncurkan oleh Ibu Linda Agum Gumelar (Ketua DPP Kowani).

Tanggal 10 sampai 14 Agustus 2009 menyelenggarakan pameran tunggal: KESAKSIAN YAN

DARYONO – Jurnalistik dalam Seni Lukis dan Fotografi di Jakarta Media Center – Gedung

Dewan Pers – Jakarta.

Page 7: Yan Daryono

Yan Daryono (paling kiri) saat pembukaan pameran tunggal lukisan dan fotografi “Kesaksian Yan Daryono”, 10 - 14 Agustus 2009, Gedung Jakarta Media Center, Jakarta. Berturut-turut di sebelah Yan Daryono, Sekda Pemprov DKI Jakarta H. Mukayat, ekonom Rizal Ramli, tokoh pendidikan Prita Kemal Gani, Yenny Wahid, jurnalis Teguh Santosa.

Page 8: Yan Daryono

Menurut ceritanya, Yan Daryono sudah lama meninggalkan kegiatan seni lukis karena

kesibukannya di dunia jurnalistik dan production house. Namun sejak bulan April

tahun lalu, setelah sempat dilanda stroke ringan, ayah dari tiga putri ini akhirnya

memutuskan untuk kembali menekuni dunia seni lukis. Dunia yang hampir tigapuluh tahun dit­

inggalkannya.

Seorang pengamat seni rupa, sempat menilai karya­karya lukis Yan Daryono sebelum ini, meru­

pakan seni lukis dengan aliran impresionisme. Mazhab seni lukis yang dicetuskan se niman lu­

kis Perancis kenamaan yaitu Monnet, Cezannet dan Degas. Dalam pengeks presian mazhab im­

presionisme, tidak dibutuhkan gambaran obyek yang utuh seperti aslinya. Impresionisme lebih

Dari Ekspresionis ke Realis

Page 9: Yan Daryono

menekankan unsur pengekspresian suasana batin pelukisnya dalam bergumul dengan obyeknya,

ketimbang obyeknya itu sendiri. Sehingga karya­karya lukis impresionisme tidak terpaku kepada

kaidah­kaidah tehnis seni lukis naturalis atau seni lukis potret.

Namun pada pameran yang akan digelar nanti, tampaknya Yan Daryono telah meng geser mazhab

seni lukisnya. Jika sebelumnya ia adalah penganut impresionisme, kini justru menjadi penganut

mazhab realisme.Yan Daryono mulai mengekspresikan obyeknya dalam bentuk yang proporsional

didukung kematangan tehnis otodidaknya. Ada pun yang tidak berubah adalah tema seni lukisnya

yang selalu menunjukkan keberpihakkan kepada masyarakat pinggiran.

Pada pamerannya terdahulu, Yan Daryono memilih tema Jurnalistik dalam Seni Lukis dan Fo­

tografi. Artinya, ia sepertinya begitu ingin mengekspresikan pengalaman jurnalistiknya melalui

medium seni lukis. Alhasil karya­karya seni lukis Yan Daryono memiliki kekhasan sendiri yaitu ada

cerita di balik karya­karya seni lukis tersebut.

Tetapi agaknya dalam pameran mendatang, Yan Daryono masih tetap dipengaruhi oleh pengal­

aman jurnalistiknya dan kepekaannya terhadap orang­orang pinggiram. Terbukti dari berbagai

obyek yang diekspresikan dalam karya lukisnya kali ini, masih juga dengan gaya dan warna yang

sama.

Hal lain yang menarik dalam menyimak dan memahami seni lukis Yan Daryono, ialah sosok dan

Page 10: Yan Daryono

ekspresi obyeknya. Pada pamerannya di Jakarta Media Centre bulan Agustus tahun lalu, DR. Rizal

Ramli dalam orasi pembukaan pameran tersebut, mengatakan, “Sorot mata dalam semua obyek

lukisan Yan Daryono, terkesan hampa dan kosong. Seolah­olah pancaran mata orang­orang yang

tidak memiliki harapan. Sangat tragis....”

Page 11: Yan Daryono

Sedangkan dalam karya­karya lukis yang akan digelar nanti, justru menampilkan guratan garis

yang keras dan sorot mata yang tajam. Orang­orang berusia lanjut dari kelompok pinggiran yang

tegar menantang nasib dan keadaan hidupnya. Tidak menyiratkan nuansa yang lembut halus, na­

mun justru nuansa yang keras penuh daya hidup.

“Itu sebabnya mereka bisa bertahan hidup hingga usia lanjut, walau kesehariannya mereka selalu

berhadapan dengan kesulitan ekonomi,” ucap Yan Daryono ketika ditanya alasannya mengek­

spresikan obyeknya yang umumnya adalah orang­orang lanjut usia. Mungkin, Yan Daryono seba­

gai pelukis, ingin menyampaikan pesan bahwa setiap orang harus memiliki daya hidup, memiliki

semangat dalam melawan keadaan dan menjadi petarung yang optimis.

Ya, semoga...

(Wulansari Dewi S.IP.)

Page 12: Yan Daryono

Sister of President Barack Obama

Maya Soetoro-Ng

The women featured in this exhibit of paintings represent the strong backbone of Indone­

sia. They are working to provide food, shelter, and education for their children. They are

surviving in the face of substantial challenges and their diverse endeavors are helping the

nation’s economy to bear up under economic challenge.

We must support these women by purchasing their cottage industries and by helping others to

recognize their importance and beauty. I hope this exhibit will increase the respect and empathy

with which these women are regarded and will inspire many others to work on behalf of women

and children who need assistance and opportunity.

Page 13: Yan Daryono

Mantan Menko Ekuin RI

Setelah saya cermati seluruh lukisan Yan Daryono, ternyata tatapan mata semua obyek

lukisannya terkesan hampa. Wajah dari orang­orang yang kehilangan harap an, orang­orang

yang tidak mendapat kesempatan, orang­orang yang terpinggirkan karena keadaan hidup

yang serba terbatas.

Orang­orang semacam itu, sampai saat ini masih banyak didapati di seluruh pelosok negeri kita.

Maka melalui karya lukisnya ini, Yan Daryono seakan ingin mengekspresikan kehidupan rakyat

pinggiran yang menuntut kepedulian pemerintah dan kita semua.

*) Disampaikan dalam Pameran Tunggal Kesaksian Yan Daryono: Jurnalistik dalam Seni Lukis dan Fotografi, Jakarta Media Center, Jakarta, Agustus 2009.

Rizal Ramli

Page 14: Yan Daryono

Sekitar tigapuluh tahun lalu, saya dengan sejumlah teman pernah bergabung bersama mas

Yan Daryono dengan membentuk suatu kelompok kesenian. Di masa itu, mas Yan sudah

mengajak saya dan teman­teman menyaksikan langsung kehidupan nyata di masyarakat,

khususnya masyarakat pinggiran atau yang terpinggirkan.

Padahal ketika itu, usia saya dan teman­teman masih remaja atau masih duduk di bangku SMU.

Usia yang masih diwarnai nuansa hura­hura. Tapi pada masa itu, mas Yan justru menjauhkan kami

dari suasana hura­hura dan memperlihatkan langsung bagaimana kenyataan masyrakat yang tidak

berdaya melawan nasib dan keadaannya. “Masyarakat yang harus kalian bela!” Begitu ucap mas

Yan kepada saya dan teman­teman di masa lampau.

Monang Pakpahan

Page 15: Yan Daryono

Kini – setelah tigapuluh tahun terlewati – saya dan teman­teman sudah terjun ke masyarakat

dengan dinamika karir masing­masing. Ada yang menjadi konglomerat, ada yang menjadi pe­

jabat tinggi, atau ada juga yang biasa­biasa saja. Semua menempati posisinya masing­masing di

masyarakat. Saya sendiri menjadi praktisi hukum yang juga berkecimpung di bidang jurnalistik.

Tapi ternyata, setelah tigapuluh tahun berselang, tak disangka mas Yan masih menyampaikan kes­

enian dengan tema yang tidak berubah. Sehingga saya bertanya ; Apakah ada yang salah dalam

sistem pemerintahan di negeri ini, atau ada yang salah pada diri seorang mas Yan Daryono? En­

tahlah. Namun – sebagai orang yang mengenal mas Yan Daryono dengan baik – saya merasakan

kecemasan yang menggeluti benak pikiran mas Yan.

Kecemasan yang belum kunjung berakhir sejak tigapuluh tahun silam. Kecemasan seorang seni­

man yang prihatin melihat keadaan sebagian warga bangsa yang hidup dalam kesusah an, kemiski­

nan dan kesedihan. Maka pada kesempatan ini, saya menghimbau agar sebaiknya kita memperha­

tikan ke saksian jujur seorang Yan Daryono lewat karya­karyanya. Ya, mari kita merenung sesaat:

Apakah kita sudah mengisi kemerdekaan negeri ini sebagaimana yang diamanahkan oleh bapak­

bapak pendiri republik ini ? Atau disadari – tidak disadari, kita telah mengkhianati mereka dengan

“merampok” dan “menggadaikan” warisan mereka.

Terimakasih.

Page 16: Yan Daryono

Saya mengenal Yan Daryono, atau biasa saya panggil dengan sebutan : Mas Yan, sejak tahun

1978 selagi saya masih duduk di bangku SMA Negeri 1 – Budi Utomo, Jakarta. Hubungan

kami sangat akrab. Sering berdialog, berdiskusi dan membangun komunitas seni bersama

teman­teman lainnya di bilangan Utan Kayu – Jakarta. Hal yang mendorong saya senang berkum­

pul di lingkungan komunitas ini, karena Mas Yan memberi bimbingan pemahaman filsafat, nilai­

nilai nasionalisme dan patriotisme, kepada kami yang saat itu masih tergolong remaja.

Satu kenangan yang masih terekam dalam ingatan, ketika pada suatu masa liburan, Mas Yan men­

gajak saya dan teman­teman berkemah di Desa Cipelang – Sukabumi atau persisnya di kaki Gu­

nung Gede. Di saat berkemah itu mas Yan menugaskan saya dan teman­teman lainnya untuk

Chairul TandjungCEO Para Group

Page 17: Yan Daryono

mengunjungi penduduk desa, berdialog atau mewawancarai mereka lalu menuangkannya dalam

suatu rangkaian tulisan. Saat itu saya sempat berdialog dengan seorang bapak yang sedang me­

renovasi rumahnya dengan kemampuannya sendiri. Yakni dikerjakan sendiri dan dibiayai dengan

tabungannya sendiri. Rumah yang semula kondisi nya tidak permanen, direnovasi menjadi semi

permanen. Perubahan yang tidak drastis, tapi menunjukkan suatu kemajuan yang dilandasi seman­

gat kemandirian untuk mengubah nasib dan keadaan hidupnya. Semangat yang sampai saat ini

saya percayai dimiliki oleh seluruh warga bangsa Indonesia, bangsa yang saya cintai sepenuh jiwa

raga saya.

Selain itu, Mas Yan juga mengajak saya dan teman­teman melakukan kegiatan “mengamen” da­

lam bentuk kelompok musik akustik. Menyanyikan lagu­lagu yang kami ciptakan bersama. Kami

“mengamen” ke kampus­kampus dan hasilnya lumayan. Kemudian Mas Yan mengajak kami meng­

gunakan uang hasil ngamen itu untuk membeli nasi bungkus lalu mengajak kami makan bersama

dengan supir­supir bajaj dan tukang becak yang biasa mangkal di depan Komplek Kehakiman –

Utan Kayu. Di sisi ini Mas Yan menanamkan artinya berbagi, berpikir tidak untuk diri sendiri dan

bijaksana sejak dalam pikiran. Se hingga masing­masing kami menyadari betul bahwa segala yang

berlebih adalah milik ALLAH SWT.

Begitu banyak nilai­nilai yang saya dan teman­teman serap di saat kami berkumpul bersama, seh­

ingga mempertajam kepekaan dan kepedulian sosial serta menghayati setiap jengkal tanah pertiwi

ini sebagai bumi dan laut Indonesia, negeri kami.

Page 18: Yan Daryono

Pameran tunggal Mas Yan kembali menyentuh pikiran dan perasaan saya, bahwa ternyata masih

ada optimisme dalam kesedihan dan kemiskinan sebagian warga bangsa ini. Karena – menurut saya

– kesedihan dan kemiskinan sebagian warga bangsa ini tidaklah semata­mata tanggungjawab pe­

merintah sepenuhnya, tapi juga dibutuhkan kesadaran dan kemauan kerja keras dari setiap warga

bangsa untuk memperbaiki nasib dan keadaan hidupnya.

Di akhir kata, saya mengucapkan Selamat Berpameran kepada Mas Yan. Semoga karya­karya yang

ditampilkan dapat diminati dan memberi banyak manfaat bagi mereka yang menikmatinya.

Page 19: Yan Daryono

Yan Daryono bersama keluarga besar, Kemal Gani (paling kiri), Ibunda Ida Meiharty binti Datuk Ab-bas Rajo Nan Sati (tengah), Prita Kemal Gani (kedua dari kanan) dan Tri (paling kanan).

Page 20: Yan Daryono

Ne Seuwah Penghuni Tongkongan Tua di Ketekisu, Tana TorajaCat minyak ­ kanvas

100 x 90 cm

Page 21: Yan Daryono

Kisah Ne Seuwah di Komunitas Adat Ketekisu

Suatu ketika saya mendapat tugas liputan ke Kabupaten Toraja­ Sulawesi Selatan. Dalam suatu

kesempatan saya berkunjung ke komunitas adat di Ketekisu – Kecamatan Ran tepao. Di ko­

munitas tersebut saya berkenalan dengan Pak Lariyun, salah seorang tetua adat. Seorang pria lanjut

usia, ramah dan periang.

Pak Layun mengajak saya berkeliling lokasi Ketekisu yang hanya beberapa hektar luasnya. Melihat

dan memasuki tongkonan (rumah adat Toraja), menyaksikan tulang belulang warga adat Ketekisu

yang dimakamkan di gua­gua di bukit yang terletak di belakang perkampungan adat itu.

Di depan gua­gua kecil tersebut, didapati pula sejumlah patung orang yang dimakamkan di

situ. Satu di antaranya adalah patung Ne Seuwah. Pak Layun mengisahkan sosok almarhum Ne

Seuwah yang menjadi kecintaan dan kebanggaan warga adat Ketekisu. Ne Seuwah hanya seorang

perempuan tua penghuni tongkonan tua. Suaminya sudah lama wafat. Dari perkawinannya itu, Ne

Seuwah tidak dikaruniai anak.

Namun dalam kesebatangkaraannya, Ne Seuwah adalah seorang perempuan tua yang berhati

mulia. Setiap hari ia mengasuh dan mengurus anak­anak yang sudah tidak memiliki orangtua.

Melayani masyarakat yang sering datang bertanya tentang hal­hal bijak dalam kehidupan. Semua

dilakukan tanpa pamrih dan tanpa berharap tanda jasa apa pun.

Ne Seuwah telah lama pergi menuju surga abadi, dengan berkendara todungminanga yang

dibuat dan dipahat oleh anak­anak yang menyayanginya. Perempuan ini telah mengajarkan nilai­

nilai kemuliaan di lingkungan komunitas adat Ketekisu.

Page 22: Yan Daryono

Menyusuri Sungai Barito Kalimantan SelatanCat acrylic ­ kanvas

50 x 70 cm

Page 23: Yan Daryono

Sahara Perempuan Suku Sasak, LombokCat minyak ­ kanvas

100 x 80 cm

Page 24: Yan Daryono

Mbok Sumi Penjual Nasi Gudeg di Emper Toko Jalan Malioboro, JogjaCat minyak ­ kanvas

100 x 110 cm

Page 25: Yan Daryono

Mbok Sumi di Emper Malioboro

“Berkunjung ke kota Yogya tanpa singgah di Jalan Malioboro, rasanya belum datang ke

Yogya.” Begitu kata seorang teman. Saya sangat akrab dengan kota Yogya dan sering

bertandang ke sana untuk bersilaturahmi dengan kerabat serta para sahabat. Setiap ke kota Yogya,

saya pasti ke Jalan Malioboro.

Entah sudah berapa ratus kali saya mengunjungi Jalan Malioboro, berjalan hilir mudik me­

nikmati suasana yang berlangsung. Jajan di emperan dan sebagainya. Baik siang maupun malam.

Namun pada suatu saat, ketika saya berkunjung ke Yogya lalu berjalan­jalan di sepanjang Jalan

Malioboro, saya menemukan pemandangan yang sangat menyentuh.

Pandangan mata saya tertumpu pada sosok seorang perempuan paruh baya yang sedang tidur

lelap di emper toko Jalan Malioboro. Tidur yang sangat nyenyak. Saya iri menyaksikan lelapnya

perempuan itu. Sepertinya ia sedang menikmati mimpi indah. Kebisingan jalan, riuh rendah suasa­

na kakilima, peluit kereta api yang berdenging di Stasiun Tugu, tidak mampu mengusik tidurnya.

Kemudian – setelah berkenalan – baru saya tahu, perempuan ini bernama Mbok Sumi. Dia

penduduk kampung Pasar Kembang, dekat Stasiun Tugu. Sehari­hari dia berjualan gudeg bikinan­

nya sendiri. Dimulai dari pagi hingga jelang tengah hari. Tiap hari pula dagangannya itu selalu ha­

bis terjual. Usai berdagang, letih datang menerpa, kantuk pun mendera tanpa peduli. Mbok Sumi

– perempuan paruh baya – gigih berusaha demi menopang kehidupan keluarganya. Membantu

suami dengan penuh rasa sayang, mengasuh anak­anaknya dengan segenap cinta. Saya yakin, Tu­

han sangat menyayangi Mbok Sumi.

Page 26: Yan Daryono

Menjaring AnginCat minyak ­ kanvas

100 x 80 cm

Page 27: Yan Daryono

Penambang Intan di MartapuraCat minyak ­ kanvas

165 x 125 cm

Page 28: Yan Daryono

Teh Imas yang Berhati EmasCat minyak ­ kanvas

110 x 100 cm

Page 29: Yan Daryono

Teh Imas Yang Berhati Emas

Sudah hampir tujuh tahun teh Imas mendampingi suaminya, seorang buruh bangunan yang

berpenghasilan sangat terbatas. Dalam tujuh tahun itu, pernikahan mereka belum kunjung

dikaruniai anak. Tapi teh Imas dan suaminya hidup bahagia dalam kemersraan cinta.

Teh Imas dan suaminya menghuni rumah kontrakan bulanan di belakang Kampus UT – Pon­

dok Cabe. Untuk menambah penghasilan keluarga, teh Imas menerima jasa mencuci dan menye­

terika pakaian dari tetangganya. Umumnya mereka adalah pekerja di Kampus UT, mahasiswa yang

kost dan sebagainya. Hasilnya lumayan, bisa menunjang hidup bersama suaminya. Terlebih jika

suaminya sedang tidak memiliki pekerjaan, maka hasil usaha teh Imas ini terasa sangat membantu

kelangsungan hidup mereka.

Karena penghasilannya tidak tetap dan sangat terbatas, sementara biaya hidup tidak kenal kom­

promi, teh Imas sangat rajin menabung. Meski bukan dalam jumlah besar, bukan di bank tapi di

celengan ayam jago dari tanah liat, hari ke hari selalu menabung.

Saya sangat terkesan pada ucapan teh Imas : “Orang yang paling kaya itu, adalah orang yang

mendapat hidayah. Yaitu orang yang tidak mengandalkan harta warisan, orang yang tidak punya

hutang dan orang yang tawakal. “ Itulah sebabnya saya menilai teh Imas sebagai perempuan

berhati emas.

Page 30: Yan Daryono

Cut Farah Sang InongbaleCat minyak ­ kanvas

70 x 90 cm

Page 31: Yan Daryono

Mbah Poniyem Pengerajin Tempe di PurwokertoCat minyak ­ kanvas

100 x 110 cm

Page 32: Yan Daryono

Bu Sarikem, Petani Bawang, di Desa Beji, TawangmanguCat minyak ­ kanvas

100 x 110 cm

Page 33: Yan Daryono

Bu Sanikem Petani Bawang di Desa Beji

Desa Beji – Kecamatan Tawangmangu – Kabupaten Karang Anyar – Jawa Tengah, adalah

kampung halaman almarhum ayah saya. Sejak kecil saya sering dibawa ayah berkunjung

ke kampung halamannya. Sungguh di desa ini banyak kenangan indah terukir. Masa­masa yang

sulit dilupakan. Terlebih ketika ayah saya masih hidup dan embah putri serta kerabat lainnya masih

bisa ditemui.

Beberapa tahun silam, saya berkunjung ke Desa Beji. Ini dalam rangka memenuhi undangan

Bupati Karang Anyar yang ingin mempromosikan daerahnya. Dan pada kesempatan kali ini ­

seusai berziarah ke makam embah ­ saya berkenalan dengan Bu Sanikem, seorang petani bawang.

Berikut adalah kisahnya :

“Musim demi musim dilewati tanpa lelah, tanpa takut dan gelisah. Sebab musim memang terus

berganti dan berlanjut dalam siklus yang tetap.

Bu Sanikem tetap rajin dan setia merawat tanaman bawang yang menjadi sumber hidup kelu­

arganya.

Saat panen tiba, pedagang pengumpul datang berbelanja. Hasil panen berganti dengan lembar­

lembar rupiah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang setia dilakoni dengan penuh rasa syukur.

Tuhan memang maha pemurah dan pengasih. Inilah yang selalu diyakini Bu Sanikem, petani

bawang di Desa Beji – Tawangmangu. Hidup memang indah jika dilakoni dengan tawakal dan

bersyukur.“

Page 34: Yan Daryono

Wak Saroh di Kaki Gunung GalunggungCat minyak ­ kanvas

70 x 90 cm

Page 35: Yan Daryono

Ibu PertiwiCat minyak ­ kanvas

110 X 80 cm

Page 36: Yan Daryono

Mbak Mini Pedagang Gorengan di Pojok Pasar Sentral Polewali, Sulawesi Barat.Cat acrylic ­ kanvas

100 x 80 cm

Page 37: Yan Daryono

Mbak Mini di Pojok Pasar Sentral Polewali Mandar

Beberapa tahun silam saya melakukan tugas liputan jurnalistik ke Propinsi Sulawesi Barat,

mengunjungi lima kabupaten di wilayah propinsi tersebut. Di antaranya Kabupaten Polewali

Mandar.

Saat senggang, pada jeda waktu tugas, saya menyempatkan waktu berjalan­jalan mengunjungi

Pasar Sentral yang menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat di Kota Polewali. Pasar yang ber­

dampingan dengan terminal angkutan kota. Di pagi hari suasananya begitu ramai.

Asyik mengamati kesibukan yang berlangsung di Pasar Sentral ini, pandangan mata saya me­

nangkap seorang perempuan cantik dalam penampilan yang sederhana. Kemudian saya tahu, nama

perempuan itu adalah mBak Mini, istri seorang buruh bangunan.

Setiap hari, sejak pukul 07.00 pagi, mBak Mini berdagang gorengan di pojok Pasar Sentral. Su­

dah hampir dua tahun dia berdagang di situ, sejak dibawa pindah oleh suaminya dari Kecamatan

Wonomulyo ke Kota Polewali ini.

Sebagai perempuan asal Yogya, mBak Mini adalah perempuan yang memiliki kecantikan alami.

Ramah namun tetap menunjukkan kesopanan. Sehingga tak seorang pun berani bersikap lancang

pada dirinya. Bahkan banyak yang kagum karena tahu persis, mBak Mini lebih rela menjadi peda­

gang gorengan ketimbang menggadaikan harga dirinya karena takut miskin.

Page 38: Yan Daryono

Tidur NyenyakCat minyak ­ kanvas

100 x 80 cm

Page 39: Yan Daryono

Si GeulisCat minyak ­ kanvas

50 x 60 cm

Page 40: Yan Daryono

Mang Sabar Pengrajin LayanganCat min yak ­ kanvas

100 x 80 cm

Page 41: Yan Daryono

Gembala di Hutan Jati NgawiCat Minyak ­ kanvas

110 x 80 cm

Page 42: Yan Daryono

Jajan Jamu GendongCat minyak ­ kanvas

100 x 70 cm

Page 43: Yan Daryono

Balada MarkumCat Minyak ­ kanvas

50 x 60 cm

Page 44: Yan Daryono

Anak ShalehaCat minyak ­ kanvas

50 x 60 cm

Page 45: Yan Daryono

Suatau Malam di Beranda Rumah NenekCat Minyak ­ kanvas

110 x 80 cm

Page 46: Yan Daryono

Keluarga Nelayan di Pantura, JawaCat Minyak ­ kanvas

50 x 60 cm

Page 47: Yan Daryono

Di Belakang Rumah Nenek di KampungCat minyak ­ kanvas

110 x 80 cm

Page 48: Yan Daryono
Page 49: Yan Daryono
Page 50: Yan Daryono

Jalan Jeruk Raya Blok H 1 ­ No. 10Perumahan Pamulang Estate

Telp. 021 7426961

E­mail: [email protected]

Rumah Seni Yan Daryono